makalah h&p

15
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan produksi sayuran di Indonesia sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri guna mengimbangi laju pertambahan penduduk yang semakin meningkat pula. Selain itu, penting juga adanya upaya peningkatan produksi sayuran untuk keperluan ekspor dan substitusi. Hal ini sesuai dengan tujuan utama pembangunan nasional di sektor pertanian yaitu menaikkan produksi pertanian. Di antara berbagai jenis hasil pertanian, sayuran merupakan bahan pangan penting bagi penduduk Indonesia yang diperlukan setiap hari. Di antara sayuran yang ditanam, kubis (Brassica oleracea var. capitata L.) banyak diusahakan dan dikonsumsi karena sayuran tersebut dikenal sebagai sumber vitamin (A, B dan C), mineral, karbohidrat, protein dan lemak yang amat berguna bagi kesehatan. Seperti beberapa jenis sayuran lainnya, kubis memiliki sifat mudah rusak, berpola produksi musiman dan tidak tahan disimpan lama. Sifat mudah rusak ini dapat disebabkan oleh daun yang lunak dan kandungan air cukup tinggi, sehingga mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama/penyakit tanaman. Hama ulat daun kubis Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) merupakan salah satu jenis hama utama di pertanaman kubis. Apabila tidak ada 1

Upload: hollow46

Post on 08-Aug-2015

127 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah H&P

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan produksi sayuran di Indonesia sangat diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri guna mengimbangi laju pertambahan

penduduk yang semakin meningkat pula. Selain itu, penting juga adanya upaya

peningkatan produksi sayuran untuk keperluan ekspor dan substitusi. Hal ini

sesuai dengan tujuan utama pembangunan nasional di sektor pertanian yaitu

menaikkan produksi pertanian.

Di antara berbagai jenis hasil pertanian, sayuran merupakan bahan pangan

penting bagi penduduk Indonesia yang diperlukan setiap hari. Di antara sayuran

yang ditanam, kubis (Brassica oleracea var. capitata L.) banyak diusahakan dan

dikonsumsi karena sayuran tersebut dikenal sebagai sumber vitamin (A, B dan C),

mineral, karbohidrat, protein dan lemak yang amat berguna bagi kesehatan.

Seperti beberapa jenis sayuran lainnya, kubis memiliki sifat mudah rusak, berpola

produksi musiman dan tidak tahan disimpan lama. Sifat mudah rusak ini dapat

disebabkan oleh daun yang lunak dan kandungan air cukup tinggi, sehingga

mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama/penyakit tanaman.

Hama ulat daun kubis Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae)

merupakan salah satu jenis hama utama di pertanaman kubis. Apabila tidak ada

tindakan pengendalian, kerusakan kubis oleh hama tersebut dapat meningkat dan

hasil panen dapat menurun baik jumlah maupun kualitasnya. Serangan yang

timbul kadang-kadang sangat berat sehingga tanaman kubis tidak membentuk

krop dan panennya menjadi gagal. Kehilangan hasil kubis yang disebabkan oleh

serangan hama dapat mencapai 10 - 90 %. Ulat daun kubis P. xylostella bersama

dengan ulat jantung kubis Crocidolomia pavonana F. mampu menyebabkan

kerusakan berat dan dapat menurunkan produksi kubis sebesar 79,81 %. Kondisi

seperti ini tentu saja merugikan petani sebagai produsen kubis. Oleh karena itu

upaya pengendalian hama daun kubis ini sebagai hama utama tanaman kubis perlu

dilakukan untuk mencegah dan menekan kerugian akibat serangan hama tersebut.

Petani pada umumnya mengatasi gangguan ulat kubis dengan

menggunakan insektisida kimia sintetik. Ditinjau dari segi penekanan populasi

1

Page 2: Makalah H&P

hama, pengendalian secara kimiawi dengan insektisida memang cepat dirasakan

hasilnya, terutama pada areal yang luas. Tetapi, selain memberikan keuntungan

ternyata penggunaan insektisida yang serampangan atau tidak bijaksana dapat

menimbulkan dampak yang tidak diinginkan Hasil survai pada petani sayuran

menyebutkan bahwa petani mengeluarkan 50% biaya produksi untuk

pengendalian secara kimiawi dengan mencampur berbagai macam pestisida,

karena belum diketahui bagaimana penggunaan pestisida yang tepat.

Dilema antara kebutuhan dan pelestarian lingkungan menumbuhkan

gagasan pengembangan pengendalian serangga hama yang berwawasan

lingkungan dan aplikasinya sesuai dengan konsep Pengelolaan Hama Terpadu

(PHT). Hal ini direalisaikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman, yang salah satu tujuan penting

kebijakan tersebut adalah penggunaan insektisida yang bijaksana.

1.2. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah ini sebagai sumber informasi dan pembuatan

tugas mata kuliah hama dan penyakit yang didalamnya membahas tentang hama

Plutella Xylostella yang biasa menyerang tanaman Kubis (Brassica oleraceae L.)

2

Page 3: Makalah H&P

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Ulat Daun Kubis (Plutella xylostella .L)

Gambar 1. Ulat Daun (Plutella xylostella .L)

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Lepidoptera

Famili : Plutellidae

Genus : Plutella

Spesies : Plutella xylostella

Gambar 2. Siklus Hidup Ulat Daun (Plutella xylostella L.)

Telur P.xylostella berbentuk oval, berwarna kekuning-kuningan. Negengat

betina meletakkan telurnya secara tunggal atau kelompok kecil sekitar 2-4 butir.

Telurnya diletakkan disekitar tulang daun pada permukaan daun bagian bawah

(Bhalla dan Bubey, 1986). Telur diletakkan pada malam hari yaitu diatas pukul

18.00 (Chelliah pan Sriwasan dan Salinas, 1986). Jumlah telur yang dihasilkan

3

Page 4: Makalah H&P

pada suhu 26oC berturut – turut sekitar 139,246 butir dan 162 butir. Masa

inkubasinya menurut Ho (1965) sekitar 3 hari di dataran rendah, sedangkan di

dataran tinggi berlangsung selama kurang lebih 6 hari. Larva – larva berbentuk

silindris, relatif tidak berbuka dan mempunyai lima padang proleg (Harcourt,

1954 dalam Sastrosisojo, 1987).

Larva mengalami 4 instar yang berlangsung selama 12 hari. Larva instar I

panjangnya 1 mm dan lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuningan selama 4 hari.

Instar II panjangnya 2 mm dan lebar 0,5 mm, berwarna hijau kekuningan dan

berlangsung 2 hari. Instar III panjangnya 4-6 mm, lebar 0,75 mm, berwarna hijau

dan berlangsung 3 hari. Instar IV panjangnya 8-10 mm, lebar 1-1,5 mm, berwarna

hijau dan berlangsung 3 hari.

Larva yang sudah dewasa berwarna kehijau – hijauan dan akan terlihat

berbeda dengan kedua kubis – kubisan lainnya yakni tidak memiliki garis – garis

longitudinal pada tubuhnya. Menurut Ooi (1986), panjang tubuh larva di dataran

rendah kurang lebih 8 mm sedangkan di dataran tinggi dapat mencapai lebih dari

8 mm. Salah satu karakter dari larva P. xylostella adalah jika ada gangguan , maka

larva akan menggeliat ke belakang dengan cepat atau menjatuhkan diri lalu

bergelantungan dengan benang – benang sutra pada permukaan daun. Selanjutnya,

larva tersebut akan kembali ke permukaan daun melalui benang – benang tersebut.

Pupa P. xylostella berada dalam kokon yang tebal dari benang – benang

halus berwarna yang dikeluarkan pada masa fase prepupa (Chelliah dan

Srinivasan, 1986). Warna pupa mulanya kuning kehijauan, setelah satu atau dua

hari warnanya berangsur – angsur berubah menjadi kecoklatan sampai coklat

gelap (Bhalla dan Dubey, 1986). Menurut Koshihara (1986) lamanya hidup pupa

dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu maka masa pupa akan semakin

singkat.

Imago / ngengat P. xylostella berwarna coklat keabu – abuan dengan

panjang rentang sayap ngengat jantan kurang lebih 1,97 mm dan yang betina

kurang lebih 13,6 mm (Bhalla dan Dubey, 1986). Menurut Hill (1975), pada sayap

depannya terdapat tiga bentuk indulasi yang memanjang dibagian tepi sayapnya.

Dalam keadaan istirahat, toga bentuk indulasi tersebut akan membentuk pola yang

4

Page 5: Makalah H&P

menyerupai berlian, sehingga dengan adanya ciri – ciri ini maka P. xylostella

dinamakan Diamond Back Moth.

Ngengat aktif pada senja atau malam hari. Kopulasi terjadi pada petting

atau pagi hari (Salinas, 1986). Nisbah kelamin keturunannya adalah 1:1 (Ho, 1965

dalam Sastrosiswojo, 1987). Menurut Salinas (1986) fekunditas P. xylostella

dipengaruhi oleh faktor genetik, nutrisi pada fase larva, kondisi lingkungan,

tanaman inang perkawinan dan adanya inang sebagai tempat meletakkan telurnya.

Cheliah dan Srinivisan 91986), berpendapat fekuditas akan meningkat sejalan

dengan meningkatnya fotoferiod. Hasil penelitian awal (1955) dalam Chelliah dan

Srinivasan (1986), menunjukkan bahwa jumlah telur yang dihasilkan lebih banyak

pada suhu 7o– 24oC dibandingkan pada suhu 28o – 35oC. Hasil pengamatan

Jayarathman (1977) dalam Chelliah dan Srinivasan (1986), ngengat P. xylostella

dapat bertahap hidup tanpa pakan selama kurang lebih 3 hari, sedangkan bila

tersedia pakan maka dapat hidup selama 11 – 16 hari.

2.2. Tanaman Inang

Di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Jawa tanaman kubis dan

brasika lain banyak diusahakan di daerah pedesaan di dataran tinggi, meskipun di

beberapa tempat diusahakan di dataran rendah. Selama pertumbuhannya, kubis

mengalami berbagai gangguan hama tanaman terutama kerusakan tanaman oleh

ulat kubis.

Selain menyerang tanaman kubis, hama P. xylostella juga ditemukan menyerang

berbagai jenis tanaman yang masih termasuk famili Brassicaceae (Cruciferae)

seperti: kale, radish, turnip, brussels sprouts, caisin, petsai, brokoli, cauliflower,

kohl rabi, mustard dan kanola. Tanaman brasika liar seperti misalnya B. elongata,

B. fruticulosa, Roripa sp. dan lainnya juga menjadi inang ulat kubis (Herminanto,

1995).

2.3. Upaya Pengendalian

Pengendalian ulat kubis dapat dilakukan dengan cara mekanis, kimiawi

dengan insektisida kimia sintetik selektif maupun insektisida nabati, pola

bercocok tanam (tumpangsari, rotasi, irigasi, penanaman yang bersih),

5

Page 6: Makalah H&P

penggunaan tanaman tahan, pemakaian feromon, pengendalian hayati

menggunakan predator, parasitoid (misalnya dengan Diadegma semiclausum

Helen, Cotesia plutellae Kurdj., dll.), patogen (misalnya pemakaian bakteri B.

thuringiensis, jamur Beauveria bassiana, dsb.) serta aplikasi program PHT.

1) Monitoring

Selama menanam kubis petani perlu melakukan pemantauan / monitoring

hama dengan melakukan pengamatan mingguan. Apabila hama mencapai 1

ulat/10 tanaman (Ambang Ekonomi = AE) atau lebih, maka dapat dilakukan

dengan menyemprot tanaman menggunakan insektisida kimia selektif atau

bioinsektisida, untuk menekan agar hama kembali berada di bawah AE yang

tidak merugikan secara ekonomi.

2) Mekanis

Cara ini dapat dilakukan dengan mengumpulkan hama yang bersangkutan,

memasukkan ke dalam kantung plastic, dan memusnahkannya. Namun untuk

areal luas perlu pertimbangan tenaga dan waktu.

3) Kultur Teknik

Musim tanam.

Lebih baik untuk menanam kubis dan brasika lain pada musim hujan,

karena populasi hama tersebut dapat dihambat oleh curah hujan.

Irigasi. Apabila tersedia dapat digunakan irigasi sprinkle untuk mengurangi

populasi ulat daun kubis, apabila pengairan demikian dilaksanakan pada

petang hari, dapat membatasi aktivitas ngengat. Penanaman. Sebaiknya tidak

melakukan penanaman berkali-kali pada areal sama, karena tanaman yang

lebih tua dapat menjadi inokulum bagi tanaman baru. Apabila terpaksa

menanam beberapa kali pada areal sama, tanaman muda ditanam pada arah

angin yang berlawanan agar ngengat susah terbang menuju ke tanaman muda.

Pesemaian.

Tempat pembibitan harus jauh dari areal tanaman yang sudah tumbuh

besar. Sebaiknya pesemaian/bibit harus bebas dari hama ini sebelum

transplanting ke lapangan. Dalam beberapa kasus, serangan ulat daun kubis di

lapangan diawali dari pesemaian yang terinfestasi dengan hama tersebut.

6

Page 7: Makalah H&P

Tanaman perangkap.

Tanaman Brassica tertentu seperti caisin lebih peka dapat ditanam

sebagai border untuk dijadikan tanaman perangkap, dengan maksud agar

hama ulat daun kubis terfokus pada tanaman perangkap.

Tumpang sari.

Penanaman kubis secara tumpang sari bersamaan dengan tanaman yang

tidak disukai hama ulat daun kubis dapat mengurangi serangannya. Misalnya

tumpang sari kubis kubis dengan tanaman tomat/bawang daun.

Tumpangsari tanaman kubis - kemangi merupakan salah cara untuk

menekan serangan hama pada tanaman kubis. Pola tanam yang cocok untuk

tumpang sari tanaman kubis dengan tanaman aromatik adalah 1 - 2 - 1,

sedangkan untuk jenis tanaman yang baik untuk menekan populasi hama

adalah dengan tanaman kemangi (Henik, 2004). Disamping itu penggunaan

tanaman aromatik kemangi dapat mengurangi penggunaan pestisida, menurut

Kardinan (2001) penggunaan pestisida khususnya yang bersifat sintesis

berkembang luas karena dianggap paling cepat dan ampuh mengatasi hama.

Namun, penggunaannya ternyata menimbulkan kerugian seperti resistensi

hama, resujensi hama, terbunuhnya musuh alami dan masalah pencemaran

lingkungan dan sangat berbahaya bagi manusia.

4) Penggunaan Agensia Hayati

Hama tersebut memiliki musuh alami berupa predator (Paederus sp.,

Harpalus sp.), parasitoid (Diadegma semiclausum, Cotesia plutellae), dan

patogen (Bacillus thuringiensis, Beauveria bassiana) yang bila diaplikasikan

dapat menekan populasi dan serangannya.

Musuh alami sering efektif mengendalikan ngengat Diamondback,

seperti tawon ichneumonid, Diadegma insularis, telah diidentifikasi sebagai

parasit yang paling umum. Trichogramma pretiosum juga dapat menyerang

telur Diamondback. Berbagai predator seperti kumbang tanah, kepik predator,

larva lalat syrphid, dan laba-laba dapat menjadi faktor penting dalam

mengendalikan populasi. Penyakit mikroba belum diketahui menjadi faktor

penyebab kematian yang signifikan.

7

Page 8: Makalah H&P

Menurut Ade Prihantono (2004) pelepasan Trichogrammatoidea

dengan pemberian madu 10% sebagai pakan tambahan dapat meningkatkan

kemampuan bertahan hidup dan kemampuan memarasit telur Plutella

xylostella secara bertahap sampai batas tertentu. Semakin banyak jumlah

parasitoid yang dilepaskan maka semakin tinggi persentase telur Plutella

xylostella yang terparasit.

5) Penggunaan Insektisida Selektif

Aplikasi ini dilaksanakan setelah hama tersebut mencapai atau

melewati ambang ekonomi, dengan memilih insektisida kimia selektif yang

efektif tetapi mudah terurai, atau penggunaan insektisida biologi. Contoh

pestisida kimia sintetik yang terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian

apabila pengendalian lain tidak mengurangi intensitas serangan hama,

misalnya yang berbahan aktif permetrin, sipermetrin, dan profenofos.

Menurut Soeroto et al (1994) ekstrak biji buah srikaya (Amonna

squantosa) dan sirsak (A. muricata) pada kosentrasi 10% dapat digunakan

untuk mengendalikan P. xylostella.

8

Page 9: Makalah H&P

III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa banyak cara dalam

mengandilikan hama Plutella xylostella seperti mekanis, kultur teknis, kimiawi

dengan insektisida kimia sintetik selektif maupun insektisida nabati, pola

bercocok tanam dan musuh alami. Pemelihan cara pengendalian hendaknya

melihat kondisi lingkungan sebelumnya dan penggunaan pengendalian hama

secara kimia sintetik hendaknya adalah pilihan terakhir apabila cara – cara yang

lain tidak mampu mengendalikan dengan memperhatikan pemberian dosis yang

tepat agar hama tidak menjadi resisten terhadap insektisida.

9

Page 10: Makalah H&P

DAFTAR PUSTAKA

Ade Prihantono. 2004. Kajian pelepasan parasitoid telur terhadap Plutella xylostella L. Skripsi

Bhalla, O.P and J.K. Dubey. 1986. Bionomics of thr Diamond Back Moth in the Northwestrn. Pp. 26 – 35

Herminanto, 2010. Hama Ulat Daun kubis Plutella xylostella L. dan Upaya Pengendaliannya. Purwokerto. Jawa Tengah.

Himalaya. In Proceedings of the first International Workshop, Tainan, Taiwan Pp 11-15

Kardinan, A. 2001. Pestisida Nabati, Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.

March. 1985. Diamond Back moth Management. The Asian Vegetable Research and Development Center. Shanhua, taiwan Pp. 55 – 61

Sukorini Henik. 2004. Publikasi Ilmiah. Pengaruh Pola Tanam Tanaman Aromatik-Kubis Terhadap Hama Plutella xylostella Pada Budidaya Kubis Organik.Universitas Muhamadiyah Malang.

Soeroto, AH Cahyaniati.1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan Secra Terpadu pada Tanaman Kubis.

Winasa, I.W. & Herlinda, S. 2003. Population of Diamonback Moth, Plutella xlostella,L.(Lepidoptera; Yponomeutidae), and Its Damage and Parasitoids on Brassicaceous Crops, p. 310-315. In; Organic farming and Sustainable Agriculture in the Tropics. Proceding of an International Seminar, Palembang Oktober 8-9, 3003

10