m farhan a g (k2f 006 025)

77
KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG BERBEDA Usulan Penelitian Guna Menyusun Skripsi S1 Oleh : M. FARHAN AJAR GEMILANG K2F 006 025

Upload: m-farhan-ajar-gemilang

Post on 26-Jun-2015

2.190 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG BERBEDAUsulan Penelitian Guna Menyusun Skripsi S1Oleh : M. FARHAN AJAR GEMILANG K2F 006 025FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2010KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG BERBEDAOleh : M. FARHAN AJAR GEMILANG K2F 006 025Disetujui Oleh : Pembimbing Utama Pembimbing AnggotaDr. Ir. Tri Winarni Agustini, MS

TRANSCRIPT

Page 1: M Farhan A G (k2f 006 025)

KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG

BERBEDA

Usulan Penelitian Guna Menyusun Skripsi S1

Oleh :M. FARHAN AJAR GEMILANG

K2F 006 025

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTANUNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG2010

Page 2: M Farhan A G (k2f 006 025)

KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG

BERBEDA

Oleh :M. FARHAN AJAR GEMILANG

K2F 006 025

Disetujui Oleh :

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir . Tri Winarni Agustini , MSc. Dr. Rudi Pribadi. NIP. 19650821 199001 2 001 NIP. 19641120 199103 1 001

Ketua Program Studi

Ir. Eko Nurcahya Dewi, MSc.NIP. 19611124 198703 2 001

Page 3: M Farhan A G (k2f 006 025)

KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG

BERBEDA

Oleh :M. FARHAN AJAR GEMILANG

K2F 006 025

Dosen WaliKode : 1556

Dr. Ir . Tri Winarni Agustini , MSc. NIP. NIP. 19650821 199001 2 001

Usulan penelitian ini telah dicatat diProgram StudiTeknologi Hasil PerikananNomor :Tanggal :

Sekretaris Program Studi

Putut Har Riyadi, SPi., MSi.NIP. 19770913 200312 1 002

Page 4: M Farhan A G (k2f 006 025)

KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG

BERBEDA

Oleh :M. FARHAN AJAR GEMILANG

K2F 006 025

Dosen WaliKode : 1556

Dr. Ir . Tri Winarni Agustini , MSc. NIP. NIP. 19650821 199001 2 001

Usulan penelitian ini telah dicatat diJurusan PerikananNomor :Tanggal :

Sekretaris Jurusan

Dr. Ir. Suminto, MSc.NIP. 19570621 196802 1 001

Page 5: M Farhan A G (k2f 006 025)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang tidak asing lagi bagi

masyarakat Indonesia. Bahan makanan ini merupakan sumber protein hewani (18-

20%) yang memiliki keunggulan yaitu kandungan asam amino esensial yang lebih

lengkap dibandingkan dengan protein nabati (Desrosier, 1988). Asam amino

esensial sangat diperlukan namun tidak dapat disintesa oleh tubuh. oleh sebab itu

mengkomsumsi ikan dalam porsi yang cukup sangat disarankan agar kebutuhan

asam amino dalam tubuh terpenuhi (Suryani, 2002).

Salah satu kelemahan ikan sebagai bahan makanan ialah sifatnya yang

mudah busuk setelah di tangkap dan mati. Ikan merupakan bahan pangan yang

mudah rusak atau membusuk (perishable food). Dalam waktu sekitar 8 jam sejak

ditangkap dan didaratkan akan timbul proses perubahan yang mengarah pada

kerusakan, sehingga proses pengolahan diperlukan untuk menghambat atau

menghentikan aktivitas zat-zat dan mikroorganisme perusak atau enzim-enzim

yang dapat menyebabkan kemunduran mutu dan kerusakan. Itulah sebabnya

sebagian besar dari hasil produksi perikanan terutama perikanan laut yaitu sebesar

± 60% dikonsumsi dalam bentuk produk atau olahan (Dinas Peternakan,

Perikanan dan Kelautan di Propinsi DKI Jakarta, 2003), Pemasaran ikan dalam

bentuk olahan mempunyai beberapa kelebihan, antaralain yaitu lebih tahan lama

masa simpannya, memudahkan dalam penyimpanan dan pengangkutan, dan dapat

dipasarkan ke daerah-daerah yang jauh dari tempat produsen.

Page 6: M Farhan A G (k2f 006 025)

Cara untuk mengawetkan ikan sudah banyak diketahui dan dikembangkan,

diantaranya mengolah ikan menjadi bakso. Bakso merupakan pengolahan dari

hasil-hasil sampingan ikan. Seperti dijelaskan Moeljanto (1992), yang dimaksud

dengan hasil-hasil sampingan adalah hasil olahan yang sebagian atau semua

bahan mentahnya berasal dari produk perikanan dan untuk menghasilkannya harus

dicampur dengan bahan atau bumbu-bumbu. Diantara produk-produk olahan ini

adalah bakso ikan, kerupuk (ikan atau udang), dan petis.

Pada penelitian ini bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan

bakso adalah daging ikan gelodok, dan untuk bahan pengikatnya menggunakan

tepung tapioka, sedangkan bahan tambahan yang digunakan antara lain bawang

putih, bawang merah, merica, dan garam. Hal ini merupakan langkah yang sangat

tepat sebagai upaya penganekaragaman pangan dan perbaikan kandungan nilai

gizi pada produk.

Ikan gelodok merupakan salah satu jenis ikan yang cukup melimpah

namun belum banyak upaya diversifikasi produk olahan yang berasal dari jenis

ikan ini sehingga diharapkan adanya inovasi produk-produk baru berbahan baku

ikan gelodok. Pada penelitian ini daging ikan gelodok dapat dijadikan alternatif

yang digunakan dalam pembuatan bakso.

Salah satu keistemaan ikan gelodok selain mampu hidup di dua alam yaitu

darat dan air, ikan gelodok juga mampu bertahan hidup dan mampu menghadapi

perubahan kondisi alam yang sangat cepat, bahkan pada kondisi yang ekstrem

sekalipun. Kemampuan ini ditunjang oleh sistem osmoregulasi pada ikan gelodok.

Iwata et al. (1981) Ikan gelodok mampu melakukan osmoregulasi dengan cara

mengakumulasikan asam aminio bebas dan amonia pada otot. Hal ini juga

Page 7: M Farhan A G (k2f 006 025)

ditunjang dengan kemampuan ikan gelodok yang bernapas dengan sistem difusi

oksigen. Sehingga proses kehilangan oksigen dalam air dapat ditekan seminimal

mungkin.

1.2. Perumusan Masalah

Tingkat konsumsi ikan oleh masyarakat Indonesia masih cukup rendah

apabila dibandingkan dengan Negara-negara Asia lainnya, hal ini dapat

dibuktikan pada tahun 2009 diperkirakan hanya mencapai 30,16 kg per kapita per

tahun. Sangat jauh ketinggalan dibandingkan negara lain, misalnya konsumsi ikan

rata-rata per kapita per tahun di Singapura mencapai 70 kg, Malaysia 45 kg,

Philipina 40 kg, sementara Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Thailand terlihat

lebih tinggi lagi yakni berturut-turut 80 kg, 65 kg, 60 kg, 35 kg. Tingkat konsumsi

ikan di negara maju pun, sangat jauh meninggalkan Indonesia, sebagai contoh

konsumsi ikan Jepang mencapai 110 kg/kapita/tahun (FAO,2008).

Rendahnya minat masyarakat dalam mengkomsumsi ikan antara lain

disebabkan oleh tingkat kesukaan yang tinggi terhadap jenis daging lainnya

(daging sapi dan ayam), kekhawatiran akan mikroorganisme yang banyak terdapat

pada ikan serta rasa amis ikan. padahal ikan merupakan bahan pangan yang

mengandung berbagai komponen gizi yang penting misalnya protein. kekurangan

protein dalam tubuh mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yang sekarang ini

marak di Indonesia. oleh sebab itu diperlukan upaya untuk meningkatkan status

gizi masyarakat, salah satunya dengan meningkatkan kandungan nutrisi pangan

yang umumnya disukai dan dikomsumsi masyarakat.

Selain itu terbatasnya produk olahan ikan yang dihasilkan di Indonesia

merupakan masalah lain yang menyebabkan rendahnya tingkat konsumsi ikan

Page 8: M Farhan A G (k2f 006 025)

penduduk Indonesia dibandingkan negara lain. Untuk meningkatkan konsumsi

ikan perlu ditempuh upaya penganekaragaman produk olahan ikan, terutama

menuju produk-produk yang biasa dikonsumsi masyarakat sehingga peluang

produk untuk diterima menjadi lebih besar (Subaryono et al., 2003).

Bakso merupakan makanan yang sangat populer di Indonesia. Banyak

masyarakat yang menyukainya terutama bakso dari daging sapi dan daging ayam.

Pemanfaatan daing ikan sebagai bahan pembuatan bakso merupakan salah satu

cara untuk meningkatkan nilai gizi pada bakso tersebut, sehingga pada saat

dikonsumsi oleh manusia zat-zat gizi tersebut akan berguna bagi tubuh dan

akhirnya dapat meningkatkan konsumsi ikan masyarakat.

Pemanfaatan ikan gelodok sebagai bahan baku dalam pembuatan bakso

merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai gizi dan dapat meningkatkan

konsumsi ikan masyarakat. Penggunaan ikan gelodok dalam pembuatan bakso

belum mempunyai kriteria khusus tentang jumlah pemakaiannya dan pengaruhnya

terhadap mutu bakso yang dihasilkan. Menurut Wibowo (2006), penambahan

daging ikan dalam pembuatan bakso sekitar 60% dari berat total adonan akan

menghasilkan bakso ikan yang bermutu baik.

1.3. Pendekatan Masalah

Kegiatan pengolahan ikan gelodok menjadi bakso ikan merupakan salah

satu teknologi penanganan hasil perikanan, karena dapat meningkatkan nilai

tambah pada komoditas ikan tersebut. Produk tersebut merupakan salah satu

bahan makanan yang bernilai gizi tinggi terutama sebagai sumber protein yang

sangat dibutuhkan dalam menu sehari-hari. Selain itu ikan juga mengandung zat-

zat organik lainnya yang dapat mempertahankan ketahanan tubuh, vitamin, dan

Page 9: M Farhan A G (k2f 006 025)

mineral. Produk perikanan juga merupakan salah satu faktor yang memegang

peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi pertumbuhan

tubuh manusia.

Ikan gelodok mempunyai kandungan protein sebanyak 20% sehingga

dapat meningkatkan gel strength pada bakso. Menurut Wibowo (2006), komposisi

kimia bakso yang memenuhi syarat kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI)

adalah kadar air maksimal 70%, kadar abu maksimal 3%, protein minimal 9%,

lemak maksimal 2% dan tidak mengandung bahan pengawet yang dilarang seperti

borak.

Penelitian ini mempelajari tentang pengaruh perbedaan konsentrasi daging

ikan gelodok terhadap gel strength serta mutu produk bakso yang dihasilkan.

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah daging ikan gelodok

(Periophthalmus sp.) karena Menurut Cheng, et al., (2001), Ikan gelodok

mempunyai kandungan protein sebanyak 20% sehingga dapat meningkatkan gel

strength pada bakso.

Penelitian akan dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan

dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan, konsentrasi daging ikan

gelodok yang digunakan adalah 55%, 60%, dan 65%. Konsentrasi terbaik dari

penelitian pendahuluan digunakan sebagai acuan dalam penelitian utama dengan

menggunakan interval ±5% yang didapat dari nilai tengah dari konsentrasi

penelitian pendahuluan. Hal utama yang ingin diketahui dalam penelitian ini

adalah untuk mengetahui konsentrasi daging ikan gelodok yang tepat sehingga

bakso yang dihasilkan tidak hanya meningkat dari nilai gizinya tetapi juga dapat

diterima oleh konsumen dari segi kekenyalan, penampilan maupun cita rasa.

Page 10: M Farhan A G (k2f 006 025)

Parameter utama yang diamati adalah uji gel strength, uji lipat, uji

organoleptik terhadap produk bakso ikan gelodok. Sedangkan parameter

pendukung meliputi uji proksimat pada produk bakso ikan gelodok yaitu kadar

air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu. Menurut Wibowo (2006), komposisi

kimia bakso yang memenuhi syarat kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI)

adalah kadar air maksimal 80%, kadar abu maksimal 3%, protein minimal 9%,

lemak maksimal 1% dan tidak mengandung bahan pengawet yang dilarang seperti

borak.

1.4. Tujuan Penilitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui pengaruh penambahan daging ikan gelodok dengan konsentrasi

yang berbeda terhadap mutu bakso berdasarkan uji gel strength, proksimat,

dan nilai organoleptik.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Memanfaatkan daging ikan gelodok (Periophthalmus sp.) melalui

diversifikasi pangan berupa produk bakso.

2. Memberikan informasi mengenai perbedaan konsentrasi daging ikan gelodok

(Periophthalmus sp.) yang paling baik terhadap kualitas bakso.

Page 11: M Farhan A G (k2f 006 025)

1.6. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Agustus di Laboratorium

Teknologi Hasil Perikanan, Jurusan Perikanan, Universitas Diponegoro

Semarang. Pengujian proksimat dilakukan di UNIKA Soegijapranoto Semarang.

Sedangkan untuk uji gel strength, dan uji organoleptik dilakukan di Laboratorium

THP.

Page 12: M Farhan A G (k2f 006 025)

Umpan

Balik

Gambar 1. Skema pendekatan masalah.

Kesimpulan

Input

Proses

Output

Data

Analisa Data

PermasalahanUpaya diversifikasi pangan dari daging ikan gelodok untuk dijadikan

produk yang bernilai jual tinggi masih sangat kurang.Bakso yang dikonsumsi masyarakat pada umumnya sangat sedikit

kandungan gizi yang penting untuk tubuh

Penelitian PendahuluanPembuatan bakso menggunakan daging ikan gelodok (Periophthalmus sp.) dengan konsentrasi 55%, 60%, dan 65%. Dilakukan uji gel strength.

Pengujian MutuUji Obyektif : Uji Subyektif : - Uji gel strength - Uji lipat- Uji kadar air - Uji organoleptik- Uji kadar protein- Uji kadar lemak- Uji kadar abu

Studi Pustaka

Penelitian UtamaPembuatan bakso dengan konsentrasi terbaik  pada penelitian pendahuluan dengan interval ± 5%. Dilakukan uji mutu produk.

Pendekatan MasalahPerlu kajian untuk mengetahui perbedaan perbandingan konsentrasi yang tepat sehingga bakso yang dihasilkan dapat meningkat nilai gizinya dan diterima oleh konsumen.

Page 13: M Farhan A G (k2f 006 025)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi Ikan Gelodok (Periophthalmus sp.)

2.1.1. Klasifikasi Ikan Gelodok

Menurut Ravi (2005), ikan gelodok secara sistematis diklasifikasikan

sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Class : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Family : Gobiidae

Genus : Periophthalmus

Species : Periophthalmus sp.

Gambar 2. Ikan Gelodok (Periophthalmus sp.)

Page 14: M Farhan A G (k2f 006 025)

2.1.2. Morfologi dan Habitat Ikan Gelodok

Ikan gelodok dalam bahasa Inggris adalah Mudskipper, ikan ini

digolongkan dalam keluarga Gobiidae (ikan gobi) merupakan jenis ikan yang

dapat di dua alam atau sering disebut dengan ikan amfibi, bahkan ikan ini

menghabiskan 90% hidupnya didarat. Salah satu keistimewaan ikan gelodok

dibandingkan dengan ikan lainnya adalah bentuk tubuhnya bulat panjang seperti

torpedo, kedua matanya menonjol di atas kepala seperti mata kodok, sirip-sirip

punggung yang terkembang menawan, sirip ekornya membulat, dan panjang

tubuh bervariasi mulai dari beberapa sentimeter hingga mendekati 30 cm

(Kutschera et.al, 2008).

Menurut Eggert (1935), warna dasar dari ikan ini adalah abu-abu lateral,

bagian perut putih, bercak putih tidak beraturan di sisi ventral kepala dan garis-

garis vertikal berwarna-warni kebiruan pada panggul, dan coklat gelap pada

bagian punggung. Sirip punggung pertama dengan latar belakang transparan, sirip

punggung kedua dengan latar belakang transparan, bintik abu-abu pada membran

proksimal dan garis hitam tengah.

Keahlian yang dimiliki ikan gelodok, selain dapat bertahan hidup lama di

darat ikan gelodok dapat memanjat akar-akar pohon bakau, melompat jauh, dan

berjalan di lumpur. Pangkal sirip dadanya berotot kuat, sehingga sirip ini dapat

ditekuk dan berfungsi seperti lengan untuk merayap, merangkak dan melompat.

Daya bertahan di daratan ini didukung oleh kemampuannya bernafas melalui kulit

tubuhnya dan lapisan selaput lendir di mulut dan kerongkongannya, yang hanya

bisa dilakukan dalam keadaan lembab. Oleh sebab itu ikan gelodok perlu

mencelupkan diri ke air untuk membasahi tubuhnya. Ishimatsu et.al (1998)

Page 15: M Farhan A G (k2f 006 025)

mengungkapkan karena mudskippers menghabiskan begitu banyak waktu di darat,

maka mudskippers harus mampu bernapas di udara. Seperti katak dan salamander,

mereka memiliki jaringan yang kaya kapiler di bawah kulit mereka yang

memungkinkan oksigen berdifusi ke dalam darah dan keluar karbon dioksida.

Jenis pernapasan dikenal sebagai respirasi kulit. Lendirnya melindungi kulit dan

meminimalkan kehilangan air.

Ikan gelodok setiap kalinya berada di darat bisa bertahan sampai dengan 7-

8 menit, sebelum masuk lagi ke air. Di samping itu, gelodok juga menyimpan

sejumlah air di rongga insangnya yang membesar, yang memungkinkan insang

untuk selalu terendam dan berfungsi selagi ikan itu berjalan-jalan di daratan.

Saat ini telah teridentifikasi sebanyak 35 spesies ikan gelodok. Terbagi

menjadi tiga kelompok besar, yaitu Boleophthalmus, Periophthalmus dan

Periophthalmodon. Beberapa spesies contohnya adalah Pseudapocryptes

elongatus, Periophthalmus gracilis, Periophthalmus novemradiatus,

Periophthalmus barbarus, Periophthalmus argentilineatus dan Periophthalmodon

schlosseri.

Periophthalmus sp hidup di wilayah pantai pada perairan yang pasang

surut. Ikan ini merupakan ikan amfibi, dikarenakan mampu bertahan hidup di dua

alam yakni di air dan di darat. Ikan gelodok tersebar di semua wilayah perairan

tropis dan sub-tropis. misalnya perairan Indo-Pasifik, Afrika Barat, pantai Jepang,

Australia, Filipina dan pulau-pulau Polinesia. Hewan ini banyak ditemukan di

tepi pantai yang berlumpur, di tambak-tambak, dan disekitar hutan bakau /

mangrove yang lembab.

Page 16: M Farhan A G (k2f 006 025)

Menurut Dedi (2010), substrat yang ada di ekosistem hutan bakau /

mangrove merupakan tempat yang sangat disukai oleh biota yang hidupnya di

dasar perairan atau bentos. Kehidupan beberapa biota tersebut erat kaitannya

dengan distribusi ekosistem mangrove itu sendiri. Beberapa sumberdaya perairan

yang sering ditemukan di ekosistem mangrove salah satunya adalah ikan gelodok

(Periopthalmus sp). ikan ini merupakan sedikit dari jenis ikan yang hidup

menetap sejati di wilayah mangrove, sehingga seluruh siklus kehidupanya

dijalankan di daerah hutan bakau.

Ikan gelodok biasa menggali lubang di lumpur yang lunak untuk

sarangnya. Lubang ini bisa sangat dalam dan bercabang-cabang, berisi air dan

sedikit udara di ruang-ruang tertentu. Ketika air pasang naik, gelodok umumnya

bersembunyi di lubang-lubang ini untuk menghindari ikan-ikan pemangsa yang

berdatangan. Belum banyak terkuak nilai dari ikan ini. Namun di Cina, Vietnam

dan Jepang, ikan gelodok menjadi santapan sehari-sehari sebagai pengganti jenis

ikan lainnya. Bahkan di Vietnam sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat.

Selain mempunyai kandungan protein yang tinggi, ikan ini juga mempunyai

kandungan lain yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia (Wikipedia, 2010)

2.2. Bakso

2.2.1. Pengenalan bakso

Pengolahan daging ikan menjadi bakso merupakan salah satu teknologi

penanganan hasil perikanan, karena dapat meningkatkan nilai tambah pada

komoditas ikan tersebut. Bakso ikan merupakan salah satu bahan makanan yang

bernilai gizi tinggi terutama sebagai sumber protein yang sangat dibutuhkan

dalam menu sehari-hari. Produk perikanan juga merupakan salah satu faktor yang

Page 17: M Farhan A G (k2f 006 025)

memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi

pertumbuhan tubuh manusia. Industri pengolahan ikan dewasa ini telah

berkembang, baik secara kualitas maupun kuantitas. Perkembangan industri

pengolahan ikan ini dimulai dengan diadakannya penganekaragaman atau

diversifikasi produk olahan menjadi produk yang dapat disajikan dan dikemas

sesuai dengan kebutuhan konsumen (Fajar, 2004).

Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari daging atau ikan yang

dihaluskan, dicampur dengan tepung, dibentuk bulat dan dimasak dalam air panas

hingga bakso tersebut mengapung. Kualitas bakso ditentukan oleh bahan baku,

berbagai macam tepung yang digunakan dan perbandingannya didalam adonan.

Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi kualitas bakso diantaranya adalah

bahan-bahan tambahan yang digunakan serta cara memasaknya (Daniati, 2001).

Bakso dapat ditemukan dipasar tradisional, pedagang keliling bahkan banyak juga

yang dijual di supermarket. Bahan baku bakso tidak hanya berasal dari daging

sapi dan daging ayam saja.

Di beberapa negara di Asia seperti di Jepang, Malaysia, Thailand dan

Singapura, bakso ikan sudah sangat populer dikalangan masyarakat. Sedangkan di

Indonesia bakso ikan belum begitu terkenal seperti halnya bakso daging sapi.

Bakso adalah produk daging giling yang bersifat kenyal yang dicampur dengan

bahan tambahan. Pengolahan bakso diperlukan beberapa bahan tambahan antara

lain: bawang merah, bawang putih, jahe, garam halus, tapioka, minyak, penyedap

rasa

Pada umumnya hampir semua orang Indonesia tahu dan pernah

mengkonsumsi produk olahan daging yang berbentuk bulat-bulat yang biasa

Page 18: M Farhan A G (k2f 006 025)

disebut dengan bakso. Bahkan, produk ini salah satu produk yang banyak disukai

orang, mulai dari anak-anak hingga lanjut usia. Rasanya lezat, bergizi tinggi,dapat

disantap sebagai lauk pauk dan dihidangan pada suatu kesempatan tak terbatas,

misalnya menu pesta, menu arisan dan menu rapat (Daniati, 2005).

Permintaan pasar bakso di Indonesia cukup tinggi, misalnya diasumsikan

satu dari sepuluh orang Indonesia rata-rata menghabiskan sebutir bakso sehari.

Berarti dalam setahun penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa ini

menghabiskan 7,3 milyar butir bakso. Apabila sebutir bakso beratnya 20-25 g,

maka harus disediakan lebih dari 160.000 ton bakso per tahun. Suatu jumlah yang

cukup besar yang membuktikan bahwa bakso merupakan produk olahan daging

yang sangat populer. (Wibowo, 2006). Mungkin tidak banyak yang menduga

bahwa bakso akhir-akhir ini termasuk salah satu produk yang dapat diekspor. Dari

informasi terakhir pada tahun 2002, satu kilogram bakso ikan di pasar Hongkong

laku hingga 15 dolar AS. Sementara di supermarket Jakarta (tahun 2003), harga

satu kilogram bakso ikan harganya mulai Rp 100.000 sampai Rp 120.000

(Wibowo, 2006).

Masyarakat lebih mengenal bakso sebagai makanan yang dihidangkan

dengan pelengkap lain seperti mie, sayuran, pangsit, dan kuah. Makanan ini

sangat populer dan digemari oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya

penjual mie bakso, mulai dari restoran sampai ke warung-warung kecil dan

gerobak dorong. Harga satu porsi mie bakso sangat bervariasi tergantung dari

kualitas baksonya. Kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas bahan-bahan

mentahnya, terutama jenis dan mutu ikan, jumlah tepung yang digunakan, atau

perbandingannya dalam adonan dan faktor-faktor lain, seperti pemakaian bahan-

Page 19: M Farhan A G (k2f 006 025)

bahan tambahan dan cara pemasakannya, juga sangat mempengaruhi mutu bakso

yang akan dihasilkan (Daniati, 2005).

Kualitas bakso dipengaruhi oleh komposisi bahan penyusunnya. Untuk

menghasilkan bakso yang berkualitas harus menggunakan bahan penyusun yang

tepat dan daging yang digunakan harus baik dan segar. Kualitas bakso dikatakan

baik jika bahan tambahan lain yang digunakan kurang dari 50%. Bahan yang

ditambahkan harus memenuhi syarat dan tidak menyebabkan efek samping

terhadap kesehatan (Purnomo, 2007).

Tabel 1. Komposisi Adonan Bakso Ikan (%)

Bahan (g) Prosentase

Daging ikan segar 1000 61,53

Tepung tapioka 300 18,48

Garam 30 1,85

Gula 10 0,61

Bawang putih 20 1,23

Merica 5 0,30

Es batu 200 12,30

Putih telur 60 3,70

Sumber : Wibowo (2006)

2.2.2. Bahan-bahan pembuatan bakso

2.2.2.1.Tepung Tapioka

Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari umbi tanaman ubi kayu

(Manihot esculanta, Crantz). Dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama

tapioca flour. Nama lainnya adalah pati kanji, pati kayu, pati kaspa, pati singkong

dan pati pohong (Muljohardjo, 1987).

Lingga (1995) menyatakan tepung tapioka adalah salah satu hasil olahan

dari singkong dalam bentuk umbi. Tepung tapioka atau biasa disebut tepung aci

Page 20: M Farhan A G (k2f 006 025)

ini umumnya berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi

singkong. Dengan cara memisahkan komponen sel pati ini dengan komponen

lainnya diperolehlah tepung tapioka.

Tepung tapioka merupakan produk awetan kering yang berasal dari ubi

atau singkong, tepatnya adalah pati singkong yang dikeringkan, berwarna putih,

bersih, lembut dan licin. Tepung tapioka banyak digunakan dalam berbagai

industri karena kandungan patinya yang tinggi dan sifat patinya yang mudah

membengkak dalam air panas dengan membentuk kekenyalan yang dikehendaki

(Somaatmadja, 1985).

Tepung tapioka disebut juga tepung aci, berbentuk butiran pati yang

banyak terdapat dalam sel umbi singkong. Dengan cara memisahkan komponen

sel pati ini komponen lainnya diperoleh tepung tapioka (LIPI, 1980). Meskipun

tepung tapioka dibuat dari bahan singkong dengan kandungan gizi rendah namun

masih memiliki unsur gizi (Tabel 3).

Tabel 2. Kandungan Unsur Gizi Tepung Tapioka (per 100 g)No. Komposisi Jumlah

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Kalori (kal)

Protein (g)

Lemak (g)

Karbohidrat (g)

Zat kapur (mg)

Fosfor (mg)

Zat besi (mg)

Thiamin

Air (g)

Bagian yang dapat dimakan

362

1,1

0,5

86,9

84

125

1,0

0,4

12

100

Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1981)

Page 21: M Farhan A G (k2f 006 025)

Menurut Suprapti (2005), tepung tapioka mempunyai keunggulan yaitu

tahan disimpan dalam waktu relatif lama, memiliki daya gel yang baik, rasa netral,

dan daya lengket yang sangat baik. Fungsi tepung tapioka dalam pembuatan

kerupuk adalah sebagai bahan pengental, penstabil adonan, penahan air,

pembentuk gel, dan pengikat bahan-bahan lain.

Tepung tapioka banyak digunakan dalam berbagai industri karena

kandungan patinya yang tinggi dan sifat patinya yang mudah membengkak dalam

air panas dengan membentuk kekentalan yang dikehendaki (Suwardian, 2005).

Suprapti (2005), Tepung tapioka memiliki keunggulan, yaitu lebih tahan lama

dalam penyimpanan, lebih mudah didistribusikan, ringan, aman, harga relatif

murah dan mempunyai daya ikat yang tinggi .

2.2.2.2. Garam

Garam dapur mempunyai istilah kimia natrium clorida (NaCl). Pada

umumnya digunakan untuk memantapkan rasa dalam pembuatan makanan

termasuk dalam pembuatan bakso. Mencermati bentuk dari garam, ada garam

padat berbentuk batang, garam kasar atau garam rosok, dan garam halus yang

sering digunakan sebagai garam meja. Fungsi garam adalah memberi rasa gurih

pada bakso, garam yang bermutu baik adalah berwarna putih, bersih dari kotoran.

Garam yang digunakan sekitar 2,5% dari berat ikan (Wibowo, 2004).

Menurut Moeljanto (1992), garam merupakan bumbu pengasin yang

paling mendasar. Jumlah garam yang diperlukan untuk membumbui berbeda-beda

tergantung dari jenis bahan olahan, selera dan daya awet yang dikehendaki.

Garam merupakan bahan tambahan yang hampir selalu digunakan dalam

membuat masakan. Rasa asin yang ditimbulkan oleh garam dapat berfungsi

Page 22: M Farhan A G (k2f 006 025)

sebagai penegas rasa lainnya. Makanan tanpa dibubuhi garam akan terasa hambar

(Fachruddin, 1997).

Suryani et al. (2005) menambahkan, garam dalam pengolahan pangan di

samping berfungsi untuk meningkatkan cita ras juga berperan sebagai pembentuk

tekstur dan pengontrol pertumbuhan mikroorganisme.

Penggunaan garam pada pencucian daging berpengaruh terhadap protein

yang mempengaruhi pembentukan gel ikan. Menurut Salasa (2000), dalam

pelarutan alam air tawar aktomiosin akan mengalami hidrasi sedikit dan

mengembang, jika dibubuhkan sedikit garam (0,2-0,3%), maka hidrasi akan

menurun ke tingkat minimal. Penambahan garam lebih lanjut akan meningkatkan

hidrasi, memungkinkan pelarutan aktomiosin ke dalam air yang digarami tersebut.

Aktomiosin dalam daging ikan yang larut dalam air asin menyebabkan serat-serat

daging itu bercampur aduk, sehingga bila dipanaskan menyebabkan struktur

daging ikan membentuk jaringan yang menyerupai bunga karang. Dalam

pengntalan karena panas, sebagian dari air terpisah, kemudian air yang terpisah itu

bersama-sama dengan air yang terdapat dalam jaringan yang menyerupai bunga

karang membantu memberikan kelenturan pada hasil akhir. Pada konsentrasi

garam 2-3% aktomiosin dapat larut maksimal.

2.2.2.3. Gula

Gula berfungsi untuk memberikan cita rasa pada produk. Saparinto dan

Hidayati (2006), menambahkan gula lebih banyak berperan memberikan cita rasa

daripada mengawetkan produk. Gula pasir diperoleh dari tanaman tebu atau bit

dan mengandung 99,9% sakarosa murni. Sakarosa adalah gula tebu atau gula bit

yang telah dibersihkan. Selain memberikan rasa manis, gula juga berfungsi

Page 23: M Farhan A G (k2f 006 025)

sebagai pengawet karena memiliki sifat higroskopis. Kemampuannya menyerap

kandungan air dalam bahan pangan ini dapat memperpanjang masa simpan.

2.2.2.4. Bawang putih

Menurut Hariyadi (2001), bawang putih merupakan tumbuhan berumput

yang mempunyai daun berbentuk pita, bunga berwarna putih. Umbinya dapat

digunakan untuk bumbu masak dan bahan obat-obatan. Nama latin dari bawang

putih adalah Allium sativum dari famili Liliaceae. Kandungan yang terdapat

dalam bawang putih adalah minyak atsiri, dialildisulfida, aliin, alisin, enzim

alinase, vitamin A, vitamin B, vitamin C, protein, karbohidrat, kalsium, fosfor,

dan sedikit lemak. Fachruddin (1997) menambahkan, bawang putih bersifat

antimikroba karena adanya zat aktif allicin yang sangat efektif membunuh bakteri.

Penggunaan bawang putih sebagai penambah cita rasa dapat menyebabkan

bakso semakin enak. Menurut Saparinto dan Hidayati (2006), bawang putih

mengandung senyawa allicin. Senyawa ini efektif sebagai antibakteri yang kuat,

tetapi bukan senyawa yang stabil.

2.2.2.5. Bawang Merah

Bawang merah (Alllium cepa) berasal dari Iran dan Pakistan Barat yang

kemudian dibudidayakan didaerah beriklim dingin, sub-tropik maupun tropik

(Shadily, 1980). Umbinya dapat dimakan mentah, untuk bumbu masak, acar, obat

tradisional, kulit umbinya dapat digunakan sebagai zat pewarna dan daunnya

dapat digunakan sebagai campuran sayur. Senyawa berkhasiat dalam bawang

relative utuh dan tidak mengalami kerusakan sekalipun dimasak, penggunaan

bawang merah pada pembuatan bakso ikan bertujuan untuk meningkatkan citarasa

dari bakso yang dihasilkan.

Page 24: M Farhan A G (k2f 006 025)

2.2.2.6. Lada

Menurut Saparinto dan Hidayati (2006), lada merupakan rempah-rempah

yang sering digunakan dalam pengolahan pangan. Lada digunakan untuk

mempertegas rasa dengan aroma khas dan rasa yang pedas.

2.2.2.7. Putih Telur

Telur mempengaruhi tekstur suatu bahan pangan karena memiliki daya

emulsi sehingga dapat mempertahankan kestabilan adonan. Senyawa yang

bertindak sebagai emulsifier adalah lesitin dan chepalin yang merupakan

komponen lemak telur (Winarno, 1992).

Telur yang digunakan dalam pembuatan bakso ini adalah telur ayam dan

bagian telur yang digunakan adalah putih telur yang berfungsi sebagai pengikat

bahan-bahan lain dalam adonan karena putih telur memiliki daya emulsi sehingga

menjaga kestabilan adonan, pemberi rasa lezat, dan memberi tekstur adonan yang

rata dan kalis. Banyaknya putih telur berkisar sekitar 60% dari berat telur

(Sarwono. 1986).

Putih telur apabila dipanaskan akan membentuk suatu jendalan. Jendalan

tersebut merupakan protein yang terkoagulasi. Jendalan tersebut berfungsi sebagai

perekat yang dapat membuat bakso menjadi lebih kenyal. Selain itu putih telur

juga dapat menjadikan bakso lebih mengkilap sehingga penampilannya lebih

menarik (Wibowo, 2006).

2.2.2.8. Es Batu

Bahan penting lainnya dalam pembuatan bakso adalah es batu. Bongkahan

es batu dicampurkan ke dalam adonan bakso yang sedang digiling agar

Page 25: M Farhan A G (k2f 006 025)

temperaturnya rendah sehingga sol yang terbentuk tidak segera berubah menjadi

gel karena belum waktunya (Wibowo, 2006).

Air es diperlukan didalam pembuatan bakso karena berfungsi membantu

pembentukan adonan dan memperbaiki tekstur bakso (Wibowo, 2004).

Penggunaan air es juga berfungsi untuk menambahkan air kedalam adonan

sehingga adonan tidak kering selama pembentukan maupun selama perebusan.

Penambahan juga berfungsi meningkatkan rendemennya.

2.2.3. Proses pembuatan bakso

Menurut Waridi (2004), Proses pembuatan bakso ikan meliputi langkah-

langkah sebagai berikut :

1. Pemilihan bahan baku

Kesegaran ikan yang digunakan sebagai bahan baku sangat

mempengaruhi mutu bakso, bahan baku yang kurang segar dapat menyebabkan

tekstur bakso yang dihasilkan lembek. Wibowo (2004), Ikan yang diambil

dagingnya untuk dibuat bakso hendaknya masih benar-benar segar, tidak cacat

fisik dan bermutu prima. Selain itu, mutu protein (aktin dan myosin sebagai

tekstur bakso) pada ikan yang benar-benar segar masih tinggi.

2. Pencucian

Pencucian bahan baku harus menggunakan air bersih sampai semua

kotoran yang terdapat pada daging hilang. Menurut Purnawijayanti (2001), air

yang dapat digunakan dalam pengolahan makanan minimal harus memenuhi

syarat air minum. Adapun syarat air minum adalah sebagai berikut :

a. Bebas dari bakteri yang berbahaya.

b. Bersih dan jernih.

Page 26: M Farhan A G (k2f 006 025)

c. Tidak berwarna dan tidak berbau.

d. Tidak mengandung bahan tersuspensi (penyebab keruh).

Sedangkan menurut SNI 01-2729-1-1992 es yang baik adalah es harus

dibuat dari air yang bersih, yang memenuhi persyaratan air minum. Dalam

penggunaannya es harus ditangani dan disimpan ditempat yang bersih agar

terhindar dari penularan dan kontaminasi dari luar dan es untuk mendinginkan

harus berupa hancuran es untuk menghindari luka-luka atau memar pada bahan

baku.

3. Pemisahan daging

Pemisahan daging ikan dari bagian lain dapat dilakukan dengan cara yang

manual atau dapat dilakukan dengan menggunakan mesin penggiling (meat

separator). Apabila pekerjaan dilakukan secara manual, pemisahan daging

dilakukan dengan menyayat menggunakan pisau secara memanjang pada bagian

punggung setelah terlebih dahulu kepala dipotong. Sayatan daging dicacah-cacah

sehingga hasilnya berupa hancuran daging.

Bahan baku bakso hanya memerlukan dagingnya saja. Untuk itu perlu

dilakukan pemisahan daging dengan bagian lainnya. Kemudian daging tersebut

dipotong atau dicacah menjadi ukuran yang lebih kecil (Wibowo, 2006).

4. Leaching

Perendaman lumatan daging ikan dilakukan untuk memperoleh daging

yang bermutu baik. Leaching dilakukan dengan cara merendam daging tersebut

kedalam air yang dicampur dengan es dan sedikit garam (0,2 - 0,3%).

Perbandingan air dengan daging adalah 4 : 1 dan perendaman dilakukan salama

Page 27: M Farhan A G (k2f 006 025)

15 menit. Untuk kesempurnaan hasil perlu dilakukan 2-3 kali ulangan

perendaman selama 15 menit (Wibowo, 2006).

Menurut Ismanadji dan Sudari (1986), untuk menghindari kehilangan

protein yang berlebihan sehingga dapat menurunkan kemampuan pembentukan

gel dan memperbaiki warna daging, leaching dilakukan dengan menambahkan es.

5. Pengepresan

Setelah proses leaching selesai, lumatan daging ikan mengandung banyak

air sehingga diperlukan proses pengepresan atau pemerasan untuk

menurunkannya. Suprapti (2003), menyatakan bahwa pengepresan dapat dilkukan

dengan tangan atau menggunakan kain kasa yaitu dengan cara membungkus

hancuran daging kemudian mengepresnya menggunakan beban. Kadar air

hancuran daging setelah pengepresan ini sekitar 80%.

6. Penggilingan daging

Lumatan daging yang telah selesai dari proses sebelumnya masih perlu

dihaluskan lagi dengan cara melumatkannya dengan menggunakan blender atau

mixer sehingga dihasilkan daging lumat halus, menyerupai bentuk pasta. Proses

penggilingan daging merupakan salah satu proses yang penting pengaruhnya

terhadap pembentukan gel (Wibowo, 2006).

Garam sebagai bumbu ditambahkan pada proses penggilingan, disamping

bertujuan untuk menambah cita rasa juga untuk memperoleh mutu daging yang

baik dalam pembentukan gel (BPPMHP, 2001).

7. Pembentukan adonan dan pencetakan bakso

Pembentukan adonan yaitu penambahan bahan-bahan tambahan,

sebaiknya dilakukan pada wadah yang berukuran besar sehingga lebih mudah

Page 28: M Farhan A G (k2f 006 025)

mengaduknya. Penambahan tepung dan bumbu–bumbu dapat dilakukan sedikit

demi sedikit secara bertahap, diaduk dengan tangan sampai adonan benar-benar

homogen dan tidak lengket lagi. Perlu diulang bahwa garam tidak perlu ditambah

lagi karena sudah dicampurkan pada waktu proses penggilingan (Wibowo, 2006).

Adonan yang telah jadi siap untuk dicetak menjadi bola-bola bakso yang

siap direbus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan

menggunakan tangan atau dengan mesin pencetak bakso. Dalam pembentukan

bola bakso sebaiknya menggunakan sarung tangan yang bersih atau dengan

kantong plastik yang diberi sedikit minyak kelapa agar tidak menempel

(Wibowo, 2006).

8. Pemanasan

Proses pemanasan merupakan salah satu proses yang penting dalam

pembentukan gel bakso. Menurut Ismanadji dan Sudari (1986), dalam proses

pemanasan hal terpenting untuk diperhatikan adalah suhu, dimana kisaran suhu

sekitar 55-60°C harus dilalui dengan cepat untuk menghindari terjadinya

pelembekan (sol) sehingga hasil yang diperoleh berupa bola-bola bakso yang

elastis, kenyal dan stabil.

Page 29: M Farhan A G (k2f 006 025)

Secara ringkas proses pengolahan bakso tercantum pada Gambar 3.

Gambar 3. Skema Pembuatan Bakso (Waridi, 2004)

2.3. Pembentukan Gel Pasta Ikan

Pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan

silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi

bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di

dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini

beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel

Pencucian

Pemisahan daging dengan filleting

Leaching (pencucian)dengan air dingin atau air es pada suhu 5oC selama 10 menit

Pengepresan

Penggilingan (ditambah bahan-bahan tambahan)

Pembentukan adonan

Pencetakan bakso

Perendaman pada suhu 40°C selama 20 menit

Bakso

Perebusan pada suhu 80°C selama 15 menit

Bahan baku (daging ikan)

Page 30: M Farhan A G (k2f 006 025)

mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan

(Fardiaz, 1989).

Pada prinsipnya produk hasil perikanan seperti pasta ikan, kue ikan

(kamaboko), bakso ikan, sosis ikan dan sejenisnya dibuat berdasarkan sifat

homogenitas gel ikan (Suzuki, 1981). Menurut Fardiaz (1985), protein myofibril

yang terekstrak dari daging ikan dan pembentukan struktur jala oleh protein

tersebut merupakan faktor yang sangat penting untuk mendapatkan bakso dengan

sifat gel yang baik, tetapi adanya protein yang larut dalam air mempunyai

pengaruh yang merugikan dalam pembentukan gel. Oleh karena itu harus

dihilangkan melalui proses pencucian daging ikan berkali-kali.

Menurut Suzuki (1981), proses pembentukan gel pada produk gel ikan

terdiri dari beberapa fase yaitu :

1. Daging ikan

2. Sol aktomiosin

3. Gel Suwari (terbentuk pada suhu <500 C)

4. Modori (terbentuk pada suhu 60 – 650 C)

5. Ashi (terbentuk pada suhu >600 C)

Gambar 4. Proses Pembentukan Gel Ikan (Kamaboko) Sumber : Suzuki (1981)

Awal pembentukan daging ikan terjadi pada saat penggilingan dimana

aktomiosin sebagai komponen yang paling penting dalam pembentukan gel akan

Page 31: M Farhan A G (k2f 006 025)

larut dalam larutan garam membentuk sol (dispersi partikel padat dalam medium

cair) yang sangat adhesif. Saat dipanaskan, sol akan berubah menjadi gel

membentuk konstruksi seperti jala dan akan memberikan sifat elastis pada daging

ikan. Sifat elastis tersebut disebut ashi (Tanikawa, 1971).

Suzuki (1981), menambahkan bahwa gel suwari terbentuk melalui hidrasi

molekul protein dan pembentukan struktur jaringan ikatan hidrogen dan

hidrofobik dari molekul miofibril. Apabila daging dipanaskan dengan lambat

maka sifat elastis daging akan hilang dan daging menjadi rapuh yang disebut

modori. Setelah melalui tahap modori pada temperatur > 600 C maka akan

terbentuk ashi yaitu sifat elastis dengan konstruksi seperti jala.

2.4. Persyaratan dan Pengujian Mutu Bakso

2.4.1. Persyaratan mutu bakso

Mutu kerupuk juga dipengaruhi oleh mutu dari bahan mentah yang

digunakan misalnya ikan yang digunakan akan mempengaruhi mutu produksi

kerupuk, oleh karena itu perlu dipilih ikan yang masih segar, juga mutu bahan

pembantu maupun secara pengolahannya (Waridi, 2004).

Page 32: M Farhan A G (k2f 006 025)

Menurut Standar Nasional Indonesia nomor SNI 01-2346-2006 tentang

persyaratan mutu bakso ikan tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Spesifikasi Persyaratan Mutu Bakso IkanNo. Kriteria uji Satuan Persyaratan1.

2.3.4.5.6.7.8.

9.

Keadaan1.1. Bau1.2. Rasa1.3. Warna1.4. TeksturAirAbuProteinLemakBoraksBahan tambahan makananCemaran logam8.1. Timbal (Pb)8.2. Tembaga (Cu)8.3. Seng (Zn)8.4. Timah (Sn)8.5. Raksa (Hg)Cemaran arsen (As)

----

% b/b% b/b% b/b% b/b

-Sesuai dengan

mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg

Normal, khas ikanGurihNormalKenyalMaks 80,0Maks 3,0Min 9,0Maks 1,0Tidak boleh adaSNI 01-0222-1987 dan revisinya

Maks 2,0Maks 20,0Maks 100,0Maks 40,0Maks 0,5Maks 1,0

Sumber : SNI 01-2346-2006

2.4.2. Pengujian mutu bakso

Metode pemeriksaan mutu bakso menurut BPPMHP (2001) dapat

dilakukan secara obyektif (menggunakan alat) meliputi kekuatan gel dan subyektif

(menggunakan panelis) meliputi uji organoleptik, uji lipat serta uji gigit.

2.4.2.1. Kadar air

Air merupakan komponen yang penting dalam bahan makanan karena air

dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan

air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya awet

makanan tersebut (Winarno, 2002).

Page 33: M Farhan A G (k2f 006 025)

Menurut Buckle, et al., (1985), kadar air penting dalam menentukan daya

awet makanan karena mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan)

dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan kimia (pencoklatan enzimatis), kerusakan

mikrobiologis, dan perubahan enzimatis.

2.4.2.2. Kadar protein

Protein merupakan suatu zat makan yang sangat penting bagi tubuh,

karena disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, protein juga

berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Pada umumnya kadar protein

dalam pangan menentukan mutu bahan pangan tersebut (Winarno, 2002).

Menurut de Man (1997), selama proses pengolahan dan penyimpanan

makanan, sejumlah perubahan kimia yang melibatkan protein dapat terjadi.

Kerusakan yang sering terjadi adalah denaturasi protein. Denaturasi protein

merupakan perubahan pada struktur alami yang tidak melibatkan perubahan dalam

urutan asam amino. Denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku

dapat mempengaruhi tekstur, kemampuan menahan air, dan pengerutan.

2.4.2.3. Kadar lemak

Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan

tubuh manusia. Lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif

dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat

menghasilkan 9 gram kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya

menghasilkan 4 kkal per gram. Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan

dengan kandungan yang berbeda-beda. Tetapi lemak sering ditambahkan dengan

sengaja ke dalam bahan makanan untuk menambah kalori serta memperbaiki

tekstur, dan cita rasa bahan pangan (Winarno, 2002).

Page 34: M Farhan A G (k2f 006 025)

Ketaren (1986), menambahkan bahwa lemak yang telah dipisahkan dari

jaringan asalnya mengandung sejumlah komponen selain trigliserida yaitu: lipid

kompleks, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen yang larut dalam lemak, dan

hidrokarbon. Komponen tersebut mempengaruhi warna dan flavor produk, serta

berperan dalam proses ketengikan.

2.4.2.4. Kadar abu

Menurut Sudarmadji (1989), penentuan abu total dapat dikerjakan dengan

pengabuan secara langsung atau kering dan dapat pula dilakukan secara tidak

langsung atau basah. Penentuan kadar abu secara kering atau langsung adalah

dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600oC

dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses

pembakaran tersebut. Sedangkan pada pengabuan dengan cara basah atau tidak

langsung terutama digunakan untuk digesti sampel dalam usaha penentuan trace

element dan logam-logam beracun. Prinsipnya adalah dengan memberikan reagen

kimia tertentu ke dalam bahan sebelum pengabuan.

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara

pengabuannya. Begitu juga dengan ikan. Daging ikan boleh dikatakan

menyumbang garam-garam mineral dalam jumlah yang sedikit. Garam-garam

mineral yang terkandung oleh tubuh ikan terutama adalah garam-garam fosfat

yang merupakan komponen-komponen terikat dengan ATP atau merupakan

senyawa-senyawa yang berperan dalam proses glikolisis. Disamping garam fosfat,

terdapat pula sulfur dalam daging ikan (Hadiwiyoto, 1993).

Page 35: M Farhan A G (k2f 006 025)

Kandungan mineral-mineral dalam jaringan otot daging ikan dipengaruhi

oleh komposisi dan konsentasi garam-garam yang terdapat di sekitar air. Daging

ikan laut mempunyai kandungan garam yang lebih tinggi daripada ikan air tawar.

Selain perbedaan kandungan tersebut, antara daging ikan laut dan ikan air tawar

juga terdapat perbedaan dimana ikan air tawar tidak mengandung iodin dan

bromin (Kanoni, 1991).

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Pernyataan Hipotesis

Page 36: M Farhan A G (k2f 006 025)

Hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga perbedaan penambahan daging

ikan gelodok dalam pembuatan bakso ikan dapat mempengaruhi nilai gel strength,

kandungan protein, kandungan air, kandungan lemak, kandungan abu, nilai

organoleptik, dan nilai hedonic

3.2. Perumusan Hipotesis

Perumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ho : Perbedaan konsentrasi daging ikan gelodok tidak memberikan pengaruh

terhadap gel strength, kandungan protein, kandungan air, kandungan

lemak, kandungan abu, nilai organoleptik, dan nilai hedonik pada bakso

ikan.

H1 : Perbedaan konsentrasi daging ikan gelodok memberikan pengaruh terhadap

gel strength, kandungan protein, kandungan air, kandungan lemak,

kandungan abu, nilai organoleptik, dan nilai hedonik pada bakso ikan.

Kaidah pengambilan keputusan adalah :

a. Untuk data kadar protein, kadar kalsium, kadar fosfor, kekerasan, dan

kemekaran

F hitung < F tabel (taraf uji : 1% dan 5%) maka terima Ho tolak H1

F hitung ≥ F tabel (taraf uji : 1% dan 5%) maka tolak Ho terima H1

b. Uji Organoleptik dan Hedonik

X2 hitung < X2 tabel (taraf uji : 1% dan 5%) maka terima Ho tolak H1

X2 hitung ≥ X2 tabel (taraf uji : 1% dan 5%) maka tolak Ho terima H1

3.3. Materi Penelitian

3.3.1. Bahan

Page 37: M Farhan A G (k2f 006 025)

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah daging ikan gelodok

(Periophthalmus sp.). Komposisi adonan yang digunakan dalam proses

pengolahan bakso ikan gelodok tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Bahan yang Digunakan dalam Proses Pembuatan Bakso ikan gelodokBahan Spesifikasi Kegunaan

Daging ikan gelodok - Sebagai bahan baku

Tepung tapioka “Rose brand” Sebagai bahan perekat dan pengisi adonan

Garam “Revina” Memberi rasa

Gula “Gulaku” Member rasa

Bawang putih - Memberi rasa dan aroma

Bawang merah - Memberi rasa dan aroma

Lada “Koki” Memberi rasa

Es batu - Membuat temperatur tetap rendah

Putih telur - Merekatkan adonan

Tabel 5. Jumlah Bahan yang Digunakan dalam Proses Pembuatan Bakso ikan gelodok (dalam %).

No Bahan a b c

g % g % g %

1. Daging ikan gelodok 550 55 600 60 650 65

2. Tepung tapioka 250 25 200 20 150 15

3. Garam 20 2 20 2 20 2

4. Gula 5 0,5 5 0,5 5 0,5

5. Bawang putih 15 1,5 15 1,5 15 1,5

6. Es batu 120 12 120 12 120 12

7. Lada 5 0,5 5 0,5 5 0,5

8. Putih telur 35 3,5 35 3,5 35 3,5

Keterangan :

a : konsentrasi 55%

b : konsentrasi 60%

c : konsentrasi 65%

Tabel 6. Bahan yang Digunakan dalam Pengujian Mutu Bakso ikan gelodokNo Jenis Uji Bahan Kegunaan

1. Uji gel strength Bakso ikan gelodok Sebagai sampel

Page 38: M Farhan A G (k2f 006 025)

2. Uji lipat Bakso ikan gelodok Sebagai sampel

3. Uji organoleptik Bakso ikan gelodok Sebagai sampel

4. Kadar air Bakso ikan gelodok Sebagai sampel

5. Kadar protein Bakso ikan gelodok Sebagai sampel

Tablet Kjeldahl Untuk larutan destruksi

H2SO4 Untuk larutan destruksi

NaOH 40% Untuk larutan destilasi

HCl 0,02 N Sebagai larutan asam

standar saat destilasi

Natrium tiosulfat Sebagai katalisator

untuk mempercepat

destruksi

Asam borat 4% Untuk menangkap

ammonia saat proses

destilasi

6. Kadar Lemak Bakso ikan gelodok Sebagai sampel

Aquadest Sebagai bahan pelarut

dalam ekstraksi lemak

Etil eter Sebagai bahan pelarut

dalam ekstraksi lemak

7. Kadar abu Bakso ikan gelodok Sebagai sampel

3.3.2. Alat

Page 39: M Farhan A G (k2f 006 025)

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Alat yang Digunakan dalam Pembuatan Bakso ikan gelodokNo Alat Ketelitian Fungsi

1. Timbangan analitik 0,01 g Untuk menimbang bahan

2. Termometer 1oC Untuk mengukur suhu

3. Pisau - Untuk memotong

4. Penggiling daging - Untuk melumatkan bahan baku

5. Panci - Untuk merebus bakso

6. Nampan - Untuk meniriskan bakso

7.

8.

9.

10.

Kompor

Kain kasa

Baskom

Sendok

-

-

-

-

Untuk memasak

Untuk mengepres otot simping

Untuk tempat mencampur bahan dan

bumbu-bumbu

Untuk membentuk cetakan bola-bola

bakso

Tabel 7. Alat yang Digunakan dalam Pengujian Mutu Bakso ikan gelodok Jenis Uji Alat

Uji gel strength Texture analyser TA-XT+2

Uji lipat Score sheet uji lipat, piring plastik, penggaris, pisau

Uji organoleptik Score sheet organoleptik bakso ikan, piring plastik

Kadar air Oven, timbangan, desikator, cawan platina, neraca analitik

Kadar protein Labu destruksi, ruang asam, buret, gelas ukur, erlenmeyer

Kadar lemak Labu lemak, soxhlet, oven, desikator, timbangan analitik,

kertas saring, penangas air

Kadar abu Timbangan analitik, tungku pengabuan (furnace), alat

penjepit, desikator, cawan porselin

3.4. Metode Penelitian

Page 40: M Farhan A G (k2f 006 025)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode experimental

laboratories. Metode eksperimen laboratoris merupakan suatu metode penelitian

yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari suatu obyek yang

diteliti, dengan menunjukkan adanya hubungan sebab akibat yaitu

membandingkan kelompok penelitian yang diberi perlakuan dengan kelompok

yang tidak diberi perlakuan sebagai pembanding (Arikunto, 2002).

3.5. Proses pembuatan bakso ikan (Waridi, 2004)

Pembuatan bakso dengan menggunakan daging ikan gelodok 55%, 60%,

dan 65% dari jumlah adonan yang dihasilkan ini mengacu pada pengolah bakso

ikan. Bahan – bahan yang digunakan adalah tepung tapioka, garam, gula, bawang

putih, bawang merah, garam dan air es.

1. Pemilihan bahan baku

Bahan baku yang dipilih adalah ikan yang masih segar. Tingkat

Kesegaran ikan yang digunakan sebagai bahan baku sangat mempengaruhi mutu

bakso, bahan baku yang kurang segar dapat menyebabkan tekstur bakso yang

dihasilkan lembek.

2. Pencucian

Pencucian bahan baku menggunakan air bersih sampai semua kotoran

yang terdapat pada daging hilang. Menurut Purnawijayanti (2001), air yang dapat

digunakan dalam pengolahan makanan minimal harus memenuhi syarat air

minum.

3. Pemisahan daging

Page 41: M Farhan A G (k2f 006 025)

Pemisahan daging ikan dari bagian lain dapat dilakukan dengan cara yang

manual yaitu pemisahan daging dilakukan dengan menyayat menggunakan pisau

secara memanjang pada bagian punggung setelah terlebih dahulu kepala dipotong.

Sayatan daging dicacah-cacah sehingga hasilnya berupa hancuran daging.

4. Leaching

Leaching dilakukan dengan cara merendam daging tersebut kedalam air

yang dicampur dengan es dan sedikit garam (0,2 - 0,3%). Perbandingan air

dengan daging adalah 4 : 1 dan perendaman dilakukan salama 15 menit. Untuk

kesempurnaan hasil perlu dilakukan 2-3 kali ulangan perendaman selama 15

menit (Wibowo, 2006).

5. Pengepresan

Setelah proses leaching selesai, lumatan daging ikan mengandung banyak

air sehingga diperlukan proses pengepresan atau pemerasan untuk

menurunkannya. Proses pengepresan dilakukan dengan menggunakan kain kasa

yaitu dengan cara membungkus hancuran daging kemudian mengepresnya

menggunakan beban.

6. Penggilingan daging

Lumatan daging yang telah selesai dipres dihaluskan lagi dengan dengan

menggunakan blender sehingga dihasilkan daging lumat halus, hingga

menyerupai bentuk pasta, setelah itu garam ditambahkan dan diaduk hingga

merata.

7. Pembentukan adonan

Page 42: M Farhan A G (k2f 006 025)

Pembentukan adonan dilakukan pada wadah yang berukuran besar agar

mudah mengaduknya. Tepung dan bumbu–bumbu dapat ditambahkan ke adonan

dan dilakukan sedikit demi sedikit secara bertahap, diaduk dengan tangan sampai

adonan benar-benar homogen dan tidak lengket lagi. Adonan yang telah jadi

kemudian dicetak menjadi bola-bola bakso dengan menggunakan tangan.

8. Pemanasan

Proses pemanasan dilakukan melalui dua tahapan. Tahap yang pertama

adalah perendaman bakso dalam air panas dengan kisaran suhu antara 40-45°C

selama ± 20 menit. Untuk tahap berikutnya bakso direbus dalam air panas dengan

suhu 80°C selama ± 15 menit. Setelah proses pemanasan selesai, dilakukan

penirisan bakso.

Proses pembuatan bakso ikan gelodok adalah sebagai berikut:Perebusan bola-bola bakso pada suhu 80°C selama ± 15 menit

Pengangkatan dan penirisan bola-bola bakso

Bakso ikan gelodok

Penambahan bumbu: garam, bawang putih, bawang merah, lada, putih telur, aduk sampai homogen

Pencampuran lumatan daging ikan gelodok, bumbu, dan tepung sampai homogen

Pencetakan bola-bola bakso

Perendaman bola-bola bakso pada suhu 40°C selama ± 20 menit

Ikan gelodok

Pengambilan daging ikan

Pencucian daging ikan

Pelumatan daging ikan gelodok dengan mesin penggiling daging

Lumatan daging (55%) Lumatan daging (55%) Lumatan daging (55%)

Penambahan tepung tapioka

Page 43: M Farhan A G (k2f 006 025)

Gambar 5. Alur Proses Pembuatan Bakso ikan gelodok Sumber : Modifikasi Waridi (2004)

Page 44: M Farhan A G (k2f 006 025)

3.6. Prosedur Analisa Kimia

3.6.1. Analisis kadar air (SNI 01-2354.2-2006)

Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut:

1. Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 15 menit

kemudian mendinginkan dalam desikator dan menimbang beratnya.

2. Sampel sebanyak ± 2 g dimasukkan dalam cawan, ditimbang dan dikeringkan

dalam oven selama 24 jam pada suhu 100oC hingga 105oC.

3. Sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator. Setelah

dingin ditimbang beratnya sampai konstan.

Perhitungan :

Kadar air (%) = x 100%

Dimana :

W1 = Berat cawan kosong (g)

W2 = Berat cawan + sampel sebelum pengeringan (g)

W3 = Berat cawan + sampel sesudah pengeringan (g)

3.6.2. Analisis kadar protein (SNI 01-2354.4-2006)

Penentuan kadar protein pada sampel simping kering dilakukan dengan

menggunakan metode Makro Kjehdahl. Pada dasarnya dibagi menjadi tiga

tahapan yaitu proses destruksi, destilasi, dan titrasi.

1. Tahap destruksi

Menimbang dua gram sampel dan memasukkan ke dalam labu Kjehdahl

kemudian menambahkan ke dalam labu 2 butir tablet katalis, 5 butir batu

didih, dan 15 mL H2SO4 pekat serta 3 mL H2O2 30%. Selanjutnya

Page 45: M Farhan A G (k2f 006 025)

memanaskannya pada alat destruksi di lemari asam dengan suhu 450oC selama

2 jam (sampai contoh jernih).

2. Tahap destilasi

Menambahkan 100 mL aquades ke dalam labu hasil destruksi kemudian

memasukkan labu tersebut ke dalam alat destilasi uap. Mengambil 25 mL

H3BO4 dan memasukkannya ke dalam erlenmeyer 250 mL dan menambahkan

2 tetes indikator methyl red kemudian alat destilasi dipasangkan.

3. Tahap titrasi

Selanjutnya menitrasi dengan larutan standar HCl 0,2 N hingga larutan

berubah warna dari kuning menjadi merah muda (pink).

4. Perhitungan :

Kadar protein (%) = x 100%

Dimana :

W = Berat sampel (g)

S = Jumlah titrasi sampel (mL)

B = Jumlah titrasi blanko (mL)

V = Volume HCl standar yang dibutuhkan dalam titrasi

14 = Berat atom Nitrogen

6,25 = Faktor konversi protein

3.6.3. Analisis kadar lemak (SNI 01-2354.3-2006)

Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut :

1. Sebanyak 2 gram sampel yang telah dirajang kecil-kecil dimasukkan ke

dalam selongsong lemak. Dapat juga digunakan contoh kering yang diketahui

kadar airnya.

Page 46: M Farhan A G (k2f 006 025)

2. Selanjutnya sampel di dalam selongsong lemak ditutup dengan kapas bebas

lemak.

3. Selongsong lemak kemudian dimasukkan ke dalam ruang okstraktor tabung

Soxhlet, siram dengan etil eter hingga permukaan. Setelah etil eter berpindah

ke dalam labu lemak melalui pipa, kemudian siram kembali selongsong

lemak di atas hingga separo dari ruangan ekstraktor terisi dengan etil eter.

4. Selanjutnya labu lemak dan tabung Soxhlet dipanaskan di atas pemanas listrik

bersuhu sekitar 40oC selama 6 jam.

5. Labu lemak dilepaskan dari tabung Soxhlet, kemudian tuangkan etil eter yang

berada dalam ruangan ekstraktor ke dalam labu lemak.

6. Etil eter didestilasikan di dalam labu lemak dengan alat destilasi berputar

hingga semua etil eter menguap, kemudian keringkan labu lemak dalam oven

102oC hingga 105oC sampai tercapai berat konstan. Kemudian timbang berat

minyak.

Perhitungan :

Kadar lemak (%) = x 100%

Dimana :

W1 = berat minyak

W2 = berat sampel (gr)

3.6.4. Analisis kadar abu (SNI 01-2354.1-2006)

Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut :

1. Cawan abu porselin dipijarkan sampai berwarna merah dalam tungku

pengabuan bersuhu 650oC selama 1 jam (kenaikan suhu tungku harus

bertahap).

Page 47: M Farhan A G (k2f 006 025)

2. Setelah suhu tungku pengabuan turun menjadi sekitar suhu kamar, cawan abu

porselin didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan timbang berat

cawan abu porselin kosong.

3. Ke dalam cawan abu dimasukkan kira-kira 2 gr contoh yang telah dirajang

kecil-kecil dan homogen, kemudian dimasukkan ke dalam oven sampai

hampir kering, selanjutnya diabukan dalam tungku pengabuan sampai kira-

kira 650oC dan biarkan pada suhu ini selama 1 jam (cawan abu menjadi

merah).

4. Kemudian timbang berat cawan abu porselin.

Perhitungan :

Kadar abu (%) = x 100%

Dimana :

W1 = Berat cawan + sampel yang telah diabukan

W2 = Berat cawan yang telah dipijarkan

3.7. Prosedur Uji Fisik

3.7.1. Uji organoleptik

Pengujian dilakukan dengan score sheet organoleptik bakso SNI 01-2346-

2001 (SNI, 2001). Score sheet mempunyai skala nilai 1-9, dengan batas penolakan

5. Penilaian meliputi kenampakan dan warna, bau, rasa, konsistensi, jamur dan

lendir.

3.7.2. Uji lipat

Pengujian dilakukan pada 5 potongan contoh uji. Setiap potongan dilipat

menjadi 2, jika tidak retak atau sobek dilanjutkan lagi dilipat menjadi 4. Menurut

Page 48: M Farhan A G (k2f 006 025)

Lanier (1992), metode uji pelipatan cocok untuk memisahkan gel yang bermutu

tinggi dan yang bermutu rendah. Hasting (1985), menambahkan bahwa uji lipat

secara umum digunakan di industri-industri karena uji tersebut sederhana dan

dapat dengan cepat menunjukkan kekuatan dan elastisitas gel.

3.7.3. Uji gel strength

Pengukuran kekuatan gel dilakukan menggunakan texture analyzer.

Sampel diletakkan di bawah probe yang berbentuk pisau dengan kecepatan

1mm/detik dan jarak 15 mm. Beban maksimum yang digunakan adalah 25 kg.

Kekenyalan ditandai dengan puncak maksimum dan kekerasan sebagai puncak

maksimum kedua. Hasil pengukuran ini dapat dilihat pada grafik.

3.7.4. Uji hedonik

Pada pengujian ini ketiga bakso ikan gelodok diuji cobakan kepada 30

orang panelis yang merupakan mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan Universitas

Diponegoro dengan skala penilaian berkisar antara 1 ( amat sangat tidak disukai )

sampai 9 (amat sangat disukai).

3.8. Rancangan Penilitian

Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah experimental

laboratories yaitu observasi di bawah kondisi buatan di mana kondisi tersebut

dibuat dan diatur oleh peneliti. Tujuan dari penelitian experimental adalah untuk

menyelidiki ada tidaknya hubungan sebab akibat serta berapa besar hubungan

sebab akibat dengan memberikan perlakuan-perlakuan tertentu pada beberapa

kelompok experimental (Nazir, 2003).

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan

Acak Lengkap (RAL) satu faktor yang terdiri dari tiga taraf dengan tiga kali

Page 49: M Farhan A G (k2f 006 025)

ulangan. Faktor yang diamati adalah faktor perbedaan konsentrasi penambahan

daging ikan gelodok 55%, 60%, dan 65% dari total adonan. Matrik penelitiannya

dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Matriks Penelitian

Parameter UlanganKonsentrasi

55% 60% 65%

Gel strength Ke-1 G1K1 G 1K2 G 1K3

(G) Ke-2 G 2K1 G 2K2 G 2K3

Ke-3 G 3K1 G 3K2 G 3K3

Uji Lipat Ke-1 L1K1 L 1K2 L 1K3

(L) Ke-2 L 2K1 L 2K2 L 2K3

Ke-3 L 3K1 L 3K2 L 3K3

Kadar Protein Ke-1 P1K1 P1K2 P1K3

(P) Ke-2 P2K1 P2K2 P2K3

Ke-3 P3K1 P3K2 P3K3

Kadar Air Ke-1 A1K1 A1K2 A1K3

(A) Ke-2 A2K1 A2K2 A2K3

Ke-3 A3K1 A3K2 A3K3

Kadar Lemak Ke-1 M1K1 M1K2 M1K3

(M) Ke-2 M2K1 M2K2 M2K3

Ke-3 M3K1 M3K2 M3K3

Kadar Abu Ke-1 B1K1 B1K2 B1K3

(B) Ke-2 B2K1 B2K2 B2K3

Ke-3 B3K1 B3K2 B3K3

3.9. Analisis Data

Data yang diperoleh dari uji kimia dan uji fisika dianalisis dengan analisa

sidik ragam atau Analysis of varians (ANOVA). Menurut Srigandono (1980),

Analisa ragam adalah suatu prosedur atau metode yang memungkinkan untuk

Page 50: M Farhan A G (k2f 006 025)

menguji beberapa nilai tengah secara serentak dengan memecahkan keseluruhan

ragam (variasi) dari data yang diperoleh, menjadi komponen-komponen untuk

mengukur sumber-sumber variasi yang asalnya berbeda. Berdasarkan analisa

tersebut maka diperoleh hasil uji F. Fhitung digunakan untuk mengetahui

pengaruh sumber keragaman dan perbedaan variabel-variabel yang diamati karena

perlakuan yang berbeda.

Jika analisis tersebut menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka akan

dilanjutkan dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) dari Tukey pada taraf uji

5% dan 1% untuk mengetahui perbedaan atau membandingkan antar nilai tengah

perlakuan dan menentukan perlakuan yang terbaik. Formulasi uji BNJ menurut

Steel and Torrie (1995) adalah sebagai berikut:

BNJ = W = qa X (p1n2) S

Dimana S =

Keterangan :

KTG : Nilai kuadrat tengah galat (eror)

r : Jumlah ulangan

p : Jumlah perlakuan

n2 : derajat bebas galat acak

Pengolahan data untuk uji organoleptik menggunakan statistik

nonparametrik dengan metode Kruskal Wallis tujuannya untuk melihat

perspesifikasi uji organoleptik. Jika uji Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang

berbeda nyata, maka selanjutnya dapat dilakukan uji Multiple Comparison

(Steel and Torrie, 1991).

DAFTAR PUSTAKA

Page 51: M Farhan A G (k2f 006 025)

Apriyantono, Anton., Dedi Fardiaz, Ni Luh Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arikunto, S. 2002. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia Analisis Kadar Abu pada produk perikanan (SNI 01-2354.1-2006). Badan Standardisai Nasional (BSN). Jakarta.

________________________ . 2006. Standar Nasional Indonesia Analisis Kadar Air pada produk perikanan (SNI 01-2354.2-2006). Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.

________________________ . 2006. Standar Nasional Indonesia Analisis Kadar Lemak pada produk perikanan (SNI 01-2354.3-2006). Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.

________________________ . 2006. Standar Nasional Indonesia Analisis Kadar Protein pada produk perikanan (SNI 01-2354.4-2006). Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.

________________________ . 2006. Standar Nasional Indonesia Pengujian Organoleptik pada produk perikanan (SNI 01-2346-2006). Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.

BPPMHP. 2001. Teknologi Petunjuk Mince Fish dan Surimi dari Ikan Non Ekonomis. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. 20 hlm.

Buckle, K.A, et al. 1985. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia, Jakarta, 178-182 hlm. (diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono).

De Man, John M. 1997. Kimia Makanan. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung.

Desrosier, N. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata. Jakarta.

Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Abon. Kanisius. Yogyakarta.

FAO. 2008. Pengelolaan Perikanan. Food and Agricultural Organization of The United Nations, Roma. Dalam http://www.tek.pangan.com

Page 52: M Farhan A G (k2f 006 025)

Fardiaz, S. 1985. Hidrokoloid. Buku dan Monograf. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Jakarta, 13-175 hlm.

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Liberty. Yogyakarta.

Hariyadi. 2001. Pengolahan Hasil Perikanan. Lembaga Teknologi Perikanan. Jakarta.

Ismanadji dan Sudari. 1986. Petunjuk Pengolahan Bakso Ikan dalam Rangka Diversifikasi Pengolahan Hasil Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan bekerjasama dengan Internasional Development Research Centre. Jakarta.

Kanoni, S. 1990. Kimia dan Teknologi Pengolahan Ikan. UGM, Yogyakarta, 210 hlm.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta, Universitas Indonesia Press.

Lanier, T. C. 1992. Measuremnts of Surimi Composition and Functional Properties in Surimi Process Technology. Marcel Decker Inc. New York

.Lingga, P. 1995. Bertanam umbi-umbian. Penebar Swadaya. Jakarta

LIPI. 1980. Umbi-umbian. PN Balai Pustaka. Jakarta. 108 hlm.

Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muljohardjo, M. 1987. Teknologi Pengolahan Pati. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta.

Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Purnama, P.S. 2002. Pengalaman Fortifikasi Tepung Terigu di Indonesia Hal. 49-53. Dalam: Hardinsyah, L.Amalia dan B.Setiawan (Eds). Fortifikasi Tepung Terigu dan Minyak Goreng. Pusat Studi Kebijakan Pagan dan Gizi (PSKPG) IPB,Komisi Fortifikasi Nasional (KFN) ADB- Manil dan Keystone Center-USA.

Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Bahan Pangan. UI-Press. Jakarta.

Salasa, F.F.A. 2002. Teknologi Pengolahan Ikan dan Rumput Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 70 hlm.

Saparinto, C. dan Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisus, Yogyakarta, 88 hlm.

Page 53: M Farhan A G (k2f 006 025)

Srigandono, Bambang. 1989. Rancangan Percobaan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Standar Nasional Indonesia (SNI). 2006. Kumpulan Standar Metode Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.

Steel, R. G. B. and Torrie, J. H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika; Suatu Pendekatan Biometrik. Ed. Cetakan ke 2. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Somaatmadja, D. 1985. Rempah-Rempah Indonesia (The Spices of Indonesia). Komunikasi Departemen Perindustrian. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Perikanan, Bogor

Subaryono, H. E. Irianto, Ninoek Indriati. 2003. Fortifikasi Ikan Pada Emping Melinjo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 9 No. 5.

Subaryono, H. E. Irianto, Ninoek Indriati. 2003. Fortifikasi Ikan Pada Pengolahan Patolo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 8 No. 6.

Sudarmadji. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Suprapti. 2005. Kerupuk Udang Sidoharjo. Kanisius. Yogyakarta.

Suryani, Ani, Hambali Erliza, dan Encep Hidayat. 2005. Aneka Produk Olahan

Suprapti, L. 2003. Kerupuk Udang Sidoarjo. Penerbit Kanisius, Jakarta, 79 hlm.

Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Protein. Science Publishing, Ltd. London.

Tanikawa, E. 1971. Marine Products In Japan. Koseisha-Koseikaku Company, Tokyo.

Wibowo, S. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya. Bogor.

Winarno, F.G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 108 hlm.

. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia. Jakarta.

. 1995. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia. Jakarta.

. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 253 hlm.