mahmud mulyadi - usu library :: perpustakaan universitas...

28
KARYA ILMIAH REVITALISASI ALAS FILOSOFIS TUJUAN PEMIDANAAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh, MAHMUD MULYADI NIP 132 299 900 STAFF PENGAJAR FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM MEDAN 2006 Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Upload: buinga

Post on 03-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

KARYA ILMIAH

REVITALISASI ALAS FILOSOFIS TUJUAN PEMIDANAAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA

Oleh,

MAHMUD MULYADI NIP 132 299 900

STAFF PENGAJAR FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2006

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 2: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

berkah dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini bisa diciptakan yang berjudul "

REVITALISASI ALAS FILOSOFIS TUJUAN PEMIDANAAN DALAM

PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA.”

Selama ini, pemahaman terhadap hukum pidana dan pemidanaan terjebak

pada pemikiran yang positivis sebagaimana yang terdapat dalam KUHP. Karya

ilmiah ini mencoba melihat kembali alas filosofis pemidanaan dengan menawarkan

konsep pemidanaan ke-Indonesiaan yang berakar dari local wisdom bangsa

Indoensia. Pembaca akan dibawa pada perbandingan konsep pemidaanaan selama

ini di negara-negara modern dengan konsep pemidanaan di beberapa undang-

undang masa silam di Indonesia.

Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

di Indoensia. Tentu saja, diharapkan karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca

semua. Trimakasih.

Medan, Agustus 2006 Hormat Penulis Mahmud Mulyadi

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 3: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

DAFTAR ISI

A. Latar Belakang ………………………………………………………………...… 1

B. Dialektika Filsafat Tujuan Pemidanaan ……………………....…………… 4

C. Kearifan Lokal Falsafah Pemidanaan Indonesia ………………………... 17

D. Internalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan dalam Criminal

Justice System ………………………………………………………………..… 21

E. Penutup …………………………………….………………..………..…………… 25

Daftar Pustaka …………………………………………………………………………... 26

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 4: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

REVITALISASI ALAS FILOSOFIS TUJUAN PEMIDANAAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia hukum di Indonesia masih menjadi sorotan tajam bagi

seluruh lapisan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri. Setelah sempat mengalami

kenaikan apresiasi, kondisi hukum di Indonesia kembali mengalami kegamangan. Berbagai

cara telah dilakukan, misalnya dengan mengandalkan institusi penegakan hukum yang

sudah ada, bahkan pembentukan berbagai komisi hukum dan penempatan berbagai

individu yang professional dan berkualitas serta bebas dari kepentingan, namun upaya-

upaya ini belum mampu mendongkrak citra hukum di negeri kita.

Dari sekian banyak bidang hukum, maka dapat dikatakan bahwa bidang hukum

pidana (termasuk system dan proses peradilan pidananya) menempati urutan pertama

yang tidak hanya mendapat sorotan, tetapi juga mendapat celaan yang luar biasa

dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Pertanyaan yang muncul atas fenomena ini

adalah, apakah ini berarti juga bahwa hukum pidana dan system peradilan pidananya

telah mencapai titik nadir?1

Proses peradilan pidana yang berawal dari tahap penyelidikan oleh kepolisian,

akan berpucak pada penjatuhan pidana dan dieksekusinya pelaku ke lembaga

pemasyarakatan. Penjatuhan pidana kepada pelaku oleh pengadilan merupakan upaya

yang sah terhadap pelaku kejahatan. Pidana sendiri merupakan suatu pranata social yang

dapat mencerminkan nilai dan struktur masyarakat, sehingga merupakan kesepakatan

1 Harkristuti Harkrisnowo (2003). Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia. Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok: hal. 2.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 5: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

yang dibuat sebagai reaksi terhadap pelanggran “hati nurani bersama.” Oleh karena itulah

hukum pidana yang merupakan sarana kontrol social dan sebagai produk politik,

sepantasnya merupakan sublimasi dari semua nilai masyarakat yang dirangkum dan

dirumuskan oleh para legislator dan diterapkan oleh aparat dalam Sistem Peradilan

Pidana.

Persoalannya adalah, apakah para legislator telah melakukan tugasnya

merumuskan ketentuan pidana sesuai dengan hati nurani masyarakat dengan menggali

nilai-nilai yang hidup di masyarakat? Apakah aparatpenegak hukum yang tergabungdalam

CJS (polisi, jaksa, hakim, pengacara, LP) telah berbicara selaras dengan nurani

kolektivitas masyarakat dalam menegakan hukum dan keadilan? Pertanyaan-pertanyaan

ini harus dijawab dengan fakta hari ini bahwa masih menunjukan terjadinya anomali

(kekacauan) dalam penegakan hukum dan keadilan.

Dilaporkan oleh Harian Kompas bahwa pada awalnya dukungan pemerintah untuk

mengungkap beberapa tindak pidana korupsi menjadikan dunia penegakan hukum

semakin bergairah. Apalagi dengan prestasi KPK dalam mengungkap kasus korup di KPU

membuat citra penegakan hukum bersinar sehingga pemerintahan SBY menuai pujian dari

masyarakat karena 63,6% hasil jajak pendapat menyatakan puas terhadap kinerja tim SBY

dalam sembilan bulan pelaksanaannya.2

Sinar penegakan hukum ini kembali buram ketika mulai terlihat adanya indikasi

suap dan korupsi di tubuh lembaga legislative dan di Mahkamah Agung. Ini merupakan

sesuatu yang ironis karena lembaga-lembaga yang seharusnya memberikan dorongan

bagi penegakan hukum, ternyata tak luput dari kejahatan. Terungkapnya percaloan di

2 Kompas, Hukum di Atas Pilar yang Gamang, Senin,10 Oktober 2005, hal. 5.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 6: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

DPR menyadarkan kita bahwa lembaga penting yang bergerak di hulu dengan

menghasilkan produk perundang-undangan, ternyata tidak bisa bebas dari KKN.

Sementara di wilayah hilir penegakan hukum, juga semerbak dengan aroma KKN.

Terungkapnya kasus kejanggalan rekening beberapa petinggi Polri dan dugaan penyuapan

terhadap MA menjadikan keterkejutan masyarakat Indonesia bahwa betapa rapuh dan

gamangnya pilar-pilar penegakan hukum di negeri ini.

Kondisi ini menyebabkan kekecewaan di tengah publik dan 57,2% responden

jajak pendapat Kompas menyatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia masih

buruk. Penilaian negati publik ini tidak hanya terpaku pada kinerja lembaga-lembaga

hukum secara umum, tetapi juga mengarah kepada aparat hukum yang berperan besar

dalam proses menentukan hukum yang berkeadilan dalam masyarakat, termasuk institusi

kejaksaan dan pengacara, juga tidak terlepas dari citra negatif ini.3

Fakta di atas menunjukan masih gamangnya penegakan hukum pidana di

Indonesia. Kurangnya pemahaman terhadap konsep philosofis tujuan pemidanaan di

aparat penegak hukum, menjadikan kinerja tanpa arah dan pencapaian visi yang tidak

jelas. Akhirnya penegakan hukum berjalan tercerabut dari akar nilai-nilai pilosofis konsep

pemidanaan yang hidup di tengah masyarakat.

B. Dialektika Filsafat Tujuan Pemidanaan

Diskursus mengenai tujuan pemidanaan telah menjadi pembicaraan dari zaman-

kezaman dan menjadi issu sentral dalam hukum pidana karena pidana atau hukuman

selalu berkenaan dengan tindakan-tindakan yang apabila bukan dilakukan oleh negara

3 Ibid.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 7: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

dengan berlandaskan hukum,maka akan menjadi tindakan yang bertentangan dengan

moral. Oleh karena itulah falsafah pemidanaan berusaha mencari pembenaran terhadap

tindakan negara ini.

Perkembangan pemikiran tentang hakikat tujuan pemidanaan. akan diuraikan

beberapa teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu retributif atau teori absolut, teori relatif

(deterrence), teori penggabungan (integratif), treatment dan perlindungan sosial (social

defence).

Teori Retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas

kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang

imoral dan asusila4 di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas

dengan menjatuhkan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun,

sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.5

Menurut Remmelink,6 teori retributif atau teori absolut dapat dikatakan sama

tuanya dengan awal pemikiran tentang pidana. Syarat pembenaran penjatuhan pidana

tercakup dalam kejahatan itu sendiri. Pemikiran ini beranjak dari pandangan yang absolut

terhadap pidana. Dalam konteks ajaran ini, pidana merupakan res absoluta ab affectu

4 Aleksandar Fatic (1995). Punishment and Restorative Crime – Handling. USA: Avebury Ashagate

Publishing Limited, hal. 9. Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.

5 J.M. van Bemmelen (1997). Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta, Cetakan Kedua, hal. 25. 6 Jan Remmelink (1993). Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda

dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 600.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 8: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

futuro (suatu keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan). Dilakukannya

kejahatan, maka membawa konsekuensi dijatuhkannya pemidanaan.7

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini, menurut

Romli Atmasasmita mempunya sandaran pembenaran sebagai berikut:8

1. Dijatuhkannya pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban, baik

perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya.Perasaan ini tidak dapat

dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum.

Tipe aliran retributif ini disebut vindicative;

2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku kejahatan dan

anggota masyarakat yang lainnya bahwa setiap perbuatan yang merugikan orang lain

atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima

ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness;

3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara beratnya

suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran retributif ini disebut

proportionality.

7 Lihat juga Andrew Ashworth (1994). Sentencing, dalam The Oxford Handbook of Criminology. Mike

Maguire et.all (Ed.). New York: Oxford University Press, hal. 819. Menurut Andrew Ashworth, teori retributif mempunyai sejarah yang panjang, termasuk di dalamnya tulisan dari Kant dan Hegel. Teori retributif ini muncul kembali dalam era modern pada tahun 1970-an, yang didorong oleh kegagalan secara luas pelaksanaan ide rehabilitasi. Pemidanaan dibenarkan sebagai suatu respon yang pantas atau cocok untuk kejahatan, suatu tuntutan yang fundamental dari intuisi manusia dan pemidanaan ini harus proporsional dengan tingkat kesalahan. Dalam hal ini, adanya justifikasi dari institusi pemidanaan juga unsur yang harus ada sebagai konsekuensi untuk penanggulangan kejahatan. Institusi pemidanaan ini sangat penting sekali karena tanpanya akan memungkinkan terjadinya anarki. Tindakan pembalasan setimpal ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakam kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.

8 Romli Atmasasmita (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana dan Krimonologi. Bandung: Mandar Maju, hal. 83-84.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 9: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

Sedangkan teori relatif memandang bahwa pemidanaan mempunyai tujuan lain

yang lebih berarti dari tujuan pembalasan, yaitu perlindungan masyarakat dan

pencegahan kejahatan, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Tujuan

pemidanaan untuk prevensi umum9 diharapkan memberikan peringatan kepada

masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini menurut van Veen

mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawah pemerintah, menegakkan norma dan

membentuk norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan,

memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya

kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat memungkinkan bahwa

dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan

terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku. 10

Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism) karena

dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk

mengurangi frekuensi kejahatan (… the justification for penalizing offences is that this

reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa pemidanaan dapat

mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara berikut ini:11

9T. Mathiesen (1995). General Prevention as Communication dalam A Reader on Punishment. R.A.

Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, Inc., hal. 221. General prevention menurut T. Mathiesen merupakan sebagai sarana komunikasi yang berupa pesan dari negara sebagai pemegang otoritas untuk menjatuhkan pemidanaan kepada masyarakat. Pesan in terdiri dari: “(1) Punishment is a massage which intends to say that crime does not pay (deterrence);(2) It is a massage which intends to say that you should avoid certain act because they are morally improper or incorrect (moral education); (3) It is a massage which intends to say that you should get into habit of avoiding certain acts (habit formation).Tugas untuk menyampaikan pesan negara ini, terutama menjadi tanggung jawab dari komponen-komponen sistem peradilan pidana.

10 J.M. van Bemmelen, Op. Cit., hal. 28 11 Negel Walker (1995). Reductivism and deterrence. dalam A Reader on Punishment. R.A. Duff and

David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, hal. 212.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 10: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si

pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui

ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan;

2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal

ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial untuk melakukan

kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah dijatuhkan kepada si pelaku

sehingga mendatangkan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;

3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku sipelaku

sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi

walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dar ancaman pidana;

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga

dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan;

5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup

lama.

Teori Gabungan berusaha meretas jalan dan menemukan benang merah antara

kedua teori di atas. Teori gabungan mengakui bahwa pembalasan (retributive) merupakan

dasar dan pembenaran dijatuhkannya pidana, namun seharusnya perlu diperhatikan

bahwa penjatuhan pidana ini harus membawa manfaat untuk mencapai tujuan lain,

misalnya kesejahteraan masyarakat (social welfare). Tokoh teori gabungan ini adalah

Pallegrino Rossi (1787-1848), dalam bukunya yang berjudul “Traite de Droit Penal”

menyatakan bahwa pembenaran pidana terletak pada pembalasan dan hanya orang yang

bersalah yang boleh dipidana. Pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan kejahatan

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 11: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

yang dilakukan, sehingga beratnya pidana harus sesuai dengan beratnya kejahatan yang

dilakukan.12

Teori gabungan ini coba menyatukan tujuan pemidanaan sebagai pembalasan dan

juga untuk pencegahan. Kedua tujuan ini merupakan gabungan antara teori retributif dan

teori relatif di atas. Ketiga teori ini masih mengakui peranan hukum pidana dalam

menanggulangi kejahatan, tinggal menempatkan tujuan pidana ini secara proporsional.

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang

berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan,

bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah

untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada

pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini

dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga

membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation).13

12 Ibid., hal. 29. 13 C. Ray Jeffery (1977). Crime Prevention Through Environmental Design. Beverly Hills-London:

SAGE Publication, Inc., hal. 18. Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx. Akhirnya perkembangan filsafat di atas membawa pengaruh bagi lahirnya paham behaviorism, experimental psychology, psychological psychology dan objectivity.

Lihat juga Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of Punishment, dalam The Sociology of Punishment & Correction. Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan. Jadi gerakan rehabilitionist merupakan paham yang menentang sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan deterrence.

Lihat juga Lloy Ohlin (1970). Modification of the Criminal Value system dalam The Sociology of Punishment & Correction. Dalam Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc., hal. 499. Ohlin menyatakan bahwa “In a number of prison system recent humanitarian reform design to alleviate the punitive aspects of prison life have become improperly edentified as rehabilitation programs. Such humanitarian reforms appear desirable, for they set the frame work within which succesfully treatment

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 12: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

Aliran positif14 melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan metode

ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya dengan terjadinya

kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang

melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai

kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis,

maupun faktor lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan

dan dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk re-sosialisasi dan

perbaikan sipelaku.15

Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II dengan

tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi

Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan social defence

programs may be instituted. This reform in themselves, however, do not create changes in criminal value system. In that such reform give evidence of good intention and desire of the prison authorities to interest themselves in the inmate’s welfare, they create the possibility of establishing relatinship of trust, rapport, and loyalty between the administration and certain conventionally motivated inmates.”

14 Freda Adler et. al. (1995). Criminology. USA: McGraw-Hill, Second Edition, hal. 59-61. Aliran Positif dipelopori oleh Cassare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1929) dan Rafaele Garofalo (1852-1934). Menjelang akhir abad ke-18, perkembangan yang penting dari ilmu alam dan ilmu sosial mempengaruhi pemikiran tentang kejahatan. August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis, menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial melalui bukunya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive” atau “Course in Positive Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan bahwa “There could be no real knowledge of social phenomena unless it was based on a positivist (scientific) approach”. Perkembangan ilmu pengetahuan saat itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya. Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untu menjelaskan hubungan antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya yang berjudul “L’uomo Delinquente” atau “The Criminal Man” pada tahun 1876, yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan metode ilmiah. Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia kriminal dengan yang bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik seseorang.

15 Lihat juga J. Robert Lilly et, al. (1995). Criminological Theory, Context and Consequences. London-New Delhi: SAGE Publications, Second Edition, hal. 22-25. Ketiga tokoh aliran posif ini menolak doktrin free will dan menggantinya dengan konsep determinisme. Ferri (1856-1929) melihat akar terjadinya kejahatan dari berbagai faktor, yaitu faktor sosial, ekonomi dan politik. Garofalo melihat kejahatan dari aspek Psychological Equivalent yang disebutnya sebagai moral anomalies. Berdasarkan faktor-faktor penyebab di atas, mereka sepakat bahwa pelaku kejahatan tidak bisa diminta pertanggungjawabannya karena mereka tidak dapat memilih untuk melakukan kejahatan, melainkan faktor-faktor di ataslah yang mendorong mereka untuk berbuat kejahatan. Mereka sepakat juga bahwa masyarakat harus diberikan perlindungan dari akibat yang muncul dari kejahatan ini dan oleh karenanya tujuan hukum pidana dan kebijakan hukum pidana harus menyediakan sarana untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 13: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

ini (Setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949) terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang

radikal (ekstrim) dan aliran yang moderat (reformis).

Pandangan yang radikal16 dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica, yang

salah satu tulisannya berjudul “The fight against punishment” (La Lotta Contra La Pena).

Gramatika berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum

pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah

mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap

perbuatannya.”

Pandangan Moderat17 dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang menamakan

alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social Defence” atau

“Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat mensyaratkan adanya

tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan

kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat

pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan

16 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, hal. 35. Lihat

Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta, hal. 97. Gerakan yang dipelopori oleh Gramatica ini melahirkan gerakan yang menghendaki penghapusan hukum pidana (abilisionisme). Penggunaan hukum pidana sebagai salah satau sarana penanggulangan kejahatan ditentang secara radikal oleh kaum abolisionisme. Hukum pidana dalam perspektif kaum abolisionisme dirasakan sebagai sesuatu yang kurang manusiawi, oleh karena itu pemidanaan tidak perlu dan harus dihapuskan, serta diganti dengan hukum kerja sosial. Paham Abolisionisme mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari Belanda ketika ia menjadi ketua Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Erasmus, Rotterdam pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara eksplisit memiliki perspektif abolisionis tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya yang berjudul Handhaving van Recht (The Maintenance of Justice). Dalam pidatonya ini ia sangat memperhatikan aspek kemanusiaan yang dipandangnya dapat luntur oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana.Paham Abolisionisme mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari Belanda ketika ia menjadi ketua Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Erasmus, Rotterdam pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman yang secara eksplisit memiliki perspektif abolisionis tampak nyata dalam sebuah pidato wisudanya yang berjudul Handhaving van Recht (The Maintenance of Justice). Dalam pidatonya ini ia sangat memperhatikan aspek kemanusiaan yang dipandangnya dapat luntur oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan hukum pidana.

17 Marc Ancel (1965). Social Defence, Modern Approach to the Criminal Problem. London: Roatledge & Paul Keagen, hal. 74.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 14: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep

pandangan moderat:18

1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-konsepsi

perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.

2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat

mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan

masyarakat itu sendiri;

3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-

fiksi dan tekniks-tekniks yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan

reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.

Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran positif

dengan paham rehabilisionisnya. Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya

paham rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi penjara.

Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem

pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib seseorang.

Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha membuat jelas dan

melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku kejahatan sebagai tema sentral

mengenyampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan.19 Jadi gerakan rehabilitionist

18 Ibid, hal. 35. 19 Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of Punishment, dalam The Sociology

of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc., hal. 352. Lihat juga Lloy Ohlin (1970). Modification of the Criminal Value system dalam The Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc., hal. 499. Ohlin menyatakan bahwa “In a number of prison system recent humanitarian reform design to alleviate the punitive aspects of prison life have become improperly edentified as rehabilitation programs. Such humanitarian reforms appear desirable, for they set the frame work within which succesfully treatment programs may be instituted. This reform in themselves, however, do not create changes in criminal value system. In that such reform give evidence of good intention and desire of the prison authorities to interest

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 15: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

merupakan paham yang menentang sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan

retributif, maupun tujuan deterrence.

Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak semulus

yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan. Kritikan pertama

ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang mempunyai fasilitas untuk

menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan kebijakan yang menekankan

penggunaan tindakan untuk memperbaiki (treatment) atas nama penahanan.20

Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa pendekatan yang digunakan

oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang mengundang tirani individu dan

penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak

seseorang pun yang dapat memprediksi berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika

seorang tahanan segera diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati

sebelum tahanan itu dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi

keputusan dokter. Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany

bahwa sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas

nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol. Lebih lanjut dijelaskan:21

“It is not Lewis’s point, nor any other of its critics, that rehabilitation is not a valid goal of society, but they all insist that some other more fundamental justification must be present to provide support for what must be conceived as only ancillary to the essential nature of punishment. Not only must we seek justification for punishment elsewhere, but a clear limit must be placed on what criminals can be forced to undergo for their own benefit.” Berdasarkan uraian di atas, maka Lewis dan pengkritik lainnya menyatakan bahwa

rehabilitasi bukanlah tujuan yang valid dari masyarakat, namun adanya penegasan bahwa themselves in the inmate’s welfare, they create the possibility of establishing relatinship of trust, rapport, and loyalty between the administration and certain conventionally motivated inmates.”

20 Ibid, hal. 354. 21 Ibid.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 16: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

harus ada suatu pembenaran (justifikasi) lain yang sifatnya lebih fundamental untuk

memberi dukungan dan pemahaman mengenai apa yang disebut pemidanaan. Pencarian

mengenai justifikasi pemidanaan ini juga harus disertai dengan adanya pembatasan yang

jelas, mana pelaku-pelaku kejahatan yang dapat dipaksakan dan mana yang tidak bisa

menjalani pemidanaan tersebut demi kebaikan mereka. Jadi pembatasan ini dimaksudkan

untuk melakukan pemilahan terhadap pelaku kejahatan dalam suatu klasifikasi tertentu

sehingga pemidanaan yang dijalankan sesuai untuk kebaikan pelaku tersebut.

Pembatasan ini juga dimaksudkan supaya program yang dijalankan bukanlah

program uji coba, sebagaimana yang dikemukakan oleh Silving bahwa orang-orang jahat

bukanlah kelinci percobaan (even ‘bad people’ are not by the same token experimental

rabbits). Suatu usaha memformulasi prinsip pembatas ini dikemukakan oleh Morris yaitu

Penguasaan atas kehidupan pelaku kejahatan tidak diperlakukan berlebihan, bilamana

perbaikan pelaku tersebut tidak menjadi pertimbangan dan tujuan dari pemidanaan.22

Akhirnya, program rehabilitasi dihadapkan pada kritikan bahwa semua ilmu pengetahuan

di dunia ini, pada kenyataannya tidak dapat merehabilitasi seseorang yang mempunyai

sikap anti sosial.

Beberapa tujuan dari pemidanaan seperti yang telah diuraikan di atas telah

menjadi suatu dilema dalam hal pemidanaan. Tujuan pidana dalam pandangan retributi

dianggap terlalu kejam dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan

tujuan pemidanaan sebagai deterrence dianggap telah gagal dengan fakta semakin

meningkatnya jumlah pelaku yang menjadi residivis. Sementara tujuan pemidanaan

22 Ibid.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 17: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

rehabilitasi telah kehilangan arahnya. Jeffery menguraikan kegagalan sistem pemidanaan

ini sebagai berikut:23

“The failure of prison system and treatment ideology has suddenly been discovered by politician and the lay public. A research project by Martinson and his associates reveals, for example, that therapeutic programs, with few exceptions, are total failures at rehabilitating criminal... A critical look at rehabilitation was provided in an article by Francia A. Allen in 1959. Allen, a law professor and former dean of the law school of the University of Michigan, argue that the “rehabilitative ideal” had dominated the criminal justice system with its social welfare programs in place of penal measures. Such a rehabilative philoshopy corrupted the criminal justice system and left the criminal at the mercy of the therapist. Justice was replaced with compulsory theraupeutic, and the criminal was left without protection.” Kenyataan di atas menyebabkan adanya usaha-usaha untuk melihat kembali pada

posisi hukum pidana klasik dan berpidah dari program treatment. Pada tahun 1940, Cohen

mengusulkan untuk mengkaji kembali penolakan terhadap paham retributif dengan alasan

bahwa secara alami terdapat kecenderungan pada manusia untuk melakukan pembalasan

terhadap orang yang telah menderitaknnya dan hal ini seharusnya mendapat dukungan

untuk diekspresikan dalam hukum pidana secara resmi. Kemudian Jerome Hall melakukan

pembelaan paham retributif dari serangan paham rehabilitatif yang dinyatakan dalam

bukunya berjudul The General Principles of Criminal Law. Tesisnya dipusatkan pada

kualitas moral dari perbuatan pidana, yaitu maksud (intent) pelaku untuk menyerang atau

melukai orang lain.24

Seorang filosof hukum berkebangsaan Inggris, yaitu Hart, telah mengajukan suatu

konsep pemidanaan yang didasarkan pada retributif atau penerapan penderitaan kepada

pelaku kejahatan yang secara moral bersalah. Konsepnya tentang pemidanaan ini meliputi

mens rea, free will, moral blameworthiness dan individual responsibility.25 Hart

23 C. Ray Jeffery, Op. Cit., hal. 23. 24 Ibid. hal. 358. 25 C. Ray Jeffery, Op. Cit., hal. 18.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 18: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

menyatakan bahwa retributif merefleksikan tingkat beratnya secara moral dari suatu

kejahatan, misalnya pembunuhan lebih serius dari pencurian dan Hart menyimpulkan

bahwa pemidanaan diperlukan kembali, bahkan jika terlalu penting untuk mencegah

pengulangan terjadinya kembali tindak pidana.26

Pendapat yang utama dari Hart adalah bahwa seseorang boleh dikenakan

pemidanaan jika seseorang tersebut telah melakukan perbuatan yang secara moral

bersalah. Pemidanaan yang dijatuhkan ini harus sesuai dengan tingkat kejahatan dari

perbuatan tersebut. Pembenaran pemidanaan disandarkan pada argumen bahwa

pembalasan penderitaan kepada moral seseorang yang jahat dilakukan secara sukarela,

yang pada dasarnya pelaku tersebut mempunyai moral yang baik.27

Prinsip yang digunakan Hart adalah prinsip proporsionalitas yang tidak lagi

menekankan tujuan pidana pada lex talionis (pembalasan) dengan adagium an eye for an

eye, a tooth for a tooth, tetapi justru menggarisb awahi pentingnya pidana yang

proporsional, yaitu sesuai dengan tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Pada

intinya proporsionalitas ini mensyaratkan skala nilai untuk menimbang dan menilai berat

ringannya pidana dikaitkan dengantindak pidananya. Oleh karena itu, nilai dan norma

yang berlaku dalam masyarakat serta budaya cenderung menjadi faktor penentu dalam

menentukan peringkat sanksi yang dipandang patut dan tepat dalam konteks histories

tertentu.28

Berdasarkan uraian di atas, maka dialektika teori tentang pemidanaan di dunia,

menunjukkan terjadinya pergeseran paradigma yang menghasilkan pula paradigma yang

lama dengan format baru. Paradigma ini juga menunjukan bahwa hakikat pemidanaan

26 Ibid. 27 Ibid. 28 Harkristuti Harkrisnowo, Op. Cit., hal. 12.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 19: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

tidak bisa terlepas dari konteks kehidupan sosial dan kebijakan pemidanaan harus

memperhatikan hukum yang hidup di tengah masyarakat.

C. Kearifan Lokal Falsafah Pemidanaan Indonesia

Sampai saat ini, Indonesia belum mentukan paradigma apa yang dipakai dalam

falsafah pemidanaannya. Sangat disayangkan sekali bahwa telah 60 tahun kita merdeka,

tetapi belum nampak criminal policy dari pengurus negara ini untuk melihat konsep

kearifan local falsafah pemidanaan Indonesia. Kita lebih cenderung menoleh kepada

falsafah pemidanaan dari Barat seperti di atas, ditambah oleh minimnya kemauan dari

para teoritisi, praktisi dan pihak legislasi untuk menggali falsafah pemidanaan kita.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, sebenarnya system pidana dan pemidanaan di

wilayah Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal falsafah pemidanaan. Hal ini

terlihat dari berbagai kitab hukum kuno dan hukum adat dari berbagai daerah telah

menyiratkan tujuan dari respon masyarakat terhadap terjadinya pelanggaran ketertuban

hidup. Sejumlah kitab kuno ini antara lain:

1. Kitab Ciwasasana atau Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa (abad ke-10);

2. Kitab Gajahmada (abadke-14);

3. Kitab Simbur Cahaya, di Palembang (abad ke-17);

4. Kitab Kuntara Raja Niti, di Lampung (abad ke-16);

5. kitab Lontara’ ade’, di Sulawesi Selatan (abad ke-19), dll.

Dari berbagai kitab tersebut telah mengenal asas legalitas dan asas

proporsionalitas yang menjadi pilar dari hukum pidana modern. Misalnya Pasal 65 Kitab

Perundang Majapahit tentang penjatuhan denda berbunyi: “…ingatlah, djangan sekali-kali

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 20: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

radja yang berkuasa mendjatuhkan denda lebih besar dari pada seketi enam laksa…” Asas

proporsionalitas terlihat dalam Pasal 93, “…keslahan besar dendanya besar, kesalahan

kecil dendanya kecil…”

Tujuan pemidanaan sebagai retributive ditemukan dalam Lontara Suku Wajo di

Sulawesi Selatan yang berbunyi: “…mereka tidak boleh dibunuh, kecuali perbuatan buruk

mereka yang membunuh mereka…”

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence, terlihat dalam undang-undang Majapahit:

“…maksud radja mengenakan denda ialah untuk mengendalikan nafsu orang,supaya

djangan tersesat budinya, djangan menerjang djalan yang benar…”

Falsafah rehabilitasi yang umumnya direalisasikan dalam pidana perampasan

kemerdekaan untuk dilakukan pembinaan (treatment) pada pelaku, memiliki bentuk yang

berbeda dalam kitab-kitab tersebut. Konsep rehabilitasi terlihat pada berbagai upacara

untuk memulihkan keseimbangan yang rusak karena dilakukannya kejahatan, sehingga

lebih berupa rehabilitasi societal dari pada individual.

Selain tujuan-tujuan pemidanaan dalam kitab-kitab kuno di atas yang sepadan

dengan falsafah barat, juga mengenal tujuan pemidanaan yang tidak dimiliki di Barat,

yaitu tujuan pemidanaan berupa “pengembalian keseimbangan dalam masyarakat atau

pemulihan keadaan” Konsep ini lebih bernilai secara komunal yang menekankan rasa

kebersamaan dalam masyarakat.

Misalnya di dalam UU Simbur Cahaya yang berlaku di Palembang, untuk delik

perzinahan maka pelaku dikenakan hukuman adat berupa “pembasuh dusun atau tepung

dusun.” Hukuman ini berupa membebankan kewajiban untuk menyembeli seekor kerbau

atau seekor kambing yang bertujuan untuk menghapuskan kehinaan atau “sial” di dalam

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 21: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

masyarakat akibat terjadinya kejahatan. Pada reaksi adat hal ini berfungsi untuk

memperkuat masyarakat secara magis karena untuk menyeimbangkan lingkungan alam

yang telah ternoda sehingga tidak membawa malapetaka bagi masyarakat lainnya.29

Dalam masyarakat adat, delik bukan hanya dipandang hanya kerugian secara

individual, tetapi perbuatan itu telah menggangu keseimbangan alam sehingga

keseluruhan masyarakat yang berada dalam wilayah alam tersebut bisa kena “sial” akibat

kemarahan alam. Tujuan pemidanaan dalam UU Simbur Cahaya, misalnya dalam kasus

perzinahan juga menganut prinsip yang sama, yaitu terganggunya keseimbangan.

Hukuman adat (reaksi adat) merupakanwahana untuk memulihkan kembali keseimbangan

alam yang rusak akibat perbuatan zinah tersebut. Masih banyak lagikearifan local yang

mengandung nilai-nilai positif untuk menjadi acuan proses legislasi di Indonesia.

Dalam R-KUHP telah diadopsi tentang tujuan pemidanaan yang digali dari nilai-

nilai filosopis bangsa Indonesia. Pasal 50 R-KUHP merumuskan tujuan pemidanaan

sebagai: (a) pencegahan; (b) pemasyarakatan terpidana; (c) penyelesaian konflik dan

pemulihan keseimbangan; (d) pembebasan rasa bersalah terpidana. Hal ini menunjukan

perumus R-KUHP sudah mulai menoleh ke arifan local yang berajkar dari budaya

Indonesia, selain konsep pemidanaan Barat. Hal ini ter pada tujuan pemidanaan pada

butir c, yaitu “menyelesaikan konflik dan mengembalikan keseimbangan”.

D. Internalisasi alas filosofis tujuan pemidanaan dalam Criminal Justice System

29 Lublink Weddik, Disertasi Tanpa Tahun, Hukum Delik Adat dalam Kerapatan Marga Palembang,

Diterjemahkan oleh M. Ali Amin, Hal. 15

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 22: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

Berdasarkan uraian tujuan pemidanaan di atas maka harus menjadi renungan bagi

perbaikan penegakan hukum diIndonesia dengan menggali hukum yang hidup dalam

masyarakat Indonesia sehingga bisa menjadi acuan oleh aparat penegak hukum. Oleh

karena itu, dalam kondisi ini diharapkan aparat penegak hukum yang tergabung dalam

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)30 harus mampu menginternalisasikan

alas philosofis tujuan pemidanaan ini sehingga tidak kehilangan arah dalam penegakan

hukum.

Aparat penegak hukum harus terintegrasi dalam sistem peradilan pidana dan

mampu bekerjasama dalam suatu integrated administration of criminal justice system,

sehingga terjadi koordinasi yang baik.31 Keterpaduan ini juga diharapkan dapat mencapai

tujuan Sistem Peradilan Pidana, yaitu:32

30 Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif

Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta.hal. 7-8. Sistem Peradilan Pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam “Criminal Justice Science” di Amerika Serikat, sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum. Ketidakpuasan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang digunakan dalam penegakan hukum adalah “law and order approach” dan penegakan hukum dalam konteks ini dikenal dengan istilah law enforcement. Istilah ini menunjukkan bahwa aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan lembaga kepolisian sebagai pendukung utama, sehingga keberhasilan penanggulangan kejahatan pada waktu itu sangat tergantung dengan kerja lembaga kepolisian. Dalam prakteknya, lembaga kepolisian mempunyai keterbatasan dan kendala-kendala dalam penegakan hukum dan upaya penanggulangan kejahatan, baik yang bersifat operasional maupun prosedural-legal. Keterbatasan dan kendala ini tidak berhasil secara optimal untuk menekan naiknya angka kejahatan. Berdasarkan latar belakang ini, maka mulai dipikirkan untuk melakukan pendekatan yang sistemik dalam penanggulangan kejahatan melalui keterpaduan lembaga-lembaga penegak hukum. Menurut Remington dan Ohlin, Sistem Peradilan Pidana dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme penyelenggaraan peradilan pidana. Peradilan pidana sendiri sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem sendiri mengandung implikasi sebagai suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara yang efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya

31 Norval Morris (1982) Introduction. dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for An Integrated Approach. Tokyo: Seminar UNAFEI, hal. 5. Morris melihat bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang berusaha untuk menanggulangi kejahatan. Secara rinci Morris menyatakan “The criminal justice system is best seen as a crime containment system, one of the method that society uses to keep crime at whatever level each particular culture is willing no accept… the criminal justice system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say, in trying to reduce criminality among those who have been convicted of crimes and trying by deterrent processes of detection, conviction, and punishment to reduce the commission of crime by those who are so minded and so a acculturated”.

32 Philip P. Purpura (1997). Criminal Justice an Introduction. Boston: Butterworth-Heinemann, hal. 5.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 23: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

1. Melindungi masyarakat (Protect Society);

2. Memelihara ketertiban dan stabilitas (Maintain order and stability);

3. Mengendalikan kejahatan (control crime);

4. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan serta melakukan

penahanan terhadap pelakunya (investigate crimes and arrest offenders);

5. Memberikan batasan tentang bersalah atau tidak kepada pengadilan (provide for

judicial determination of quilt or innoncence);

6. Menetapkan hukuman yang pantas dan sesuai bagi yang bersalah (set an appropriate

sentence for the quilty);

7. Melindungi hak-hak hukum terdakwa melalui proses peradilan pidana (protect the

constitutional rights of defendents throughout the criminal justice process).

Sistem Peradilan Pidana ini mempunyai empat komponen, sebagaimana yang lazim

dikenal dalam ilmu kebijakan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini biasa disebut sebagai aparat penegak

hukum. Perkembangan terakhir dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang

Advokat, maka advokat telah mempunyai legitimasi sebagai aparat penegak hukum,

seperti yang ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1). Status advokat disejajarkan dengan

aparat penegak hukum lainnya dalam proses peradilan. Dengan demikian advokat dapat

dikatakan sebagai salah satu unsur aparat penegak hukum dan dapat dimasukkan sebagai

salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana.33

Kadish sebagaimana yang dikemukakan oleh Ramli Atmasasmita menyatakan

bahwa sistem peradilan pidana dapat dikaji melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan

33 Lihat Pasal 5 Ayat (1) dan Penjelasnya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 24: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

normatif, pendekatan administrasi, dan pendekatan sosial.34 Pendekatan normatif

memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan

pidana merupakan institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku,

sehingga komponen-komponen ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

penegakan hukum.

Pendekatan administratif memandang komponen-komponen aparatur penegak

hukum sebagai suatu organisasi managemen yang memiliki mekanisme kerja, baik

hubungan yang bersifat horizontal, maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur

organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang digunakan adalah sistem

administrasi. Pendekatan sosial memandang komponen-komponen aparatur penegak

hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Hal ini berarti

masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau tidaknya

pelaksanaan tugas dari komponen-komponen aparatur penegak hukum tersebut. Sistem

yang digunakan adalah sistem sosial.

Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat tempat bagi keterlibatan masyarakat

dalam upaya penegakan hukum. Dalam konteks ini dapat dimunculkan pertanyaan-

pertanyaan yang menarik untuk dikemukakan. Pertanyaan ini berkisar pada, mengapa

masyarakat harus dilibatkan dalam penegakan hukum?, dan dimana posisi masyarakat

dalam Sistem Peradilan Pidana.

Pertanyaan ini muncul karena menurut Adam Crawford bahwa selama ini istilah

penegakan hukum sering diterjemahkan secara sempit dan hanya merupakan tanggung

jawab dari aparat penegak hukum semata, padahal penegakan hukum harus melibatkan

keseluruhan komponen masyarakat, yang dalam bahasa Crawford dipergunakan istilah

34 Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 17.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 25: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

“community safety” sebagai makna yang lebih luas bagi keikutsertaan masyarakat dalam

penegakan hukum.35

Berkenaan dengan konsep “community safety” di atas, Lunden sebagaimana yang

dikemukakan oleh Robert L. O’Block36 menyatakan bahwa ada empat komponen besar

yang harus terlibat dalam upaya penegakan hukum, yaitu; (1) Politisi (Politician); (2)

Aparat Penegak Hukum (Law Enforcement Practitioners); (3) Masyarakat (Public); dan (4)

Para Ahli (scholars).

Lunden menempatkan masing-masing komponen pada posisi yang sama dengan

peranan masing-masing dan tetap berkoordinasi dalam upaya penanggulangan kejahatan.

Selanjutnya menurut Lunden,37 selama ini masing-masing komponen di atas mempunyai

pandangan yang parsial dan terbatas mengenai penegakan hukum. Pandangan para

politisi, secara umum terbatas kepada aspek finansial dan aspek politis semata.

Sedangkan aparat penegak hukum (law enforcement practitioners) kebanyakan

menggunakan pendekatan case by case dalam menghadapi persoalan kejahatan. Persepsi

yang terbentuk dalam opini masyarakat terhadap penegakan hukum selalu dikaburkan

oleh rasa ketakutan sehingga menyebabkan salah persepsi dan akhirnya menimbulkan

prasangka. Sementara pemikiran para ahli dengan kemampuan keilmuan yang dimilikinya,

melangkah terlalu jauh dari realitas, sehingga menjadi tidak efektif.

Untuk menjawab persoalan di atas, ada baiknya kita simak pernyataan Chamelin

yaitu:38 bahwa keberhasilan penanggulangan kejahatan secara efektif hanya dapat

dilakukan atas munculnya kesadaran dari semua lapisan masyarakat. Kesadaran ini tidak

35 Adam Crawford (1998). Crime Prevention and Community Safety, Politic, Policies, and Practices.

London: Addition Weley Longman Limited, hal. 10. 36 Robert L. O’Block (1981). Security and Crime Prevention. London: Mosby Company, hal. 4. 37 Ibid. 38 Neil C. Chamelin, Et. al. (1979). Introduction to Criminal Justice. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,

Englewod Cliffs, Second Edition, hal. 189.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 26: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

hanya abstrak dalam pikiran masyarakat semata, tetapi kesadaran ini harus membumi

melalui komitmen yang tinggi pada seluruh komponen masyarakat untuk menyumbangkan

tenaga, waktu dan pikiran mereka dalam rangka pencapaian tujuan di atas.

E. Penutup

Pentingnya dasar pilosofis tujuan pemidanaan sebagai kerangka operasional bagi

penegakan hukum di Indonesia sehingga jelas arah yang hendak dicapai dalam

pemidanaan itu sendiri. Penggalian nilai-nilai keraifan local dalam khazanah pemidanaan

akan menjadikan konsep pemidanaan Indonesia kaya dan bernilai tinggi bagi penegakan

hukum keadilan. Tentu saja semua ini harus didukung oleh kemauan politik pihak

legislative, pemerintah dan aparat penegak hukum sehingga mampu mengembalikan citra

positif penegakan hukum Indonesia.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 27: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

DAFTAR PUSTAKA

Andrew Ashworth (1994). Sentencing, dalam The Oxford Handbook of Criminology. Mike Maguire et.all (Ed.). New York: Oxford University Press.

Adam Crawford (1998). Crime Prevention and Community Safety, Politic, Policies, and

Practices. London: Addition Weley Longman Limited. Aleksandar Fatic (1995). Punishment and Restorative Crime – Handling. USA: Avebury

Ashagate Publishing Limited. C. Ray Jeffery (1977). Crime Prevention Through Environmental Design. Beverly Hills-

London: SAGE Publication, Inc. Freda Adler et. al. (1995). Criminology. USA: McGraw-Hill, Second Edition. Harkristuti Harkrisnowo (2003). Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan

terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia. Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok.

J.M. van Bemmelen (1997). Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta, Cetakan Kedua. Jan Remmelink (1993). Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP

Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

J. Robert Lilly et, al. (1995). Criminological Theory, Context and Consequences. London-

New Delhi: SAGE Publications, Second Edition. Kompas, Hukum di Atas Pilar yang Gamang, Senin,10 Oktober 2005. Lloy Ohlin (1970). Modification of the Criminal Value system dalam The Sociology of

Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.

Lublink Weddik, Disertasi Tanpa Tahun, Hukum Delik Adat dalam Kerapatan Marga

Palembang, Diterjemahkan oleh M. Ali Amin. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni Marc Ancel (1965). Social Defence, Modern Approach to the Criminal Problem. London:

Roatledge & Paul Keagen Negel Walker (1995). Reductivism and deterrence. dalam A Reader on Punishment. R.A.

Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006

Page 28: MAHMUD MULYADI - USU Library :: Perpustakaan Universitas ...library.usu.ac.id/download/fh/06006999.pdf · Semoga karya ilmiah ini semakin memperkaya khazanah ilmu hukum pidana

Norval Morris (1982) Introduction. dalam Criminal Justice in Asia, The Quest for An

Integrated Approach. Tokyo: Seminar UNAFEI. Neil C. Chamelin, Et. al. (1979). Introduction to Criminal Justice. New Jersey: Prentice-

Hall, Inc., Englewod Cliffs, Second Edition. Philip P. Purpura (1997). Criminal Justice an Introduction. Boston: Butterworth-

Heinemann. Romli Atmasasmita (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana dan Krimonologi. Bandung:

Mandar Maju. Romli Atmasasmita (1996). Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Perspektif

Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta. Rudolp J. Gerber and Patrick D. McAnany (1970). Philosophy of Punishment, dalam The

Sociology of Punishment & Correction. Leonard Savitz dan Marvin E. Wolfgang (Ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc.

Robert L. O’Block (1981). Security and Crime Prevention. London: Mosby Company. T. Mathiesen (1995). General Prevention as Communication dalam A Reader on

Punishment. R.A. Duff and David Garland (Ed.). New York: Oxford University Press, Inc.

UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Mahmud Mulyadi : Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemindanaan dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, 2006 USU Repository © 2006