makalah compounding

Upload: medina-yuslihani

Post on 19-Jul-2015

1.088 views

Category:

Documents


58 download

TRANSCRIPT

MAKALAH COMPOUNDING & DISPENSING MEDICATION ERROR INPATIENT

DISUSUN OLEH : Amelya Afryandes Devi Sofawati Herly Meipen Sisca Medina Yuslihani Nurlaila Fitriani Shintia Andriani 1106153025 1106153126 1106153252 1106153315 1106153403 1106153492

PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA 2012

MEDICATION ERROR INPATIENT I. PELAYANAN FARMASI DI RUMAH SAKIT Instalasi farmasi rumah sakit merupakan instalasi yang bertugas untuk menyediakan, mengelola, dan melaksanakan penelitian tentang obat-obatan. Berdasar Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 1027/MenKes/IX/2004, instalasi farmasi rumah sakit adalah suatu tempat Instalasi farmasi rumah sakit merupakan instalasi yang bertugas untuk dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat (Anonim, 2004). Instalasi farmasi rumah sakit bertugas sebagai pabrik obat kecil karena harus mampu membuat berbagai macam campuran obat sederhana, yang berfungsi sebagai gudang obat dan harus menyimpan semua obat yang dibutuhkan oleh rumah sakit. Selain itu instalasi farmasi rumah sakit harus mampu berperan sebagai clinical pharmacist, sumber informasi mengenai perkembangan baru dalam bidang obat dan mengawasi supaya pengobatan yang dilakukan tetap rasional dan efek samping yang muncul karena pengobatan harus dimonitoring. Pelayanan kefarmasian adalah pelayanan kefarmasian yang diberikan atas permintaan dokter kepada farmasis melalui resep dokter, untuk penyediaan obat-obat dan atau perbekalan farmasi lain bagi pasien dari poliklinik umum, poliklinik spesialis, dan poliklinik gigi, dan sekaligus farmasis memberikan pelayanan penyuluhannya. Pengertian Apotek berbeda dengan Farmasi. Apotek adalah tempat pengabdian dan praktek profesi farmasi, sedangkan farmasi adalah profesi kesehatan yang berhubungan dengan pembuatan dan distribusi dari produk yang berkhasiat obat. II. PASIEN RAWAT INAP Menurut surat Keputusan Menteri Kesehatan RI no. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis, pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung mapupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. Secara sederhana yang dimaksud dengan pelayanan rawat inap Rawat Inap adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik dengan menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan rumah sakit pemerintah dan swasta, serta rumah bersalin, derberdasarkan rujukan dari Pelaksana Pelayanan Kesehatan atau Rumah Sakit Pelaksana Pelayanan Kesehatan lain. 1

III. MEDICATION ERROR A. Pengertian Ditinjau dari asal katanya, error adalah kesalahan pada perencanaan untuk mencapai tujuan (error pada perencanaan) atau kegagalan dari sesuatu yang telah direncanakan untuk diselesaikan sesuai dengan tujuan (error pada pelaksanaan). Suatu error dapat terjadi karena hasil dari kepercayaan atau pengabaian (The Institute of Medicine, 2004). Medication error adalah error yang terjadi pada saat proses penggunaan obat. Misalnya seperti kesalahan pemberian dosis pada resep, kesalahan pada saat pemberian obat oleh orang yang berwenang memberikan obat atau kesalahan pasien sendiri pada saat pengobatan Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohen, 1991, Basse & Myers, 1998). Dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengertian medication error adalah kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. B. Kategori Medication Error National Coordinating Council for Medication Error Reporting and Prevention (NCC MERP) mengklasifikasikan medication error berdasarkan tingkat keparahan hasil dari pasien. Kesalahan yang dekat juga di klasifikasikan sebagai kesalahan potensial yang berhak mendapat sistem yang luas dan mengarah ke perbaikan. Tabel 1. Taksonomi & kategorisasi medication error Tipe error NO ERROR ERROR-NO HARM Kategori A B C Keterangan Keadaan atau kejadian yang potensial menyebabkan terjadinya error Error terjadi, tetapi obat belum mencapai pasien Error terjadi, obat sudah mencapai pasien tetapi tidak menimbulkan risiko a) Obat mencapai pasien dan sudah terlanjur diminum/digunakan b) Obat mencapai pasien tetapi belum sempat D diminum/digunakan Error terjadi dan konsekuensinya diperlukan

monitoring terhadap pasien, tetapi tidak menimbulkan 2

ERROR-HARM

E

resiko (harm) pada pasien Error terjadi dan pasien memerlukan terapi atau intervensi serta menimbulkan resiko (harm) pada pasien yang bersifat sementara Error terjadi & pasien memerlukan perawatan atau perpanjangan perawatan di rumah sakit disertai cacat yang bersifat sementara Error terjadi dan menyebabkan

F

G H ERROR-DEATH I

resiko

(harm)

permanen Error terjadi dan nyaris menimbulkan kematian (mis. anafilaksis, henti jantung) Error terjadi dan menyebabkan kematian pasien

C. Bentuk Kejadian Medication Error Adapun bentuk-bentuk kejadian medication error antara lain: Fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase penulisan resep, meliputi obat

yang diresepkan tidak tepat indikasi, tidak tepat pasien atau kontraindikasi, tidak tepat obat atau ada obat yang tidak ada indikasinya, tidak tepat dosis dan aturan pakai. Fase transcribing adalah error yang terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses

dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas, misalnya Losec (omeprazole) dibaca Lasix (furosemide), aturan pakai 2 kali sehari 1 tablet terbaca 3 kali sehari 1 tablet. Salah dalam menerjemahkan order pembuatan resep dan signature juga dapat terjadi pada kasus ini. Fase dispensing ialah error yang terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan

resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu salah dalam menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam memberikan informasi. Fase administrasi adalah error yang terjadi pada proses penggunaan obat, yaitu

proses yang dimana terjadi saat obat diberikan dari petugas apotek ke pasien atau dari petugas apotek kepada keluarga pasien. Dan pada proses ini juga meliputi fase digunakannya obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau keluarganya. Biasanya pada fase ini ketidaklengkapan yang terjadi yaitu salah 3

pemberian informasi tentang penggunaan obat. Error yang terjadi misalnya salah menggunakan suppositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum bersama makan.

4

Tabel 2. Bentuk-bentuk kejadian medication error

Prescribing 1. Kontraindikasi 2. Duplikasi 3. Tidak terbaca 4. Instruksi tidak jelas 5. Instruksi keliru 6. Instrukti tidak lengkap 7. Penghitungan dosis keliru

Transcribing 1. Copy error 2. Dibaca keliru 3. Ada instruksi yang terlewatkan 4. Mis-stamped 5. Instruksi tidak dikerjakan 6. Instruksi verbal diterjemahkan salah

Dispensing 1. Kontraindikasi 2. Dosis berlebih 3. Kegagalan menerjemahkan instruksi 4. Kurangnya persediaan obat 5. Instruksi tidak jelas 6. Salah menghitung dosis 7. Salah memberi label 8. Salah menulis instruksi 9. Dosis keliru 10. Pemberian instruksi 11. Instruksi verbal dijalankan keliru obat di luar penggunaan obat

Administration 1. Administration error 2. Kontraindikasi 3. Obat tertinggal di samping bed 4. Dosis berlebih 5. Kegagalan mencek instruksi 6. Tidak mencek identitas pasien 7. Dosis keliru 8. Salah menulis instruksi 9. Patient off unit 10. Pemberian instruksi 11. Instruksi keliru verbal dijalankan obat di luar

5

D. Faktor yang Menyebabkan Medication Error Di bawah ini diuraikan beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya medication error:1. Kondisi sumber daya manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)

a. Jumlah dan mutu apoteker tidak memadai b. Personel non-professional dalam bidang pekerjaan apoteker2. Sistem distribusi obat untuk pasien yang tidak sesuai

3. Belum diterapkannya pelayanan farmasi klinik Pelayanan farmasi klinik merupakan suatu kegiatan jaminan mutu pelayanan obat kepada pasien. Dalam pelayanan ini, apoteker memiliki tanggung jawab sebagai upaya pencapaian dan peningkatan kesehatan pasien dan mutu kehidupannya. Jika pelayanan ini tidak diterapkan di rumah sakit, maka tidak menutup kemungkinan kesalahan obat atau masalah yang berkaitan dengan obat akan banyak terjadi. 4. Tidak diterapkannya pedoman Cara Dispensing Obat yang Baik (CDOB) Berbagai kegiatan dalam CDOB tidak dilakukan, seperti: interpretasi resep, riwayat pengobatan pasien, pemberian informasi yang tidak lengkap pada etiket, kurangnya informasi pada perawat, dapat menyebabkan terjadinya kesalahan baik oleh dokter, apoteker, perawat, maupun pasien. 5. Kebijakan dan prosedur pengelolaan, pengendalian, serta pelayanan obat yang tidak memadai Kebijakan dan prosedur sangat penting serta berguna karena merupakan penuntun untuk melaksanakan pengelolaan, pengendalian, dan pelayanan obat yang efektif dan efisien di rumah sakit. Kurangnya kebijakan dan prosedur tersebut di rumah sakit dapat berkontribusi pada kesalahan obat di rumah sakit. 6. Pelaksanaan sistem formularium dan pengadaan formularium yang belum memadai Sistem formularium yang belum diterapkan, mengakibatkan formularium tidak akomodatif bagi pasien. Jumlah, jenis mutu obat serta penggunaan di rumah sakir tidak terkendali, dan kondisi tersebut dapat menyebabkan kesalahan obat.

6

7. Kurang memadainya pengetahuan pasien dan profesional tentang obat Pengetahuan pasien yang kurang memadai tentang obat menyebabkan ketidakpatuhan pasien dan salah penggunaan obatnya. Sedangkan, profesional kesehatan yang memiliki pengetahuan kurang terhadap obat dapat menyebabkan kesalahan pemilihan obat yang tepat bagi pasien.8. Kesalahan komunikasi (communication errors).

Kesalahan komunikasi dapat terjadi akibat kurangnya kemampuan dokter/apoteker dalam berkomunikasi dengan pasien. Dapat juga diakibatkan karena pasien tidak memberitahukan gejala penyakit yang dirasakannya dengan jelas. 9. Meningkatnya spesialisasi dan fragmentasi perawatan kesehatan. Semakin banyak tenaga kesehatan yang menangani seorang pasien, makin besar kemungkinan kesalahan informasi yang disampaikan. 10. Masih belum adanya standar pelayanan medis yang dituangkan dalam standar prosedur operasional sehingga tidak ada acuan baku dalam penatalaksanaan suatu penyakit dengan baik. Misalnya penatalaksanaan malaria baik oleh tenaga mikroskopis maupun tenaga medis hanya didasarkan atas pengalaman. 11. Penyebab kesalahan obat yang umum a. Kekuatan obat pada etiket atau dalam kemasan yang membingungkan Kekuatan atau dosis sediaan tidak jelas dimana sediaan tersebut terdiri dari bermacam-macam obat dengan perbandingan yang ada, contoh cotrimoksazol (trimetroprim 800 mg + sulfametoksazol 400 mg). b. Nama atau bunyi nama obat yang terlihat mirip Penamaan sediaan obat yang hampir sama dapat menyebabkan medication error. Contoh obat yang sering menyebabkan kesalahan pengobatan adalah obat pencegah pembekuan darah Coumadin dan obat anti parkinson Kemadrin. Taxol (paclitaxel) suatu agen antikanker kedengarannya hampir sama dengan Paxil (paroxetine) yang merupakan suatu antidepresan.

c.

Kesalahan alat

7

Contohnya pompa intravena dimana katupnya tidak berfungsi, menyebabkan periode pemberian obat menjadi terlalu cepat. d. Tulisan tangan tidak terbaca Tulisan tangan yang kurang jelas dapat menyebabkan kesalahan dalam dua pengobatan yang mempunyai nama yang serupa. Selain itu, banyak nama obat yang nampak serupa terutama saat percakapan di telepon, kurang jelas atau salah melafalkan. Permasalahannya menjadi kompleks apabila obat tersebut memiliki cara pemberian yang sama dan dosis yang hampir sama. e. f. Penulisan kembali resep atau order dokter yang tidak tepat Perhitungan dosis yang tidak teliti Kesalahan dalam menghitung dosis sebagian besar terjadi pada pengobatan pediatri dan pada produk-produk intravena. Beberapa studi menunjukkan bahwa kesalahan dalam perhitungan dosis tidak hanya ringan tetapi juga kesalahan yang fatal, misal kesalahan 10 kali lipat atau mencapai 15%. g. Kesalahan diagnosis Kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit dapat menyebabkan kesalahan tindakan medis selanjutnya. h. Menggunakan singkatan yang tidak tepat dalam penulisan resep Pengunaan singkatan dalam resep terkadang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan obat, seperti misalnya: Singkatan U (unit) untuk insulin dan pitosin dapat menyebabkan kesalahan pembacaan menjadi 0 yang menyebabkan overdosis yang berbahaya.

Singkatan IU (International Unit) dapat terbaca sebagai IV (intravena) atau 10. Singkatan q.d. (quaque die) yang berarti setiap hari dapat menyebabkan kesalahan pembacaan menjadi qid (quarter in die atau empat kali sehari) atau qod (setiap hari yang berbeda)

Angka desimal seharusnya tidak ditulis. Angka 1.0 dapat terbaca sebagai 10 akibat tanda desimalnya berada pada garis keras resep.

8

i. j. k.

Kesalahan penulisanetiket Beban kerja berlebihan Obat-obatan yang tidak tersedia

E. Upaya Pencegahan Medication Errors Pencegahan medication errors dapat dilakukan dengan upaya-upaya di bawah ini antara lain:1.

Adanya pemahaman yang baik pada setiap individu bahwa medication errors dapat terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja terutama yang berkaitan dengan obat dan pengobatan, mulai dari dokter, apoteker, asisten apoteker, dan perawat.

2.

Apoteker wajib menerapkan sistem distribusi obat yang tepat untuk pasien di suatu rumah sakit, agar dapat memenuhi persyaratan penyampaian obat yang baik, yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat jadwal, tanggal, waktu, dan metode pemberian, tepat informasi untuk pasien dan untuk perawat pemberi obat kepada pasien.

3.

Sistem penulisan resep yang terkomputerisasi ( Computerized Physician Order Entry/ CPOE) pada instalasi farmasi yang memudahkan pengecekan otomatis untuk dosis, terapi duplikasi, interaksi obat, dan aspek penggunaan lain.

4.

Desain ulang sistem yang ada, jika terbukti kejadian medication error bersumber dari sistem, sehingga dapat mencegah terjadinya kesalahan yang akan datang.

5.

Instalasi farmasi harus memiliki Standard Operating Procedure (SOP) dalam proses prescribing, transcribing, dispensing, dan administering untuk meminimalkan resiko terjadinya medication errors.

6.

Apoteker harus mengikuti pengetahuan mutakhir melalui kebiasaan membaca pustaka, berkonsultasi dengan rekan sejawat dan pelaku pelayan kesehatan lain. Oleh karena itu, sumber informasi obat yang memadai harus tersedia bagi semua pelaku pelayan kesehatan dalam proses penggunaan obat.

9

7.

Apoteker tidak boleh menerka maksud dari penulisan di peresepan obat yang membingungkan. Jika ada masalah, apoteker harus menghubungi dokter penulis resep tersebut.

8.

Apoteker harus berpartisipasi dalam pemantauan terapi obat yaitu ketepatan terapi, ketepatan pemberian obat, kemungkinan adanya terapi duplikat, interaksi yang mungkin, evaluasi data klinik serta laboratorium pasien sehingga dapat tercapai penggunaan obat yang aman, efektif, dan rasional.

9.

Adanya daftar singkatan baku standar yang disetujui untuk digunakan dalam peresepan obat.

10. Personel yang cukup harus tersedia untuk melakukan tugas dengan memadai

dan memiliki tingkat beban serta jam kerja yang wajar. Selain itu, dilakukan evaluasi kinerja petugas sehingga dapat mengetahui hal-hal apa saja yang selama ini dilakukan yang berpotensi menimbulkan medication errors. Dengan demikian, petugas diharapkan tidak mengulangi hal yang sama dikemudian hari. 11. Lingkungan kerja yang nyaman untuk pembuatan sediaan obat. Sumber kesalahan yang dapat terjadi di lingkungan kerja yaitu ketidakfokusan pada pekerjaan yang sedang dilakukan. 12. Apoteker harus berpartisipasi pada proses pengecekan ulang dalam pembacaan resep, perhitungan dosis, dan pemberian etiket. Apabila mungkin, dapat dilakukan pengecekan silang oleh apoteker yang lain. 13. Apoteker memberikan informasi dan pemahaman mengenai obat kepada pasien atau pengasuhnya secara komunikatif dan memverifikasi bahwa mereka mengetahui dan mengerti cara penggunaan obat beserta informasi lainnya. Jika perlu apoteker dapat memberikan informasi tertulis pada pasien. 14. Sistem Bar code Ketika seorang pasien dirawat di bangsal, maka pasien akan menerima sebuah gelang dengan barcode satu dimensi dari bagian administrasi rumah sakit. Gambar 1 : Contoh barcode satu dimensi pada gelang pasien

10

No register Nama dan sex No rekam Medis

Sistem berbasis barcode yang digunakan terbagi menjadi dua bagian : diluar kamar pasien atau pada sisi tempat tidur pasien dan ruang server dimana mesin server ditempatkan. Di bangsal, pasien menggunakan gelang yang berisi informasi identifikasi dan bungkus obat, sertya kantung darah diberi label barcode. Ketika perawat menscan barcode menggunakan PDA, maka data yang diperoleh dari barcode akan dikirim ke server yang terletak di ruangan lain melalui Access Point Nirkabel (AP). Kemudian server akan memeriksa kembali data yang berisi informasi yang telah diresepkan oleh dokter dan mengirim kembali informasi tersebut pada PDA. Gambar 2 : alur informasi barcode

Gambar 6 : Alur penggunaan barcode

11

IV. Contoh Kasus Medication Error Inpatient : A. Kasus I Pasien bernama Jacquelyn ( 9 tahun) menjalani operasi operasi tulang siku. Setelah mencari rekomendasi dari lima rumah sakit, orang tua Jacquelyn memutuskan satu rumah sakit dan memastikan rumah sakit tersebut adalah rumah sakit terbaik yang dapat memberikan pengobatan terbaik bagi anak mereka. Setelah tiga jam menjalani operasi tulang, Jacquelyn diberi obat penghilang rasa sakit berupa morfin. Pompa morfin terhubung dengan alat-alat lain yang menunjukkan perkembangan keadaan Jacquelyn seperti monitor fungsi hati, monitor fungsi pernafasan, dan monitor oksigen dalam darah. Karena perkembangan yang baik, maka dokter memutuskan untuk menghentikan pemberian morfin pada Jacquelyn dan melepas monitor-monitor yang memantau fungsi organ penting. Malam itu, ibu Jacquelyn, Carol, menginap di rumah sakit menjaga anaknya. Tengah malam ia terbangun untuk mengecek Jacquelyn. Fungsi pernafasannya normal, namun tidak memberikan respon ketika dipanggil. Carol segera meminta bantuan. Setelah dilakukan pengecekan, pompa morfin belum

12

dimatikan, namun mesin diprogram untuk menaikkan dosis morfin untuk Jacquelyn. Konsentrasi obat narkotik ini meningkat tajam pada darah Jacquelyn, ia telah mengalami overdosis morfin. Carol sangat menyayangkan kejadian ini dan meminta rumah sakit untuk bertanggung jawab. Paramedis segera mengecek keadaan Jacquelyn dan memastikan ia baik-baik saja, serta berjanji kesalahan seperti ini tidak akan terjadi lagi. Menurut Carol, hal ini terjadi dikarenakan penggunaan pompa morfin tidak diajarkan kepada suster sehingga tujuan mempermudah penggunaan morfin membawa petaka. B. Kasus II Seorang pasien rawat inap menerima antibiotic piperacillin-tazobactam. Setelah 2 jam pemberian tiba-tiba pasien tersebut merasa sesak dan tercekik. Keluarga pasien terkejut dan langsung memanggil perawat. Setelah farmasis memberikan adrenalin injeksi, akhirnya pasien sedikit dapat bernafas dengan normal kembali. Setelah ditelusuri, ternyata pasien tersebut alrgi dengan penisilin. C. Kasus III Seorang wanita berusia 40 tahun dibawa ke UGD karena sesak napas dan ruam pada kulit setelah menelan makanan laut. Pada pemeriksaan, ditemukan bahwa ia memiliki edema pada tenggorokan dengan stridor ringan saat bernapas. Suhu tubuh wanita tersebut adalah 37oC dengan tekanan darah 100/69 mm Hg dan denyut nadi 70 bpm. Pasien diberi oksigen akan diberikan epinefrin dengan dosis 0,5 mg (1:1000). Tak lama setelah infus IV epinefrin, pasien mengeluh sakit pada dada di bagian kiri dan kesemutan di ujung jarinya. ECG menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ST dan serum kreatin kinase meningkat. Wanita tersebut diberi 2 dosis 0.4 mg sublingual nitrogliserin selama 10 menit berikutnya sampai denyut jantung dan tekanan darah menjadi normal. Pada pemeriksaan EKG berikutnya menunjukkan tingkat ST nya telah normal kembali. Setelah diselidiki, insiden ini terjadi karena ketika epinefrin 0,5 mg dengan konsentrasi 1:1000 diberikan, rute pemberiannya tidak sesuai dan pasien menerima injeksi melalui IV bukan melalui IM.

13

Pada kasus seperti diatas, pasien menerima dosis IV dari epinefrin yang biasanya diberikan untuk infark miokard, bukan injeksi IM epinefrin untuk anafilaksis. Epinefrin adalah katekolamin yang merangsang reseptor alpha (), beta 1 (-1), dan beta 2 (-2) sel efektor adrenergik dengan dosis yang berbeda. Epinefrin memiliki efek pada jantung, pembuluh darah, dan otot polos lain dan dapat digunakan pada anafilaksis dan infark miokard. Epinefrin dapat digunakan dengan dosis yang berbeda, dan diberikan melalui rute pemberian yang spesifik untuk setiap indikasi. Indikasi Anafilaksis Shok anafilaksis Dosis 0,3-0,5 Rute Pemberian dengan IM

mg

konsentrasi 1 :1.000 0,1 mg dengan IV lebih dari 5 menit konsentrasi 1 :10.000 1 mg dengan konsentrasi 1 :10.000

Infark Miokard

IV

Perdapat beberapa penyebab yang berhubungan dengan meningkatkan risiko kesalahan dalam pemberian dosis dan rute pemberian Epinefrin. Dosis adrenalin yang digunakan untuk serangan jantung jauh lebih tinggi daripada dosis yang digunakan untuk anafilaksis. Faktor yang terkait dengan kesalahan terkait adrenalin obat adalah ketersediaan di konsentrasi yang berbeda, yaitu 1:1.000 dan 1: 10. 000. dan konsentrasi yang sesuai untuk situasi tertentu. Ada juga kesalahan pada pembacaan konsentrasi karena semua angka nol pada konsentrasi tersebut. Sebagian besar serangan jantung dan reaksi anafilaksis diperlakukan dalam kondisi darurat sehingga salah membaca label dan konsentrasi dapat terjadi. Selanjutnya, kesalahan overdosis dapat terjadi jika terdapat kurangnya komunikasi antara profesional perawatan kesehatan, pengetahuan yang tidak memadai mengenai dosis yang sesuai, dan salah perhitungan dosis.

14

D. Kasus IV MEDICATION ERROR PADA PASIEN HIV/AIDS DI RAWAT INAP RUMAH SAKIT Kesalahan pengobatan yang terkait dengan resep dan terapi pada pasien HIV/AIDS telah dilaporkan oleh Institute of Medicine (IOM) pada Juli 2006. IOM menyatakan bahwa setiap tahunnya di Amerika Serikat, ada 1,5 juta efek obat yang merugikan akibat kesalahan pengobatan, sehingga meningkatkan biaya kesehatan. HIV adalah salah satu contoh penyakit yang sangat rentan terhadap resiko kesalahan pengobatan karena memerlukan penanganan yang kompleks, adanya interaksi obat, dan meningkatnya efek samping obat. Dalam suatu studi mengenai medication error dalam penanganan HIV, peneliti menemukan bahwa pasien yang terinfeksi HIV yang menerima perawatan disebuah rumah sakit pendidikan memiliki kesalahan dalam peresepan yang meningkat dari 2% pada tahun 1996 menjadi 12% pada tahin 1998. Perhatian terbesar tertuju pada kesalahan resep, yaitu sebanyak 82% (underdose dan overdose). Penelitian terbaru mengidentifikasikan 61 kesalahan peresepan pada pasien yang menerima terapi antiretroviral. 1. Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi pada pasien HIV: a. Jumlah dosis b. Menggabungkan obat antiretroviral degan obat lain yang menyebabkan interaksi c. Pemberian 2 atau kurang antiretroviral d. Penundaan dalam terapi 2. Peran Apoteker Peran apoteker berdampak besar dalam meminimalkan kesalahan pengobatan pada pasien HIV, apoteker harus menyadari jenis-jenis kesalahan pengobatan yang saat ini terjadi dan mengembangkan strategi yang efektif yang 15

dapat digunakan untuk mencegah kesalahan tersebut, serta yang terpenting adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dengan tepat rejimen antiretroviral berdasarkan standar yang ada (Farmakope Indonesia). Tepat rejimen antiretroviral: Pedoman terbaru untuk pengobatan infeksi HIV merekomendasikan bahwa pasien yang baru didiagnosis HIV dapat menerima Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) atau Ritonavir-Protease Inhibitor (PI) dengan kombinasi 2 Inhibitor Nucleoside Reverse Transcriptase (NRTI). Tabel 1 dan 2, US Department of Health and Human Services dan International AIDS Society memberikan rekomendasi yang jelas mengenai rejimen dosis awal, tetapi tidak menjelaskan mengenai rejimen dosis berikutnya dalam kasus kegagalan terapi akibat resistensi HIV, sehingga dilakukan tes resisten HIV untuk menentukan obat yang efektif pada pasien yang telah resisten terhadap PI, NNRTI, atau NRTI. Tabel 1. Rekomendasi rejimen dosis antiretroviral untuk pengobatan pada pasien yang terinfeksi HIV-1 NNRTI PI Evaviren + (Lamivudin/Emtricitabin) + (Zidovudin/Tenofir DF) Atazanavir/ritonavir Fosamprenavir/ritonavir Lopinavir/ritonavir (koformulasi) + (lamivudin/emtricitabin) Zidovudin Tabel 2. Rekomendasi komponen pada terapi antiretroviral Nucleoside (nucleotide) RTI Tenofir DF/Emtricitabin (lamivudin) Zidovudin/lamivudin (emtriciyabin) Non-nucleoside RTI Ritonavi-PI Abacavin/lamivudin (emtricitabin) Efavirenz/nevirapin Ritonavir + loinavir Ritonavir + fosamprenavir Ritonavir Tabel 3. Prescribing Errors Type of Error Example 16

Salah obat/formulasi

Nama

obat

Soundalike

or

lookalike Salah frekuensi dosis Singkatan-singkatan dalama resep Salah dosis Kesalahan dosis dalam formulasi Overdose Underdose Kegagalan dalam mengatur

ekskresi/kerusakan hepar Kegagalan dalam mengatur berat badan pasien 3 kali sehari setiap 8 jam Terlalu sering Jarang Obat-obat Obat-makanan/minuman Obat-obat herbal Kekuatan dosis Frekuensi dosis Batas diet 73%

Interaksi Obat

Ketidaklengkapan informasi

A. Salah Obat Nama-nama obat yang mirip sering menimbulkan kebingungan dan kesalahpahaman, sebagai contoh NNRTI nevirapin (Viramun; Boehringer Ingelheim Pharmaceutical, Inc., Ridgefield, CT) dengan nelfinavir (Viracept; Pfozer, New York, NY). Selain kesamaan merek dan nama generik, penggunaan singkatan dalam resep HIV juga bias menjadi suatu penafsiran yang salah, misalnya AZT keliru untuk azatioprin. Penggunaan singkatan yang terkait dengan terapi antiretroviral harus dihindari pada penulisan resep dan jika tetap terdapat singkatan maka tidak boleh diisi sampai diklarifikasi kepada dokter. Saat menulis resep, dokter sebaiknya mempertimbangkan obat generic dibandingkan obat paten untuk menghindari singkatan nama obat yang memiliki berbagai macam arti. Tabel 4. Obat-obat soundalike/lookalike Azidotimidin Lamivudin Azatioprin Lamotrigin

17

Nevirapin Ritonavir Saquinavir Zidovudin

Nelfinavir Retrovir Sinequan Zovirax

B. Salah Dosis Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kesalahan akibat overdose atau underdose sebanyak 82%, kesalahan ini dapat terjadi ketika resep tidak memperhitungkan dosis. Dosis obat antiretroviral berdasarkan berat badan pasien, klirens ginjal, dan penurunan nilai hepar juga menjadi perhatian khusus. Jika pasien menerina dosis berlebih, akan berpotensi toksik yang dapat menibgkatkan efek samping pada ginjal, pankreatik, hepatotoksik, gastrointestinal, dan komplikasi metaolik, sedangkan penggunaan dosis yang kurang dari seharusnya menyebabkan efek terapi tidak tercapai.

C. Salah frekuensi dosis Dibanyak rumah sakit, pemberian obat tiga kali sehari dalam waktu 24 jam, sehingga pasien dapat menerima 3 dosis dalam periode 18 jam. Namun, jika suatu obat dituliskan untuk setiap 8 jam, maka pasien akan menerima 3 dosis dalam waktu 24 jam. Penelitian menemukan kesalahan pemberian obat sebanyak 40% pada pasien yang menerima terapi PI, seiring dengan tidak konsistennya dalam mengambil obat pada jadwal yang sama, yang beresiko meningkatnya obat subterapetik, sehingga pasien menjadi resisten. Oleh karena itu, pasien perlu diberitahu betapa pentingnya jadwal mengambil obat dan meminumnya. Dokter, perawat, dan farmasis juga harus memantau pasien dalam pengobatannya. D. Interaksi Obat Interaksi obat sering terjadi pada pasien HIV karena NNRTI dan PI dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 (CYP450) yang dapat menghambat atau menginduksi aktivitas enzim CYP450, dan berinteraksi dengan obat-obat herbal jika pasien melakukan terapi dengan obat herbal.

18

E. Peran apoteker : 1. Apoteker dapat mengidentifikasi dan mencegah terjadi kesalahan pada resep dalam hal interaksi obat 2. Mendorong tenaga-tenaga medis yaitu dokter untuk menuliskan obat generik dalam resep untuk menghindari kesalahan 3. Memperbarui referensi-referensi pengobatan untuk memberikan perawatan yang akurat dan berkualitas 4. Memperbarui software mengenai interaksi obat secara berkala5. Meningkatkan penggunaan teknologi, termasuk entry ke dokter, dan

personal digital assistant juga dapat mengurangi frekuensi kesalahan pada resep 6. Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan satu apotek 7. Gambar obat HIV dapat digunakan dalam pengaturan rawat inap untuk membantu mengidentifikasi pasien, terutama bila pasien tidak dapat mengingat kode obat mereka.

DAFTAR PUSTAKAAstuti, N. Y. 2009. Kajian peresepan berdasarkan keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 pada resep pasien rawat jalan di instalasi farmasi rumah sakit umum daerah Kajen kabupaten Pekalongan bulan Juli 2008. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Azzopardi, Lillian M. (2010). Lecture Notes in Pharmacy Practice. Illinois: Pharmaceutical Press. Hal. 25-27. Bakhtiari, Elyas., (2010). Study: Bar Code Technology Reduces Medication Errors, Bate, David W.,(2000). Using Information to Reduce Medication Errors in Hospitals, BMJ Journal diambil 26 Oktober 2010 dari http://www.bmj.com/content/320/7237/788.full

19

Choi, Jong Soo., Kim, Dongsoo., (2009). Technical Considerations for Successful Implementation of Barcode-Based Medication System in Hospital, diambil 23 Oktober 2010 dari http://synapse.koreamed.org/Synapse/Data/PDFData/0088JKSMI/jksmi FDA. (2011).Strategies to Reduce Medication Errors : Working to Improve Medication Safety. Diakses 25 Februari 2012 dari http://www.fda.gov/Drugs/ResourcesForYou/Consumers/ucm143553.htm Ferner, R. (2000). Medication error that have led to manslaughter charges. BMJ , 321, 1212-1216 . Hicks, R. W., Becker, S. C., & Jackson, D. G. (2008). Case Involving a Urinary Catheter Implicated in a Wrong Route Error: Definition of Medication Error. September 9, 2010, from http://www.medscape.com/viewarticle/586738_3 Ismail, M. (2010, Agustus 3). September 18, 2010. http://www.beritajatim.com O'shea, Ellen. (1998). Factors contributing to medication errors: a literature review. Journal of Clinical Nursing, 8, 496-504. Pramana, B. (2010, Februari 12). September 18, 2010.

http://basukipramana.blogspot.com/2010/02/pasien-tidak-sembuh.html Siregar, C.J.P. dan Kumolosasi, Endang. (2005). Farmasi Klinik : Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC. Hal.408-411.

20