makalah
DESCRIPTION
makalah psikologiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa atau
mental seseorang secara langsung karena sifatnya yang abstrak. Psikologi
juga membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa atau mental
tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya. Sehingga
psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
tingkah laku dan proses mental. Dengan adanya psikologi tersebut, pasti
setiap orang mengalami gangguan-gangguan tertentu dalam kehidupannya.
Gangguan-gangguan itu sangat fatal khususnya bagi para remaja yang
sedang mengalami masa reproduksinya. Masa reproduksi merupakan masa
yang terpenting bagi para wanita dan berlangsung kira – kira 33 tahun.
Pada masa inilah terjadi perubahan fisik dan emosional yang kompleks,
memerlukan adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup. Konflik antara
keinginan dan kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosial
kultural dan persoalan dalam hidup itu dapat dijadikan sebagai pencetus
dari berbagai reaksi psikologis, mulai dari reaksi emosional ringan hingga
ke tingkat gangguan jiwa yang berat.
Gangguan pada masa reproduksi tersebut sangat penting
diidentifikasikan untuk mencegah terjadinya konflik-konflik yang tidak
diinginkan terutama pada gangguan psikologi perkawinan. Gangguan
psikologi pada masa perkawinan diantaranya yaitu perkawinan poligami,
perkawinan eugenis, term marriage (perkawinan periodik), trial marriage
(perkawinan percobaan) dan companionate marriage (perkawinan tanpa
anak). Gangguan tersebut sangat mempengaruhi proses berkembangnya
seorang individu dalam menyesuaikan hidupnya di kalangan masyarakat.
Oleh karena itu, kami akan mengkaji lebih lanjut tentang gangguan-
gangguan pada masa reproduksi khususnya gangguan psikologi
perkawinan dan cara mengatasinya melalui komunikasi serta konseling.
1
1.2 Rumusan masalah
1. Apakah definisi dari perkawinan?
2. Apa saja gangguan-gangguan pada masa perkawinan?
3. Apa saja kesulitan yang dihadapi dalam penyesuaian perkawinan?
4. Bagaimana cara mengatasi gangguan-gangguan psikologi perkawinan?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan definisi dari perkawinan.
2. Mendeskripsikan gangguan-gangguan pada masa perkawinan.
3. Mendeskripsikan kesulitan yang dihadapi dalam penyesuaian
perkawinan.
4. Mendeskripsikan bagaimana cara mengatasi gangguan-gangguan
psikologi perkawinan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perkawinan sepasang mempelai yang
dipertemukan secara formal di hadapan penghulu/kepala agama, para saksi dan
sejumlah hadirin yang disahkan secara resmi sebagai suami isteri dengan upacara
ritual-ritual tertentu. Dimana bentuk proklamasi laki-laki dan wanita bersifat dwi
tunggal yakni saling memiliki satu sama lain.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal 1
bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
2.1.1 Regulasi/pengaturan perkawinan
Umur
Seks
Upacara perkawinan
Pembayaran uang nikah
Hak dan kewajiban suami isteri
Pembagian harta
Perceraian
2.1.2 Tujuan regulasi
Bukan untuk menghalangi perkawinan tapi untuk menjamin
perkawinan
1. Ditegakkannya kesejahteraan sosial
2. Mencegah perkawinan dengan keluarga dekat/incest
3. Untuk memperbaiki ras/keturunan
4. Mencegah perceraian yang sewenang-wenang
3
5. Menjamin kebahagiaan individu, kelestarian keluarga, kestabilan
struktur masyarakat
2.1.3 Alasan/motivasi perkawinan
1. Distimulis oleh dorongan-dorongan romantik
2. Hasrat untuk mendapatkan kemewahan hidup
3. Ambisi untuk mencapai status sosial tinggi
4. Keinginan untuk mendapatkan jaminan/asuransi hidup di masa
tua
5. Keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan
pasangannya
6. Hasrat untuk melepaskan diri dari belenggu atau kungkungan
orang tua/keluarga
7. Dorongan cinta terhadap anak dan ingin mempunyai anak
8. Keinginan untuk mengabadikan nama leluhur
9. Malu kalau sampai disebut sebagai “perawan tua”
2.1.4 Penyesuaian Dalam Perkawinan
1. Penyesuaian Seksual
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Seksual
i. Perilaku terhadap Seks
Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara laki-laki
dan perempuan menerima informasi seks selama masa anak-
anak dan remaja.Sekali perilaku yang tidak menyenangkan
dikembangkan maka akan sulit sekali untuk dihilangkan.
ii. Pengalaman Seks Masa Lalu
Cara orang dewasa dan temen sebaya bereaksi terhadap
masturbasi, petting dan hubungan suami isteri sebelum
menikah, ketika mereka masih muda dan cara laki-laki dan
perempuan merasakan itu sangat mempengaruhi perilaku
mereka terhadap seks. Apabila pengalaman awal seorang
4
perempuan tentang petting tidak meyenanagkan, hal ini akan
mewarnai sikapnya terhadap seks.
iii. Dorongan Seksual
Dorongan seksual berkembang lebih awal pada laki-laki dari
pada perempuan cenderung tetap demikian, sedangkan pada
perempuan timbul secara periodik dan turun naik selama
siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi minat dan
kenikmatan akan seks yang kemudian akan mempengaruhi
penyesuaian seksual.
iv. Pengalaman Seks Marital Awal
Kepercayaan bahwa hubungan seksual menimbulkan keadaan
ekstasi yang tidak sejajar dengan pengalaman lain. Hal ini
menyebabakan banyak orang dewasa muda merasa begitu
pahit dan susah sehingga penyesuaian seksual sulit atau tidak
mungkin dilakukan.
v. Sikap Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi
Konflik dan ketegangan akan lebih sedikit terjadi jika suami
atau isteri setuju menggunakan alat pencegah kehamilan,
dibandingkan jika antara keduanya mempunyai sikap yang
berbeda tentang alat kontrasepsi.
vi. Efek Vasektomi
Apabila seseorang menjalani operasi vasektomi maka akan
hilang ketakutannya akan kehamilan yang tidak diinginkan.
Vasektomi mempunyai efek yang positif bagi perempuan
tentang penyesuaian seksual, tetapi membuat laki-laki
mempertanyakan kelelakiannya.
2. Penyesuaian dengan pasangan dan keluarga pasangan
5
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri dengan
Pihak Keluarga Pasangan
i. Keinginan untuk mandiri
ii. Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai
saran dan petunjuk dari orang tua mereka, walaupun mereka
menerima bantuan keuangan, dan khususnya mereka
menolak campur tangan dari keluarga pasangannya.
iii. Keluargaisme
Penyesuaian dalam perkawinan akan lebih pelik apabila salah
satu pasangan tersebut menggunakan waktu lebih banyak
untuk keluarga dari pada yang mereka sendiri inginkan.
Faktor – faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap
pasangan
i. Konsep pasangan yang ideal
Dalam memilih pasangan, baik pria dan wanita sampai sejauh
tertentu dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk
selama masa dewasa. Semakin orang terlatih menyesuaikan
diri terhadap realitas semakin sulit penyesuaian dilakukan
terhadap pasangan.
ii. Pemenuhan Kebutuhan
Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus
memenuhi kebutuhannya yang berasal dari pengalaman awal.
Apabila orang dewasa perlu pengenalan, pertimbangan
prestasi dan status sosial agar bahagia, pasangan harus
membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
iii. Kesamaan Latar Belakang
Semakin sama latar belakang suami dan isteri semakin
mudah untuk saling menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga
apabila latar belakang mereka sama setiap orang dewasa
mencari pandangan unik tentang kehidupan. Semakin
6
berbeda pandangan hidup ini, makin sulit penyesuaian diri
dilakukan.
iv. Minat dan Kepentingan Bersama
Kepentingan yang saling bersamaan tentang suatu hal yang
dapat dilakukan pasangan cenderung membawa penyesuaian
yang baik.
v. Keserupaan Nilai
Pasangan yang menyesuaikan diri dengan baik mempunyai
nilai yang lebih serupa dari pada mereka yang penyesuaian
dirinya buruk. Barangkali latar belakang yang sama
menghasilkan nilai yang sama pula.
vi. Konsep Peran
Setiap lawan pasangan mempunyai konsep yang pasti
mengenai bagaimana seharusnya peranan seorang suami dan
isteri, atau setiap orang mengharapkan pasangannya
memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak
terpenuhi, akan mengakibatkan konflik dan peyesuian yang
buruk.
vii. Perubahan Dalam Pola Hidup
Penyesuaian terhadap pasangan berarti mengorganisasikan
pola kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan
sosial serta merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi
seorang isteri. Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti
oleh konflik emosional.
2.1.5 Mengelola hubungan baik
Dalam konsep psikologis, perkawinan digambarkan sebagai "dua
pribadi yang menyatu". Dua orang dengan pikiran, keinginan, latar
belakang, dan harapan berbeda-beda, memutuskan untuk bergabung dalam
kehidupan bersama.
7
Tentunya ini berpotensi menimbulkan stres, Apalagi dengan pasangan
muda yang baru satu tahun menjalani bahtera perkawinan.
Menurut Whiteman, Verghese, dan Petersen (1996) ada beberapa hal
yang harus dipahami pasangan suami-istri agar mereka dapat mengelola
hubungan mereka dengan baik, bahkan ketika mereka mengalami stres.
Perbedaan latar belakang
Istri yang dibiasakan orangtuanya membuang sampah dan
meletakkan barang pada tempatnya tentu akan merasa terganggu
dengan perilaku suami yang sembarangan meletakkan pakaian
kerjanya.
Suami juga akan berharap istrinya tinggal di rumah dan memasak
sendiri karena ibunya dulu melakukan hal itu, sementara istri tetap
ingin berkarier karena ibunya dulu juga demikian.
Suami lebih suka menonton film perang, sedangkan istri memilih
memutar acara sinetron di televisi. Istri lebih sering menjewer telinga
anak sebagai cara disiplin, sedangkan suami merasa lebih baik
memberi nasihat dan contoh.
Semua perbedaan latar belakang ini merupakan hal-hal yang bisa
menimbulkan konflik dan pasangan harus membicarakan isu-isu
tersebut dengan kepala dingin dan berkompromi.
Perbedaan gaya atau sifat
Suami mungkin suka mengorok, sedangkan istri jika bersin keras
sekali. Kadang kala setiap orang mempunyai kebiasaan yang
membuat pasangan merasa jijik atau sifat-sifat berlawanan, misalnya
yang satu tertutup, pasangannya mudah membuka diri. Suami
pengalah, pasangannya suka mengkritik.
Perbedaan tersebut bukannya tak dapat diatasi, tetapi akan
menyebabkan stres. Belum lagi perbedaan jender yang merupakan
hasil dibesarkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan selama ini.
Para suami dan istri perlu memahami gaya dan sifat pasangannya
serta belajar menerima. Adanya usaha mengubah sifat pasangan justru
8
akan menimbulkan perlawanan dari pasangan dan tentunya dapat
memperberat stres dalam hubungan mereka.
Perbedaan harapan/ impian
Apa yang akan terjadi jika istri mendambakan tinggal di rumah
mungil dengan halaman luas, tetapi suami membeli apartemen di
tengah kota? Bagaimana bila suami memimpikan menjadi pelukis
terkenal, tetapi pasangannya ingin suami berkarier di perusahaan?
Atau yang satu ingin dapat berlibur ke pedalaman Irian, yang lain
ingin ke Eropa?
Kita menyimpan banyak energi mental dan emosional pada
harapan kita, kita harus bisa menyesuaikan satu sama lain, mencari
titik temu dari perbedaan harapan karena ini merupakan bagian
konflik lain dalam perkawinan.
Kekecewaan
Ketika kita menikah dan kemudian pasangan kita berubah, hal
tersebut dapat menyenangkan, tetapi bisa juga mengecewakan kita.
Sebelum menikah, pasangan hanya menampilkan sisi-sisi
positifnya saja, tetapi begitu pesta usai mereka kembali pada
sisiaslinya. Ini semua dapat menimbulkan kekecewaan bagi pasangan.
Dengan makin menuanya seseorang, banyak suami-istri tak puas
dengan kondisi pasangan, yang mungkin mulai memutih rambutnya,
makin menggemuk badannya, sakit-sakitan. Sering kali pikiran yang
dipengaruhi budaya tentang kemudaan dan penampilan yang tetap oke
semakin menambah ketidakpuasan dan memperburuk hubungan
perkawinan
Perebutan kuasa
Meskipun sudah disepakati suami adalah kepala keluarga,
perebutan kuasa bisa terjadi. Misalnya, istri sering mencari upaya
memengaruhi keputusan suami, atau sebaliknya.
Perebutan ini tidak selalu buruk bila pasangan melakukan
pertukaran pendapat yang berbeda secara adil dan tidak menimbulkan
9
rasa kalah yang mendalam pada pasangan. Apakah pertukaran yang
terjadi sesuai atau tidak dengan harapan pasangan, tetap ada potensi
untuk munculnya stres. Hubungan terbaik adalah bukannya tak ada
konflik, tetapi bagaimana kita dapat mengelola konflik secara baik.
Kekhawatiran kehilangan pasangan
Terutama pada zaman di mana perceraian merajalela, orang acap
takut bila pasangan akan meninggalkan mereka. Istri, misalnya,
cemas karena merasa suami tak perhatian lagi. Hal ini justru membuat
suami makin menjauh dan istri makin panik, merasa putus asa.
Semua ini merupakan bagian dari stres yang biasanya muncul dari
dalam diri, tidak tampil dalam bentuk pertengkaran, tetapi
mengganggu perasaan setiap pasangan perkawinan. Menghadapi
berbagai aspek stres interpersonal ini penting bagi pasangan untuk
terus mengupayakan komunikasi terbuka dan efektif.
2.1.6 Makna perkawinan dan relasi seks yang bertanggung jawab
Di dalam proses pergandaan atau proses reproduksi wanita secara
kodrati berfungsi sebagai pemangku keturunan atau sebagai penerus
generasi. Sedang laki-laki berfungsi sebagai pangkal keturunan. Manusia
diciptakan oleh khalifakul alam sebagai dua jenis kelamin yang berbeda
yaitu sebagai laki-laki dan perempuan. Dengan adanya perbedaan jenis
kelamin ini dimungkinkan adanya keturunan sehingga manusia sebagai satu
spesies atau jenis tidak musnah habis.
Maka eksistensi manusia selaku laki-laki dan perempuan itu
menimbulkan satu mekanisme menurunkan anak manusia. Dengan kata lain
proses mekanisme penciptaan keturunan tersebut dimungkinkan oleh adanya
fungsi biologis dari laki-laki dan wanita. Sekalipun fungsi tersebut berbeda
namun sifatnya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Sehubungan
dengan hal ini alat reproduksi pada laki-laki itu berbeda dengan alat
reproduksi wanita dan berbeda pula fungsinya.
Wanita diberi tugas oleh alam untuk mengandung janin keturunan,
yaitu memupuk dan memelihara benih manusia dalam kandungannya
10
selama 280 hari. Sel telur yang terdapat dalam rahim wanita diaktifkan oleh
sel sperma laki-laki menjadi janin. Maka proses pengaktifan telur menjadi
individu atau janin itu disebut sebagai proses pembuahan.
Data penelitaian membuktikan bahwa kebanyakan wanita didasari
perasaan cinta dan didorong oleh keinginan memperoleh keturunan dari
orang yang dicintai dan mencintainya. Ternyata bahwa pada umumnya
alasan menikah karena dorongan keibuan (ingin jadi ibu) itu lebih besar dari
pada alasan keinginan untuk menjadi seorang istri.
Jadi naluri azali yang sangat kuat pada wanita adalah mendapatkan
keturunan, walaupun hal ini ditempuhya melalui banyak pengorbanan lahir
dan batin. Tampaknya keinginna untuk menjadi ibu lebih dominan dari pada
keinginan untuk menjadi istri.
Studi mengenai ibu rumah tangga di Amerika menunjukkan bahwa
jumlah paling besar dari para ibu melaporkan peristiwa sebagai berikut.
Fungsi keibuan merupakan sumber kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup
mereka. Dan hanya sedikit sekali ibu-ibu tadi yang menyatakan, bahwa
fungsi istri yang menjadi kepuasan bagi hidupnya.
Namun sejajar dengan kemajuan jaman dan tuntutan demokrasi, yang
kemudian hari membuahkan gerakan-gerakan liberalisme termasuk
didalamnya, liberalisme seksualitas, maka di zaman moderen sekarang
muncul gejala dominasi dari fungsi hiburan dan fungsi komersiil dari
seksualitas yang menjadi sumber kepuasan bagi wanita modern.
Selanjutnya laporan dari ibu rumah tangga dari tingkat menengah dan
atas menunjukkan bahwa kurang lebih 70% diri mereka mangemukakan
pendapat sebagai berikut:
Fungsi pria paling utama adalah sebagai pencari nafkah
Fungsi sebagai ayah jatuh pada nomor dua
Fungsi sebagai suami jatuh pada nomor tiga
Paralel dengan hal tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa bagi
pribadi wanita pada umumnya fungsi keibuan (motherhood untuk
11
melahirkan dan melestarikan anak keturunan) itu jauh lebih penting dari
pada fungsinya sebagai istri.
Ikatan pria wanita dalam bentuk suami isteri sebenarnya merupakan
ikatan janji kesetiaan cinta kasih, yang diikrarkan dalam jalan nikah. Jadi,
nikah merupakan manifestasi ikatan janji setia diantara pria dan wanita,
yang memberikan batasan-batasan dan pertanggungjawaban tertentu, baik
pada sang suami maupun pada sang isteri.
Di dalam ikatan cinta itu terdapat dua unsur yang paling penting yaitu:
simpati dan birahi. Dalam simpati terdapat unsur-unsur kasih sayang, ikut
merasa/ menghayati, perlindungan dua pribadi menjadi satu kesatua, dan
kesediaan berkorban. Sedang dalam birahi terdapat unsur seks dari dua jenis
kelamin yang berbeda, yang kemudian menimbulkan relasi seksual. Unsur
seks ini selalu terdapat pada setiap insan yang normal. Seks merupakan
energi psikis yang vital, dan memanifestasikan dari dalam dan bermacam-
macam bentuk tingkah laku manusia.
Hubungan seksual sebelum perkawinan atau diluar perkawinan
disebut sebagai berzinah, yang dilarang oleh berbagai agama karena alasan:
1. Kebersihan jiwa
2. Kemurnian relasi manusia
Maka, secara logis dapat dikemukakan bahwa hubungan seksual yang
pas itu hanya diperkenankan dalam ikatan nikah atau ikatan perkawinan.
Karena ikatan perkawinan mengimplikasikan tanggung jawab dari kedua
belah pihak, suami dan isteri.
Hubugan seks yang bertanggung jawab itu adalah hubungan seks yang
menyadari akan kemungkinan didapatkannya (terjadinya) keturunan.
Sedangkan keturunan tersebut harus dipertangungjawabkan pengurusan,
pemeliharaan dan pendidikannya oleh kedua belah pihak ( pihak wanita dan
pihak pria).
Dalam relasi free seks dan perzinahan, kaum pria merasa memberi
atau membuang/mencampakkan sesuatu, yang sifatnya agak agresif dan
aktif. Sedang pihak wanita merasakan seperti menerima sesutau yang
12
sifatnya lebih pasif. Proses menerima tersebut dihayati oleh kaum wanita
lebih mendalam. Sebaliknya perbuatan “memberi” oleh kaum pria kepada
banyak wanita dalam bentuk promiscuity atau pelacuran tidak begitu
mendalam dirasakan oleh kaum laki-laki, karena ia merasa telah
“membayar” atau meberikan imbalan secukupnya lagi pula tidak amat serius
akibatnya bagi kehidupan psikisnya. Berbeda dengan kaum laki-laki, wanita
menghayati pelanggaran-pelanggaran tersebut secara lebih mendalam dan
lebih serius. Sehubungan dengan hal ini kaum laki-laki menyebutkan:
Secara psikologi wanita itu bersifat monogamis sedang laki-laki bersifat
poligamis.
Walaupun sifat poligamis itu secara psikologis tidak banyak
menimbulkan konflik batin pada pihak pria, akan tetapi secara praktis dalam
kehidupan sehari-hari dan dalam lingkungan rumah tangga. Pada umumnya
senantiasa menimbulkan banyak protes dari pihak istri. Hal ini didasarkan
atas alasan sebagai berikut:
1) Harga diri istri yang merasa terlanggar.
2) Dasar egoisme yang sehat dalam mencintai suaminya, sebab dia
tidak ingin dimadu atau dibagi cintanya.
3) Atas kemurnian relasi perkawinan.
Baik dipandang dari segi etis maupun dari segi psikologis,
perzinahan (melakukan relsi seksual di luar perkawinan) dalam
ruang rumah tangga tidak dapat dibenarkan. Pihak suami ataupun
istri yang tidak melakukan penyelwengan, akan merasa sangat
terhina dan terhianati. Peristiwa ini akan menumbuhkan meknisme
reaktif berupa rasa-rasa tidak senang, rasa tidak aman karena tanpa
sekuritas psikis, iri hati, frustasi dan bermacam-macam gangguan
emosional lainnya. Sebagai akibat lebih jauh dari keadaan
sedemikian, kesehatan jiwa pribadi yang bersangkutan jadi sangat
13
mundur, karena banyak diliputi oleh suasana depresif, rasa tidak
bahagia, rasa sangat menderita dan keemasan.
Kecemasan itu adalah bentuk perasaan yang tidak mantap, dan diliputi
oleh semacam ketakutan pada hal-hal yang tidak pastiatau hal-hal yang
irriil. Oleh rasa-rasa kecemasan tersebt, orang lalu melarikan diri dari dalam
dunia khayali atau dalam dunia sosial yang imaginer, dan menjadi sangat
pelupa; dirinya lalu tidak riil. Ia tidak bisa tidur nyenyak dan tidak bisa
makan enak; menjadi sangat sensitive dan mdah tersinggung perasaannya
menjadi sangat gelisah-resah dan mudah marah (jadi agresif). Lalu
terganggulah kesehatan rohani dan jasmaninya.
2.2 Gangguan Psikologi Pada Masa Perkawinan
Gangguan psikologi pada masa perkawinan juga berawal dari penyesuaian-
penyesuaian yang disebutkan sebelumnya. Gangguan psikologis tersebut
diantaranya :
1. Term Marriage
Term marriage atau perkawinan periodik yaitu dengan merencanakan
suatu kontrak tahap pertama selama 3-5 tahun sedang tahap kedua
ditempuh dalam jangka 10 tahun. Perpanjangan kontrak bisa dilakukan
untuk mencapai tahap ketiga yang memberikan hak kepada kedua partner
untuk saling memiliki secara permanen.
Kerangka ini merencanakan adanya satu kontrak tahap pertama selama 3-
5 tahun, sedang tahap kedua ditempuh dalam jangka waktu 10 tahun.
Perpanjangan kontrak bisa dilakukan, untuk mencapai tahap ketiga yang
memberikan hak kepada kedua patner untuk “saling memiliki” secara
permanenaling memiliki secara permanent. Dengan alasan perkawinan
harus dicoba terlebih dahulu beberapa bulan dan jika tidak cocok dapat
segera berpisah.
14
Kontrak tahap 1 = 3-5
Kontrak tahap 2 = 10 tahun
Kontrak tahap 3 = saling memiliki
2. Trial Marriage
Dengan alasan perkawinan harus dicoba terlebih dahulu beberapa bulan
dan jika tidak cocok dapat segera berpisah. Trial marriage atau kawin
percobaan dengan ide melandaskan argumentasinya pada pertimbangan
sebagai berikut:
Jangan hendaknaya dua orang saling melibatkan diri dalam satu
relasi sangat intim dan kompleks dalam bentuk ikatan perkawinan
itu tidak mencobanya terlebih dahulu, selama satu periode
tertentu umpamanya saja selama beberapa bulan atau beberapa
tahun.
Jika dalam periode yang ditentukan kedua belah pihak saling
bersesuian, barulah dilaksanakan ikatan perkawinan yang
permanen.
Pada ide ini dua orang akan saling melibatkan diri dalam suatu relasi
yang sangat intim dan mencobanya terlebih dahulu selama satu periode
tertentu. Jika dalam periode tersebut kedua belah pihak bisa saling
bersesuaian barulah dilakukan ikatan perkawinan yang permanen.
3. Companionate Marriage
Companionate marriage, pola perkawinan ini menganjurkan dilaksanakan
perkawinan tanpa anak, dengan melegalisir keluarga berencana atau
pengendalian kelahiran juga melegalisir perceraian atas dasar persetujuan
bersama.
4. Perkawinan Poligami
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami
atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus
pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang
memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat).
15
Suatu perkawinan dimana seorang suami mempunyai lebih dari satu
isteri. Ada banyak alasan pria menjalankan bentuk perkawinan ini,antara
lain anak, jenis kelamin anak, ekonomis, status sosial dan lain-lain.
Dampak psikologis dari perkawinan poligami ini adalah perasaan inferior
istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami
adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan
biologis suaminya.
5. Perkawinan Eugenis
Suatu bentuk perkawinan untuk memperbaiki atau memuliakan ras. Saat
Perang Dunia II Hitler memerintahkan penculikan terhadap gadis-gadis
cantik dan pintar dari negara yang didudukinya. Gadis-gadis ini dipaksa
dengan kekerasan untuk digauli oleh lelaki Jerman dengan tujuan
lahirnya ras Aria yang unggul.
2.3 Kesulitan-kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan
1. Persiapan yang terbatas untuk perkawinan
Walaupun dalam kenyataan sekarang, penyesuaian seksual lebih mudah
ketimbang pada masa lalu, karena banyak informasi tentang seks yang
tersedia baik di rumah, di sekolah, di universitas dan di perguruan tinggi
serta tempat-tempat yang lain.kebanyakan pasangan suami isteri hanya
menerima sedikit persiapan di bidang keterampilan domestik, mengasuh
anak, dan manajemen umum.
2. Peran dalam perkawinan
Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria
dan wanita, dan konsep yang berbeda tentang peran ini yang dianut kelas
sosial dan sekelompok religius yang berbeda membuat penyesuaian
dalam perkawinan semakin sulit sekarang dari pada di masa lalu ketika
peran masih begitu ketat dianut.
3. Kawin Muda
Perkawinan dan kedudukan sebagai orang muda menyelesaikan
pendidikan mereka dan secara ekonomis independent membuat mereka
16
tidak mempunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang
dipunyai oleh teman-teman yang tidak kawin atau orang – orang yang
telah mandiri sebelum kawin. Hal ini mengakibatkan sikap iri hati dan
menjadi halangan bagi penyesuaian perkawinan.
4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan
Orang dewasa yang bekerja di sekolah dan perguruan tinggi, dengan
sedikit atau tanpa pengalaman kerja ,cenderung mempunyai konsep yang
tidak realistis tentang makna perkawinan berkenan dengan pekerjaan,
deprivasi, pembelanjaan uang atau perubahan dalam pola hidup.
Pendekatan yang tidak realistis ini menuju ke arah kesulitan penyesuaian
yang serius yang sering diakhiri dengan perceraian.
5. Perkawinan Campur
Penyesuaian terhadap kedudukan sebagai orang tua dan dengan para
saudara dari pihak isteri dan sebaliknya jauh lebih sulit dalam
perkawinan antar agama dari pada bila kedua berasal dari latar belakang
budaya yang sama.
6. Pacaran yang dipersingkat
Periode atau masa pacaran lebih singkat sekarang ketimbang masa dulu,
dan karena itu pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan
banyak masalah tentang penyesuaian sebelum mereka melangsungkan
perkawinan.
7. Konsep Perkawinan yang Romantis
Banyak orang dewasa yang mempunyai,konsep perkawinan yang
romantis yang berkembang pada masa remaja. Harapan yang berlebihan
tentang tujuan dan hasil perkawinan sering membawa kekecewaan yang
menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab
perkawinan.
8. Kurangnya identitas
Apabila seseorang merasa bahwa keluarga, teman dan rekannya
memperlakukannya sebagai “suami jane” atau apabila wanita merasa
bahwa kelompok sosial menganggap dirinya hanya sebagai “ibu rumah
17
tangga”, walaupun dia seorang wanita karir yang berhasil, ia bisa saja
kehilangan identitas diri sebagai individu yang sangat dijunjung dan
dinilai tinggi sebelum perkawinan.
2.4 Cara Mengatasi Kesulitan/Gangguan
Beberapa cara mengatasi kesulitan yaitu :
1. Menghadapi kenyataan
Suami isteri perlu menghadapi kenyataan hidup dari semua yang
terungkap dan tersingkap.
2. Penyesuian timbal balik
Perlu usaha terus menerus dengan saling memperhatikan, saling
mengungkapkan cinta dengan tulus, menunjukkan pengertian,
penghargaan dan saling memberi dukungan serta semangat.
3. Latar belakang suasana yang baik
Untuk menciptakan suasana yang baik, dilatarbelakangi oleh
pikiran-pikiran, perbuatan dan tindakan yang penuh kasih sayang.
4. Komunikasi yang baik
Dengan membina dan memelihara komunikasi di dalam keluarga
dan dengan masyarakat di luar keluarga.
2.4.1 Konseling (Perkawinan)
Konseling atau konsultasi psikologi diperlukan saat seseorang
menghadapi masalah-masalah dalam belajar, emosional, penyesuaian
diri, pekerjaan, pernikahan, maupun masalah lainnya. Selain
konseling, psikotes juga dapat membantu memberikan informasi
mengenai gambaran kekuatan dan kelemahan diri, gambaran
kecerdasan dan kepribadian, deteksi gangguan belajar, penjurusan
sekolah, seleksi karyawan dan pengembangan diri.
Menurut Latipun (2001), konseling perkawinan dapat digunakan
sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah.
1. Tujuan Konseling Perkawinan
18
Konseling perkawinan dilaksanakan tidak bermaksud untuk
mempertahankan suatu keluarga. Konselor berpandangan bahwa
dirinya tidak memiliki hak untuk memutuskan cerai atau tidak sebagai
solusi terhadap masalah yang dihadapi pasangan. Konseling
perkawinan dimaksudkakan membantu klien untuk mengaktualkan diri
yang menjadi perhatian pribadi.
2. Tipe-tipe Konseling Perkawinan
a. Concurent marital counseling
Konseling dilakukan secara terpisah. Metode ini digunakan bila
salah seorang partner memiliki masalah psikis tertentu untuk
dipecahkan tersendiri selain juga mengatasi masalah yang
berhubungan dengan pasangannya.
b. Collaborative marital counseling
Setiap partner secara individual menjumpai konselor yang
berbeda.
c. Conjoint marital conseling
Suami isteri datang bersama-sama ke seorang atau beberapa orang
konselor.
d. Couples group counseling
Beberapa pasangan secara bersama-sama datang ke seseorang
atau beberapa prang konselor.
3. Peran Konselor
Menciptakan hubungan baik
Memberi kesempatan klien untuk melakukan ventilasi, yaitu
membuka perasaannya secara leluasa dihadapan pasangannya.
Memberi dorongan dan penerimaan terhadap klien
Melakukan diagnosis/penemuan masalah
Membantu klien mencari kemungkinan alternatif menentukan
tindakan.
2.4.2 Bimbingan pernikahan
19
Pendekatan perilaku untuk hubungan yang terjadi didasarkan pada
penghargaan seimbang. Hubungan dipertahankan selama anggotanya
terus memberikan dukungan yang positif antara yang satu dengan
yang lain. Jika kedua belah pihak berhenti memberikan penghargaan
yang sesuai, hubungan akan terputus dan keduanya saling menjauh.
Sayangnya, individu yang sudah menikah menandatangani kontrak
untuk tetap hidup bersama seumur hidup dan ada sanksi agama dan
sosial yang legal yang mencegah mereka melakukan perceraian.
Banyak pasangan yang tinggal bersama-sama dalam suasana yang
sangat tidak harmonis dari pada harus mengalami perceraian
meskipun rata-rata satu dari tiga pernikahan berakhir dengan
perceraian, cukup mengejutkan bahwa jumlahnya tidak bertambah
besar. Satu pasangan mungkin harus menghadapi terjadinya penyakit,
kesulitan keuangan, perubahan dalam rumah dan pekerjaan,
kebutuhan anak-anak, minat pada orang lain dan lain sebagainya. Jika
seseorang mempertimbangkan bahwa kurangnya latihan dalam
pembelajaran bagaimana harus hidup bersama dalam keadaan yang
sulit, angka perceraian mungkin tidak terlalu mengejutkan.
Sebuah contoh dari hubungan yang tidak memuaskan dalam istilah
perilaku diberikan oleh Hops (1976) yang mengutip kasus seorang
suami pulang bekerja dan karena baru saja menikah, ingin sekali
menceritakan harian di pekerjaan pada istrinya. Tetapi bersamaan
dengan bertambaha usia pernikahan frekuensi perilaku ini menurun.
Suami tersebut yang menceritakan dan berinteraksi dengan orang
sepanjang hari merasa kelelahan tetapi istrinya ingin berbicara dan
mulai menanyakan banyak sekali pertanyaan. Sayangnya, suami
tersebut sedang merasa kelelahan dan hanya ingin menopang kakinya,
menonton televisi dan mungkin membaca koran. Hasil yang pasti
terjadi dari perilaku ini adalah istri yang terus menerus merecoki
mencoba mendapatkan jawaban dari suaminya. Hopes (1976)
mengatakan bahwa hal ini merupakan suatu cerita yang paling sering
20
ditemui oleh ahli terapi pernikahan. Akibat dari pola perilaku ini
adalah timbulnya pemberian hukuman dari pada pemberian pujian.
Untuk mendapatkan reaksi dari suaminya, istri tersebut mungkin
menghukum suaminya dengan berbagai cara. Sebaliknya, suami akan
menjawab dengan respon verbal yang sesuai dan hukuman yang
sesuai terus berlanjut. Hasilnya seringkali saling berdiam pada waktu
makan dan menjalani sore hari yang membosankan dan tidak hidup.
Program perilaku yang disusun untuk membantu pasangan yang
sudah menikah dijabarkan oleh Hops. Ada empat tahap yaitu:
1. Pinpointing (menunjukkkan dengan pasti)
Sebelum ada perubahan perilaku yang terjadi, penting untuk
menunjukan perilaku yang perlu diubah. Banyak pasangan yang tidak
mampu membedakan perilaku yang positif dengan perilaku yang
negatif dan menggunakan pernyataan yang bertele-tele dan untuk
manceritakan pasangannya. “ia selalu memperlakukan saya seperti
sampah” dan “ia tidak mencintai saya lagi” merupakan pernyataan
yang tidak merumuskan masalah dengan tepat. Pernyataan seperti “ia
tidak mencium atau memeluk saya” adalah pernyataan yang lebih
tepat dan menunjukkan dengan tepat masalah dengan istilah perilaku.
Pasangan diajarkan untuk menyebutkan perilaku dengan tepat dan
kemudian diminta untuk mengingat perilaku yang menyenangkan
atau tidak menyenangkan pasanganya. Dengan cara ini sebuah daftar
dari perilaku yang tepat yang perlu diubah oleh pasangan itu dapat
dihasilkan.
2. Latihan kemampuan komunikasi
Satu hasil dari pinpointing dengan tepat mungkin meningkatnya
komunikasi dengan pasangan tersebut tetapi pada sebagian besar
keadaan yang terjadi, beberapa pelatihan dalam pelatihan ketrampilan
komunikasi dibutuhakan. Kadang-kadang orang sangat berniat untuk
21
mengungkapkan pendapatnya sehingga mereka tidak memperhatikan
apa yang diucapkan oleh pasangan mereka. Dalam situasi tertentu
penting untuk mengajarkan orang mengulang kembali kalimat
terakhir yang diucapkan pasangannya untuk memastikan bahwa
mendengarkan yang aktif memang terjadi.
Menyediakan waktu yang digunakan untuk berbicara antar satu
sama lain merupakan kemampuan komunikasi penting yang lain.
Banyak interaksi didominasi oleh satu orang sehingga pasangannya
tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Latihan misalnya dapat
berupa kedua pasangan berbicara untuk jangka waktu tertentu
misalnya dua menit dengan mendengarkan yang aktif terhadap isi
pembicaraan.
Beberapa orang memiliki respon non verbal yang tampak seperti
perilaku yang meremehkan. Seringkali individu yang bersifat dengan
cara ini tidak menyadari efeknya terhadap pasangannya. Karena itu
penting untuk memberi mereka umpan balik tentang bagaimana
kelihatannya mereka saat berperilaku seperti itu. Pasangan diajarkan
untuk mengurangi perilaku verbal mereka yang menyakitkan. Mereka
diminta untuk memikirkan sesuatu yang positif yang sudah dilakukan
pasangan mereka selama satu minggu dan menyebutkannya. Jika
perilaku verbal atau non verbal yang meremehkan timbul sebagai
respon, maka hal ini ditunjukkan pada klien.
3. Pemecahan masalah dan negosiasi
Pelatihan Pemecahan Masalah Dan Negoisasi
Tujuan dari tahap ini adalah untuk memberikan pasangan
keterampilan yang diberikan untuk memecahkan masalah bersama-
sama. Seorang istri mengeluh pada pasangannya bahwa ia tidak
pernah menggantungkan pakaiannya di kamar tidur. Pasangannya
menjawab bahwa dia bersedia menggantung bajunya jika saja lemari
22
pakaian mereka tidak dipenuhi dengan baju istrinya yang tidak pernah
dipakai. Argumentasi berlanjut sampai istri melakukan kompromi dan
mengatakan bahwa ia akan memberikan tempat di lemari pakaian jika
suaminya untuk lebih sering menggantung pakaiannya. Suaminya
setuju. Jalan keluar yang difasilitasi oleh kemampuan istri untuk
melakukan kompromi dan mencari jalan keluar terhadap masalah
yang menguntungkan keduanya.
4. Persetujuan Bersyarat
Jika tiga tahap sebelumnya gagal membantu pasangan
menyelesaikan masalah mereka, persetujuan bersyarat dapat
digunakan. Persetujuan ini dapat mewakili tahap akhir dari
pendekatan perilaku untuk bimbingan pernikahan. Persetujuan dibuat
antara kedua individu yang memberi perhatian pada perilaku mereka
terhadap pasangannya. Pasangan tersebut berkumpul dan
mendiskusikan hal-hal mengenai perilaku masing-masing yang
dianggap pantas mendapat pujian dan yang tidak pantas mendapat
pujian. Mereka kemudian mendiskusikan jenis pujian yang mereka
inginkan jika mereka berperilaku dengan cara yang diinginkan.
Persetujuan ini sifatnya tidak permanen dan dapat dibicarakan
kembali. Perhatikan bahwa cinta dan kasih sayang tidak disebutkan
dalam pendekatan ini. Psikolog yang menerapkan perspektif perilaku
hanya memberi perhatian pada modifikasi perilaku yang bisa
diobservasi. Mereka tidak mempelajari jalan pikiran dan emosi orang
dan memang sudah dikritik karena tidak memperhatikan kedua hal
ini. Meskipun demikian, dalam beberapa keadaan modifikasi perilaku
dapat membantu individu menerapkan perubahan perilaku yang jika
tidak dilakukan akan tetap berada dalam keadaan tidak terselesaikan.
2.4.3 Pengelolaan perkawinan
Peran Bidan dalam Pengelolaan Perkawinan
23
Upaya yang dilakukan bidan dalam mengupayakan penyelasaian konflik
perkawinan yang terjadi yaitu:
a. Bidan sebagai penyuluh dan pemberi motivasi. Jika ada masalah
sekecil apapun yang terjadi dalam rumah tangga harus
dikomunikasikan antara pasangan sehingga tidak terjadi kesalah
pahaman yang mengganggu keutuhan rumah tangga.
b. Mempersiapkan kedua belah pihak untuk menjadi orangtua dengan
memberikan kasih sayang keperawatan dan pendidikan yang
terbaik.
c. Jika sebelum menikah belum di imunisasi TT, sebaiknya segera
imunisasi TT agar anaknya nanti tidak terkena penyakit tetanus.
d. Sebaiknya pasangan yang sudah mempunyai satu anak, sebaiknya
melakukan KB untuk mengatur jarak kelahiran.
e. Tetap memberika pelayanan tanpa pandang status dari
perkawinannya apabila klien di wilayahnya tersebut diberi motivasi
UU Perkawinan belum bisa menerima.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kehidupan perkawinan adalah kehidupan dari pasangan pria dan wanita
yang disahkan secara hukum dan agama dengan tujuan membentuk keluarga
yang bahagia. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan
24
perkawinan pasti terdapat kerikil-kerikil yang mengganjal dalam kehidupan.
Untuk menjadi pasangan yang bahagia, suami-istri harus saling mengenal dan
menerima pasangannya, saling mencintai, saling memiliki komitmen terhadap
pasangannya, tetap bersama dalam senang dan susah, saling membantu dan
mendukung, memiliki komunikasi yang lancar dan terbuka, serta menerima
keluarga pasangannya sebagai keluargannya sendiri.
25