majalah jejak islam no.1 nov 2014

Upload: cintya-yella

Post on 02-Jun-2018

289 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    1/35

    DI BALIK LAYAR

    KEMERDEKAAN

    unuk Bangsa

    Menelusuri Torehan Sejarah Islam di Indonesia NO. I - NOVEMBER 2014

    Mukaddimah Syajarah RekamKisahBekah Kemedekaan

    Bagi Dakwah Islam

    di Indonesia

    Tenang Paa Pahlawan

    dan Masa Lalu Kia

    Meekam Ingaan

    Peang Aceh

    Elegi 10 Novembe dan

    Resolusi Jihad yang

    e(di)lupakan

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    2/35

    Dari

    KeHati

    Meniti Diantara

    Cinta&FaktaHati Meninjau sejarah dengan cinta. Itulah pesan Buya Hamka yang meresap ke dalam

    redaksi kami. MajalahJejak Islamedisi pertama ini adalah sebuah ikhtiar untuk menghadirkan

    penulisan sejarah Islam yang haluannya adalah pandangan hidup Islam dan bahan bakarnya

    adalah cinta terhadap Islam. Dituangkannya tulisan-tulisan komunitas Jejak Islam untuk Bangsa

    (JIB) ke dalam bentuk majalah adalah upaya untuk lebih mendekatkan sejarah kepada umat

    Islam di Indonesia, setelah sebelumnya tulisan kami lebih banyak bergeriliya di dunia maya.

    MajalahJejak Islam edisi perdana ini menyajikan mengangkat tema Di balik Layar

    Kemerdekaan,sebuah perbincangan mengenai para p ahlawan dan kemerdekaan. Tulisan dari

    Tiar Anwar Bachtiar -sejarawan yang juga Ketua Umum PP Pemuda Persis- mengenai berkah

    kemerdekaan bagi dakwah Islam, mengisi rubrik Mukaddimah; kemudian Rubrik Syajarah

    diawali tulisan dari Tri Shubhi -penggiat Komunitas NuuN- yang meninjau para pahlawan,

    serta telisik Susiyanto, dosen IAIN Surakarta, yang mengajak kita menatap riwayat Rahmah El

    Yunusiyah, pejuang perempuan yang terpinggirkan dalam arus sejarah di Indonesia.

    Tentu saja artikel-artikel lain oleh redaksiJejak Islam turut meramaikan edisi ini. Tidak pula

    tertinggal, rubrik Kisah,sebuah rubrik khas yang meracik penulisan sejarah secara sastrawi

    oleh Rizki Lesus. Dalam Dialog, kami hadirkan wawancara dengan Artawijaya, penulis sejarah

    Islam yang produktif. Tengok pula rubrik Dari perbendaharaan Lama, yaitu rubrik yang

    mengangkat kembali tulisan-tulisan tokoh Islam dari masa silam. Foto-foto esai dalam rubrik

    Rekammencoba merogoh ingatan kita tentang Perang Aceh. Rubrik Catatan Punggung,

    menutup rangkaian majalah ini, dengan mengaitkan antara realita masa kini dengan persoalan

    sejarah.

    Penulisan sejarah yang kami lalui dalamJejak Islam, berupaya meniti keseimbangan antara

    kecintaan terhadap Islam dan penggalian data dan fakta yang kokoh. Mudah-mudahan

    MajalahJejak Islam,yang hendak mempopulerkan sejarah Islam di Indonesia ini, diterima oleh

    masyarakat, khususnya umat Islam. Sehingga umat Islam di Indonesia tak lagi asing dengan

    masa lalunya sendiri di tanah air. Selamat menikmati.

    Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    3/35

    R E D A K S I

    PENERBIT Jejak Islam untuk Bangsa

    @ipotisme

    Jl. Taman Malaka E No.13

    Jakarta Timur

    [email protected]

    www.jejakislam.net

    20H a l a m a n

    D A F T A R

    0 6 M uk ad di ma h Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia

    Tiar Anwar Bachtiar

    5 0 S ya ja a h Rahmah El Yunusiyah: Perempuan Pejuang, Pejuang Perempuan

    Susiyanto

    1 2 S ya j a ah Tentang Para Pahlawan dan Masa Lalu Kita

    Tri Shubhi A

    1 8 D a i P e b e nd a ha a a a nL a m a

    Moh. Natsir dan Perjuangannya

    Moh. Roem

    4 4 D ia lo g Artawijaya

    6 0 B u k u Takdir

    Peter Carey

    6 4 R e k am Merekam Ingatan Perang Aceh

    6 4 C a a anP u n g g u n g

    Buku dan Sanad yang Terputus

    3 0 S ya ja a h Mereka yang Dilumpuhkan

    Beggy Rizkiyansyah

    K i s a h

    Elegi 10 November dan Resolusi Jihad yang ter(di)lupakan

    Rizki Lesus

    isi

    44H a l a m a n

    S y a j a a h

    Arti Kemerdekaan

    Beggy Rizkiyansyah

    PEMIMPIN REDAKSI

    TIM REDAKSI

    ARTISTIK

    LUSTRASI SAMPUL

    REDAKTUR AHLI

    KONTRIBUTOR

    Beggy Rizkiyansyah

    M.Rizki Utama

    NZI

    Qbenk

    Septian Anto W.AndiRyansyah

    Tiar Anwar Bachtiar

    Susiyanto

    Alwi Alatas

    TriShubhi A.

    REDAKTUR RizkiLesus

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    4/35

    6 Mukaddimah Mukaddimah

    Sejak tanggal 1 Januari 1800 hingga sekitar tahun 1942,

    sejarah mencatat wilayah seluas Indonesia dari Sabang

    hingga Merauke berada di dalam kekuasaan satu negara

    kecil di Eropa, yaitu Belanda. Indonesia yang saat itu disebut

    belanda sebagai Nederlands Indie (Hinda Belanda) menjadi

    provinsi jauh Belanda. Para raja yang ditaklukkan di berbagai

    daerah statusnya diturunkan menjadi bawahan Negeri Belanda

    dengan pangkat Regen (Bupati). Mereka diawasi oleh para

    Residen yang berada di bawah kontrol Gubernur General

    sebagai pemimpin tertinggi penguasa kolonial di negeri

    jajahan. Tidak ada satupun residen atau gubernur jendral

    di Hindia Belanda yang pribumi, apalagi beragama Islam.

    Semuanya orang Belanda yang diangkat oleh Ratu Belanda.

    Periode inilah yang sesungguhnya disebut sebagai Periode

    Kolonial (penjajahan) dalam sejarah Indonesia.

    Karena wilayah Kepulauan Indonesia ini dikuasai oleh penjajah

    asing, kar, danpaling pentingmenyebabkan taraf hidup

    masyarakat pribumi merosot sangat tajam dibanding abad-

    abad sebelumnya, maka alasan menjadi sangat l engkap bagi

    kaum Muslimin untuk angkat senjata. Abad ke-19 akhirnya

    dikenal sebagai abad perlawanan terhadap kolonialisme

    Belanda. Pekik Perang Sabil aliasjihad sabilillahterdengar

    di berbagai wilayah yang dikuasai Belanda. Perang terbesar

    terjadi di Jawa yang dimotori oleh Pangeran Diponegoro (1825-

    1830). Perang terlama dan paling sulit dihadapi Belanda

    adalah saat para ulama dan pemimpin Aceh melancarkan

    serangan balik menolak kehadiran Belanda di Bumi Rencong

    Oleh : Tia Anwa Bachta

    (Keua PP Pemuda Pesauan Islam)

    Litogra Belanda tentang utusan Aceh yang menyerahkan surat Sultan

    Alauddin Riayat Syah (1589-1604) kepada Prins Maurits, pendiri

    dinasti Oranje, di bulan Agustus 1602

    Sumber foto: Perang Kolonial Belanda di Aceh. The Dutch Colonial War in Acheh

    (1997). Banda Aceh: The Documentation and Information Center of Acheh

    Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia Tiar Anwar Bachtiar

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    5/35

    8 Mukaddimah Mukaddimah

    tu. Di Sumatera Barat terjadi Perang Paderi. Di Banten (1888)

    ada perlawanan para santri dan kyai yang sekalipun tidak

    adi meletus namun membuat pemerintah Hindia Belanda

    tidak bisa tidur nyeyak. Di Banjar, Pangeran Antasari bergerak

    didukung para ulama dan santri. Perlawanan-perlawanan abad

    ke-19 itu selalu digerakkan oleh para ulama, kiai, dan satri.

    Amat jarang di luar komunitas ini yang melakukan perlawanan

    nyata kepada penguasa kolonial. Perlawanan-perlawanan itu

    ahir ketika mereka ditindas oleh penguasa asing, kar, dan

    zhalim. Oleh sebab itu, perlawanan sepanjang

    Selama satu abad perlawanan meletus, giliran kemudian

    generasi Muslim terdidik baru lahir pada sekitar awal abad

    ke-20. Perlawanan sik kini bermetamorfosis menjadi

    perlawanan yang lebih mengandalkan kekuatan ilmu. Sejarah

    menyaksikan lahirnya Sarekat Islam (1911) yang memiliki

    gagasan-gagasan revolusioner untuk melepaskan rakyat

    Indonesia dari kungkungan Belanda. Organisasi yang didirikan

    HOS Tjokroaminoto ini menjadi katalisator politik kepentingan-

    kepentingan rakyat Indonesia yang ingin segara bebas dari

    kesengsaraan akibat kolonialisme itu. Disusul kemudian

    dengan gerakan-gerakan lain yang turut melengkapi hadirnya

    SI. Di Yogyakarta lahir Muhammadiyah (1912). Di Bandung

    ahir Persatuan Islam (1923). Di Surabaya lahir Nahdhatul

    Ulama (1926). Di Sumatra lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah

    (Perti) dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi). Di

    beberapa tempat yang lain pun lahir gerakan-gerakan serupa.

    Walaupun aksentuasi yang dibawa berbeda-beda, namun

    semuanya memiliki cita-cita yang sama: bebaskan Indonesia

    dari Belanda!

    Tidak dimungkiri bahwa ada gerakan-gerakan lain yang

    berhaluan sekuler seperti PKI, PNI, Indische Partij, dan

    sebagainya yang ikut juga dalam pergerakan membebaskan

    Indonesia. Namun hal yang tidak bisa dielakkan mereka

    sebagian besarnya adalah juga umat Islam. Hanya saja, pilihan

    perjuangannya bukan untuk menegakkan kedaulatan Islam,

    melainkan hanya sekadar mengabdi kepada kepentingan

    pragmatis, atau agak lebih tinggi sedikit demi kepentingan

    kemanusiaan. Pada masanya, kedua haluan gerakan iniIslam

    dan Sekulersaling bersaing untuk sama-sama menyingkirkan

    penjajah dan juga saling bersaing untuk mengendalikan

    negara baru nantinya.

    Singkat cerita, Belanda tidak bisa mempertahankan wilayah

    Indonesia lebih lama setelah kekalahan pertama Sekutu pada

    Perang Pasik. Kepulauan ini harus diserahkan kepada Jepang.

    Jepang selalu berkampanye akan memberikan kemerdekaan

    pada Indonesia, walaupun kelihatannya tidak sungguh-

    sungguh. Jepang hanya mengulur waktu untuk mendapatkan

    bala bantuan tentara dan l ogistik untuk kepentingan Perang

    Pasik yang tengah dihadapinya. Akhirnya Jepang harus

    menyerah kepada Sukutu pimpinan Amerika pada tahun 1945.

    Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan

    Indonesia untuk memerdekakan negerinya. Kalangan Islam

    maupun sekuler untuk sementara bersatu memperjuangkan

    bebasnya negara baru dari penjajah kar dengan diawali

    Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, suatu

    proklamasi berbekal kenekatan dan keberanian, namun

    akhirnya bebuah hasil yang manis merdekanya wilayah

    kepulauan ini dari cengkeraman penguasa kar.

    Berkah Kemerdekaan dan Dakwah Islam

    Seandainya kemerdekaan Indonesia ini tidak diperjuangkan

    para santri, ulama, dan umat Islam sejak awal kolonialisme

    tentu tidak akan ada jejak-jejak Islam yang nyata dalam

    proses pendirian negara ini. Sidang-sidang BPUPK (Badan

    Penyelidikan Urusan-Urusan Kemerdekaan) menghasilkan

    Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang sangat terkenal. Inilah nanti

    yang menjadi cikal-bakal dasar negara Indonesia: Pancasila

    dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 berisi banyak

    gagasan dari para pejuang Islam hingga lahir Tujuh Kata

    yang dibuang: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam

    bagi pemeluknya dalam sila pertama Pancasila. Walaupun

    pada 18 Agustus 1945 Sila ini berubah, namun semangatnya

    masih sangat jelas tersisa dalam kata-kata Ketuhanan

    Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo yang menandatangi

    perubahan itu memastikan bahwa kata-kata itu maknanya

    adalah Tauhid. Sekalipun tidak berkonsekuensi hukum

    karena tidak tertuliskan sebagai ayat di dalam undang-undang,

    namun siapapun tidak bisa menyangkal kenyataan sejarah

    ini. (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

    Kemerdekaan Indonesia[BPUPKI], 2005).

    Kekuatan dan andil umat Islam dalam kemerdekaan ini

    juga terlihat saat dengan begitu percaya diri partai-partai

    Islam, antara lain: Masyumi, NU, SI, Perti, dan politisi Muslim

    independen lainnya, mengajukan proposal tentang Islam

    sebagai dasar negara Indonesia dalam sidang-sidang Majelis

    Konstituante tahun 1956-1959. Politik pada akhirnya bukan

    selalu soal kebenaran, tapi masalah permainan belaka. Oleh

    sebab itu, kekalahan politiklah yang akhirnya harus mengubur

    harapan para pejuang Islam menjadikan negara baru ini

    berada di bawah naungan Islam. Bahkan sejak Dekrit Presiden

    5 Juli 1959, usaha-usaha menyingkirkan para pejuang Islam

    dari jalur politik begitu terasa. Berbagai intrik dan tnah terus

    dilancarkan kepada gerakan-gerakan Islam agar semakin jauh

    dari kekuasaan. Isu-isu seperti pemberontakan DI/TII tahun 60-

    an, Komando Jihad tahun 70-an, Ekstrem Kanan tahun 80-an,

    hingga isu terorisme tahun 2000-an terus dikerek media-media

    anti-Islam untuk menjadi alasan sahih menyingkirkan Islam

    dari panggung kekuasaan.

    Akan tetapi, dalam situasi yang tersudut seperti itu bukan

    berarti umat Islam kehilangan kreativitas dan vitalitas untuk

    tetap memperjuangkan agama yang diyakini akan membawa

    kamaslahatan di dunia dan akhirat. Walaupun secara politik

    umat Islam secara sengaja dipinggirkan, justru ini semacam

    takdir Allah mengingatkan kembali kepada umat Islam bahwa

    ada tugas yang lebih penting dan harus terlebih dahulu

    dibenahi sebelum umat Islam memegang tampuk kekuasaan,

    yaitu dakwah. Selama hampir setengah abad, umat Islammemang agak mengabaikan inovasi dalam dakwah. Hampir

    semua tersedot perhatiannya pada perkara-perkara politik.

    Menjelang kemerdekaan hampir setiap pemimpin Islam

    disibukkan memikirkan bagaimana cara Indonesia terbebas

    dari penguasa kar-Belanda. Ini jihad nyata yang ada di

    hadapan mereka. Selepas itu, hampir semua disibukkan

    mempersiapkan negara baru agar tidak keluar dari jalur

    Islam. Inipun sesungguhnya bagian dari dakwah. Hanya saja,

    konsentrasinya terlalu banyak kepada kekuasaan. Banyak

    garapan dakwah lain yang diabaikan, terutama dalam bidang

    kaderisasi umat dan pengembangan ilmu pengetahuan

    berdasarkan Islam.

    Depolitisasi oleh para penguasa terhadap para politisi

    Islam akhirnya membuahkan hasil cukup menggemberikan.

    Pak Natsir setelah Masyumi dibubarkan dan mendirikan

    Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam berbagai

    kesempatan sering mengatakan, Dulu kita berpolitik untuk

    dakwah, sekarang kita berdakwah untuk politik. Slogan ini

    pun rupanya diamalkan oleh banyak aktivis politik lainnya

    yang digusur dari kekuasaan. Mereka akhirnya kembali

    terjun ke dunia dakwah. Perguruan-perguruan tinggi Islam

    didirikan di mana-mana. Perduruan tinggi sekuler dijadikanlahan dakwah baru menjadi kader-kader calon pemimpin

    melalui gerakan LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Pesantren-

    pesantren diperbaiki manajemen dan performanya untuk

    menyaingi lembaga-lembaga pendidikan Kristen dan sekuler.

    Masjid-masjid terus disasar untuk dihidupkan. Lembaga-

    lembaga dakwah pun berdiri di mana-mana, bahkan sampai

    menjangkau pelosok-pelosok negeri.

    Hasilnya cukup menggembirakan. Akhir tahun 1980-an umat

    Islam Indonesia mengalami kebangkitan baru setelah pada

    awal abad ke-20 memelopori pergerakan politik untuk bangkit

    memerdekakan Indonesia. Kali ini prestasi dakwah Islam

    telah sampai pada taraf yang belum pernah dicapai selama

    dua abad sebelumnya. Gelombang Islamisasi menjangkau

    sampai ke berbagai elemen umat. Kaderisasi umat yang mulai

    Pemungutan Suara kedua dalam

    Sidang Konstituante 1 Juni 1959

    Sumber foto : 30 Tahun Indonesia Merdeka

    1950 - 1964 (1985) Jakarta : Sekretariat

    Negara Republik Indonesia

    Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia Tiar Anwar Bachtiar

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    6/35

    Mukaddimah

    digarap pada era 1960-an mulai berbuah dengan lahirnya

    generasi-generasi intelektual Muslim baru. Puncaknya, para

    cendekiawan Muslim berkumpul dan menampilkan kekuatan

    mereka dengan didirikannya Ikatan Cendeiawan Muslim

    Indonesia (ICMI). Penggunaan jilbab bagi muslimah yang

    sebelumnya sangat terbatas, sejak tahun 1990-an dapat

    secara bebas digunakan akibat desakan dari intelektual-

    intelektual Muslim baru ini. Intelektual muslim baru inipun

    tersebar dalam berbagai keahlian hingga umat Islam kini

    memiliki banyak ahli yang masuk ke hampir semua sektor

    kehidupan, baik formal maupun non-formal. Lembaga-lembaga

    pendidikan Islam mulai tampil bukan lagi sebagai lembaga

    pendidikan kacangan, melainkan menjadi lembaga favorit dan

    unggulan. Media masa yang sebelumnya tidak terlalu percaya

    diri untuk mengangkat simbol-simbol Islam, kini sudah bukan

    barang aneh Islam dalam berbagai aspeknya yang positif

    menjadi pokok perbicangan di media massa. (Selengkapnya

    lihat Riclefs, Islamisasi Jawa,2014).

    Oleh sebab itu secara performa, sejak tahun 70-an hingga

    saat ini Islam di Indonesia telah kembali menjadi agama

    mayoritas. Islam tidak lagi diekspresikan secara sembunyi-

    sembunyi jauh dari ruang publik seperti pada zaman Kolonial.

    Perjuangan para mujahidin untuk membebaskan negeri ini

    dari penguasa kar yang sangat menindas, baik secara politik,

    ekonomi, dan terutama keyakinan, buahnya sudah mulai

    dirasakan saat ini. Walaupun ada yang pesimis melihat politik

    Indonesia yang hingga saat ini masih belum memberi peluang

    kepada gerakan-gerakan Islam untuk berkuasa sepenuhnya

    dalam bidang politik, namun sesungguhnya perkara itu hanya

    tinggal menunggu waktu. Kecerdikan dan kegigihan para

    pejuang Islam setelah kemerdekaan untuk kembali kepada

    dakwah, justru membukakan peluang besar semua bidang di

    negeri ini akan dapat dikendalikan umat Islam. Sebab, dakwah

    ini memang pra-syarat mutlak sebelum umat Islam berkuasa.

    Politik kita tergantung pada dakwah kita, demikian ungkap

    Pak Natsir lagi dalam satu tulisannya. Ini tentu patut disyukuri,

    dipertahankan, dan terus ditingkatkan intensitasnya. Ini adalah

    salah satu berkah dari Kemerdekaan yang diperjuangkan para

    ulama dan mujahidin Islam terdahulu.Wallhu Alam.

    m.natsir

    Salah satu rekaman foto pertempuran 10 November 1945

    Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983). Jakarta: Badan

    Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA

    Tiar Anwar Bachtiar

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    7/35

    12 Syajarah Syajarah

    Oleh : Ti Shubhi A.

    (Penggia Komunias NuuN)

    dan Masa Lalu Kita

    Awal abad ke-20 sering dinisbati sebagai zaman mula hadirnya kesadaran nasional di tanah ini. Kesadaran dari orang-orang

    yang menghuni kepulauan ini untuk bersatu dalam sebuah nation yang mandiri, terlepas dari yang kolonial. Zaman tumbuhnya

    kesadaran nasional, begitu untuk mudahnya. Atau zaman di mana perasaan ke-Indonesia-an mulai tumbuh pada bangsa kita.

    Sekilas ini ialah sebuah pembaharuan yang baik di tanah ini. Sebuah cara pandang baru yang dianut orang-orang, yang telah

    mendorong dan kemudian melahirkan Indonesia. Akan tetapi patut direnungkan pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas

    perihal ini:

    Kebudayaan Barat telah menyelundupkan menyerang hati sanubari kita, jiwa kita, dan caranya menghasilkan keadaan demikian

    ialah bahwa sewaktu bangsa-bangsa Barat menjajahi negara-negara kita mereka telah menjalankan dua tindakan penting yang

    membawa kesan besar pada nasib kita kini:

    Pertama ialah memutuskan Kaum Muslimin daripada ilmu pengetahuan mengenai Islm dengan secara lambat laun menerusi

    sistem pelajaran.

    Kedua ialah memasukan secara halus ke dalam sistem pelajaran itu faham ilmu Barat dan unsur-unsur, nilai-nilai, dan faham

    serta konsep-konsep Kebudayan Barat yang akan sedikit banyak menggantikan unsur-unsur dan nilai-nilai dan faham serta

    konsep-konsep Islm, dan memutuskan hubungan kebudayaan Islm di kalangan Umat Islm seluruhnya 1.

    Jika kita rasa-rasai, hadirnya kesadaran nasional di awal abad ke-20 yang lalu itu memanglah berasal dari orang-orang bangsa

    kita yang terdidik secara Barat. Hanya saja, bukan sekadar semangat kemerdekaan yang mereka usung. Diam-diam mereka pun

    mengangkut cara pandang Barat ke negeri ini. Kaum terpelajar Barat inilah yang menggelontorkan ke-modern-an dan sekaligus

    berupaya meninggalkan masa lalu. Kaum terpelajar Barat inilah yang pada mulanya hendak menciptakan suatu kebaruan pada

    bangsa ini. Mereka yang hendak memisahkan diri, menarik garis tegas antara masa lalu dan masa kesadaran nasional itu.Tuan Alisjahbana (Sutan Takdir Alsjahbana atau STA) dalam sebuah tulisan bertajuk Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru:

    Indonesia-Prae Indonesia jelas menyatakan hal itu. Baginya, pahlawan-pahlawan yang telah berjuang di tanah ini sebelum abad

    ke-20, bukanlah pejuang nasional, sebab ide nasionalisme saat itu pun belum ada.

    Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar dan lain-lain telah dijadikan orang Pahlawan Indonesia. Borobudur telah

    menjadi bukti keluhuran Indonesia di masa yang silam, musik gamelan telah menjadi musik Indonesia, buku Hang Tuah sudah

    menjadi buku hasil kesustraan Indonesia.

    Padahal ketika Dipenogoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar dan lain-lain itu berjuang dahulu b elum ada, belum terbau-bau

    perasaan keindonesiaan. Dipenogoro berjuang demi Tanah Jawa itu pun agaknya tiada dapat kita katakan bagi seluruh Tanah

    Jawa. Tuanku Imam Bonjol Bagi Minangkabau, Teungku Umar bagi Aceh. Siapa yang dapat menjamin sekarang ini, bahwa baik

    Dipenogoro, baik Tuanku Imam Bonjol, atau pun Teungku Umar tidak akan melabrak bahagian kepulauan ini yang lain sekiranya

    mereka mendapat kesempatan dahulu?2

    Tentang Para Pahlawan dan Masa Lalu Kita Tri Shubhi A.

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    8/35

    14 Syajarah Syajarah

    Pendapat ini jelas berbeda dengan pandangan kaum Islm.

    Bagi kaum Muslimin, siapa yang berjuang menegakkan

    kebenaran dan melawan kedzaliman ialah pahalwan Islm.

    Apatah lagi mereka yang menegakkan keimanan kepada

    Allh Swt di tanah ini. Tak terbantahkan lagi mereka adalah

    pahlawan Islm sekaligus pahlawan bangsa. Tamar Djaja,

    seorang penulis dari Himpunan Pengarang Islam telah

    menyatakan hal ini secara tegas pada tahun 1956.

    Kita mengenal nama2 jang mewangi waktu ini dari pahlawan2

    kemerdekaan Indonesia zaman lalu seperti Diponegoro dari

    Djawa, Imam Bondjol di Sumatera, Sulthan Hasanuddin di

    Sulawesi, Pengran Ulu Paha di Maluku, Pangeran Antasari

    di Kalimantan Selatan, Pangeran Ratu Idris di Kalimantan

    Barat, Teuku Tjik di Tiro, Tenku Umar di Atjeh, Sulthan Thaha

    di Djambi dan lain2 jang semuanya itu adalah pahlawan2

    slam jang telah berdjasa mempertahankan tanah air dari

    tjengkraman pendjadjahan3.

    Buya Hamka turut serta menegaskan hal itu dalam sebuah

    artikelnya berjudul Diponegoro Pahlawan Islam. Begini kata

    Hamka:

    Pangeran Diponegoro bersama pahlawan2 lain jang timbul

    di dalam Abad Kesembilan Belas, adalah penentang2

    pendjadjahan, pedjuang-pedjuang jang namanja tertulis

    sebagai pembuka djalan bagi kita jang datang dibelakang

    buat meneruskan perdjuangan mentjapai kemerdekaan Nusa

    dan Bangsa. Sebahagian besar dari pedjuang itu mempunjai

    tjita-tjita jang sama, jaitu mengusir pendjadjahan kar dan

    menegakkan pemerintahan berdasar Islam. Pangeran

    Diponegoro, Imam Bondjol, Teungku Tjhik di Tiro, Pangeran

    Antasari di Kalimantan, boleh dikatakan samalah tjorak

    mereka, jaitu berdjuang dalam garis tjita-tjita Islam.4

    Perbedaan pendapat antara STA dengan HAMKA dan Tamar

    Djaja di atas bukan lah hanya tentang perebutan siapa itu

    pahlawan Indonesia. Lebih dari itu, perbedaan pandang itu

    juga menunjukkan bahwa kedua pihak memiliki pandangan

    yang berbeda tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia. Bagi

    STA dan yang mengikutinya, Indonesia ialah sesuatu yang baru,

    yang terlepas dari masa lalu, dari Islm dan harus mengikuti

    kedinamisan Barat. Mari kita lihat pendapat Tuan Alisjahbana

    itu, sengaja saya kutipkan agak panjang.

    Sangat perlu dinyatakan dengan tegas, bahwa sejarah

    Indonesia dalam abad kedua puluh, ketika lahir suatu generasi

    yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf

    hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan

    negerinya. Zaman sebelum itu, zaman sehigga penutup

    abad kesembilan belas, ialah zaman prae-Indonesia, zaman

    jahiliah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Oost

    Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah

    Banjarmasin dan lain-lain.Zaman pra-Indonesia, zaman jahiliah Indonesia itu setinggi-

    tingginya dapat menegaskan pemandangan dan pengertian

    kita tentang lahirnya zaman Indonesia, tetapi jangan sekali-kali

    zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang

    biasa daripadanya. Sebab dalam isinya dan dalam bentuknya

    keduanya berbeda: Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi

    baru bukan sambungan Mataram, bukan sambungan kerajaan

    Banten, bukan kerajaan Minangkabau atau Banjarmasin.

    Menurut susunan pikiran ini, maka kebudayaan Indonesia pun

    tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa, sambungan

    kebudayaan Melayu, sambungan kebudayaan Sunda atau

    kebudayaan yang lain5.

    Hal ini ditegaskan lagi dalam tulisan beliau yang lain, yang

    berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.

    Apakah semangat Indonesia itu? Semangat Indonesia ialah

    kemauan yang timbul pada abad kedua puluh ini di kalangan

    rakyat yang berjuta-juta ini untuk bersatu dan dengan jalan

    demikian hendak berusaha bersama-sama menduduki tempat

    yang layak di sisi bangsa-bangsa yang lain. Kamauan dan cita-

    cita yang dijunjung dengan insyaf dan sedar serupa ini tidak

    pernah terdapat di lingkungan kepulauan ini sebelum abad

    kedua puluh.6

    Dasar bagi kebaruan itu tak lain, menurut STA, ialah semangat

    Barat.Katanya:

    Demikian saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan

    Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat

    sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch.

    Hal ini bukan berarti suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa.

    Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar:

    kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.7

    Hal itu memang tidak disepakati semua pihak. Banyak

    kalangan menilai bahwa semangat Barat bisa menyeret bangsa

    ini kepada materialisme dan kekeringan batin. Sanusi Pane

    mengusulkan agar semangat Barat itu musti dicampur dan

    diimbangi dengan semangat Timur. Sebab jika Barat sangat

    mencintai kebendaan, Timur memberikan kesejahteraan batin.

    Perpaduan keduanya akan menghasilkan kebudayaan yang

    sempurna bagi Indonesia.

    Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faustdengan

    Arjuna, memesrakan materialism, intellectualisme

    dan individualism dengan spiritualisme, perasaan dan

    collectivisme.8

    Lalu bagaimana pendapat kaum Islm? Cukup di sini

    disampaikan dua pernyataan dari Buya Mohammad Natsir dan

    Tjokroaminoto. Imaduddin Abdurahman menuturkan bahwa

    Buya Natsir pernah menyampaikan kepadanya tentang Barat

    dan Timur itu.

    Bahwa bagi kita sebagai orang Islam, tidak mengenal

    alternatif Barat dan Timur dan sebagainya. Kita hanya

    mengenal satu alternatif ialah yang haq dan batil. Di mana kita

    harus selamanya tegak memertahankan yang hak. 9

    Mengenai Persatuan Indonesia. Apakah yang mendorong

    umat Islm di kepulauan ini untuk bersatu? Apakah yang

    seperti dikatakan oleh STA itu? Kesadaran baru akan sebuah

    nationyang merdeka itu kah yang menyebabkan kita hendak

    bersatu? Kaum Islm berbeda dalam hal ini. Dalam pidato

    di Kongres Syarikat Islam yang pertama di Bandung, 1916,

    Tjokroaminoto tegas menyatakan:

    Kita cinta bangsa sendiri dan dengan kekuatan ajaran agamakita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan

    seluruh bangsa kita, atau sebagian besar bangsa kita.10

    Jelas sudah di hadapan kita perbedaan-perbedaan kaum

    yang murni terdidik pendidikan Barat dengan Kaum Islm

    dalam persoalan ini. Bahwa Indonesia yang dikehendaki dua

    pihak adalah Indonesia yang berbeda. Bahwa cara pandang

    terhadap masa lalu dari keduanya adalah bertentangan.

    Adapun memang secara politik itu disatukan oleh proses-

    proses formal semacam Sidang-Sidang PPKI, Sidang-Sidang

    BPUPKI, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan

    Republik Indonesia hingga saat ini. Berani saya sampaikan

    bahwa bersatunya kita dengan kaum sekular dalam satu

    ikatan NKRI ini barulah persatuan yang diakibatkan proses-

    YAITU BERJUANG

    DALAM GARIS

    TJITA-TJITA ISLAM

    Buya Hamka

    Sentot Ali Basah , Imam Bonjol dan

    Kyai Modjo. Ketiganya tampil berjuang

    membela kemuliaan Islam.

    Sumber foto Sentot dan Kyai Modjo:

    Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power

    of Prohecy. Prince Dipanegara and The End

    of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden:

    KITLV Press

    Sumber foto Imam Bondjol:

    Hadler, Jeffrey (2008). A Historiography of

    Violence and The Secular State in Indonesia:

    Tuanku Imam Bondjol and The Use of History.

    The Journal of Asian Studies vol 67 No.3

    August 2008.

    Tentang Para Pahlawan dan Masa Lalu Kita Tri Shubhi A.

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    9/35

    16 Syajarah Syajarah

    proses politik. Tentang apa itu Indonesia secara kebudayaan,

    secara gagasan, kita belumlah sepenuhnya bersepakat.

    Bagi kita kaum Islm Indonesia ialah sesuatu yang tak

    terpisah dengan sejarah para ulama, para wali, para Sulthan

    dan umat Islm di masa dahulu. Islm kita haruslah Islm

    yang menyambung sampai kepada baginda Rasulllh Saw.

    Kita tak dapat melupakan Teuku Umar, Pangeran Dipoegoro,

    Raja Ali Haji, Hamzah Fanshuri, Abdurauf Singkel, Para Wali

    sebagaimana mereka tak melupakan Imam al-Ghazl, Imam

    Bukhri, Imam Sya, Imam al-Asyari, para sahabat Nabi

    dan tentu saja Rasulllh Saw. Sejarah kita di Nusantara ini

    tersambung sampai kepada Baginda Nabi. Islm kita bukan

    lah Islm yang baru, melainkan merupakan ajaran yang telah

    dianuti kaum muslimin selama berbelas abad. Oleh karena

    itu, perjungan kita bukan lah perjuangan yang terlepas dan

    berdiri sendiri. Perjuangan hari ini ialah juga kelanjutan

    perjuangan para ulama dan pahlawam Islm di masa lalu. Yang

    kita lakukan di negeri Indonesia ini ialah menjalankan dan

    melanjutkan risalah Nabi.

    Sementara kaum sekular, kaum yang hendak memisahkan

    agama dan negara, tak berpandangan semacam itu. STA ialah

    seorang yang ekstrem, yang hendak mengajak bangsa ini

    untuk berkiblat kepada Peradaban Barat. Namun pikirannya

    tak lah tamat, pada masa sekarang ini, kalimat-kalimat yang

    lebih halus telah diungkapkan oleh orang-orang sekular untuk

    membawa negeri ini ke dalam pemisahan antara agama dan

    kehidupan dunia. Kaum semacam ini akan terus menerus

    memisahkan sejarah kita dari masa lalu Islm. Atau yang

    seperti Sanusi Pane, menyambung-nyambungkan Indonesia ini

    dengan zaman Hindu-Buddha tanpa menghiraukan peran dan

    kehadiran Islm.

    Orang-orang semacam itu akan terus menafsirkan Indonesia

    dengan cara-cara mereka. Mereka memang menghendaki

    Indonesia seperti yang mereka pikirkan. Mereka terus mengasah

    gagasan-gagasan sekuler tentang Indonesia dan selalu berusaha

    menerapkannya dalam berbangsa dan bernegara.

    Kita tak bisa pula berpangku tangan. Ada dua hal yang

    dapat kita perbuat. Pertama kita melanjutkan cita-cita

    perjuangan para pendahulu kita. Caranya sekarang ini, ialah

    dengan menafsirkan Indonesia dengan cara pandang Islm.

    Menyatakan kehendak-kehendak kita atas Indonesia. Sebab

    kita telah menangguk-reguk hasil perjuangan pahlawan Islm.

    Kemudian mencoba mengetrapkan ajaran Islm bukan hanya

    dalam kehidupan pribadi melainkan juga dalam berbangsa

    dan bernegara.Kedua kita harus beradab pada para ulama

    dan pahlawan Islm. Jangan kita lupakan mereka, jangan

    kita tak pedulikan ikhtiar mereka. Pelajari apa yang telah

    mereka ikhtiarkan dan apa yang mereka pikirkan. Lanjutkan

    perjuangan mereka dan jangan merasa bahwa kita tidak

    terlibat dengan mereka. Doaakan pula mereka dan para

    syuhada yang telah sangat berkorban bagi bangsa ini, yang

    karena pengorbanan mereka kita sekarang ini dapat menikmati

    alam kemerdekaan.

    Sekarang ini, perhatian kita kaum Islm terlalu tercurah pada

    yang politik. Kita membalas mengkaji karya dan i khtiar pada

    ulama dan pahlawan pendahulu kita. Pada akhirnya dalam

    gelanggang politik pun kita seperti kehilangan arah. Bahkan

    tak jarang kalah. Tak dapat kita menyatakan pendapat-

    pendapat kita dalam politik sebab kita pun tak tahu pasti

    apa sebenarnya kehendak kebangsaan kita. Ada baiknya kita

    renungkan pandangan Buya Hamka berikut ini:

    Nyoto, pemimpin PKI terkenal, orang kedua sesudah Aidit,

    jarang absent bila terjadi Kongres-Kongres atau Konferensi

    Kebudayaan, sedang dari pihak Islam boleh dikatakan

    memandang sepi saja urusan itu. Mereka telah terpelet da lam

    urusan politik sehari-hari dan tidak ada yang mempunyai minat

    buat memasuki urusan itu 11.

    Pada akhirnya marilah kita mendoa kepada Allh Swt, semoga

    para ulama, para pahlawan Islm pahlawan bangsa, para

    syuhada di negeri ini mendapatkan rahmat yang sebesar-

    besarnya. Dan semoga kita senantiasa diberikan kekuatan

    untuk tetap menyambung peradaban Nabi, sebagaimana para

    pendahulu kita menyemainya di negeri ini.

    Amin.

    1. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, (Kuala Lumpur, 2001).

    2. Alisjahbana dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), Cet. Ke-4.

    3. Tamar Djaya, Peringatan 51 Tahun Pergerakan Islam Indonesia 16 Oktober 1905-16 Oktober 1956, dalam Suara Masjumi edisi 20 Oktober 1956.

    4.Hamka, Diponegoro Pahlawan Islam, dalam Majalah Hikmah Edisi 22 Januari 1955.

    5.Alisjahbana dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting),Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985) Cet. Ke-4.

    6. ibid

    7. Ibid

    8. Sanusi dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), Cet. Ke-4

    9. Imaduddin dalam Anwar Harjono (Penyunting),Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Cet Ke-2.

    10. Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah(I), (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1977), Cet. Ke-2.

    11. Hamka,Kebudayaan Islam di Indonesia, Panitia Nasional Menyambut Abad XV Hijriah, Jakarta, 1979.

    Tri Shubhi A.

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    10/35

    18 Dari Perbendaharaan Lama Dari Perbendaharaan Lama

    Mohammad

    Natsir

    Seial media dakwah No.70

    slam dan modenisasi

    um.Akhi 1400 H/Apil 1980

    Moh. Roem

    Pada tanggal 5 Rabiul Awal 1400 H atau 23 Januari

    1980, Sekretaris Jenderal Lembaga Hadiah Internasional

    Malik Faisal, Dr. Ahamad Al-Dhubaidh memberitahukan

    kepada Bapak Mohammad Natsir, bahwa berdasarkan

    keputusan juri, yang diangkat oleh lembaga tersebut

    untuk tahun 1400 H, tanda penghargaan di bidang

    penghidmatan Islam akan diberikan kepada Mohammad

    Natsir dari Indonesia bersama-sama dengan Syekh

    Abul Hasan An-Nadwy dari Lucknow, India. Pada tanggal

    25 Rabiul Awal 1400 H (12 Februari 1980 M) dalam

    suatu upacara yang khidmat di ibukota Arab Saudi

    Riyadh tanda penghargaan itu diberikan kepada yang

    berkepentingan.

    Dalam sebuah piagam tertanggal hari itu dinyatakan,

    bahwa Hadiah Internasional Malik Faisal untuk

    Pengabdian pada Islam untuk tahun 1400 Hdiberikan kepada Saudara Mohammad Natsir sebagai

    penghargaan atas karya-karyanya yang patut mendapat

    penghargaan dalam bidang pengabdian pada Islam dan

    ummatnya yang berupa sebagai berikut:

    1.Karya-karyanya di bidang dakwah dan mendirikan

    Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

    2.Usaha-usahanya untuk menyelesakan persoalan kaum

    muslimin dan untuk mewujudkan solidaritas diantara

    mereka.

    3.Kegigihannya melawan penjajah yang ada di negerinya

    Indonesia sampai memperoleh kemerdekaan.

    4.Karyanya yang sungguh-sungguh dalam melawan

    aliran-aliran destruktif, atheisme, dan lain-lain.

    5.Bimbingan yang diberikannya kepada berbagai macam

    organisasi di negaranya untuk pembinaan pemuda-

    pemuda Islam Indonesia.

    Pada malam ini kita berkumpul di tempat yang

    sederhana ini untuk bersama-sama menyatakann

    berterima kasih kepada Ketua Lembaga Malik Faisal

    bin Abdul Aziz, yang telah berkenan menganugerahkan

    hadiah internasional kepada pemimpin kita Mohammad

    Natsir.

    Kita mengucap syukurAlhamdulillah, bahwa Tuhan Yang

    Maha Pengasih dan Penyayang telah meridloi hadiah

    itu diberikan kepada pemimpin kita Mohammad Natsir.

    Bersama dengan hadiah internasional Malik Faisal,

    kami memohon kepada Allah Swt., semoga memberikan

    tauk kepada Bapak Mohammad Natsir dalam usaha-

    usahanya, dan semoga kami yang menerima didikannyadapat memanfaatkan pimpinannya.

    Bapak Mohammad Natsir sejak masa muda memang

    menunjukkan kesetiaan kepada agama yang kuat, serta

    ketekunan yang tak kenal lelah.

    Dalam masa remaja, ia telah bergerak dalam berbagai-

    bagai organisasi, yang saya hanya menyebut dua saja

    yaitu Jong Islamieten Bond dan Persatuan Islam, kedua-

    duanya bergerak dalam bidang studi dan dakwah Islam.

    Persatuan Islam menerbitkan majalah yang terkenal

    yaitu: Pembela Islam, dimana Mohammad Natsir

    mengembangkan penanya yang tajam tapi bijaksana

    untuk membela Islam, yang pada waktu itu mendapat

    serangan dari berbagai-bagai pihak. Persiapan itu

    Mohammad Natsir, adalah sebuah cerminan nyata jiwa seorang pahlawan. Namun ironisnya

    segala daya upaya serta pengorbanannya tak mendapatkan penghargaan yang layak di Indonesia.

    Pemerintah baru mengukuhkan dirinya menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 2008. Menunggu

    hingga 100 tahun sejak kelahirannya, padahal jasa-jasanya begitu besar kepada Indonesia. Bahkan

    ia lebih dihargai di luar negeri ketimbang (pemerintah) di dalam negerinya sendiri. Tulisan Moh

    Roem 34 tahun yang lalu ini kami pandang penting untuk mengenang jasa-jasa Moh. Natsir dalam

    bermacam sisi, dari Pembela Islam hingga Timor-timor.

    1980

    DAN PERJUANGANNYA

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    11/35

    20 Dari Perbendaharaan Lama Dari Perbendaharaan Lama

    membawa Mohammad Natsir dalam perjuangan

    kemerdekaan, dalam mana senantiasa berdiri dan ikut

    serta di baris depan.

    Dengan melalui zaman Jepang yang sulit, maka pada

    permulaan revolusi Mohammad Natsir termasuk orang

    yang mendirikan dan ikut memimpin Partai Politik

    Masyumi, dalam mana akhirnya ia menjadi Ketua Umum

    selama ber tahun-tahun.

    Setelah partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh

    Presiden Sukarno, dengan demikian baginya bidang

    politik sudah tertutup, maka bersama-sama dengan

    rekan-rekannya secita-cita ia mendirikan Lembaga

    Dakwah yang bernama Dewan Dakwah Islamiyah

    ndonesia (DDII).

    Maka tanda penghargaan yang baru diterimanya itu,

    adalah satu bukti, bahwa Allah membuka tidak hanya

    satu jalan, melainkan berbagai-bagai ikhtiar, bagaimana

    seorang muslim dapat berbakti kepada Tuhan, agama,

    dan bangsa serta negara.

    Di masa sekarang memang sudah tidak ada partai-partai

    seperti di kala Mohammad Natsir mendirikan sebuah

    partai politik. Masa itu dinamakan zaman demokrasi

    iberal atau parlamenter, dan bangsa Indonesia dimasa

    tu mencapai kemerdekaan, berkat kerjasama antara

    berbagai golongan dan partai politik. Dalam zaman itu

    sudah tampak kegigihan Mohammad Natsir melawan

    penjajahan yang ada di negerinya Indonesia sampai

    tercapai kemerdekaan.

    Usaha-usahanya untuk menyelesaikan persoalan kaum

    muslimin dan untuk mewujudkan solidaritas diantara

    mereka, dapat digambarkan dalam sejarah yang akan

    saya ceritakan di bawah ini:

    Proklamasi yang dicetuskan oleh bangsa Indonesia pada

    tanggal 17 Agustus 1945, sebenarnya tidak dimengerti

    oleh kepemiminan Belanda, yang sudah mengenal

    bangsa Indonesia selama 300 tahun.

    Kepemimpinan Belanda melihat Proklamasi itu tidaklah

    sebagai sesuatu yang tumbuh dari hati nurani bangsa

    ndonesia, akan tetapi lebih banyak sebagai bom waktu

    Jepang, atau pemikiran-pemikiran Sukarno dan Hatta

    saja, atau digerakkan oleh pengaruh komunis. Andai

    kata kepemimpinan Belanda mengerti bahwa itu benar-

    benar isi nurani bangsa Indonesia yang sudah dipimpin

    Belanda selama 300 tahun dan yang sekarang mau

    merdeka, maka penyelesaian soal Indonesia tidak

    akan sampai memakan waktu lama dengan segala

    kepahitannya inklusif dua aksi militer. Penyelesaian India

    dan Pakistan dengan Inggris, berlainan sekali.

    Karena itu Belanda meskipun lahirnya tidak dapat lain

    dari melepaskan Indonesia, tapi memakai cara-cara

    yang tidak tepat. Akhirnya Indonesia lepas juga dari

    ikatan Belanda, tapi dengan cara yang terlalu banyak

    kompromis, yang akhirnya tidak berjalan. Indonesia yang

    diakui kemerdekaannya mempunyai struktur federal,

    terdiri 16 negara bagian, ada i katan Uni Indonesia-

    Belanda karena Belanda tidak ikhlas melepaskan Irian

    Barat. Ikatan itu akhirnya semua musnah, sebelum

    hubungan Belanda Indonesia menjadi baik seperti

    sekarang.

    Saya ingin mengutip pendapat baru di Nederland

    yang meninjau lagi apa yang terjadi 30 tahun yang

    lalu. Pemikir muda itu bernama Ben Van Kaam, yang

    menamakan bangsanya sendiripada tahun 1949

    dihinggapi oleh penyakit buta warna politik. Buta warna

    politik itu sebenarnya sudah dimulai tahun 1945, waktu

    Belanda tidak mengerti arti proklamasi Indonesia.

    Negara Kesatuan Indonesia, yang oleh Belanda tadinya

    dibagi-bagi dalam 16 negara bagian dalam struktur

    federal, dalam waktu beberapa bulan saja sudah

    dipulihkan kembali oleh rakyat. Dalam penyelesaian ini,

    Mohammad Natsir sebagai Ketua Masyumi bekerjasama

    dengan lain-lain partai, telah memberikan darma

    baktinya dengan bijaksana, sehingga persoalan dapat

    selesai tanpa membahayakan persatuan bangsa.

    Mohammad Natsir menjalankan usaha itu dengan apa

    yang dinamakan mosi integral.

    Bagaimana caranya? Waktu itu ada 16 negara kecuali

    R.I. diciptakan Belanda yang tergabung dalam Negara

    Indonesia Serikat yang sudah merdeka dan berdaulat.

    Tinta pengakuan kemerdekaan belum kering sudah ada

    sebuah kabupaten Malang, pada tanggal 30 Januari

    1950, menyatakan keluar dari Negara Jawa Timur,

    ciptaan Van Mook dan menggabungkan diri dengan

    Republik Jogya. Tindakan ini segera disusul oleh

    Kabupaten Sukabumi, kotapraja Jakarta Raya, Sulawesi

    Selatan. Kalau hal yang demikian i tu dibiarkan berjalan

    terus, akan menjadi kosong negara Indonesia Serikat.

    Mohammad Natsir tidak mau melihat Soekarno dan

    Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden dari satu

    federasi yang kosong. Karena itu Natsir mengajukan

    mosi agar yang sedang berjalan itu disalurkan menurut

    hukum dan dihindarkan perpecahan.

    Akhirnya diadakan perundingan antara RepublikIndonesia yang berpusat di Jogja dan Negara Indonesia

    serikat yang bertindak juga atas nama Negara Indonesia

    Timur dan Negara Sumatera Timur. Maka hasilnya

    kembalinya ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950,

    yang dalam DPR memilih Soekarno dan Hatta sebagai

    presiden dan wakil presiden. Maka Mohammad Natsir

    mendapat kehormatan untuk mengantarkan Negara

    Kesatuan Indonesia yang pulih kembali sebagai Perdana

    Menteri.

    Masyumi sudah tidak ada sekarang. Bapak Natsir

    mengabdi kepada Tuhan Islam dan Negara melalui

    Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Muktamar

    Alam Islami dan Majlis Tasisy Rabitah Alam Islami.

    Muktamar Alam Islami, adalah badan Internasional

    yang pada tahun 1926 didirikan oleh Raja Abdul Azis

    Ibnu Saud bersama dengan Mufti Besar Palestina,

    Muhammad Amin al Husaini di Mekah Mukarramah.

    Pada saat itu hadir dari Indonesia pemimpin-pemimpin

    besar kita Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Kyai Haji

    Mas Mansur, Mohammad Natsir yang saat ini adalah

    Wakil Presiden Muktamar Alam Islami. Kita bersyukur

    dan bangga, bahwa jalan yang sudah dirintis oleh anak

    moyang ummat Islam Indonesia pada saat ini diteruskan

    oleh Mohammad Natsir.

    Duduk dalam badan Internasional bagi Mohammad

    Natsir sifatnya tidak berlainan dan bertentangan

    dengan duduk dalam badan nasional. Sebab berbakti

    kepada Tuhan, berdasarkan keadilan dan kebenaran

    sama arahnya, apakah kita di dalam atau di luar negeri.

    Demikianlah umpamanya dalam masalah penyelesaian

    soal Timor Timur. Sebagaimana kita ketahui, Timor Timur

    itu berada dalam penjajahan Portugis berabad-abad

    lamanya. Setelah Indonesia berabad lama mengecap

    kemerdekaan, maka dalam saat meninggalkan

    jajahannya begitu saja dan membiarkan rakyat dikuasai

    oleh golongan yang berhaluan kiri. Ribuan pengungsi

    mengalir ke wilayah Indonesia. Timor Timur sendiri

    merupakan daerah tak bertuan. Tentu saja Indonesia

    tahu apa yang harus dikerjakan, tidak lain bersatu

    dengan bagian yang dengan kekerasan dan telah wajar

    telah dipisahkan itu.

    Pada waktu itu ada negara-negara yang tidak kenal

    persoalannya, ada negara anggota Konferensi Islamyang

    ikut mengutuk Indonesia sebagai negara yang expansif

    menyaplok negara lain. Negara-negara komunis tentu

    anti-Indonesia. Sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam

    Islami, Mohammad Natsir mengajukan satu usul resolusi

    dalam konferensinya yang mendudukkan bagaimana

    persoalan yang sebenarnya dan menyokong pendirian

    serta langkah yang diambil oleh Indonesia. Usul resolusi

    itu diterima dengan suara bulat dan dikirimkan ke PBB

    dan organisasi-organisasi internasional lainnya, dan

    khususnya kepada pemerintah negara anggota darikonferensi menteri-menteri luar negeri Islam.

    Selanjutnya, Mohammad Natsir mengadakan kontak

    dengan pemimpin-pemimpin yang berpengaruhdi

    negara-negara Islam seperti Pakistan, dan mengadakan

    konferensi pers guna menghilangkan salah paham.

    Salahsatu slogan yang dilancarkan Natsir dalam

    konferensi persnya berbunyi We dont wont a seconder

    Anggola in South East Asia(Kita tidak suka menjadi

    Anggola kedua di Asia Timur Tengah), menjadi kata

    bersayap dan headlinedi surat-surat kabar Pakistan.

    Dengan kata yang ringkas itu, khalayak ramai mudah

    menanggapi apa sebenarnya hakekat persoalan Timor

    Timur itu.

    Kalau ada sesuatu yang penting bagi Indonesia dalam

    kesempatan apapun Mohammad Natsir akan berbuat,

    diminta atau tidak, sesuai keadilan. Tidak semata-mata

    soal yang besar-besar yang menarik minat Mohammad

    Natsir. Ia justru di kalangan kawan-kawan yang dekat

    sering mendapat sesalan, ia terlalu banyak menerima

    tamu. Ia terlalu banyak memperhatikan soal-soal yang

    kecil-kecil yang sebenarnya dapat diserahkan kepada

    pembantu-pembantunya. Ia suka menerima siapa

    saja yang ingin ketemu dengannya. Mohammad Natsir

    berpendirian, ia suka menerima tamu-tamu yang

    penting-penting , yang membawakan soal-soal besar-

    besar. Tapi bagaimana orang dapat tahu soal besar,

    kalau ia tidak tahu soal kecil.

    Demikianlah dalam Dewan Dakwah yang ia pimpin, ia

    siapkan pemuda-pemuda Islam Indonesia yang pada

    saatnya akan mengganti generasi yang sekarang sedang

    menjalani bakti.

    Kita doakan semoga Bapak Mohammad Natsir

    dipelihara kekuatannya agar masih dapat meneruskan

    pimpinannyakepada ummat yang sangat memerlukan

    pimpinan itu.

    Media Dakwah Edisi Islam dan Modernisasi

    Sumber foto: Andi Ryansyah (JIB)

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    12/35

    22 KisahKisah

    Elegi 10 November

    Resolusi Jihadyang Ter(di)lupakan

    Oleh : Rizki Lesus

    (Penggia Jejak Islam unuk Bangsa)

    Sumber foto: Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983).

    Jakarta: Badan Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA

    Mobil hancur akibat ledakan granat tangan di Surabaya

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    13/35

    24 KisahKisah

    Panas terik menggantung, diselingi desing pesawat yang terus berputar-putar di langitSurabaya. Lepas kumandang adzan bersahutan, ketika bulatnya mentari tepat di atas kepala,

    pesawat yang berbunyi bagai kepakan sayap jangkrik super cepat, berbising, memuntahkan

    puluhan ribu selebaran, puluhan ribu kertas bergoyang-goyang, terhempas angin, memenuhi

    atap, mobil, sepeda, jalan, hingga lorong-lorong Kota tua ini.

    Di tepi pantai, di penghujung darmaga, puluhan Kapal Perang Divisi 5 Inggris pimpinan Mayjen

    EC Mansergh bergoyang di atas Laut Jawa, bersiap meluntahkan moncong-moncongnya. Satu

    persatu Tank Sherman,gress dari Perang Dunia didatangkan dari Jakarta. 24 Pesawat tempur

    bersiap melesat, menjatuhkan berton-ton bom di kota tepi pantai ini. Belum lagi 24.000

    pasukan darat yang siap merangsek, Surabaya Siaga Satu!

    nggris rupanya marah besar, atas kejadian sumir tewasnya Jendral Mallaby akhir Oktober

    silam. Namun, rakyat Surabaya menganggap akal-akalan tentara Sekutu saja, seperti yang ada

    dalam benak pemuda berusia seperempat abad bernama Soetomo, yang dikenal sebagai Bung

    Tomo, seorang pemimpin Barisan Pemberontakkan Rakyat Surabaya.

    Pernyataan-pernyataan Inggris berkenaan dengan tewasnya Brigjen Mallaby itu, kita hanya

    anggap sebagai ulangan muslihat Jepang ketika hendak menguasai Manchuria dalam

    ahun 1931,kenang Bung Tomo yang menganggap Inggris ingin merebut kemerdekaan dari

    ndonesia. Ancaman Inggris sekarang memang bukan main-main. Lihat saja isi selebaran yangberjatuhan itu.

    Katanya, pukul 06.00 esok, 10 November 1945, seluruh warga Surabaya harus meninggalkan

    anah kelahiran mereka, harus menyerahkan senjata-senjata yang baru saja direngkuh dari

    epang, menyambut riuhnya Hari Kemerdekaan silam. Semua harapan akan negeri merdeka,

    berdiri di atas kaki sendiri seakan-akan akan sirna esok, menguap ke langit.

    Namun, tentu saja semua itu takkan dibiarkan terjadi. Sebab, kata Bung Tomo, rakyat

    Surabaya masih memiliki Allah, sang Maha Penolong. Dibacanya lamat-lamat selebaran itu,

    ernyata tak hanya warga saja yang harus pergi. Sambil termenung, dibacanya pelan-pelan per

    kata.

    ..Semua pimpinan Indonesia, termasuk pemimpin-pemimpin Pemuda, Kepala Polisi dan

    Kepala Radio Surabaya harus melaporkan diri di Bataviaweg pada tanggal 9 November pukul

    18.00. Mereka harus datang seorang demi seorang dengan membawa senjata-senjata yang

    mereka punyai.

    Senjata-senjata tersebut harus mereka letakkan di suatu tempat yang berjarak 100 yard (

    sekitar 91,4 meter) dari tempat pertemuan. Dari situ orang-orang Indonesia yang dimaksudkan

    harus menghadap dengan angkat tangan dan kemudian akan dilindungi. Mereka harus-harus

    bersedia menandatangani suatu pernyataan menyerah dengan tiada bersyarat.

    Sesaat, bulir bening berkumpul di sudut mata mantan wartawan Domei ini yang juga penyiar

    adio ini. Menahan marah, bercampur haru, mukanya memerah, tak kuat membayangkan para

    pemimpin Surabaya melakukan apa yang diperintahkan Sekutu dan NICA (Belanda).

    Mendidih darah mudaku..Terlukis di depan mataku segenap keadaan, andai kata ultimatum

    nggris tersebut kita penuhi. Pembesar-pembesar Republik Indonesia berbaris, tangan diangkat

    ke atas, menyerah...tanpa syarat..

    ..Rakyat dengan perasaan takut seorang demi seorang meletakkan senjata yang

    mereka rebut dari tangan Jepang di muka kaki serdadu-serdadu Inggris....bendera putih

    menggantikan sang Dwiwarna yang melambai-lambai pada ujung senjata mereka.

    ..Tidak jauh dari situ kaki tangan NICA tertawa kecil, mengejek, menertawakan rakyat

    ndonesia yang katanya hendak mempertahankan kemerdekaan tanah airnya. Sejenak Bung

    Tomo bertekad. Tangannya mengepal kuat, namun segera hatinya melunak. Senyum merekah,

    dengan penuh ketenangan.

    Tidak terhingga syukurku kepada Allah SWT selelah melihat sikap rakyat yang mengerti akan

    si serta maksud ultimatum tersebut.. guman bung Tomo.

    ihad! Ya, Tak lain ialah rakyat Surabaya tak akan mengamini ultimatum Inggris, tak sudi

    bertekuk negeri ini yang baru seumur jagung. Lilhatlah ketika para pemuda berdatangan,

    memenuhi Surabaya. Para ulama, ustadz, Kyai, santri dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah

    engah bersiaga. Ketika anak-anak kecil bersama ayah dan kakaknya tak goyah sedikitpun

    untuk menyerahkan senjata.

    Mata Bung Tomo semakin berlinang, melihat riuhnya para kakek, para jompo yang s emangat

    berkobar-kobar menyatakan sanggup bertempur; ingin mereka berhadapan laki-laki dengan

    kaum imperialis yang mengganggu kemerdekaan Indonesia, katanya.

    ihad, sebuah kata nan sederhana, nan membekas begitu dalam dalam lubuk Bung Tomo

    setelah kabar Resolusi Perang Sabil Masyumi dan Resolusi Jihad NU menjadi buah bibir

    masyarakat, menjadi panduan umat Islam Indonesia melawan Sekutu.

    Bung Tomo teringat beberapa waktu silam ketika berjumpa dengan para ulama yang

    begitu tulus dan cinta akan negerinya, para ulama yang siap berkorban untuk Tanah Air

    dan Agamanya, seperti yang ia lihat di hadapannya, ketika para Kyai dan santri pun turut

    mengangkat senjata untuk berjihad. Wajah-wajah tulus mereka semua kini memenuhi

    Surabaya.

    Terkenang, wajah yang lama tak bersua, KH Hasyim Asyari, sang pendiri NU, yang

    mengukuhkan Resolusi Jihad NU 22 Oktober silam, dan mengirimkan laskar-laskar Hizbullah

    dan Sabilillah, membopong bambu runcing, memenuhi lorong-lorong Surabaya.

    Jihad, sebuah kata nan membanggakan mereka, dengan secuplik kata ini, berdatangan

    puluhan ribu kaum muslimin mempertahankan negara.

    Disertasi William Frederick, In Memoriam. Sutomo, menyebutkan bahwa profesi wartawan

    Bung Tomo yang menjadi awal ia menjali hubungan dengan KH Hasyim Asyari, KH Abbas

    Cirebon, KH Amin, dll.

    Agungkan Allah dalam setiap pidatomu, nasihat KH Hasyim Asyari begitu berbekas di relung

    hati Bung Tomo, hingga kelak dalam tiap pidatonya, bung Tomo selalu mengagungkan Engkau

    ya Rabb...

    Kemuning senja menyapu langit Surabaya. Nasihat Pendiri NU Hadratussyaikh Hasyim Asyari

    begitu meresap, dimulailah dengan kemantapan membaca basmallah. Mulailah kembali Bung

    Tomo siaran di Radio Pemberontakkan, berpidato dengan penuh semangat, dan meneguhkan

    rakyat akan kemenangan dan kebesaran Allah.

    Slogan kita tetap sama: Merdeka atau Mati. Dan kita tahu, Saudara-saudara, bahwa

    kemenangan akan ada di pihak kita, karena Tuhan ada di sisi yang benar. Percayalah saudara-

    saudara, bahwa Tuhan akan melindungi kita semua. Allahu Akbar..Allahu akbar..!

    Di penghujung senja, Takbir sungguh memekik, meramaikan gang-gang, mobil, kotak radio

    seantero Surabaya. Allahu Akbar..sebuah pengakuan bahwa bala tentara musuh di seberang

    sana hanyalah kecil dibanding kekuasaaanMu ya Rabb...

    Bahwa, masih ada hambaMu yang mengingatMu, membesarkanMu, memujiMu, dan berharap

    akan datangnya kemenangan, yang tak lain ialahjannah (surga), kemenangan yang besar.

    Mati atau Merdeka, Allahu Akbar! sebuah peneguh hati yang begitu meresap, memasuki

    relung hati rakyat yang bersiap menyambut genderang perang.

    Senja itu, kecemasan berubah menjadi kemantapan, menyambut seruan jihad. Resolusi

    Perang Sabil dan Resolusi Jihad NU, yang dikatakan Zainul Milal Bizawe dalam Lakar Ulama-

    Santri dan Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia, yang menggerakkan spiritual

    rakyat Surabaya lah yang bertempur melawan penjajah Inggris.

    Resolusi Perang Sabil, sebuah pengukuhan atas Resolusi Jihad NU, yang baru saja diumumkan

    kemarin, 8 November di Yogyakarta dalam Kongres Umat Islam yang dihadiri seluruh ormas

    Islam Indonesia. Ingin sekali, para Tokoh Jawa Timur itu hadir dalam peristiwa bersejarah

    tersebut, namun apa daya, panggilan Jihad di Surabaya sangat mereka cintai, hingga semua

    harus bersiaga.

    Dalam Kongres Umat Islam selama dua hari (7-8 November 1945) tersebut, Partai Masyumi

    disetujui umat menjadi satu-satunya partai Islam. Bergabunglah semua elemen umat: NU,

    Muhammadiyah, Persis, Sarikat Islam, GPII, dan seluruhnya dalam Partai Masyumi sebagai

    wadah perjuangan politik menegakkan Islam di Bumi Pertiwi.

    Maklumat kedua selain pendirian Partai Politik Islam, ialah menimbang situasi yang sangat

    genting, maka diperlukanlah kesatuan perjuangan melawan penjajahan Inggris yang sudah tiba

    di bumi Indonesia. Karenanya, dikeluarkanlah Resolusi Perang Sabil, mengukuhkan Resolusi

    Jihad NU, melawan segala bentuk imperialisme.

    Wajib bagi setiap orang Islam di Indonesia untuk berjuang dengan segenap jiwa raganya

    dalam melawan dan menghapuskan Imperialisme demi terwujudnya kemerdekaan agama

    dan negara,dalam sebuah kesepakatan kemarin yang dihadiri para tokoh bangsa seperti:

    KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus

    Hadikusumo, M. Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Soekiman W, Saifuddin Zuhri, dan ratusan

    Kyai dari Jawa dan Sumatra.

    Saat itu pula, Laskar perjuangan umat Islam, Hizbullah dan Sabilillah dikukuhkan untuk

    melawan penjajahan dengan pimpinan Kyai Zainul Arin yang segera bertindak cepat

    membentuk kesatuan Laskar di Surabaya. Para Ulama berbondong-bondong berdatangan ke

    Rembang, Magelang, Kedu, Mojokerto, Surabaya, memenuhi panggilan jihad.

    KH Abbas dari Cirebon jauh-jauh datang ke Jawa Timur, bersama ribuan santrinya. Bersama

    KH Bisri dalam mobilnya sambil berteriak Allahu Akbar. Kalimat takbir itu menggema hingga

    kemuning senja berganti dengan pekatnya malam.

    Para tokoh dan pimpinan masyarakat Surabaya berkumpul, menanti balasan dari Jakarta yang

    mencoba melobi Inggris. Terserah Surabaya.. berbalas suara di balik telepon sana. Maka

    para tokoh pun berkumpul, Gubernur Surabaya Soeryo, Bung Tomo, KH Wahab Hasbullah,

    Roeslan Abdul Gani, KH Mas Mansyur, Dul Arnowo, dan para pimpinan perlawanan.

    Malam itu, semua doa berpanjat, berharap kemenangan, atau syahid menemput, di malam

    yang begitu lengang melompong Malam itu, makin banyak doa diucapkan, makin keras

    permohonan umat kepada Yang Maha besar, agar dilindungi tanah air dan rakyat Indonesia

    dari marabahaya,kenang Bung Tomo.

    Rukuk sujud pun terlakon. Dalam ruang-ruang sempit itu, para Ulama terus mendoakan rakyat

    Surabaya. Bersiap kehilangan semuanya, harta, benda, keluarga, hingga jiwa mereka. Malam

    itu begitu emosional, tengah malam, Gubernur Soeryo, sambil tak kuat menahan air mata yang

    tiba-tiba meleleh mengguyur pipinya berpamitan dan berucap Selamat berjuang.. penghujung

    pidatonya di Radio.

    Hari nan dinanti pun tiba, ketika semburat merah pagi pun menyapa pucuk-pucuk Kapal

    Perang Inggris di tepi pantai, menyapu pucuk-pucuk gedung yang menjulang di Ibu Kota

    Jawa Timur itu. Surabaya masih lengang. Tak ada satu pun warga Surabaya sudi menyerah,

    mengibarkan bendera putih dan memenuhi ultimatum Inggris.

    Satu dua, nafas terhela. Bum..bum..bum..peluru perang pertama terpental dari Kapal Perang

    di Tanjung Perak, menghancurkan bangunan di Surabaya. Genderang perang pun bermula.

    Nafas warga tersengal, masih bersiap membalas, masih tetap tenang dalam lautan dzikir.

    Takbir pun dengan teguh menggema di Surabaya. Puluhan ribu rakyat Surabaya dan dari luar

    tetap bertahan, bersiap berperang, menahan peluru menunggu komando. Langit Surabaya

    menjadi bising saat pesawat itu mengitar, memuntahkan bom. Bumm.. gelegarnya begitu

    dahsyat.

    Tiga jam pertama, mulai pukul 06.00-09.00 Inggris sudah mulai menggempur besar-besaran

    Surabaya, dengan pasukan terbesar yang dikerahkan setelah Perang Dunia II. Kapal Sussex

    terus menggempur menyisakan puing-puing yang terus teronggok.

    Satu per satu korban bergelimpangan.A-l-l-a-a-a-a-h-u-A-k-b-a-r..pekik takbir Bung Tomo di

    Radio menggema, menggetarkan musuh, menggerakkan massa agar mulai maju menyerang.

    Pukul 09.00, ketika mentari mulai hangat, takbir menggema di seluruh penjuru kota. Allaahu

    Akbar.. dorr...dorr.. Bum...Bum..Bumm.. Asap mengepul tinggi, darah merah segar

    memuncrat hebat.

    Satu per satu pasukan darat Inggris mulai keluar dari Kapal Sussex di Tanjung Perak.

    Pesawat pun berputar-putar di langit Surabaya. Pagi itu, 10 November, Arek-arek semua

    terbakar Takbir, maju tak gentar, melawan para penjajah di hadapan. Gubernur Soeryo terus

    menguatkan rakyat. Seluruh elemen rakyat: GPII, Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pelopor, Barisan

    Pemberontak, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terus membalas serangan Inggris.

    A-l-l-a-a-a-a-h-u-A-k-b-a-r..terus menggema. Bum...Asap semakin mengepul memenuhi

    Surabaya utara. TKR Divisi VII Surabaya, Jombang, Mojokerto dan pimpinan Hizbullah KH

    Abdunnack Achyar, Husaini, Moh. Muhadjir menjadi garda terdepan di utara.

    Darah-darah mengucur deras, pasukan Hizbullah dengan gagah berani bertempur melawanBung Tomo

    PERCAYALAH SAUDARA-

    SAUDARA, BAHWA TUHAN

    AKAN MELINDUNGI KITA

    SEMUA. ALLAHU AKBAR..

    ALLAHU AKBAR..!

    Bung Tomo, Pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di markasnya.

    Sumber foto: Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 1982)

    Rizki LesusElegi 10 November & Resolusi Jihad yang Ter(di)lupakan

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    14/35

    26 KisahKisah

    Sumber foto: Aboebakar, H (2011). Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim. Jakarta:

    Mizan.

    moncong tank baja yang memang tak berimbang. Bambu lawan tank? Tapi semangat jihad

    begitu membara. Lihatlah ketika mereka loncat dari satu tank ke tank lain, membakar tank

    dengan senjata seadanya. Darah syuhada pun bercucurah, mengalir deras di Bumi Jihad

    Nusantara.

    Pagi itu, debu-debu jihad menjadi saksi akan pertarungan terbesar seletah Perang Dunia

    II, darahnya menjadi saksi di akhirat kelak bahwa ribuan syuhada berguguran. Ya Allah,pekik Takbir itu kelak menjadi saksi, bahwa masih ada orang yang menyebut AsmaMu untuk

    membela negeri ini.

    Bahwa dulu, umatmu begitu ingat akan asmaMu, ketika para perongrong itu ingin mengambil

    negeri ini. Bahwa namaMu menggema dalam hati ketika dulu negeri ini masih seumur jagung.

    Bahwa masih ada yang membelaMu di tengah kecamuk perang. Bahwa para pendahulu kami

    mendengar namaMu menjadi tenang.

    Negeri yang dipertahankan bukan dengan leyah-leyeh, bukan dengan seucap kata, bukan

    oleh para penghinaMu, tapi oleh darah para syuhada. Lihatlah ketika lebih dari 30.000 orang

    menggemakan kumandang takbir di Surabaya. 10 November, ketika darah itu mengalir deras

    di lorong-lorong kota, bahwa mereka sangka, akan mudah menguasai Kota ini.

    Namun, lihatlah ketika mereka semua yang menyebut namaMu dengan tulus mempertahankan

    negeri ini, memanggul bambu, bayonet, hingga para pria tua yang terus menembakkan bedil.

    Para wanita yang terus menyiapkan logistik dan merawat korban perang, fardhu ain,begitu

    fatwa KH Hasyim Asyari meresap dalam jiwa mereka.

    Allahu..Akbar...Allaahu akbar..Satu persatu anak menjadi yatim, wanita menjadi janda.

    anak-anak ini yakin mereka diindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, mereka percaya pada

    kodrat Ilahi, Mereka berjuang atas nama keadulan dan kebenaran, teriak Gubernur Soeryo.

    Tak ada harap selain kemerdekaan atau menjemput maut dalam senyum. Allahu akbar..Allahu

    akbar.. detik terus berdetak. Dentuman berbalas tak hentinya menggelayut di Langit Surabaya

    yang mendung tertutup asap tebal.

    A-l-l-a-a-a-a-h..hanya Engkau peneguh kami. Semua orang tumpah ruah, hanya niat

    karenaMu, ..f-i-s-a-b-i-l-i-l-l-a-a-h.., hanya karenaMu ya Allah. Jihad sabilillah, Jihad..Jihad..

    Sayup-sayup suara terus menggema. Jihad, sebuah kata sarat makna, peneguh hati orang-

    orang beriman. 10 November, kumandang jihad bersambut...

    ***

    Bulatan merah kalender menunjuk tanggal 21 Oktober 1945. Ratusan Ulama pun berdatangan

    ke sini, Surabaya. Suasana Surabaya lain dari biasanya. Dikabarkan tentara Sekutu sudah tiba

    di Jakarta, dan beberapa hari lagi akan tiba di Surabaya dengan dalih melucuti Jepang yang

    sebenarnya sudah mulai dilucuti oleh rakyat Indonesia.

    Kedatangan mereka sebenarnya tak perlu, karena rakyat Indonesia sudah merdeka dan

    dapat mengurus semuanya sendiri. Namun, apa daya nafsu berkuasa para penjajah. Lihat

    saja, peristiwa di Hotel Yamato September silam saat bendera Belanda berkibar. Tak ayal,

    kelak akan ada tantangan besar untuk bangsa ini, karenanya seluruh ulama Rais Syuriah dan

    Tandziyah NU seluruhnya berkumpul di Kantor Pengurus Besar NU Surabaya, termasuk aku.

    Nampak di hadapanku sekarang, di Jalan Bubutan 6/2 Surabaya satu persatu ulama

    berdatangan: Ketua Masjelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sekaligus Rais Akbar NU KH

    Hasyim Asyari bersama putranya KH A Wahid Hasyim. KH M Dahlan, KH Mukhtar, KH Zuhdi,

    KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Abdulaziz kudus, KH M Ilyas Pekalongan, KH Abdulhalim

    Shiddiq Jember, dan lainnya.

    Saya sengaja tidak menulis surat kepada saudara, karena saya tahu saudara sibuk dengan

    tugas-tugas baru di daerah,tiba-tiba terdengan suara KH Wahid Hasyim sambil menggenggam

    tanganku.

    Dari mana Gus tahu aku sibuk dengan tugas baru?tanyaku. Hal itu jangan ditanyakan.

    Meski saya bukan pemimpin besar, tetapi saya punya mata seribu kurang seratus dan telinga

    seribu kurang seratus,jawabnya jenaka.

    Kami sering berucap bahwa seorang pemimpin itu harus punya seribu mata dan telinga, artinya

    pemimpin harus sering sering melihat dan mendengar dari berbagai saluran yang tidak dimiliki

    sembarang orang. Dan memang benar, aku kini sedang sibuk berada di wilayahku di Kedu.

    Pada akhir bulan lalu, aku menyelenggarakan rapat Majelis Konsul NU daerah Kedu ditempatkediamanku (rumah mertuaku), di Kampung Baleduno Purworejo. Hadir dalam rapat itu antara

    lain:

    RH Mukhtar, Kyai Raden Iskandar, Kyai Ahmad Bunyamin, KH Ahmad Syatibi (semuanya

    dari Banyumas), KH Nasuha dan KH Aishom (Keduanya dari Kebumen), KH Hasbullah dan

    Muhammad Ali (Keduanya dari Wonosobo), KH Nawawi, KH Mandhur dan Kyai Ali (Ketiganya

    dari Parakan), KH Raden Alwi, KH Abdullah Fathani, Abdulwahab Kodri (Ketiganya dari

    Magelang), dan beberapa ulama Purworejo KH Mukri, KH Marodi, KH Damanduri, Kyai Sayyid

    Muhammad, KH Jamil dan lain-lain bertindak selaku tuan rumah.

    Selaku pihak penyelenggara, terlebih dulu kujelaskan arti penting pertemuan tersebut, yang

    bertitik tolak dari memuncaknya situasi genting di seluruh Indonesia. Selama satu hari satu

    malam, pertemuan Majelis Konsul itu berlangsung dengan penilaian yang mendalam dan

    merata, lewat musyawarah dan semangat tinggi. Akhirnya diputuskan dengan bulat:

    1) Segenap warga NU lelaki dan perempuan wajib berjuang mempertahankan kemerdekaan

    Indonesia dengan niatjihad sabilillah binizham(terorganisasi).

    2) Sebagai konsul NU daerah Kedu, aku dibebani memimpin umat Nahdiyin- nahdiyat, dengan

    memusatkan segenap ikhtiar lahir batin dan tawakal Alallah. Oleh sebab itu aku t idak

    diizinkan meninggalkan daerah yang menjadi tanggungjawabku utama (Kedu dan Jawa

    Tengah pada umumnya). Dengan lain perkataan, aku tidak diizinkan lagi berada di Jakarta

    dengan alasan apapun.

    3) Oleh karena aku juga ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia daerah Kedu, aku dibebani

    tanggung jawab atas terselenggaranya kekompakan Hizbullah seluruh daerah Kedu sebagai

    alat perjuangan bersenjata secara terorganisasi.

    Tiga hal inilah yang akan kusampaikan dalam Muktamar Luar Biasa sekarang di Surabaya.

    Bagaimana situasi Jawa Tengah?tiba-tiba Gus Wahid memecah lamunanku. Tak beda

    dengan jakarta, Jawa Tengah bukan lagi terpanggang di atas api, tapi sudah mulai mendidih.

    kataku.

    Coba ceritakan peristiwa pelucutan Jepang di Magelang, semua orang bangga akan

    keberanian anak cucu Syaikh Subakir... Kyai Wahid menyebut penduduk Magelang, sebagai

    anak cucu Syekh Subakir.

    Menurut cerita lama, pada zaman dahulu seorang Kyai turun dari Gunung Tidar untuk mengusir

    setan menggoda penduduk Magelang. KH Mahfudz Siddiq, Ketua PBNU ketika Muktamar NU di

    Magelang tahun 1939, menyebut RH Mukhtar (Konsul NU Jateng) dengan Syekh Subakir.

    Sebenarnya, tanggal 5 Oktober 1945 Rakyat Magelang dan sekitarnya belum kompak betul

    sebagai kekuatan tempur, terlalu banyak dari berbagai golongan. Tapi keberhasilan rakyat

    Banyumas melucuti tentara Nipon dan semangat Arek-arek Suroboyo mengibarkan merah putih

    di Hotel Yamato 19 September, membakar semangat

    Ente dan anak buah mengambil kedudukan di mana? sela Kyai Wahid.

    Aku cuman dengan kekuatan satu seksi Hizbullah mengambil posisi di Jalan Raya Pasar

    Magelang yang dilindungi Gunung Tidar, H Said di Masjid Jamik, TKR dan Laskar mengepung

    Kidobutai, Nipin menguai sekitar stasiun KA dan Jalan Ponco. Peristiwa itu latihan bertempur

    dibanding peristiwa mendatang,kataku.

    Yaaah, selama ini kan Cuma latihan berkelahi bukan? Kyai Wahid menyela.

    Betul, makanya kami banyak yang gugup dan senewen, baru mendengar suara mitraliur

    banyak yang terkecing-kencing...! Maklumlah, pengalaman pertama,kataku.

    Berapa hari pertempuran dengan Nipon itu? bertanya Kyai Wahid

    Kiyai Wahab Hasbullah dan Kiyai Bisri

    Rizki Lesus

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    15/35

    28 KisahKisah

    Oooh..praktis cuma satu hari. Nipon-nipon itu sudah dapat dilucuti, tapi ada yang melarikan

    diri ke arah Semarang sambil mengacau. Dengan pengalaman di Magelang itu, maka peristiwa

    melucuit Kidobutai Nipon di Kota Baru Yogyakarta berlangsung lebih terkooirdinir. Hari itu juga

    7 Oktober, meski rakyat korban banyak juga.

    Hizbullah mengambil posisi di mana ketika itu?tanya KH Wahid.

    Kami berada di sekitar Tugu Kota Yogyakarta, di simpang jalan Solo Magelang, di lain sisiKyai Kholil di Balokan dekat stauin KA Tugu. Ada tambahan, ada pemuda Kauman Yogyakarta,

    namanya APS (Angkatan Perang Sabil),aku mengisahkan.

    Allahu akbar!seru KH A Wahid Hayim.

    Namanya revolusi. Umat Islam bangkit serentak membela kemerdekaan, mereka

    mengikhlaskan nyawa mereka, apalagi yang lain. Ini harus dicatat dalam sejarah, katanya.

    Cuma, namanya begitu seram..Angakatan Perang Sabil,kataku.

    Tapi biar saja, itu reeksi dari semangat berjuang dan tafaul, mengharapkan berkah. Lha?

    Nama Hizbullah apa tidak seram? Artinya kan tentara Allah. Di Surabaya kini muncul pasukan

    baru bernama Malaikatul maut, apa kurang dahsyat? kami tertawa berbareng. Perbincangan

    pun tertunda karena Hadratussyaikh Hasyim Asyari tiba dan memberikan arahan.

    Dalam bahasa Arab yang fasih, beliau membuka Muktamar ini. Mata kami pun berkaca-kaca

    mendengar seruannya, bahwa hanya dengan jihadlah, umat ini menjadi mulia. Haru menyeruak

    dalam ruangan sempit itu, dalam suasana genting semua menyimak ucapan Hadratus Syaikh.

    ..Apakah ada dan kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu

    ni, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi

    sifat kepada kaum munak yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah...

    Demikianlah, maka sesungguhnya, maka pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan

    kemerdekaan dan membela kedaulatannya, dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang

    ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambutpun.

    Barangsiapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti

    memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya....

    Maka barangsuapa yang memecah pendirian umat pancunglah leher mereka dengan

    pedang...

    Pidato Hadratusyaikh berapi-api menggetarkan jiwa, bahwa tak bisa kita hanya duduk saja.

    Hari semakin larut. 22 Oktober 1945, Pimpinan rapat KH Abdul Wahab Hasbullah memintasatu persatu anggota menyampaikan pandangan tentang tentara NICA dan Sekutu yang akan

    merangsek ke Indonesia.

    Akhirnya, dengan suasana haru, seakan pertemuan terakhir, terciptalah Resolusi Jihad,

    sebuah pernyataan sikap, sebuah fatwa akan Wajibnya laki-laki dan perempuan berjihad

    sabilillah mempertahankan agama dan negara! KH Wahab Hasbullah bergetar membacakan

    Resolusi jihad diiringi pekik takbir dan tangis haru para peserta.

    Esoknya, KH Hasyim Asyari secara resmi membacakan poin-poin Resolusi Jihad NU yang

    perinciannya sebagai berikut:

    1) Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agsutus 1945 wajib dipertahankan

    2) RI sebagai pemerintah sah wajib dibela dan dipertahankan

    3) Musuh RI terutama Belanda dan Inggris dalam tawanan perang bangsa Jepang, tentulah

    akan, menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia

    4) Umat Islam terutama Nahdatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda,

    Sekutu, dll

    5) Kewajiban tersebut jihad tiap umat Islam,fardhu ain, dalam radius 94 km, jarak

    diperkenankannya sembahyang jama dan qashar. Adapun mereka yang berada di luar jarak

    tersebut, berkewajiban membantu saudaranya dalam radius 94 km itu.

    Resolusi jihad itu disusun di tengah kota Surabaya yang tengah terapnggang api revolusi. Usai

    resolusi, para Ulama, santri berbondong-bondong memenuhi panggilan jihad. Bahwa negara ini

    ditegakkan dengan darah para syuhada, dan tinta para ulama.

    Pertempuran besar pun tak terelakkan memanas, hingga puncaknya 10 November, ketika kalimat takbir itu meggema di seluruh penjuru

    Surabaya. Resolusi Jihad, peneguh hati kaum mukimini, bahwa semua jihad ini hanya ditujukan hanya untuk Allah...

    ***

    Malam hari 9 November 1951. Di depan matanya yang sendu, di atas meja kerjanya, tergolek surat-surat Kabar yang memuat gambarnya di

    halaman terdepan. Bung Karno baru menjadikan 10 November sebagai Hari Pahlawan untuk esok.

    Bung Tomo duduk terpekur. Tak tertahankan air matanya, bulirnya yang begitu bening mengalir deras, meleleh melewati dua pipinya,

    membasahi kertas di meja. Di hadapan istrinya, air matanya tumpah ruah tak karuan. Cemas? Memang. Berdebar-debar hatinya.

    Gambarku dimuat di halaman depan koran, namaku dibaca khalayak ramai, katanya sesenggukan sambil membayangkan peristiwa enam

    tahun silam.

    Sedang sesungguhnya, tidak besar arti perbuatanku pada 10 November 1945 bila dibandingkan dengan keikhlasan beribu-ribu saudara yang

    telah tewas binasa , hancur lebur, karena ikut menyebabkan menjadi besarnya hari 10 November itu. Bisiknya.

    Aku masih hidup! Aku masih diizinkan Allah menghirup hawa negara merdeka yang telah dibiayai oleh darah dan jiwa, patriot-patriot sejati

    sejak enam tahun lalu. Aku telah berumah tangga, beristri, beranak, aku telah mendekati tercapainya hidup layak sebagai manusia...meskipun

    sementarahanya bagi keluargaku sendiri... syukur penuh makna, dalam tangis sendu Bung Tomo.

    Tetapi apakah itu tujuan patriot-pahlawan kita ketika mereka itu rela ikhlas menyerahkan jiwa-raga mereka? Untuk perseorangan belaka...?

    Ya Allah...yang Mahakasih dan Penyayang, berilah Ham baMu ini kekuatan guna menyelesaikan kewajiban-kewajiban kawanku yang telah gugur

    itu. Larut dalam tangis Bung Tomo terus mendoakan para pahlawan.

    Para manusia manusia yang memilih kematian sebagai jalan terindah hidupnya. Tak dirudung duka, jikalau hidup, maka mereka merayakan

    kemenangan, jikalau pun takdir berpisah, maut menyapa, maka syahidlah dirinya, dan kemenangan di akhirat kelak menyapa, surga tanpa

    hisab. Merekalah para syuhada di negeri ini. Orang-orang mengenangnya dengan Hari Pahlawan.

    Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, Inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya

    kepada kita, Dan benarlah Allah dan RasulNya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.

    Di antara orang-orang mukmin itu ada orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan keapda Allah; di antara mereka ada yang gugur.

    Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah janjinya. (Al Ahzab: 22-23)

    Pustaka:

    Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949) (Jakarta: Pustaka Compass,

    2014)

    KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jogjakarta: LKiS, 2013)

    Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 1982)

    Sumber foto: Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983). Jakar-

    ta: Badan Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA

    Penduduk mengungsi dalam hari-hari pertempuran di Surabaya

    Sumber foto: Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983).

    Jakarta: Badan Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA

    Situasi di Surabaya dalam hari-hari pertempuran.

    Rizki LesusElegi 10 November & Resolusi Jihad yang Ter(di)lupakan

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    16/35

    30 Syajarah Syajarah

    Mereka yang

    dilumpuhkan

    Sketesa Pangeran Diponegoro dan pengikutnya memasuki kerisdenan

    lama (Magelang) untuk berunding.

    Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and

    The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    17/35

    32 Syajarah Syajarah

    Badan kurusnya terbujur di sebuah gubuk reyot ditengah hutan rimba, Bagelen Barat. Ia sedang

    berjuang melawan malaria tropika parah yang menghantam tubuhnya. Bukan hanya malariayang turut merontokkan perjuanganannya selama ini. Tapi juga tertangkapnya Kiyai Maja, dan

    menyerahnya sang panglima Sentot Ali Basah. Saat itu, di sampingnya hanya ada dua orang

    punakawannya. Yang lain, tinggal sedikit dan tercerai berai.

    Akhirnya surat itu datang juga. Tawaran berunding. Ia -Pangeran Diponegoro- menerima tawaran

    itu. Hatinya sudah tak sekukuh keyakinannya dahulu akan peperangan ini. Bukan main senang

    Jenderal De Kock. Ada juga kemungkinan peperangan ini akan berakhir dengan perundingan.

    Namun apa lacur, datang surat dari Negeri Belanda. Raja Willem I sendiri yang menitahkannya.

    Di bawa langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia yang anyar, Johannes Van Den Bosch.

    Jangan melakukan perundingan apa pun dengan diahanya dengan syarat pemenjaraan

    seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya diizinkan. Tidak ada syarat lain apa pun

    juga (yang dapat diterima).1

    Sang Pangeran Jawa paham peperangan tak sedahsyat dulu. Perang Jawa memang melelahkan

    bagi kedua belah pihak. Diperkirakan 200.000 nyawa

    orang Jawa melayang. 15.000 tewas dari pihak Belanda.

    Seperempat lahan pertanian di Jawa rusak. Pemerintah

    Kolonial menanggung beban tak terperikan, 20 Juta gulden

    menguras kantong mereka. Keuangan mereka jebol. Ditambah

    lagi api perlawanan juga berkobar turut di Sumatera Barat.

    Atas luapan jiwa Islam pula. Perundingan memang menjadi

    jalan yang memungkinkan bagi kedua pihak. Sayang, titah Raja

    Willem I itu datang terlambat, De Kock terlanjur menawarkan

    perundingan kepada Pangeran Diponegoro. De Kock dalam

    posisi sulit.

    Pangeran datang bersama 800 orang pengikut yang

    menggabungkan diri selama perjalanan ke Magelang. Namun

    mereka bukanlah pengikut yang siap bertarung mati-matian.

    Sejatinya perjalanan itu adalah perjalanan bebasnya yang

    terakhir. De Kock bukannya tanpa tekanan. Ia melukiskan

    perasaannya yang sudah terlanjur mengajak berunding, namun

    dilarang oleh Raja Willem I.

    Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu di pihak

    saya tidak terpuji, tidak kesatria, dan licik (onedel en oneerlijk)

    karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya

    dengan niat baik.2

    Setelah menunggu hingga berakhirnya bulan puasa, hari

    penentuan telah tiba. 28 maret 1830. Awalnya pertemuan

    begitu hangat. Kemudian keadaan mulai menemui kebuntuan.

    Pangeran tidak mengharapkan untuk menyelesaikan

    pembicaraan apa pun hari itu. Tetapi, ketika tahu ia tidak boleh

    pergi, Pangeran begitu marah. Apa yang dijanjikan; jika tidak

    ada kesepakatan, seharusnya Pangeran Diponegoro boleh

    pergi. De Kock tahu, hal itu tidak mungkin. Titah Raja Willem

    I tak mungkin ditampik. Lagipula, Ia ingin perang ini segera

    berakhir. Pangeran Diponegoro kemudian dikepung. Tapi tak

    ada perlawanan. Hari itu Sang Pangeran takluk dibawah kuasa

    De Kock.

    Saat itulah kisah heroik sang pangeran sampai pada lembaran

    yang terakhir. Ia dilumpuhkan dengan penipuan. Apakah

    pangeran tahu bahwa ia akan diingkari? Mungkin saja. Yang

    pasti sejak beberapa bulan sebelumnya, ia pernah berkata

    kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda

    (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia.3

    Lembaran pemimpin perang ini berganti menjadi lembaran

    hidup seorang tahanan yang diasingkan. Dari Batavia ia dibawa

    ke Manado. Setelah tiga tahun di Manado,ia diasingkan ke

    Makassar. Di dalam Benteng Rotterdam. Ditemani istrinya,

    Raden Ayu Retnoningsih, di sana ia menjalani hari-hari hingga

    ajal menjemputnya. Menjelang Revolusi Perancis, 1848,

    sebuah Koran Perancis memuat kehidupan Sang pangeran

    dipengasingan.

    Dikurung di antara empat dinding tembok suatu benteng kecil,

    terpisah dari keluarganya, diawasi dengan ketat, tak diizinkan

    menulis surat baik kepada Gubernur-Jenderal, maupun kepada

    orang lain, diperlakukan selama delapan belas tahun terakhir

    ini dengan cara-cara yang keras dan kejam yang tidak layak

    dilakukan oleh negeri ini.

    Perjuangan para pejuang Islam seringkali melalui jalan yang

    mendaki, sukar hingga menyakitkan. Tindakan pengurungan,

    pengasingan h ingga pembunuhan bahkan pembantaian

    mengintai langkah-langkah mereka. Inilah sebagian kisahnya.

    Oleh : Beggy Rizkiyansyah

    (Pegia Jejak Islam unuk Bangsa)

    Pejuang Aceh

    Sumber foto: Laffan, Michael. Islamic Nation

    Hood and Colonial Indonesia; The Umma

    Below the winds (2003), New York: Rouledge

    Curzon

    Mereka yang Dilumpuhkan Beggy Rizkiyansyah

  • 8/10/2019 Majalah Jejak Islam No.1 Nov 2014

    18/35

    34 Syajarah Syajarah

    Dalam pengasingannya, ia merindukan sosok ibunya, Raden

    Ayu Mangkorowati untuk menemaninya. Permintaannya agar

    sang Ibu didatangkan ke Makassar tidak pernah dipenuhi.

    Dalam rasa rindu yang begitu dalam kepada ibunya, bilamana

    ada kapal uap memasuki Bandar Makassar, dirinya akan

    menaiki tangga ke lantai teratas untuk menatap lepas ke

    pelabuhan. Guna melihat apakah sang ibu telah tiba. Berharap

    kapal-kapal tersebut akan membawa ibundanya. Sampai akhir

    hayatnya, harapan itu tak pernah tercapai. Sang Pangilma

    perang itu pun wafat sebagai orang yang terasing dari

    bangsanya sendiri dalam kesepian.

    Sungguh, padamnya perang Jawa membuat Pemerintah

    kolonial Belanda, bertindak leluasa. Api peperangan di

    Sumatera Barat yang dikobarkan Haji-Haji Paderi beberapa

    tahun sebelumnya akhirnya semakin redup. Pasukan pemadam

    perlawanan para Tuanku itu kini didatangkan bertubi-tubi. Jawa

    bukan lagi beban yang memberatkan. Kaum Paderi yang telah

    terkoyak serta terpecah menunggu ajalnya.

    nilah pertahanan Paderi yang penghabisan. Setelah

    menyerahnya Tuanku Imam Bonjol, pasukan Belanda

    menggabungkan kekuatannya menggempur Dalu-dalu.

    28 Desember 1838. Sudah 14 bulan lamanya mereka

    berusaha mengepung pertahanan Dalu-dalu. Kurban sudah

    bergelimpangan. Haji Muhammad Saleh, lebih dikenal

    dengan Tuanku Tambusai, adalah sisa dari tokoh Paderi

    yang diburu. Benteng paderi terakhir itu akhirnya benar-

    benar tumbang. Pengikutnya banyak yang gugur ditembaki.

    Sebagian lainnya mundur keluar gerbang. Menuju ke sungai.

    Perahu yang hendak dipakai melarikan diri tak mencukupi.

    Banyak dari mereka yang melompat ke sungai. Esoknya

    banyak yang mati mengambang di sungai itu. Entah ditembaki

    atau karena tenggelam tak pandai berenang. Mereka yang

    berhasil menyeberangi sungai mati dibunuh jua. Tapi Tuanku

    Tambusai tak jelas rimbanya. Menurut cerita yang beredarkemudian, ketika benteng runtuh, ia menyelamatkan diri ke

    sungai dengan menggunakan sampan. Ia kemudian dihujani

    peluru. Melihat bahaya mengancam ia terjun ke dalam air dan

    menyelam. Kemudian menghilang, hingga kini. Yang tersisa

    hanya sampannya. Di dalamnya ditemukan cincin stempelnya.

    Al Quran, dan kita-kitab yang dibawanya dari Mekkah. Dengan

    runtuhnya Dalu-dalu, berakhir sudah perlawanan kaum Paderi

    di sumatera.4

    Api Islam yang menyala-nyala dalam dada ulama dan umat

    memang menjadi biang kerok kemapanan Belanda di

    Nusantara. Tahun 1873, api itu kembali berkobar hebat di

    ujung Sumatera. Perang yang akan berlangsung setidaknya

    hingga 40 tahun kemudian itu membuat keuangan pemerintah

    kolonial terkuras. Kematian Jenderal Kohler pada ekspedisi

    pertama mereka di Aceh, membuat mereka semakin

    mengganas. Pemerintah kolonial tanpa ampun menghabisi

    rakyat aceh yang melawan. . Perang ini dikenal sebagai perang

    pembantai wanita dan anak-anak. Tapi hebatnya, wanita Aceh

    pula yang dikenal tidak punya rasa takut terhadap tentara

    penjajah. Menurut penulis Belanda, Zentgraaf,

    Vrouwen als deze waren er bi j honderden, wellicht duizenden

    (wanita aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan). Di

    lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, en dat de

    vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en

    doodsverachting, yang dalam terjemahan bebasnya berarti

    wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan

    berani mati.5

    Salah satu wanita yang kelak akan dikenang seperti itu,

    adalah istri seorang pria keturunan bangsawan, bernama Cut

    Muhammad. Sang suami yang sedang menunggu eksekusihukuman mati oleh penjajah, berpesan pada istrinya, yang

    sedang menggendong anak mereka, Teuku Raja Sabi.

    Tidak perlu bersedih hati, Cut.

    Allah Maha Adil dan Bijaksana. Apa yang akan saya alami

    adalah rangkaian dari perjuangan. Bukankah sama saja

    artinya bila saya jatuh terkapar di medan pertempuran atau

    mati ditembak? Kedua-duanya adalah dengan peluru musuh.

    lanjutkan perjuangan bersama-sama rekan seperjuangan

    kita.

    setelah aku menjalani hukuman nanti dan idahmu telah

    selesai, kawinlah dengan Pang Nanggro.6

    Pesan seorang suami yang ditaati istrinya beberapa bulan

    kemudian. Menikahlah Pang Nanggro, dengan wanita tadi.

    Wanita itu dikenal dengan nama Cut Meutia. Sedangkan Pang