majalah acehkini #05

52
ACEHKINI Juni 2008 1 JUNI, 2008 Rp. 16.000,- www. acehkini.co.id

Upload: khairul-umami

Post on 20-Jun-2015

436 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Majalah ACEHKINI edisi Juni 2008

TRANSCRIPT

Page 1: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 1

JUNI, 2008 Rp. 16.000,-

www. acehkini.co.id

Page 2: Majalah ACEHKINI #05

2

Page 3: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 3

FIGURA

Daftar Isi No. 05 | I |Juni 2008

Penerbit PT. ACEHKINI Dewan Redaksi Yuswardi AS, Nurdin Hasan, Irfan Sofni, Adi Warsidi Redaktur Mismail Laweueng, Fakhrurradzie Gade Koordinator Liputan Maimun Saleh Wartawan Daspriani Y Zamzami, Fikar AMT, Chaideer Mahyuddin, Fachry, Dedek (Banda Aceh), Imran MA (Lhokseumawe), Halim Mubary (Bireuen), Misdarul Ihsan (Subulussalam) Fotografer Hasbi Azhar, Fauzan Ijazah Keuangan Abdul Munar Penata Letak gepe Ombudsman Stanley Konsultan Nurlis E. Meuko Distribusi Muhammad Yusuf, Akmal Abzal Alamat Jl. Angsa No 23 Batoh, Banda Aceh Telepon 0651.7458793 website www.acehkini.co.id e-mail [email protected]

ARAH

JARU

M JA

M D

ARI K

IRI B

AWAH

: CH

AID

EER

MAH

YUD

DIN

—AC

EHKI

NI;

YO F

AUZA

N —

ACEH

KIN

I; W

IN —

ACEH

KIN

I; CH

AID

EER

MAH

YUD

DIN

—AC

EHKI

NI;

HAS

BI A

ZHAR

—AC

EHKI

NI;

YO F

AUZA

N —

ACEH

KIN

I

Foto Sampul; Chaideer Mahyuddin/ACEHKINI. inset, dari kiri: Yo Fauzan/ACEHKiNi dan Chaideer Mahyuddin/ACEHKiNi.

COVER STORY

HALAMAN | 4 | | 5 | | 6 | | | | | 8 | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | | 20 | | | | | | | | | | 24 | | | 26 | | | | | | | | | | | 29 | | | | | 32 | | | | | | | | | | | | | 37 | | | | | | 41 | | | 43 | | | 45 | | | 47 | | | | | | | | | | 50

4 | SURAT

5 | SALEUM

6 | KOLOM Azhari

8 | ‘Perang Bintang’ dari Bintang Awalnya adalah hubungan kekeluargaan dari Bintang. Belakangan, seorang ‘bintang’ membangkang sebelumperjuangan berhasil digapai.

14 | ‘Saudara Kembar’ dari Barat Selatan Mengikuti Jejak Aceh Louser Antara membelah Aceh. Tapi dukungan dari elit tidak bulat.

FOKUS

EKONOMI &BISNIS

PELESIR

GAYA HIDUP

32 | REKONSTRUKSI Bermula dari Piring Emas

33 | FEATURE Setelah Tanda Luka Terungkap

37 | INDUSTRI Menjegal Andalas Hingga ke Madrid

39 | USAHA KECIL Rezeki dari Pelancong

41 | TRADISI Merawat Tradisi Berat di Ongkos

43 | LINGKUNGAN Kebanggaan dari Pucuk Bakau

45 | OLAHRAGA Dalam Pelukan Ombak

47 | PERJALANAN Macau, Cermin di Selatan Cina

50 | Martunis Dikibuli Tukul

SENI & BUDAYA

ALAM

Kampung Bintang di Aceh Tengah, hal. 8

16 | Kampung Antara di Kutaraja Orang-orang Gayo hidup berdampingan di Banda Aceh. Berharap tak ada diskriminasi.

18 | CATATAN: GayoM Adli Abdullah.

Kampung Antara di Banda Aceh yang dihuni oleh komunitas Gayo perantauan, hal. 16

Sekretariat KP3 ALA

20 | Setelah Secarik Memo Wakil Presiden Jusuf Kallaberada di balik lolosnya partai bekas pemanggul senjata dalam verifikasi. Berkat lobi pada suatu pagi di bulan April.

24 | Main Api Uang Korban Perang Indikasi korupsi di Badan Reintegrasi Aceh diduga melibatkan sejumlah pejabat. Ada yang sedang diperiksa kejaksaan.

26 | ESAI FOTO‘Jalur Sutra’ Soraya

28 | KOLOMRaisa Kamila

29 | Obat Hati dari Turki Di balik kisah sukses siswa sekolah Fatih membawa pulang medali emas dari Turki.

HUKUM

SAINS

NANGGROE

hal. 26

Page 4: Majalah ACEHKINI #05

4

SuratKenapa Majalah ACEHKINI Terlambat Terbit? Saya pembaca setia Majalah ACEHKINI. Isinya sudah sangat bagus dan sudah memenuhi kontek, baik unsur politik, ekonomi, sosial budaya dan lainnya. Apa-lagi majalah edisi khusus yang lalu (Pak Gubenur Irwandi pakai topi koboi). Menu-rut saya, laporannya sudah sangat bagus, mendetil dan lengkap untuk ukuran sebuah majalah lokal. Apalagi jarang ada majalah lokal yang berani melakukan liputan dan investigasi secara mendetil. Saya salut den-gan awak redaksi dalam mengemas sebuah berita menjadi laporan. Dan saya tahu para awak re daksi Majalah ACEHKINI meru-pakan orang-orang profesional di dunia jurnalistik.

Tapi saya sebagai pembaca mau ber-tanya kenapa majalah ACEHKINI terbit-nya lama sekali, selalu tidak tepat jadwal. Bukankah seharusnya majalah ini terbit sebulan sekali. Kok malah dua bulan sekali bahkan ada yang tiga bulan sekali baru ter-bit. Tolong redaksi tanggapannya mengapa ini terjadi. Apa karena para kru redaksi orang-orang sibuk semua. Saya berharap Majalah ACEHKINI tetap jaya dan menjadi majalah lokal yang diperhitungkan di bumi Aceh. Terimakasih.

RidwanBanda Aceh

Tolong Tertibkan Jalan DiponegoroJalan Diponegoro merupakan jalan utama dan jalur padat di pusat perbelanjaan Kota Banda Aceh. Jika kita melewati Jalan Di-ponegoro di waktu sore, tepatnya di depan Pasar Aceh yang sedang direnovasi baunya sangat amis, karena para pedagang ikan dan lainnya jika waktu sore berjualan di sepanjang jalan tersebut. Mereka tanpa bersalah membuang bekas air ikan di jala-nan sehingga mengakibatkan jalan menjadi licin dan bau sangat menyengat, bagaikan kita melewati pasar ikan aja. Padahal jalan itu dilalui banyak orang dan sangat meng-ganggu pengguna jalan.

Kita berharap kepada pihak terkait untuk segera menertibkan para pedagang dan penjual ikan untuk tidak berjualan lagi di sepanjang jalan tersebut. Bila perlu

Malam Renungan AIDS NusantaraPengunjung malam renungan AIDS di Taman Sari, Jum’at (23/5). Acara yang bertemakan ‘Lawan Aids, Bukan Orangnya’ diikuti 14 lembaga dari Aceh dan Medan yang peduli terhadap penyakit mematikan itu. [Chaideer Mahyuddin]

pihak terkait membuat pos khusus di jalan tersebut untuk mengawasi para pedagang agar tidak berjualan lagi di sana.

Kita sangat malu dengan sebutan Se-rambi Mekkah dan mayoritas penduduknya beragama Islam tapi lingkungan kita sangat jorok, bukanlah kebersihan itu sebagian dari iman? Harapan kita semua pihak terkait untuk mendukung kota kita ini menjadi kota yang bersih. Terimakasih atas dimuatnya komentar saya ini.

UsmanBanda Aceh

Perangi AIDS, Bukan OrangnyaLaporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada 2007 memperkirakan ada 1.095 kasus HIV dan AIDS di Nanggroe Aceh Darussalam. Sekteraris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) NAD, Drs. H. Bakhtiar Yusuf, MM meminta masyarakat untuk peduli terhadap pencegahan penyakit human immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) itu.

Dia menyebutkan, meskipun angka tersebut baru perkiraan namun semua pihak harus tetap waspada karena di Aceh saat ini sudah ditemukan 19 kasus yang terdapat di 12 kabupaten/kota. “Berdasarkan perkiraan, apabila ada satu kasus HIV dan AIDS yang terungkap, maka

diduga akan muncul 100 kasus lainnya. Jadi, kemungkinan saja jumlah kasus yang diperkirakan Depkes itu benar. Tapi, kita berharap tidak benar,” kata dia pada jumpa pers panitia bersama Malam Renungan AIDS Nusantara, Kamis (22/5) di Banda Aceh.

Menurut Bakhtiar, data tersebut masih bersifat estimasi populasi resiko tinggi tertular HIV yang dikeluarkan Depkes RI. Data yang dirilis Depkes itu menyebutkan, angka 1.095 kasus itu meliputi penggunaan injection drug user (IDU) atau pengguna narkoba suntik mencapai 1.035 kasus atau 40.9 persen; wanita dengan pekerja sosial (WPS) atau PSK mencapai 42 kasus (5,36 persen); Pelanggan WPS 176 (1.07 persn); Lelaki PS/Gay/LSL mencapai 118 kasus (1.64 persen); dan Narapidana mencapai 33 kasus (3.02 persen).

Kemudian, ada ada juga pasangan IDU dan non IDU yang mencapai 147 kasus (13,58 persen); dan pasangan WPS 27 (0,24 persen) kasus. Sementara itu, untuk pasangan pelanggan waria tidak ditemukan kasus terjangkit virus human immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).

Dikatakan, penyebaran penyakit HIV dan AIDS tidak hanya melalui hubungan seks, tapi faktor resiko yang paling besar adalah melalui jarum suntik, yang

Page 5: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 5

biasanya dilakukan oleh orang-orang yang kecanduaan narkotika.

Ia menyatakan, kasus HIV/AIDS di Aceh mulai terungkap pada tahun 2004, yakni hanya satu kasus, kemudian pada tahun 2007 sudah meningkat lagi menjadi 18 kasus. “Kasus HIV dan AIDS merupakan fenomena gunung es, yakni di atas saja yang kelihatan, sedangkan di bawahnya yang besar tidak kelihatan. Tapi yang paling penting upaya pencegahan dan penyuluhan yang gencar,” katanya.

“Kita juga mendoakan mereka yang telah mendahului kita karena HIV dan AIDS. Kegiatan ini untuk menggugah hati masyarakat untuk lebih peduli akan HIV dan AIDS, meningkatkan kesadaran dan memerangi stigma,” ujar Karimuddin, koordinator MRAN 2008.

Menurut Karim yang didampingi Ko ordinator Aceh Journalist for AIDS (AJFA), Munawardi Ismail, tujuan kegiatan itu di antaranya untuk menunjukkan kepedulian tanpa pamrih dalam memahami dan menyikapi kenyataan HIV dan AIDS di dunia umumnya dan di Indonesia khususnya. Selain juga untuk memberikan dukungan moral kepada orang yang terinfeksi HIV dan AIDS tanpa diskriminasi dari siapapan.

Menurut Karim, begitu sapaan akrabnya, di Indonesia kasus AIDS pertama kali ditemukan tahun 1987. Hingga Desember 2007, terdapat 10.384 kasus AIDS, dengan kasus meninggal sebanyak 2.287. apabila digabungkan data HIV dan AIDS, maka totalnya berjumlah 16.288 orang, ujarnya sambil menyebutkan sumber data dari Ditjen PPM dan PL Depkes RI.

Banda Aceh, 23 Mei 2008Violet Grey, AYOMI, CMPP, YAKITA,

MAP, TAMMI, AJFA, FORHAKA, SEFA, PMI Banda Aceh, WCP, IYP,

Care dan NAD Support Group, American Red Cross dan

Australian Red Cross.

surat/foto untuk redaksi harap dialamatkan ke: [email protected]. id

Saleuem

BAK SEHABIS MENDAKI PUNCAK Everest di Himalaya sana. Begitu pula keringat rakyat saat mendengar kabar pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Sialnya, jauh sebelum itu, harga-harga bahan pokok sudah duluan bergerak. Imbasnya, rakyat dan semua kita harus menerima keputusan pahit nan “sakit” ini.

Kenapa ini terjadi? Teori ekonomi menyapa begini: permintaan dan penawaran berhubungan fungsional satu sama lain. Bila permintaan naik, harga akan naik atau bila penawaran naik, harga akan turun. Atau kalau harga naik, maka permintaan akan turun. Guna mencapai keseimbangan, jumlah permintaan akan sama dengan jumlah penawaran.

Kita, seperti kehabisan teori untuk mengulas ini. Sekalipun menyandang tingkat kesarjanaan ekonomi tertinggi. Atau bahkan lulusan universitas tersohor di Amerika Serikat. Semua itu tak kuasa menghadang laju harga yang membumbung.

Lebih sialnya, posisi kami. Di kala sedang merakit ‘kemesraan’ dengan Anda

pembaca setia, kabar buruk menyergap meja redaksi. Segala kenaikan membuat kepala kami bak rumah robek dihantam tsunami. Boleh jadi lebih parah lagi. Pasalnya, kenaikan harga kertas pun tak bisa terbendung.

Imbasnya harga cetak majalah naik. Praktis, segala menu yang hendak

disaji pun menyebabkan operational cost majalah bertambah. Ini menjadi keputusan sulit, ibarat makan buah simalakama. Maka dengan berat hati kami kabarkan ke pembaca; harga majalah kita terpaksa naik sedikit. Semoga tak membuat kantong pailit. Persentasenya pun tak selangit.

Pembaca, seperti haba di awal tadi, keputusan menaikkan harga bandrol

majalah dari Rp 13.000 menjadi Rp 16.000 adalah bak memanggul ratusan kubik batu kali; berat dan sulit. Keputusan itu pun diambil setelah melintasi diskusi panjang oleh jajaran manajemen ACEHKINI. Tentu saja dengan mengacu pada harga kertas dan biaya cetak semakin mahal.

Di satu sisi, kami menolak menaikkan harga majalah. Tetapi di sisi lain, kami juga tidak bisa bertahan dengan gempuran harga serba mahal. Di tengah zaman serba sulit inilah, kita sama-sama bergelut. Kami tetap senantiasa menyajikan informasi-informasi terkini yang dikupas tuntas, sementara Anda, pembaca kami yang budiman, menyisihkan sedikit uang sarapan pagi untuk ACEHKINI.

Semoga pula kenaikan harga majalah ini tidak mengakhiri kebersamaan Anda dengan kami. Prinsip kami, uang yang Anda sisihkan untuk membeli majalah tak boleh sia-sia. Karenanya, kami terus berupaya mengemas majalah ini melalui liputan-liputan mendalam, yang beda dengan media lain di Aceh. Lihat saja misalnya di edisi ini, Anda kami suguhkan ragam berita.

Ada soal isu pemekaran Provinsi Aceh. Saudara-saudara kita di dataran tinggi Gayo, Singkil, pantai barat-selatan mengumandangkan cerai dengan Aceh. Cerita di balik talak tiga yang dijatuhkan kepada Aceh, kami kemas sebagai laporan utama. Seiring perkembangan kekinian Aceh, kami juga menambah dua rubrik baru.

Dalam cover story, Anda bisa mengikuti perkembangan politik soal partai politik lokal yang didirikan para bekas gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka. Partai ini sudah dua kali ganti nama. Kami menemukan cerita di balik prosesi pergantian nama. Secarik memo dari Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadikan jaminan bagi GAM untuk mengganti nama partai. Ada juga prestasi anak-anak Aceh di kancah internasional, yang bisa Anda temukan di rubrik Sains.

Berbagai laporan menarik lain tersaji dalam edisi yang ada di tangan Anda ini. Selamat menikmati kabar aktual dari kami. Semua disajikan khusus untuk Anda. [a]

Maaf, Harga Naik

Page 6: Majalah ACEHKINI #05

6

KETIKA BENCANA TIBA DI BURMA pada awal bulan Mei 2008, uang tsunami Aceh sudah lama habis. Kuntoro bilang sama Bill Clinton dan Uni Eropa: rekonstruksi beres, ini foto dan laporannya. Korban tsunami terkejut, BRR mau keluar Aceh tahun depan, tapi rumah kami belum selesai dibangun. Lalu korban tsunami datang ke BRR menuntut uang rehab sebesar Rp 15 juta serta menolak alokasi kebijakan Rp 2,5 juta yang ditetapkan BRR. BRR terkejut, masa rumah belum dibangun? Tapi uang tsunami sudah lama habis!

Lalu BRR—bukan justru mengingat ke mana saja uang tersebut sudah mereka habiskan—mempertanyakan apakah warga yang demo itu termasuk korban tsunami seperti yang dilaporkan Pak Kun kepada Clinton dan Uni Eropa? Boleh jadi ini pasti warga yang dihasut oleh partai lokal menjelang Pemilu 2009. Sialan, BRR pikir partai lokal kayak Partai Rakyat Aceh punya uang untuk mengecek siapa yang sudah dapat rumah dan siapa yang belum. BRR lupa—karena tak banyak ahli hitung bekerja di sana, tapi diramaikan oleh tukang rawi konsep—hampir sebagian uang

Rumah dalam Museum

A Z H A R I

Kolom

ILUSTRASI OLEH CEK IS BASRI

tsunami sudah mereka habiskan untuk membayar tukang cek ditambah ahli-bantu-pikir wanna be dan bukan untuk tukang cat.

BRR juga lupa kenapa mereka abai membangun rumah korban tsunami, karena BRR sedang melibatkan diri dalam persekongkolan jahat guna menghancurkan ingatan korban tsunami melalui pembangunan museum tsunami seharga Rp 70 M.

Akhiruddin Gerak, bakal menghitung dengan cepat berapa jumlah rumah korban tsunami yang dapat dibangun andai BRR tak punya ambisi untuk membangun museum ini. Udin yang jujur, BRR yang culas tahu mereka hanya dapat mengakali Bill Clinton atau Uni Eropa, misalnya dengan menunjukkan foto rumah-rumah yang dibangun oleh Pemerintah Turki sebagai rumah yang mereka bangun.

Pembangunan museum itu juga dapat kita sebut dalam rangka mematut wajah BRR di sidang-sidang kebencanaan dunia, panggung tempat BRR biasa berbual: Aceh adalah teladan bagaimana seharusnya uang bencana dikelola, kami tak hanya membangun rumah tapi juga

Rakyat bicara dengan Tuhan,Para borjuis bicara tentang Tuhan

- Kierkegaard

BRR sesungguhnya

sedang berusaha memanipulasi

yang nyata dengan cara

membangun yang transendental.

Page 7: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 7

membangun sesuatu yang transendental seperti museum tsunami, yang tidak akan mungkin didapati dalam proses rekonstruksi di Srilanka dan Thailand.

Memang kalau kita mau melihat lebih terang pada wajah korban bencana Burma hari-hari ini tak secebispun tergambar di sana bahwa mereka membutuhkan museum untuk menyimpan ingatan tentang kegilaan badai nargis. So pathetic, bukankah watak rendah diri kepada tuan kerap terbit sebab terbiasa berkata takabur pada korban tsunami!

Apa lacur, ketakaburan BRR sendirilah yang telah menumbuhkan ratusan ribu museum abadi dalam kepala para

korban tsunami terutama ingatan yang menyangkut sisi-sisi paling kelam dalam proses rekonstruksi di Aceh. Ratusan museum yang tidak dapat ditumbangkan bahkan oleh datangnya tsunami berikutnya itulah yang bakal mengalamatkan kutuk sepanjang dunia ini belum berakhir kepada lembaga yang bernama BRR itu, dan takdir itulah yang ingin BRR cegah dengan membangun museum tsunami.

Jadi jelas sekarang kenapa BRR memutuskan membangun rumah dalam museum daripada membangun museum dalam rumah. Dalam satu museum tsunami BRR berharap dapat mengisi dengan ratusan ribu rumah korban

tsunami yang lupa dibangunnya. Rumah-rumah dalam museum itulah nanti yang bakal melucuti ratusan ribu ingatan korban tsunami tentang ratusan rumah mereka yang belum selesai (atau tak layak) dibangun oleh BRR, sekaligus menjadi ruang untuk memoderasi keputusasaan ratusan ribu korban akibat rekonstruksi yang gagal.

BRR seperti kita ketahui punya banyak jalan untuk membebaskan diri dari audit dan kriminal. Sebagaimana gelapnya kasus pembuatan buku dan proyek film dokumenter. Tapi bagaimanakah caranya untuk lari dari ingatan korban tsunami yang senantiasa mengguncang harga diri BRR di masa-masa mendatang? Pasal tentang itulah yang ingin dihapus BRR dengan mendirikan museum terkutuk itu.

BRR dengan demikian sedang berusaha menyusun fiksi untuk mewakili ingatan korban tsunami dengan jalan mengendalikan tema utama: tsunami yang mengharukan dan rekonstruksi yang berhasil. Saya menduga BRR mengambil ilham pembangunan museum ini dari kegagalan mereka membangun jalur penyelamatan manusia di pemukiman dekat pantai –lintasan tempat orang keluar dengan cepat apabila gempa berkekuatan besar datang.

Di dinding museum tsunami, selain foto-foto yang merangsang hasrat wisatawan bencana, BRR antara lain juga akan memasang foto-foto yang memperlihatkan betapa gigihnya para korban tsunami bertarung melawan nasib buruk mereka. Foto-foto inilah akan menggantikan keputusasaan yang tak dapat ditanggung oleh buruknya kerja BRR selama proses rekonstruksi dengan panorama keharuan. Juga musik yang

meneduhkan apabila kita melintasi ruang-ruang dalam museum

itu. Keharuan dan doa adalah campuran yang meneguhkan bagaimana seharusnya korban tawakal menghadapi bencana dan menerima takdir mereka.

Ketafakuran inilah nanti yang pelan-pelan menutupi segala

keburukan BRR dalam rekonstruksi di Aceh.

BRR sesungguhnya sedang berusaha memanipulasi yang nyata dengan cara membangun yang transendental. Dalam bahasa lain, melalui museum ini BRR sangat jelas sedang

membicarakan nilai-nilai ketuhanan kepada korban tsunami, tapi seperti kita

tahu para korban tsunami kerap berbicara dengan

Tuhannya mengenai satu pasal: betapa celanya BRR. [a]

Page 8: Majalah ACEHKINI #05

8

UTAMA | ACEH LEUSER ANTARA

‘Perang Bintang’ dari BintangAwalnya adalah hubungan kekeluargaan dari Bintang. Belakangan, seorang ‘bintang’ membangkang sebelum perjuangan berhasil digapai.

oleh MAIMUN SALEHFOTO: YO FAUZAN —ACEHKINI

Page 9: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 9

Page 10: Majalah ACEHKINI #05

10

UTAMA | ACEH LEUSER ANTARA

“MEREKA SAUDARA KAMI, BAIK atau buruk tetap kami ikut.” Hasan Aman Usmada mengucapkan kalimat itu tanpa ragu. Di usia yang sudah 68 tahun, dia tetap mengikuti perkembangan politik di kampungnya.

Mereka yang dimaksud Hasan adalah trio bersaudara: Rahmat Salam, Tagore Abubakar Bintang dan Iwan Gayo. Tiga orang ini belakangan dikenal sebagai penggerek bendera ‘calon provinsi’ Aceh Louser Antara (ALA).

Mereka memang berasal dari kampung yang sama dengan Hasan: Kuwala Satu, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah. Hasan mengenang Tagore dan Iwan sebagai putra Abubakar Bintang, tokoh Partai Nasional Indonesia di Aceh Tengah, tahun 50-an. Sedangkan, Rahmat Salam adalah ipar mereka.

Hasan ingat betul, suatu hari Tagore pulang kampung. Hasan girang bukan kepalang. Dia sudah geregetan merasakan lambatnya pertumbuhan ekonomi di kampungnya. Hari itu, dia bermaksud curhat, mempertanyakan pembangunan Bintang. Tetapi, alih-alih mendapat dukungan, Tagore malah memintanya berhenti berpolitik. “Gak usah kakek main politik, urus aja kebun kopi yang serius,” ujar Tagore.

Meski banyak melahirkan ‘bintang’ dalam kancah perpolitikan, Bintang hanya satu potret daerah terpuruk. Nyaris tak terlihat bangunan beton. Kemiskinan

tampak jelas di dinding kayu rumah-rumah warga, rata-rata mulai merapuh disantap rayap. “Lihat meranti penyangga atap rumah saya, itu sudah sejak zaman DI (Darul Islam),” ujar Hasan.

Walau miskin, Bintang kesohor. Pemerintah setempat mempromosikan kecamatan ini jadi lokasi tujuan wisata di timur danau Laut Tawar. Andalannya panorama elok; diapit persawahan, dikelilingi perbukitan dan berhadapan langsung dengan Laut Tawar.

Sayangnya tak disertai infrastruktur memadai. Walhasil, wisatawan langka, warga tak mereguk laba. Di danau indah itu, warga menggantung hidup dari keramba dan menjala ikan depik.

Kendati kemiskinan melilit, Bintang lumayan memproduksi politikus lokal. Janji kesejahteraan saat pemilihan umum, selalu laris di sini. Di Aceh Tengah, kecamatan ini tergolong penyetor anggota legislatif cukup signifikan meski penduduknya berbilang 8.000-an orang.

Kekerabatan yang masih kental juga modal bagi politisi setempat. Walau mengaku tak punya harapan terhadap wakil-wakil yang telah dipilihnya, warga tidak menyesal dan tetap memilih siapapun yang mencalonkan diri menjadi anggota parlemen atau eksekutif dari daerah mereka.

Iwan Gayo, mantan juru bicara pusat Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Aceh Louser Antara (KP3ALA), menduga ramainya politikus di Bintang tak lepas dari keberadaan Kerajaan Lingga. Di sanalah keturunan bangsawan Lingga hidup turun-temurun.

Periode 1999 hingga 2004 setidaknya sembilan kursi di legislatif Aceh Tengah ditempati politikus asal Bintang. Dan kini, ada tiga politisi yang menjadi wakil rakyat setempat. Sayangnya, “Mereka tak peduli kampungnya!” keluh Hasan.

Politik pula yang nyaris merenggut

Ide pembentukan provinsi sendiri di wilayah pedalaman Aceh telah muncul di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Saat DI/TII, Prof Baihaqi AK sempat berbicara dengan Tgk Daud Beureueh tentang rencana pembentukan lima provinsi di Aceh. Tapi, ide itu tidak terwujud karena Jakarta memberikan Daerah Istimewa Aceh setelah lebur dari Sumatera Utara.

1971. Sejumlah tokoh wilayah pedalaman Aceh membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya, yang salah satu misinya mewacanakan pembentukan provinsi baru terpisah dari Daerah Istimewa Aceh.

1976. Hasan Tiro mendeklarasikan Aceh Merdeka. Wacana pembentukan provinsi terpisah dari Aceh sempat tenggelam hingga tahun 1986.

1987. Sejumlah tokoh gagas wacana pembentukan Provinsi GALAKSI (Gayo, Alas, Singkil). Mereka bergerak diam-diam untuk menggalang dukungan.

1989. Para tokoh itu menggagas wacana pembentukan Provinsi GATS (Gayo, Alas, Tamiang, Singkil)

1998. Nama Provinsi Aceh Louser Antara (ALA) diputuskan dalam satu pertemuan di Jakarta.

Pertemuan akbar yang dihadiri para tokoh dari lima kabupaten digelar di Jakarta untuk menyatukan persepsi bagi perjuangan ALA.

Akhir 1999. Wacana pembentukan ALA pertama kali masuk ke DPR RI yang dikoordinir oleh tim 11 yang terdiri atas beberapa tokoh ALA.

12 Juli. Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (KP3ALA) dibentuk, yang dicanangkan oleh sejumlah tokoh.

> 1945-1950an > 1971 - 1976 > 1987 - 1998 > 1999 > 2000 > 2001

Mei. Satu pertemuan rahasia digelar di Brastagi, Sumtera Utara, yang dihadiri para tokoh lima kabupaten untuk mengatur strategi pembentukan ALA. Usul inisiatif dewan pertama kali digulirkan DPR RI. Usul ini diprakarsai Prof Baihaqi AK (anggota dewan dari PPP). Tetapi berakhir di sidang paripurna pada akhir 2004 dan ide ALA kembali tenggelam.

Perjuangan Panjang Membelah Aceh

riwayat Bintang. Juni 1956, saat pemberontakan Darul Islam meletus, Desa Kuwala Satu dan Kuwala Dua hanya kumpulan arang. Hingga menjelang senja, bunga api dan asap masih mengepul. Selanjutnya, warga terpaksa tinggal di gubuk-gubuk reot dalam kebun kopi.

Kisah bermula dari datangnya seorang laki-laki ke Bintang. Dari Takengon,

Hasan, lelaki tua di Kuwala Satu, dihadapkan pada pilihan sulit:saudara mana harus didukung? Sebab, ‘perang bintang’ dari Bintang baru saja dimulai.

KIRI-KANAN: DEDEK —ACEHKINI; YO FAUZAN —ACEHKINI. BAWAH: YO FAUZAN —ACEHKINI

Page 11: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 11

Hanya bentakan serdadu yang terdengar. “Di mana mereka (anggota Darul Islam),” pekik tentara. “Siapa yang kasih makan!” sambung yang lain. Hasan tak bisa melupakan peristiwa itu.

Pasukan Diponegoro berang, interogasi massal gagal menemukan anggota Darul Islam. Lantas, rumah-rumah warga yang telah kosong menjadi sasaran amuk. Entah bagaimana tiba-tiba api tersulut, pemukiman miskin itu musnah. “Bangkit, seorang warga yang mengalami gangguan jiwa meninggal. Ia dalam pasungan dan warga tak diizinkan menolong,” kisah Hasan.

Kuwala Satu rata tanah, namun semangat warga tidak punah. Perlahan-lahan mereka menebas pohon, menurunkan kayu ke desa dan membangun kembali pemukiman.

Lepas dari tragedi Juni kelam 58 tahun silam, Bintang tak bebas dari dampak konflik bersenjata antara pasukan pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Di rimba yang mengelilingi Bintang, perang sering menyalak.

Ekonomi bangkrut. Terlebih sejak tentara mengetatkan aktivitas warga di ladang berbukit. Padahal hampir seluruh warga Bintang menggantungkan hidup dari

23 Agustus. Ribuan warga berunjukrasa di Kantor Bupati Bener Meriah dan Aceh Tengah untuk menuntut percepatan pembentukan ALA.

4 September. Perwakilan masyarakat Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Aceh Singkil dalam pertemuan di Medan mendesak DPR RI mempercepat pengesahan ALA.

28 September. Rancangan Undang-undang Provinsi ALA yang merupakan inisiatif DPR disahkan untuk dibahas.

7 Desember. Ketua Panitia Ad Hoc I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang membidangi masalah pemekaran wilayah mendukung rencana pembentukan ALA.

30-31 Mei. Kongres Pembentukan ALA digelar di Kutacane, ibukota Aceh Tenggara. Rencana kerja dan pendanaan ditandatangani bupati dan ketua DPRD lima kabupaten.

13 Juli. Ketua DPRD NAD, Sayed Fuad Zakaria menyatakan DPRD akan membahas wacana pembentukan ALA dalam rapat panitia musyawarah.

> 2004 > 200523 Agustus. Pimpinan DPRD Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Singkil menolak isi MoU Helsinki antara RI dan GAM. Penolakan disampaikan dalam pertemuan dengan Wakil Ketua DPR RI, Soetardjo Soerjogoeritno. Mereka mendesak pembentukan ALA dipercepat.

4 Desember. Ribuan warga dari 11 kabupaten mendeklarasikan pembentukan ALA dan Aceh Barat Selatan (ABAS) di Basket Hall Senayan, Jakarta.

dia membawa sepucuk info darurat untuk anggota Darul Islam yang berniat menggelar konferensi di sana. “Sudah ketahuan. Jangan lanjutkan!” katanya dengan rupa pucat.

Tanpa pikir panjang, seluruh pengikut Teungku Daud Beureueh meninggalkan Bintang. Selain warga setempat yang tersisa hanya umbul-umbul dan meunasah yang

telah disolek menyerupai aula.Menjelang sore, informasi mata-mata

terbukti. Bintang telah dikurung pasukan Batalyon Diponegoro. Penyisiran dilakukan tanpa desing baku tembak. Seluruh warga dikumpulkan di dua lokasi yakni meunasah dan pusat perkantoran yang kini telah menjadi pasar.

Bintang senyap. Warga membisu.

>

Page 12: Majalah ACEHKINI #05

12 ATAS-BAWAH: WIN —ACEHKINI; YO FAUZAN —ACEHKINI. INSET: HASBI AZHAR —ACEHKINI

21 Juni. Anggota DPR RI asal Aceh, Muhammad Yus, mewacanakan pemindahan ibukota Aceh ke Takengon sebagai upaya meredam aspirasi ALA. Tahun 2001, saat menjabat Ketua DPRD Aceh, dia juga pernah mewacanakan hal serupa, tetapi ditentang banyak pihak.

22 Juni. Penjabat Gubernur NAD, Mustafa Abubakar, menyetujui wacana pemindahan ibukota Aceh dari Banda Aceh ke Takengon.

9 Juli. Sejumlah anggota DPRD Aceh Tengah dan Bener Meriah berangkat ke Jakarta untuk memantau proses pembahasan RUU PA. Mereka berharap pemekaran ALA dimasukkan dalam UUPA. Tapi, upaya itu gagal karena dalam UUPA tak ada pasal soal pemekaran.

22 Januari. Pemekaran ABAS dan ALA kembali masuk DPR melalui usul inisiatif untuk dibahas dalam rapat Paripurna DPR RI.

23 Januari. Gubernur Irwandi Yusuf menentang keras dan berjanji akan melawan setiap upaya pemecahan Aceh.

20 Februari. Sembilan panitia Pembentukan Provinsi Aceh Barat-Selatan (ABAS) yang tergabung dalam Tim Kajian Penyusunan Rencana Umum Tata Ruang Kota Persiapan Ibukota dan Provinsi ABAS mengundurkan diri.

21 Februari. Seratusan kepala desa berunjukrasa di Gedung DPRK Aceh Tengah menuntut percepatan pembentukan ALA.

23-24 Februari 2008. Tokoh masyarakat, politisi, dan pejabat pemerintah menggelar pertemuan di Medan dan mengeluarkan tujuh rekomendasi percepatan pembentukan ALA.

24 Februari. Aksi penggalangan dukungan pemekaran ALA di Rimo, Subulussalam, gagal karena tak ada warga yang membubuhkan tanda tangan di kain putih yang dibentangkan.

25 Februari. Hari Ulang Tahun Kabupaten Bener Meriah keempat diisi dengan pengumpulan ribuan tanda tangan pada spanduk putih yang dibentang di lapangan Pacuan Kuda Desa Karang Rejo, Kecamatan Wih Pesam.

26 Februari. Ratusan kepala desa menggelar unjukrasa di DPRK Aceh Tengah menuntut percepatan pemekaran ALA.

> 2006 > 2008

kopi. Tak ayal, kebun-kebun telantar.Denyut ekonomi mulai berdetak,

setelah perjanjian damai antara pemerintah dan GAM. Saat itu pula, perjuangan pembentukan provinsi baru kembali kuat menguak.

Paling akhir, unjukrasa ratusan kepala desa ke DPR RI di Jakarta, akhir Maret lalu. “Stempel dan lencana jabatan diserahkan ke pemerintah sebagai pertanda pembekuan pemerintahan desa,” kata Iwan Gayo.

Tak sulit bagi Iwan menggalang massa dari Aceh Tengah. Pasalnya, seluruh anggota parlemen merestui. Sementara, di kabupaten tetangga Bener Meriah, yang merupakan wilayah pemekaran dari Aceh Tengah, Tagore yang berkuasa. Dari dua kabupaten inilah, para kepala desa diberangkatkan ke Jakarta.

Pemerintahan desa belum sempat beku, Iwan mendapat kabar pemecatan dirinya dari Ketua Hubungan Masyarakat dan Publikasi KP3ALA. Surat pemecatannya diteken oleh Ketua Umum KP3ALA, Prof Tgk H Baihaki AK dan Sekretaris Jenderal, Burhan Alpin.

Rahmad Salam, Ketua KP3-ALA Pusat,

memvonis Iwan sebagai “pengkhianat.” “Kami menganggap dia sudah innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Dia itu pengkhianat. Kami tidak perlu bertindak kasar terhadap dia karena perjuangan kami lebih mengedepankan perdamaian untuk mencapai keadilan,” ujar Rahmad pada jurnalis ACEHKINI, Nurdin Hasan.

Selain dicap pengkhianat, Rahmad juga menyatakan pihak keluarga mem-parak Iwan. Menurut hukum adat masyarakat Gayo, parak adalah hukuman cukup berat karena telah diusir dan tidak dilibatkan lagi dalam setiap kegiatan keluarga. “Dia sudah dikeluarkan dari keluarga besar kami karena (pengkhianatan) ini yang pertama yang terjadi dalam keluarga kami. Malah kalau dia meninggal, pihak keluarga tidak akan melakukan shalat jenazah kepadanya,” kata Rahmad.

Begitupun, Rahmad mengaku tetap sedih atas desersinya Iwan. Bujukan untuk kembali dalam barisan perjuangan ALA telah diupayakan, “tapi dia tetap ngotot,” kata Rahmad. Hilangnya satu bintang tak menyurut semangat membelah Aceh. Pertengahan Mei lalu, ratusan demonstran ALA menggebrak Jakarta untuk kesekian

Dia sudah dikeluarkan dari keluarga besar kami karena (pengkhianatan) ini yang pertama terjadi dalam keluarga kami. Malah kalau dia meninggal, pihak keluarga tidak akan melakukan shalat jenazah kepadanya.

— RAHMAD SALAM

<

UTAMA | ACEH LEUSER ANTARA

Page 13: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 13

27 Februari. Ketua Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Aceh Barat Selatan (KP3 ABAS), Tjut Agam, dalam pertemuan dengan berbagai komponen masyarakat pantai Barat dan Selatan Aceh, mengatakan rencana pembentukan ABAS yang telah dirintis sejak 2003, diharap terwujud Agustus 2008.

27 Februari. Ribuan warga berparade di Takengon untuk memperjuangkan pembentukan ALA.

10-25 Maret. Ratusan kepala desa dari Aceh Tengah dan Bener Meriah berunjukrasa di beberapa lokasi di Jakarta, menuntut percepatan pembentukan ALA.

28 Maret. Ketua DPRK Aceh Selatan, Abdul Salam, mengatakan pihaknya mendukung pemekaran ABAS.

10 April. Ratusan kepala desa berunjukrasa di DPRK Bener Meriah untuk menuntut percepatan pembentukan ALA.

11 April . Iwan Gayo, yang menjabat Ketua Humas dan Publikasi Komite Persiapan Pembentukan Provinsi ALA (KP3ALA) bertemu Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Setelah pertemuan itu, Iwan Gayo diangkat menjadi Ketua Komite Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Aceh (KP2DTA).

12 April. Iwan Gayo dipecat dari kepengurusan KP3 ALA karena dianggap sebagai ”pengkhianat.”

3 Mei. Wakil Ketua Komisi II DPR, M Fachrudin menyatakan seluruh persyaratan pembentukanALA dan ABAS sudah terpenuhi seperti jumlah penduduk, cakupan wilayah, potensi ekonomi dan kajian akademis.

13 Mei. Ketua DPR RI, Agung Laksono, menyatakan dari 21 RUU pemekaran, hanya delapan yang sudah paripurna, tapi tak termasuk ALA dan ABAS. Begitupun, Komisi II DPR RI sepakat melanjutkan pembahasan RUU ALA dan ABAS.

12-14 Mei. Ratusan demonstran berunjukrasa di depan Istana Wapres, Depdagri dan DPR RI untuk menuntut percepatan pembentukan ALA. 10 demonstran nekat menerobos Istana Negara sehingga ditangkap dan diperiksa polisi selama beberapa jam. Tapi, akhirnya dibebaskan.

Saya ingin terlibat membangun daerah pedalaman Aceh. Kesejahteraan lebih penting bagi rakyat. Setelah itu, baru bicara pemekaran lagi.

kalinya. Malah, ada yang nekat menerobos Istana Negara.

Rahmad mengibaratkan keluarnya Iwan Gayo dari KP3ALA bagai “hilang segelas air di tengah lautan luas”. “Tokoh-tokoh masyarakat adat Gayo di Jakarta menyatakan bahwa kehilangan Iwan Gayo sama dengan hilangnya segelas air laut tawar, “ ujar Rahmad.

Mengapa Iwan dicap pengkhianat? Penulis Buku Pintar ini dianggap telah membangun kerjasama dengan ‘musuh’ yang menentang upaya pembentukan provinsi pecahan dari Nanggroe Aceh Darussalam. Siapa lagi kalau bukan Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh. Tak hanya itu, Iwan mendapat jabatan baru: Ketua Komite Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (KP2DT).

Iwan Gayo punya cerita soal ini. Menurutnya, hari kedua demo di Jakarta, Maret lalu, telepon genggamnya berdering. Di ujung telepon, seseorang yang mengaku bernama Elfian, putra Lhoknga yang memimpin Greenomic Indonesia di Jakarta, mengajaknya berdamai. “Pak Iwan, mari kita dialog, bagaimana bersama-sama membangun Aceh,” kata

Elfian seperti ditirukan Iwan Gayo. Saat itu, kata Iwan, Elfian mengaku utusan Gubernur Irwandi.

Elfian yang dihubungi ACEHKINI hanya tertawa saat ditanya apakah dirinya diutus gubernur. “Ini bukan soal diutus atau tidak, tapi bagaimana kita sama-sama membangun Aceh,” ujarnya.

Awalnya, Iwan tak merespon ajakan itu. Prinsipnya, “Sekali layar terkembang, surut kita berpantang”. Namun, beberapa hari kemudian, setelah upaya pengembalian stempel kepala desa tak berhasil, Iwan patah arang. Tak lama, diantar Elfian, dia balik ke Banda Aceh menjumpai gubernur. “Saya ingin terlibat membangun daerah pedalaman Aceh. Kesejahteraan lebih penting bagi rakyat. Setelah itu, baru bicara pemekaran lagi,” ujarnya. Walhasil, satu bintang kini bersama Irwandi.

Akibatnya, warga Bintang kini seakan berada dalam dilema. Hasan, lelaki tua di Kuwala Satu, dihadapkan pada pilihan sulit: saudara mana harus didukung? Sebab, ‘perang bintang’ dari Bintang baru saja dimulai.[a]

— IWAN GAYO

Page 14: Majalah ACEHKINI #05

14

‘Saudara Kembar’ dari Barat Selatan

hanya tersenyum saja ketika ditanya soal itu. “Tjut Agam (tokoh pemekaran ABAS) pernah mengajak saya membantu, tapi saya menolak secara halus,” sebutnya.

“Yang penting bagaimana sekarang kita bersatu padu membangun Aceh, bukan mem bahas hal yang tidak terlalu perlu,” ujarnya.

Informasi tak menyentuh sampai ke akar. Malah, ada warga yang tak tahu soal ABAS. Teungku Rusbini, pimpin an pesantren Al-Ridha, Aceh Selatan menga-takan tak begitu paham tentang isu pe me -karan. Dia hanya sering mendengar bahwa ada sebagian pejabat yang memperjuangkan pemekaran, yang katanya untuk kesejahte-raan rakyat di wilayah barat selatan.

Tapi, Rusbini tak ambil peduli. “Bagi saya, yang penting aman dan damai saja, dengan begitu perlahan masyarakat akan sejahtera. Saya tak tahu pemekaran itu.”

***

oleh ADI WARSIDI

SPANDUK ITU TERENTANGsepanjang jalan, dari Calang, Aceh Jaya sampai Tapak Tuan, Aceh Selatan. Latar putih dengan tulisan hitam, umumnya pesan adalah ajakan mendukung sebuah pemekaran provinsi baru; Aceh Barat Selatan (ABAS).

Sekejab, bertebaranlah kain-kain itu. Seakan sudah seperti provinsi baru. Di sebuah persimpangan Kota Meulaboh, Aceh Barat, misalnya; sebuah spanduk melekat erat pada pagar sebuah bangunan. Mudah terlihat, ‘Selamat Datang Provinsi ALA & ABAS’. Bagi yang tak paham dan baru berkunjung ke wilayah itu, ini adalah provinsi baru.

ABAS mengklaim wilayahnya terdiri atas enam kabupaten; Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulu.

Berhitung hari, satu persatu spanduk lenyap pada tempat-tempat sunyi dan mudah dijangkau. Yang tertinggal hanya

di tempat ramai dan susah dimusnahkan. Pemuda di Aceh Jaya menurunkannya sebagian, lalu sebagian Aceh Barat sampai ke Aceh Selatan.

“Kami sendiri yang menurunkan spanduk-spanduk pemekaran ABAS itu, karena kami tak setuju. Malam dinaikkan, siang kami turunkan,” kata Safrizal kepada ACEHKINI. Dia warga Bakongan, Aceh Selatan dan orang dekat Teungku Abrar Muda, bekas Panglima Muda GAM wilayah tersebut.

Tak heran, di Bakongan tak ada span-duk berkibar. Kata Safrizal, warga di sana tak setuju jika wilayah itu pisah dari Aceh. Karena pemekaran hanya kepentingan para segilintir elit politik di wilayah tersebut. “Kami hanya meminta Bakongan dan seki-tarnya pisah dengan Aceh Selatan, peme-karan kabupaten,” sebutnya.

Waled Marhaban, Pimpinan Pesantren Raudhatul Muna, Aceh Selatan tak menolak secara langsung pemekaran ABAS. Dia

DARI ATAS: ADI WARSIDI —ACEHKINI; YO FAUZAN —ACEHKINI

UTAMA | ACEH LEUSER ANTARA

Mengikuti Jejak Aceh Louser Antara membelah Aceh. Tapi dukungan dari elit tidak bulat

Page 15: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 15

‘Saudara Kembar’ dari Barat Selatan

ISU PEMEKARAN PROVINSI ABAS mencuat ke permukaan bersamaan dengan Aceh Louser Antara (ALA). Mereka telah mendeklarasikan bakal provinsi itu sejak akhir 2005 lalu di Jakarta. Belakangan ini, isu itu semakin mencuat setelah DPR-RI merancang draft UU pemekaran provinsi tersebut.

Wakil Bupati Aceh Barat, Fuadri menilai momentum pemekaran tak diperlukan sekarang. “Bukan perkara setuju dan tak setuju, tapi belum saatnya. Masyarakat tak penting itu, yang penting adalah akses kebijakan untuk kesejahteraan,” sebutnya.

Dia menyebutkan isu pemekaran lebih kepada persoalan politik elit. Dampaknya juga untuk sebagian orang saja. Penilaian-nya, ada orang-orang yang getol memper-juangkan Provinsi ABAS karena merasa ka-lah bersaing nantinya dengan tokoh-tokoh lokal di Aceh, setelah pemerintah melegal-kan partai lokal.

Tak setuju juga diungkapkan Wakil Bupati Aceh Jaya, Zamzami A Rani. “Kalau pun pemekaran jadi, sepertinya Aceh Jaya bergabung saja dengan Jantho (Aceh Besar),” sebutnya.

Dia optimis, masyarakat Aceh Jaya tak pernah setuju dengan pemekaran itu. Soal spanduk yang juga bertebaran di sana, Zam-zami menyebut itu dipasang oleh orang-orangnya Tjut Agam. “Dia memakai orang-orang Forkab (Forum Komunikasi Anak Bangsa) untuk naikkan spanduk. Forkab itu kan tidak pas dengan KPA,” sebutnya.

Forkab adalah organisasi yang umumnya terdapat para mantan GAM yang menyerah semasa konflik dulunya. Sementara Komite Peralihan Aceh (KPA) adalah lembaga gerilyawan GAM yang tetap eksis melawan republik sampai damai ada, 15 Agustus 2005 silam.

Kondisi penolakan tak berpengaruh pada komentar yang dilontarkan Ketua Komite Persiapan Pembentukan Provinsi (KP3) ABAS, Tjut Agam. Dia optimistis pada perjuangannya. Bahkan dia berani mengklaim dukungan tokoh dan masyara-kat terhadap provinsi ABAS sangat besar, sekitar 95 persen. “Ini aspirasi masyara-kat,” sebut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Barat itu.

KP3 ABAS berpusat di Meulaboh, sementara untuk kabupaten berpusat

di ibukota masing-masing. Pelantikan pengurusnya telah dilakukan pertengahan Maret lalu. Tjut Agam dan tokoh ABAS juga terus berusaha melobi Jakarta untuk kepentingan pemekaran tersebut.

Lahir di Kaway XVI, Tjut Agam sudah berusia 69 tahun. Tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), dia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sampai pensiun, dia memilih jalur politik lewat Golongan Karya (Golkar). Jadilah Tjut Agam politisi di Aceh Barat. Dia memimpin Golkar di sana dalam tiga periode, dari tahun 1993 sampai 2004. Kini dia penasehat partai.

Di dewan, Tjut Agam juga beruntung. Dia memegang tampuk ketua dewan Aceh Barat para tahun 1997. Kini dia duduk sebagai wakil ketua. Soal ABAS, dia optimistis berjuang sampai akhir.

Soal spanduk yang diturunkan warga, Tjut Agam menilai karena adanya sebagian orang yang tidak senang dengan isu peme-karan ABAS. Dia tak memungkiri kalau geliat ABAS kalah dibandingkan dengan ALA. Tapi katanya, “ABAS tak bisa dipisah-kan dari ALA, kami layaknya saudara kem-bar, satu pisah yang lainnya juga ikut.”

Kendati perlawanan di sana-sini, belum ada gesekan yang berbuah kekerasan antar-pendukung. Penolakan dari barat masih sebatas menaikkan dan menurunkan spanduk. [a]

Page 16: Majalah ACEHKINI #05

16

DULU DAERAH ITU DIKENALdengan nama Lampoh Cina. Tak ada rumah warga di lahan yang dipenuhi semak belukar, hingga pada tahun 1980-an seorang perwira polisi membeli rawa-rawa itu. Abdul Kadir namanya. Ia orang Gayo. Polisi yang bertugas di bidang pelayanan Surat Izin Mengemudi itu lalu membangun rumah bagi keluarganya.

Awalnya, hanya Kadir dan beberapa kerabatnya yang menghuni kompleks baru itu. Seiring perjalanan waktu, warga di kompleks kian bertambah. Terhitung ada 12 kepala keluarga atau sekitar 60 jiwa warga keturunan Gayo bermukim di sana, termasuk empat anak Abdul Kadir. Daerah

itu menjadi kompleks keluarga. Tak heran, setelah Kadir meninggal, warga kompleks menabalkan namanya sebagai nama lorong.

Kompleks Abdul Kadir kerap jadi tempat persinggahan bagi warga Gayo yang datang ke Banda Aceh. Putra-putri Gayo yang sedang menempuh pendidikan di Banda Aceh juga banyak yang ngekos di sini. Abdul Kadir dikenal sebagai pribadi berjiwa sosial tinggi. Menurut Sulaiman, warga Gayo yang menetap di sana sejak 29 tahun silam, jiwa sosial Abdul Kadir bukan hanya bagi warga Gayo, tapi juga dari warga dari suku lain. “Bapak tidak pernah pilih orang dalam bergaul,” kata Asnah, anak sulung Kadir kepada ACEHKINI, awal Maret lalu.

Lorong Abdul Kadir yang terletak di Jalan Keusyik Amin Beurawe, Kecamatan Kuta Alam, adalah salah satu kompleks war-ga Gayo di Kutaraja. Berjarak sekitar 320 ki-lometer dari tanah leluhur, komunitas Gayo tidak pernah melepaskan identitas mereka. Suatu sore di bulan Maret, saat ACEHKINI bertandang ke Lorong Abdul Kadir, suasa-na Gayo sangat terasa. Empat remaja putri bercengkrama di ayunan di serambi rumah bercat putih. Mereka asik bercengkrama dalam bahasa Gayo. Di sudut penghabisan lorong, di bawah pohon jambu, seorang pemuda memetik gitar, menyanyikan lagu khas mereka. “Linge-linge basu linge,” salah satu bait yang sempat terekam.

Kampung Antaradi Kutaraja

Orang-orang Gayo hidup berdampingan di Banda Aceh. Berharap tak ada diskriminasi.

oleh ARIF SURAHMANdan JAMALUDDIN

CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

UTAMA | ACEH LEUSER ANTARA

Page 17: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 17

Kebiasaan suku Gayo “mengasingkan” diri dalam sebuah komunitas tersendiri sering dianggap orang sebagai sikap warga negeri Antara yang tertutup. Padahal, menurut Sulaiman, orang Gayo sangat terbuka. Lihat saja kemajemukan warga di Aceh Tengah dan Bener Meriah. “Ada orang Aceh, Pidie, Jawa, dan Padang. Tidak ada masalah, mereka bisa hidup berdampingan,” kata lelaki 55 tahun itu.

Walaupun membentuk komunitas Gayo di perantauan, tapi mereka tidak lantas menutup diri dengan warga sekitar. Menurut Asnah, putri almarhum Abdul Kadir, selama ini hubungan antara komunitas Gayo dengan warga asli Beurawe sangat harmonis.

Mereka selalu mengundang warga jika ada acara di komunitas, begitu juga sebaliknya. Bukti lain, beberapa penyewa di kompleks Abdul Kadir merupakan warga Sigli dan Bireuen.

“Warga Gayo bisa menyesuaikan diri dengan baik,” kata Lurah Beurawe Ahmad Wahab saat ditanya hubungan antara warga Beurawe asli dengan suku Gayo.

Kampung Antara tak hanya di Beurawe. Di Desa Doy, Kecamatan Ulee Kareng ada tujuh keluarga Gayo menetap. Ada juga 15 keluarga yang tinggal berdampingan di Desa Ie Masen kecamatan yang sama. Rumah mereka saling berdekatan. Di Desa Doy, kebanyakan tinggal di Dusun Kapai Kleng dan Ade. Hubungan mereka dengan warga sekitar harmonis.

Erlisa, warga Desa Doy keturunan Gayo, mengaku orang Gayo sudah tinggal berkelompok. Penyebabnya, kata dia, lebih karena mereka kompak satu sama lain di perantauan. Apalagi mereka punya paguyuban seperti Keluarga Laut Tawar dan Keluarga Negeri Antara.

Dia mengaku belum pernah diajak pihak Komite Persiapan Pemekaran Provinsi Aceh Louser Antara (KP3 ALA) untuk mendukung pemisahan kawasan dataran tinggi Gayo dari Aceh. Jamhuri malah mengajak KP3 ALA dan Pemerintah Aceh untuk duduk bersama untuk mencari solusi terbaik bagi permasalahan yang membelenggu kawasan Gayo.

Menurutnya, dataran tinggi Gayo yang tediri atas Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan ditambah Aceh Singkil, serta Kota Subulussalam, memang masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di Aceh pesisir, terutama bidang pendidikan, transportasi, dan jalur komunikasi. “Pemerintah harus diskusi dan memahami apa yang mereka minta. Juga masyarakat Aceh Tengah harus memahami apa yang mereka tuntut,” kata dia.

Jika Jamhuri memilih bersikap netral, tidak demikian dengan Sukardi. Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala ini malah terang-

Dua paguyuban ini sering dijadikan war-ga Gayo di perantauan untuk berkumpul dan berbagi informasi. “Kami menyebutnya ber-sesawahan. Jadi informasi itu berantai dari satu keluarga ke keluarga lain,” kata dia.

Bersesawahan inilah yang dipakai saat ada asoe lhok (penduduk asli) mau menjual tanah. “Makanya, waktu beli tanah bersama-sama,” katanya, tersenyum.

Lantas berpengaruhkah perjuangan sebagian masyarakat di Negeri Antara untuk memisahkan diri dari Aceh terhadap komunitas Gayo. “Kalau saya diajak oleh KP3ALA, saya kebingungan menjawabnya,” kata Jamhuri, dosen IAIN Ar-Raniry, kepada ACEHKINI.

terangan mendukung pemekaran. “Gayo jauh dari kota provinsi dan sulit dijangkau, wajar kalau meminta pemekaran,” ujarnya. “Saya berharap pemerintah mau memberikan itu (pemekaran). Sumberdaya alam yang ada akan mampu menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga di sana.”

Di Lorong Abdul Kadir, Sulaiman, tidak hirau pada hiruk pikuk politik di tanah kelahirannya. Bagi dia, bisa hidup tenang saja sudah lebih dari cukup. Tapi dia berpesan agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan masyarakat, tak hanya di dataran tinggi Gayo, tapi juga di kawasan lain. “Yang penting tidak ada diskriminasi,” kata Sulaiman. [a]

Page 18: Majalah ACEHKINI #05

18

Jadi, artikel ini dalam rangka menerus-kan impian saya untuk membangun Aceh sebagai sebuah kesatuan utuh dan tidak ada keinginan pihak manapun untuk ber-pisah sebagai orang Aceh. Dalam sejarah disebutkan, suku Gayo adalah penduduk negeri Pasai yang lari ke hulu sungai Peu-sangan karena tidak mau masuk agama Islam (Russel Jones, 1999; Hill, A.H 1960). Cerita ini bermula pada saat Syech Ismail dari Mekkah datang ke Samudra Pasai dan mengislamkan Meurah Silu yang kemudian bergelar Malikussaleh. Setelah Meurah Silu diislamkan, Syech Ismail memintanya me-ngumpulkan segala hulubalang dan rakyat Samudra Pasai untuk memeluk agama Is-lam. Di samping Meurah Silu, saat itu juga memeluk Islam Tun Seri Kaya yang bergelar Sayid Ali Ghiyatuddin dan Tun Baba Kaya bergelar Syech Semayamuddin. Sedangkan sebagian penduduk yang tidak mau masuk Islam mengungsi ke pedalaman hulu Peu-sangan nama lain dari Negeri Gayo.

Untuk menggambarkan suku bangsa yang ada di Aceh sewaktu pemerintahan kerajaan Aceh dinukilkan dalam hadih maja Aceh sebagai berikut “sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, sukee ja sandang jeurah haleuba, sukee tok bate na bacut-bacut, sukee imuem peut yang gok-gok donya”. Belakangan saya tahu kalau hadih maja ini dilantunkan oleh penyanyi Aceh, Rafly. Ha-rus diakui, tak banyak yang pa ham makna hadih maja tersebut. Sukee di sini berarti suku sehingga hadih maja ini menggambar-kan beragamnya suku yang ada di Kerajaan Aceh Darussalam tempoe doeloe, yang ber-hasil disatukan oleh Sultan Alaidin Riayat-syah Al Qahhar (1537-1565).

Orang Gayo dikelompokkan dalam suku lhee reutoh yang diumpamakan aneuk drang, yang berarti seperti pohon padi yang tumbuh kembali setelah musim panen. Bahasa lainnya adalah sebuah

G a y oM ADLI ABDULLAH

Catatan

Dewan Kehormatan international Collective Support of Fishworkers, Brussel, Belgia

Saya pernah bermimpi bahwa Aceh adalah satu suku yang tidak pernah dipisahkan oleh alasan apapun. Mimpi ini saya dapatkan ketika

berkeliling Aceh dan beberapa negara, bahwa Aceh selalu dianggap sebagai satu suku bangsa. Jadi, semua etnik yang ada di Aceh adalah suku bangsa Aceh. Saya sendiri mungkin memiliki darah dari India atau Arab, tapi saya tak pernah menganggap diri sebagai orang India atau Arab, saya tetap mengaku saya adalah orang Aceh. Namun kadang impian saya itu hilang, jika ada satu etnik di Aceh yang ingin memisahkan diri dari suku bangsa Aceh. Impian saya membangun Aceh untuk sebuah identitas bersama, ternyata terganggu oleh munculnya sikap sebagian orang yang ingin keluar dari Aceh. Impian saya ini sebenarnya sama dengan impian orang Jepang ketika mereka membangun negeri dari kepungan bom Hiroshima dan Nagasaki, walaupun mereka memiliki beberapa suku bangsa, tetapi mereka tetap mengaku orang Jepang.

Jika saja Snouck hidup kembali, tentu dia akan

menasihati agar Gayo dan Alas tetap bersatu,

karena ka wasan inilah yang paling

disegani oleh para pasukan Belanda.

DARI ATAS: DOK —PRIBADI; YO FAUZAN —ACEHKINI

Page 19: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 19

penggambaran tentang suku tiga ratus ini banyak sekali dibandingkan dengan suku-suku lainnya yang ada dalam Kerajaan Aceh. Dalam kelompok suku tiga ratus ini termasuk orang-orang Batak Karee yang berdomisili di Lampanah dan Mantee di Lamteuba, Aceh Besar. Sedangkan pen-datang dari India yang masih beragama Hindu dan kawin dengan penduduk asli Aceh mereka tidak digolongkan dalam suku tiga ratus, tapi dikelompokkan dalam suku Ja Sandang. Arab, Cina, Jawa, Bugis, Turki. Bagi mereka yang sudah memeluk Islam dikenal dalam suku tok batee dan imuem peut sebagai kelompok terakhir. Mereka yang sering dilukiskan sebagai pahlawan dalan sejarah perpolitikan kerajaan Aceh.

Pada masa Kerajaan Aceh Darussalam sudah begitu kuat dan Aceh menjadi lima besar negara Islam di dunia bersama Turki Usmani, Marokko, Iran, Agra India. Sultan berhasil mengeratkan hubungan keempat suku ini dengan salah satu cara melalui politek meubisan, seperti Sultan Iskandar Muda (1607-1636) kawin dengan Putri Gayo yang melahirkan Meurah Pupok, sultan pernah menikah dengan Putri Sani dari Ribee, Pidie, melahirkan Ratu Safiatuddin dan Iskandar Muda naik pelaminan dengan Putri Kamaliah (Putroe Phang), adik Sultan Ahmadsyah Pahang (Malaysia), tetapi tak memiliki keturunan.

Perkawinan ini sebenarnya politik ke-rajaan untuk menyatukan negeri-negeri yang sudah takluk ke Kerajaan Aceh Da-russalam. Di samping politek meubisan untuk menyamakan persepsi antara keem-pat suku itu, juga dilakukan desentralisasi kekuasaan raja dengan membagi kekuasaan di Aceh berdasarkan kehulubangan dan keudjroeen sehingga wilayah dataran tinggi Aceh dibagi ke dalam Radjo Tji’ Bobasan, Keu djroeen Boekit, Keudjroeen Siah Oeta-ma, Keudjroeen Linggo. Keudjroeen Aboe’, Gajo Loeos, Keudjroeen Petiambang, Keud-jroeen Bambel dan Keudjroeen Poeloe Nas. Hal serupa juga dilakukan di wilayah tak-lukan Aceh lainnya di Semenanjung Tanah Melayu seperti Perak, Pahang dan Johor.

Kilas balik sejarah seperti ini penting diangkat kembali ke permukaan, sebab satu hal yang cukup menarik untuk diingat, Aceh selalu menjadi rebutan bangsa asing. Pertanyaannya adalah mengapa Aceh begitu penting buat bangsa asing. Dalam hal ini, saya teringat Raffles pernah menasihatkan Pemerintah Inggris pada abad ke 19 dengan kalimatnya “a country like Acheh by military operation will be lost and nothing to gain”. Akibatnya, Inggris tetap menganggap Aceh sebagai negara strategis di kawasan Selat Malaka dan meminta Belanda menghormati kemerdekaan Aceh dalam perjanjian antara Belanda dan Inggris di London pada tahun 1824. Perjanjian itu dikenal dengan nama London Treaty.

Pascaperang Aceh Belanda 1873-1942Menurut buku-buku bacaan yang saya

dapat, sebenarnya Belanda tidak begitu berminat menguasai Kerajaan Aceh, apalagi pada saat itu Aceh tidak memiliki sumber daya alam yang menggiurkan seperti se-karang. Cuma Belanda menganggap Aceh menjadi benalu bagi eksistensi bisnisnya di Selat Melaka. Akhirnya, Belanda berusaha melobi Inggris untuk merevisi London Treaty 1824 dengan tawaran Gold Coast (Pantai Gading) di Afrika akan diserahkan ke Inggris bila bersedia merevisi traktat tersebut yang salah satu pasalnya mengakui eksistensi Kerajaan Aceh dan melarang Belanda mengintervensi ke Aceh.

Tahun 1870, Inggris tertarik dengan tawaran Belanda dan mengadakan pakatan baru dengan nama Traktat Sumatra (Su matra Treaty). Traktat inilah yang menyebabkan Belanda begitu bersemangat untuk menaklukkan Aceh. Genderang perang pun ditabuh pada tanggal 26 Maret 1873. Tapi apa lacur, perang ini menjadi perang terpanjang dalam sejarah perang kolonialnya, dengan cost yang harus dibayar mahal oleh Belanda. Salah satu wilayah yang sangat sulit ditakluki Belanda adalah dataran tinggi Gayo dan Alas sehingga dalam Seminar Perjuangan Aceh yang dilaksanakan di Medan, 22-25 Maret 1976, seorang pemakalah, T Cut Amat, menulis pejuang-pejuang Aceh dari dataran tinggi Gayo dan Alas sebenarnya sudah sejak puluhan tahun lalu telah bergelimang di medan jihad bersama-sama dan bahu-membahu dengan patriot Aceh lainnya baik dari pesisir barat dan timur.

Pada 1902, Prof Dr Snouck Hurgronje menulis laporan kepada Pemerintah Be-landa di Amsterdam, bahwa ada wilayah Aceh di kawasan bukit barisan yakni Gayo dan Alas yang belum pernah tertakluk oleh pasukan Belanda. Kawasan ini, menurut dia, menjadi basis pejuang Aceh dalam menyerang Belanda. Laporan ini sangat menggusarkan Van Heuts, panglima perang Belanda di Aceh. Maka, setelah membumi-hanguskan Batee Iliek (Kabupaten Bireuen sekarang), dia memerintahkan pasukannya bersiap-siap menyerang Gayo dan Alas dan menunjuk Overste GCE Van Daalen sebagai panglima operasi. Belanda telah mengerah-kan pa sukan di dataran tinggi Aceh untuk menyerang masyarakat Gayo dan Alas sejak 8 Februari 1902 sampai 23 Juli 1904 dalam perang ini Van Daalen hanya berucap “me-nyerah ataupun semuanya mati.”

Tetapi masyarakat Gayo dan Alas tak gentar dengan ancaman Belanda dan mereka terus berjuang mempertahankan bumi Iskandar Muda walaupun beberapa ulee balang di pesisir telah menandatangani korte verklaring dan menyerah kepada Belanda. Orang-orang Gayo dan Alas tetap setia mengikuti seruan ulama-ulama besar

Aceh yang sekaligus pemimpin perang Aceh melawan Belanda seperti Tgk Syik Di Tiro, Tgk Syik di Awe Geutah, Tgk Syik Paya Bakong, Tgk Syik Seupot Mata, dan lain-lain. Selain para ulama besar itu, Sultan Muhammad Daudsyah—yang akhirnya di-buang ke luar Aceh dan meninggal pada 4 Februari 1939 di Jatinegara, Jakarta—pernah memimpin pergerakan di dataran tersebut.

Van Daalen dan tentara Marsose (pasukan elit Belanda) melancarkan operasi di dataran tinggi Aceh selama dua tahun. Akibat operasi sapu bersih itu, tak kurang dari 2.902 masyarakat Gayo dan Alas syahid. Adapun sekitar 1.159 korban perang ini terdiri dari perempuan dan anak-anak. Agaknya, peristiwa ini menjadi salah satu kejahatan perang yang pernah dilakukan oleh Belanda di bumi Serambi Mekkah.

Baru pada tahun 1922 Belanda berhasil mengusai penuh dataran tinggi Aceh terse-but dan membagi daerah Gayo dan Alas ke dalam delapan keudjroeen (kerajaan negeri) dan empat ondeafdeeling melalui Statblaad 1922 No 451 yaitu Onderafdeeling Takengon yang terdiri dari Radjo Tji’ Bobasan, Keud-jroeen Boekit, Keudjroeen Siah Oetama, Keudjroeen Linggo. Onderafdeeling Serbod-jadi terdiri dari Keudjroeen Aboe’. Onder-afdeeling Gajo Loeos terdiri dari keudjroeen Petiambang dan Onderafdeeling Alas terdiri dari Keudjroeen Bambel dan Keudjroeen Poeloe Nas.

Jadi, sebenarnya aset Aceh adalah wilayah Gayo dan Alas. Walaupun daerah ini terlambat dalam pembangunan—setelah Aceh menjadi sebuah provinsi dalam negara baru yang bernama Indonesia—namun kawasan ini tetap menjadi tempat kesayangan, sebab tanahnya yang subur. Mereka tidak perlu sibuk memikirkan arus situasi modernisasi yang sedang melanda Aceh saat ini.

Impian saya selanjutnya adalah wilayah Gayo dan Alas ini tetap menjadi ikon orang Aceh asli yang tetap berwibawa. Dan kita berharap orang Gayo dan Alaslah yang mampu menjadi ‘penjaga gawang’ terakhir identitas Aceh di muka nasional dan internasional. Jika saja Snouck hidup kembali, tentu dia akan menasihati agar Gayo dan Alas tetap bersatu, karena ka-wasan inilah yang paling disegani oleh para pasukan Belanda. Demikian pula, jika arwah syuhada itu hidup kembali, tentu mereka bertanya kenapa kami ingin dipisahkan ketika merdeka, padahal saat kami berperang, karena tetap ingin mempertahankan harga diri sebagai orang Aceh. Jadi sebenarnya bagi saya, orang Gayo dan Alas mau pisah, silahkan saja, tetapi amanah syuhada tetap harus diperhitungkan. Jangan kemudian Aceh ini menjadi pecah karena kita ingin keluar dari identitas kita sendiri. [a]

Page 20: Majalah ACEHKINI #05

20

Setelah Secarik Memo Wakil Presiden

oleh YUSWARDI ASdan FAKHRURRADZIE GADE

Jusuf Kalla berada di balik lolosnya partai bekas pemanggul senjata dalam verifikasi. Berkat lobi pada suatu pagi di bulan April.

CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

COVER STORY | PARTAI LOKAL

Page 21: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 21

ADNAN BEURANSAH AKHIRNYA bisa menarik nafas lega. Akhir bulan lalu, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia memutuskan partainya lolos verifikasi bersama 11 partai lain. Juru bicara Partai GAM, eh, Partai Aceh itu pantas girang. Pasalnya, kelompoknya telah menempuh jalan berliku agar bisa lolos verifikasi.

Dugaan bakal lolosnya GAM dalam verifikasi partai lokal sebenarnya sudah muncul saat mereka memutuskan meng-ubah nama partai untuk kedua kalinya. Diumumkan secara resmi pada 21 Mei lalu—hanya dua hari menjelang pengumuman hasil verifikasi—perubahan nama itu tidak muncul mendadak.

Seperti diketahui, dideklarasikan pada 7 Juli tahun lalu, Partai GAM muncul dengan menggunakan bendera Gerakan Aceh Merdeka sebagai lambang partai: gambar bulan sabit dan bintang, dihiasi garis hitam putih di sisi atas dan bawah dengan warna merah sebagai latar belakang. Meskipun petinggi GAM mengaku sudah mendapat restu presiden, nama dan lambang itu tetap ditolak Jakarta. Sebab asumsi orang masih mengarah pada gerakan menuntut kemerdekaan kendati para bekas pemanggul senjata itu mengaku tidak ada kepanjangan dari kata GAM. Polisi Aceh bahkan meminta GAM menurunkan plang nama yang terpampang di kantor partai.

Ketika itu GAM bersikukuh tak akan mengubah lambang. Pemilihan nama GAM, “Harga mati bagi kami,” ujar Juru bicara Komite Peralihan Aceh Ibrahim Syamsudin saat itu. Akibatnya, reaksi Jakarta kian keras. Tak hanya TNI/Polri, suara penolakan juga datang dari sejumlah politisi nasionalis di gedung DPR RI. “Nama itu mengarah pada konotasi merdeka,” ujar Wakil Ketua Komisi Keamanan DPR, Sidarto Dhanusubroto.

Tujuh bulan berlalu. Pada 25 Febru-ari 2008, GAM memutuskan mengubah lam bang: menghilangkan gambar bulan bintang dan menggantinya dengan tulisan GAM. Latar belakangnya tetap sama: di-dominasi warna merah dan garis hitam putih di sisi atas dan bawah. Kali ini, kata GAM memiliki kepanjangan: Gerakan Aceh Mandiri. Penambahan kepanjangan itu gampang ditebak, menghilangkan konotasi tuntutan merdeka. Rupanya, inipun tak me-nyelesaikan masalah. Langkah GAM masih terhadang. Bagi Jakarta, stigma GAM se-bagai gerakan yang menuntut kemerdekaan tak hilang selama tiga huruf itu masih dipa-kai. “Huruf ‘G’ itu masih dipermasalahkan pemerintah pusat,” ujar Adnan Beuransah kepada ACEHKINI.

Partai GAM pun dihadapkan pada pilihan: mempertahankan nama GAM de-ngan konsekuensi tak lolos verifikasi, atau mengganti nama baru. Pilihan jatuh pada opsi kedua: mengganti nama partai. Juru bicara Komite Peralihan Aceh (wadah baru

bagi orang-orang GAM) Ibrahim Syamsuddin mengatakan, sebelum memutuskan nama Partai Aceh sebagai nama baru, sempat muncul ide menggantinya dengan Partai Aceh Mandiri. Namun, usulan ini mentah karena sudah ada Partai Aceh Meudaulat. “Kalau disingkat akronimnya sama, PAM,” ujar Ibrahim.

Lantas, siapa yang mengusulkan nama Partai Aceh? Ini yang tak jelas benar. Ibrahim bilang, nama itu muncul dari pimpinan Gerakan Aceh Merdeka. Namun, menurut salah satu pimpinan partai ini di Aceh Besar, nama itu datang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Ceritanya bermula pada pertengahan April lalu. Saat itu, pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka mengadakan round table meeting ketiga yang membahas soal apa saja yang telah dicapai pascadamai. Pertemuan berlangsung dua hari di Hotel Manhattan, Kuningan, Jakarta Selatan. Dari GAM hadir Meuntroe Malek Mahmud, Zaini Abdullah, Zakaria Saman, Muzakkir Manaf dan Ibrahim Syamsudin. Pemerintah Indonesia diwakili sejumlah orang yang terlibat perundingan damai di Helsinki, di antaranya Menteri BUMN Sofyan Djalil, mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, Farid Husain dan sejumlah tokoh lain.

Agenda yang dibahas antara lain soal perkembangan realisasi perjanjian damai, nasib sembilan tahanan politik yang ma-sih mendekam di penjara dan sejumlah isu penting lain. Nah, hari kedua, barulah mem-bahas soal partai politik lokal. Disinggung pula soal nama partai GAM yang dinilai ma-sih mencerminkan gerakan kemerdekaan. Hingga pertemuan berakhir, tak ada kata sepakat soal ini.

Pihak GAM pun putar otak. Apalagi, batas waktu verifikasi partai lokal kian dekat. Sedikit saja terlambat, alamat tak lolos dari lubang jarum. Solusinya, pihak GAM sepakat menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di rumahnya keesokan hari.

***

JARUM JAM BARU MENUNJUKKAN pukul 08.15 WIB ketika kelima orang itu tiba di kediaman Jusuf Kalla di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka adalah Malek Mahmud, Zaini Abdullah, Zakaria Saman, Muzakir Manaf dan Ibrahim Syamsudin. Mereka didampingi orang-orang kepercayaan Jusuf Kalla, seperti Hamid Awaludin dan Farid Husein. Sayangnya, yang dicari tak ada di rumah. Sang Wakil Presiden sedang muncul live di sebuah stasiun televisi swasta.

Tak lama menunggu, Jusuf Kalla muncul di mulut pintu. Pertemuan diawali dengan sarapan bersama. Usai basa-basi sejenak, perbincangan masuk ke pokok persoalan:

Page 22: Majalah ACEHKINI #05

22

soal Partai GAM. “Mohon Pak Malek ubah nama partai,”

kata Jusuf Kalla kepada Malek Mahmud, seperti ditirukan seorang petinggi GAM yang ikut dalam pertemuan itu. Menurut sumber itu, Kalla menilai nama GAM dapat menimbulkan penafsiran negatif.

Singkat kata, usai berdiskusi dengan anggota delegasi, Malek Mahmud setuju. Lalu, muncullah nama Partai Aceh. Meski masih menggunakan latar belakang simbol bendera GAM, namun kesediaan mengganti nama dianggap sudah cukup.

Munculnya nama baru itu tak berarti persoalan selesai. Pihak GAM masih belum yakin partai mereka tak lagi diusik. Jusuf Kalla pun diminta menuliskan secarik memo sebagai jaminan. “Kita belum yakin kalau tidak ada hitam di atas putih. Kalau misalnya itu ada, itulah buktinya bahwa Pemerintah Indonesia tidak akan menuntut lebih daripada itu,” ujar Adnan Beuransah.

Menurut Adnan, memo itu diperlukan agar tak terulang sejarah diplomasi antara Teungku Daud Beureueh dengan Presiden Soekarno. “Makanya kami minta harus ada bukti hitam putihnya. Jaminan inilah yang membuat kami yakin,” ujarnya.

Awalnya, Jusuf Kalla tak langsung setu-ju. Namun, delegasi GAM ngotot. “Kami mengancam tak mau pulang jika tidak ada jaminan,” ujar Ibrahim. Kalla pun lalu men-diskusikan permintaan itu dengan timnya. Hasilnya, Kalla bersedia menuliskan memo sebagai jaminan. Berkop Wakil Presiden, memo itu ditulis di secarik kertas. Intinya, Kalla merestui penggunaan nama Partai Aceh dan menjamin Partai GAM, eh, Partai Aceh dapat melaju mulus dalam verifikasi.

Tak heran, saat mengumumkan perubahan nama secara resmi, sebulan setelah pertemuan di rumah Wapres, Adnan Beuransah dengan mantap berujar, ”Ini adalah perubahan terakhir. Tak ada lagi perubahan nama setelah ini.”

Adanya memo itu juga dibenarkan Zakaria Saman, bekas Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka. Pria asal Tangse, Pidie, ini mengaku pihaknya yang meminta jaminan itu. Tanpa itu, kata dia, pihak GAM tak punya pegangan apapun. “Tapi nama Partai Aceh kami yang usulkan,” ujar bekas pemasok senjata GAM itu.

Kenapa Jusuf Kalla bersedia menge-luarkan memo untuk GAM? ACEHKINI yang mengontak dua wakil pemerintah yang hadir dalam pertemuan itu yakni Sofyan Djalil dan Mantan Menteri Hamid Awalu-din tak berhasil mendapat jawaban. Kedua orang yang pernah terlibat dalam perundin-gan di Helsinki ini tak menjawab telepon.

Jawaban justru datang dari Juru Bi-cara Komite Peralihan Aceh, Ibrahim Syamsudin. Menurutnya, itu dilakukan untuk menyelamatkan perdamaian di Aceh. “Perdamaian di Aceh ini harus kekal sampai kiamat,” kata Ibrahim menirukan ucapan Kalla saat itu.

Di kalangan bekas pemanggul senjata, perubahan nama itu sempat menimbulkan riak-riak kecil. Sebuah sumber di kalangan GAM menuturkan, dalam sebuah rapat internal partai, nama baru sempat diper-debatkan. Bagi yang menolak, nama baru dianggap tak membawa identitas GAM.

Namun, para petinggi GAM bergerak cepat. Sebelum pertentangan semakin keras, mereka memanggil semua bekas

panglima wilayah yang rata-rata kini menjadi “komandan” partai di daerah masing-masing. “Kita jelaskan, kalau macet, tujuan untuk duduk di legislatif tidak tecapai. Kalau bertahan dengan nama lama, maka kita tidak akan sampai pada tujuan itu. Karena itu kita mengikuti alur yang diinginkan pemerintah. Sebab, mau tidak mau pemerintah harus melahirkan partai untuk anggota GAM sebab itu amanah MoU Helsinki,” jelas Adnan.

Bekas panglima GAM Aceh Besar Muharram menegaskan, dirinya yang membawahi wilayah Aceh Besar dan Banda Aceh siap menjalankan keputusan pimpinan. Ia menggaku sudah mensosialisasikan nama baru itu hingga ke tingkat bawah. “Bagi kami tak ada masalah, yang penting partai lolos verifikasi,” ujar Muharram.

***

BAGI GAM, SATU TAHAPAN KRITIS telah berlalu. Tapi, tak berarti partai ini bisa otomatis ikut pemilu. Masih ada tahap verifikasi berikutnya yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh. Untuk lolos tahap ini sejumlah persiapan sudah dilakukan, di antaranya menyiapkan KTP dan kartu anggota dan menyiapkan orang-orang yang duduk di DPRA. “Target kami menguasai parlemen secara dominan,” ujar Adnan.

Setelah dua kali ganti nama, partai yang dihuni mantan kombatan itu tak ingin terpental. “Kita sudah mundur dua langkah, kalau sampai tiga langkah bisa berarti masuk jurang,” ujar Adnan. Karena alasan itu pula, memo Jusuf Kalla di bulan April itu terbukti cukup ampuh. Setidaknya, satu batu sandungan terlewati.

Kepala Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Aceh Razali Ubit memilih tutup mulut saat ditanya soal memo Wapres itu. Kepada Jamaluddin dari ACEHKINI, ia malah meminta hal itu tidak ditulis. “Saya mohon jangan (ditulis), karena akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik. Mungkin sampai menimbulkan benturan nanti, inilah yang kita pikir sama-sama. Tapi ini menurut saya, tapi tolong didiamkan saja,” ujarnya usai mengumumkan nama partai yang lolos verifikasi, Jumat, 23 Mei lalu.

Tak jelas benar benturan yang dimaksud. Logikanya, jika tak ada aturan yang dilanggar, kenapa mesti ragu. Kata sebuah iklan: tanya kenapa? [a]

CHAI

DEE

R M

AHYU

DD

IN —

ACEH

KIN

I

Juru Bicara Partai Aceh, Adnan Beuransah (kanan) memberikan keterangan pers tentang perubahan nama Partai GAM menjadi Partai Aceh.

COVER STORY | PARTAI LOKAL

Page 23: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 23

Kenapa Partai GAM harus mengubah nama?

Partai ini pertamanya bernama partai GAM dengan Ketua Umum Malek Mahmud, secara hukum kewarganegaraan beliau bukan warga Indonesia walaupun beliau kelahiran Aceh. Ini mengenai status kewarganegaraan, oleh karena itu mereka mengubah akta pendirian dengan Ketua Umum Muzakir Manaf dan Sekjen M. Yahya dan Bendarahawan Hasanuddin. Karena ada masalah pada nama dan lambang, partai ini mengubah namanya menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri. Gerakan Aceh Mandiri ini masih bertentangan dengan aturan yang ada.

Di mana pertentangannya?Adanya kata gerakan dalam nama partai

itu. Tidak ada istilah gerakan dalam partai kecuali pada organisasi atau LSM. Jadi demi kebaikan, demi menuju Aceh yang baik mereka melakukan perubahan lagi dengan nama terakhir yaitu Partai Aceh.

Saat perubahan nama partai ini apakah tidak ada masalah lagi?

Ada permasalah kecil tapi terselesaikan dengan musyawarah dan saling menghormati dalam menyelesaikan masalah dengan baik.

Hasil verifikasi ini dikemanakan?Tugas kami sudah selesai meneliti

persyaratan dan telah mengeluarkan badan hukum. Berikutnya, dimuat dalam berita negara dan kemudian kami melaporkan kepada Menteri Hukum dan HAM bahwa kami sudah selesai melakukan tugas ini yang telah diberi wewenang dan fungsi secara undang-undang.

Perubahan dari Partai GAM menjadi Partai Aceh apakah sudah tidak ada masalah lagi?

Mudah-mudahan tidak ada lagi karena sudah diverifikasi oleh tim persamaan persepsi.

Perubahan nama Partai Gerakan Aceh Mandiri menjadi Partai Aceh kabarnya setelah ada intervensi oleh Wakil Presiden. Kenapa ini bisa terjadi?

Saya mohon itu ditutup saja, saya nggak mengerti itu. Jangan itu, nanti ada masalah. Nggak baik nanti akan menuju keributan

orang. Tolonglah dijaga, saya pun nggak mengerti.

Setelah diverifikasi baru ada perubahan nama apakah ini tidak bertentangan dengan landasan verifikasi yang ada?

Itu dibolehkan. Artinya begini, pertama dalam tenggat waktu mendaftar. Kemudian kalau ada perubahan akta pendirian baik pengurusan maupun yang lain, dia melapor kepada Kanwil Hukum dan HAM Aceh. Tetapi yang penting telah mendaftar pada tenggat waktu yang telah ditentukan, dan perubahannya sebelum diumumkan hasil verifikasi. Karena sudah ada badan hukum, jadi sudah selesai dan tidak bisa diubah lagi.

Landasannya?PP Nomor 20/2007 tentang partai lokal.

Pada Bab III, Pasal 5 disebutkan perubahan anggaran dasar, perubahan anggaran ru mah tangga, azas, nama, lambang, tanda gambar dan kepengurusan partai politik lokal didaf-tarkan pada Kantor Wilayah Departemen di Aceh, dalam hal ini kantor Departemen Hu-kum dan HAM Provinsi Aceh.

Jadi tidak ada masalah?Iya, tidak ada masalah.Departemen Anda meloloskan

Partai Aceh setelah menerima memo dari Wakil Presiden?

Saya nggak ngerti juga itu.Kami mendapat informasi Kanwil

Hukum dan HAM mendapat kopian memo itu.

Saya nggak tahu juga. Saya mohon maaf, cuma apakah ada, ee... saya mohon maaf ini. Saya rasa begini, saya mohon maaf, kalau pun ada, ee… Mohon maaf Pak, akan mengundang penafsiran atau akan ada yang tersinggung. Jadi demi kebaikan, kita diamkan saja itu.

Jadi pada dasarnya ada?Itu tidak bisa, saya mohon… (Razali

tampak kebingungan)Tapi ini sudah menjadi rahasia

umum…Kalau dibilang ada mungkin ada. Tapi

saya mohon Pak jangan juga, karena akan menimbulkan hal-hal yang tidak baik. Mungkin sampai menimbulkan benturan nanti, inilah yang kita pikir sama-sama. Tapi ini menurut saya, tapi tolong didiamkan saja. [a]

Tolong Didiamkan Saja

Kepala Kanwil Departemen Hukum dan HAM Aceh

Razali Ubit

Ada masalah kecil tapi

terselesaikan dengan

musyawarah dan saling

menghormati dalam

menyelesaikan yang baik.

oleh JAMALUDDIN

MIS

MAI

L LA

WEU

ENG

—AC

EHKI

NI

Page 24: Majalah ACEHKINI #05

24

Main Api Uang Korban Perang

oleh MISMAIL LAWEUENGLaporan: Daspriani Y Zamzami, Jamaluddin, Murdani, dan Arif Surahman

Indikasi korupsi di Badan Reintegrasi Damai Aceh diduga melibatkan sejumlah pejabat.Ada yang sedang diperiksa kejaksaan.Seriuskah penegakan hukum jatah korban konflik?

TUDINGAN TAK SEDAP DIARAHKAN ke lembaga yang mengurusi uang korban perang: Badan Reintegrasi-Damai Aceh (BRA). Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menguak adanya ketidakberesan dalam penyaluran bantuan tahun anggaran 2007. Meski masih berupa indikasi, temuan itu membuat pengurus BRA kalang-kabut.

Dipublikasikan Maret lalu, BPKP men-sinyalir sejumlah ketimpangan. Temuan itu berdasarkan hasil pemeriksaan BPKP Provinsi Aceh terhadap kantor cabang BRA di 12 kabupaten/kota: Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Aceh Tengah, dan Bener Meriah.

Dalam penelusurannya, tim menemukan penyaluran bantuan pemberdayaan eko nomi korban konflik senilai Rp 10, 5 miliar bagi 1.059 orang tidak sesuai petunjuk operasional kegiatan. Dari uang sejumlah itu, saat pemeriksaan dilakukan, yang disalur baru Rp 7,7 miliar. Sisa dana Rp 2,8 miliar dipakai buat biaya lokakarya dan honor Unit Pelaksana Penyaluran (UPP). Padahal, anggaran untuk itu tidak tercantum dalam Daftar

Uang Rp 10,5 milyar untuk 1.059 orang (Rp 10 juta per orang). BPKP menilai tidak sesuai petunjuk operasional.

Ada dana bantuan korban konflik mengendap di BPD dan Bank Mandiri Rp 13,2 miliar.

Uang sebesar Rp 4 milyar (versi gerak 1,3 milyar) masuk ke rekening pribadi bendahara BRA Aceh Selatan Aka Mulyadi. Uang disimpan di Bank BPD Aceh.

Di Pidie, BRA masih menyimpan uang korban konflik Rp 4 miliar.

Pemotongan bantuan untuk anggota PETA Rp 1,5 miliar di Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Ada indikasi penyelewengan uang sewa kantor BRA Aceh Barat Daya. Pemilik kantor mengaku hanya menerima 14 juta, sedangkan anggaran Rp 20,2 juta. Terjadi selisih Rp 6,2 juta.

Dalam Kasus Pidie, saldo per 11 Februari 2008 hanya Rp 1,5 milyar dan pada 12 Maret menciut menjadi Rp 959

ribu. Penyaluran terlambat karena data penerima rumah tidak valid.

Bantuan untuk PETA tidak melibatkan BRA. Penyaluran diserahkan kepada Dinas Sosial lewat Kesbang Linmas

Dana untuk lokakarya dan honor UPP memang tidak tercantum dalam DIPA tahap pertama, namun ada di DIPA

tahap kedua APBN-P 2007.

Uang Rp 4 milyar benar disimpan di rekening bendahara BRA Aceh Selatan. Tapi, sebagian telah disalurkan. Pada

4 Februari 2008 sisa uang tinggal Rp 1,3 miliar.

Soal dana bantuan korban konflik yang mengendap di Bank BPD dan Bank Mandiri, hanya tersisa Rp 1,89 miliar.

Versi BPKP Versi BRA

AK JAILANI

Hukum

Page 25: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 25

bentuk advokasi,” jelasnya. Meski BRA sudah mengklarifikasi, namun Gerak akan melanjutkan advokasi kasus ini sampai terbukti secara hukum.

Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Aceh M Adam mengaku tengah menyelidiki dugaan penyelewengan bantuan untuk korban perang. “Sebelumnya, kami sudah meminta BPKP membuat laporannya, dan itu sudah kita terima,” katanya.

Namun, tambah Adam, BPKP juga melaporkan dua dugaan korupsi lain: penyelewengan dana diyat dan bantuan untuk PETA. “Kedua laporan itu sudah diteruskan ke kepolisian, jadi kami hanya menangani dugaan penyelewengan bantuan ekonomi,” katanya. Beberapa orang sudah dimintai keterangan, termasuk bendahara BRA. “Jadi masih dalam proses, tunggu saja hasilnya,” tegas Adam.

Kepala Pelaksana Kerja BPKP Aceh Abdul Rahman Datjong saat dikonfirmasi ulang mengatakan, temuan pihaknya baru bersifat pemetaan. ”Belum final adanya korupsi,” ujarnya.

Kasus itu telah dilimpahkan ke ke-polisian. Rahman membenarkan uang yang mengendap di rekening pribadi telah disa-lurkan dan sisanya dikembalikan ke kas negara. “Kami sedang menunggu perminta-an dari gubernur dan kepolisian untuk me-nindaklanjuti kasus itu,” katanya.

Kapolda Aceh Irjen (Pol) Rismawan mengatakan kasus ini masih tahap penyelidikan, belum ke penyidikan karena informasi tentang kerugian negara belum valid. “Kami menunggu laporan lanjutan dari BPKP,” ujarnya.

Tampaknya, proses reintegrasi masih harus menempuh jalan panjang. Tak heran Martti Ahtisaari, fasilitator perdamaian antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka, dalam kunjungannya ke Aceh belum lama ini menilai, “Saya rasa proses reintegrasi masih menjadi tugas berat bagi kita semua, karena akan membutuhkan waktu beberapa tahun lagi.” Keresahan mantan Presiden Finlandia masuk akal. Sebab, masih ada yang berani bermain api dengan uang untuk korban perang. [a]

Main Api Uang Korban Perang

melibatkan BRA, melainkan diserahkan ke Dinas Sosial. “Dinas lalu menugaskan Kesbang Linmas,” ujarnya.

Dawan membantah informasi masih ada dana bantuan korban konflik yang mengendap di BPD dan Bank Mandiri senilai Rp 13,2 miliar. “Yang benar jumlah total dana yang belum tersalurkan hanya Rp 1,89 miliar,” tukasnya.

Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, BRA akan memperketat penga-wasan. Masalahnya, BRA pusat tak punya kewenangan mutlak, sebab BRA kabupaten dibentuk berdasarkan SK bupati. “Dana memang dari pusat. Intervensi ke dananya bisa, tapi ke orangnya tidak bisa. Kita hanya bisa menegur langsung ke BRA-nya,” jelasnya.

Dalam kasus Aceh Selatan, kata dia, dananya sudah dipindahkan kembali ke rekening BRA Aceh Selatan. Menurut Dawam, kasus itu terjadi karena kelalaian semua pihak. “Kita bersyukur hari ini ada temuan seperti ini. Di satu sisi, BRA provinsi kelihatan lemah dari monitoring dan terlalu percaya ke kabupaten, hal ini terus kita diperbaiki,” ujarnya.

Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh yakin, dari Rp 250 miliar dana BRA 2007 besar kemungkinan lebih Rp 4 miliar diselewengkan. Itu sebabnya, Gerak me-minta penegak hukum bertindak cepat. “Sebelum kepercayaan korban konflik rusak,” kata Ambo Bugis, Manager Program Pendidikan dan Politik Anggaran Gerak.

Menurut dia, dalam kasus pemberdayaan ekonomi korban konflik, bantuan disalurkan melalui KPPN dan Dinas Sosial seharusnya ditransfer langsung ke rekening kolektif. Faktanya, kata dia, pelaksanaannya dilakukan oleh BRA Provinsi.

Selain ‘transfer’ pengelolaan dari Dinas Sosial kepada BRA, uang sebesar Rp 10,5 miliar baru disalurkan Rp 7,7 miliar. Sisa dana Rp2,8 miliar digunakan untuk biaya lokakarya dan biaya honor UPP. “Padahal itu tidak teranggarkan dalam DIPA 2007,” katanya.

Akibatnya, kata Ambo, negara merugi Rp 1,2 miliar. Rinciannya, Rp 290 juta dari pembiayaan lokakarya serta biaya honor bagi 233 UPP selama empat bulan senilai Rp 943 juta. Soal temuan dana diendapkan dalam rekening pribadi bendahara Aka Mulyadi di Bank BPD Aceh, Ambo menilai, “Ini juga terindikasi merugikan negara.”

Dalam kasus pemotongan bantuan PETA, Gerak menemukan keterlibatan sejumlah pejabat. Ada pula ketidakjelasan pertanggungjawaban keuangan Rp 110 juta. “Kita akan mengontak pengurus BRA daerah yang jadi tersangka temuan BPKP untuk mengetahui duduk persoalan sebagai

Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Di Aceh Selatan, BPKP menemukan

uang senilai Rp 4 miliar mengendap di rekening pribadi bendahara BRA setempat. Di Pidie, ada temuan BRA setempat masih menyimpan uang korban konflik Rp 4 miliar. Di Aceh Tengah dan Bener Meriah ditemukan pemotongan bantuan untuk anggota Pembela Tanah Air (PETA) – front yang aktif memburu anggota Gerakan Aceh Merdeka semasa perang – Rp 1,5 miliar.

Ketua Badan Pelaksana BRA Dawam Gayo menghargai temuan itu. Namun, ia menyayangkan sikap BPKP yang mempu-blikasikan temuan tanpa klarifikasi BRA. Dalam kasus Aceh Selatan, ia mengakui ke-benarannya. “Dana akhir yang tersisa pada 4 Februari 2008 setelah disalurkan kepada penerima sebesar Rp 1,3 miliar. Kita sudah menyuratinya. Masalahnya bukan hanya di bendahara, (tapi) Bank Pembangunan Dae-rah setempat juga dipertanyakan kenapa membolehkan,” ujarnya.

Dia menyebutkan, BRA tidak menolerir penyimpangan dan korupsi terhadap bantuan korban konflik. “Jika terbukti ada pelanggaran hukum, kami mempersilakan aparat penegak hukum menindaknya sesuai aturan berlaku,” tegasnya.

Begitupun, Dawan menyebutkan

laporan BPKP tak sepenuhnya benar. Soal penyaluran bantuan pemberdayaan ekonomi korban konflik, misalnya, kata dia, penyalurannya sudah sesuai kerangka acuan dan disetujui Gubernur Irwandi Yusuf. Bantuan itu disalurkan dalam dua tahap: pertama 60 persen, berikutnya 40 persen. “Penetapan ini dimaksudkan agar bantuan benar-benar dimanfaatkan sesuai usulan penerima manfaat sendiri,” jelasnya.

Soal temuan BPKP di Pidie, Dawan menyebutkan, berdasarkan rekening koran giro BPD Sigli, pada saldo akhir per 11 Februari 2008, tersisa Rp 1,5 miliar dan pada 12 Maret lalu tersisa lagi menjadi Rp 959 ribu. “Penyaluran terlambat karena masih adanya 66 rumah bantuan tahap pertama yang telah disalurkan, tapi hasilnya masih nol karena data penerima bantuan belum valid. Prosesnya, rumah itu dibangun langsung oleh penerima manfaat,” ujarnya. Mungkin, karena itu, “Diberikan uang bukan untuk buat rumah, tapi ada yang beli motor,” tambah Koordinator Bidang Sosial Budaya BRA Asmawati Hasan.

Dalam kasus bantuan untuk PETA, menurut Dawam, bantuan itu tidak

Kami sedang menunggu permintaan dari gubernur dan kepolisian untuk menindaklanjutikasus itu.

Page 26: Majalah ACEHKINI #05

26

‘Jalur Sutra’ SorayaFoto : Yo FauzanTeks : Maimun Saleh

Robin-robin melenggang, meliuk-liuk di antara akar meranti yang memenuhi Lae Soraya. Ini jalur padat, bebas rambu, dan macet. Tak ada lampu merah di simpang jalan. Di tepian, di pucuk meranti, damar laut atau medang, burung jalak, nuri bahkan gagak hitam bersenandung. Penumpang perahu bermesin yang disebut robin itu tak tampak cemas.

“Sejak ada dunia, tak pernah ada jalan darat!” kata Ihsan, seorang warga, selepas melintas sungai yang melintang di Rawa Singkil, pekan lalu. Bagi nelayan Kecamatan Kuala Baru, Aceh Singkil, Lae Soraya lebih dari sekedar ‘jalur sutra’, jalur pelayaran yang menghubung China dan Eropa. Inilah jalur dagang dan transportasi yang membawa mereka ke dunia luar.

Lewat sungai ini, warga Kuala Baru melabuhkan ikan-ikan asin di kota Singkil. Lalu dibawa dengan fery ke Simeulue. Lewat darat, dipasarkan ke Medan dan Sibolga, Sumatera Utara. Dari laut diangkut ke Nias.

Esai Foto

Page 27: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 27

Menumpang robin ke Singkil menyita waktu sekitar satu jam. Selain perjalanan bisnis, ongkos perahu imut ini terbilang mahal, Rp 10 ribu sekali berlayar. Untuk menyewa satu robin, bisa mencapai Rp 100 ribuan. “Kami berharap di sini menjadi kawasan wisata kelak, biar pendapatan kami bertambah,” kata seorang pemilik robin.

Saat pemilik robin menyematkan harapannya. Rupa Soraya tak lagi ramah. Di banyak sisi, terlihat pohon-pohon mati, kerontang. Pembabatan hutan Kawasan Ekosistem Lauser (KEL) terus berlanjut. Amuk Soraya, ‘jalur sutra’ hanya menanti waktu.[a]

Page 28: Majalah ACEHKINI #05

28

HAI ANAK-ANAK MUDA YANGmalang, sudah berapa kali kalian berunjuk rasa? Menampakkan diri di simpang lima dan berteriak penuh semangat menentang standardisasi nilai ujian nasional. Percaya-lah. Apapun yang kalian perbuat tidak akan menggerakkan barang sejengkal nurani kami untuk meniadakan standardisasi nilai itu. Kalian tahu apa tentang segala kebijakan pendidikan? Terima sajalah.

Kami sengaja menciptakan standar semacam ini, bukan hanya untuk mengejar ketinggalan Tanah Air kita, juga bukan hanya untuk meraup rupiah. Kami tidak ingin kelak kalian bernasib sama seperti kami: duduk di belakang meja dan membuat kebijakan sesuka hati, seolah kami banyak bekerja. Betapa mulia niat kami!

Ah. Kalian anak-anak malang. Sudah berapa tahun kalian sekolah? Enam? Sembilan? Dua belas atau tujuh belas?

Otak kalian masih tumpul. Tanpa standardisasi nilai mana mungkin kalian mau belajar? Kami tahu bagaimana ber-binarnya mata kalian melihat angka delapan dan sembilan menari-nari di lembaran ijazah yang akan meluluskan kalian ke jenjang berikutnya. Pun kami tahu kalian akan halalkan segalanya agar berhasil melewati standar nilai itu. Berapa standar tahun ini? Empat? Lima? Atau lima koma dua lima?

Terserah. Yang penting nilai-nilai itu tercetak pada laporan hasil pencapaian mutu pendidikan Tanah Air. Ha-ha-ha. Biar Malaysia dan Singapura tahu Indonesia masih mampu mengejar, sekalipun terseok dan butuh alat bantu, juga kaki palsu.

Hei, barusan kami mendengar seorang temanmu menyebut kami berperut buncit dan berotak kapitalis. Darimana dia tahu bahasa itu? Apa yang diajarkan guru-gurumu di sekolah?

Huh. Kalian tidak tahu membalas jasa kami yang bekerja mengutak-atik kebijakan pendidikan. Tahu tidak sih, kami terpaksa harus meluangkan waktu sejenak dengan istri-istri kami agar rapat penyusunan ang-garan pendidikan dapat kami lambungkan beberapa nominal, lalu kami kantongi.

Sudahlah, kami bosan mendengar jeritan kalian, menuntut standar guru dan fasilitas pendidikan disamakan, baik di kota dan pedalaman. Berkutat sajalah kalian dengan rumus kimia dan teori sosiologi, bukankah pelajaran sudah ditambah menjadi enam?

Belajarlah. Belajarlah untuk pasrah pada kenyataan atau barangkali ke-kejaman? Ha-ha-ha.

Karena, dengan sistem semacam ini, kelak kalian menjadi pengikut kami. Bukan pembangkang. Biarlah pemimpin kami yang cipta dengan menunjuk keponakan kami yang baru pulang dari Eropa atau Amerika. Kami sengaja ciptakan sistem standardisasi nilai agar

WahaiAnak-anak Bèë Chuëng!

RAISA KAMILA

Kolom

kalian hanya mampu menjadi pengikut, jangan sampai jadi pemimpin. Terlebih jadi pembangkang.

Jangan tuntut kami mengubah kebi-jakan itu. Karena bagi kami dulu, nilai lebih penting ketimbang ilmu. Lupakanlah perkara kreativitas dan tetek bengek lain. Belum lagi tuntutan kalian mengenai penyamaan fasilitas sekolah di kampung-kampung pedalaman Aceh yang hampir rubuh, agar disamakan dengan sekolah-sekolah megah di kota Banda Aceh. Tenanglah. Kelak kami akan sulap agar persentase kelulusan daerah itu unggul, seakan fasilitas dan standar gurunya sama dengan SMA Negeri 8 Jakarta.

Nanti kami akan pasang spanduk dengan bahasa gaul ala kalian supaya kalian lebih bersemangat ikut ujian nasional. Apa ya kira-kira kalimat penyemangat yang cocok? Cape dhe.

Hei anak-anak muda béë chuëng. Berhentilah meributkan ujian nasional. Kalian memang tidak lebih dari anak-anak malas, pembangkang yang tidak tahu aturan. Belajarlah yang banyak dan lupakan urusan sosial di sekitar kalian. Harusnya

ujian nasional mampu mengisolasi kalian supaya tidak tahu bagaimana busuknya kami jalankan kebijakan.

Penolakan standardisasi nilai ujian nasional bukan saja merugikan kalian. Jika dihapus, kamipun rugi. Itu sama dengan menghapus proyek paling basah abad ini. Jelas kan anak-anak?

Maka, cukuplah tuntutan kalian. Jangan sampai kami bertindak gegabah. Bukankah kalian tahu, kami mampu berbuat apa saja untuk membungkam bibir-bibir tajam kalian?

Kami pun bisa menandai siapa-siapa yang berhidung paling mancung dalam upaya penolakan standardisasi nilai ujian nasional ini. Dan akan kami buat dia tidak lulus! Seperti siapa itu, teman kalian? Ah, ya! T. Oryza, si juru bicara gerakan anak- anak malas yang hanya tahu demonstrasi saja. Nah, kalian tidak mau kan bernasib seperti dia? Tercantum namanya pada blacklist anak-anak yang kelak tidak kami luluskan pada ujian nasional?

Tutup mata pada realita, tuli pada jeritan rakyat, dilengkapi kesiapan mental yang tinggi adalah sekian dari persyaratan utama menjadi orang-orang seperti kami. Toh kami bisa berbuat apa saja selama kami berkuasa.

Seperti halnya kalian yang mengalami penderitaan psikologis menjelang ujian nasional, begitu pula kami saat menghadapi segelintir pihak semacam kalian. Dan, seperti halnya kalian menuntut peningkatan standardisasi guru dan fasilitas sekolah sebelum standardisasi nilai, kami pun menuntut hal bernada serupa! Tingkatkan

dulu gaji dan fasilitas kami, baru bicara mutu kerja. Ah, memang nikmat benar menjadi orang-orang seperti kami. Karena itu, jangan ganggu kami. Apalagi

dengan unjuk rasa. Kalian yang berunjuk rasa, mengacungkan telunjuk ke muka kami, tanpa pulang dulu ke rumah untuk mandi dan berganti seragam sungguh membuat kami terganggu, wahai anak-anak béë chuëng. [a]

Pelajar jurusan ilmu sosial dan bergerak pada divisi teknologi

informasi di Solidaritas Independen Kaum Muda Aceh (SIKMA)

FOTO

: DOK

—PR

IBAD

I; IL

USTR

ASI:

CEK

IS B

ASRI

Page 29: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 29

SainsH

ASBI

AZH

AR —

ACEH

KIN

I

Obat Hati dari Turki. Di balik kisah sukses siswa sekolah Fatih membawa pulang medali emas dari Turki. oleh JAMALUDDIN

DUNIA PENDIDIKAN ACEH KEMBALI sumringah. Di tengah derasnya sorotan buruknya kualitas pendidikan Aceh, kabar baik pengobat hati datang dari Turki. Enam siswa Sekolah Menengah Umum asal Aceh menggondol medali emas dan perak dalam perlombaan tingkat dunia di sana.

Angky Dwi Sefftiyanto boleh jadi orang yang paling bangga. Ditemui sepulang dari Turki awal Mei lalu, wajah Kepala Sekolah Fatih Banda Aceh itu berbinar-binar.

Maklum, yang menang itu adalah para siswanya yang digembleng khusus sejak setahun lalu.

Keenam siswa itu memenangi kompetisi ilmiah Burc Sceince and Engeneering Fair (BUSEF) di Adana, Turki. Mereka ke sana membawa tiga proyek penelitian di bidang kimia, komputer dan fisika. Masing-masing proyek dikerjakan dua siswa. Danny Trisnadi dan Muhammad Iqbal ikut proyek kimia, Muhammad Ichsan dan Abdul Mubdi Masbar Rus di proyek komputer dan Teuku Kanigara yang berpasangan dengan

Teuku Muzafarsyah ikut proyek biologi. Hasilnya, Iqbal dan Danny

memenangkan medali emas lewat proyek penelitian penyaringan air bersih dengan kulit udang. Di bidang komputer, Ichsan dan Abdul Mubdi lewat proyek pendeteksi supir mabuk juga meraih emas. Nasib kurang beruntung menimpa Kanigara dan Muzafarsyah. Proyek mereka tentang penggandaan sel tanaman jarak untuk bioenergi “hanya” meraih perak. “Sel yang akan kami peragakan di Turki terkocok di dalam kapal, jadi kelihatan sudah seperti

Page 30: Majalah ACEHKINI #05

30

bubur, tidak jelas lagi bentuknya, jadi mungkin di situ kekurangan kami,” ujar Kanigara.

Bagi sekolah Fatih, ini bukan prestasi pertama. Berdiri pada 2005, setahun setelah tsunami, nama sekolah ini langsung melejit. Tahun lalu, enam siswa sekolah ini juga mendapat medali emas dan perak di perlombaan ilmiah tingkat dunia di Turki, Rumania dan Bosnia. “Keberhasilan ini adalah bukti anak Aceh cerdas, tinggal kita mengembangkan saja bakatnya,” ujar Angki, sang kepala sekolah, penuh keyakinan.

Menurut Angky, sebelum sampai ke Turki, para siswa harus mengikuti serangkaian pendidikan dan seleksi tingkat nasional. “Enam bulan pertama mereka diberikan teori dan enam bulan selanjutnya pratikum, ini sangat menguras keringat siswa selain harus memikirkan pelajaran lainnya,” lanjut Angky. Selain itu, para peserta harus mampu memenangkan tiga kali kompetensi yang sama di tingkat nasional.

Muhammad Iqbal, 17 tahun, tak pernah menyangka namanya akan muncul sebagai pemenang. Itu sebabnya, saat namanya diumumkan, ia tak kuasa membendung

haru. “Saingan kita 16 negara, kita mempresentasikan cara pengolahan kulit udang menjadi saringan air, dan kita berhasil, “ujarnya ceria.

Di sana, mereka diberi stan khusus yang harus dihias sendiri. Para dewan juri asal Inggris, Korea Selatan dan Turki dibuat terpana dengan aksi anak-anak Aceh ini. Mereka berhasil meraih perhatian pengunjung dan dewan juri.

Menurut Iqbal, kunci kemenangan mereka karena mampu menjelaskan hasil temuan secara tepat dan tidak bertele-tele. Selain itu, mampu berbahasa Inggris dan Turki terbukti sangat berpengaruh bagi keberhasilan mereka. “Presentasi

dilakukan dalam dua bahasa itu,” ujarnya. Ide membuat penelitian tentang

kegunaan kulit udang untuk penjernih air muncul akibat keprihatinannya karena air tanah di Aceh tercemar limbah tsunami. Buruknya kualitas air tanah membuatnya berpikir mencari solusi. “Di sini banyak kulit udang yang terbuang percuma, padahal itu bisa dimanfaatkan untuk menjernihkan air,” ujar Iqbal.

Kulit udang mampu menjernihkan air sebab mengandung chitin dan chitosan. Cara pengolahannyalah yang menentukan limbah kepala udang itu akan menghasilkan chitin atau chitosan.

Nah, chitosan inilah yang diolah men-jadi membran berbentuk lapisan kertas tipis yang berfungsi menjaring air yang mengandung limbah berbahaya. Membran lalu ditempatkan dalam sistem penjernihan air. “Butuh tiga minggu untuk membuatnya bisa langsung diminum,” ujar Iqbal.

Kebahagian mendapatkan medali emas juga terlihat di raut muka Muhammad Ichan yang berhasil menciptakan alat pendeteksi alkohol pada pengemudi mobil. “Dengan alat yang kami rangkai, kita bisa mendeteksi kalau si pengemudi lagi mabuk atau tidak, alat ini untuk mengurangi kecelakaan yang disebabkan pengemudi mabuk,”jelasnya.

Lantas, apa tindak lanjut dari penemuan itu? “Hasil ini akan dipatenkan dan disempurnakan oleh adik kelasnya nanti,” ujar Angky. [a]

Di sini banyak kulit udang yang terbuang percuma, padahal itu bisa dimanfaatkan untuk menjernihkan air

KIRI

: PAN

ORAM

IO.C

OM; A

TAS:

HAS

BI A

ZHAR

—AC

EHK

INI

Taman Seyhan salah satu sudut kota yang terletak di Seyhan, Adana (Turki) tempat olimpiade berlangsung.

Page 31: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 31

CHITIN DAN CHITOSAN, DUA BAHAN penting dalam penelitian Iqbal datang dari kulit udang.

Chitin yang berbentuk putih seperti kristal berguna untuk pengolahan limbah industri. Ia sanggup mencegah bahan pencemar—baik organik maupun anorganik—“memangsa” oksigen dalam air limbah. Alhasil, kandungan oksigen dalam air limbah tetap tinggi.

Kemampuan serupa juga dimiliki chitosan. Bahkan chitosan sanggup mengendapkan partikel-partikel pencemar dalam air limbah. Pada saat yang sama, dia juga menyerang mikroba-mikroba yang ada dalam air limbah tadi.

Bahan pencemar berupa logam berat semacam air raksa (Hg), timah hitam (Pb), atau cadnium (Cd), tak berdaya setelah digandeng oleh chitosan. Bahkan limbah atom beradio aktif semacam uranium bisa dibuatnya tak berkutik.

Selama ini, Chitosan juga dipakai dalam industri sari buah atau minuman untuk menggantikan bahan pengawet. Saat isu formalin merebak, chitosan dipakai sebagai pengawet alternatif. Dalam industri kain

PADA CHITIN AKHIRNYA IA JATUH hati. Saking kepincut, tujuh jam waktu yang disediakan untuk membaca dialihkan untuk melumat buku kimia. Tak puas sampai di situ, Muhammad Iqbal Ramli, 17 tahun, menyambungnya dengan berselancar di internet sejam setiap hari, bila libur tiba bahkan sampai lima jam lamanya. Belum juga puas, enam bulan ia habiskan waktu ‘mengacak-acak’ laboratarium kimia Unsyiah, Banda Aceh.

Setahun sudah waktu yang dihabiskan untuk meneliti chitin (serbuk dari kepala udang yang telah diolah). Berduet dengan Danny Trisnadi, rekan satu sekolahnya, pelajar kelas dua SMU ini, dipercaya mengusung bendera Fatih Bilingual School ke ajang Olimpiade Burc Sceince and Engeneering Fair (BUSEF) di Adana Turki, bulan Mei lalu.

“Ke Turki itu perlombaan yang ke lima, sebelumnya harus bertarung tingkat nasi-

onal di Jakarta,” ujar pria kelahi-ran, 17 Maret 1991 itu. Belia yang bercita-cita ingin menjadi dokter saraf ini, tak me-nyangka utusan 16 negara lain takluk. Para juri memilihnya men-jadi jawara. Pekan lalu ia kembali ke Aceh, dengan

membawa medali emas. “Mungkin karena kesiapan alat dan cara kami mempresenta-sikan sangat jelas. Saya terkejut ketika nama saya disebut sebagai pemenang,” ujar belia asal Ulee Kareng ini.

Presentasi Iqbal mengundang decak kagum. Berkat kepala udang, air tanah yang beraduk segala limbah tsunami sekalipun bisa langsung diminum. “Sudah diuji di laboratorium kesehatan!” jelas buah hati Ramli dan Kemalawati ini. “Ini butuh waktu sekitar tiga minggu.”

Ya, begitulah dampak dari rajin membaca buku, “kulit udang yang banyak terbuang di Aceh diolah menjadi berguna,” kata Iqbal. Bila ditindaklanjuti, lumayan mengurangi bau pesing pasar ikan seluruh Aceh. Untuk mengumpulkan kulit udang, tentu tak perlu baca buku berjam-jam bukan? [a]

Emas dari Kulit Udangoleh JAMALUDDIN

Kulit Udang

Dibuang Sayang

jeans dia pun berguna untuk menambah kekuatan zat pewarna -- ini memanfaatkan sifatnya yang tak mudah larut dalam air. Industri kain wol pun memanfaatkannya agar produknya lebih tahap terhadap api.

Chitin dan chitosan tak perlu dibuat dengan teknik canggih. Untuk memperoleh chitin, mula-mula dilakukan demineralisasi, proses penghilangan garam-garam mi neral dari kulit atau kepala udang. Proses ini dikerjakan dengan cara merendamnya dalam asam klorida (HCI).

Proses pun berlanjut dengan menghilangkan protein dari bahan baku. Caranya dengan merendamnya dalam natrium hidroksida (NaoH), lalu dicuci dan dikeringkan selama 24 jam. Hasilnya berupa kristal chitin.

Sepintas, memang mudah. Tapi, proses yang serampangan takkan memberikan mutu dan jumlah yang memadai. Kuncinya, berada pada perlakuan suhu dan konsentrasi HCI. Untuk membuat chitosan, proses tadi masih dilanjutkan dengan perendaman dengan NaoH pekat dan pencucian ulang.[a]

chitin

chitosan

membran

modulmembran

penjernihan air

JAM

ALUD

DIN

—AK

CEH

KIN

I

Page 32: Majalah ACEHKINI #05

32

Nanggroë

Bermula dari Piring Emas. Kebijakan uang rehab rumah Rp 2,5 juta menuai protes di sekujur Aceh. Inilah riwayat angka dua setengah juta.

REKONSTRUKSI FEATURE

MAYAT-MAYAT BERSERAKAN DI jalanan. Walau suara tahlil terus berku-mandang, namun pocong-pocong terus berteriak, “jangan ambil hak kami!”. Di ambang pagar, polisi berjaga agar rusuh tak merebak.

“BRR yang tidak kami hormati, ini laporan mayat-mayat, karena korban tsunami sudah capek bicara,” teriak Azhari, seorang cerpenis mengawali orasi. Unjuk rasa di depan kantor BRR pertengahan bulan April itu, merupakan gelombang akhir protes terhadap kebijakan penyaluran bantuan biaya rehabilitasi rumah

korban tsunami senilai Rp 2,5 juta dari sebelumnya Rp 15 juta.

Jauh sebelum unjuk rasa merebak, di dalam kantor BRR para insinyur aduk ilmu. Berbulan-bulan mereka rembuk dari cara menghitung, proses mendata sampai bagaimana membagikan bantuan dana rehabilitasi. Di antara para arsitek, juga

oleh MAIMUN SALEH

ATAS: CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI; KANAN, DARI ATAS: CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI; YO FAUZAN —ACEHKINI

tiga tanda luka tak cukupmenguak tabir anak yang hilang... hal. 35

Page 33: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 33

dilibatkan ‘jagoan ekonomi’. “Ini arsitek yang sudah dua tahun

bekerja di komunitas,” kata J Kamal Farza, mantan Direktur Prakarsa Pembangunan Partisipatif di Kedeputian Perumahan dan Permukiman Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, awal Mei silam. Para arsitek dimaksud; Teuku Indra, Irfan, Fadli, Adward dan Bodie Wibowo.

Kamal dan Wisnubroto Sarosa, Direktur Perencanaan Deputi Perumahan dan Permukiman memimpin tim ini. Berulang kali hasil ‘peras pikiran’ para arsitek diuji di internal kedeputian yang paling serius disorot publik. Hasilnya lahirlah, konsep yang disebut “mekanisme penyaluran bantuan dana rehab”.

Konsep ini terbilang modern. Agar tepat sasaran dan uang yang tersalur sesuai tingkat kerusakan, tim merancang software. Kelak petugas lapangan hanya mengisi item yang sudah tersedia dalam formulir penilaian. Sementara jumlah bantuan yang akan diperoleh penerima bantuan ‘dijawab’ komputer.

Tim bersepakat ada tiga kategori kerusakan yang pantas mendapat bantuan yakni rusak berat untuk kehancuran konstruksi umum seperti tiang, pondasi dan balok lantai. Bila rumah rusak pasangan bata, pasangan lantai, penutup atap maka dikategorikan rusak sedang. Kalau hanya rusak di plasteran, cat atau daun pintu maka digolongkan rusak ringan.

Setiap kerusakan tak akan mendapat nilai bantuan yang sama. Untuk kerusakan berat akan mendapat bantuan antara Rp 12,5 juta sampai Rp 15 juta. Rusak sedang Rp 10 juta sampai Rp 7,5 juta. Sementara rusak ringan akan mendapat bantuan Rp 5 juta. “Sudah disetujui Deputi Perumahan,” kata Kamal. Sebelum bergabung dengan BRR, dia dikenal sebagai aktivis antikorupsi.

Menjelang akhir tahun silam, konsep ini dipresentasikan ke forum yang dihadiri para petinggi BRR. Mereka adalah Deputi Pengawasan, Deputi Operasi, Keuangan dan Perumahan. “Sekretaris Badan Pelaksana juga ikut,” ungkap Wisnu.

Pertemuan selama dua jam berjalan ‘dingin’ tanpa debat. Para petinggi BRR hanya minta penjelasan soal teknis mengoperasikan konsep itu. Bahkan, Kamal yang mempresentasikan yakin ide itu berujung surat keputusan.

Kamal hanya mengingat dua pernyataan yang sempat muncul dalam pertemuan tersebut. Angka Rp 2,5 juta itu sendiri diakuinya pertama sekali didengar dari Eddy Purwanto, Deputi Operasi. “Ini cukup bagus. Tapi tolong tambahkan kategori Rp 2,5 juta,” ujar Kamal mengulang pernyataan Eddy.

Ramli Ibrahim, Deputi Pengawasan, hanya meminta tim memastikan kembali

data korban yang sudah mendapat dana rehab dan belum. Pasalnya, angka calon penerima bantuan membengkak dari 9.000 rumah menjadi 42.000 unit.

Usai pertemuan ‘dingin’ itu, seraya menunggu turunnya surat keputusan Kepala Badan Pelaksana BRR, Kedeputian Perumahan mengumpulkan 200 warga. Lewat beberapa pertemuan, mekanisme penyaluran dijelaskan. Mereka lalu ‘diangkat’ menjadi Fasilitator Kemukiman (Faskim), yang jadi ujung tombak penyaluran kelak.

Urusan teknis penyaluran kelar. Kedeputian Perumahan masuk dalam masalah baru, verifikasi data dari sistem pendaftaran akhir tahun 2006 mandek. Sederet persoalan muncul di lapangan.

Menurut Wisnu, petugas lapangan bahkan sering mendapat ancaman dari warga agar memperoleh bantuan. Iba dan KKN juga mulai tercium di sini. “Verifikasi sudah tak mungkin kita lakukan,”katanya.

Tiga tahun sudah tsunami berlalu. Masyarakat yang ‘mampu’ sudah merehab sendiri rumahnya. Tak ada jejak tingkat kehancuran lagi. Berbeda dengan upaya proyek perumahan kembali, tinggal dipastikan benar tidak korban dan punya atau tidak tanah.

Verifikasi penyaluran dana rehab lebih sulit. Tak cukup bermodal kesaksian warga sekeliling. Petugas lapangan harus melihat bentuk fisik rumahnya. Tanpa itu, mustahil

Demo di kantor BRR Aceh-Nias.

Page 34: Majalah ACEHKINI #05

34

tingkat kerusakan bisa digolongkan berat, sedang atau ringan.

Februari lalu, para insinyur yang me-nyusun konsep penyaluran bantuan kaget bukan main. Rindu akan turunnya surat keputusan yang mereka susun berbuah nihil. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Badan Pelaksana BRR, mengeluarkan surat keputusan Nomor 10/PER/BP_BRR/II/2008. Isinya, bantuan rehabilitasi disal-urkan Rp 2,5 juta, rata ke seluruh korban.

Itu artinya, konsep para insinyur yang telah memeras otak, tak dipakai. Seakan sadar jumlah bantuan begitu minim, dalam surat keputusan Ketua Bapel BRR tidak lagi disebut penyaluran dana rehab, melainkan bantuan sosial. “Nama itu diusulkan oleh Sekretaris Badan,” kata Wisnu.

Hitungan hari, setelah BRR meng-umum kan daftar korban gempa dan tsunami yang berhak mendapat bantuan, unjuk rasa pun merebak. Mulai dari Sing-kil, Meulaboh, Banda Aceh, hingga Lhok-seumawe. Tuntutannya, kembali ke aturan awal: BRR harus menyalurkan dana rehab Rp 15 juta. Memang sebelumnya BRR per-nah menya lurkan bantuan sebesar Rp 15 juta.

Dana yang tersedia hanya Rp 135 miliar. Bila tuntutan itu dipenuhi, dibutuhkan duit Rp 630 miliar. Lalu, kalau diajukan tambahan ke pemerintah, kemungkinan besar BRR sudah duluan tamat masa tugasnya. Pengucuran Rp 2,5 juta, menurut Wisnu, adalah jalan tengah dari segala persoalan yang dihadapi.

Keputusan Rp 2,5 juta juga mengabai-kan amanat Keputusan Presiden Nomor 30 tahun 2005 tentang rencana induk. Sebab dalam blueprint disebutkan angka Rp 10 juta untuk merehab rumah rusak ringan. BRR juga mengangkangi keputusan pre-siden dalam pembangunan kembali rumah yang nilainya di atas Rp 50 juta padahal tertulis dalam blueprint Rp 28 juta.

Berbagai komentar miring pun dialamatkan ke BRR. Kaum politisi di parlemen bersuara lantang. Mereka mendesak Gubernur, Irwandi Yusuf, yang menjabat Wakil Kepala Badan Pelaksana, dan Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria, anggota Dewan Pengarah, keluar dari BRR. Janji-janji untuk memperjuangkan hak korban tsunami bagai tenggelam ditelan sang waktu.

Penyaluran tahap sebelumnya Rp 15 juta sendiri tidak berjalan mulus. Malah kas BRR terbilang ‘bocor’. Dewan Pengawas protes, ramainya warga tidak berhak, justru mendapat bantuan. Auditor mempertanyakan kenapa biaya penyaluran sangat tinggi, mencapai miliaran untuk para konsultan. “Istilahnya menyajikan ubi dengan piring emas,” kata Wisnu.

[a] SEAR

AH JA

RUM

JAM

: CH

AID

EER

MAH

YUD

DIN

—AC

EHK

INI;

YO F

AUZA

N —

ACEH

KIN

I; CH

AID

EER

MAH

YUD

DIN

—AC

EHK

INI

Rentetan Demo BRR

2006

11-12 SeptemberSeribuan pengungsi korban tsunami dikomandoi Direktur Forum Komunikasi Antar Barak (FORAK) dr Panji Utomo berunjukrasa dan bermalam di kantor BRR. Mereka menuntut percepatan pembangunan rumah.

19-20 SeptemberSeribuan pengungsi berunjukrasa ke BRR, berakhir rusuh. Dua mobil rusak. Petinggi dan puluhan staf BRR terkurung 10 jam. Bos FORAK, dr Panji, dinyatakan buron oleh polisi karena dituduh memprovokasi pendemo sehingga bertindak anarkistis.

29 SeptemberDirektur FORAK, Panji Utomo, resmi jadi tersangka utama aksi demo BRR yang berakhir rusuh, pada 20 September.

19 DesemberPanji divonis tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh karena terbukti menyebarkan permusuhan di muka umum dalam aksi demo di BRR, 20 September.

2007

9 AprilPanji kembali memimpin demo ke BRR yang menuntut pemenuhan hak-hak korban tsunami.

10 April Aksi demo BRR digelar di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Massa melakukan mosi tak percaya ke BRR, dengan membubuh tanda tangan di kain putih.

20 NovemberPuluhan mahasiswa berunjuk rasa ke BRR, menuntut merumahkan korban tsunami yang masih berada di barak.

2008

15 JanuariSekitar 1.000 warga Singkil mendemo Kantor BRR Regional V, mendesak percepatan pembangunan rumah dan mempertanyakan realiasasi dana rehab rumah.

3 FebruariWarga Singkil sepakat menolak bantuan dana rehab rumah yang ditetapkan BRR senilai Rp 2,5 juta.

5 FebruariSejumlah anggota DPRA dan aktivis LSM menuduh BRR menciptakan konflik horizontal antara sesama korban tsunami terkait dana rehab rumah Rp 15 juta karena sebelumnya BRR memberikan dana rehab Rp 15 juta/rumah.

5 MaretKepala BRR Kuntoro Mangkusubroto menegaskan besaran bantuan dana rehab rumah buat korban gempa dan tsunami ditetapkan Rp 2,5 juta/rumah.

11 MaretSekitar 1.500 warga Singkil, berunjuk rasa ke Kantor BRR Regional V, yang menolak dana rehab rumah Rp 2,5 juta. Mereka menilai kinerja BRR lemah, sehingga Kuntoro dihadiahkan seekor bebek betina.

14 MaretForum rapat BRR dan Pemerintah Aceh tentang perubahan isi dan lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 30 Tahun 2005 Bidang Perumahan menyarankan dana rehab rumah kor-ban tsunami sebesar Rp 15 juta.

27-30 Maret Ratusan korban tsunami menduduki Kantor BRR Distrik Meulaboh untuk menuntut dana rehab rumah Rp 15 juta dan menolak Rp 2,5 juta.

2 April Ratusan korban tsunami dari Aceh Barat menuju Banda Aceh untuk berdemo ke kantor BRR, menuntut dana rehab rumah Rp 15 juta.

3 AprilBupati Aceh Barat, Ramli MS, mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto yang intinya agar BRR memenuhi tuntutan dana rehab sebesar Rp 15 juta, bukan Rp 2,5 juta.

4 – 10 April Ratusan warga korban gempa dan tsunami dari Aceh Barat berdemo di kantor Pusat BRR untuk menuntut dana rehab rumah Rp 15 juta dan menolak Rp 2,5 juta seperti ditetapkan BRR. Aksi demo juga terjadi di kantor BRR Regional II di Lhokseumawe.

5 AprilGubernur dan pimpinan DPRA menge-luarkan rekomendasi yang harus segera dilaksanakan BRR. Intinya memenuhi tuntutan korban gempa dan tsunami yang berdemo di kantor BRR.

5 AprilKepala BRR Kuntoro Mangkusubroto, menegaskan, BRR tak mungkin mengubah kebijakan bantuan sosial perbaikan rumah yang telah ditetapkan

Rp 2,5 juta/rumah.

9 April34 anggota DPRA mendesak Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria mundur dari jabatan mereka di BRR, karena BRR dinilai arogan menyikapi tuntutan korban tsunami. Irwandi mengaku akan terus memperjuangkan tuntutan korban tsunami.

9 AprilMenteri Negara PPN/Kepala Bappenas, Paskah Suzetta, mengirim surat ke Gubernur Aceh yang intinya mengakhiri penyaluran bantuan dana perbaikan rumah dan diganti dengan pemberian bantuan sosial untuk perbaikan rumah.

11 AprilAnggota Dewan Pengarah BRR Sayed Fuad Zakaria, menilai kebijakan dana rehab rumah bagi korban gempa dan tsunami Rp 2,5 juta/unit, melanggar Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2005, karena dalam blueprint disebut-kan dana untuk rumah rusak ringan Rp 10 juta dan rusak berat Rp 28 juta.

15 AprilKoalisi NGO HAM Aceh menilai BRR telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia ekonomi, sosial, dan budaya karena tak memenuhi tuntutan korban tsunami.

16 AprilAksi demonstrasi menuntut dana rehab rumah Rp 15 juta terjadi di kantor pusat BRR dan kantor regional II di Lhokseumawe.

17 AprilSeratusan korban tsunami berunjukra-sa di kantor gubernur. Saat berdemo di kantor BRR, mereka mengamuk akibat ulah seorang pemuda tak dikenal yang mengeluarkan kata-kata kasar. Massa sempat menghajar sang pemuda yang kemudian diketahui kurang waras.

19 April Korban tsunami dari Aceh Barat yang sejak dua pekan berada di Banda Aceh untuk berunjuk rasa ke Kantor BRR pulang ke daerahnya. Mereka kemudian menduduki Kantor BRR Distrik Meulaboh.

20 MaretRatusan korban tsunami berdemo di Kantor BRR Distrik Meulaboh untuk menolak dana rehab rumah Rp 2,5 juta.

22-24 AprilSeribuan korban tsunami berdemo di kantor BRR Regional II Lhokseumawe, menentang dana rehab rumah Rp 2,5 juta dan menuntut Rp 15 juta. Mereka menduduki kantor BRR. Aksi demo juga berlangsung di kantor BRR Distrik Meulaboh. [a]

Page 35: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 35

NUR

DIN

HAS

AN —

ACEH

KIN

I

Setelah Tanda Luka Terungkap. Pasangan suami-istri asal Aceh meyakini salah satu peserta Idola Cilik sebagai anaknya yang hilang saat tsunami. Tiga luka tak cukup menguak tabir.

oleh FAKHRURRADZIE GADEdan NURDIN HASAN

“ANAKKU,” TERIAK SURYANIhisteris sambil mendekap Riko Anggara. Bulir air mata seketika membasahi pipi perempuan 30 tahun itu. Saat pelukan terlepas, dia memelototi sekujur tubuh Riko. Hanya sekejap, ia kembali mendekap. Tak hanya memeluk, Suryani juga mencium dan menyapu wajah hitam manis bocah 11 tahun itu.

“Kamu mirip sekali dengan anak saya,” kata Suryani. Riko hanya mematung. Sesekali dia mengangguk. Raut wajahnya datar, tanpa ekspresi. “Sabar ya bu. Semoga ibu bisa bertemu kembali dengan anak ibu,” ujar Riko. Suryani kian erat memeluk dan menciumi tubuh mungil siswa Sekolah Dasar Negeri 4 Kelapa Dua, Jakarta.

Drama itu berlangsung di ruang pertemuan RCTI Jakarta, awal Mei lalu. Ini bukan reality show, tapi pencarian seorang ibu yang kehilangan anak. Seisi ruangan mematung. Rasa haru-biru menyeruak. Nenek, kakek dan paman Riko hanya menyak sikan drama itu. Tarmizi, suami

Suryani, juga terpaku melihat Riko, yang mirip Rahmat, anaknya yang hilang dalam bencana tsunami tiga setengah tahun silam.

“Ayo, giliran bapak,” kata Deni Reksa, news manager RCTI, kepada Tarmizi yang masih terpaku. Tarmizi yang memakai kaos motif bergaris hijau tua-putih langsung mendekap Riko. Raut kesedihan terpancar dari wajah warga Desa Neuheun, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar, ini. Untuk mencairkan suasana, news manager RCTI Deni Reksa, mempersilakan keluarga Riko dan Tarmizi duduk semeja. Riko duduk persis di samping Suryani yang tak henti menatapnya.

Semua berawal dari pentas Idola Cilik, ajang pencarian bakat menyanyi di RCTI. Suatu hari, tanpa sengaja Suryani melihat Riko sedang menyanyi di tivi. Dadanya bergetar. Matanya tak berkejap. Batinnya berkata, yang sedang mengolah vokal adalah anaknya. Ia bertambah yakin ketika suami dan para tetangga mendukung pendapatnya. Sejak itu, ia memendam tekad: bertemu Riko.

Berbagai upaya ditempuh. Menelepon

redaksi RCTI di Jakarta, mencari per-wakilan di Banda Aceh, hingga mencari sia-pa yang bersedia memfasilitasi keberang-katannya. Maklum, Suryani dan Tarmizi hanya pedagang kecil berpenghasilan ter-batas. Di telepon, ia sempat berbicara den-gan Riko. Namun, waktu itu, Riko mengaku bukan asal Aceh, melainkan Palembang. Suryani tak yakin. “Semua yang ada pada Riko persis anak saya, Rahmat,” ujarnya.

Difasilitasi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh – Nias, Suryani dan suaminya terbang ke Jakarta. Di ruang pertemuan RCTI, melihat Riko dari dekat, keyakinan Suryani bertambah. Menurutnya, banyak kemiripan antara Riko dengan Rahmat: cara jalan, senyum, potongan rambut, hingga raut wajah. Ditambah lagi, beberapa tanda khusus Rahmat juga dimiliki Riko. Sebut saja misalnya, luka di atas kening, di paha, dan lutut.

“Riko, luka di atas kening kamu itu kenapa?” tanya Tarmizi seketika.

“Kena kawat waktu jatuh dari sepeda,” jawab Riko.

Jawaban Riko membuat Tarmizi dan Suryani terhenyak.Tapi mereka berusaha menguasai diri. Tarmizi berusaha tersenyum. “Kok bisa sama ya. Rahmat juga punya bekas luka di atas kening,” kata dia.

Sontak saja seisi ruangan terpana. Kakek Riko mengatakan ikut prihatin dengan apa yang menimpa keluarga Tarmizi. “Saya ikut prihatin. Kalau ibu benar-benar rindu dengan anak ibu, saya juga persilakan ibu melepaskan kerinduan dengan cucu saya ini,” kata sang kakek tak meneruskan ucapannya.

Kesempatan ini benar-benar dipergunakan Tarmizi dan Suryani untuk menelisik kemiripan Rahmat dengan Riko.Tiga luka di tubuh Rahmat dimiliki Riko. Anehnya, luka-luka itu berada pada bagian tubuh yang sama, seperti luka di betis, paha, dan di atas kening. Hanya saja, tahi lalat yang ada di kepala Rahmat, tidak ditemukan pada diri Riko. “Tahi lalat di kepala anak saya kecil,” kata Suryani usai menyibak rambut lurus Riko.

***

Suryani terharu saat bertemu dengan Riko

Page 36: Majalah ACEHKINI #05

36

TARMIZI DAN SURYANI INGAT benar tragedi yang merampas buah ha-tinya. Saat gempa 8,9 pada skala Richter menggoyang Aceh pagi Minggu, 26 Desem-ber 2004, mereka masih di rumahnya di kawasan Dusun Mon Singet, Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.

Usai gempa, Tarmizi membawa dagang annya ke Pasar Aceh, sekitar 10 kilometer dari rumah. Rahmat, anak kedua pasangan ini, meminta ikut sang ayah. Namun permintaan itu ditolak Tarmizi. Dia meminta Rahmat menyusul dengan ibunya, Suryani.

Bersama Rahmat, Suryani menggendong Fitrah—saat itu berusia sembilan bulan—menyusul sang ayah dengan menumpang angkutan kota. Beranjak satu kilometer, ia dikejutkan gelombang warga berlarian dengan wajah ketakutan ke arah berlawanan. Ia masih bingung apa yang terjadi.

“Air laut naik,” Suryani heran mendengar teriakan warga. Jalanan berubah menjadi lautan manusia. Turun dari labi-labi, ia berlari menghindar air bah. Sial, bajunya tersangkut kawat. Berkali-kali dia berusaha menarik bajunya, tapi gagal. Rahmat, anaknya, telah di depan. Namun melihat ibu dan adiknya tersangkut, dia berusaha membantu menarik baju ibunya. Berhasil.

Bebas dari kawat duri, tak berarti Suryani terbebas dari ancaman air. Saat berlarian, Suryani kembali terjatuh—bersama bayi mungilnya. Lagi-lagi, Rahmat berusaha menolong ibu dan adik kecilnya. “Padahal, saya suruh Rahmat lari menyelamatkan diri. Tapi dia tidak mau dan membantu saya,” ujar perempuan kelahiran Singkil itu.

Entah bagaimana, Suryani terpisah dengan buah hatinya. Ia sendiri sempat digulung gelombang air laut yang murka. Setelah air surut, Suryani memutuskan mencari anak-anaknya. Tiga anaknya berhasil ditemukan. Tapi Rahmat, hilang.

Sehari setelah tsunami, Suryani dan Tarmizi kembali ke kampung. Berhari-hari mereka mencari jejak Rahmat. Semua jenazah yang dijumpainya diperhatikan seksama. Tak ada jasad kaku Rahmat. Malah, pencarian dilakukan sampai ke Sumatera Utara. Lelah mencari, mereka mengikhlaskan kepergian Rahmat, kendati tidak yakin tsunami telah merenggut anaknya.

***

TIGA SETENGAH TAHUN TELAH lewat. Suatu siang di bulan Maret, di rumah barunya di Kompleks Cinta Kasih Budha Tzu Chi, Desa Neuheun, Aceh Besar, mata Suryani terpacak pada sosok bocah kecil di televisi. Sosok itu tak asing baginya. “Dia mirip sekali dengan anak saya,” katanya.

Dia lantas memanggil suaminya. Suryani malah langsung bilang bahwa itu adalah Rahmat, anak mereka yang hilang dalam gelombang tsunami. Tapi, Tarmizi tak percaya begitu saja. Dia berusaha meyakinkan istrinya bahwa Riko yang tampil di Idola Cilik RCTI itu hanya mirip anak mereka. Tapi, para tetangga yakin Riko adalah Rahmat, anak mereka yang hilang.

Suami-istri ini lalu mencari nomor telepon stasiun RCTI. Berkali-kali mereka mendatangi stasiun transmisi RCTI di Mata Ie. Sejumlah nomor telepon yang diberikan petugas transmisi gagal tersambung. Kecewa, Tarmizi sempat membanting telepon genggang kesayangannya.

Tak kehilangan akal, mereka mendatangi tempat nongkrong jurnalis Foto Riko di rumah Tarmizi.

di Banda Aceh. Di sana, mereka bercerita kemiripan anaknya dengan Riko Anggara. Bahkan, mereka mengatakan bahwa Riko adalah anak mereka. Keyakinan itu tak berubah setelah mereka bertemu Riko.

“Saya yakin itu anak saya,” kata Suryani usai bertemu Riko. Keyakinannya bertambah karena keterangan keluarga Riko selalu berubah-ubah. Kadang kala, ibunya dibilang meninggal saat Riko masih berusia sembilan bulan. Di lain waktu, mereka berkata Riko kehilangan ibunya di usia lima tahun.

Saat mengajak Riko jalan-jalan di Tugu Monumen Nasional, Jakarta, Tarmizi dan Suryani menemukan banyak sifat Riko yang mirip Rahmat. “Anak saya paling tidak suka sama durian. Saat jalan-jalan itu, kami beli durian, tapi Riko tidak mau makan,” kata Tarmizi kepada ACEHKINI.

Sederet keanehan itu membuat Tarmizi dan Suryani masih menyimpan harapan bahwa Riko adalah Rahmat, buah hati mereka. Kini, mereka hanya berharap kejujuran keluarga Riko. “Keluarga si Riko tidak mau meyakinkan kami bahwa itu bukan anak kami. Seharusnya, mereka meyakinkan agar kami tidak ragu lagi.Misalnya, kalau itu bukan anak kami, ya tes darah.Tapi mereka tidak berani. Untuk periksa luka saja tidak dikasih nampak. Padahal luka itu ada semua,” kata Tarmizi.

Kini, Tarmizi hanya bisa berharap misteri Riko terungkap. “Riko sering menelepon waktu saya telah tiba di Aceh. Kadang-kadang dia mengaku tidak bisa tidur karena teringat kami,” ujarnya.[a]

Keluarga si Riko tidak mau meyakinkan kami bahwa itu bukan anak kami. Seharusnya, mereka meyakinkan agar kami tidak ragu lagi.

CHAI

DEE

R M

AHYU

DD

IN —

ACEH

KIN

I

Page 37: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 37

BisnisEkonomi &

Menjegal Andalas Hingga ke Madrid. Perseteruan warga dengan Semen Andalas sampai ke Madrid. Akibatnya, pinjaman dari ABD ditinjau ulang.

oleh YUSWARDI AS dan DEDEKHAS

BI A

ZHAR

—AC

EHKI

NI

INDUSTRI

Mengharap Rezeki dari Pelancong.Prahara pengrajin rencong. Hal. 39

Page 38: Majalah ACEHKINI #05

38

DARI LHOKNGA, ACEH BESAR, kabar tak sedap itu sampai juga ke kuping Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB) Haruhiko Kuroda. Dalam pertemuan sidang tahunan ADB di Madrid, Spanyol, awal Mei lalu, Forum LSM pengawas pinjaman ADB lantang menentang rencana ADB memberikan pinjaman duit kepada Semen Andalas.

Titi Soentoro dari LSM Nadi meminta ADB menunda pemberian pinjaman sampai Semen Andalas menyelesaikan masalah dengan masyarakat Lhoknga dan Leupung. Selain itu, analisis dampak lingkungan yang dibuat Semen Andalas sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman, juga dinilai tidak sesuai fakta. “Presiden ADB akan mempertanyakan kembali pinjaman itu ke bawahannya,” ujar Titi saat dihubungi ACEHKINI pertengahan Mei lalu.

Konflik antara Semen Andalas dengan warga Lhoknga bermula pada 17 Desember 2007. Saat itu, sekitar 3.000 warga mem-blokir jalan menuju pabrik semen. Warga menilai Andalas ingkar janji karena tidak mempekerjakan warga setempat. “Padahal mereka pernah berjanji memprioritaskan masyarakat setempat,” ujar Yulfan, juru bicara Komite Masyarakat Bersatu Keca-matan Lhoknga dan Leupung. Sejak itu, serangkaian pertemuan dilakukan, namun belum tercapai kata sepakat.

Jauh sebelum demo berlangsung, Bank Pembangunan Asia telah menyetujui memberi pinjaman sektor swasta sebesar 45 juta dolar Amerika atau setara Rp 420 miliar untuk pembangunan kembali pabrik Semen Andalas. Rekonstruksi dilakukan

karena pabrik ini hancur akibat tsunami. Untuk membangun kembali pabrik, Andalas yang dikuasai kelompok Lafarge asal Prancis butuh dana mencapai 100 juta dolar Amerika. Bantuan ini juga akan dipakai untuk meningkatkan kapasitas produksi dari 1,4 juta metrik ton menjadi 1,6 juta metrik ton per tahun.

Nah, salah satu syarat yang diajukan ADB, Semen Andalas harus membuat laporan analisis dampak lingkungan dari keberadaan pabrik mereka. Laporan itu diselesaikan pada 2006. Namun, kata Yulfan, laporan itu tidak disetujui masyarakat.

Dia mencontohkan, dalam laporan itu disebutkan tidak ada kelelewar yang hidup di sekitar pabrik. Padahal, kata dia, hasil penelurusan warga ditemukan banyak kelelewar dan burung walet di sana. Hal lain, jarak Desa Naga Umbang dengan lokasi pabrik disebutkan 4 kilometer. Padahal, menurut Yulfan, hanya 600 meter. Akibatnya, kata dia, warga setempat ‘mabuk’ debu.

Dalam laporan analisis lingkungan itu disebutkan, mereka sudah melakukan dua kali diskusi publik pada April 2006. Yulfan membantah. Menurutnya, hanya ada dua imum mukim yang diajak,”Itupun mereka keluar ruangan sebagai bentuk tidak setuju atas laporan itu,” ujarnya.

April lalu, Komite mengirim surat ke Dewan Direktur ADB. Mereka meminta ADB meninjau kembali rencana pemberian pinjamam sebelum persoalan dengan masyarakat lokal diselesaikan. Disinggung pula soal analisis dampak lingkungan

yang dinilai tidak sesuai fakta yang ada. “Kami berharap ADB bisa lebih arif melihat persoalan ini,” ujar Yulfan. Namun, surat itu tak mendapat respon.

Dalam rekomendasi dari Presiden ADB kepada Dewan Direktur yang yang di-peroleh ACEHKINI disebutkan, Semen An-dalas akan menggunakan teknologi ramah lingkungan sehingga tidak bertentangan dengan kebijakan ABD. Rekomendasi ber-tanggal 16 Maret 2007 itu ditandatangani oleh Wakil Presiden ADB Liqun Jin. Reko-mendasi ini disetujui dalam pertemuan Dewan Direktur pada 17 April 2007.

Perwakilan ADB di Banda Aceh mengaku tidak terlibat dalam pinjaman dana ke Semen Andalas. “Itu langsung dari kantor pusat di Filipina,” ujar Rizal Matandong, staf ADB di Banda Aceh. Meski mengaku mengetahui adanya pinjaman itu, Rizal mengaku pihaknya tidak terlibat langsung. “Studi kelayakan juga tidak melibatkan ADB Banda Aceh,” ujarnya sembari menyarankan ACEHKINI berhubungan dengan kantor Filipina.

Menurutnya, ADB di Banda Aceh hanya menangani bantuan hibah sebesar Rp 2,6 triliun kepada pemerintah Aceh. “Kantor kita di Aceh hanya bersifat sementara, setelah program hibah itu selesai itu, kemungkinan kantor ini juga akan ditutup,”ujarnya.

Abdul Mukti, tokoh pemuda Lhoknga dan Leupung, meminta Semen Andalas merealisasikan tuntutan warga sebelum

ATAS: HASBI AZHAR —ACEHKINI; KANAN BAWAH: YO FAUZAN —ACEHKINI; KANAN ATAS: CHAIDEER MAHYUDDIN —ACEHKINI

PT SAI sedang dalam perbaikan setelah hancur akibat tsunami.

Page 39: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 39

beroperasi kembali. “Kami memohon keseriusan pihak Semen Andalas, mereka terkesan mengulur-ulur waktu dialog dengan warga. Bahkan sudah dua kali PT SAI membatalkan pertemuan yang sudah disepakati,” ujar Mukti.

Terakhir, pertemuan awal Mei juga tak mencapai kata sepakat. Penyebabnya, warga mempertanyakan mekanisme kompensasi dampak lingkungan yang akan timbul. Warga juga meminta komitmen tertulis dari Semen Andalas. Mengenai pinjaman ADB untuk Semen Andalas, ‘warga juga tak pernah dilibatkan. Sama halnya saat pembuatan analisis dampak lingkungan,” ujar Mukti. Ia mengakui ada warga Lhoknga yang dilibatkan. Namun warga Naga Umbang tempat PT. SAI mengambil material, kata dia, tak pernah dilibatkan.

Geusyik Naga Umbang M. Nur Ibrahim mengakui hal ini. Ia berharap Andalas menyelesaikan masalah dengan warga sebelum kembali beroperasi. Menurutnya, bila pabrik semen kembali berasap, warga Naga Umbang yang paling parah menanggung resiko. Sebab, dari desa itulah Semen Andalas mengeruk bahan baku limestone (bahan campuran semen). “Sebelum material diambil, biasanya dilakukan blasting (peledakan) sampai dua kali sehari. Lokasinya hanya berjarak 20 – 30 meter dari rumah penduduk,” ujar Geusyik M.Nur.

Sebenarnya, limestone juga ada di Lampuuk. Namun, kata Nur Ibrahim, masyarakat di sana tak mengizinkan Semen Andalas mengambil material dari kampung mereka. “Dulu kami mengizinkan karena ada janji mereka akan memperhatikan masyarakat setempat, tapi sampai sekarang tidak pernah terealisasi,”

ujarnya. Menurutnya, dengan aktivitas seperti

itu masyarakat di sekitar lokasi merasa tidak nyaman. Setiap akan dilakukan peledakan, kata dia, warga diminta pulang dari sawah atau ladang. Tak jarang, getaran akibat peledakan merusak jendela rumah warga. “Kami tidak pernah mendapat ganti rugi yang setimpal,” ujar Geusyik Nur.

Humas Semen Andalas Wisnu D Diwantara menolak berkomentar. “Semen Andalas belum mendapat pinjaman dari ADB. Itu dokumen lama, biarlah ADB yang mengklarifikasi,” ujar Wisnu.

Ia menambahkan, Semen Andalas akan memulai beroperasi pertengahan 2009 setelah rekonstruksi pabrik selesai. Mengenai permasalahan antara PT SAI dengan warga Lhoknga dan Leupung, kata dia, masih dicarikan jalan tengah. “Saat ini pertemuan demi pertemuan dengan warga terus dilakukan untuk mencari penyelesaian terbaik. Saya tidak menyebutkan bahwa semua tuntutan warga akan dipenuhi,” ujarnya.

Syariah, 45 tahun, warga Naga Umbang mengaku dirinya harus pindah karena rumahnya terletak di lokasi peledakan. Saat itu, kata dia, ganti ruginya tidak layak. “Untuk kerusakan sawah dan kebun saya tidak pernah mendapat ganti rugi,” ujarnya.

Ia resah bila Semen Andalas kembali beroperasi. Selain kenyaman terusik, pengalaman sebelumnya, aksi peledakan bahan baku sering meleset dari jadwal yang diberitahu. “Belum lagi debu-debu yang menutupi rumah kami,” ujarnya. Walhasil, ia berharap, pertemuan di Madrid menghasilkan solusi bijak. [a]

Rezeki dari Pelancong. Pengrajin rencong ‘bertuan’ pada pelancong. Usaha turun-temurun kini terus surut.

oleh JAMALUDDINDALAM GUBUK BERATAP RUMBIA dan tak berdinding, saban hari bunga api menyala-nyala di atas tungku. Dentum besi panas beradu martil sahut-sahutan, tiap pagi di Baet Masjid Kecamatan Suka Makmur, Sibreh, Aceh Besar.

Turun-temurun warga desa ini menjadi pengrajin rencong. Di desa yang dihuni 145 keluarga, hanya 30 persen saja pria yang tidak lihai memipihkan besi menjadi senjata tradisional Aceh. “Mengubah besi menjadi rencong sudah tradisi dari nenek kami di sini,” jelas Ridwan, seorang pengrajin rencong di Baet.

Rencong boleh saja terkenal, tapi derajat hidup para pengrajinnya tetap jauh dari makmur. Pasalnya, pasar

Pabrik Semen Andalas hancur dihantam tsunami, akhir 2004.

USAHA KECIL

Page 40: Majalah ACEHKINI #05

40

Proses pembuatan rencong di Desa Baet, Sibreh.

CHAI

DEE

R M

AHYU

DD

IN —

ACEH

KIN

I

bergantung dari ramai tidaknya pelancong. Akibatnya, produksi terpaksa diirit: kalau ada yang pesan, baru bara api menyala. Ini dilakukan agar harga tidak turun dan rencong tak menumpuk.

Di zaman Aceh dalam deraan konflik, walau kesulitan mengantarkan rencong ke pemesan akibat rajinnya kontak tembak, namun bisnis rencong tidak ‘mati’. Uniknya, sehabis perang untung biasanya datang.

“Kalau ada suara tembak menembak, pasti ada operasi, kita berhenti membuat dari pada nanti kena peluru nyasar. Tapi kalau aparat sudah masuk kampung, mereka sering membeli,” ujar Ridwan, sambil memanggang besi.

Pria 70 tahun itu bahkan mengaku karyanya juga beredar di Meulaboh-Aceh Barat, Sigli-Pidie, Lhokseumawe, Aceh Utara dan Blang Pidie- Aceh Barat Daya. Sayangnya, jumlahnya tak banyak. Ia memperkirakan masih banyak yang belum terjual di pasar Aceh.

Saban pagi, begitu mentari menyingsing, sang kakek memulai kerjanya. Bertelanjang dada ia menghidupkan tungku, memanggang besi sampai lunak, lalu membentuknya menjadi bilah-bilah rencong.

Ridwan mematok harga sebilah rencong ukuran 15 sentimeter yang terbuat dari kuningan Rp 30 ribu, dari besi putih dengan ukuran sama Rp 45 ribu. Sementara rencong ukuran 10 sentimeter yang terbuat dari kuningan dan sudah dibingkai harganya bisa mencapai Rp 100 ribu. Rencong dari besi putih, berukuran 60 senti mencapai Rp 1,5 juta. “Sulit membuat, juga sulit mendapat bahan bakunya,” jelasnya.

Dalam satu kilogram besi hanya menghasilkan 10 pucuk rencong berukuran 15 senti, untuk ukuran 60 senti butuh dua kilogram. Para pengrajin membeli besi putih Rp 15 ribu/kilogram, besi biasa hanya berkisar antara Rp 4 ribu dan Rp 5 ribu. Kini bahan baku berupa besi putih, dan tanduk kerbau atau sapi untuk gagangnya, tak jarang harus dibeli di Medan, Sumatera Utara.

Ridwan dikenal ahli memilin kuningan dan besi putih menjadi rencong bernilai tinggi. Ia sering dipercaya membuat rencong panjang dengan bentuk tertentu. Ada berbagai jenis rencong hasil karyanya, di antaranya rencong meupucok. Jenis ini gagangnya melengkung dan berhias

kuningan atau juga emas. Jenis subun, sarung dan gagangnya terbuat dari tanduk sapi atau gading gajah. Jenis rencong polos gagang dan sarungnya dari bahan kayu. “Yang banyak diminati jenis meupucok, karena lebih indah,” jelasnya.

Usai petaka tsunami, ramainya pekerja kemanusian yang bertandang ke Aceh sempat menjadi peluang baru bagi pengrajin. Rencong laris manis sebagai cinderamata. Namun kini, rencong hanya dipasok ke penjual souvenir di Banda Aceh. Masalahnya, di ibukota provinsi, penjual juga megap-megap.

Datanglah ke gang Expo di Pasar Aceh. Pekan lalu, tak ada lagi orang bule berburu rencong di sana. Padahal, setahun usai tsunami, pedagang di gang sempit itu mampu menjual 20 rencong sehari. “Rata-rata yang beli orang asing sebagai souvenir untuk dibawa pulang ke negaranya,” ujar Muhammad Ganto, seorang pedagang rencong di sana. Sayangnya, seiring dengan semakin menciutnya jumlah pekerja asing, rencong pun tak lagi membawa rezeki. “Sekarang tiga buah saja sulit terjual,” imbuh Ganto. [a]

Sekarang tiga buah saja sulit terjual.

Page 41: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 41

BudayaSeni &

Merawat Tradisi Berat di Ongkos. Kegigihan merawat tradisi mengantar mereka ke pentas dunia. Sayang, dibelit persoalan duit.

oleh FAKHRURRADZIE GADE dan DEDEK

TRADISI

TRADISI SASTRA ADAT MUSIK FILM BUKU

DI TERAS ITU MEREKA DUDUK berjejer, bersila di lantai yang setengah bersih. Di depannya, sejumlah rapai kecil tergeletak di lantai. Di hadapan mereka, sang instruktur, seorang lelaki, memberi aba-aba. Para anak muda itupun mulai menepuk tangan di dada: kiri dan kanan, silih berganti dalam gerak lambat. Tak berapa lama tubuh mereka meliuk-liuk, menari. Oops, instruktur menghentikan gerakan mereka, karena tidak kompak. Gerakanpun diulang.

Suatu sore di pengujung Mei lalu, Audi-torium Ali Hasjmy IAIN Ar-Raniry Banda Aceh menjadi saksi keuletan dan kegigihan para penari berlatih. Di sudut lain, tiga pria duduk bersila dengan gendang di tangan. Di belakangnya, berdiri tegak seorang perem-puan. Sementara lima lainnya bersiap-siap menarikan tarian Kreasi Baru “Syukran”. Gerakan tubuh mereka mengikuti irama gendang dan lantunan syair yang dibacakan syekh. Beberapa gerakan seperti orang main karate atawa silat.

“Tarian ini yang banyak disukai,” kata HAS

BI A

ZHAR

—AC

EHKI

NI

Page 42: Majalah ACEHKINI #05

42

Imam Juwaini, mantan ketua Sanggar Seni Seulaweut IAIN Ar-Raniry, sore itu.

Begitulah suasana latihan anggota Sang-gar Seni Seulaweut. Dalam sepekan, mereka berlatih tiga hari. Latihan ini untuk terus mengasah keterampilan dalam memain-kan berbagai tarian saat tampil di berbagai acara. Dua bulan terakhir, semangat berla-tih kian menyala. Maklum, sanggar ini di-undang secara resmi oleh Pemerintah Cina untuk tampil saat pesta pembukaan Olimpi-ade Beijing 2008 Agustus nanti. Pemerintah Cina rupanya kepincut saat mereka mentas di depan publik internasional yang berkum-pul di Qing Dao, Beijing, Cina, akhir Okto-ber 2007 lalu.

Sayangnya, hingga kini belum ada kepastian keberangkatan. Ketua Sanggar Dedy Saputra mendapat kabar mereka ter-ancam gagal ke ajang olimpiade. “Karena waktu berangkat ke Cina tahun lalu, entah kenapa, ada tersisa utang antara Dinas den-gan pihak ketiga,” ujarnya.

Ceritanya, keberangkatan mereka ke Beijing tahun lalu difasilitasi Dinas Pariwi-sata dan Budaya Aceh. Di sana, mereka ber-hasil ‘membius’ para diplomat yang hadir pada perheletan yang menghadirkan utusan 45 negara. Panitia menyediakan satu pentas khusus bagi mereka untuk memperkenalkan seni dan budaya Aceh. Entah bagaimana ceritanya, keberangkatan mereka ke sana, rupanya melibatkan pihak ketiga. “Pihak ketiga inilah yang tersangkut utang piutang dengan dinas,” ujar Dedi.

Padahal, Dedi sudah berencana kembali membius publik Cina dan negara peserta Olimpiade dengan gerakan tari Saman yang dinamis. Ia ingat benar, saat tampil di Bei-jing tahun lalu, tepuk tangan seakan tak pernah berhenti. Mereka memberi applause kendati tak paham dengan syair dan lirik yang dilafalkan syekh. “Mereka sangat an-tusias. Tapi itu tadi, ini beneran lagee Cina nonton Seudati,” kata Dedi, tersenyum.

Selain ke Olimpiade Beijing, sanggar ini juga telah mengantongi undangan untuk mentas di festival budaya tradisional di Tur-

ki. Sayangnya, ongkos ke sana juga belum ada. Lagi-lagi, rencana ke Turki terancam gagal. “Kita hanya butuh tiket pesawat. Se-dangkan akomodasi ditanggung sepenuh-nya oleh pemerintah Turki,” ujar Imam Ju-waini, seorang pengurus sanggar yang juga pimpinan grup musik Saleum itu.

Lahir 12 tahun silam, Sanggar Seni Seu-laweut adalah salah satu unit kegiatan ma-hasiswa di IAIN Ar-Raniry. Sempat terseok-seok di awal, Sanggar itu berhasil berkibar dan melejit ke pentas seni mancanegara. Pada September 2005, mereka tampil live di stasiun TV3 Malaysia. Itulah pertama ka-linya mereka tampil di di ajang intenasional. Saat itu, mereka menggoyang publik Malay-sia dengan Rapai Geleng dan Likok Pulo.

Usai tampil di TV3, Sanggar diminta tampil pada malam amal seni budaya Aceh di Kampong Baru, Kuala Lumpur. Tak ber-henti sampai di situ, TV3 kembali meminta mereka tampil dalam film dokumenter Jejak Rasul akhir 2006 lalu.

Bagi Imam Juwaini, penampilan di Ma-laysia menjadi kenangan manis. Betapa ti-dak, modal mereka berangkat hanya Rp 150 ribu. “Saat itu hampir tidak ada dukungan

dari siapa pun. Namun dengan tekad mem-bara, kami berangkat dan disambut hangat di sana,” kata Imam yang pernah memimpin Sanggar selama lima tahun.

Malaysia adalah batu loncatan mere ka tampil di panggung internasional. Di peng-hujung tahun 2005 komunitas seni anak muda ini kembali mendapat un dangan mentas di Universitas Kebangsaan Malaysia dalam muhibah seni dan budaya Aceh-Me-layu antarkampus. Kini, Sanggar Seulaweut telah mengoleksi lebih dari 50 piagam peng-hargaan. Ada penghargaan tingkat lokal, nasional, bahkan internasional.

Komunitas ini tak hanya berkutat pada pentas live di depan publik. Tahun lalu, me-reka memproduksi cakram padat (VCD) yang berisi tarian tradisional dan lagu yang mereka bawakan. Sejumlah senior di sang-gar itu bahkan telah merambah industri musik Aceh dengan membentuk Saleum Group. Menurut Imam Juwaini, pimpinan Saleum Group, produksi tari dan syair dalam cakram padat untuk menyasar audien yang lebih luas. Pasalnya, pentas langsung mere-ka sangat terbatas. “Dengan media VCD kita harap masyarakat bisa belajar syair dan tari tradisional Aceh,” kata dia.

Dengan deretan prestasi itu, Dedy yakin akan mengharumkan nama Aceh jika jadi tampil di Beijing. Itu sebabnya, ia berharap ada donatur yang bersedia mensponsori ke-berangkatan ke sana.

Bagi anak-anak muda yang ingin meng-ukir prestasi sembari merawat dan mem-promosikan budaya peninggalan leluhur ini, penampilan di pesta pembukaan Olimpiade Beijing merupakan sebuah impian. “Sayang saja, kalau gara-gara utang, momen untuk memperkenalkan budaya Aceh ke masyara-kat dunia batal,” ujar Imam. [a]

Sanggar Seni Seulaweuet. Atas: Anggota sanggar sedang melakukan latihan rutin; kiri: markas Sanggar Seni Seulaweuet. CH

AID

EER

MAH

YUD

DIN

—AC

EHK

INI

Page 43: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 43

Alam LINGKUNGAN SATWA

CHAI

DEE

R M

AHYU

DD

IN —

ACEH

KIN

I

Kebanggaan dari Pucuk Bakau. Kecintaan pada bakau membawanya menggenggam obor Olimpiade Beijing. oleh FAKHRURRADZIE GADE

PERTENGAHAN 2007 LALU, TELEPON genggam milik Azhar Idris tiba-tiba berdering. Di layar muncul nama Fazedah Nasution. Staf komunikasi World Wide Fund (WWF) Aceh Programe itu membawa kabar gembira: Azhar terpilih sebagai pembawa obor olimpiade 2008. Kabar ini membuat Azhar kebingungan. “Saya sama sekali tidak percaya,” kata Azhar saat dijumpai awal Mei lalu. “Tidak mungkin orang tak berpendidikan seperti saya

membawa obor olimpiade .”Azhar memang tidak sedang bermimpi.

Pada 22 April lalu dia menjadi bagian dari 80 pembawa obor olimpiade di Jakarta. Lelaki asal Desa Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, ini terpilih sebagai pembawa obor olimpiade Beijing karena kegigihannya melestarikan lingkungan di sekitar. Azhar Idris dipilih oleh WWF dan perusahaan minuman ringan Coca Cola Company, bersama Emil Salim (mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup), Nirina Zubir (duta WWF), Valerina

Daniel (duta lingkungan), Tri Mumpuni (aktivis lingkungan), dan Nugie (artis).

Membawa obor olimpiade merupakan sebuah kebanggaan dan pengalaman berharga bagi pria berkulit legam ini. Apalagi, obor olimpiade baru tahun ini melintasi Indonesia. “Saya bangga sekali. Mungkin juga seluruh Aceh bangga. Ada putra Aceh yang bisa membawa obor olimpiade setelah terkena musibah tsunami,” kata Azhar sambil memperlihatkan obor yang dibawanya di Gelora Bung Karno, Jakarta, 22 April

Page 44: Majalah ACEHKINI #05

44

silam. Obor itu kini disimpan di kamarnya. Obor olimpiade baru tahun ini pertama

sekali singgah di Indonesia. Sebanyak 80 putra-putri Indonesia berkesempatan membawa obor ini mengelilingi Gelora Bung Karno secara estafet. Azhar kebagian membawa sekitar 80 meter sebelum akhirnya menyerahkan api olimpiade kepada peserta lain.

“Ini adalah kebanggaan bagi masyarakat Aceh, karena saya bisa mengangkat harkat dan martabat Aceh di pentas nasional,” kata suami Nurbayani, 34 tahun ini.

Terpilihnya Azhar menjadi pembawa obor olimpiade bukan tanpa alasan. Saat seleksi, WWF mengajukan dua nama warga Aceh untuk dinominasikan sebagai pembawa obor olimpiade mewakili WWF dan Coca Cola Company. Menurut Fazedah Nasution, staf komunikasi WWF, pihaknya mengajukan nama Azhar Idris dan seorang petani yang menanam pinus di 30 hektar lahan kritis di Aceh Tengah.

“Pihak Coca Cola senang dengan Pak Azhar. Apalagi pascatsunami, susah mengampanyekan penghijauan kembali pesisir pantai yang rusak,” kata Fazedah yang akrab disapa Ade ini.

Azhar memang pantas mewakili Aceh membawa api olimpiade itu. Kegigihannya dalam merehabilitasi perkampungan yang hancur diamuk tsunami patut diacungi jempol. Azhar memilih menanam bakau untuk membangun kembali desa yang hancur dihumbalang gelombang gergasi. Saat korban tsunami lain sibuk mencari harta benda yang tersisa dari amukan tsunami, Azhar malah berburu biji bakau. Di antara puing-puing tsunami, Azhar menyisir kampung, berharap menemukan biji bakau.

Beruntung. Biji bakau itu disemai dan tumbuh besar. Azhar riang bukan kepalang. Bibit-bibit itu lalu ditanam di areal tambak yang mengelilingi desa. Mula-mula, hanya beberapa saja yang ditanam. Perlahan, tanaman bakaunya tumbuh pesat di areal tambak warga seluas 35 hektar. Ada yang tingginya sudah mencapai 2-3 meter. Ada juga yang usianya terhitung bulan, tingginya baru sekitar 20 sentimeter. Kini, di Lam Ujong, ribuan bakau tertanam rapi di tengah-tengah tambak.

Tiga bulan pascatsunami, Azhar kembali ke kampung dari pengungsian di Desa Buengcala, Blang Bintang, Aceh Besar. Di kampung yang masih hancur, dia memulai hidup baru. Hari-harinya diisi dengan mencari biji bakau dan melakukan pembibitan. Perlahan dia mengajak tetangganya menanam tanaman yang bisa dijadikan benteng desa dari gempuran angin barat itu. Sayang, tak banyak yang tertarik. Saat itu korban tsunami lebih tertarik dengan program yang mendatangkan uang: cash for work.

“Kesempatan (kembali ke kampung) ini tidak saya sia-siakan. Saya langsung mencari biji bakau untuk disemai. Namun saya tidak punya uang,” ujarnya.

Meski tak punya uang, niat memben-tengi kampung dengan tanaman bakau tak pernah padam. “Kesulitan dana saya utarakan kepada teman. Dia bersedia mem-bantu bikin polibeg untuk penyemaian,” lanjutnya. Hasilnya, dalam waktu singkat, tumbuhlah 30 ribu biji bakau.

Di tengah kesulitan modal itu, Azhar bertemu dengan Eko Budi Priyanto. Pekerja di Wet Lands International itu sedang mencari orang untuk diajak menanam

bakau. Gayung bersambut, Azhar mengamini ajakan Wet Lands. Menurut Azhar, Eko sempat mengira dirinya mengalami guncangan jiwa pascabencana yang menghancurkan rumahnya. “Saya sempat dianggap gila,” ujar Azhar sambil terkekeh.

Setelah deal dengan Wet Lands, Azhar mencari temannya yang mau diajak menanam bakau. Mereka lalu membentuk kelompok tani bakau. Syarat yang diberikan Wet Lands saat mengucurkan modal usaha terbilang ketat: jika bakau mati, modal ditarik kembali. “Kalau bakaunya tumbuh, kami tidak harus mengembalikan modal,” kata dia. “Alhamdulillah, sekarang bakau saya sudah hidup sekitar 80 persen.”

Selain ditanam di areal pertambakan warga di Desa Lam Ujong, Azhar dan kelompoknya menjual bibit bakau ke sejumlah daerah, seperti Lhokseumawe, Meulaboh, Aceh Jaya, dan Aceh Timur. Satu pohon dipatok Rp 1.000.

Bagi Azhar bakau bukan dunia baru. Jauh sebelum tsunami, dia sudah berhubungan mesra dengan bakau. Saban hari dia menyemai, lalu menanamnya di pinggir tambak. Keinginan Azhar menanam bakau karena desanya berdekatan dengan laut, selain dikelilingi sungai. Layaknya desa berdekatan dengan laut, angin di musim barat cukup membuat repot. “Pohon bakau ini bisa menghambat angin barat,” kata pria kelahiran 1 Juli, 43 tahun silam itu.

Bakau memang banyak gunanya. Batang bisa digunakan sebagai material bangunan, ranting bisa jadi kayu bakar. Sementara daun yang berguguran bisa menjadi pupuk dan makanan ikan di tambak. Masih ada lagi. Akar yang kokoh tertancap di tanah bisa memecah ombak, menghambat abrasi.

Pengalaman mengelola bakau pascatsunami membuat Azhar kian matang. Azhar tak hanya dikenal di Lam Ujong, tapi dia sudah malang-melintang di dunia bakau. Dia kerap menerima undangan untuk berbagi pengalaman menanam bakau. Awal Mei lalu saat ACEHKINI bertandang ke rumahnya, Azhar baru saja kembali dari Kembang Tanjung Pidie. “Saya disuruh membagi pengalaman bagi petani bakau di sana,” ujarnya ramah. “Tapi jangan suruh saya jadi pemateri, karena saya tidak bisa menyampaikan apa-apa. Saya hanya bisa di lapangan.”

Kini bakau sudah menjadi teman kesehariannya. Dan dari ujung bakau pula, Azhar mendunia: menjadi pembawa obor olimpiade. “Saya tidak pernah bermimpi bisa membawa obor ini, apalagi saya petani yang tidak berpendidikan,” katanya merendah. [a] CH

AID

EER

MAH

YUD

DIN

—AC

EHK

INI

Azhar Idris dengan obor olimpiadenya

Page 45: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 45

HidupGaya

oleh MURDANI

LELAKI ITU SEPERTI PENARI.Di atas sekeping papan, badannya me-liuk-liuk. Di belakang, ombak besar siap menerkam. Saat ombak memecah, hup, ia melompat dan mendarat mulus dengan lutut tertekuk di atas air pantai Lhoknga, Aceh Besar, suatu sore awal Mei lalu. Ter-lambat sedikit, bisa dipastikan tubuhnya digulung gelombang.

Ombak laut, ketangkasan, sekeping pa pan dan penaklukan. Inilah modal utama seorang peselancar, sang penari dalam gulungan ombak. Selancar —bahasa kerennya surfing— menjadi aktivitas baru di Aceh dalam tiga tahun terakhir. Tepatnya, setelah gelombang raya meluluhlantakkan provinsi ujung

MODE KULINER PENDIDIKAN OLAHRAGA HOBI KESEHATAN

YO F

AUZA

N —

ACEH

KIN

I

OLAHRAGA

Dalam Pelukan Ombak. Mulai menjadi

gaya hidup anak

muda Banda Aceh.

Awalnya hanya

digandrungi bule.

Page 46: Majalah ACEHKINI #05

46

barat Sumatera ini. Awalnya, penikmat selancar di Aceh

hanya sebatas orang bule yang bekerja di lembaga-lembaga non-pemerintah. Kini, olahraga yang sempat diklaim mi-lik orang berduit kian merambah warga Aceh. Selancar mulai menjadi gaya hidup baru anak muda Banda Aceh dan seki-tarnya. Meski belum setenar olahraga air lain, kian hari semakin banyak peselan-car yang coba menaklukkan ombak.

Samsuir, 24 tahun, salah satunya. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai anggota TNI ini sering menghabiskan waktu ber-selancar di pantai Lhoknga, 12 kilometer dari kota Banda Aceh. Pasir putih, laut biru dan ombak yang tinggi adalah satu alasan Lhoknga menjadi pilihan tempat berselancar.

Awalnya, Samsuir hanya penonton. Ia terpikat pada ketangkasan peselancar bule yang sering surfing di Lhoknga. Ia-pun menjajal kebolehan. Walhasil, Sam-suir ‘terpelet’ selancar. ”Ada kenikmatan tersendiri ketika meluncur dan jatuh da-lam ombak. Tantangannya banyak, apa-lagi saat kita bisa melewati ombak besar,” kata dia.

Mudi, 30 tahun, peselancar lain yang sehari-hari bekerja sebagai petani, hafal benar kapan saat tepat bersenda dengan ombak. Kata dia, waktu paling asyik un-tuk berselancar pada pertengahan atau akhir musim barat dan timur. ”Saat itu gelombang sedang besar, ombak bisa se-

tinggi 2,5 meter,” ujarnya.Untuk menyalurkan hobi menantang

ombak, Mudi rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah, membeli fasilitas selancar. Padahal, di mata awam, ini adalah olah-raga penuh resiko. Salah-salah, nyawa taruhannya. Apalagi, pantai Lhoknga juga menyimpan bahaya.

“Seratus meter ke kanan, depan te-bing pantai Lhoknga terdapat palung be-kas kapal terdampar,” kata Mudi. Di sana, arusnya sangat kuat dan berputar. Kalau terperangkap, ”jarang yang bisa keluar dengan selamat.”

Namun, bukan peselancar namanya jika tak punya kiat khusus. Dengarlah nasihat mereka: jangan panik, ikuti saja arah arus. Jika arusnya sudah melemah, dayunglah papan ke tepian pantai. As-taga, ini olahraga atau cari maut? “Itulah sensasinya,” ujar Mudi. Mau coba? [a]

YO F

AUZA

N —

ACEH

KIN

I

Page 47: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 47

Pelesir WISATA PERJALANAN ANGIN SEGAR

LORE

NTI

US E

P —

DOK

. TEM

PO

PERJALANAN

Macau, Cermin di Selatan Cina. Lepas dari jajahan Portugis, pulau kecil ini jadi milik Cina. Meski begitu, Macau punya mata uang dan bendera sendiri. oleh YUSWARDI AS

Page 48: Majalah ACEHKINI #05

48

LELAKI ITU BERMATA SIPIT,berkulit putih, jenggotnya sepanjang jempol orang dewasa yang dipilin-pilin sampai ujungnya mengerucut mengingatkanku pada pendekar silat dalam film-film Cina.

Ia lalu memperkenalkan diri. ”Alan Jenggot, asal Wonosobo, sudah 35 tahun menetap di sini.” Pertemuan pada sebuah sore di ujung musim dingin Maret lalu itu terjadi di Macau.

Berusia 42 tahun, sejak kecil Alan menetap di Macau. Sempat menjadi manajer di sebuah hotel, ia kini bekerja pemandu turis di sana. Meski menjadi pemandu, penampilannya cukup mentereng. Sore itu ia mengenakan jas hitam dipadu dasi kuning dan celana coklat kotak-kotak. Alan, orang Wonosobo, Jawa Tengah, menyaksikan sebagian tahapan-tahapan sejarah yang dilalui Macau.

Macau, pada awalnya dikuasai kaum lanun. Para pelaut Portugis yang tiba di sana pada 1557 mengusir bajak-bajak laut lalu mendirikan benteng pertahanan. Tapi baru tiga abad kemudian, pada 1887, Macau diserahkan secara resmi dari Cina ke Portugal.

Ya, Macau adalah bekas koloni Portugis. Akhir 1999, pulau itu dikembalikan ke pemerintah Cina. Berdasarkan perjanjian pada 1557, Cina memberi hak Portugal untuk menguasai koloni itu sampai 1974. Ketika sampai waktunya, Cina menolak pengembalian yang ditawarkan pemerintah revolusioner Portugal karena waktunya tidak tepat. Penguasaan koloni itu diperpanjang 25 tahun lagi—persis pada 20 Desember 1999.

Hanya orang-orang bermata sipit dan aksara Cina yang menandakan Macau adalah wilayah Cina. Selebihnya, nuansa Eropa lebih menonjol. gedung-gedung

khas Eropa berdiri kekar dengan tiang penyangga angkuh. Papan nama kantor-kantor pemerintahan, sekolah dan fasilitas publik lainnya dibuat dengan dua bahasa: Portugis dan Cina. Di Macau, bahasa Portugis memang bahasa kedua setelah bahasa Kanton.

Macau adalah gabungan tiga pulau kecil yang dihubungkan dengan jembatan yang melintang di atas laut. Luas wilayahnya 26 kilometer persegi, hanya separuh luas Pulau Nasi di seberang Ulee Lheue, Banda Aceh. Tak heran, bandara internasional Macau dibangun di tengah laut Cina Selatan.

Secara geografis, Macau terhampar di 70 kilometer sebelah baratdaya Hongkong dan 145 kilometer dari Guangzhou. Untuk

mencapai Hongkong, hanya butuh waktu 50 menit dengan menumpang jetfoil, sejenis kapal cepat. Ingatanku langsung melayang ke jarak Banda Aceh-Sabang.

Lebih dari 40 persen penduduknya yang hanya 430.000 orang itu mencari pekerjaan di ladang judi. Pemerintah Cina memang melegalkan Macau sebagai satu-satunya kawasan judi di sana. Selebihnya, 40 persen bergerak di dunia wisata dan 20 persen pada bidang jasa lain termasuk perdagangan. Sebagai kota judi, kasino bertebaran di mana-mana. Itu sebabnya, Macau dijuluki Las Vegas Asia. Perjudian di Macau berlangsung 24 jam tanpa berhenti. Dampak dari judi, pasti maksiat. “Segala jenis hiburan ada di sini,” ujar Alan.

Benar saja, ketika malam tiba, Macau adalah gemerlap lampu hias yang bertabur pada hotel-hotel, kasino, dan gedung-gedung menjulang di sekujur kota. Bisnis hiburan memang tumbuh subur di sini. Ya, Macau tak pernah lelap.

Di luar gemerlap kasino, Macau sarat kenangan masa lampau. Salah satunya adalah gereja St. Paul yang berdiri tegak dengan arsitektur Eropa. Inilah ikon kota Macau. Meski yang tersisa hanya bagian depan karena sempat terbakar, gereja yang dibangun pada abad ke-18 ini masih dipugar dan menyedot perhatian wisatawan.

Ada pula Museum Camoes, taman dan museum yang didirikan untuk mengenang sang penyair. Tak jauh dari situ berdiri St. Paul’s Facade, Monte Fort, Dom Pedro V Theatre, dan sejumlah bangunan lain. Berdiri di sana, seolah terlempar ke masa silam saat musafir Portugis singgah

Suasana Venesia di Venetian Hotel, dikenal juga dengan Venetian Macau.

KIRI-KANAN: LORENTIUS EP —DOK. TEMPO

Page 49: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 49

di kawasan itu empat abad lampau. Semua bagian kota adalah mosaik yang melukiskan sejarah: kuil-kuil abad ke-15, benteng dari abad ke-17, gereja buatan arsitek abad ke-18, serta kedai-kedai yang dibangun abad ke-19.

Zaman berganti. Bangunan kuno sebagai jejak sejarah dirawat, bangunan baru tumbuh bagai cendawan. Salah satunya Hotel Venetian. Ini adalah hotel sekaligus kasino terbesar di Macau yang baru saja dibangun beberapa tahun lalu. Seperti namanya, kasino ini menyajikan aroma Venesia—kota seribu kanal di Italia.

Menjulang kokoh dan megah, Venetian dibangun di atas lahan seluas 97,5 hektar. Menginjak lantai tiga, suasana kasino hilang berganti dengan: langit biru, toko-toko dengan arsitektur Italia lengkap dengan emperan serupa kakilima. Yang menakjubkan, toko-toko itu dipisah sebuah sungai kecil. Venesia seolah berpindah ke Macau.Sore itu, beberapa anak kecil dan orang dewasa menumpang perahu kecil yang dikayuh mengitari ‘Venesia’. Di atas sungai, dibangun jembatan kecil sebagai penghubung sisi kiri dan kanan. Saya sempat takjub ketika memandang

langit biru. Untunglah, seorang teman menyadarkan, ”Itu langit buatan, jangan terkecoh.”

Di sisi lain kota, ada Macau Tower yang menjulang menusuk langit. Dari menara ini, pada ketinggian 338 meter, Macau adalah hamparan tiga pulau kecil yang tersambung tiga jembatan dengan tiang-tiang terpacak di dasar laut. Di jalanan, mobil-mobil seperti korek api yang berjalan perlahan tanpa suara. Pemandangan ini bisa dinikmati lewat dinding kaca. Untuk sampai ke dinding kaca, harus melewati lantai yang juga terbuat dari kaca transparan. Bagi yang takut ketinggian, ini adalah mimpi buruk. Rasa takut, penasaran berbaur menjadi satu.

Macau adalah contoh kesuksesan prinsip Deng Xiaoping “satu negara, dua sistem”. Ini adalah kebijakan politik khusus yang ditempuh Xiaoping untuk Hongkong dan Macau yang sama-sama bekas wilayah koloni. Itu sebabnya, Hongkong dan Macau berhak menikmati sistem pemerintahan yang berbeda dan otonomi luas dari pemerintah Beijing, kecuali bidang pertahanan dan luar negeri.

Meski dalam praktiknya, Beijing masih campur tangan, namun di bawah sistem ini, Macau menikmati pertumbuhan

ekonomi yang melesat cepat, keamanan publik, serta stabilitas sosial sejak serah terima tahun 1999. Satu lagi, Macau juga punya bendera dan mata uang sendiri: Pataka. Meski begitu, Dolar Hongkong juga berlaku di sini. Nilainya persis sama. Sedangkan Yuan, mata uang Cina, jarang dipakai. “Bayar pakai Pataka atau Dolar Hongkong sama saja,” kata Alan menerjemahkan ucapan supir taksi yang membawa kami kembali ke Hotel Rio.

Dua hari menjejakkan kaki di Macau, serasa berada di dua tempat sekaligus: zaman kuno dan era modern. Saat meninggalkan kota kecil itu, dalam pesawat yang membawaku kembali, terbayang nasib otonomi khusus hasil Perjanjian Helsinki di Aceh. Meski berjuluk daerah otonomi khusus, tapi bekas daerah perang ini masih carut-marut. Terkenang pula sikap Pusat yang menganggap “satu negara dua sistem” sebagai momok menakutkan. Terngiang pula ucapan Alan Jenggot, pria asal Wonosobo itu di mulut pintu bandara, ”jangan mimpi Aceh bisa mendapat otonomi khusus seperti Macau.”

Ah, Macau memang bukan sekedar tempat judi dan romansa masa lalu, tapi sekaligus cermin untuk berkaca.

[a]

Gemerlap kota Macau di malam hari.

Page 50: Majalah ACEHKINI #05

50

Figura

LAMA SUDAH TAK TERDENGAR kabar. Kini bocah Martunis sudah 11 tahun. Murid kelas 6 SD 15 Desa Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, ini masih menarik disimak. Terakhir, rencananya dia akan tampil dalam acara “Empat Mata” di Trans 7, dengan host wong ndeso, Tukul Arwana.

“Tidak jadi lagi, entah kenapa,” sebut Martunis. Bocah ini kecewa lantaran demi acara itu, ayahnya, Sarbini, sudah membeli tiket pesawat memakai uang pribadi. “Katanya uang itu akan diganti di Jakarta,” sebut Sarbini.

Kekecewaan itu memuncak. Saat hendak berangkat, Herman, salah seorang crew “Empat Mata”, mengabarkan bahwa Martunis batal tampil di acara yang melambungkan nama Tukul Arwana itu. Alasannya, tema program reality show itu digeser. Sedangkan Sarbini kadung pegang tiket. “Kejadian itu menjelang akhir Maret lalu,” tutur pria berkumis tebal ini.

Sialnya, hingga sekarang uang untuk membeli tiket tak kunjung diganti. Padahal, “ini bukan kesalahan saya, tapi kesalahan mereka,” kata pria yang kehilangan istri dalam tsunami. “Kabarnya akan mereka proses, tapi sampai sekarang makin tak jelas.”

Martunis, bocah desa. Dia lahir di Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Namanya sempat menghentak pandangan dunia. Ketika amuk tsunami, dia selamat dengan sepotong kostum

sepakbola Portugal. Kostum itulah yang membuat nama bocah pemalu ini menghiasi halaman utama surat kabar di Eropa, terutama Portugal.

Sebagai penghargaan, tim nasional Portugal mengundangnya ke markas mereka di Lisbon. Bintang muda Manchester United, Christiano Ronaldo, yang juga skuad tim nasional Portugal menawari Tunis menginap di rumahnya di Inggris dan menyaksikan pertandingan klub elite Liga Premier.

Bukan hanya itu, skuad Portugal juga mendonasikan dana guna membantu

‘membangkitkan’ kembali semangat Martunis. Kata Sarbini, dana tersebut sudah dipakai untuk membeli sepetak tanah masa depan si buah hati. “Kita tabung juga untuk sekolah dia dan sedikit untuk modal usaha,” ungkap pria itu.

Kini, gegap gempita itu telah berlalu. Martunis kembali menjadi bocah polos. Tapi hobinya tak pernah berganti. Hari-harinya dihabiskan dengan bermain sepakbola, tentu saja dengan teman sepermainannya. Hanya saja dia berharap, suatu saat Tukul ”Kembali ke Laptop” Arwana menepati janjinya. [a]

Martunis Dikibuli Tukuloleh MISMAIL LAWEUENG

MIS

MAI

L LA

WEU

ENG

—AC

EHKI

NI

Page 51: Majalah ACEHKINI #05

ACEHKINI Juni 2008 51

Page 52: Majalah ACEHKINI #05

52