makalah kis

36
BAB I PENDAHULUAN Indonesia memaski era baru penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pelaksanaan Jaminan Sosial (Jamsos) – sebagai suatu system perlindungan social untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar dengan layak – akan sangat menentukan kualitas hidup warga negara. Jamsos akan menyediakan layanan kesehatan dan jaminan pendapatan kepada warga di saat mengalami risiko hidup; sakit, melahirkan, dipecat dari pekerjaan, menganggur, hari tua, kecelakaan dalam bekerja serta risiko lainnya. 1 Dengan melihat hal tersebut di atas maka kesehatan suatu negara merupakan pokok dalam kehidupan dan kesejahteraan dalam negara tersebut. Oleh sebab itu, Presiden terpilih periode tahun 2014 – 2019, Bapak Joko Widodo, meluncurkan sejumlah program jaminan kesehatan nasional dalam suatu Program Indonesia Sehat. 2,3 Perhatian Presiden yang besar dalam bidang kesehatan ini terkait dengan tercetusnya Millenium Development Goals (MDGs) yag dicetuskan oleh PBB pada tahun 2008 di Indonesia melalui El-Mostafa Benlamlih selaku Kepala Perwakilan PBB-Indonesia. 4 Presiden Joko Widodo meluncurkan program perdananya, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) di Kantor Pos Jakarta Pusat yang berada di Pasar Baru, Jakarta, tepat tanggal 3 November 2014 lalu. Ketiga kartu yang tergabung dalam program Government to person 1

Upload: anna-nuansa

Post on 16-Jan-2016

185 views

Category:

Documents


32 download

DESCRIPTION

kartu indonesia sehat

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah KIS

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia memaski era baru penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Pelaksanaan Jaminan Sosial (Jamsos) – sebagai suatu system perlindungan social untuk

menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar dengan layak – akan sangat

menentukan kualitas hidup warga negara. Jamsos akan menyediakan layanan kesehatan dan

jaminan pendapatan kepada warga di saat mengalami risiko hidup; sakit, melahirkan, dipecat

dari pekerjaan, menganggur, hari tua, kecelakaan dalam bekerja serta risiko lainnya.1

Dengan melihat hal tersebut di atas maka kesehatan suatu negara merupakan pokok

dalam kehidupan dan kesejahteraan dalam negara tersebut. Oleh sebab itu, Presiden terpilih

periode tahun 2014 – 2019, Bapak Joko Widodo, meluncurkan sejumlah program jaminan

kesehatan nasional dalam suatu Program Indonesia Sehat.2,3 Perhatian Presiden yang besar dalam

bidang kesehatan ini terkait dengan tercetusnya Millenium Development Goals (MDGs) yag

dicetuskan oleh PBB pada tahun 2008 di Indonesia melalui El-Mostafa Benlamlih selaku Kepala

Perwakilan PBB-Indonesia.4

Presiden Joko Widodo meluncurkan program perdananya, yaitu Kartu Indonesia Sehat

(KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) di Kantor Pos Jakarta

Pusat yang berada di Pasar Baru, Jakarta, tepat tanggal 3 November 2014 lalu. Ketiga kartu yang

tergabung dalam program Government to person (G2P) adalah bantuan keluarga kurang mampu

seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat atau

BLSM, yang dulunya diberikan tunai lewat kantor pos, kini akan diberikan diberikan secara non

tunai melalui Layanan Keuangan Digital melalui kartu.5

Kartu Indonesia Sehat (KIS) dapat digunakan untuk mendapatkan layanan kesehatan

gratis di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan, sesuai dengan jenis penyakit

yang diderita penerima KIS. Pada tahap pertama, yakni akhir 2014, KIS akan dibagikan ke 19

provinsi. Sedangkan provinsi lainnya akan diberikan pada tahun 2015 dan diharapkan seluruh

penduduk presejahtera sudah menerima kartu ini.5

1

Page 2: Makalah KIS

Menurut Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher,

biaya premi Kartu Indonesia Sehat sama dengan Jaminan Kesehatan Nasional. Keduanya

memakai anggaran negara tahun 2014. Adapun pembagian kelas pada KIS dan JKN yaitu Rp

59.500 untuk kelas 1, Rp 42.500 untuk kelas 2, dan Rp 25.500 untuk kelas 3. Masyarakat bebas

memilih sesuai dengan kesanggupan membayar per bulan.6

2

Page 3: Makalah KIS

BAB II

KARTU INDONESIA SEHAT

A. Definisi

Kartu Indonesia Sehat sebenarnya merupakan pengembangan dari Kartu Jakarta

Sehat. Joko Widodo, yang saat itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, meluncurkan

Kartu Jakarta Sehat pada Sabtu, 10 November 2012, di Kelurahan Pademangan Timur,

Jakarta Timur.5 Dimana Kartu Indonesia Sehat ini hanya merupakan kartunya, dan tidak

menggantikan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), hal ini diungkapkan dengan jelas oleh

Menteri Kesehatan, Nila Moeloek. Kartu Indonesia Sehat dapat digunakan untuk

mendapatkan layanan kesehatan gratis di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat

lanjutan, sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita penerima KIS.6

KIS akan diberikan kepada anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga

tidak menggeser Sistem JKN. Dalam pelaksanaannya, pemerintah telah menunjuk BPJS

Kesehatan sebagai penyelenggaranya. Adapun keluarga miskin yang menjadi penerima

bantuan iuran JKN, yaitu sebanyak 86,4 jiwa, akan tetap ditanggung dengan Kartu

Indonesia Sehat. Namun, anak dari keluarga miskin bisa langsung menggunakan Kartu

Indonesia Sehat tanpa harus mendaftar lagi. Jumlah penerima KIS bertambah karena juga

menanggung penyandang masalah kesejahteraan sosial yang selama ini tak masuk data

penerima bantuan iuran seperti para gelandangan yang ada di bawah jembatan.5

Singkat uraian, KIS merupakan kartu yang memuat identitas peserta Jaminan

Kesehatan, unik dan bernomor tunggal yang diperuntukkan kepada semua penduduk

Indonesia sebagai alat untuk mendapatkan program Jaminan Kesehatan dan

pelayanannya. KIS dikeluarkan oleh pemerintah melalui BPJS Kesehatan sebagai

lembaga nirlaba yang menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan semesta bagi

semua warga.1

B. Landasan Hukum1

Secara konstitusional, Jamsos merupakan hal yang diamanatkan dalam UUD 1945. Oleh

sebab itu, merupakan hal yang harus dilaksanakan oleh negara. Beberapa dasar hokum

pelaksanaan Jamsos dan termasuk dalam jaminan kesehatan di Indonesia antara lain :

3

Page 4: Makalah KIS

No Sumber Nomor/Pasal/Ayat

1 UUD 1945

(Amandemen)

a. Pasal 28-H Ayat 1 : “Setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

b. Pasal 28-H Ayat 3 : “Setiap orang berhak atas jaminan

social yang memungkinkan pengembangan dirinya

secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.”

c. Pasal 34 Ayat 2 : “Negara mengembangkan system

jaminan social bagi seluruh rakyat dan memberdayakan

masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan

martabat kemanusiaan.”

d. Pasal 34 Ayat 3 : “Negara bertanggung jawab atas

penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan da fasilitas

pelayanan umum yang layak.”

2 Undang-Undang a. Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia : “Setiap warga negara berhak atas

jaminan social yang dibutuhkan untuk hidup layak serta

untuk perkembangan pribadinya secara utuh.”

b. UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN)

c. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

d. UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS)

3 Peraturan

Pemerintah

Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2012 tentang Penerima

Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan

4 Peraturan

Presiden

a. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang

Jaminan Kesehatan

b. Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2013 tentang

Penahapan Kepersertaan Program Jaminan Sosial

5 Peraturan BPJS Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nomor 1

4

Page 5: Makalah KIS

Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan

Terhitung sejak 1 Januari 2014, Jamsos untuk program jaminan kesehatan ala

SJSN telah dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Ini

mengacu pada Pasal 60 UU 24/2011 tentang BPJS bahwa “BPJS Kesehatan mulai

beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari

2014”. Jaminan Kesehatan ala SJSN ini diselenggarakan secara nasional yakni

merupakan program perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat

pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau kepada orang yang

iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Iuran inilah yang menjadikan Jaminan Kesehatan

diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas.

Bagaimana dengan hak–hak dasar kesehatan warga fakir, miskin dan tidak

mampu yang harusnya diberikan oleh pemerintah? Dalam kerangka ini, hak warga fakir,

miskin dan tidak mampu diberikan oleh pemerintah melalui pemberian dana bantuan

iuran. Sehingga warga fakir, miskin dan tidak mampu tidak terbebani dengan iuran

bulanan Jaminan Kesehatan. Secara internasional, dari berbagai praktik yang ada, Jamsos

dapat diwujudkan tidak hanya melalui asuransi sosial namun juga dapat melalui tabungan

sosial dan bantuan sosial. Banyak negara yang mengkombinasikannya secara bersamaan

dan praktik yang ada di Indonesia saat ini merupakan bentuk dari kombinasi antara

asuransi sosial, tabungan sosial dan bantuan sosial. Jika dirunut sampai ke konstitusi

Indonesia, praktik ini mempunyai landasan yang sangat kuat dan tentu saja tidak

bertentangan dengan konstitusi.

Secara regulative, KIS berkaitan dan sejalan dengan amanat :

a. Pasal 15 Ayat (1) UU Nomor 40/2004 tentang SJSN bahwa “Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan nomor identitas tunggal

kepada setiap peserta dan anggota keluarganya”;

b. Pasal 13 Huruf (a) UU Nomor 24/2011 tentang BPJS bahwa dalam

melaksanakan tugasnya, BPJS berkewajiban untuk “memberikan nomor

identitas tunggal kepada peserta”;

c. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 101/2011 tentang Penerima Bantuan

Iuran Jaminan Kesehatan bahwa “BPJS kesehatan wajib memberikan nomor

5

Page 6: Makalah KIS

identitas tunggal kepada peserta Jaminan Kesehatan yang telah didaftarkan

oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

Kesehatan”.

Menilik beberapa hal tersebut di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa KIS

merupakan: (i) program untuk percepatan kepesertaan semesta Jaminan

Kesehatan yang sejalan dengan SJSN. Dengan KIS, Jaminan Kesehatan universal

coverage dapat diwujudkan dalam tempo cepat dan tidak harus menunggu sampai

2019; (ii) KIS merupakan pelaksanaan dari amanat beberapa regulasi terkait

dengan kewajiban penyelenggara Jaminan Kesehatan dalam memberikan identitas

tunggal kepada peserta dan anggota keluarganya; (iii) pemenuhan hak-hak

penduduk untuk mendapatkan Jaminan Kesehatan yang merupakan hak dasar; (iv)

KIS merupakan program penyempurnaan pelaksanaan SJSN bidang Jaminan

Kesehatan agar sejalan dengan SJSN sehingga tidak akan ada lagi tumpang–tindih

kewenangan bidang regulasi, pengawasan dan penyelenggaraan. Harapannya,

antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, DJSN, Pemerintah Daerah

dan BPJS Kesehatan berjalan sesuai role-nya. Secara programatik, dengan KIS,

seluruh program Jaminan Kesehatan dapat diintegrasikan ke dalam SJSN – BPJS

Kesehatan.

C. Perbedaan Kartu Jakarta Sehat, Kartu Indonesia Sehat, dan BPJS6

Presiden Joko Widodo meluncurkan kartu penunjang program kesehatan berupa

Kartu Indonesia Sehat (KIS), Senin, 3 November 2014. Puluhan ribu kartu penjamin

kesehatan itu dibagikan kepada warga tak mampu di 19 kota. Sebelumnya, sejumlah

program jaminan kesehatan juga telah diluncurkan pemerintah, seperti Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS). JKN merupakan program

jaminan kesehatan yang diterapkan secara nasional dan ditangani oleh Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Jangkauan JKN terbatas pada keluarga miskin, bukan untuk perseorangan.

Sedangkan jangkauan KIS lebih luas, yaitu mencapai masyarakat miskin dan penyandang

masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Calon penerima KIS akan didata oleh

Kementerian Sosial, lalu didaftarkan ke BPJS untuk menerima kartu sakti itu. Jika

6

Page 7: Makalah KIS

masyarakat umum ingin mendaftar secara swadaya, ia bisa datang ke kantor BPJS

terdekat.

Menurut Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal

Taher, biaya premi Kartu Indonesia Sehat sama dengan Jaminan Kesehatan Nasional.

Keduanya memakai anggaran negara tahun 2014. Adapun pembagian kelas pada KIS dan

JKN yaitu Rp 59.500 untuk kelas 1, Rp 42.500 untuk kelas 2, dan Rp 25.500 untuk kelas

3. Masyarakat bebas memilih sesuai dengan kesanggupan membayar per bulan.

Sedangkan Kartu Jakarta Sehat terbatas untuk warga yang memiliki kartu tanda

penduduk DKI Jakarta. Warga yang ingin mendapatkan kartu ini tinggal menunjukkan

kartu keluarga dan kartu tanda penduduk DKI Jakarta ke puskesmas terdekat. Dengan

KJS, masyarakat Jakarta bisa mendapatkan layanan kesehatan gratis di seluruh

puskesmas di DKI Jakarta dan perawatan kelas III di 88 rumah sakit yang bermitra

dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun sistem pelayanan ini bertingkat.

D. Model Pembiayaan3

Berbagai model pembiayaan kesehatan diterapkan berbagai negara. Negara-

negara Eropa Barat, seperti Jerman, Belanda, Prancis, Belgia, dan lain lain umumnya

menggunakan sistem asuransi kesehatan sosial yang dulu dipelopori Jerman, sejak

diresmikan program jaminan sosial kesehatan oleh Kanselir Otto Von Bismarck tahun

1883. Model ini sering disebut model Bismarck. 

Inggris dan banyak diikuti negara bekas jajahannya menganut model berbasis

pajak atau tax based health financing system. Model pembiayaan kesehatan berbasis

pajak sering dikenal sebagai model Beveridge, setelah William Beveridge merancang

Pelayanan Kesehatan Inggris (National Health Service). Amerika mulanya menganut

model asuransi komersial, kemudian direformasi dengan Obama Health Care. Di negara

berkembang, umumnya dengan membayar uang dari kantong saku atau model out of

pocket.

Apa dan bagaimana program KIS masih banyak yang bingung, terkadang

antarpemangku kepentingan berbeda penjelasannya. Penulis mengusulkan bagaimana

strategi makro penerapan di lapangan dengan pertimbangan teori, peraturan perundangan

yang ada, kapasitas fiskal, manajemen dan aspek teknis. 

7

Page 8: Makalah KIS

Kebijakan KIS, meski bisa dimaknai banyak hal, tentu bertujuan agar setiap

warga bangsa, terutama masyarakat bawah yang membutuhkan yang belum menjadi

anggota BPJS, dapat memiliki akses pelayanan kesehatan yang berkualitas dan

berkeadilan. Ada dua pilihan, pertama semua rumah sakit kelas tiga gratis dibiayai

pemerintah. 

Hak hilang jika pindah kelas yang lebih ke arah model Beveridge atau berbasis

pajak. Ini lebih praktis karena hanya dengan KTP sudah selesai, tetapi akses bagus dari

kendali biaya dan mutu akan menjadi masalah. Dalam model ini tidak perlu membedakan

orang miskin, rentan miskin, dan hampir miskin yang di lapangan sering sulit dan

menimbulkan masalah.  

Pilihan kedua, model asuransi sosial atau model Bismarck yang mengandung nilai

gotong royong. Dalam pilihan kedua ini semua orang wajib ikut dan membayar iuran,

sedangkan yang kesulitan membayar iuran, baik miskin atau tidak mampu dibayari

pemerintah. Mereka yang dibayari pemerintah sekarang ini disebut penerima bantuan

iuran (PBI) yang berjumlah 86,4 juta orang. 

Model pilihan kedua ini seperti yang berlaku dan diatur di dalam UU No 40/2004

tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24/2011 tentang BPJS.

Program KIS yang sekarang ini seperti model pilihan ke dua ini, ditambah

kepesertaannya yang dulu sudah dijamin program Jamkesmas, yaitu anak telantar,

gelandangan, panti jompo, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) lainnya

yang total jumlahnya sekitar 1,7 juta orang. Karena masalah pengganggaran, dimulai

beberapa ribu orang terlebih dahulu. 

Peserta ini meski dulu sudah dijamin Jamkesmas, setahun ini tidak dijamin BPJS

pada program JKN. Jika mereka  sakit, diserahkan kepada pemerintah daerah masing-

masing. Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah memiliki komitmen dan

mengalokasikan untuk mereka.

Ke depan tentu tergantung kebijakan yang dipilih pemerintah. Jika model pertama

yang dipilih karena lebih mudah dan praktis, selain secara politis sangat menarik, tentu

harus ada perubahan undang-undang, terutama UU SJSN dan BPJS, serta peraturan

perundangan di bawahnya. Jika yang dipilih adalah model kedua, ada hal-hal yang perlu

diperbaiki.

8

Page 9: Makalah KIS

Hal yang Perlu Diperbaiki  

Jika pilihan kedua yang dipilih,  hal-hal yang menyangkut fungsi, peran, dan hubungan

antarlembaga yang terkait KIS perlu ditingkatkan. Sisi manajemen BPJS juga perlu

perbaikan secara mendasar. Optimalisasi fungsi Dewan Pengawas dan Dewan. 

Jaminan Sosial Nasional (DJSN) perlu dilakukan.

 

Koordinasi manajemen BPJS dengan kementerian, khususnya kesehatan dan keuangan,

perlu ditingkatkan. Kerja sama dengan pemangku kepentingan, terutama rumah sakit

swasta dan klinik swasta perlu diintensifkan. Peningkatan kemudahan dan fleksibilitas

proses administrasi kepesertaan dan pendataan perlu segera diperkuat.

Hal ini dapat didukung dengan pemanfaatan e-KTP atau sidik jari yang ada di

kementerian dalam negeri dan perlu segera dilakukan. Matching and bridging sistem

manajemen infomasi mulai dari kepesertaan, puskesmas, rumah sakit, dan BPJS segera

dibangun. Untuk efisiensi unit antifraud dan peningkatan kompetensi SDM dalam telaah

utilisasi (utilization review) perlu segera dilakukan, disertai peningkatan sosialisasi, serta

edukasi bagi pemberi layanan kesehatan di lapangan.

Peningkatan akses ini harus dibarengi penguatan infrastruktur pelayanan

kesehatan. Hal ini termasuk peningkatan fasilitas kesehatan, terutama di layanan primer

dan rumah sakit kabupaten/kota, perencanaan jumlah dan kualitas SDM kesehatan, serta

distribusinya yang merata. Terobosan dalam menghasilkan, menyediakan dan

menempatkan tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis, perlu dilakukan. Pendidikan

berbasis rumah sakit perlu dipikirkan. 

Karena itu, kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Dalam Negeri merupakan hal yang

krusial. Kerja sama ini tidak saja dalam memecahkan persoalan mendasar dalam

penyediaan dan distribusi tenaga kesehatan, tetapi bagaimana revolusi mental, perubahan

pola pikir, kesadaran, dan perubahan pola perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat

sejak dini dimulai di bangku sekolah. 

9

Page 10: Makalah KIS

Untuk menjaga mutu layanan dan jaminan kesehatan, selain penerapan

manajemen mutu secara komprehensif, pembayaran kapitasi dan INA-CBGs sebaiknya

disesuaikan dengan harga keekonomian. Dikembangkan health technology assesment

(HTA) yang akan menilai obat, alat, dan teknologi kesehatan yang menilai cost

effectiveness-nya, mengingat sumber daya yang terbatas dan banyak obat dan teknologi

yang tidak perlu selalu mahal. 

E. Kendala dalam Pelaksanaan Program

Lebih dari setengah tahun Jaminan Kesehatan ala SJSN berjalan, masih banyak kendala

dan permasalahan. Ada beberapa hal krusial yang harus menjadi perhatian pemerintahan

baru Joko Widodo – Jusuf Kalla, antara lain:

a. Kelembagaan dan Regulasi

Pasal 60 UU BPJS menegaskan bahwa sejak beroperasinya BPJS Kesehatan

maka: (i) Kementerian Kesehatan tidak lagi menyelenggarakan program jaminan

kesehatan masyarakat; (ii) Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan

Kepolisian Republik Indonesia tidak lagi menyelenggarakan program pelayanan

kesehatan bagi pesertanya, kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan

dengan kegiatan operasionalnya, yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden; (iii) PT

Jamsostek (Persero) tidak lagi menyelenggarakan program jaminan pemeliharaan

kesehatan. Namun, dalam kenyataanya, Kementerian Kesehatan masih setengah–

setengah dalam menjalankan amanat SJSN dan BPJS. Bahkan masih sangat kentara

adanya “defisit” kesukarelaan untuk melepaskan kegiatan penyelenggaraan jaminan

kesehatan masyarakat dari “tangan” Kementerian Kesehatan ke “pangkuan” BPJS

Kesehatan. Kondisi ini tentu menjadi kendala dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan

ala SJSN.

Keengganan Kementerian Kesehatan ini dapat dilihat dari penggunaan kata

“Nasional” dalam Jaminan Kesehatan. Merujuk Surapaty (2014), Jaminan Kesehatan

Nasional (JKN) yang dirumuskan oleh Kementerian Kesehatan tidak sejalan dengan

Peraturan Pemerintah No 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan

Kesehatan, UU BPJS dan UU SJSN. Surya Chandra Surapaty yang merupakan Ketua

Panitia Khusus RUU SJSN 2004 dan Wakil Ketua Panitia Khusus RUU BPJS 2011

menegaskan bahwa dalam UU dan PP tersebut di atas, tidak ada satupun yang

10

Page 11: Makalah KIS

menyebutkan “Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Yang ada adalah “Jaminan

Kesehatan” tanpa embel–embel “Nasional”.

Sementara oleh Kementerian Kesehatan, JKN diposisikan sebagai penerjemahan

atau manifestasi dari universal health care (program jaminan kesehatan untuk semua)

yang diamanatkan SJSN dan BPJS. Kementerian Kesehatan bahkan memperkuat

argumentasinya dengan menerbitkan beberapa regulasi yang dikeluarkan oleh

Menteri Kesehatan antara lain: (i) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun

2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, (ii) Keputusan

Menteri Kesehatan No 326/Menkes/SK/IX/2013 tentang Penyiapan Kegiatan

Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional, (iii) Surat Edaran No

HK/Menkes/32/I/2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan bagi Peserta BPJS

Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat

Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.

Fakta di atas menunjukkan bahwa Kementerian Kesehatan masih menginginkan

sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan. Padahal, Pasal 57 UU BPJS

mengamatkan bahwa kewenangan Kementerian Kesehatan dalam melaksanakan

kegiatan operasional penyelenggaraan program jaminan kesehatan masyarakat hanya

sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan. Sebenarnya, JKN masih

diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan dan memposisikan BPJS Kesehatan

hanya sebagai mitra. Hal ini terlihat dari keukeuh–nya Kementerian Kesehatan untuk

menggunakan sistem tarif INA–CBGs (Indonesian – Case Based Groups) yang sangat

rendah sehingga ada beberapa fasilitas kesehatan, layanan kesehatan dan obat yang

tidak di–cover. Ini artinya, JKN tidak jauh berbeda dengan Jaminan Kesehatan

Masyarakat (Jamkesmas) sebab masih dikelola oleh Kementerian Kesehatan dan

Dinas Kesehatan di daerah–daerah. Ini tidaklah sejalan dengan amanat UU SJSN dan

UU BPJS yang telah memposisikan Kementerian Kesehatan sebagai regulator dan

bukan lagi sebagai penyelenggaran pelayanan jaminan kesehatan (Maftuchan, 2014).

Regulasi pendukung pelaksanaan BPJS Kesehatan juga belum lengkap dan

memadai, bahkan ada regulasi yang terlalu terburu–buru dalam proses

penyusunannya sehingga belum diimplementasikan secara utuh sudah mengalami

perubahan. Misalnya Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Jaminan

11

Page 12: Makalah KIS

Kesehatan yang kemudian diubah menjadi Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun

2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang

Jaminan Kesehatan.

b. Kepersertaan dan Bantuan Iuran

Dalam SJSN, kepesertaannya adalah setiap orang termasuk orang asing yang telah

bekerja di Indonesia selama enam bulan dan telah membayar iuran. Artinya

kepesertaan Jaminan Kesehatan adalah semua penduduk, baik yang kaya maupun

yang miskin. Namun, dengan alasan kesiapan pemerintah dan badan penyelenggara

serta jumlah penduduk Indonesia yang besar, maka untuk mencapai universal

coverage, dilakukanlah pentahapan. Merujuk Pasal 6 Perpres Nomor 12 Tahun 2013

tentang Jaminan Kesehatan, maka pentahapannya:

Mulai tanggal 1 Januari 2014, paling sedikit meliputi: PBI Jaminan Kesehatan,

TNI/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota

keluarganya, Polri/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Polri dan anggota

keluarganya, peserta asuransi kesehatan Perusahaan Persero (Persero) Asuransi

Kesehatan Indonesia (ASKES) dan anggota keluarganya, peserta Jaminan

Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Perusahaan Persero (Persero) Jaminan Sosial

Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dan anggota keluarganya.

Tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta BPJS

Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.

Pada tahun 2014, Kementerian Kesehatan mengalokasikan anggaran untuk

pembayaran premi BPJS kesehatan bagi orang miskin dan tidak mampu penerima

bantuan iuran (PBI) untuk 86,4 juta. Jumlah ini sebagian merupakan pengalihan dari

peserta Jamkesmas. Sementara itu, dengan jumlah penduduk 237,64 juta jiwa (BPS:

2010) dan diproyeksikan menjadi 245,47 juta jiwa pada 2013 (BKKBN: 2013), maka

target peserta Jaminan Kesehatan pada 2014 masih terlalu jauh dari mendekati. Saat

ini, jumlah peserta Jaminan Kesehatan yang dikelola di luar BPJS Kesehatan sebesar

50,07 juta jiwa dan yang belum menjadi peserta Jaminan Kesehatan sebanyak 73,8

juta jiwa (Kemenkes, 2013) ditargetkan akan menjadi peserta Jaminan Kesehatan

BPJS Kesehatan pada tahun 2019. Sehingga, pada tahun 2019, seluruh penduduk

dapat menjadi peserta Jaminan Kesehatan.

12

Page 13: Makalah KIS

Padahal, jika merujuk data Badan Pusat Statistik (2011) yang digunakan oleh

TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) untuk PPLS

(Pendataan Program Perlindungan Sosial), maka jumlah warga miskin dan tindak

mampu lainnya yang harus menjadi peserta PBI adalah 96,7 juta jiwa. Artinya ada

selisih 10,3 juta jiwa warga miskin PBI jika dibandingkan antara Kementerian

Kesehatan dengan TNP2K. Di lain sisi, pemerintah pada 2014 dengan optimis

mentargetkan peserta Jaminan Kesehatan (baik yang PBI maupun yang non–PBI)

sebanyak 121,6 juta jiwa. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang

Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dengan tegas dalam Pasal 15 dinyatakan

bahwa pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka “penetapan jumlah

PBI tahun 2014 dilakukan menggunakan hasil Pendataan Program Perlindungan

Sosial tahun 2011”.

Terkait dengan iuran Jaminan Kesehatan, jumlah iuran PBI yang dibayarkan

Kementerian Kesehatan dan peserta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah

perpeserta Rp 19.225,– per/bulan. Jumlah PBI ini berbeda dengan iuran Peserta

Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja Kelas 3 yakni Rp 25.500. Perbedaan ini

tentu menimbulkan pertanyaan lanjutan apakah juga akan membedakan kualitas

layanan? Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang

Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Jaminan

Kesehatan, maka iuran Jaminan Kesehatan sebagai berikut:

Peserta Bentuk Iuran Besaran Keterangan

PBI Nilai nominal (per

jiwa)

Rp 19. 225,- Ranap kelas 3

Pasal 16A, 23

PNS/TNI/POLRI/

PENSIUN

5 % (per keluarga) 2% dari pekerja

3% dari pemberi

kerja

Ranap Kelas 1,

kelas 2

Pasal 16B, 23

Pekerja Penerima

Upah selain PNS,

Dll

4,5% (per

keluarga) dan 5 %

(per keluarga)

s/d 30 Juni 2015 :

0,5 % dari pekerja

4% dari pemberi

kerja

Ranap Kelas 1,

kelas 2

Pasal 16C , 23

13

Page 14: Makalah KIS

Mulai 1 Juli 2015 :

1% dari pekerja

4% dari pemeberi

kerja

Pekerja bukan

Penerima Upah

dan Bukan

Pekerja

Nilai nominal (per

jiwa)

1. Rp 25.500,-

2. Rp 42.500,-

3. Rp 59.500,-

Ranap kelas 3

Ranap kelas 2

Ranap kelas 1

Pasal 16F, 23

Pada RAPBN 2015, pemerintah belum melakukan penambahan peserta Jaminan

Kesehatan PBI yakni masih sama dengan tahun 2014, sejumlah 86,4 juta jiwa. Tentu

ini langkah yang tidak tepat, pasalnya PBI harusnya dinamis dan harus meng–cover

semua penduduk yang fakir, miskin dan tidak mampu secara ekonomi sehingga

mereka dapat menikmati Jaminan Kesehatan yang baik.

c. Fasilitas Kesehatan, Tenaga Kesehatan, dan Kesadaran Kesehatan

Fasilitas kesehatan (Faskes) dan tenaga kesehatan (Nakes) merupakan

permasalahan yang sangat mendasar bagi penyelenggaraan Jaminan Kesehatan

universal coverage. Kesiapan Faskes dan Nakes, baik dari sisi jumlah maupun dari

sisi kualitas masih sangat jauh dari memadai. Jumlah rumah sakit di Indonesia hanya

1.686, baik RS swasta maupun RS pemerintah sedangkan jumlah Puskesmas hanya

mencapai 9.581 (Pusdatin, Kemenkes, 2011). Dengan angka ini maka rasio

Puskesmas/100.000 penduduk berjumlah 4 Puskesmas. Sederhananya, dalam 100.000

penduduk hanya ada 4 Puskesmas yang artinya tiap 25.000 penduduk dilayani 1

Puskesmas. Jumlah ini tentu masih jauh dari ideal. Di sisi Nakes kondisinya juga

tidak jauh berbeda, selain jumlah Nakes yang masih minim, sebaran Nakes juga

belum merata. Rasio dokter sebesar 40/100 ribu penduduk, artinya tiap 40 dokter

melayani 100.000 penduduk, sungguh beban yang sangat berat.

Di samping Faskes dan Nakes yang masih memprihatinkan, permasalahan lain

adalah kesadaran kesehatan (Darkes) masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Ini

dapat dilihat dari keberhasilan program Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), rumah tangga yang belum

14

Page 15: Makalah KIS

menggunakan fasilitas buang air besar masih sangat tinggi yakni sebesar 24,8 % dan

rumah tangga yang tidak memiliki saluran pembuangan air limbah sebesar 32,5 %.

Sementara, rumah tangga yang mempunyai akses air bersih baru 57,7 % dan yang

mempunyai akses sanitasi yang baik 63,3 % (Riskesdas, 2007). Selain karena

ketidakmampuan pemerintah membangun sanitasi dan menyediakan air bersih, hal ini

juga menyangkut kesadaran masyarakat dalam menjalani hidup sehat.

d. Alokasi Anggaran Kesehatan

Untuk melihat tingkat perhatian dan keseriusan pemerintah di bidang kesehatan,

kita dapat melihatnya dari sisi alokasi anggaran kesehatan yang dibelanjakan dalam

tiap tahun anggaran. Di Indonesia, kebijakan fiskal untuk sektor kesehatan

menggunakan pendekatan mandatory spending, artinya dalam tiap tahun fiskal

alokasi anggaran kesehatan sudah dipatok dengan persentase tertentu. Mengacu pada

amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka alokasi

anggaran kesehatan di tingkat nasional sebesar 5% dari total Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara/APBN di luar gaji pegawai bidang kesehatan. Sedangkan alokasi

anggaran kesehatan di tingkat daerah (provinsi dan kebupaten/kota) sebesar 10% dari

total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD di luar gaji pegawai bidang

kesehatan.

UU Kesehatan yang diputuskan pada tahun 2009 ini, ternyata untuk mandatory

spending tersebut belum pernah dipenuhi oleh pemerintah pusat. Pemerintah selalu

berkilah bahwa fiscal space yang ada sangat sempit sehingga tidak dapat memenuhi

amanat tersebut. Ironisnya, alokasi anggaran belanja rutin selalu naik dan subsidi

bahan bakar minyak selalu dipenuhi. Jika dilihat trend anggaran kesehatan enam

tahun terakhir ini, memang selalu mengalami kenaikan, meskipun sifatnya

incremental. Namun, alokasi anggaran kesehatan dari total APBN rerata hanya 3,2%,

ini sudah termasuk belanja pegawai; gaji, biaya perjalanan dinas, tunjangan,

honorarium dan lain–lain.

15

Page 16: Makalah KIS

Komponen Anggaran

Kesehatan

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Real Real Real Real APBN APBNP APB

N

I. Melalui Belanja Pemerintah

Pusat

23,2 28,2 38,5 42,3 52,0 54,1 66,5

1. Melalui K/L 21,7 26,2 36,3 39,7 49,0 51,0 61,6

24 Kemenkes 18,0 22,4 26,9 28,7 34,6 36,6 46,5

60 Badan POM 0,3 0,4 0,8 1,1 1,2 1,2 1,1

68 BKKBN 0,6 0,8 2,4 2,2 2,6 2,6 2,9

K/L lainnya 2,7 2,6 6,3 7,7 10,7 10,7 11,1

2. Melalui non- K/L 1,5 1,9 2,3 2,6 3,1 3,1 4,9

Subsidi untuk

air bersih

- - 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

Askes PNS

(belanja

pegawai)

1,5 1,9 2,3 2,6 3,0 3,0 4,8

II. Melalui transfer

daerah

4,6 3,4 3,8 3,8 3,9 3,9 4,0

DAK kesehatan 4,0 2,8 2,9 3,0 3,1 3,1 3,1

Perkiraan

Anggaran

Kesehatan dari

Dana Otsus

0,6 0,6 0,8 0,8 0,8 0,8 0,9

III. Total 27,8 31,6 42,3 46,1 55,9 58,0 70,5

% APBN 3,0 3,0 3,3 3,1 3,3 3,4 3,8

Di luar alokasi belanja kesehatan tersebut di atas, tiap tahun fiskal, pemerintah

membiayai Program Pengelolaan Transaksi Khusus untuk pembayaran iuran jaminan

kesehatan, jaminan sosial ketenagakerjaan dan pembayaran manfaat pensiun bagi

PNS Pusat, pensiunan PNS serta veteran TNI/Polri. Untuk RAPBN 2015

direncanakan sebesar Rp 101.271,0 miliar (99,1 %) dari total anggaran pada program

pengelolaan transaksi khusus untuk pembayaran manfaat pensiun serta iuran jaminan

kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi PNS Pusat, pensiunan PNS serta

16

Page 17: Makalah KIS

veteran TNI/Polri. Anggaran yang cukup besar jika dibandingkan dengan belanja

fungsi kesehatan.

Pada RAPBN 2015, rencana alokasi anggaran belanja Pemerintah Pusat pada

fungsi kesehatan sebesar Rp 20.678,1 miliar (1,5% terhadap total Belanja Pemerintah

Pusat/BPP). Sedangkan alokasi untuk Kementerian Kesehatan pada RAPBN 2015

sebesar Rp 47.429,8 miliar (Nota Keuangan RAPBN 2015). Dari total anggaran

fungsi kesehatan dan Kementerian Kesehatan, dana PBI yang saat ini masih dipegang

oleh Kementerian Kesehatan hanya sebesar lebih kurang Rp 19,09 triliun (men–cover

86,4 juta jiwa dengan premi Rp 19.225). Bandingkan antara alokasi PBI ini dengan

pembayaran pemerintah untuk iuran jaminan kesehatan dan pensiun bagi PNS dan

pensiunan PNS.

Pengelolaan Transaksi Khusus dalam APBN ini tidak terlepas dari pendekatan

program dana pensiun bagi PNS dan TNI/Polri yang menggunakan pendekatan pay as

you go, artinya pendanaan pensiun dibiayai langsung oleh pemerintah melalui APBN

pada saat PNS/TNI–Polri memasuki masa pensiun. Iuran pensiun peserta (PNS/TNI-

Polri) sangat kecil, hanya seperti syarat saja, yakni 4,3/4 % dari penghasilan tanpa

tunjangan pangan untuk iuran dana pensiun. Sehingga, pemerintah melalui PP Nomor

20 / 2003 masih mengalokasikan pembayaran sumbangan iuran pensiun dan tabungan

hari tua bagi PNS–TNI–Polri dan besarannya hanya ditetapkan melalui Peraturan

Pemerintah.

Tidak mengherankan jika pada tiap tahunnya, PT Taspen (pengelola program

pension PNS dan veteran TNI/Polri) selalu mengalami defisit antara iuran pensiun

yang diterima dengan dana pensiun yang dikeluarkan (dibagikan) ke peserta / ahli

warisnya. Ambil contoh, pada tahun 2012, Taspen hanya menerima iuran dana

pensiun sebesar Rp 10 triliun namun disaat yang sama harus membayarkan manfaat

pensiun ke peserta atau ahli warisnya sebesar Rp 60 triliun. Sungguh suatu system

pengelolaan dana pensiun yang tidak berkesinambungan. Usulan ke depan,

pengelolaan dana pensiun bagi PNS–TNI–Polri harus diubah menjadi fully funded,

artinya PNS–TNI–Polri sebagai pekerja dan pemerintah sebagai pemberi kerja sama-

sama mengeluarkan iuran yang mencukupi sehingga tidak membebani APBN tiap

17

Page 18: Makalah KIS

tahun. Pada akhirnya, perubahan dari pay as you go ke fully funded akan meringankan

beban APBN sebagai fiscal space menjadi lebih longgar.

18

Page 19: Makalah KIS

BAB III

Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Kartu Indonesia Sehat merupakan salah satu media dalam rangka menjalankan program

perdana Presiden terpilih periode 2014 sampai dengan 2019, Bapak Joko Widodo, yang

dicetuskan terkait dengan Millenium Development Goals (MDGs). Program ini sesuai untuk

dijalankan karena Indonesia kini telah memasuki era penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial

Nasional (SJSN). Dimana system ini ditujukan demia berlangsungnya kehidupan masyarakat

(warga negara) dalam kondisi yang sejahtera.

Kartu Indonesia Sehat yang diterbitkan tepat tanggal 3 November 2014 yang lalu oleh

Presiden terpilih, Joko Widodo, merupakan kelanjutan dari Kartu Jakarta Sehat yang telah

terlebih dahulu diterbitkan. KIS ini sendiri hanya berupa kartu namun tidak menyingkirkan

jaminan kesehatan nasional (JKN) itu sendiri.

Singkat uraian, KIS merupakan kartu yang memuat identitas peserta Jaminan Kesehatan,

unik dan bernomor tunggal yang diperuntukkan kepada semua penduduk Indonesia sebagai alat

untuk mendapatkan program Jaminan Kesehatan dan pelayanannya. KIS dikeluarkan oleh

pemerintah melalui BPJS Kesehatan sebagai lembaga nirlaba yang menyelenggarakan program

Jaminan Kesehatan semesta bagi semua warga.

Secara regulative, KIS berkaitan dan sejalan dengan amanat :

a. Pasal 15 Ayat (1) UU Nomor 40/2004 tentang SJSN bahwa “Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan nomor identitas tunggal

kepada setiap peserta dan anggota keluarganya”;

b. Pasal 13 Huruf (a) UU Nomor 24/2011 tentang BPJS bahwa dalam

melaksanakan tugasnya, BPJS berkewajiban untuk “memberikan nomor

identitas tunggal kepada peserta”;

c. Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 101/2011 tentang Penerima Bantuan

Iuran Jaminan Kesehatan bahwa “BPJS kesehatan wajib memberikan

nomor identitas tunggal kepada peserta Jaminan Kesehatan yang telah

19

Page 20: Makalah KIS

didaftarkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang Kesehatan”.

Meski begitu system ini juga mengalami beberapa kendala. Kendala yang sampai saat ini

masih menjadi penyulit dalam pelaksanaan program antara lain seperti kendala dalam

kelembagaan dan regulasi; kepersertaan dan bantuan iuran; fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan,

dan kesadaran kesehatan; serta alokasi anggaran kesehatan. Hal-hal ini lah yang perlu

mendapatkan perhatian untuk ke depannya.

B. Saran

1. Saran Umum

Perlu melakukan penataan kebijakan fiskal secara fundamental terutama pada area

; peningkatan penerimaan negara, efisiensi belanja pemerintah pusat dan daerah,

dan peningkatan belanja sosial (terutama kesehatan) dengan opsi–opsi kebijakan:

o Melakukan realokasi sebagian anggaran subsidi bahan bakar minyak dan

energi untuk membiayai KIS;

o Melakukan penghematan belanja pegawai (honorarium, perjalanan dinas,

dan lain- lain) dan melakukan penataan atau regrouping

Kementerian/Lembaga sehingga kabinet menjadi lebih ramping dan lincah

dalam melakukan eksekusi program;

o Agar pajak mencerminkan keadilan sosial dan ada sumber penerimaan

baru untuk belanja sosial, maka perlu melakukan penerapan penambahan

lapisan struktur tarif (tax bracket) Pajak Penghasilan/PPh menjadi 35–45%

bagi mereka yang berpendapatan di atas Rp 5 Miliar/tahun;

o Melakukan kebijakan earmarking untuk jenis pajak tertentu (cukai rokok,

alkohol dan extractive industries), baik di pusat maupun di daerah, yang

diperuntukkan untuk sektor pelayanan dasar khususnya Jaminan

Kesehatan / Kartu Indonesia Sehat.

20

Page 21: Makalah KIS

2. Saran Khusus

a. Melakukan review beberapa regulasi yang terindikasi tidak sejalan dengan

SJSN dan BPJS antara lain:

o Peraturan Presiden No 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan

Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan;

o Melakukan review terhadap program JKN dengan mereview seluruh

produk regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan terkait

dengan pelaksanaan JKN. Langkah pertama dapat dilakukan dengan

mereview: (i) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 tentang

Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional, (ii) Keputusan

Menteri Kesehatan No 326/Menkes/SK/IX/2013 tentang Penyiapan

Kegiatan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional, (iii) Surat Edaran

No HK/Menkes/32/I/2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan bagi

Peserta BPJS Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan

Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program

Jaminan Kesehatan.

b. Meningkatkan jumlah peserta Jaminan Kesehatan penerima bantuan iuran

(PBI) dari 86,4 juta jiwa menjadi 96,7 juta jiwa (pada pelaksanaan program

100 hari Jokowi) dan memberikannya KIS dan memberikan Kartu Indonesia

Sehat (KIS) kepada 100 juta jiwa pada tahun 2015;

c. Meningkatkan alokasi anggaran untuk pemberian bantuan iuran dalam APBN

atau APBN–P 2015 sebesar Rp 25 – 30 triliun dan mengubah besaran PBI dari

Rp 19.225/jiwa menjadi Rp 25.500 (sederajat dengan iuran pekerja bukan

penerima upah dan bukan pekerja – untuk ruang inap kelas 3);

d. Meningkatkan alokasi anggaran sektor kesehatan menjadi 5 % dari total

APBN di luar gaji pegawai bidang kesehatan dan melakukan penataan

kebijakan fiskal di daerah agar mengalokasikan anggaran kesehatan 10% dari

total APBD di luar gaji pegawai bidang kesehatan;

e. Melakukan penata–kelolaan data penduduk yang fakir, miskin dan tidak

mampu secara lebih up to date (semesteran) dan berbasis nama alamat (by

name by address) serta melakukan sinkronisasi, rekonsiliasi dan konsolidasi

21

Page 22: Makalah KIS

data kemiskinan yang dimiliki oleh beberapa K/L. Oleh sebab itu, pemerintah

perlu mengelola data kemiskinan secara integratif dan menugaskan beberapa

K/L terkait (BPS, Kemensos dan Kemenkes) untuk melaksanakannya;

f. Melakukan penatakelolaan Dana PBI, dari Kemenkes ke BPJS Kesehatan.

22

Page 23: Makalah KIS

DAFTAR PUSTAKA

1. Kartu Indonesia Sehat, Menuju Program 100 Hari Jokowicare. Diakses di : https://www.academia.edu/8394360/Jokowicare_Kartu_Indonesia_Sehat_dan_BPJS_Kesehatan. Diakses pada : 14 Desember 2014.

2. Pelaksanaan Kartu Indonesia Sehat oleh Kementrian Kesehatan Negara Indonesia. Diakses di : http://diskes.jabarprov.go.id/assets/data/arsip/Pelaksanaan_Kartu_Indonesia_Sehat_%28KIS%29_Di_Fasilitas_Kesehatan.pdf. Diakses pada : 14 Desember 2014.

3. Sistem Kartu Indonesia Sehat. Diakses di : http://sinarharapan.co/news/read/141107039/sistem-kartu-indonesia-sehat. Diakses pada : 14 Desember 2014.

4. Millenium Development Goals (MDGs). Diakses di : http://www.undp.or.id/pubs/docs/let%20speak%20out%20for%20mdgs%20-%20id.pdf. Diakses pada : 14 Desember 2014.

5. Apa itu Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Diakses di : http://bisnis.liputan6.com/read/2128190/apa-itu-kartu-indonesia-sehat-dan-kartu-indonesia-pintar. Diakses pada : 14 Desember 2014.

6. Beda KJS, Kartu Indonesia Sehat, dan JKN. Diakses di : http://www.tempo.co/read/news/2014/11/05/173619684/Beda-KJS-Kartu-Indonesia-Sehat-dan-JKN. Diakses pada : 14 Desember 2014.

23