makalah kel 3 manajemen perpajakan internasional(1)

Upload: dabuyshine8033

Post on 19-Jul-2015

1.750 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Dewasa ini, bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa lainnya tengah memasuki era

globalisasi dimana akan terjadi integrasi ekonomi dunia dan faktor-faktor produksi akan sangat dibutuhkan. Faktor-faktor produksi tersebut akan mengalir dan didistribusikan dari satu negara ke negara lainnya. Hal itu akan menyebabkan semakin menyatunya perekonomian dunia sehingga akan terjadi perkembangan transaksi internasional. Semakin berkembangnya transaksi internasional dapat membawa dampak positif dan negatif pada suatu bangsa. Dampak positifnya adalah dapat meningkatnya penerimaan suatu negara, yang antara lain bersumber dari sektor pajak. Transaksi internasional akan mengakibatkan

meningkatnya penerimaan pajak sehingga akan memberikan kontribusi yang besar untuk menggerakkan perekonomian di dalam negeri. Dampak negatifnya adalah dapat terjadinya permasalahan di antara negara-negara yang melakukan transaksi internasional karena adanya perbedaan tarif pajak, perbedaan pemberian fasilitas perpajakan, dan juga perbedaan perencanaan pajak. Permasalah tersebut antara lain dapat menimbulkan terjadinya pengenaan pajak berganda atas objek pajak yang sama yang timbul dari transaksi internasional atau pengenaan pajak berganda terhadap subjek pajak yang sama. Oleh karena itu, pihak-pihak yang sering melakukan transaksi internasional berupaya untuk melakukan penghindaran pajak berganda karena apabila tidak segera ditangani, akan mengakibatkan masalah terhadap perkembangan transaksi internasional atau berkurangnya serta hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak. Bagi negara, pajak adala salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin (pemb. gaji pegawai) maupun pengeluaran pembangunan. Sedangkan bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih, maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tdk merugikan perusahaan dikemudian hari. Dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan kepentingan antara WP dengan pemerintah. WP berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin karena dengan membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis WP. Dilain pihak, pemerintah memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, yang sebagian besar berasal dari penerimaan pajak. Adanya perbedaan kepentingan ini menyebabkan WP cenderung untuk mengurangi jumlah pembayaran pajak baik secara legal

maupun illegal. Hal ini dimungkinkan jika ada peluang yang dapat dimanfaatkan, baik karena kelemahan peraturan pajak maupun SDM (fiskus). Manajemen Pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Manajemen pajak merupakan upaya dlm melakukan penghematan pajak secara legal. Untuk mencapai tujuan manajemen pajak ada 2 hal yang perlu dikuasai dan dilaksanakan: 1. Memahami ketentuan peraturan perpajakan Dengan mempelajari undang-undang, keputusan dan edaran, kita dapat melihat celah-celah yang menguntungkan untuk melakukan penghematan pajak. 2. Menyelenggarakan Pembukuan yang Memenuhi Syarat. Pembukuan mrp sarana yang sangat penting dlm penyajian informasi keuangan perusahaan yang disajikan dalam bentuk laporan keuangan dan menjadi dasar dalam menghitung besarnya jumlah pajak terutang. Indonesia adalah bagian dari dunia internasional, setiap negara dipastikan

menjalin hubungan dengan negara lainnya guna mengadakan transaksi-transaksi yang saling menguntungkan antar negara. Transaksi internasional berupa impor barang dari luar negeri, ekspor barang ke luar negeri, adalah merupakan bagian dari transaksi perdagangan internasional. Transaksi tersebut tentu mengakibatkan salah seorang penduduk dari salah satu negara tersebut memperoleh penghasilan. Penduduk yang memperoleh

penghasilan tersebut di sebut aubjek pajak, sedangkan hasil yang diperoleh adalah obyek pajak. Disamping kerjasama ekonomi berupa perdagangan, kerjasama antar negara juga menyangkut kerjasama lainnya seperti kerjasama keamanan dan kerjasama dibidang sosial budaya lainnya. Setiap kerjasama tersebut tentu harus disepakati antar negara tersebut guna mencapai komitmen bersama, dalam bentuk perjanjian internasional yang

menyangkut kepentingan antar negara

tersebut, tidak terkecuali yang terkait dengan

aspek perpajakan. Setiap penduduk asing di seluruh dunia, Tidak ada larangan jika mereka ingin melakukan usaha di Indonesia dan bekerja di Indonesia atau

menanamkan modal di Indonesia, atas hasil yang diterima penduduk asing tersebut, dapat dikenakan pajak di negara Indonesia. Pengenaan pajak yang dilakukan di Negara Indonesia dapat dilakukan dengan kewenangan yang dimiliki Negara Indonesia sebagai pemegang kedaulatan hukum dan wilayah, namun demikian juga harus mempertimbangkan

aspek perekonomian nasional dan hubungan kerjasama antar negara. Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara, agar tidak menghambat investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan transaksi tersebut. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap negara dipastikan

mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Namun apakah setiap negara bebas melakukan penghitungan pajak untuk badan / warga negara lain? Pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina. Pengetahuan masyarakat atau wajib pajak tentang pajak internasional dirasa kurang memadai, karena hanya sedikit jumlah wajib pajak yang terlibat dalam transaksi internasional. Sebagian masyarakat atau wajib pajak yang tidak memahami pajak internasional mungkin wajar, karena penduduk Indonesia umumnya bukan

subjek pajak yang terkait dengan aspek pajak internasional. Akan tetapi alangkah bagusnya jika kita mau mempelajari tentang perpajakan yang terkait dengan penghasilan penduduk kita di negara lain, atau penduduk negara lain apabila memperoleh penghasilan di negara kita, hal ini guna menambah wawasan atau pengetahuan manakala kelak atau saat ini kita bersinggungan atau bahkan berkaitan langsung dengan subjek pajak yang berasal dari negara lain.

BAB II LANDASAN TEORI

2.1

Pengertian Hukum Pajak Internasional Sebelum memahami tentang pengertian pajak internasional, maka sebaiknya kita

harus mengerti tentang pengertian hukum internasional, karena pemberlakuan pajak tidak lepas dari ketentuan hukum formal negara tersebut. Sumber hukum internasional menurut piagam Mahkamah internasional adalah: a. perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus; b. kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu diterima sebagai hukum; c. prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab; d. keputusan pengadilan dari ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum. kebiasaan umum yang telah

Hukum internasional dalam arti luas yaitu termasuk pengertian hukum bangsabangsa, sebaliknya arti yang sempit mengatur hubungan antara negara- negara. Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat internasional yang didasarkan atas negara-negara nasional. Dengan demikian sebelum kita memahami pengertian pajak internasional, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui kaedah hukum internasional, karena perpajakan merupakan bagian aturan negara nasional dan untuk menerapkan ke masyarakat internasional harus mengikuti hukum internasional yang berlaku antar negara. Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional tidak bisa menghindari pelaksanaan tax treaty, manakala masyarakat Indonesia telah berhubungan dan memperoleh penghasilan di negara lain tersebut. Atau Indonesia juga tidak dapat terhadap kedutaan karena terikat menerapkan perpajakan

dengan konvensi internasional, meskipun belum timbal balik. Oleh karena itu hukum

mengadakan tax treaty asalkan ada asas

internasional, baik diatur secara khusus atau tidak, jika telah disepakati dalam dunia internasional mau tidak mau, Indonesia harus tunduk dan patuh akan hal tersebut, tidak terkecuali dalam hal perpajakan. Ottmar Buhler membagi hukum pajak internasional dalam arti sempit dan hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum antar bangsa

(hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas ialah kaedahkaedah hukum antar bangsa., Menurut Rosendorff, hukum pajak internasional sebagai keseluruhan hukum pajak nasional dari semua negara yang ada di dunia. Menurut PJA Adriani , hukum pajak internasional ialah keseluruhan peraturan yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masing-masing negara. Pengertian hukum pajak internasional itu merupakan suatu pengertian yang lebih luas dari pada pengertian pajak ganda dan hukum pajak nasional itu termasuk di dalam hukum pajak internasional. Hukum pajak internasional merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang- undang nasional mengenai : a. pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri; b. peraturan peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda; c. traktat-traktat. Menurut Negara-negara Anglo Sakson, hukum pajak internasional dibagi sebagai berikut : 1. hukum pajak nasional mengatur hukum pajak luar negeri (national

external tax law); 2. hukum pajak luar negeri (foreign tax law); 3. hukum pajak internasional (internasional tax law).

a) National External Tax Law National external Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya (subjek ada di luar negeri). b) Foreign Tax Law Foreign tax law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan- peraturan pajak dari negara-negara yang ada di seluruh dunia. c) Internasional Tax Law Internasional tax law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum pajak internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lain sebagainya, dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima

baik oleh negara-negara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan.

Sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di dunia, maupun mempunyai kaedah-kaedah nasional yang

sebagai objeknya pengenaan pajak dalam mana dapat ditunjukkan adanya

unsur-unsur asing, hal mana mungkin dapat menimbulkan bentrokan hukum antara dua negara atau lebih. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut: i). hukum pajak internasional adalah merupakan hukum yang lebih luas baik ruang lingkup, kewenangan, dan kedudukannya; ii). hukum ini mengatur perjanjian seluruh negara yang terkait satu sama lain dengan negara domisili iii). hukum pajak nasional adalah merupakan bagian dari hukum

pajak internasional, dimana ketentuan hukum pajak nasional bila telah diatur dalam hukum pajak internasional tentang hal tersebut, maka ketentuan hukum pajak internasional yang digunakan; iv). hukum pajak internasional merupakan keseluruhan hukum pajak nasional di berbagai negara, dimana hukum tersebut juga diberlakukan pada hukum pajak nasional; v). hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah hukum pajak internasional yang mengatur kedua negara yang saling berkepentingan, sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas adalah hukum pajak internasional yang berlaku bagi seluruh negara. Pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaannya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda).

2.1.1 Perjanjian Internasional Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian antar negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekonomian negara tersebut. Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian

internasional harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas. Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk: a. ratifikasi (ratification); b. aksesi (accession); c. penerimaan (acceptance); d. penyetujuan (approval). Berakhirnya perjanjian internasional adalah apabila terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian, tujuan perjanjian tersebut telah tercapai, terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian, salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian, dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama, muncul norma-norma baru dalam hukum internasional, objek perjanjian hilang, terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

2.1.2 Jenis dan Penggolongan Perjanjian Internasional Menurut Mochtar Kusumaatmadja, jenis-jenis perjanjian internasional adalah sebagai berikut: a perjanjian bilateral, dan b.perjanjian multilateral Perjanjian bilateral artinya perjanjian antara dua pihak, sedangkan perjanjian multilateral berarti perjanjian antara banyak pihak. Contoh perjanjian bilateral adalah perjanjian Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok tentang dwi

kewarganegaraan, sedangkan perjanjian multilateral misalnya Konvensi Wina atau Konvensi Jenewa. Sedangkan jika dilihat dari pembuatan kontrak perjanjian dan

keterikatan negara-negara yang terkait dalam perjanjian, dibagi dua: a. kontrak perjanjian (treaty contract), dan b. perjanjian-perjanjian yang menimbulkan hukum (law making treaties). Kontrak perjanjian adalah suatu perjanjian hukum yang mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan law making treaties adalah perjanjian hukum yang meletakkan ketentuan dan kaidah hukum bagi masyarakat

internasional sebagai keseluruhan.

2.1.3 Perjanjian Perpajakan Internasional Perjanjian perpajakan internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang perpajakan. Perjanjian perpajakan internasional tersebut bentuknya adalah: a. persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty) b. cara penerapan (mode of application) c. tata cara persetujuan bersama (mutual agreement procedure) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian penghindaran pajak berganda antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (both contracting states). Beberapa pasal dalam P3B memerlukan aturan pelaksanaan yang lebih jelas mengenai ketentuan-ketentuan tersebut (mode of application), misalnya tentang dividen dan bunga. Sedangkan jika terdapat pasal

perbedaan penafsiran atau penerapan

yang bertentangan dengan P3B antara kedua negara, maka diperlukan adanya mutual agreement procedure.

2.2 Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji, sehingga dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber hukum terebut antara lain : A. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur asing, antara lain : a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.; b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT); c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subyek Pajak;

d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang: Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak

Termasuk Subyek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap; e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan; f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak Luar Negeri; g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.

B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat: a. Perjanjian bilateral; b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). c. Perjanjian multirateral Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.

C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak Internasional. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.

Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan

perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax treaty berbagai negara. Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah Traktat antar negara utuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai obyeknya. Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD 1945, namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa yang dapat membatasi wewneng ini. Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional, maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan dalam dunia internasional dan berdampak terhadapperekonomian negara Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta menjalankan konvensi tersebut

2.3

Aspek Perpajakan Internasional Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang

perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Salah satu jenis pajak yang berlaku di Indonesia dan memiliki peranan penting dalam penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (pph) yang pertama kali diberlakukan pada tahun 1984 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983. Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif di mana jenis pajak ini bisa dikenakan apabila syarat subjektif dan objektif terpenuhi bagi orang atau badan. Pada umumnya hampir semua orang atau badan di Indonesia akan memenihi syarat subjektif dan jika orang atau badan ini memperoleh penghasilan maka syarat objektif juga terpenuhi. Jika subjek pajak yang dikenakan pph adalah WNI yang penghasilannya berasal dari Indonesia juga, maka tidak ada aspek pajak internasional dalam kasus ini. Namun demikian, karena definisi subjek pajak tidak dikaitkan dengan kewarganegaraan maka terdapat kemungkinan ada warga Negara asing atau badan asing yang dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan di Indonesia. Dalam kasus seperti ini, Pajak Penghasilan sudah menyentuh aspek pajak internasional. Aspek pajak internasional juga akan terjadi bila seorang WNI atau badan Indonesia menerima atau

memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena Pajak Penghasilan Indonesia menerapkan prinsip worldwide income sehingga penghasilan dari luar negeri di atas juga merupakan objek Pajak Penghasilan Indonesia. Dalam paragra-paragraf berikut saya coba untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008). 2.3.1 Subjek Pajak Luar Negeri Dalam pengenaan Pajak Penghasilan, dikenal dua jenis subjek pajak yaitu subjek pajak dalam negeri (disingkat SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN). SPDN terdiri dari SPDN Orang Pribadi dan SPDN Badan. SPDN Orang Pribadi adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Sementara itu SPDN Badan adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. SPLN adalah kebalikan dari SPDN dalam arti orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tidak berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan suatu tahun pajak tidak berada di Indonesia dan tidak mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. SPLN yang berbentuk badan adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Kedua kelompok di atas (SPLN Orang Pribadi dan SPLN Badan) baru bias disebut SPLN jika memdapatkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Nah, dilihat dari cara mendapatkan penghasilannya dari Indonesia, SPLN ini terbagi menjadi dua jenis. Pertama adalah SPLN yang mendapatkan penghasilan dengan memiliki tempat usaha tetap di Indonesia. Tempat usaha tetap ini biasa disebut Bentuk Usaha Tetap (BUT). Kedua, SPLN yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT di Indonesia. Kedua bentuk SPLN ini selanjutnya disebut SPLN BUT dan SPLN Non BUT. 2.3.2 Bentuk Usaha Tetap Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh SPLN (baik orang pribdai atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Perwujudan BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet. 2.3.3 Penghasilan BUT Penghasilan yang menjadi objek pajak bagi BUT, sebagaimana di dalam Pasal 5 ayat (1) UU pph, terdiri dari tiga jenis yaitu ; 1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai. 2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia 3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud Penghasilan BUT yang pertama adalah penghasilan sebenarnya BUT dari harta yang dimiliki atau dikuasainya di Inonesia. Penghasilan yang kedua merupakan penerapan force of attraction rule di mana walaupun penghasilan ini adalah penghasilan kantor pusat BUT di luar negeri, tetapi karena berasal dari penjualan atau pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan BUT, maka penghasilan ini ditarik sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia. Penghasilan yang ketiga merupakan penerapan atribusi karena hubungan efektif di mana jika kantor pusat BUT menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga, dividend dan royalty dari suatu perusahaan di Indonesia dan perusahaan ini mempunya hubungan efektif

dengan BUT, maka penghasilan ini akan diatribusi juga kepada BUT di Inonesia. Tidak ada definisi kelas tentang hubungan efektif ini namun demikian, hubungan yang efektif ini bisa digambarkan sebagai hubungan ketergantungan atau hubungan yang saling menguntungkan antara BUT dan perusahaan yang memberikan dividen, bunga atau royalty kepada kantor pusat BUT. 2.3.4 Biaya BUT Selain tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 UU pph, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (3) UU pph. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU pph, biaya-biaya yang terkait dengan penerapan force of attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT. Sementara itu berdasarkan Pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 2.3.5 Kredit Pajak Luar Negeri pph Pasal 24 Terkait dengan prinsip worldwide income di atas, SPDN yang memperoleh penghasilan dari luar negeri akan dikenakan pph di Indonesia. Negara tempat sumber penghasilan di atas juga kemungkinan besar akan mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negaranya. Dengan demikian, besar kemungkinan akan terjadi pengenaan pajak berganda di mana dua yurisdiksi perpajakan yang berbeda mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang diperoleh subjek pajak yang sama. Untuk menghindari pengenaan pajak berganda ini, UU pph secara unilateral memberikan solusi dengan adanya Pasal 24 UU pph. Pasal ini mengatur bahwa atas pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak dalam negeri.Namun demikian, besarnya pajak yang bisa dikreditkan dibatasi tidak boleh melebihi penghitungan pajak terutang berdasarkan UU pph. Dalam menghitung besarnya maksmum kredit pajak pph Pasal 24 ini, UU pph menerapkan metode pembatasan tiap negara (per country limitation). Untuk itu maka penentuan Negara sumber penghasilan menjadi penting. Masalah ini diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UU pph di mana penentuan Negara sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut : 1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan

2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada 3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak 4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada 5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan 6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada 7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada 8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada 2.3.6 Witholding Tax pph Pasal 26 Penghasilan yang diterima atau diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia merupakan objek pemotongan pph Pasal 26. Dilihat dari cara pemotongannya, jenis penghasilan yang menjadi objek withholding tax pph Pasal 26 ini adalah : 1. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari bruto. Penghasilan yang termasuk kelompok ini adalah dividen, bunga, sewa, royalty, imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pension, premi swap dan keuntungan pembebasan hutang. 2. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari Perkiraan Penghasilan Neto. Termasuk dalam kelompok ini adalah capital gain atas penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Termasuk dalam kelompok ini adalah penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU pph. 3. Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia

2.4

Pengertian dan Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian pajak antara dua negara

bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both Constracting States). Sedangkan menurut penulis setelah membahas babbab sebelumnya dan bab yang akan datang, definisi perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna

mengatur hak pemajakan agar tidak menghambat investasi antara kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan dan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan tujuan P3B adalah mencegah seminimal mungkin terjadinya pemajakan berganda. Disamping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu a. mencegah timbulnya pengelakan pajak; b. memberikan kepastian; c. pertukaran informasi; d. penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B; e. non diskriminasi; f. bantuan dalam penagihan pajak; g. penghematan dalam cash flow. Tujuan P3B adalah sebagai berikut: a. tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha; b. peningkatan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri; c. peningkatan sumber daya manusia; d. pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak; e. keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara.

a. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha Dengan P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili. b. Peningkatan investasi modal dari luar negeri. Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman saham, royalti dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi,

maka dipastikan penduduk asing akan berpikir ulang bahkan menjadi ragu untuk menanamkan modal di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. c. Peningkatan sumber daya manusia. Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dipastikan dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang lebih memadai. Apabila penghasilan mahasiswa dan karyawan yang sedang melakukan pendidikan dan pelatihan dikenakan pajak, maka akan membebani mereka sehingga mereka lebih baik tidak belajar di luar negeri atau menambah ilmu di luar negeri di mana mereka belajar atau bekerja. Hal ini jika diberlakukan maka sumber daya manusia salah satu negara tersebut akan mengalami keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan. d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak Dengan adanya informasi yang saling berhubungan antar kedua negara, maka

penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di kedua negara menjadi jelas terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin. Negara yang terkait dengan tax treaty, dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di negara sumber, misalnya dengan mengirimkan bukti penerimaan dari negara sumber. Informasi penghasilan

penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh

penerima penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali di akhir tahun pajak. e. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara. P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadakan tax treaty tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.

2.5

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Penerapan prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang melibatkan dua

atau lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda internasional, baik yuridis maupun ekonomis. Secara ekonomis pajak berganda internasional (PBI) tersebut memperberat beban usaha, investasi dan, kegiatan internasional lainnya sehingga dapat menghambat mobilitas sumberdaya dimaksud. Sebagaimana terjadi dalam bidang investasi, perdagangan, produksi

dan distribusi, sains dan teknnologi dimana terdapat jaringan kerja sama antarnegara baik regional maupun global, dalam sektor perpajakan untuk mengindari beban ekonomis dari PBI tersebut juga terdapat jaringan kerja sama antarnegara yang dilakukan dengan menutup perjanjian penghindaran pajak berganda (.tax treaty; P3B).. Menurut Surrey, (1980), P3B merupakan perjanjian bilateral (namun dalam kasus tertentu dapat multilateral) yang ditutup oleh dua negara dengan tujuan utama untuk menentukan solusi terhadap (PBI) yang disebabkan oleh implementasi hak pemajakan (berdasarkan ketentuan domestik) kedua negara atas suatu objek (subjek) yang sama.

2.5.1 Dasar Hukum P3B P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status legal sebagai perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian pembuat undang-undang (lawmaking treaties) berdasar hukum publik internasional karena disepakati (pemerintah) negaranegara (contracting states) dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum publik internasional (knechtle; 1979). Negara (Pemerintah) Indonesia dapat menutup P3B yang menyatakan berdasar amanat Pasal 11 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Selanjutnya Pasal 4 (1) Undang-Undang No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional antara lain menyatakan bahwa Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Khusus untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh menyatakan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Dalam kerangka hukum internasional Vogel (1991) menyatakan bahwa P3B merupakan perjanjian internasional dan berkekuatan law-makin treaties karena kreasi dan konsekuensinya tunduk pada The Viena Convention on The Law of Treaties tanggal 23 Mei 1969 (.Konvensi Wina.). Walaupun terdapat communis opini doctorum (pendapat yang berterima umum), bahwa di atas kekuasaan suatu negara diakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi, yaitu hukum antar negara (public internatonal law; Brotodiharjo; 1971), namun ketentuan di berbagai negara berbeda. Ada negara yang menyatakan perlu diratifikasi agar menjadi bagian dari hukum nasional yang mengikat warga, namun ada negara yang menyatakan tidak perlu. Pasal 3 UU No 24 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah mengikatkan diri pada perjanjian internasional antara lain melalu pengesahan. Selanjutnya

Pasal 9 (2) menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Khusus untuk P3B karena materinya tidak termasuk dalam kewenangan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2000. Pasal 11 menyatakan bahwa pengesahan dilakukan dengan keputusan presiden yang salinannya disampaikan kepada DPR (sebagai lembaga legislative). Karena lebih bersifat teknis administrative (Darussalam dan Septriadi; 2006), maka ratifikasi P3B cukup dilakukan dengan keputusan presiden. Dengan pertukaran nota diplomatic antara Indonesia dengan negara mitra runding., P3B mulai berlaku di kedua negara mitra runding tersebut.

2.5.2 Model Perjanjian Dampak kurang kondusif dari PBI terhadap arus pertukaran barang dan jasa dan mobilitas sumber daya dan dana, sains dan teknologi, telah diketahui secara meluas sehingga upaya untuk mengeliminasi pajak berganda merupakan salah satu instrumen dari pengembangan hubungan ekonomi antarnegara. Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara domisili yang menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan pemberian keringanan PBI seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara secara bersama-sama dapat mengupayakan eliminasi PBI. Upaya eliminasi tersebut biasanya dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Walaupun dalam ketentuan domestik (misalnya Pasal 24 UU PPh) sudah tersedia keringanan PBI namun P3B paling kurang memberikan tiga kelebihan (Van Raad; 1986). Kelebihan yang dimaksud adalah (1) P3B dapat memberikan keringanan lebih baik dari ketentuan domestik (misalnya pengecualian), (2) memungkinkan harmonisasi saat pemajakan antara negara domisili dan sumber, dan (3) tujuan lainnya. Perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada US Model. Model OECD dirumuskan selaras dengan kebutuhan harmonisasi hubungan perpajakan antara negara anggota OECD, sebagai organisasi dari negara-negara industri maju dengan kekuatan ekonomi yang cukup untuk melakukan investasi ke mancanegara. Situasi demikian merupakan dasar pijakan alokasi penerimaan pajak dari kegiatan lintas batas antara para anggota domisili berdasarkan keseimbangan ekonomi dan resiprositas pengorbanan penerimaan.

Sebagai akibat dari kemampuan untuk saling berdagang dan berinvestasi pada setiap wilayah, pengorbanan penerimaan pada negara sumber sebagai aplikasi prinsip residensi akan dialami timbal balik (resiprositas) antarnegara anggota. Model OECD dikonsepkan dengan berlandaskan dua premis, yaitu pertama hak pemajakan utama kebanyakan diberikan kepada negara domisili wajib pajak. Negara sumber harus rela untuk melepaskan klaim pemotongan pajak sumber (withholding tax at source) mereka harus mengurangi tarif pajaknya untuk memberikan kepastian bahwa beban pajak negara sumber selalu dapat diserap oleh batasan kredit pajak negara residen (kalau keduanya) diperbolehkan menerapkan ketentuan pajak domestiknya, keringanan pajak berganda diberikan dengan meminta negara residens untuk menyediakan kredit atau bebas pajak atas penghasilan yang telah dikenakan pajak oleh negara sumber. Di pihak lain, UN Model, yang secara khusus didesain untuk P3B antara negara maju dan berkembang, dirumuskan berdasarkan premis bahwa OECD Model, yang kebanyakan meminta negara sumber untuk merelakan penerimaan pajaknya, kurang tepat untuk dipakai sebagai panduan P3B antara negara maju dan berkembang. Hal itu disebabkan oleh karakteristik hubungan ekonomi negara maju dengan negara berkembang yang diwarnai oleh ketimpangan arus penghasilan antarkedua kelompok negara tersebut (penghasilan dari negara berkembang lebih besar mengalir ke negara maju). Arus penghasilan satu arah tersebut menyebabkan pengorbanan yang kurang proposional dan kurang adil dalam pembagian penerimaan pajak dari objek pajak lintas batas dan sepertinya mengesampingkan kepentingan pemajakan negara sumber (berkembang). Kurangnya penerimaan negara berkembang tersebut menyebabkan terbatasnya dana penyediaan fasilitas umum dan jasa publik lainnya. Selain menyebabkan kurang kondusifnya iklim investasi di negara berkembang, keterbatasan dana juga menyebabkan tidak mampunya negara berkembang yang umumnya sebgai negara pengutang untuk membayar utang luar negeri dan dalam negerinya.

2.5.3 Sifat P3B Istilah .treaty. dan .convention. sering dipakai secara bersamaan dan saling dipertukarkan. Sehubungan dengan kedua istilah tersebut, Pires (1989) berpendapat bahwa konvensi dapat dikaitkan dengan perjanjian secara umum, yang salah satu bentuknya adalah .treaty.. Perjanjian (.agreement.) merupakan konvensi dengan tujuan kultural dan ekonomi serta dalam bentuk sederhana. Konvensi untuk mengeliminasi pajak berganda umumnya dirumuskan dalam bentuk .treaty.. Sebagai perjanjian bilateral, sesuai dengan hukum publik internasional, P3B bersifat mengikat kedua negara (contracting states). Selanjutanya,

menurut Knechtle (1979), P3B yang ditutup suatu negara (Indonesia) juga mempunyai validitas internal domestik dan menjadi self executing. Sehubungan dengan penghindaran pajak berganda, P3B mempunyai kemungkinan yang dapat bersifat restriktif atau ekspansif. Sebagai elemen dari hukum internasioanl, sesuai dengan prinsip negatif efek, P3B membatasi aplikasi dari ketentuan domestik (kewenangan mengenakan pajak). Sementara itu, perluasan hak pemajakan tidak bisa diperoleh hanya dengan menciptakan kewajiban pajak yang tidak tersurat (ada) dalam ketentuan domestik atau dengan mengeliminasi keringanan dalam ketentuan domestik (dengan ketentuan pada P3B). Sehubungan dengan kewajiban pajak, Van Raad (1986) menyatakan bahwa kewajiban tersebut hanya dapat dikenakan berdasarkan ketentuan domestik (misalnya undang-undang perpajakan) dan bukan dengan P3B. begitu juga keringanan (pembebasan) pajak pada ketentuan domestik tetap ada dan tidak terhapus oleh rumusan pada P3B. Hanya untuk tujuan aplikasi P3B dengan suatu negara tertentu ketentuan domestik tersebut dikesampingkan.

2.5.4 Struktur P3B Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia, yaitu (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada US Model

2.6

Penyebab Pajak Berganda Internasional Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan

domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation). Oleh para investor dan pengusaha, pajak ganda tersebut dianggap kurang memperlancar mobilitas arus investasi, bisnis, dan perdagangan internasional. oleh karena itu, perlu dihilangkan atau diberikan keringanan. Selain diatur dalam ketentuan pajak domestik, keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya juga diatur dalam P3B. Pajak Berganda Internasional (selanjutnya dalam modul ini disebut PBI) muncul apabila terdapat benturan yurisdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat (negara) maupun pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat pada masing-masing negara (overlapping of tax jurisdiction in the international sphere).

Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai terjadi? Dalam hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan melaksanakan pemajakan terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian fiskal (fiscal allegiance) dengan negara pemungut pajak dan berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuan domestik. Seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara pemungut pajak tersebut terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang bertempat kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak akan terjadi PBI karena mungkin tidak terjadi benturan hak pemajakan dengan negara lain. atau apabila tarif pajak di negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili cukup rendah, beban pajak berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang hak pemajakan utama (primary taxing rights) dan yang dikenakan di negara domisili sebagai pemegang hak pemajakan skunder (secondary taxing rights) secara wajar masih dalam jumlah yang terjangkau oleh pembayar pajak. Dalam Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara pengekspor menganut prinsip negara asal (origin principle; pemajakan oleh negara asal barang dan jasa), dipihak lain, negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan (destination principle; Pemajakan oleh negara tujuan atau negara konsumen). PBI berkenaan dengan Pajak Penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di awal bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara negara-negara mempunyai pertalian ekonomis, menerapkan azas pembagian hak pemajakan secara tidak bersamaan.

2.7

Metode Penghindaran Pajak Berganda Internasional Secara ekonomis pajak merupakan pengorbanan suberdaya (kemampuan ekonomis)

yang harus ditanggung oleh pengusaha (dan masyarakat). Pajak berganda sebagai akibat dari pemajakan oleh dua ketentuan pemajakan (dari dua negara) memberikan tambahan beban ekonomi terhadap pengusaha. Sementara, perluasan usaha ke mancanegara sudah mengundang tambahan risiko dibanding dengan usaha dalam negeri, pemajakan berganda telah ikut memperbesar risiko tersebut. Kalau tidak ada upaya untuk mencegah atau meringankan beban pajak berganda tersebut, PBI dapat ikut memicu ekonomi global dengan biaya tinggi dan menghambat mobilitas global sumberdaya ekonomis. Oleh karena itu, tampak bahwa sudah merupakan kebutuhan internasional antarnegara untuk mengupayakan agar kebijakan perpajakannya bersifat netral terhadap kompetisi internasional. Netralitas tersebut dicapai dengan penyediaan keringanan atau eliminasi atas PBI.

Secara tradisional terdapat beberapa metode penghindaran PBI, seperti (1) pembebasan/pengecualian, (2) kredit (tax credit), dan (3) metode lainnya. Kedua metode pertama merupakan bentuk eliminasi atau keringanan PBI yang diikuti oleh kebanyakan negara. Ketiga metode tersebut akan dibahas dibawah ini. 1. Pembebasan/pengecualian Metode pembebasan (exemption)/pengecualian (exclusion) berupaya untuk

sepenuhnya mengeliminasi PBI. Metode tersebut menghendaki suatu negara pemegang yurisdiksi pemajakan sekunder (domisili) untuk dengan rela melepaskan hak pemajakannya dan sepertinya mengakui pemajakan eksklusif di negara lain (negara sumber). Metode eksemsi meliputi pembebasan (1) subjek, (2) objek, dan (3) pajak. Pembebasan subjek (subject exemption) umumnya diberlakukan terhadap anggota korps diplomatic, konsuler, dan organisasi internasional. para duta besar, anggota korps diplomatic dan konsuler, sesuai dengan hukum internasional mendapat privelege pemajakan. Mereka hanya dikenakan pajak oleh negara pengirimnya saja (sending state). Ketentuan pemberian privelege (hak istimewa) tersebut diiktui oleh (hampir) semua negara secara universal dan dikenal dengan istilah .asas reprositas. (tet) Pembebasan objek (object, income exemption), yang lebih dikenal dengan full exemption atau exemption without progression, diberikan dengan mengeluarkan penghasilan luar negeri dari basis pemajakan WPDN negara tersebut. Exemption without progression (eksemsi tanpa progresi) maksudnya adalah bahwa penghasilan luar negeri dari WPDN betul-betul dibebaskan dari pengenaan pajak dengan mengeluarkannya (mengecualikannya) dari dasar pengenaan pajak (basis pajak) sehingga tidak akan masuk dalam unsur penghitungan progresi (progresivitas) tarif pengenaan pajak negara domisili.

Pilihan ketiga dari metode pembebasan ini adalah pembebasan pajak (tax exemption) atau dikenal dengan exemption with progression. Dalam metode ini, pada prinsipnya penghasilan luar negeri tetap dibebaskan dari pengenaan pajak domestik, namun untuk keperluan penghitungan pajak dan penerapan tarif pajak pengaruh progresi penghasilan luar negeri terhadap pengenaan pajak atas penghasilan global dipertahankan. Apabila negara residen memperlakukan tarif sepadan (prporsional atau flat), maka pengaruh progresi tersebut adalah nihil. Progresi akan berpengaruh positif atau menguntungkan wajib pajak apabila penghasilan luar negeri negatif (rugi),

karena kerugian tersebut dapat merupakan pengurang basis penghitungan pajak atas penghasilan global. Hal ini merupakan salah satu perbedaan utama antara metode pembebasan penghasilan (object exemption) dengan pembebasan pajak (tax exemption). Pengaruh progresi akan efektif di negara penganut tarif pajak progresif seperti Indonesia. 2. Kredit Pajak Metode kredit pajak terdiri dari beberapa metode, yaitu (1) Metode Kredit Penuh (full tax credit mothode), (2) Metode Kredit Terbatas (ordinary atau normal credit mothode) dan (3) Kredit Fiktif (mathcing atau sparing credt methode). Dalam tataran lain, sehubungan dengan investasi pada anak perusahaan di luar negeri, dapat dibedakan antara kredit langsung dan kredit tidak langsung.

Metode kredit penuh (full tax credit methode) mengurangkan pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri sepenuhnya terhadap pajak domestik yang dialokasikan atas penghasilan tersebut. Metode kredit pajak biasa (ordinary atau normal credit) memberikan keringanan pajak berganda internasional yang berupa pengurangan pajak luar negeri atas pajak nasional yang dialokasikan pada penghasilan luar negeri dengan batasan jumlah yang terendah antara (1) pajak domestik yang dialokasikan kepada penghasilan luar negeri (batasan teoritis), dan (2) pajak yang sebenarnya terutang atau dibayar di luar negeri (batasan faktual) atas penghasilan dimaksud yang termasuk dalam penghasilan global. Dalam metode kredit biasa, apabila penghasilan luar negeri diperoleh dari beberapa negara, maka kredit pajak dapat dihitung secara bergabung (oveall) atau tiap negara (per country limitation). Pemberian kredit bergabung lebih menguntungkan wajib pajak dengan diperbolehkannya kompensasi antara (1) penghasilan positif dengan negatif dan (2) tarif tinggi dengan tarif rendah (sebelum dihitung jumlah maksimum pajak yang dapat dikreditkan). Disamping itu, atas penghasilan dari anak perusahaan luar negeri yang berupa dividen, selain kredit atas pajak dari dividen (kredit langsung; direct tax credit) dapat pula diberikan kredit atas pajak dari laba anak perusahaan yang terkait dengan dividen tersebut (indirect tax credit). 3. Metode Lainnya

Sehubungan dengan metode pemberian keringanan pajak berganda internasional, selain metode eksemsi dan kredit, dalam buku International Juridicial Double Taxation on income, Manual Pires menyebut beberapa metode sebagai berikut: 1. 2. Pembagian pajak (tax sharing)antara negara domisili dan sumber, Pembagian hak pemajakan (division of taxing power) dengan penentuan tarif pajak maksimum atas penghasilan yang diperoleh WPLN yang dapat dipungut oleh negara sumber, 3. Keringanan tarif (reduction of the rate) terhadap penghasilanluar negeri yang harus diberikan oleh negara dimisili, 4. Pengurangan pajak (rudction of the tax) dengan suatu jumlah tertentu (persentase) dari penghasilan luar negeri, dan 5. Pemajakan dengan jumlah tetap (lumpsum atau forfait taxation). Sementara itu, beberapa metode keringanan PBI yang dihubungkan dengan penghasilan termasuk; Klarifikasi (atribusi, divisi, atau distribusi) penghasilan sesuai dengan kategori tertentu untuk menentukan pemajakan antara negara sumber dan domisili, Pengurangan pajak luar negeri dari penghasilan kena pajak (deduction method) dan Pengurangan penghasilan luar negeri dengan suatu jumlah tertentu (atau seluruhnya).

BAB III PEMBAHASAN KASUS

3.1

Kasus Pajak Berganda Seorang berkewarganegaraan Indonesia berdomisili di Australia. Ia memiliki

perusahaan di Fillipina. Negara manakah yang berhak memungut pajak darinya? 3.1.1 Penjelasan Pembahasan Perkembangan yang terjadi saat ini menunjukkan peningkatan hubungan antar masyarakat bangsa dari berbagai penjuru hingga membuat batas-batas negara memudar. Hal itu terbukti pada kasus ini. Dimana seorang berkewarganegaraan Indonesia yang berdomisili di Australia dan memiliki perusahaan di Fillipina. Untuk memahami kasus ini, kita harus memulai mengkaji dari pengertian pajak ganda internasional. Menurut Volkenbond (League of Nation), pajak ganda internasional dapat terjadi jika pajak-pajak dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian rupa sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negaranegara lebih dari satu, memikul beban pajak lebih besar daripada jika mereka dikenakan pajak di satu negara saja. Penyebabnya, tiap-tiap negara yang berdaulat di dunia ini mempunyai kebebasan untuk menentukan asas mana yang akan mereka gunakan terhadap objek dan subjek pajak internasional yang akan dikenainya. Hal itu memungkinkan pemberlakuan dua atau lebih system/tata hukum dari negara-negara yang berlainan terhadap subjek pajak tertentu pada saat yang sama. Selanjutnya. Suatu negara dapat memungut pajak apabila memiliki hubungan ekonomi dengan wajib pajak. Hubungan ekonomi itu adalah: 1) karena dalam suatu negara terdapat sumber pendapatan seseorang (yang berdomisili di negara lain), 2) karena dalam wilayah suatu negara terdapat seluruh (bagian dari) kekayaan seseorang (yang berdomisili di negara lain), 3) karena hak-hak atas bagian dari suatu kekayaan di suatu negara (milik orang yang berdomisili di negara lain) hanya dapat digunakan di negara itu saja, atau 4) karena kekayaan dikonsumsi (atau digunakan lain) dalam suatu negara (tempat seseorang bertempat tinggal), yaitu negara domisili. Menurut communis opinion doctorum, hubungan yang terkuat adalah yang ke-1 dan ke-4. Maka dari itu, negara-negara yang bersaing kebanyakan dari negara debitur sumber) dan negarakreditur (domisili). Seperti disebutkan di atas, bahwa pajak berganda ini hanya da[at terjadi apabila negara kreditur atau debitur menggunakan asas pajak yang berbeda terhadap

suatu Tatbestand (sasaran pengenaan pajak). Dalam kasus ini harus dilihat dulu asas apa yang digunakan oleh ketiga negara. Dalam kasus ini ketiga negara dimisalkan menggunakan asas yang berbeda. Misalnya, Indonesia menerapkan asas kebangsaan, Australia menerapkan asas domisili dan Fillipina ,menerapkan asas sumber, maka pengenaan pajak terhadap penghasilan orang tersebut dapat dikenakan oleh Indonesia, Australia maupun Fillipina. Dengan demikian, sebenarnya akan lebih adil apabila terhadap satu sasaran pajak (tatbestand) itu hanya dikenakan pajak satu kali saja, maka akan jauh lebih adil dan tidak memberatkan subjek pajak. Perlu dicatat bahwa pajak ganda internasional tidak akan terjadi apabila semua negara menerapkan asas pemungutan pajak yang sama.

3.2

Kasus Transfer Pricing Kegiatan ini adalah mentransfer laba dari dalam negeri ke perusahaan dengan

hubungan istimewa di negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan membayar harga penjualan yang lebih rendah dari harga pasar, membiayakan biayabiaya lebih besar daripada harga yang wajar, thin capitalization (memperbesar utang dengan beban bunga untuk mengurangi laba). Misalnya: tarif pajak di Indonesia 28%, di Singapura 25%. PT A punya anak perusahaan B Ltd di Singapura, maka laba di PT A dapat digeser ke B Ltd yang tarifnya lbh kecil dengan cara B ltd meminjamkan uang dengan bunga yang besar, sehingga laba PT A berkurang, memang pendapatan B Ltd bertambah namun tarif pajaknya lebih kecil. Hal bisa juga dilakukan dengan PT A menjual rugi (mark down) barang dan jasa (harga jual di bawah ongkos produksinya) ke B Ltd. Di Indonesia, transfer pricing dicegah dalam UU pph pasal 18 dimana pihak fiskus berhak mengkoreksi harga transaksi, penghitungan utang sebagai modal dan DER (Debt Equity Ratio).

BAB IV PENUTUP

4.1

Kesimpulan Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan aspek

perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara, agar tidak menghambat investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan transaksi tersebut. Sehingga diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap negara dipastikan mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Namun apakah setiap negara bebas melakukan penghitungan pajak untuk badan/warga negara lain? Pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina. Menyadari bahwa perkembangan dunia begitu pesat, kebijakan perpajakan Indonesia harus selaras dengan standar perpajakan internasional dengan tetap memperhatikan kepentingan Indonesia sebagaimana dituangkan dalam ketentuan UU domestiknya atau National Tax Law (dalam hal ini Undang-Undang Pajak Penghasilan) dalam mengantisipasi perkembangan dunia yang begitu pesat dan mengakomodasi kepentingan Indonesia dalam setiap pembuatan kebujakan perpajakan dengan negara-negara sahabat.

DAFTAR PUSTAKA

Brotodihardjo, R. Santoso. S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1986, hlm. 219. Prof. Gunadi. 2007. Pajak Internasional. LPFEUI

Soemitro, Rochmat. , 1977. Hukum Pajak Internasional Indonesia. Bandung : PT. Eresco Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, mengenai perjanjian internasional WEBSTIE : Http://natanedan.wordpress.com/2009/12/08/sekilas-tentang-pemajakan-internasional-olehnany-ariany/http://www.pajak.go.id