makalah kusta
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang
sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tapi meluas sehingga
masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.1 Kusta adalah penyakit
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan
saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem
retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.2 Penyakit kusta masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Penyakit kusta masih
ditakuti oleh masyarakat, keluarga maupun petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan
karena masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta
dan kecacatan yang ditimbulkannya.
Dengan kemajuan teknologi dubidang promotif, pencegahan, pengobatan serta
pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan
seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Akan tetapi oleh kerana
sifatnya yang kompleks maka diperlukan program pengendalian secara terpadu dan
menyeluruh dengan strategi yang sesuai dengan endemisitas penyakit kusta.Rehabilitasi
medis dan sosial ekonomi juga harus deperhatikan untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita kusta.1
II. EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian,
dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit kecacatan dan
kematian dalam populasi manusia. Epidemiologi juga meliputi pemberian ciri pada distribusi
status kesehatan, penyakit, atau masalah kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia,
jenis kelamin, ras, geografi, agama, pendidikan, pekerjaan , perilaku, waktu, tempat, dan
orang. Karakterisasi ini dilakukan guna menjelaskan distribusi suatu penyakit atau masalah
yang terkait dengan kesehatan jiga dihubungkan dengan faktor penyebab. Epidemiologi
berguna untuk mengkaji dan menjelaskan dampak dari tinakan pengendalian kesehatan
masyarakat, program pencegahan, intervensi klinis, dan pelayanan kesehatan terhadap
penyakit atau mengkaji dan menjelaskan faktor lain yang berdampak pada status kesehatan
penduduk. Epidemiologi dapat dikategorikan sebagai Epidemiology Triangle yang terdiri
daripada agent, host dan faktor lingkungan dan cara penularannya.3
2
Dari konsep Epidemiology Triangle pertama adalah agentnya penyakit kusta adalah
Mycobacterium leprae, untuk pertama kali diketemukan oleh G.H. Armuer Hansen pada
tahun 1873. Mycobacterium Lepra tidak dapat dikultur, gram positif, basil tahan asam dan
hidup intrasellular dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Shwan cell) dan sel dari
sistem retikulo endotelial.1 Genomenya lebih pendek dari Mycobacterium tuberculosa. M.
leprae mengkode sebanyak 1600 gene, dan berkongsi 1439 gene yang sama. M. leprae sama
seperti Triponema pallidum yang mana tidak bersifat toksik.4 Waktu pembelahannya sangat
lama yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret
nasal dapat bertahan 9 hari.1 Gejala klinis yang timbul seperti penyakit kusta ini biasanya
adalah respons host terhadap bakteri M.leprae atau antara lain, akumulasi dengan jumlah
bakteri yang tinggi yang kelihatan seperti infiltrasi.4
Kedua adalah host. Setelah adanya kontak M. leprae pada host cuma sedikit sahaja
yang akan terjangkit kusta ini disebabkan oleh adanya kekebalan tubuh. Faktor fisiologik host
seperti pubertas, menopause, kehamilan serta faktor infeksi dan kekurangan gizi dapat
meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Sebagian besar manusia yaitu sebanyak 95%
dikatakan kebal terhadap kusta dan cuma 5% sahaja yang yang tertular. Dari yang tertular ini
cuma 30% yang menjadi sakit manakala 70% dapat sembuh sendiri.1
Etnik dan suku juga mempengaruhi distribusi penyakit kusta. Di Burma etnik Burma yang
sering tertular berbanding dengan etnik india. Situasi di Malaysia juga terlihat hal yang sama
dimana penyakit kusta seringnya terlihat pada etnik cina berbanding melayu dan india.
Antara faktor lain lagi adalah sosial ekonomi di mana orang yang sosial ekonominya tinggi
tidak tertular kusta. Dari aspek umur pula kusta diketahui terjadi pada samua usia tetapi yang
banyak terlihat adalah pada usia muda dan produktif. Di afrika pula memperlihatkan bahwa
laki-laki lebih banyak yang menderita kusta berbanding perempuan.1
Ketiga adalah faktor lingkungan. Yang disebut sebagai lingkungan adalah segala
sesuatu baik benda maupun keadaan yang berada disekitarnya yang dapat mempengaruhi
kehidupan masyarakat dan sekitarnya. Sebagai faktor intrinsik yang terdiri dari lingkungan
fisik, biologi, ekonomi, dan sosial.2
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan
kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, dan
asupan gizi yang buruk. Penularan melalui lingkungan bisa terjadi karena kondisi sanitasi
yang kurang baik meliputi kebersihan rumah, kelembaban ruangan fasilitas sanitasi yang
jelek dan juga kebiasaan masyarakat tidur bersama-sama, pakai pakaian bergantian, handuk
mandi secara bergantian dan buang air besar di kebun juga dapat memicu terjadinya berbagai
3
macam penyakit dan juga tidak menutup kemungkinan penyakit kusta. Olehkarena itu, upaya
agar lingkungan selalu bersih dan sehat (misalkan dengan mencuci tangan sebelum makan
maupun rajin mandi agar tubuh senantiasa terjaga kebersihannya) dapat membantu host untuk
mencegah dari penyakit kusta. Peningkatkan kebersihan lingkungan sekitar rumah dapat
menekan timbulnya bibit penyakit, dari lingkungan keluarga yang sehat maka kemungkinan
timbulnya penyakit akan semakin kecil. Oleh karena itu, untuk menghindari kusta salah
satunya dengan menjaga kebersihan karena bakteri penyebab penyakit kusta mudah
berkembang di lingkungan yang tidak bersih dan sanitasi yang kurang baik.2,3
Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan sebagai lingkungan yang dapat
memberikan tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk bersitirahat serta dapat
menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik, psikologis maupun sosial Menurut
APHA (American Public Health Assosiation), lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan fisiologis
Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar
kontruksinya sedemikian rupa sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak
dan agar kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu tinggi dan
terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan agar perbedaan suhu antara
dinding, lantai, atap dan permukaan jendela tidak terlalu banyak.
Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam. Suatu
ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas
ventilasi minimal 10 % dari jumlah luas lantai.
Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi yang
cukup untuk proses pergantian udara.
Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak terganggu
oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah.
Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain, ruang
makan, ruang tidur, dll.
Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis
kelaminnya.
4
2. Perlindungan terhadap penularan penyakit
Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kualitas maupun
kuantitas, sehingga selain kebutuhan untuk makan dan minum terpenuhi, juga
cukup tersedia air untuk memelihara kebersihan rumah, pakaian dan
penghuninya.
Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang baik dan memenuhi
syarat, juga air pembuangan harus bisa dialirkan dengan baik.
Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus memenuhi syarat kesehatan,
yaitu harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap dan mengkontaminasi
permukaan sumber air bersih.
Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas dari pencemaran dan
gangguan binatang serangga dan debu.
Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan berkembang
biak di dalam rumah, jadi rumah dalam kontruksinya harus rat proof, fly fight,
mosquito fight.
Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.
Luas kamar tidur minimal 92 per orang dan tinggi langit-langit minimal 3
meter.7
Cara Penularan
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas, penularan di
dalam rumah tangga dan kontak atau hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya
sangat berperan dalam penularan kusta. Kuman kusta mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5
tahun , akan tetapi bisa juga sampai bertahun-tahun. Cara-cara penularan penyakit kusta
sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman
kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa
penularan penyakit kusta adalah :
1. Sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24 jam (2-7 hari)
2. Kontak kulit dengan kulit. Syaratnya dibawah umur 25 tahun karena anak-anak
lebih peka daripada orang dewasa, keduanya harus ada lesi baik mikroskopis
maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang.
3. Kontak dekat dan penularan dari udara (droplet).
4. Faktor tidak cukup gizi.
5
5. Kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat dalam jangka waktu
yang lama.
6. Lewat luka.
7. Saluran pernafasan atau inhalasi.
8. Air susu ibu (kuman kusta dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat dan air susu).3
III. DOKTOR KELUARGA
Dokter Keluarga adalah Dokter praktek umum yang menerapkan prinsip-prinsip
Kedokteran Keluarga (komprehensif, kontinu, koordinatif, kolaboratif), mengutamakan
pencegahan, dengan sasaran keluarga beserta segala aspek dan mengikuti perkembangan
ilmu/teknologi Kedokteran mutakhir (Evidence Based Medicine,EBM).
Klinik adalah badan usaha satu jenis pelayanan kedokteran rawat jalan. Beberapa
klinik melengkapi dirinya dengan rawat inap. Misalnya: Klinik 24 jam, Klinik Dokter
Keluarga, Klinik Bedah, dsb. Klinik Dokter Keluarga adalah klinik yang diselenggarakan
oleh Dokter Praktek Umum yang menerapkan prinsip-prinsip Kedokteran Keluarga. Klinik
Dokter Kluarga sering disertai ruang rawat inap sementara (One Day Care) sebelum
mendapat tempat rawat inapdi Rumah Sakit rujukan.
Dalam teori administrasi, manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
penggerakpelaksanaan, dan pengontrolan (Planning, Onganizing, Actuating, Controling)
terhadap perangkat administrasi (Man, Money, Material, Mothode). Secara singkat,
manajemen adalah proses memfungsikan prangkat administrasi agar menghasilkan satu target
(sesuatu yang diharapkan). Manajemen Klinik Dokter Keluarga adalah proses perencanaan
dan pengontrolan man,money,material dan method agar mencapai target. Singkatnya
manajemen Klinik Dokter Keluarga adalah proses memfungsikan perangkat Klinik Dokter
Keluarga agar mencapai target yang diharapkan.
Prinsip Kedokteran Keluarga
1. Dokter kontak pertama (first contact)
Dokter keluarga adalah pemberi layanan kesehatan (provider) yang pertama kali
ditemui pasien/klien dalam masalah kesehatannya.
2. Layanan bersifat pribadi ( personal care)
6
Dokter keluarga memberikan layanan yang bersifat pribadi dengan
mempertimbangkan pasien sebagai bagian dari keluarga.
3. Pelayanan paripurna ( comprehensive)
Dokter keluarga memberikan pelayanan menyeluruh yang memadukan promosi
kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan rehabilitasi dengan aspek fisik,
psikologis, dan social budaya.
4. Kolaborasi
Bila pasien membutuhkan pelayanan yang berada diluar kompetensinya, Dokter
keluarga bekerjasama dan mendelegasikan pengelolaan pasiennya pada pihak lain
yang berkompeten
5. Koordinasi
Dalam upaya mengatasi masalah pasien Dokter keluarga perlu berkonsultasi dengan
disiplin ilmu lainnya.
6. Pelayanan bersinambungan (continuous care)
Pelayanan Dokter keluarga berpusat pada orangnya (pasient-centered) bukan pada
penyakitnya (diseases-centered).
7. Mengutamakan pencegahan (prevention first)
Karena berangkat dari paradigma sehat, maka upaya pencegahan oleh Dokter keluarga
dilaksanakan sedini mungkin.
8. Family oriented
Dalam mengatasi masalah Dokter keluarga mempertimbangkan konteks keluarga,
dampak kondisi pasien terhadap keluarga dan sebaliknya.
9. Community oriented
Dokter keluarga dalam mengatasi masalah pasien haruslah tetap memperhatikan
dampak kondisi pasien terhadap komunitas dan sebaliknya
10. Evidence Based Medicine (EBM)
EBM adalah pertimbangan bukti ilmiah (evidence) yang sahih untuk menentukan
pengobatan pada penderita yang sedang Dokter keluarga hadapi. EBM berorientasi
kepada pasien sehingga keakuratan informasi yang dimiliki sangat penting dalam
penentuan diagnosa. EBM ini akan dijadikan dasar pada dokter keluarga dalam
melakukan diagnosa dan terapi.5
.
7
Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga
Tujuan pelayanan dokter keluarga secara umum dapat dibedakan atas dua macam,
yakni :
1. Tujuan umum
Tujuan umum pelayanan dokter keluarga pada dasarnya adalah sama dengan tujuan
pelayanan kesehatan secara keseluruhan, yakni terwujudnya keadaan sehat bagi setiap
anggota keluarga.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus pelayanan dokter keluarga erat hubungannya dengan sejarah
perkembangan pelayanan dokter keluarga di satu pihak serta ciri-ciri pelayanan dokter
keluarga di pihak lain. Tujuan khusus yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan
keluarga akan pelayanan kedokteran yang efektif dan efisien.6
Manfaat praktek dokter keluarga adalah sebagai berikut: akan dapat
diselenggarakan penanganan kasus penyakit sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya
terhadap keluhan yang disampaikan; akan dapat diselenggarakan pelayanan pencegahan
penyakit dan dijamin kesinambungan pelayanan kesehatan; apabila dibutuhkan pelayanan
spesialis, pengaturannya akan lebih baik dan terarah, terutama ditengah-tengah kompleksitas
pelayanan kesehatan saat ini; akan dapat diselenggarakan pelayanan kesehatan yang terpadu
sehingga penanganan suatu masalah kesehatan tidak menimbulkan pelbagai masalah lainnya;
jika seluruh anggota keluarga ikut serta dalam pelayani maka segala keterangan tentang
keluarga tersebut, baik keterangan kesehatan ataupun keterangan keadaan sosial dapat
dimanfaatkan dalam menangani masalah kesehatan yang sedang dihadapi; dapat
diperhitungkan pelbagai faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit, termasuk faktor
sosial dan psikologis; dan akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit dengan
tatacara yang lebih sederhana dan tidak begitu mahal dan karena itu akan meringankan biaya
kesehatan dapat dicegah pemakaian pelbagai peralatan kedokteran canggih yang
memberatkan biaya kesehatan.5
Penemuan Pasien
Penemuan pasien oleh doktor keluarga terdiri dari penemuan pasif dan aktif.
a) Penemuan Pasif (Sukarela)
Adalah pasien yang ditemukan karena datang ke puskesmas atau sarana kesehatan
lain atas kemahuan dirinya sendiri atau saran orang lain seperti ahli keluarga atau
8
teman rapat. Dalam senario kasus ini terjadi penemuan pasif kerana seorang bapak
berumur 45 tahun telah membawa anaknya yang berumur 14 tahun untuk berobat
kerana adanya bercak-bercak putih di punggung dan lengan anaknya. Pada penemuan
ini bisa terjadi kejadian yang menyebabkan pasien lambat berubat atas dua sebab
yaitu:
1. Aspek dari sisi pasien : pasien sendiri tidak mengerti tanda dini penyakit
kusta, ada yang malu untuk berubat, tidak tahu adanya obat tersedia gratis
untuk pesakit kusta atau kerana jarak rumah ke puskesmas tidak terjangkau
oleh pasien.
2. Aspek dari penyediaan pelayanan kesehatan : petugas kesehatan yang tidak
mampu mengenali tanda kusta maka tidak mendiagnosis penyakit sebagai
kusta, pelayanan juga yang tidak mengakomodasi kebutuhan pasien.
b) Penemuan Aktif
Adalah kunjungan kerumah oleh dokter keluarga atau petugas kesehatan lainnya ke
rumah pasien yang baru diketemukan. dalam senario ini juga terjadi penemuan aktif
apabila doktor menduga anak itu kusta dan tinggal di wilayah endemis kusta. Hasil
kunjungan ke rumah pasien itu ditemukan bahawa rumah yang dihuni oleh 5 orang
ahli keluarga itu ukurannya cuma 4x4 , lantai rumah sebagian masih tanah, sinar
matahari sulit masuk ke dalam rumah dan keadaan rumahnya yang lembab. mereka
juga tinggal di permukiman yang padat penduduk. Dokter juga menemukan riwayat
penyakit keluarga di mana ibu pasien pernah diobati kusta 3 tahun lalu tapi tidak
selesai. Kegiatan ini memerlukan pembiayaan yang rendah namun memiliki
efektifitas yang tinggi sehingga wajib dilakukan.
Tujuan dari kunjungan aktif ini dapat meningkatkan kesadaran dan dukungan
anggota keluarga agar pengobatan berjalan baik dan tiada diskriminasi dan di samping
itu dapat juga diketemukan pasien bari sedini mungkin. Sasaran adalah seluruh ahli
keluarga yang tinggal serumah dan penduduk sekitarnya.
Kegiatan yang akan dilakukan adalah, untuk pasien baru kunjungan rumah dilakukan
segera dan paling lambat dalam jurang waktu 3 bulan. Sewaktu kunjungan rumah
akan diberikan konseling sederhana dan pemeriksaan fisik pada sasaran. Dokter dan
petugas saat lakukan kunjungan rumah diwajibkan membawa kartu pasien, alat-alat
pemeriksaan dan obat MDT.1,7
9
IV. LEVEL OF PREVENTION
Pencegahan penyakit dalam 5 tingkatan yang dilakukan pada masa sebelum sakit , semasa
sakit dan akhir sakit dari Leavell dan Clark.
Usaha-usaha oencegahan itu adalah:
a) Masa sebelum sakit:
1. Mempertinggi nilai kesehatan (Health Promotion)
2. Memberikan perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (Specific Protection)
b) Pada masa sakit:
1. Mengetahui dan mengenal jenis penyakit pada tingkat awal serta mengadakan
pengobatan yang tepat dan segera. (Early Diagnosis and Prompt Treatment)
2. Pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan kemampuan bekerja
yang diakibatkan oleh sesuatu penyakit. ( Disability Limitation)
c) Akhir sakit:
1. Upaya pemulihan kesehatan setelah sembuh dari sakit dan mencegah akibat
samping dan kekambuhan. ( Rehabilitative)
A. Health Promotion
Dalam tingkat ini dilakukan pendidikan kesehatan, misalnya dalam peningkatan gizi,
kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan seperti penyediaan air rumah tangga yang
baik, perbaikan cara pembuangan sampah, kotoran, air limbah, hygiene perorangan, rekreasi,.
Usaha ini merupakan pelayanan terhadap pemeliharaan kesehatan pada umumnya.
Beberapa usaha di antaranya :
- Penyediaan makanan sehat cukup kwalitas maupun kwantitasnya.
- Pemeriksaan kesehatan berkala
- Perbaikan hygien dan sanitasi lingkungan,seperti : penyediaan air rumah tangga yang baik,
perbaikan cara pembuangan sampah, kotoran dan air limbah dan sebagainya.
- Pendidikan kesehatan kepada masyarakat
- Usaha kesehatan jiwa agar tercapai perkembangan kepribadian yang baik.8
B. Spesific Protection
Dalam tingkat ini bertujuan untuk menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin yaitu
dengan
- Imunisasi: Imunisasi dengan vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG). Imunisasi ini
membantu mencegah dan mengurangi kemungkinan tertular penyakit kusta.
10
- Kebersihan perorangan : Antara ahli keluarga jangan ada yang berkongsi handuk atau pakaian
yang belum dicuci
-Sanitasi lingkungan8
C. Early Diagnosis and Prompt Treatment
Gejala Klinik
Perbandingan gejala klinik Kusta Pausibasilar (PB) dan Multibasiler pada tabel berikut:
Tabel 1.1 Klasifikasi Kusta
Gejala klinis kusta PB:
Tabel 1.2 Gejala Klinis Kusta PB
*Tes Lipromin (Mitsuda untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat disesan setelah
3 minggu.
11
Gejala klinis kusta MB:
Tabel 1.3
*Tes Lipromin (Mitsuda untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat disesan setelah
3 minggu
Dasar Diagnosis
Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu
digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum, kapas, tabung reaksi
masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada
penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau
keduanya. Kusta mendapat julukan 'The great imitator' dalam penyakit kulit sehingga
perlu didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya
antara lain adalah: dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis
seboroikpsoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma,
leukemia kutis,tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark.
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah
dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan
dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula
12
ada tidaknya dehidrasi didaerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta
(tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi.
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan
nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N.
fasialis, N.aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan
N. tibialisposterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan
menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti
tempat lesinya.
Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer
dan sekunder.
Deformitas primer : sebagai akibat lansung oleh granuloma yang terbentuk sebgai
reaksi terhadap M. leprae,yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu
kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan saraf:
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu
jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki
dan kolaps arkus pedis
6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal)
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.9
13
Pemeriksaan Penunjang
1.Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain
dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn
sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain
yang paling aktif (yang paling eritematosa dan infiltratif). Cara pengambilan bahan dengan
menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu
jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung
sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui
subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung
sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M.leprae. Kerokan jaringan itu
dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-
Neelsen.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari
yang ditampung pada sehelai plastik. Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa
hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas. Sediaan
dari mukosa hidung jarang dilakukan karena: kemungkinan adanya M. Atipik dan M. leprae
tidak pernah positif jika pada kulit negatif. M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan
tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus
(fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid
adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan
BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks
bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP),
1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP,
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP,
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP,
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP,
5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP,
6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada
14
pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat
sediaan.9
2. Pemeriksaan histopatologik
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan
menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan sistem
imunitasselular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-
derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di
bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.9
3. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.
leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta
35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan
(LAM), yamg juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam pemeriksaan
serologik kusta ialah:
• Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination)
• Uji ELISA
• ML dipstick (M. leprae dipstick)9
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit yang
sebenarnyakronik. Klasifikasi yang sering dipakai adalah:
• E.N.L (eritema nodusum leprosum)
• Reaksi reversal atau upgrading
E.N.L terutama timbul pada tipe lepramatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti
makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Secara
15
imunopatologis E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun
akibat reaksi antara
antigen M. Leprae + antibodi (IgM, Ig G) + komplemen → kompleks imun.
Kadar immunoglobulin penderita kusta lepramatosa lebih tinggi daripada tuberkuloid. Hal ini
terjadi oleh karena pada tipe lepramatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe
tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi
karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, yang berarti banyak
antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem
komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya
dapat melibatkan berbagai organ.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti
iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria.
Reaksi reversalhanya dapat terjadi pada tipe borderline(Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga disebut
juga reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi
peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti diperkirakan
ada hubungannya dengan reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Umunya terjadi pada
pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara
mendadak sehinggamemerlukan pengobatan yang memadai.
Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT atau LL dengan
mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula.
Begitu pula reaksi revesal, terjadi peningkatan SIS, hanya bedanya terjadi secara cepat dan
mendadak. Isitilah downgradinguntuk menunjukkan pergeseran ke arah lepromatosa.
Gejala klinik reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah adabertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang realtif singkat.
Artinya lesi ipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi
makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.
Kalau diperhatikan kembali reaksi E.N.L dan reversal secara klinis, E.N.L dengan lesi
eritema nodusum sedangkan reversal tanpa nodus sehingga disebut reaksi lepra nodular,
sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non nodular.9
16
Penatalaksanaan
Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT),
yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah:
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-
out rate) dan ketidaktaatan penderita (Kosasih, 2002). WHO mengklasifikasikan kusta
menjadi 2 berdasarkan atas adanya kuman tahan pada pemeriksaan bakterioskopis untuk
pemilihan rejimen MDT :
1. Kusta Pausibasilar (PB) Kusta dengan basil tahan asam (BTA) negatif pada sediaan hapus, yaitu : tipe I
(Interminate), TT (Tuberculoid) dan BT (Borderline tuberculoid).
2. Kusta Multibasilar (MB)
Kusta dengan BTA positf pada sediaan hapus, yaitu : BB (Borderline), BL (Borderline
lepromatous) dan LL (Lepromatosa).
Obat obat dalam rejimen MDT-WHO
1. Dapson
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim
dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi
kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai
6 bulan.
Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan
untuk anak-anak.
Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,
nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut
jarang dijumpai pada dosis lazim.
2. Rifampisin
Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan
merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat
enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya
mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi
Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kirakira
99.9% dalam waktu beberapa hari.
Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.
17
3. Klofazimin
Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya
diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek
anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.
Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari.
Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe
I dan 2.
Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri
abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).1,6
Skema Rejimen MDT-WHO
WHO membuat klasifikasi program rejimen MDT-WHO karena fasilitas bakterioskopik
tidak selalu tersedia sehingga klasifikasi untuk rejimen ini juga didasarkan lesi kulit dan
jumlah
saraf yang terkena. Klasifikasi kusta untuk kepentingan rejimen MDT oleh WHO (1997)
terbagi dalam 3 grup :
1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah.
Rejimen terdiri dari : Rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah
dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan.
2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah
Rejimen terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan,
dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan
50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.
3. Rejimen PB dengan lesi tunggal
Rejimen terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100
mg dosis tunggal.
Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan dengan berat-badan (
lihat tabel).
18
Tabel 2.1 Dosis Rejimen MDT-PB
Tabel 2.2 Dosis Rejimen MDT-MB/PB Lesi Tunggal
Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui
Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil oleh sebab itu obat MDT harus tetap diberikan.
WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai selama kehamilan dan menyusui, bagi
ibudan bayinya, sehingga tidak perlu mengubah dosis. Obat dapat keluar melalui ASI dalam
junlah kecil tetapi tidak ada laporan efek samping obat pada bayi kecuali pewarnaan
kulit akibat klofazimin. Obat dosis tunggal bagi bercak tunggal ditunggu pemakaiannya
sampai bayinya lahir.1
Penanganan Reaksi Kusta
Prinsip penanganan reaksi kusta :
1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau
kontraktur
19
2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan
3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas
4. Mengatasi rasa nyeri
Pengobatan E.N.L:
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya
bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang
lebih. Seseuai dengan perbaikan reaksi, dosinya diturunkan secara bertahap sampai berhenti
sama sekali. Obat lain yang dianggap sebagai pilihan utama adalah thalidomide, tetapi harus
berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik jadi tidak boleh diberikan kepada ibu hamil
atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L tetapi
dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat
makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Keuntungan klofazimin
dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek
samping yang
tidak diinginkan adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan terutama pada pemberian
dosis tinggi.1,6
Pengobatan reaksi reversal :
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis
akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama
adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis.
Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari lalu diturunkan secara perlahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan
dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang
dipakai, atau tidak pernah dipakai.6
D. Disability Limitation
Pada tingkat ini adalah mencegahnya meluasnya penyakit atau timbulnya wabah dan
proses menjadi lebih lanjut sehingga dapat menimbulkan kecacatan.
WHO Expert Comittee on Leprosy telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Hal
ini dapat dilihat di tabel dibawah.
20
Tabel 3.1 Klasifikasi Cacat
_________________________________________________________________ Cacat pada tangan dan kaki. Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas,
tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas , tanpa kerusakan
atau deformitas yang terlihat Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata. Tingkat 0 : tidak ada gangguan pada mata akibat
kusta; tidak ada gangguan penglihatan Tingkat 1 : ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60
atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter) Tingkat 2 : gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak
dapat menghitung jari pada 6 meter). _________________________________________________________________ catatan :
kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi,absorbsi, mutilasi, kontraktor,
sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus.
Cara terbaik untuk melakukan upaya pencegahan kecacatan pada yang terdapat gangguan
sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana seperti:
memakai sepatu untuk melindungi kaki yang dah terkena.
memakai sarung tangan apabila bekerja dengan benda tajam atau panas.
jika ada luka , memar atau lecet kecil rawat dan istirahat bahagian tangan atau kaki itu
sampai sembuh.
memakai kaca mata untuk melindungi mata
tetes mata menggunakan saline, jika mata sangat kering dan pada waktu rehat tutup
mata dengan sepotong kain basah.
untuk jari tangan yang bengkok diusahakan sesering mungkin menggunakan tangan
lain untuk meluruskan sendi-sendinya dan mencegah dari terjadi kekakuan lebih
berat.
diajarkan cara perawatan kulit hari-hari. Hal ini dimulakan dengan memeriksa ada
atau tidaknya memar, luka atau ulkus. setelah itu tangan dan kaki direndam , disikat
dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.1,9
21
E. Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain
operasi dan fisioterapi. Meskipun hasil tidak sempurna tetapi fungsi dan secara kosmetik
dapat diperbaiki. Cara lain ialah kekaryaan , yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai
cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri selain
itu dapat dilakukan terapi kejiwaan.
Bagi pasien yang sembuh pula dengan pemberian cukup gizi untuk mengelakkan
kekambuhan kerana gizi rendah.
KESIMPULAN
Lepra adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri yang menyerang kulit,
syaraf tepi. Dan pada penderita dengan tipe lepromatosa menyerang saluran pernapasan
bagian atas. Pada lepra bentuk lepromatosa kelainan kulit berbentuk nodula, papula,
makula dan infiltrat yang difus tersebar simetris bilateral dan biasanya ekstensif dan
dalam jumlah banyak. Terkenanya daerah hidung dapat membentuk krusta, tersumbatnya
jalan napas dan dapat terjadi epistaksis. Terserangnya mata dapat menimbulkan iritis dan
keratitis. Bentuk awal dari lepra ditandai dengan munculnya macula hipopigmentasi dengan
batas lesi yang tegas. Gejala klinis dari lepra dapat juga berupa “reaksi kusta” yaitu dengan
episode akut dan berat. Diagnosa klinis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kulit
secara lengkap dengan menemukan tanda-tanda terserangnya syaraf tepi berupa gejala
hipestasia, anesthesia, paralysis pada otot dan ulkus tropikum. Dilakukan tes terhadap sensasi
kulit dengan rabaan halus, ditusuk dengan jarum pentul, diskriminasi suhu. Timbulnya gejala
terserangnya saraf dan ditemukannya bakteri tahan asam merupakan gejala patognomonis
lepra. Pengobatan lepra disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT),
yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah:
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-
out rate) dan ketidaktaatan penderita. Prognosis penyakit ini dengan adanya obat-obat
kombinasi, menjadi lebih baik, dan pengobatannya menjdi lebih sederhana. Namun jika
sudah terdapat kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.
Dokter keluarga pula berperan penting untuk memberi pelayan promotif , protektif, kuratif
dan rehabilitatif pada pasien kusta. Penemuan pasien pasif dan aktif penting untuk
menghalang dari penyakit kusta ini tertular atau menjadi lebih berat.
22
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. . Kementerian Kesehatan
RI Direktor Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012; 67-
71, 99-104, 112-121.
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta. Prawoto,
Kabulrachman, Udiyono A. 2010, artikel , eprints.undip.ac.id/6325.
3. Timmreck TC. Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005; 2-9.
4. Rea T.H, Robert.L.M. Leprsosy in Wolff K, Goldsmith L.A, Katz S.I, et al.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.7th Edition. Toronto. McGraw Hill
Medical. 2008;1786-96.
5. Dokter Keluarga. Di unduh dari ;
http://www.ppjk.depkes.go.id.php?option=com_content. Pada 27 Juni 2014.
6. Walker S.L, Lockwood Diana N.J. Leprosy Type 1(reversal) reactions and their
management. United Kingdom. Department of Infection and Tropical Disease,
London School of Hygiene and Tropical Medicine. 2008; 212-216.
7. Budiman Chandra. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas / penulis, Budiman
Chandra ; editor penyelaras, Husny Muttaqin, Windriya Kerta Nirmala. – Jakarta :
EGC, 2009.
8. Materi Penyuluhan Kusta. Diunduh dari :
http://pkmtrea.wordpress.com/2013/07/20/materi-penyuluhan-kusta/ Pada 28 Juni
2014
9. Kosasih A, Wisnu I Made, Sjamsoe-Daili E, et al. Kusta. Dalam Djuanda A, Hamzah
M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Penerbit FKUI.
2008; 73-88.