makalah pedodonsia hiv

32
PEDODONSIA 4 BLOK 9 MANIFESTASI ORAL PASIEN HIV Disusun oleh: 1. Reisha Mersita (04111004057) 2. Febrisally Purba (04111004058) 3. Fadlun (04111004059) 4. Karimah (04111004060) 5. Amalia Virgita (04111004061) 6. Atika Samy Kencana (04111004062) 7. Khairunnisa (04111004063) 8. Eka Wahyuni (04111004065) 9. Putri A. Mawadara(04111004066) 10. Essya Nova Relensia R (04111004067) 11. Atieka Ully Sandra (04111004068) 12. Maria Sandika Putri (04111004069) PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI

Upload: khairunnisa-rasyidin

Post on 02-Jan-2016

74 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Pedodonsia HIV

PEDODONSIA 4 BLOK 9

MANIFESTASI ORAL PASIEN HIV

Disusun oleh:

1. Reisha Mersita (04111004057)

2. Febrisally Purba (04111004058)

3. Fadlun (04111004059)

4. Karimah (04111004060)

5. Amalia Virgita (04111004061)

6. Atika Samy Kencana (04111004062)

7. Khairunnisa (04111004063)

8. Eka Wahyuni (04111004065)

9. Putri A. Mawadara (04111004066)

10. Essya Nova Relensia R (04111004067)

11. Atieka Ully Sandra (04111004068)

12. Maria Sandika Putri (04111004069)

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Page 2: Makalah Pedodonsia HIV

MANIFESTASI ORAL PASIEN HIV

1. Sejarah Istilah HIV

Istilah HIV (Human Immunodeficiency Virus) telah digunakan sejak 1986

sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab

AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV

(lymphadenopathy-associated virus) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat,

yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III).

Terdapat dua spesies HIV yang menginfeksi manusia, yaitu HIV-1 dan

HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih "virulent" dan lebih mudah menular, dan

merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia, sedangkan

HIV-2 kebanyakan masih dominan di Afrika Barat.

Kedua spesies berawal di Afrika Barat dan Tengah, melompat dari primata

ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis. HIV-1 telah

berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus (SIV) yang ditemukan

dalam subspesies chimpanzee, Pan troglodyte troglodyte.

2. HIV (Human Immunodeficiency Virus)

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah jenis retrovirus yang

biasanya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, yaitu sel T CD4+ (sejenis

sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV secara langsung dan tidak langsung

merusak sel T CD4+, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan

tubuh berfungsi dengan baik. Jika HIV membunuh sel T CD4+ sampai terdapat

kurang dari 200 sel T CD4+ per mikroliter (μL) darah, kekebalan selular hilang,

dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency

Syndrome).

Page 3: Makalah Pedodonsia HIV

Tabel 1. Taksonomi HIV

Kingdom VirusFamilia RetroviridaeSubfamilia OrthoretrovirinaeGenus LentivirusSpesies

Human immunodeficience virus 1Human immunodeficiency virus 2

2.1 Struktur Tubuh HIV

Menurut Volker (1993), secara umum struktur HIV dibedakan menjadi

dua bagian, yaitu bagian selubung (envelope) dan bagian inti (core).

Pada bagian envelope, tersusun atas lapisan lipid bilayer yang serupa

dengan plasma membran pada sel manusia. Lapisan membran ini terdiri dari tiga

protein yang melengkapi bagian envelope yaitu: 1) trans-membrane protein;

2) the knob, seperti pada protein permukaan dan bagian luar; 3) matrik protein

pada bagian dalam.

Bagian kedua dari struktur HIV adalah bagian core (inti). Pada bagian inti

ini terdapat dua molekul RNA, dimana setiap RNA dilapisi oleh nucleocapsid

protein. Ada tiga enzim yang berasosiasi dengan RNA-NC complex, yaitu

enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease.

Gambar 1. Ilustrasi skematik struktur HIV (Sumber: Phatologic Basic of Disease)

Page 4: Makalah Pedodonsia HIV

2.2 Transmisi Virus HIV

HIV masuk tubuh ke manusia melalui darah, semen dan sekret vagina

serta transmisi dari ibu ke anak.

Terdapat tiga cara penularan HIV. Pertama, adalah melalui hubungan

seksual baik secara vaginal, oral maupun anal dengan pengidap HIV. Ini adalah

cara yang paling umum terjadi yaitu meliputi 80 – 90% total kasus sedunia.

Kedua, melalui kontak langsung dengan darah, produk darah atau jarum

suntik. Hal ini termasuklah transfusi darah yang tercemar, pemakaian jarum suntik

yang tidak steril dan penyalahgunaann narkoba dengan jarum suntik yang dipakai

bersama-sama dengan penderita HIV. Kecelakaan tertusuk jarum pada petugas

kesehatan juga salah satu cara penularan melalui kontak langsung dengan darah.

Ketiga, melalui transmisi secara vertikal dari ibu pengidap HIV kepada

bayinya, baik itu selama kehamilan, proses kelahiran maupun melalui pemberian

ASI. (Sudoyo AW et al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam).

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi HIV

Patogenesis

Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4, yang

memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan

dengan koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi

penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41.

Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom

RNA oleh enzim reverse transcriptase yang dibawa oleh virus. Ini merupakan

proses yang sangat berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya, DNA ini

ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom sel

pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi sel

pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di translasi

menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease

virus menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein

Page 5: Makalah Pedodonsia HIV

struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel

virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel

pejamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang

belum terinfeksi dan mengulang proses tersebut.

Gambar 2. Patofisiologi HIV

(Sumber: Castillo, 2005)

Page 6: Makalah Pedodonsia HIV

Patofisiologi

Karena peran penting sel T dalam “menyalakan” semua kekuatan limfosit

dan makrofag, sel T helper dapat dianggap sebagai “tombol utama” sistem imun.

Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T helper, menghancurkan atau

melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus

ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan

kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia (gangguan

kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS.

Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,

sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS

pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan

sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala

AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri

menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah

infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa

gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Djoerban 2008).

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat dan secara

klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu sebenarnya terjadi replikasi HIV

yang sangat tinggi. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit

CD4 yang tinggi, dan untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan

memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.

Fase perjalanan infeksi HIV dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu :

1) Infeksi Akut

Fase ini terdapat pada 40-90% kasus yang merupakan keadaan klinis yang

bersifat sementara yang berhubungan dengan replikasi virus pada stadium tinggi

dan ekspansi virus pada respon imun spesifik. Proses replikasi tersebut

menghasilkan virus-virus baru yang jumlahnya jutaan dan menyebabkan

terjadinya viremia yang memicu timbulnya sindroma infeksi akut.

Page 7: Makalah Pedodonsia HIV

Gejala yang muncul antara lain demam, faringitis, artralgia, mialgia,

malaise, mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan. HIV juga dapat

menyebabkan kelainan sistem saraf. Tidak ada antibodi spesifik HIV yang dapat

terdeteksi pada stadium awal infeksi ini.

Seperti yang telah dijelaskan, pada fase infeksi awal ini terjadi interaksi

antara gp120 virus dengan reseptor CD4+. Interaksi ini menyebabkan terjadinya

ikatan dengan reseptor kemokin yang bertindak sebagai koreseptor spesifik

CXCR4 dan CCR5 yang juga terdapat pada membran sel target.

Proses internalisasi HIV pada membran sel target juga memerlukan peran

gp41 sebagai proses fusi. Peran gp41 tersebut menyebabkan seluruh komponen

inti HIV dapat masuk dan mengalami proses internalisasi yang ditandai dengan

masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma.

2) Infeksi Laten

Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam

sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfa menyebabkan virion

dapat dikendalikan, gejala akan hilang dan mulai memasuki fase laten.

Pada fase infeksi laten ini jarang ditemukan virion di plasma, sebagian

besar virus terakumulasi di kelenjar limfa dan terjadi replikasi di kelenjar limfa

sehingga di dalam darah jumlahnya menurun. Fase ini berlangsung rata-rata

sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Tahun ke-8 setelah terinfeksi HIV akan

muncul gejala klinis seperti demam, banyak keringat pada malam hari, diare, lesi

pada mukosa dan kulit berulang.

Selam periode laten HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang

berintegrasi dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada

beberapa faktor yang dapat mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut.

Monosit pada individu yang terinfeksi HIV cenderung melepaskan sitokin dalam

jumlah besar sehingga dapat menyebabkan meningkatnya transkripsi virus.

Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi provirus DNA pada HIV

sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu HTLV-1, cytomegalovirus, virus

herpes simplex, virus Epstein-Barr, adenovirus, papovirus dan virus hepatitis B.

Page 8: Makalah Pedodonsia HIV

3) Infeksi Kronik

Selama fase ini terdapat peningkatan jumlah virion secara berlebihan di

dalam sirkulasi sistemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun. Terjadi

penurunan jumlah limfosit T CD4+ hingga dibawah 300 sel/mm3. Perjalanan

penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS.

Gambar 3. Gambaran waktu CD4 T-cell dan perubahan perkembangan virus

berkesinambungan pada infeksi HIV yang tidak diterapi.

(Sumber: Bennet, 2011)

2.4 Pembagian Stadium Klinis HIV Menurut WHO

Stadium Klinis I

Klasifikasi HIV pada stadium ini asimtomatis (tidak menunjukkan gejala),

sehingga memungkinkan segala aktivitas penderita masih bejalan normal. Pada

50% infeksi HIV terjadi Persistent Generalized Lymphadenopathy (PGL).

Kelenjar GB dengan diameter lebih dari 1,5 cm pada dua atau lebih tempat di

ekstra inguinal selama kurang lebih 3 bulan. Benjolan tidak terasa nyeri bila

ditekan, simetris, dan sering mengenai servikal posterior, aksila, oksipital, dan

Page 9: Makalah Pedodonsia HIV

epitrochlear. Pada tahap ini dapat diperiksa DL dan foto rontgen dada. PGL dapat

mengecil secara perlahan selama perjalanan penyakit dan dapat hilang sendiri

sebelum timbulnya AIDS, dan tidak ada terapi spesifik untuk PGL.

Gambar 4. Persistent Generalized Lymphadenopathy

S tadium Klinis II

Pada stadium ini, berat badan menurun <10% dari berat badan semula,

Skala Aktivitas 2: simptomatis, aktivitas normal. Terjadi kelainan kulit dan

mukosa ringan seperti:

Dermatitis seboroika

Gatal, bersisik dan tampak kemerahan.

Pengobatan dapat dilakukan dengan: Higiene perorangan, Anti fungal

(selenium, pyrithione Zn, obat azole), Anti inflamasi (salep steroid), Jika

berat: keratolitik (as.salisilat).

Page 10: Makalah Pedodonsia HIV

Papular pruritic eruption (PPE)

Terjadi perubahan pada Lengan, tungkai, pinggang, bokong namun

simetris. Dapat dilakukan pengobatan dengan: Steroid topical,

antihistamin, prednison jangka pendek, UVB, UVA .

Gambar 5. Papular pruritic eruption (PPE)

Infeksi jamur kuku (onikomikosis)

Disebabkan oleh T. rubrum, T. mentagrophytes. Pengobatan dengan

Itraconazol 200mg/hari selama 6-12 minggu, Terbinafin 250mg/hari

selama 6-12 minggu

Ulkus oral yang rekuren

Cheilitis angularis

Gambar 6. Cheilitis angularis

Herpes zoster (shingle) dalam 5 tahun terakir

Moluscum contagiosum

Page 11: Makalah Pedodonsia HIV

Ulkus aftosa

Gambar 7. Ulkus aftosa

Ulkus persisten, nonspesifik. Terapi sistemik dan topikal kortikosteroid

cukup berhasil, Topikal tetrasiklin dan talidomid sistemik juga telah

digunakan.

Linear gingival erythema

Gambar 8. Linear gingival erythema

Infeksi saluran napas bagian atas seperti sinusitis bakterial

Pembesaran kelenjar parotis (Parotid enlargement)

Gambar 9. Parotid enlargement

Page 12: Makalah Pedodonsia HIV

S tadium Klinis III

Pada stadium ini berat badan menurun >10% dari berat badan semula,

diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya berlangsung lebih dari 1 bulan;

demam tanpa sebab yang jelas, yang intermiten atau konstan > 1 bulan; TB paru

dalam 1 tahun terakir; infeksi bakteri berat (pnemonia, pyomiositis).

Skala Aktivitas 3: selama 1 bulan terakhir hanya tinggal di tempat tidur <50% .

Kandidiasis oral

Koloni atau kelompok pseudomembran berwarna putih/kuning, yang

terdapat dimana saja dalam rongga mulut. Kandidiasis oral ini dapat

terlokalisir maupun meluas dan dapat dengan mudah diangkat dengan

menggosoknya/mengusapnya.

Terdapat beberapa tipe kandidiasis oral yaitu: Eritematus, tampak sebagai

bercak kemerahan pada mukosa; Hiperplastik, serupa dengan

pseudomembran tetapi biasanya melekat dengan jaringan; Cheilitis

angularis, terdapat lesi pada sudut mulut.

Terapi :

Langkah 1: Gunakan antifungal topikal

- Nystatin (1 tablet 100,000 IU setiap 4 jam): dapat dikunyah atau diisap selama 7 hari

- Nistatin oral suspensi: 100.000 U 3 x sehari selama 7 hari

- pemakaian Gentian violet 1% dalam larutan air setiap 4 jam selama 1 minggu

- Amphotericin B (10 mg lozenges 4 x sehari) jika tersedia (isap atau kunyah untuk mempertahankan kontak dgn mukosa mulut)

Langkah 2: Terapi sistemik (diberikan jika tidak ada perbaikan setelah 7 hari terapi topikal dan untuk semua kasus kandidiasis esofageal)

- Pilihan pertama — Fluconazole (200 mg loading dose, selanjutnya 100 mg/hari sampai gejala hilang. Jika tidak ada fluconazole, gunakan Ketoconazole (200-400 mg /hari)

Page 13: Makalah Pedodonsia HIV

- Pilihan kedua — Itraconazole (100 mg 2 x sehari, dosis dapat

dinaikkan sampai maksimum 400 mg sehari selama 10 -14 hari)

- Pilihan ketiga — Amphotericin B (I.V.) (0.5-1.5 mg/kg per hari) .

Gunakan terapi intermiten selama mungkin, untuk memperlambat

timbulnya kandida yang resisten

Oral Hairy Leukoplakia

Necrotising Gingivitis

Necrotizing Ulcerative Periodontal

Necrotizing Stomatitis

S tadium Klinis IV

Pada stadium ini, akan terlihat berat badan penderita menurun 10%, ditambah

diare kronik lebih dari 1 bulan atau demam lebih dari 1 bulan.

Batuk dan sesak napas

Nyeri Kepala. Biasanya disebabkan oleh: Toxoplasmosis

Defisit neurologis dan kejang

Meningitis akibat Kriptokokus

Pneumonia

Cryptosporidosis dengan diare lebih dari satu bulan

Cytomegalovirus (CMV) pada organ selain hati, liver, spleen, lymph nodes

Herpes simplex virus (HSV) mucocutaneous > 1 bulan,

Progressive multifocal leukonenphalopathy (PML)

Mikosis dissemina (histoplasmosis, coccidioidmycosis)

Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru

Page 14: Makalah Pedodonsia HIV

Atypical mycobacteriosis dissemina

Non-typhoid Salmonella septicemia

Extrapulmonary tuberculosis

Lymphoma

Kaposi’s Sarcoma (KS)

Necrotizing Stomatitis

Selain itu, penderita HIV juga terkena HIV encephalopathy, yaitu gangguan

kognitif dan disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan

bertambah buruk dalam beberapa minggu/bulan yang tidak disertai penyakit lain

selain disebut diatas.

Skala Aktivitas 4: selama 1 bulan terakhir, > 50% hanya tinggal di tempat tidur.

2.5 Manifestasi Oral yang Tampak pada Pasien HIV

Page 15: Makalah Pedodonsia HIV

1) Kandidiasis

Gambar 10. Kandidiasis Oral

Kandidiasis oral merupakan manifestasi oral yang paling sering terjadi

pada anak-anak HIV positif. Macam-macam kandidiasis oral:

Kandidiasis Pseudomembranous

Multifokal, tidak melekat, plak atau papula putih yang dapat

diangkat/diseka dengan tekanan ringan, meninggalkan permukaan

yang eritem.

Kandidiasis Eritematous

Multipel, bercak merah, biasanya pada palatum dan dorsum lidah.

Tidak melekat, dan ada rasa sakit terbakar.

Kandidiasis Hiperplastik

Dapat terjadi pada mukosa pipi dan mukosa lidah. Jenis ini paling

susah dibersihkan dibandingkan dengan jenis candidiasis yang lain.

Cheilitis Angularis

Garis-garis merah atau fisur ulserasi yang menyebar pada sudut mulut.

Gambar 11. Cheilitis Angularis

2) Infeksi Virus Herpes Simplex (Herpes Simplex Virus)

Page 16: Makalah Pedodonsia HIV

Prevalensi infeksi HSV pada anak-anak yang terinfeksi HIV berkisar

1,7%-24% kasus. Infeksi HSV pada anak-anak dengan imunokompromais

lebih progresif.

Gambar 12. Infeksi Virus Herpes Simpleks

Pasien akan mengalami demam dan malaise, nodus limfatikus bengkak

dan lunak serta terdapat lesi perioral pada gingiva, palatum keras, dan

vermilion border bibir. Didahului oleh vesikel, lalu lesi ini ruptur menjadi

ulser yang iregular dan sakit.

3) Linear Gingival Erythema

Linear gingival erythema dahulu merupakan HIV gingivitis. Prevalensinya

bervariasi, berkisar antara 0 - 48%.

Gambar 13. Linear Gingival Erythema

Gambaran klinisnya yaitu: berbentuk pita merah menyala dengan lebar 2-3

mm pada margin gingiva, disertai ptechiae atau lesi merah difus pada

attached gingiva dan mukosa mulut. Ada perdarahan selama menyikat

gigi. Perdarahan spontan terjadi pada kasus yang berat. Rasa sakit jarang

dikeluhkan oleh pasien.

Page 17: Makalah Pedodonsia HIV

Tidak diketahui kriteria untuk memastikan diagnostik dari linear gingivitis

erythema. Lesi ini sama seperti gambaran klinis yang terjadi pada

neutropenia. Karena itu, para klinisi harus melakukan pemeriksaan darah

lengkap dan analisis pada sel darah putih untuk memastikan

diagnostiknya.

4) Pembesaran Kelenjar Parotis (Parotid Enlargement)

Pembesaran kelenjar parotis terjadi pada 10-30% anak-anak yang

terinfeksi HIV. Test HIV dianjurkan pada anak-anak dengan

pembengkakan kelenjar parotis.

Gambaran klinis yang tampak yaitu adanya pembengkakan jaringan lunak

difus bilateral atau unilateral, wajah tampak tidak normal, serta dapat

disertai rasa sakit.

Gambar 14. Pembesaran kelenjar parotis

5) Stomatitis Aftosa Rekuren

Stomatitis aftosa rekuren terjadi hampir pada 2-6% pada populasi orang

dewasa yang terinfeksi HIV dan lebih sering terjadi pada anak-anak yang

terinfeksi HIV, khususnya disebabkan karena obat-obatan seperti

didanosine (ddI) yang dapat menginduksi terjadinya lesi.

Page 18: Makalah Pedodonsia HIV

Gambar 15. Stomatitis Aftosa Rekuren

Beberapa bentuk stomatitis aftosa rekuren berdasarkan ukuran, jumlah,

dan durasi lesi, yaitu:

Stomatitis aftosa minor rekuren

Berbentuk ulser kecil dengan diameter < 5 mm, ditutupi lapisan

pseudomembran dan dikelilingi oleh halo eritematous.

Stomatitis aftosa mayor rekuren

Gambaran klinis sama dengan stomatitis aftosa minor rekuren, tetapi

ukurannya lebih besar dengan diameter 1-2 cm, dan timbul selama

beberapa minggu, terasa sakit serta mengganggu pengunyahan dan

penelanan.

Stomatitis aftosa herpetiform rekuren

Berupa stomatitis aftosa yang kecil-kecil berkelompok, diameter 1-2

mm, cenderung terjadi pada lokasi yang mengganggu proses makan

dan bicara.

6) Necrotizing ulcerative gingivitis (NUG)

Gambar 16. NUG

Page 19: Makalah Pedodonsia HIV

Destruksi pada satu atau lebih dari papila interdental disertai dengan

nekrosis, ulserasi. Destruksi ini terbatas hanya pada margin gingiva.

Pada tahap akut (acute necrotizing ulcerative gingivitis), jaringan gingiva

tampak merah menyala dan bengkak, disertai oleh jaringan nekrotik abu-

abu kekuningan yang mudah berdarah. Gejala yang dirasakan pasien yaitu

mudah berdarah saat menyikat gigi, sakit, dan adanya halitosis.

Diagnosis NUG ditentukan secara klinis. Terdapat respon terhadap

pemberian antibiotik sistemik dan local debridement. Gejala menghilang

bertahap diatas 3-4 minggu, tetapi sering rekuren. NUG dapat muncul

pada tahap awal dari necrotizing ulcerative periodontitis.

7) Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP)

Gambaran klinis NUP yaitu terjadi nekrosis jaringan lunak yang parah

serta terjadi dekstruksi perlekatan periodontal dan tulang dalam waktu

singkat. Selain itu, terjadi perdarahan gingiva spontan atau berdarah saat

menyikat gigi, serta terasa sakit pada tulang rahang. Pada kasus berat,

tulang rahang dapat terbuka.

Gambar 17. Necrotizing ulcer periodontitis pada pasien HIV

Pada NUP ini juga terdapat pembentukan poket karena hilangnya jaringan

lunak ataupun jaringan keras. Destruksi jaringan dapat meluas sampai ke

mucogingival junction. NUP bersifat kronis, ulserasi akan terlihat selama

periode aktif tetapi tidak terlihat pada periode tidak aktif.

Page 20: Makalah Pedodonsia HIV

8) Necrotizing stomatitis (NS)

Necrotizing stomatitis ini bersifat akut dan merupakan lesi ulseronekrotik

yang sangat sakit pada mukosa mulut. Tulang dibawahnya dapat terbuka,

lesi dapat berpenetrasi meluas ke jaringan disekitarnya.

9) Xerostomia

Pada penderita HIV, keadaan rongga mulutnya kering (xerostomia) karena

menurunnya kecepatan aliran saliva. Xerostomia dapat disertai dengan

atau tanpa pembengkakan parotis.

10) Sarkoma Kaposi dan Limfoma non-Hodgkin’s

Gambar 18. Sarkoma Kaposi’s

Kanker yang berhubungan dengan HIV seperti Sarkoma kaposi’s dan

Limfoma non-Hodgkin’s sangat jarang terjadi pada anak-anak yang

terinfeksi HIV. Angka kejadian kurang dari 2% kasus.

11) Hairy leukoplakia

Hairy leukoplakia ini disebabkan oleh virus Epstein Barr. Pada anak-anak,

jarang terjadi hairy leukoplakia.

Gambar 19. Hairy leukoplakia

Page 21: Makalah Pedodonsia HIV

Hairy leukoplakia ini merupakan lesi putih yang tidak dapat diangkat,

permukaan tidak rata, dan bilateral pada lateral lidah. Dapat timbul pada

permukaan ventral dan dorsal lidah, tetapi jarang terjadi pada mukosa

bukal.

Adanya virus Epstein-Barr pada lesi ini, ditentukan dengan pemeriksaan

histopatologik dan hibridisasi DNA in situ.

Page 22: Makalah Pedodonsia HIV

DAFTAR PUSTAKA

1. Mandal, Bibhat K., Wilkins, Edmund G.L., Dunbar, Edward M., Mayon-White,

Richard T. Lecture Notes: Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga. 2008

2. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. 2001.

3. Djoerban, Zubairi, Djauzi Samsuridjal. HIV/AIDS di Indonesia. W. Sudoyo, Aru,

dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FK UI 2007;

1803-1808.

4. Husein N, Lumempouw S, Ramli Y, Herqutanto. Uji validitas dan reliabilitas

montreal cognitive assesment versi Indonesia ( MoCA-Ina) untuk skrining

gangguan fungsi kognitif. Neurona. 2010 ; 27 (4) ; 15-22

5. Mamidi A, DeSimone J. Pomerantz R. Central nervous system infections in

individuals with HIV-1 infection. J NeuroVirol.2002; 8 : 158-67.

6. Karn J HIV volume 1 ; virology and immunology (e-book). USA : Oxford

University Press; 2007 (cited 2011 May 23) Available from:

http://books.google.co.id/books.

7. Roitt.I, Brostoff J, Male D. Immunology. 6th ed. Mosby.London. 2001. Hal

317-319.

8. National Institute of Allergy ang Infectious Diseases. Mechanism and

Pathogenesis of Pediatric HIV-1 Infection. 1998.

http://grants.nih.gov/grants/guide/pa-files/PA-98-048.html

9. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology..

4th ed. W.B.Saunders Company. Philadelphia–Toronto. 2000. Hal. 455-465.

10. Gomez FR. Dental Considerations for the Paediatric AIDS/HIV Patient. Oral

Disease. 2002.; 8 (Suppl.2): 49-54.

Page 23: Makalah Pedodonsia HIV

11. Dunston BC, Depaola LG. Oral Manifestations of Pediatric HIV Infection.

Indian Pediatrics. 2002; 39:57-63. ttp://www.numedx.com/article.aspx?

NewsCategoryID=95

12. Gomez FR, Flaitz C, Catapano P, et all. Classification, Diagnostic Criteria,

and Treatment Recommendations for Orofacial Manifestations in HIV-

infected Pediatric Patients. Journal of Paediatric Dentistry. 1999, 23(2): 85-

96.

13. Leggott PJ. Oral Manifestation in Pediatric HIV Infection. Proceedings of the

Second International Workshop on the Oral Manifestations of HIV Infection

January 31 – February 3, 1993.San Fransisco,California. Quintessence

Publishing Co, Inc. 1993; 234-239

14. Vaseliu N, Kamiru H, Kabue. M. Oral Manifestation of HIV Infection, 2010.