makalah pasteurolisis

37
Tugas Terstruktur Penyakit Mikrobial Dan Parasiter PASTEURELLOSIS Oleh: Kelas 2!2 A "urisa O#ta$iani %!2&!'!!!!() Ab*ul +ahi* %!2&!'!!!!,) -ransiska Ike K.T %!2&!'!!!!/) "isa Ta0kiyah %!2&!'!!!!!) Mark0y 1ron*y L. %!2&!'!!!!!!) -ebby De ayanti S. %!2&!'!!!!!2) Mula3 Diratna P. %!2&!'!(!!!!) 4essie Sekti Putri P. %!2&!'!(!!!') Intan Purna3a S. %!2&!'!(!!!&) PRO5RAM KEDOKTERA" 6E+A" U"I7ERSITAS 1RA+I8A4A MALA"5 2!9 KATA PE"5A"TAR

Upload: nisa-tazkiyah

Post on 06-Oct-2015

148 views

Category:

Documents


33 download

DESCRIPTION

Pasteurellosis adalah penyakit bakterial yangmenyerang ternak sapi, kerbau, babi, kambing, unggas,sapi, dan kerbau. Pasteurellosis dikenal dengan namapenyakit ngorok atau septicaemia epizootica (SE) atauhaemoragic septichaemia (HS) yang disebabkan olehserotipe tertentu dari kuman Pasteurella multocida typeB:2 (tipe Asia) dan type E:2 (tipe Afrika) (Chancelloret al., 1996). De Alwis (1993) menyatakan bahwapenyakit ngorok yang terdapat di Indonesia disebabkanoleh Pasteurella multocida (P. multocida) B: 2, bersifatakut, dan pada umumnya menjadi penyebab kematianpada hewan.

TRANSCRIPT

Tugas Terstruktur Penyakit Mikrobial Dan ParasiterPASTEURELLOSIS

Oleh:Kelas 2012 ANurisa Octaviani(125130100111007)Abdul Wahid(125130100111008)Fransiska Ike K.T(125130100111009)Nisa Tazkiyah(125130100111010)Markzy Brondy L.(125130100111011)Febby Dewayanti S.(125130100111012)Mulam Diratna P.(125130107111001)Yessie Sekti Putri P.(125130107111003)Intan Purnama S.(125130107111005)

PROGRAM KEDOKTERAN HEWANUNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG2014KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul Pasteurellosis dalam rangka memenuhi tugas terstruktur dengan tim dosen pengampu mata kuliah Penyakit Mikrobial dan Parasiter Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya 2014.Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari teman-teman mahasiswa seangkatan tahun 2012 dan orang tua yang selalu memberikan dukungan moral pada penulis.Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Seperti pepatah tak ada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini. Serta penulia berharap agar makalah ini dapat bermanfaat di masyarakat.

Malang, 25 Maret 2014

Penulis

DAFTAR ISI

HALHALAMAN JUDUL....................................................................................iKATA PENGANTAR iiDAFTAR ISIiiiBAB I. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang11.2. Rumusan Masalah 21.3. Tujuan 3BAB II. TINJAUAN PUSTAKA2.1. Pasteurellosis 42.2. Jenis Infeksi 82.3. Isolasi dan Identifikasi Bakteri ............................................................10BAB III. PEMBAHASAN3.1. Gejala123.2. Patogenesa 163.3. Etiologi ...................183.4. Diagnosa Klinis183.5. Gambaran Patologi 233.6. Cara Penularan Penyakit ...................243.7. Pencegahan dan Pengobatan 26BAB IV. PENUTUP4.1. Kesimpulan 314.2. Saran 31DAFTAR PUSTAKA32

BAB I.PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPenyakit Pasteurella adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri pasteurella. Bakteri Pasteurella adalah salah satu bakteri tipe Zoonosis yang berukuran 0,7 x 0,5x 1 . Bentuk dasarnya adalah kokobasil atau bisa dibilang berbentuk seperti bambu juga. Bakteri ini termasuk Bakteri Gram-positif. Pasteurella juga termasuk bakteri non-motil. Jadi waktu infasinya saat ada di peredaran darah .Pasteurella termasuk ke dalam Ordo Pasteurellales yang Familinya adalah Pasteurellaceae. Ada 4 spesies dari genus Pasteurella ini, diantaranya adalahPasteurella multocida, Pasteurella haemolitica, Pasteurella pneumotropcadanPasteurella ureae. Yang paling sering menyebabkan penyakitPasteurellosisadalahPasteurella multocida. Penyebaran penyakit ini juga bisa dari Anjing dan kucing, kambing, kuda, biri-biri, tikus, hamster, babi, serigala dan jenis-jenis unggas pun juga bsa menularkan penyakit ini (Ariyanti, 2007)Bakteri ini punya suatu kapsul yang terdiri dari 5 kapsul + 16 serotipe. Kapsul itu antara lain adalah "A, B, D, E dan F" dengan komposisi kapsul terbanyak yang menimbulkan Pasteurellosis 5A, 8A dan 9A. Kapsul nantinya yang berfungsi sebagai tameng pasteurella sewaktu ada sel fagositosis yang menyerang. Di Pasteurella multocida sendiri, kapsul B dan E bisa juga menyebabkan septikemia hemoragik di berbagai hewan mamalia. Di sapi sendiri yang mengalami penyakt ini banyak ditemukan serotype 6B dan 6E. Penyebaran Pasteurellosis selain masalah gizi buruk juga bisa melalui kontak langsung antara ternak yang terinfeksi dengan ternak sehat, melalui pakan dan minum yang terkontaminasi kotoran dari hidung dan mulut ternak yang terinfeksi dan factor factor predisposisi (kecenderungan dari sesuatu dapat menimbulkan penyakit). Pencegahan terhadap penyakit Pasteurellosis yaitu dengan cara pemberian pakan yang bergizi tinggi, melakukan sanitasi pada lingkungan sekitar serta pemberian vaksinasi secara berkala yang terprogram sesuai ketentuan dari penyuluh peternakan (Natalia,2010)Ada beberapa laporan yang telah dipublikasi oleh media masa tentang kejadian penyakit yang di sebabkan bakteri pasteurella ini yaitu penyakit SE (Septicemia epizootica) di berbagai daerah di Indonesia. Kejadian penyakit pasteurellosis yang menyerang hewan sapi dan kerbau telah terjadi tiap tahun di daerah Propinsi NTT. Kasus biasanya terjadi karena cakupan vaksinasi yang masih rendah Kematian pada kerbau juga sering terjadi di daerah Propinsi Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu dan Riau (KOMPAS, 9 Februari 2006)Salah satu penyakit yang disebabkan bakteri pasteurella ini yaitu penyakit kolera, yaitu bakteri Pasteurella muktocida juga sering terjadi di Indonesia. Penyakit ini sering menyerang peternakan itik segala umur dengan prevalensi sekitar 30 50%. Tingkat kematian itik karena kholera di daerah Jawa Barat dan Jakarta sekitar 30 50% (SINURAT et al., 1992). Sebelumnya telah dilaporkan oleh POERNOMO (1980), bahwa kematian akibat pasteurellosis pada peternakan itik intensif mencapai 62% dari populasi 1400 ekor. Itik merupakan jenis unggas yang paling rentan terhadap kholera (RHOADES dan RIMLER, 1990), kasus penyakit dapat ditemukan dalam bentuk perakut, akut dan kronis. Mortalitas pada itik muda dapat mencapai 100%.Pengobatan penyakit Pasteurellosis dapat dilakukan dengan pemberian preparat sulfat atau antibiotic. Pemberian tetrasiklin yang dicampur dengan pakan dengan dosis 200-400g/ton akan menekan gejala klinik dan mengurangi angka kematian pada unggas. Bioscurity yang ketat. Vaksinasi rutin pada peternakan yang sebelumnya pernah terjangkit penyakit Pasteurellosis. Pemberian vaksin dapat menggunakan vaksin Pasteurella multocida yang telah dilemahkan (galur CU; PM-1; PM9) sedangkan vaksin inaktif dapat digunakan untuk mencegah kawanan ayam (Ariyanti,2007)Makalah ini disusun agar mahasiswa khususnya mahasiswa/I di kedokteran hewan lebih mengerti dan paham akan penyakit pasteurellosis ini khususnya yang sering terjadi pada unggas, sehingga dapat mengetahui dan menerapkan dari pencegahan serta pengobatan penyakit ini saat terjadi wabah di Indonesia. Serta makalah ini disusun juga untuk memenuhi kewajiban tugas terstruktur dari mata kuliah penyakit microbial dan parasite. Pengertian singkat. Seserius apa penyakit pasteurellosis di peternakan indonesia. Bagaiamana penanganan yang ada. Dan alasan mengapa mengangkat makalah ini.

1.2 Rumusan MasalahRumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:a) Bagaimana gejala pada hewan yang terkena penyakit pasteurellosis?b) Bagaimana patogenesa dari penyakit pasteurellosis?c) Bagaimana etilogi penyakit pasteurellosis?d) Bagaimana diagnosis klinis pada hewan yang terinfeksi penyakit pasteurellosis?e) Bagaimana gambar patologi dari penyakit pasteurellosis?f) Bagaimana cara penularan penyakit pasteurellosis?g) Bagaimana pencegahan dan pengobatan penyakit pasteurellosis?

1.3 TujuanTujuan yang dihararpakn dari penulisan makalah ini antara lain:a) Mengetahui gejala pada hewan yang terkena penyakit pasteurellosis.b) Mengetahui patogenesa dari penyakit pasteurellosis.c) Mengetahui etilogi penyakit pasteurellosis.d) Mengetahui diagnosis klinis pada hewan yang terinfeksi penyakit pasteurellosis.e) Mengetahui gambar patologi dari penyakit pasteurellosis.f) Mengetahui cara penularan penyakit pasteurellosis.g) Mengetahui pencegahan dan pengobatan penyakit pasteurellosis.

BAB II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pasteurellosis Pasteurellosis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella yang merupakan bakteri anaerobik fakultatif (bakteri yang mampu bertahan hidup tanpa oksigen dan tetap berfungsi di berbagai kondisi). Pasteurella termasuk ke dalam Ordo Pasteurellales Famili Pasteurellaceae. Ada 4 spesies lagi dari genus Pasteurella ini, diantaranya adalah Pasteurella multocida, Pasteurella haemolitica, Pasteurella pneumotropca dan Pasteurella ureae. Pasteurella multocida dan Mannheimia Haemolytica (Pasteurella haemolitica) adalah dua spesies Pasteurella yang sering menyebabkan berbagai penyakit Pasteurellosis. Kebanyakan penyakit ini disebarkan oleh anjing dan kucing. Bisa melalui kambing, kuda, biri-biri, tikus, hamster, babi, serigala dan unggas.Ciri-ciri secara umum bakteri ini adalah berbentuk kokobasil kecil dengan tampilan bipolar pada sediaan apus, dalam jaringan dan eksudat organisme menunjukkan bentuk khas coccobacillary, ukuran umumnya 0,2-0,4 dan ada juga 0,6-2,5 mm, gram negatif, non-enterik, non-motil dan non-spora (Williamson, 1993). Bakteri Paseteurella bersifat patogen pada berbagai hewan, seperti pada tabel di bawah ini:

2.1.1 Bovine PasteurellosisBovine pasteurellosis dikenal juga degan istilah demam, enzootic pneumonia, dan penyakit pernapasan bovine (BRD), semua istilah tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan bovine pasteurellosis. Di Amerika Serikat sekarang, kerugian terbesar pada daging sapi dan industri susu yang disebabkan penyakit ini dan lebih besar kerugiannya daripada penyakit lainnya. Pada kasus BRD, lebih dari satu spesies dan serotipe dari pasteurellae yang dicurigai sebagai penyebab kedua setelah virus dan stres. Ini tidak seperti Haemorrhagic Septicemia (HS), dimana merupakan pasteurellosis yang disebabkan oleh serotipe spesifik dari spesies P. multocida. Pasteurellae yang terkait dengan BRD sebagian besar adalah P. Haemolytica tipe A, dan P. multocida serogrup kapsuler A (De Alwis, 1999).

(P. multocida) (P. haemolytica)Pasteurellae yang menyebabkan pneumonia pasteurellosis dibawa melalui saluran pernapasan bagian atas sapi. Dalam kasus P. haemolytica tipe A1, bakteri tidak mudah terdeteksi dalam saluran respirasi bagian atas pada sapi yang sehat, tapi dapat diisolasi dari sapi yang stress atau sedang terkena infeksi. Pada saat kondisi sapi yang stress atau sapi yang sakit dapat ditemukan P. haemolytica A1. Dalam kasus P. multocida, tidak ada hubungan antara stress dan isolasi koloni bakteri dalam tubuh. Multiplikasi dari P. haemolytica dari kondisi stres mempunyai kedua proses tersebut. Pertama, ada invasi di paru-paru dan mengakibatkan pneumonia. Kedua, ada pembelahan yang berlebihan sehingga mengakibatkan penyebaran infeksi ke sapi yang sehat (De Alwis, 1999).Metode pencegahan yang paling efektif adalah menjaga manajemen ternak dan menghindari kondisi stress. Untuk pemberian vaksin jarang digunakan, sedangkan pengobatan yang baik adalah diberikan antibiotik dimana antibiotic ini dapat mengurangi bakteri dan dapat menghindarkan dari kematian (De Alwis, 1999).

2.1.2 Pasteurellosis pada Domba dan KambingMikroorganisme yang dominan menyebabkan penyakit pasteurellosis pada domba dan kambing adalah jenis P. haemolytica. Biotype A menyebabkan kasus pneumonia pada semua umur dari domba, dan menyebabkan septicaemia pada domba muda. Biotype T, hampir sama dengan biotype sebelumnya yaitu dapat menyebabkan sindrom septicaemik pada domba muda atau dewasa. P. haemolytica masuk melalui nasopharynx dan tonsil dari domba yang sehat. Domba yang terkena infeksi ketika sesudah dilahirkan kemungkinan tertular melalui kontak dengan hewan yang sakit. Hewan karier mempunyai tingkat kesehatan yang lemah pada kawanannya dan mempunyai serotype yang bermacam-macam. Sedangkan pada kelompok yang sedang teserang akan memiliki karier yang tinggi dan serotype yang spesifik. Faktor yang mempengaruhi penyebaran bakteri ini adalah perubahan iklim dan managemen stress yang buruk seperti transportasi, pemerahan, dll. Untuk pencegahan dapat dilakukan vaksinansi sehingga mengurangi prevalensi dari penyakit (De Alwis, 1999).

2.1.3 Pasteurellosis pada BabiPada babi, terjangkitnya penyakit septicaemic disebebkan oleh Haemorrhagic Septicaemia serotype (B:2), dimana menyebabkan sindrom pada babi. Penyakit yang terjadi pada babi adalah atrophic rhinitis dan pneumonia (De Alwis, 1999).Atrophic rhinitis adalah suatu penyakit yang behubungan dengan breeding dari babi. Penyakit ini mempunyai karakteristik seperti mengalami athropi atau pemendekan pada nasal turbinatum dan terkadang juga mengalami snout. Terkadang juga ditandai dengan terjadinya bersin-bersin dan epistaxis/mimisan. Ada dua bakteri yang menyebabkan penyakit ini, yaitu Bordetella bronchiseptica dan P. multocida. Bakteri tersebut akan masuk melalui saluran pernapasan bagian atas dari babi. Atropi turbinatum akan menyebabkan terjadinya athropic rhinitis dimana dimulai dengan laju proliferasi dari toksigenik bakeri P. multocida type D bersamaan dengan infeksi B. bronchiseptica, atau suatu kondisi lingkungan yang kurang baik dapat membantu proliferasi dari bakteri tersebut. Vaksin yang digunakan untuk pencegahan penyakit ini adalah kombinasi dari bakteri B. bronchhiseptica dengan toxoid pasteurella yang diambil dari strain toksigenik (De Alwis, 1999).

2.1.4 Fowl Cholera/ Kholera pada UnggasKholera pada unggas disebabkan oleh bakteri P. mulcotida dan paling banyak pada serotype A. Serotype A:1, A:3 dan A:4 ditemukan paling banyak di dunia, dimana total semua terdapat 16 serotype somatic dari group A, dan beberapa tipe dari group D, pada kalkun, penyebabnya adalah serotype F. Kholera pada unggas adalah pasteurellosis primer yang menyebabkan septicaemia dan kematian. Pada keadaan yang kronis dari unggas dapat menjadi reservoir dari infeksi penyakit tersebut. Penyakit ini terjadi karena sanitasi yang buruk. Menjaga saitasi yang baik merupakan salah satu upaya unutk pencegahan dari penyakit ini. Agen kemoterapeutik digunakan untuk pengobatan begitu juga dengan penggunaan prophylactic pada dosis rendah di prevalensi yang tinggi. Vaksinasi juga digunakan untuk pencegahan penyakit ini, vaksin polyvalent berisi serotype dari bakteri dan ditambah adjuvant (Ariyanti, 2008).

2.1.5 Pasteurellosis pada Hewan lainBakteri pasteurella dapat menyebabkan berbagai penyakit pada banyak hewan, misalnya pada rusa, kucing, anjing, kuda, berang-berang, dan monyet. Seiring bertambahnya waktu, ditemukan juga kasus pasteurellosis juga terjadi pada keledai, gajah, leopard. Tipe infeksi yang terjadi sangat bervariasi dan pada umumnya adalah septicemia dan infeksi saluran pernapasan, selain itu juga bisa terjadi luka infeksi, absess, mastitis, peritonitis dan encephalitis. Kejadian yang paling banyak terjadi pada manusia disebabkan oleh gigitan dari hewan yang sudah terinfeksi sebelumnya (De Alwis, 1999).

2.2Jenis Infeksi 2.2.1 Penyakit PES PES atau yang juga dikenal dengan nama Pesteurellosis atau Yersiniosis/ Plague merupakan penyakit Zoonosa terutama pada tikus dan rodent lain dan dapat ditularkan kepada manusia. Pes juga merupakan infeksi pada hewan pengerat liar yang ditularkan dari satu hewan pengerat ke hewan lain dan kadang-kadang dari hewan pengerat ke manusia karena gigitan pinjal.Vector dari penyakit pes ini adalah pinjal. Ada 4 jenis pinjal di Indonesia yaitu Xenopsylla cheopis, Culex iritans, Neopsylla sondaica, dan Stivalus cognatus. Penyebab penyakit pes ini adalah hama penyakit basil pes yang disebut juga Pasteurella pestis. Basil ini ditemukan oleh Kitasato dan Yersin di Hongkong pada tahun 1894. Setelah hasil itu (basil) diberi warna menurut Loefler terlihat, bahwa pewarnan pada kedua ujungnya adalah lebih tebal, dan basil itu berkutub dua atau bipolar. Besarnya kurang lebih 2 mikron. Basil pes ini dapat dibunuh oleh sinar matahari. Larutan karbol 1% sublimate 1% dan susu kapur dapat membunuh basil ini dalam beberapa menit. Bila di atas tanah, basil ini akan mati selama 24 jam (Wahyu,1997)..2.2.2Pneumonia Pneumonia alias radang paru menyerang alat pernapasan, yaitu paru-paru. Penyebabnya bakteri Pasteurella Multocida. Bakteri ini dapat berkembang di iklim yang lembab seperti Indonesia. Bakteri pasteurella pada kambing jika tidak ditangani lebih lanjut dapat menyebabkan pneumonia. Pasteurella yang berada diatas permukaan tanah biasanya akan terbawa oleh makanan yang dimakan oleh hewan. Radang paru-paru ini akan menyebabkan terjadinya hipoksia karena terjadi ganguan pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Kompensasi dari hal tersebut hewan akan meningkatkan frekuensi dan intensitas pernafasan. Karena adanya rasa sakit ketika bernafas disebabkan meningkatnya kepekaan jaringan yang mengalami radang pernapasan berlangsung cepat dan dangkal (Iriyanti,2007).

2.2.3Infeksi Pasteurella multocida pada ayam (fowl cholera)Fowl cholera (avian pasteurelllosis, avian cholera) merupakan suatu penyakit bacterial yang mudah menular dan menyerang berbagai jenis unggas. Penyakit ini biasanya bersifat septisemik akut yang ditandai adanya morbiditas dan mortilitas yang tinggi, yang disertai oleh perdarahan yang ekstensif dan perubahan septisemik lainnya, walaupun bentuk kronis sering juga muncul pada beberapa kasus. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Pasteurella yang meliputi Pasteurellosis multocida, Yersenia pseudotuberculosis dan Pasteurella (moraxella)antipestifer. Pasteurella hemolytica dan Pasteurella gallinarum jarang bersifat patogenik pada unggas. Kolera unggas biasanya menyerang pada usia 6 minggu, meskipun penyakit ini juga sering ditemukan pada ayam yang lebih muda misalnya pada ayam pedaging. Kemampuan pasteurella menginvasi tergantung pada kapsul yang mengelilingi organisme tersebut. Jika kapsul itu hilang, maka virulensinya juga akan hilang. Pasteurella mulcotida ini hidup didalam tanah, litter, ataupun bahan-bahan yang membusuk selama bebrapa bulan lamanya. Walaupun demikian bakteri ini dapat dibunuh dengan desinfektan, kekeringan dan sinar matahari secara langsung (Butcher,2009). 2.2.4Pasteurella pada kelinciInfeksi bakteri Pasteurella multocida dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang parah, umumnya ditandai dengan antara lain infeksi hidung, sinusitis, infeksi telinga, konjungtivitis, radang paru-paru, dan infeksi umum dari darah. Kondisi ini sering disebut sebagai ingusan karena napas mendengus membuat kelinci terkena dampak suara. Hal ini juga dapat menyebabkan abses di subkutan (di bawah lapisan atas kulit) jaringan, tulang, sendi, atau organ internal di kelinci. Di kelinci dengan sistem kekebalan yang kuat, tidak menunjukkan gejala infeksi. Namun, bakteri sangat menular, menyebar melalui kontak langsung, atau melalui udara dalam jarak dekat. Banyak kelinci yang terinfeksi saat lahir melalui infeksi vagina, atau segera setelah lahir sedangkan pada kontak dekat dengan seorang ibu yang terinfeksi. Jika bakteri Pasteurella menjadi aktif dalam saluran hidung, infeksi yang dihasilkan dapat menyebabkan rhinitis (iritasi dan radang hidung) pada awalnya. Infeksi akan menyebar ke dalam sinus dan tulang wajah, dan selanjutnya ke dalam ke telinga, hidung melalui air mata, saluran untuk mata, melalui trakea ke saluran pernafasan lebih rendah, dan melalui darah sendi, tulang, dan sistem organ lainnya. Tidak semua kelinci yang terinfeksi menjadi sakit parah. Hasil infeksi tergantung pada kekuatan potensi bakteri dan kekebalan tubuh kelinci. Strain bakteri yang lebih kuat dapat menghasilkan infeksi selaput dada (infeksi selaput paru-paru sekitarnya), pneumonia, dan penipisan tulang. Dalam beberapa kasus, bakteri dapat memasuki aliran darah, yang mengarah ke kondisi bakteremia. Infeksi pada cairan darah dapat menyebabkan demam, depresi, dan shock (Rustomo,2008).

2.3Isolasi dan Identifikasi Bakteri Untuk identifikasi ada beberapa tes yg bisa dilakukan seperti pewarnaan gram, tes indole, hemolis pada blood agar, penanaman pada MCA, tes motilitas, tes biokimiawi, dan tes katalase. a) Perwarnaan GramBiakan bakteri Pasteurella dalam tryptose cair diambil 1 ose, dibuat preparat apus di atas slide glass. Preparat apus difiksasi dengan panas. Selanjutnya direaksikan dengan kristal violet selama 1 menit, dicuci dengan air, direaksikan dengan Grams iodine selama 1 menit, dicuci lagi dengan air, dihilangkan pewarnanya selama 10-3- detik dengan aseton 30 ml dan alcohol 70 ml, dicuci lagi dengan air, direaksikan selama 10-30 detik dengan safranin, dicuci lagi dengan air, dikeringkan dan kemudian diamati dengan mikroskop (Sumadi, 2005). b) Tes IndoleTes indole dilakukan dengan menginokulasi isolate lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada suhu 37o C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media nutrient broth dan diinokulasi pada 37o C selama 9-18 jam. Pada akhir pengamatan ditambahkan Kovacs reagent sebanyak 0,5 ml ke dalamnya kemudian digoyang-goyang, didiamkan selama 1 menit. Jika terjadi lapisan warna merah pada lapisan reagen mengindikasikan terjadi produksi indole(Sumadi, 2005).c) Hemolisis pada Blood AgarUntuk mengetahui sifat hemolisa sel darah merah pada blood agar plate dilakukan dengan menginokulasi isolate lapang dalam skim milk pada media DSA, kemudian diinkubasi pada 37o C selama 18-24 jam. Dipilih 1 koloni terpisah yang iridescent dengan ose, kemudian diinokulasi pada media blood agar 5% dan diinkubasi pada 37o C selama 2 hari. Pada akhir inkubasi diamati terjadi hemolisis (Sumadi, 2005).d) Penanaman pada MCAUntuk mengetahui sifat pertumbuhan pada media Mac Conkey Agar, dilakukan dengan menginokulasi isolate lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada suhu 37o C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni terpisah iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media MacConkey dan diinkubasi pada 37o C selama 3 hari. Pertumbuhan bakteri diamati setiap hari (Sumadi, 2005).e) Tes MotilitasTes motilitas dilakukan dengan menginokulasi isolate lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada 37o C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media tryptose broth dan diinkubasi pada 37o C selama 9-18 jam. Diambil satu ose diletakkan di atas cover glass, kemudian dipasang slide glass khusus preparat hanging drop. Diamati pergerakan bakteri dengan mikroskop dengan posisi cover glass di atas (Sumadi, 2005).f) Tes BiokimiawiUntuk mengetahui sifat fermentasi glukosa dan laktosa dengan menginokulasi isolate lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada 37o C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media TSI dan diinkubasi pada 37o C selama 18-24 jam. Terjadinya warna kuning pada bagian tegak mengindikasikan terjadinya fermentasi glukosa, sedangkan warna kuning pada bagian miring mengindikasikan terjadinya fermentasi laktosa (Sumadi, 2005).g) Tes KatalaseTes katalase dilakukan dengan dengan menginokulasi isolate lapang dalam skim milk pada media DSA, diinkubasi pada 37o C selama 18-24 jam. Diambil satu koloni terpisah yang iridescent menggunakan ose diinokulasi pada media nutrient broth dan diinkubasi pada 37o C selama 9-18 jam. Pada akhir pengamatan ditambahkan 1 ml hydrogen peroxide (H2O2) ke dalamnya. Terjadinya gelembung mengindikasikan terjadinya oksidase (Sumadi, 2005).

BAB III.PEMBAHASAN

3.1Gejala 3.1.1 Penyakit PES pada Bangsa Rodentia (Tikus)Pada tikus yang terserang Pasteurella, akan didapati tikus yang aktif bergerak kesana kemari, suhu badan naik, tampak gelisah dan mati mendadak, didapati juga luka pada beberapa bagian tubuh tikus.(Wahyu,1997) Tampak lah beberapa gejala tikus yang terkena penyakit PES pada gambar dibawah ini : Tikus mati mendadak Terlihat ada luka pada tikus

3.1.2 Pasteurellosis pada Kambing (Pneumonia)Gejala yang ditimbulkan pada hewan ini yaitu terjadi peningkatan suhu tubuh, bunyi pernafasannya tidak normal, keluar cairan dari hidung, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan. Jika dilihat pada patologi anatomi akan terlihat seperti gambar dibawah ini :Gambar berikut diambil pada kambing yang baru mati mendadak dan terserang bakteri pasteurella (Iriyanti,2007). Terdapat totol-totol darah di paru-paru Limpa juga sudah rusak Organ yang sudah tampak kebiruan

3.1.3 Pasteurellosis pada ayam (Kholera)Gejala klinis yang terlihat pada ayam yang tersinfeksi yaitu terjadi penurunan nafsu makan, bulu mengalami kerontokan, diare yang awalnya encer kekuningan lama kelamaan menjadi kehijauan disertai mucus (lendir), peningkatan frekuensi pernafasan, daerah muka, jengger dan pial membesar.

Perubahan patologi yang ditimbulkan dari penyakit ini bervariasi tergantung dari tingkat keparahan penderita. Pada kolera bentuk akut, terlihat berupa perdarahan petechial pada berbagai organ visceral terutama pada jantung, hati, paru-paru, lemak jantung maupun lemak abdominal. Selain itu juga sering ditemukan perdarahan berupa petechial dan ecchymosis pada mukosa usus. Hal ini disebabkan pecahnya pembuluh darah kapiler akibat aktivitas endotoksin. Hati juga akan terlihat membesar dan terdapat bintik putih. Untuk kolera bentuk kronis, ditandai dengan adanya infeksi lokal yang dapat ditemukan pada persendian tarsometatarsus, bursa sternalis, telapak kaki, rongga peritonium dan oviduk (Butcher,2009).Salah satu serangan kolera mengakibatkan hati membengkak dan terdapat bintik putih serta terjadi peradangan usus (Sumber : Dok. Medion)

3.1.4 Pasteurellosis pada Kelinci (Pasteurella multocida)Gejala yang timbul dari penyakit ini yaitu menyerang alat pencernaan. Serangan dimulai dari saluran pencernaan bagian atas. Infeksinya menjalar pada organ-organ lain, terutama uterus, testicles, dan kelenjar susu dan juga dapat mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan atau disebut secara umum sebagai pasteurellosis atau ketika menyerang ke sistem pernafasan biasa disebut (CRD complex / Complicated Chronic Respiratory Disease atau komplikasi saluran pernafasan kronik) .

Saluran pencernaan bagian atas mulai diserang

Hidung berair , dagu basah, dan berbau Pada kelinci yang terjangkit didapati juga suhu tubuh yang meningkat , kelinci menjadi gelisah dan terjadi penurunan nafsu makan sehingga berat badan juga menurun. Jika tidak ditangani lebih lanjut bisa terjadi kematian.

bisa juga terjadi pembengkakan pada subkutan mata kelinci (Anonim,2007)

3.1.5 Pasteurellosis pada kerbau, sapi dan babiKasus penyakit SE biasanya dilaporkan sebagai kematian hewan dalam waktu singkat. Penyakit Septicaemia Epizootika (SE) atau biasa disebut dengan penyakit ngorok atau septicaemia hemorhagica adalah penyakit menular terutama pada kerbau, sapi, babi dan kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Penyakit biasanya berjalan secara akut sehingga angka kematian tinggi, terutama pada penderita yang telah menunjukan tanda-tanda klinik secara jelas. Hewan mengalami SE akan mengalami peningkatan suhu tubuh, edema submandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan dengan suara ngorok atau keluarnya ingus dari hidung. Umumnya, hewan kemudian mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Hewan kerbau lebih peka terhadap penyakit SE dibandingkan dengan hewan sapi lama atau jalannya penyakit sampai pada kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2 5 hari (Alwis, 1992; Graydon et al., 1993).Gejala penyakit timbul setelah masa inkubasi 2 5 hari. Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu kondisi hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak kasus merupakan tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit (Alwis, 1992). Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, kenaikan suhu hingga 430C dapat teramati 4 jam sesudah infeksi (s.i), sedangkan pada sapi kenaikan hingga 400C baru teramati 12 s.i. (BALITVET, 1997). Leleran hidung dan mata yang memerah sudah terlihat pada kerbau 4 jam s.i, sedangkan pada sapi 12 jam s.i. Bakteri dapat diisolasi dari cairan hidung kerbau 12 s.i dan 16 s.i. pada sapi. Dalam darah bakteriemia sudah terjadi 12 jam s.i pada kerbau dan sapi (Bain et al., 1982, BALITVET, 1997). Pemantauan jumlah kuman dalam darah terlihat terus meningkat hingga saat kematian hewan.

3.2Patogenesa Manifestasi gejala klinis dan patologik akibat infeksi P. multocida pada unggas diantaranya ialah septisemia, koagulasi darah intravaskular, hemoragik petechiae, multifokal hepatik, splenik nekrosis dan pneumonia fibrinosa. Infeksi yang kronis menunjukkan adanya lokalisasi fibrinopurulen (nanah) atau nekrosis pada daerah kepala atau sinus hidung yang berupa pembengkakan kepala. Apabila swab sinus hidung atau cairan hidung tersebut ditumbuhkan secara in vitro pada medium agar ditambah darah domba, kultur murni bakteri P. multocida akan tumbuh pada medium tersebut setelah inkubasi 37C selama 24 jam. Lokasi fibrinopurulen juga dapat ditemukan pada daerah organ lain seperti kantong hawa, paru-paru, jengger, telapak kaki, tulang dan persendian. (Ariyanti dan Supar, 2008). Faktor virulensi dari P. multocida yang penting dalam menimbulkan penyakit ialah antigen LPS, kapsul, plasmid dan faktor resistensi terhadap komplemen mediated bakteriolisis, namun demikian mekanisme terjadinya penyakit pada hewan terinfeksi tidak banyak diketahui. Faktor virulensi LPS dari 13 serotipe P. multocida dapat diekstraksi dengan menggunakan bahan campuran ekstraksi phenolchloroform- petroleum (PCP) sedangkan 3 serotipe P. multocida lainnya yaitu serotipe 3, 9 dan 13 hanya dapat diekstraksi dengan campuran air dan phenol. Semua LPS mengandung glukosa, 2-keto-3deoxyoctanate dan heptose. Heptose terdiri dari 2 isomer yaitu D-glycero-Dmannoheptose dan L-glycero-D-mannoheptose. Dua isomer tersebut dideteksi dari serotipe 2 dan 5. LPS dari serotipe 2 bersifat immunoprotektif terhadap serotipe 5 dan disinyalir LPS tersebut berhubungan dengan penyebab hemoragik, septikemia dan fowl cholera. Rhamnosa merupakan komponen serotipe 9 dan galaktose terdapat pada semua jenis LPS kecuali serotipe11. LPS dari P. multocida mempunyai buoyant densitas dalam CsCl antara 1,40 0,0148 g/ml dan semuanya menghemolisis sel darah merah ayam, kalkun, biri-biri atau kuda (Ariyanti dan Supar, 2008). Seperti telah disebutkan di atas bahwa P. Multocida mempunyai pembungkus ekstraselular berupa kapsul yang terdiri dari tipe A, B, D, E atau F. Keterkaitan yang penting dengan penyakit yang ditimbulkan adalah tipe A berasosiasi dengan fowl cholera, tipe B dan E dengan septikemia dan tipe D dengan atropik rhinitis karena bersifat toksigenik. Kapsul merupakan highly hydrated polysaccharides di luar sel dan melekat pada dinding sel dan diduga berfungsi melindungi sel bakteri terhadap kekeringan, pengaruh fagositose dan aktivitas reaksi komplemen dari serum hospes. Kapsul tersebut terdiri dari asam hialuronat yang dapat memberikan manifestasi pertumbuhan in vitro berupa sifat koloni yang mukoid. P. multocida berkapsul (wild type) ini dapat tumbuh dengan baik dalam jaringan otot, sebaliknya apabila kapsul P. multocida dihilangkan dan ditumbuhkan dalam jaringan otot, bakteri tersebut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, kapsul diduga merupakan material pelindung sel bakteri atau faktor virulensi bakteri tersebut (Chung et al., 2001).

3.3Etiologi Lebih dari satu abad yang lampau, Louis Pasteur telah melakukan penelitian pengembangan vaksin dari berbagai jenis bakteri, salah satunya ialah vaksin kholera unggas (Pasteurella multocida) pada tahun 1878. P. multocida termasuk dalam famili Pasteurellae bersifat Gram-negatif, fakultatif anaerob dan fermentatif, dapat menimbulkan berbagai penyakit, seperti: septisemia, penyakit pernafasan pada berbagai jenis hewan mamalia, unggas dan hewan liar. Bakteri kelompok tersebut terdiri dari 3 genus, yakni: Pasteurella, Haemophilus dan Actinobacillus. Seperti telah didiskripsi dalam Bergeys manual of determinative bacteriology, genus Pasteurella terdiri dari 6 spesies yang mempunyai sifatsifat beta hemolisis, adanya pertumbuhan pada media Mc Conkey, membentuk indol, pembentukan gas dari karbohidrat, asam dari laktosa dan manitol (Supar, 2000). Spesies penting dari genus Pasteurella, yakni: P. multocida, P. haemolytica, P. urea, P. aerogenes dan P. gallinarum. Dua spesies yang mempunyai arti secara ekonomi penting dalam bidang peternakan ialah P. haemolytica dan P. multocida, karena sering menimbulkan kematian ternak ruminansia dan unggas P. multocida secara konvensional berdasarkan sifat antigen kapsul/sifat reaksi hemaglutinasinya dibedakan menjadi 5 serogrup yaitu A, B, D, E atau F. Sedangkan berdasarkan sifat-sifat antigen somatik, strain P. multocida dapat dibedakan menjadi 16 serotipe atas dasar reaksi difusi presipitasi. Semua serotipe kecuali grup E dilaporkan dapat diisolasi dari berbagai jenis unggas. P. multocida serogrup B dan E menyebabkan hemorrhagic septicaemia (HS) atau septisemia epizootika (SE) pada ternak ruminansia, dan serogrup A menyebabkan pleuropneumonia fibrosa. P. multocida serogrup A (serotipe 1, 3, 4) menyebabkan penyakit kholera unggas atau fowl cholera pada ayam dan kalkun yang ditandai juga dengan septisemia akut dengan gejala spesifik adanya koagulasi darah pada pembuluh darah. Dalam upaya pengendalian penyakit kholera unggas maka dibuat vaksin yang sesuai dengan sifat-sifat antigenisitas dan imunogesitasnya yang mempunyai daya proteksi yang efektif. Pengendalian masalah wabah penyakit fowl cholera pada peternakan itik di Indonesia dapat dikendalikan secara efektif dengan vaksin otogenus (Ariyanti dan Supar, 2008).

3.4Diagnosa KlinisDiagnosa klinis di lapangan biasanya didasarkan pada sejarah, gejala dan kelainan yang dijumpai saat pemeriksaan pasca mati. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan cara melakukan serotyping terhadap agen penyakit. Uji haemaglutinasi tidak langsung (Carters typing), uji agar gel presipitasi, ELISA dan Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik-teknik diagnosis yang sangat berguna. Teknik ELISA telah pula digunakanuntukmengevaluasihasilvaksinasi.

3.4.1Uji Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) ELISA telah digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen P. Multocida(NATALIA et al., 1993). Teknik ELISA mempunyai sejumlah kelebihan dibandingkan dengan Passive Mouse Protection Test(PMPT), yaitu uji konvensional yang biasa digunakan untuk mengukur antibodi terhadap P. Multocida. PMPT mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain seperti bakteri tantangan harus diseleksi dan dipastikan dulu kemurnian dan patogenisitasnya, dosis tantangan harus distandardisasi dan uji PMPT membutuhkan sejumlah besar hewan percobaan (mencit) yang seragam. ELISA secara relatif mudah distandardisasi, dapat menguji sejumlah besar sampel secara cepat dan mudah, dan menghilangkan penggunaan hewan percobaan.Uji ELISA telah dicoba digunakan di Indonesia untuk mengukur respons antibodi dari sapi dan kerbau yang telah mendapatkan vaksinasi dengan vaksin SE beradjuvan minyak maupun vaksin SE hidup aerosol. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan, sensitivitas ELISA adalah 87,9% dan spesifisitasnya 92,1%. Sementara itu, untuk membedakan ELISA seropositif dan ELISA seronegatif, telah digunakan sekelompok hewan dengan titer mean sero negatif yang ditambahkan 2 atau 3 standard deviasi (SPENCER, 1992). Berdasarkan kriteria tersebut, diperoleh ELISA negatif untuk nilai < 70 EU (Elisa Unit), ELISA suspect (788 EU) dan ELISA positif (> 88 EU).

ELISA juga telah digunakan untuk mendeteksi antigen P. multocida (JOHNSON etal., 1991). Boiled antigen atau heat stableantigen yang terutama terdiri atas ekstrak lipopolisakharida (LPS) dari P. multocida 0019 telah digunakan untuk menghasilkan antibodi spesifik terhadap P. multocida B:2. Antibodi ini kemudian digunakan sebagai antigen pelapis (coating antigen) dalam ELISA. Untuk isolat non P. multocida B:2, nilai nya: 100 E.U. ELISA ini mempunyai nilai spesifisitas 99% dan sensitivitas 86%. Teknik koleksi sampel darah untuk ELISA dengan penggunaan kertas saring Serum merupakan cairan yang diperoleh setelah pemisahan antara bahan cair dan bekuan dari darah. Cairan ini merupakan spesimen utama yang digunakan dalam uji serologis. Untuk mendapatkan serum dari lapangan, dibutuhkan tabung, jarum dan needleholder untuk mengumpulkan darah. Pemisahan serum dari bekuan darah perlu dilakukan segera untuk mendapatkan serum yang baik. Kondisi penyimpanan saat transportasi ke laboratorium akan sangat mempengaruhi kondisi serum untuk uji serologis. Persyaratan pengumpulan serum seperti di atas sering menjadi hambatan bagi petugas di lapangan. Metode praktis yang dapat dipakai untuk pengambilan darah di lapangan adalah dengan metode kertas saring. Metode ini sudah digunakan di Balai Penelitian Veteriner untuk uji serologis antibodi terhadap Pasteurellamultocida B:2 penyebab penyakit SE pada sapi dan kerbau. Hasil uji baik dari sampellaboratorium maupun sampel lapangan menunjukkan bahwa terdapat korelasi unit ELISA yang tinggi antara ekstraks kertas saring dan serum (NATALIA dan PRIADI, 1998). Penggunaan kertas saring untuk pengambilan darah jauh lebih ekonomis dibandingkan dengan sistim tabung. Prinsip kerja kertas saring adalah bahwa kertas saring menyerap semua komponen darah dan mengering. Satu cakram kertas saring (diameter 6 mm) kemudian diekstraksi dengan 200 l bufer pengencer ELISA. Selanjutnya sampel ini dilanjutkan sama seperti pengerjaan ELISA pada umumnya untuk mendeteksi antibodi. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa korelasi unit ELISA (titer antibodi) sampel serum dan kertas saring sangat tinggi dengan r= 0,980 (Gambar 2.).

3.4.2Uji Cepat Aglutinasi LateksUji aglutinasi lateks telah dikembangkan untuk mendeteksi P. multocida B:2, agen penyebab SE pada sapi dan kerbau. Uji ini merupakan uji yang cepat dan sederhana sehingga cocok dipakai oleh laboratorium di daerah dalam mendiagnosis kasus-kasus penyakit SE di lapangan. Dibandingkan dengan uji ELISA, uji aglutinasi lateks terbukti lebih sederhana dan mudah digunakan di lapangan. Boiled antigen atau heat stable antigen yang terutama terdiri atas ekstrak lipopolisakharida (LPS) dari P. multocida 0019 telah digunakan untuk menghasilkan antibodi spesifik terhadap P. multocida B:2. Antibodi yang dihasilkan ini kemudian digunakan untuk mensensitisasi partikel lateks. Uji aglutinasi lateks telah dipakai untuk menyeleksi berbagai isolat P.multocida dari lapangan dan terbukti bahwa uji ini bersifat spesifik, sederhana, dan mudah digunakan dalam mendeteksi P. multocida B:2.Spesifisitas ini didasarkan atas antibodi yang dapat mengikat LPS atau membuat ikatan kompleks protein-LPS. Lateks yang telah disensitisasi tetap stabil jika disimpan dalam suhu lemari pendingin (4C) paling sedikit selama 12 bulan. Uji ini seyogianya dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mendiagnosis penyakit SE dan digunakan terutama sebagai konfirmasi dan penunjang bagihasilpemeriksaanklinisdanpascamati. (Priadi et al,2000).

3.4.3Polymerase Chain ReactionSuatu metode Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi Pasteurella multocida(P. multocida) B:2 secara spesifik dengan menggunakan satu set DNA primers telah dioptimisasi (NATALIA dan PRIADI, 2001).Pasangan primers : 5- GAAAGAAACCCAAGGCGAA-3 dan 5-ACAATCGAATAACCGTGAGAC-3 dapatmenghasilkan produk PCR sebesar 350 base pairs (bp) yang spesifik terhadap P. MultocidaB:2. Gambar 4. di bawah ini menunjukkan bahwa PCR product hanya dihasilkan oleh kuman P. multocida B:2. Dalam penelitian yang telah dilakukan, pengaruh penambahan ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) pada pelarut sampel, kontaminasi Escherichia coli (E. coli) dan jumlah P. multocida dalam sampel dievaluasi. Uji PCR ini juga dibandingkan dengan metoda standard bakteriologis untuk mendeteksi P.multocida B:2 dalam sampel tonsil swab yang telah dikumpulkan dari rumah potong hewan di berbagai daerah di Indonesia. Penambahan 100 mM EDTA pada sampel tonsil swab yang telah diberi P. multocida B:2 ternyata menghambat terbentuknya hasil PCR pada 350 base pairs (bp). Efek penghambatan oleh EDTA ini dapat dihilangkan dengan pencucian sebanyak 3 kali menggunakan air deionisasi. Uji PCR dapat mendeteksi P. Multocidadengan jumlah 1 organisme dan pada keadaan sampel terkontaminasi dengan 100 colonyforming unit (CFU) E. coli. Hasil pengamatan di atas menunjukkan bahwa DNA primersuntuk P. multocida B:2 yang digunakan pada uji PCR ternyata sensitif, spesifik, dan efek hambatan oleh EDTA dapat dihilangkan denganpencucian.(Priadi et al,2000).

3.5Gambaran Patologi Pada pemeriksaan pasca mati, kelainan yang tampil menyolok adalah oedemasubcutaneous dengan cairan serogelatinousterutama di daerah submandibula, leher dan dada. Umumnya kebengkakan lebih sering ditemui pada kerbau daripada sapi (LOSOS,1986). GRAYDON et al. (1993), menyatakan bahwa pada infeksi buatan, kebengkakan lebih jelas terlihat pada sapi dari kerbau. Pada jaringan subkutan dapat ditemui adanya perdarahan titik-titik dan kelenjar limfe membengkak yang dapat berupa pembengkakan, kongesti dan hiperemia (SIEW et al., 1970) atau nekrosis yang nyata (GRAYDON et al., 1993). Dalam rongga dada terjadi perubahan pada paru-paru yang berkisar dari pembendungan umum sampai konsolidasi yang ekstensif dengan penebalan septa interlobular. Perubahan ini lebih nyata pada kerbau daripada sapi (GRAYDON et al., 1993). Pleurisy dan pericarditis yang jelas tampak dengan penebalan perikardium dan adanya cairan serosanguinous dalam ruang pleura dan pericardial. Perdarahan dengan derajat yang bervariasidapatterlihatpadajantung.

3.6Cara Penularan Penyakit 3.6.1Septicaemia Epizootica (SE)Penularan penyakit biasanya dipengaruhi oleh stres, kepadatan hewan, manajemen yang tidak baik, dan Sumber organisme yang infektif dalam wilayah wabah yang baru diduga berasal dari hewan carrier yang secara intermitent dikeluarkan oleh hewan carrier yang kebal tetapi membawa organisme tersebut dalam tonsilnya. Kuman banyak disekresi melalui leleran hidung pada fase demam awal, sehingga periode ini merupakan masa penularan yang penting. Dalam kondisi yang mendukung yaitu keadaan lembab atau basah kuman yang diekskresi dapat bertahan selama seminggu sehingga memungkinkan penularan tak langsung ke hewan lainnya (Bain et al., 1982) Morbiditas dan mortalitas penyakit dipengaruhi oleh berbagai faktor dan interaksinya. Umur endemisitas dari daerah tertentu, kejadian penyakit sebelumnya,kekebalan yang terjadi dan tingkat kekebalan kelompok hewan merupakan faktor-faktor yang penting. Apabila abah pertama kali melanda wilayah baru, tingkat penyebaran akan sangat tinggi dan kematian dapat terjadi pada hewan segala umur.Pada wilayah endemik dimana proporsi carrier yang kebal tinggi, penyebaran kuman sering terjadi. Bilamana kuman menyebar ke hewan yang sudah kebal, hal ini akan merupakan booster terhadap tingkat kekebalan. Kelompok yang peka dari wilayah endemik ini hanyalah hewan muda yang kekebalan maternalnya sudah menurun atau hewan yang didatangkan dari wilayah yang non-endemik. Jadi wabah tidak menjadi epidemik dan hanya terjadi pada hewan muda di daerah endemik (De Alwis, 1981; Carter dan De Alwis, 1989). Meskipun penyakit SE mungkin terjadi setiap saat, penyakit umumnya terjadi dan berkembang selama musim penghujan dimana hewan banyak mengalami stres karena dipekerjakan.Kondisi stres dimusim penghujan tersebut di atas menyebabkan peningkatan daya tahan hidup kuman dalam induk semang dan peningkatan jumlah organisme dalam lingkungan basah. Dalam kondisi induk semang yang lemah, organisme dalam hewan carrier bertahan dan kepekaan hewan terhadap penyaklit meningkat. Hewan dengan kondisi yang buruk dan keengganan pemilik hewan untuk melakukan vaksinasi juga berperan terhadap peningkatan kejadian penyakit (Mosier, 1993).

3.6.2Fowl Cholera UnggasPenularan penyakit terjadi secara horisontal dimana ayam sehat tertular dengan ayam sakit melalui peralatan kandang, kotoran hewan maupun oleh pekerjanya sendiri. Tikus, insekta (terutama lalat) dan burung liar juga berperan dalam penyebarannya. Bakteri menginfeksi ke dalam jaringan tubuh melalui saluran pernapasan dan melalui konjungtiva ataupun luka pada permukaan jaringan. Hampir semua unggas yang sembuh akan bersifat carrier.

3.7Pencegahan dan Pengobatan 3.7.1Septicaemia Epizootica (SE)Untuk pengendalian Septicaemia Epizootica (SE) yang diakibatkan bakteri Pasteurella multocida ,vaksinasi masih merupakan cara yang utama. Vaksin yang umum digunakan adalah vaksin alum presipitat yang memerlukan 2 kali penyuntikan per tahun. Vaksin lain berupa vaksin beradjuvant minyak yang selama ini digunakan sekali suntikan pertahun di Indonesia. Kelemahan vaksin mati beradjuvant minyak adalah tingginya viskositas sehingga menyulitkan penyuntikan. Salah satu rekomendasi FAO Regional Animal Production and Health Commision for Asia and the Pacific (FAO/APHCA) Subgroup on Haemorrhagic Septicaemia pada tahun 1986 adalah pengembangan vaksin yang menggunakan galur Pasteurella multocida avirulen karena di lapangan hewan yang mengalami infeksi secara subklinis mempunyai tingkat kekebalan yang tinggi (Myint, 1994).Vaksin terhadap Septicaemia Epizootica (SE) dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: vaksin mati dan vaksin hidup. Umumnya vaksin mati mengandung Pasteurella multocida tipe B:2 dari isolat lokal masing-masing Negara. Berbagai cara penyiapan vaksin sudah dikembangkan untuk mengendalikan penyakit SE. Vaksin ini diproses dari broth atau kultur agar dan dapat memberikan kekebalan kurang dari 6 minggu.Broth bacterin yang tidak diberi adjuvant memberikan kekebalan selama 1,5 2 bulan dan dapat menyebabkan shock karena adanya endotoksin dalam vaksin bacteri tersebut (Carter and De Alwis, 1989).Alum-Precipitated Vaccine dibuat dari broth bacterin atau aerated culture yang dibunuh dengan formalin dan ditambahkan 10-20% larutan potash alum {KAl(SO4)2} untuk mendapatkan 1% alum dalam vaksin. Vaksin ini banyak dipakai karena mudah diaplikasi.Suntikan subkutan vaksin ini dapat memberikan kekebalan selama 5 bulan.Vaksinasi tahunan biasanya dilakukan 2 kali. Oil adjuvant bacterin atau vaksin adjuvant minyak telah terbukti cukup efektif. Emulsi minyak ini minimal harus mengandung 2 mg bakteri kering dalam 3 ml emulsi. Vaksin ini memberikan kekebalan selama 6-9 bulan setelah vaksinasi pertama pada hewan muda, dan dapat melindung sampai 12 bulan setelah revaksinasi.Vaksin ini cukup kental dan agak sulit di dalam pemakaiannya, cepat rusak pada suhu ruanganmempunyai waktu simpan yang singkat dan kadang-kadang menimbulkan efek sampingberupa reaksi local.Usah untuk mengurangi kekentalan vaksin bisanya berakibat pada pengurangan kekebalan bila dibandingkan dengan yang diberikan oleh oil adjuvant vaccine yang konvensional.Dua vaksin adjuvant minyak telah dikembangkan dengan kekentalan yang rendah dan menimbulkan titer antibody yang tinggi sampai 230 hari (Muneer dan Afzal, 1989).

3.7.2Fowl Cholera UnggasPencegahan kolera terutama ditujukan untuk menghilangkan sumber dari bakteri Pasteurella multocida atau mencegah agar sumber penularan bakteri tidak masuk/berada didalam kandang atau lokasi peternakan.Hal ini hanya dapat dilakukan dengan cara pengamanan biologis yang ketat meliputi sanitasi /desinfeksi optimal,,menghindari kontak dengan ayam sakit atau carrier,mencegah adanya ternak lain,burung peliharaan dan rodentia didalam lokasi peternakan dan mencegah adanya stress yang berlebihan pada ayam.Sehubungan dengan keadaan diatas makan kegiatan managemen perlu dioptimalkan.Pemeliharaan ayam dengan umur yang berbeda perlu diatur sehingga letak kandang starter dan grower tidak berdekatan dengan ayam yang lebih tua.Anjing,kucing,domba ataupun ternak yang lainnya supaya tidak dipelihara dalam lokasi peternakan.Demikian juga itik,angsa dan berbagai burung agar tidak dipelihara dalam lokasi peternakan karena dapat bertindak sebagai sumber infeksi kolera unggas.Kandang dan peralatannya juga harus tetap bersih sebelum.selam,dan sesudah dipergunakan ayam.Vaksinasi terhadap kolera unggas dengan vaksin aktif maupun inaktif kadang-kadang dilakukan pada peternakan dengan kasus kolera yang sulit ditangani dengan managemen yang ketat ataupun pada daerah endemic kolera.Vaksin Kolera biasanya diberikan pada umur 3 minggu.Hasil vaksinasi terhadap kolera unggas pada umunya belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga tindakan tersebut biasanya didukung oleh praktek manajemen yang ketat.Hal penting yang harus dingat sehubungan dengan pengendalian penyakit dalam suatu peternakan ayam adalah kenyataan bahwa vaksinasi tidak dalam suatu peternakan ayam adalah kenyataan bahwa vaksinasi tidak dapat menggantikan pengamanan biologis/praktek manajemen yang ketat (Charles,2002).Pengobatan dapat dilakukan dengan berbagai antibakteri atau anti biotic misalnya pemberian preparat sulfat.Pemberian tetrasiklin yang dicampur dengan pakan dengan dosis 200-400g/ton akan menekan gejala klinik dan mengurangi angka kematian pada unggas. Pasteurella multocida mempunyai banyak serotype yang mungkin memiliki areaksi yang berbeda terhadap baerbagai agen kemoterapeutik.Cara terbaik adalah dengan melakukan Uji sensitifitas antibiotic,namun karena biayanya cukup tinggi,maka kondisi lapangan lapangan metode tersebut tidak dikerjakan.Berbagai sulfa,antibiotic atau kelompok flumekuin dan kuinolon mempunyai efektivitas yang berbeda terhadap pengobatan kolera unggas.Penggunaan obat-obat tersebut hendaklah dilakukan secara benar dengan mempertimbangkan dosis dan lama pengobatan untuk menghindari timbulnya resistensi dan residu didalam daging atau telur,terutama obat-obat jenis sulfa dan antibiotic (Charles,2002).Disamping melakukan pengobatan,maka perlu juga untuk menghilangkan factor pendukung timbulnya penyakit ini.Sehubungan dengan adanya kerusakan pada berbagai jarigan ayam yang menderita kolera unggas,maka rehabilitasi pada jaringan perlu dilakukan dengan cara pengobatan suportif,misalnya pemberian multivitamin ataupun memperketat kualitas kandungan nutrient dalam pakan (Charles,2002).

3.7.3Pengobatan yang Dilakukan dengan VaksinasiVaksin SE; umumnya vaksin terhadap SE hanya mengandung Pasteurella multocida tipe B-2 atau E-2. Di banyak negara, biang vaksin diperoleh dari isolat lapangan setempat. Macam-macam vaksin SE:a. Plain bacterinAdalah vaksin yang paling sederhana yang diproses dari kultur agar. Vaksin yang disiapkan dengan cara ini memberikan kekebalan kurang dari 6 minggu, tetapi yang tidak diberi adjuvant memberikan kekebalan 1,5-2 bulan dan dapat menyebabkan shock karena adanya endotoksin dalam vaksin bakteri tersebut.b. Alum-precipitate vaksinVaksin ini dibuat dari broath bacterin yang dibunuh dengan formalin dan ditambahkan 10-20% larutan potash alum untuk mendapatkan 1% alum dalam vaksin. Vaksin ini banyak dipakai karena mudah didapat dan mudah diaplikasikan yaitu dengan cara penyuntikan secara subcutan. Vaksin ini dapat memberikan kekebalan selama 5 bulan, vaksinasi tahunan biasanya dilakukan dua kali.c. Vaksin Adjuvat minyakVaksin ini telah terbukti cukup efektif. Emulsi minyak ini minimal harus mengandung 2 mg bakteri dalam 3 ml emulsi. Vaksinasi ini memberikan kekebalan dalam 6-9 bulan setelah vaksinasi pertama pada hewan muda, dan dapat melindungi selama 12 bulan setelah revaksinasi. Vaksin ini cukup kental dan agak sulit dalam pemakaiannya, cepat rusak pada suhu ruang, mempunyai waktu simpan yang singkat dan kadang-kadang menimbulkan efek samping berupa reaksi lokal. Usaha untuk mengurangi kekentalan vaksin biasanya berakibat pada pengurangan kekebalan.d. Vaksinasi hidup parenteralBlue variant: beberapa galur bakteri Pasteurella multocida pernah dicoba sebagai vaksin hidup menggunakan blue variant yang diperoleh dari cultut broth yang lama.variant ini bersifat kurang patogen terhadap mencit. Pada kerbau, galur ini memberikan kekebalan untuk beberapa bulan, tetapi vaksin galur ini sekarang tidak digunakan lagi. Streptomycin dependent mutan; di Mesir, Streptomycin dependent mutan, galur P. multocida tipe B digunakan untuk mengimunisasi mencit. Di Srilank, mutan serupa digunakan untuk mengimunisasi sapi dan kerbau. Vaksin ini bisa melindungi 75% sapi dan 100% kerbau dengan dosis tunggal. e. Vaksin hidup aerosolPasteurella multocida galur B-3 dan B-4 digunakan sebagai biang vaksin aerosol. Bakteri ini bisa menyebabkan hemorrhagi septicaemia pada ruminansia liar, tetapi tidak pada sapi dan kerbau. Walaupun galur P. multocida B-3 dan B-4 jarang terisolasi pada hewan, tetapi mempunyai hubungan imunologis yang dekat dengan isolat P. multocida lainnya.Di lapangan, P. multocida B-3 dan B-4 didapat dari rusa di Inggris. Bakteri ini bersivat kurang virulen jika dibandingkan dengan P. multocida B-2. Vaksin ini diaplikasikan secara subcutan dengan dosis 107 CPU dari vaksin hidup dapat melindungi hewan lebih dari 1 tahun, tetapi aplikasi vaksin ini menimbulkan kebengkakan pada lokasi penyuntikan dan kematian pada beberapa hewan. Percobaan lain dengan semprotan partikel kasar secara intranasal dengan dosis yang sama tidak memberikan perlindungan yang memadai. Pada percobaan selanjutnya, semprotan partikel halus dengan alat hair spray memberikan proteksi terhadap SE lebih dari 1 tahun. Inokulasi secara aerosol menimbulkan kekebalan lokal mukosa dan sistemik sehingga memberikan perlindungan yang lama. Vaksin tersebut direkomendasikan oleh FAO dan WHO untuk digunakan pada ternak sapi dan kerbau. (Carter,1989).

BAB IV.PENUTUP

4.1KesimpulanPasteurellosis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella yang termasuk ke dalam Ordo Pasteurellales Famili Pasteurellaceae dan terdapat 4 spesies dari genus Pasteurella ini, diantaranya adalah Pasteurella multocida, Pasteurella haemolitica, Pasteurella pneumotropca dan Pasteurella ureae. Pasteurella multocida dan Mannheimia Haemolytica (Pasteurella haemolitica) adalah dua spesies Pasteurella yang sering menyebabkan berbagai penyakit Pasteurellosis. Kebanyakan penyakit ini disebarkan oleh anjing dan kucing. Bisa melalui kambing, kuda, biri-biri, tikus, hamster, babi, serigala dan unggas.Gejala penyakit ini sangat bervariasi pada tiap-tiap hewan. Secara gari besar adalah PES pada bangsa rodentia, SE (Septicemia Epizootika) dan Pneumonia pada kambing, sapi, babi, dan kelinci, serta kholera pada unggas. Gejala umum yang nampak adalah adanya kenaikan suhu dan penurunan nafsu makan. Pada diagnosa klinis dapat dilakukan dengan uji ELISA dan uji hemaglutinasi. Gambatan patologi yang terlihat pada pneumonia adalah adanya nekrosis pada paru-paru, ataupun pada SE atau kholera ditemukan perdarahan titik-titik pada jaringan subkutan. Penularan penyakit SE dan pneumonia biadanya terjadi secara kontak langsung atau bisa melalui udara dengan jarak yang cukup dekat. Sedangkan kholera biasanya terjadi secara horizontal dimana ayam yang sehat tertular ayam yang sakit melalui kandang, kotoran hewan, maupun para pekerja kandang. Pengobatan yang umum dan biasanya dilakukan adalah dengan vaksinasi dan pemberian antibiotik. Hewan yang sembuh dari penyakit ini bersifat carrier.

4.2SaranSaran kami sebagai penulis bagi pemilik peternakan baik itu sapi, kambing, domba, babi, kelinci, unggas ataupun penyayang hewan agar selalu menjaga sanitasi kandang, kebersihan pakan dan minumnya, rajin memeriksa kesehatan hewannya agar terhindar dari penyakit pasteurellosis. Karena penyakit ini juga menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi para peternak bila sudah terkena pada ternaknya, terutama pada unggas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. Gangguan Pencernaan Akibat Infeksi Bakteri. www.gangguan-pencernaan-akibat-infeksi-bakteri.blogspot.com. Diakses pada tanggal 21 maret 2014. Jam 23.15.Ariyanti, Tati dan Supar. 2008. Kholera Unggas Dan Prospek Pengendaliannya Dengan Vaksin Pasteurella multocida Isolat LokalI. WARTAZOA Vol. 18 No. 1 Th. 2008. Bogor. Ariyanti,Tati dan Supar. 2007. Kholera Unggas dan Prospek Pengendaliannya dengan Vaksin Pasteurella multocida Isolat Lokal. Balai Besar Penelitian Veteriner. BogorBAIN, R.V.S.; M.C.L. DE ALWIS; G.R. CARTER AND B.K. GUPTA. 1982. Haoemorrhagic Septicaemia. FAO of the United Nations, Rome.BALITVET, 1997. Laporan ACIAR PN 9202 BAIN, R.V.S.; M.C.L. DE ALWIS; G.R. CARTER AND B.K. GUPTA. 1982. Haoemorrhagic Septicaemia. FAO of the United Nations, RomeButcher, 2009. Kolera Unggas dan cara penanggulangannya. Ilmu Pangan dan Pertanian Universitas Florida. Gainesville.Carter GR dan De Alwis MCL. 1989. Haemorrhagic Septicaemia. Oleh Rutter JM. Pasteurella and Pasteurellosis. Harcourt Brace Jovanovich: Academic Press. Hlm 131-157.CARTER, G.R. and M.C.L. DE ALWIS. 1989. Haemorrhagic Septicaemia. In: Adlam, C. and Rutter J.M., Pasteurella and Pasteurellosis. Academic Press Limited, London. p. 131 160.Charles R.T.2002.Penyakit Ayam dan Cara Penanggulangannya, Volume 2. Kanisius: Jogjakarta.Chung, J.Y., V.I. Wilkie, J.D. Boyce, K.M. Townsend, A.J. Frost, M. Ghoddusi and B. Alder. 2001. Role the capsule in the pathogenesis of fowl cholera caused by Pasteurella multocida serogroup A. Infect. Immun. 69(4): 2482 2492.DE ALWIS, M.C.L. 1981. Mortality among cattle and buffaloes in Srilanka due to haemorrhagic septicaemia. Trop. Anim. Health. Prod. 13: 195 202.DE ALWIS, M.C.L. 1992. Haemorrhagic Septicaemia. A General Review. Brit. Vet. J.148: 99 112De Alwis, M.C.L. 1999. Haemorrhagic Septicaemia. ACiAR Monograph. Canberra.F.A.O. 1991. Peoceedings of the FAO/APHCA worhshop on Haemorrhagic Septicaemia. February 1991. Kandy Srilanka.Graydon, R.J., B.E. Patten and H. Hamid 1993. The Pathology of Experimental Haemorrhagic Septicaemia in Cattle and Buffalo. Pasteurellosis in Production Animals. ACIAR: Proc. No. 43.Graydon, R.J., B.E. Patten and H. Hamid 1993. The Pathology of Experimental Haemorrhagic Septicaemia in Cattle and Buffalo. Pasteurellosis in Production Animals. ACIAR Proc. No. 43 Iriyanti,2007. Penyakit Ternak Besar. Pascasarjana Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.Johnson, R.B., H.J.S. Dawkins And T.L. Spencer.1991. Application Of Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Technology To Haemorrhagic Septicaemia. Proceedings Of The Fourth International Workshop On Haemorrhagic Septicaemia. Kandy, Sri Lanka 11-15 February, 1991. Dept of animal prod. And health Gov. Sri Lanka. FAO Bangkok, Thailand Eds. DE ALWIS, M.C.L., T.G. WIJEWARDANA. Pp. 85-90.KOMPAS. 2006. Ratusan Ekor Sapi Mati Akibat Ngorok. KOMPAS 9 Februari 2006.Losos, G.L. 1986. Infectious Tropical Diseases Of Domestic Animals. Longman: Harlow, Essex.pp. 718 738.MYINT, A. 1994. Use of intranasal aerosol vaccine: hope for haemorrhagic septicaemia erradication in Asia and the Pacific region. Asian Livestock. 19: 101 104.Natalia, L, B.E. Patten. 1993. The Response Of Animals To Pasteurella Multocida Vaccination As Measured By PMPT And ELISA. PenyakitHewan25 (46A): 15 20.Natalia,Lily dan Priadi, Adin. 2010. Penyakit Septicaemia Epizootica: Penelitian Penyakit dan Usaha Pengendaliannya Pada Sapi dan Kerbau Di Indonesia. Balai penelitian Veteriner. Bogor.Poernomo, S. 1980. Kasus Pasteurella multocida pada itik. Bull. LPPH. XII(19): 42 56. Press. Yogyakarta.PRIADI, A., dan L. NATALIA. 2000. Patogenesis Septicaemia Epizootica (SE) Pada Sapi/Kerbau: Gejala Klinis, Perubahan Patologis, Reisolasi, Deteksi Pasteurella Multocida Dengan Media Kultur Dan Polymerase Chain Reaction (PCR). JITV, 5: 65 71.Rhoades, K.R. and R.B. Rimler. 1990. Somatic serotype of Pasteurella multocida isolated from avian hosts (1976 1988). Avian Dis. 34: 193 196.Rustomo,2008. Category Infeksi Pernapasan Pada Kelinci (Pasteurella multocida). Penerbit: Universitas HasannudinSiew, T.W., N.A. Hadi And J, Thomas. 1970. Outbreak Of Haemorrhagic Septicaemia In A Dairy Herd. Kajian Veteriner Malaysia-Singapore No. 2: 139 144.Sinurat, A.P.B., Wibowo, Miftah dan T. Pasaribu. 1992. Pemanfaatan itik jantan lokal untuk produksi daging. Pros. Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus. Departemen Pertanian dan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan. Jakarta. hlm. 395 405.Sumadi, dkk. 2005. Isolasi Dan Identifikasi Biokimiawi Pasteurella muitocilda Asal Sapi Yang Dipotong Di Rumah Pemotongan Hewan (Rph) Cakung. Buletin Pengujian Mutu Obat Hewan No.11. Bogor.Supar, Y. Setiadi, Djaenuri, N. Kurniasih dan B.Poerwadikarta. 2000. Patogenesis of Pasteurella multocida isolat lokal pada mencit dan ayam. JITV 5(1): 59 64.Wahyu, 1997. Pasteurellosis merupakan penyakit zoonis dari rodent. Gajah Mada University. Jogjayakarta.Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Cetakan Pertama. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.