makalah asas bantuan hukum
DESCRIPTION
tugas Haptun FH UITRANSCRIPT
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT atas rahmatnya Tim Penulis
dapat menyelesaikan Makalah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Asas
Bantuan Hukum dan Penerapannya dalam PTUN dengan baik demi menyelesaikan salah
satu tugas dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia.
Tim Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen maupun tim dosen mata kuliah
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Fakultas Hukum, Universitas Indonesia yang
telah memberikan ilmunya kepada Tim Penulis mengenai Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara. Tim Penulis ucapkan terima kasih terutama kepada Prof. Dr. Anna Erliyana
S.H., M.H. dan Pak Wahyu Andrianto S.H., M.H. yang telah memberikan pengetahuan dan
pembelajaran yang membuat kami semakin matang dalam memandang dan mempelajari
mengenai Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Semoga apa yang Tim Penulis kerjakan menjadi amal ibadah di sisi Tuhan Yang Maha
Esa, dan semoga apa yang Tim Penulis susun kali ini dapat memenuhi ekspektasi dari
pengajar dan menjadi bekal ilmu pada Tim Penulis khususnya dan bermanfaat bagi
masyarakat pada umumnya.
Depok, 4 September 2015
Tim Penulis
1
Daftar Isi
Kata Pengantar…………………………………………………..………………….…….....1
Daftar Isi…………………………………...……………………………….………….……..2
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang.…………………………………………………………..…………………....3
Rumusan Masalah.……………………………………………….……….…………………...4
Tujuan...………………………………………………...………………….………………….4
Manfaat……………………………………………………………………………..……...….5
BAB II Pembahasan
Pentingnya Suatu Asas………………………………………………………………………...6
Definisi Bantuan Hukum secara Umum……………………………………………………….6
Definisi Bantuan Hukum Menurut UU Kekuasaan Kehakiman………………………………8
Definisi Bantuan Hukum menurut UU PTUN dan Penerapannya dalam
PTUN………………………………………………………………………………………….9
Perbedaan Bantuan Hukum yang Terdapat dalam Hukum Acara PTUN dan Hukum Acara
Perdata………………………………………………………………………………………..11
Contoh Bantuan Hukum dalam Hukum Acara PTUN…………………………………….....12
BAB III Penutup
Kesimpulan.………………………………………………………………………………......13
Saran.…………………………………………………………………………………..……..13
Daftar Pustaka…………………………………………………………..…………...…….. 14
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum, dan salah satu ciri negara hukum adalah
menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas
atau ada legalitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun berdasarkan hukum tidak
tertulis.1 Keabsahan negara memerintah ada yang mengatakan bahwa karena negara
merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat,
dan mengabdi kepada kepentingan umum.2
Negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi
rakyat.3 Oleh karenanya menurut Philipus M. Hadjon4 bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat terhadap tindak pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip, prinsip hak asasi manusia
dan prinsip negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan daripada negara hukum.5
Dalam konstitusi Indonesia, tertuang hak asasi manusia yang juga merupakan hak dasar
bagi setiap warga negara Indonesia, yaitu “Segala warga negara bersamaan kedudukanya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”6. Selain itu dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga mengatakan
bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Selain itu dari konsep negara
hukum rule of law sendiri, memiliki tiga tolak ukur utama, yaitu (1) Supremasi hukum; (2)
Persamaan di depan hukum; dan (3) Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan.
Dari penjabaran tersebut dapat diketahui bahwa setiap warga memiliki persamaan kedudukan
di depan hukum dan berhak atas jaminan kepastian hukum yang adil.
Apabila hak tersebut dihubungkan kepada para pihak yang berperkara dalam pengadilan,
maka dikenalah sebuah asas bantuan hukum dalam proses beracara yang juga merupakan hak
dari setiap warga negara Indonesia. Asas tersebut berarti bahwa setiap orang wajib diberikan
1Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 1
2Arief Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, (Jakarta: PT. Gramedia Pusaka Utama, 1996), hlm. 1
3Zairin Harahap., Op.Cit., hlm.2
4Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hlm.71
5Zairin Harahap., Op.Cit., hlm.2
6 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
3
kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum pada tiap tingkatan pemeriksaan guna
kepentingan pembelaan7. Terlebih lagi, jika dihubungkan dengan hukum acara peradilan tata
usaha negara, yang memiliki salah satu ciri kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat
dan Tergugat, dimana Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan
dengan Tergugat8, bantuan hukum sangatlah dibutuhkan. Walaupun, dalam hukum acara
peradilan tata usaha negra ini tidak adanya kewajiban bagi para pihak untuk menunjuk
seorang wakil yang sah dalam proses tersebut,9 namun pada prakteknya banyak peraturan
yang tidak dijelaskan secara mendetail, baik dari segi formil maupun materiil dalam hukum
acara peradilan tata usaha negara, sehingga dibutuhkan orang yang ahli, atau mengetahui
lebih mendetail mengenai prosedur praktek beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
Oleh karena itu, Tim Penulis dalam makalah ini akan menjabarkan beberapa hal penting
mengenai asas bantuan hukum, baik secara umum, maupun khusus dalam praktek beracara
dalam Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengetahui lebih dalam mengenai praktek
beracara dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini mengangkat masalah dalam bentuk pertanyaan berupa:
1. Bagaimanakah definisi bantuan hukum secara umum, menurut UU Kekuasaan
Kehakiman, dan UU Peradilan Tata Usaha Negara?
2. Bagaimanakah penerapan bantuan hukum dalam hukum acara perdata dan hukum acara
peradilan tata usaha negara?
3. Apakah terdapat perbedaan penerapan asas bantuan hukum dalam hukum hukum acara
perdata dan hukum acara peradilan tata usaha negara?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Memenuhi salah satu prasyarat tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara.
2. Menambah pengetahuan khususnya mengenai asas bantuan hukum dalam proses
beracara.
7 Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), hlm. 15
8 http://www.shnplaw.com/article.html?id=Peradilan_Tata_Usaha_Negara, diakses pada 4 September 2015 pukul 2.57
9 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2005), hlm. 48
4
3. Menyumbang sedikit pemikiran mengenai permasalah yang diangkat.
4. Menambah pengalaman tim penulis dalam membuat kaya ilmiah.
D. Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini bagi masyarakat adalah mengetahui bahwa
sejatinya setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum apabila pihak
tersebut berperkara. Serta menganalisis penerapan asas tersebut dalam hukum acara perdata
dan hukum acara peradilan tata usaha negara. Dari analisa tersebut, dapat menjadi
pembelajaran serta informasi akan hak dari warga negara yang diberikan oleh negara dalam
proses beracara. Sedangkan bagi tim penulis makalah ini berguna sebagai pemberi nilai
dalam mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu makalah ini juga
memberikan kesempatan kepada tim penulis dalam memberikan pemikirannya. Tim penulis
juga berharap adanya tanggapan dan masukan agar terjadi pembelajaran 2 (dua) arah dan
manfaat penulisan karya ilmiah ini semakin terasa.
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pentingnya Suatu Asas
Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan,
bahwa asas hukum merupakan jantung dari sebuah peraturan hukum. Kita menyebutnya
demikian oleh karena; pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan
kepada asas-asas tersebut. Lain halnya apabila disebut landasan, asas hukum ini layak disebut
sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.
Selanjutnya Satjipto Rahardjo menambahkan bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu
bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu
mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis.
Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Bruggink memberikan definisi asas hukum
adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-
masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim,
yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat
dipandang sebagai penjabarannya.10
B. Definisi Bantuan Hukum secara Umum
Salah satu penegakan keadilan yang menjadi manifestasi perlindungan hukum bagi
masyarakat adalah melalui bantuan hukum, yang menjadi penting apabila adanya pengakuan
dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan di bidang politik,
hukum, sosial, budaya dan pendidikan.11
Bantuan hukum adalah salah satu upaya mengisi hak asasi manusia (HAM) terutama
bagi lapisan termiskin rakyat kita, orang kaya sering tidak membutuhkan bantuan hukum
karena sebetulnya hukum itu dekat dengan orang kaya.12
Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa:
“Bantuan hukum merupakan jasa hukum yang khusus diberikan kepada fakir miskin
yang memerlukan pembelaan secara cuma-cuma, baik di luar maupun di dalam
10 Zairin Harahap., Op.Cit., hlm.23
11 Yustisiana Normalitasari, Peranan Advokat dalam Perlindungan Hukum Bagi Tersangka dan Terdakwa, (Yogyakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2013), hlm. 16
12 Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 9
6
pengadilan, secara pidana, perdata dan tata usaha negara, dari seseorang yang
mengerti seluk beluk pembelaan hukum, asas-asas dan kaidah hukum, serta hak asasi
manusia.”
Frans Hendra Winarta menjelaskan bahwa dalam bantuan hukum terdapat beberapa unsur,
yaitu: 13
1. Penerima bantuan hukum adalah fakir miskin atau orang yang tidak mampu secara
ekonomi;
2. Bantuan hukum diberikan baik di dalam ataupun di luar proses persidangan;
3. Bantuan hukum diberikan baik dalam lingkup peradilan pidana, perdata, maupun tata
usaha negara;
4. Bantuan hukum diberikan secara cuma-cuma.
Abdurrahman memberikan pengertian bantuan hukum meliputi hal-hal berikut: 14
1. Memberi nasehat hukum di luar pengadilan
2. Mewakili dan/atau mendampingi seseorang di muka pengadilan dalam perkara
perdata
3. Membela seseorang dalam perkara pidana.
Sedangkan Clarence J. Dias, mengartikan bantuan hukum sebagai:
“.....segala bentuk pemberian layanan oleh kaum profesi hukum kepada khalayak di
masyarakat dengan maksud untuk menjamin agar tidak ada seorangpun di dalam
masyarakat yang hanya untuk memperoleh nasehat-nasehat hukum yang diperlukan
hanya karena oleh sebab tidak dimilikinya sumber daya financial yang cukup…..”15
Di negara Barat, istilah tentang bantuan hukum dipergunakan dalam dua arti yaitu “legal
aid” dan “legal assistances”. Istilah legal aid dipergunakan untuk menunjukkan pengertian
bantuan hukum dalam arti yang sempit, yaitu berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum
kepada seorang yang terlibat dalam suatu perkara secara cuma-cuma atau gratis, khususnya
bagi mereka yang tidak mampu. Sedangkan pengertian legal assistances dipergunakan untuk
menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti luas, yaitu baik pemberian bantuan
13 Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2000), hlm. 23
14 Abdurrahman, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan Hukum Acara Pidana Baru di Indonesia , (Bandung: Alumni,
1980), hlm. 118
15 Yesmil Anwar, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanannya dalam Penegakan Hukum di
Indonesia), (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 246
7
hukum kepada mereka yang tidak mampu maupun pemberian bantuan hukum oleh para
advokat yang mempergunakan honorarium.16
Bantuan hukum dalam pelaksanaannya dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 17
1. Bantuan Hukum Non Litigasi
Merupakan bantuan hukum yang diberikan oleh para Advokat atau Konsultan
Hukum, atau Ahli Hukum lainnya dalam bentuk advis hukum, pendampingan, sebagai
kuasa hukum dalam rangka untuk menyelesaikan suatu masalah hukum di luar proses;
2. Bantuan Hukum Litigasi
Merupakan bantuan hukum yang diberikan oleh para advokat atau pemegang kuasa
khusus insidentil atau pemegang kuasa khusus karena tugas/jabatan di suatu institusi
dalam bentuk advis hukum, pendampingan, sebagai kuasa hukum, dalam rangka
untuk menyelesaikan suatu perkara di pengadilan.
C. Definisi Bantuan Hukum Menurut UU Kekuasaan Kehakiman
Pengaturan bantuan hukum dalam sebuah hukum acara dapat kita temukan pada UU No.
48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tepatnya pada Bab 11 Pasal 56 dan 57.
Dengan diaturnya mengenai asas bantuan hukum pada Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman kita dapat mengetahui bahwa bantuan hukum merupakan asas yang penting dan
perlu diperhatikan.
Pada Pasal 56 ayat (1) yang bunyinya: “Setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum.”. Dalam penjelasan UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “bantuan hukum” adalah pemberian jasa hukum (secara cuma-
cuma) yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan
(yang tidak mampu).18 Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap orang tanpa
terkecuali berhak mendapatkan bantuan hukum selama proses peradilan, khususnya bagi
orang yang tidak mampu secara ekonomi, disediakan lembaga bantuan hukum untuk
membantu mereka selama proses peradilan berlangsung.
Dalam Pasal 56 ayat (2) dikatakan: “Negara menanggung biaya perkara bagi pencari
keadilan yang tidak mampu”. Berdasarkan penjelasan UU Kekuasaan Kehakiman Yang
dimaksud dengan “pencari keadilan yang tidak mampu” adalah orang perseorangan atau
16 Abdurrahman., Op.Cit., hlm. 115
17 Yustisiana Normalitasari, Op.Cit., hlm. 16-17
18 Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
8
sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum untuk
menangani dan menyelesaikan masalah hukum.19 Sehingga dapat diartikan juga bahwa
bantuan hukum tersebut diberikan pada orang yang tidak mampu seperti fakir miskin
(penghasilan rendah) dan buta hukum (buta huruf atau berpendidikan rendah, tidak berani
memperjuangkan hak-haknya akibat tekanan dari yang lebih kuat), dan lain-lain seperti yang
telah disebutkan sebelumnya pada pengertian bantuan hukum diatas. Bantuan hukum ini
seluruhnya ditanggung oleh Negara.
Selain itu dalam Pasal 57 ayat (1) yang berbunyi: “Pada setiap pengadilan negeri
dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh
bantuan hukum”20. Pasal ini mengandung unsur adanya perintah bagi tiap pengadilan negeri
untuk membentuk pos bantuan hukum guna membantu pihak-pihak yang memerlukan
bantuan hukum termasuk dalam peradilan tata usaha Negara.
Pada Pasal 57 ayat (2) yang bunyinya : “Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap
perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap”21 ditentukan bahwa bantuan
tersebut diberikan secara cuma-cuma yang artinya tanpa dikenakan biaya sama sekali dan
bantuan itu diberikan pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dan terakhir, pada Pasal 57 ayat (3) ditentukan
bahwa semua harus dijalankan sesuai undang-undang.
D. Definisi Bantuan Hukum menurut UU Peradilan Tata Usaha Negara dan
Penerapannya dalam PTUN
Dari berbagai definisi diatas, dapat diketahui bantuan hukum adalah pemberian jasa
hukum kepada setiap orang yang tersangkut suatu perkara.22 Dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986, ketentuan tentang bantuan hukum diatur dalam Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal
84.23
19 Penjelasan Pasal 56 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
20 Pasal 57 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
21 Pasal 57 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
22 R. Wiryono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.71
23 Loc.Cit.
9
Pasal 57 ayat (1) menentukan: “Para pihak yang bersengketa, masing-masing dapat
didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa”. Jika diurai maksud dari
ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:24
a. Meskipun para pihak yang bersengketa hadir di pemeriksaan sidang pengadilan,
masing-masing pihak dapat didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa, atau
b. Jika salah satu atau para pihak yang bersengketa tidak hadir di pemeriksaaan sidang
pengadilan, pihak yang tidak hadir tersebut dapat diwakili oleh seorang atau beberapa
orang kuasa.
Hanya saja Pasal 58 menentukan bahwa apabila dipandang perlu, hakim berwenang
memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke
persidangan, sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa.
c. Yang dapat didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa kuasa adalah “para
pihak yang bersengketa” saja yaitu Penggugat, Tergugat, atau pihak ketiga yang ikut
serta dalam penyelesaian perkara Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung. Seorang
saksi yang diminta keterangan di pemeriksaan sidang pengadilan tidak dapat
didampingi atau diwakili oleh seorang atau beberapa orang kuasa.
Siapakah yang dimaksud dengan seorang atau beberapa orang kuasa dalam Pasal 57 ayat (1)
tersebut?
Pasal 1792 KUHPerdata menentukan pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan
mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya, untuk atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan. Yang dimaksud dengan menyelenggarakan suatu
urusan dalam Pasal 1792 KUHPerdata adalah melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu suatu
perbuatan yang mempunyai suatu akibat hukum.25
Dengan demikian, yang dimaksud dengan orang atau beberapa orang kuasa dalam Pasal
57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah orang atau beberapa orang yang
menerima kuasa (penerima kuasa) dan orang yang bersengketa (pemberi kuasa) dalam
perkara sengketa Tata Usaha Negara untuk melakukan perbuatan hukum..
Dari ketentuan yang terdapat pada Pasal 57 ayat (2), dapat diketahui bahwa cara
pemberian kuasa adalah sebagai berikut:
a. Dengan memberikan surat kuasa kusus, atau
b. Dengan memberikan surat kuasa secara lisan di depan sidang pengadilan.
24 Loc.Cit.
25 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1977), hlm. 144.
10
Di dalam surat kuasa khusus harus jelas, terperinci disebutkan nama dan identitas para
pihak yang bersengketa, objek perkara atau sengketa dan perbuatan hukum apa saja yang
dapat dilaksanakan atau dikerjakan oleh penerima kuasa. Suatu surat kuasa meskipun
disebutkan surat kuasa khusus, tetapi jika isinya bersifat umum, surat kuasa tersebut bukan
termasuk surat kuasa khusus seperti yang dimaksud oleh Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986.
Apabila di dalam surat kuasa khusus disebutkan bahwa penerima kuasa diberikan hak
substitusi, maka kepada penerima kuasa diberi hak untuk menunjuk penerima kuasa baru,
tetapi sebaliknya jika tidak disebutkan bahwa penerima kuasa diberikan hak substitusi,
kepada penerima kuasa tidak diberi hak untuk menunjuk penerima kuasa baru.
Surat kuasa khusus yang dibentuk tidak harus dibuat dalam bentuk akta otentik,
misalnya akte notaris, tetapi dapat juga dibuat dalam bentuk akte di bawah tangan. Surat
kuasa khusus dapat juga dibuat di luar negeri, hanya saja Pasal 57 ayat (3) menentukan
bahwa bentuk dari surat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan di negara yang
bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.
Pasal 84 ayat (1) menentukan bahwa apabila dalam persidangan seorang kuasa
melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya, pemberi kuasa dapat mengajukan
sangkalan secara tertulis disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh
pengadilan.
Jika sangkalan tersebut dikabulkan, Pasal 84 ayat (2) menentukan bahwa hakim wajib
menetapkan dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidangbahwa tindakan kuasa itu
dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita acara pemeriksaan.
E. Perbedaan Bantuan Hukum yang Terdapat dalam Hukum Acara PTUN dan Hukum
Acara Perdata26
Pemberian kuasa oleh kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal
57 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat (1) HIR.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, para pihak baik penggugat atau tergugat dapat diwakili atau
didampingi oleh seorang kuasa atau beberapa orang kuasa hukum. Pemberian kuasa ini dapat
dilakukan sebelum atau selama perkara diperiksa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan
sebelum atau selama perkara diperiksa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum atau
selama perkara diperiksa. Pemberian surat kuasa yang dilakukan sebelum perkara diperiksa
26 Zairin Harahap., Op.Cit., hlm. 37
11
harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan pemberian surat kuasa ini,
si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya
pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa
yang dilakukan di persidangan bisa dilakukan secara lisan.
F. Contoh Bantuan Hukum dalam Hukum Acara PTUN27
Contoh dari pelaksanaan asas ini dapat kita lihat pada putusan nomor
228/G/2014/PTUN.JKT, dan juga seperti putusan PTUN lain pada umumnya. Pada putusan
tersebut kita dapat mengetahui bahwa pihak Niman bin Sian memberikan surat kuasa kepada
Drs. Mudjadid Duluwathan S.H., M.H.,MBL. untuk mewakili kepentingannya sebagai
penggugat di pengadilan. Berdasarkan surat kuasa tersebut Drs. Mudjadid berperan sebagai
kuasa hukum Niman bin Sian yang memberikan bantuan hukum selama proses persidangan
sampai terdapat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu asas bantuan hukum
dalam proses beracara di PTUN telah terpenuhi.
BAB III
27 http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/ptun-jakarta/direktori/tun/ diakses pada 5 September 2015 pukul 11.21
12
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam proses berperkara di pengadilan dikenal adanya asas equality before the law yang
berarti persamaan di depan hukum. Hal tersebut dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Untuk mewujudkan persamaan tersebut, maka salah satunya adalah dengan cara diberikannya
bantuan hukum .
Ketika berbicara mengenai hukum acara PTUN, bantuan hukum kemudian menjadi
sangatlah penting. Karena dalam proses beracara ini, pihak-pihak yang bersengketa bukanlah
para pihak yang memiliki kedudukan yang sejajar. Selain itu juga, pengaturan mengenai
hukum acara PTUN yang tidak diatur secara mendetail, sehingga membutuhkan orang yang
memiliki pengetahuan lebih dalam hukum acara PTUN dalam jalannya proses persidangan.
Mengenai bantuan hukum ini, pengaturannya dapat kita temukan dalam UU Kekuasaan
Kehakiman, maupun UU PTUN. Apabila dilihat dan dibandingkan, sebetulnya tidak ada
perbedaan yang cukup signifikan antara bantuan hukum yang dilakukan di PTUN ataupun di
badan peradilan lainnya. Perbedaan yang dapat terlihat secara jelas hanyalah dasar hukum
dari bantuan hukum itu sendiri bagi masing-masing badan peradilan.
B. Saran
Pada dasarnya bantuan hukum merupakan hak bagi tiap-tiap individu yang berperkara di
pengadilan. Dan dalam pengaturan pun sudah sangat jelas mengenai hal tersebut. Namun,
terkadang dalam prakteknya, pihak-pihak yang kurang mampu pun tetap sulit untuk
mendapatkan bantuan hukum yang benar-benar berkualitas dan membela haknya. Hemat
kami tim penulis, agar para pihak yang ditugaskan oleh negara untuk memberikan bantuan
hukum kepada pihak yang kurang mampu, benar-benar melaksanakan amanahnya dengan
lebih baik lagi agar tidak terdapat hak-hak yang terlanggar dikemudian hari.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
5. Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2007, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada;
6. Budiman, Arief, Teori Negara; Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, 1996, Jakarta: PT.
Gramedia Pusaka Utama;
7. M. Hadjon, Philipus, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, 1987, Surabaya:
PT. Bina Ilmu;
8. Sofyan, Andi, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, 2014, Jakarta: Prenadamedia
Group;
9. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Buku II, 2005, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan;
10. Normalitasari, Yustisiana, Peranan Advokat dalam Perlindungan Hukum Bagi Tersangka
dan Terdakwa, 2013, Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga;
11. Mulya Lubis, Todung, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, 1986, Jakarta:
LP3ES;
12. Hendra Winarta, Frans, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan,
2000, Jakarta: Elex Media Komputindo;
13. Abdurrahman, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan Hukum Acara Pidana Baru di
Indonesia, 1980, Bandung: Alumni;
14. Anwar, Yesmil, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen dan Pelaksanannya dalam
Penegakan Hukum di Indonesia), 2009, Bandung: Widya Padjadjaran;
15. R. Wiryono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2007, Jakarta: Sinar Grafika;
16. Subekti, Aneka Perjanjian, 1977, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti;
17. http://www.shnplaw.com/article.html?id=Peradilan_Tata_Usaha_Negara ;
18. http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/ptun-jakarta/direktori/tun/ .
14