makalah pers
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
ISI
A. LATAR BELAKANG
Ketika reformasi tahun 1998 digulirkan di Indonesia, pers nasional bangkit
dari keterpurukannya dan kran kebebasan pers dibuka lagi yang ditandai
dengan berlakunya UU No.40 Tahun 1999. Berbagai kendala yang membuat
pers nasional "terpasung", dilepaskan. SIUUP (Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers) yang berlaku di era Orde Baru tidak diperlukan lagi, siapa pun dan
kapan pun dapat menerbitkan penerbitan pers tanpa persyaratan yang rumit.
Euforia reformasi pun hampir masuk, baik birokrasi pemerintahan maupun
masyarakat mengedepankan nuansa demokratisasi. Namun, dengan maksud
menjungjung asa demokrasi, sering terjadi "ide-ide" yang permunculannya
acap kali melahirkan dampak yang merusak norma-norma dan etika. Bahkan
cenderung mengabaikan kaidah profesionalisme, termasuk bidang profesi
kewartawanan dan pers pada umumnya. Bahkan kalangan instansi
pemerintahan swasta dan masyarakat ada yang berpandangan sinis terhadap
aktivitas jurnalistik yang dicap tidak lagi menghormati hak-hak narasumber.
Penampilan pers nasional atau daerah pun banyak menuai kritik dan dituding
oleh masyarakat. Sementara itu disisi lain, banyak contoh kasus dan kejadian
yang menimpa media massa, dan maraknya initmidasi seta kekerasan
terhadap wartawan.
1
B. PENGERTIAN PERS
Secara etimologis, pers berasal dari bahasa Belanda, sedangkan dalam
bahasa Inggrisnya adalah press atau bahasa Perancisnya presse yang
artinya tekan atau cetak. Istilah pers menurut UU Pers jelas berbeda dengan
jurnalistik, hubungan kemasyarakatan (humas), atau reporter.
Pers dilihat dari kegiatannya, sifatnya lebih luas dari jurnalistik, humas atau
reporter. Namun, masyarakat umum mengenal pers cukup dengan salah satu
media massa, yaitu usaha percetakan atau penerbitan atau usaha
pengumpulan dan penyiaran berita.
Menurut UU pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers, pengertian pers
adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara,
gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektroika, dan segala
jenis yang tersedia.
C. FUNGSI DAN PERANAN PERS
Pada dasarnya, fungsi pers dapat dirumuskan menjadi beberapa bagian
yaitu:
1. Pers sebagai Informasi (to inform)
Fungsi pertama dari lima fungsi utama pers ialah menyampaikan informasi
secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya. Setiap
informasi yang disampaikan harus memenuhi kriteria dasar: aktual, akurat,
2
faktual, menarik atau penting, benar, lengkap, utuh, jelas-jernih, jujur adil,
berimbang, relevan, bermanfaat dan etis.
2. Pers sebagai Edukasi (to educate).
Sebagai sarana pendidikan massa (mass education), pers memuat
tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat
bertambah pengetahuan dan wawasannya.
3. Pers sebagai koreksi ( to influence).
Pers adalah pilar demokrasi keempat setelah legislative, eksekutif, dan
yudikatif dalam kerangka ini, kehadiran pers dimaksudkan untuk
mengawasi atau mengontrol kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
agar kekuasaan mereka tidak menjadi korup dan absolut.
4. Pers sebagai rekreasi (to intertain).
Fungsi keempat pers adalah meghibur, pers harus mampu memainkan
dirinya sebagai wahana rekreasi yang menyenangkan sekaligus yang
menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat. Artinya apa pun pesan
rekreatif yang disajikan mulai dari cerita pendek sampai kepada teka-teki
silang dan anekdot, tidak boleh bersifat negatif apalagi destruktif.
5. Pers sebagai mediasi (to mediate)
Mediasi artinya penghubung atau sebgai fasilatator atau mediator. Pers
harus mampu menghubungkan tempat yang satu dengan tempat yang
lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, orang yang satu
dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan orang yang lain
pada saat yang sama. Dalam buku karya McLuhan, Understanding Media
(19966) menyatakan pers adalah perpanjang dan perluasan manusia (the
extented of man)
3
6. Pers sebagai lembaga ekonomi
Berdasarkan kegiatan jurnalistik, bahwa suatu perusahaan yang bergerak
di bidang pers memiliki bahan baku yang diolah sehingga menghasilkan
produk berita, yang diminati oleh masyarakat dengan nilai jual yang tinggi.
Semakin berkualitas nilai beritanya, semakin tinggi nilai jualnya.
Selain fungsi-fungsi pers di atas, pers pun memiliki peranan sebagai berikut:
1. Menyediakan forum bagi berlangsungnya dialog secara terbuka antara
kelompok-kelompok masyarakat serta masyarakat dan pemerintah
2. Media massa mempunyai kontribusi yang besar bagi tumbuh
berkembangnya masyarakat madani. Dalam masyarakat madani itulah
demokrasi akan tumbuh subur.
Melalui komunikasi yang terbuka, pemerintahan menjadi lebih terbuka.
Keterbukaan ini menjadinpertanda berlakunya suatu pemerintahan yang
demokratis, sebab masyarakat pun menyampaikan pesan dan masukkannya
secara terbuka. Keterbukaan dapat berarti kontrol. Sesuai Pasal 6 UU Nomor
40 Tahun 1999, pers nasional melaksanakan perannya sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terjadinya supremasi
hukum, hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat,
akurat, dan benar.
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
4
D. UNSUR-UNSUR PERS
1. Landasan Pers
Menurut Keputusan Dewan Pers No.79/XIV/1974 tertanggal 1
Desember 1974 yang ditandatangani Menpen Mashuri, SH, pers
nasional berpijak kepada enam landasan. Pada zaman Orde Baru,
enam landasan tersebut dijadikan semacam “rukun iman” bagi para
pengusaha pers dan kalangan praktisi jurnalisitk agar tidak tersandung
dan bebas dari ancaman perbredelan yang setiap saat menghantui
mereka oleh “hantu” pemerintah.
Secara yuridis, ketika itu UU Pokok Pers No.21 1982 (sekarang
UU pokok pers No. 40/1999) memang dikenal dengan tegas
menyatakan terhadap pers nasional tidak dikenai pembredelan.
Namun secara politis, pemerintah sering tak menggubrisnya.
Pemerintah melalui Depatemen Penerangan bisa kapan saja
membrangus pers yang dianggapnya “tidak sejalan dengan kebijakan
pimpinan nasional”. Deppen pada waktu itu adalah depertemen yang
paling ditakuti oleh siapa pun yang berkecimplung dalam penerbitan
pers nasional.
Dalam SK Dewan Pers 79/1974 ditegaskan, pers nasional
berpijak kepada enam landasan, yakni landasan idiil adalah pancasila,
landasan konstitusional adalah UUD 1945, landasan strategis
operasional adalah garis- garis besar haluan negara (GBHN), landasan
yuridis formal adalah tata nilai dan norma budaya agama yang beraku
pada masyarakat bangsa indonesia, dan landasan etis opersioanl
adalah kodi etik persatuan wartawan indoensia (PWI).
5
Namun yang menjadi permasalahan apakah SK Dewan Pers
79/1974 yang dikeluarkan pada era pemerintahan otokratis itu masih
relevan untuk dijadikan rujukan bagi pers saat ini yang telah beranjak
pada era demokratis? Sebagian kecil landasan tersebut sudah tidak
relevan. Sedangkan untuk sebagian besar dampak kini masih tetap
sangat relevan setelah disesuaikan dengan perkembangan serta
ketentuan yang berlaku.
Untuk yang tidak relevan, misalnya tentang landasan strategis
opersional, dalam era reformsai MPR tidak lagi menetapkan GBHN.
Begitu juga dengan landasan etis, keharusan untuk menginduk hanya
kepada satu organisasi profesi sudah sangat kadaluwarsa sebab kini
wartawan boleh bergabung dengan salah satu organisasi profesi pers
mana saja yang diinginkannya.
Lantas apakah landasan pers nasional jadi menyusut dari enam
menjadi lima atau empat landasan? Jumlah landasan tidak mengalami
perubahan tetap enam landasan, hanya isinya dan urutannya yang
diubah serta disesuaikan. Bagaimanapun pers nasional perlu tetap
memiliki landasan untuk menghindari ironi, tirnai, dan bahkan
hegemoni kekuasaan dalam tumbuhnya sendiri.
1.1 Landasan Idiil.
Yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selam
ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional harus
tetap merujuk kepada pancasila sebagai iedeologi nasional, dasar
6
negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber segala
sumber hukum.
1.2. Landasan Konstitusional.
Landasan konstitusional, berarti menujuk kepada UUD 1945
setelah empat kali dilakukan amandemen dan ketetapan-ketetapan
MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan
kebebasan menyatakan pikiran, pendapat baik lisan ataupun tulisan.
1.3. Landasan Yuridis Formal.
Landasan yuridis formal, mengacu kepada UU Pokok Pers
No.40/1999 unutk pers, dan UU Po0kok Penyiaran No.32/2002 untuk
media radio siaran dan media telivisi siaran. Sekedar catatan, dalam
UU Pokok Pers No.40/1999, pers dalam arti media cetak berkala dan
pers dalam arti media radio siaran berkala dan media televsisi siaran
berkala, diartikan sekaligus diperlakukan sama sehingga menjadi
rancu serta difungsional.
1.4. Landasan strategis Operasional
Landasan strategis operasional, mengacu kepada kebijakan
redasional media pers masing-masing secara internal yang berdampak
kepada kepentingan sosial dan nasioanl. Setiap penerbitan pers harus
memilki garis haluan manajerial dan redaksional.
7
1.5. Landasan sosiologis Kultural
Landasan sosiologis kutural berpijak pada tata nilai dan norma
sosial budaya agama yang berlaju pada dan seklaigus dijunu8nmg
tinggi oleh masyarakat bangsa indonesia. Pers indonesia adalah pers
naisonal yang sarat dimuati nilai serta tanggung jawab. Pers kita
bukanlah pers liberal. Dalam segala sikap dan perilakunya, pers
nasional dipengaruhi dan dipagari nilai-nilai kultural.
1.6. Landasan Etis Propesional.
Landasan etis propesional menginduk kepada kode etik profesi. Setiap
organisasi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa
organisasi pers bisa saja sepakat untuk hanya menginduk keada satu
kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers harus
menyatakan terkait dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti
tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri, boleh juga
menyepakati kode etik bersama.
2. Pilar penyangga pers
Pers itu ibarat sebuah bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh
apabila bertumpu pada tiga pilar penyangga utama yang satu sama lian
berfungsi saling menopang, tritunggal/ ketiga pilar itu ialah:
1. Idealisme
2. Peranan persnasional pada pasal 6 UU Pokok pers No.40/1999
3. Profesionalisme
8
Profesionalime berarti isme atau paham yang menilai tinggi
keahlian profesional khususnya, atau kemampuan pribadi pada
umumnya, sebagai alat utama untuk mencapai keberhasilan.
Seseorang bisa disebut profesional apabila dia memenuhi enam
ciri berikut:
a. Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui
penempaan pengalaman, pelatihan, atau pendidikan
khsusus dibidangnya.
b. Mendapat gaji, honorium atau imbalan materi yang
sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau
pengalaman yang diperolehnya.
c. Seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya
dipagari dengan dan dipengaruhi oleh keterikatan
dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik
profesi.
d. Secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah
satu organisasi profesi yang sesuai dengan keahliannya.
e. Memiliki kecinaan dan dedikasi luar baiasa terhadap
bidang pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya.
f. Tidak semua orang mampu melaksankan pekerjaan
profesi tersebut karena untuk bisa menyelaminya
mensyaratkan penguasaan keterampilan atau keahlian
tertentu.
9
E. PERS YANG BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB
Upaya mengembangkan kemerdekaan pers yang bebas dan bertanggung
jawab dibentuk Dewan Pers yang independen. Tujuannya untuk hal-hal
berikut:
a. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain
b. Mengkaji pengembangan kehidupan pers
c. Menetapkan dan mengawasi pelakasanaan kode etik jurnalistik
d. Mempertimbangkan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat
e. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah
f. Memfasilitasi organisasi-organisasi dalam menyusun aturan pers dan
meningkatkan profesi kewartawanan
g. Menginventaris data-data perusahan pers
Dalam mempertanggungjawabkan suatu berita, pers wajib memberikan
pengertian dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Selain itu, pers juga
memiliki kewajiban melayani hak jawab dan hak koreksi seta hak jawab dan
hak tolak.
a) Hak Jawab
Masyarakat punya kesadaran untuk menyampaikan kritik kepada pers
melalui surat pembaca dan sejenisnya sebagai salah satu bentuk hak
jawab,akan tetapi mekanisme keredaksian masih memiliki kelemahan
sehingga masyarakat sering frustasi. Dalam UU Nomor 40/1999 Pasal
1 Ayat (11) disebutkan, hak jawab adalah hak seseorang atau
10
sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan
terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Pasal 5 Ayat 2 dan juga hampir semua kode etik jurnalistik mewajibkan
pers melayani hak jawab. Wajib artinya harus dimuat.\
b) Hak Koreksi
Dalam beberapa kode etik jurnalistik, tercantum bahwa wartawan
Indonesia dengan kesadaran sendiri berhak dan wajib secepatnya
mencabut atau meralat setiap pemberitaan yang kemudian ternyata
tidak akurat dan memberi kesempatan hak jawab secara proporsional
pada sumber dan atau objek berita. Adapun isi jawaban harus terkait
pokok persoalan dan disampaikan secara to the point.
c) Hak Tolak
UU Nomor 40/1999 Pasal 1 Ayat (10) menyebut hak tolak adalah hak
wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama
narasumber dan atau identitas sumber berita yang harus
dirahasiakannya. Pertimbangan etis tertentu membuat wartawan harus
menolak memberi keterangan dalam proses peradilan dan hakim harus
menghormati keberatan itu.
F. KEBEBASAN PERS
Pada era reformasi,keadaan berubah sedemikian cepat. Pada saat itu
keterbukaan informasi mulai terjadi. Pers bebas memberitakan segala tindak-
tanduk pemerintah, khususnya setelah UU Nomor 40/Tahun 1999 ditetapkan.
Ketentuan mengenai SIUPP pun tidak berlaku. Departemen Penerangan
dibubarkan dan masyarakat pun menjadi bagian pers.
11
Perbedaan pers liberal dan pers pancasila
Dalam teori liberalisme, pers merupakan lembaga otonom, independen
dengan tugas pokok penjaga atau pengontrol pemerintah.
Semangatnya ditafsirkan sebagai semangat saling curiga dan
bermusuhan. Berbeda dengan di Indonesia. Hubungan pers dan
pemerintah dalam sistem demokrasi Indonesia dianggap sebagai
partnership, interaksi positif atau interaksi konstruktif.
Perilaku ganda pers
Pers dapat berperan positif terhadap penyelesaian masalah atau
konflik di masyarakat, tetapi pers dapat juga menimbulkan masalah
melalui berita yang diinformasikannya. Ini bagaikan dua sisi mata
uang. Bahkan, ada segelintir oknum pers yang menggunakan
posisinya untuk mengancam, mengintimidasi, atau memeras sumber
berita selain mencari berita. Itulah sebabnya, sekalipun dalam posisi
hubungan baik, hubungan seiiring dan hubungan positif, kontrol dan
koreksi tetap menjadi salah satu tugas pers yang penting.
Pengendalian pers oleh pemerintah
Pada masa orde baru, pengendalian pemerintah terhadap pers tampak
dalam beberapa halsebagai berikut:
a. Untuk memasuki sektor industri media massa, pemberian
SIUPP pada para pelaku bisnis dilakukan secara selektif
berdasarkan kriteria politik tertentu
b. Kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional
(wartawan) melalui mekanisme seleksi dan ketentuan (menjadi
anggota PWI)
12
c. Kontrol terhadap sumber daya, antara lain berupa norma kertas
oleh pihak yang memiliki kedekatan dengan penguasa
d. Kontrol terhadap akses pers, berupa pencekaln terhadap tokoh-
tokoh oposan tertentu agar tidak tampil dalam pemberitaan
pers.
Berdasarkan uraian tersebut, maka diperlukan batasan-batasan terhadap
semua sikap dan perilaku antara masyarakat, pers, dan pemerintah.
G. POTRET PERS DI INDONESIA
1. Permasalahan dalam kebebasan pers.
Kebebasan pers yang muncul pada masa era reformasi ini
ternyata membawa permasalahan baru. Peningkatan kuantitas
penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan
pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan "miring"
yang dialamatkan pada pers nasional. Seperti kecurigaan pada praktek
"jurnalisme preman", "jurnalisme pelintiran", “jurnalisme omongan", dan
tudingan-tudingan negative lainnya.
Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme
bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang bombasis,
menampilkan vulgarisasi dan erotisasi informasi seks. Tetapi tentu saja
kita tidak dapat melakukan generalisasi. Harus diakui bahwa masih
banyak media massa yang mencoba tampil dengan elegan dan
beretika, daripada yang menyajikan informasi sampah dan berselera
rendah (bad taste).
13
Kemungkinan lain penyebab pers terus disorot, bahkan ada
yang menyebut pers “kebablasan” adalah karena kurang
profesionalnya jajaran wartawannya. Kekurangan yang paling utama
adalah soal kemampuan memahami permasalahan yang akan
diberitakan dan teknis keterampilan menuliskannya. Untuk itu,
wartawan di era reformasi perlu menguasai pengetahuan umum, skill,
dan kepandaan menulis serta berapresiasi dalam kebebasan yang
komperhensif dan partisipatif.
Memang era reformasi melahirkan dilema, masyarakat belum
mamahami betul apa itu kebebasan pers serta apa yang akan
dirasakan dari kebabasan itu sendiri. Masyarakat belum sadar
sebenarnya kebebasan tersebut bukanlah untuk kepentingan kalangan
pers sendiri, sebab secara tidak langsung ataupun langsung, pers
nasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
pembangunan bangsa dan negara.
2. Masyarakat yang jenuh media.
Para ahli menyebut budaya dan masyarakat muktahir sebagai
masyarakat yang jenuh dengan media (medai saturrated society).
Masyarakat muktahir adalah masyaraat yang dilimpahi dengan
informasi berupa gambar, teks, bunyi, dan pesan-pesan visual,
masyarakat yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan komersial.
Mayarakat yang jenuh media ternyata juga telah menyebabkan
narkotisasi media bagi masyarakat. Narkotiasasi (narcotization) adalah
sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif
14
atau efek menyimpang (disfunction) dari medai massa. Istilah ini
sebenarnya berasal dari Paul F.Lazarsfeld dan Robert K Merton.
Dalam esainya, “Mass Comuniation, Popular Tate and Organized
Social Action” (1984), mereka menggunakan istilah “Narkotizing
Disfunction” untuk menyebut konsekuensi sosial dari media massa
yang sering diabaikan. Media massa mereka pandang sebagai
peneyabab apatisme politik dan keleusan massa.
3. KEBEBASAN PERS ATAU KEBABLASAN PERS.
Ada yang mengatakan, pers kita tengah memasuki sebuah era baru, era
penuh kebebasan. Ini sejalan dengan perubahan pada konstalasi politik dan
konstitusi nasional, yang memungkinkan para insan pers tidak lagi harus
merasa jeli oleh kemungkinan kena brendel atau Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP)-nya dicabut. Eurofia kebebasan ini mewabah di mana-mana.
Usaha penerbitan bermunculan bak cendawan di musim hujan.
Namun, pada saat bersamaan muncul juga pendapat bahwa kebebasan
pers kita sudah kelewatan, alias kebablasan. Dalam hal ini pers dianggap
sudah keluar dari batas kepatutan atas peran yang dimainkannya. Di san-sini
muncul suara keluhan dan nada ketir masyarakat, yang pada intinya
bermuara pada keprihatianan terhadap pemberitaan media massa yang
sebagian diantaranya terkesan tidak lagi mempertimbangkan dampaknya
pada khslayak dan tiadanya unsur prioritas pemberitaan.
Berbicara tentang pers, tentulah kita harus memasukkan semua jenis
media massa, mulai dari cetak, elektronik, hingga cyber media. Tak bisa
dibantah, keprihatinan publik ada benarnya. Sejumlah fakta sudah demikian
15
terbuka untuk bisa dijadikan alasan. Di ketiga jenis media massa tersebut,
kita bisa menyaksikan sejumlah distorsi dan penyelewengan-penyelewengan
fungsi pers, mulai dari pemberitaan yang tidak akurat, kurang memerhatikan
unsur cover both side, diabaikannya kaidah-kaidah kode etik jurnalistik (KEJ),
hingga seringnya terjadi praktik pemeasan dan intimidasi oleh insan pers.
Yang tak kalah menyeramkan adalah tayangan televisi dan internet, yang
bukan saja dianggap mengeksploitasi pornografi dan kekerasan sehingga
dianggap meresahkan masyarakat, tetapi juga sudah mengganggu dan
merampas kenyamanan publik yang menjadi objek pembereritaan itu sendiri.
Kita memang harus berani mengatakan bahwa dalam dinamikanya, pers
kita masih dalam proses pendewasaan. Cukup wajar jika di sana-sini masih
jumpai sejumlah kelemahan, distorsi atau malah penyewengan. Meski
demikian, memvonis pers sebagai satu-satunya pihak yang bersalah juga
rasanya tak adil. Jika wajah pers demikian buruk, bukankah itu menjadi
gambaran masyarakat kita sendiri? Barangkali, ada perlunya kita cermati
pernytaan Prof, Stephen Hill, Direktur UNESCO Indonesia. Menurutnya,
media hanyalah alat legitimasi perilaku dan tindakan bukan alat yang
menciptakan keduanya.
Karena itulah, barangkali yang harus diuapayakan agar wajah pers tidak
seburuk sekarang, adalah bagaimana menciptakan sebuah titik temu atau
keseimbangan antara kebebasan yang dimiliki media massa dan garis batas
yang boleh dilaluinya. Keseimbangan itu harus dibuat dengan tanggung
jawab, bukan dengan pengekangan. Tanggung jawab media dalam
membangun budaya harus diletakkan pada penegmbangan kemampuan
pekerja di media massa itu sendiri. Dan itu hanya mungkin bisa dilakukan jika
16
memang perangkat hukum yang ada di negeri ini mamapu
mengakomodasikan peran dan fungsi pers tanpa harus kehilangan
wibawanya.
Bagaimaan pun, pers bisa memainkan dua sisi yang berbeda. Pers bisa
menjadi faktor kunci yang memberikan pencerahan dan mencerdaskan bagi
publik. Menumbuhkan rasa optimisme, dan bahkan menguatkan budaya
bangsa. Namun pada sisi lain, pers juuga bisa melumpuhkan, menjadi alat
perusak taatnan kehidupan, bahkan disintegrsaikan bangsa. Untuk itulah,
seklai lagi, sangat dibutuhkan, satu titik temu dan kesamaan pandang
mengani sosok pers nasional.
Ancaman Kebebasan Pers.
Ancaman terberat bagi kemerdekaan pers d Indonesia saat ini justru
dari kelompok massa. Walaupun ada ancaman dari pemerintah, polisi,
maupun tentara, namun ancaman tersebut dari lembaga-lembaga
tersebut atau perorangn dalam lembaga itu bisa lebih terkontrol, karena
mereka punya pemimpin, yang bisa dimintai pertanggungjawaban, dan
lembaga-lembaga itu mempunyai aturan baku yang dapat dijadikan
rujukan.
Ancaman lain terhadap kemerdekaan pers adalah tidak kalah
pentingnya adalah dari peraturan perundangan lainnya, khususnya KUH
pidana dan KUH perdata.peristiwa yang menimpa Tempo, Koran Tempo,
Rakyat Merdeka, dan koran lainnya menjadi pelajaran yang berharga bagi
masyarakat pers dan penyiaran. Banyak orang bahkan para penegak
hukum yang ebih memilih peraturan perundangan di luar UU Nomor
17
40/1999 tentang Pers, dari pada menggunanakn uu pers itu sendiri,
dalam menyelesaikan masalah pemberitaan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Chotib, Drs. H.M. Djazuli, Drs. H. Tri Suharno, Drs. H. Suardi Abubakar, Drs. H.
Muchlis Catio, M.Ed. 2007. Kewarganegaraan 3 Menuju Masyarakat Madani.
Jakarta: Yudhistira
http://www.scribd.com/doc/2654690/MAKALAH-PERS
19