makalah kusta

22
1 I. PENDAHULUAN Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tapi meluas sehingga masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. 1 Kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. 2 Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Penyakit kusta masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga maupun petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan karena masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya. Dengan kemajuan teknologi dubidang promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Akan tetapi oleh kerana sifatnya yang kompleks maka diperlukan program pengendalian secara terpadu dan menyeluruh dengan strategi yang sesuai dengan endemisitas penyakit kusta.Rehabilitasi medis dan sosial ekonomi juga harus deperhatikan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita kusta. 1 II. EPIDEMIOLOGI Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian, dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit kecacatan dan kematian dalam populasi manusia. Epidemiologi juga meliputi pemberian ciri pada distribusi status kesehatan, penyakit, atau masalah kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, geografi, agama, pendidikan, pekerjaan , perilaku, waktu, tempat, dan orang. Karakterisasi ini dilakukan guna menjelaskan distribusi suatu penyakit atau masalah yang terkait dengan kesehatan jiga dihubungkan dengan faktor penyebab. Epidemiologi berguna untuk mengkaji dan menjelaskan dampak dari tinakan pengendalian kesehatan masyarakat, program pencegahan, intervensi klinis, dan pelayanan kesehatan terhadap penyakit atau mengkaji dan menjelaskan faktor lain yang berdampak pada status kesehatan penduduk. Epidemiologi dapat dikategorikan sebagai Epidemiology Triangle yang terdiri daripada agent, host dan faktor lingkungan dan cara penularannya. 3

Upload: nliyanaramli

Post on 22-Jul-2015

944 views

Category:

Education


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah kusta

1

I. PENDAHULUAN

Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang

sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tapi meluas sehingga

masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.1 Kusta adalah penyakit

kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan

saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa, saluran pernapasan bagian atas, sistem

retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis.2 Penyakit kusta masih merupakan masalah

kesehatan masyarakat di Indonesia dan beberapa negara di dunia. Penyakit kusta masih

ditakuti oleh masyarakat, keluarga maupun petugas kesehatan sendiri. Hal ini disebabkan

karena masih kurangnya pemahaman dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta

dan kecacatan yang ditimbulkannya.

Dengan kemajuan teknologi dubidang promotif, pencegahan, pengobatan serta

pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan

seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Akan tetapi oleh kerana

sifatnya yang kompleks maka diperlukan program pengendalian secara terpadu dan

menyeluruh dengan strategi yang sesuai dengan endemisitas penyakit kusta.Rehabilitasi

medis dan sosial ekonomi juga harus deperhatikan untuk meningkatkan kualitas hidup

penderita kusta.1

II. EPIDEMIOLOGI

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian,

dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit kecacatan dan

kematian dalam populasi manusia. Epidemiologi juga meliputi pemberian ciri pada distribusi

status kesehatan, penyakit, atau masalah kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia,

jenis kelamin, ras, geografi, agama, pendidikan, pekerjaan , perilaku, waktu, tempat, dan

orang. Karakterisasi ini dilakukan guna menjelaskan distribusi suatu penyakit atau masalah

yang terkait dengan kesehatan jiga dihubungkan dengan faktor penyebab. Epidemiologi

berguna untuk mengkaji dan menjelaskan dampak dari tinakan pengendalian kesehatan

masyarakat, program pencegahan, intervensi klinis, dan pelayanan kesehatan terhadap

penyakit atau mengkaji dan menjelaskan faktor lain yang berdampak pada status kesehatan

penduduk. Epidemiologi dapat dikategorikan sebagai Epidemiology Triangle yang terdiri

daripada agent, host dan faktor lingkungan dan cara penularannya.3

Page 2: Makalah kusta

2

Dari konsep Epidemiology Triangle pertama adalah agentnya penyakit kusta adalah

Mycobacterium leprae, untuk pertama kali diketemukan oleh G.H. Armuer Hansen pada

tahun 1873. Mycobacterium Lepra tidak dapat dikultur, gram positif, basil tahan asam dan

hidup intrasellular dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Shwan cell) dan sel dari

sistem retikulo endotelial.1 Genomenya lebih pendek dari Mycobacterium tuberculosa. M.

leprae mengkode sebanyak 1600 gene, dan berkongsi 1439 gene yang sama. M. leprae sama

seperti Triponema pallidum yang mana tidak bersifat toksik.4 Waktu pembelahannya sangat

lama yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret

nasal dapat bertahan 9 hari.1 Gejala klinis yang timbul seperti penyakit kusta ini biasanya

adalah respons host terhadap bakteri M.leprae atau antara lain, akumulasi dengan jumlah

bakteri yang tinggi yang kelihatan seperti infiltrasi.4

Kedua adalah host. Setelah adanya kontak M. leprae pada host cuma sedikit sahaja

yang akan terjangkit kusta ini disebabkan oleh adanya kekebalan tubuh. Faktor fisiologik host

seperti pubertas, menopause, kehamilan serta faktor infeksi dan kekurangan gizi dapat

meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Sebagian besar manusia yaitu sebanyak 95%

dikatakan kebal terhadap kusta dan cuma 5% sahaja yang yang tertular. Dari yang tertular ini

cuma 30% yang menjadi sakit manakala 70% dapat sembuh sendiri.1

Etnik dan suku juga mempengaruhi distribusi penyakit kusta. Di Burma etnik Burma yang

sering tertular berbanding dengan etnik india. Situasi di Malaysia juga terlihat hal yang sama

dimana penyakit kusta seringnya terlihat pada etnik cina berbanding melayu dan india.

Antara faktor lain lagi adalah sosial ekonomi di mana orang yang sosial ekonominya tinggi

tidak tertular kusta. Dari aspek umur pula kusta diketahui terjadi pada samua usia tetapi yang

banyak terlihat adalah pada usia muda dan produktif. Di afrika pula memperlihatkan bahwa

laki-laki lebih banyak yang menderita kusta berbanding perempuan.1

Ketiga adalah faktor lingkungan. Yang disebut sebagai lingkungan adalah segala

sesuatu baik benda maupun keadaan yang berada disekitarnya yang dapat mempengaruhi

kehidupan masyarakat dan sekitarnya. Sebagai faktor intrinsik yang terdiri dari lingkungan

fisik, biologi, ekonomi, dan sosial.2

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan

kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, dan

asupan gizi yang buruk. Penularan melalui lingkungan bisa terjadi karena kondisi sanitasi

yang kurang baik meliputi kebersihan rumah, kelembaban ruangan fasilitas sanitasi yang

jelek dan juga kebiasaan masyarakat tidur bersama-sama, pakai pakaian bergantian, handuk

mandi secara bergantian dan buang air besar di kebun juga dapat memicu terjadinya berbagai

Page 3: Makalah kusta

3

macam penyakit dan juga tidak menutup kemungkinan penyakit kusta. Olehkarena itu, upaya

agar lingkungan selalu bersih dan sehat (misalkan dengan mencuci tangan sebelum makan

maupun rajin mandi agar tubuh senantiasa terjaga kebersihannya) dapat membantu host untuk

mencegah dari penyakit kusta. Peningkatkan kebersihan lingkungan sekitar rumah dapat

menekan timbulnya bibit penyakit, dari lingkungan keluarga yang sehat maka kemungkinan

timbulnya penyakit akan semakin kecil. Oleh karena itu, untuk menghindari kusta salah

satunya dengan menjaga kebersihan karena bakteri penyebab penyakit kusta mudah

berkembang di lingkungan yang tidak bersih dan sanitasi yang kurang baik.2,3

Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan sebagai lingkungan yang dapat

memberikan tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk bersitirahat serta dapat

menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik, psikologis maupun sosial Menurut

APHA (American Public Health Assosiation), lingkungan rumah yang sehat harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis

Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan agar

kontruksinya sedemikian rupa sehingga suhu ruangan tidak berubah banyak

dan agar kelembaban udara dapat dijaga jangan sampai terlalu tinggi dan

terlalu rendah. Untuk ini harus diusahakan agar perbedaan suhu antara

dinding, lantai, atap dan permukaan jendela tidak terlalu banyak.

Harus cukup mendapatkan pencahayaan baik siang maupun malam. Suatu

ruangan mendapat penerangan pagi dan siang hari yang cukup yaitu jika luas

ventilasi minimal 10 % dari jumlah luas lantai.

Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan ventilasi yang

cukup untuk proses pergantian udara.

Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak terganggu

oleh suara-suara yang berasal dari dalam maupun dari luar rumah.

Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak bermain, ruang

makan, ruang tidur, dll.

Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur dan jenis

kelaminnya.

Page 4: Makalah kusta

4

2. Perlindungan terhadap penularan penyakit

Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kualitas maupun

kuantitas, sehingga selain kebutuhan untuk makan dan minum terpenuhi, juga

cukup tersedia air untuk memelihara kebersihan rumah, pakaian dan

penghuninya.

Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang baik dan memenuhi

syarat, juga air pembuangan harus bisa dialirkan dengan baik.

Pembuangan kotoran manusia dan limbah harus memenuhi syarat kesehatan,

yaitu harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap dan mengkontaminasi

permukaan sumber air bersih.

Tempat memasak dan tempat makan hendaknya bebas dari pencemaran dan

gangguan binatang serangga dan debu.

Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan berkembang

biak di dalam rumah, jadi rumah dalam kontruksinya harus rat proof, fly fight,

mosquito fight.

Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.

Luas kamar tidur minimal 92 per orang dan tinggi langit-langit minimal 3

meter.7

Cara Penularan

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas, penularan di

dalam rumah tangga dan kontak atau hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya

sangat berperan dalam penularan kusta. Kuman kusta mempunyai masa inkubasi rata-rata 2-5

tahun , akan tetapi bisa juga sampai bertahun-tahun. Cara-cara penularan penyakit kusta

sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman

kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa

penularan penyakit kusta adalah :

1. Sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah

mengering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24 jam (2-7 hari)

2. Kontak kulit dengan kulit. Syaratnya dibawah umur 25 tahun karena anak-anak

lebih peka daripada orang dewasa, keduanya harus ada lesi baik mikroskopis

maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang.

3. Kontak dekat dan penularan dari udara (droplet).

4. Faktor tidak cukup gizi.

Page 5: Makalah kusta

5

5. Kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat dalam jangka waktu

yang lama.

6. Lewat luka.

7. Saluran pernafasan atau inhalasi.

8. Air susu ibu (kuman kusta dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar

keringat dan air susu).3

III. DOKTOR KELUARGA

Dokter Keluarga adalah Dokter praktek umum yang menerapkan prinsip-prinsip

Kedokteran Keluarga (komprehensif, kontinu, koordinatif, kolaboratif), mengutamakan

pencegahan, dengan sasaran keluarga beserta segala aspek dan mengikuti perkembangan

ilmu/teknologi Kedokteran mutakhir (Evidence Based Medicine,EBM).

Klinik adalah badan usaha satu jenis pelayanan kedokteran rawat jalan. Beberapa

klinik melengkapi dirinya dengan rawat inap. Misalnya: Klinik 24 jam, Klinik Dokter

Keluarga, Klinik Bedah, dsb. Klinik Dokter Keluarga adalah klinik yang diselenggarakan

oleh Dokter Praktek Umum yang menerapkan prinsip-prinsip Kedokteran Keluarga. Klinik

Dokter Kluarga sering disertai ruang rawat inap sementara (One Day Care) sebelum

mendapat tempat rawat inapdi Rumah Sakit rujukan.

Dalam teori administrasi, manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,

penggerakpelaksanaan, dan pengontrolan (Planning, Onganizing, Actuating, Controling)

terhadap perangkat administrasi (Man, Money, Material, Mothode). Secara singkat,

manajemen adalah proses memfungsikan prangkat administrasi agar menghasilkan satu target

(sesuatu yang diharapkan). Manajemen Klinik Dokter Keluarga adalah proses perencanaan

dan pengontrolan man,money,material dan method agar mencapai target. Singkatnya

manajemen Klinik Dokter Keluarga adalah proses memfungsikan perangkat Klinik Dokter

Keluarga agar mencapai target yang diharapkan.

Prinsip Kedokteran Keluarga

1. Dokter kontak pertama (first contact)

Dokter keluarga adalah pemberi layanan kesehatan (provider) yang pertama kali

ditemui pasien/klien dalam masalah kesehatannya.

2. Layanan bersifat pribadi ( personal care)

Page 6: Makalah kusta

6

Dokter keluarga memberikan layanan yang bersifat pribadi dengan

mempertimbangkan pasien sebagai bagian dari keluarga.

3. Pelayanan paripurna ( comprehensive)

Dokter keluarga memberikan pelayanan menyeluruh yang memadukan promosi

kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan rehabilitasi dengan aspek fisik,

psikologis, dan social budaya.

4. Kolaborasi

Bila pasien membutuhkan pelayanan yang berada diluar kompetensinya, Dokter

keluarga bekerjasama dan mendelegasikan pengelolaan pasiennya pada pihak lain

yang berkompeten

5. Koordinasi

Dalam upaya mengatasi masalah pasien Dokter keluarga perlu berkonsultasi dengan

disiplin ilmu lainnya.

6. Pelayanan bersinambungan (continuous care)

Pelayanan Dokter keluarga berpusat pada orangnya (pasient-centered) bukan pada

penyakitnya (diseases-centered).

7. Mengutamakan pencegahan (prevention first)

Karena berangkat dari paradigma sehat, maka upaya pencegahan oleh Dokter keluarga

dilaksanakan sedini mungkin.

8. Family oriented

Dalam mengatasi masalah Dokter keluarga mempertimbangkan konteks keluarga,

dampak kondisi pasien terhadap keluarga dan sebaliknya.

9. Community oriented

Dokter keluarga dalam mengatasi masalah pasien haruslah tetap memperhatikan

dampak kondisi pasien terhadap komunitas dan sebaliknya

10. Evidence Based Medicine (EBM)

EBM adalah pertimbangan bukti ilmiah (evidence) yang sahih untuk menentukan

pengobatan pada penderita yang sedang Dokter keluarga hadapi. EBM berorientasi

kepada pasien sehingga keakuratan informasi yang dimiliki sangat penting dalam

penentuan diagnosa. EBM ini akan dijadikan dasar pada dokter keluarga dalam

melakukan diagnosa dan terapi.5

.

Page 7: Makalah kusta

7

Tujuan Pelayanan Dokter Keluarga

Tujuan pelayanan dokter keluarga secara umum dapat dibedakan atas dua macam,

yakni :

1. Tujuan umum

Tujuan umum pelayanan dokter keluarga pada dasarnya adalah sama dengan tujuan

pelayanan kesehatan secara keseluruhan, yakni terwujudnya keadaan sehat bagi setiap

anggota keluarga.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus pelayanan dokter keluarga erat hubungannya dengan sejarah

perkembangan pelayanan dokter keluarga di satu pihak serta ciri-ciri pelayanan dokter

keluarga di pihak lain. Tujuan khusus yang dimaksud adalah terpenuhinya kebutuhan

keluarga akan pelayanan kedokteran yang efektif dan efisien.6

Manfaat praktek dokter keluarga adalah sebagai berikut: akan dapat

diselenggarakan penanganan kasus penyakit sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya

terhadap keluhan yang disampaikan; akan dapat diselenggarakan pelayanan pencegahan

penyakit dan dijamin kesinambungan pelayanan kesehatan; apabila dibutuhkan pelayanan

spesialis, pengaturannya akan lebih baik dan terarah, terutama ditengah-tengah kompleksitas

pelayanan kesehatan saat ini; akan dapat diselenggarakan pelayanan kesehatan yang terpadu

sehingga penanganan suatu masalah kesehatan tidak menimbulkan pelbagai masalah lainnya;

jika seluruh anggota keluarga ikut serta dalam pelayani maka segala keterangan tentang

keluarga tersebut, baik keterangan kesehatan ataupun keterangan keadaan sosial dapat

dimanfaatkan dalam menangani masalah kesehatan yang sedang dihadapi; dapat

diperhitungkan pelbagai faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit, termasuk faktor

sosial dan psikologis; dan akan dapat diselenggarakan penanganan kasus penyakit dengan

tatacara yang lebih sederhana dan tidak begitu mahal dan karena itu akan meringankan biaya

kesehatan dapat dicegah pemakaian pelbagai peralatan kedokteran canggih yang

memberatkan biaya kesehatan.5

Penemuan Pasien

Penemuan pasien oleh doktor keluarga terdiri dari penemuan pasif dan aktif.

a) Penemuan Pasif (Sukarela)

Adalah pasien yang ditemukan karena datang ke puskesmas atau sarana kesehatan

lain atas kemahuan dirinya sendiri atau saran orang lain seperti ahli keluarga atau

Page 8: Makalah kusta

8

teman rapat. Dalam senario kasus ini terjadi penemuan pasif kerana seorang bapak

berumur 45 tahun telah membawa anaknya yang berumur 14 tahun untuk berobat

kerana adanya bercak-bercak putih di punggung dan lengan anaknya. Pada penemuan

ini bisa terjadi kejadian yang menyebabkan pasien lambat berubat atas dua sebab

yaitu:

1. Aspek dari sisi pasien : pasien sendiri tidak mengerti tanda dini penyakit

kusta, ada yang malu untuk berubat, tidak tahu adanya obat tersedia gratis

untuk pesakit kusta atau kerana jarak rumah ke puskesmas tidak terjangkau

oleh pasien.

2. Aspek dari penyediaan pelayanan kesehatan : petugas kesehatan yang tidak

mampu mengenali tanda kusta maka tidak mendiagnosis penyakit sebagai

kusta, pelayanan juga yang tidak mengakomodasi kebutuhan pasien.

b) Penemuan Aktif

Adalah kunjungan kerumah oleh dokter keluarga atau petugas kesehatan lainnya ke

rumah pasien yang baru diketemukan. dalam senario ini juga terjadi penemuan aktif

apabila doktor menduga anak itu kusta dan tinggal di wilayah endemis kusta. Hasil

kunjungan ke rumah pasien itu ditemukan bahawa rumah yang dihuni oleh 5 orang

ahli keluarga itu ukurannya cuma 4x4 , lantai rumah sebagian masih tanah, sinar

matahari sulit masuk ke dalam rumah dan keadaan rumahnya yang lembab. mereka

juga tinggal di permukiman yang padat penduduk. Dokter juga menemukan riwayat

penyakit keluarga di mana ibu pasien pernah diobati kusta 3 tahun lalu tapi tidak

selesai. Kegiatan ini memerlukan pembiayaan yang rendah namun memiliki

efektifitas yang tinggi sehingga wajib dilakukan.

Tujuan dari kunjungan aktif ini dapat meningkatkan kesadaran dan dukungan

anggota keluarga agar pengobatan berjalan baik dan tiada diskriminasi dan di samping

itu dapat juga diketemukan pasien bari sedini mungkin. Sasaran adalah seluruh ahli

keluarga yang tinggal serumah dan penduduk sekitarnya.

Kegiatan yang akan dilakukan adalah, untuk pasien baru kunjungan rumah dilakukan

segera dan paling lambat dalam jurang waktu 3 bulan. Sewaktu kunjungan rumah

akan diberikan konseling sederhana dan pemeriksaan fisik pada sasaran. Dokter dan

petugas saat lakukan kunjungan rumah diwajibkan membawa kartu pasien, alat-alat

pemeriksaan dan obat MDT.1,7

Page 9: Makalah kusta

9

IV. LEVEL OF PREVENTION

Pencegahan penyakit dalam 5 tingkatan yang dilakukan pada masa sebelum sakit , semasa

sakit dan akhir sakit dari Leavell dan Clark.

Usaha-usaha oencegahan itu adalah:

a) Masa sebelum sakit:

1. Mempertinggi nilai kesehatan (Health Promotion)

2. Memberikan perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (Specific Protection)

b) Pada masa sakit:

1. Mengetahui dan mengenal jenis penyakit pada tingkat awal serta mengadakan

pengobatan yang tepat dan segera. (Early Diagnosis and Prompt Treatment)

2. Pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan kemampuan bekerja

yang diakibatkan oleh sesuatu penyakit. ( Disability Limitation)

c) Akhir sakit:

1. Upaya pemulihan kesehatan setelah sembuh dari sakit dan mencegah akibat

samping dan kekambuhan. ( Rehabilitative)

A. Health Promotion

Dalam tingkat ini dilakukan pendidikan kesehatan, misalnya dalam peningkatan gizi,

kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan seperti penyediaan air rumah tangga yang

baik, perbaikan cara pembuangan sampah, kotoran, air limbah, hygiene perorangan, rekreasi,.

Usaha ini merupakan pelayanan terhadap pemeliharaan kesehatan pada umumnya.

Beberapa usaha di antaranya :

- Penyediaan makanan sehat cukup kwalitas maupun kwantitasnya.

- Pemeriksaan kesehatan berkala

- Perbaikan hygien dan sanitasi lingkungan,seperti : penyediaan air rumah tangga yang baik,

perbaikan cara pembuangan sampah, kotoran dan air limbah dan sebagainya.

- Pendidikan kesehatan kepada masyarakat

- Usaha kesehatan jiwa agar tercapai perkembangan kepribadian yang baik.8

B. Spesific Protection

Dalam tingkat ini bertujuan untuk menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin yaitu

dengan

- Imunisasi: Imunisasi dengan vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG). Imunisasi ini

membantu mencegah dan mengurangi kemungkinan tertular penyakit kusta.

Page 10: Makalah kusta

10

- Kebersihan perorangan : Antara ahli keluarga jangan ada yang berkongsi handuk atau pakaian

yang belum dicuci

-Sanitasi lingkungan8

C. Early Diagnosis and Prompt Treatment

Gejala Klinik

Perbandingan gejala klinik Kusta Pausibasilar (PB) dan Multibasiler pada tabel berikut:

Tabel 1.1 Klasifikasi Kusta

Gejala klinis kusta PB:

Tabel 1.2 Gejala Klinis Kusta PB

*Tes Lipromin (Mitsuda untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat disesan setelah

3 minggu.

Page 11: Makalah kusta

11

Gejala klinis kusta MB:

Tabel 1.3

*Tes Lipromin (Mitsuda untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat disesan setelah

3 minggu

Dasar Diagnosis

Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu

digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum, kapas, tabung reaksi

masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada

penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau

keduanya. Kusta mendapat julukan 'The great imitator' dalam penyakit kulit sehingga

perlu didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya

antara lain adalah: dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis

seboroikpsoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma,

leukemia kutis,tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark.

Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak

membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah

dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan

dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula

Page 12: Makalah kusta

12

ada tidaknya dehidrasi didaerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta

(tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula

diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi.

Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan

nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N.

fasialis, N.aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan

N. tibialisposterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan

menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti

tempat lesinya.

Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer

dan sekunder.

Deformitas primer : sebagai akibat lansung oleh granuloma yang terbentuk sebgai

reaksi terhadap M. leprae,yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu

kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.

Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas

diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Gejala-gejala kerusakan saraf:

1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,

clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot

lumbrikalis medial

2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari

tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu

jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan

gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki

gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.

5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki

dan kolaps arkus pedis

6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi

wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal)

7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.9

Page 13: Makalah kusta

13

Pemeriksaan Penunjang

1.Pemeriksaan bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan

pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan

mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain

dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn

sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain

yang paling aktif (yang paling eritematosa dan infiltratif). Cara pengambilan bahan dengan

menggunakan skapel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu

jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung

sedikit mungkin darah. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui

subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung

sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya mengandung basil M.leprae. Kerokan jaringan itu

dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-

Neelsen.

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pada pagi hari

yang ditampung pada sehelai plastik. Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa

hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas. Sediaan

dari mukosa hidung jarang dilakukan karena: kemungkinan adanya M. Atipik dan M. leprae

tidak pernah positif jika pada kulit negatif. M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan

tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus

(fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid

adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan

BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks

bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.

0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP),

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP,

2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP,

3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP,

4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP,

5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP,

6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada

Page 14: Makalah kusta

14

pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat

sediaan.9

2. Pemeriksaan histopatologik

Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan

menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan sistem

imunitasselular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang

sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow

atau sel lepra atau sel busa. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-

derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf

yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa

terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di

bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.9

3. Pemeriksaan serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang

yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.

leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta

35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan

(LAM), yamg juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam pemeriksaan

serologik kusta ialah:

• Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination)

• Uji ELISA

• ML dipstick (M. leprae dipstick)9

Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit yang

sebenarnyakronik. Klasifikasi yang sering dipakai adalah:

• E.N.L (eritema nodusum leprosum)

• Reaksi reversal atau upgrading

E.N.L terutama timbul pada tipe lepramatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti

makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Secara

Page 15: Makalah kusta

15

imunopatologis E.N.L termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun

akibat reaksi antara

antigen M. Leprae + antibodi (IgM, Ig G) + komplemen → kompleks imun.

Kadar immunoglobulin penderita kusta lepramatosa lebih tinggi daripada tuberkuloid. Hal ini

terjadi oleh karena pada tipe lepramatosa jumlah basil jauh lebih banyak daripada tipe

tuberkuloid. E.N.L lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi

karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, yang berarti banyak

antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem

komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya

dapat melibatkan berbagai organ.

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat

predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti

iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria.

Reaksi reversalhanya dapat terjadi pada tipe borderline(Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga disebut

juga reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi

peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti diperkirakan

ada hubungannya dengan reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Umunya terjadi pada

pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara

mendadak sehinggamemerlukan pengobatan yang memadai.

Tipe lepra yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah TT atau LL dengan

mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula.

Begitu pula reaksi revesal, terjadi peningkatan SIS, hanya bedanya terjadi secara cepat dan

mendadak. Isitilah downgradinguntuk menunjukkan pergeseran ke arah lepromatosa.

Gejala klinik reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang

telah adabertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang realtif singkat.

Artinya lesi ipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi

makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.

Kalau diperhatikan kembali reaksi E.N.L dan reversal secara klinis, E.N.L dengan lesi

eritema nodusum sedangkan reversal tanpa nodus sehingga disebut reaksi lepra nodular,

sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non nodular.9

Page 16: Makalah kusta

16

Penatalaksanaan

Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT),

yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah:

mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-

out rate) dan ketidaktaatan penderita (Kosasih, 2002). WHO mengklasifikasikan kusta

menjadi 2 berdasarkan atas adanya kuman tahan pada pemeriksaan bakterioskopis untuk

pemilihan rejimen MDT :

1. Kusta Pausibasilar (PB) Kusta dengan basil tahan asam (BTA) negatif pada sediaan hapus, yaitu : tipe I

(Interminate), TT (Tuberculoid) dan BT (Borderline tuberculoid).

2. Kusta Multibasilar (MB)

Kusta dengan BTA positf pada sediaan hapus, yaitu : BB (Borderline), BL (Borderline

lepromatous) dan LL (Lepromatosa).

Obat obat dalam rejimen MDT-WHO

1. Dapson

Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim

dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi

kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai

6 bulan.

Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan

untuk anak-anak.

Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia,

nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut

jarang dijumpai pada dosis lazim.

2. Rifampisin

Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan

merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat

enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya

mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi

Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kirakira

99.9% dalam waktu beberapa hari.

Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit.

Page 17: Makalah kusta

17

3. Klofazimin

Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya

diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek

anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta.

Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari.

Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe

I dan 2.

Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri

abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).1,6

Skema Rejimen MDT-WHO

WHO membuat klasifikasi program rejimen MDT-WHO karena fasilitas bakterioskopik

tidak selalu tersedia sehingga klasifikasi untuk rejimen ini juga didasarkan lesi kulit dan

jumlah

saraf yang terkena. Klasifikasi kusta untuk kepentingan rejimen MDT oleh WHO (1997)

terbagi dalam 3 grup :

1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah.

Rejimen terdiri dari : Rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah

dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan.

2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah

Rejimen terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan,

dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan

50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.

3. Rejimen PB dengan lesi tunggal

Rejimen terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100

mg dosis tunggal.

Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan dengan berat-badan (

lihat tabel).

Page 18: Makalah kusta

18

Tabel 2.1 Dosis Rejimen MDT-PB

Tabel 2.2 Dosis Rejimen MDT-MB/PB Lesi Tunggal

Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui

Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil oleh sebab itu obat MDT harus tetap diberikan.

WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai selama kehamilan dan menyusui, bagi

ibudan bayinya, sehingga tidak perlu mengubah dosis. Obat dapat keluar melalui ASI dalam

junlah kecil tetapi tidak ada laporan efek samping obat pada bayi kecuali pewarnaan

kulit akibat klofazimin. Obat dosis tunggal bagi bercak tunggal ditunggu pemakaiannya

sampai bayinya lahir.1

Penanganan Reaksi Kusta

Prinsip penanganan reaksi kusta :

1. Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau

kontraktur

Page 19: Makalah kusta

19

2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan

3. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas

4. Mengatasi rasa nyeri

Pengobatan E.N.L:

Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya

bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang

lebih. Seseuai dengan perbaikan reaksi, dosinya diturunkan secara bertahap sampai berhenti

sama sekali. Obat lain yang dianggap sebagai pilihan utama adalah thalidomide, tetapi harus

berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik jadi tidak boleh diberikan kepada ibu hamil

atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi.

Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi E.N.L tetapi

dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat

makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Keuntungan klofazimin

dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek

samping yang

tidak diinginkan adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan terutama pada pemberian

dosis tinggi.1,6

Pengobatan reaksi reversal :

Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis

akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama

adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis.

Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari lalu diturunkan secara perlahan. Anggota

gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan

dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang

dipakai, atau tidak pernah dipakai.6

D. Disability Limitation

Pada tingkat ini adalah mencegahnya meluasnya penyakit atau timbulnya wabah dan

proses menjadi lebih lanjut sehingga dapat menimbulkan kecacatan.

WHO Expert Comittee on Leprosy telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Hal

ini dapat dilihat di tabel dibawah.

Page 20: Makalah kusta

20

Tabel 3.1 Klasifikasi Cacat

_________________________________________________________________ Cacat pada tangan dan kaki. Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas,

tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas , tanpa kerusakan

atau deformitas yang terlihat Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata. Tingkat 0 : tidak ada gangguan pada mata akibat

kusta; tidak ada gangguan penglihatan Tingkat 1 : ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60

atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter) Tingkat 2 : gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak

dapat menghitung jari pada 6 meter). _________________________________________________________________ catatan :

kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi,absorbsi, mutilasi, kontraktor,

sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis dan lagoftalmus.

Cara terbaik untuk melakukan upaya pencegahan kecacatan pada yang terdapat gangguan

sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana seperti:

memakai sepatu untuk melindungi kaki yang dah terkena.

memakai sarung tangan apabila bekerja dengan benda tajam atau panas.

jika ada luka , memar atau lecet kecil rawat dan istirahat bahagian tangan atau kaki itu

sampai sembuh.

memakai kaca mata untuk melindungi mata

tetes mata menggunakan saline, jika mata sangat kering dan pada waktu rehat tutup

mata dengan sepotong kain basah.

untuk jari tangan yang bengkok diusahakan sesering mungkin menggunakan tangan

lain untuk meluruskan sendi-sendinya dan mencegah dari terjadi kekakuan lebih

berat.

diajarkan cara perawatan kulit hari-hari. Hal ini dimulakan dengan memeriksa ada

atau tidaknya memar, luka atau ulkus. setelah itu tangan dan kaki direndam , disikat

dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.1,9

Page 21: Makalah kusta

21

E. Rehabilitasi

Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain

operasi dan fisioterapi. Meskipun hasil tidak sempurna tetapi fungsi dan secara kosmetik

dapat diperbaiki. Cara lain ialah kekaryaan , yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai

cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri selain

itu dapat dilakukan terapi kejiwaan.

Bagi pasien yang sembuh pula dengan pemberian cukup gizi untuk mengelakkan

kekambuhan kerana gizi rendah.

KESIMPULAN

Lepra adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri yang menyerang kulit,

syaraf tepi. Dan pada penderita dengan tipe lepromatosa menyerang saluran pernapasan

bagian atas. Pada lepra bentuk lepromatosa kelainan kulit berbentuk nodula, papula,

makula dan infiltrat yang difus tersebar simetris bilateral dan biasanya ekstensif dan

dalam jumlah banyak. Terkenanya daerah hidung dapat membentuk krusta, tersumbatnya

jalan napas dan dapat terjadi epistaksis. Terserangnya mata dapat menimbulkan iritis dan

keratitis. Bentuk awal dari lepra ditandai dengan munculnya macula hipopigmentasi dengan

batas lesi yang tegas. Gejala klinis dari lepra dapat juga berupa “reaksi kusta” yaitu dengan

episode akut dan berat. Diagnosa klinis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kulit

secara lengkap dengan menemukan tanda-tanda terserangnya syaraf tepi berupa gejala

hipestasia, anesthesia, paralysis pada otot dan ulkus tropikum. Dilakukan tes terhadap sensasi

kulit dengan rabaan halus, ditusuk dengan jarum pentul, diskriminasi suhu. Timbulnya gejala

terserangnya saraf dan ditemukannya bakteri tahan asam merupakan gejala patognomonis

lepra. Pengobatan lepra disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT),

yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah:

mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat (drop-

out rate) dan ketidaktaatan penderita. Prognosis penyakit ini dengan adanya obat-obat

kombinasi, menjadi lebih baik, dan pengobatannya menjdi lebih sederhana. Namun jika

sudah terdapat kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.

Dokter keluarga pula berperan penting untuk memberi pelayan promotif , protektif, kuratif

dan rehabilitatif pada pasien kusta. Penemuan pasien pasif dan aktif penting untuk

menghalang dari penyakit kusta ini tertular atau menjadi lebih berat.

Page 22: Makalah kusta

22

V. DAFTAR PUSTAKA

1. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. . Kementerian Kesehatan

RI Direktor Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2012; 67-

71, 99-104, 112-121.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi kusta. Prawoto,

Kabulrachman, Udiyono A. 2010, artikel , eprints.undip.ac.id/6325.

3. Timmreck TC. Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005; 2-9.

4. Rea T.H, Robert.L.M. Leprsosy in Wolff K, Goldsmith L.A, Katz S.I, et al.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.7th Edition. Toronto. McGraw Hill

Medical. 2008;1786-96.

5. Dokter Keluarga. Di unduh dari ;

http://www.ppjk.depkes.go.id.php?option=com_content. Pada 27 Juni 2014.

6. Walker S.L, Lockwood Diana N.J. Leprosy Type 1(reversal) reactions and their

management. United Kingdom. Department of Infection and Tropical Disease,

London School of Hygiene and Tropical Medicine. 2008; 212-216.

7. Budiman Chandra. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas / penulis, Budiman

Chandra ; editor penyelaras, Husny Muttaqin, Windriya Kerta Nirmala. – Jakarta :

EGC, 2009.

8. Materi Penyuluhan Kusta. Diunduh dari :

http://pkmtrea.wordpress.com/2013/07/20/materi-penyuluhan-kusta/ Pada 28 Juni

2014

9. Kosasih A, Wisnu I Made, Sjamsoe-Daili E, et al. Kusta. Dalam Djuanda A, Hamzah

M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta. Penerbit FKUI.

2008; 73-88.