makalah hukum kejahatan internasional

11
MAKALAH HUKUM KEJAHATAN INTERNASIONAL KARAKTERISTIK HUKUM KEJAHATAN INTERNASIONAL KEWAJIBAN ATAU HAK MENGEKSTRADISI OLEH : ARWAN ARSYAD B111 07 264 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010

Upload: arwan-black

Post on 27-Jun-2015

1.834 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Hukum Kejahatan Internasional

MAKALAH HUKUM KEJAHATAN INTERNASIONAL

KARAKTERISTIK HUKUM KEJAHATAN INTERNASIONAL

KEWAJIBAN ATAU HAK MENGEKSTRADISI

OLEH :

ARWAN ARSYAD

B111 07 264

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2010

Page 2: Makalah Hukum Kejahatan Internasional

Kewajiban atau Hak mengekstradisi

Objek hukum pidana internsional adalah tindak pidana internasional atau kejahatan internasional atau international crime. Definisi tindak pidana internasional (kejahatan internasional atau international crimes) telah dikemukakan oleh Bassiouni sebagai berikut, “International crimes is any conduct which is designated as a crime in a multilateral convention will a significant number of state parties to it, provided the instrumen contains one of the ten penal characteristics.”(tindak pidana internasional adalah setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi-konvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah tertentu negara-negara peserta, sekalipun di dalamnya terkandung salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana).

Sepuluh karakteristik pidana, seperti disebutkan dalam definisi di atas terdiri dari:

a. Explicit recognition of proscribed conduct as constituting an international crime or crime under international law (pengakuan secara eksplisit tindakan-tindakan yang dipandang sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional);

b. Implicit recognition of the penal nature of the act by establishing a duty to prohibit, prevent, prosecute, punish, or the like (pengakuan secara implisit sifat-sifat pidana dari tindakan-tindakan tertentu dengan menetapkan suatu kewajiban untuk menghukum, mencegah, menuntut, menjatuhi hukuman atau pidananya);

c. Criminalization of the proscribed conduct (kriminalisasi atas tindakan-tindakan tertentu);

d. Duty or right to prosecute (kewajiban atau hak untuk menuntut);e. Duty or right to punish the proscribed conduct (kewajiban atau hak untuk

memidana tindakan tertentu);f. Duty or right to extradate (kewajiban atau hak mengekstradisi);g. Duty or right to cooperate in prosecution, punishment, including judicial

assistance in penal proceeding (kewajiban atau hak untuk bekerjasama dalam hal penuntutan, pemidanaan, termasuk bantuan yudisial dalam proses pemidanaan);

h. Establishment of a criminal jurisdictional basis (penetapan suatu dasar-dasar jurisdiksi kriminal);

i. Reference to the establishment of an international criminal court (referensi pembentukan suatu pengadilan pidana internasional);

j. Elimination of the defense of superior orders (penghapusan alasan-alasan perintah atasan).

Salah satu karakteristik kejahatan yang akan dibahas lebih lanjut adalah Kewajiban atau Hak Mengekstradisi. ekstradisi artinya suatu konsep hukum yang berlawanan dengan “tradisi” yang telah berabad abad dipraktikan antar bangsa-bangsa. Praktik “tradisi” tersebut adalah kewajiban setiap negara untuk menjadi “asylum” (pelindung) bagi siapa saja yang

Page 3: Makalah Hukum Kejahatan Internasional

memohon perlindungan, dan tradisi untuk memelihara kehormatan (hospitality) sebagai negara (tuan rumah) atas mereka yang memohon perlindungan tersebut. Arti atau makna lain dari ekstradisi adalah terdapat hubungan atau keterkaitan kepentingan antara dua negara yaitu negara yang meminta ekstradisi atau “requesting State party”, dan negara yang dimintakan ekstradisi, atau “requested State party”.

Ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya. Konsensus dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing, karena suatu prinsip sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk mengadili kriminal dari negara lain telah membentuk suatu jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi; kebanyakan negara di dunia telah menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya.

Berdasarkan sejarah ekstradisi maka ekstradisi sesungguhnya mencerminkan hubungan yang bersifat politis antar negara-negara yang berkepentingan sehingga hubungan ekstradisi dapat dilakukan secara formal melalui suatu perjanjian atau secara informal,atas dasar hubungan baik (comity).

Bassiouni membagi perkembangan ekstradisi dalam empat periode sebagai berikut:

Periode pertama, adalah sejak sebelum masehi sampai dengan abad ke 17, di mana ekstradisi hanya diperuntukkan bagi penjahat poliitk dan kejahatan penodaan terhadap agama.

Periode kedua, adalah dari abad 18 sampai dengan pertengahan abad 19,yaitu ekstradisi mulai dilandaskan pada perjanjian internasional dan terutama ditujukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan militer.

Periode ketiga, adalah dari tahun 1833 sampai dengan sekarang, dimana ekstradisi juga diperuntukkan bagi kejahatan-kejahatan umum(konvensional).

Periode keempat, adalah ekstradisi yang terjadi setelah tahun 1948, yaitu sejalan dengan perkembangan hak asasi manusia, maka pelaksanaan ekstradisi disyaratkan untuk tidak melanggar hak asasi tersangka, terdakwa atau terpidana(buron).

Di dalam teori dan praktik hukum internasional, ekstradisi memiliki 4(empat) karakter sebagai berikut:

a. Ekstradisi sebagai suatu kewajiban Negarab. Ekstradisi tanpa perjanjian;c. Ekstradisi dengan perjanjian bilaterald. Ekstradisi dengan perjanjian multilateral.

Page 4: Makalah Hukum Kejahatan Internasional

Grotius dan Vattel, sependapat bahwa kewajiban negara adalah menuntut dan menghukum pelaku kejahatan, atau menyerahkan ybs ke negara yang berkepentingan. Vattel menegaskan bahwa dalam hal kejahatan serius, ekstradisi merupakan kewajiban hukum suatu negara (legal obligation) berdasarkan hukum internasional. Sedangkan Grotius, berbeda dengan Vattel, menekankan ekstradisi merupakan kewajiban moral suatu negara untuk menyerahkan pelaku kejahatan kepada Negara peminta (requesting state). Pufendorf, berbeda dengan Grotius dan Vattel, menegaskan bahwa ekstradisi merupakan “imperfect obligation” ,suatu kewajiban yang bersifat semu yang menuntut suatu kebersamaan untnuk melaksanakan hukum internasional secara penuh dan efektif.

Praktik ekstradisi sampai saat ini mencerminkan pandangan Pufendorf di atas dibandingkan dengan pendapat Grotius dan Vattel., namun terdapat kecenderungan menguatkan pendapat Grotius dan Vattel. Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 1840 telah meletakkan prinsip “tidak ada kewajiban untuk mengekstradisi tanpa suatu perjanjian”. Sejak Putusan MA Amerika Serikat ini, maka pelaksanaan ekstradisi selalu berdasarkan suatu perjanjian. Putusan Pengadilan Federal Inggris mengenai ekstradisi telah dilaksanakan sejak tahun 1815.Bahkan Inggris telah memiliki Undang-undang Ekstradisi tahun 1870, yang menegaskan bahwa ekstradisi tidak dapat dilaksanakan tanpa ada suatu perjanjian terlebih dulu. Pendekatan di atas disebut sebagai pendekatan Common Law atas ekstradisi.

Selain ekstradisi dengan perjanjian masih banyak negara tanpa perjanjian ekstradisi telah melaksanakan ekstradisi, contoh, Brasil dengan 10 negara; Thailand, dengan tiga negara; Inggris dengan 44 negara, dan Amerika Serikat dengan 44 Negara.

Implementasi ekstradisi tanpa suatu perjanjian dilaksanakan melalui suatu proses yang disebut, “arrangement”. Pengertian istilah ini mengandung arti luas dan penting serta diterapkan dalam suatu pertukaran nota diplomatik mengenai seseorang individu tertentu. Sesungguhnya ekstradisi tanpa perjanjian di masa sekarang hampir jarang terjadi sehubungan dengan semakin kompleksnya hubungan internasional dalalm era globalisasi pasca perang dingin dan penuh dengan perbedaan kepentingan yang amat menyolok antar sesama negara.

Ekstradisi tanpa perjanjian sepenuhnya dilandaskan pada pemikiran aliran monistik mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang banyak dianut di negara-negara penganut sistem hukum Civil Law dibandingkan dengan negara penganut sistem hukum “Common Law”. Namun demikian banyak negara pendukung ekstradisi tanpa perjanjian telah menetapkan syarat yang ketat mengenai terlaksananya ekstradisi ini, antara lain, seperti UU Esktradisi Jerman (1929) telah mensyaratkan esktradisi tanpa perjanjian dapat dilaksanakan jika ada jaminan bahwa asas resiprositas akan dipenuhi oleh negara lain terhadap Jerman.

Perkembangan Ekstradisi pada abad 20 telah mengalami perubahan besar dibandingkan dengan sejak awal perkembangannya. Perkembangan awal ekstradisi sesuai dengan prinsip hukum internasional di mana Individu dipandang bukan subjek hukum internasional; tetapi akhir abad 19 dan awal abad 20, dengan semakin pesat perkembangan hak asasi manusia, individu tidak lagi dijadikan OBJEK ekstradisi melainkan telah

Page 5: Makalah Hukum Kejahatan Internasional

ditempatkan sebagai SUBJEK dalam setiap perjanjian ekstradisi dan pelaksanaan perjanjian Ekstradisi. Perkembangan ekstradisi tersebut diperkuat dengan keberadaan Model Law on Extradition (1990) yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa . Prinsip ekstradisi yang disetujui secara universal tercantum dalam Model Law on Extradition Perserikatan Bangsa-Bangsa –MLE-UN(1990), yaitu: prinsip Tidak Menyerahkan Kejahatan Politik, dan Penolakan atas dasar Kebahayaan proses penuntutan atau Peradilan yang Tidak Jujur, atau Penghukuman yang tidak dikehendaki(contoh,hukuman mati).

MLE -UN(1990) tersebut memuat 18 pasal dan yang sangat mencolok adalah secara rinci diatur perihal penolakan permohonan ekstradisi, baik yang bersifat “wajib”(mandatory) maupun bersifat “pilihan” (optional), sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 3 yang mengatur mengenai “Penolakan yang bersifat wajib” (mandatory grounds for refusal), dan Pasal 4 yang mengatur mengenai, “Penolakan yang bersifat opsional” (Optional ground for refusal). Tidak ada satupun ketentuan dalam MLE –UN(1990), yang mengatur mengenai kewajiban untuk “Menerima” permohonan ekstradisi.

Bertolak dari inti dari MLE-UN( 1990), terkesan bahwa PBB lebih mendahulukan mengenai prosedur daripada efektivitas pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional. Sedangkan tujuan utama dari konvensi-konvensi PBB mengenai kejahatan transnasional (Konvensi Palermo,2000) adalah meningkatkan kerjasama antara negara anggota PBB untuk mencegah dan memberantas kejahatan transnasional yang terorganisasi.

Implikasi dari perkembangan ekstradisi terkait perkembangan Hak Asasi Manusia, telah mengubah konsep ekstradisi semula yang hanya didasarkan pada meningkatkan efektivitas hubungan antara negara peminta (requesting State) dan Negara yang diminta (requested State) untuk tujuan pencegahan dan pemberantasan kejahatan, berubah tidak lagi bertumpu pada masalah tersebut melainkan lebih mengutamakan pada bagaimana cara yang benar dan tidak mengurangi efektivitas proses hubungan antara negara dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional.

Untuk memodernisasi konsep klasik mengenai ekstradisi, Bassiouni mengusulkan kerangka kerja konseptual , yaitu dengan mempertimbangkan 5(lima) faktor yang saling berkaitan satu sama lain,sebagai berikut:

a. Pengakuan kepentingan nasional dari Negara yang menjadi pihak dalam ekstradisi;

b. Adanya kewajiban internasional untuk memelihara, mempertahankan ketertiban dunia;

c. Pelaksanaan efektif standar minimum tentang, Kejujuran dan Keadilan terhadap hubungan antara Negara yang terikat dalam perjanjian ekstradisi

d. Kewajiban kolektif dari seluruh Negara memberantas kejahatane. Menyeimbangkan seluruh faktor2 di atas dalam kerangka kerja Penegakan

Hukum.

Kelima faktor berkaitan di atas bekerja atas dasar pertimbangan sebagai berikut:

Page 6: Makalah Hukum Kejahatan Internasional

o Kewajiban untuk memelihara ketertiban dunia tidak boleh melanggar

kedaulatan negara. Kepentingan ketertiban dunia harus dipertimbangkan dalam lingkup kepentingan nasional sebab konsep ini dilandaskan pada “kemerdekaan nasional” dalam ketergantungan internasional. Implementasi hak individual dalam proses ekstradisi bukan hanya masalah kepentingan kemanusiaan semata-mata akan tetapi merupakan pengakuan individu sebagai pihak (subjek hukum) di dalam hubungan kepentingan antar negara dan masyarakat internasional.

o Kerjasama yang seimbang dan bantuan dalam masalah pidana menguatkan

efektivitas ketertiban domestik di seluruh negara dan tidak harus tergantung dari efektivitas kompromi politik atau pengabaian hak individual

o Melekatkannya kepada Penegakan Hukum merupakan penjaga dan menjamin

eksistensi dan keberhasilan umat manusia.

Ditetapkannya dua sifat kewajian bagi setiap Negara untuk mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian ekstradisi di bawah payung hukum MLE UN 1990, memberikan peluang kepada setiap Negara untuk memilih dengan kesadaran akan hak dan kewajibannya, tunduk dan taat pada substansi suatu perjanjian ekstradisi beserta akibat hukum yang akan dihadapi Negara ybs.

Bertolak dari esensi substansi MLE UN 1990 di atas, PBB telah menetapkan suatu pedoman/petunjuk sebagai berikut:

a. Ekstradisi bukan suatu kewajiban internasional per se, melainkan merupakan pilihan (option) bagi negara-negara anggota PBB sepanjang dianggap perlu dan penting untuk dilakukan.

b. Ekstradisi bukanlah semata-mata suatu (norma) perjanjian melainkan merupakan komitmen moral setiap Negara untuk menentukan kepentingan dan relevansi suatu ekstradisi bagi kepentingan nasional dan kepentingan kerjasama internasional.

c. ekstradisi bukanlah semata-mata bertujuan untuk “menyerahkan seseorang tersangka/terdakwa”, melainkan merupakan komitmen setiap Negara untuk bersikap jujur, adil dan tidak memihak serta tidak diskriminatif yang dapat merugikan kepentingan tersangka/terdakwa.

d. Ekstradisi bukan hanya merupakan pencerminan efektivitas hubungan internasional di satu sisi, dan di sisi lain, dipandang sebagai “komoditi” yang patut “diperjualbelikan” oleh setiap negara; melainkan harus dipandang sebagai upaya setiap Negara untuk selalu menghormati dan memelihara komitmen terhadap hak asasi tersangka/terdakwa.

e. qz yang terpenting di dalam pelaksanaan ekstradisi sesuai dengan MLE UN 1990, adalah bukan terletak pada efektivitas penegakan hukum lintas batas teritorial melainkan terletak pada bagaimana seharusnya suatu prosedur ekstradisi harus dilaksanakan oleh setiap negara.

Page 7: Makalah Hukum Kejahatan Internasional

Dalam perjanjian ekstradisi penolakan atas ekstradisi di bedakan dalam dua bentuk penolakan yaitu penolakan yang bersifat wajib (mandatory obligation),dan penolakan yang bersifat opsional (non-mandatory obligation).

Prinsip Penolakan Ekstradisi yang bersifat wajib (Mandatory obligation) meliputi:

1. Tidak Menyerahkan kejahatan politik 2. Alasan penuntutan di negara Peminta (requesting State) atas dasar perbedaan ras,

etnis, agama, nasionalitas,pendapat politik, jenis kelamin3. Kejahatan militer4. Telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap di negara

Yang Diminta (requested State)5. Jika orang yang karena kejahatannya dimintakan ekstradisi adalah memiliki imunitas

dari penuntutan atau penghukuman dengan alasan apapun termasuk kadaluarsa atau karena amnesti

6. Jika orang yang kejahatannya dimintakan ekstradisi akan dikenakan penyiksaan, perlakuan yang kejam dan di luar batas perikemanusiaan atau terhadap orang ybs tidak ada jaminan minimum dari Negara yang Meminta Ekstradisi (Negara Peminta) akan diperlakukan sesuai dengan standar Konvenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Hak Politik

7. Jika Putusan Pengadilan Negara Peminta telah dijatuhkan secara in absensia untuk kejahatan yang dimintakan ekstradisi.

Penolakan Ekstradisi yang bersifat opsional (non-mandatory obligation) termasuk:

i. Alasan orang yang diminta untuk diekstradisi adalah warga negara dari Negara yg diminta ekstradisi (Negara Diminta/Requested State)

ii. Jika pejabat yg berwenang di Negara Diminta tidak ada niat untuk menghentikan penuntutan terhadap seseorang yg dimintakan esktradisi

iii. Jika penuntutan atas seseorang yg dimintakan ekstradisi ditunda di negara yang Diminta

iv. Jika kejahatan atas mana seseorang ybs dimintakan ekstradisi diancam dengan pidana mati di Negara Yang Meminta ekstradisi; kecuali Negara Peminta memberikan jaminan bahwa, terhadap orang yang dimintakan ekstradisi itu tidak akan dijatuhi pidana mati sekalipun UU yang berlaku mengatur tentang pidana mati

v. Jika kejahatan untuk mana seseorang yang dimintakan esktradisi terjadi di luar wilayah teritorial Negara yang Diminta atau Negara yang Meminta, dan Negara Yang Diminta di mana seseorang ybs berdiam, tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan dengan locus delicti dimaksud

vi. Jika Kejahatan untuk mana seseorang dimintakan ekstradisi telah dilakukan seluruhnya atau sebagian di Negara Diminta. Jika permintaan ekstradisi ditolak atas alasan ini maka pihak Berwenang di Negara Yang diminta wajib melaksanakan penuntutan terhadap orang dimaksud

Page 8: Makalah Hukum Kejahatan Internasional

vii. Jika seseorang untuk kejahatan mana dimintakan esktradisi telah dijatuhi hukuman atau akan diadili dan dihukum di negara yang Meminta oleh pengadilan Adhoc atau pengadilan khusus

viii. Jika Negara Diminta, mempertimbangkan bahwa, ekstradisi terhadap orang ybs akan bertentangan dengan pertimbangan kemanusiaan baik dari sisi usia, kesehatan atau keadaan pribadi ybs.