makalah konflik karoops polda diy
DESCRIPTION
hththTRANSCRIPT
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PERAN KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN
KONFLIK SOSIAL
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Oleh : Kombes Pol Drs. MOHAMAD ARIEF PRANOTO, M.M.
Yogyakarta, 21 Mei 2013
1
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
PERAN KEPOLISIAN DALAM PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Oleh : Kombes Pol Drs. MOHAMAD ARIEF PRANOTO, M.M.
A. Memahami Konflik
Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan sesama
manusia, yang dalam interaksi tersebut akan ada dua hal, yakni adanya
kerjasama dan adanya konflik. Dua hal tersebut tidak akan bisa lepas dari
kehidupan manusia, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Antara kerjasama dan
konflik juga tidak bisa dipisahkan, ketika terjadi kerjasama terkadang dalam
proses akan terjadi konflik, demikian juga sebaliknya ketika terjadi konflik,
manakala konflik tersebut dikelola dengan baik maka akan terjadi kerjasama.
Konflik adalah fenomena yang tidak dapat dihindari karena merupakan proses
sosial yang dissosiasif, sebagaimana Hugh Miall dalam bukunya Resolusi
Damai dan Konflik Kontemporer mendefinisikan konflik sebagai aspek intrinsik
dan tidak mungkin dihindari dalam proses perubahan sosial. Konflik adalah
sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul
sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial yang bertentangan
dengan hambatan yang diwariskan.1 Cara pandang terhadap konflik paling tidak
1 Hugh MIall, Oliver Ramsbotham, & Tom Woodhouse. (2000). Resolusi Damai Konflik
Kontemporer. Terj. Tri Budhi Satrio. PT. Rja Grafindo Persada: Jakarta. Hal. 7-8
2
ada dua yaitu pandangan tradisional dan pandangan intraksional. Dalam
pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus
dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai
sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi, bahkan
seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan
baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik,
pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau di
organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena
itu, menurut pandangan tradisional bahwa konflik haruslah dihindari dan sesuatu
yang negatif.2 Berbeda dengan pandangan intraksional yang memandang konflik
dari perspektif yang positif, dengan melihat beberapa keuntungan dan fungsi
konflik berikut ini3 :
1. Konflik adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dan merupakan
kenyataan hidup, untuk itu kita harus memahami konflik secara menyeluruh.
2. Konflik akan bisa "membawa masalah ke meja perundingan".
3. Konflik seringkali membawa para pihak untuk duduk bersama dan
menjelaskan tujuan masing-masing.
4. Konflik bisa berfungsi untuk menghilangkan rasa marah dan membantu
memahami satu dengan yang lain.
Konflik menurut Simon Fisher dkk4 diartikan sebagai hubungan antara
dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa
memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sedangkan dalam Undang-undang
nomor 7 Tahun 20125 tentang Penanganan Konflik Sosial, konflik sosial (disebut
juga konflik) didefinisikan sebagai perseteruan dan/atau benturan fisik dengan
kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam
waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidak amanan dan
disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat
pembangunan nasional.
2 http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik
3 Modul 1 "pengenalan konflik" pada workshop Mabes Polri dan MPRK UGM
4 "Mengelola konflik ketrampilan dan strategi untuk bertindak" Simon fisher dkk hal 4, diterbitkan The British Council, Indonesia, th 2001.
5 UU no 7 th 2012 pasal 1 ayat 1.
3
Ada berbagai macam teori mengenai penyebab konflik seperti6 :
1. Teori hubungan masyarakat. Dalam teori hubungan masyarakat ini
menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,
ketidak percayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam
suatu masyarakat.
2. Teori negosiasi prinsip. Dalam teori ini menganggap bahwa konflik
disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan
tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
3. Teori kebutuhan manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar
dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental dan sosial
yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan,
partisipasi dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan.
4. Teori indentitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan karena
identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
5. Teori kesalahpahaman antar budaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik
disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara
berbagai budaya yang berbeda.
6. Teori Transformasi konflik. Teori ini berasumsi konflik disebabkan oleh
masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai
masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Dalam undang-undang Penanganan Konflik Sosial pasal 5 disebutkan
bahwa konflik dapat bersumber dari :
1. Permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan sosial budaya;
2. Perseteruan antar umat beragama dan/atau inter umat beragama, antar suku
dan antar etnis;
3. Sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota dan/atau provinsi;
4. Sengketa sumber daya alam antar masyarakat dan/atau antar masyarakat
dengan pelaku usaha;
5. Distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.
6 "Mengelola konflik ketrampilan dan strategi untuk bertindak" Simon fisher dkk hal 8,
diterbitkan The British Council, Indonesia, th 2001.
4
Untuk bisa memahami sebuah konflik dari berbagai sudut pandang guna
mengembangkan strategi dan perencanaan pengelolaan konflik, maka mutlak
kita memerlukan alat analisis. Analisa konflik bertujuan untuk memahami latar
belakang dan sejarah situasi dan kejadian-kejadian saat ini, untuk
mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat, untuk memahami pandangan
semua kelompok dan lebih mengetahui bagaimana hubungan antara satu pihak
dengan pihak lain, untuk mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan-
kecenderungan yang mendasari konflik, serta untuk belajar dari kegagalan dan
juga kesuksesan. Beberapa alat analisis konflik bisa digunakan yaitu peta konflik,
segitiga konflik, pohon konflik dan tahapan konflik.
Peta Konflik
Tujuan dari pemetaan konflik adalah untuk memahami situasi dengan
lebih baik, untuk melihat hubungan diantara berbagai pihak secara lebih jelas,
untuk menjelaskan letak kekuasaan, untuk melihat keseimbangan antar pihak,
untuk melihat para sekutu ataupun mencari sekutu yang potensial, untuk
mengidentifikasi awal intervensi dan untuk mengevaluasi apa yang telah
dilakukan.
Segitiga Konflik
Segitiga konflik merupakan alat analisa yang melihat berbagai faktor yang
berkaitan dengan sikap, perilaku dan konteks masing-masing pihak utama yang
berkonflik. Tujuannya adalah mengidentifikasi sikap, perilaku dan konteks dari
setiap pihak utama untuk menganalisis bagaimana faktor-faktor itu saling
mempengaruhi, untuk menghubungkan faktor-faktor dengan kebutuhan dan
ketakutan masing-masing pihak serta untuk mengidentifikasi titik awal intervensi
dalam suatu situasi.
Pohon Konflik
Pohon konflik merupakan alat analisis konflik dengan gambar sebuah
pohon untuk membantu mengurutkan isu-isu pokok suatu konflik dengan cara
mengidentifikasi tiga hal yaitu inti suatu masalah, mengetahui sebab-sebab
awalnya dan efek-efek yang muncul sebagai akibat dari masalah yang ada.
5
Tahapan Konflik
Tahapan konflik merupakan alat analisis konflik dengan menggunakan
grafik yang menunjukkan peningkatan dan penurunan intensitas konflik dalam
skala waktu yang ditentukan. Ada lima tahapan konflik yakni tahap pra konflik,
tahap konfrontasi, tahap krisis, tahap akibat dan tahap pasca konflik. Pada setiap
tahap ada indikator yang bisa kita pahami sehingga kita bisa menentukan konflik
sudah berada pada tahap yang mana. Dengan memahami posisi tahap konflik
tersebut maka kita bisa menentukan langkah untuk melakukan intervensi agar
konflik tidak mengalami eskalasi. Kita juga perlu memahami kapan sebuah
konflik akan mengalami eskalasi, demikian juga kita harus bisa memahami kapan
sebuah konflik mengalami deeskalasi.
B. Fenomena Potensi Konflik di D.I. Yogyakarta
Sejak era-reformasi dan transformasi kehidupan sosial-politik via paham
demokratisme mulai menggelinding dan dijalankan secara “konstruktif” pada
tahun 1998 (masa kejatuhan Orde Baru/ORBA), maka sejak saat itu pula
perjalanan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat di Indonesia
memasuki tahapan baru yaitu tidak pernah terlepasnya warga dari carut-
marutnya konflik sosial. Konflik sosial yang selama 30 tahun rezim ORBA
di“tabu”kan oleh negara dan warga masyarakat, seolah kini menjadi tindakan-
nyata yang sah, lazim dan justifiable dalam sistem tata-kehidupan berazaskan
demokrasi.7 Saluran kebebasan berpendapat yang selama masa ORBA
terkungkung, seolah-olah begitu era reformasi menjadi sangat bebas dan
terbuka, dimana akibat dari kebebasan itu terkadang berimbas pada gesekan-
gesekan di masyarakat yang apa bila tidak bisa dikelola dengan baik akan
menjadi konflik yang berkepanjangan. Konflik dan kekerasan sampai saat ini
hampir selalu mewarnai media kita baik cetak maupun elektronik. Bukan saja
yang ada di negara kita, namun konflik dan kekerasan yang ada di belahan
benua lainpun dalam sekejap bisa kita lihat dan kita dapat memonitor
perkembangannya.
7 Makalah disusun dan disajikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Pengembangan
Perkebunan Wilayah Perbatasan Kalimantan, dengan tema:”Pembangunan Sabuk Perkebunan Wilayah Perbatasan Guna Pengembangan Ekonomi Wilayah dan Pertahanan Nasional”, Pontianak 10-11 Januari 2007. oleh Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc
6
Salah satu organisasi independen, non pemerintah dan non provit yakni
The Habibie Center melakukan kajian terhadap permasalahan yang
berhubungan dengan konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Salah
satunya diterbitkan dalam jurnal Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie
Center edisi 02/November 2012, dilaporkan bahwa pemantauan secara
sistematis dan kontinu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
Kalimantan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat,
Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi
(Jabodetabek). Pada periode Mei-Agustus 2012 tercatat 2.344 insiden kekerasan
yang mengakibatkan 291 tewas, 2.406 cidera dan 272 bangunan rusak. Pada
periode ini, kekerasan didominasi oleh insiden konflik (65%). Jenis kekerasan
lain yang dipantau adalah kriminalitas (26%), kekerasan dalam rumah
tangga/KDRT (6%) dan kekerasan aparat (3%). Dari 2.344 insiden, yang
merupakan konflik ada 1.516 insiden dengan korban tewas sebanyak 192 orang
dan cidera sebanyak 1.958 orang.
Berdasarkan pemetaan terhadap potensi konflik sosial yang telah
dilakukan oleh Polda DIY pada bulan Desember 2012, secara kuantitatif terdapat
situasi yang berpotensi konflik berjumlah 41 potensi yang bersumber dari
IPOLEKSOSBUD sebanyak 24 potensi, SARA sebanyak 13 potensi, Sumber
Daya Alam (SDA) sebanyak 4 potensi. Saat ini (bulan Maret 2013) potensi konflik
tersebut telah berkurang menjadi 25 potensi, yang bersumber IPOLEKSOSBUD
sebanyak 15 potensi, SARA sebanyak 6 potensi dan Sumber Daya Alam (SDA)
sebanyak 4 potensi. Berkurangnya potensi konflik tersebut sebagai buah dari
upaya penanganan yang dilakukan oleh Polri khususnya Polda DIY bersama
dengan pihak-pihak terkait lainnya.
Dari data potensi konflik di atas, saat ini yang mengalami peningkatan
eskalasi adalah potensi konflik antar warga (kelompok) terkait dengan
pengelolaan lahan Gua Pindul di Bejiharjo Karang Mojo Gunung Kidul. Selain itu,
potensi konflik terkait adanya rencana penambangan pasir besi di wilayah pesisir
pantai Kulon Progo yang dalam perkembangannya juga menimbulkan konflik
baru antar warga yakni antara masyarakat yang pro penambangan dan yang
kontra dengan penambangan.
7
Di sisi lain, potensi konflik yang mungkin muncul yag bersumber SARA
adalah gesekan ormas garis keras, konflik akibat pendirian tempat ibadah dan
juga potensi konflik terkait dengan fanatisme suku/sikap primordialisme yang
berlebihan di D.I. Yogyakarta.
C. Upaya Penanggulangan
Dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan pasal 13, Polri mempunyai tugas pokok
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan
memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat.
Sebagai implementasi pemeliharaan kamtibmas dalam kaitannya dengan konflik
sosial maka dalam pasal 15 ayat 1 huruf b salah satu wewenang Polri adalah
membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang mengganggu
ketertiban umum.
Dalam UU nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial
mengamanatkan bahwa penanganan konflik sosial mulai dari pencegahan,
penghentian dan pemulihan pasca konflik bukan hanya menjadi tanggungjawab
aparat keamanan namun menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah,
Pemda dan masyarakat. UU ini juga lebih mengedepankan penanganan konflik
bukan hanya melalui pendekatan keamanan namun lebih jauh melalui
pendekatan yang bersifat terpadu dengan melibatkan seluruh kepentingan yang
dimulai dari tahap pencegahan, penghentian dan pemulihan pasca konflik. Pada
tahap pencegahan, dilakukan melalui upaya memelihara kondisi damai dalam
masyarakat, mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai,
meredam potensi konflik dan membangun sistem peringatan dini. Pada tahap
penghentian melalui upaya penghentian kekerasan fisik, penetapan status
keadaan konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban serta
bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI. Sementara pada tahap
pasca konflik melalui upaya rekonsiliasi, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Selanjutnya, dengan mendasarkan kepada UU No 7 Tahun 2012 Presiden
RI mengeluarkan Inpres 2/2013 tentang penanganan gangguan keamanan
dalam negeri tahun 2013. Sejatinya Inpres itu bermaksud untuk meningkatkan
efektifitas penanganan gangguan keamanan secara terpadu, terpadu antar dan
8
oleh instansi terkait, sebagaimana disampaikan Menko Polhukam dalam
konferensi pers usai Rapat Kerja Pemerintah (RKP) di Jakarta Convention
Centre (JCC), Senin (28/1) bahwa Substansi pokok dari Inpres 2/2013 adalah
bagaimana menangani gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam
negeri secara terpadu. Jadi jangan menjadi tanggung jawab Polri atau TNI saja,
tapi tanggung jawab semua, Kepala Daerah, secara terpadu. Dalam Inpres
tersebut menginstruksikan untuk dibentuk Tim Terpadu Tingkat Pusat dan
Daerah dengan tugas mengambil langkah-langkah cepat, tepat dan tegas serta
proporsional untuk menghentikan segala bentuk tindak kekerasan akibat konflik
sosial, melakukan upaya pemulihan pasca konflik serta merespon dengan cepat
dan menyelesaikan secara damai semua permasalahan yang berpotensi
menimbulkan konflik sosial, guna mencegah lebih dini terjadinya tindak
kekerasan.8 Di tingkat pusat telah dibentuk tim koordinasi terpadu yang diketuai
Menkopolhukam dengan anggota antara lain Menteri Dalam Negeri, Kapolri,
Kepala BIN dan seterusnya. Kemudian di tingkat pusat juga sudah dirancang
rencana aksi, bagaimana penanggulangan, kapan dan siapa. Sedangkan, di
tingkat daerah Tim Penanganan Terpadu diketuai oleh Gubernur,
Bupati/Walikota yang juga melakukan fungsi koordinasi. Jadi intinya Inpres ini
dikeluarkan untuk meningkatkan efektivitas penanganan gangguan keamanan
dalam negeri secara terpadu sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-
masing.
Dengan mengacu kepada rencana aksi di tingkat pusat, Gubernur selaku
Ketua Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial Pemerintah Daerah D.I.
Yogyakarta telah mengesahkan Rencana Aksi Terpadu (RA) Penanganan
Gangguan Keamanan Dalam Negeri Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2013.
Dari 32 RA, terdapat 22 RA dimana Kepolisian terlibat di dalamnya dan dari 22
RA terdapat 6 RA yang menjadi tangungjawab Polda DIY untuk melaksanakan
RA tersebut, sebagai berikut :
1. Peningkatan Kemampuan Aparat untuk Menghentikan Kekerasan Fisik
dalam Menangani Konflik Sosial;
2. Perumusan Kesepakatan Bersama tentang Penghentian Kekerasan Fisik
dalam rangka Penanganan Konflik Sosial oleh Tim Terpadu;
8 Inpres Nomor 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Dalam Negeri tahun 2013.
9
3. Mensinergikan Sistem Peringatan Dini;
4. Penghentian Konflik Sosial berskala Provinsi/Lintas Kewenangan;
5. Percepatan Proses Penegakan Hukum atas Pelaku Terkait Konflik Menonjol
periode sebelum tahun 2013 (secara damai/penyidikan); dan
6. Percepatan Proses Penegakan Hukum atas Pelaku Terkait Konflik Menonjol
mulai tahun 2013 (secara damai/penyidikan).
Pada saat ini, Tim Terpadu Tingkat D.I. Yogyakarta telah melaksanakan
Rencana Aksi target bulan April 2013 yang menjadi tanggugjawabnya dan telah
dilaporkan kepada Presiden RI melalui Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan
dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), demikian juga dengan Polda DIY, saat
ini bersama dengan instansi terkait telah melaksanakan 6 Rencana Aksi yang
menjadi tanggungjawab Polda DIY.
D. Penutup
1. Konflik, sepanjang manusia masih hidup akan terus mengalaminya, tinggal
bagaimana seseorang memahami dan mengelola konflik menjadi sesuatu
yang tidak merugikan. Konflik personal akan sangat mewarnai konflik dalam
tataran yang lebih luas. Konflik tidak bisa dihindari sehingga mau tidak mau
kita harus mengelolanya, untuk itu diperlukan kemampuan (kompetensi)
mulai dari memahami konflik, melakukan analisis konflik dan melakukan
langkah-langkah penanganan konflik (intervensi konflik).
2. Konflik yang terjadi di wilayah hukum Polda DIY masih diwarnai pada
sumber-sumber konflik Ipoleksosbud, SARA dan Sumber Daya Alam,
dimana hal tersebut dapat bergeser atau beralih bahkan dapat menjadi pintu
gerbang ke arah munculnya konflik antar warga/kelompok jika tidak dikelola
dengan baik.
3. Bahwa penanganan konflik sosial mulai dari pencegahan, penghentian dan
pemulihan pasca konflik bukan saja menjadi tanggungjawab pihak aparat
keamanan (Polri), namun juga menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat.
4. Bahwa dalam rangka penanganan konflik sosial di Daerah Istimewa
Yogyakarta, telah dibentuk Tim Terpadu Penanganan Gangguan Dalam
Negeri di tingkat daerah, baik di tingkat Provinsi maupun di Tingkat
Kabupaten/Kota, yang mana Polri menjadi bagian dari Tim Terpadu tersebut.
10
Daftar Pustaka Hugh MIall, Oliver Ramsbotham, & Tom Woodhouse. (2000). Resolusi Damai Konflik
Kontemporer. Terj. Tri Budhi Satrio. PT. Rja Grafindo Persada: Jakarta. http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik http://www.polkam.go.id Modul 1 "pengenalan konflik" pada workshop Mabes Polri dan MPRK UGM "Mengelola konflik ketrampilan dan strategi untuk bertindak" Simon fisher dkk,
diterbitkan The British Council, Indonesia, th 2001. UU no 7 th 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Inpres no 2 th 2013 tentang Penanganan Gangguan Dalam Negeri Tahun 2013