makalah paradigma filsafat hukum dalam kasus narkotika.docx

18
Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika PARADIGMA CRITICAL THEORY DALAM KAITANNYA DENGAN KASUS NARKOTIKA PUTUSAN PENGADILAN NOMOR 235/PID.SUS/2014/PN DPK DAN LETAK MENCAPAI KEADILAN DALAM HUKUM Disusun Oleh : Kahfi Bima Kurniawan 11010112140583 Kelas H FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Upload: kahfi-bima-kurniawan

Post on 24-Jan-2016

171 views

Category:

Documents


30 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika

PARADIGMA CRITICAL THEORY DALAM KAITANNYA DENGAN KASUS NARKOTIKA PUTUSAN PENGADILAN NOMOR

235/PID.SUS/2014/PN DPK DAN LETAK MENCAPAI KEADILAN DALAM HUKUM

Disusun Oleh :

Kahfi Bima Kurniawan

11010112140583

Kelas H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2015

Page 2: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

PENDAHULUAN

Negara Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Tidak dapat

dipungkiri bahwa dalam hal ini siapapun masyarakat yang melakukan suatu perbuatan

yang melawan hukum akan dapat dikenai sanksi pidana. Hal ini tercantum pada Pasal 1

Ayat (1) KUHP “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan

pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Ini

berarti bahwa perbuatan yang melawan hukum dapat dipidana akan tetapi harus sudah di

atur dalam Undang-Undang atau Undang-Undangnya sudah ada duluan sebelum

perbuatan tersebut dilakukan. Banyak sekali kasus di Tanah Air ini yang selalu saja

terjadi, dari kasus yang umum seperti pemerkosaan, pembunuhan, pencurian,

penganiayaan, kejahatan terhadap ketertiban umum, dan masih banyak lagi lainnya

sebagaimana di atur dalam Buku II KUHP tentang kejahatan. Tak dapat dipungkiri bahwa

adapula kasus yang khusus atau dalam hal ini masuk ke dalam kategori pidana khusus,

seperti dalam hal terorisme, korupsi, gratifikasi, pencucian uang, perikanan bahkan

narkotika yang sudah mengganggu kehidupan bangsa Indonesia.

Page 3: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

LATAR BELAKANG

Peredaran narkotika di Indonesia semakin masih. Bahkan, 80 persen di antaranya

masuk melalui jalur laut karena Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Setelah masuk

melalui pelabuhan-pelabuhan kecil, kemudian narkotika didistribusikan melalui jalur

darat.

 Indonesia saat ini sudah berstatus darurat narkoba di mana sudah menjadi negara pasar.

Penjualan narkoba di Indonesia memang sangat menguntungkan. Peredaran gelap

narkotika paling banyak masih berada di Jakarta dan diikuti dengan Jawa Barat, Jawa

Timur, dan seterusnya. Penghentian narkotika di Indonesia sangatlah susah. Pencegahan

bahkan pemberantasan narkotika di Tanah Air sangatlah sulit dikarenakan banyak

kalangan-kalangan atas yang mempunyai kekuatan yang membuat barang haram tersebut

mudah untuk masuk ke Tanah Air. Tidak itu juga perizinan yang tidak ketat dan hasil dari

penjualan narkotika yang sangat menguntungkan dan menggiurkan membuat orang-orang

hampir terpaku untuk melakukan perdagangan narkotika tersebut.

Dikarenakan negara Indonesia adalah negara hukum dimana terdapat Undang-Undang

dalam pengaturan narkotika yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, dalam hal ini

masih belum efesien dan maksimal. Masih banyak permasalahan yuridis di dalam

Undang-Undang tersebut dimana dalam paper ini saya ingin menunjukkan permasalahan

yuridis tersebut terhadap putusan berkekuatan hukum tetap mengenai arti dari

permufakatan jahat dan percobaan serta penjatuhan hukuman pidana yang tidak sesuai

yang bertolak belakang kepada keadilan.

Dalam paper ini saya akan membahas lebih jauh mengenai kasus perkara narkotika

putusan pengadilan Nomor : 235/Pid.Sus/2014/PN Dpk. Dalam kasus ini terpidana

bernama lengkap Winda Triasih binti ( alm ) Arifin Sukarno, lahir di Bogor, berusia 40

Tahun, pekerjaannya adalah ibu rumah tangga. Terpidana di tangkap oleh penyidik pada

tanggal 15 Januari 2014.

Diluar ini semua, terdapat suatu cara berpikir untuk dikaitkan dengan suatu putusan

pengadilan tersebut. Cara berpikir ini bisa kita sebut dengan yang namanya paradigm.

Paradigma merupakan suatu model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan ilmiahnya,

Page 4: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dengan metoda apa dan

melalui prosedur bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.

Page 5: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

PERMASALAHAN

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Depok dengan Nomor : 235/Pid.Sus/2014/PN

Dpk, yang dimana terpidana dijatuhi putusan oleh Hakim sebagaimana di atur dalam

Pasal 114 Ayat (2) Jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika “Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan pidana

narkotika dengan tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli,

menyerahkan, atau menerima narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman

beratnya melebihi 5 (lima)gram” menjatuhkan pidana penjara selama 13 (lima belas)

Tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (Satu miliyar rupiah). Dari kutipan

pasal tersebut yang menjadi permasalahan adalah mengenai percobaan atau

permufakatan jahat.

1. Apakah dalam hal ini percobaan dan permufakatan jahat sama hukumannya

dengan pelaksanaaan sampai selesai yang dimana akan di kaitkan dengan

Paradigma Teori Kritis (Critical Theory) berdasarkan pula dengan set basic belief

dalam pertanyaan ontology ?

Page 6: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

PEMBAHASAN

Percobaan dan permufakatan jahat sama dengan pelaksanaaan sampai selesai yang

dimana akan di kaitkan dengan Paradigma Teori Kritis (Critical Theory) berdasarkan

pula dengan set basic belief Ontologi.

Percobaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal

132 Ayat (1) Penjelasannya “sebagai adanya unsur-unsur niat, adanya permulaan

pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena

kehendaknya sendiri”. Uraian tersebut jelas bahwa ada niat untuk melakukan suatu

perbuatan dan adanya permulaan pelaksanaan, akan tetapi saat mau mulai melakukan

gagal karena bukan semata-mata dikehendaki sendiri melainkan ada faktor lain yang

menyebabkan batalnya pelaksanaan perbuatan tersebut. Kalau ini memang di sebut

percobaan maka pelaksanaan tidak selesai dalam pasal 53 ayat (2) KUHP dalam hal

percobaan dapat dikurangi 1/3 yang berarti pidana penjara seberat 10 Tahun saja.

Akan tetapi tidak disebutkan secara jelas di dalam Undang-Undang Narkotika

mengenai percobaan.

Yang kedua mengenai permufakatan jahat, menurut Pasal 88 KUHP di katakana

sebagai pemfukatan jahat apabila ada 2 orang atau lebih telah sepakat akan melakukan

kejahatan. Disini kata sepakat mengandung makna bahwa ada suatu kemauan antara

para pihak yang dimana dalam hal ini untuk melakukan suatu kejahatan. Apabila para

pihak belum sepakat lalu niatnya untuk melakukan kejahatan ketahuan maka dalam

hal ini belum ada pelaksanaan hingga selesai.

Namun hal ini berbeda dengan permufakatan jahat yang diatur dalam pasal 1 angka

18 “perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk

melakukan, melaksanakan, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan,dsb…”

lagi-lagi ada kata bersepakat dimana para pihak harus mau untuk melakukan suatu

kejahatan dimana kesepkatan ini adalah hal yang disadari oleh para pihak. Sekarang

yang menjadi pertanyaannya adalah kaitannya dengan putusan hakim dalam

Page 7: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

penjatuhan sanksi pidananya dengan kaitannya paradigma teori kritis (Critical

Theory). Sebelum kita berbicara mengenai Paradigma critical theory, alangkah

baiknya kita mengetahui dulu apa itu pengertian Paradigma sebagaimana telah

dijelaskan sedikit dalam latar belakang diatas.

Paradigma adalah keranga berpikir yang membedakan dan memadukan, kemudian

memilah dan mengelompokkan telaahan praktis, ilmiah, teoritis dan filsafati tentang

suatu hal, keadaan, peristiwa atau permasalahan hukum dalam rangka menjelaskan,

memahami, mengungkapkan atau menyelesaikannya secara lebih rinci, jelas dan

komprehensif.

Kenapa kerangka berpikir ? Bukan cara berpikir ? Ibarat frame foto, foto ditaruh

dalam frame agar tidak sobek, rusak, dan berdebu. Frame dengan foto itu berbeda.

Pikiran sama dengan foto, paradigma sama dengan frame. Pikiran manusia diberi

kerangka agar jelas, tegas, rinci. Jadi ibarat kata pikiran manusia itu seperti foto yaitu

mengenai hasil pemikiran sedangkan paradigma disini adalah rangka atau kerangka

untuk mematangkan, menjaga, dan menguatkan dari hasil pemikiran tersebut agar

kokoh dan tidak mudah rusak ataupun hilang.1

Dalam maknanya yang luas, paradigma adalah suatu system filosofis utama, induk,

atau ‘payung’ yang terbangun dari ontology, epistemology, dan metodologi tertentu,

yang masing-masingnya terdiri dari satu ‘set belief dasar atau worldview yang tidak

dapat begitu saja dipertukarkan [dengan belief dasar atau worldview dari ontology,

epistemology, dan metodologi paradigma lainnya]. Paradigm mempresentasikan suatu

system atau set belief ‘dasar’ tertentu yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama

atau pertama, yang mengikatkan penganut atau pengguanya pada world view tertentu,

berikut cara bagaimana ‘dunia’ harus dipahami dan dipelajari, serta yang senantiasa

memandu setiap pikiran, sikap, kata dan perbuatan penganutnya.

Dari sekian banyak pakar yang mencoba menyodorkan pemahaman mengenai

klasifikasi paradigma, Prof. Erlyn Indarti SH.,M.A,.Ph.D cenderung mengadopsi pendapat

Guba dan Lincold yang menurut Prof. Erlyn Indarti SH.,M.A,.Ph.D lebih mencakup

sekaligus sistematis, padat, dan rasional. Mereka, yang pada dasarnya lebih condong

1 Bahan materi kuliah IV filsafat hukum lebih jauh tentang paradigma Prof. Erlyn Indarti SH.,M.A,.Ph.D

Page 8: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

kepada pengertian global dari paradigma itu, membedakan paradigm berdasarkan

pada jawaban masing-masing terhadap 3 (tiga) pertanyaan mendasar yang

menyangkut : Pertama, bentuk dan sifat realitas, berikut apa yang dapat diketahui

mengenai hal ini [disebut sebagai pertanyaan ‘ontologis’] ; sifat hubungan atau relasi

antara individu atau kelompok masyarakat dengan lingkungan atau segala yang ada

diluar dirinya, termasuk apa yang dapat diketahui tentang hal ini [disebut sebagai

pertanyaan ‘epistemologis’, ke dalam mana termasuk pula pertanyaan ‘aksiologis’ ;

dan cara bagaimana individu atau kelompok masyarakat [ tentunya termasuk peneliti ]

mendapatkan jawab atas apa yang ingin di ketahuinya tersebut [disebut sebagai

pertanyaan ‘metodologis’2.

Itulah mengenai definisi sesungguhnya paradigma. Seiring berjalannya waktu lahirlah

4 paradigma besar yang diantaranya adalah Teori Kritis (Critical Theory). Aliran

Critical Theory merupakan suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas, yang

mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideology ini meliputi

NeoMarxisme, Materliasme, Feminisme, Partispatory Inqury dan paham-paham yang

setara. Paham ini telah melihat realitas secara kritis. Sama sekali berbeda dengan

paham positivism, aliran ini langsung terjun ke lapangan.

Teori ini lahir dalam ilmu pengetahuan karena realitas cara pandang positivsme

terlalu direduksi. Reduksionisme memandang bahwa alam selalu dipandang hanya

dengan menatap dari kursi goyang para ilmuwan belaka dan tidak pernah turun ke

lapangan secara langsung. Teori kritis ini merupakan salah satu kritik terhadap

positivsme dalam ilmu sosial. Teori kritis ini mengalami perkembangan dalam dua

generasi. Pertama pada tahun 1923 oleh Horkheimerdan kedua dimulai dengan

adanya usaha-usaha dari Jurgen Habermas.

Dari kedua perkembangan teori kritis tersebut, Hubert mencatat ada tiga karakteristik

dari Teori Kritis yang dikembangkan oleh Horkheimer. Pertama, teori kritis diarahkan

oleh suatu kepentingan perubahan fundamental pada masyarakat. Untuk kepentingan

ini harus ditumbuhkan sikap kritis dalam menginterpretasikan realitas yang dinilai

terdistrosi. Kedua, teori kritis dilandaskan pad apendekatan berpikir yang historis.

2 Indarti, Erlyn (2010) Diskresi dan Paradigma: Sebuah telaah filsafat hukum. Documentation. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Page 9: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

Ketiga, teori kritis ada untuk upaya pengembangan eberpikir komprehensif. Dari

penjelasan tersebut, teori kritis bersikap dan curiga terhadap realitas yang ada,

berpikir dengan memperhatikan aspek historis yang terjadi dalam masyarakat dan

tidak memisahkan antara teori dan praktek.3

Dalam hal set basic belief pertanyaan ontologi, critical theory merupakan realisme

virtual dimana kenyataan yang ada terjadi karena adanya proses panjang ratusan tahun

karena pengaruh etnis, gender, politik, yang terkristalisasi nyata dan sudah dirubah

karena kristalisasi ini. Tiga hal kriteria Critical Theory dalam pemikirannya yaitu

mengenai : diskriminasi, exploitasi, dan ketidakadilan.

Dalam hal ini pemikiran aliran critical theory menyatakan bahwa suatu hal yang

sudah terbentuk lama karena sejalannya waktu ( sejarah ), karena proses lama inilah

yang secara turun temurun di anggap benar oleh mayoritas manusia. Contoh saja

seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), KUHP merupakan

peninggalan belanda yang sudah berpuluh-puluh tahun ada dan saat ini yang tertuang

dalam KUHP tersebut dianggap benar oleh kebanyakan orang dan apa yang ada di

KUHP tersebut adalah mutlak. Akan tetapi manusia yang mempunyai kerangka

berpikir critical theory ini akan menolak seolah-olah kenyataan yang di anggap benar

ini hanyalah sebatas virtual ( maya ). Tidak semua di anggap benar atau apa yang ada

di KUHP itu tidak semua pasal apabila di terapkan akan timbul keadilan.

Menurut saya, dengan aliran pemikiran critical theory ini yang berkaitan dengan

putusan Pengadilan Negeri Depok dalam kasus narkotika tersebut adalah menentang

putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Depok. Parameter keadilan seperti

apa yang menjadikan bahwa hukum itu adil. Di kutip dari pengertian keadilan

menurut Gustav Radbruch “Ukuran nilai hukum positif dan tujuan dari pembuat

Undang-Undang adalah keadilan. Keadilan adalah suatu nilai absolute seperti nilai

kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang berdasar pada dirinya sendiri, tidak

diturunkan dari nilai-nilai yang lebih tinggi.” Menurut Gustav keadilan sebagai

keutamaan atau kebajikan. Disini ada keadilan subjektif yaitu hubungan antar

manusia, keadilan menurut ukuran hukum positif dan keadilan menurut cita hukum

adalah sumber keadilan dan inti dari keadilan adalah kesamaan. Menurutnya Hukum

3 Yesmil anwar dan adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, Jakarta, 2008. Hlm. 59.

Page 10: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

Positif dan Pembuat Undang-Undang adalah keadilan. Jadi intinya tujuan Undang-

Undang itu dibuat adalah untuk keadilan.4

Begitu juga menurut Hart yang menyatakan bahwa adil dan tidak adil merupakan

bentuk kritik moral yang lebih spesifik daripada baik dan buruk atau benar dan salah.

Jelas fakta bahwa hukum yang baik adalah yang adil sedangkan hukum itu buruk

karena tidak adil. 5Untuk mempertahankan arti hukum sebagai sungguh-sungguh

mewajibkan, satu-satunya jalan yang tinggal ialah memberika perhatian kepada isi

kaidah-kaidah hukum. Dengan isi kaidah hukum disini bukan objek-objek yang diatur

oleh kaidah hukum yang dimaksudkan melainkan cara suatu objek diatur,

diperhatikan apakah suatu peraturan menurut isinya bersifat adil atau tidak. Sebab

tentu saja, bila suatu kaidah menurut isinya menggalang suatu aturan yang adil,

kaidah itu bernilai dan dapat ditanggapi sebagai mewajibkan secara batin.6

Parameter keadilan menurut saya terletak bukan di Undang-Undang tetapi di mana

yang seharusnya perbuatan tersebut dilakukan akan tetapi tidak menimbulkan akibat

yang terlalu besar. Jelas dalam kasus ini terpidana di jatuhi putusan yaitu percobaan

atau permufakatan jahat yang mana dalam hal ini di jatuhi sama dengan sanksi pidana

yang dijatuhkan hingga perbuatan itu selesai. Disini terpidana jelas ingin melakukan

perbuatan tersebut hingga selesai tapi karena faktor yang tidak dikehendakinya

perbuatan tersebut menjadi gagal. Dan pula kalau ini memang permufakatan jahat

dalam hal ini masih terlintas niat antar para pihak untuk ragu melakukan perbuatan

tersebut atau tidak. Keadilan ini yang menjadikan dasar bahwa menurut aliran critical

theory keadilan di ukur bukan karena Undang-Undang yang mengatur. Walaupun

Undang-Undang Narkotika ada karena proses sejarah yang panjang sejalannya waktu

yang menurut maskyarakat benar dan di patuhi akan tetapi aliran ini ingin

membuktikan bahwa hal tersebut tidak benar karena terdapat permasalahan yuridis

dalam undang-undang tersebut yang membuat ketidakadilan terhadap pelaku yang

melakukan “percobaan atau permufakatan jahat” dengan pelaku yang “melakukan

delik hingga selesai”.

4 Hyonimus Rhiti,Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik sampai Postmodernisme), Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 238 dan 245.5 Petrus C.K.L Bello, Hukum dan Moralitas Tinjauan Filsafat Hukum, Erlangga, Jakarta, 2012, hlm.38. 6 Theo Huijbers, Filsafat Huku, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 48.

Page 11: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

Aliran ini hanya bisa mengkritik suatu hal tetapi tidak ada solusinya. Kriteria manusia

dengan aliran ini adalah dengan mudahnya emosi dan mudah sering jengkel terhadap

suatu hal yang di anggap oleh kebanyakan orang benar tetapi menurut dia tidak benar.

Tidak ada solusi terhadap suatu yang dikritiknya. Hanya bisa melihat itu tidak benar

dan itu salah.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa narkotika merupakan kejahatan yang sudah

luar biasa beredar di Indonesia. Bukan hanya kalangan muda saja yang terkena

dampaknya, tetapi seluruh lapisan masyarakat dapat terkena akibat yang terjadi

karena narkotika. Pembuatan Undang-Undang yang dilakukan oleh pembuat Undang-

Undang masih jauh dalam kata maksimal. Dengan ini saya masih tidak setuju apabila

percobaan atau permufakatan jahat di Undang-Undang ini sanksi pidananya sama

dengan perbuatan yang dilakukan hingga selesai. Pembuat undang-undang tidak

memperhatikan dampak yang timbul dari kepastian hukum yang mana tumpul ke atas

dan tajam kebawah. Masyarakat bawah sering menjadi korban ketidakadilan oleh

pembuat Undang-Undang. Padahal sudah disebutkan dalam pendapat Gustav dan hart

bahwa tujuan pembuat UU membuat Undang-Undang adalah keadilan. Keadilan

disini belum di rasakan sepenuhnya oleh pelaku yang berada dilapisan bawah.

Dikatakan hukum apabila itu adil dan dikatakan bukan hukum apabila didalamnya

terdapat ketidakadilan.

Page 12: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

KESIMPULAN

Dari hasil analisis dalam bab pembahasan, maka dapat di tarik kesimpulan- kesimpulan

sebagai berikut :

1. Seharusnya hakim mengetahui makna yang ada didalam Undang-Undang. Hakim

melakukan interpretasi atau penafsiran yang terdapat didalam setiap kata di Undang-

Undang untuk menimbang dan mengadili dalam menjatuhkan suatu pemidanaan.

Disini hakim menilai dan memutus bahwa ‘percobaan dan permufakatan jahat’

disamakan dengan suatu perbuatan yang dianggap selesai.

2. Keadilan diukur dari suatu putusan hakim dimana putusan itu benar atau tidak

terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Keadilan itu adalah tujuan

dari suatu pembuat Undang-Undang dan hukum positif.

Page 13: Makalah Paradigma Filsafat Hukum Dalam Kasus Narkotika.docx

DAFTAR PUSTAKA

Petrus C.K.L Bello. 2012. Hukum dan Moralitas Tinjauan Filsafat Hukum. Jakarta :

Erlangga.

Anwar, Yesmil dan Adang. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta : Grasindo.

Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta : Kanisius.

Rhiti, Hyronimus. 2011. Filsafat Hukum edisi lengkap (dari klasik sampai

postmodernisme). Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Bahan kuliah Filsafat Hukum 2015 oleh Prof. Erlyn Indarti SH.,M.A,.Ph.D

Indarti, Erlyn (2010) Diskresi dan Paradigma: Sebuah telaah filsafat

hukum. Documentation. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. (Pidato

Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro)