makalah matra udara fs 2014
DESCRIPTION
kesehatan matraTRANSCRIPT
Kasus 1:
Kabin bertekanan (pressurized cabin) pada pesawat modern masa kini dapat
memberi kenyamanan pada para penumpang maupun para penerbang dan crew lainnya
serta menguranggi kemungkinan terjadinya hipoksia dan penyakit dekompresi (dysbarism).
Namun demikian, kecelakaan pesawat karena kegagalan sistem kabin bertekanan tetap
terjadi. Jelaskan mekanisme kabin bertekanan.
Kegagalan kabin bertekanan dapat terjadi mendadak (rapid decompression) maupun
perlahan-lahan. Ini terjadi pada kecelakaan Pesawat Aloha penerbangan 243 dan Helios
Airlines Flight 522, tanggal 14 Agustus 2005. Uraikan dengan jelas bagaimana kecelakaan-
kecelakaan itu terjadi dan bagaimana tindakan-tindakan pencegahannya.
1
PENDAHULUAN
Pesawat terbang dengan jarak penerbangan jauh tidak dapat terbang pada ketinggian
rendah atau kurang dari 10.000 ft di atas permukaan laut karena akan membutuhkan bahan
bakar yang lebih banyak. Maka dari itu, pesawat terbang harus terbang pada ketinggian lebih
dari 10.000 ft di atas permukaan laut.
Pada ketinggian tersebut makhluk hidup sudah tidak dapat hidup lagi karena
perbedaan tekanan udara dengan lingkungan yang ada tepat di atas permukaan air laut
(tempat makhluk hidup tinggal), maka dari itu cockpit dan kabin penumpang harus diberi
takanan yang sama sesuai dengan tekanan tempat mahluk hidup tinggal.
Misalnya pada ketinggian 30.000 ft, tekanan udara di luar pesawat 113 mbs (milibars)
manusia butuh tekanan udara sebesar 1013 mbs (setara 1 atm atau 760 mmHg), maka tekanan
udara di dalam pesawat haruslah 1013 mbs. Jadi, pada pesawat diberi kompressor untuk
menciptakan tekanan sebesar itu.
Dengan tekanan yang lebih besar dari udara luar tersebut, tentu akan merusak pesawat
jika pesawat tidak dibuat menggunakan bahan yang kuat untuk menahan tekanan. Begitu pula
dengan daun pintu pada pesawat yang rawan lepas bahkan tertembus tekanan pada celahnya.
Agar pintu tidak lepas dan dapat mencelakai penumpang, didesainlah pintu yang berada di
dalam badan pesawat. Pintu juga dibuat tidak bersudut agar lebih kuat menahan tekanan.
Kompressor yang rusak mengakibatkan pesawat menjadi depressurized. Dalam
keadaan ini pesawat harus segera dive (turun) pada ketinggian kurang dari 10.000 ft dalam
waktu 90 detik agar tidak meledak.
2
LANDASAN TEORI
A. Kabin Pesawat
Sebuah kabin pesawat merupakan ruangan yang sangat padat dari suatu pesawat terbang
yang ditumpangi penumpang. Setiap penumpang dalam kabin hanya mendapatkan 1 – 2
ruang udara. Dalam perjalanan udara komersial khususnya pada pesawat penumpang sipil,
kabin dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Hal ini meliputi bagian kelas perjalanan pada
pesawat ukuran menengah dan besar, area untuk awak penerbangan, dapur kabin dan
penyimpanan keperluan selama penerbangan. Kursi pada umumnya diatur secara jendela dan
gang. Semakin tinggi kelas perjalanannya, semakin banyak area kosong yang dibutuhkan.
Kabin ini dirancang untuk keamanan dan kenyaman di ketinggian jelajah yang bisa
mencapai 40,000 kaki. Berikut adalah cara sistem bekerja:
1. Udara luar memasuki tahap kompresor dari mesin jet pesawat, di mana udara menjadi
sangat panas karena bertekanan.
3
2. Kemudian udara yang panas masuk pada tahapan ke unit AC, di mana udara tersebut
selanjutnya di dinginkan.
3. Selanjutnya udara luar dicampur, di mana udara dicampur sebagian dengan udara
kabin resirkulasi yang telah dibersihkan dengan filter berefisiensi tinggi.
4. Udara yang di campur tadi kemudian diedarkan ke dalam kabin.
5. Sebagian udara luar masuk ke dalam pesawat, jumlah udara yang masuk dan yang
dibuang sama. Udara di seluruh kabin diganti setiap 2 sampai 3 menit.
B. Mekanisme Kerja Pintu Pesawat
Untuk menjamin keselamatan penumpang dalam pesawat, maka pintu pesawat telah
dirancang khusus, sehingga untuk membuka pintu diharuskan menarik pintu kedalam terlebih
dahulu, lalu ditarik keatas secara elektik “Slide Up Door” (Boeing 767). Ini berarti anda harus
melawan selisih tekanan udara.
Pintu pesawat terbang dibuat tidak bersudut agar tidak membiarkan adanya celah yang
dapat terisi atau dilalui oleh udara yang bertekanan. Bila ada sudut di pintu maka celah akan
terbentuk dan udara dalam kabin yang tekanannya lebih tinggi akan lolos melewati celah ke
arah luar. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran pada celah mikro. Selain itu dengan adanya
sudut membuat pintu pesawat tidak tertutup dengan kuat karena adanya celah mikro tadi
4
sehingga dapat menyebabkan tekanan udara dalam kabin yang besar mendorong pintu secara
kuat ke arah luar hingga pintu dapat terlepas.
Semakin tinggi kita terbang semakin rendah tekanan udara dan semakin tipis kandungan
oksigennya dibanding di permukaan bumi. Tanpa adanya pemberian tekanan pada kabin
pesawat yang terbang di ketinggian tersebut akan berakibat fatal bagi kru dan penumpang.
Namun bukan hanya akibat lapisan udara saja, tapi akibat kebocoran pada kabin juga dapat
berpengaruh terhadap tekanan udara. Walaupun hanya berupa lubang kecil, udara dari luar
dapat masuk kedalam kabin. Oleh karena itu, agar kabin pesawat penumpang tersebut dapat
memiliki tekanan dan kadar oksigen yang sama seperti di permukaan bumi, maka dibuatlah
kabin bertekanan sebagai sarana untuk menyediakan tekanan udara dan kadar oksigen yang
kaya seperti di permukaan bumi (di ketinggian 0 hingga 8000 kaki), dimana manusia dapat
hidup normal tanpa bantuan oksigen, lebih dari ketinggian tersebut maka manusia bisa
mengalami hypoxia dan gangguan dalam lainnya. Karena udara (O2) tipis maka otak pun
kekurangan suplai darah yang mengakibatkan gangguan fungsi utama seperti berpikir cepat
hingga pingsan.
Pemberian tekanan ini dilakukan dengan cara memberikan tekanan di kabin
menggunakan udara yang dihasilkan oleh kompresor di mesin pesawat terbang dengan cara
mengatur besarnya tekanan melalui sistem buka-tutup katup yang berada di badan pesawat
terbang. Kualitas udara yang dihasilkan di dalam kabin tentu tidak sama segarnya dengan
udara pegunungan, namun sudah cukup segar dan bersih karena udara yang dihasilkan adalah
kombinasi udara dari luar melalui proses pendauran-ulang (recycle) udara kabin pesawat
yang selanjutnya disaring oleh filter anti-mikroba (microbe-trapping filters) yang akhirnya
menghasilkan udara sehat seperti udara di rumah sakit kelas atas. Namun demikian, ada hal
yang sulit dihindari ialah udara yang dihasilkan pada kabin pesawat terbang kadar udaranya
kering karena kandungan air atau kelembaban (humidity) yang dihasilkannya maksimum
hanya 15%. Oleh karena itu beberapa perusahaan penerbangan berusaha menaikkan tingkat
kelembaban udara di kabin dengan alat tambahan yang disebut Humidying System berharga
milyaran rupiah, dan itupun hanya mampu menaikkan tingkat kelembaban maksimum 25%
saja.
Pesawat boeing 737-800NG dilengkapi oleh pengaturan tekanan di dalam cabin agar
penumpang merasa nyaman walaupun pesawat ini mampu terbang optimal sampai ketinggian
5
41.000 kaki diatas permukaan laut. Alat untuk mengontrol tekanan dalam cabin pesawat
adalah Auto valve termasuk outflow and Pressure Relief Valve.
Pada saat tekanan didalam sama dengan diluar (didarat) maka tidak masalah, seiring
bertambahnya ketinggian maka auto valve ini menutup katup sehingga tekanan dalam cabin
bisa terjaga atau dengan kata lain tekanan di dalam cabin pesawat lebih besar daripada
tekanan diluar pesawat.
Karena itu struktur dari pesawat juga dibuat sedikit lentur tidak kaku. Hal ini dimaksud
agar apabila tekanan dalam pesawat lebih besar daripada tekanan diluar, struktur pesawat bisa
merenggang sedikit untuk menahan tekanan dalam cabin tidak bocor. Didalam cockpit, pilot
harus terus memonitoring tekanan dalam cabin agar tidak lebih dari tekanan pada ketinggian
10,000 feet.
Apabila tekanan dalam kabin bocor yang mengakibatkan tekanan dalam kabin berkurang
maka dengan sendirinya tabung oksigen penumpang akan terbuka dan alarm dalam cockpit
menyala. Ini langsung bisa disadari oleh pilot untuk segera mengurangi ketinggian menuju
paling tidak 10.000 kaki diatas permukaan laut.
C. Penyebab Kehilangan Tekanan dalam Kabin
Ada beberapa penyebab pesawat terbang jet penumpang dapat mengalami berkurangnya
tekanan pada kabin, yaitu:
1. Rusaknya katup pengeluaran (outflow valve) pada posisi terbuka yang berakibat
tekanan udara di dalam kabin sama dengan tekanan udara diluar pesawat pada
ketinggian yang sedang dijelajahinya.
2. Terlepasnya pintu pesawat atau pintu kompartemen kargo (cargo compartment)
sehingga udara bertekanan di dalam kabin pesawat tertarik ke arah luar yang
tekanannya lebih rendah.
3. Akibat ledakan yang terjadi di bagian badan pesawat seperti yang terjadi pada
pesawat jet komersil maskapai penerbangan Australia, Qantas, dalam penerbangan
dari Hongkong ke Australia beberapa waktu yang lalu di atas Kepulauan Riau yang
memaksa pilotnya untuk mendaratkan pesawat di Singapura.
6
4. Terjadi kebocoran kabin akibat adanya keretakan pada badan pesawat seperti terjadi
pada Pesawat Boeing 737-300 milik Maskapai Penerbangan Southwest Airline baru-
baru ini di Amerika Serikat yang memaksa pilotnya mendaratkan pesawat di Bandara
Militer setempat.
Semua penyebab menurunnya tekanan kabin (decompression) tersebut di atas, ada yang
menyebabkan penurunan tekanan kabin secara perlahan, ada juga yang cepat (rapid
decompression), bahkan drastis. Dalam kondisi seperti itu maka Masker Oksigen yang
terdapat di atas (ceiling) masing-masing tempat duduk penumpang dan awak pesawat secara
otomatis akan keluar (deploy) dari tempatnya dan harus secepat mungkin digunakan seperti
diperagakan oleh Pramugari sesaat sebelum pesawat tinggal landas.
D. Tipe – Tipe Dekompresi
Hilangnya tekanan dalam kabin dapat terjadi perlahan pada kasus kebocoran udara kecil
maupun kehilangan tekanan secara cepat atau besar-besaran yang terjadi secara tiba-tiba,
biasanya dalam hitungan detik. Konsekuensi dari dekompresi dan pengaruh terhadap
penumpang dalam kabin tergantung dari beberapa faktor, yaitu:
1. Ukuran dari kabin penumpang
Semakin besar kabin maka semakin panjang juga waktu terjadinya dekompresi.
2. Kerusakan dari struktur pesawat
Semakin besar kerusakan yang terbuka (celah yang dilaluin udara bertekanan) maka
semakin cepat waktu terjadinya dekompresi
3. Perbedaan terkanan yang terjadi
Semakin besar perbedaan tekanan di antara kabin dalam pesawat dengan lingkungan
luar pesawat saat terbang maka semakin kuat juga terjadinya dekompresi.
Ketika tekanan dalam kabin berkurang, penumpang sudah tidak lagi terlindungi dari
bahaya dari tekanan rendah pada ketinggian tinggi dan resiko dari hypoxia, penyakit
dekompresi, dan hypotermia meningkat. Maka dari itu sangatlah penting bagi para kru
pesawat untuk mengenali segera adanya perbedaan tekanan agar segera melakukan tindakan
efektif untuk mengcegah hal yang dapat timbul pada keadaan dekompresi nantinya.
a. Rapid/Explosive Decompression
Menghasilkan kehilangan secara tiba-tiba tekanan dalam kabin yang ditandai
dengan:
7
Terdengar bunyi letupan, gebukan atau sambaran yang keras sebagai hasil
dari kontak tiba-tiba antara udara dari luar dengan udara dari dalam.
Awan kabut atau kabin berkabut yang terjadi akibat dari tempratur yang
turun tiba-tiba secara cepat dan perubahan dari kelembaban dalam kabin.
Aliran cepat udara dari dalam kabin pesawat ke erah luar.
Pengurangan dari temperatur sebagaimana respon dari temperatur dalam
kabin menyesuaikan dengan temperatur udara diluar kabin.
Keluarnya masker oksigen dalam kabin secara otomatis ketika ketinggian
kabin mencapai 14.000 ft.
Bila penyebab dari penurunan tekanan secara cepat adalah kerusakan dari struktur
pesawat, dapat ditemukan hal berikut:
Serpihan-serpihan puing kecil berterbangan di dalam kabin.
Partikel debu masuk ke dalam kabin menghalangi penglihatan.
Bagian dari pesawat terlepas secara proyektil
Akan timbul banyak kekacuan karena kebisingan yang tinggi dan kabut yang
mempersulit komunikasi di dalam kabin.
b. Slow/Insidious Decompression
Penurunan tekanan udara dalam kabin secara periodik. Penurunan tekanan dalam
kabin secara perlahan biasanya disebabkan oleh kesalahan dalam desain pintu
pesawat, malfungsi dari mesin pengatur tekanan pesawat, dan jendela pesawat yang
retak.
Penurunan tekanan secara perlahan tidak terlihat secara jelas tanda-tandanya. Kru di
dalam pesawat tidak menyadari sampai masker oksigen terlepas secara otomatis dari
langit-langit kursi penumpang (Passanger Service Units). Akan tetapi kru harus
tetap peka terhadap segala hal kecil yang menjadi penanda dari penurunan tekanan
dalam kabin seperti misalnya suara siulan atau bisikan angin dari arah pintu atau
jendela yang memiliki celah penyebab kebocoran mikro.
Tanda-tanda fisiologis yang dapat dirasakan sebagai indikasi adanya penurunan
tekanan udara dalam kabin secara perlahan diantaranya rasa tidak nyaman atau
8
meletup berdengung di telinga, nyeri sendi atau sakit pada perut karena adanya
udara yang mengembang.
E. Dampak Penurunan Tekanan dalam Kabin
Pada saat terjadi penurunan tekanan kabin secara cepat (rapid decompression) di dalam
kabin pesawat terbang, maka tekanan di kabin penumpang dan awak pesawat menjadi sama
dengan tekanan udara diluar pesawat yang sedang terbang jelajah pada ketinggian di atas
30.000 kaki. Akibatnya penumpang dan awak dipaksa hidup dalam kondisi udara yang
bertekanan rendah yang dingin dan jumlah oksigen yang sangat tipis.
Kondisi itu akan menyebabkan penumpang dan awak pesawat mengalami sakit akibat
penurunan tekanan udara (decompression sickness) dari yang paling ringan, seperti mual dan
muntah-muntah, hingga yang paling berbahaya yang disebut Hypothermia, yaitu dingin yang
sangat menusuk badan dan tidak sadarkan diri atau pingsan (unconsciousness), bahkan
hingga kedaan yang paling fatal, yaitu meninggal dunia.
F. Daya Tahan Manusia terhadap Penurunan Tekanan dalam Kabin
Jika dalam prosedur keselamatan penerbangan terjadi keterlambatan pilot memakai
Masker Oksigen, maka akan menyebakan Pilot, awak pesawat, dan penumpang lainnya
pingsan, dan tentu saja pesawat akan terbang tanpa pilot. Lamanya seorang Pilot dapat
bertahan hidup normal (tidak pingsan) dalam kondisi Penurunan Tekanan Kabin disebut TUC
(Time Useful Consciousness) atau sering disebut juga sebagai EPT (Effective Performance
Time), dan ini sangat tergantung kepada kondisi fisik Pilot dan ketinggian terbang pesawat
saat terjadi penurunan tekanan kabin.
Apabila penurunan tekanan kabin terjadi pada ketinggian 40.000 kaki maka TUC-nya
hanya sekitar 15-20 detik saja. Untuk ketinggian 35.000 kaki TUC adalah 30 detik sampai
dengan 1 menit. Jadi semakin tinggi terbang sebuah pesawat, maka Pilot akan memiliki
waktu yang lebih sedikit untuk tetap hidup normal dalam kondisi tanpa memakai Masker
Oksigen.
9
G. Emergency Prosedure Standard
Ketika Pilot dan ko-Pilot mengetahui terjadi masalah pada tekanan kabin mengalami
penurunan dengan cepat, maka Pilot akan menjalankan beberapa prosedur darurat yang baku
(Emergency Procedure Standard), sebagai berikut:
1. Pilot dan ko-Pilot harus segera menggunakan Masker Oksigen (Oxygen Mask) untuk
menghindari diri dari kemungkinan pingsan (unconsciousness).
2. Selanjutnya Pilot harus segera menurunkan ketinggian terbang pesawat (descent) ke
ketinggian yang aman yaitu 10.000 feet atau ke ketinggian dimana pesawat aman dari
halang-rintangan terbangnya (obstacle) seperti kontur permukaan bumi yang tinggi
atau gunung dan bukit di sepanjang jalur terbangnya saat itu.
3. Pilot dan ko-Pilot menganalisis instrumen pesawat terbang untuk menentukan
penyebab menurunnya tekanan kabin dan memerintahkan Mekanik untuk segera
memperbaikinya.
4. Setelah penurunan tekanan kabin pulih kembali, Pilot harus menaikan ketinggian
terbang pesawat (climb) ke ketinggian jelajah normal yaitu di atas 30.000 kaki.
10
5. Dalam kasus dimana penurunan tekanan kabin itu tidak dapat diatasi, maka Pilot
harus segera melapor ke menara PLLU (Pengatur Lalu-lintas Udara atau ATC, Air
Traffic Controller) di bandara terdekat untuk meminta ijin melakukan pendaratan
darurat.
6. Setelah mendapatkan ijin (clearence) dari PLLU terdekat, Pilot harus segera
mendaratkan pesawatnya di bandara dimaksud.
11
PEMBAHASAN KASUS
A. Insiden Pesawat Terbang akibat Depressurisation
Insiden terkenal kecelakaan pesawat terbang sebagai akibat kabin kehilangan tekanan,
terjadi pada pesawat terbang Boeing 737-300 milik Helios Airlines dengan Nomor
Penerbangan (Flight Number) 522. Pesawat ini berangkat dari Larnaca di Cyprus pada
tanggal 14 Agustus 2005 pukul 09.07 waktu setempat, untuk terbang menuju ke Athena,
Yunani, dan rencana selanjutnya akan meneruskan penerbangannya ke Praha, Austria.
Sebelum pesawat tinggal landas (take-off), awak pesawat (crew) lupa menyetel (setting)
saklar Pressurization di Panel Instrumen di kokpit pesawat terbang ke mode AUTO (artinya
kru tidak mengikuti prosedur operasi standar dari Boeing).
Beberapa menit setelah pesawat mengudara, Alarm Peringatan Ketinggian (Altitude
Horn Warning) di kokpit menyala yang disebabkan oleh masalah Tekanan Kabin
(Presurization). Namun Pilot dan ko-Pilot telah salah mengidentifikasikan masalah ini
sebagai peringatan bahwa pesawat terbang dalam kofigurasi tidak siap untuk tinggal landas
(Take-off Configuration Warning), yang sebenarnya hanya terjadi saat pesawat masih di
landasan (in-ground) bukan saat pesawat sudah terbang (in-flight). Karena bunyi peringatan
dari Sirine (Horn) ini dapat dimatikan secara manual melalui saklar (switch) yang ada di
panel diatas kepala (overhead panel) oleh Pilot, maka Pilot segera mematikannya.
Ketika instrumen Ketinggian Cabin (Cabin Altitude) di kokpit menunjukkan ketinggian
14.000 kaki, Masker Oksigen di kabin otomatis keluar (deploy), dan pada saat yang
bersamaan lampu peringatan OXY ON menyala, lalu Pilot berusaha menghubungi Mekanik
melalui radio komunikasi di pesawat. Beberapa detik selanjutnya tanda Peringatan Utama
(Master Caution Warning) menyala dan memberikan sinyal kepada Pilot bahwa terjadi
sesuatu kondisi yang abnormal pada sistem tekanan kabin. Hal ini salah diinterpretasikan
oleh Pilot sebagai terjadinya panas berlebihan (overheating) di kabin pesawat.
Beberapa saat kemudian Pilot memanggil lagi Mekanis melalui komunikasi radio dan
memberitahukan jika Kipas Fentilasi (Ventilation Fan) pada posisi OFF. Disini sebetulnya
sudah terlihat bahwa Pilot telah kehilangan kesadaran sebagai akibat Hypoxia, dan sayangnya
mereka tidak menyadarinya karena memang pesawat Boeing 737 tidak memiliki lampu
peringatan tentang masalah di Kipas Fentilasi (Ventilation Fan Light). Lalu Mekanis meminta
12
Kapten Pilot untuk mengulangi pesannya, yang kemudian dijawab oleh Kapten Pilot bahwa
Lampu Peralatan Pendingin Udara (Equipment Cooling Light) pada posisi OFF. Ini jelas
sekali menunjukkan kebingungan Kapten Pilot, yang kemudian dijawab oleh Mekanis “Hal
ini normal, tolong sebutkan masalah anda Kapten, bisakah Kapten melakukan pengecekkan
terhadap Pressurization System?” Sayangnya pada saat itu sang Kapten Pilot tidak
memperhatikan pertanyaan Mekanis, malah dia bertanya lagi kepada Mekanik: “Dimana
Equipment Cooling Circuit Breaker-nya?” dan selanjutnya dijawab oleh Mekanik tentang
posisi Circuit Breaker-nya, tapi sayangnya tidak ada respon dari Kapten Pilot, karena dia dan
ko-Pilotnya sudah tidak sadarkan diri dan pesawat terbang dalam mode Autopilot.
Ketika memasuki wilayah udara Yunani, Pilot pesawat Helios 522 seharusnya
melakukan kontak komunikasi dengan menara PLLU setempat, namun tidak dilakukannya.
Dikontak berulang-kalipun oleh PLLU setempat tidak ada jawaban. Oleh karena sesuai
prosedur, hal ini memaksa Angkatan Udara Yunani mengirimkan 2 buah pesawat tempur F-
16 Fighter untuk melihat keadaan Helios 522. Setelah dilihat oleh F-16 dari dekat, ternyata
pesawat terbang dengan mode Autopilot, ko-Pilot tidak bergerak sama sekali dan bersandar
lemas dikursinya, sementara Kapten Pilot tidak berada di kursinya. Terlihat pula bahwa
semua Masker Oksigen telah keluar dari tempatnya dan berayun-ayun di kabin, pertanda
bahwa kabin pesawat mengalami penurunan tekanan yang amat serius.
Beberapa saat kemudian Pilot F-16 melihat seorang Pramugara (FA, Flight Attendan)
memasuki kokpit dan duduk di kursi Kapten Pilot dan berusaha untuk mengambil alih
kendali pesawat Boeing 737-300 tersebut. Dengan bahasa isyarat pilot F-16 bertanya apakah
Pramugara tersebut bisa menerbangkan pesawat, dan kemudian dijawab oleh Pramugara
dengan menggelengkan kepala.
Setelah pesawat itu terbang selama 3 jam, pesawat kehabisan bahan bakar dan kedua
mesin pesawat itupun mati. Selanjutnya pesawat mulai terbang menurun tajam (descent).
Sang Pramugara masih berusaha mengendalikan pesawat, namun pesawat tetap menurun
tajam hingga akhirnya menabrak bumi dan meledak. Pada saat pesawat membentur bumi
diyakini bahwa semua penumpang dan semua awak pesawat dalam keadaan pingsan
(unconsciousness) namun masih bernafas. Pesawat naas ini membawa 115 penumpang dan 6
awak pesawat, semuanya meninggal seketika dengan mengenaskan.
(sumber: Washington Post Staff Writer. Tuesday, August 16, 2005)
13
Review kejadian:
1. Crew pesawat lupa menyetel saklar Pressurization ke AUTO sehingga masih
MANUAL.
2. Sesaat setelah lepas landas, terdapat alarm/penanda peringatan ketinggian bahwa
pesawat terdapat masalah tekanan kabin namun alarm tersebut disalahartikan lalu
diabaikan oleh pilot dan ko-pilot.
3. Pada ketinggian 14.000 kaki, lampu OXY ON menyala dan masker secara otomatis
keluar, pilot berasumsi bahwa kabin menjadi panas lalu memanggil mekanik.
4. Pilot bertanya kepada mekanik tetapi jawaban mekanis justru berdampak kesalahan
interpretasi karena pilot sudah mulai kehilangan kesadaran.
5. PLLU mendapati pesawat ini mengalami gangguan yang terlihat dari komunikasi
antara PLLU dan penerbang maupun awak pesawat, PLLU mengirim Pesawat Jet F-
16 dan mendapati pramugara yang belum bisa menerbangkan pesawat sedang
mencoba menggantikan pilot dan ko-pilot yang sudah pingsan.
6. Pesawat sudah di-mode-kan autopilot lalu terbang selama 3 jam kemudian jatuh ke
bumi dan meledak. 115 orang penumpang dan 6 orang awak pesawat meninggal.
Pembahasan
Depressurization merupakan keadaan dimana kabin bertekanan yang memiliki
tekanan yang justru sama dengan tekanan udara pada ketinggian yang sedang dilalui oleh
pesawat; yang mana seharusnya kabin memiliki tekanan yang sama dengan tekanan udara di
bawah ketinggian 10.000 kaki. Pada ketinggian di atas permukaan laut, maka semakin tinggi
ketinggiannya akan semakin kecil tekanan udaranya. Apabila dikaitkan dengan insiden ini,
kondisi dimana status Pressurezation kabin masih dalam MANUAL berarti tekanan di dalam
kabin tidak bisa dipertahankan sebesar P di bawah ketinggian 10.000 kaki secara otomatis.
Setelah terjadi penurunan tekanan udara dalam kabin, maka penanda terjadinya
penurunan tekanan udara akan menyala dan beroperasi. Dengan kata lain, depressurization
menyebabkan seseorang terjadi hipoksia. Gejala yang tampak pada insiden yaitu terjadi
penurunan kesadaran hingga semua orang dalam kabin menjadi pingsan.
Kesalahan baik penerbang maupun awak pesawat bisa mendasari terjadinya
depressurization dan juga menjadi faktor yang memperparah keadaan. Seperti pada insiden,
14
diawali kesalahan awak pesawat yang justru menyebabkan lingkaran setan terjadinya
komunikasi yang kurang baik dan kesalahan interpretasi.
B. Insiden Pesawat Terbang akibat Dekompresi
Aloha Airlines Penerbangan 243 - Kecelakaan terjadi pada maskapai Aloha Airlines
Boeing 737 N73711 tanggal 28 April 1988 akibat lepasnya sepertiga atap di bagian belakang
kokpit pesawat. Walau begitu pesawat masih dapat mengudara sekitar 15 menit setelah
menukik turun dari ketinggian 24.000 kaki dengan kecepatan sekitar 600 km perjam karena
hilangnya dekompresi di kabin pesawat. Pada saat kejadian berlangsung, para penumpang
yang duduk dibagian depan (Kelas I) tidak mendapatkan tabung oksigan karena selang
oksigan dibagian atas telah hilang. Salah seorang pramugari tersedot keluar pesawat dan tidak
ditemukan mayatnya hingga saat ini di lautan Pasifik dekat Hawaii.
Pendaratan:
Pesawat berusaha mendarat di Bandara Kahului, Maui, Kepulauan Hawaii. Selama
berusaha mendarat, pilot dan co-pilot menggunakan masker oksigen dan situasi di dalam
kabin dan kokpit dalam keadaan ribut akibat suara angin dan mesin pesawat yang sangat
kencang dan mengakibatkan komunikasi pilot dengan menara pengawas terganggu. Pada saat
beberapa menit sebelum mendarat, co-pilot menggeser tuas pengeluaran roda pesawat, namun
pada lampu indikator menunjukkan roda bagian depan tidak keluar yang ditandai dengan
matinya lampu indikator roda depan. Pilot berusaha menghubungi menara pengawas untuk
yang kesekian kali guna menginformasikan keadaan ini.
Pilot meminta persiapan keadaan bahaya pada menara pengawas dan menara
pengawas meneruskan informasi ini kepada pihak pemadam kebakaran bandara dan
ambulans. Komunikasi antara awak pesawat dengan menara pengawas sempat terganggu
untuk beberapa saat. Kemudian pilot meminta crew di darat untuk melihat apakah roda depan
keluar atau tidak. Para petugas pemadam kebakaran dengan bantuan teropong mencoba untuk
melihat roda depan pesawat pada detik-detik terakhir sebelum mendarat. Lalu terlihat bahwa
roda depan sudah keluar yang berarti hanya lampu indikator roda depan saja yang tidak
menyala.
Co-Pilot pesawat adalah seorang wanita dan kapten pesawat berhasil membawa
pesawat mendarat walau dalam kecepatan tinggi yang mengakibatkan roda pesawat pecah.
15
Menurut rencana penerbangan, pesawat lepas landas dari Honolulu ke Maui dan kemudian
dari Maui ke Hilo, Hawaii.
Penyelidikan:
Beberapa hari kemudian tim penyelidik dari NTSB dan badan yang terkait lainnya
mewawancarai semua penumpang untuk mengumpulkan informasi. Salah satu penumpang
melihat dan mengetahui adanya retakan kecil sekitar 15 sentimeter yang berada dekat dengan
pintu depan pesawat bagian depan sebelum pesawat tinggal landas. Jaraknya sekitar satu
setengah meter kebelakang dari pintu kiri depan pesawat. Penumpang tersebut melihat
dengan jelas ketika dia sedang menaiki tangga untuk masuk ke pesawat. Namun dia tidak
memberitahukan masalah ini kepada siapapun.
(sumber: National Geographic Channel - Air Crash Investigation)
Review Kejadian
1. Terdapatnya retakan (disadari penumpang yang selamat dan diceritakan setelah
kejadian) sepanjang 15 cm setengah meter dari pintu bagian kiri depan.penumpang
tersebut tidak menceritakan kepada siapapun.
2. Pesawat kemudian terbang sampai ketinggian 24.000 kaki, atap bagian depan terlepas
menyebabkan tabung okigen pada kabin Kelas I hilang semua dan juga terjadi
dekompresi pada kabin.
3. Salah seorang pramugari tertarik keluar akibat tekanan udara dalam kabin yang
cenderung ke arah atmosfir udara luar dan tewas.
4. Pesawat sempat terbang 15 menit lalu turun menukik dengan kecepatan 600 km per
jam.
5. Lalu mencoba untuk mendarat di Bandara Kahului, Maui, Kepulauan Hawaii.
Komunikasi tidak berjalan lancar, sehingga pilot kesulitan untuk memastikan apakah
bisa dilakukan pendaratan darurat baik dari segi bandara maupun kesiapan pesawat
(ban depan)
6. Sampai pada akhirnya pesawat berhasil mendarat walaupun mengakibatkan ban
pecah karena terjadi pendaratan dengan kecepatan yang tinggi.
7. Alhasil, 65 orang penumpang selamat namun 1 orang pramugari tewas dengan jasad
yang belum ditemukan
16
Pembahasan
Seperti halnya pada ruangan hipobarik, terlihat balon yang mengembang ketika
tekanan udara di sekitarnya berkurang. Ini menandakan bahwa tekanan dalam balon yang
tetap (760 atm) namun di sekitarnya mengalami penurunan tekanan ( < 760 atm) sehingga
akan terjadi gradien tekanan yang terlihat dari kecenderungan isi balon yang menekan ke
luar.
Pada insiden ini, terlihat dari adanya kebocoroan kabin. Apabila dikaitkan dengan
balon, udara dalam balon berusaha untuk keluar. Sehingga yang terjadi adalah kecenderungan
balon tersebut untuk pecah, apalagi bila balon tersebut di tusuk dengan peniti (dilubangi)
ketika sedang mengebang.
Dengan tekanan yang lebih besar dari udara luar tersebut, tentu akan merusak pesawat
jika pesawat tidak dibuat menggunakan bahan yang kuat untuk menahan tekanan. Begitu pula
dengan daun pintu pada pesawat yang rawan lepas/tertembus tekanan pada celahnya. Maka
dari itu agar pintu tidak lepas dan dapat mencelakai penumpang, didesainlah pintu yang
berada di dalam badan pesawat. Pintu juga dibuat tidak bersudut untuk menahan tekanan agar
lebih kuat.
Kabin yang berlubang ini disamakan dengan balon yang mempunyai tekanan besar
(pada ketinggian 24.000 kaki dengan tekanan kabin 1 atm lalu luar kabin < 1 atm). Yang
terjadi adalah, udara dalam kabin berusaha untuk keluar melalui lubang 15 cm karena gradien
tekanan. Lalu karena tahanan yang besar, menyebabkan kabin tersebut pecah di bagian atap
karena tidak kuat menahan tekanan keluar.
C. Tindakan terhadap Kegagalan Kabin Bertekanan
Dalam kasus dekompresi, penggunaan oksigen dengan segera sangatlah penting.
Tindakan pertama yang harus dilakukan oleh awak dalam kabin pesawat yaitu:
Segera memasang masker oksigen terdekat
Duduk dan kencangkan sabuk pengaman atau berpegangan pada objek yang
kokoh
Jangan bergerak maupun berpindah tempat
17
Awak pesawat yang berada dalam karbin harus memprioritaskan keselamatannya
terlebih dahulu sebelum menolong. Bila kru pesawat tidak dapat berpegangan pada object
kokoh maka segera ambil tindakan dengan berhimpit diatara penumpang yang sudah dalam
keadaan aman serta meminta bantuan dari penumpang.
Post-decompression
Setelah dekompresi dimana pesawat telah mancapai ketinggian yang aman, awak kabin
dapat berkeliling di kabin dengan masih mengenakan silinder oksigen jinjing sampai awak
kabin nyaman dan dapat bernapas tanpa bantuan oksigen lagi. Awak dalam kabin masih tetap
memerlukaan penggunaan masker oksigen karena aktifitas fisik yang harus tetap mereka
lakukan di ketinggian yang bertambah dapat membuat mereka jatuh ke dalam keadaan
hipoksia.
Strategi Pencegahan
Hal penting bagi para awak pesawat untuk mampu dalam mengenali setiap perbedaan
tipe dari dekompresi dan dengan segera bertindak yang semestinya untuk keselamatan
penerbangan dan membatasi resiko dari hipoksia. Hal ini dapat dicapai dengan pelatihan
khusus, seperti:
Latihan kemampuan untuk membedakan tipe-tipe dari penurunan tekanan kabin
Meningkatkan kesadaran akan tanda-tanda hipoksia, efek dari hipoksia, serta
pentingnya penggunaan masker oksigen dengan segera
Mengerti tentang kepentingan dari komunikasi, kordinasi, dan kerjasama antara
awak penerbangan dengan awak dalam kabin penumpang.
18
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Hukum Boyle menjelaskan bahwa tekanan udara akan berbanding terbalik dengan
volume ruangan pada ketinggian atau kedalaman tertentu. Jadi seiring dengan berubahnya
ketinggian atau kedalaman, maka tekanan udara juga akan berubah. Pada kesehatan matra
laut atau yang ddibahas kali ini yaitu berhubungan dengan pesawat udara, semakin tinggi
ketinggian maka akan semakin kecil tekanan atmosfir. Namun, adanya kabin bertekanan
membuat isi kabin memiliki tekanan atmosfir fisiologis manusia yaitu tekanan udara dalam
kabin ditetapkan setara dengan ketinggian dibawah sepuluh ribu kaki sampai permukaan laut.
Penyebab kecelakaan pada insiden Aloha flight 243 dan Helios flight 522 berkaitan
dengan kelainan pada kabin bertekanan yang menyebabkan kabin tidak bisa mempertahankan
tekanan udara fisiologis. Maka dari itu dari segi manusia akan menyebabkan hipoksia dan
dari segi kabin akan terjadi kerusakan kabin.
Pada kejadian tersebut, yang harus dilakukan untuk menstabilkan keadaan yaitu dengan
cara menurunkan ketinggian sampai di bawah sepuluh ribu kaki. Hal ini dimaksudkan agar
tekanan udara dalam kabin dalam kondisi fisiologis meskipun terjadi kebocoran kabin
maupun depressurization yang disebabkan karena saklar masih menunjukkan MANUAL.
B. Saran
Adapun saran baik untuk kedokteran matra udara maupun penerbang dan pihak
penerbangan antara lain:
1. Adanya Hukum Boyle yang harus diterapkan yang berkenaan dengan tekanan
udara di setiap ketinggian dan efek terhadap penumpang maupun awak pesawat.
2. Prinsip dan mekanisme kabin bertekanan agar selalu diperhatikan.
3. Kesiapan penerbangan dari segi Man, Machine, dan Media demi kelancaran
penerbangan.
4. Selalu tanggap, cermat, dan teliti untuk mempersiapkan penerbangan yang aman
dan nyaman.
19