m farhan a g (k2f 006 025)
DESCRIPTION
KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG BERBEDAUsulan Penelitian Guna Menyusun Skripsi S1Oleh : M. FARHAN AJAR GEMILANG K2F 006 025FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2010KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG BERBEDAOleh : M. FARHAN AJAR GEMILANG K2F 006 025Disetujui Oleh : Pembimbing Utama Pembimbing AnggotaDr. Ir. Tri Winarni Agustini, MSTRANSCRIPT
KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG
BERBEDA
Usulan Penelitian Guna Menyusun Skripsi S1
Oleh :M. FARHAN AJAR GEMILANG
K2F 006 025
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTANUNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG2010
KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG
BERBEDA
Oleh :M. FARHAN AJAR GEMILANG
K2F 006 025
Disetujui Oleh :
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir . Tri Winarni Agustini , MSc. Dr. Rudi Pribadi. NIP. 19650821 199001 2 001 NIP. 19641120 199103 1 001
Ketua Program Studi
Ir. Eko Nurcahya Dewi, MSc.NIP. 19611124 198703 2 001
KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG
BERBEDA
Oleh :M. FARHAN AJAR GEMILANG
K2F 006 025
Dosen WaliKode : 1556
Dr. Ir . Tri Winarni Agustini , MSc. NIP. NIP. 19650821 199001 2 001
Usulan penelitian ini telah dicatat diProgram StudiTeknologi Hasil PerikananNomor :Tanggal :
Sekretaris Program Studi
Putut Har Riyadi, SPi., MSi.NIP. 19770913 200312 1 002
KAJIAN MUTU BAKSO IKAN GELODOK (Periophthalmus sp.) DENGAN PENAMBAHAN KONSENTRASI DAGING YANG
BERBEDA
Oleh :M. FARHAN AJAR GEMILANG
K2F 006 025
Dosen WaliKode : 1556
Dr. Ir . Tri Winarni Agustini , MSc. NIP. NIP. 19650821 199001 2 001
Usulan penelitian ini telah dicatat diJurusan PerikananNomor :Tanggal :
Sekretaris Jurusan
Dr. Ir. Suminto, MSc.NIP. 19570621 196802 1 001
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ikan merupakan salah satu bahan makanan yang tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia. Bahan makanan ini merupakan sumber protein hewani (18-
20%) yang memiliki keunggulan yaitu kandungan asam amino esensial yang lebih
lengkap dibandingkan dengan protein nabati (Desrosier, 1988). Asam amino
esensial sangat diperlukan namun tidak dapat disintesa oleh tubuh. oleh sebab itu
mengkomsumsi ikan dalam porsi yang cukup sangat disarankan agar kebutuhan
asam amino dalam tubuh terpenuhi (Suryani, 2002).
Salah satu kelemahan ikan sebagai bahan makanan ialah sifatnya yang
mudah busuk setelah di tangkap dan mati. Ikan merupakan bahan pangan yang
mudah rusak atau membusuk (perishable food). Dalam waktu sekitar 8 jam sejak
ditangkap dan didaratkan akan timbul proses perubahan yang mengarah pada
kerusakan, sehingga proses pengolahan diperlukan untuk menghambat atau
menghentikan aktivitas zat-zat dan mikroorganisme perusak atau enzim-enzim
yang dapat menyebabkan kemunduran mutu dan kerusakan. Itulah sebabnya
sebagian besar dari hasil produksi perikanan terutama perikanan laut yaitu sebesar
± 60% dikonsumsi dalam bentuk produk atau olahan (Dinas Peternakan,
Perikanan dan Kelautan di Propinsi DKI Jakarta, 2003), Pemasaran ikan dalam
bentuk olahan mempunyai beberapa kelebihan, antaralain yaitu lebih tahan lama
masa simpannya, memudahkan dalam penyimpanan dan pengangkutan, dan dapat
dipasarkan ke daerah-daerah yang jauh dari tempat produsen.
Cara untuk mengawetkan ikan sudah banyak diketahui dan dikembangkan,
diantaranya mengolah ikan menjadi bakso. Bakso merupakan pengolahan dari
hasil-hasil sampingan ikan. Seperti dijelaskan Moeljanto (1992), yang dimaksud
dengan hasil-hasil sampingan adalah hasil olahan yang sebagian atau semua
bahan mentahnya berasal dari produk perikanan dan untuk menghasilkannya harus
dicampur dengan bahan atau bumbu-bumbu. Diantara produk-produk olahan ini
adalah bakso ikan, kerupuk (ikan atau udang), dan petis.
Pada penelitian ini bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan
bakso adalah daging ikan gelodok, dan untuk bahan pengikatnya menggunakan
tepung tapioka, sedangkan bahan tambahan yang digunakan antara lain bawang
putih, bawang merah, merica, dan garam. Hal ini merupakan langkah yang sangat
tepat sebagai upaya penganekaragaman pangan dan perbaikan kandungan nilai
gizi pada produk.
Ikan gelodok merupakan salah satu jenis ikan yang cukup melimpah
namun belum banyak upaya diversifikasi produk olahan yang berasal dari jenis
ikan ini sehingga diharapkan adanya inovasi produk-produk baru berbahan baku
ikan gelodok. Pada penelitian ini daging ikan gelodok dapat dijadikan alternatif
yang digunakan dalam pembuatan bakso.
Salah satu keistemaan ikan gelodok selain mampu hidup di dua alam yaitu
darat dan air, ikan gelodok juga mampu bertahan hidup dan mampu menghadapi
perubahan kondisi alam yang sangat cepat, bahkan pada kondisi yang ekstrem
sekalipun. Kemampuan ini ditunjang oleh sistem osmoregulasi pada ikan gelodok.
Iwata et al. (1981) Ikan gelodok mampu melakukan osmoregulasi dengan cara
mengakumulasikan asam aminio bebas dan amonia pada otot. Hal ini juga
ditunjang dengan kemampuan ikan gelodok yang bernapas dengan sistem difusi
oksigen. Sehingga proses kehilangan oksigen dalam air dapat ditekan seminimal
mungkin.
1.2. Perumusan Masalah
Tingkat konsumsi ikan oleh masyarakat Indonesia masih cukup rendah
apabila dibandingkan dengan Negara-negara Asia lainnya, hal ini dapat
dibuktikan pada tahun 2009 diperkirakan hanya mencapai 30,16 kg per kapita per
tahun. Sangat jauh ketinggalan dibandingkan negara lain, misalnya konsumsi ikan
rata-rata per kapita per tahun di Singapura mencapai 70 kg, Malaysia 45 kg,
Philipina 40 kg, sementara Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Thailand terlihat
lebih tinggi lagi yakni berturut-turut 80 kg, 65 kg, 60 kg, 35 kg. Tingkat konsumsi
ikan di negara maju pun, sangat jauh meninggalkan Indonesia, sebagai contoh
konsumsi ikan Jepang mencapai 110 kg/kapita/tahun (FAO,2008).
Rendahnya minat masyarakat dalam mengkomsumsi ikan antara lain
disebabkan oleh tingkat kesukaan yang tinggi terhadap jenis daging lainnya
(daging sapi dan ayam), kekhawatiran akan mikroorganisme yang banyak terdapat
pada ikan serta rasa amis ikan. padahal ikan merupakan bahan pangan yang
mengandung berbagai komponen gizi yang penting misalnya protein. kekurangan
protein dalam tubuh mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yang sekarang ini
marak di Indonesia. oleh sebab itu diperlukan upaya untuk meningkatkan status
gizi masyarakat, salah satunya dengan meningkatkan kandungan nutrisi pangan
yang umumnya disukai dan dikomsumsi masyarakat.
Selain itu terbatasnya produk olahan ikan yang dihasilkan di Indonesia
merupakan masalah lain yang menyebabkan rendahnya tingkat konsumsi ikan
penduduk Indonesia dibandingkan negara lain. Untuk meningkatkan konsumsi
ikan perlu ditempuh upaya penganekaragaman produk olahan ikan, terutama
menuju produk-produk yang biasa dikonsumsi masyarakat sehingga peluang
produk untuk diterima menjadi lebih besar (Subaryono et al., 2003).
Bakso merupakan makanan yang sangat populer di Indonesia. Banyak
masyarakat yang menyukainya terutama bakso dari daging sapi dan daging ayam.
Pemanfaatan daing ikan sebagai bahan pembuatan bakso merupakan salah satu
cara untuk meningkatkan nilai gizi pada bakso tersebut, sehingga pada saat
dikonsumsi oleh manusia zat-zat gizi tersebut akan berguna bagi tubuh dan
akhirnya dapat meningkatkan konsumsi ikan masyarakat.
Pemanfaatan ikan gelodok sebagai bahan baku dalam pembuatan bakso
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai gizi dan dapat meningkatkan
konsumsi ikan masyarakat. Penggunaan ikan gelodok dalam pembuatan bakso
belum mempunyai kriteria khusus tentang jumlah pemakaiannya dan pengaruhnya
terhadap mutu bakso yang dihasilkan. Menurut Wibowo (2006), penambahan
daging ikan dalam pembuatan bakso sekitar 60% dari berat total adonan akan
menghasilkan bakso ikan yang bermutu baik.
1.3. Pendekatan Masalah
Kegiatan pengolahan ikan gelodok menjadi bakso ikan merupakan salah
satu teknologi penanganan hasil perikanan, karena dapat meningkatkan nilai
tambah pada komoditas ikan tersebut. Produk tersebut merupakan salah satu
bahan makanan yang bernilai gizi tinggi terutama sebagai sumber protein yang
sangat dibutuhkan dalam menu sehari-hari. Selain itu ikan juga mengandung zat-
zat organik lainnya yang dapat mempertahankan ketahanan tubuh, vitamin, dan
mineral. Produk perikanan juga merupakan salah satu faktor yang memegang
peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi pertumbuhan
tubuh manusia.
Ikan gelodok mempunyai kandungan protein sebanyak 20% sehingga
dapat meningkatkan gel strength pada bakso. Menurut Wibowo (2006), komposisi
kimia bakso yang memenuhi syarat kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI)
adalah kadar air maksimal 70%, kadar abu maksimal 3%, protein minimal 9%,
lemak maksimal 2% dan tidak mengandung bahan pengawet yang dilarang seperti
borak.
Penelitian ini mempelajari tentang pengaruh perbedaan konsentrasi daging
ikan gelodok terhadap gel strength serta mutu produk bakso yang dihasilkan.
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah daging ikan gelodok
(Periophthalmus sp.) karena Menurut Cheng, et al., (2001), Ikan gelodok
mempunyai kandungan protein sebanyak 20% sehingga dapat meningkatkan gel
strength pada bakso.
Penelitian akan dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan
dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan, konsentrasi daging ikan
gelodok yang digunakan adalah 55%, 60%, dan 65%. Konsentrasi terbaik dari
penelitian pendahuluan digunakan sebagai acuan dalam penelitian utama dengan
menggunakan interval ±5% yang didapat dari nilai tengah dari konsentrasi
penelitian pendahuluan. Hal utama yang ingin diketahui dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui konsentrasi daging ikan gelodok yang tepat sehingga
bakso yang dihasilkan tidak hanya meningkat dari nilai gizinya tetapi juga dapat
diterima oleh konsumen dari segi kekenyalan, penampilan maupun cita rasa.
Parameter utama yang diamati adalah uji gel strength, uji lipat, uji
organoleptik terhadap produk bakso ikan gelodok. Sedangkan parameter
pendukung meliputi uji proksimat pada produk bakso ikan gelodok yaitu kadar
air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu. Menurut Wibowo (2006), komposisi
kimia bakso yang memenuhi syarat kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI)
adalah kadar air maksimal 80%, kadar abu maksimal 3%, protein minimal 9%,
lemak maksimal 1% dan tidak mengandung bahan pengawet yang dilarang seperti
borak.
1.4. Tujuan Penilitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh penambahan daging ikan gelodok dengan konsentrasi
yang berbeda terhadap mutu bakso berdasarkan uji gel strength, proksimat,
dan nilai organoleptik.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Memanfaatkan daging ikan gelodok (Periophthalmus sp.) melalui
diversifikasi pangan berupa produk bakso.
2. Memberikan informasi mengenai perbedaan konsentrasi daging ikan gelodok
(Periophthalmus sp.) yang paling baik terhadap kualitas bakso.
1.6. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Agustus di Laboratorium
Teknologi Hasil Perikanan, Jurusan Perikanan, Universitas Diponegoro
Semarang. Pengujian proksimat dilakukan di UNIKA Soegijapranoto Semarang.
Sedangkan untuk uji gel strength, dan uji organoleptik dilakukan di Laboratorium
THP.
Umpan
Balik
Gambar 1. Skema pendekatan masalah.
Kesimpulan
Input
Proses
Output
Data
Analisa Data
PermasalahanUpaya diversifikasi pangan dari daging ikan gelodok untuk dijadikan
produk yang bernilai jual tinggi masih sangat kurang.Bakso yang dikonsumsi masyarakat pada umumnya sangat sedikit
kandungan gizi yang penting untuk tubuh
Penelitian PendahuluanPembuatan bakso menggunakan daging ikan gelodok (Periophthalmus sp.) dengan konsentrasi 55%, 60%, dan 65%. Dilakukan uji gel strength.
Pengujian MutuUji Obyektif : Uji Subyektif : - Uji gel strength - Uji lipat- Uji kadar air - Uji organoleptik- Uji kadar protein- Uji kadar lemak- Uji kadar abu
Studi Pustaka
Penelitian UtamaPembuatan bakso dengan konsentrasi terbaik pada penelitian pendahuluan dengan interval ± 5%. Dilakukan uji mutu produk.
Pendekatan MasalahPerlu kajian untuk mengetahui perbedaan perbandingan konsentrasi yang tepat sehingga bakso yang dihasilkan dapat meningkat nilai gizinya dan diterima oleh konsumen.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Ikan Gelodok (Periophthalmus sp.)
2.1.1. Klasifikasi Ikan Gelodok
Menurut Ravi (2005), ikan gelodok secara sistematis diklasifikasikan
sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Family : Gobiidae
Genus : Periophthalmus
Species : Periophthalmus sp.
Gambar 2. Ikan Gelodok (Periophthalmus sp.)
2.1.2. Morfologi dan Habitat Ikan Gelodok
Ikan gelodok dalam bahasa Inggris adalah Mudskipper, ikan ini
digolongkan dalam keluarga Gobiidae (ikan gobi) merupakan jenis ikan yang
dapat di dua alam atau sering disebut dengan ikan amfibi, bahkan ikan ini
menghabiskan 90% hidupnya didarat. Salah satu keistimewaan ikan gelodok
dibandingkan dengan ikan lainnya adalah bentuk tubuhnya bulat panjang seperti
torpedo, kedua matanya menonjol di atas kepala seperti mata kodok, sirip-sirip
punggung yang terkembang menawan, sirip ekornya membulat, dan panjang
tubuh bervariasi mulai dari beberapa sentimeter hingga mendekati 30 cm
(Kutschera et.al, 2008).
Menurut Eggert (1935), warna dasar dari ikan ini adalah abu-abu lateral,
bagian perut putih, bercak putih tidak beraturan di sisi ventral kepala dan garis-
garis vertikal berwarna-warni kebiruan pada panggul, dan coklat gelap pada
bagian punggung. Sirip punggung pertama dengan latar belakang transparan, sirip
punggung kedua dengan latar belakang transparan, bintik abu-abu pada membran
proksimal dan garis hitam tengah.
Keahlian yang dimiliki ikan gelodok, selain dapat bertahan hidup lama di
darat ikan gelodok dapat memanjat akar-akar pohon bakau, melompat jauh, dan
berjalan di lumpur. Pangkal sirip dadanya berotot kuat, sehingga sirip ini dapat
ditekuk dan berfungsi seperti lengan untuk merayap, merangkak dan melompat.
Daya bertahan di daratan ini didukung oleh kemampuannya bernafas melalui kulit
tubuhnya dan lapisan selaput lendir di mulut dan kerongkongannya, yang hanya
bisa dilakukan dalam keadaan lembab. Oleh sebab itu ikan gelodok perlu
mencelupkan diri ke air untuk membasahi tubuhnya. Ishimatsu et.al (1998)
mengungkapkan karena mudskippers menghabiskan begitu banyak waktu di darat,
maka mudskippers harus mampu bernapas di udara. Seperti katak dan salamander,
mereka memiliki jaringan yang kaya kapiler di bawah kulit mereka yang
memungkinkan oksigen berdifusi ke dalam darah dan keluar karbon dioksida.
Jenis pernapasan dikenal sebagai respirasi kulit. Lendirnya melindungi kulit dan
meminimalkan kehilangan air.
Ikan gelodok setiap kalinya berada di darat bisa bertahan sampai dengan 7-
8 menit, sebelum masuk lagi ke air. Di samping itu, gelodok juga menyimpan
sejumlah air di rongga insangnya yang membesar, yang memungkinkan insang
untuk selalu terendam dan berfungsi selagi ikan itu berjalan-jalan di daratan.
Saat ini telah teridentifikasi sebanyak 35 spesies ikan gelodok. Terbagi
menjadi tiga kelompok besar, yaitu Boleophthalmus, Periophthalmus dan
Periophthalmodon. Beberapa spesies contohnya adalah Pseudapocryptes
elongatus, Periophthalmus gracilis, Periophthalmus novemradiatus,
Periophthalmus barbarus, Periophthalmus argentilineatus dan Periophthalmodon
schlosseri.
Periophthalmus sp hidup di wilayah pantai pada perairan yang pasang
surut. Ikan ini merupakan ikan amfibi, dikarenakan mampu bertahan hidup di dua
alam yakni di air dan di darat. Ikan gelodok tersebar di semua wilayah perairan
tropis dan sub-tropis. misalnya perairan Indo-Pasifik, Afrika Barat, pantai Jepang,
Australia, Filipina dan pulau-pulau Polinesia. Hewan ini banyak ditemukan di
tepi pantai yang berlumpur, di tambak-tambak, dan disekitar hutan bakau /
mangrove yang lembab.
Menurut Dedi (2010), substrat yang ada di ekosistem hutan bakau /
mangrove merupakan tempat yang sangat disukai oleh biota yang hidupnya di
dasar perairan atau bentos. Kehidupan beberapa biota tersebut erat kaitannya
dengan distribusi ekosistem mangrove itu sendiri. Beberapa sumberdaya perairan
yang sering ditemukan di ekosistem mangrove salah satunya adalah ikan gelodok
(Periopthalmus sp). ikan ini merupakan sedikit dari jenis ikan yang hidup
menetap sejati di wilayah mangrove, sehingga seluruh siklus kehidupanya
dijalankan di daerah hutan bakau.
Ikan gelodok biasa menggali lubang di lumpur yang lunak untuk
sarangnya. Lubang ini bisa sangat dalam dan bercabang-cabang, berisi air dan
sedikit udara di ruang-ruang tertentu. Ketika air pasang naik, gelodok umumnya
bersembunyi di lubang-lubang ini untuk menghindari ikan-ikan pemangsa yang
berdatangan. Belum banyak terkuak nilai dari ikan ini. Namun di Cina, Vietnam
dan Jepang, ikan gelodok menjadi santapan sehari-sehari sebagai pengganti jenis
ikan lainnya. Bahkan di Vietnam sudah banyak dibudidayakan oleh masyarakat.
Selain mempunyai kandungan protein yang tinggi, ikan ini juga mempunyai
kandungan lain yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia (Wikipedia, 2010)
2.2. Bakso
2.2.1. Pengenalan bakso
Pengolahan daging ikan menjadi bakso merupakan salah satu teknologi
penanganan hasil perikanan, karena dapat meningkatkan nilai tambah pada
komoditas ikan tersebut. Bakso ikan merupakan salah satu bahan makanan yang
bernilai gizi tinggi terutama sebagai sumber protein yang sangat dibutuhkan
dalam menu sehari-hari. Produk perikanan juga merupakan salah satu faktor yang
memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi
pertumbuhan tubuh manusia. Industri pengolahan ikan dewasa ini telah
berkembang, baik secara kualitas maupun kuantitas. Perkembangan industri
pengolahan ikan ini dimulai dengan diadakannya penganekaragaman atau
diversifikasi produk olahan menjadi produk yang dapat disajikan dan dikemas
sesuai dengan kebutuhan konsumen (Fajar, 2004).
Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari daging atau ikan yang
dihaluskan, dicampur dengan tepung, dibentuk bulat dan dimasak dalam air panas
hingga bakso tersebut mengapung. Kualitas bakso ditentukan oleh bahan baku,
berbagai macam tepung yang digunakan dan perbandingannya didalam adonan.
Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi kualitas bakso diantaranya adalah
bahan-bahan tambahan yang digunakan serta cara memasaknya (Daniati, 2001).
Bakso dapat ditemukan dipasar tradisional, pedagang keliling bahkan banyak juga
yang dijual di supermarket. Bahan baku bakso tidak hanya berasal dari daging
sapi dan daging ayam saja.
Di beberapa negara di Asia seperti di Jepang, Malaysia, Thailand dan
Singapura, bakso ikan sudah sangat populer dikalangan masyarakat. Sedangkan di
Indonesia bakso ikan belum begitu terkenal seperti halnya bakso daging sapi.
Bakso adalah produk daging giling yang bersifat kenyal yang dicampur dengan
bahan tambahan. Pengolahan bakso diperlukan beberapa bahan tambahan antara
lain: bawang merah, bawang putih, jahe, garam halus, tapioka, minyak, penyedap
rasa
Pada umumnya hampir semua orang Indonesia tahu dan pernah
mengkonsumsi produk olahan daging yang berbentuk bulat-bulat yang biasa
disebut dengan bakso. Bahkan, produk ini salah satu produk yang banyak disukai
orang, mulai dari anak-anak hingga lanjut usia. Rasanya lezat, bergizi tinggi,dapat
disantap sebagai lauk pauk dan dihidangan pada suatu kesempatan tak terbatas,
misalnya menu pesta, menu arisan dan menu rapat (Daniati, 2005).
Permintaan pasar bakso di Indonesia cukup tinggi, misalnya diasumsikan
satu dari sepuluh orang Indonesia rata-rata menghabiskan sebutir bakso sehari.
Berarti dalam setahun penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa ini
menghabiskan 7,3 milyar butir bakso. Apabila sebutir bakso beratnya 20-25 g,
maka harus disediakan lebih dari 160.000 ton bakso per tahun. Suatu jumlah yang
cukup besar yang membuktikan bahwa bakso merupakan produk olahan daging
yang sangat populer. (Wibowo, 2006). Mungkin tidak banyak yang menduga
bahwa bakso akhir-akhir ini termasuk salah satu produk yang dapat diekspor. Dari
informasi terakhir pada tahun 2002, satu kilogram bakso ikan di pasar Hongkong
laku hingga 15 dolar AS. Sementara di supermarket Jakarta (tahun 2003), harga
satu kilogram bakso ikan harganya mulai Rp 100.000 sampai Rp 120.000
(Wibowo, 2006).
Masyarakat lebih mengenal bakso sebagai makanan yang dihidangkan
dengan pelengkap lain seperti mie, sayuran, pangsit, dan kuah. Makanan ini
sangat populer dan digemari oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya
penjual mie bakso, mulai dari restoran sampai ke warung-warung kecil dan
gerobak dorong. Harga satu porsi mie bakso sangat bervariasi tergantung dari
kualitas baksonya. Kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas bahan-bahan
mentahnya, terutama jenis dan mutu ikan, jumlah tepung yang digunakan, atau
perbandingannya dalam adonan dan faktor-faktor lain, seperti pemakaian bahan-
bahan tambahan dan cara pemasakannya, juga sangat mempengaruhi mutu bakso
yang akan dihasilkan (Daniati, 2005).
Kualitas bakso dipengaruhi oleh komposisi bahan penyusunnya. Untuk
menghasilkan bakso yang berkualitas harus menggunakan bahan penyusun yang
tepat dan daging yang digunakan harus baik dan segar. Kualitas bakso dikatakan
baik jika bahan tambahan lain yang digunakan kurang dari 50%. Bahan yang
ditambahkan harus memenuhi syarat dan tidak menyebabkan efek samping
terhadap kesehatan (Purnomo, 2007).
Tabel 1. Komposisi Adonan Bakso Ikan (%)
Bahan (g) Prosentase
Daging ikan segar 1000 61,53
Tepung tapioka 300 18,48
Garam 30 1,85
Gula 10 0,61
Bawang putih 20 1,23
Merica 5 0,30
Es batu 200 12,30
Putih telur 60 3,70
Sumber : Wibowo (2006)
2.2.2. Bahan-bahan pembuatan bakso
2.2.2.1.Tepung Tapioka
Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari umbi tanaman ubi kayu
(Manihot esculanta, Crantz). Dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama
tapioca flour. Nama lainnya adalah pati kanji, pati kayu, pati kaspa, pati singkong
dan pati pohong (Muljohardjo, 1987).
Lingga (1995) menyatakan tepung tapioka adalah salah satu hasil olahan
dari singkong dalam bentuk umbi. Tepung tapioka atau biasa disebut tepung aci
ini umumnya berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi
singkong. Dengan cara memisahkan komponen sel pati ini dengan komponen
lainnya diperolehlah tepung tapioka.
Tepung tapioka merupakan produk awetan kering yang berasal dari ubi
atau singkong, tepatnya adalah pati singkong yang dikeringkan, berwarna putih,
bersih, lembut dan licin. Tepung tapioka banyak digunakan dalam berbagai
industri karena kandungan patinya yang tinggi dan sifat patinya yang mudah
membengkak dalam air panas dengan membentuk kekenyalan yang dikehendaki
(Somaatmadja, 1985).
Tepung tapioka disebut juga tepung aci, berbentuk butiran pati yang
banyak terdapat dalam sel umbi singkong. Dengan cara memisahkan komponen
sel pati ini komponen lainnya diperoleh tepung tapioka (LIPI, 1980). Meskipun
tepung tapioka dibuat dari bahan singkong dengan kandungan gizi rendah namun
masih memiliki unsur gizi (Tabel 3).
Tabel 2. Kandungan Unsur Gizi Tepung Tapioka (per 100 g)No. Komposisi Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kalori (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Zat kapur (mg)
Fosfor (mg)
Zat besi (mg)
Thiamin
Air (g)
Bagian yang dapat dimakan
362
1,1
0,5
86,9
84
125
1,0
0,4
12
100
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1981)
Menurut Suprapti (2005), tepung tapioka mempunyai keunggulan yaitu
tahan disimpan dalam waktu relatif lama, memiliki daya gel yang baik, rasa netral,
dan daya lengket yang sangat baik. Fungsi tepung tapioka dalam pembuatan
kerupuk adalah sebagai bahan pengental, penstabil adonan, penahan air,
pembentuk gel, dan pengikat bahan-bahan lain.
Tepung tapioka banyak digunakan dalam berbagai industri karena
kandungan patinya yang tinggi dan sifat patinya yang mudah membengkak dalam
air panas dengan membentuk kekentalan yang dikehendaki (Suwardian, 2005).
Suprapti (2005), Tepung tapioka memiliki keunggulan, yaitu lebih tahan lama
dalam penyimpanan, lebih mudah didistribusikan, ringan, aman, harga relatif
murah dan mempunyai daya ikat yang tinggi .
2.2.2.2. Garam
Garam dapur mempunyai istilah kimia natrium clorida (NaCl). Pada
umumnya digunakan untuk memantapkan rasa dalam pembuatan makanan
termasuk dalam pembuatan bakso. Mencermati bentuk dari garam, ada garam
padat berbentuk batang, garam kasar atau garam rosok, dan garam halus yang
sering digunakan sebagai garam meja. Fungsi garam adalah memberi rasa gurih
pada bakso, garam yang bermutu baik adalah berwarna putih, bersih dari kotoran.
Garam yang digunakan sekitar 2,5% dari berat ikan (Wibowo, 2004).
Menurut Moeljanto (1992), garam merupakan bumbu pengasin yang
paling mendasar. Jumlah garam yang diperlukan untuk membumbui berbeda-beda
tergantung dari jenis bahan olahan, selera dan daya awet yang dikehendaki.
Garam merupakan bahan tambahan yang hampir selalu digunakan dalam
membuat masakan. Rasa asin yang ditimbulkan oleh garam dapat berfungsi
sebagai penegas rasa lainnya. Makanan tanpa dibubuhi garam akan terasa hambar
(Fachruddin, 1997).
Suryani et al. (2005) menambahkan, garam dalam pengolahan pangan di
samping berfungsi untuk meningkatkan cita ras juga berperan sebagai pembentuk
tekstur dan pengontrol pertumbuhan mikroorganisme.
Penggunaan garam pada pencucian daging berpengaruh terhadap protein
yang mempengaruhi pembentukan gel ikan. Menurut Salasa (2000), dalam
pelarutan alam air tawar aktomiosin akan mengalami hidrasi sedikit dan
mengembang, jika dibubuhkan sedikit garam (0,2-0,3%), maka hidrasi akan
menurun ke tingkat minimal. Penambahan garam lebih lanjut akan meningkatkan
hidrasi, memungkinkan pelarutan aktomiosin ke dalam air yang digarami tersebut.
Aktomiosin dalam daging ikan yang larut dalam air asin menyebabkan serat-serat
daging itu bercampur aduk, sehingga bila dipanaskan menyebabkan struktur
daging ikan membentuk jaringan yang menyerupai bunga karang. Dalam
pengntalan karena panas, sebagian dari air terpisah, kemudian air yang terpisah itu
bersama-sama dengan air yang terdapat dalam jaringan yang menyerupai bunga
karang membantu memberikan kelenturan pada hasil akhir. Pada konsentrasi
garam 2-3% aktomiosin dapat larut maksimal.
2.2.2.3. Gula
Gula berfungsi untuk memberikan cita rasa pada produk. Saparinto dan
Hidayati (2006), menambahkan gula lebih banyak berperan memberikan cita rasa
daripada mengawetkan produk. Gula pasir diperoleh dari tanaman tebu atau bit
dan mengandung 99,9% sakarosa murni. Sakarosa adalah gula tebu atau gula bit
yang telah dibersihkan. Selain memberikan rasa manis, gula juga berfungsi
sebagai pengawet karena memiliki sifat higroskopis. Kemampuannya menyerap
kandungan air dalam bahan pangan ini dapat memperpanjang masa simpan.
2.2.2.4. Bawang putih
Menurut Hariyadi (2001), bawang putih merupakan tumbuhan berumput
yang mempunyai daun berbentuk pita, bunga berwarna putih. Umbinya dapat
digunakan untuk bumbu masak dan bahan obat-obatan. Nama latin dari bawang
putih adalah Allium sativum dari famili Liliaceae. Kandungan yang terdapat
dalam bawang putih adalah minyak atsiri, dialildisulfida, aliin, alisin, enzim
alinase, vitamin A, vitamin B, vitamin C, protein, karbohidrat, kalsium, fosfor,
dan sedikit lemak. Fachruddin (1997) menambahkan, bawang putih bersifat
antimikroba karena adanya zat aktif allicin yang sangat efektif membunuh bakteri.
Penggunaan bawang putih sebagai penambah cita rasa dapat menyebabkan
bakso semakin enak. Menurut Saparinto dan Hidayati (2006), bawang putih
mengandung senyawa allicin. Senyawa ini efektif sebagai antibakteri yang kuat,
tetapi bukan senyawa yang stabil.
2.2.2.5. Bawang Merah
Bawang merah (Alllium cepa) berasal dari Iran dan Pakistan Barat yang
kemudian dibudidayakan didaerah beriklim dingin, sub-tropik maupun tropik
(Shadily, 1980). Umbinya dapat dimakan mentah, untuk bumbu masak, acar, obat
tradisional, kulit umbinya dapat digunakan sebagai zat pewarna dan daunnya
dapat digunakan sebagai campuran sayur. Senyawa berkhasiat dalam bawang
relative utuh dan tidak mengalami kerusakan sekalipun dimasak, penggunaan
bawang merah pada pembuatan bakso ikan bertujuan untuk meningkatkan citarasa
dari bakso yang dihasilkan.
2.2.2.6. Lada
Menurut Saparinto dan Hidayati (2006), lada merupakan rempah-rempah
yang sering digunakan dalam pengolahan pangan. Lada digunakan untuk
mempertegas rasa dengan aroma khas dan rasa yang pedas.
2.2.2.7. Putih Telur
Telur mempengaruhi tekstur suatu bahan pangan karena memiliki daya
emulsi sehingga dapat mempertahankan kestabilan adonan. Senyawa yang
bertindak sebagai emulsifier adalah lesitin dan chepalin yang merupakan
komponen lemak telur (Winarno, 1992).
Telur yang digunakan dalam pembuatan bakso ini adalah telur ayam dan
bagian telur yang digunakan adalah putih telur yang berfungsi sebagai pengikat
bahan-bahan lain dalam adonan karena putih telur memiliki daya emulsi sehingga
menjaga kestabilan adonan, pemberi rasa lezat, dan memberi tekstur adonan yang
rata dan kalis. Banyaknya putih telur berkisar sekitar 60% dari berat telur
(Sarwono. 1986).
Putih telur apabila dipanaskan akan membentuk suatu jendalan. Jendalan
tersebut merupakan protein yang terkoagulasi. Jendalan tersebut berfungsi sebagai
perekat yang dapat membuat bakso menjadi lebih kenyal. Selain itu putih telur
juga dapat menjadikan bakso lebih mengkilap sehingga penampilannya lebih
menarik (Wibowo, 2006).
2.2.2.8. Es Batu
Bahan penting lainnya dalam pembuatan bakso adalah es batu. Bongkahan
es batu dicampurkan ke dalam adonan bakso yang sedang digiling agar
temperaturnya rendah sehingga sol yang terbentuk tidak segera berubah menjadi
gel karena belum waktunya (Wibowo, 2006).
Air es diperlukan didalam pembuatan bakso karena berfungsi membantu
pembentukan adonan dan memperbaiki tekstur bakso (Wibowo, 2004).
Penggunaan air es juga berfungsi untuk menambahkan air kedalam adonan
sehingga adonan tidak kering selama pembentukan maupun selama perebusan.
Penambahan juga berfungsi meningkatkan rendemennya.
2.2.3. Proses pembuatan bakso
Menurut Waridi (2004), Proses pembuatan bakso ikan meliputi langkah-
langkah sebagai berikut :
1. Pemilihan bahan baku
Kesegaran ikan yang digunakan sebagai bahan baku sangat
mempengaruhi mutu bakso, bahan baku yang kurang segar dapat menyebabkan
tekstur bakso yang dihasilkan lembek. Wibowo (2004), Ikan yang diambil
dagingnya untuk dibuat bakso hendaknya masih benar-benar segar, tidak cacat
fisik dan bermutu prima. Selain itu, mutu protein (aktin dan myosin sebagai
tekstur bakso) pada ikan yang benar-benar segar masih tinggi.
2. Pencucian
Pencucian bahan baku harus menggunakan air bersih sampai semua
kotoran yang terdapat pada daging hilang. Menurut Purnawijayanti (2001), air
yang dapat digunakan dalam pengolahan makanan minimal harus memenuhi
syarat air minum. Adapun syarat air minum adalah sebagai berikut :
a. Bebas dari bakteri yang berbahaya.
b. Bersih dan jernih.
c. Tidak berwarna dan tidak berbau.
d. Tidak mengandung bahan tersuspensi (penyebab keruh).
Sedangkan menurut SNI 01-2729-1-1992 es yang baik adalah es harus
dibuat dari air yang bersih, yang memenuhi persyaratan air minum. Dalam
penggunaannya es harus ditangani dan disimpan ditempat yang bersih agar
terhindar dari penularan dan kontaminasi dari luar dan es untuk mendinginkan
harus berupa hancuran es untuk menghindari luka-luka atau memar pada bahan
baku.
3. Pemisahan daging
Pemisahan daging ikan dari bagian lain dapat dilakukan dengan cara yang
manual atau dapat dilakukan dengan menggunakan mesin penggiling (meat
separator). Apabila pekerjaan dilakukan secara manual, pemisahan daging
dilakukan dengan menyayat menggunakan pisau secara memanjang pada bagian
punggung setelah terlebih dahulu kepala dipotong. Sayatan daging dicacah-cacah
sehingga hasilnya berupa hancuran daging.
Bahan baku bakso hanya memerlukan dagingnya saja. Untuk itu perlu
dilakukan pemisahan daging dengan bagian lainnya. Kemudian daging tersebut
dipotong atau dicacah menjadi ukuran yang lebih kecil (Wibowo, 2006).
4. Leaching
Perendaman lumatan daging ikan dilakukan untuk memperoleh daging
yang bermutu baik. Leaching dilakukan dengan cara merendam daging tersebut
kedalam air yang dicampur dengan es dan sedikit garam (0,2 - 0,3%).
Perbandingan air dengan daging adalah 4 : 1 dan perendaman dilakukan salama
15 menit. Untuk kesempurnaan hasil perlu dilakukan 2-3 kali ulangan
perendaman selama 15 menit (Wibowo, 2006).
Menurut Ismanadji dan Sudari (1986), untuk menghindari kehilangan
protein yang berlebihan sehingga dapat menurunkan kemampuan pembentukan
gel dan memperbaiki warna daging, leaching dilakukan dengan menambahkan es.
5. Pengepresan
Setelah proses leaching selesai, lumatan daging ikan mengandung banyak
air sehingga diperlukan proses pengepresan atau pemerasan untuk
menurunkannya. Suprapti (2003), menyatakan bahwa pengepresan dapat dilkukan
dengan tangan atau menggunakan kain kasa yaitu dengan cara membungkus
hancuran daging kemudian mengepresnya menggunakan beban. Kadar air
hancuran daging setelah pengepresan ini sekitar 80%.
6. Penggilingan daging
Lumatan daging yang telah selesai dari proses sebelumnya masih perlu
dihaluskan lagi dengan cara melumatkannya dengan menggunakan blender atau
mixer sehingga dihasilkan daging lumat halus, menyerupai bentuk pasta. Proses
penggilingan daging merupakan salah satu proses yang penting pengaruhnya
terhadap pembentukan gel (Wibowo, 2006).
Garam sebagai bumbu ditambahkan pada proses penggilingan, disamping
bertujuan untuk menambah cita rasa juga untuk memperoleh mutu daging yang
baik dalam pembentukan gel (BPPMHP, 2001).
7. Pembentukan adonan dan pencetakan bakso
Pembentukan adonan yaitu penambahan bahan-bahan tambahan,
sebaiknya dilakukan pada wadah yang berukuran besar sehingga lebih mudah
mengaduknya. Penambahan tepung dan bumbu–bumbu dapat dilakukan sedikit
demi sedikit secara bertahap, diaduk dengan tangan sampai adonan benar-benar
homogen dan tidak lengket lagi. Perlu diulang bahwa garam tidak perlu ditambah
lagi karena sudah dicampurkan pada waktu proses penggilingan (Wibowo, 2006).
Adonan yang telah jadi siap untuk dicetak menjadi bola-bola bakso yang
siap direbus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dilakukan
menggunakan tangan atau dengan mesin pencetak bakso. Dalam pembentukan
bola bakso sebaiknya menggunakan sarung tangan yang bersih atau dengan
kantong plastik yang diberi sedikit minyak kelapa agar tidak menempel
(Wibowo, 2006).
8. Pemanasan
Proses pemanasan merupakan salah satu proses yang penting dalam
pembentukan gel bakso. Menurut Ismanadji dan Sudari (1986), dalam proses
pemanasan hal terpenting untuk diperhatikan adalah suhu, dimana kisaran suhu
sekitar 55-60°C harus dilalui dengan cepat untuk menghindari terjadinya
pelembekan (sol) sehingga hasil yang diperoleh berupa bola-bola bakso yang
elastis, kenyal dan stabil.
Secara ringkas proses pengolahan bakso tercantum pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema Pembuatan Bakso (Waridi, 2004)
2.3. Pembentukan Gel Pasta Ikan
Pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan
silang rantai-rantai polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi
bersambungan. Selanjutnya jala ini menangkap atau mengimobilisasikan air di
dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel ini
beragam dari satu jenis hidrokoloid ke jenis lain, tergantung pada jenisnya. Gel
Pencucian
Pemisahan daging dengan filleting
Leaching (pencucian)dengan air dingin atau air es pada suhu 5oC selama 10 menit
Pengepresan
Penggilingan (ditambah bahan-bahan tambahan)
Pembentukan adonan
Pencetakan bakso
Perendaman pada suhu 40°C selama 20 menit
Bakso
Perebusan pada suhu 80°C selama 15 menit
Bahan baku (daging ikan)
mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan
(Fardiaz, 1989).
Pada prinsipnya produk hasil perikanan seperti pasta ikan, kue ikan
(kamaboko), bakso ikan, sosis ikan dan sejenisnya dibuat berdasarkan sifat
homogenitas gel ikan (Suzuki, 1981). Menurut Fardiaz (1985), protein myofibril
yang terekstrak dari daging ikan dan pembentukan struktur jala oleh protein
tersebut merupakan faktor yang sangat penting untuk mendapatkan bakso dengan
sifat gel yang baik, tetapi adanya protein yang larut dalam air mempunyai
pengaruh yang merugikan dalam pembentukan gel. Oleh karena itu harus
dihilangkan melalui proses pencucian daging ikan berkali-kali.
Menurut Suzuki (1981), proses pembentukan gel pada produk gel ikan
terdiri dari beberapa fase yaitu :
1. Daging ikan
2. Sol aktomiosin
3. Gel Suwari (terbentuk pada suhu <500 C)
4. Modori (terbentuk pada suhu 60 – 650 C)
5. Ashi (terbentuk pada suhu >600 C)
Gambar 4. Proses Pembentukan Gel Ikan (Kamaboko) Sumber : Suzuki (1981)
Awal pembentukan daging ikan terjadi pada saat penggilingan dimana
aktomiosin sebagai komponen yang paling penting dalam pembentukan gel akan
larut dalam larutan garam membentuk sol (dispersi partikel padat dalam medium
cair) yang sangat adhesif. Saat dipanaskan, sol akan berubah menjadi gel
membentuk konstruksi seperti jala dan akan memberikan sifat elastis pada daging
ikan. Sifat elastis tersebut disebut ashi (Tanikawa, 1971).
Suzuki (1981), menambahkan bahwa gel suwari terbentuk melalui hidrasi
molekul protein dan pembentukan struktur jaringan ikatan hidrogen dan
hidrofobik dari molekul miofibril. Apabila daging dipanaskan dengan lambat
maka sifat elastis daging akan hilang dan daging menjadi rapuh yang disebut
modori. Setelah melalui tahap modori pada temperatur > 600 C maka akan
terbentuk ashi yaitu sifat elastis dengan konstruksi seperti jala.
2.4. Persyaratan dan Pengujian Mutu Bakso
2.4.1. Persyaratan mutu bakso
Mutu kerupuk juga dipengaruhi oleh mutu dari bahan mentah yang
digunakan misalnya ikan yang digunakan akan mempengaruhi mutu produksi
kerupuk, oleh karena itu perlu dipilih ikan yang masih segar, juga mutu bahan
pembantu maupun secara pengolahannya (Waridi, 2004).
Menurut Standar Nasional Indonesia nomor SNI 01-2346-2006 tentang
persyaratan mutu bakso ikan tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Spesifikasi Persyaratan Mutu Bakso IkanNo. Kriteria uji Satuan Persyaratan1.
2.3.4.5.6.7.8.
9.
Keadaan1.1. Bau1.2. Rasa1.3. Warna1.4. TeksturAirAbuProteinLemakBoraksBahan tambahan makananCemaran logam8.1. Timbal (Pb)8.2. Tembaga (Cu)8.3. Seng (Zn)8.4. Timah (Sn)8.5. Raksa (Hg)Cemaran arsen (As)
----
% b/b% b/b% b/b% b/b
-Sesuai dengan
mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg
Normal, khas ikanGurihNormalKenyalMaks 80,0Maks 3,0Min 9,0Maks 1,0Tidak boleh adaSNI 01-0222-1987 dan revisinya
Maks 2,0Maks 20,0Maks 100,0Maks 40,0Maks 0,5Maks 1,0
Sumber : SNI 01-2346-2006
2.4.2. Pengujian mutu bakso
Metode pemeriksaan mutu bakso menurut BPPMHP (2001) dapat
dilakukan secara obyektif (menggunakan alat) meliputi kekuatan gel dan subyektif
(menggunakan panelis) meliputi uji organoleptik, uji lipat serta uji gigit.
2.4.2.1. Kadar air
Air merupakan komponen yang penting dalam bahan makanan karena air
dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Kandungan
air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran dan daya awet
makanan tersebut (Winarno, 2002).
Menurut Buckle, et al., (1985), kadar air penting dalam menentukan daya
awet makanan karena mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan)
dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan kimia (pencoklatan enzimatis), kerusakan
mikrobiologis, dan perubahan enzimatis.
2.4.2.2. Kadar protein
Protein merupakan suatu zat makan yang sangat penting bagi tubuh,
karena disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, protein juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Pada umumnya kadar protein
dalam pangan menentukan mutu bahan pangan tersebut (Winarno, 2002).
Menurut de Man (1997), selama proses pengolahan dan penyimpanan
makanan, sejumlah perubahan kimia yang melibatkan protein dapat terjadi.
Kerusakan yang sering terjadi adalah denaturasi protein. Denaturasi protein
merupakan perubahan pada struktur alami yang tidak melibatkan perubahan dalam
urutan asam amino. Denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku
dapat mempengaruhi tekstur, kemampuan menahan air, dan pengerutan.
2.4.2.3. Kadar lemak
Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan
tubuh manusia. Lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif
dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat
menghasilkan 9 gram kkal, sedangkan karbohidrat dan protein hanya
menghasilkan 4 kkal per gram. Lemak terdapat pada hampir semua bahan pangan
dengan kandungan yang berbeda-beda. Tetapi lemak sering ditambahkan dengan
sengaja ke dalam bahan makanan untuk menambah kalori serta memperbaiki
tekstur, dan cita rasa bahan pangan (Winarno, 2002).
Ketaren (1986), menambahkan bahwa lemak yang telah dipisahkan dari
jaringan asalnya mengandung sejumlah komponen selain trigliserida yaitu: lipid
kompleks, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen yang larut dalam lemak, dan
hidrokarbon. Komponen tersebut mempengaruhi warna dan flavor produk, serta
berperan dalam proses ketengikan.
2.4.2.4. Kadar abu
Menurut Sudarmadji (1989), penentuan abu total dapat dikerjakan dengan
pengabuan secara langsung atau kering dan dapat pula dilakukan secara tidak
langsung atau basah. Penentuan kadar abu secara kering atau langsung adalah
dengan mengoksidasi semua zat organik pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500-600oC
dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses
pembakaran tersebut. Sedangkan pada pengabuan dengan cara basah atau tidak
langsung terutama digunakan untuk digesti sampel dalam usaha penentuan trace
element dan logam-logam beracun. Prinsipnya adalah dengan memberikan reagen
kimia tertentu ke dalam bahan sebelum pengabuan.
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Begitu juga dengan ikan. Daging ikan boleh dikatakan
menyumbang garam-garam mineral dalam jumlah yang sedikit. Garam-garam
mineral yang terkandung oleh tubuh ikan terutama adalah garam-garam fosfat
yang merupakan komponen-komponen terikat dengan ATP atau merupakan
senyawa-senyawa yang berperan dalam proses glikolisis. Disamping garam fosfat,
terdapat pula sulfur dalam daging ikan (Hadiwiyoto, 1993).
Kandungan mineral-mineral dalam jaringan otot daging ikan dipengaruhi
oleh komposisi dan konsentasi garam-garam yang terdapat di sekitar air. Daging
ikan laut mempunyai kandungan garam yang lebih tinggi daripada ikan air tawar.
Selain perbedaan kandungan tersebut, antara daging ikan laut dan ikan air tawar
juga terdapat perbedaan dimana ikan air tawar tidak mengandung iodin dan
bromin (Kanoni, 1991).
III. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1. Pernyataan Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga perbedaan penambahan daging
ikan gelodok dalam pembuatan bakso ikan dapat mempengaruhi nilai gel strength,
kandungan protein, kandungan air, kandungan lemak, kandungan abu, nilai
organoleptik, dan nilai hedonic
3.2. Perumusan Hipotesis
Perumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ho : Perbedaan konsentrasi daging ikan gelodok tidak memberikan pengaruh
terhadap gel strength, kandungan protein, kandungan air, kandungan
lemak, kandungan abu, nilai organoleptik, dan nilai hedonik pada bakso
ikan.
H1 : Perbedaan konsentrasi daging ikan gelodok memberikan pengaruh terhadap
gel strength, kandungan protein, kandungan air, kandungan lemak,
kandungan abu, nilai organoleptik, dan nilai hedonik pada bakso ikan.
Kaidah pengambilan keputusan adalah :
a. Untuk data kadar protein, kadar kalsium, kadar fosfor, kekerasan, dan
kemekaran
F hitung < F tabel (taraf uji : 1% dan 5%) maka terima Ho tolak H1
F hitung ≥ F tabel (taraf uji : 1% dan 5%) maka tolak Ho terima H1
b. Uji Organoleptik dan Hedonik
X2 hitung < X2 tabel (taraf uji : 1% dan 5%) maka terima Ho tolak H1
X2 hitung ≥ X2 tabel (taraf uji : 1% dan 5%) maka tolak Ho terima H1
3.3. Materi Penelitian
3.3.1. Bahan
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah daging ikan gelodok
(Periophthalmus sp.). Komposisi adonan yang digunakan dalam proses
pengolahan bakso ikan gelodok tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4. Bahan yang Digunakan dalam Proses Pembuatan Bakso ikan gelodokBahan Spesifikasi Kegunaan
Daging ikan gelodok - Sebagai bahan baku
Tepung tapioka “Rose brand” Sebagai bahan perekat dan pengisi adonan
Garam “Revina” Memberi rasa
Gula “Gulaku” Member rasa
Bawang putih - Memberi rasa dan aroma
Bawang merah - Memberi rasa dan aroma
Lada “Koki” Memberi rasa
Es batu - Membuat temperatur tetap rendah
Putih telur - Merekatkan adonan
Tabel 5. Jumlah Bahan yang Digunakan dalam Proses Pembuatan Bakso ikan gelodok (dalam %).
No Bahan a b c
g % g % g %
1. Daging ikan gelodok 550 55 600 60 650 65
2. Tepung tapioka 250 25 200 20 150 15
3. Garam 20 2 20 2 20 2
4. Gula 5 0,5 5 0,5 5 0,5
5. Bawang putih 15 1,5 15 1,5 15 1,5
6. Es batu 120 12 120 12 120 12
7. Lada 5 0,5 5 0,5 5 0,5
8. Putih telur 35 3,5 35 3,5 35 3,5
Keterangan :
a : konsentrasi 55%
b : konsentrasi 60%
c : konsentrasi 65%
Tabel 6. Bahan yang Digunakan dalam Pengujian Mutu Bakso ikan gelodokNo Jenis Uji Bahan Kegunaan
1. Uji gel strength Bakso ikan gelodok Sebagai sampel
2. Uji lipat Bakso ikan gelodok Sebagai sampel
3. Uji organoleptik Bakso ikan gelodok Sebagai sampel
4. Kadar air Bakso ikan gelodok Sebagai sampel
5. Kadar protein Bakso ikan gelodok Sebagai sampel
Tablet Kjeldahl Untuk larutan destruksi
H2SO4 Untuk larutan destruksi
NaOH 40% Untuk larutan destilasi
HCl 0,02 N Sebagai larutan asam
standar saat destilasi
Natrium tiosulfat Sebagai katalisator
untuk mempercepat
destruksi
Asam borat 4% Untuk menangkap
ammonia saat proses
destilasi
6. Kadar Lemak Bakso ikan gelodok Sebagai sampel
Aquadest Sebagai bahan pelarut
dalam ekstraksi lemak
Etil eter Sebagai bahan pelarut
dalam ekstraksi lemak
7. Kadar abu Bakso ikan gelodok Sebagai sampel
3.3.2. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Alat yang Digunakan dalam Pembuatan Bakso ikan gelodokNo Alat Ketelitian Fungsi
1. Timbangan analitik 0,01 g Untuk menimbang bahan
2. Termometer 1oC Untuk mengukur suhu
3. Pisau - Untuk memotong
4. Penggiling daging - Untuk melumatkan bahan baku
5. Panci - Untuk merebus bakso
6. Nampan - Untuk meniriskan bakso
7.
8.
9.
10.
Kompor
Kain kasa
Baskom
Sendok
-
-
-
-
Untuk memasak
Untuk mengepres otot simping
Untuk tempat mencampur bahan dan
bumbu-bumbu
Untuk membentuk cetakan bola-bola
bakso
Tabel 7. Alat yang Digunakan dalam Pengujian Mutu Bakso ikan gelodok Jenis Uji Alat
Uji gel strength Texture analyser TA-XT+2
Uji lipat Score sheet uji lipat, piring plastik, penggaris, pisau
Uji organoleptik Score sheet organoleptik bakso ikan, piring plastik
Kadar air Oven, timbangan, desikator, cawan platina, neraca analitik
Kadar protein Labu destruksi, ruang asam, buret, gelas ukur, erlenmeyer
Kadar lemak Labu lemak, soxhlet, oven, desikator, timbangan analitik,
kertas saring, penangas air
Kadar abu Timbangan analitik, tungku pengabuan (furnace), alat
penjepit, desikator, cawan porselin
3.4. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode experimental
laboratories. Metode eksperimen laboratoris merupakan suatu metode penelitian
yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari suatu obyek yang
diteliti, dengan menunjukkan adanya hubungan sebab akibat yaitu
membandingkan kelompok penelitian yang diberi perlakuan dengan kelompok
yang tidak diberi perlakuan sebagai pembanding (Arikunto, 2002).
3.5. Proses pembuatan bakso ikan (Waridi, 2004)
Pembuatan bakso dengan menggunakan daging ikan gelodok 55%, 60%,
dan 65% dari jumlah adonan yang dihasilkan ini mengacu pada pengolah bakso
ikan. Bahan – bahan yang digunakan adalah tepung tapioka, garam, gula, bawang
putih, bawang merah, garam dan air es.
1. Pemilihan bahan baku
Bahan baku yang dipilih adalah ikan yang masih segar. Tingkat
Kesegaran ikan yang digunakan sebagai bahan baku sangat mempengaruhi mutu
bakso, bahan baku yang kurang segar dapat menyebabkan tekstur bakso yang
dihasilkan lembek.
2. Pencucian
Pencucian bahan baku menggunakan air bersih sampai semua kotoran
yang terdapat pada daging hilang. Menurut Purnawijayanti (2001), air yang dapat
digunakan dalam pengolahan makanan minimal harus memenuhi syarat air
minum.
3. Pemisahan daging
Pemisahan daging ikan dari bagian lain dapat dilakukan dengan cara yang
manual yaitu pemisahan daging dilakukan dengan menyayat menggunakan pisau
secara memanjang pada bagian punggung setelah terlebih dahulu kepala dipotong.
Sayatan daging dicacah-cacah sehingga hasilnya berupa hancuran daging.
4. Leaching
Leaching dilakukan dengan cara merendam daging tersebut kedalam air
yang dicampur dengan es dan sedikit garam (0,2 - 0,3%). Perbandingan air
dengan daging adalah 4 : 1 dan perendaman dilakukan salama 15 menit. Untuk
kesempurnaan hasil perlu dilakukan 2-3 kali ulangan perendaman selama 15
menit (Wibowo, 2006).
5. Pengepresan
Setelah proses leaching selesai, lumatan daging ikan mengandung banyak
air sehingga diperlukan proses pengepresan atau pemerasan untuk
menurunkannya. Proses pengepresan dilakukan dengan menggunakan kain kasa
yaitu dengan cara membungkus hancuran daging kemudian mengepresnya
menggunakan beban.
6. Penggilingan daging
Lumatan daging yang telah selesai dipres dihaluskan lagi dengan dengan
menggunakan blender sehingga dihasilkan daging lumat halus, hingga
menyerupai bentuk pasta, setelah itu garam ditambahkan dan diaduk hingga
merata.
7. Pembentukan adonan
Pembentukan adonan dilakukan pada wadah yang berukuran besar agar
mudah mengaduknya. Tepung dan bumbu–bumbu dapat ditambahkan ke adonan
dan dilakukan sedikit demi sedikit secara bertahap, diaduk dengan tangan sampai
adonan benar-benar homogen dan tidak lengket lagi. Adonan yang telah jadi
kemudian dicetak menjadi bola-bola bakso dengan menggunakan tangan.
8. Pemanasan
Proses pemanasan dilakukan melalui dua tahapan. Tahap yang pertama
adalah perendaman bakso dalam air panas dengan kisaran suhu antara 40-45°C
selama ± 20 menit. Untuk tahap berikutnya bakso direbus dalam air panas dengan
suhu 80°C selama ± 15 menit. Setelah proses pemanasan selesai, dilakukan
penirisan bakso.
Proses pembuatan bakso ikan gelodok adalah sebagai berikut:Perebusan bola-bola bakso pada suhu 80°C selama ± 15 menit
Pengangkatan dan penirisan bola-bola bakso
Bakso ikan gelodok
Penambahan bumbu: garam, bawang putih, bawang merah, lada, putih telur, aduk sampai homogen
Pencampuran lumatan daging ikan gelodok, bumbu, dan tepung sampai homogen
Pencetakan bola-bola bakso
Perendaman bola-bola bakso pada suhu 40°C selama ± 20 menit
Ikan gelodok
Pengambilan daging ikan
Pencucian daging ikan
Pelumatan daging ikan gelodok dengan mesin penggiling daging
Lumatan daging (55%) Lumatan daging (55%) Lumatan daging (55%)
Penambahan tepung tapioka
Gambar 5. Alur Proses Pembuatan Bakso ikan gelodok Sumber : Modifikasi Waridi (2004)
3.6. Prosedur Analisa Kimia
3.6.1. Analisis kadar air (SNI 01-2354.2-2006)
Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut:
1. Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 15 menit
kemudian mendinginkan dalam desikator dan menimbang beratnya.
2. Sampel sebanyak ± 2 g dimasukkan dalam cawan, ditimbang dan dikeringkan
dalam oven selama 24 jam pada suhu 100oC hingga 105oC.
3. Sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator. Setelah
dingin ditimbang beratnya sampai konstan.
Perhitungan :
Kadar air (%) = x 100%
Dimana :
W1 = Berat cawan kosong (g)
W2 = Berat cawan + sampel sebelum pengeringan (g)
W3 = Berat cawan + sampel sesudah pengeringan (g)
3.6.2. Analisis kadar protein (SNI 01-2354.4-2006)
Penentuan kadar protein pada sampel simping kering dilakukan dengan
menggunakan metode Makro Kjehdahl. Pada dasarnya dibagi menjadi tiga
tahapan yaitu proses destruksi, destilasi, dan titrasi.
1. Tahap destruksi
Menimbang dua gram sampel dan memasukkan ke dalam labu Kjehdahl
kemudian menambahkan ke dalam labu 2 butir tablet katalis, 5 butir batu
didih, dan 15 mL H2SO4 pekat serta 3 mL H2O2 30%. Selanjutnya
memanaskannya pada alat destruksi di lemari asam dengan suhu 450oC selama
2 jam (sampai contoh jernih).
2. Tahap destilasi
Menambahkan 100 mL aquades ke dalam labu hasil destruksi kemudian
memasukkan labu tersebut ke dalam alat destilasi uap. Mengambil 25 mL
H3BO4 dan memasukkannya ke dalam erlenmeyer 250 mL dan menambahkan
2 tetes indikator methyl red kemudian alat destilasi dipasangkan.
3. Tahap titrasi
Selanjutnya menitrasi dengan larutan standar HCl 0,2 N hingga larutan
berubah warna dari kuning menjadi merah muda (pink).
4. Perhitungan :
Kadar protein (%) = x 100%
Dimana :
W = Berat sampel (g)
S = Jumlah titrasi sampel (mL)
B = Jumlah titrasi blanko (mL)
V = Volume HCl standar yang dibutuhkan dalam titrasi
14 = Berat atom Nitrogen
6,25 = Faktor konversi protein
3.6.3. Analisis kadar lemak (SNI 01-2354.3-2006)
Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut :
1. Sebanyak 2 gram sampel yang telah dirajang kecil-kecil dimasukkan ke
dalam selongsong lemak. Dapat juga digunakan contoh kering yang diketahui
kadar airnya.
2. Selanjutnya sampel di dalam selongsong lemak ditutup dengan kapas bebas
lemak.
3. Selongsong lemak kemudian dimasukkan ke dalam ruang okstraktor tabung
Soxhlet, siram dengan etil eter hingga permukaan. Setelah etil eter berpindah
ke dalam labu lemak melalui pipa, kemudian siram kembali selongsong
lemak di atas hingga separo dari ruangan ekstraktor terisi dengan etil eter.
4. Selanjutnya labu lemak dan tabung Soxhlet dipanaskan di atas pemanas listrik
bersuhu sekitar 40oC selama 6 jam.
5. Labu lemak dilepaskan dari tabung Soxhlet, kemudian tuangkan etil eter yang
berada dalam ruangan ekstraktor ke dalam labu lemak.
6. Etil eter didestilasikan di dalam labu lemak dengan alat destilasi berputar
hingga semua etil eter menguap, kemudian keringkan labu lemak dalam oven
102oC hingga 105oC sampai tercapai berat konstan. Kemudian timbang berat
minyak.
Perhitungan :
Kadar lemak (%) = x 100%
Dimana :
W1 = berat minyak
W2 = berat sampel (gr)
3.6.4. Analisis kadar abu (SNI 01-2354.1-2006)
Prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut :
1. Cawan abu porselin dipijarkan sampai berwarna merah dalam tungku
pengabuan bersuhu 650oC selama 1 jam (kenaikan suhu tungku harus
bertahap).
2. Setelah suhu tungku pengabuan turun menjadi sekitar suhu kamar, cawan abu
porselin didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan timbang berat
cawan abu porselin kosong.
3. Ke dalam cawan abu dimasukkan kira-kira 2 gr contoh yang telah dirajang
kecil-kecil dan homogen, kemudian dimasukkan ke dalam oven sampai
hampir kering, selanjutnya diabukan dalam tungku pengabuan sampai kira-
kira 650oC dan biarkan pada suhu ini selama 1 jam (cawan abu menjadi
merah).
4. Kemudian timbang berat cawan abu porselin.
Perhitungan :
Kadar abu (%) = x 100%
Dimana :
W1 = Berat cawan + sampel yang telah diabukan
W2 = Berat cawan yang telah dipijarkan
3.7. Prosedur Uji Fisik
3.7.1. Uji organoleptik
Pengujian dilakukan dengan score sheet organoleptik bakso SNI 01-2346-
2001 (SNI, 2001). Score sheet mempunyai skala nilai 1-9, dengan batas penolakan
5. Penilaian meliputi kenampakan dan warna, bau, rasa, konsistensi, jamur dan
lendir.
3.7.2. Uji lipat
Pengujian dilakukan pada 5 potongan contoh uji. Setiap potongan dilipat
menjadi 2, jika tidak retak atau sobek dilanjutkan lagi dilipat menjadi 4. Menurut
Lanier (1992), metode uji pelipatan cocok untuk memisahkan gel yang bermutu
tinggi dan yang bermutu rendah. Hasting (1985), menambahkan bahwa uji lipat
secara umum digunakan di industri-industri karena uji tersebut sederhana dan
dapat dengan cepat menunjukkan kekuatan dan elastisitas gel.
3.7.3. Uji gel strength
Pengukuran kekuatan gel dilakukan menggunakan texture analyzer.
Sampel diletakkan di bawah probe yang berbentuk pisau dengan kecepatan
1mm/detik dan jarak 15 mm. Beban maksimum yang digunakan adalah 25 kg.
Kekenyalan ditandai dengan puncak maksimum dan kekerasan sebagai puncak
maksimum kedua. Hasil pengukuran ini dapat dilihat pada grafik.
3.7.4. Uji hedonik
Pada pengujian ini ketiga bakso ikan gelodok diuji cobakan kepada 30
orang panelis yang merupakan mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan Universitas
Diponegoro dengan skala penilaian berkisar antara 1 ( amat sangat tidak disukai )
sampai 9 (amat sangat disukai).
3.8. Rancangan Penilitian
Pada penelitian ini metode yang digunakan adalah experimental
laboratories yaitu observasi di bawah kondisi buatan di mana kondisi tersebut
dibuat dan diatur oleh peneliti. Tujuan dari penelitian experimental adalah untuk
menyelidiki ada tidaknya hubungan sebab akibat serta berapa besar hubungan
sebab akibat dengan memberikan perlakuan-perlakuan tertentu pada beberapa
kelompok experimental (Nazir, 2003).
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) satu faktor yang terdiri dari tiga taraf dengan tiga kali
ulangan. Faktor yang diamati adalah faktor perbedaan konsentrasi penambahan
daging ikan gelodok 55%, 60%, dan 65% dari total adonan. Matrik penelitiannya
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Matriks Penelitian
Parameter UlanganKonsentrasi
55% 60% 65%
Gel strength Ke-1 G1K1 G 1K2 G 1K3
(G) Ke-2 G 2K1 G 2K2 G 2K3
Ke-3 G 3K1 G 3K2 G 3K3
Uji Lipat Ke-1 L1K1 L 1K2 L 1K3
(L) Ke-2 L 2K1 L 2K2 L 2K3
Ke-3 L 3K1 L 3K2 L 3K3
Kadar Protein Ke-1 P1K1 P1K2 P1K3
(P) Ke-2 P2K1 P2K2 P2K3
Ke-3 P3K1 P3K2 P3K3
Kadar Air Ke-1 A1K1 A1K2 A1K3
(A) Ke-2 A2K1 A2K2 A2K3
Ke-3 A3K1 A3K2 A3K3
Kadar Lemak Ke-1 M1K1 M1K2 M1K3
(M) Ke-2 M2K1 M2K2 M2K3
Ke-3 M3K1 M3K2 M3K3
Kadar Abu Ke-1 B1K1 B1K2 B1K3
(B) Ke-2 B2K1 B2K2 B2K3
Ke-3 B3K1 B3K2 B3K3
3.9. Analisis Data
Data yang diperoleh dari uji kimia dan uji fisika dianalisis dengan analisa
sidik ragam atau Analysis of varians (ANOVA). Menurut Srigandono (1980),
Analisa ragam adalah suatu prosedur atau metode yang memungkinkan untuk
menguji beberapa nilai tengah secara serentak dengan memecahkan keseluruhan
ragam (variasi) dari data yang diperoleh, menjadi komponen-komponen untuk
mengukur sumber-sumber variasi yang asalnya berbeda. Berdasarkan analisa
tersebut maka diperoleh hasil uji F. Fhitung digunakan untuk mengetahui
pengaruh sumber keragaman dan perbedaan variabel-variabel yang diamati karena
perlakuan yang berbeda.
Jika analisis tersebut menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka akan
dilanjutkan dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) dari Tukey pada taraf uji
5% dan 1% untuk mengetahui perbedaan atau membandingkan antar nilai tengah
perlakuan dan menentukan perlakuan yang terbaik. Formulasi uji BNJ menurut
Steel and Torrie (1995) adalah sebagai berikut:
BNJ = W = qa X (p1n2) S
Dimana S =
Keterangan :
KTG : Nilai kuadrat tengah galat (eror)
r : Jumlah ulangan
p : Jumlah perlakuan
n2 : derajat bebas galat acak
Pengolahan data untuk uji organoleptik menggunakan statistik
nonparametrik dengan metode Kruskal Wallis tujuannya untuk melihat
perspesifikasi uji organoleptik. Jika uji Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang
berbeda nyata, maka selanjutnya dapat dilakukan uji Multiple Comparison
(Steel and Torrie, 1991).
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, Anton., Dedi Fardiaz, Ni Luh Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arikunto, S. 2002. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia Analisis Kadar Abu pada produk perikanan (SNI 01-2354.1-2006). Badan Standardisai Nasional (BSN). Jakarta.
________________________ . 2006. Standar Nasional Indonesia Analisis Kadar Air pada produk perikanan (SNI 01-2354.2-2006). Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.
________________________ . 2006. Standar Nasional Indonesia Analisis Kadar Lemak pada produk perikanan (SNI 01-2354.3-2006). Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.
________________________ . 2006. Standar Nasional Indonesia Analisis Kadar Protein pada produk perikanan (SNI 01-2354.4-2006). Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.
________________________ . 2006. Standar Nasional Indonesia Pengujian Organoleptik pada produk perikanan (SNI 01-2346-2006). Badan Standardisasi Nasional (BSN). Jakarta.
BPPMHP. 2001. Teknologi Petunjuk Mince Fish dan Surimi dari Ikan Non Ekonomis. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. 20 hlm.
Buckle, K.A, et al. 1985. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia, Jakarta, 178-182 hlm. (diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono).
De Man, John M. 1997. Kimia Makanan. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung.
Desrosier, N. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Direktorat Gizi Depkes RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata. Jakarta.
Fachruddin, L. 1997. Membuat Aneka Abon. Kanisius. Yogyakarta.
FAO. 2008. Pengelolaan Perikanan. Food and Agricultural Organization of The United Nations, Roma. Dalam http://www.tek.pangan.com
Fardiaz, S. 1985. Hidrokoloid. Buku dan Monograf. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Jakarta, 13-175 hlm.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Liberty. Yogyakarta.
Hariyadi. 2001. Pengolahan Hasil Perikanan. Lembaga Teknologi Perikanan. Jakarta.
Ismanadji dan Sudari. 1986. Petunjuk Pengolahan Bakso Ikan dalam Rangka Diversifikasi Pengolahan Hasil Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan bekerjasama dengan Internasional Development Research Centre. Jakarta.
Kanoni, S. 1990. Kimia dan Teknologi Pengolahan Ikan. UGM, Yogyakarta, 210 hlm.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta, Universitas Indonesia Press.
Lanier, T. C. 1992. Measuremnts of Surimi Composition and Functional Properties in Surimi Process Technology. Marcel Decker Inc. New York
.Lingga, P. 1995. Bertanam umbi-umbian. Penebar Swadaya. Jakarta
LIPI. 1980. Umbi-umbian. PN Balai Pustaka. Jakarta. 108 hlm.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Muljohardjo, M. 1987. Teknologi Pengolahan Pati. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada. Jogjakarta.
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Purnama, P.S. 2002. Pengalaman Fortifikasi Tepung Terigu di Indonesia Hal. 49-53. Dalam: Hardinsyah, L.Amalia dan B.Setiawan (Eds). Fortifikasi Tepung Terigu dan Minyak Goreng. Pusat Studi Kebijakan Pagan dan Gizi (PSKPG) IPB,Komisi Fortifikasi Nasional (KFN) ADB- Manil dan Keystone Center-USA.
Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Bahan Pangan. UI-Press. Jakarta.
Salasa, F.F.A. 2002. Teknologi Pengolahan Ikan dan Rumput Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 70 hlm.
Saparinto, C. dan Hidayati, D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisus, Yogyakarta, 88 hlm.
Srigandono, Bambang. 1989. Rancangan Percobaan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2006. Kumpulan Standar Metode Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.
Steel, R. G. B. and Torrie, J. H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika; Suatu Pendekatan Biometrik. Ed. Cetakan ke 2. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Somaatmadja, D. 1985. Rempah-Rempah Indonesia (The Spices of Indonesia). Komunikasi Departemen Perindustrian. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Perikanan, Bogor
Subaryono, H. E. Irianto, Ninoek Indriati. 2003. Fortifikasi Ikan Pada Emping Melinjo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 9 No. 5.
Subaryono, H. E. Irianto, Ninoek Indriati. 2003. Fortifikasi Ikan Pada Pengolahan Patolo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 8 No. 6.
Sudarmadji. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Suprapti. 2005. Kerupuk Udang Sidoharjo. Kanisius. Yogyakarta.
Suryani, Ani, Hambali Erliza, dan Encep Hidayat. 2005. Aneka Produk Olahan
Suprapti, L. 2003. Kerupuk Udang Sidoarjo. Penerbit Kanisius, Jakarta, 79 hlm.
Suzuki, T. 1981. Fish and Krill Protein. Science Publishing, Ltd. London.
Tanikawa, E. 1971. Marine Products In Japan. Koseisha-Koseikaku Company, Tokyo.
Wibowo, S. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya. Bogor.
Winarno, F.G. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 108 hlm.
. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia. Jakarta.
. 1995. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia. Jakarta.
. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 253 hlm.