mak dan ikan teri
TRANSCRIPT
MAK DAN IKAN TERI
Cerpen : Santyarini
Sore itu, setelah menyiapkan lauk untuk makan malam, istriku pamit untuk balik ke
sekolah tempat ia mengajar. Rini adalah guru sejarah merangkap seni suara pada sebuah SMP
Negeri di daerah Kebayoran Lama, 2 km dari tempat kami tinggal. Sudah beberapa hari ini ia
bekerja di luar jam dinasnya, memimpin latihan koor murid-muridnya untuk menyambut Hari
Kartini.
Seperti kebiasaan sepulang kerja, aku mandi, lalu duduk membaca koran sore. Tiga
jam lewat. Rini belum juga pulang. Perutku mulai keroncongan. Bau harum balado teri di
meja makan menggodaku untuk tidak menunggu lebih lama. Aku ambil piring dan mulai
menyantap makanan kesukaanku itu.
Istimewa betul masakan Rini malam ini. Nasi dengan lauk teri, lalap ketimun, dan
daun kemangi. Sudah lama aku tidak menikmati spesialisasi istriku. Persisnya sejak dua
tahun yang lalu, setelah Rini menjadi guru SMP, Iyem, pembantu kami, menggantikan
tugasnya di dapur.
Akan tetapi seminggu yang lalu Iyem meminta izin untuk pulang kampong. Anak laki
satu-satunya akan dikhitankan. Dengan gembira tetapi terburu-buru, Iyem pulang ke Tegal.
Anaknya, Bambang ditinggalkan bapaknya sejak berusia enam bulan di kandungan. Jadi
semua kewajiban dipikul oleh ibunya.
Selama seminggu ini tidak pernah Rini masak seenak ini. Terasa perutku semakin
gendut. Bau teri mengundang satu dua lalat. Aku bangkit mencari tudung saji di dekat cucian.
Panci dan penggorengan bertumpuk-tumpuk. Kasihan Rini. Sejak Iyem pergi, waktunya
habis untuk mengajar dan bekerja di rumah. Ia memang tidak mengeluh. Tetapi kemarin Bi
Marti, tetangga sebelah, dimintanya mengerik punggungnya. Jangan-jangan ia terlalu capek.
Aku mengangkat tudung saji. Balado teri?.... tiba-tiba aku terhenyak. Badanku terasa
lemas dan jantungku berdebar-debar. Mengapa Rini menyiapkan masakan kesukaanku itu
hari ini? Tidak biasanya ia pulang selambat ini, lewat magrib. Ia selalu member tahu kalau
harus pulang lewat jam makan. Aku mencoba mengingat tindak-tanduk Rini beberapa hari
ini. Ia tidak banyak becanda seperti biasanya?
Ingatanku melarang ke saat-saat terakhir sebelum Mak, begitu panggilan akrabku
untuk nenekku dari pihak Ibu, mengingat dari rumah kami di desa Wringin Kembar di daerah
Lamongan yang tandus. Wajtu itu aku berusia sekitar enam tahun. Adikku Ratni tiga tahun
dan Wiji baru enam bulan. Ibu dan Bapakku sedang mengajar di satu-satunya SD Negeri di
desa itu. Siang itu aku dan Ratni bermain di bawah pohon sawo di belakang rumah. Mak
memanggil kami untuk makan.
Di meja tersedia goring teri kesukaanku. Aku dan Ratni berebutan mengambil nasi
dan lauk. Mak menggendong Wiji, sambil mengawasi kami makan. Aku ingat Mak berpesan
sesuatu, lalu mengatakan bahwa ia harus pergi ke rumah Lik Narsih untuk menempil telur.
Ketika Ibu Bapak pulang, Mak belum juga kembali. Baru setelah magrib, mereka menyadari
ada yang tidak beres. Bapak pergi ke rumah Lik Narsih dan mendapati Wiji di sana. Kata
tetangga kami itu, Mak menitipkannya di sana karena ia perlu pergi ke Mbah Marni untuk
minta urut. Bapak bergegas ke rumah Mbah Marni. Mak tidak pernah dating ke sana hari itu.
“Mak minggat,” demikian kata-kata Bapak terngiang-ngiang di kepalaku. Ibu
mengurut dada, sambil berkeluh-kesah seperti pada dirinya sendiri. Itu kebiasaannya kalau
sedang bingung. Lik Narsih muncul dengan Wiji di gendongannya, Mbah Dukun dan
beberapa tetangga lain dating untuk menenangkan Ibu. Bapak member isyarat padaku agar
ikut ke luar rumah. Ia mengambil sepeda tuanya, mendudukkan aku di boncengan, lalu
mengayuh cepat ke arah rumah Pak Lurah. Pak Lurah menugaskan Lik Dimin; pembantunya
untuk menemani ayah mencari Mak.
Kami meluncur menelusuri jalan berbatu, pematang sawah, dan akhirnya sepanjang
sisi rel kereta api yang melintasi desa kami dari barat ke timur. Beberapa penduduk melihat
Mak berjalan ke arah sana. Entah beberapa lama kami bersepeda, ketika Bapak menyerukan
sesuatu. Dari kejauhan tampak punggung Mak yang bungkuk, dengan baju kebaya krem
kesayangannya, terhunyuk-hunyuk di sepanjang rel. Ia menanting sebuah bungkusan kain di
siku kanannya.
Aku tak tahu berapakah Mak mendengar panggilan Bapak. Ia berjalan terus tanpa
menoleh. Bapak dan Lik Dimin memacu sepeda mereka. Kira-kira sepelempar sirih,
keduanya berhenti. Bapak menyerahkan sepedanya ke Lik Dimin, lalu berlari menyusuk
Mak.
Kami tidak mendengar apa yang mereka bicarakan. Mak berjalan terus tanpa
menoleh, Bapak mengikuti di sampingnya, sambil bercakap serius. Entah kenapa aku
menangis. Mungkin kakiku kesemutan. Lik Dimin menaruh sepedanya dan menurunkan aku
ke tanah. Aku melihat Bapak dan Mak berhenti berjalan. Bapak menunjuk-nunjuk ke arah
kami. Rasanya aku ingin lari memeluk Mak, tetapi aku takut pada Bapak, Lagi pula Lik
Dimin memegangi tanganku.
Mak menunduk memandang bungkusan yang dipegangi dengan kedua tangannya.
Entah berapa lama mereka berbicara seperti itu. Hari sudah mulai gelap. Akhirnya aku lihat
Bapak memeluk bahu Mak dan menuntunnya ke arah kami.
Mak mengatupkan bibirnya. Kerutan-kerutan wajahnya tampak jelas dari lampu
sepeda. Matanya berlinang. Rambutnya yang abu-abu, biasanya tersisir rapi, tampak agak
longgar tersanggul. “Mak,” kataku pelan sambil memeluk kainnya. Mak mengusap kepalaku.
Lik Dimin mendudukkan aku di depan sadel sepedanya. Pantatku terasa sakit bersandar pada
tiang besi sepeda, tetapi aku diam saja. Bapak membantu Mak duduk diboncengan.
Kami bersepeda pulang tanpa bicara. Dalam gelap suara gesekan ban sepeda kami
menyelingi dengkungan kodok dan gossip lirih serangga malam.
Para wanita ramai menyambut kedatangan kami di rumah dengan puji syukur. Tetapi
malam itu aku tidur tanpa dongeng Mak. Ia hanya merapikan selimutku, lalu duduk di balai-
balai di sampingku tanpa suara. Ibu menyuruhnya makan. Mak menggeleng. Ikan teri yang
disisakan Ibu untuknya tidak disentuhnya.
Bajaj menderu-deru di depan rumah. Aku menarik napas lega. Dari jendela aku
melirik keluar. Istriku bergegas turun. Aku bergerak ke tempat cucian dan mulai menyabuni
piring. Rini membua pintu. Pipinya merah berkeringat, wajahnya cerah walaupun tampak
lelah.
“Maaf aku terlambat, Mas,” katanya. “Sehabis latihan aku mampir ke took sebentar.
Persediaan kertas krep di koperasi sekolah habis. Perlu untuk hiasan perayaan Kamis nanti.”
Ia melepas sepatu, meletakkan tasnya yang menggebung di kursi tamu lalu berjalan
mendekatiku.
“Aduh, aku sudah lapar sekali.”
“Kau ketinggalan kereta,” kataku seloroh. “Terimu yang lezat sudah kuhabiskan.”
“Minggir sebentar, Mas, aku mau cuci tangan. Nanti saja cuciannya.”
Rini minum air segelas, menghilang ke kamar mandi sebentar, dan dalam beberapa
detik sudah duduk di meja dalam gaun rumahnya, segar dan cantik, siap melahap balado teri.
Sambil makan, gossip-gosip hari itu dilaporkannya padaku aaaa”Bagaimana mood
bossmu hari ini?” tanyanya memancing ceritaku.
“Mood-ku yang jelek sore tadi sebelum kau dating,” kataku mengalihkan
pembicaraan. “Kau sih bikin balado teri, aku jadi ingat pada saat Mak minggat dulu.”
Rini membelalakkan matanya dan menutup mulutnya yang bersuara seperti tersedak.
Ia tertawa terkikik.
“Ada-ada saja kau ini.”
Ia sudah hapal sejarah keluargaku. Tetapi senyum tidak lama bertahan di wajahnya.
Sebentar kemudian ia mengetuk-ngetukkan garpu pada piring. Tangannya memang tidak
pernah berhenti bergerak kalau ia sedang memikirkan sesuatu.
“Mas,” katanya, “Siapa sih dulu yang meminta Mak untuk ikut pindah ke Wringin
Kembar? Meninggalkan Mbah Parto di desa Tumbal Waras di Kediri?
“Entahlah. Mungkin Bapak atau Ibu.”
“Jadi bukan keinginan Mak sendiri. Lalu kenapa Mbah Parto tidak diajak serta?”
Sejak kecil, kami memang terbiasa memanggil kakek dengan panggilan Mbah Parto,
bukan Mbah Kakung seperti lazimnya. Demikian Ibu membasakan ayahnya untuk kami.
Anehnya, Ibu memanggil ibunya “Mak”, dan kami semua menirukannya. Aku berpikir-pikir,
sekarang, Ibu tidak pernah dekat dengan kakek.
Aku ingat cerita Ibu, bagaimana beratnya ia berjuang melawan kakek ketika ia
mengajukan keinginannya untuk melannjutkan pendidikan ke SPG di kota. Kabarnya Ibu
termasuk anak yang cerdas di antara teman-temannya. Guru-gurunya suka padanya dan
mendorongnya untuk terus belajar, Mbah Parto marah besar. Anak perempuan tempatnya di
dapur begitu kira-kira kata-katanya, buat apa belajar susah-susah toh akhirnya nanti kembali
ke dapur juga.
Ibu minggat ke rumah guru kesayangannya, yang sekarang kami panggil dengan
sebutan Mbah Guru. Ia dipungut anak, disekolahkan dan diasramakan di kota. Entah
bagaimana cara Mbah Guru menghadapi Mbah Parto yang kabarnya disegani di seluruh
desanya. Bertahun-tahun lamanya Ibu berhenti berbicara dengan ayahnya.
“Mbah Parto ‘kan tidak mungkin meninggalkan sawahnya. Lagi pula ia sakit-sakitan.
Pasti berat Mak meninggalkannya?
Entah kenapa, aku merasa disudutkan oleh pertanyaan Rini yang bertubi-tubi.
Mungkin karena aku sendiri tidak pernah mempertanyakannya. Sejak kecil aku sudah terbiasa
dengan kehadiran Mak di tengah keluarga.
Mak-lah yang menanak nasi pagi-pagi, menyiapkan sarapan, pergi belanja, masak,
menerima tamu kalau Ibu dan Bapak tidak ada di rumah, dan mengasuh anak-anak. Walau
Wiji menangis rewel, Mak bahkan membiarkan bayi itu mengisap teteknya yang keriput
untuk menenangkannya.
“Entahlah Rin,” kataku. “Mungkin keputusan-keputusan yang kau rasa aneh saat ini,
pada saat itu terasa wajar saja. Ibu adalah anak Mak satu-satunya. Tentunya Mak juga merasa
berat berpisah jauh dengannya. Lagi pula, saat itu Ibu sedang mengandung Wiji, sedangkan
aku dan Ranti masih kecil-kecil. Ibu dan Bapak harus mengajar di desa yang terpencil, tanpa
gaji yang cukup untuk mempekerjakan pembantu. Wajar saja kalau mereka minta tolong Mak
untuk menemani kami.”
“Hmmm… Mungkin Mak mengira kepergiannya tidak lama. Mengapa ia sampai
minggat? Barangkali sudah beberapa kali minta diantar pulang. Barangkali ia punya firasat
tidak enak.”
“Barangkali ia rindu suaminya,” kataku sambil mengerdipkan mataku pada Rini.
Istriku tetap saja serius.
“Mestinya ia pulang mengurus rumah-tangganya sendiri. Kasihan, Mak. Ia hanya bisa
menumpahkan semua kekecewaannya kepada suaminya. Sampai saat terakhir ia tidak bisa
memaafkan Mbah Parto.”
Istriku memang sangat saying pada nenekku itu. Padahal keduanya berbicara dalam
bahasa yang berbeda. Rini mengerti bahasa Jawa, tetapi tidak pernah memakainya karena ia
dibesarkan di Jakarta. Sebaliknya nenek sedikit-sedikit paham bahasa Indonesia, tetapi tidak
bisa mengucapkannya. Bagaimanapun, setiap ada kesempatan bertemu, mereka selalu
bercakap-cakap dengan akrab, dan merasa dekat.
Setiap kali Rini mengunjungi Mak, nenekku selalu mengungkapkan kembali
kekecewaan dan rasa sakit hatinya pada kakek. Dua tahun kemudian setelah keluarga kami
kembali ke Kediri, ia mendapati Mbah Parto tidak sendiri lagi. Kakekku sudah menikah lagi
dengan Mbah Endang, seorang janda, tetangganya, yang membantu merawatnya ketika Mak
pergi. Sejak itu Mak tinggal seterusnya bersama keluarga kami.
Dalam hal ini hati Mak keras bagaikan batu. Pada saat Mbah Parto sakit keras, dan
diboyong Ibu untuk dirawat di kota, di rumah kami, jangankan berbicara, masuk ke kamarnya
pun Mak tidak mau. Anehnya, Mak bersedia masak khusus untuk kakek, menyiapkan air
mandinya. Kadang-kadang ia duduk saja di bangku luar kamar tempat kakek di rawat.
Beberapa kali Mbah Parto mengajaknya bicara, dalam bahasa Jawa. “Sudahlah, Mak
yang lewat biarlah berlalu. Saya memang salah. Saya minta maafmu.” Tetapi Mak tidak
pernah menjawabnya. Biarpun dibujuk oleh Ibu atau Bapak agar mengabulkan permintaan
Kakek yang terakhir itu, Mak selalu menggeleng dan berdiam diri.
Ketika jenazah kakek dibaringkan, dan orang membaca doa, Mak duduk di belakang.
Bibirnya ikut bergerak, kedua tangannya terbuka, tetapi ketika orang mengajaknya untuk
melihat wajah Kakek terakhir kali sekali lagi ia menggeleng. Kiranya Mak kukuh dalam
pendiriannya, walaupun menurut surat Ibu dua tahun yang lalu, kata-kata Mak yang terakhir
adalah tentang suaminya” “Nduk, kata Mak kepada Ibu yang menungguinya, “Itu Bapakmu
dating.”
“Padahal sebetulnya Kakek tidak bisa disalahkan,” kata Rini pelan.
“Tidak ada yang bisa disalahkan di sini, Rin. Lagipula kita perlu ingat, betapa besar
peranan Mak dalam menunjang kehidupan keluargaku. Sementara karier Bapak Ibu
menanjak, mereka pun semakin sibuk. Padahal keluarga membengkak dari tiga anak menjadi
delapan. Siapa yang memandikan, menyuapi dan masak untuk seluruh keluarga, jika bukan
Mak? Siapa di antara delapan saudaraku, yang tidak pernah merasakan gendongan
selendangnya.”
“Tetapi ongkosnya pun sungguh tak terbayar,” Rini menghela napas.
Ia mengemasi piring mangkok di atas meja, lalu membawanya ke tempat cuci piring.
Biasanya suara kelontang piring ditempa kosekan tangan Iyem mengisi keheningan rumah
petak kami, malam-malam begini.”
NGARAI
Walau kedatangan Nita saat itu tak pernah diharapkan ayahnya, namun tentu saja
merupakan kejutan yang menggembirakan. Lagi pula ayahnya tak pernah mengirim surat
padanya bahwa ia sakit. Ayahnya merasa, sakitnya hanya demam biasa, terlalu lelah dan
butuh istirahat yang cukup.
“Kau tidak bawa anak-anakmu?”
“Tidak ayah. Saya sendiri. Saya dengar kabar dari Erni, tetangga kita yang sekarang
menjadi mahasiswa saya. Katanya Ayah ikut gotong-royong manunggal. Betul?”
“Sedikit. Asal menampakkan muka saja. Malulah Ayah, kalau mereka tidak melihat
wajah ketua RW-nya.”
“Ya, tapi Ayah sudah tua. Belum pensiun hanya karena guru saja. Coba kalau
pegawai negeri biasa, Ayah sekarang tentu sudah dianggap manula, pensiunan, begitu.”
Ayah Nita terdiam sambil menatap dan membaca wajah putrinya yang sekarang
mungkin disebut sebagai wanita karir dan tinggal di kota propinsi. Ia bangga, Zurnita cantik,
lebih cantik dari mendiang ibunya sewaktu muda, terpelajar, bersuamikan laki-laki yang
setara dengan pendidikannya. Tetapi dari goresan pelupuk mata Nita, ayahnya seakan-akan
membaca mendung. Nita tahu, ayahnya adalah laki-laki yang sangat arif, karena itu ia gugup
dan berusaha berhelah.
“Putri yang kecil saya titipkan sama tantenya, adik Uda yang tinggal bersama kami di
Padang.”
“Umurnya berapa sekarang?”
“Sudah hampir setahun. Tidak menetek lagi Ayah. Kalau Tari tiap pagi diantar
papinya ke sekolah sambil berangkat kerja. Pulangnya dijemput sopir kantor papinya. Jadi
tidak begitu repot kok.”
“Kamu kembali hari ini kan?”
“Saya harap begitu, Ayah.”
“Tapi ini sudah sore. Mana ada bis ke Padang. Oplet yang akan membawamu ke jalan
propinsi saja mungkin sudah usai.”
Nita terdiam dan mencoba tersenyum. Kemudian meninggalkan kamar itu dan menuju
dapur, melihat kakaknya Sarima memasak sambil bercengkerama dengan putra bungsunya
yang baru berusia dua tahun. Walaupun bersuamikan petani dan ia sendiri tak tamat SMA,
Sarima juga tahu bahwa Nita datang hari itu jauh-jauh ke kampung pasti bukan menjenguk
ayahnya yang sakit. Oleh karena itu ia langsung saja menembak Nita.
“Kamu bertengkar lagi yang Nita?”
“Bertengkar itu kan biasa.”
“Ya tidak biasa, kenapa kau sampai tega meninggalkan bayimu. Dia kan masih bayi
dan belum pernah pisah denganmu bukan?”
“Biasanya sering juga saya tinggal seharian kok. Di samping jadi dosen saya kan juga
jadi redaksi koran.”
“Wartawan maksudmu?”
“Bukan. Itu, yang mengasuh ruangan konsultasi. Uni tidak pernah baca nama saya di
koran?”
“Di rumah ini aku kan nomor satu repot. Kapan aku dapat membaca koran? Apalagi
sejak kacamataku pecah terinjak sepatu ayah tempo hari.”
Zurnita meninggalkan Sarima di dapur tanpa harus mempertimbangkan Sarima akan
kesal karena dibiarkan bicara sendirian. Nita butuh sendiri. Ia masuk ke kamar ibunya yang
selalu dipelihara rapi oleh Sarima. Kamar itu sebenarnya kamar yang kembar dengan kamar
depan yang sekarang dipakai ayahnya untuk kamar kerja dan sekaligus kamar tidur. Sejak ibu
Nita meninggal lima tahun lalu, kamar itu dibiarkan kosong, kecuali kalau Nita pulang
dengan keluarganya, atau saudara laki-lakinya yang merantau jauh di seberang lautan itu
pulang bersama istrinya yang bukan orang Minang.
Tanpa mengganti pakaian, Nita menggolekkan tubuhnya di atas ranjang kuno terbuat
dari besi itu. Agak tinggi memang, tetapi itu bekas ranjang pengantin mendiang ibunya.
Menurut ceritanya, ibu kawin di usia sangat muda, enam belas tahun dengan ayah yang waktu
itu berusia dua puluh satu. Jauh beda dengan Nita yang kawin pada usia dua puluh tujuh
tahun, dengan Syafri yang waktu itu berusia enam tahun lebih tua. Bedanya lagi, Nita tidak
menikah di kampung, tetapi di kantor Urusan Agama dan pestanya di sebuah gedung
pertemuan yang besar, yang semua ongkosnya ditanggung keluarga Syafri, tepatnya Drs.
Syafri.
Nita tidak menangis walau sebenarnya dia ingin. Bau sprei ranjang ibu mengingatkan
Nita sewaktu masih kecil. Bau khas itu entah datang dari kasur atau badan ibu yang harus tak
bernama, seperti masa kanak-kanak dulu. Kalau Nita tidak enak badan, ibu akan
menidurkannya di ranjang ini. Rasa aman dan nyaman itulah yang membuatnya ingin
membayangkan wajah itu kembali dan ia berhasil menetes air mata. Tetapi bayangan wajah
ibu hanya sesaat. Cepat saja berganti dengan bayangan ranjangnya di kota yang sebenarnya
jauh lebih empuk dan mahal ketimbang ranjang kuno ibu. Tetapi ranjang itu sering
membuatnya tidak nyaman bahkan anehnya, sering merasa kepanasan di samping suaminya
yang sering tidur lebih awal. Lelaki yang dulu menjadi impiannya siang malam, hampir tujuh
tahun lalu, dan kini tiba-tiba berubah menjadi laki-laki tambun yang lebih suka meninggalkan
perintah daripada berkata lembut kalaupun tidak merayu-rayu seperti dulu.
Padahal sewaktu Nita sedang di Kanada mengikuti program pertukaran pemuda,
kepada lelaki itulah yang paling banyak ia menulis surat, bahkan menelpon sebelum
berangkat tidur, ke tanah air. Lelaki itu justru yang memberinya semangat, mendukung
kariernya sebagai mahasiswa berprestasi tinggi dan aktivitasnya yang menonjol. Nita
memang butuh orang yang mengerti cita-citanya. Kedengarannya memang sederhana, tak
sekedar ibu rumah tangga. Tetapi sekarang?
“Sekarang, anak-anak mesti jadi tanggung jawabmu yang utama. Karier, jelas nomor
dua. Sekarang, kau terima tawaran koran picisan itu untuk menjadi redaktur tamu pengaruh…
apa itu? Konsultasi remaja? Seharusnya kau lebih rasional Nita.”
“Anak jelas tanggung jawab kita berdua. Mengapa aku sendiri?”
“Ingat, sekarang aku pegawai eselon, kepala sebuah bagian penting di Kantor
Bergonjong (1) itu. Mestinya kau aktif di Darma Wanita. Jadi contoh istri-istri pejabat yang
lain dan menjadikan aku lebih bergengsi karena beristrikan wanita terpelajar, pinter, dan
berpengalaman luar negeri lagi.”
“Menjadi anak buah istri bossmu yang tak tamat SMA itu? Lantas gengsimu naik
sementara harga diriku diinjak-injak oleh ketua Darma Wanita kantormu yang judes itu? Sok
tahu segala itu? Nggak usah ya. Itu justru tidak logis. Aku ini dosen. Aku justru menyiapkan
generasi Indonesia masa depan.”
Pertengkaran seperti itu semakin sering dan membuat Nita merasa tak berharga di
rumah tangganya, di mata suaminya. Bagi suaminya, jabatan dan penghasilannya (Nita
sendiri tak pernah ingin tahu dari mana uang yang bukan berasal dari gaji itu) sudah pantas
disyukuri Nita. Karena itu Nita tak perlu kerja keras. Mengapa harus repot-repot menjajakan
ijazah sarjana ke koran-koran segala?
Malam itu, sehabis bersoal jawab dengan suaminya, Nita mengetik makalah sampai
pagi, sampai tuntas untuk bahan seminar tentang peranan generasi muda dalam memajukan
budaya bangsa seminggu lagi. Esok harinya Nita bolos mengajar. Seharian tidur-tiduran
dengan Tari putrinya. Nita puas walau capai, karena dengan bertengkar semalam dengan
Syafri suaminya, ia berhasil mengambil hikmahnya. Menyiapkan makalah seminar dan
tinggal menunggu panitia menjemput naskahnya untuk diperbanyak.
Zurnita masih mengingatnya selalu ketika wartawan surat kabar yang
mewawancarainya itu langsung memintanya untuk mengasuh rubrik konsultasi remaja
sehabis seminar. Wartawan yang hangat dan berwawasan luas itu bernama Rus. Esoknya
wajah Nita terpampang di koran itu dengan sejemput ulasan tentang makalahnya. Tetapi
Syafri suaminya malah menanggapinya dengan wajah sinis, jangankan memberikan pujian.
Namun Nita sudah menduga dan siap menerimanya. Bagi Nita, orang lain jauh lebih tahu
menghargai dirinya. Bagi Nita tawaran untuk menjadi pengasuh rubrik itu bagaikan nafas
kehidupan baru setelah tersenggal-senggal dihimpit tangga dan rumah yang dibikinnya
berdua dengan Syafri.
“Sekarang kau hamil Nita. Kumohon kau mengurangi kegiatanmu.”
Nita tidak menjawab, menerawang angan untuk mengatur pertemuannya dengan
teman-teman di kantor redaksi. Hari ini mestinya dia ke sana untuk beberapa jam menyiapkan
bahan-bahan surat yang ditujukan pada oengasuh rubrik itu.
Manik-manik keringat membasahi jidat Nita yang tertidur bagaikan bocah di kamar
mendiang ibunya. Lambat-lambat ayahnya yang masih sempoyongan itu mengusap keringat
Nita dengan handuk kecil. Nita mendengkur kecil, pertanda tidunyra pulas. Ayahnya
mencium kening yang sedikit mengerut itu, mungkin sedang bermimpi. Kemudian
memandang wajah Nita agak lama, sementara matahari mulai turun, pertanda malam akan
segera tiba. Tak biasanya Nita pulang sendirian kalaupun dengan alasan menjenguk ayahnya
sakit. Ini mungkin pertengkaran serius, pikir ayahnya yang termangu di depan jendela kamar
itu. Tiba-tiba ayahnya tersentak oleh pikirannya sendiri bahwa Nita hari ini genap tiga puluh
tiga tahun. Sekali lagi diciumnya kening Nita. Mungkin agak lama, hingga Nita terbangun.
Agak terkejut memang, mencari-cari, wajah siapa yang begitu dekat dengan wajahnya.
“Selamat ulang tahun Nita…” ucapan itu membuat Nita terlonjak dan langsung
merangkul ayahnya. Ayah dan anak itu saling melepaskan perasaannya, dibumbui dengan
tetes-tetes aur mata sebagai pelengkap.
Sebenarnya dalam tidurnya Nita betul-betul bermimpi. Nita bermimpi bertemu Rus
dengan muka penuh luka, tetapi tertawa-tawa seperti tak merasa apa-apa. Nita ingin
membasuh luka itu, tetapi Rus mencegahnya hingga Nita kecewa.
“Jangan, terima kasih atas perhatianmu.”
Nita mundur dan hampir menangis memikirkannya. Padahal selama ini Rus akrab
dengannya. Nita pernah beberapa kali ditelepon Rus, dijemput ke kampus lalu pergi bersama,
sekitar pukul sepuluh menyaksikan film yang akan diresensi dan dinilai oleh badan sensor
film daerah. Biasanya habis itu berdiskusi, makan siang di kantor redaksi dengan nasi
rantangan. Dan dalam setiap diskusi, Rus selalu memuji pikiran-pikirannya. Dan Rus yang
punya istri pegawai bank itu sering dijumpai Nita sedang melatih anak bungsunya
menggambar di kantor redaksi sehabis jam sekolahnya di sebuah TK. Maksud Rus, agar
putrinya itu asyik bekerja dan tidak mengganggu. Diam-diam Nita mengagumi Rus. Karena
itu sesekali Nita mengajak Tari ke kantor redaksi, bermain dengan putri Rus. Mereka seperti
saudara kembar, akrab sekali menggambar dengan kertas dan spidol warna-warni.
Sebenarnya, sebelum berangkat ke kampungnya, Nita hanya bermaksud ke kantor
redaksi. Ia ingin jumpa Rus dan berharap Rus akan memberinya surprise sehubungan dengan
hari ulang tahunnya. Mungkin karena di rumah, tadi pagi suaminya hanya bilang akan
terlambat pulang karena banyak pekerjaan, Nita butuh orang lain yang mengucapkan selamat
ulang tahun. Tapi Rus tidak ada di tempat. Menurut rekannya, Rus ke pusat pemutaran film
badan sensor. Nita kecewa, lalu menulis surat pendek dan meletakkannya di bawah kaca alas
meja Rus. “Rus, aku pulang kampung. Ayahku sakit.
Walaupun tidak pakai tanda tangan dan inisial nama, Rus tahu bahwa itu tulisan Nita.
Bahkan Rus tahu bahwa sobekan kertas itu berasal dari buku agenda Nita, karena agenda itu
hadiah Rus sewaktu hari ulang tahun Nita tahun lalu.
Sore itu Syafri dan putrinya Tari datang ke kantor redaksi mencari Nita. Tari langsung
saja menemui Rus.
“Om Rus, mama Tari ada di sini?”
“Oh, tidak Tari. Dengan siapa ke sini?”
“Dengan papi. Tuh,” ujar Tari sambil menunjuk ke perut papinya yang kelihatan
sesak nafas menaiki tangga lantai dua itu.
“Maaf mengganggu. Kenalkan, saya suami Nita.”
Selama ini Rus tidak pernah berjumpa Syafri dan tidak pernah ingin berkenalan. Saat
itu Syafri berada di hadapannya sambil berbasa-basi. Tetapi Rus cepat memberi tahu bahwa
Nita menitip surat sepeninggalnya sewaktu menyerahkan naskah rubrik konsultasi. Dan
tampaknya Syafri cukup lega karena sudah merasa aman kalau Nita pulang ke kampungnya
di kaki gunung Singgalang itu.
“Tari, mamamu pulang kampung. Kakek Tari sakit. Mendadak ngkali.”
Syafri meyakinkan putrinya dan dirinya. “Permisi kami pulang dulu. Besok-besok
juga kembali. Atau kalau sampai Sabtu, saya jemput sambil berlibur,” ujar Syafri pada Rus.
Rus mengangguk sopan dan mengerdip Tari. Karena itu Tari jadi penasaran dan bertanya:
“Dita tidak diajak ke sini Om?”
“Tidak Tari. Dita di rumah bersama mamanya. Lain kali main ke rumah Om ya?”
tawar Rus. Tari mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan itu bersama papanya.
Semakin jelas bagi Rus, bagaimana Nita sering cekcok dengan suaminya. Tetapi pun
Rus bercermin pada dirinya yang sudah lama mendapat perlakuan dingin dari istrinya. Bagi
istri Rus, siapa yang paling banyak menghasilkan uang, itulah yang berhak menjadi kepala
rumah keluarga. Karena itu resikonya, Rus harus membenahi anak-anak yang tiga orang itu
di samping membenahi pekerjaannya di kantor redaksi dengan gaji kecil. Dan Rus memilih
anjuran istrinya sehingga ketiga anaknya lebih akrab dengannya ketimbang dengan ibunya.
Sedangkan istri Rus dari pagi hingga setengah lima sore non stop di kantornya.
“Kok kamu nekat ke sini Rus?” tanya Nita.
“Nggak ah. Aku memang punya jadual sejak kemarin untuk meliput keruntuhan
Ngarai Sianok. Lalu surat yang kau titipkan di bawah kaca mejaku itu membuat aku ingin
jumpa kau di sini. Sambil ke Ngarai Sianok, lihat teman kan?”
“Bareng terjun ke ngarai yuk,” kelakar Nita.
“Yuk,”
Tetapi kemudian wajah Nita memerah karena sadar percakapan itu mungkin didengar
ayahnya di kamar depan ruang tamu itu.
“Kamu masih juga bercanda. Tari dan papanya kemarin mencarimu ke kantor.”
“Kalau mereka butuh aku dan tahu ayahku sakit, mestinya hari ini kan mereka datang
ke sini.”
“Memang, tapi bukan sekarang. Suamimu bilang mungkin Sabtu sekalian libur.”
“Tapi siang ini aku harus kembali. Esok pagi aku ngajar Rus.”
“Kalau begitu, siap saja sekarang. Kita berangkat; oke?”
“Oke!”
Di perjalanan, di atas jeep Rus yang tua menuju kota Bukittinggi mereka lebih banyak
diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dan mereka betul-betul menuju panorama
pinggiran Ngarai Sianok, tapi tidak jadi melompatinya berdua. Sebab Rus sibuk memilih
souvenir untuk Nita, sebagai hadian ulang tahun.
“Selamat ulang tahun, lebih satu hari ya?”
“Oh, terima kasih. Kau tidak lupa Rus?”
Langkah-langkah yang berasal dari rombongan bersepatu membuat mereka tersentak.
Rombongan gubernur sedang memasuki taman pinggir ngarai itu sambil meninjau bagian
yang longsor seperti yang diberitakan koran-koran dan radio. Naluri kewartawanan Rus
membuatnya cepat-cepat mengambil tustel dari dalam tasnya dan membidik, ciprot, cipret!
Sedangkan Nita terlibat pandang memandang dengan Syafri yang berada di dalam
rombongan resmi itu tanpa dapat berkata-kata.
Padang, Jan-April, 1991