makalah pembuatan sefaloporin

42
TUGAS BIOTEKNOLOGI - P2K PEMBUATAN SEFALOSPORIN DISUSUN OLEH: Anggun Nia Mulyani (13334056) Fitri Ningsih (13334043) Titih Ayunda (13334045) Bunga Claudya (13334054) Zahirah Nisa Syahidah (13334048) Rahmah Intan Aprilia (13334049) Fauzal Fazri (13334013) PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA & ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI NASIONAL JAKARTA 2015

Upload: chairulanwar

Post on 29-Jan-2016

61 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pembuatan antibiotik sefalosporin

TRANSCRIPT

Page 1: makalah pembuatan sefaloporin

TUGAS BIOTEKNOLOGI - P2K

PEMBUATAN SEFALOSPORIN

DISUSUN OLEH:

Anggun Nia Mulyani (13334056)

Fitri Ningsih (13334043)

Titih Ayunda (13334045)

Bunga Claudya (13334054)

Zahirah Nisa Syahidah (13334048)

Rahmah Intan Aprilia (13334049)

Fauzal Fazri (13334013)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA & ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2015

Page 2: makalah pembuatan sefaloporin

KATA PENGANTAR

Penyusun mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT sehingga Penyusun dapat

menyelesaikan makalah pembuatan sefalosporin tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan hasil

dari materi yang sedang dipelajari di mata kuliah Biofarmasi.

Tak ada gading yang tak retak, demikian isi sebuah peribahasa Indonesia. Penyusun menyadari

bahwa masih terdapat kekurangan pada makalah ini, baik dalam penulisan maupun penyajiannya.

Penyusun masih membuka pintu kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk memperbaiki

makalah di masa yang akan datang.

Penyusun amat berharap kepada pembaca makalah ini agar makalah ini bermanfaat bagi

Penyusun khususnya dan Pembaca pada umumnya.

Jakarta, November 2015

Penyusun

2

Page 3: makalah pembuatan sefaloporin

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................1

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................2

BAB I......................................................................................................................................................3

PENDAHULUAN.....................................................................................................................................3

1. Sejarah Perkembangan Sefalosporin.........................................................................................3

2. Struktur Kimia dan Sifat-sifat Sefalosporin................................................................................4

3. Sifat-sifat Fisik............................................................................................................................8

4. Kegunaan Sefalosporin..............................................................................................................9

5. Mekanisme kerja.....................................................................................................................10

6. Mekanisme Resistensi.............................................................................................................11

7. Farmakologi.............................................................................................................................12

8. Efek Samping dan Toksisitas....................................................................................................13

9. Penggunaan Klinik....................................................................................................................14

10. Farmakokinetik....................................................................................................................17

BAB II...................................................................................................................................................19

PEMBAHASAN.....................................................................................................................................19

1. Mikroorganisme untuk Produksi Sefalosporin.........................................................................19

2. Bahan Baku Produksi Sefalosporin...........................................................................................21

3. Biosintesis dalam Proses Produksi Sefalosporin......................................................................22

4. Pengembangan Inokulum untuk Produksi Sefalosporin..........................................................26

5. Proses Produksi Sefalosporin...................................................................................................27

6. Perolehan Produk....................................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................31

3

Page 4: makalah pembuatan sefaloporin

BAB I

PENDAHULUAN

Sefalosporin merupakan salah satu antibiotik yang memiliki cincin β-laktam dalam strukturnya

sehingga tergolong antibiotik β-laktam bersama-sama dengan penisilin, monobaktam, dan

karbapenem. Sefalosporin tergabung dalam cephem, subgrup antibiotik β-laktam bersama dengan

sefasimin. Seperti halnya semua senyawa metabolit sekunder, antibiotik sefalosporin dihasilkan

dalam industri bioproses yang melibatkan mikroorganisme.

Sefalosporin C merupakan contoh sefalosporin yang paling awal ditemukan. Fungsinya sebagai

antibiotik yang cukup potensial menjadikannya produk antibiotik yang banyak dihasilkan setelah

penisilin. Dengan mengubah-ubah gugus sampingnya, diperoleh berbagai senyawa turunan

sefalosporin atau disebut sefalosporin semisintetik dengan sifat-sifat yang berbeda.

1. Sejarah Perkembangan Sefalosporin Penemuan antibiotik β-laktam merupakan terobosan yang luar biasa dalam pembuatan obat.

Penisilin yang ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928 terbukti efektif dalam melawan

bakteri gram positif. Berbagai penelitian lebih lanjut terhadap penisilin menjadi populer pada masa

itu. Meksipun demikian, penisilin umumnya memiliki keterbatasan dalam melawan bakteri gram

negatif. Dan seiring dengan penggunaannya, beberapa bakteri gram positif menjadi resistan

terhadap penisilin dengan menghasilkan enzim penisilinase yang menghidrolisis cincin β-laktam

pada penisilin.

Pada tahun 1945, Giuseppe Brotzu, seorang profesor Hygiene dari University of Cagliari,

Italia, berhasil mengisolasi strain Cephalosporium acremonium, sejenis mold, dari air laut dekat

saluran pembuangan limbah di Cagliari, Sardinia. Percobaan yang dilakukannya membuktikan

bahwa fungi ini menghasilkan senyawa yang efektif dalam melawan Salmonella tylhi (sejenis

bakteri gram negatif). Pada tahun 1948, Brotzu mempublikasikan penemuannya, akan tetapi

kurang menarik perhatian. Atas usul British Medical Research Council, Brotzu kemudian

mengirimkan kultur C. acremonium, yang kemudian diklasifikasi ulang sebagai Acremonium

chrysogenium pada tahun 1971 oleh Gams, kepada Howard Florey di Oxford.

Guy Newton dan Edward Abraham di Sir William Dunn School of Pathology, University of

Oxford pada tahun 1951 berhasil menemukan senyawa antibiotik yang dihasilkan oleh kultur

4

Page 5: makalah pembuatan sefaloporin

Acremonium yang kemudian diberi nama sefalosporin C. Pada tahun 1955, antibiotik sefalosporin

C menunjukkan spektrum aktivitasnya yang lebar, termasuk banyak strain Staphylococcus aureus

yang sensitif dan resistan terhadap penisilin.

Riset dan pengembangan industri produksi sefalosporin semakin marak mengingat potensi

yang besar dari sefalosporin. Proses produksi yang pertama melibatkan Glaxo, dari Inggris, dan

Ely Lilly, dari Amerika Serikat, sebagai yang pertama bernegosiasi dengan NRDC (National

Research Development Corporation).

Pada tahun 1985, gen biosintetik β-laktam pertama, pcbC (encoding cyclase) berhasil

dikloning dari A. chrysogenum. Perkembangan ini cukup berarti bagi industri sefalosporin

mengingat pembuatan enzim yang diperlukan bagi industri ini menjadi lebih mudah.

2. Struktur Kimia dan Sifat-sifat SefalosporinSenyawa sefalosporin memiliki gugus inti 7-aminocephalosporanic acid (7-ACA), yang

mengandung gugus β-laktam (sebuah cincin dengan 2 atom C, 1 gugus karbonil, dan 1 atom N)

dan cincin dihidrothiazin. Secara keseluruhan nama ilmiah sefalosporin adalah asam 3-

asetoksimetil-7-asilamino-3-cephem-4-karboksilat.

Berbagai senyawa lainnya dapat diperoleh dengan mengganti R1 dan R2 pada struktur gugus

inti sefalosporin tersebut, sehingga dapat menghasilkan sifat-sifat senyawa yang berbeda-beda.

Berikut beberapa struktur yang berkaitan dengan sefalosporin yang terjadi secara alami, bukan

hasil sintesis.

5

Page 6: makalah pembuatan sefaloporin

Sifat-sifat senyawa turunan sefalosporin tergantung gugus yang terikat pada gugus inti.

Gugus R1 akan mempengaruhi sifat farmakologinya (proses yang dilalui obat dalam tubuh),

sedangkan gugus R2 mempengaruhi karakteristik antibakterialnya.

Secara umum, sefalosporin dikelompokkan dalam 5 generasi, berdasarkan sifat antibakterial,

spektrum antibiotik, stabilitas terhadap laktamase, dan aktivitas intrinsik.

a. Generasi 1, bersifat lebih efektif dalam menghadapi infeksi staphylococcal dan streptococcal

(bakteri gram positif), stabil terhadap asam, sedikit aktif dalam melawan bakteri gram negatif.

Beberapa obat yang tergolong dalam sefalosporin generasi pertama yaitu cefadroxil,

cefazolin, cephalexin, cephaloridine, cephalothin, cephapirin, dan cephradine.

b. Generasi 2, memiliki spektrum bakteri gram negatif yang lebih luas, akan tetapi lebih lemah

dalam melawan bakteri gram positif dibanding generasi pertama. Kelompok ini juga lebih

resistan terhadap β-laktamase. Sefalosporin yang termasuk generasi kedua adalah cefaclor,

cefoxitin, cefprozil, dan cefuroxime.

c. Generasi 3, memiliki aktivitas terhadap bakteri gram negatif yang jauh lebih besar, yang

disertai dengan berkurangnya aktivitas terhadap bakteri gram negatif. Kelompok ini meliputi

cefdinir, cefixime, cefotamine, ceftriaxone, ceftazidime, dan cefoperazone.

d. Generasi 4, memiliki spektrum yang lebih seimbang, sehingga aktif dalam melawan bakteri

gram positif dan gram negatif. Generasi 4 sefalosporin merupakan antibiotik yang paling

potensial di antara obat-obat dalam mengobati beberapa infeksi serius pada manusia.

Cefepime, cefluprenam, cefozopran, cefpirome, dan cefquinome merupakan obat-obat yang

tergolong dalam generasi 4 ini.

6

Page 7: makalah pembuatan sefaloporin

e. Generasi 5, merupakan kelompok terbaru yang diidentifikasi meliputi ceftobiprole dan

ceftaroline, meskipun pengelompokannya masih belum diterima secara universal. Ceftaroline

memiliki aktivitas yang sangat baik dalam melawan bakteri gram positif.

Struktur kimia dari beberapa contoh sefalosporin generasi pertama dan kedua

7

Page 8: makalah pembuatan sefaloporin

Struktur kimia dari beberapa contoh sefalosporin generasi ketiga dan keempat

Ada juga pembagian sefalosporin menjadi 3 kelompok berdasarkan sifat farmakokinetik dan

farmakodinamik yaitu:

a. Sefalosporin untuk pemakaian parenteral yang stabilitasnya terhadap β-laktamase tidak

dipertinggi

Senyawa dari kelompok pertama ini (identik dengan kelompok I) spektrum kerjanya hampir

sama dengan ampisilin akan tetapi senyawa inijuga masih efektif terhadap stafilokokus yang

membentuk penisilinase. Sebaliknya oleh mikroba gram negatif pembentuk β-laktamase akan

diinaktivasi.

b. Sefalosporin untuk pemakaian parenteral yang stabilitasnya terhadap β-laktamase dipertinggi

Termasuk obat dari kelompok III-VII. Obat kelompok III terhadap E. coli, H. Influenzae,

Klebsiella, Neisseria dan Proteus mirabilis lebih berkhasiat daripada sefalosporin kelompok

Iakan tetapi sama seperti kelompok I senyawa ini juga diinaktivasi oleh beberapa β-

laktamase. Obat kelompok IV hampir terhadap semua basil gram negatif lebih aktif daripada

8

Page 9: makalah pembuatan sefaloporin

sefalosporin kelompok I. Yang resisten adalah Ps. Aeruginosa dan banyak galur dari

Citrobacter, Enterobacter, Proteus vulgaris, dan Serratia. Obat kelompok V bila dibandingkan

dengan senyawa kelompok IV mempunyai spektrum lebih luas. Obat kelompok VI

mempunyai spektrum kerja yang sangat luas dan aktivitas antibakteri yang lebih kuat

terhadap mikroba gram negatif dibandingkan dengan sefalosporin lain.

c. Sefalosporin oral

Spektum kerjanya sangat mirip dengan sefalosporin kelompok I selain itu juga menghambat

H. influenzae. Walaupun demikian kerja antibakterinya lebih kecil daripada kerja senyawa

yang digunakan secara parenteral. Karena itu pada infeksi yang membahayakan jiwa

sefalosporin oral tidak digunakan.

3. Sifat-sifat FisikKebanyakan sefalosporin berupa padatan yang berwarna putih, coklat, atau kuning muda,

yang biasanya tidak berbentuk (amorf), tetapi kadang-kadang bisa berbentuk kristal. Sefalosporin

umumnya tidak memiliki titik leleh yang tinggi. Sifat asamnya umumnya berasal dari gugus

karboksilatnya yang terikat pada cincin dihidrothiazin. Nilai keasamannya, pKa, tergantung

kondisi lingkungannya.

Salah satu sifat fisik yang mencolok dari sefalosporin adalah frekuensi dalam spektrum

inframerah. Absorpsi terjadi pada frekuensi tinggi (1770-1815 cm-1) yang berasal dari karbonil β-

laktamnya. Dibandingkan dengan frekuensi gugus karbonil pada senyawa lain, misal karbonil

ester (1720-1780 cm-1) dan amida (1504-1695 cm-1), bisa dibilang cukup tinggi. Beberapa sifat

fisik sefalosporin ditampilkan dalam tabel di bawah ini.

9

Page 10: makalah pembuatan sefaloporin

3. Sifat-sifat Kimia

Adanya gugus β-laktam sangat mempengaruhi sifat kimia dari sefalosporin. Bentuk

geometri cincin dengan ikatan rangkap di dalamnya, menjadikan sefalosporin sebagai molekul

yang cukup stabil karena memungkinkan terjadinya resonansi. Pembuatan senyawa turunan

sefalosporin biasanya dengan melakukan penyerangan menggunakan nukleofil seperti alkolsida

atau hidroksilamin.

Reaktivitas sefalosporin, Nu merupakan nukleofil dan X sebagai leaving group. Dari

gambar dapat diketahui bahwa terdapat 2 kemungkinan pembentukan produk dengan

serangan nukleofil

4. Kegunaan SefalosporinSeperti halnya antibiotik β-laktam lainnya, sefalosporin dapat digunakan dalam melawan

infeksi oleh bakteri dengan mengikat dan menjadi inhibitor enzim pembentuk dinding

peptidoglikan bakteri. Dibandingkan dengan penisilin yang juga merupakan antibiotik β-laktam,

sefalosporin memiliki sifat resistan terhadap enzim β-laktamase yang dihasilkan oleh bakteri

untuk memutus ikatan pada cincin β-laktam.

Sefalosporin digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi oleh bakteri, seperti infeksi

saluran pernapasan (pneumonia, bronkitis, tonsillitis), infeksi kulit, dan infeksi saluran urin.

Pemberian sefalosporin kadang-kadang bersamaan dengan antibiotik lain. Sefalosporin juga

umum digunakan dalam pembedahan atau surgery, untuk mencegah infeksi selama

pembedahan.

Berbagai jenis sefalosporin yang dihasilkan juga memberikan berbagai fungsi berbeda dari

masing-masing sefalosporin. Sefalosporin generasi pertama seperti sefalotin dan sefalexin

10

Page 11: makalah pembuatan sefaloporin

merupakan yang paling aktif dalam melawan staphylococci dan nonenterococcal streptococci,

dan merupakan antibiotik alternatif dari penisilin untuk pasien dengan endocarditis, osteomyelitis,

septic arthritis, dan cellulitis. Dikatakan sebagai antibiotik alternatif karena adanya pasien yang

kemungkinan alergi terhadap penisilin ataupun karena adanya infeksi campuran oleh bakteri

gram positif dan gram negatif. Meskipun obat-obat ini sudah terbukti dapat mengatasi infeksi

seperti bacteriemias, infeksi saluran kencing, dan pneumonia, yang disebabkan bakteri gram

negatif, penggunaan sefalosporin ini sebagai agen tunggal tidak disarankan, karena aktivitas

melawan bakteri gram negatif masih lemah dan tidak dapat diprediksi. Sefalosporin generasi

pertama telah digunakan secara luas dalam pencegahan cardiovascular, orthopedic, biliary,

pelvis, dan intra-abdominal surgery. Sefazolin, yang memiliki waktu paruh lebih lama dibanding

sefalosporin generais pertama lainnya, merupakan pilihan utama untuk pencegahan dakam

pembedahan.

Sefuroxime efektif dalam melawan Haemophilus influenzae penyebab penyakit sejenis

pneumonia yang kebal terhadap ampisilin. Sefoxitin digunakan untuk mengobati infeksi

campuran aerobik-anaerobik termasuk infeksi pelvis, intra-abdominal, dan nosocomial aspiration

pneumonia. Sefonicid, karena waktu paruhnya yang panjang juga banyak digunakan dalam

berbagai jenis infeksi seperti saluran kencinga dan jaringan kulit.

Sementara itu, sefalosporin generasi ketiga dapat digunakan untuk melawan bakteri gram

positif. Biasanya pengobatan infeksi tidak menggunakan sefalosporin generasi ketiga, melainkan

obat lainnya. Pengecualian berlaku bagi pengobatan meningitis. Sefotaxime, seftriaxone, dan

seftazidime terbukti efektif dalam mengobati meningitis, terutama bagi anak-anak di mana

Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis merupakan

penyebab utamanya. Seftriaxone sekarang merupakan agen pilihan untuk mengobati berbagai

infeksi yang disebabkan strain kebal penisilin.

5. Mekanisme kerjaMekanisme antibakterial golongan Cephalosporins sama seperti obat antibiotika golongan

β lactam lainnya. Pertumbuhan bakteri dihambat dengan mempengaruhi proses pada sinteis

dinding sel. Target utamanya adalah struktur ikatan Peptidoglycan. Peptidoglycan merupakan

rantai polisakarida yang terdiri dari N-acetylglucosamine (NAG) dan N-acetylmuramic (NAM).

Rantai polisakarida tersusun bersilangan pada sisi pentapepetida dari NAM dan membentuk

11

Page 12: makalah pembuatan sefaloporin

struktur menyerupai sarang. Struktur ini menyusup ke dalam membran sitoplasma dengan

bantuan kerja berbagai enzim, termasuk transpeptidase, carboxypeptidase, dan endopeptidase.

Cincin lactam yang ada pada penicillin dan cephalosporin suatu konformasi yang mirip dengan

terminal d-alanine-d-alanine pentapeptide. Antibiotik membentuk ikatan kovalen dengan enzim-

enzim tersebut, terutama transpeptidase sehingga terjadi penurunan aktifitas enzim. Enzim-

enzim tersebut itulah yang dikenal dengan istilah PBP (Penicillin Binding Protein).

Letak dari PBP antara kuman Gram positif dan kuman Gram negatif berbeda. Pada kuman

gram positif, PBP terletak pada permukaan luar dari sel. Sedangkan pada kuman Gram negatif,

adanya lapisan lipopolisakarida menyebabkan cephalosporins harus melakukan penetrasi

ataupun berdifusi untuk dapat mencapai PBP. PBP yang menjadi sasaran bervariasi menurut

type dan jumlahnya. Cocci gram positif dan gram negatif biasanya memiliki 3 – 5 PBP

sedangkan bacilli gram negatif umumnya memiliki 7 – 10 PBP. Obat Cephalosporins memiliki

afinitas berbeda terhadap berbagai PBP tersebut. Dalam konsentrasi rendah, cephalosporins

cenderung terikat pada PBP 3 pada kuman bacilli gram negatif. Apa yang sesungguhnya terjadi

setelah pembentukan ikatan kovalen antar cephalosporins dan PBP sehingga menyebabkan

terjadinya lisis dan kematian sel belum sepenuhnya dipahami. Secara keseluruhan,

Cephalosporins dianggap sebagai obat bakterisidal.

6. Mekanisme ResistensiAda empat mekanisme utama terjadinya resistensi terhadap antibiotik golongan Cephhalosporin

yaitu:

- Destruksi antibiotik oleh enzim β lactamase

- Pengurangan penetrasi antibiotik melalui lapisan lipopolisakarida

- Peningkatan efflux obat dari ruang periplasmic

- Perubahan pada PBP sehingga terjadi penurunan afinitas.

Biasanya mekanisme resistensi hanya terjadi melalui salah satu dari mekanisme tesebut, namun

persentase mikroorganisme yang memiliki mekanisme resistensi multipel semakin meningkat.

Produksi enzim β lactamase yang dapat menghidrolisa β lactam merupakan mekanisme

resistensi yang paling dominan bagi kebanyakan kuman gram negatif.

12

Page 13: makalah pembuatan sefaloporin

7. FarmakologiCephalosporins adalah senyawa polar yang larut dalam air. Untuk generasi I, II, dan III

tersedia dalam bentuk sediaan oral dan parenteral. Sedangkan untuk generasi IV dan MRSA

active cephalosporin hanya tersedia untuk penggunaan parenteral. Untuk lebih mudahnya dapat

dilihat pada tabel-tabel berikut.

*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed

13

Page 14: makalah pembuatan sefaloporin

Semua formulasi parenteral tersedia untuk pemberian secara intramuscular maupun secara intra

vena. Semua formulasi parenteral kecuali cephradine, stabil pada larutan yang disimpan dalam

suhu ruangan selama 24 jam atau lebih. Sedangkan sediaan oral tersedia dalam bentuk tablet,

kapsul maupun suspensi. Sebagian besar Cephalosporin dieliminasi melalui ginjal, dengan

waktu paruh 1 hingga 2 jam. Mekanisme utama untuk ekskresi melalui ginjal iti terutama melalui

sekresi tubulus. Pemberian Probenecid dapat memperpanjang waktu paruh beberapa obat

Cephalosporins

.

8. Efek Samping dan ToksisitasSama halnya dengan obat-obat antibiotik golongan β lactam lainnya, efek samping

Cephalosporins yang paling sering dijumpai adalah reaksi hipersensitifitas. Namun angka

kejadian reaksi hipersensitifitas akibat Cephalosporins tidaklah sebesar pada Penicillin. Reaksi

hipersensitifitas yang berat dapat menyebabkan anaphylaxis, serum sickness ataupun

angioedema. Reaksi silang antara obat-obat cephalosporin sedang dalam tahap penelitian.

Penggunaan skin test untuk memprediksi kemungkinan terjadinya reaksi hipersensitifitas tidaklah

cukup meyakinkan. Pada saluran cerna dapat muncul berbagai keluhan, diantaranya diare. Efek

pada susunan saraf sangat jarang dan sama seperti pada beta lactam lainnya.

*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed

14

Page 15: makalah pembuatan sefaloporin

9. Penggunaan KlinikSebagian besar dari sefalosporin perlu diberikan parenteral dan terutama digunakan di rumah

sakit.

a. Generasi I :

Digunakan per oral pada infeksi saluran kemih ringan dan sebagai obat pilihan kedua pada

infeksi saluran napas dan kulit yang tidak begitu parah dan bila terdapat alergi untuk

penisilin. Jangkauan terapi generasi ini meliputi bakteri yang memproduksi penisilin,

streptokokus dan stafilokokus.Generasi ini memiliki kemampuan melawan kuman

Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae dan Proteus mirabilis, namun tidak dapat bekerja

melawan Bacteroides fragilis, enterococci, methicillin-resistant staphylococci,

Pseudomonas, Acinetobacter, Enterobacter, indole-positif Proteus, atau Serratia. Generasi

ini umumnya digunakan untuk terapi infeksi kulit, jaringan lunak, dan saluran kemih. Mampu

untuk terapi infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae

pencillin-sensitif namun tidak untuk Hemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis Contoh

: cefadroxil, cefalexin

b. Generasi II atau III :

Digunakan parenteral pada infeksi serius yang resisten terhadap amoksisilin dan

sefalosporin generasi I, juga terkombinasi dengan aminoglikosida (gentamisin, tobramisin)

untuk memperluas dan memperkuat aktivitasnya. Begitu pula profilaksis pada antara lain

bedah jantung, usus dan ginekologi. Sefoksitin dan sefuroksim (generasi ke II) digunakan

pada gonore (kencing nanah) akibat gonokok yang membentuk laktamase. Terbagi atas 2

grup yaitu 'true' generasi kedua sefalosporin (cefuroxime) dan sefamisin (cefocetan). "True"

sefalosporin lebih baik dibandingkan generasi pertama untuk terapi kuman Hemophilus

influenzae, Moraxella catarrhalis, Neisseria meningitidis, dan beberapa Enterobacteriaceae.

Generasi kedua dapat digunakan untuk terapi infeksi saluran pernapasan yang disebabkan

oleh kuman Hemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumoniae; dan

infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh kuman Escherichia coli.

Sefamisin dapat digunakan untuk terapi infeksi aerob/anaerob kulit, jaringan lunak,

intrabdomen, dan infeksi kebidanan Contoh : cefuroxim, cefaclor.

15

Page 16: makalah pembuatan sefaloporin

c. Generasi III :

Seftriaxon dan sefotaksim kini sering dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk gonore,

terutama bila telah timbul resistensi terhadap senyawa fluorkuinon (siprofloksasin).

Sefoksitin digunakan pada infeksi bacteroides fragilis. Beberapa jenis antibiotik generasi ini

memiliki kemampuan kurang untuk penanganan kuman gram positif. Generasi ini mampu

mengatasi infeksi nosokomial (diperoleh di RS), mampu menembus sistim saraf pusat

sehingga dapat menangani meningitis (infeksi selaput otak) akibat kuman pneumokokus,

meningokokus, H.Influenza, E.coli,Klebsiella, dan penicillin-resistant N. gonorrhoeae. Dapat

digunakan untuk menangani infeksi yang disebabkan oleh kuman gram negatif terutama

infeksi nosokomial, infeksi saluran pernapasan, infeksi darah, intraabdomen, kulit, jaringan

lunak, saluran kemih. Dapat digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Contoh: ceftriakson, cefoperazone, ceftazidim, cefotaxim, ceftizoxim

d. Generasi IV:

Generasi keempat ini memiliki spektrum luas dengan kemampuan melawan bakteri gram

positif sama seperti generasi pertama, mampu melawan kuman gram negatif, dapat

melewati barier otak, dan efektif dalam menangani meningitis.

Contoh : cefepime, cefpirome

e. Sefalosporin generasi V:

Antibiotik golongan β-blactam yang mempunyai kemampuan untuk melawan MRSA saat ini

sedang dalam pengembangan. Ceftaroline dan Ceftobiprole, keduanya memiliki

peningkatan kemampuan untuk terikat dengan PBP 2a yang biasanya berperan dalam

mekanisme resistensi methicillin pada staphylococci.

16

Page 17: makalah pembuatan sefaloporin

*Dari: Mandell, Douglas and Bennet, Principles and Practice of Infectious Diseases 7th Ed

4.

17

Page 18: makalah pembuatan sefaloporin

10. Farmakokinetik Dari sifat farmakokinetiknya, sefalosporin dibedakan dalam dua golongan. Sefaleksin,

sefradin, sefaklor dan sefadroksil yang dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui

saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan secara parenteral. Sefalotin dan

sefa pirin umumnya diberian secara i.v karena menyebabkan iritasi lokal dan nyeri pada

pemberian i.m.

Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, moksalaktam, sefotaksim dan

seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS) sehingga dapat

bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu, sefalosporinjuga melewati sawar

darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian

sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata relatif tinggi tetapi tidak mencapai

vitreus. Kadar sefalosporin dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.

Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses

sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Karena itu

dosisnya harus dikurangi pada penderita insufisiensi ginjal. Probenesid mengurangi ekskresi

sefalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya. Sefalotin, sefapirin dan sefotaksim

mengalami deasetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya lebih rendah juga diekskresi

melalui ginjal.

Suatu langkah metabolisme yang penting adalah deasetilasi. Turunan deasetilnya

mempunyai aktivitas setengah sampai sepersepuluh aktivitas senyawa asalnya. Sefalosporin

yang tidak mempunyai gugus asetil, sebagian besar akan diekskresi dalam bentuk tidak

berubah. Ekskresi terjadi melalui ginjal dan sebagian melalui empedu. Pada insufisiensi ginjal

ekskresi sefalosporin umumnya diperlambat, karena itu pengaturan dosis harus disesuaikan

dengan tingkat insufisiensi ginjalnya.

18

Page 19: makalah pembuatan sefaloporin

Tabel 1. Data Farmakokinetik Penisilin dan Sefalosporin

19

Page 20: makalah pembuatan sefaloporin

BAB II

PEMBAHASAN

1. Mikroorganisme untuk Produksi SefalosporinSefalosporin C dapat dihasilkan dari mikroorganisme Acremonium chrysogenum sebagai

produk metabolit sekunder. Mikroorganisme lain seperti Cephalosporium polualeurum,

Emerricellopsis glabra, Emericellopsis microspora, juga dapat menghasilkan sefalosporin C, tetapi

dengan jumlah yang sedikit sehingga tidak menguntungkan bagi industri yang menggunakan

mikroorganisme tersebut. Ketika tidak ada stres nutrien dalam kultur, organisme ini tumbuh biasa

dengan miselia yang bercabang-cabang, dan hanya sedikit bahkan tidak ada sefalosporin C yang

dihasilkan. Ketika kandungan glukosa terbatas, barulah akan dibentuk arthrospora yang

menghasilkan sefalosporin C.

Taksonomi

1. Kingdom : Fungi

2. Subkingdom : Dikarya

3. Phylum : Ascomycota

4. Subphylum : Pezizomycotina

5. Class : Sordariomycetes

6. Subclass : Hypocreomycetidae

7. Order : Hypocreales

8. Family : Hypocreaceae

9. Genus : Acremonium

10. Spesies : Acremonium chrysogenum

Pengembangan

dalam memperoleh

yield sefalosporin telah dicapai

dengan meningkatkan

produktivitas A. chrysogenum melalui teknik mutasi dan seleksi strain. Perkembangan signifikan

20

Page 21: makalah pembuatan sefaloporin

pertama dicapai ketika mutan 8650 berhasil diisolasi pada tahun 1959. Strain ini memungkinkan

100 gram sefalosporin C didapatkan untuk determinasi struktur dan merupakan induk dari semua

strain dalam industri produksi sefalosporin C.

Mutagenesis merupakan cara tradisional dalam mengembangkan strain. Konidia diambil

dari kultur miselial untuk meningkatkan kemungkinan mengisolasi mutan dari nukleus tunggal.

Mutagen kimia, seperti N-metil-N-nitro-N-nitrosoguanidin dan etil-metan-sulfonat, atau sinar UV

digunakan untuk menginduksi mutasi kromosom. Pertumbuhan mutan pada agen yang selektif

dapat digunakan untuk meningkatkan kemungkinan mengisolasi kloning yang sudah diimprovisasi.

Bagan Produksi Mutan untuk Pengembangan Strain A. chrysogenum yang Pertama

Cara lain untuk mengembangkan strain yaitu dengan fusi protoplast. Fusi protoplas

merupakan penggabungan karakter-karakter yang menguntungkan dari kultur-kultur berbeda

(misal, tumbuh cepat, ketahanan terhadap stres tinggi). Miselia diberikan perlakuan dengan

dithiothreitol (DTT), diikuti dengan Novozym™ 234 (sejenis multienzim dari fungi Trichoderma

harzianum yang tersedia di Novo Biolabs) dan zat penstabilisasi osmotik, biasanya 0,7 M NaCl.

Polietilen glikol kemudian digunakan untuk menginduksi fusi membran antar protoplast; fusant

(strain yang akan difusikan) diidentifikasi dengan regenerasi dalam media selektif.

Pengembangan strain juga dapat dilakukan melalui genetic engineering. Target dari genetic

engineering dalam pengembangan strain adalah enzim yang teridentifikasi sebagai pembatas laju

(rate-limitting) biosintesis maupun prekursornya. Strain A. chrysogenum untuk industri berhasil

21

Page 22: makalah pembuatan sefaloporin

ditransformasi dengan rekombinan plasmid yang mengandung gen resistansi terhadap higromisin

dan gen cefEF penghasil enzim bifungsional ekspandase-hidroksilase.

2. Bahan Baku Produksi SefalosporinMedium untuk fermentasi harus mengandung karbon dan nitrogen untuk pertumbuhan,

tetapi juga harus merangsang diferensiasi kultur yang diperlukan untuk produksi antibiotik. Sumber

karbon harus disuplai secara terpisah dalam bentuk karbohidrat sederhana dan kompleks, untuk

kontrol pertumbuhan dan kadar glukosa yang lebih mudah. Monosakarida, terutama glukosa,

sangat menunjang pertumbuhan kultur, tetapi menurunkan sintesis antibiotik. Gula sederhana ini

bisa ditambahkan secara batch pada medium ataupun fed dengan laju tinggi pada awal

fermentasi. Penggunaan galaktosa dan sukrosa menunjang pertumbuhan yang lebih lambat

dibanding glukosa, tetapi produktivitas spesifik yang lebih tinggi.

Selama fermentasi berlangsung, feed gula dikurangi, dan karbon dengan jumlah besar

disuplai dalam bentuk kacang kedelai ataupun minyak kacang. Ini untuk membatasi kadar glukosa

dan mendukung pembentukan arthrospora untuk produksi sefalosporin C. Minyak ini juga dapat

bertindak sebagai surfaktan untuk mengurangi foaming.

Sumber nitrogen dapat dibedakan atas nitrogen organik dan nitrogen anorganik. Nitrogen

organik dapat disuplai dari berbagai kombinasi hasil samping pertanian, seperti kacang kedelai

dan ampas biji kapas. Nitrogen anorganik bersifat sebagai suplemen saja, dan bisa bersumber

dari amonium sulfat, gas amonia, maupun amonium hidroksida. Penambahan nitrogen anorganik

juga berfungsi sebagai pengatur pH. Corn steep liquor (hasil samping dari pengolahan jagung)

umumnya digunakan sebagai medium karena murah dan kaya asam amino, vitamin, dan zat sisa

lainnya.

DL-Metionin digunakan untuk merangsang pembentukan arthrospora pada masa

kekurangan glukosa, sehingga dapat dihasilkan sefalosporin C. Metionin diketahui sebagai

inhibitor kompetitif bagi enzim invertase yang digunakan untuk metabolisme sukrosa.

Pada umumnya, medium untuk fermentasi skala besar sefalosporin C mengandung kacang

kedelai atau kacang-kacangan lain, corn steep liquor, molase daging, minyak lemak hewan atau

metil oleat, glukosa, dan metionin. Dalam medium sefalosporin, lipid merupakan sumber karbon

22

Page 23: makalah pembuatan sefaloporin

dan energi yang lebih utama dibandingkan glukosa. Sulfur untuk sefalosporin C diperoleh dari

metionin dibanding sulfat.

3. Biosintesis dalam Proses Produksi SefalosporinLintasan biosintesis sefalosporin telah dikenal dengan baik. Biosintesis sefalosporin C,

dimulai dari kondensasi tiga asam amino, asam L-α-aminodipic, L-sistein, dan L-valin, untuk

membentuk tripeptida δ-(L-α-amoniadipyl)-L-sisteinil-D-valin (LLD-ACV) dengan menggunakan

enzim ACV sintetase. Tripeptida LLD-ACV kemudian dibuat siklik untuk membentuk inti penam

(penam nucleus), isopenisilin N, dengan enzim isopenisilin N sintetase atau siklase.

Isopenisilin N kemudian diubah menjadi penisilin N dengan mengubah gugus samping L-α-

aminoadipyl menjadi D-α-aminoadipyl menggunakan enzim isopenisilin N epimerase (IPNE).

Penisilin N kemudian diubah menjadi deasetoksisefalosporin C yang memiliki cincin dihidrothiazin

dengan menggunakan enzim deasetoksisefalosporin C sintetase. Enzim deasetilsefalosporin

sintetase kemudian mengkatalisasi reaksi hidroksilasi deasetoksisefalosporin C pada gugus metil

C-3 untuk menghasilkan deasetilsefalosporin C. Dalam A. chrysogenum, baik ekspansi cincin

maupun aktivitas hidroksilasi bertempat pada protein yang sama, yang dikodekan oleh satu gen.

Berbeda dengan fungi, S. clavuligerus dan N. lactamdurans menghasilkan dua enzim berbeda,

ekspandase dan hidroksilase, untuk mengkatalisasi kedua reaksi, yang dihasilkan oleh dua gen

terpisah.

Pada A. chrysogenum, langkah terakhir dalam biosintesis sefalosporin C, dikatalisasi oleh

enzim sefalosporin C sintetase (asetiltransferase), yang melibatkan transfer satu gugus asetil dari

koenzim asetil A ke gugus hidroksimetil atom C-3 pada deasetilsefalosporin C.

Kebanyakan gen yang berperan dalam biosintesis sefalosporin pada A. chrysogenum telah

teridentifikasi dan dikarakterisasi secara biokimia. Kode gen untuk enzim yang terlibat dalam

biosintesis senyawa intermediat LLD-ACV dan isopenisilin N yang umum disebut pcb

(penisilin/cephalosporin biosintesis). Kode gen untuk enzim lainnya yang terlibat dalam biosintesis

sefalosporin disebut cef. Pembentukan tripeptida oleh enzim ACV sintetase dikodekan oleh gen

pcbAB. Pembentukan siklik tripeptida dengan bantuan enzim isopenisilin N sintetase yang

dikodekan oleh gen pcbC. Gen cefD1 dan cefD2 berperan dalam membentuk protein untuk

konversi isopenisilin N menjadi penisilin N. Sedangkan gen cefE dan cefF masing-masing

23

Page 24: makalah pembuatan sefaloporin

menghasilkan protein yang berperan dalam membentuk deasetoksisefalosporin C dan

deasetisefalosporin C; yang bisa juga dengan gen cefEF. Langkah terakhir dalam biosintesis

untuk menghasilkan sefalosporin C diatur oleh gen cefG.

24

Page 25: makalah pembuatan sefaloporin

Lintasan Biosintetik Sefalosporin C

25

Page 26: makalah pembuatan sefaloporin

Jalur biosintesis sefalosporin dan penisilin memiliki banyak kesamaan, mulai dari kondensasi

tiga asam amino, hingga terbentuknya isopenisilin N. Tahap yang membedakan kedua proses

tersebut dimulai dari proses konversi isopenisilin N, di mana dalam biosintesis sefalosporin C,

terjadi pengubahan isopenisilin N menjadi penisilin N, sedangkan pada biosintesis penisilin G

(contohnya) tidak mengalaminya. Tentu saja pembeda utama dari kedua proses tersebut adalah

mikroorganisme yang digunakan; Acremonium chrysogenum untuk sefalosporin dan Penicillium

chrysogenum (Penicillium sp.) untuk penisilin.

Perbedaan Jalur Biosintesis Penisilin dan Sefalosporin

Penggunaan mikroorganisme lain selain A. chrysogenum dapat menghasilkan senyawa

metabolit yang lain. Salah satu proses yang terkenal yaitu produksi sefamisin C dengan

menggunakan Streptomuces clavuligerus dan Nocardia lactamdurans. Jalur biosintesis sefamisin

C berbeda dari sefalosporin C pada tahap sesudah terbentuk deasetilsefalosporin C. Untuk jalur

biosintetik sefamisin C masih terjadi konversi lebih dari 1 tahap, yaitu menjadi O-

Carbamoyldeacetylcephalosporin C kemudian baru diubah dengan enzim sefamisin hidrolase atau

sefamisin metiltransferase menjadi sefamisin C.

26

Page 27: makalah pembuatan sefaloporin

Perbedaan Jalur Biosintesis Sefalosporin C dan Sefamisin C

4. Pengembangan Inokulum untuk Produksi SefalosporinGerminasi dilakukan dan inokulum dipersiapkan sebelum proses fermentasi. Menurut

Kanzaki, et al (1976), proses produksi sefalosporin C (CPC) untuk fermenter berkapasitas 2000

volume bagian diisi dengan 500 volum bagian medium inokulum yang terdiri dari 3% sukrosa,

1,5% ekstrak daging, 0,5% corn steep liquor, dan 0,15% CaCo3, yang sesudah disterilisasi,

diinokulasikan dengan Cephalosporium acremonium (sekarang Acremonium chrysogenum).

Fermenter yang telah diinokulasi diinkubasikan pada 28oC selama 3 hari. Sementara tangki

stainless-steel dengan kapasitas 50000 volume bagian diisi dengan 30000 volume bagian medium

dengan 6% sukrosa, 5% glukosa, 3% minyak kacang, 3% tepung kedelai, 1% DL-methionin dan

0,15% CaCO3. Medium disterilisasi dan didinginkan. Medium fermentasi secara aseptik

diinokulasikan dengan kultur inokulum yang dipersiapkan di atas dan diinkubasikan pada 28oC

dengan sparging dan agitation (aerasi 30000 volume bagian tiap menit dan agitasi pada 250 rpm).

Sesudah waktu kultivasi 190 jam, hasil fermentasi diambil dan disaring untuk menghilangkan

padatannya.

27

Page 28: makalah pembuatan sefaloporin

5. Proses Produksi SefalosporinSefalosporin C dihasilkan secara industri dengan fermentasi menggunakan A. chrysogenum.

pH diatur antara 6 hingga 7 dalam rentang temperatur 24 sampai 28 oC. Fermentasi dilakukan

dalam tangki bioreaktor yang diaerasi dan berpengaduk dengan kultur submerged.

Fermentasi skala produksi dilakukan secara fed-batch dengan suplai karbon dimasukkan baik

sebagai karbohidrat sederhana maupun kompleks pada awal proses, yaitu ketika fasa

pertumbuhan dalam fermentasi. Selama fermentasi berlangsung, suplai gula dikurangi dan

digantikan dengan sumber karbon dan energi lain seperti lipid. Pengubahan energi dari lipid,

contohnya minyak kacang tergolong rendah efisiensi sehingga pertumbuhan menjadi lambat, dan

miselium vegetatif banyak yang berubah menjadi arthtospora multiselular. Tahap arthrospora akan

mengakibatkan ketersediaan oksigen yang tinggi bagi mikroorganisme dan berakhir pada produksi

sefalosporin yang cepat.

Penambahan DL-Metionin dilakukan ketika awal fasa pertumbuhan dalam fermentasi, untuk

membantu meningkatkan perubahan miselium menjadi arthrospora. Pembentukan arthrospora

juga berkorelasi dengan oksigen terlarut. Semakin besar jumlah oksigen terlarut, maka

pembentukannya semakin cepat. Akan tetapi jumlah maksimalnya tetap terbatas karena

pengaruhnya terhadap kerja enzim tertentu.

Salah satu yang menjadi permasalahan dalam fermentasi sefalosporin adalah ketidakstabilan

molekul sefalosporin C selama proses. Ini menjadi penyebab utama perolehan produk

sefalosporin dalam siklus industri panjang yang semakin berkurang dibanding produksi penisilin

dalam siklus panjang.

Sefalosporin dapat terdegradasi menjadi senyawa X (asam 2-(D-4-amino-4-karboksibutil)-

thiazole-4-karboksilat), yang bisa berakibat pada kehilangan hingga 40% produk sefalosporin yang

dihasilkan. Pada pH lebih kecil dari 2, sefalosporin C dapat terdegrasi menjadi sefalosporin C

laktone.

28

Page 29: makalah pembuatan sefaloporin

Pembentukan Senyawa X dan Sefalosporin C Laktone Akibat Perubahan pH

6. Perolehan ProdukSetelah fermentasi selesai, miselia dan komponen medium yang tidak larut biasanya

dibuang secara filtrasi atau sentrifugasi. Dalam hasil fermentasi, selain sefalosporin C juga

terdapat sejumlah kecil penisilin N, deasetoksisefalosporin C, dan deasetilsefalosporin C.

Pengambilan sefalosporin C dapat dilakukan dengan cara ekstraksi.

Pada kondisi netral dan sedikit asam, dapat terjadi konversi sefalosporin C menjadi

senyawa X. Pada pH lebih kecil dari 2, akan terbentuk sefalosporin C laktone. Untuk meminimalisir

terjadinya degradasi ini, pengambilan sefalosporin C harus dilakukan secepat mungkin, dan

menghindari kondisi pH ekstrim dan suhu tinggi.

Proses pemisahan produk sefalosporin C lebih kompleks dibanding penisilin karena sifatnya

yang amfoter menjadi hambatan dalam ekstraksi dengan pelarut organik. Antibiotik ini dapat

dipisahkan dengan kombinasi penukar ion dan presipitasi. Penggunaan resin makrosporous

seperti XAD-2 dan XAD-4 akan menghasilkan isolasi yang lebih murni dan menghilangkan

pengotor lebih banyak.

Proses pemurnian dan recovery produk sefalosporin C dimulai dengan pendinginan

temperatur menjadi 3-5oC diikuti dengan penghilangan padatan miselial secara filtrasi ataupun

29

Page 30: makalah pembuatan sefaloporin

sentrifugasi. Hasil proses tersebut adalah sefalosporin C dengan beberapa macam prekursor

dalam jumlah kecil, seperti penisilin N, DAOC, deasetilsefalosporin C, dan hingga senyawa X.

Ada dua strategi utama untuk memurnikan sefalosporin C. Pertama, menggunakan karbon

aktif atau resin non-ionik. Karena selektivitas yang tinggi dari resin, sefalosporin C lebih disukai

untuk teradsorpsi dibanding senyawa lainnya. Kebanyakan penisilin N hilang pada langkah

asidifikasi hingga pH 2,0. Kemudian dilanjutkan dengan tambahan penukar anion dan kation untuk

mendapatkan sefalosporin dengan kualitas tinggi. Sejumlah besr fraksi sefalosporin C kemudian

diubah menjadi 7-ACA untuk kemudian diubah lagi menjadi sefalosporin semisintetik atau turunan.

Strategi pemurnian kedua yaitu dengan substitusi gugus amin pada C-7 rantai samping

alpha-aminoadipyl. Dua senyawa turunan hasil subtitusi, N-2,4-diklorobenzoil sefalosporin C dan

tetrabromokarboksibenzoyl sefalosporin C, dapat dikristalkan dari larutan asam. Garam kemudian

terbentuk antara turunan N-subtitusi dan basa organik seperti disikloheksilamin atau

dimetilbenzilamin, menghasilkan garam sefalosporin yang dapat diekstraksi. Sefalosporin yang

sudah terekstrak kemudian diubah menjadi 7-ACA untuk proses lainnya.

Proses pengubahan sefalosporin C menjadi 7-ACA menggunakan enzim efisien agar biaya

dapat dikurangi. Tahap inisiasi adalah reaksi gugus alpha-aminoadipyl dengan asam D-amino

oksidase untuk menghasilkan glutaryl-7-ACA. Reaksi ini berlangsung dengan melalui intermediat

keto-7-ACA yang mengalami dekarboksilasi oksidatif dengan kehadiran hidrogen peroksida.

Glutaryl asilase kemudian digunakan untuk menghilangkan gugus samping glutaryl untuk

menghasilkan 7-ACA.

30

Page 31: makalah pembuatan sefaloporin

Struktur glutaryl-7-ACA dan glutarat

Sekitar sepertiga dari sefalosporin komersial adalah turunan dari 7-ADCA. Karena

biaya yang lebih rendah, 7-ADCA umumnya diperoleh dari penisilin G dengan cara ekspansi cincin

sebuah ester sulfoksida penisilin untuk menghasilkan ester sefalosporin. Gugus ester kemudian

dihilangkan diikuti penghilangan gugus fenilasetil untuk menghasilkan 7-ADCA. Sementara dua

pertiga dari sefalosporin komersial merupakan turunan 7-ACA yang dihasilkan dari sefalosporin C

baik secara kimiawi maupun enzimatik.

31

Page 32: makalah pembuatan sefaloporin

DAFTAR PUSTAKA

Andes, D. and Craig, W.A. (2006). Pharmacodynamics of a New Cephalosporin, PPI-0903 (TAK-

559), Active Against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus in Murine Thigh and

Lung Infection Models: Identification of an In Vivo Pharmacokinetic-Pharmacodynamic

Target. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. Vol 40 No: 4, April 2006, 1376-1383.

Demain, A.L., et al (1962). Effect of Methionine, Norleucine, and Lysine Derivatives on

Cephalosporin C Formation in Chemically Defined Media. 27 Agustus 1962, 339-344.

Duan, Haixia (2009). Study on the Treatment Process of Wastewater from Cephalosporin

Production. Journal of Sustainable Development. Vol 2 No: 2, Juli 2009. 133-136

Elander, R.P. (2003). Industrial Production of Β-lactam Antobiotics. Journal of Application

Microbiology Biotechnology, 61, 3 April 2003, 385-392.

Flickinger, M.C. and Stephen W. Drew (1999). Encyclopedia of Bioprocess Technology:

Fermentation, Biocatalysis, and Bioseparation. John Wiley & Sons, Inc. New York, United

States of America, 560-569.

Kanzaki, et al (1976). Production of Cephalosporin C. US Patent. 6 April 1976.

Kim, Youngsoo and Hol, Wim G.J. (2001). Structure of Cephalosporin Acylase in Complex with

Glutaryl-7-aminocephalosporanic acid and Glutarate: Insight into the Basis of Its Substrate

Specificity. Chemistry & Biology. Vol 8 No: 12, November 2001, 1253-1264.

Nigam, Vinod Kumar, et al (2007). Influence of Medium Constituents on the Biosynthesis of

Cephalosporin-C. Journal of Biotechnology. Vol 10 No: 2, 15 Aptil 2007.

Othmer, Kirk. Encyclopedia of Chemical Technology. John Wiley & Sons, Inc. United States of

America. 1-40

Pichichero, Michael E. (2006). Cephalosporins Can Be Prescribed Safely For Penicllin-Allergic

Patients. Applied Evidence.Vol 55 No: 2, 23 Januari 2006, 106-112.

Saravanne, R. and Lavanya, M . (2006). Anaerobic Stabilization and Recalcitrant Antibiotic

Transformation Under Acclimed Inoculum-Substrate Matrix. Water Environment. 1739-

1746.

Srivastava, Pradeep, et al (2006). Process Strategies for Cephalosporin C Fermentation. Journal of

Scientific & Industrial Research. Vol 65, July 2006, 599-602.

32