makalah

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa atau mental seseorang secara langsung karena sifatnya yang abstrak. Psikologi juga membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa atau mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya. Sehingga psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Dengan adanya psikologi tersebut, pasti setiap orang mengalami gangguan-gangguan tertentu dalam kehidupannya. Gangguan-gangguan itu sangat fatal khususnya bagi para remaja yang sedang mengalami masa reproduksinya. Masa reproduksi merupakan masa yang terpenting bagi para wanita dan berlangsung kira – kira 33 tahun. Pada masa inilah terjadi perubahan fisik dan emosional yang kompleks, memerlukan adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup. Konflik antara keinginan dan kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosial kultural dan persoalan dalam hidup itu dapat dijadikan sebagai pencetus dari berbagai reaksi psikologis, 1

Upload: gayatri-larasati

Post on 23-Oct-2015

60 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

makalah psikologi

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa atau

mental seseorang secara langsung karena sifatnya yang abstrak. Psikologi

juga membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa atau mental

tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya. Sehingga

psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari

tingkah laku dan proses mental. Dengan adanya psikologi tersebut, pasti

setiap orang mengalami gangguan-gangguan tertentu dalam kehidupannya.

Gangguan-gangguan itu sangat fatal khususnya bagi para remaja yang

sedang mengalami masa reproduksinya. Masa reproduksi merupakan masa

yang terpenting bagi para wanita dan berlangsung kira – kira 33 tahun.

Pada masa inilah terjadi perubahan fisik dan emosional yang kompleks,

memerlukan adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup. Konflik antara

keinginan dan kebanggaan yang ditumbuhkan dari norma-norma sosial

kultural dan persoalan dalam hidup itu dapat dijadikan sebagai pencetus

dari berbagai reaksi psikologis, mulai dari reaksi emosional ringan hingga

ke tingkat gangguan jiwa yang berat.

Gangguan pada masa reproduksi tersebut sangat penting

diidentifikasikan untuk mencegah terjadinya konflik-konflik yang tidak

diinginkan terutama pada gangguan psikologi perkawinan. Gangguan

psikologi pada masa perkawinan diantaranya yaitu perkawinan poligami,

perkawinan eugenis, term marriage (perkawinan periodik), trial marriage

(perkawinan percobaan) dan companionate marriage (perkawinan tanpa

anak). Gangguan tersebut sangat mempengaruhi proses berkembangnya

seorang individu dalam menyesuaikan hidupnya di kalangan masyarakat.

Oleh karena itu, kami akan mengkaji lebih lanjut tentang gangguan-

gangguan pada masa reproduksi khususnya gangguan psikologi

perkawinan dan cara mengatasinya melalui komunikasi serta konseling.

1

1.2 Rumusan masalah

1. Apakah definisi dari perkawinan?

2. Apa saja gangguan-gangguan pada masa perkawinan?

3. Apa saja kesulitan yang dihadapi dalam penyesuaian perkawinan?

4. Bagaimana cara mengatasi gangguan-gangguan psikologi perkawinan?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan definisi dari perkawinan.

2. Mendeskripsikan gangguan-gangguan pada masa perkawinan.

3. Mendeskripsikan kesulitan yang dihadapi dalam penyesuaian

perkawinan.

4. Mendeskripsikan bagaimana cara mengatasi gangguan-gangguan

psikologi perkawinan.

2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Perkawinan

Perkawinan adalah suatu perkawinan sepasang mempelai yang

dipertemukan secara formal di hadapan penghulu/kepala agama, para saksi dan

sejumlah hadirin yang disahkan secara resmi sebagai suami isteri dengan upacara

ritual-ritual tertentu. Dimana bentuk proklamasi laki-laki dan wanita bersifat dwi

tunggal yakni saling memiliki satu sama lain.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1/1974, bab I, pasal 1

bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

2.1.1 Regulasi/pengaturan perkawinan

Umur

Seks

Upacara perkawinan

Pembayaran uang nikah

Hak dan kewajiban suami isteri

Pembagian harta

Perceraian

2.1.2 Tujuan regulasi

Bukan untuk menghalangi perkawinan tapi untuk menjamin

perkawinan

1. Ditegakkannya kesejahteraan sosial

2. Mencegah perkawinan dengan keluarga dekat/incest

3. Untuk memperbaiki ras/keturunan

4. Mencegah perceraian yang sewenang-wenang

3

5. Menjamin kebahagiaan individu, kelestarian keluarga, kestabilan

struktur masyarakat

2.1.3 Alasan/motivasi perkawinan

1. Distimulis oleh dorongan-dorongan romantik

2. Hasrat untuk mendapatkan kemewahan hidup

3. Ambisi untuk mencapai status sosial tinggi

4. Keinginan untuk mendapatkan jaminan/asuransi hidup di masa

tua

5. Keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual dengan

pasangannya

6. Hasrat untuk melepaskan diri dari belenggu atau kungkungan

orang tua/keluarga

7. Dorongan cinta terhadap anak dan ingin mempunyai anak

8. Keinginan untuk mengabadikan nama leluhur

9. Malu kalau sampai disebut sebagai “perawan tua”

2.1.4 Penyesuaian Dalam Perkawinan

1. Penyesuaian Seksual

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Seksual

i. Perilaku terhadap Seks

Sikap terhadap seks sangat dipengaruhi oleh cara laki-laki

dan perempuan menerima informasi seks selama masa anak-

anak dan remaja.Sekali perilaku yang tidak menyenangkan

dikembangkan maka akan sulit sekali untuk dihilangkan.

ii. Pengalaman Seks Masa Lalu

Cara orang dewasa dan temen sebaya bereaksi terhadap

masturbasi, petting dan hubungan suami isteri sebelum

menikah, ketika mereka masih muda dan cara laki-laki dan

perempuan merasakan itu sangat mempengaruhi perilaku

mereka terhadap seks. Apabila pengalaman awal seorang

4

perempuan tentang petting tidak meyenanagkan, hal ini akan

mewarnai sikapnya terhadap seks.

iii. Dorongan Seksual

Dorongan seksual berkembang lebih awal pada laki-laki dari

pada perempuan cenderung tetap demikian, sedangkan pada

perempuan timbul secara periodik dan turun naik selama

siklus menstruasi. Variasi ini mempengaruhi minat dan

kenikmatan akan seks yang kemudian akan mempengaruhi

penyesuaian seksual.

iv. Pengalaman Seks Marital Awal

Kepercayaan bahwa hubungan seksual menimbulkan keadaan

ekstasi yang tidak sejajar dengan pengalaman lain. Hal ini

menyebabakan banyak orang dewasa muda merasa begitu

pahit dan susah sehingga penyesuaian seksual sulit atau tidak

mungkin dilakukan.

v. Sikap Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi

Konflik dan ketegangan akan lebih sedikit terjadi jika suami

atau isteri setuju menggunakan alat pencegah kehamilan,

dibandingkan jika antara keduanya mempunyai sikap yang

berbeda tentang alat kontrasepsi.

vi. Efek Vasektomi

Apabila seseorang menjalani operasi vasektomi maka akan

hilang ketakutannya akan kehamilan yang tidak diinginkan.

Vasektomi mempunyai efek yang positif bagi perempuan

tentang penyesuaian seksual, tetapi membuat laki-laki

mempertanyakan kelelakiannya.

2. Penyesuaian dengan pasangan dan keluarga pasangan

5

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri dengan

Pihak Keluarga Pasangan

i. Keinginan untuk mandiri

ii. Orang yang menikah muda cenderung menolak berbagai

saran dan petunjuk dari orang tua mereka, walaupun mereka

menerima bantuan keuangan, dan khususnya mereka

menolak campur tangan dari keluarga pasangannya.

iii. Keluargaisme

Penyesuaian dalam perkawinan akan lebih pelik apabila salah

satu pasangan tersebut menggunakan waktu lebih banyak

untuk keluarga dari pada yang mereka sendiri inginkan.

Faktor – faktor yang mempengaruhi penyesuaian terhadap

pasangan

i. Konsep pasangan yang ideal

Dalam memilih pasangan, baik pria dan wanita sampai sejauh

tertentu dibimbing oleh konsep pasangan ideal yang dibentuk

selama masa dewasa. Semakin orang terlatih menyesuaikan

diri terhadap realitas semakin sulit penyesuaian dilakukan

terhadap pasangan.

ii. Pemenuhan Kebutuhan

Apabila penyesuaian yang baik dilakukan, pasangan harus

memenuhi kebutuhannya yang berasal dari pengalaman awal.

Apabila orang dewasa perlu pengenalan, pertimbangan

prestasi dan status sosial agar bahagia, pasangan harus

membantu pasangan lainnya untuk memenuhi kebutuhan

tersebut.

iii. Kesamaan Latar Belakang

Semakin sama latar belakang suami dan isteri semakin

mudah untuk saling menyesuaikan diri. Bagaimanapun juga

apabila latar belakang mereka sama setiap orang dewasa

mencari pandangan unik tentang kehidupan. Semakin

6

berbeda pandangan hidup ini, makin sulit penyesuaian diri

dilakukan.

iv. Minat dan Kepentingan Bersama

Kepentingan yang saling bersamaan tentang suatu hal yang

dapat dilakukan pasangan cenderung membawa penyesuaian

yang baik.

v. Keserupaan Nilai

Pasangan yang menyesuaikan diri dengan baik mempunyai

nilai yang lebih serupa dari pada mereka yang penyesuaian

dirinya buruk. Barangkali latar belakang yang sama

menghasilkan nilai yang sama pula.

vi. Konsep Peran

Setiap lawan pasangan mempunyai konsep yang pasti

mengenai bagaimana seharusnya peranan seorang suami dan

isteri, atau setiap orang mengharapkan pasangannya

memainkan perannya. Jika harapan terhadap peran tidak

terpenuhi, akan mengakibatkan konflik dan peyesuian yang

buruk.

vii. Perubahan Dalam Pola Hidup

Penyesuaian terhadap pasangan berarti mengorganisasikan

pola kehidupan, merubah persahabatan dan kegiatan-kegiatan

sosial serta merubah persyaratan pekerjaan, terutama bagi

seorang isteri. Penyesuaian-penyesuaian ini seringkali diikuti

oleh konflik emosional.

2.1.5 Mengelola hubungan baik

Dalam konsep psikologis, perkawinan digambarkan sebagai "dua

pribadi yang menyatu". Dua orang dengan pikiran, keinginan, latar

belakang, dan harapan berbeda-beda, memutuskan untuk bergabung dalam

kehidupan bersama.

7

Tentunya ini berpotensi menimbulkan stres, Apalagi dengan pasangan

muda yang baru satu tahun menjalani bahtera perkawinan.

Menurut Whiteman, Verghese, dan Petersen (1996) ada beberapa hal

yang harus dipahami pasangan suami-istri agar mereka dapat mengelola

hubungan mereka dengan baik, bahkan ketika mereka mengalami stres.

Perbedaan latar belakang

Istri yang dibiasakan orangtuanya membuang sampah dan

meletakkan barang pada tempatnya tentu akan merasa terganggu

dengan perilaku suami yang sembarangan meletakkan pakaian

kerjanya.

Suami juga akan berharap istrinya tinggal di rumah dan memasak

sendiri karena ibunya dulu melakukan hal itu, sementara istri tetap

ingin berkarier karena ibunya dulu juga demikian.

Suami lebih suka menonton film perang, sedangkan istri memilih

memutar acara sinetron di televisi. Istri lebih sering menjewer telinga

anak sebagai cara disiplin, sedangkan suami merasa lebih baik

memberi nasihat dan contoh.

Semua perbedaan latar belakang ini merupakan hal-hal yang bisa

menimbulkan konflik dan pasangan harus membicarakan isu-isu

tersebut dengan kepala dingin dan berkompromi.

Perbedaan gaya atau sifat

Suami mungkin suka mengorok, sedangkan istri jika bersin keras

sekali. Kadang kala setiap orang mempunyai kebiasaan yang

membuat pasangan merasa jijik atau sifat-sifat berlawanan, misalnya

yang satu tertutup, pasangannya mudah membuka diri. Suami

pengalah, pasangannya suka mengkritik.

Perbedaan tersebut bukannya tak dapat diatasi, tetapi akan

menyebabkan stres. Belum lagi perbedaan jender yang merupakan

hasil dibesarkan sebagai seorang laki-laki atau perempuan selama ini.

Para suami dan istri perlu memahami gaya dan sifat pasangannya

serta belajar menerima. Adanya usaha mengubah sifat pasangan justru

8

akan menimbulkan perlawanan dari pasangan dan tentunya dapat

memperberat stres dalam hubungan mereka.

Perbedaan harapan/ impian

Apa yang akan terjadi jika istri mendambakan tinggal di rumah

mungil dengan halaman luas, tetapi suami membeli apartemen di

tengah kota? Bagaimana bila suami memimpikan menjadi pelukis

terkenal, tetapi pasangannya ingin suami berkarier di perusahaan?

Atau yang satu ingin dapat berlibur ke pedalaman Irian, yang lain

ingin ke Eropa?

Kita menyimpan banyak energi mental dan emosional pada

harapan kita, kita harus bisa menyesuaikan satu sama lain, mencari

titik temu dari perbedaan harapan karena ini merupakan bagian

konflik lain dalam perkawinan.

Kekecewaan

Ketika kita menikah dan kemudian pasangan kita berubah, hal

tersebut dapat menyenangkan, tetapi bisa juga mengecewakan kita.

Sebelum menikah, pasangan hanya menampilkan sisi-sisi

positifnya saja, tetapi begitu pesta usai mereka kembali pada

sisiaslinya. Ini semua dapat menimbulkan kekecewaan bagi pasangan.

Dengan makin menuanya seseorang, banyak suami-istri tak puas

dengan kondisi pasangan, yang mungkin mulai memutih rambutnya,

makin menggemuk badannya, sakit-sakitan. Sering kali pikiran yang

dipengaruhi budaya tentang kemudaan dan penampilan yang tetap oke

semakin menambah ketidakpuasan dan memperburuk hubungan

perkawinan

Perebutan kuasa

Meskipun sudah disepakati suami adalah kepala keluarga,

perebutan kuasa bisa terjadi. Misalnya, istri sering mencari upaya

memengaruhi keputusan suami, atau sebaliknya.

Perebutan ini tidak selalu buruk bila pasangan melakukan

pertukaran pendapat yang berbeda secara adil dan tidak menimbulkan

9

rasa kalah yang mendalam pada pasangan. Apakah pertukaran yang

terjadi sesuai atau tidak dengan harapan pasangan, tetap ada potensi

untuk munculnya stres. Hubungan terbaik adalah bukannya tak ada

konflik, tetapi bagaimana kita dapat mengelola konflik secara baik.

Kekhawatiran kehilangan pasangan

Terutama pada zaman di mana perceraian merajalela, orang acap

takut bila pasangan akan meninggalkan mereka. Istri, misalnya,

cemas karena merasa suami tak perhatian lagi. Hal ini justru membuat

suami makin menjauh dan istri makin panik, merasa putus asa.

Semua ini merupakan bagian dari stres yang biasanya muncul dari

dalam diri, tidak tampil dalam bentuk pertengkaran, tetapi

mengganggu perasaan setiap pasangan perkawinan. Menghadapi

berbagai aspek stres interpersonal ini penting bagi pasangan untuk

terus mengupayakan komunikasi terbuka dan efektif.

2.1.6 Makna perkawinan dan relasi seks yang bertanggung jawab

Di dalam proses pergandaan atau proses reproduksi wanita secara

kodrati berfungsi sebagai pemangku keturunan atau sebagai penerus

generasi. Sedang laki-laki berfungsi sebagai pangkal keturunan. Manusia

diciptakan oleh khalifakul alam sebagai dua jenis kelamin yang berbeda

yaitu sebagai laki-laki dan perempuan. Dengan adanya perbedaan jenis

kelamin ini dimungkinkan adanya keturunan sehingga manusia sebagai satu

spesies atau jenis tidak musnah habis.

Maka eksistensi manusia selaku laki-laki dan perempuan itu

menimbulkan satu mekanisme menurunkan anak manusia. Dengan kata lain

proses mekanisme penciptaan keturunan tersebut dimungkinkan oleh adanya

fungsi biologis dari laki-laki dan wanita. Sekalipun fungsi tersebut berbeda

namun sifatnya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Sehubungan

dengan hal ini alat reproduksi pada laki-laki itu berbeda dengan alat

reproduksi wanita dan berbeda pula fungsinya.

Wanita diberi tugas oleh alam untuk mengandung janin keturunan,

yaitu memupuk dan memelihara benih manusia dalam kandungannya

10

selama 280 hari. Sel telur yang terdapat dalam rahim wanita diaktifkan oleh

sel sperma laki-laki menjadi janin. Maka proses pengaktifan telur menjadi

individu atau janin itu disebut sebagai proses pembuahan.

Data penelitaian membuktikan bahwa kebanyakan wanita didasari

perasaan cinta dan didorong oleh keinginan memperoleh keturunan dari

orang yang dicintai dan mencintainya. Ternyata bahwa pada umumnya

alasan menikah karena dorongan keibuan (ingin jadi ibu) itu lebih besar dari

pada alasan keinginan untuk menjadi seorang istri.

Jadi naluri azali yang sangat kuat pada wanita adalah mendapatkan

keturunan, walaupun hal ini ditempuhya melalui banyak pengorbanan lahir

dan batin. Tampaknya keinginna untuk menjadi ibu lebih dominan dari pada

keinginan untuk menjadi istri.

Studi mengenai ibu rumah tangga di Amerika menunjukkan bahwa

jumlah paling besar dari para ibu melaporkan peristiwa sebagai berikut.

Fungsi keibuan merupakan sumber kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup

mereka. Dan hanya sedikit sekali ibu-ibu tadi yang menyatakan, bahwa

fungsi istri yang menjadi kepuasan bagi hidupnya.

Namun sejajar dengan kemajuan jaman dan tuntutan demokrasi, yang

kemudian hari membuahkan gerakan-gerakan liberalisme termasuk

didalamnya, liberalisme seksualitas, maka di zaman moderen sekarang

muncul gejala dominasi dari fungsi hiburan dan fungsi komersiil dari

seksualitas yang menjadi sumber kepuasan bagi wanita modern.

Selanjutnya laporan dari ibu rumah tangga dari tingkat menengah dan

atas menunjukkan bahwa kurang lebih 70% diri mereka mangemukakan

pendapat sebagai berikut:

Fungsi pria paling utama adalah sebagai pencari nafkah

Fungsi sebagai ayah jatuh pada nomor dua

Fungsi sebagai suami jatuh pada nomor tiga

Paralel dengan hal tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa bagi

pribadi wanita pada umumnya fungsi keibuan (motherhood untuk

11

melahirkan dan melestarikan anak keturunan) itu jauh lebih penting dari

pada fungsinya sebagai istri.

Ikatan pria wanita dalam bentuk suami isteri sebenarnya merupakan

ikatan janji kesetiaan cinta kasih, yang diikrarkan dalam jalan nikah. Jadi,

nikah merupakan manifestasi ikatan janji setia diantara pria dan wanita,

yang memberikan batasan-batasan dan pertanggungjawaban tertentu, baik

pada sang suami maupun pada sang isteri.

Di dalam ikatan cinta itu terdapat dua unsur yang paling penting yaitu:

simpati dan birahi. Dalam simpati terdapat unsur-unsur kasih sayang, ikut

merasa/ menghayati, perlindungan dua pribadi menjadi satu kesatua, dan

kesediaan berkorban. Sedang dalam birahi terdapat unsur seks dari dua jenis

kelamin yang berbeda, yang kemudian menimbulkan relasi seksual. Unsur

seks ini selalu terdapat pada setiap insan yang normal. Seks merupakan

energi psikis yang vital, dan memanifestasikan dari dalam dan bermacam-

macam bentuk tingkah laku manusia.

Hubungan seksual sebelum perkawinan atau diluar perkawinan

disebut sebagai berzinah, yang dilarang oleh berbagai agama karena alasan:

1. Kebersihan jiwa

2. Kemurnian relasi manusia

Maka, secara logis dapat dikemukakan bahwa hubungan seksual yang

pas itu hanya diperkenankan dalam ikatan nikah atau ikatan perkawinan.

Karena ikatan perkawinan mengimplikasikan tanggung jawab dari kedua

belah pihak, suami dan isteri.

Hubugan seks yang bertanggung jawab itu adalah hubungan seks yang

menyadari akan kemungkinan didapatkannya (terjadinya) keturunan.

Sedangkan keturunan tersebut harus dipertangungjawabkan pengurusan,

pemeliharaan dan pendidikannya oleh kedua belah pihak ( pihak wanita dan

pihak pria).

Dalam relasi free seks dan perzinahan, kaum pria merasa memberi

atau membuang/mencampakkan sesuatu, yang sifatnya agak agresif dan

aktif. Sedang pihak wanita merasakan seperti menerima sesutau yang

12

sifatnya lebih pasif. Proses menerima tersebut dihayati oleh kaum wanita

lebih mendalam. Sebaliknya perbuatan “memberi” oleh kaum pria kepada

banyak wanita dalam bentuk promiscuity atau pelacuran tidak begitu

mendalam dirasakan oleh kaum laki-laki, karena ia merasa telah

“membayar” atau meberikan imbalan secukupnya lagi pula tidak amat serius

akibatnya bagi kehidupan psikisnya. Berbeda dengan kaum laki-laki, wanita

menghayati pelanggaran-pelanggaran tersebut secara lebih mendalam dan

lebih serius. Sehubungan dengan hal ini kaum laki-laki menyebutkan:

Secara psikologi wanita itu bersifat monogamis sedang laki-laki bersifat

poligamis.

Walaupun sifat poligamis itu secara psikologis tidak banyak

menimbulkan konflik batin pada pihak pria, akan tetapi secara praktis dalam

kehidupan sehari-hari dan dalam lingkungan rumah tangga. Pada umumnya

senantiasa menimbulkan banyak protes dari pihak istri. Hal ini didasarkan

atas alasan sebagai berikut:

1) Harga diri istri yang merasa terlanggar.

2) Dasar egoisme yang sehat dalam mencintai suaminya, sebab dia

tidak ingin dimadu atau dibagi cintanya.

3) Atas kemurnian relasi perkawinan.

Baik dipandang dari segi etis maupun dari segi psikologis,

perzinahan (melakukan relsi seksual di luar perkawinan) dalam

ruang rumah tangga tidak dapat dibenarkan. Pihak suami ataupun

istri yang tidak melakukan penyelwengan, akan merasa sangat

terhina dan terhianati. Peristiwa ini akan menumbuhkan meknisme

reaktif berupa rasa-rasa tidak senang, rasa tidak aman karena tanpa

sekuritas psikis, iri hati, frustasi dan bermacam-macam gangguan

emosional lainnya. Sebagai akibat lebih jauh dari keadaan

sedemikian, kesehatan jiwa pribadi yang bersangkutan jadi sangat

13

mundur, karena banyak diliputi oleh suasana depresif, rasa tidak

bahagia, rasa sangat menderita dan keemasan.

Kecemasan itu adalah bentuk perasaan yang tidak mantap, dan diliputi

oleh semacam ketakutan pada hal-hal yang tidak pastiatau hal-hal yang

irriil. Oleh rasa-rasa kecemasan tersebt, orang lalu melarikan diri dari dalam

dunia khayali atau dalam dunia sosial yang imaginer, dan menjadi sangat

pelupa; dirinya lalu tidak riil. Ia tidak bisa tidur nyenyak dan tidak bisa

makan enak; menjadi sangat sensitive dan mdah tersinggung perasaannya

menjadi sangat gelisah-resah dan mudah marah (jadi agresif). Lalu

terganggulah kesehatan rohani dan jasmaninya.

2.2 Gangguan Psikologi Pada Masa Perkawinan

Gangguan psikologi pada masa perkawinan juga berawal dari penyesuaian-

penyesuaian yang disebutkan sebelumnya. Gangguan psikologis tersebut

diantaranya :

1. Term Marriage

Term marriage atau perkawinan periodik yaitu dengan merencanakan

suatu kontrak tahap pertama selama 3-5 tahun sedang tahap kedua

ditempuh dalam jangka 10 tahun. Perpanjangan kontrak bisa dilakukan

untuk mencapai tahap ketiga yang memberikan hak kepada kedua partner

untuk saling memiliki secara permanen.

Kerangka ini merencanakan adanya satu kontrak tahap pertama selama 3-

5 tahun, sedang tahap kedua ditempuh dalam jangka waktu 10 tahun.

Perpanjangan kontrak bisa dilakukan, untuk mencapai tahap ketiga yang

memberikan hak kepada kedua patner untuk “saling memiliki” secara

permanenaling memiliki secara permanent. Dengan alasan perkawinan

harus dicoba terlebih dahulu beberapa bulan dan jika tidak cocok dapat

segera berpisah.

14

Kontrak tahap 1 = 3-5

Kontrak tahap 2 = 10 tahun

Kontrak tahap 3 = saling memiliki

2. Trial Marriage

Dengan alasan perkawinan harus dicoba terlebih dahulu beberapa bulan

dan jika tidak cocok dapat segera berpisah. Trial marriage atau kawin

percobaan dengan ide melandaskan argumentasinya pada pertimbangan

sebagai berikut:

Jangan hendaknaya dua orang saling melibatkan diri dalam satu

relasi sangat intim dan kompleks dalam bentuk ikatan perkawinan

itu tidak mencobanya terlebih dahulu, selama satu periode

tertentu umpamanya saja selama beberapa bulan atau beberapa

tahun.

Jika dalam periode yang ditentukan kedua belah pihak saling

bersesuian, barulah dilaksanakan ikatan perkawinan yang

permanen.

Pada ide ini dua orang akan saling melibatkan diri dalam suatu relasi

yang sangat intim dan mencobanya terlebih dahulu selama satu periode

tertentu. Jika dalam periode tersebut kedua belah pihak bisa saling

bersesuaian barulah dilakukan ikatan perkawinan yang permanen.

3. Companionate Marriage

Companionate marriage, pola perkawinan ini menganjurkan dilaksanakan

perkawinan tanpa anak, dengan melegalisir keluarga berencana atau

pengendalian kelahiran juga melegalisir perceraian atas dasar persetujuan

bersama.

4. Perkawinan Poligami

Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami

atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus

pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang

memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat).

15

Suatu perkawinan dimana seorang suami mempunyai lebih dari satu

isteri. Ada banyak alasan pria menjalankan bentuk perkawinan ini,antara

lain anak, jenis kelamin anak, ekonomis, status sosial dan lain-lain.

Dampak psikologis dari perkawinan poligami ini adalah perasaan inferior

istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami

adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan

biologis suaminya.

5. Perkawinan Eugenis

Suatu bentuk perkawinan untuk memperbaiki atau memuliakan ras. Saat

Perang Dunia II Hitler memerintahkan penculikan terhadap gadis-gadis

cantik dan pintar dari negara yang didudukinya. Gadis-gadis ini dipaksa

dengan kekerasan untuk digauli oleh lelaki Jerman dengan tujuan

lahirnya ras Aria yang unggul.

2.3 Kesulitan-kesulitan Dalam Penyesuaian Perkawinan

1. Persiapan yang terbatas untuk perkawinan

Walaupun dalam kenyataan sekarang, penyesuaian seksual lebih mudah

ketimbang pada masa lalu, karena banyak informasi tentang seks yang

tersedia baik di rumah, di sekolah, di universitas dan di perguruan tinggi

serta tempat-tempat yang lain.kebanyakan pasangan suami isteri hanya

menerima sedikit persiapan di bidang keterampilan domestik, mengasuh

anak, dan manajemen umum.

2. Peran dalam perkawinan

Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi pria

dan wanita, dan konsep yang berbeda tentang peran ini yang dianut kelas

sosial dan sekelompok religius yang berbeda membuat penyesuaian

dalam perkawinan semakin sulit sekarang dari pada di masa lalu ketika

peran masih begitu ketat dianut.

3. Kawin Muda

Perkawinan dan kedudukan sebagai orang muda menyelesaikan

pendidikan mereka dan secara ekonomis independent membuat mereka

16

tidak mempunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang

dipunyai oleh teman-teman yang tidak kawin atau orang – orang yang

telah mandiri sebelum kawin. Hal ini mengakibatkan sikap iri hati dan

menjadi halangan bagi penyesuaian perkawinan.

4. Konsep yang tidak realistis tentang perkawinan

Orang dewasa yang bekerja di sekolah dan perguruan tinggi, dengan

sedikit atau tanpa pengalaman kerja ,cenderung mempunyai konsep yang

tidak realistis tentang makna perkawinan berkenan dengan pekerjaan,

deprivasi, pembelanjaan uang atau perubahan dalam pola hidup.

Pendekatan yang tidak realistis ini menuju ke arah kesulitan penyesuaian

yang serius yang sering diakhiri dengan perceraian.

5. Perkawinan Campur

Penyesuaian terhadap kedudukan sebagai orang tua dan dengan para

saudara dari pihak isteri dan sebaliknya jauh lebih sulit dalam

perkawinan antar agama dari pada bila kedua berasal dari latar belakang

budaya yang sama.

6. Pacaran yang dipersingkat

Periode atau masa pacaran lebih singkat sekarang ketimbang masa dulu,

dan karena itu pasangan hanya punya sedikit waktu untuk memecahkan

banyak masalah tentang penyesuaian sebelum mereka melangsungkan

perkawinan.

7. Konsep Perkawinan yang Romantis

Banyak orang dewasa yang mempunyai,konsep perkawinan yang

romantis yang berkembang pada masa remaja. Harapan yang berlebihan

tentang tujuan dan hasil perkawinan sering membawa kekecewaan yang

menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab

perkawinan.

8. Kurangnya identitas

Apabila seseorang merasa bahwa keluarga, teman dan rekannya

memperlakukannya sebagai “suami jane” atau apabila wanita merasa

bahwa kelompok sosial menganggap dirinya hanya sebagai “ibu rumah

17

tangga”, walaupun dia seorang wanita karir yang berhasil, ia bisa saja

kehilangan identitas diri sebagai individu yang sangat dijunjung dan

dinilai tinggi sebelum perkawinan.

2.4 Cara Mengatasi Kesulitan/Gangguan

Beberapa cara mengatasi kesulitan yaitu :

1. Menghadapi kenyataan

Suami isteri perlu menghadapi kenyataan hidup dari semua yang

terungkap dan tersingkap.

2. Penyesuian timbal balik

Perlu usaha terus menerus dengan saling memperhatikan, saling

mengungkapkan cinta dengan tulus, menunjukkan pengertian,

penghargaan dan saling memberi dukungan serta semangat.

3. Latar belakang suasana yang baik

Untuk menciptakan suasana yang baik, dilatarbelakangi oleh

pikiran-pikiran, perbuatan dan tindakan yang penuh kasih sayang.

4. Komunikasi yang baik

Dengan membina dan memelihara komunikasi di dalam keluarga

dan dengan masyarakat di luar keluarga. 

2.4.1 Konseling (Perkawinan)

Konseling atau konsultasi psikologi diperlukan saat seseorang

menghadapi masalah-masalah dalam belajar, emosional, penyesuaian

diri, pekerjaan, pernikahan, maupun masalah lainnya. Selain

konseling, psikotes juga dapat membantu memberikan informasi

mengenai gambaran kekuatan dan kelemahan diri, gambaran

kecerdasan dan kepribadian, deteksi gangguan belajar, penjurusan

sekolah, seleksi karyawan dan pengembangan diri.

Menurut Latipun (2001), konseling perkawinan dapat digunakan

sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah.

1. Tujuan Konseling Perkawinan

18

Konseling perkawinan dilaksanakan tidak bermaksud untuk

mempertahankan suatu keluarga. Konselor berpandangan bahwa

dirinya tidak memiliki hak untuk memutuskan cerai atau tidak sebagai

solusi terhadap masalah yang dihadapi pasangan. Konseling

perkawinan dimaksudkakan membantu klien untuk mengaktualkan diri

yang menjadi perhatian pribadi.

2. Tipe-tipe Konseling Perkawinan

a. Concurent marital counseling

Konseling dilakukan secara terpisah. Metode ini digunakan bila

salah seorang partner memiliki masalah psikis tertentu untuk

dipecahkan tersendiri selain juga mengatasi masalah yang

berhubungan dengan pasangannya.

b. Collaborative marital counseling

Setiap partner secara individual menjumpai konselor yang

berbeda.

c. Conjoint marital conseling

Suami isteri datang bersama-sama ke seorang atau beberapa orang

konselor.

d. Couples group counseling

Beberapa pasangan secara bersama-sama datang ke seseorang

atau beberapa prang konselor.

3. Peran Konselor

Menciptakan hubungan baik

Memberi kesempatan klien untuk melakukan ventilasi, yaitu

membuka perasaannya secara leluasa dihadapan pasangannya.

Memberi dorongan dan penerimaan terhadap klien

Melakukan diagnosis/penemuan masalah

Membantu klien mencari kemungkinan alternatif menentukan

tindakan.

2.4.2 Bimbingan pernikahan

19

Pendekatan perilaku untuk hubungan yang terjadi didasarkan pada

penghargaan seimbang. Hubungan dipertahankan selama anggotanya

terus memberikan dukungan yang positif antara yang satu dengan

yang lain. Jika kedua belah pihak berhenti memberikan penghargaan

yang sesuai, hubungan akan terputus dan keduanya saling menjauh.

Sayangnya, individu yang sudah menikah menandatangani kontrak

untuk tetap hidup bersama seumur hidup dan ada sanksi agama dan

sosial yang legal yang mencegah mereka melakukan perceraian.

Banyak pasangan yang tinggal bersama-sama dalam suasana yang

sangat tidak harmonis dari pada harus mengalami perceraian

meskipun rata-rata satu dari tiga pernikahan berakhir dengan

perceraian, cukup mengejutkan bahwa jumlahnya tidak bertambah

besar. Satu pasangan mungkin harus menghadapi terjadinya penyakit,

kesulitan keuangan, perubahan dalam rumah dan pekerjaan,

kebutuhan anak-anak, minat pada orang lain dan lain sebagainya. Jika

seseorang mempertimbangkan bahwa kurangnya latihan dalam

pembelajaran bagaimana harus hidup bersama dalam keadaan yang

sulit, angka perceraian mungkin tidak terlalu mengejutkan.

Sebuah contoh dari hubungan yang tidak memuaskan dalam istilah

perilaku diberikan oleh Hops (1976) yang mengutip kasus seorang

suami pulang bekerja dan karena baru saja menikah, ingin sekali

menceritakan harian di pekerjaan pada istrinya. Tetapi bersamaan

dengan bertambaha usia pernikahan frekuensi perilaku ini menurun.

Suami tersebut yang menceritakan dan berinteraksi dengan orang

sepanjang hari merasa kelelahan tetapi istrinya ingin berbicara dan

mulai menanyakan banyak sekali pertanyaan. Sayangnya, suami

tersebut sedang merasa kelelahan dan hanya ingin menopang kakinya,

menonton televisi dan mungkin membaca koran. Hasil yang pasti

terjadi dari perilaku ini adalah istri yang terus menerus merecoki

mencoba mendapatkan jawaban dari suaminya. Hopes (1976)

mengatakan bahwa hal ini merupakan suatu cerita yang paling sering

20

ditemui oleh ahli terapi pernikahan. Akibat dari pola perilaku ini

adalah timbulnya pemberian hukuman dari pada pemberian pujian.

Untuk mendapatkan reaksi dari suaminya, istri tersebut mungkin

menghukum suaminya dengan berbagai cara. Sebaliknya, suami akan

menjawab dengan respon verbal yang sesuai dan hukuman yang

sesuai terus berlanjut. Hasilnya seringkali saling berdiam pada waktu

makan dan menjalani sore hari yang membosankan dan tidak hidup.

Program perilaku yang disusun untuk membantu pasangan yang

sudah menikah dijabarkan oleh Hops. Ada empat tahap yaitu:

1. Pinpointing (menunjukkkan dengan pasti)

Sebelum ada perubahan perilaku yang terjadi, penting untuk

menunjukan perilaku yang perlu diubah. Banyak pasangan yang tidak

mampu membedakan perilaku yang positif dengan perilaku yang

negatif dan menggunakan pernyataan yang bertele-tele dan untuk

manceritakan pasangannya. “ia selalu memperlakukan saya seperti

sampah” dan “ia tidak mencintai saya lagi” merupakan pernyataan

yang tidak merumuskan masalah dengan tepat. Pernyataan seperti “ia

tidak mencium atau memeluk saya” adalah pernyataan yang lebih

tepat dan menunjukkan dengan tepat masalah dengan istilah perilaku.

Pasangan diajarkan untuk menyebutkan perilaku dengan tepat dan

kemudian diminta untuk mengingat perilaku yang menyenangkan

atau tidak menyenangkan pasanganya. Dengan cara ini sebuah daftar

dari perilaku yang tepat yang perlu diubah oleh pasangan itu dapat

dihasilkan.

2. Latihan kemampuan komunikasi

Satu hasil dari pinpointing dengan tepat mungkin meningkatnya

komunikasi dengan pasangan tersebut tetapi pada sebagian besar

keadaan yang terjadi, beberapa pelatihan dalam pelatihan ketrampilan

komunikasi dibutuhakan. Kadang-kadang orang sangat berniat untuk

21

mengungkapkan pendapatnya sehingga mereka tidak memperhatikan

apa yang diucapkan oleh pasangan mereka. Dalam situasi tertentu

penting untuk mengajarkan orang mengulang kembali kalimat

terakhir yang diucapkan pasangannya untuk memastikan bahwa

mendengarkan yang aktif memang terjadi.

Menyediakan waktu yang digunakan untuk berbicara antar satu

sama lain merupakan kemampuan komunikasi penting yang lain.

Banyak interaksi didominasi oleh satu orang sehingga pasangannya

tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Latihan misalnya dapat

berupa kedua pasangan berbicara untuk jangka waktu tertentu

misalnya dua menit dengan mendengarkan yang aktif terhadap isi

pembicaraan.

Beberapa orang memiliki respon non verbal yang tampak seperti

perilaku yang meremehkan. Seringkali individu yang bersifat dengan

cara ini tidak menyadari efeknya terhadap pasangannya. Karena itu

penting untuk memberi mereka umpan balik tentang bagaimana

kelihatannya mereka saat berperilaku seperti itu. Pasangan diajarkan

untuk mengurangi perilaku verbal mereka yang menyakitkan. Mereka

diminta untuk memikirkan sesuatu yang positif yang sudah dilakukan

pasangan mereka selama satu minggu dan menyebutkannya. Jika

perilaku verbal atau non verbal yang meremehkan timbul sebagai

respon, maka hal ini ditunjukkan pada klien.

3. Pemecahan masalah dan negosiasi

Pelatihan Pemecahan Masalah Dan Negoisasi

Tujuan dari tahap ini adalah untuk memberikan pasangan

keterampilan yang diberikan untuk memecahkan masalah bersama-

sama. Seorang istri mengeluh pada pasangannya bahwa ia tidak

pernah menggantungkan pakaiannya di kamar tidur. Pasangannya

menjawab bahwa dia bersedia menggantung bajunya jika saja lemari

22

pakaian mereka tidak dipenuhi dengan baju istrinya yang tidak pernah

dipakai. Argumentasi berlanjut sampai istri melakukan kompromi dan

mengatakan bahwa ia akan memberikan tempat di lemari pakaian jika

suaminya untuk lebih sering menggantung pakaiannya. Suaminya

setuju. Jalan keluar yang difasilitasi oleh kemampuan istri untuk

melakukan kompromi dan mencari jalan keluar terhadap masalah

yang menguntungkan keduanya.

4. Persetujuan Bersyarat

Jika tiga tahap sebelumnya gagal membantu pasangan

menyelesaikan masalah mereka, persetujuan bersyarat dapat

digunakan. Persetujuan ini dapat mewakili tahap akhir dari

pendekatan perilaku untuk bimbingan pernikahan. Persetujuan dibuat

antara kedua individu yang memberi perhatian pada perilaku mereka

terhadap pasangannya. Pasangan tersebut berkumpul dan

mendiskusikan hal-hal mengenai perilaku masing-masing yang

dianggap pantas mendapat pujian dan yang tidak pantas mendapat

pujian. Mereka kemudian mendiskusikan jenis pujian yang mereka

inginkan jika mereka berperilaku dengan cara yang diinginkan.

Persetujuan ini sifatnya tidak permanen dan dapat dibicarakan

kembali. Perhatikan bahwa cinta dan kasih sayang tidak disebutkan

dalam pendekatan ini. Psikolog yang menerapkan perspektif perilaku

hanya memberi perhatian pada modifikasi perilaku yang bisa

diobservasi. Mereka tidak mempelajari jalan pikiran dan emosi orang

dan memang sudah dikritik karena tidak memperhatikan kedua hal

ini. Meskipun demikian, dalam beberapa keadaan modifikasi perilaku

dapat membantu individu menerapkan perubahan perilaku yang jika

tidak dilakukan akan tetap berada dalam keadaan tidak terselesaikan.

2.4.3 Pengelolaan perkawinan

Peran Bidan dalam Pengelolaan Perkawinan

23

Upaya yang dilakukan bidan dalam mengupayakan penyelasaian konflik

perkawinan yang terjadi yaitu:

a. Bidan sebagai penyuluh dan pemberi motivasi. Jika ada masalah

sekecil apapun yang terjadi dalam rumah tangga harus

dikomunikasikan antara pasangan sehingga tidak terjadi kesalah

pahaman yang mengganggu keutuhan rumah tangga.

b. Mempersiapkan kedua belah pihak untuk menjadi orangtua dengan

memberikan kasih sayang keperawatan dan pendidikan yang

terbaik.

c. Jika sebelum menikah belum di imunisasi TT, sebaiknya segera

imunisasi TT agar anaknya nanti tidak terkena penyakit tetanus.

d. Sebaiknya pasangan yang sudah mempunyai satu anak, sebaiknya

melakukan KB untuk mengatur jarak kelahiran.

e. Tetap memberika pelayanan tanpa pandang status dari

perkawinannya apabila klien di wilayahnya tersebut diberi motivasi

UU Perkawinan belum bisa menerima.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kehidupan perkawinan adalah kehidupan dari pasangan pria dan wanita

yang disahkan secara hukum dan agama dengan tujuan membentuk keluarga

yang bahagia. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kehidupan

24

perkawinan pasti terdapat kerikil-kerikil yang mengganjal dalam kehidupan.

Untuk menjadi pasangan yang bahagia, suami-istri harus saling mengenal dan

menerima pasangannya, saling mencintai, saling memiliki komitmen terhadap

pasangannya, tetap bersama dalam senang dan susah, saling membantu dan

mendukung, memiliki komunikasi yang lancar dan terbuka, serta menerima

keluarga pasangannya sebagai keluargannya sendiri.

25