lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/model... · web viewpengembangan...

34
U N D I A I K E ND I Model Pembelajaran MPK berlandaskan Falsafah Tri Hita Karana (Oleh Tim LP3M Undiksha) ================================================== I. Pendahuluan Pendidikan kita harus mampu menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas dalam kecendekiawanan, kecerdasan spiritual, emosional, sosial, serta kinestetis (gerak tubuh) dan kepiawaian, serta mampu menghadapi perkembangan dan persaingan global. Kualitas manusia Indonesia seperti itu dapat dicapai melalui penyeleng- garaan pendidikan yang bermutu tinggi dengan didukung oleh proses pembelajaran yang bermutu tinggi. Untuk itu, harus dioptimalkan terjadinya pembelajaran yang bermakna disemua tingkatan pendidikan formal, dan hal tersebut juga harus terjadi di level pendidikan tinggi. Dalam kaitan dengan hal di atas, Undiksha sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri, yang merumuskan Visinya: Menjadi universitas unggul berlandaskan falsafah Tri Hita Karana di Asia pada tahun 2045” harus mengimplementasikan hal tersebut dalam menjalankan misi Tri Dharma Perguruan Tinggi nya.. Implementasi transpormasi bahan kajian khususnya pada dharma pertama harus dijiwai oleh falsafah Tri Hita Karana (THK) yang merupakan nilai local genius budaya Bali. Dalam kancah yang lebih khusus lagi sesuai dengan pertemuan saat ini yaitu: workshop tentang model 1

Upload: hanguyet

Post on 07-Jun-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

U

NDI

A

IK

ENDI

Model Pembelajaran MPK berlandaskan Falsafah Tri Hita Karana

(Oleh Tim LP3M Undiksha)

==================================================

I. Pendahuluan

Pendidikan kita harus mampu menghasilkan manusia Indonesia yang

berkualitas dalam kecendekiawanan, kecerdasan spiritual, emosional, sosial, serta

kinestetis (gerak tubuh) dan kepiawaian, serta mampu menghadapi perkembangan dan

persaingan global. Kualitas manusia Indonesia seperti itu dapat dicapai melalui

penyelenggaraan pendidikan yang bermutu tinggi dengan didukung oleh proses

pembelajaran yang bermutu tinggi. Untuk itu, harus dioptimalkan terjadinya

pembelajaran yang bermakna disemua tingkatan pendidikan formal, dan hal tersebut

juga harus terjadi di level pendidikan tinggi.

Dalam kaitan dengan hal di atas, Undiksha sebagai salah satu Perguruan

Tinggi Negeri, yang merumuskan Visinya: “Menjadi universitas unggul

berlandaskan falsafah Tri Hita Karana di Asia pada tahun 2045” harus

mengimplementasikan hal tersebut dalam menjalankan misi Tri Dharma Perguruan

Tinggi nya.. Implementasi transpormasi bahan kajian khususnya pada dharma

pertama harus dijiwai oleh falsafah Tri Hita Karana (THK) yang merupakan nilai

local genius budaya Bali.

Dalam kancah yang lebih khusus lagi sesuai dengan pertemuan saat ini yaitu:

workshop tentang model pembelajaran MPK berbasis Tri Hita Karana (THK), dimana

mata kuliah tersebut dilabel dengan nama Mata Kuliah Pembentukan Kepribadian

(MPK) yang secara umum bermuatan deskripsi umum pada KKNI, yang dalam

implementasi transpormasi pembelajarannya harus dalam balutan Tri Hita Karana.

Pada prinsipnya Mata kuliah umum atau MPK adalah mata kuliah yang wajib

ditempuh oleh semua mahasiswa. Mata kuliah umum untuk program Sarjana dan

program Diploma terdiri dari (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2012 tentang Perguruan Tinggi):

1) Mata kuliah Pendidikan Agama

2) Mata kuliah Pendidikan Pancasila

3) Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

1

Page 2: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

4) Mata kuliah Bahasa Indonesia

Namun, untuk program Sarjana (S1) Undiksha, mata kuliah umum wajib

ditambahkan mata kuliah: (a) IAD untuk program studi pada rumpun Ilmu Sosial,

Humaniora dan beberapa Pohon keilmuan dirumpun Ilmu Terapan; serta ISBD

untuk program studi pada rumpun Ilmu Alam, Ilmu Formal dan beberapa Pohon

keilmuan dirumpun Ilmu Terapan; dan (b) Bahasa Inggris untuk semua program

studi.

Pencantuman Tri Hita Karana dalam visi Undikha membawa

konskwensi logis bagi seluruh sivitas untuk (tidak saja) memahami nilai-nilai

substansi yang terkadung dalam THK., tetapi juga berupaya mengembangkan

strategi implementasinya dalam berbagai pengembangan kebijakan Tri Dharma

Perguruan Tinggi di Universitas Pendidikan Ganesha. Dalam konteks pelaksanaan

pendidikan sebagai salah satu dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, Visi Universitas

Pendidikan Ganesha membawa konskwensi logis untuk mengembangkan inovasi

pembelajaran berlandaskan falsafah THK, utamanya dalam hal ini pembelajaran Mata

Kuliah Pengembangan Kepribadian.

Pengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik

karena tuntutan visi dari universitas maupun tuntutan faktual masyarakat Indonesia

yang multikultur. Kesadaran semacam itu sangat penting dalam mewujudkan dan

merawat masa depan Indonesia yang lebih maju dan keberadaban. Karena pada

dasarnya multikulturalisme merupakan kearifan untuk melihat keanekaragaman

budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu

segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama

dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam

kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan

masyarakat yang lebih kompleks (Lubis, 2006; Parekh,2008; Kawuryan, 2009; Joel,

2016). Dalam konteks itulah proses pembelajaran seyogyanya dapat menumbuhkan

kemampuan berpikir kritis secara holistik yang mengimplementasikan: kecerdasan

intelektual, sosial, spiritual, dan ekologis.

Melalui pemikiran semacam itulah pembelajaran harus bersumber pada

peserta didik dengan sosiokultural masyarakatnya sehingga pembelajaran menjadi

lebih humanis, berkeadilan, dan menyenangkan. Dalam konteks ini pendidikan di

Universitas Pendidikan Ganesha tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara

2

Page 3: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya, kualitas lingkungan

alamnya dan kualitas moralitas dan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa.

II. Landasan Penyusunan Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Falsafah Tri

Hita Karana

A. Landasan Filosofis

Landasan filosofis yang mendasari pengembangan model Pembelajaran MPK

adalah suatu landasan falsafah yang secara kental mewarnai kualitas lulusan (output)

yang dihasilkan dari suatu proses transformasi, akibat implementasi suatu kurikulum.

Dalam kaitan dengan itu, berarti sumber dan isi dari kurikulum (dalam hal ini MPK),

proses pembelajarannya, posisi mahasiswa, asesmen terhadap proses dan hasil

belajarnya, maupun hubungan mahasiswa dengan masyarakat dan lingkungan alam di

sekitarnya didasarkan pada landasan filosofis tertentu. Materi, proses pembelajaran,

asesmen dan posisi mahasiswa dalam konteks pembelajaran MPK di Undiksha

dikembangkan dengan landasan filosofis yang memberikan dasar bagi pengembangan

seluruh potensi mahasiswa menjadi manusia Indonesia yang berkualitas, menemukan

keharmonian dan keseimbangan dalam kehidupannya, dikembangkan berdasarkan

falsafah Tri Hita Karana yang mengajarkan bahwa keharmonisan dan keseimbangan

hidup manusia akan tercapai dari keharmonian hubungan antara manusia dengan

Tuhan (Prahyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan), dan hubungan

manusia dengan lingkungannya (Palemahan) ( Nada Atmaja, 2010). Dalam Bhagavad

Gita Bab III sloka 10 dinyatakan bahwa: saha-yahjnah prajahsrstva vurovaca

prajapatih anena prasavisyadhvam esa vo’stv istan-kama-dhuk (terjemahannya; pada

zaman dahulu kala, Prajapati, Sang Pencipta, telah menciptakan alam semesta beserta

mahluknyamelalui persembahan suci yajna, dan bersabda, sejahterakanlah semuanya

melalui perbuatan suci ini. Melaksanakan perbuatan sebagai persembahan suci seperti

ini akan dapat memenuhi segala sesuatu yang engkau inginkan). Ini berarti

keseimbangan, keharmonisan dan kebahagian hidup manusia akan tercapai bila

manusia dapat menjaga dan melakukan keharmonisan hubungan vertikal yaitu pada

Hyang Prama Wisesa (Tuhan Yang Maha Esa), dan horizontal pada lingkungan dan

manusia itu sendiri. Bila dihubungkan dengan filsafat progresivisme dan humanistic

dalam pendidikan, dimana pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. maka akan dihasilkan manusia yang

3

Page 4: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

memiliki keunggulan. Berdasarkan konstelasi keharmonisan tersebut, ke-unggul-an

sebagai ciri kualitas sumber daya manusia akan tercapai secara optimal.

Keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan akan memunculkan rastiti

pada Yang Prama Wisesa (ketaqwaan), keimanan dan rasa syukur atas rahmat

Tuhan, dan hal tersebut memunculkan ketentraman hati manusia dalam

kehidupannya. Keharmonisan hubungan manusia dengan manusia dalam satu

kehidupan masyarakat, akan memunculkan interaksi kemanusiaan yang humanis,

saling tolong menolong dengan sesama dalam kehidupan. Keharmonisan hubungan

humanis tersebut akan memunculkan kenyamanan hidup. Sedangkan keharmonisan

hubungan manusia dengan lingkungan akan membentuk lingkungan kehidupan yang

harmoni, yang dapat memunculkan lingkungan yang lestari. Kelestarian lingkungan

akan memberikan dapat positif dalam kehidupan. Konstelasi keharmonisan hubungan

tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1 Konstelasi Keharmonisan Hubungan dalam Tri Hita Karana

Klarifikasi naratif dari konstelasi gambar di atas, pada kesepadanannya dalam

indikator-indikator (disarikan dari berbagai sumber Bhegavad Gita, Tiga Kerangka

Agama Hindu, dikomparasikan dengan deskripsi yang ada di KKNI dan SNPT), dapat

dideskripsikan sebagai berikut:

1. Nilai-nilai yang terkandung dalam dimensi Prahyangan adalah: bertakwa

(restiti), beriman, dan bersyukur. Bersyukur adalah sikap dan perilaku

yang tunduk hati atas rahmat dan nikmat dari Tuhan. Indikator yang dapat

dirumuskan adalah: (a) Bertakwa (Rastiti) kepada Tuhan Yang Maha Esa,

4

RESTITI

HUMANIS HARMONISManusia Unggul

Page 5: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

(b) memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik didalam

menyelesaikan tugasnya, dan (c) menjunjung tinggi nilai kemanusiaan

dalam menjalankan tugas berdasarkan agama, moral dan etika.

2. Pawongan menyangkut indikator: (a) kehidupan yang humanis saling

tolong menolong dengan sesama, (b) berperan sebagai warganegara yang

bangga dan cinta tanah air serta mendukung perdamaian dunia, (c) mampu

bekerjasama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian yang tinggi

terhadap masyarakat dan lingkungan, (d) menginternalisasi nilai, norma

dan etika akademik, (e) menghargai keanekaragaman budaya, pandangan,

kepercayaan dan agama, serta pendapat / temuan orisinil orang lain, (f)

berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, bernegara dan kemajuan peradaban.

3. Palemahan menyangkut indikator: (a) menjunjung tinggi lingkungan hidup

yang harmoni, (b) penegakan hukum serta memiliki semangat untuk

mendahulukan kepentingan bangsa serta masyarakat luas, (c) berperan

sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air, memiliki

nasionalisme serta rasa tanggungjawab pada negara dan bangsa, (d)

menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan

kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain, (e)

berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, bernegara, dan kemajuan peradaban berdasarkan pancasila, (f)

bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian terhadap

masyarakat dan lingkungan, (g) taat hukum dan disiplin dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara, (h) menginternalisasi semangat

kemandirian, kejuangan, dan kewirausahaan, dan (i) menunjukkan sikap

bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang keahliannya secara mandiri.

Mengenai Ke-Unggul-an dapat dideskripsikan bahwa; Unggul diindikatorkan

dengan: cerdas, berdayasaing tinggi, disiplin, jujur, kredibel, Intelek, professional

yang beriman bertaqwa, beraklaq mulia, berbudaya, kreatif, dan berkarakter tangguh

(Perpres No.8, 2012).

B. Landasan Teoretis

Pendidikan yang bermuatan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah THK

sangat diperlukan untuk membentuk insan yang cerdas secara holistik, dalam artian

5

Page 6: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

tidak hanya cerdas secara intelektual, namun juga memiliki kecerdasan spiritual,

kecerdasan sosial, dan kecerdasan ekologi. Nilai-nilai yang terkandung dalam

falsafah THK bersifat universal, dapat digunakan sebagai fondasi dalam menciptakan

rasa hidup yang nyaman, tenteram dan damai secara lahiriah maupun alamiah

(Wirawan, 2011).

Secara teoretik Superka, et al. (1976), menguraikan ada lima pendekatan yang

dapat digunakan dalam pendidikan nilai, yaitu: (1) pendekatan penanaman nilai

(inculcation approach), (2) pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive

moral development approach), (3) pendekatan penalaran moral (moral reasoning

approach), (4) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach), dan (5)

pendekatan klarifikasi nilai (value clarification approach). Deskripsi masing-masing

pendekatan diuraikan secara ringkas pada Tabel 1.

Tabel 1.1 Pendekatan dan Metode Pendidikan Nilai

No. Pendekatan Deskripsi Tujuan Pendidikan Metode1 Penanaman nilai Pendekatan yang

memberi penekanan pada penanam nilai-nilai dalam diri mahasiswa

a. Diterimanya nilai masyarakat tertentu oleh mahasiswa

b. Berubahnya nilai-nilai mahasiswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang diinginkan

Keteladanan, simulasi, bermain peran, dll.

2 Perkembangan moral kognitif

Pendekatan yang memberi penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya

a. Membantu mahasiswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi.

b. Mendorong mahasiswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral

Diskusi kelompok

3 Penalaran moral (argumentasi moral)

Pendekatan yang memberi penekanan pada perkembangan kemampuan mahasiswa untuk berpikir logis dengan

a. Membantu mahasiswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah

Diskusi

6

Page 7: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

No. Pendekatan Deskripsi Tujuan Pendidikan Metodecara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan mencari alasan pembenaran secara moral

dalam menganalisis masalah-masalah moral.

b. Membantu mahasiswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam mengubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai.

4 Pembelajaran berbuat

Pendekatan yang memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam kelompok

a. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan perbuatan moral berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri

b. Mendorong mahasiswa untuk melihat diri mereka sendiri sebagai makhluk individu dan makhluk sosial

Tugas untuk berbuat secara aktif (action)

5 Klarifikasi nilai Pendekatan yang memberi penekanan pada usaha membantu mahasiswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatan sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri

a. Membantu mahasiswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nilai orang lain

b. Membantu mahasiswa agar mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur dengan orang lain, berkaitan dengan nilai-nilai yang diyakini

c. Membantu mahasiswa agar mampu menggunakan akal budi dan kesadaran emosional untuk memahami perasaan, nilai-nilai dan pola tingkah lakunya sendiri

Pemecahan masalah nilai, diskusi, dialog dan presentasi

(Adaptasi dari Adisusilo, 2012)

Nilai selalu berhubungan dengan kebaikan, kebajikan, dan keluhuran budi

serta akan menjadi sesuatu yang dihargai dan dijungjung tinggi (Adisusilo, 2012).

7

Page 8: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

Menurut Lickona (1991), ada dua nilai dalam kehidupan yaitu moral dan non-moral.

Pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral merupakan komponen

karakter baik. Karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal yang baik,

menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik. Pengetahuan moral dapat

meningkatkan perasaan moral, perasaan moral dapat mempengaruhi pemikiran moral

dan perilaku moral. Keterkaitan antar komponen karakter baik dapat digambar seperti

Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Komponen Karakter Baik

Teori belajar kognitif sosial cukup relevan dengan pembelajaran berlandaskan

nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah THK. Bandura menyatakan bahwa faktor

kognitif, lingkungan, dan faktor perilaku, memainkan peran penting dalam

pembelajaran. Faktor kognitif (person), faktor lingkungan, dan dan faktor perilaku

saling mempengaruhi satu sama lain, secara determinisme resiprokal (Santrock,

2006). Bandura menyatakan bahwa kepribadian merupakan hasil interaksi dari tiga

hal, yakni lingkungan, perilaku, dan proses psikologi seseorang (kognisi). Teori

kognitif sosial merupakan suatu sistem dinamis yang menjelaskan adaptasi manusia,

pembelajaran, dan motivasi. Teori ini menekankan bahwa seseorang mengembangkan

sosial, emosional, kognitif, dan kapabilitas perilaku, bagaimana seseorang mengatur

kehidupan dirinya, dan motivasi mereka (Woolfolk, 2011). Teori sosial kognitif

8

Page 9: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

dilandasi dengan asumsi bahwa: (1) seseorang dapat belajar dengan mengamati orang

lain, (2) belajar merupakan proses internal yang memiliki kemungkinan

mempengaruhi perilaku, (3) perilaku dilakukan untuk mencapai tujuan, (4) perilaku

akan secepatnya diterima oleh diri dan dapat menjadi suatu kebiasaan, dan (5)

penghargaan dan hukuman yang mendidik memiliki efek secara tidak langsung pada

belajar dan perilaku (Ormrod, 2006)

Perilaku manusia dipengaruhi oleh modeling. Analisis Bandura tentang

pembelajaran observasional melibatkan empat fase: atensi (perhatian), retensi

(ingatan), reproduksi, dan motivasi (Slavin, 2006). Ringkasan setiap fase modelling

sebagai berikut.

1. Fase Perhatian

Pada fase ini mahasiswa memberikan perhatian pada orang yang ditiru

(model). Pada umumnya, mahasiswa memberikan perhatian pada panutan

yang memikat, berhasil, menarik, dan popular. Di ruang kelas, dosen

mendapatkan perhatian mahasiswa dengan menyajikan isyarat yang jelas dan

menarik, dengan menggunakan sesuatu yang baru dan kejutan, dan

memotivasi mahasiswa.

2. Fase Pengingatan

Begitu dosen mendapatkan perhatian mahasiswa, kinilah saatnya

mencontohkan perilaku yang mereka inginkan dan kemudian memberi

kesempatan kepada mahasiswa untuk mempraktikkan dan berlatih.

3. Fase Reproduksi

Selama fase ini mahasiswa mencoba untuk mencocokkan perilaku mereka

dengan perilaku orang yang ditiru.

4. Fase Motivasi

Dalam tahap ini mahasiswa akan meniru orang yang akan ditiru karena

mereka percaya bahwa tindakan seperti itu akan meningkatkan berpeluang

mereka sendiri dikuatkan.

Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan

pendidikan nilai berlandaskan falsafah THK di perguruan tinggi adalah sebagai

berikut.

a. Berkelanjutan: kebiasaan berpikir dan berbuat sesuai nilai THK dipraktikkan

secara terus menerus

9

Page 10: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

b. Modeling: nilai-nilai THK dipraktikkan dan ditularkan atau ditransformasikan

melalui contoh (teladan) atau panutan (modeling)

c. Partisipatif: semua warga kampus mengamalkan nilai-nilai THK dalam setiap

tindakannya

d. Terintegrasi: nilai-nilai THK diintegrasikan dalam proses pembelajaran dan

dipraktikkan dalam tindakan sehari-hari

C. Landasan Sosiologis/Sosiokultural

Landasan sosiologi dalam konteks ini pada dasarnya merupakan asumsi-

asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah sosiologis yang dijadikan titik tolak dalam

pembelajaran/pendidikan. Kaidah sosiologis memposisikan manusia sebagai makhluk

individu, bermasyarakat, dan berbudaya. Landasan sosiologis juga merupakan analisis

ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem

pendidikan. Dalam hal ini pendidikan dipandang sebagai proses interaksi antara

pendidik dengan mahasiswa, antara generasi satu dengan generasi lain dengan

berbagai potensi budaya yang berkembang pada masanya. Sehubungan dengan hal itu

secara sosiologis seyogyanya norma dasar pendidikan bersumber dari norma

kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu masyarakatnya. Dengan kata lain

pengembangan pendidikan, termasuk di dalamnya pengembangan pembelajaran

mengacu pada sosiokultural dari masyarakat yang bersangkutan lebih-lebih dalam

kondisi sosiokultural masyarakat Indonesia yang multikultur. Kondisi kemultikulturan

juga tampak di Universitas Pendidikan Ganesha. Kondisi semacam itu menuntut

adanya upaya untuk mewujudkan keberadaan pendidikan sebagai proses

pengembangan berpikir kritis untuk transformasi budaya (Karim, 2009).

Sebagaimana dimisikan dalam kecendrungan pembelajaran abad 21, yang

menekankan bahwa pendidikan seyogyanya mengembangkan kemampuan berpikir

kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif merupakan modal dalam tramsformasi

pendidikan kemanusiaan yang berkeadilan.

Hal tersebut sejalan dengan pandangan yang memposisikan proses pendidikan

sebagai proses pembudayaan, yang memperkenalkan dan memahami kehadiran sub-

subbudaya lain yang ada dalam kehidupan masyarakat.

D. Landasan Psikologis

10

Page 11: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

Pada akhir tahun 70an, di bawah pengaruh psikologi kognitif, berkembang

perspektif konstruktivis dalam pembelajaran. Konstruktivisme adalah suatu sudut

pandang atau perspektif tentang belajar yang percaya bahwa setiap individu

memperoleh pengetahuan dengan cara membangun pengetahuan itu melalui interaksi

pengetahuan awal yang dimilikinya dengan lingkungan. Konstruktivisme

mengandung pengertian bahwa dalam belajar, seseorang membangun (to construct)

pemahamannya tentang dunia. Konstruktivisme bukanlah tentang suatu teknik

tertentu dalam pembelajaran, melainkan suatu cara pandang atau cara berfikir tentang

proses perolehan pengetahuan. Ada dua kata kunci dalam pembelajaran yang

konstruktivis, yaitu aktif (active) dan makna (meaning) (Elliott, dkk, 2000):

“Mahasiswa tidak semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi yang dipelajari serta tugas yang akan dipentaskan; memilih informasi yang dianggapnya relevan, dan memahami informasi tersebut berdasarkan pengetahuan yang ada padanya, dan kebutuhannya. Mahasiswa menambahkan informasi yang diperlukannya tidak selalu dari materi yang disediakan dosen. Ini merupakan suatu proses yang aktif karena mahasiswa harus melakukan berbagai kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotorik agar informasi tersebut bermakna bagi dirinya.”

Dalam perspektif konstruktivisme, belajar merupakan suatu proses konstruksi

pengetahuan akibat dari interaksi seseorang dengan lingkungannya; dalam mana

terjadi suatu mental restructuring yang bersifat dinamis. Sebagai contoh dalam

perkembangan berbahasanya, seseorang mungkin memproduksi ungkapan lain akibat

stimulus tertentu. Stimulus yang berupa kalimat perintah, “Dilarang membuang

sampah sembarangan!”; dapat menjadi berbagai ekspresi, baik yang sesuai maknanya

maupun tidak, seperti menjadi, “tidak membuang sampah di kelas”, atau “silahkan

buang sampah di tempat lain”. Bahkan sejak mulai mengakuisisi bahasa, manusia

adalah seorang konstruktivis sejati.

Karena konsep pemerolehan pengetahuan secara konstruktif tersebut,

mahasiswa perlu mendapat kesempatan secara berkelanjutan untuk berlatih

mengkonstruksi pengetahuannya, bukan sekadar mengingat informasi dari dosen dan

dibaca dari buku. Agar hasil belajar bermakna, mahasiswa perlu mendapat

pengetahuan dan pengalaman, lalu meramunya sedemikian rupa menjadi sesuatu yang

bermakna bagi dirinya. Dosen dapat memfasilitasi mahasiswa membangun

11

Page 12: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

pengetahuannya dengan cara mendengarkan gagasan mereka dan mendorong mereka

mengajukan pertanyaan, mendorong mahasiswa aktif berpartisipasi dalam diskusi dan

mencipta, menyediakan beragam sumber informasi sehingga mahasiswa memperoleh

input dari berbagai perspektif, mendorong mereka membandingkan gagasan, ada

kegiatan menulis sehingga mahasiswa memikirkan gagasan-gagasannya.

Secara umum, terdapat dua perspektif tentang bagaimana konstruksi

pengetahuan itu terwujud pada mahasiswa; yaitu yang menyatakan bahwa mahasiswa

itu sendiri mampu membangunnya, tapi ada pula yang menyatakan bahwa konstruksi

pengetahuan terjadi dalam interaksi sosial seperti dengan teman sebaya dan keluarga.

Pemikiran bahwa konstruksi pengetahuan terjadi secara personal diungkapkan oleh J.

Piaget, yang mengatakan bahwa proses mental restructuring sangat ditentukan oleh

individual differences masing-masing mahasiswa; jadi proses konstruksi berlangsung

secara mensubjek pada setiap individu. Dalam pandangan Piaget, konstruksi makna

terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi adalah proses akuisisi

pengetahuan yang sesuai dengan yang sebelumnya telah ada pada skema kognitifnya;

dan proses akomodasi adalah proses akuisisi terhadap hal-hal baru yang belum ada

dalam skema kognitif yang bersangkutan. Pada dasarnya proses tersebut bertujuan

untuk menyeimbangkan keadaan kognitif yang bersangkutan (ekuilibrium).

Keseimbangan yang dicapai dapat menunjukkan telah terjadi proses asimilasi dan atau

akomodasi dalam skema yang bersangkutan.

Pemikiran bahwa konstruksi makna terjadi akibat interaksi sosial dinyatakan

oleh Vygotsky yang mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses

interaksi sosial dengan orang lain yang lebih mampu (dalam istilah Vygotsky: skilled

individuals) (Kim, 2001; Kauffman, 2004). Terdapat tiga asumsi yang mendasari

bagaiman mahasiswa belajar dalam pandangan konstruktivisme (Kim, 2001), yaitu

kenyataan (reality), pengetahuan (knowledge), dan belajar (learning). Dalam

pandangan konstruktivisme, kenyataan (reality) dibangun melalui proses interaksi

sosial dan lingkungan. Karenanya, kenyataan tidak bisa ditemukan oleh seseorang

secara individu. Selanjutnya, pengetahuan (knowledge) adalah produk yang

dikonstruksi secara sosial dan kultural, sehingga pengetahuan akan bermakna apabila

mahasiswa berinteraksi dengan lingkungan dan budaya sekitar saat mereka belajar.

Belajar (learning) dipandang sebagai proses sosial yang tidak bisa dibangun secara

pasif, di mana belajar yang bermakna akan terjadi apabila mahasiswa terlibat dalam

aktivitas-aktivitas sosial seperti interaksi, kerja sama, dan kolaborasi.

12

Page 13: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

Dalam perspektif konstruktivisme sosial, setiap orang memiliki wilayah

perkembangan kognitifnya yang disebut dengan Zone of Proximal Development

(ZPD). Konstruksi makna secara optimal (upper limit dari ZPD) diyakini akan terjadi

jika proses akuisisi pengetahuan dilakukan dalam lingkungan sosial budaya yang

sesuai. Interaksi sosial untuk mencapai makna difasilitasi/dimediasi oleh seseorang

atau sesuatu yang lebih tahu (more knowledgeable other/MKO). Dengan kehadiran

mediator itu, maka mahasiswa dapat mengoptimalkan konstruksi pengetahuannya

hingga mencapai batas atas perkembangannya (Marhaeni, 2015). Taber (2006)

mengatakan bahwa setiap orang memiliki pandangan subjektif tersendiri dalam

memahami dunia, tapi banyak juga kesamaan dan pola-pola umum dalam pandangan-

pandangan yang berbeda tersebut. Kesamaan dan pola-pola umum ini biasanya

diterima secara social dan kultural. Hal-hal tersebut akan digunakan sebagai alat

untuk mengkonstruksi pengetahuan. Jadi, konstruktivisme sosial menekankan pada

pentingnya budaya dan konteks dalam memahami apa yang terjadi di masyarakat dan

membangun pengetahuan berdasarkan pemahaman tersebut.

III. Komponen Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Falsafah THK

Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan

prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai

tujuan tertentu serta berfungsi sebagai pedoman dalam merencanakan dan

melaksanakan pembelajaran. Arends (1997) mengemukakan, model pembelajaran

mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu: rasional teoretik, pandangan tentang apa yang

mahasiswa pelajari dan bagaimana mereka belajar (tujuan pembelajaran), perilaku

dosen (syntax), dan lingkungan belajar. Sedangkan Joyce, et al. (1992)

mengungkapkan model pembelajaran memuat 5 hal pokok yaitu: syntax, sistem sosial,

prinsip reaksi, sistem pendukung, serta dampak instruksional dan pengiring. Namun

demikian pada dasarnya kedua pendapat ini mempunyai kesamaan dalam

penjabarannya. Selanjutnya penjelasan model pembelajaran MPK berlandaskan

falsafah THK menggunakan komponen model yang dikemukakan oleh Joyce et al.

(1992).

A. Sintaks (Syntax)

Syntax menunjuk pada keseluruhan alur atau urutan kegiatan belajar mengajar.

Syntax menentukan jenis-jenis tindakan dosen dan mahasiswa yang diperlukan,

13

Page 14: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

urutannya dan tugas-tugas untuk mahasiswa (Arends, 1997). Syntax dideskripsikan

dalam urutan aktivitas yang disebut fase atau tahap; setiap model memiliki alur fase

yang berbeda (Joice, et al.,1992). Syntax model pembelajaran MPK berlandaskan

nilai-nilai falsafah THK adalah: (1) Pendahuluan; (2) Inti (Think, Heart, dan

Kinestetic); dan (3) Penutup.

a. Fase Pendahuluan

Fase pendahuluan adalah fase untuk menciptakan atmosfir pembelajaran yang

baik. Fase ini terdiri dari kegiatan awal, menarik perhatian, membangkitkan

motivasi, memberi acuan, dan melakukan apersepsi.

Aktivitas yang dilakukan pada tahap awal adalah untuk menciptakan kondisi

lingkungan belajar yang kondusif, yang antara lain meliputi kegiatan

menyampaikan salam, mengecek lingkungan belajar, berdoa dan mengecek

kehadiran. Beberapa nilai-nilai falsafah THK yang ditanamkan sebagai

berikut.

Tabel 3.1 Fase Pendahuluan Pembelajaran Berlandaskan falsafah THK

No. Aktivitas Lingkup Nilai Falsafah THK1 Salam pembuka Peduli sesama, saling menghormati2 Mengecek lingkungan belajar Peduli lingkungan3 Berdoa awal kegiatan Beriman dan Bertakwa4 Membangun kehangatan Peduli sesama5 Mengecek kehadiran Disiplin6 Apersepsi dan Motivasi Kepekaan terhadap masalah sekitar,

kesiapan belajar, kesadaran pengembangan diri, dorongan untuk mencapai nilai-nilai positif

b. Fase Inti

Dalam fase inti, proses pembelajaran dapat dilakukan secara individu

ataupun secara kolaboratif untuk menemukan dan membahas konsep atau

topik pembelajaran. Namun demikian untuk menumbuhkembangkan nilai-

nilai falsafah THK melalui pembelajaran sebaiknya menggunakan diskusi

kelompok kecil. Fase ini pada dasarnya mengharapkan mahasiswa dapat

belajar sesuai dengan konsep 4 pilar yang ditawarkan oleh UNENSCO yaitu

learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together.

Dengan 4 pilar belajar di atas mahasiswa memperoleh/mengalami pengalaman

belajar yang bermakna. Dalam fase inti Model Pembelajaran MPK

Berlandaskan Nilai-nilai Falsafah THK ini terdiri dari tiga komponen yang

14

Page 15: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

terjadi secara tidak berurutan (unsquensial) antara Think-Heart-Kinestetic

(Gambar 3.1)

Gambar 3.1. Komponen Inti Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Falsafah THK

Peran dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran MPK berlandaskan

falsafah THK diuraikan secara ringkas dalam Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Fase Inti Pembelajaran Berlandaskan falsafah THK

Fase AktivitasThink(Berpikir)

Mahasiswa secara berkelompok maupun individu merumuskan pemecahan masalah kontekstual dalam kajian MPK di mana di dalamnya terkandung nilai-nilai THK;

Dosen menstimulus mahasiswa untuk berpikir kritis transformatif dalam mengkaji permasalahan dan fenomena kontekstual dalam kajian MPK yang dikaitkan dengan nilai-nilai THK.

Heart(Menghayati, sebagai fase fundamental penerapan model pembelajaran MPK berlandaskan falsafah THK)

Mahasiswa secara berkelompok maupun individu melaksanakan internalisasi dan berlatih berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai falsafah THK dalam pemecahan masalah kontekstual kajian MPK;

Dosen memfasilitasi terjadinya internalisasi dan memberi kesempatan berlatih berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai falsafah THK dalam pemecahan masalah kontekstual kajian MPK.

Kinestetic(Bertindak)

Mahasiswa mendemostrasikan atau melakukan reproduksi hasil kajian atau pemecahan masalah kontekstual kajian MPK yang mengandung nilai-nilai falsafah THK secara kolaboratif, kritis dan

15

Penilaian dan EvaluasiKINESTETIC

(Bertindak)HEART

(Menghayati)

THINK(Berpikir)

Page 16: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

kreatif; Dosen memfasilitasi, memberikan motivasi, dan

konfirmasi dalam mendemonstrasikan atau melakukan reproduksi hasil kajian atau pemecahan masalah kontekstual kajian MPK yang mengandung nilai-nilai falsafah THK.

c. Fase Penutup

Pada tahap ini, dilakukan aktivitas sebagai berikut:

Tabel 3.3 Fase Penutup Pembelajaran Berlandaskan falsafah THKAktivitas Lingkup Nilai Falsafah THK

Penilaian/Evaluasi Tanggung jawab, kejujuran, kedisiplinan, dan dorongan berprestasi

Refleksi Kesadaran diri pebelajar tentang materi yang dipelajari dan proses interaksinya dengan sesama dan lingkungan

Tindak Lanjut Penguatan kapasitas diriMemeriksa lingkungan kelas

Kesadaran lingkungan

Doa Rasa syukur, tunduk hati, dan kesadaran untuk menjadi yang lebih baik

B. Sistem Sosial

Joyce, et al. (1992) menyatakan bahwa sistem sosial menggambarkan aturan

dan hubungan antara mahasiswa dengan dosen dan jenis norma yang disepakati.

Aturan kepemimpinan dosen sangat bervariasi antara satu model dengan model yang

lain. Dalam suatu model dosen bisa berperan sebagai fasilitator, bisa sebagai

pembimbing individu, dan lainnya seperti dosen sebagai pemberi tugas. Dalam

beberapa model dosen merupakan pusat aktivitas, sumber informasi, pengorganisasian

dan pengendali situasi (High Structure). Ada juga model yang mendistribusi aktivitas

yang setara antara mahasiswa dengan dosen (Moderate Structure). Sedangkan model

lainnya menempatkan mahasiswa sebagai pusat pebelajaran, sangat menjunjung tinggi

kehidupan sosial dan perbedaan intelektual (Low Structure).

Sistem sosial yang dianut Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Nilai-nilai

THK adalah Law structure (student centered learning) artinya model Pembelajaran

MPK Berlandaskan Nilai-nilai THK memposisikan mahasiswa sebagai pusat

pembelajaran, menjunjung tinggi kehidupan sosial dan memperhatikan perbedaan

individu. Penekanan dalam Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Nilai-nilai THK

16

Page 17: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

adalah konstruktivis. Oleh karena itu, dalam Model Pembelajaran MPK Berlandaskan

Nilai-nilai THK mahasiswa diberi kesempatan secara maksimal untuk

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dengan kemampuan yang dimiliki masing-

masing, dan dosen memposisikan diri sebagai fasilitator dan mediator. Kegiatan

pembelajaran yang dilakukan menimbulkan interaksi timbal balik antara dosen dan

mahasiswa. Interaksi pada Pembelajaran MPK Berlandaskan Nilai-nilai THK akan

mengukuhkan hubungan dosen dan mahasiswa sebagai individu yang saling

mempercayai.

Sistem sosial dalam model pembelajaran MPK berlandaskan falsafah THK

dicirikan oleh tercerminnya nilai-nilai THK di dalam interaksi yang terjadi di dalam

proses pembelajaran. Adapun insersi nilai-nilai THK tersebut dapat terjadi seperti

berikut:

(a) Saling mengakui keberadaan teman dan menghargai kemampuan

teman/toleran, berpegang pada etika, bahasa yang santun dan

mengembangkan sikap sosial dalam kelompok untuk meraih prestasi

sesuai dengan kemampuan masing-masing.

(b) Setiap orang menyadari bahwa masing-masing memiliki kekurangan-

kekurangan (kesadaran akan potensi diri) sehingga timbul rasa saling

membantu satu dengan lainnya.

(c) Saling mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli,

santun, ketundukhatian, melakukan refleksi, proaktif dalam setiap proses

pembelajaran.

(d) Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar dan melatih

keterampilan.

C. Prinsip Reaksi

Prinsip reaksi menceritakan bagaimana aksi dosen terhadap mahasiswa dan

bagaimana mahasiswa merespon tugas yang diberikan dosen. Pada tahap

pendahuluan, dosen berusaha menggali pengetahuan awal mahasiswa dan

mengkaitkan pengetahuan awal mahasiswa dengan materi/konsep yang sedang

dipelajarai. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa dosen memposisikan diri sebagai

mediator dan fasilitator dalam pembelajaran sehingga bantuan berupa scaffolding

kepada mahasiswa akan dilakukan jika dipandang sangat diperlukan. Dosen

memberikan penguatan terhadap mahasiswa yang telah menunjukkan kemajuan yang

17

Page 18: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

berarti baik dalam hal pengetahuan, keterampilan, maupun sikap mahasiswa.

Sebaliknya kalau mahasiswa belum menunjukkan kemajuan yang berarti, dosen

memberikan penguatan ke arah yang benar. Reaksi yang diberikan oleh dosen

berkontribusi positif terhadap proses konstruksi pengetahuan dalam pembelajaran

mahasiswa. Respons yang diberikan dosen sangat tergantung dari stimulus yang

ditunjukkan mahasiswa. Prinsip reaksi dalam pembelajaran MPK yang berlandaskan

falsafah THK antara lain dicerminkan dalam bentuk: kejujuran, ketulusan, dan nilai-

nilai THK lain yang relevan.

D. Sistem Pendukung

Sistem pendukung yang dimaksud dalam hal ini adalah kondisi pendukung apa

yang diperlukan sehingga Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Falsafah THK

tetap dapat terlaksana dengan baik dan efektif. Agar model dapat berjalan sesuai

dengan rencana, diperlukan antara lain: pemahaman dosen tentang konsep model

pembelajaran berlandaskan falsafah THK, penguasaan dosen tentang nilai-nilai pada

falsafah THK, keterampilan dosen dalam melaksanakan model pembelajaran

berlandaskan falsafah THK, dan permasalahan kontekstual yang memuat nilai-nilai

THK.

E. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring

Menurut Joyce dan Weil (2009) ada dua dampak yang terjadi dalam penerapan

model pembelajaran yaitu: dampak instruksional dan dampak pengiring. Dampak

instruksional dari penerapan Model Pembelajaran MPK Berlandaskan Falsafah THK

adalah memudahkan mahasiswa menguasai konsep terkait dengan materi yang sedang

dibelajarkan sesuai dengan indikator yang harus dicapai; sedangkan dampak

pengiringnya yaitu terbentuknya karakter baik pada mahasiswa yang mencerminkan

nilai-nilai falsafah THK, yaitu adanya keselarasan hubungan dengan Tuhan (beriman,

bertakwa, syukur), dengan sesama (peduli sesama, toleransi, kesetiakawanan), dan

dengan lingkungan (peduli lingkungan, menghargai alam).

F. Sistem Penilaian dan Evaluasi

Penilaian terhadap proses dan hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran

MPK berlandaskan nilai-nilai falsafah THK dilakukan terhadap dampak instruksional

maupun dampak pengiring. Penilaian terhadap dampak instruksional dari internalisasi

18

Page 19: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

nilai-nilai falsafah THK dilakukan secara terintegrasi dengan penilaian konten MPK;

sedangkan dampak pengiringnya dilakukan dalam bentuk penilaian dalam proses

pembelajaran (penilaian sikap dan partisipasi).

Dampak instruksional mencerminkan pencapaian CP sikap yang ditetapkan

sebelumnya. Untuk menilainya, dapat dilakukan bersama-sama dengan penilaian

materi kajian MPK yang dipelajari dengan menggunakan rubrik penilaian dan

instrument penilaian lain yang relevan.

Dampak pengiring dinilai dalam proses pembelajaran, di mana nilai-nilai THK

digunakan untuk memfasilitasi proses pembelajaran. Penilaian dilakukan dengan

observasi dan cara lain yang relevan. Penilaian dampak pengiring ini diharapkan

menjadi data untuk unsur penilaian sikap dan partisipasi dalam Kurikulum Undiksha

2016. Adapun prinsip-prinsip penilaian dan prosedur penilaian serta pelaporannya

mengikuti ketentuan pada Kurikulum Undiksha 2016.

Daftar Pustaka

Adisusilo J.R., S. (2012). Pembelajaran Nilai-Karakter. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Atmadja, N. Bawa. (2014). Undiksha: Unggul dalam Prestasi Berbasis Tri Hita Karana. Perspektif Post-Strukturalis. Makalah. Singaraja: Undiksha.

Basic Framework for Higher Education development KPPTJP IV (2003-2010). (2003). Diakses 4 November 2013, dari http://archive.web.dikti.go.id/2009/KPPTJP_2003_2010.pdf.

Buku Panduan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Tinggi: Sebuah Alternatif Penyusunan Kurikulum. (2008). Diakses 4 November 2013, dari http://www.dikti.go.id/files/atur/PanduanKBK-Dikti2008.pdf.

Dantes, Nyoman. (2018). Pedagogik dalam Perspektik. Singaraja: Ganesha Press

Darmayasa. (2013). Bhagavad Gita. Denpasar: YayasanDharma Sthapanam

Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2014). Kurikulum Perguruan Tinggi Sesuai KKNI. Jakarta: Dirjen Dikti.

Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan. (2014). Panduan Penyusunan Capaian Pembelajaran Lulusan Program Studi. Jakarta: Dirjen Dikti.

19

Page 20: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

Elliott, S.N. et al. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. Boston: Mc.Graw Hill.

Hidayat, Rakhmat. (2013). Paedagogi Kritis. Sejarah Perkembangan dan Pemikirannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

International Standard Classification of Occupations Structure, Group Definitions and Correspondence Tables.(2012). Diakses 4 November 2013, dari http://www.ilo.org/ wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/---publ/documents/publication/wcms_ 172572.pdf.

International Standard Classification of Education (ISCED). (2012). Diakses 4 November 2013, dari http://www.uis.unesco.org/Education/Documents/ised-2011-en.pdf.

Kahn,Joel S. (2016). Kultur, Multikultur, Postkultur, Keragaman Budaya dan Imperialisme Kapitalisme Global. Jln. Ringroad Barat. INDeS.

Karim, Muhammad. (2009). Pendidikan Kritis Transformatif. Jogjakarta: AR-Ruzz Media

Kaufman, D. (2004). Constructivist issue in Language Learning and Teaching. Annual Review of Applied Linguistics, 24, 303-319.

Kawuryan, Sekar Purbarini. (2009). Bahan Ajar Mata Kuliah Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: UNY.

Keputusan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia No.44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi

Kim, B. (2001). Social constructivism. Emerging perspectives on learning, teaching, and technology, 1(1), 16.

Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our School Can Respect and Responsibility. New York: Bantan Books.

Lubis, Nur A. Fadhil. (2006). Multikulturalisme dalam Politik. Jurnal Antropologi Sosial Budaya, Vol II.No. 1 April 2006. Medan USU

Marhaeni, A.A.I.N. (2015). Landasan dan Inovasi Pembelajaran. Singaraja: Undiksha Press

Meeting Basic Learning Needs: A Vision for 1990s. (1990). Diakses 2013, dari 4 November http://unesdoc.unesco.org/images/0009/000975/097552e.pdf.

Nada Atmaja, dkk. (2010). Etika Hindu. Surabaya: Paramita

Ormrod, J. E. (2006). Educational Psychology: Developing Learners. Ohio: Pearson

Parekh, Bhikhu. (2008). Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik. Yogyakarta: Kanisius.

Peraturan Presiden R.I. No 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia

20

Page 21: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015. Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi

Perpres No. 8 Tahun 2012. Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.

Report to UNESCO for the International Commision on Education for the Twenty-First Century (1996). Diakses 4 November 2013, dari http://www.unesco.org/education/ pdf/15_62.pdf.

Santrock, J. W. (2006). Educational Psychology. Boston: McGraw-Hill.

Slavin, R.E. (2006). Educational Psychology. Boston: Allyn and Bacon.

Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (SPT-JP atau HELTS), 2003-2010. (2004). Diakses 4 November 2013, dari http://www.inherent-dikti.net/files/HELTS2003-2010B.pdf.

Sudira, Putu. (2014). Perguruan Tinggi Unggul Berbasis Tri Hita Karana. Makalah. Singaraja: Undiksha.

Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L. (1976). Values Education Sourcebook. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc.

Taber, K.S. (2006). Beyond Constructivism: The Progressive Research Programme into Learning Science Studies in Science Education, 42, pp 125-184

Undang-Undang R.I. No. 12 Tahun 2012 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi

Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Wirawan, I M. A. (2011). Tri Hita Karana: Kajian Teologi, Sosiologi dan Ekologi Menurut Veda. Surabaya: Paramita.

Woolfolk, A. (2009). Educational Psychology: Active Learning. Boston: Pearson.

21

Page 22: lp3m.undiksha.ac.idlp3m.undiksha.ac.id/wp-content/uploads/2018/07/Model... · Web viewPengembangan pembelajaran semacam itu sangat penting diupayakan, baik karena tuntutan visi dari

22