makalah hpmp
TRANSCRIPT
KLIPINGHUKUM PERBURUHAN MILIK INDUSTRI
DISUSUN OLEH:
MELISA TRIANDINI H1D109004
NORHAYANI H1D109005
FAJAR HARIADI H1D109007
ANDRI NUGROHO H1D109008
M. RIZKA AKBARI H1D109009
ADITYO PRAMONO H1D109010
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2013
Kasus PHK Nestle Indonesia Diduga Cacat Hukum
Jakarta, GATRAnews - Komisi IX DPR RI mendesak manajemen PT Nestle Indonesia agar segera menyelesaikan kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) ke-245 karyawannya, di cabang Waru, Surabaya, karena diduga cacat hukum.
Menurut anggota Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan DPR tersebut, Poempida Hidayatulloh, di Jakarta, Selasa (5/2), desakan itu disampaikan karena berdasarkan informasi, keputusan PHK itu dilakukan secara sepihak oleh PT Nestle Indonesia, tanpa didasari kaidah aturan yang berlaku. Dituturkannya, pada 13 April 2000 PT Nestle Indonesia Waru melaksanakan rapat dengan agenda pemberitahuan PHK.
"Pelaksanaan rapat tersebut terjadi kejanggalan, di mana Ketua Serikat Pekerja Nestle Indonesia, disandera oleh perusahaan asing ini, sehingga muncul tawaran PHK yang mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 3 tahun 1996. Sedangkan karyawan hanya diberi waktu selama 2 hari untuk memikirkan PHK tersebut dengan besaran pesangon sesuai kebijakan perusahaan," bebernya.
Namun fakta tidak demikian, tandasnya. Karyawan yang di-PHK sebagian besar dipaksa bekerja hingga tahun 2002. Hal ini dikarenakan ada perbedaan tahapan proses bagi setiap karyawan. Bersamaan dengan itu, bulan Juli 2000 muncul Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 150 tahun 2000 yang mengatur aturan PHK dan besaran pesangon. Namun, pihak PT Nestle Indonesia Waru mengabaikan aturan baru tersebut dalam memproses PHK karyawannya.
“Kasus PHK 245 karyawan yang terjadi tahun 2000-an tidak manusiawi dan cacat hukum. Perusahaan tidak melalui mekanisme bipartit maupun tripartit dan hanya
sesuai kebijakan internal,” tegasnya.
Menurut politisi Golkar ini, Komisi IX DPR RI berencana akan memanggil jajaran manajemen PT Nestle Indonesia untuk meminta penjelasan terkait kasus PHK karyawan yang sudah berlangsung sangat lama dan sampai sekarang belum ada penyelesaian.
“Kami berencana memanggil jajaran manajemen PT Nestle untuk audiensi dengan Komisi IX DPR mengenai kasus tersebut,” ujarnya.
Kami berharap, kata Poempida, kasus PHK ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan mengedepankan musyawarah mufakat. Sebagaimana prinsip pemerintah yang "pro job, pro poor, dan pro growth", tentunya situasi ini sangat tidak mendukung program pemerintah tersebut.
“Saya yakin, dengan mengedepankan prinsip kekeluargaan, kasus PHK karyawan PT Nestle Indonesia Waru akan terselesaikan dengan baik,” pungkasnya.
Walau demikian, PT Nestlé Indonesia membantah tak mentaati peraturan yang berlaku di Indonesia dalam menyelesaikan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawannya. "Kami tegaskan, bahwa Nestle selalu mentaati hukum dan peraturan ketenaga-kerjaan di manapun Nestlé beroperasi, termasuk di Indonesia," tegas Head of Public Relations PT Nestlé Indonesia, Brata T Hardjosubroto.
Dipaparkan Brata bahwa PT Nestlé Indonesia telah melalui proses tahapan hukum sesuai undang-undang ketenagakerjaan, yakni seluruh karyawan yang di-PHK telah menandatangani kesepakatan PHK pada 15 April 2000.
Pemutusan Hubungan Kerja
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.
Ketentuan hukum PHK dapat bersifat perdata, yaitu mengenai pemberitahuan,
tenggang waktu dan saat PHK. PHK diatur oleh KUHPerdata bab 7a bagian 5,
dan bersifat publik yaitu mengenai ijin untuk memutuskan hubungan kerja diatur
dalam UU No.12/1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta,
dan Pasal 16 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep‐
78/Men/2001 tentang perubahan atas beberapa pasal, Keputusan Menteri Tenaga
Kerja Nomor Kep‐ 150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan
kerja dan penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti
kerugian di perusahaan menetapkan beberapa prosedur tentang pemutusan
hubungan kerja dalam suatu perusahaan. Perundingan benar‐benar tidak
menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial. Permohonan penetapan pemutusan hubungan
kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
Proses Pemberhentian
Prosedurnya :
a. Musyawarah karyawan dg pimpinan perusahaan
b. Musyawarah pimpinan serikat buruh dg pimpinan perusahaan
c. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan, dan P4D
d. Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan, dan P4P
e. Pemutusan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri.
P4D = panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah
Dalam proses pemutusan hubungan kerja (PHK) pengusaha wajib memberikan tenggang waktu seperti halnya disebutkan dalam pasal 1603i KUHP yang bunyi sebagai berikut:“ Dalam hal menghentikan hubungan kerja harus paling sedikit diberikan suatu tenggang waktu yang lamanya satu bulan jika hubungan kerja pada waktu pemberitahuan pemutusan hubungan kerja itu telah sedikit-dikitnya dua tahun terus-menerus”
Kemudian dalam Pasal 19 Instruksi Menteri Tenaga Kerja Nomor
2/Instruksi/1967 tentang “Larangan Pemberhentian Tenaga Kerja secara Massal
oleh Perusahaan-perusahaan Negara tanpa Konsultasi dengan Departemen
Tenaga Kerja, dikatakan bahwa apabila tenaga kerja akan memutuskan
hubungan kerjanya dengan perusahaan, ia harus memberi tenggang waktu
kepada perusahaan minimal satu bulan”.
Adapun pemberian waktu tenggang waktu tersebut bertujuan untuk memberi
kesempatan kepada perusahaan untuk mencari pegawai pengganti. Memberi
kesempatan kepada perusahaan untuk mengadakan penelitian mengenai kewajiban
dan tanggung jawab yang masih harus diselesaikan sebelum pegawai yang
bersangkutan mengundurkan diri.