mulia makalah khazanah pemikiran dalam islam

27
DISKURSUS PENCAPAIAN KONSEP AL-HAQQ, IT-TIHAD DAN HULUL DALAM DUNIA TASAWUF (Studi Konsep Ketuhanan Husain Ibn Manshur al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami dan Ibn `Arabi) A. Pendahuluan Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara keduanya saling mendukung. Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam kronologi penciptaannya berasal dari tanah. 1 Fenomena ini membangun sebuah argumentsi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad dikembalikan ke tanah. Kedua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah. 2 Konsekuensi logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa memuaskannya juga sesuatu yang berasal dari Allah serta ketika manusia dinyatakan mati, maka ruh kembali kepada Allah 1 al-Qur’an al-Karim Surat al-Mukminun (23) : 12-14. 2 al-Qur’an al-Karim surat al-Hijr (15) : 29, lihat juga surat Shaad (38) : 72.

Upload: daska-aziz

Post on 27-Jun-2015

395 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

DISKURSUS PENCAPAIAN KONSEP AL-HAQQ, IT-TIHAD DAN HULUL

DALAM DUNIA TASAWUF

(Studi Konsep Ketuhanan Husain Ibn Manshur al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami dan Ibn `Arabi)

A. Pendahuluan

Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara

keduanya saling mendukung. Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam

kronologi penciptaannya berasal dari tanah.1 Fenomena ini membangun sebuah

argumentsi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan

yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad

dikembalikan ke tanah. Kedua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah.2

Konsekuensi logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa

memuaskannya juga sesuatu yang berasal dari Allah serta ketika manusia

dinyatakan mati, maka ruh kembali kepada Allah

Dimensi jasad, mengantarkan manusia memiliki fitrah (kecenderungan)

membutuhkan sesuatu yang bersifat materi. Sebaliknya, dimensi ruh

mengantarkan manusia memiliki fitrah insting keberagaman,3 yang cenderung

bernuansa spritualis. Antara keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh dalam diri

manusia.

Manusia yang mampu memahami dirinya secara utuh, maka akan sampai

pada pengetahuan kedekatannya tentang Tuhan. Artinya, manusia yang mampu

1al-Qur’an al-Karim Surat al-Mukminun (23) : 12-14.2al-Qur’an al-Karim surat al-Hijr (15) : 29, lihat juga surat Shaad (38) : 72. 3M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Al-Asma’ al-Husna Dalam Perspektif al-

Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, Cetakan VIII, 2006, hal. 17.

Page 2: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

mengenal dirinya sendiri, maka sungguh ia telah mengetahui dan mengenal

Tuhannya.4 Pada tataran ini, tidak ada batas dan tidak ada sesuatu yang dapat

menghalangi hubungan langsung antara manusia dengan Allah.5 Menurut Harun

Nasution “Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk

ittihad bersatu dengan Tuhan”.6 Manshur al-Hallaj dalam pengalaman spiritualnya,

menemukan sebuah formulasi komunikasi ideal antara manusia dengan Tuhannya.

Formulasi ini dibangun berdasarkan persepsinya yang utuh bahwa antara manusia

dan Tuhan memiliki dua sifat yang sama, yaitu al-Lahut dan al-Nasut. Apabila

kedua sifat ini melebur jadi satu, maka berarti antar manusia dengan Allah sebagai

Tuhannya bisa menyatu. Momentum menyatunya antara al-Lahut dan al-Nusut ini

dalam teori tasawufnya Mansur al-Hallaj disebut al-Hullul.

B. Konsep al-Haqq dalam teori Ibn `Arabi

Nama ibn `arabi dimili tidak hanya oleh satu orang. Dalam sejarah

pemikiran Islam ada dua tokoh terkemuka yang mempunyai nama yang sama.

Yang pertama adalah Abu Bakr Muhammad Ibn `Abd Allah Ibn al-`Arabi al-

Ma`afiri (468-543), seorang ahli hadits di Serville.7 Yang kedua adalah

Muhammad Ibn `Ali ibn Muhammad ibn al`arabi al-Ta`i al-hatimi, seorang sufi

termasyhur dari andalusia, ia dilahirkan pada 17 ramadhan 560 H.

4M. Amin Syukur, Zikir Menyembuhkan Kankerku: Pengalaman Kesembuhan Seseorang Penderita Kanker Ganas yang Divonis Memiliki Hidup Hanya Tiga Bulan, (Jakarta: Hikmah, 2007), hal. 57.

5Yusuf Qardawi, Al-Iman wa al-Hayat, (terj. Jaziratul Islamiyah), (Jakarta: Mitra Pustaka, 2002), Cet V, hal. 65.

6Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 56.

7J. Robson, Ibn al-`Arab The Encylopedia of Islam, New Edition (London dan Laiden: Luzac dan Brill, 1979), hal. 3:707.

Page 3: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

Tokoh pertama adalah sang kadi bukan objek pembicaraan dalam makalah

ini, tokoh yang kedua adalah sang sufi, dalam hal ini akan mengkaji tentang

konsep al-haqq menurutnya sendiri.

Kata al-haqq dalam karya-karya Ibn `arabi mempunyai beberapa

pengertian yang berbeda dalam konteks-konteks yang berbeda pula. Namun dalam

hal ini konteks al-haqq yang dimaksudkan adalah hubungan ontologis antara al-

haqq dan al-khalq. Dalam konteks ini al-haqq adalah Allah, sedangkan al-khalq

adalah alam, makhluk, yang banyak, al-mawjudat dan al-mumkinat.8

Menurut Ibn ’Arabi, hanya ada satu Realitas. Realitas ini kita pandang dari

dua sudut yang berbeda. Ketika kita menganggapnya sebagai Esensi dari semua

fenomena, Realitas itu kita namai al-Haqq (the Real). Sementara, ketika kita

memandangnya sebagai fenomena yang termanifestasi dari Esensi tersebut, kita

menyebutnya al-khalq. Al-Haqq dan al-khalq, Realitas dan Penampakan, Yang

Satu dan Yang Banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek subjektif dari

Realitas Tunggal.

Lantas, apakah hubungan ontologis antara al-Haqq dan al-Khalq, antara

Allah dan alam, antara Sang Pencipta dan ciptaan, antara Yang Satu dan Yang

Banyak? Sebelumnya, dalam masalah wujud, telah disebutkan bahwa satu-satunya

wujud adalah Allah; tidak ada wujud selain wujud Allah. Dengan kata lain, wujud

dalam pengertian hakiki hanya milik al-Haqq. Segala sesuatu selain al-Haqq

sesungguhnya tidak memiliki wujud. Karena itu, wujud hanya satu yaitu al-Haqq.

Jika satu-satu wujud adalah al-Haqq, bagaimana kedudukan ontologis al-khalq?

8Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-`Arabi Wahdat al-wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 46.

Page 4: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

Apakah alam identik dengan Tuhan? Atau, apakah alam tidak mempunyai wujud

sama sekali? Jawaban Ibn ’Arabi tampak ambigu. Menurutnya, alam adalah al-

Haqq dan bukan al-Haqq, atau dengan kata lain, “Dia dan bukan Dia” (huwa la

huwa).

Dalam Futuhat-nya, Ibn ‘Arabi mengatakan9,

Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat-sifat dari entitas-

entitas al-mumkinat yang dipersiapkan untuk disifati dengan wujud.

Karena itu, dalam wujud adalah ia [entitas-entitas mumkinat] dan bukan

dia. Karena yang nampak (azh-zhahir) adalah sifat-sifatnya, maka [itu]

adalah ia [dalam wujud]. Tetapi ia tidak mempunyai entitas dalam wujud

karena ia tidak ada [dalam wujud]. Dengan cara yang sama, ”[Itu adalah]

Dia [Allah] dan bukan Dia; karena Dia adalah yang nampak, maka itu

adalah Dia. Tetapi perbedaan antara maujudat ditangkap oleh akal dan

indra karena adanya perbedaan sifat-sifat dari entitas-entitas, maka itu

bukan Dia.

Istilah-istilah paradoks dalam irfan Ibn ’Arabi memang diakui juga oleh

Bulent Rauf, seorang peminat Ibn ’Arabi masa modern. Menurutnya, Ibn ’Arabi

acap menggunakan istilah-istilah ”pencipta adalah yang diciptakan”, ”Aku adalah

Dia dan Dia adalah aku”, ”Aku adalah Dia dan bukan Dia”, ”Al-Haqq adalah al-

khalq dan al-khalq adalah al-Haqq”, ”al-Haqq bukan al-khalq dan al-khalq bukan

al-Haqq” dan seterusnya. Paradoks ini sebetulnya bukan paradoks sama sekali. Ia

adalah konsep relatif dari dua aspek Realitas. Sesungguhnya, ada resiprositas utuh

antara Yang Satu dan Yang Banyak sebagaimana dipahami oleh Ibn ’Arabi.

Seperti halnya dua korelasi logis, tak ada suatu makna apa pun tanpa yang lain.

9Ibid..., hal. 47.

Page 5: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

Dalam pandangan Ibn ’Arabi, alam adalah penyingkapan-diri atau tajali

al-Haqq. Dengan demikian, segala sesuatu dan segala peristiwa di alam ini adalah

entifikasi (ta’ayun) al-Haqq. Karena itu, baik Tuhan maupun alam, keduanya

tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi

ontologis. Kontradiksi-kontradiksi ontologis dalam realitas bukan hanya bersifat

horizontal tetapi juga vertikal seperti yang terlihat antara Nama al-Zhahir dan al-

Bathin, al-Awwal dan al-Akhir.

Ibn ’Arabi memandang, realitas itu Satu, namun memiliki dua sifat yang

berbeda: sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Kedua sifat ini hadir dalam

segala sesuatu yang ada di alam. Dalam wujud hanya ada satu realitas yang dapat

dipandang dari dua aspek yang berbeda. “Tidak ada dalam wujud kecuali satu

realitas. Dipandang dari satu aspek, realitas itu kita sebut Yang Benar, Pelaku, dan

Pencipta. Dipandang dari aspek lain, ia kita sebut ciptaan, penerima, dan

makhluk.”10 Dengan demikian, al-Haqq dan al-khalq adalah dua aspek bagi wujud

yang satu atau realitas yang satu.

C. Konsep al-Hulul dalam teorinya Mansur al-Hallaj

1. Biografi dan Bangunan Pemikiran Keagamaan Mansur al- Hallaj.

Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama

lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma al-Baidlawi

al-Hallaj.11 Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan.

Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang

10Ibid..., hal. 50. 11Azyumardi Azra, et.al., Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002),

Cet X, hal. 74.

Page 6: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

bernama Sahl al-Tustari.12 Karena pengembaraannya yang intens, maka ia dapat

bertemu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada masa itu.

Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju kota

Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya,

seterusnya pindah Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi

modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid al- Baghdadi. Ia digelari al- Hallaj

karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal

dengan Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib.13

Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Selama di kota suci ini

ia tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram sambil melakukan praktek

kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah, ia mengalami dan merasakan

sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara bandingannya. Dalam sebuah

pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada

wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah hulul.14

Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual yang

luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan

menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun

demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya menjadi rakyat yang

tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H /

922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah

(Khalifah Al-Muktadir Billah). Motif dan latar belakang penangkapan dan vonis

12I b i d . 13Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997),

hal. 144. 14Ib id

Page 7: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

hukuman mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa paham hulul yang

dianggap menyesatkan ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga dituduh mempunyai

hubungan dengan Syiah Qaramitah.15

2. Konsep al-Hullul Mansur al-Hallaj

Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman

tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan

berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi

yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas

Islam,16 yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu,

mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan

Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi.

Ajaran tasawuf al-Hallaj yang terkenal adalah konsep hulul, Tuhan

dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia

tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam

tubuhnya. Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-

lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan).17 Demikian juga manusia

juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan

manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasi pemahaman ini dibangun

berdasarkan kandungan makna dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa:

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya”

15Syiah Qaramitah adalah sebuah kelompok Syiah beraliran garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang dan memusuhi pemerintah Dinasti Abbasiyah sejak abad kesepuluh sampai dengan abad ke sebelas, Lihat : Azyumardi Azra, et.al.,Ibid., hal. 74-75.

16 Sayyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, (tim penerjemah Mizan), (Bandung: Mizan, 2003), hal. 23.

17Azyumardi Azra, et.al.,op.cit, hal. 75.

Page 8: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hambal atau

Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as

terdapat bentuk Tuhan yang disebut al- lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan

terdapat bentuk manusia yang disebut al-nasut. Berdasarkan pemahaman adanya

sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau persatuan antara

Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dan

manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul.18 Bersatunya antara

Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala manusia

berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan

sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi

dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi

pengalaman hulul.19 Peristiwa ini terjadi hanya sesaat, pernyataan al-Hallaj bahwa

dirinya tetap ada, yang terjadi adalah bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya,

sebagaimana ungkapan syairnya, yang artinya:

“Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia ketuhanan-Nya

yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya dengan nyata dalam bentuk

manusia yang makan dan minum”.20

Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar ke- Tuhanan,

yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari falsafah

Kristen yang mengatakan bahwa nasut Allah mengandung tabi`at kemanusiaan di

18Ibid.19M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 57.20Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an-

Nahdhoh, 1974), hal. 18.

Page 9: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

dalamnya.21 Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat ketuhanan

menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat kemanusiaan.

Dalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan sangat jelas bahwa:

“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucinta adalah aku. Kami adalah

dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,

dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”.22

Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (kata-kata

aneh),23 dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha

Benar). Kata al-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat

saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai

Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati

spiritualnya, al-Hallaj tidak mengaku demikian.

Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar dari

mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya. Dengan

ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj

dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena

sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan

kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana

21Abdul Kadir Mahmud, al-Fikr al-Islami wa al-Falsafat al-Muaridlah fi al-Qadim wa

al-Hadits, (Mesir: Hajah al Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1986), hal. 78. 22Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 90.23Secara kebahasan perkatan syathahat berasal dari kata kerja syathaha yang berarti

taharraka, yaitu gerak atau tergerak. Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak yang  bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya. Syathahat menurut kaum Sufi adalah ungkapan perasaan para sufi yang bergelora, ketika pertama kali memasuki gerbang ilahi.

Page 10: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

diungkapkan dalam syairnya: “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang

kucintai adalah aku”.24

Seandainya apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang tafsiran

al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2: 34) adalah

pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini pandangan

yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah

Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa kamitslihi

syaiun”.

Namun pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat sifat

ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu dengan

menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana menurut

al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang benar. Jadi

menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam manafsirkan

atau memahami ajaran al- Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi diri

manusia-manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu

dari yang benar, dialah manusia yang memiliki/ dikaruniai sifat Tuhan.

C. Konsep al-Ittihad dalam teorinya Abu Yazid al-Bustami

a. Pengertian It-Tihad

Ittihâd berasal dari kata ittahad-yattahid-ittihâd (dari kata wâhid) yang

berarti bersatu atau kebersatuan. Sedangkan ittihâd menurut Abû Yazîd al-

Busthâmî secara komprehensif maupun secara etimologis berarti integrasi,

24Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an- Nahdhoh, 1974), hal. 27

Page 11: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

menyatu, atau persatuan. Dan secara istilah, ittihâd merupakan pengalaman

puncak spiritual seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta, dan mengenal

Allah sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Allah.25 Ittihâd

dicapai dengan beberapa proses (maqâmât) dengan tazkiyat al-nafs hingga

melewati mahabbah dan ma‘rifah kemudian mengalami fanâ’ dan baqâ’ sebagai

pintu gerbang menuju ittihâd. Dengan kata lain sebelum mengalami ittihâd para

sufi harus mengalami al-fanâ’ ‘an al-nafs dan al-baqâ’ bi Allâh. Fanâ’ secara

etimologis berarti keluruhan diri kemanusiaan, hancur, lenyap dan hilang.

Sedangkan baqâ’ secara etimologis berarti kekal, abadi, tetap dan tinggal.

Keadaan fana’- baqa’ dan ittihad sebagaimana yang dialami oleh Abu

Yazid dalam pengalaman tasawwufnya, merupakan tiga aspek dalam suatu

pengalaman sufi yang tejadi setelah tercapainya makam ma’rifat. Dan hal ini tidak

banyak sufi yang mencapai tataran demikian, bahkan kalaupun ada maka tidak

akan pernah lepas dari dijumpainya pro- kontra dari kalangan umat Islam sendiri,

terutama dari kalangan mutakallimun, karena perjalanan para sufi pada maqam

yang setelah mencapai tingkatan ma’rifah hampir selalu dinyatakan sebagai

bertentangan dengan ajaran Islam, meskipun upaya demikian dilakukan dalam

rangka mendekatkan diri sedekat mungkin pada Sang Pencipta.

Seorang sufi yang hendak bersatu dengan tuhan; ittihad terlebih dahulu

harus melalui dengan dua keadaan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu keadaan

fana’, yaitu kesirnaan atau peleburan; penghancuran perasaan atau kesadaran

25 http://gilitengah.multiply.com/journal/item/13

Page 12: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

seseorang tentang dirinya dan makhluk lain disekitarnya, dan baqa’ tetap kekal,

yaitu tetap dalam kebajikan dan kekal dalam sifat ketuhanan.26

Fana’ dan baqa’ merupakan pengetahuan atau pengalaman yang tidak bisa

diperoleh melalui pemikiran, tetapi diberikan oleh Tuhan melalaui penerangan

yang merupakan rahasia tuhan. Dikatakan demikian karena perjalanan ini di

identikkan dengan hancurnya sifat jiwa, atau sirnanya sifat-sifat tercela, maka

barang siapa fana’ dari sifat tercela, maka pada dirinya akan muncul sifat-sifat

terpuji.27 Fana’ dan baqa’ merupakan sesuatu yang kembar, karena ia terjadi di

dalam waktu yang bersamaan, sehingga jika terjadi fana’, dimana pada waktu

kesadaran dengan diri dan alam sekelilingnya telah hilang maka bersamaan

dengan itu ia mengalami baqa’, yaitu munculnya kesadaran akan kehadirannya

disisi Tuhan.

b. Al-Ittihad

Keadaan ini merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang

sufi merasakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang

dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang

lain dengan kata “hai aku”.

Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh

tingkatan fana’- baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya

sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dan dilanjutkan dengan

memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang menghalangi pandangan mata

hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus menerus.

26Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek, Op. Cit., hal. 83.27Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, Terj. Ahmad

Rafi’ Usman, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 106.

Page 13: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

Setelah Abu Yazid mengalami ke-fana’an, dengan sirnanya segala sesuatu

yang selain Allah dari pandangannya, saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain

hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri

karena dirinya telah terlebur dalam Dia yang disaksikannya. Dalam keadaan yang

seperti ini terjadi penyatuan dengan Yang Maha Benar. Kondisi seperti itu telah

menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang

dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan.

Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara

sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas

nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya

ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil.

Ketika terjadi ittihad secara utuh, Abu Yazid mengatakan dalam

syatahatnya: “Tuhan berkata; semua mereka kecuali engakau adalah makhluk-

Ku”, akupun berkata, “Aku adalah Engkau, Engaku adalah aku adalah Engkau”,

maka pemilahanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu.

Dia berkata, “Hai engkau”, aku dengan perantara-Nya menjawab, “Hai aku”. Dia

berkata, “Engkau yang satu”. Aku menjawab, “Akulah yang satu”. Dia

selanjutnya berkata, “Engkau adalah engaku”. Aku menjawab, “Aku adalah aku”.

Kata aku yang diucapkan Abu Yazid bukanlah sebagai gambaran diri Abu Yazid

tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena saat itu Abu Yazid telah bersatu dengan

Tuhan, dengan kata lain, dalam ittihad Abu Yazid berbicara dengan nama Tuhan

atau lebih tepat lagi, Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid.28

28Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, Op. Cit., hal. 85.

Page 14: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

Dalam peristiwa lain, Abu Yazid dikunjungi seseorang, kemudian ia

bertanya: “Siapa yang engkau cari? jawabnya, “Abu Yazid”, Abu Yazid

mengatakan: “Pergilah, di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan

Maha Tinggi”.29

Dengan ucapan-ucapan yang telah dikemukakan, Abu Yazid terlihat telah

bersatu dengan Tuhan. Sehingga dia tidak sadar akan diri dan lingkungannya

karena yang ada saat itu hanya Allah semata. Sebenarnya Abu Yazid tetap

mengakui adanya wujud, Tuhan dan Makhluk, hanya saja dia merasakan

kebersatuan antara keduanya, sedangkan masing-masing masih tetap dalam

esensinya, Tuhan tetap Tuhan, makhluk tetap makhluk. Ketika terjadinya ittihad,

yang dimaksud bersatu adalah dalam arti ruhani, bukan hakekat jazad.

Ittihad terjadi dengan perantara fana’-baqa’ sebagaimana telah

dikemukakan, digambarkan sebagai jiwa yang kehilangan semua hasrat, perhatian

dan menjadikan diri sebagai obyek Tuhan, dengan cinta di dalam batin, pikiran

sifat-sifat kebaikan yang menimbulkan kekaguman dalam dirinya.

Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat shubuh, Abu

Yazid pernah melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila

dan menjauhinya dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan

selain aku, maka sembahlah aku, maha suci aku, maha besar aku”.30

Ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh Abu Yazid diatas tidak dapat

dilihat secara harfiah, tetapi harus dipandang sebagai ungkapan seorang sufi yang

sedang dalam keadaan fana’, seluruh pikiran, kehendak dan tindakannya telah

29Ibid..., hal. 86. 30Harun Nasution, Op. Cit. , hal. 84.

Page 15: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

baqa’ dalam Tuhan. Pada dasarnya semua wujud selain wujud Tuhan adalah

fana’, atau segala sesuatu selain Tuhan, dipandang dari keberadaan dirinya, sudah

tidak ada fana’. Dengan demikian satu-satunya wujud yang ada hanyalah wujud

Tuhan.

Dalam pengalaman tasawuf, keadaan fana’ para sufi berbeda antara satu

dengan yang lain. Ada yang kembali kepada keadaan normal sehingga dia tetap

menganggap dualitas antara Tuhan dan alam, tetapi ada pula yang betul-betul

merasakan fana’ yang kemudian mengantarkan bersatu dengan Tuhan, sehingga

tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan alam, atau sebaliknya.

Meskipun Abu Yazid di pandang sebagai tokoh terpandang dalam

bidangnya ternyata juga mendapat kritik, sebagai contoh adalah al-Thusi yang

memaparkan bahwa ittihad sebagaimana yang di lakukan oleh Abu Yazid, yang

diawali oleh keadaan fana’, patut diwaspadai bahaya-bahaya yang akan di

timbulkannya, karena menurutnya sifat-sifat kemanusiaan tidak mungkin sirna

dari manusia. Oleh karena itu persangkaan bahwa manusia bisa fana’, sehingga ia

bersifat sebagaimana sifat ketuhanan adalah keliru. Akibat ketidak tahuannya,

pendapat itu hanya akan mengantar mereka kepada hulul atau pendapat orang

nasrani tentang isa al-Masih.31

Namun juga tidak kurang dari tokoh sufi lain yang memberikan dukungan,

sebagaimana di sampaikan oleh Al-Junaidi, yang menyatakan dapat memahami

ungkapan yang di keluarkan Abu Yazid. Bahkan Abd al-Qadir al-Jailani

memberikan komentar, “Terhadap apa yang di ucapkan para sufi, tidak bisa

31Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taflazani, Op. Cit., hal. 109

Page 16: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

dijatuhkan hukum, kecuali apa yang di ungkapkannya dalam keadaan sadar”32

karena persoalannya tidak lebih dari psikis yang sedang dialami oleh masing-

masing pelaku sufi yang sedang melangsungkan tawajjuh dengan Allah sehingga

keadaan alam dan seisinya benar-benar tertutup dari jangkauan akal mereka.

KESIMPULAN

Demikianlah dalam perspektif al-Hallaj dan al-Bustami bahwa Tuhan dan

manusia dipahami memiliki dua sifat yang sama. Suatu saat apabila manusia

berhasil menghilangkan sifat kemanusiaannya dengan membersihkannya lewat

berbagai ibadah yang tulus ikhlas hanya mencari keridlaan Allah, maka dipastikan

ia akan bisa bertemu dan menyatu dengan sifat Allah. Sebaliknya, apabila

manusia tanpa mau berusaha menghilangkan atau melenyapkan sifat

kemanusiaannya, maka sulit untuk bisa dipastikan akan bertemu dan menyatu

dengan Allah.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

32Ibid..., hal. 119.

Page 17: Mulia Makalah Khazanah Pemikiran Dalam Islam

Abdul Kadir Mahmud, al-Fikr al-Islami wa al-Falsafat al-Muaridlah fi al-Qadim

wa al-Hadits, (Mesir: Hajah al Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1986.

Azyumardi Azra, et.al., Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

2002.

Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, Terj.

Ahmad Rafi’ Usman, Bandung: Pustaka, 1985.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,

1973.

Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek,

http://gilitengah.multiply.com/journal/item/13

J. Robson, Ibn al-`Arab The Encylopedia of Islam, London dan Laiden: Luzac dan

Brill, 1979.

Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-`Arabi Wahdat al-wujud dalam Perdebatan, Jakarta:

Paramadina, 1995.

Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, Beirut, Maktabah, an-

Nahdhoh, 1974.

M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Al-Asma’ al-Husna Dalam

Perspektif al- Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, Cetakan VIII, 2006.

M. Amin Syukur, Zikir Menyembuhkan Kankerku: Pengalaman Kesembuhan

Seseorang Penderita Kanker Ganas yang Divonis Memiliki Hidup Hanya

Tiga Bulan, Jakarta: Hikmah, 2007.

M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo,

1997.

Sayyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi,

(tim penerjemah Mizan), Bandung: Mizan, 2003.

Yusuf Qardawi, Al-Iman wa al-Hayat, (terj. Jaziratul Islamiyah), Jakarta: Mitra

Pustaka, 2002.