makalah gambut
TRANSCRIPT
Proses Pembentukan Tanah Gambut
Pembentukan utama lahan gambut di Indonesia adalah vegetasi hutan tropis dan umumnya
memiliki variasi kuning sampai coklat kehitaman, tergantung pada proses pelapukan, jenis
tanaman dan kandungan sedimennya (Jurnal IPTEK 2004).
Unsur pembentuk lahan gambut adalah bahan organik yang terdiri dari karbon, nitrogen, oksigen
dan hydrogen serta sedikit unsure anorganik yang terdiri dari silica, kalium dan magnesium.
Unsur organik tersebut membentuk rantai molekul besar yang terdiri dari asam humat, asam
fulvat humin, lignin dan senyawa organik lainnya. Suhu dan kelembaban lingkungan juga
mempengaruhi terbentuknya tanah gambut. Gambut terbentuk pada daerah yang berkelembaban
tinggi untuk menjamin pertumbuhan vegetasi penghasil bahan organik tinggi (Jurnal IPTEK
2004).
Air Gambut
Menurut Kusnaedi (2006) dalam buku Mengolah Air Gambut dan Air Kotor untuk Air Minum,
air gambut merupakan air permukaan yang banyak terdapat di daerah pasang surut dan berawa
atau dataran rendah terutama di Sumatera dan Kalimantan yang mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Intensitas warna yang tinggi (kuning atau merah kecoklatan)
2. pH yang rendah antara 2-5
3. Kandungan zat organik tinggi
4. Rasanya asam
5. Kandungan kation yang rendah
Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya kandungan zat
organik (bahan humus) terlarut terutama dalam bentuk asam humus dan turunannya. Asam
humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik seperti daun, pohon atau kayu. Adanya
ion besi menyebabkan air berwarna kemerahan, sedangkan oksida Mangan menyebabkan air
berwarna kecoklatan atau kehitaman .Sedangkan rendahnya pH pada air gambut disebabkan oleh
kehadiran zat organik dalam bentuk asam serta adanya kation yang berasal dari mineral-mineral
terlarut (Kusnaedi,2006).
Pengaruh Air Gambut Terhadap Kesehatan
Air gambut tergolong air yang tidak memenuhi persyaratan air bersih yang telah ditetapkan oleh
Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990 . beberapa unsur yang tidak memenuhi persyaratan
adalah sebagai berikut :
1. Segi estetika yaitu dengan adanya warna, kekeruhan dan bau pada air gambut akan
mengurangi efektifitas usaha desinfeksi, karena mikroba terlindung oleh zat padat tersuspensi,
baik yang bersifat anorganik maupun yang organik. Hal ini tentu berbahaya bagi kesehatan bila
terdapat mikroba yang pathogen. Disamping itu penyimpanan terhadap standar yang diterapkan
akan mengurangi penerimaan masyarakat terhadap air tersebut yang selanjutnya dapat
mendorong masyarakat untuk mencari sumber air lain yang kemungkinan tidak aman. Warna
dan kekeruhan yang melebihi standart yang telah ditetapkan dapat menimbulkan kekhawatiran
terbendungnya bahan-bahan kimia yang dapat mengakibatkan efek toksik terhadap manusia
(Sutrisno, 1991).
2. Segi kesehatan yaitu pH rendah pada air gambut menyebabkan air terasa asam yang dapat
menimbulkan kerusakan gigi dan sakit perut, kandungan zat organik yang tinggi dapat menjadi
sumber makanan bagi mikroorganisme dalam air yang dapat menimbulkan bau apabila zat
organik tersebut terurai secara biologis dan jika dilakukan desinfeksi dengan larutan khlor akan
membentuk senyawa organokhrone yang bersifat karsinogenik (Suprihanto, 1994).
Proses Pengolahan Air Gambut
Menurut Kusnaedi (2006), ada 2 tahap proses pengolahan air gambut yaitu terdiri dari :
1. Tahap Koagulasi, Flokulasi,absorbsi, dan sedimentasi
Menurut kusnaedi (2006), koagulasi adalah proses pembubuhan bahan kimia ke dalam air agar
kotoran dalam air yang berupa padatan tersuspensi misalnya zat warna organik, lumpur halus,
bakteri dan lain-lain dapat menggumpal dan cepat mengendap. Tahap ini berlangsung pada
ember pertama dengan cara mencampurkan zat koagulasi yang dilengkapi dengan pengaduk.
Bahan koagulan yang dapat digunakan antara lain : kapur, tawas, tanah liat (lempung) setempat,
dan tepung biji kelor. Proses koagulasi merupakan faktor kunci dalam elektrokoagulasi, proses
ini menggambarkan interaksi antara koagulan dengan bahan polutan yang hendak diolah.
Perinsip dari koagulasi adalah destabilisasi partikel koloid dengan cara mengurangi semua gaya
yang mengikat, kemudian menurunkan energi penghalang dan membuat partikel menjadi bentuk
flok. Koagulasi merupakan proses destabilisasi partikel-partikel koloid untuk memfasilitasi
pertumbuhan partikel-partikel selama flokulasi.
Koagulasi menurut Mackenzie L. Davis adalah proses untuk membuat partikel-partikel kecil
(koloid) dapat bergabung satu dengan yang lainnya sehingga membentuk flok yang lebih besar.
koagulasi adalah proses destabilisasi pada suatu sistem koloid yang berupa penggabungan dari
partikel-partikel koloid akibat pembubuhan bahan kimia. Pada proses ini terjadi pengurangan
besarnya gaya tolak menolak antara partikel-partikel koloid di dalam larutan.
Ada tiga persyaratan kunci dari koagulan yang harus dipenuhi :
a. Kation trivalent. Adapun koloid-koloid di dalam air adalah bermuatan negatif, jadi diperlukan
adanya kation untuk menetralkan muatannya. Kation trivalent merupakan kation yang paling
efisien.
b. Tidak beracun. Kation yang digunakan harus tidak beracun sehingga memberikan hasil air
olahan yang aman (misalkan untuk air minum).
c. Tidak larut dalam kisaran pH netral. Jadi koagulan yang ditambahkan harus mengendap dari
larutannya sehingga ion-ionnya tidak tertinggal di dalam air. Pengendapan semacam ini akan
sangat membantu proses penghilangan koloid.
Penggunaan polimer alum atau yang dikenal sebagai poli aluminium klorida (PAC) pada saat
sekarang ini lebih sering digunakan sebagai koagulan karena efektivitasnya yang lebih tinggi
dibandingkan dengan garam aluminium maupun garam besi. Penelitian terbaru yang dilakukan
Gao dan Yue menunjukkan bahwa poli aluminium klorida sulfat (PACS) bahkan lebih efektif
dibandingkan dengan PAC karena PACS mempunyai struktur polimer yang lebih besar, yang
lebih dapat meningkatkan agregasi partikel dalam air. Apapun jenis koagulan yang digunakan,
uji secara laboratorium melalui jartest harus dilakukan untuk
mengetahui efektivitas koagulan tersebut dalam mengendapkan partikel-partikel koloid dalam air
limbah yang diolah sehingga terjadi pemisahan yang sempurna antara lumpur dan air. Penerapan
teknologi pengolahan limbah yang didasarkan pada prinsip optimalisasi antara teknologi,
kualitas, dan biaya. akan memberikan hasil yang optimal sehingga biaya investasi dapat ditekan
dan keselamatan lingkungan dapat dijaga (Hanum, 2002). Ada 4 tipe utama bahan bantu
koagulan yaitu alat pengatur pH, silika yang diaktifkan (activated silica), tanah liat (clay) dan
polymer. Polimer adalah senyawa-senyawa karbon berantai panjang, berat molekulnya besar dan
memiliki banyak bagian-bagian yang aktif. Bagian-bagian yang aktif ini akan menempel pada
flok, menggabungkannya satu sama lain, lalu membentuk flok-flok yang lebih besar dan lebih
kuat sehingga akan mengendap lebih baik. Proses ini disebut “jembatan antar partikel flok”.
Macam dan dosis polimer yang akan dipakai harus ditentukan terlebih dahulu untuk setiap
macam air yang akan diolah. Kebutuhannya dapat saja berubah setiap saat meskipun air limbah
yang akan diolah berasal dari sumber yang sama. 2 Tahap Penyaringan (Filtrasi) Filtrasi adalah
proses penyaringan untuk menghilangkan zat padat tersuspensi (yang diukur dengan kekeruhan)
dari air melalui media berpori-pori (Ditjen PPM & PLP, 1998). Pada proses penyaringan ini zat
padat tersuspensi dihilangkan pada waktu air melalui lapisan materi berbentuk butiran yang
disebut media filter. Media filter biasanya pasir, anthracite, garnet,ilmenite, polystyrene dan
beads.
Dalam buku Konsep Dasar Perbaikan Kualitas Air (Ditjen PPM & PLP, 1998) secara garis besar
kemampuan filtrasi dapat dibedakan atas saringan pasir lambat, saringan pasir cepat, saringan
berkecepatan tinggi, dan saringan bertekanan.
1. Saringan Pasir Lambat
Saringan pasir lambat terutama berguna untuk menghilangkan organisme pathogen dari air baku
yaitu bakteria dan virus yang ditularkan melalui air. Melalui adsorpsi dan proses lain bakteria
dihilangkan dari air dan ditahan pada permukaan butiran pasir yaitu kira-kira 85%-99% total
bekteri, dan menghasilkan air yang memenuhi syarat bakteriologis yaitu tidak mengandung
Escherichia coli. Apabila beroperasi dengan baik, saringan pasir lambat dapat pula
menghilangkan protozoa seperti Entamoeba histolyca dan cacing seperti Schistosoma
haemablum dan Ascaris lumbricoide.
Saringan pasir lambat sesuai dengan namanya hanya mempunyai kemampuan menyaring relatif
kecil yaitu 0,1–0,3 m/jam. Hal ini karena ukuran butiran pasirnya halus dan air bakunya
mempunyai kekeruhan dibawah 10 NTU agar saringan dapat berjalan dengan baik.
2. Saringan Pasir Cepat
Saringan pasir cepat mempunyai kecepatan 40 kali lebih cepat dibanding kecepatan saringan
pasir lambat, dapat dicuci dan dapat ditambahkan dengan koagulan kimia, sehingga efektif untuk
pengolahan air dengan kekeruhan tinggi. Pada saringan pasir cepat biasanya digunakan pasir
sebagai medium, tetapi prosesnya sangat berbeda dengan saringan pasir lambat. Hal ini
disebabkan karena digunakan butir pasir yang lebih besar atau kasar. Dalam pengolahan air
tanah, saringan pasir cepat digunakan untuk menghilangkan besi dan mangan. Untuk membantu
proses filtasi, sering dilakukan aerasi sebagai pengolahan pendahuluan untuk membentuk
senyawa tidak terlarut dari besi dan mangan. 3. Saringan Berkecepatan Tinggi Jenis saringan ini
mempunyai kecepatan 3-4 kali lebih besar dibandingkan saringan pasir cepat. Pada saringan ini
digunakan kombinasi dari beberapa media filter seperti pasir, dengan anthracite atau kombinasi
antara pasir, antacite, dan garnet. 4. Saringan Bertekanan Jenis saringan ini biasanya digunakan
untuk menyaring air kolam renang. Prinsip kerja saringan ini sama seperti saringan pasir cepat,
hanya proses filtrasi terjadi didalam tanki baja termasuk silinder yang tahan tekanan. Disini juga
digunakan pasir atau media kombinasi, tetapi kecepatan penyaringannya kira-kira sama dengan
saringan pasir cepat, meskipun digunakan pompa untuk mengalirkan air.
Pada prinsipnya, proses pengolahan air secara koagulasi-filtrasi menggunakan Sistem dua
bak,yaitu bak pertama sebagai tempat reaksi kimia dan bak kedua sebagai tempat
filtrasi/penyaringan. Prinsip kerja dari sistem pengolahan koagulasi-Filtrasi adalah dengan
penambahan koagulan Aluminium sulfat akan menghasilkan reaksi Kimia dengan muatan-
muatan negatif yang tolak menolak di sekitar partikel terlarut berukuran koloid. Selanjutnya,
akan ternetralisasi oleh ion-ion positif dari koagulan dan akhirnya partikel-partikel koloid akan
saling menarik dan menggumpal membentuk flok. Reaksi kimia yang terbentuk adalah sebagai
berikut :
Al2(SO4)3.18H2O+3Ca(HCO3)2 2Al(OH)3+3CaSO4+6CO2+18H2O
Alkalinity
Al2(SO4)3.18H2O+3Ca(HCO3)2 2Al(OH)3+3CaSO4+6CO2+18H2O
Mengendap
Berikut skema proses pengolahan air dengan koagulasi-filtrasi :
Dapus
Kusnaedi,. Mengolah Air Gambut dan Air Kotor Untuk Air Minum. Penebar Swadaya, Jakarta.
2006
Hanum, F. Proses Pengolahan Air Sungai untuk Kepeluan Air Minum. Fakultas Teknik. Program
Studi Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara. 2002
Ditjen PPM & PLP Departemen Kesehatan RI.Konsep Dasar Perbaikan Kualitas Air.
Jakarta.1998
Suryadiputra, INN. Pengolahan Air Limbah dengan Metode Biologi (Strengthening Program :
Rancang Bangun IPAL). Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 1994
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Teknologi Pengolahan air Bersih. Jakarta. 2004