makalah matan dan kritik matan

17
1 MATAN DAN KRITIK MATAN Makalah disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Studi al-Hadits Dosen pengampu: Prof. Dr. H. Suryadi, MA Oleh: Nur Nissa Nettiyawati 13.2041.0213 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2014

Upload: nissa-de-saussure

Post on 22-Oct-2015

764 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

MATAN DAN KRITIK MATAN

TRANSCRIPT

1

MATAN DAN KRITIK MATAN

Makalah disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Studi al-Hadits

Dosen pengampu:

Prof. Dr. H. Suryadi, MA

Oleh:

Nur Nissa Nettiyawati

13.2041.0213

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM

SEKOLAH PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

2014

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini banyak bermunculan aliran-aliran yang notabene malah

memperolok tiang-tiang agama islam, mereka merusak jalinan persaudaraan

antara umat islam. Dengan berbagai maker (perbuatan licik) yang mereka

praktekkan sangat berpengaruh hebat dalam merusak ukhuwah umat Islam.

Rasullah SAW pernah mewanti-wanti akan tiba suatu masa dimana umat Islam

berpecah belah menjadi beberapa golongan. Selain itu beliau juga

memperingatkan kepada kita bahwa akan ditinggalkan oleh beliau dua hal yang

apabila umat Islam masih memegang teguh keduanya maka akan selamat dunia

akhirat, dua hal tersebut adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.

Sejak ditinggal Rasulullah banyak penyimpangan-penyimpangan yang

terjadi perihal kesahihan hadis. Sebelum itu, ketika Rasulullah masih adapun

sudah terjadi percobaan pemalsuan hadis-hadis tersebut. Akan tetapi puncaknya

ketika wilayah Islam semakin luas dan penyebaran hadis pun mengalami

kemajuan cukup pesat.

Sebab masalah inilah banyak ulama’-ulama’ hadis yang bermunculan yang

memfokuskan diri pada bidang kritik hadis. Tujuan mereka adalah memilih dan

memilah hadis-hadis yang dapat diterima dan ditolak. Kemunculan kritik hadis

juga sudah ada sejak zaman sahabat Nabi yang kebanyakan para kritikusnya

adalah sahabat-sahabat Nabi. Dalam hal memilih hadis-hadis yang ditolak dan

diterima, mereka juga sudah menggunakan beberapa teknik kritik hadis.

Kritik hadis sendiri dibagi dalam dua hal, yang pertama kritik dilakukan

pada sanadnya dan kritik yang dilakukan pada matannya. Dalam makalah kali ini

kami akan membahas perihal kritik hadis pada matannya.

3

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian matan dan kritik matan hadis?

2. Bagaimana sejarah kritik matan hadis?

3. Bagaimana metode kritik matan hadis?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui pengertian matan dan kritik matan hadis.

2. Mengetahui sejarah kritik matan hadis.

3. Mengetahui metode kritik matan hadis.

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Matan dan Kritik Matan

Melihat asal katanya, kata “matan” berasal dari bahasa Arab yang berarti

punggung jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras1. Sedangkan menurut

ilmu hadis matan adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad. Yakni

sabda Nabi Muhammad SAW yang disebut setelah disebutkannya sanad2.

المتن هو ما انتهى اليه السند من الكالم

“Matan (isi hadis) adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad”3

Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya “seorang

hakim, krinein berarti “menghakimi”, criterion berarti “dasar penghakiman””.

Dalma konteks tulisan ini kata “kritik” dipakai untuk menunjuk kepada kata an-

Naqd dalam studi hadis. Dalam literatur Arab kata “an-Naqd” dipakai untuk arti

“kritik”, atau “memisahkan yang baik dari yang buruk”. Sebagian ulama’

menambahkan istilah an-Naqd dalam studi hadis dengan sebutan al-Jarh wa at-

Ta’dil sehingga dikenallah cabang ilmu hadis, al-Jarh wa at-Ta’dil yaitu ilmu

untuk menunjukkan ketidaksahihan dan keandalan. Jadi, hadits tersebut memiliki

criteria hadits shohih dan dapat dipertanggung jawabkan.

Sedangkan istilah “kritik” dalam bahasa Arab diartikan “naqd”. Sementara

itu, di dalam al-Qur’an dan hadis kata “naqd” tidak ditemukan dalam makna

kritik. Meskipun demikian, dalam tradisi Islam awal telah dikenal konsep

mengenai kritik. Hal ini berdasarkan realita dalam al-Qur’an yang mengenal

istilah “yamiz”, sebuah istilah yang bentuk mudlori’ nya dari kata “maza” yang

sejalan dengan konsep kritik yakni memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain4.

1 Ibnu Mamnzur, Lisan al-Arab (Mesir: Dar al-Misriyyah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1868), III:

434-435. 2 Muhammad Tahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Mata al-Hadis al-Nabawi al-Syarif

(Tunis: Muassasah Abd al-Karim ibn Abdullah, t.t.) hlm. 88-89. 3 Dr. nuruddin ‘ltr, ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012. Hlm. 333.

4 Jamal al-Din Muhammad bin Mukarrom bin Manzur, Lisan al-Arab. (Bairut: Dar al Sadir, 1990)

hlm. 425.

5

Naqd dalam bahasa Arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan dan

pembedaan5. Kritik dalam bahasa Indonesia berarti menghakimi, membanding,

menimbang dan dalam pemakaian orang Indonesia sering dikonotasikan kepada

makna tidak lekas percaya, tajam dalam analisa atau uraian pertimbangan baik

dan buruk terhadap suatu karya6.

Kemudian yang dimaksud dengan kritik matan adalah seleksi matan hadis

sehingga dapat dibedakan antara matan yang bisa diterima atau ditolak dengan

menggunakan kaedah-kaedah kritik yang disepakati ulama’ hadis yang

diformulasikan dari berbagai metode kritik sahabat, metode kritik ulama’ klasik

hingga kontemporer.

B. Sejarah Kritik Matan Hadis

Perihal sejarah lahirnya studi kritik hadis sebenarnya telah ada sejak

zaman Rasulullah SAW, baik itu dilakukan oleh beliau sendiri tau dilakukan oleh

sebagian sahabat. Pada masa Rasulullah, ilmu kritik hadis belum terbentuk secara

konseptual. Tidak diperlukan teori-teori khusus yang mengatur periwayatan hadis

sebagaimana pada masa-masa berikutnya.

Sepeninggal Rasulullah SAW tahun 11 H/623 M, terjadi perubahan

signifikan karena hadis tidak lagi diriwayatkan dari sumber pertama tapi dari

sumber kedua dan seterusnya yang mempunyai posisi yang berbeda dari sumber

pertama. Secara intens para sahabat melakukan kritik terhadap perawi hadis.

Tercatat Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, A’isyah, ibn Abbas, Anas ibn Malik, dan

‘Ubadah ibn Samit dikenal sebagai tokoh yang selalu meneliti dan mengkritik

periwayat lain.7

Era sahabat yang ditetapkan sebagai “khoirul qurun”, menjadi tiitk tolak

kebangkitan kritik hadis. Terutama disaat meluasnya wilayah Islam, menjadikan

hadis begitu cepat menyebar kepenjuru semenanjung Arab dan sekitarnya.

5 Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, London: George Allen & Unwa Ltd, 1970,

hlm. 990. 6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia , Jakarta: Balai

Pustaka, 1988, hlm. 466. 7 Dr. Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasbri’ al-Islami , Beirut: Dar al-Warraq,

1998, hlm. 129.

6

Keadaan ini menginspirasi para khalifah untuk memperingatkan semua sahabat

supaya berhati-hati dan tidak sembarangan dalam menyebarkan hadis, begitu juga

dalam menerima hadis sebab dalam proses transmisi (penyampaian) hadis, tidak

menutup kemungkinan terjadi distorsi (penyelewengan) dan kesalahan. Dari

sisnilah kebutuhan akan kritik hadis semakin besar8.

Setelah terbunuhnya Ustman ibn Affan dan munculnya perang saudara

antara kubu Ali dan Mu’awiyah kondisi hadis semakin mengkhawatirkan. Pada

masa-masa ini, hadis menjadi sebuah alat dan komoditi (barang dagangan)

kelompok pemalsu hadis yang terdiri dari kaum munafiq, ahli bid’ah, zindiq,

syi’ah, khawarij, mu’tazilah dan lain sebagainya. Masing-masing kubu

menciptakan dalil yang memperkuat ideologi dan visi misi mereka, sehingga

tercampurlah antara hadis asli dan maudlu’. Bahkan upaya pemalsuan hadis masih

terus berlanjut hingga masa khalifah bani Abbasiyah dimana fanatisme madzhab

sedang mewabah kala itu. Tidak heran jika seorang tabi’in dan tokoh ilmu sanad

terkemuka, Muhammad bin Sirin berkata: “mereka pada zaman sahabat tidak

pernah meminta sanad hadis, dan ketika terjadi fitnah mereka berkata:

sebutkanlah nama setiap perawi kalian. Maka jika perawinya ahlussunnah,

mereka menerima hadisnya, dan apabila perawinya ahli bid’ah maka mereka

menolaknya”9.

Pada masa tabi’in muncul sejumlah kritikus hadis angkatan abad pertama

dan awal abad kedua seperti Sa’id bin al-Musayyab, al-Qasim bin Muhammad ibn

Abu Bakar, Abu Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf, Ali bin Husain bin Ali,

Salim bin Abdillah bin Umar, Abdullah bin Abdullah bin ‘Utbah, Khawarij bin

Zaid bin Tsabit, Urwah bin Zubair, Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harith,

Sulaiman bin Yasar, al-Zuhri, Yahya bin Sa’id al-‘Anshori, Hisyam bin Urwah,

Sa’id bin Ibrahim, Sa’id bin Zubair, al-Sya’bi, Tawus, Hasan al-Basri, Ibrahim al-

Nakha’i,, Muhammad bin Sirin, Syu’bah bin al-Hajjaj, dan lainnya10

.

8 Prof. Dr. Zainul Arifin, Kritik Hadist, Studi Historis Kritik Hadist Pada Zaman Sahabat, dalam

jurnal al-Afkar edisi VIII TH 7/Juli-Desember 2003, hlm 74. 9 Dr. Mustafa al-Siba’I, al-sunnah wa Makanatuha fi al-Tasbri’ al-Islami, Bairut : Dar al-Warraq,

1998, hlm 108. 10

Prof. Dr. Zainul Arifin, Kritik Hadist, Studi Historis Kritik Hadist Pada Zaman Sahabat, dalam

jurnal al-Afkar edisi VIII TH 7/Juli-Desember 2003, hlm 75-76.

7

Sedangkan pada abad ketiga dan seterusnya muncul kritikus hadis penerus

seperti Yazid bin Harun, Abu Dawud at-Tatslisi, Abd al-Razzaq bin Hammam,

Abu ‘Ashim al-Nabil. Pada masa ini disusun teori-teori tentang kritik hadis, lebih

khusus dalam bidang ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil yang dipelopori oleh ahmad ibn

Hambal, Muhammad ibn Sa’ad al-Waqidi, Yahya ibnu Ma’in, Ali ibn al-Madini,

al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud al-Sijistani, Abu Zar’ah al-Razi, Abu Hatim al-

Razi11

.kemudian tongkat estafet kritik perawi hadis ini dilanjutkan oleh generasi

setelahnya hingga akhir abad 9 hijriyah12

.

C. Metode Kritik Matan Hadis

Studi kritik hadis pada umumnya terbagi menjadi dua sisi hadis, yaitu sisi

sanad dan sisi matan. Terkait dengan istilah kritik sanad dan kritik matan, terdapat

perbedaan yang sangat signifikan antara dua kaidah ulama’ klasik dan iulama’

modern. Ulama’ klasik mengatakan bahwa “kulluma sabba sanaduhu sabba

matnubu wa bi al-aksi” artinya setiap yang sanadnya sahih, matannya juga sahih

begitu juga sebaliknya. Sementara ulama’ ahli hadis modern memiliki kaidah

berbunyi “la talazuma baina sibhati al-sanadi wa sibhati al-matni, wa bi al-aksi

aidan fainnabu la talazuma baina du’fi al-sanadi wa du’fi al-matni” yakni

kesahihan atau kedloifan sanad tidak mempengaruhi kesahihan / kedalifan matan.

Begitu pula tidak sebaliknya.

Kaidah kritik versi ulama’ modern ini bukanlah plagiat atau membenarkan

apa yang sering dikatakan oleh para orientalis belakangan ini. Sebab kaidah ini

telah dicetuskan oleh ulama’ kholaf (setelah masa fitnah) yang dipelopori oleh

kaum syi’ah, mu’tazilah, zindiq, ahli bid’ah dan kaum sufi yang sengaja membuat

matan palsu lalu mencuri sebuah sanad dari beberapa hadis sahih bahkan

mutawattir untuk membenarkan ideology dan aliran mereka. Bahkan diantara

mereka ada yang terang-terangan mengakui aksi pemalsuannya “kami membuat

hadis palsu ini untuk mmebantu Nabi (nakdhibu lahu), adapun yang dilarang

11

Dr. Mustafa al-Siba’I. al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasbri’ al-Islami , Beirut: Dar al-

Warraq, 1998, hlm. 129. 12

Ibid, hlm. 130.

8

dalam Islam adalah berbuat kebohongan yang mencelakakan Nabi sebagaimana

hadis (man khadaba alayya)”13

.

Kritik matan adalah seleksi matan hadis sehingga dapat dibedakan antara

matan yang diterima dan matan yang ditolak dengan menggunakan kaidah-kaidah

kritik yang disepakati ulama’ hadis mulai dari metode kritik sahabat, metode

kritik ulama’ klasik hingga ulama’ kontemporer.

Banyak di antara ulama’ hadis klasik memusatkan perhatian pada kritik

sanad, sebab menurut mereka bahwa otentitas suatu hadis terletak pada sanad.

Jika sanad sahih, maka dapat dipastikan matannya juga sahih. Namun setelah

diteliti bahwa banyak juga hadis matannya kelihatannya sahih (kanya karena

melihat sanadnya sahih) ternyata matannya da’if bahkan maudu’.

Sebab itulah beberapa ulama’ hadis khususnya yang bergelut dengan

dunia kritik hadis merumuskan beberapa kaedah untuk mengkritik matan hadis

sesuai proposi (perbandingan) hadis itu sendiri. Di antara ulama’ hadis tersebut

ialah Ibnu Abi Hatim dan ayahnya, Syu’bah Ibn al-Hajjaj, al-‘Iraqi, al-Dhahabi,

al-Tirmidzi dan lainnya. Adapun kaedah-kaedah yang telah disepakati tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Mengkomparasi14

riwayat hadis yang akan dikritik dengan riwayat-

riwayat lain. Dengan begitu akan diketahui apakah dalam matan hadis

itu terdapat Idraj (tambahan kata / kalimat dari salah satu perawinya),

Qalb (pembalikan kata) idtirab (taqdim dan ta’khir / penduluan dan

pengakhiran), al-Ziyadah wa al-Nuqsan (penambahan dan

pengurangan), tashif (perubahan tiitk), tahrif (perubahan harokat), dan

bentuk hadis janggal lain yang mengisyaratkan adanya kesalah-

fahaman (al-wahm) dari seorang perawi terhadap hadis yang ia

riwayatkan.

2. Komparasi beberapa hadis yang kelihatannya saling bertentangan.

Terhadap hadis yang saling ta’arudl, adalah beberapa kemungkinan

yang bisa dilakukan, yaitu invalidasi (naskh), kompromi (al-jam’u)

13

Nuruddin ‘ltr, ‘Ulumul Hadis, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012, hlm.469-470. 14

Mengkomparasi : membandingkan

9

atau tarjih. Pembahasan tentang kontradiksi hadis sudah banyak

disinggung dalam kitab-kitab mustolah dan telah menjadi satu disiplin

ilmu tersendiri yang dinamakan ilmu Mukhtalif al-Hadis15

.

3. Komparasi matan hadis dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang

validitasnya diakui oleh mayoritas ulama’ dan diikuti oleh mayoritas

sahabat, seperti peristiwa perang badar, perang uhud, perang khandaq,

hijrah, pengalihan kiblat, dan sebagainya.

4. Kemungkinan adanya kontradiksi matan hadis dengan dalil-dalil

hukum yang qat’iy. Jika terbukti maka ia tergolong da’if.

5. Penilaian atas kuat atau lemahnya uslub yang dipakai dalam matan

hadis. Mayoritas ulama’ hadis menolak matan hadis yang amburadul

dan tidak memiliki karena bertentangan dengan tabi’at hadis Nabawi

dengan keindahan uslubnya dan kejelasan maknanya16

.

Sedangkan untuk mengetahui kesahihan matan hadis, ulama’ hadis

menetapkan dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu:

1. Matan hadis tidak Shadh. Shadh adalah apabila ada hadis A yang

sanadnya sahih, namun hadis lain (B) yang bertentangan denggan

hadis A dan mempunyai sanad yang lebih sahih dari hadis A (perawi

hadis B lebih thiqah dari perawi hadis A), maka hadis A matannya

menjadi shadh (da’if) sedangkan sanadnya tetap sahih. Adapun hadis

B, sanad dan matannya sahih (dinamakan hadis Mahfudz)

2. Matan tidak mengandung Illat17

. Banyak kita dapatkan hadis yang

matannya kelihatan sahih, namun setelah dikritik oleh para pengkritik

hadis ternyata ada illat pada matan yang dapat mencacat hadis

tersebut. Illat pada matan bisa berupa kesalah-fahaman (wahm) dari

perawi dan yang lainnya yang menyebabkan pencampuradukan antara

ucapan Rasulullah dengan ucapan orangg lain, atau bisa juga

15

Menurut al-Ma’aribi, hadith mukhtalif tergolong faktor pencatat yang tidak sampai mencatat

hadith, al-Jawahir al-Sulaimaniyah. 46. 16

Prof. Dr. Izzat Ali Athiyyah, Mausuah ulum al-Hadith al-Syarif, hlm. 799. 17

Illat pada matan ada dua macam, pertama tidak sampai mencacat matan, kedua illat yang dapat

mencacat matan.

10

menyebabkan penggantian matan seluruhnya secara tidak sengaja

seperti dalam kasus yang terjadi antara Thabit bin Musa, salah seorang

ulama’ ahli zuhud, dan gurunya al-Qadi Sharik bin Abdillah. Suatu

hari dalam sebuah majlis belajar, sang guru memulai pelajarannya

dengan menyebut sebuah hadis. Lalu di tengah Sharik menyebut

rentetan sanad dari hadis yang akan beliau riwayatkan, datanglah

muridnya yang terlambat, Thabit. Melihat wajah Tsabit, Sharik

spontan berkata: “Barangsiapa yang sering shalat di malam hari, maka

wajahnya bercahaya pada siang hari”. Perkataan itu keluar dari lisan

Sharik akibat luapan keterkaguman atas kezuhudan dan kewara’an18

Thabit. Tapi Thabit mengira perkataan itu adalah hadis Nabi SAW.

Thabit pun meriwayatkannya secara marfu’ ke Rasulullah SAW

dengan sanad yang tersebut di atas19

.

Menurut Dr. Mustafa as-Siba’i bahwa dalam sebuah kritik matan ada

beberapa kaedah yang harus kita perhatikan terkait syarat dapat diterimanya

matan, diantaranya adalah,

1. uslub yang dipakai tidak lemah

2. tidak terkesan keluar dari lisan yang tidak fasih,

3. substansi matan harus memungkinkan untuk dita’wil,

4. tidak bertentangan dengan mantiq / logika dasar manusia,

5. tidak bertentangan dengan norma-norma hukum, akhlaq, panca

indra, ilmu dasar medis, dasar-dasar kaidah yang qhot’i,

sunnatullah dan

6. tidak bertentangan pula dengan peristiwa sejarah yang mashur di

kalangan sahabat20

.

18

Kewaraan : menjaga diri dari hal-hal maksiat 19

Al-Idlibi, 32-33. 20

Prof. Dr. Izzat Ali Athiyyah, Mausuah ulum al-Hadith al-Syarif

11

Berkaitan dengan studi atau penelitian matan hadis, secara garis besar

meliputi tiga kegiatan atau tahapan yaitu:

1. Melakukan kritik atau seleksi matan hadis (naqd al-matan),

2. Melakukan interpretasi atau pemaknaan matan hadis (syarh al-matan),

3. Melakukan tipologi atau klasifikasi matan hadis (qism al-matan).

Dilihat dari objek kritiknya, model kritik teks/matan hadis Nabi dapat

dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Metode kritik matan hadis pra kodifikasi.

Metode ini memakai metode perbandingan (comparative)

dan/atau rujuk silang (cross reference). Diantara teknik-teknik

perbandingan tersebut adalah:

a. Membandingkan matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang

berkaitan.

Teknik ini sering dilakukan oleh para sahabat Nabi, Umar

bin Khattab misalnya ia pernah menanyakan dan menolak hadis

yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa

wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah dari

mantan suaminya. Menurutnya hadis tersebut tidak sejalan dengan

bunyi al-Qur’an apabila dibandingkan.

b. Membandingkan matan-matan hadis dalam dokumen tertulis

dengan hadis-hadis yang disampaikan dari hafalan.

Dalam teknik ini apabila ada perbedaan antara versi tulisan

dengan versi lisan, para ulama’ biasanya lebih memilih versi

tulisan daripada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz).

Imam Bukhari misalnya, beliau pernah melakukan teknik ini pada

saat mengahdapi matan hadis tentang mengangkat tangan ketika

akan ruku’ dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui

Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkan, Bukhori memutuskan

untuk memilih hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam

yang telah mengeceknya dari kitab ‘Abdullah bin Idris (dalam

12

versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang

mengundang perselisihan.

c. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang

disampaikan pada waktu yang berlainan.

Teknik perbandingan ini pernah dipraktekkan oleh ‘Aisyah

salah seorang istri Nabi. ‘Aisyah pernah meminta keponakannya

untuk menanyakan sebuah hadis, yaitu tentang ilmu dan

dihilangkannya ilmu dari dunia kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-

‘Ash yang tengah menunaikan ibadah haji. Kemudian setahun

kemudian, dikarenakan ‘Aisyah tidak puas dengan hadis tersebut,

pada kesempatan haji berikutnya ‘Aisyah menyuruh keponakannya

kembali menanyakan kepada ‘Abdullah.

d. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka

terima dari satu guru.

Teknik ini pernah di praktekkan oleh Yahya Ibnu Ma’in,

salah seorang ulama’ kritikus hadis terkemuka. Ia pernah

membandingkan karya Hammad bin Salamah dengan menemui

dan mencermati tulisan delapan belas orang muridnya. Hasilnya

ditemukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan baik oleh Hammad

sendiri maaupun murid-muridnya.

e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat

lainnya.

Teknik ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam.

Peristiwanya bermula ketika ia menerima hadis yang disampaikan

oleh ‘Adb ar-Rahman bin al-Mughiroh bin hisyam al-Mughiroh

yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah.

2. Metode kritik matan hadis pasca kodifikasi.

Pada masa pasca kodifikasi untuk metode kritik hadis pun

masih dominan dan relevan, hanya saja teknik-tekniknya perlu

disesuaikan. Diantara teknik-teknik tersebut adalah:

13

a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang

terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.

Dalam teknik ini tidak lagi sekedar kritik perbandingan

teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan

teks.

b. Membandingkan antara matan-matan hadis.

Supaya dapat melakukan kritik matan hadis dengan teknik

ini, hendaknya didahului dengan langkah pertama yaitu

menghimpun matan-matan hadis.

Para ulama’ meninjau matan hadits dari beberapa segi pembicaranya 21

:

a. Hadits Qudsi

Hadits Qudsi adalah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah Saw,

dan disandarkan kepada Allah Swt.

Seperti:

قال رسوالهلل صلي اهلل عليه و سلم فيما يروي عن ربهRasulullah Saw, bersabda tentang hadis yang diriwayatkannya dari

Tuhannya: …..

atau

ن رسول اهلل صلي اهلل عليه و سلمقال اهلل تعالي فيما رواه ع Allah Swt, berfirman dalam hadis yang diriwayatkan oleh

Rasulullah Saw: ….

b. Hadis Marfuk

Hadis marfuq adalah ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat yang

disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw secara khusus.

21

Dr. nuruddin ‘ltr, ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012. Hlm: 334-

338

14

Ibnu al-shalah berkata, “Ada ahli hadis yang menjadikan hadis

marfuk sebagai kebalikan hadis mursal.” Yang ia maksudkan dengan

hadis itu adalah hadis marfuk muttasil.

c. Hadis Mauquf

Hadis mauquf adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat

r.a dan tidak sampai kepada Rasulullah Saw

Hadis yang demikian disebut mauquf karena ia hanya terhenti pada

sahabat dan tidak naik kepada Rasulullah Saw. Sebagian ulama

menyebut hadis mauquf secara mutlak sebagai atsar.

d. Hadis Maqthu’

Hadis maqthu’ adalah hadis yang disandarkan kepada tabiin22

.

22

Dr. nuruddin ‘ltr, ‘Ulumul Hadis. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012. Hlm: 338

15

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Menurut ilmu hadis matan adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad.

Yakni sabda Nabi Muhammad SAW yang disebut setelah disebutkannya sanad23

.

المتن هو ما انتهى اليه السند من الكالم

“Matan (isi hadis) adalah perkataan yang berbatasan dengan ujung sanad”24

Sedangkan istilah “kritik” dalam bahasa Arab diartikan “naqd”. Sementara itu, di

dalam al-Qur’an dan hadis kata “naqd” tidak ditemukan dalam makna kritik. Meskipun

demikian, dalam tradisi Islam awal telah dikenal konsep mengenai kritik. Hal ini

berdasarkan realita dalam al-Qru’an yang mengenal istilah “yamiz”, sebuah istilah yang

bentuk mudlori’ nya dari kata “maza” yang sejalan dengan konsep kritik yakni

memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain25

. Naqd dalam bahasa Arab popular berarti

penelitian, analisis, pengecekan dan pembedaan26

. Kemudian yang dimaksud dengan

kritik matan adalah seleksi matan hadis sehingga dapat dibedakan antara matan yang bisa

diterima atau ditolak dengan menggunakan kaedah-kaedah kritik yang disepakati ulama’

hadis yang diformulasikan dari berbagai metode kritik sahabat, metode kritik ulama’

klasik hingga kontemporer.

Sejarah lahirnya studi kritik hadis sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah

SAW, baik itu dilakukan oleh beliau sendiri atau dilakukan oleh sebagian sahabat.

Sepeninggal Rasulullah SAW tahun 11 H/623 M, terjadi perubahan signifikan karena

hadis tidak lagi diriwayatkan dari sumber pertama tapi dari sumber kedua dan seterusnya

23

Muhammad Tahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Mata al-Hadis al-Nabawi al-Syarif

(Tunis: Muassasah Abd al-Karim ibn Abdullah, t.t.) hlm. 88-89. 24

Dr. nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis. (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012). Hlm. 333. 25

Jamal al-Din Muhammad bin Mukarrom bin Manzur, Lisan al-Arab. (Bairut: Dar al Sadir,

1990) hlm. 425. 26

Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: George Allen & Unwa Ltd,

1970), hlm. 990.

16

yang mempunyai posisi yang berbeda dari sumber pertama. Secara intens para sahabat

melakukan kritik terhadap perawi hadis. Tercatat Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali,

A’isyah, ibn Abbas, Anas ibn Malik, dan ‘Ubadah ibn Samit dikenal sebagai tokoh yang

selalu meneliti dan mengkritik periwayat lain.27

Berkaitan dengan studi atau penelitian matan hadis, secara garis besar meliputi

tiga kegiatan atau tahapan yaitu:

1. Melakukan kritik atau seleksi matan hadis (naqd al-matan),

2. Melakukan interpretasi atau pemaknaan matan hadis (syarh al-matan),

3. Melakukan tipologi atau klasifikasi matan hadis (qism al-matan).

Dilihat dari objek kritiknya, model kritik teks/matan hadis Nabi dapat dibagi

menjadi dua macam, yaitu:

1. Metode kritik matan hadis pra kodifikasi.

a. Membandingkan matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.

b. Membandingkan matan-matan hadis dalam dokumen tertulis dengan hadis-

hadis yang disampaikan dari hafalan.

c. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan

pada waktu yang berlainan.

d. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka terima dari

satu guru.

e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.

2. Metode kritik matan hadis pasca kodifikasi.

a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau

memiliki kedekatan susunan redaksi.

b. Membandingkan antara matan-matan hadis.

27

Dr. Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasbri’ al-Islami (Beirut: Dar al-Warraq,

1998) hlm. 129.

17

Daftar Pustaka

Ibnu Mamnzur, Lisan al-Arab (Mesir: Dar al-Misriyyah li at-Ta’lif wa at-

Tarjamah, 1868).

Muhammad Tahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Mata al-Hadis al-

Nabawi al-Syarif (Tunis: Muassasah Abd al-Karim ibn Abdullah, t.t.).

Dr. nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis. (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA,

2012).

Jamal al-Din Muhammad bin Mukarrom bin Manzur, Lisan al-Arab. (Bairut: Dar

al Sadir, 1990).

Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: George Allen &

Unwa Ltd, 1970).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia

(Jakarta: Balai Pustaka, 1988).

Dr. Mustafa al-Siba’I, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasbri’ al-Islami (Beirut:

Dar al-Warraq, 1998).

Prof. Dr. Zainul Arifin, Kritik Hadist, Studi Historis Kritik Hadist Pada Zaman

Sahabat, dalam jurnal al-Afkar edisi VIII TH 7/Juli-Desember 2003.

Prof. Dr. Izzat Ali Athiyyah, Mausuah ulum al-Hadith al-Syarif.