lokakarya pemahaman bersama iman kristen (pbik) 2019

294

Upload: berilhuliselan

Post on 04-Sep-2020

81 views

Category:

Documents


13 download

Tags:

DESCRIPTION

Prosiding dari rangkaian diskusi pembaruan Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) yang berlangsung pada pertengahan 2018 sampai dengan pertengahan 2019.

TRANSCRIPT

Page 1: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019
Page 2: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

1Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Page 3: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

2 Prosiding

Prosiding Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

oleh:Bidang Keesaan dan Pembaruan Gereja &Biro Litbang Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia

ISBN: 978-979-8558-27-6

Persekutuan Gereja-Gereja di IndonesiaJl. Salemba Raya No. 10Jakarta Pusat (10430)Telp. (021) 3150451Fax. (021) 3150455Email: [email protected]

Tim DKG 2019-2024 dan Lokakarya PBIK:• Pdt. Zakaria J. Ngelow• Pdt. Julianus Mojau• Pdt. Ratna Lesawengan• Pdt. Irene Umbu Lolo• Pdt. Harley Pattianakota• Trisno Sutanto• Beril Huliselan

Desain Sampul dan Tata Letak: Beril Huliselan

Penyunting: Pdt. Julianus Mojau dan Beril Huliselan

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang

Cetakan ke-1, September 2020

Page 4: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

3Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Sambutan Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia

Sambutan Badan Pelaksana Harian Majelis Sinode Am Gereja Protestan Indonesia

Pengantar

Pendahuluan

• Telaah Kritis-Konstruktif Terhdap Struktur dan Isi PBIK (Joas Adiprasetya).................................................................. 17

• Telaah Kritis-Konstruktif Terhadap Struktur dan Isi PBIK (Riris Johanna Siagian) .................................................... .... 23

• Pergumulan Eklesiologi Pentakosta(Junifrius Gultom) ................................................................. 45

• Tantangan Bagi Gereja Indonesia dalam Milenial (BS. Mardiatmadja, SJ.) ........................................................ 71

• Penelaahan Terhadap Struktur dan Isi Pehaman Bersama Iman Kristen PGI (Andreas Himawan) ............................................................. 91

• Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) PGI 1984: Ringkasan Pokok-pokok Iman dan Unsur-unsur Pemahamannya.................................................................... 103

• Draft Pernyataan Iman Gereja-Gereja di Indonesia............. 109

• Rekomendasi Diskusi Pleno Lokakarya PBIK....................... 111

• Hasil Lokakarya PBIK Mengenai RevisiPemahaman Bersama Iman Kristen...................................... 151

Daftar Isi

Page 5: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

4 Prosiding

Lampiran

• Focus Group Discussion Mengenai Eklesiologi, 30 Maret 2018................................................... 159

• Sesi I: Tinjauan Teologis-Kontekstual Terhadap Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI 2014-2019 (Emanuel Gerrit Singgih)

• Sesi II: Tinjauan Teologi-Kontekstual Terhadap Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI 2014-2019 (Emanuel Gerrit Singgih)

• Usulan Untuk Upaya Pembaruan DKG PGI 2014-2019 (Yolanda Pantou)

• Catatan FGD Eklesiologi, 30 November 2018

• Penelitian Model Bergereja: Catatan dari Enam Gereja, 2018.......................................... 213

• Susunan Acara, Lagu dan Foto Lokakarya PBIK................. 279• Susunan Acara Lokakarya PBIK• Lagu-Lagu Selama Lokakarya PBIK• Foto-Foto Lokakarya PBIK

Page 6: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

5Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Sambutan Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menyambut baik upaya bersama lintas gereja untuk membincangkan Dokumen Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) di tengah tantangan yang berubah begitu cepat. Dalam beberapa tahun terakhir kita menyaksikan pergerakan politik lokal yang berkelindan dengan dengan berkembangnya sentimen identitas, eksploitasi sumber daya alam dan bencana ekologis, di mana Pandemi menjadi bagian di dalamnya, telah berdampak pada rusaknya kehidupan manusia, kebudayaan dan alam. Pembongkaran lahan, sebagaimana dicatat dalam penelitian Biro Litbang PGI mengenai “Pergulatan dan Keterlibatan Gereja dalam Keadilan Ekologis” (2017), untuk kepentingan pertambangan dan perkebunan menimbulkan kerusak-an bentang alam serta pencemaran air, tanah, udara dan laju deforestasi. Di tengah-tengah ini kita menyaksikan gesekan sosial serta merebaknya berbagai penyakit yang mengakibatkan kerusakan permanen pada manusia, bahkan korban jiwa, di banyak lokasi di Indonesia. Gereja sendiri kadang berada dalam situasi yang tidak mudah mengingat tantangan tersebut kerap kali membawa dampak ke dalam kehidupan gereja dan menimbulkan persoalan di wilayah peran misioner gereja.

Dalam konteks ini, kita bisa memahami sorotan Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2019-2024 mengenai krisis ekologi yang berkelindan dengan krisis kebangsaan di mana kekuasaan politik tidak lagi melayani masyarakat luas sebagai sebuah bangsa, namun sebagaimana digambarkan DKG 2019-2024: “…semata ditujukan untuk melayani kepentingan diri atau kelompok sendiri. Di situ tujuan demokrasi dibajak oleh para politisi yang memakai sentimen identitas, termasuk pandangan keagamaan yang ekstrem, dan politik transaksional yang diselimuti oleh prosedur dan mekanisme

Page 7: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

6 Prosiding

demokratis”. Tantangan ini semakin rumit mengingat revolusi teknologi yang berkembang saat ini membawa dampak disruptif dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk polarisasi akibat akselerasi dalam penyebaran ujar kebencian, produksi hoaks dan kampanye hitam.

Dalam situasi seperti ini, gereja perlu merumuskan dirinya dalam dialog dengan tantangan yang kompleks tersebut, khususnya untuk kerja sinergis lintas gereja dalam penguatan persekutuan, kesaksian dan pelayanan. Pada titik ini, PBIK perlu ditempatkan secara dialogis dengan sejumlah krisis yang menjadi tantangan gereja agar, pertama, semakin kontekstual dengan pergulatan gereja-gereja di Indonesia. Kedua, semakin memperkuat konvergensi lintas gereja dalam rangka misi bersama di bumi Indonesia. Ketiga, memperkuat arak-arakan gereja dalam bingkai Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.

MPH PGI mengucapkan terima kasih kepada Tim yang bekerja untuk menyiapkan lokakarya dan dokumen yang dibutuhkan untuk mendorong proses percakapan PBIK. Terima kasih juga untuk dukungan gereja-gereja dan berbagai mitra dalam proses ini.

Atas Nama Majelis Pekerja HarianPersekutuan Gereja-Gereja di Indonesia

Pdt. Gomar Gultom Pdt. Jacklevyn F. Manuputty (Ketua Umum) (Sekretaris Umum)

Page 8: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

7Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Sambutan Badan Pelaksana HarianMajelis Sinode Am Gereja Protestan Indonesia

Salam Persaudaraan,

Badan Pelaksana Harian Majelis Sinode Am Gereja Protes-tan Indonesia (BPH MSA GPI) menyambut dengan sukacita per-mohonan dari Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH PGI) untuk menjadi tuan dan nyonya rumah bagi penyelenggaraan Lokakarya Revisi Pemahaman Bersama Iman Kris-ten (PBIK) sebagai salah satu dokumen penting yang disampaikan pada Sidang Raya PGI pada bulan November 2019 di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Dokumen ini merupakan landasan keesaan Gereja untuk saling menerima keragaman ekspresi iman dan sekaligus menjadi pijakan bagi gereja-gereja melaksanakan pewartaan Injil dalam kon-teks masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Program ini se-laras dengan Pokok-Pokok Program GPI 2019, yakni tentang Loka-karya eklesiologi yang sedianya dilaksanakan pada bulan September 2019 dengan Majelis Sinode GPIB sebagai tuan dan nyonya rumah. Dalam rangka efisiensi, kami mengambil kebijakan untuk menyatu-kan kedua kegiatan ini. Karena itu, keterlibatan peserta lebih ban-yak dari 12 Sinode Gereja Bagian Mandiri dan Komisi Teologi GPI. GPI sungguh merasa beruntung mendapat kesempatan per-tama terlibat dalam studi mendalam tentang Dokumen PBIK ini sehingga besar harapan kami keterlibatan GPI akan memberi kon-tribusi positif dalam Lokakarya ini. Kami menyampaikan terima ka-sih kepada Majelis Sinode GPIB sebagai bagian dari GPI yang telah memfasilitasi kedua kegiatan ini.

Page 9: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

8 Prosiding

Selamat berlokakarya, Tuhan memberkati

Pdt. Liesje A Sumampouw(Ketua Umum BPH MSA GPI)

Page 10: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

9Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) yang ada di tangan kita sudah berusia 35 tahun (1984-2019). Sejauh catatan tersedia bahwa PBIK pernah mengalami perubah-an pada Sidang Raya Persekutuan Gereja-Gereja di Indo-

nesia (PGI) yang berlangsung di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada tahun 2000. Setelah itu, revisi PBIK belum pernah dilakukan lagi mengingat perhatian lebih banyak diberikan kepada pembaruan Pokok-Pokok Panggilan Bersama (PPTB) yang ada di dalam Doku-men Keesaan Gereja (DKG). Secara normatif, muatan PBIK pada dasarnya dapat diterima oleh gereja-gereja di Indonesia. Namun, berdasarkan beberapa kali diskusi yang dilakukan oleh Komisi Te-ologi PGI, berada di bawah Bidang Keesaan dan Pembaruan Gereja (KPG) PGI, disadari bahwa revisi dokumen-dokumen dalam DKG sebaiknya menyertakan dokumen PBIK. Dalam serangkaian percakapan di Komisi Teologi PGI, di sadari bahwa ada pokok ajaran yang belum menjadi bagian dari do-kumen PBIK, seperti ajaran tentang sakramen dan jabatan gere-jawi. Kedua pokok ini ditempatkan dalam praktik gerejawi sehingga masuk dalam dokumen Komitmen Keesaan. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada anggota Komisi Teologi PGI yang telah mengingatkan dan menyadarkan kami tentang hal ini. Selain itu, ada juga tantangan mengenai hubungan pokok-pokok ajaran Kristen dengan kehidupan sehari-hari. Sejumlah tantangan nyata seperti perlunya penghargaan terhadap hak-hak dan martbat kaum marginal (LGBTQ), difabel, masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, perlunya tata ekonomi dan politik yang berkeadilan, pluralitas agama dan perkembangan kebudayaan telah menjadi pemicu untuk menggumuli relevansi pokok-pokok

Pengantar

Page 11: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

10 Prosiding

iman Kristen dalam dokumen PBIK 1984-2019. Hal ini juga terli-hat di dalam percakapan peserta Lokakarya PBIK yang berlangsung di Depok, Jawa Barat. Karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada peserta lokakarya yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk hadir dan berproses menemukan jawab teologis ter-hadap tantangan masa kini. Kita bersyukur atas terselenggaranya Lokakarya Revisi PBIK PGI, sebagai salah penanda keesaan Gereja-Gereja di Indonesia, pada tanggal 27-29 Mei 2019 di Kinasih Resort Depok, Jawa Barat. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Bidang KPG PGI dalam kerjasama dengan Sinode Am Gereja Protestan Indonesia (Sinode Am GPI) yang mendukung kerja Tim Revis DKG yang dibentuk oleh MPH-PGI dalam rangka Sidang Raya XVII PGI di Sumba, Nusa Tenggara Timur, pada bulan November 2019. Kami mengucapkan terima ka-sih kepada Majelis Pekerja Harian PGI, Badan Pekerja Harian Maje-lis Sinode GPI dan GPIB yang telah menopang kegiatan KPG-PGI ini. Semoga Tuhan memberkati pelayanan kita bersama. Laporan ini memuat proses dan dinamika Lokakarya PBIKyang dilengkapi dengan materi narasumber/panelis dan hasil-hasildiskusi kelompok. Termasuk di dalamnya, catatan-catatan evalu-atif guna perbaikan kegiatan KPG PGI pada masa depan. Semoga hasil lokakarya ini akan mengawali percakapanpercakapan dokrinal dalam pergerakan oikoumenis keindonesiaanke depan.

Soli Deo Gloria!

Jakarta, Wisma STT Jakarta, 5 Juli 2019

Pdt. Julianus Mojau(Sekretaris Eksekutif Bidang KPG-PGI/Penanggungjawab Program)

Page 12: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

11Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Pendahuluan

Latar Belakang

Sejak Sidang Raya X PGI 1984 di Ambon, Gereja-Gereja di Indonesia memiliki Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) sebagai penanda keesaan, yakni: (1) Pokok-Po-kok Tugas Panggilan Bersama (PTPB), (2) Pemahaman

Iman Bersama Iman Kristen (PBIK), (3) Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM), (4) Tata Dasar Persekutuan Ge-reja-Gereja di Indonesia (TD PGI), (5) Kemandirian Teologi, Daya dan Dana (KT2D). Pada Sidang Raya XIII PGI 2000 di Palangka-raya, Kalimantan Tengah, LDKG sebagai penanda keeesaan Gereja-Gereja di Indonesia mengalami perubahan nama menjadi Dokumen Keesaan Gereja (DKG) yang berisi empat dokumen keesaan Gere-ja-Gereja di Indonesia, yaitu: PTPB, PBIK, Oikoumene Gerejawi (OG) dan TD-Tata Rumah Tangga PGI. Salah satu dokumen penting yang menjadi penanda perwu-judan keesaan Gereja-Gereja di Indonesia adalah dokumen PBIK. Keberadaan dokumen PBIK sebagai hasil SR X PGI di Ambon ti-dak lepas dari semangat Konsultasi Nasional Teologi I yang berlang-sung pada tahun 1970 di Sukabumi, Jawa Barat, dan menghasilkan paradigma berteologi pergumulan rangkap. Paradigma ini memberi sumbangan penting bagi kehadiran Gereja-Gereja di Indonesia di tengah tantangan sosial pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Di bawah arahan paradigma inilah, SR VII DGI 1971 di Pematang Siantar, Sumatra Utara, menghasilkan pemahaman baru tentang Pekabaran Injil di antara Gereja-Gereja di Indonesia. Pek-abaran Injil tidak lagi dipahami sekadar upaya menyelamatkan ji-wa-jiwa, melainkan juga upaya memanusiakan manusia di tengah proses modernisasi sosial Indonesia saat itu.

Page 13: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

12 Prosiding

Kita perlu mencatat bahwa paradigma pergumulan rangkap tahun 1970 tidak dapat dilepaskan dari penugasan Sidang Majelis Lengkap Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) VI pada tahun 1967 di Makassar, Sulawesi Selatan, yang mengamanatkan pent-ingnya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) di antara gereja-gereja anggota DGI (sejak SR X DGI di Ambon berubah menjadi PGI). Namun karena beberapa ada beberapa kendala, terutama perbedaan tradisi teologis-konvensional gereja-gereja anggota DGI, draf PBIK yang disiapkan oleh Tim Kerja belum dapat disahkan pada SR VII DGI tahun 1971. Kita dapat memahami penundaan tersebut mengingat latar belakang historis dan pemahaman teologis yang berbeda di antara gereja-gereja anggota DGI/PGI. Secara his-toris, gereja-gereja anggota DGI/PGI lahir dalam konteks kebuday-aan lokal yang beraneka ragam. Latar belakang budaya para peka-bar Injil yang membidani berdirinya gereja-gereja di Indonesia pun amat beragam. Demikian juga dengan keragaman tradisi teologis-konfesional gereja anggota DGI/PGI, antara lain tradisi Lutheran, Calvinis, Injili dan Pentakostal/Neo-Pentakostal/Karismatik. Dokumen PBIK hasil SR X DGI 1984 memuat tujuh pokok iman Kristen, yaitu: (1) Tuhan Allah, (2) Penciptaan dan Peme-liharaan, (3) Manusia, (4) Penyelamatan, (5) Kerajaan Allah dan Hidup Baru, (6) Gereja, dan (7) Alkitab. Selama kurang lebih 35 tahun (1984-2019), struktur dan isi PBIK 1984 tidak pernah ditin-jau, kecuali pada Sidang Raya XIII tahun 2000 di Palangka Raya yang memberi perhatian pada pokok bahasan tentang manusia. Salah satu alasan yang sering dipakai untuk tidak melakukan pen-injauan kembali terhadap dokumen PBIK di setiap SR PGI ialah dokumen tersebut dipandang sangat sensitif mengingat perbedaan tradisi iman-konvensional gereja-gereja anggota PGI. Karena itu, konsentrasi lebih diberikan pada karya misi bersama Gereja-Gereja di Indonesia. Sebenarnya, penghayatan iman warga gereja semakin bergerak ke arah yang cair dan lintas denominasi. Di kalangan para

Page 14: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

13Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

teolog sistematik pun kita menyaksikan pergerakan yang lebih dia-logis dalam menggagas pokok-pokok iman Kristen. Kita memang tidak dapat menafikan adanya pandangan teologis-dogmatis yang bersifat apologetis dan polemis, namun tidak lagi menjadi pandan-gan dan posisi yang satu-satunya (dominan). Tanpa menafikan pendekatan sosiologis-misiologis yang tercermin dalam DKG, kita bisa melihat kemungkinan konver-gensi antartradisi yang beragam dari gereja-gereja anggota PGI itu. Pertanyaannya, apakah isi PBIK (1984/2000-2014) telah mencer-minkan konvergensi tersebut? Selain itu, sejumlah tantangan sep-erti kerusakan lingkunga, demokratisasi dan politik identitas, keti-dakadilan ekonomi, penghargaan terhadap hak-hak kaum marjinal (perempuan, anak, difabel dan LGBTQ) dan semakin menguatnya arus budaya digital dapat menjadi batu-uji relevansi pokok-pokok iman bersama yang dirumuskan 35 tahun lalu. Di sini kita berha-dapan dengan pertanyaan, apakah struktur dan isi PBIK 1984-2019 yang berparadigma pergumulan rangkap, lahir pada tahun 1970-an sd 1990-an, masih mampu menginspirasi gereja-gereja untuk men-jawab tantangan yang ada. Jawaban dari pertanyaan tersebut kiran-ya dapat diperoleh melalui Lokakarya PBIK 2019 yang adalah ruang dialog dalam rangka konvergensi lintas tradisi.

Tujuan

Lokakarya Revisi PBIK 2019 dilakukan dengan tujuan:1. Adanya tinjauan kritis dari para teolog sistematik tentang struk-

tur dan isi PBIK PGI;2. Adanya draft Pokok-Pokok Iman Bersama Gereja-Gereja di In-

donesia sebagai penanda perwujudan keesaannya. 3. Tersedianya draft dokumen pendamping PPTB, Komitmen

Keesaan dan Tata Dasar-Tata Rumah Tangga untuk DKG 2019-2024 sebagai bahan studi pasca Sidang Raya XVII di Sumba.

Page 15: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

14 Prosiding

Ketiga tujuan di atas mengandaikan bahwa draft PBIK yangdiajukan ke SR XVII PGI di Sumba bukan lagi sekadar reprint PBIK tahun 1984.

Langkah-Langkah Percakapan Dalam Lokakarya

Dalam rangka mencapai tiga tujuan di atas, lokakarya di-lakukan sebgai berikut:1. Panel lima teolog sistematik, yakni: Pdt. Dr. Joas Adiprasetya

(Reformed dan WCC), Pdt. Dr. Riris Johanna Siagian, M.Si. (Lu-theran), Pdt. Dr. Andreas Himawan (Injili), Pdt. Dr. Junifrius Gultom (Pentakostal dan Neo-Pentakostal/Karismatik) dan Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja (Katolik). Setiap panelis diharap-kan melakukan telaah kritis terhadap PBIK dari perspektif tra-disi masing-masing bagi pembaruan PBIK.

2. Diskusi peserta dengan para panelis untuk membahas pikiran-pikiran pokok yang ditawarkan oleh para panelis.

3. Perumusan Pokok-Pokok Iman Kristen Bersama dalam konteks Indonesia abad XXI. Sesi ini akan diawali oleh Ketua Tim Re-visi yang menyampaikan rangkuman dari sesi sebelumnya serta mengajukan beberapa pertimbangan tentang Pokok-Pokok Iman Kristen bersama yang akan diperdalam di sesi diskusi kelompok.

4. Pendalaman dalam kelompok berdasarkan topik yang ada dalam PBIK. Peserta dibagi sesuai dengan pokok-pokok iman Kristen untuk menghasilkan rumusan usulan kelompok.

5. Pleno untuk perumusan Pokok-Pokok PBIK. Pada sesi ini se-tiap kelompok melakukan presentasi dan menghasilkan suatu draft awal pokok-pokok iman Kristen yang akan menjadi isi PBIK dalam konteks Indonesia abad XXI. Di sini diupayakan agar diperoleh draft revisi PBIK 2019 yang akan disampaikan kepada SR XVII PGI di Sumba. Namun, sekiranya belum dapat dicapai suatu rumusan yang memadai maka hasil lokakarya ini

Page 16: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

15Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

akan menjadi bahan studi di antara gereja-gereja anggota PGI pasca Sidang Raya XVII PGI. Para Peserta Lokakarya Revisi PBIK 2019 adalah anggota Tim Revisi DKG, Komisi Teologi PGI, utusan GPI dan dosen teologi sistematik dengan rincian sebagai berikut:• Nara Sumber: 5 orang• Tim Revisi DKG (Tim Mater dan Pendamping): 7 orang• Komisi Teologi PGI (Tim Materi dan Pendamping); 3 orang• Utusan GPI: 20 orang• Dosen Teologi: 5 orang• Wakil Gereja Anggota PGI: 5 orang

Page 17: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

16 Prosiding

Page 18: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

17Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Telaah Kristis-Konstruktif Terhadap Struktur dan Isi PBIK

Joas AdiprasetyaPendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta, ditugasi sebagaidosen penuh waktu di STFT Jakarta untuk bidang Teologi Konstruktif; Wakil Ketua IV bidang Relasi Publik; aktif juga sebagai anggota Reference Groups untuk WCC dan WCRC.

1. T adinya saya diminta untuk memberikan telaah dari perspektif Calvinis. Segera saya menolaknya karena dua alasan. Pertama, jika yang diminta adalah perspektif denominasional, maka penamaan

“Calvinis” sebenarnya agak aneh dan tak lazim. Nama yang lebih kerap dipergunakan adalah Reformed atau Presbyterian. Tak pernah saya menemukan sebuah gereja yang mempergunakan nama Calvin sebagai penanda denominasionalnya. Kedua, salah satu pembicara lain adalah Dr. Andreas Himawan yang diminta ulasannya dari perspektif Injili. Memang Reformed dan Injili tidak persis sama; tidak semua gereja Reformed mengklaim diri Injili dan tidak semua gereja Injili mengklaim diri Reformed. Akan tetapi, di dalam konteks Indonesia, saya mendapati bahwa keduanya sangat erat terhubung. Maka, saya menduga bahwa akan muncul pembahasan yang tumpang-tindih antara Pak Andreas dan saya. Karena itu, saya mengusulkan untuk memberikan sumbangan saya dari perspektif oikoumenis dan teologi konstruktif.

2. Sebagaimana kita semua pahami dengan sangat baik, Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) yang kita miliki dalam bentuknya sekarang ini merupakan hasil dari Sidang Raya X DGI/PGI tahun 1984 di Ambon. Itu berarti, ia tidak mengalami perubahan berarti sejak 35 tahun silam − berbeda dari dokumen-dokumen

Page 19: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

18 Prosiding

PGI lainnya yang kerap direvisi − kecuali sedikit perubahan pada Sidang Raya XI PGI di Surabaya pada tahun 1989. Kesan kuat saya adalah bahwa memang gereja-gereja anggota PGI merasa enggan mengotak-atik dokumen konfesional ini. Penyebabnya mungkin ada beberapa. Pertama, mengubah PBIK ini akan sama seperti membangunkan macan tidur. Kita tahu persis bahwa doktrin sangat mudah memunculkan disputasi atau malah memecah-belah. Kedua, minat gereja-gereja tampaknya lebih terarah pada sebuah oikoumenisme yang operatif dan yang berorientasi pada praksis, yang terumus sejak lama melalui istilah “oikoumenisme in action.” Alhasil, tampaknya, doktrin dianggap sebagai yang sekunder. Ketiga, PBIK yang sudah kita miliki sejak lama ini memang isinya “sudah benar.” Lantas, buat apa mengubah apa yang sudah benar?

3. Terhadap alasan yang ketiga ini, saya ingin memberi catatan khusus. Sebuah dokumen konfesional yang seperti PBIK ini memang “sudah benar” dalam arti bahwa ia merupakan kompilasi dari pernyataan-pernyataan doktrinal yang tampil sebagai truism. Sebuah klaim yang berada pada posisi truism memang sudah benar dari sananya. Sebab, tampaknya, para perumus PBIK tiga puluh lima tahun silam berusaha untuk menemukan “dasar bersama” dari kemajemukan doktrinal yang ditemukan di dalam gereja-gereja anggota DGI/PGI. Singkatnya, pendekatan yang diambil adalah thin approach (“pendekatan tipis”) yang diharapkan dapat diterima oleh semua anggota tanpa persoalan berarti. Akan tetapi, sebuah truism juga memiliki kekurangan. Ia tampak membosankan, tidak berdaya desak, kurang inspiratif, terlalu normatif, dan karenanya tidak menarik untuk dibicarakan ulang. Dengan kata lain, ia sudah rampung dan tidak lagi berpotensi menggerakkan percakapan lebih lanjut. Kalaupun kemudian kita mempertanyakan relevansinya, maka kita akan menemukan bahwa dokumen ini relevan secara timeless, namun tidak timely, artinya, ia terasa benar nyaris untuk segala zaman

Page 20: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

19Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

namun tidak sungguh-sungguh relevan (baca: menggigit) untuk situasi kini dan di sini.

4. Di dalam gerakan oikoumenis global, khususnya WCC, dimensi doktrinal paling jelas digarap oleh Commision on Faith and Order atau CFO (Komisi Iman dan Tata Gereja). Yang menarik, CFO tidak pernah dalam sejarahnya mengeluarkan dokumen yang setara dengan PBIK, yang berisi pernyataan imani atas beberapa loci theologici Kristen. Justru, yang mengagetkan, dokumen yang membahas loci theologici tersebut muncul dari meja lain, yaitu Interreligious Dialogue and Cooperation, melalui dokumen Who Do We Say That We Are? Christian Identity in a Multi-Religious World (2016), yang dalam perumusannya saya ikut terlibat sebagai anggota tim. Di dalamnya terdapat tujuh butir atau loci: Trinitas, Pencipta, Yesus Kristus, Roh Kudus, Alkitab, Gereja, dan Eskatologi.

5. Tentu tidak mudah menyetarakan WCC dan PGI, sebab sementara yang pertama lebih majemuk secara konfesional, yang kedua lebih berwajah Protestan. Akan tetapi, saya harus mengatakan bahwa hasil kerja CFO di bidang doktrinal ternyata jauh lebih menggairahkan ketimbang PBIK yang cenderung “diam.” Perhatian CFO sendiri lebih terarah pada Baptisan, Ekaristi, dan Tata Gereja (BEM), Gereja, Pengakuan Iman, Ibadah dan Spiritualitas, serta Eklesiologi dan Etika. Isi percakapannya pun lebih terfokus pada kredo-kredo universal seperti Pengakuan Iman Nikea-Konstantinopel dan Pengakuan Iman Rasuli. Frame berpikirnya sangat jelas Trinitarian, sebagaimana selalu muncul di dalam hampir semua dokumen WCC mana pun. Yang menarik juga, karya CFO belakang terarah pula pada terciptanya dialog-dialog yang bersifat bilateral atau multilateral.

6. Salah satu capaian terakhir dari CFO yang memiliki signifikansi besar adalah dokumen The Church: Towards a Common Vision (TCTCV, 2012), yang sudah saya terjemahkan dan diterbitkan

Page 21: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

20 Prosiding

oleh PGI dan BPK Gunung Mulia dengan judul Gereja: Menuju Sebuah Visi Bersama (2018). Dokumen ini sangat mendasar dan penting karena statusnya sebagai sebuah dokumen konvergensi yang setara dengan dokumen Baptism, Eucharist, and Ministry (BEM, 1982). Dari segi isi, dokumen ini juga memakai pendekatan tipis (thin approach), walaupun tidak tipis-tipis amat. Yang pasti, perspektifnya sangat jelas, yaitu eklesiologi koinonia yang Trinitaris dan misioner. Dari sisi ini, jelas dokumen ini sangatlah konstruktif. Keberhasilan dokumen ini terletak pada kemampuannya untuk menampilkan kesepakatan dan ketidaksepakatan sembari tetap mengusulkan sebuah perspektif − eklesiologi koinonia − yang menggairahkan dan konstruktif.

7. Ada catatan khusus mengenai dua dokumen konvergensi CFO di atas, yaitu BEM dan TCTCV. Proses konsiliar hingga munculnya kedua dokumennya cukup lama. BEM membutuhkan waktu 55 tahun, sementara TCTCV 20 tahun. Sebelum mereka muncul, telah dipublikasikan terlebih dahulu dokumen-dokumen lain yang kemudian memuncak pada kedua dokumen konvergensi di atas. Nah, jika PBIK dapat kita pahami sebagai sebuah dokumen konvergensi, maka tentu juga dibutuhkan proses yang panjang. Ia harus melibatkan sebuah proses konsiliar di tubuh gereja-gereja anggota PGI yang mengandaikan proses studi yang panjang. Proses studi tersebut yang tampaknya sangat minimal di dalam konteks PGI. Kita tidak memiliki tradisi mendokumentasi percakapan, sedikit banyak karena memang jarang terjadi percakapan konsiliar tersebut. Sebaliknya, kalau kita membaca dokumen TCTCV, di sana muncul banyak sekali dokumen-dokumen oikoumenis sebelumnya yang diacu sebagai sumber berteologi, selain tentu teks-teks biblis. Dengan kata lain, keinginan kita untuk merumuskan ulang PBIK, setelah 35 tahun, tanpa percakapan dan dokumen di antaranya, hanya akan menciptakan sejenis PBIK baru yang tidak memiliki “cantolan” konsiliar apa pun. Proses-tanpa-proses tersebut akan menjadi

Page 22: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

21Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

seperti melompat dari satu tonggak besar ke tonggak besar lain yang jauh jaraknya, tanpa melakukan langkah-langkah kecil di antaranya.

8. Atas dasar itu, saya sungguh kuatir bahwa rencana untuk merumuskan ulang PBIK, setelah tiga puluh lima tahun, akan menjadi sebuah usaha yang tidak terlampau bermanfaat. Hal yang dibutuhkan adalah membangun sebuah tradisi diskursif oikoumenis di kalangan gereja-gereja anggota PGI, tentu dengan dimotori dan difasilitasi oleh PGI, yang hasilnya adalah perumusan dokumen-dokumen doktrinal, yang barulah di kemudian hari akan kita arahkan ke sebuah perumusan dokumen konvergensi sejenis PBIK. Jika disepakati, maka yang kita perlukan adalah sebuah peta jalan (roadmap) yang berisi fokus-fokus atau loci apa yang perlu kita perdalam terkait dengan doktrin/iman Kristen. Lebih lanjut, pemilihan loci menjadi penting ketika dikaitkan dengan visi oikoumenis PGI yang sifatnya lebih mendasar. Selain itu, belajar dari pengalaman CFO, tampaknya PGI dapat pula memfasilitasi percakapan-percakapan doktrinal yang sifatnya bilateral atau multilateral, yang hasilnya tentu menjadi bagian yang memperkaya tradisi diskursif di atas.

*******

Page 23: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

22 Prosiding

Page 24: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

23Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Telaah Kritis-Konstruktif Terhadap Struktur dan Isi PBIK

Riris Johanna SiagianPendeta dan dosen bidang Ilmu Agama-agama di STT-HKBP Pematangsiantar, Sumatra Utara.

A. Pendahuluan

B erkenalan dengan Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG), pertama sekali terjadi tahun 1994, sekitar 25 tahun yang lampau, ketika saya menempuh studi di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya acana

Salatiga. Dan bersyukur hari ini bisa bersama Ibu dan Bapak sekalian menggumuli tema yang sangat penting ini. Meskipun rentang waktunya sudah begitu panjang namun konteks yang kita hadapi tidak jauh berbeda. Apa yang coba dipaparkan oleh panitia dalam kerangka acuan, terutama tentang tantangan teologis yang dihadapi gereja dan bangsa sekarang ini, sebenarnya sudah terlihat juga pada masa-masa sebelumnya. Meski sekarang gejalanya lebih menonjol. Beberapa paparan tentang LDKG yang kemudian berubah nama menjadi DKG, juga ditemukan dalam Pengakuan Iman (konfesi) gereja-gereja anggota Lutheran seperti HKBP. Gereja-gereja di Indonesia dalam penghayatan imannya makin menyadari kompleksnya pergumulan dan tantangan berteologi di Indonesia, hal itu terutama diakibatkan oleh: bangkitnya agama-agama dan budaya lokal, maraknya berbagai tindakan kekerasan, makin dibutuhkannya penghargaan kepada kaum yang terpinggirkan, terutama perempuan dan anak-anak, difabel, LGBT, serta maraknya politik identitas, juga klaim mayoritas dan minoritas, perlunya gereja-gereja berdiri dalam satu payung, dan lain-lain.

Page 25: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

24 Prosiding

Hal ini mendorong gereja-gereja di Indonesia untuk merenungkan ulang eksistensinya sebagai sebuah gereja dan panggilannya untuk menjadi garam dan terang. Hal itu sekaligus mendorong terbukanya kesadaran keesaan dalam karya untuk bersama-sama meningkatkan saling kesepahaman bersama dalam aksi (oikoumene in action). Dalam kerangka berfikir seperti itulah, Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) perlu ditinjau kembali. Hal yang sangat perlu mendapat perhatian adalah latar belakang historis dan teologis yang berbeda di antara gereja-gereja anggota DGI/PGI. Karena itu, perlu adanya upaya yang sengaja untuk duduk bersama, untuk meninjau kembali PBIK secara kritis konstruktif agar relevan dalam menjawab pergumulan teologis dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagaimana pun sejarah perjalanan kekristenan di dunia dengan seluruh pergumulan dan tantangannya dapat digunakan menjadi pembelajaran yang sangat berharga dalam merumuskan kerangka berfikir teologis yang dapat dipahami dan diterima secara bersama dalam pemikiran dan tindakan. Tentu saja, refleksi teologis sangat diperlukan untuk melihat sejauh mana, apa dan bagaimana kesaksian gereja pada masa lampau, dan itu berguna sebagai modal untuk melangkah jauh ke depan. Gereja-gereja sebagai anggota Lutheran, Calvinis, Injili, Pentakostal/Neo-Pentakostal/Karismatik, meskipun masing-masing memiliki keterikatan tertentu dengan berbagai aliran gereja itu, namun tidak tertutup kemungkinan gereja secara sendiri-sendiri memiliki implementasi yang berbeda di lapangan. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) juga memiliki sejarah unik ketika sepakat untuk mengikatkan diri menjadi anggota Lutheran. Ada pun pemikiran kritis konstruktif ini disampaikan dengan pendekatan Teologi Agama-agama di mana Teologi Agama-agama merupakan satu cabang dari Teologi Sistimatika. Teologi Agama-agama tidak saja berupaya mencermati keberadaan agama-agama, tetapi bagaimana agama mempengaruhi masyarakat dan bagaimana

Page 26: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

25Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

agama itu sendiri dihidupi oleh masing-masing penganutnya. Oleh karena itu, berbagai ilmu pengetahuan terutama Sosiologi dan Filsafat dimungkinkan untuk digunakan sebagai kerangka analisis untuk mendudukkan persoalan implementasi hidup beragama dalam realitas hidup sehari-hari.

Telaah kritis berkaitan dengan tema-tema dalam PBIK dilakukan dengan mengedepankan nats-nats tertentu dan bagaimana nats-nats yang sama itu dipahami secara berbeda dalam tingkat implementasi. Tentu saja, implementasi yang berbeda itu tidak hanya berkaitan dengan pemahaman akan nats itu sendiri, tetapi terutama sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah, teologis, dan sosiologis serta cara berteologi yang berbeda di antara masing-masing gereja.

Pemahaman demikian diharapkan akan dapat menemukan satu rantai yang hilang (missing link) dari hidup keagamaan kita sebagai satu bangsa Indonesia. Hal ini sekaligus mendorong agar penafsiran Alkitab berkaitan dengan nats tertentu tidak dilakukan secara parsial melainkan dilakukan secara holistik, dengan mengedepankan Tuhan Allah yang telah menyatakan diri-Nya melalui Alkitab. Tentu saja pemikiran ini telah melalui satu studi dan refleksi yang panjang, sehingga gagasan yang diajukan tidak semata-mata dari subjektifitas penulis.

1. Kerangka PBIK

Ada pun struktur Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) diawali dengan pokok tentang Tuhan Allah (Bab I) dan diakhiri dengan pokok tentang Alkitab (Bab. VII). Dan pokok-pokok penting lainnya tentang: Penciptaan dan Pemeliharaan, Manusia, Penyelamatan, Kerajaan Allah dan Hidup Baru, Gereja berada di antaranya. Secara khusus, point yang terbanyak mendapat perhatian adalah point tentang gereja.

Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan adanya kerancuan berfikir dalam hal struktur PBIK itu sendiri. Sebab,

Page 27: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

26 Prosiding

sebenarnya pembahasan tentang Tuhan tidak ada bedanya dengan pembahasan tentang topik-topik lainnya. Semua pergumulan dan pembahasan tentang tema-tema besar itu seharusnya bersumber dan berada di bawah payung yang sama, yakni Alkitab. Maka, Alkitablah yang seharusnya memayungi dan mencerahi semua pemahaman tentang tema-tema yang digali itu. Oleh karena itu, Alkitab harus ditempatkan dalam bab I.

Dalam PBIK, pemahaman tentang Alkitab pada Bab VII, alinea 1, dikatakan: “Alkitab yang terdiri dari Kitab Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru merupakan kesaksian yang menyeluruh mengenai Allah yang menyatakan diri, kehendak dan karya penciptaan, pemeliharaan dan penyelamatan-Nya kepada manusia, dan juga mengenai jawaban manusia terhadap-Nya. Kesaksian yang menyeluruh ini berpusat pada Yesus Kristus “Firman yang menjadi manusia” (Yoh. 1:14). Dengan demikian, pemahaman mengenai isi Alkitab termasuk pemahaman atas bagian-bagiannya harus selalu dilihat sebagai satu kesatuan.”1

Kalimat yang digaris tebal di atas menegaskan bahwa Alkitab memuat keseluruhan tentang Allah yang menyatakan diri-Nya, kehendak-Nya, karya penciptaan dan pemeliharaan-Nya atas dunia dan seluruh manusia. Eksistensi Allah yang menyatakan diri itulah, sebagaimana Ia dikenal, dipahami dan terinternalisasi dalam diri para Nabi dan Rasul. Itulah yang seharusnya menjadi dasar kesaksian seluruh orang percaya. Jadi, bukan bagaimana para Nabi, Imam dan Rasul mengenal Allah itu. Tetapi, DIA adalah Allah sebagaimana Dia menyatakan diri-Nya (Yeh. 22:44).

Di dalam dan melalui diri para murid-Nya, Allah yang telah menyatakan diri itu disaksikan seluruh orang percaya. Orang percaya menjadi mengalami ‘eksternalisasi’ tentang Allah itu sendiri. Dan hasil dari eksternalisasi itu akan muncul sebagai bagian dari kesaksian, suara kenabian. Sehingga para murid tidak menyatakan pengenalan dan gagasan pemikiran mereka tentang Allah.Tetapi bersaksi tentang Allah yang telah menyatakan diri lewat mereka.

Page 28: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

27Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Sebagai perbandingan, kondisi kerancuan berfikir seperti yang terjadi dalam PBIK, sebenarnya juga terjadi di dalam konfesi HKBP. Dalam Konfesi HKBP berbicara ‘Tentang Allah,’(pasal 1) dilanjutkan dengan ‘Tentang Allah yang Tiga-Esa’ (pasal 2); dan ‘Pekerjaan Kepribadian Allah Bapa Yang Tiga-Esa’ (pasal 3). Lalu bagian berikut berbicara ‘Tentang Firman Allah’ (pasal 4). Padahal pada alinea terakhir dari pasal 4 jelas dikatakan bahwa: “Hanya Alkitablah awal dan akhir segala pemikiran, pengetahuan dan usaha di dalam gereja dan bagi setiap orang percaya. Dengan ajaran inikita tolak semua kepandaian dan kebijaksanaan manusia yang bertentangan dengan Firman Allah (Amsal 3:5; Mazmur 111:10).”2 Bagian terakhir ini menjadi benar dan tepat, justru kalau ia ditempatkan pada bab pertama sekali, sehingga seluruh pemikiran dan pembahasan tentang pokok mana saja, harus bersumber dari Alkitab.

Sejarah kekristenan dunia telah membuktikan hal itu, di mana muncul pemahaman dan refleksi teologis yang berbeda, yang menempatkan gereja Katolik dan Martin Luther berada dalam ketegangan-ketegangan. Analisis kritis dan refleksi teologis atas kehidupan bergereja ketika itu terkait pandangan Martin Luther tentang Perjamuan Kudus, di mana pelaksanaan perjamuan kudus sebagaimana ditetapkan oleh Tuhan Yesus adalah dengan memberikan roti dan anggur sebagai lambang dari kehadiran tubuh dan darah Kristus. Dan keduanya diberikan kepada orang yang berdosa, dan yang percaya tentang pengampunan dosa di dalam Yesus Kristus.3

Namun oleh para imam dibuat peraturan berbeda. Para imam menerima roti dan anggur dalam perjanjian perjamuan kudus, sedangkan kepada warga jemaat hanya diberikan roti. Alasan yang dimunculkan bahwa secara iman jemaat lebih banyak dosanya, sehingga mereka selayaknya hanya diberi satu bagian dari perjanjian perjamuan kudus. Sementara para imam lebih kudus dan karenanya layak memperoleh keduanya. Hal ini tentu saja berbanding terbalik

Page 29: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

28 Prosiding

dengan tujuan penetapan perjamuan kudus itu sendiri oleh Tuhan Yesus, bahwa pemberian roti dan anggur ditujukan kepada orang yang memohon pengampunan dosa, dan yang telah mengaku dosanya.4 Dengan kata lain, anugerah perjamuan kudus milik setiap orang percaya yang memohon keampunan dosa, tanpa kecuali.Kenyataannya, yang terlihat adalah superioritas para imam. Ini juga bagian dari kesalahan menempatkan sebagai apa Alkitab dan otoritasnya yang sahih.5

Jika logika ini diteruskan, maka sebenarnya para imam yang nota bene orang-orang kudus Allah justru telah menempatkan dirinya sebagai orang-orang yang paling berdosa dari seluruh warga jemaat yang berdosa lainnya.6 Perbedaan cara pandang itu, kemudian mendorong lahirnya kelompok Protestan. Dari sini, ini menjadi tegas bagi kita, bukan bagaimana pemahaman kita tentang Allah, tetapi bagaimana Allah menyatakan diri-Nya. Menurut hemat penulis, kerangka berfikir seperti ini yang coba digaungkan kembali oleh Martin Luther dengan munculnya slogan back to the Bible. Dari sini dapat dipahami bahwa Alkitab harus menjadi satu-satunya sumber dasar dan utama. Penegasan demikian juga diturunkan dalam konfesi HKBP.7 Karenanya, Alkitab memiliki otoritas tertinggi.

2. AllahPemahaman PBIK tentang Allah menyatakan: “Tuhan itu

Allah kita, Tuhan itu Esa (Ul. 6:4). Tidak ada Allah lain selain Dia (Kel. 20:3; Ul. 5:7). Dialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi serta seluruh isinya, dan yang telah memeliharanya hingga kesudahan alam (Kej. 1:2; Mzr. 24:1-2; 89:12; 104:1, dst; Kol. 1:16).”8

Pernyataan itu menegaskan hanya ada satu Allah, satu-satunya Allah, yang telah menciptakan langit dan bumi. Hal ini juga diakui oleh gereja-gereja Lutheran, seperti halnya HKBP, dikatakan: “Allah adalah Esa, tak bermula dan tak berkesudahan ….. Ia

Page 30: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

29Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

menggenapi langit dan bumi, Maha Kudus, Maha Kasih.”9 Dan dalam bagian tentang Allah Tri Tunggal, Allah Bapa yang Tiga Esa, dikatakan: “Allah Bapa menjadikan, memelihara dan memerintah segala sesuatu yang kelihatan dan tidak kelihatan.”10

Kedua pemahaman itu sejajar ini, baik PBIK dan HKBP sebagai gereja Lutheran. Pemahaman keyakinan ini menegaskan bahwa Allah yang Esa itu tak bermula dan tak berkesudahan. Alkitab juga tidak menjelaskan kapan Allah itu mulai ada, dan hingga kapan Ia akan berakhir, tidak ada juga yang tahu kapan dunia akan berakhir. Iman Kristen mengatakan ketika Yesus datang ke dunia ini, ia akan menghakimi orang yang benar dan salah. Tetapi kapan itu? Tidak seorang pun yang tahu, bahkan malaikat-malaikat sorgawi pun tidak tahu.

Dalam hal ini, menarik mencermati pemahaman Batak tentang penciptaan manusia sebagaimana termuat dalam mitos-mitos Batak.11 Penggunaan mitos sebagai bahan studi sudah banyak dilakukan, di mana mitos itu sendiri memuat perintah-perintah moral yang disampaikan dan harus dilakukan oleh setiap penganut, di mana perintah-perintah itu bersifat mengikat dan dipahami sebagai ajaran dalam keagamaan Batak.12 Orang-orang Batak sendiri dengan kerangka berfikirnya yang khusus telah ada jauh sebelum kekristenan masuk ke tanah Batak. Sedangkan ajaran Batak telah lebih dahulu ada baru ajaran Kristen masuk ke tanah Batak. Baru tahun 1861 terjadi pembabtisan orang Kristen yang pertama, dan sekaligus diperingati sebagai hari lahirnya Gereja Batak Raya.13

Hal itu dituliskan dengan baik oleh Waneck:14 “Apa yang dimengerti oleh Batak mengenai muasal manusia dan bumi, kata orang: Mulajadi na Bolon telah menciptakan segala sesuatu …”15 Mulajadi na Bolon dipahami sebagai Tuhan dalam pemahaman keyakinan Batak. Kalimat ini tentu tidak menunjuk pada seorang Warneck yang sedang menjelaskan tentang manusia dalam pemikiran Batak. Kalimat “kata orang:…” ini menegaskan bahwa

Page 31: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

30 Prosiding

orang Batak sendirilah yang sedang dinyatakan di situ.16

Dari sini, saya memahami bahwa dalam pemahaman keyakinan orang Batak sendirimenegaskan bahwa dunia ini dan segala sesuatunya diciptakan oleh Mulajadi na Bolon, Tuhan Debata yang Besar, yang Agung. Keyakinan seperti itu sudah ada jauh sebelum kekristenan masuk ke tanah Batak. Dan penegasan keyakinan seperti itu tersimpan dalam banyak mitos. Penggunaan mitos dalam sastra-sastra keagamaan yang menunjuk pada kitab-kitab keagamaan biasa digunakan dalam komunitas keagamaan. Tidak terkecuali dalam keagamaan Batak. Alkitab Perjanjian Lama sendiri memuat beberapa mitos, khususnya tentang cerita penciptaan. Dalam agama Hindu dan Budha, upaya mengumpulkan mitos-mitos yang dikenal umum di tengah-tengah masyarakat biasa dilakukan, untuk digunakan sebagai sumber pengajaran.

Ir. Soekarno, ketika berbicara di hadapan panitia 9 dalam pidatonya dalam upayanya untuk menggolkan Pancasila sebagai dasar Negara. Kemudian hari itu dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Ketika itu kuat sekali desakan dari teman-teman kita yang berbeda agama untuk mendirikan Indonesia atas dasar syariah Islam.

Soekarno ketika itupun menyampaikan argumentasi kritis dan sekaligus keyakinan religiusnya bahwa Indonesia terdiri dari berbagai agama dan aliran kepercayaan. Kenyataan seperti itu yang kemudian dituangkan dalam sila-sila dari Pancasila, secara khusus sila I, Ketuhanan yang Maha Esa.17 Hal Ketuhanan yang Maha Esa ini sejalan dengan keyakinan Kristen Protestan, juga sejalan dengan keyakinan agama Batak, yang sekarang diteruskan oleh Parmalim, dan tentunya sesuai dengan keyakinan banyak agama lain di bumi NKRI.

Dengan meletakkan pemahaman sedemikian, faktanya upaya ini mendorong terbukanya ruang untuk berdiskusi dan sharing antar pemeluk agama. Dalam hal ini secara khusus agama Kristen dan Batak, yang masih tetap diwarisi oleh penganut aliran

Page 32: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

31Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

kepercayaan Parmalim. Hal itu dimungkinkan dan tentu sangat diharapkan dalam konteks masyarakat Indonesia yang multi etnis dan multi kultural, multi agama.

3. Penciptaan dan PemeliharaanSecara tegas, PBIK menuliskan bahwa: “Alam semesta, langit

dan bumi serta segenap isinya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, adalah milik ciptaan Allah (Kej. 1-2; Mzr. 24:1-2; 89:12; Yes 44:24; Yer. 27:5; Kol 1:16).” Pernyataan ini menegaskan bahwa segala sesuatu dan semua yang ada di atas langit maupun yang ada di bawah langit adalah milik ciptaan Alah. Dengan demikian, tidak ada yang tidak bersumber dari Allah. Kepemilikan Allah ini mutlak dan mengikat.

Melalui berita penciptaan dalam kitab Kejadian menegaskan bahwa tugas pemeliharaan disampaikan kepada manusia. Ada pun pelaksanaan tugas pemeliharaan itu sangat tergantung kepada perilaku hidup dari setiap manusia, agar tugas mulia itu tidak diselewengkan, sebab jika demikian tugas memelihara akan berubah menjadi menguasai. Dalam kerangka itu, intitusi keagamaan dan institusi pemerintah juga memiliki peran yang sangat kuat dalam menjamin tugas-tugas pemeliharaan dapat berlangsung dengan baik. Negara Republik Indonesia juga menetapkan hal ini dalam UUD 1945, pasal 33:3, yang berbunyi: “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Hal ini menegaskan bahwa negara menjamin tidak boleh ada berbagai tindakan eksploitasi, pencurian, penjarahan dan lain sebagainya terhadap alam untuk digunakan bagi kepentingan diri sendiri dan kelompok. Dalam kenyataannya, banyak hutan gundul sehingga mengakibatkan erosi tanah dan banjir di mana-mana. Pengerukan tanah, batu, gunung dan lainnya dengan tidak bertanggungjawab telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah, musnahnya kehidupan ratusan bahkan ribuan tanam-

Page 33: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

32 Prosiding

tanaman langka dan satwa langka dari bumi Indonesia merupakan satu bukti bahwa tugas pemeliharaan tidak berlangsung dengan baik dan seharusnya.

Upaya pemulihan terhadap bumi, air dan kekayaan alam lainnya mutlak diperlukan. Namun lebih dari itu, bagaimana membangun spiritualitas yang mendorong kedekatan manusia dengan alam, dan hidup bersama dengan alam. Berbagai budaya lokal yang sangat mengutamakan kearifan lokal justru terasa lebih dekat dengan alam. Spiritualitas yang sangat mengedepankan cara-cara budaya yang jauh dari ketamakan dan pementingan diri sendiri.

Teologi Batak memerlihatkan air, gunung, batu dan lain sebagainya dapat menjadi sarana perjumpaan dengan Tuhan. Bahkan bahwa hal-hal yang sangat kecil dari alam pun, seperti ulat memiliki fungsi yang luar biasa dalam kehidupan manusia.18 Pada akhirnya, hal ini pun terkait dengan ketaatan dalam panggilan untuk tugas pemeliharaan itu.

4. ManusiaDalam PBIK terdapat pengakuan bahwa “manusia

diciptakan Allah menurut gambar/citra-Nya (Kej. 1:26-27). Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan dengan martabat yang sama (Kej. 1:27), dan dikaruniai tugas mandat untuk beranak cucu dan memenuhi bumi serta untuk menguasai, mengusahakan, dan memelihara seluruh ciptaan Allah (Kej. 1:26-28; 2:15). Untuk dapat melaksanakan tugas dan mandat itu, Allah memperlengkapi manusia dengan akal budi dan hikmat serta memahkotainya dengan kemuliaan, hormat, dan kuasa (Mzr. 8:6-7). Manusia diciptakan dalam kesatuan tubuh, jiwa roh, sehingga ia dipanggil untuk memelihara kehidupan secara jasmani dan rohani dalam rangka pemenuhan tanggung jawabnya kepada Allah (Kej. 2:7; 1 Kor 3:16; 6:17-20; 1 Tes 5:23; Yak. 2:26) …”

Dalam hal ini terdapat beberapa pokok pikiran yang masing-masing membutuhkan bahasan yang panjang lebar sesuai dengan

Page 34: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

33Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

tujuan dan maksud penciptaan manusia itu sendiri.

a. Imago Dei adalah KetaatanPenciptaan manusia menurut gambar dan citra Allah

menunjuk pada penciptaan sebagai yang Imago Dei. Hal kesegambaran Allah itu tidak saja menunjuk pada wajah Allah yang secara fisik terlihat terdiri dari dua bola mata, dua lubang hidung, dua telinga dan satu mulut. Tetapi juga terutama menunjuk pada citra Allah yang sebenarnya. Citra Allah, siapa, apa, dan bagaimana Allah itu yang dipresentasikan melalui diri Yesus Kristus.

Menarik mengamati pengakuan iman Huria Kristen Batak Potestan tentang manusia, dikatakan: “Manusia adalah ciptaan Allah, laki-laki dan perempuan, menurut gambar-Nya, sama dengan perangai-Nya (Imago Dei).”19 Di sini, pemaknaaan kata Imago Dei menjadi utuh dan holistik ketika itu menunjuk pada perangai Allah. Oleh karena itu citra Allah dalam hal ini dapat dipahami berkaitan dengan eksistensi Yesus dalam seluruh karya-Nya di dunia. Melalui kehadiran Yesus sendiri di dunia, manusia boleh belajar dari Yesus tentang bagaimana Ia menggunakan akal budi, hikmat, kemuliaan, hormat dan kuasa. Hal yang juga sangat mendapat tekanan, yakni kesatuan tubuh, roh dan jiwa.

Saya ingin memulai dari bagian tentang kesatuan tubuh, roh dan jiwa. Yesus Kristus sebelum memulai karya-Nya di dunia, Ia terlebih dahulu berpuasa selama 40 hari 40 malam. Dan dalam proses itu, iblis datang mencobai Dia dengan janji-janji yang manis dan menawarkan seluruh keindahan dunia, seluruh kuasadan kemuliaan dunia, dengan satu syarat asal Yesus mau menyembah kepadanya (Mat. 4:1-11; Mrk. 1:12-13; Luk. 4:1-13). Tetapi respons Yesusjustru menegaskan ketaatan-Nya kepada Bapa-Nya (Mat. 4:10).

Kata kunci dari apa yang sedang Yesus perlihatkan adalah ketaatan. Kata itulah yang menjadi kontrol dan pengikat antara kesatuan tubuh, roh, dan jiwa-Nya dengan bapa di surga.

Page 35: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

34 Prosiding

Pemanggilan manusia untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabnya kepada Allah hanya mungkin terlaksana dalam ketaatan yang demikian. Hal ini perlu dikritisi secara serius karena manusia sering memahami tubuh terpisah dari roh dan jiwanya.

Pemahaman tentang tubuh, roh dan jiwa juga merupakan satu perdebatan yang panjang dalam dunia filsafat, di mana manusia dipandang terdiri dari tubuh, roh dan jiwa. Namun dalam hal ini terdapat dualisme, di mana tubuh dipandang berkaitan dengan hal-hal yang jasmani sedangkan roh dan jiwa dipandang berkaitan dengan hal-hal yang rohani.Tubuh manusia pun bersifat sementara, sedang roh dan jiwa bersifat kekal.20 Jiwa dan badan dipandang sebagai dua kenyataan yang berbeda, di mana badan akan mati, tetapi jiwa bersifat kekal (lebih jauh hal ini berkaitan dengan tema-tema tentang hidup setelah mati). Kesatuan tubuh, roh dan jiwa mengartikan bahwa keduanya hadir secara eksis dalam diri seorang manusia. Ketidakseimbangan antara tubuh, roh dan jiwa inilah yang mengakibatkan manusia jatuh ke dalam dosa.

Namun demikian, di dalam diri Yesus keseimbangan itu tampak menonjol, karena Ia berusaha menghidupi relasinya dengan Bapa dalam ketaatan. Hal ini pun sangat terasa dalam pergumulan Yesus ketika Ia berada di bukit getsemani, secara khusus dalam pergumulan batin-Nya dalam berperang dengan diri-Nya sendiri. Alkitab mencatat betapa Yesus sangat bergumul sekali, dikatakan: “Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya…” (Mat. 26:38; Mrk 14:34), Yesus juga merasa sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (Luk. 22:44).

Di sini tubuh Yesus mengalami suatu perasaan mau mati, ketakutan yang amat sangat, dan peluhnya menetes seperti titik-titik darah. Tetapi tubuh yang menahan derita amat sangat itu selaras dengan penyerahan jiwanya melalui doa yang sungguh-sungguh. Pergumulan terbesar antara tubuh dan jiwa Yesus, tergambar melalui apa yang diungkapkan-Nya, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada

Page 36: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

35Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” (Mat. 26:39; Mrk. 14:36; Luk. 22:42).

Perasaan-perasaan jasmani yang dialami Yesus itu bersifat manusiawi dan biasa dialami manusia dalam hidup sehari-hari. Kata-kata Yesus yang menyerahkan hidup-Nya itulah yang membuat ketaatan-Nya menjadi sempurna, ketika Dia mengatakan: “… tetapi jangan kehendak-Ku Bapa, kehendak-Mulah yang jadi.” Di sini Yesus tidak sedang memperlihatkan akal budi, tetapi dalam seluruh pergumulan batin-Nya, Yesus menampilkan hikmat dari diri-Nya sendiri. Dan ketaatan seperti itulah yang dipertontonkan Yesus hingga kematian-Nya di kayu salib.

b. Sahala, Spiritualitas Dalam KetaatanSpiritualitas dalam ketaatan diperoleh dalam relasi yang

kontemplatif dengan Tuhan Allah. Kemampuan tubuh manusia untuk menahan tekanan, derita dan sengsara itu terbatas. Tetapi roh dan jiwa akan memberi spirit yang luar biasa untuk menguatkan manusia untuk tetap bertahan. Yesus sendiri pun sudah mengingatkan manusia, bahwa roh memang penurut, tetapi daging lemah (Mat. 26:41; Mrk. 14:38, Luk. 22:46). Dan spirit, energi yang luar biasa itu diperoleh dalam kontak dan relasi yang terus-menerus dengan Allah Bapa, melalui perenungan dan doa, sebagaimana Yesus perlihatkan melalui doa yang bersungguh-sungguh.

Pemaknaan Imago Dei sebagai meniru perangai Allah menunjukkan bahwa pada dasarnya, perangai yang Imago Dei itu adalah perangai dalam keseluruhan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, karakter manusia yang sedemikian adalah karakter yang memiliki hubungan yang akrab dan relasi yang kuat di dalam Allah. Dari sebuah studi dan refleksi akan berbagai kenyataan manusia sekarang ini, disimpulkan bahwa menjadi manusia beragama bukanlah bagaimana seseorang memeluk satu agama tertentu. Tetapi yang pertama dan terutama adalah bagaimana seorang manusia itu

Page 37: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

36 Prosiding

menghidupi keyakinan keagamaannya yang kemudian membentuk perilakunya sehari-hari. Satu istilah yang belakangan ini muncul, disebut dengan sahala.

Kata sahala merupakan kata asli dari bahasa Batak, bermakna wibawa plus, karisma plus. Di sini, kata sahala dipahami sebagai “substansi tertinggi dari hidup beragama.”21 Sahala itu sendiri terbentuk karena: Spiritualitas Unggul (Excellent Spirituality), Kualitas Unggul (Excellent Quality), Karakter Unggul (Excellent Character).22 Seseorang yang memiliki sahala yang tinggi akan menampilkan dari dirinya karakter yang positif, karakter yang membawa kebaikan-kebaikan dan mendatangkan kehidupan bagi orang lain. Karakter itu sendiri dihasilkan dari pemaknaan hidup dalam ketaatan kepada Tuhan yang dipuja. Upaya mencermati secara mendalam tokoh-tokoh Batak sejak jaman dahulu hingga sekarang, terutama mereka, yang dalam masa kepemimpinan di tengah-tengah gereja dan masyaraat memiliki peran-peran strategis dan menentukan.

Melalui studi itu lahirlah teologi sahala. Hal yang menarik melalui kaca mata Sahala memperlihatkan bahwa setiap orang, meski berbeda agama, suku, ras, bahasa, dan lain sebagainya. Tetapi jika setiap orang itu menghidupi nilai-nilai tertinggi dari keagamaannya, maka ia akan tampil marsahala, memiliki wibawa plus. Karena tidak ada agama yang mengajarkan perbuatan-perbuatan kejahatan, curang, menipu, memutarbalikkan fakta, dan lain sebagainya. Meski banyak persoalan yang dihadapinya, seberat apa pun itu, maka dari dirinya sendiri akan tercetus nilai-nilai ideal, dan menampilkan dirinya yang cemerlang.

Orang-orang yang memiliki sahala tinggimemerlihatkan di dalam dirinya terdapat nilai-nilai ideal, dan orang-orang seperti itulah yang kemudian menonjol dalam tataran kepemimpinan, sebagai orang yang: berspiritualitas (martondi), berintegritas (satu kata dan tindakan, sada hata nang pambahenan), dapat dipercaya, (haposan), Mendengar dengan hati (roha na manangihon), bijaksana

Page 38: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

37Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

(marbisuk), visioner (marpanatapan tu jolo), Mengayomi/melindungi (marorot).23 Dengan pendekatan teologi sahala, akan membuka ruang dalam berdiskusi dan sharing yang lebih jauh. Karena pemaknaan sahala tidak dibatasi oleh agama apa yang dianut. Agama, dogma, aliran keagamaan dapat saja membatasi gerak persekutuan orang-orang percaya. Tetapi orang-orang yang berbeda, agama, ras, suku itu sangat mungkin diikat dan bersatu melalui pendekatan teologi sahala. Ini menjadi perjuangan kita bersama.

Sejauh mana manusia itu menghidupi keyakinan-keyakinan keagamaannya, dan diperlihatkan melalui kasih dan tindakan-tindakan kebaikan. Perbuatan curang, kolusi, korupsi, nepotisme, termasuk menghujat orang lain yang berbeda agama dengannya menegaskan pola-pola hidup demikian bukan datang dari Tuhan Allah. Pemaknaan tentang Tuhan dari sudut pandang sendiri, dan dengan logika berfikir manusia semata menjadikan manusia itu sendiri tidak berbeda dengan orang Farisi dan ahli Taurat, yang mengetahui banyak hal tentang Tuhan Allah, tetapi tidak memegang kepercayaannya itu, apalagi tidak menghidupinya dalam spiritualitas yang terus tertuju pada Allah.

c. Ketaatan, dalam Relasi Perempuan dan Laki-lakiKomitmen dan ketaatan untuk hidup dalam panggilan

sebagai Imago Dei mendatangkan penghargaan atas harkat dan martabat manusia satu sama lain, terutama dalam relasi sosial antara perempuan dan laki-laki. Kesegambaran dengan Allah itu memandang bahwa perempuan dan laki-laki adalah para murid yang sejak awal berada di sekeliling Yesus. Alkitab menyaksikan bahwa perempuan maupun laki-laki tidak bisa bekerja sendiri, keduanya pun tidak bisa hidup terpisah. Karena keduanya memiliki kekhususan yang saling menopang dan menghidupkan. Berbagai sifat yang sering diperlihatkan sebagai sifat feminin dan maskulin juga terlihat dari sosok seorang Yesus.

Page 39: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

38 Prosiding

Relasi perempuan dan laki-laki dianggap memliki keunggulan yang sama dan saling melengkapi, keduanya berada dalam posisi yang setara, partnership sebagaimana, partnership dalam sex.24 Ketidaktaatan membuat relasi itu sendiri menjadi timpang dan bersifat ‘menguasai dan dikuasai.’ Hal ini sekaligus memerlihatkan keterbatasan manusia itu menggunakan akal budi dan hikmatnya. Oleh karena itu pemaknaan terhadap kuasa itu yang perlu dijernihkan.

Kuasa dalam arti otoritas yang dimaksud di sini, berasal dari bahasa Yunani exosia.25 Kata kuasa, menurut para ahli , kuasa itu, power, authority merupakan suatu hak yang diberikan (given by),26 jadi otoritas itu tidak dimiliki sendiri.27 Tanpa di dalam ketaatan pada panggilan masing-masing, maka, implementasi kuasa akan membuat manusia itu mengalami banyak derita dan sengsara. Manusia sebagai Imago Dei pun menjadi kehilangan kemuliaan Allah.Penghargaan pada hak-hak azasi manusia menjadi terabaikan dan tercederai. Semuanya terjadi sebagai bagian dari ketidaktaatan. Oleh karena itu Alkitab harus menjadi sumber dan cerminan yang utama, sehingga ketimpangan-ketimpangan dalam relasi sosial antara perempuan dan laki-laki dapat dieliminir sebaik mungkin.

5. PenyelamatanPBIK menyebutkan bumi menjadi rusak dan penuh kekerasan

karena manusia telah jauh ke dalam dosa. Namun karena kasih Allah, manusia beroleh keselamatan. Dikatakan, “Keselamatan itu telah mencapai manusia karena Yesus Kristus yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan mengosongkan diri-Nya sendiri, dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah mengosongkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”

Kata “mengosongkan diri”, yang digunakan dalam perikop ini dapat dipahami sebagai menyangkal diri, kontemplasi, mengambil

Page 40: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

39Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

posisi sebagai yang tidak menggunakan otoritas-Nya sebagai Anak Allah. Mengosongkan diri berarti melakukan ketaatan meski Ia harus mati karena-Nya. Puncak ketaatan itu adalah pada diri Yesus yang tersalib. Dengan demikian, seluruh substansi dari hidup berteologi harus berakar dan bertumbuh dalam teologi salib, dalam ritme keseluruhan diri Yesus yang telah mengosongkan diri-Nya, dalam penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya.

Tindakan ‘mengosongkan diri’ inilah yang rasanya harus sungguh-sungguh dihidupi oleh gereja dan banyak pelayan gereja. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, dalam relasi sosial satu sama lain, setiap orang dimampukan untuk tidak mendahulukan kekuasaan diri sendiri, kepentingan sendiri, tetapi mengosongkan diri untuk menemukan visi yang lebih besar dan lebih mulia dalam setiap persoalan realitas yang ada.

6. Kerajaan Allah dan Hidup BaruDi dalam PBIK disebutkan bahwa “Kerajaan Allah itu

adalah kuasa dan pemerintahan Allah yang menyelamatkan, yang tampak dan berwujud di dalam lingkungan dan suasana hidup yang di dalamnya terdapat kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera, kesukacitaan, pemulihan dan pembaruan hidup (Mzr. 145:11-13, Mat. 9:35; Luk. 4:21; 4:43; Rm 14:7, 1 Kor. 4:20).”28

Pemahaman keyakinan ini mengacu pada pandangan bahwa kerajaan Allah sedang berlangsung dan masih akan digenapi hingga hari kedatangan Tuhan kembali. Oleh karena itu gereja dan seluruh orang percaya dipanggil untuk mewujudkan kehidupan yang selaras dengan kehendak Allah. Hal ini menegaskan bahwa gereja sendiri harus menjadi motor penggerak dalam mendorong orang percaya untuk bersunguh-sungguh menyatakan suara kenabiannya, sehingga setiap orang merasa terdorong dan dimampukan untuk berbuat dan berperilaku sebagaimana nilai-nilai ideal di atas. Di mana nilai-nilai itu harus menjadi cara hidup dari setiap orang percaya, sehingga oleh kuasa roh kudus setiap orang percaya mampu melakukannya.

Page 41: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

40 Prosiding

Menjadi pertanyaan, mungkinkah gereja mampu menjadi saksi yang benar dalam setiap pemberitaannya, tanpa gereja itu sendiri menjadi yang pertama dalam realitas hidup sehari-hari melakukan kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera, kesukacitaan, pemulihan dan pembaharuan hidup? Oleh karena itu, untuk menghadirkan syalom kerajaan Allah di bumi Indonesia, maka hal pertama yang sangat penting dan harus berbenah diri adalah gereja itu sendiri. Tanpa itu, gereja dan komunitas orang percaya tidak memiliki kekuatan, sahala, membuat orang lain mendengarnya.

7. GerejaSecara tegas, PBIK menuliskan bahwa di dalam gereja,”

Kristus adalah Tuhan dan Kepala,” (Ef. 4:3-16; Why. 7:9). Di dalam sejarah kekristenan dunia pada akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17, terdapat masa di mana otoritas para pemimpin gereja, kaum klerus bertindak melampaui kuasa dan otoritas yang diberikan padanya oleh Tuhan Allah. Dalam hal ini disebutkan tentang pengampunan dosa yang seyogianya dan seharusnya merupakan otoritas Tuhan Allah, tetapi telah didorong menjadi tugas para imam, hingga munculnya istilah papa Deust.29 Secara khusus kondisi demikian telah mendorong bangkitnya protes dari banyak kalangan dan dipelopori oleh Martin Luther dan kawan-kawan. Berbagai ketegangan kemudian mendorong terjadinya skisma dan lahirlah persekutuan orang-orang yang menyebut dirinya Protestan.

Sejujurnya, tidak ada yang salah dengan pernyataan itu, bahwa Kristus adalah Tuhan dan Kepala. Meski peristiwa itu telah lama berlalu, namun cara-cara hidup beragama sebagaimana dulu itu terjadi, ternyata masih tetap mewarnai kehidupan bergereja hingga sekarang ini. Dalam kenyataan sekarang ini, tidak sedikit pendeta yang cenderung memahami jabatan pendeta sebagai otoritas dan hak istimewa (privilege) untuk memerintah. Sengaja atau tidak, kondisi-kondisi seperti itu terekam dalam Tata Gereja,

Page 42: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

41Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

tidak terkecuali HKBP. Struktur gereja menjadi sangat hirarkis. Pada saat yang sama pemaknaan dan implementasi tentang panggilan dan tahbisan menjadi sangat longgar. Gereja pun tercederai.

Pandangan Martin Luther sangat menekankan bahwa di dalam tahbisan melekat ketaatan.30 Dalam konteks ini, jabatan pendeta seyogianya dilakukan dalam ketaatan kepada Kristus sebagai Kepala Gereja. Tidak ada jabatan khusus tanpa dalam ketaatan, sebab jika demikian, jabatan itu akan menjadi sangat anarkis dan liar.31

8. Kesimpulan dan PenutupDengan pembahasan di atas sangat diharapkan, pemahaman

bersama terkait keesaan dalam karya dan aksi oikoumenis dapat digaungkan. Pada akhirnya, menghidupi nilai-nilai keagamaan yang dianut akan membangun perilaku yang baik pada setiap orang. Terlepas dari apa keyakinan keagamaannya, bahkan orang-orang yang berbeda agama sekalipun dimungkinkan untuk membangun persekutuan dalam kasih, persaudaran yang mencerminkan keadilan, kebenaran, damai sejahtera dan lain sebagainya. Teologi sahala dapat digunakan untuk membangun pemahaman bersama tentang Tuhan, manusia, alam dan lain sebagainya, dengan penekanan bahwa setiap orang harus menghidupi keyakinan keagamaannya. Maka sahala sebagai karisma plus atau wibawa plus akan menjadi sesuatu yang diminati dan diharapkan terus terbentuk dan menjadi pengikat dalam relasi sosial satu sama lain, secara khusus dalam konteks masyarakat Indonesia yang multi kultural, etnis, dan agama.

Daftar Rujukan1. Gertz, Clifford. The interpretation of Culture. USA: Basic Books,

1973.2. Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta:

Kanisius, 1980.

Page 43: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

42 Prosiding

3. Huria Kristen Batak Protestan. Pengakuan Iman HKBP: Konfesi 1951 & 1996. Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2000.

4. Huria Kristen Batak Protestan. Almanak HKBP. Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 20119.

5. Luther, Martin. Three Treatises: The Babylonia Captivity of the Church. Translated by A.T.W Steinhauser, revised by Frederick C. Ahrens and Abdel Ross Wentz, vol. 36. Philadelpia: Fortress Press, 1959.

6. PGI. Dokumen Keesaan Gereja 2014-2019. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.

7. Russel, Letty M. Growth in Partnership. Philadelphia: Westminster Press, 1981.

8. Sinaga, Anicetus B. Allah Tinggi Batak Toba. Kanisius.9. Siagian, Riris Johanna. Sahala Bagi Pemimpin: Dulu dan Kini.Cet.

4. Pematangsiantar: Lembaga Bina Warga HKBP dan Sekolah Sekolah Pendeta HKBP dan STT-HKBP, 2018.

10. Siagian, Riris Johanna. Gereja dan Kekuasaan: Menuju Eklesiologi HKBP yang Kontekstual. Pematangsiantar: Lembaga Bina Warga HKBP dan Sekolah Pendeta HKBP, 2017.

11. Siagian, Riris Johanna. Agama, Spiritualitas Kepemimpinan, Gereja dan Masyarakat. Pematangsiantar: Lembaga Bina Warga HKBP dan Sekolah Pendeta HKBP, 2019.

12. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitya Penerbit, 1965.

13. Maxwell, Lee. “Luther on the Calling of Ministry Ecclesiae.” Dalam Pittelco, Sherpherd of Church. Ed. Frederic W. Baue, John W. Fenton, Eric C. Forss, Frank J. Pies, and John T. Pless. Indiana, USA: Concordia Theological Summary Press.

14. Weber, Max. Economy and Society. Cet. 2, ed. Guenther Roth and Calus Wittch Translator. Ephraim Fischooff. London: University of California Press, 1925/1978.

Page 44: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

43Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Catatan Akhir1. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan

Gereja-Gereja di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015, hlm 116. 2. Huria Kristen Batak Protestan, Pengakuan Iman HKBP: Konfesi 1951 & 1996,

Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2000, hlm. 58.3. Martin Luther, Three Treatises: The Babylonia Captivity of the Church,

translated by A.T.W Steinhauser, revised by Frederick C. Ahrens and Abdel Ross Wentz, vol. 36, Philadelpia: Fortress Press, 1959, hlm. 135.

4. Martin Luther, Three Treatises: The Babylonia Captivity of the Church, hlm. 136.

5. Riris Johanna Siagian, Gereja dan Kekuasaan: Menuju Eklesiologi HKBP yang Kontekstual, Pematangsiantar: Lembaga Bina Warga HKBP dan Sekolah Pendeta HKBP, 2017, hlm. 36-37.

6. Riris Johanna Siagian, Gereja dan Kekuasaan dalam Tata Gereja HKBP: Menuju Eklesiologi HKBP yang Kontekstual, hlm. 38.

7. Huria Kristen Batak Protestan, Konfesi HKBP, Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 2009, hlm. 126-127.

8. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, hlm 102.

9. Huria Kristen Batak Protestan, Pengakuan Iman HKBP: Konfesi 1951 & 1996, hlm. 54.

10. Huria Kristen Batak Protestan, Pengakuan Iman HKBP: Konfesi 1951 & 1996, hlm. 55.

11. Batak memiliki banyak mitos berkaitan dengan penciptaan dewa-dewi, manusia dan alam ciptaan lainnya yang tersimpan dalam berbagai versi. Sekarang ini ratusan mitos terutama tersimpan dalam pustaha laklak di perpustakaan, Leiden, Belanda. Clifford Geertz bahkan menghubungkan mitos dan ritual (Clifford Gertz, The interpretation of Culture, USA: Basic Books, A member of the Perseus Books Groups, 1973, hlm. 112).

12. Riris Johanna Siagian, Sahala Bagi Pemimpin: Dulu dan Kini, cet. 4, Pematangsiantar: Lembaga Bina Warga HKBP dan Sekolah-Sekolah Pendeta HKBP dan STT-HKBP, 2018, hlm. 53.

13. Ada pandangan bahwa kehadiran Batak di Barus pada 1088 melalui para pedagang Tamil, sementara hingga tahun 1860 belum ada orang Kristen di Tapanuli (Lih. Harry Parkin, Batak Fruit of Hindu Thought, hlm. 14-51; HKBP, Almanak HKBP, Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP 20119, hlm. 559).

14. Warneck adalah seorang misionaris berkebangsaan Jerman, dalam mitos ini tertulis tahun 1911. Tentu saja, mitos-mitos itu telah hidup jauh lama. Parkin

Page 45: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

44 Prosiding

menulis sebuah inskripsi Tamil memuat tentang Labu Tua di Barus, di mana terdapat para pedagang India bermukim sekitar 1.500 orang di di Barus tahun 1088.

15. Anicetus B. Sinaga, Allah Tinggi Batak Toba, Kanisius, hlm. 241-247.16. Riris Johanna Siagian, Sahala Bagi Pemimpin: Dulu dan Kini, hlm. 207.17. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitya Penerbit, 1965, hlm.

101.18. Riris Johanna Siagian, Sahala Bagi Pemimpin: Dulu dan Kini, hlm. 207-252.19. Huria Kristen Batak Protestan, Pengakuan Iman HKBP: Konfesi 1951 & 1996,

hlm. 128.20. Lih. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius,

1980, hlm. 42.21. Riris Johanna Siagian, Agama, Spiritualitas Kepemimpinan, Gereja dan

Masyarakat, Pematangsiantar: Lembaga Bina Warga HKBP dan Sekolah Pendeta HKBP, 2019, hlm. 5.

22. Riris Johanna Siagian, Sahala Bagi Pemimpin: Dulu dan Kini, hlm. 90-143.23. Riris Johanna Siagian, Agama, Spiritualitas Kepemimpinan, Gereja dan

Masyarakat, hlm. 179-205.24. Letty M. Russel, Growth in Partnership, Philadelphia: Westminster Press,

1981, hlm. 47-48.25. Riris Johanna Siagian, Sahala Bagi Pemimpin: Dulu dan Kini, cet. 4,

Pematangsiantar: Lembaga Bina Warga HKBP dan Sekolah Sekolah Pendeta HKBP dan STT-HKBP, 2018, hlm. 53.

26. Max Weber, Economy and Society, cet. 2, Edited: Guenther Roth and Calus Wittch Translator. Ephraim Fischooff, dkk, London: University of California Press, 1925/1978, hlm. 53.

27. Menunjuk pada kuasa (power, powerfull), otoritas (authority), hak (right), kebebasan (liberty)

28. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, hlm. 110.

29. Martin Luther, Three Treatises: The Babylonia Captivity of the Church, hlm. 341.

30. Lee Maxwell, “Luther on the Calling of Ministry Ecclesiae” dalam Pittelco, Sherpherd of Church, ed: Frederic W. Baue, John W. Fenton, Eric C. Forss, Frank J. Pies, and John T. Pless, Indiana, USA: Concordia Theological Summary Press, 2002, hlm. 167-170.

31. Riris Johanna Siagian, Gereja dan Kekuasaan: Menuju Eklesiologi HKBP yang Kontekstual, hlm. 36-37.

Page 46: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

45Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Pergumulan Eklesiologi Pentakostal

Junifrius GultomPendeta Gereja Bethel Indonesia dan DirekturPascasarjana STT Bethel Indonesia, menyelesaikan studidoktoral dari Presebyterian University and TheologicalSeminary (PUTS) Korea Selatan.

Rupanya cara memahami agama hari ini sungguh bermutakhir seiring percakapan agama yang semakin guyup baik dengan dirinya sendiri maupun dengan dunia. Agama tak lagi dipahami secara klasik, namun kini

agama dimaknai dan dihidupi sebagai dinamika dan jalan hidup: agama sebagai jalan tempuh baik secara individu maupun komunal dalam “pembentukan psikis yang berbeda; kebiasaan, tindakan, atau kebajikan yang khas; tentang tujuan, keinginan, hasrat, dan komitmen yang berbeda; dan keyakinan dan cara berpikir yang berbeda, bahkan ”bersama dengan“ sang liyan yang juga memilih jalan hidup yang berbeda pula”. Agama menjadi bahasa analogis yang digunakan untuk membahas mengapa dan apa yang mereka lakukan di dalam hidup ini.

Agama tidak hanya berkaitan dengan yang transenden yang “di seberang sana”, tetapi juga sebagai yang imanen dalam kehidupan tubuh kita, pengalaman sehari-hari, dan praktis. Beberapa tradisi keagamaan tertentu, misalkan Islam, dipahami menekankan transendensi, sementara agama-agama Timur yang lain cenderung menekankan imanensi. Kekristenan sendiri menekankan keduanya: Allah dikenal sebagai yang agung sekaligus sebagai yang dapat dijumpai di dalam dan keseharian kita (Lihat, Dokumen Keesaan Gereja PGI 2014-2019), dapat diraba dalam pengalaman religius yang dramatis maupun dalam bentuk kasih yang sederhana

Page 47: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

46 Prosiding

dan tenang layaknya cinta seorang perempuan kepada kepada kekasihnya. Hanya pemahaman di dalam ruang multidimensi seperti itulah, dengan segala kompleksitasnya, agama dapat dievaluasi secara sepantasnya. Sebab itu, perlu untuk mengecek kedalaman dari ketegangan itu di dalam kekristenan sendiri.

Transenden dan Imanen

Dimensi Transendesial adalah sesuatu yang dapat dicapai atau dipadukan, seringkali tanpa perubahan mendasar dalam cara hidup atau pandangan kita. Tak heran muncul ungkapan “semakin banyak kita berbicara Tuhan, makin kita tidak berbicara apa-apa tentangNya”, namun kadang-kadang, kita menjumpai bentuk-bentuk transendensi kuat yang lebih radikal yang menentang pemahaman, pengertian, dan batas. Ini terjadi ketika kita menemukan bahwa kehidupan tidak dapat dimasukkan ke dalam sebuah kerangka atau paling tidak dikurangi menjadi seperangkat proposisi dan aturan dari usaha terbaik kita sekalipun. Melalui Levinas, kita menemukan bahwa dunia kita bukan hanya “totalitas” yang terkendali dan terkendali dari sistem yang dipahami dengan jelas, tetapi merupakan “tak terbatas” yang terkadang melampaui kontrol dan pemahaman manusiawi kita. Transendensi yang kuat juga muncul dalam teka-teki dan paradoks kehidupan, hal-hal yang tampaknya benar secara simultan tetapi tidak dapat didamaikan satu sama lain. Sebagai contoh, alam semesta tampak seperti sebuah dinamika kesatuan yang mendasari seluruh gerakannya, tetapi pada saat yang sama kita juga melihat sebuah keanekaragaman yang tak terdekati. Umat beragama dapat berbicara tentang Tuhan sebagai cinta dan pada saat yang sama mengakui kehadiran penderitaan di dunia. Paradox muncul ketika kita mengajukan pertanyaan besar seperti mengapa segala sesuatu ada? Mengapa dunia bisa ditebak dan teratur? Akhirnya, hal tersebut terbukti dalam kebebasan manusia kita untuk membuat pilihan, mengejar tujuan, bereaksi dengan cara yang berbeda, dan melatih kreativitas. Tidak peduli seberapa hati-

Page 48: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

47Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

hati kita mempelajari dan merencanakan, tindakan kita sendiri dan tindakan orang lain, bahkan pengaruh sains dan teknologi modern yang terencana, yang transenden tersebut pasti mengejutkan kita dan menentang prediksi. Tindakan manusia dapat dianggap sebagai perjuangan antara kebebasan dan kebutuhan. Dalam tradisi kegerejaanpun, para pemikir yang menyaksikan tentang kehidupan spiritual sebagai keterlibatan di dalam semacam pendakian dan perjumpaan dengan transendensi dan akhir yang membahagiakan selalu diwujudkan dalam perubahan-perubahan hidup ke arah yang baik sekembalinya dari perjumpaan dengan transendensi itu. Dalam bahasan ini menyiratkan bahwa kehidupan bergereja berarti memberanikan diri untuk tidak hanya tentang fungsinya dan bukan juga soal substansinya seperti pandangannya tentang realitas transenden, suatu posisi yang tentunya sulit untuk dikagumi oleh para penganut tradisi agama. Lalu bagaimana gereja? apakah lebih banyak tentang transendensi atau imanensi? Sementara tidak mengapa jika mungkin pihak-pihak di rentangan tertentu mungkin menekankan satu di atas yang lain, namun tidak dapat dielakkan bahwa hampir seluruh tradisi agama besar mencakup keduanya.

Spiritualitas dan Agama

Seiring berkembangnya pemaknaan agama maka diikuti dengan berkembangnya istilah spiritualitas yang mulai memasuki ruang bahasa yang lebih umum sebagai alternatif untuk menggambarkan pencarian insan akan yang transenden. Bahasa Inggris memaknai “spiritual” sebagai istilah yang digunakan untuk membedakan kehidupan gereja dengan duniawi atau materialistis. Pada abad ke-19, “spiritualitas” bukanlah istilah yang umum digunakan dan “Spiritualisme” merujuk pada pertemuannya dengan roh dan fenomena psikis lainnya. dan definisi dalam literatur ilmiah juga bervariasi. Ragam makna spiritualiitas ini mencerminkan fakta bahwa spiritualitas adalah istilah yang luas dan mencakup berbagai domain makna yang mungkin berbeda di antara berbagai kelompok

Page 49: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

48 Prosiding

budaya, nasional, dan agama. Saat ini istilah ini sering digunakan untuk menunjukkan sisi pengalaman dan pribadi dari hubungan kita dengan yang transenden atau sakral. Mereka yang menggunakan istilah dengan cara ini biasanya justru dikontraskan dengan agama yang mereka sempit sebagai struktur organisasi, praktik, dan kepercayaan kelompok agama. Misalkan saja kita mendengar slogan adventorial dari pariwisata “Solo The spirit of Java”, jadi ‘spirit’ di situ tidak ada kena-mengenanya dengan agama.

Teolog dan praktisi agama, di sisi lain, cenderung lebih menyukai definisi yang kurang menarik dari pemisahan ketat antara agama dan spiritualitas. Di mata mereka, spiritualitas adalah realitas hidup agama yang dihidupi oleh penganut tradisi agama. Wade Clark Roof berpendapat bahwa spiritualitas meliputi 4 tema: (1) sumber nilai dan makna atau tujuan utama di luar diri, termasuk perasaan misteri dan transendensi-diri; (2) cara pemahaman; (3) kesadaran batin; dan (4) integrasi pribadi (Wade Clark Roof, 1999:35). Menurut saya karakteristik terakhir sangat penting. Spiritualitas memiliki fungsi integratif dan menyelaraskan yang melibatkan (a) kesatuan batin kita dan (b) hubungan dan keterhubungan kedalaman diri kita dengan orang lain dan dengan realitas yang lebih luas yang memperkuat kemampuan kita untuk menjadi transenden. Dengan demikian, fakta bahwa adalah spiritual adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ‘adaan’ (istilah yang Kant pakai di samping ‘Ada’ sebagai transenden) kita dan yang kita lakukan. Spiritualitas memiliki kualitas misterius yang kuat dan tidak dapat direduksi menjadi objek studi sederhana. Idealnya, spiritualitas membawa kita melampaui pengalaman sehari-hari dan memiliki efek transformasi pada kehidupan dan keterhubungan kita dengan dunia sekitar. Namun sekali lagi, inipun bukan hanya tentang keberadaan dan pengalaman, tetapi juga tentang praktik. Dalam praktik kontemporer, ini melibatkan pencarian nilai-nilai yang lebih tinggi, kebebasan batin, dan hal-hal yang memberi makna hidup. Sementara di negara-negara Barat pencarian ini biasanya

Page 50: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

49Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

melibatkan pencarian Tuhan, termasukpencarian makna seorang non-ateis pun.

Konsepsi agama tentang spiritualitas umumnya melibatkan definisi tebal yang kaya akan kiasan untuk keyakinan dan praktik tertentu, berbeda dengan definisi general yang tipis, yang lebih berfokus pada pengalaman alami, nilai-nilai pribadi, atau keterhubungan. Sebagai contoh, Jernigan menawarkan definisi tipis tentang spiritualitas sebagai “pengorganisasian (pemusatan) kehidupan individu dan kolektif di sekitar pola dinamis makna, nilai, dan hubungan yang dipercaya untuk membuat hidup berharga (atau setidaknya layak untuk dihidupi) dan kematian bermakna.” Sedangkan di dalam kekristenan definisi tebal tentang spiritualitas lebih spesifik: “pengorganisasian (pemusatan) kehidupan individu dan kolektif di sekitar hubungan yang penuh kasih dengan Allah, sesama, diri, dan semua ciptaan − menanggapi kasih Allah yang diungkapkan dalam Yesus Kristus dan karya Roh Kudus.” Mengingat bahwa agama dan spiritualitas adalah konsep kompleks yang memiliki makna berbeda untuk kelompok yang berbeda, sulit untuk mengartikulasikan melalui definisi tunggal untuk keduanya. Namun, ke-multidimensi-an nya mengisyaratkan bahwa definisi yang hanya fokus pada salah satu aspek saja harus dihindari.

Kharisma dan InstitusiSalah satu masalah abadi eklesiologi adalah hubungan

antara karisma dan institusi. Seorang Katolik Italia Luigi Sartori mengingatkan kita akan fakta yang jelas bahwa pemikiran teologis tentang eklesiologi harus memperhitungkan tiga faktor yang saling berkaitan: otoritas, karismatik, dan sakramen (dalam diskusi ini kita tidak akan menyentuh masalah sakramen walaupun itu secara luas). dibahas sebagai bagian dari Koinonia.) Dan dia berpendapat bahwa sekarang (tahun 1978!) saatnya telah tiba untuk ‘mengkonfirmasi tidak hanya bahwa karismatik memiliki tempat mereka dalam struktur komunitas tetapi bahwa ada prinsip-prinsip asli untuk

Page 51: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

50 Prosiding

membangun sebuah “Struktur karismatik” Dapat dimengerti, Gereja Katolik lebih menekankan

peran hierarki, pelayanan yang ditahbiskan, otoritas gereja, dan aparatur sakramental, sedangkan Pentakostalisme, sebagai gerakan kebangkitan baru-baru ini, telah mencari pengalaman aliran karisma bebas di dalam gereja. Namun, akan terlalu disederhanakan untuk meninggalkan masalah ini di sini, seperti yang dilihat lebih dekat oleh sumber kami: tanpa menyangkal perbedaan penekanan dasar ini, ada banyak hal yang dapat dan harus dipelajari satu sama lain oleh satu sama lain. Faktanya, baik umat Katolik maupun Pentakosta siap untuk melampaui dikotomi “karisma versus institusi” yang terlalu disederhanakan menjadi gagasan gereja yang lebih berhasil yang bersifat karismatik sekaligus memiliki struktur. Dialog mengungkapkan kepada kita bahwa eklesiologi Pentakosta tidak cukup naif untuk mengecilkan peran otoritas/struktur, juga eklesiologi Katolik tidak disertai dengan penekanan berlebihan pada hierarki. Pentakosta mencari keseimbangan antara karisma dan struktur sedangkan umat Katolik mencari keseimbangan antara struktur dan karisma. Keduanya, dengan cara masing-masing, mencari ‘struktur karismatik’, walaupun dengan divergensi yang, tentu saja, banyak hubungannya dengan lokus teologis lainnya, seperti sakramen dan pandangan hubungan antara gereja lokal vs universal. Demikian juga di sisi Pentakosta, sebagai gerakan kebangkitan kekristenan yang puber, telah mengalami kesulitan dalam mencari untuk menemukan keseimbangan antara semangatnya untuk gerakan bebas Roh dan kebutuhan yang tak terelakkan untuk keteraturan dan kelembagaan.

Michael Harper, berpendapat bahwa sejarah umat Allah dalam kaitannya dengan Roh Kudus. Roh dapat dilihat dalam hal sejauh mana Roh Kudus telah ‘bebas untuk beroperasi secara inkarnasional di antara mereka di satu sisi, dan sejauh mana manusia telah berusaha untuk memenjarakan Roh Kudus dalam beberapa aspek lahiriah dari anugerah (misal: Institusi Gereja, hukum gereja,

Page 52: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

51Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

sakramen, pelayanan, dll). Dia menyebutkan tiga pendekatan utama (Karkainnen: 8-9):

1. Katolik menekankan pada sakramen, suksesi apostolik (ragam makna istilah ini juga yang seringkali digagal pahami oleh grassroot), imamat institutif dapat berbalik memenjarakan karya Roh Allah yang bebas dan bebas untuk bergerak melampaui struktur gereja.

2. Reformasi Protestan dapat dipandang sebagai reaksi terhadap hal ini: di sini Roh dapat dengan mudah dipenjara dalam formula doktrinal; pada saat yang sama, Reformasi membuka jalan bagi sektarianisme, dengan aksennya pada individualisme dan kebebasan individu untuk memutuskan.

3. Pentakostalisme (paling tidak sebagian) merupakan gerakan reaksioner terhadap keduanya, dalam keinginannya untuk membebaskan diri dari masa lalu dan memulai lagi dengan sedikit institutif. Namun telah diakui oleh sebagian besar pengamat Pentakostalisme bahwa gerakan pentakosta justru menyadari dirinya membentuk institusi dan peraturannya sendiri. ‘Jebakan’ tersebut, menurut Harper, disebabkan orientasi pengalamannya yang terlalu ekstrem yaitu dalam upayanya melepaskan Roh dari institusi dan formula teologis yang berlebihan serta pedagogi fundamental, kaum Pentakosta malah cenderung menjebak Roh dalam kriteria pengalaman. Dan kemudian Harper juga menambahkan bahwa Jika bagi orang Katolik pertanyaan penting adalah “Tangan siapa yang ditumpangkan pada siapa?”, Dan orang Protestan mempertanyakan, “Apa yang Anda percayai?”, Pentakosta justru masih mempertanyakan “Apakah Anda dibaptis dalam Roh ? ”Dan, Apakah kamu berbicara bahasa roh?”.

Selalu, di dalam sebuah tegangan semesta seperti membawa kita untuk melihat bahwa ada sesuatu yang tidak kental yang diijinkan untuk menerobosnya, dari ketegangan antara agama dan spiritualitas, antara insititusi dan karisma munculah suatu

Page 53: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

52 Prosiding

realitas yang mengubah pola untuk tujuan ilahi (transenden). Maka kebutuhan untuk memahami dan menyepakati itu adalah sebuah keniscayaan, Katolik menemukan bahwa Roh Kudus juga bekerja di dalam Institusi atau struktur gerejawi, dan Pentakosta juga mengaminkan bahwa Roh pun dapat berkarya melalui struktur gereja, keteraturan dan hal-hal yang prosedural demi kelancaran pelaksanaan pelayanan. Pentakosta dan Karismatik sendiri memahami juga bahwa institusi gereja dapat menjadi saluran aliran karya Roh Kudus, karena beberapa pemimpin gereja sering tidak menganggap penting otoritas jabatannya demi dapat mengakses pada tuntunan Roh Kudus. Katolik dan Pentakostapun sama-sama menegaskan perlunya pembaharuan struktur gereja agar tercipta ruang untuk hembusan Roh Kudus bagi umatNya. Dari sini perlunya eklesiologi yang cair yang dipahami seluruh pihak (baca: oikoumenis) paling tidak karena masing-masing denominasi merasa ketidaknyamanan di dalam pola bergereja masing-masing.

Pentakosta Dalam PerjumpaanRupanya dalam pentakosta kerohanian dan agama dipahami

secara eratik dalam konteks yang glokal (global-lokal). Sinnott misalnya, berpikir kerohanian melibatkan hubungan seseorang dengan yang sakral berbeda dari agama yang melibatkan kepatuhan pada keyakinan dan praktik tertentu, meskipun ia juga mengakui bahwa keduanya kadang-kadang sulit untuk dipisahkan dan sering tidak dibedakan dalam teori dan penelitian (Sinnott, 2002). Memisahkan keduanya memiliki keuntungan mengakui bahwa semacam spiritualitas yang didefinisikan secara luas sangat mungkin bagi mereka yang berada di luar tradisi dan komunitas agama. Dan kita lihat Pentakosta di Indonesia secara tidak sengaja berfokus pada spiritualitas dalam kerangka Barat yang berfokus pada individu dan pengalaman mereka daripada kebutuhan dan pengalaman masyarakat yang lebih besar. Para penulis Eropa Kontinental menemukan perbedaan yang sangat menarik, karena beberapa

Page 54: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

53Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

mengaitkan penurunan nilai-nilai tradisional dan agama dengan peralihan ke spiritualitas dan fokus pada lapisan “diri” yang lebih dalam (mis. Houtman & Aupers, 2007).

Ada banyak indikasi dalam literatur empiris bahwa dalam sampel Barat dimungkinkan untuk (1) mengembangkan definisi dan instrumen pengukuran yang andal mengukur agama dan spiritualitas secara terpisah, (2) menemukan bahwa mereka memiliki kualitas atau efek yang berbeda, dan (3) mengidentifikasi orang yang spiritual atau religius, tetapi tidak keduanya, meskipun pada banyak orang mereka sangat terkait. (Karkkainen). Sebagai contoh, beberapa gereja kharismatik telah menemukan bahwa agama dan spiritualitas memiliki efek independen terhadap pertumbuhan, meskipun spiritual juga memiliki efek pada religiusitas. Mereka menemukan bahwa spiritualitas melibatkan orientasi untuk membantu orang lain dan melakukan pekerjaan yang baik, serta berpartisipasi dalam kegiatan yang mementingkan diri sendiri. Beberapa Gereja Kharismatik (katakan saja beberapa GBI), dengan dasar teks Alkitab “usahakanlah kesejahteraan kotamu di mana engkau Aku buang” mereka telah menempatkan identitas misiologis mereka sebagai partner (istilah pratner menjadi terjemahan praktis dari hubungan gereja dan negara yang koordinatif di dalam Dokumen Keesaan Gereja) dari pemerintah kota di mana gereja berdiri. Mereka membuka alokasi terbesar untuk program sosial gereja kepada masyarakat kota tersebut dan menyingkirkan keraguan yang membatasi fungsi bangunan ibadah mereka untuk digunakan bagi berbagai macam kegiatan pemerintahan dan masyarakat. Mereka kontras dengan religiusitas yang melibatkan hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan dan pengaruh institusional.

Tegangan antara penghayatan agama dan spiritualitas modern ini telah mendorong Pentakosta dalam hal mempola keyakinannya yang terbarukan dan unik. Hal ini melahirkan semcamam pola budaya global yang memungkinkan perbedaan antara agama dan spiritualitas mungkin tidak bermakna dan bahwa bahkan ketika

Page 55: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

54 Prosiding

keduanya dapat dibedakan mereka dapat saling mendukung secara positif. Namun apakah benar-benar mungkin rohani tanpa mengikuti pola keagamaan yang disahkan atau dikonstituenkan? Jika dengan demikian yang saya maksudkan di sini adalah mungkinkah hari ini kekristenan memaklumi dan tak terburu-buru menjatuhkan justifikasi sebagai pihak yang outsider pada sebuah keterlibatan dalam dinamika pencarian spiritual tanpa mengaitkan secara resmi dalam tatanan yang formal dan terpatenkankan? Sekalipun pemisahan spiritualitas dari agama sepenuhnya sulit. Psikolog David Elkins berpendapat bahwa itu mungkin dan dalam bukunya Beyond Religion (yang dikutip Simon Chan dalam Chris E. W.Green (editor), 2016: 73-81) menyajikan program untuk kehidupan spiritual di luar secara univok namun ekuivok yang perlu dijadikan pertimbangan bagi gereja (khususnya di Indonesia) untuk menentukan struktur dan polanya. Sekalipun pola dari David Elkins menggunakan banyak praktik dan kepercayaan yang diambil dari tradisi agama-agama besar, dan ia sering mengutip tokoh agama untuk mendukung rgument-nya, namun hal ini menunjukkan fakta bahwa dalam praktiknya seringkali tidak mungkin untuk memisahkan spiritualitas dan agama satu sama lain dan bahwa praktik kerohanian tanpa dukungan dari struktur agama adalah sulit di dalam banyak hal.

Tentu saja kekristenan sendiri, baik para praktisi agama dan teolog secara tradisional menolak gerakan untuk memisahkan agama dan teologi dari spiritualitas sebagai tidak akurat dan berbahaya, namun hal tersebut terjadi selama periode sejarah. Pada akhirnya gereja dan spiritualitas saling membutuhkan, dan hal yang sama mungkin juga berlaku dalam tradisi agama lain. Tentu saja diskursus spiritualitas pada mereka yang berada di luar kelompok agama sangat sulit menemukan dasar kebaikan (ini terkait dengan pertimbangan nurani sebagai jejak transendensial), sehingga sebagian besar penelitian tentang spiritualitas hingga saat ini melibatkan mereka yang berafiliasi dengan gereja atau kelompok

Page 56: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

55Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

agama lain (Emmons, 1999: 98). Jika agama dan spiritualitas berbeda namun terkait, ada dua cara untuk memahami hubungan mereka. Pertama, caranya adalah dengan menganggap bahwa salah satu konstruk secara aktual merupakan subset dari yang lain sehingga agama hanyalah “tambahan” atau respons terhadap spiritualitas atau sebaliknya. Misalnya, Kenneth Pargament mendefinisikan agama secara luas sebagai “pencarian signifikansi dalam cara-cara yang berkaitan dengan yang sakral” dan melihat agama sebagai konsep yang lebih luas daripada spiritualitas. Perspektif yang berlawanan ditawarkan oleh peneliti Eropa Stifoss-Hanssen, yang berpendapat bahwa spiritualitas adalah konstruksi yang lebih luas karena kualitas kesakralan yang ditekankan dalam agama tidak dialami oleh ateis dan agnostik. Kedua, adalah untuk melihat bahwa agama terkait dengan yang sakral tetapi bahwa kesakralan dapat didekati dari cara lain. Cara yang masuk akal untuk menyelesaikan masalah ini adalah memperlakukan agama dan spiritualitas sebagai sesuatu yang berbeda tetapi saling merengkuh.

Koinonia Sebagai Kesempatan untuk Memandang Gereja Dalam Kaca Mata Oikoumenis

Bagian ini saya rasa perlu bagi kita untuk mempertimbangkan Karkkainen atas usulnya bahwa Koinonia sebagai rangka membangun eklesiologinya. Pentakosta lebih tertarik dengan istilah Koinonia atau ‘persekutuan’ jika hendak berbicara tentang Gereja. Puluhan tahun sebelum teologi ekumenis mulai tertarik pada akar Alkitabiah dan Patristik untuk menghidupkan kembali pemahaman teologis kuno dalam komunitas Kristen sebagai koinonial, kaum Pentakosta menghayati persamaan dan persekutuan imannya bersama saudara dan saudari dalam nuansa penundukan terhadap tuntutan dan kuasa Roh Kudus. Spiritualitas dan teologi Pantekosta hampir sejak semula memberikan penghargaan yang lebih tinggi pada makna persekutuan daripada gereja sebagai usaha pelembagaan keseragaman iman (struktur hierarkis) . Titik pertemuan antara soteriologi dan

Page 57: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

56 Prosiding

pneumatologi Pantekosta adalah penghayatan eklesiologi sebagai persekutuan orang percaya. Beberapa tokoh pentakosta memahami gereja Pentakosta sebagai persekutuan biasanya karena pengesahan dari sederet tafsiran biblis. Istilah persekutuan dapat ditelusuri ke Gereja mula-mula dalam Kisah Para Rasul. Kilian McDonnell meyakini bahwa jika mengacu pada orang percaya dengan dinamika Pentakosta pada Kisah Para Rasul, maka seseorang akan segera terhisab pada koinonia setelah mendapatkan kharisma dan karunia Roh. Persekutuan hampir dipahami kemudian sebagai pembangunan komunitas bersama dengan berbagai ekspresi ekaristi. Bahasa yang dipakai Lukas adalah bahasa komuni. istilah ‘koinonia / komuni’ sendiri secara mendasar menunjukkan ‘berbagi dalam satu realitas yang dimiliki bersama’. Dalam hal ini sinonim untuk koinonia adalah berbagi, partisipasi, komunitas, persekutuan. Gereja adalah persekutuan dalam Roh,yang memiliki ekspresi tertentu terhadap kristologis atau bahkan trinitas (2 Kor. 1,5; Flp 3.10) (Simon Chan, 2011: 102-103). secara oikoumenis kita tentu melihat bahwa tema-tema persekutuan yang mendasar, terutama tema ekaristi, merupakan sikap eklesiologis paling tidak ‘untuk sebagian besar’, anggota dewan gereja sedari awal . Teologi patristik dari Koinonia muncul dari beberapa kesaksian Alkitab. Makna persekutuan, jauh dari sekadar perspektif kuno pada masa lalu, makna koinonia telah menunjukkan relevansinya dalam kehidupan gereja modern, dan di dunia modern. Dalam spirit oikoumenis tentu hari ini kita (sebagai representasi denominasi kita masing-masing) dapat saja memiliki pemaknaan berbeda tentang ‘persekutuan’, tetapi bagi yang lain tentu sangat dimungkinkan untuk menyampaikan istilah berbeda dengan makna dasar yang sama.

Bahkan, dapat dikatakan bahwa persekutuan bukan hanya gagasan eklesiologi, namun juga ekspresi dasar dalam kedalaman ontologi manusia, dan dengan demikian kita harus berbicara tentang ‘ontologi persekutuan yang sebenarnya’. Ini adalah dorongan dasar dari karya yang sangat berpengaruh, Being as Communion,oleh

Page 58: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

57Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

seorang Yunani Orthodox, John Zizioulas (John Zizioulas, 1985:148). Dia berpendapat bahwa makhluk gerejawi terikat pada keberadaan Allah sebagai persekutuan: ‘Dari kenyataan bahwa manusia adalah anggota Gereja, ia menjadi “gambar Allah”, ia ada sebagaimana Tuhan sendiri ada, dia mengambil “jalan keberadaan” Tuhan. Bentuk seperti ini merupakan cara berhubungan dengan dunia, dengan orang lain dan dengan Tuhan, sebuah peristiwa persekutuan, dan itulah sebabnya ia tidak dapat direalisasikan sebagai pencapaian individu, tetapi hanya sebagai realitas gerejawi.

Eklesiologi Ad HocDari uraian sebelumnya, paling tidak kita bisa menemukan

satu jalan yang menyediakan sebuah keniscayaan bahwa struktur dan pola kegerejaan yang cair sekalipun dengan kekentalan yang beragam. Salah satu dari sedikit usaha kontemporer dalam genre historis-teologis adalah Ephraim Radner, The End of the Church. Catatan mendalam Radner tentang sejarah gereja pasca-Reformasi, sebuah pendekatan yang terlalu rumit untuk dijelaskan dengan justifikasi yang rigour dan dalam paper yang singkat ini, menawarkan alternatif genuine yang ia sebut “socio-historical analyses of Western Christendom’s evolution into ecclesial ‘diversity’”. Radner memakai kata “penyesalan” untuk menggambarkan sikapnya terhadap kekakuan berimbas konflik dingin bergereja, karena ia harus berkutat pada klaim-klaim kepemilikan Tuhan oleh masing-masing masab gereja, sehingga olehnya pengabaian gereja akan panggilan kesaksian dan pemuridan (Ephraim Radner, 1998: 44-82).

Hal inipun saya melihat juga self-critic di dalam pentakosta sendiri, di mana arah kerinduan yang berbeda-beda menuju kebenaran Allah, fenomena gerejawi di masa lalu, sekarang dan masa depan justfikasi yang berdasar pada kesetiaan dan ketidaksetiaan, menjadi semacam kutuk dan alasan untuk perpisahan-demi perpisahan gereja lokal. Perbedaan demi perbedaan yang ada diungkapkan dengan nuansa penghinaan kesombongan di hadapan keluasan kasih

Page 59: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

58 Prosiding

dan anugerah Allah. Penggunaan penafsiran resmi tentang Israel dan identitas sekunder gereja mula-mula juga membuat Radner berpendapat bahwa meskipun gereja masih mempertahankan bentuk Tubuh Kristus, namun Roh telah meninggalkan gereja yang terbagi. Dia menemukan ketiadaan Roh dalam ketidakmampuan kita untuk memahami Kitab Suci dan keluasan penyataanNya, sehingga alih-alih bertahan dalam proyeksi (istilahn yang digunakan Feuerbach) kesucian kekudusan sejati kita justru jatuh pada kebingungan kita tentang penahbisan dan panggilan; dan kegagalan kita untuk membedakan keberdosaan kita dan kebutuhan kita untuk beralih dari kondisi kita sebagai “denominasi gereja” pada “gereja yang berdenominasi”.

Lepas dari eksesnya, posisi tersebut yang dikembangkan Pentakosta untuk mewujudkan begitu banyak kategori yang digunakan untuk membedakan berbagai cara di mana ilmu sosial dan sejarah (dan, tentu saja, segala bentuk penyelidikan) mendekati gereja dan perwujudannya. Pentakosta, paling tidak menurut saya, adalah sebuah arus menggereja yang terus mencari dinamika yang ad hoc (dalam bidang hukum berarti sesuatu yang diimprovisasi untuk tujuan tertentu), sebagai cerminan terhadap bentuk kegerejaan yang lalu namun juga terus membuka kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Di antara kedua ekstrem kharismatik dan hirarki, agama dan spiritualitas. Pentakosta bertemu dengan pendirian keagamaan yang transenden ketika kami membahas cakrawala pluralis, secara bersamaan mengolah kembali klaim subyektif tertentu sehingga Pentakosta menyesesuaikan dengan definisi universal dari agama itu sendiri.

Kaum Pentakosta tidak berupaya mengembangkan eklesiologi (teologi gerejawi) yang khas. Kaum Pentakosta lebih kepada’pelaku’ daripada ‘pemikir’ dan alih-alih menulis risalah teologis, mereka terus hidup dan bereksperimen dengan tipe baru dari kehidupan bergereja yang antusias. Pentakosta sampai hari ini terus berusaha mencari dinamika terbaik antara ketegangan antara kerinduan

Page 60: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

59Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

membebaskan Roh dan pengaruh denominasi dan pemimpin gereja yang menekankan berbagai karunia-karunia Roh Kudus sebagai dasarnya. Hal ini tentu saja mengarahkan kaum pentakosta untuk bertatap muka dengan berbagai pilihan eklesiologis.

Karkkainen, seorang analis Pentakostalisme yang cukup teliti, mengajukan pertanyaan apakah masuk akal untuk berbicara tentang eklesiologi Pentakosta yang benar-benar khas? Beberapa penulis tentang Pentakostalisme secara mengejutkan memberikan sedikit tentang pergumulan eklesiologi oikoumenis, satu-satunya kontribusi yang substansial adalah Teologi Gereja dan Misinya yang klasik. Misalkan Peter Hocken (seorang katolik), dalam artikelnya ‘Teologi Gereja’ dalam Kamus Gerakan Pantekosta dan Karismatik “, mencatat bahwa ‘proses berdenominasi tidak menghasilkan pandangan eklesiologi Pentakosta yang khas, kecuali badan-badan yang berusaha memulihkan pelayanan Efesus 4.11. Dapat dipahami, eklesiologi Pentakosta bersifat ad hoc, yang menyisakan banyak ruang untuk improvisasi. Karena sebagian besar Pentakosta menekankan karakter spiritual, sehingga tidak terlihat dari Gereja, banyak dari tulisan mereka berada pada pemerintahan gerejawi yang ditandai oleh keinginan restorasi untuk kembali ke masa kerasulan (bukan dalam arti hirarki, namun kuasa dan tanda-tanda spiritual restoratif-misional).

Anders Nygren menjelaskan pola post denominasional sebagai pemaknaan gereja bukan lagi sekedar sekumpulan ataupun bukan sekedar sejumlah umat yang menjadi anggotanya. Ia mengatakan: “The church is Christ as he is present among and meets us upon earth after his resur- rection. Christ is present in his Church through his Word and sacrament, and the church is, in its essence, nothing other than this presence of Christ” (Anders Nygren, 1957:96).

Gereja menumpukan keberadaannya pada tindakan Allah Tritunggal, di dalam rancangan penebusan, Allah memanggil orang-orang dari ciptaan lama dan membentuk kembali mereka ciptaan

Page 61: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

60 Prosiding

baru dan dipelihara dengan tubuh dan darah yang didermakan Kristus di kayu salib. Lalu secara sakaramental gereja melahirkan manusia baru melalui rahim air baptisan dan dipelihara dengan tubuh dan darah merupa roti dan anggur perjamuan kudus. Gereja adalah pekerjaan Allah dan kita dibaptis ke dalamnya dan dipelihara olehnya. Singkatnya, inilah yang Simon Chan akui gereja sebagai ibu. Pentakosta dengan segala keterbatasan konsep sosiologis gerejanya mencoba berbagi dengan saudara kandung Protestan. Namun dari sinilah Pentakosta tersandung dengan konsekuensi negatif (Chan, 2011:60-65). Pertama, gereja cenderung dilihat sebagai penyedia layanan publik (Service public) yang melayani kebutuhan orang Kristen dalam artian individual. Jarang dipahami bahwa individu yang dianggap ada untuk gereja. Konsekuensi dari memberikan prioritas kepada individu-individu atas kehidupan gerejawi berarti bahwa, bagi banyak Pentakosta dan Karismatik evangelikal, memahami peristiwa Pentakosta terutama sebagai pengalaman pribadi tentang kuasa Roh Allah yang hidup. Padahal, gerakan pembaruan dalam Gereja Katolik Roma sejak semula telah dikaitkan erat dengan eklesiologi. Ini karena pembaruan Katolik didahului oleh sejumlah perkembangan teologis yang menghubungkan pneumatologi dan eklesiologi. Para teolog seperti Congar dan Rahner dengan lirih telah mengajak gereja untuk memahami dirinya sebagai tubuh Kristus yang karismatik jauh sebelum Pembaruan Karismatik dirintis di Gereja Katolik padam tahun 1967. Kedua, pemahaman sosiologis gereja pentakosta cenderung melihat gereja sebagai sebuah komunitas yang dibawa oleh individu yang dipersatukan untuk tujuan yang sama, sehingga koinonia bukan sebagai karya pemberdayaan oleh dan dari Roh Allah namun hasil motif kebaikan hati manusia. Wujudnya bisa sesuatu yang sangat spiritual seperti memberitakan Injil, tetapi pada dasarnya masih merupakan hasil dari dorongan-dorongan terakui atau tidak dari sisi kemanusiaan. Tidak heran di dalam dinamika perkembangan gereja pentakosta, adalah keinginan orang-orang yang membuat gereja lebih terlihat daripada

Page 62: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

61Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

penceraban dorongan Kristus yang hendak membangun gerejaNya dalam kebutuhan kemuliaan Kerajaan Allah (Mat. 16:18).

Profetis-Praktis Sebagai Eklesiologi yang CairAgenda eklesiologis haruslah mencakup sebuah beban

untuk mengembangkan eklesiologi menjadi praktik sosial yang merefleksikan secara langsung dan teodramatik tentang apa yang sering dijabarkan oleh eklesiologi modern, yaitu gereja yang konkret. Eklesiologi praktis-profetik memusatkan perhatian teologi pada kehidupan sehari-hari gereja yang bingung dan terkadang juga berdosa terkait dengan tradisi penyelidikan dan sikap-sikapnya terhadap isu-isu sosial. Pentakosta pun masih pada tahap berusaha menegaskan eklesiologi yang dapat terlibat dengan beberapa disiplin ilmu yang lebih signifikan yang merembugkan identitas konkret gereja, yaitu sejarah, sosiologi dan analisis budaya atau etnografi. Hubungan antara ilmu sosial dan teologi saat ini sedikit bermasalah di dalam praktik-praktik pentakostalisme. Bagi beberapa teolog, seperti para pluralis, tampaknya ilmu-ilmu sosial tertentu bersifat normatif untuk konstruksi teologis mereka sendiri. Para praktisi pentakostalisme berpendapat bahwa teologi dan ilmu sosial harus setara, sekalipun ada beberapa teolog lain memandang ilmu sosial dengan kecurigaan yang jauh lebih besarkarena takut bahwa pendekatan perspektif sosiologis atau empiris lainnya ke dalam eklesiologi akan menghasilkan karakter yang reduktif idenitas teologis gereja. Gereja harus mengembangkan bentuk-bentuk teologis ilmu sosialnya sendiri. Pandangan-pandangan yang beragam dan sering bertentangan tentang fungsi ilmu-ilmu sosial dalam teologi tampaknya menjadi sebuah produk yang tidak hanya dari berbagai konsepsi metode teologis yang berbeda, tetapi juga konsepsi yang agak berbeda dari metode ilmiah sosial, terutama yang berkaitan dengan analisis agama dan gereja atau badan keagamaan pada umumnya. Posisi yang diambil di sini akan bersifat teodramatik dan diinformasikan oleh gagasan kebenaran tradisional.

Page 63: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

62 Prosiding

Semua bentuk ilmu sosial berguna, mungkin bahkan penting bagi eklesiologi, termasuk yang sepenuhnya bertentangan dengan gereja atau dengan badan keagamaan pada umumnya. Namun, karena ilmu sosial sifatnya mengoreksi badan-badan keagamaan dalam berbagai cara, maka dalam taraf oikoumenis peran ilmu sosial dapat berfungsi melalui cara dan metode yang beragam, namun sekaligus tidak satupun dari masing-masing metode tersebut yang normatif.

‘Kekinian’ bagi pentakosta menjadi semacam teori-teori yang menawarkan kritik yang sangat membantu terhadap identitas konkret gereja, misalkan saja gereja pentakosta dan karismatik sering berbicara tentang manfaat pemuridan dan terus memikirkan kesulitannya. Dengan demikian ia membuka diri terhadap kritik Feuerachachian tentang agama sebagai pemenuhan harapan, atau pada penjelasan psikologis agama sebagai penopang bagi mereka yang kepribadiannya tidak cukup kuat untuk menghadapi kenyataan. Sebagai tanggapan, gereja mungkin menemukan itu layak untuk mengembangkan deskripsi pemuridan yang lebih baik dan untuk mempromosikan lebih efektif praktik-praktik yang memalsukan identitas hanya untuk menyesuaikan kritik-kritik sosial.

Dengan demikian Pentakosta mencoba untuk memahami dimensi transendental gereja di dalam pergerakannya untuk menggunakan beberapa disiplin non-teologis dalam eklesiologi dan pengembangan bentuk-bentuk eklesiologi baru, dimulai dengan sejarah. Ke-profetisan gereja dalam hal ini dipahami oleh Pentakostalisme selalu sebagai korelasinya dengan kesaksian dan pemuridan gereja dilakukan dalam mengubah konteks eklesiologis dan sebagai tanggapan terhadap gerakan nuansa kerajaan Allah di dalam panggung dunia yang sedang berlangsung (DKG_PGI, 2014-2019. Dokumen Keesaan Gereja, (poin 17-18), 111) . Selain itu, setiap eklesiologi bergantung pada konstruksi dari masa lalu gereja untuk konsepsinya tentang identitas konkret gereja saat ini dan kebutuhan serta peluangnya di masa depan. Eklesiologi praktis-profetik berusaha untuk menceritakan konstruksi itu secara eksplisit

Page 64: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

63Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

sehingga dapat dinilai dan diperdebatkan. Namun, dalam teologi modern, sejarah gereja biasanya dianggap sebagai suatu disiplin ilmu yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang berbeda dari pada eklesiologi sistematis yang tepat dan konsesif. Diasumsikan bahwa, sementara eklesiologi harus mengambil sikap teologis, sejarah gereja harus mempertahankan sikap agnostik (John E. Thiel, 1991: 33–94). Untuk mempertahankan kredensinya sebagai ilmu sekuler, sejarah gereja harus beroperasi “dengan asumsi,” seperti yang dikatakan John Macquarrie bahwa peristiwa apa pun yang terjadi di dunia dapat dipertanggungjawabkan dalam hal peristiwa lain yang juga termasuk dalam dunia.” (John Macquarrie, 1997: 248).

Sejarah teologis yang diusulkan di sini berbeda dari teologi-teologi sejarah yang sistematis dan normatif ini. Penyelidikan teologis-historis dalam eklesiologi profetik-pratis menggambarkan dan menilai praktik, kepercayaan, dan penilaian gereja di masa lalu sehubungan dengan pemerintahan Paulus, agar gereja dapat dengan lebih baik mengejar pencariannya yang berlangsung untuk pemuridan yang lebih benar dan bersaksi kepada Tuhannya(sebagai tujuan akhir). Sejarah teologis terlihat tidak cukup meriah merayakan gereja sebagai tubuh yang patut dicontoh atau sebagai solusi yang diberikan secara ilahi untuk masalah-masalah sosial dunia, juga tidak mengambil sikap netral, jika netral berarti hanya menghadirkan serangkaian peristiwa tanpa penilaian atau sebagai bagian dari pencarian makna-makan humanis. Sejarah teologis mungkin juga mencakup teologi sejarah gereja, tetapi seperti semua generalisasi atau kesimpulan dalam cakrawala theodramatic, bahwa teologi harus secara terus-menerus dinilai kembali berdasarkan Kitab Suci, tradisi namun tak boleh mengesampingkan perkembangan dalam konteks eklesiologis. Cakrawala theodramatic itu sendiri adalah semacam teologi sejarah, meskipun generalisasi mungkin dilakukan, namun perhatian utamanya seharusnya tidak saja memusatkan perhatian pada perincian identitas konkret gereja paten dan permanen yang menutup dan menentang keluasan Roh

Page 65: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

64 Prosiding

Kudus dan rentangan waktu dan perkembangan. Perkembangan lebih lanjut dalam plot akan memunculkan tantangan dan peluang lebih lanjut, dan akan membutuhkan para teolog untuk mengolah kembali pemahaman mereka sebelumnya tentang respons gerejawi kita terhadap kegiatan Allah dalam sejarah dalam terang gerakan-gerakan baru Roh. Semua interpretasi tetap terbuka untuk ditantang; memang, itulah poin penting di dalam eklesiologi.

Maka, sangat perlu eklesiologi mencerminkan respons konkret gereja terhadap Tuhannya menggunakan metafora budaya (Nicholas Heally, 2004: 169). Gereja, tentu saja, tidak dapat direduksi menjadi istilah budaya (sama sekali bukan budaya dalam arti modern) namun beberapa aspek dapat dijelaskan dalam istilah teologis-kultural. Dengan demikian “budaya” tidak dapat menjadi model gereja dalam cara “Tubuh Kristus” atau “Creatura Verbi” adalah; tidak dapat disalahartikan sebagai prinsip dasar sistematis atau deskripsi dari realitas utama gereja. Ini hanyalah sebuah metafora yang memungkinkan beberapa cara yang berguna untuk mendekati keterhubungan praktik sosial, kepercayaan dan penilaian gereja. Dengan demikian, pemaknaan institusi dapat kita rupakan menjadi kekuatan yang berguna.

Bentuk-bentuk eklesiologis apa pun yang dipilih sesuai dengan tugas yang ada dalam dunia postmodern, harus menjadi praktik teologis yang berkelanjutan. Refleksi diri kritis yang efektif oleh gereja sering kali bersifat episodik, dilakukan hanya ketika keadaan menjadi jelas buruk, ketika pemuridan dan kesaksian menderita dan dirasa butuh reformasi yang drastis. Refleksi praktis-kenabian atas gereja yang konkret berusaha mengantisipasi dan mencegah perlunya tindakan drastis seperti itu, mencari kesalahan dan dosa sedini mungkin, serta mencari peluang baru.

Pengakuan dipahami sebagai praktik kritis diri yang sedang berlangsung, upaya berkelanjutan untuk mengarahkan kembali diri sendiri kepada Yesus Kristus. Saya menyarankan bahwa itu adalah fungsi eklesiologi untuk melakukan sesuatu yang serupa untuk

Page 66: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

65Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

gereja. Tentu saja, tidak ada pendekatan eklesiologis yang akan mendahului setiap dan semua penyimpangan dari orientasi gereja kepada Tuhannya; dalam cakrawala theodramatic, gagasan semacam itu tidak masuk akal. Tetapi bentuk-bentuk eklesiologis dari sejarah, sosiologi dan etnografi, dalam perdebatan dengan disiplin non-teologis paralel, dapat membantu gereja hidup lebih jujur dengan menarik perhatian teologis kritis kembali ke kebingungan dan kompleksitas kehidupan dalam gereja sebagai peziarah. Eklesiologi praktis-profetik mengakui bahwa keberadaan Kristen tidak pernah stabil atau dapat diselesaikan dalam hal konstruksi teoretis murni, tetapi selalu bergerak, selalu berjuang di dalam theodrama.

Gereja juga mengakui bahwa gereja harus terlibat dengan tradisi penyelidikan lain dan perwujudan mereka tidak hanya untuk kepentingan mereka, tetapi untuk kepentingan mereka sendiri, agar suara Roh Tuhan terdengar di tengah-tengah dunia. Ini juga mencakup mengakui keberdosaan dan kekeliruan gereja, tidak hanya ketika diwajibkan pihak lain untuk melakukannya, namun dengan secara aktif mencari dan mengungkap praktik-praktik dan kepercayaan non-Kristen dan dengan mengusulkan reformasi yang sepantasnya. Ini menanggapi konteks eklesiologis yang selalu berubah dengan cara-cara praktis dan eksperimental dan tanggapan teoritis yang berusaha untuk mendorong tradisi penyelidikan sedikit lebih jauh. Karena itu, ia menyediakan cara bagi penyelidikan teologis untuk lebih memusatkan perhatian pada perincian keberadaan gerejawi Kristen seperti pada pola-pola yang lebih umum, sehingga dapat membantu gereja mengejar upayanya untuk memuliakan Yesus Kristus dalam segala hal yang dilakukannya.

Respons Konklusif Terhadap PBIK 2014-2019Mengapresiasi Dokumen Keesaan Gereja (DKG-PGI)

2014-2019, khususnya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) karena pertama, merupakan sebuah sikap positif dan bernuansa keguyuban antarberbagai denominasi gereja di Indonesia untuk

Page 67: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

66 Prosiding

semakin menegaskan identitasnya sekaligus kebersamaannya dengan negara Indonesia melalui keesaan gereja. Kedua, saya melihat cukup penting tanda penghubung (-) yang terletak di antara angka 2014 dan 2019 (cover DKG-PGI). Karena dengan tanda itu, ada rentangan ruang dan waktu yang memperlihatkan sebuah kesempatan bahwa dimungkinkan untuk berbicara tentang tujuan pembangunan yang ideal dan satu, namun tetap tersirat kemungkinan tidak semua pihak harus berakhir di tempat yang sama. Pergumulan pembentukan PBIK telah menjadi usaha kegerejaan Indonesia untuk mulai merespon perbedaan secara kebersamaan, bukan sekedar merumuskan sebuah dokumen yang menuntut penyamaan pandangan. ketiga, di dalam sejarah PBIK (Dokumen Keesaan Gereja 2014-2019, 23-26) kami memahami ada poin-poin yang dirangkumkan (Allah Bapa, Yesus Kristus, Roh Kudus, dan pengharapan Kristiani) di dalam poin Tuhan Allah sebagai upaya gereja-gereja di Indonesia menyentuh pokok iman dalam hubungannya dengan kemajemukan. Ini melatih Pentakostalisme untuk tidak hanya mencari literasi sentris Roh Kudus dalam teks PBIK, tetapi mulai menangkap keyakinan peran Roh Kudus yang tersebar di dalam hampir seluruh teks PBIK dan Dokumen Keesaaan Gereja secara keseluruhan.

Namun di dalam kesempatan ini, melalui uraian di atas, visi eklesiologi Pentakosta memunculkan pertanyaan lain tentang kepentingan Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) yang menjadi bagian dari Dokumen Keesaan Gereja (DKG-PGI 2014-2019): Bagaimana PBIK mempertimbangkan realitas Pentakosta dengan ciri struktur kegerejaan yang ad hoc dan genit merespon perubahan yang dipengaruhi kuat oleh hubungan dengan Trinitas, berhubungan dengan dunia dalam melaksanakan panggilan, membangkitkan sebuah keluarga dan persekutuan, menjalani kehidupan sehari-hari sebagai seorang Kristen? Pertanyaan itu penting bagi Pentakosta, karena stigma “tidak membumi” atau lebih buruk lagi “lupa terhadap identitas gerejanya” ketika gereja-gereja Pentakosta begitu saja menyerap praktik-praktik ekonomis

Page 68: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

67Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

di dalam dinamika bergereja mereka. Dalam batas tertentu, stigma ini memiliki validitas sejauh Pentakosta kehilangan arah di dalam visi apokaliptik mereka yang tidak diimbangi oleh eskatologi Alkitabiah. Dalam hal ini, kiranya dokumen PBIK dapat menjadi semacam pegangan bersama dengan poin-poin mendasar namun tetap dengan jelas (terkhusus bab VI mengenai gereja, hal.111-115), yang mempertahankan ketegangan antara yang “telah” dan yang “belum” yang disertai semangat pengambilan risiko dan petualangan. Sekalipun garis antara petualangan dan usaha nekat adalah tipis, namun kita melihat sejarah imaji keagamaan Indonesia bisa memberi kita banyak contoh siap pakai dari pihak-pihak yang telah melewati batas. Namun dalam puncak tragedi kenekatan dan petualangan hidup bergereja di Indonesia (pun jika harus memahami seperti itu) tidak ada salahnya jika ‘permainan’ Jean-Jacques Suurmond kita lihat dan mencoba menemukan tempat bagi keagungan gereja di tengah-tengah kehidupan bergereja yang mengatasi kehidupan sebagai “tidak serius”, tetapi pada saat yang sama berdamai dengan keharusan untuk secara intens dan sungguh-sungguh terlibat di dalamnya.

Hal ini jika ditarik pada poin kerajaan Allah (DKG-PGI 2014-2019. Bab V, hal.109-111) maka akan menemukan dasar eklesiologi yang sepantasnya untuk membicarakannya dalam hubungannya dengan misiologis. Saya rasa dalam poin tersebut (Bab V. Kerajaan Allah) perlulah penekanan kecil bahwa ada distingsi yang jelas antara kerajaan Allah dan gereja. Menempatkan gereja sebagai sentral dalam misi akan mudah terpeleset dalam nuansa institusional yang rigour, maka gereja perlu dilihat sebagai gerakan Trinitarian yang diutus oleh Roh Kudus ke dalam dunia bahkan seperti Roh Kudus berpartisipasi di dalam pengutusan Bapa atas nama Anak (di dalam pembuka jalan kepada suatu teologi misi yang bersifat unik Trinitarian dan pneumatologis), dan ini pun berarti bahwa orang-orang pentakostal perlu menyadari bahwa pekerjaan-pekerjaan Kerajaan Allah tetap dikerjakan dewasa ini, dan bahwa

Page 69: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

68 Prosiding

aktifitas sosial dapat memiliki signifikansi eskatologi. Penekanan gereja ditempatkan pada signifikansinya dalam upaya suksesnya Kerajaan Allah, dalam arti, dinamika terganggu jika didapati usaha untuk mendegradasi peran sentral gereja dalam hubungannya dengan kerajaan Allah, karena gereja sangat penting dalam kerajaan Allah. Sebaliknya, menganggap gereja adalah kerajaan Allah yang berdampak pada penekanan pertumbuhan gereja bukan kerajaan Allah adalah sesuatu yang tidak Alkitabiah.

Harapan kami dari Pentakosta adalah dinamika perumusan PBIK senantiasa mengingat keragaman yang diamati dalam hasil dan jalur perkembangan, struktur yang memungkinkan fleksibilitas dan keragaman layak mendapat pertimbangan khusus sebagai cara memahami pembangunan. Jadi, sementara pendekatan tradisional yang mencoba mengidentifikasi mekanisme dan proses bersama akan terus menjadi penting, pendekatan yang lebih baru seperti naratif menawarkan korektif penting yang membantu kita menghargai beragamnya kehidupan keagamaan dan spiritual.

Daftar Rujukan

1. Chan, Simon. 2011. Pentacostal Ecclesiology. An Essay on the Development of Doctrine. Blandford: Deo Publishing.

2. PGI. Dokumen Keesaan Gereja 2014-2019. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

3. Green, Chris E. W. (editor). 2016. Pentacostal Ecclesiology (A Reader). Boston: Brill

4. Heally, Nicholas M. 2004. Church, World and The Christian Life. Practical-Profetic Eclesiology. New York: Cambridge University Press.

5. Macquarrie, John. 1977. Principles of Christian Theology, second ed. New York: Scribners

6. Nygren, Anders. 1957. Christ and His Church, trans. Alan Carlsten. Philadelphia: Westminster Press.

Page 70: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

69Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

7. Radner, Ephraim.1998. The End of The Church. A Pneumatology of Christian Division in The West. Michigan: Grand Rapids.

8. Roof, Wade Clark. 1999. Spiritual Seeking: Report on a Panel Study. (de Sience sociales des religion Journal – Hess Edition)

9. Sinnott, Jan. (2002). Introduction: Special Issue on Spirituality and Adult Development, Part II. Journal of Adult Development.

10. Thiel, John E. 1991. Imagination and Authority: Theological Authorship in the Modern Tradition (Minneapolis: Fortress Press).

11. Zizioulas, John. 1985. Being as Communion Studies in Personhood and the Church. Crestwood: St. Vladimir’s Seminary Press.

*******

Page 71: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

70 Prosiding

Page 72: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

71Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Tantangan Bagi Gereja Dalam Milenium III

BS. Mardiatmadja, SJ.Pastor dan pengajar STF “Driyarkara” Jakartadan STFT Jakarta, menyelesaikan studi doktoraldari Universitas Innsbruck, Austria.

Sudah lama dalam masyarakat (Indonesia) tersedia banyak peluang, agar umat kristiani dapat sungguh menjadi saksi cintakasih Allah. Khususnya sekitar pemilihan umum umat Kristiani dapat berpartisipasi secara sangat

konstruktif dalam banyak segi. Partisipasi itu mempunyai arti baik dari sudut nasionalisme kita, maupun dari sudut kekristenan kita. Kita tahu, bahwa justru karena bernama kristiani, maka kita dapat merasakan panggilan Tuhan di mana-mana dan mendengarkan pengutusan Allah untuk meresapi segala hal dalam masyarakat kita. Proses mendengarkan Allah di mana-mana dan meresapi segalanya dengan semangat kristiani membuka kesempatan untuk menemukan kairos, yaitu saat yang dipenuhi dengan rahmat Allah. Konstitusi Pastoral “Gereja dalam Dunia” menyebutnya “melihat tanda-tanda jaman”.

Minggu-minggu ini dapat direkam sebagai kairos, ketika peluang istimewa untuk berpartisipasi dalam hidup bangsa dan negara kita sekaligus juga kita sambut sebagai saat yang semoga diberikan oleh Tuhan untuk melimpahkan rahmatnya tanpa batas kepada masing-masing dari kita dan seluruh bangsa kita. Dengan begitu dapatlah kita menjadi persekutuan umat beriman yang “dicintai semua orang” (Kis 2: 47). Dengan cara itu kita dapat menjadi saksi Kristus yang aktual. Sebab menurut catatan semua penulis Injil, semua orang kristiani diutus menjadi saksi Kristus.

Page 73: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

72 Prosiding

(bdk. nas-nas pengutusan dalam semua akhiran Injil dan awal Kisah Para Rasul). Pembicaraan mengenai peluang dari masyarakat dan pengutusan Gereja itu mengajak kita ingat pada metode yang dianjurkan dan di praktekkan oleh Paul Tillich1 dan Karl Rahner2. Mereka berdua memakai metode korelasi, yaitu mencari relasi-relasi antara pengalaman hidup sebagai manusia, bagian suatu bangsa dengan pengalaman hidup sebagai orang yang beriman pada Allah yang menyelamatkan kita dalam Yesus Kristus berkat cintakasih Roh KudusNya. Dengan cara itu kita akan mencoba melihat, bagaimanakah hidup kita sebagai warga masyara kat Indonesia berkaitan erat dengan komitmen kita sebagai pengikut Yesus Kristus. Kita diajak ingat, bahwa anak cucu Abraham mengenali suara Yahweh dalam sejarah bangsa mereka; handai taulan Yesus menangkap kehadiran Allah Bapa dalam persahabatan sehari-hari mereka dengan Sang Guru dari Nasaret itu, baik dalam sikap mesranya pada anak-anak dan orang yang menderita sakit/sedih, maupun dalam sikap tegasnya terhadap para penguasa yang main ‘money politics’ di kenisah dan dalam pengadilan.

Konstitusi Pastoral “Gereja dalam Dunia” menegaskan, bahwa “Kegembiraan dan Harapan umat manusia juga menjadi kegembiraan dan harapan warga Gereja” (GS a.1). Maka dari itu kita mau senasib dan sepenanggungan dengan seluruh bangsa kita. Kalimat lain dalam Konstitusi itu sering kita lupakan. Padahal bunyinya lebih berkaitan dengan “harapan” dari pada dengan “kegembiraan”. Sebab selanjutnya dikatakan tentang “... duka dan kecemasan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar” (GS a.1).3 Apabila kita dapat bersatu dan hidup senasib maupun sepenanggungan dengan seluruh bangsa kita, maka kita juga menjadi sekaligus bersifat kristiani dan bersifat Indonesia, sebagamana kerap kita ingat dari Mgr. Albertus Soegijopranata, S.J. Dalam kerangka pelayanan bangsa, pantaslah kita ingat satu kalimat lain, yang dahulu sering diucapkan Uskup pertama Indonesia itu: “Janganlah kalian

Page 74: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

73Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

membiarkan orang lain mengambil keputusan mengenai masa depan kalian, tanpa kalian ikut serta menentukannya”. Hal itu diucapkan Mgr. Soegijo untuk mengajak umat, agar ikut berbicara dan ikut mengambil keputusan mengenai politik, hukum dan ekonomi serta kebudayaan Indonesia. Karena kita ikut memilih wakil rakyat, maka kita ikut serta menentukan siapa yang akan berbicara dalam MPR/DPR. Kalau demikian, kita juga ikut menentukan, apa yang akan dibicarakan demi nasib bersama seluruh rakyat (termasuk kita) dan bagaimana nasib itu akan diperbaiki. Dengan cara itu pula Gereja kita berperan dalam masyarakat Indonesia yang sekarang ini, tetapi yang juga menyiapkan diri dan sesama mengarah ke masa depan.

Sementara itu kita dapat ingat juga catatan dari Romo Kardinal Darmaatmadja, agar kita sekarang ini semakin membangun Gereja kita sebagai bagian masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Masyarakat Indonesia yang sedang sibuk menyiapkan diri untuk menjadi lebih demokratis, dengan pemilihan umum adalah konteks hidup Gereja Indonesia.

Dalam konteks ini, cara kita menyelami masyara kat yang kita libati bersifat ganda, yaitu: realistik aktual dan futuris tik eskatologik.4 Artinya: masyarakat sebagaimana apa adanya sekarang (dengan segala ‘yang baik maupun yang kurang baik’, sehingga kita harus ikut bertanggungjawab serta memperbaikinya juga); namun juga masyarakat yang kita cita-citakan di masa depan (sehingga kita harus ikut menyusun cita-cita itu, pranata dan prasarananya serta ikut merencanakannya juga). Peluang yang disediakan oleh masyarakat dan dapat dipergunakan oleh Gereja untuk memenuhi tugasnya menjadi saksi Kristus (Mat 25) dengan “benar-benar bersatu secara mesra dengan umat manusia dan dengan sejarahnya” (GS a.1) mempunyai dua kemungkinan: bidang kegiatan yang dapat menjadi peluang dan sudut pandangan yang bisa menciptakan peluang.

Page 75: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

74 Prosiding

A. Panggilan Semua Orang yang Mengaku Diri Murid KristusMat 25: 31-46 dengan jelas menunjukkan kepada kita,

bagaimana Tuhan mengharapkan para muridNya bertindak dalam masyarakat. “Ketika Aku sakit, Engkau menyembuhkan Saya; ketika Saya dipenjara, engkau mengunjungi Saya, ketika Aku lapar, engkau memberiKu makan, ketika Aku haus, engkau memberiKu minum ...” Dalam nas itu tidak ada batasan apa pun: artinya, kita dipanggil untuk berbaik-hati kepada semua orang; bukan hanya yang se-agama atau se-suku atau se-profesi dengan kita. Kita harus menjadi saudara bagi semua orang, tanpa kecuali. Itulah dasar terdalam untuk seluruh hidup sosial kita. Kita perlu mencari implikasi panggilan Gereja untuk menjadi sosial.5

Dari sudut pandangan Gaudium et Spes (GS) sebenarnya ada sejumlah hal yang dapat kita petik untuk merumuskan panggilan Gereja secara baru. Ini berkaitan dengan misalnya GS a. 40-45. Di sana ada sejumlah Dasarnya terdapat dalam GS a. 11: “Dari situ akan nampak lebih jelas bahwa umat Allah dan umat manusia tempat Gereja bergabung, saling melayani sedemikian rupa, sehingga pengutusan Gereja nampak bersifat keagamaan justru karena itu sangat manusiawi”. Dengan kata lain, semua hal yang membuat bangsa kita menjadi bangsa yang baik, dan menjadikan negara kita negara yang baik adalah bagian dari sekian banyak hal yang harus kita lakukan sebagai utusan Yesus Kristus: “jadilah saksi Kristus!” Mengapa? Sebab, “Sabda Allah telah memasuki sejarah dunia sebagai manusia sejati, telah menjadikan dunia ini duniaNya dan telah merangkum dunia dalam diriNya.”6 Sejak saat itu, manusia menjadi tempat Allah menampakkan diri. Theofani atau penampakan Allah tidak lagi perlu kita tunggu sampai ada orang mendapat mukjijad ditampaki oleh seseorang tokoh surgawi. Theofani terjadi dalam keseharian kita: baik keseharian masing-masing kita maupun keseharian kita sebagai bangsa. Maka dalam tindakan-tindakan seperti mengatur hidup kenegaraan serupa pemilihan umum sekalipun kita perlu mencari wajah Tuhan. Dalam

Page 76: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

75Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

peristiwa semacam itu, panggilan Gereja adalah menjadi saksi dari Sang Putera, “Sang Sabda Allah yang telah menjadi daging untuk dalam keadaan sempurna sebagai manusia dapat menebus semua dan merangkum segala sesuatu dalam diriNya”.7 Ia sedemikian sempurnanya menjadi manusia, sehingga menyatukan dirinya dengan orang-orang yang dijatuhi hukuman secara tidak adil, dibantai oleh alat kekuasaan secara tidak sah, diseruduk oleh mesin penghancur kehidupan secara semena-mena, digilas oleh roda pembangunan yang menyembah modal dan kapital serta ditusuk oleh senjata yang tidak memiliki mata cintakasih sampai mati di salib: menyerahkan Diri habis-habisan bagi keselamatan kita.

Kisah pembantaian di Golgotha itu mau mengungkapkan kepercayaan bahwa penebusan umat manusia merangkum kembali segala sesuatu yang telah diciptakan Tuhan dan memulihkannya. Dari kelahiran sampai kematian, melalui peluh dan penderitaan, dipeluk oleh cintakasih Allah. Dengan demikian seluruh proses dan tata penciptaan dipadukan kembali melalui peristiwa penebusan.8

Sejarah penyelamatan itu mau mengatakan dengan jelas, bahwa segala sesuatu yang dilakukan untuk menghancurkan manusia juga membinasakan kasih Allah dan segala yang dikerjakan untuk mengembangkan penciptaan dan untuk meningkatkannya merupa kan tindakan guna mengambil bagian dalam karya penebusan. Maka penindasan dan pembunuhan adalah tindakan melawan Allah serta aksi anti-teistis, sedangkan pengembangan kualitas hidup manusia melalui ilmu dan teknologi serta upaya-upaya ekonomi, politik maupun kebudayaan mempunyai nilai tidak hanya manusiawi tetapi juga ilahi9 karena merupakan tindakan-tindakan yang berpartisipasi dalam penghadiran penebusan Tuhan pada masa kini dan masa mendatang. Artinya, kalau kita ikut aktif dalam mengembangkan kualitas hidup manusia, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara sejati itu berarti bahwa kita mau ikut mewujudkan penebusan Yesus Kristus. Menggarap bidang ilmu dan teknologi, ekonomi/perdagangan, politik dan pendidikan

Page 77: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

76 Prosiding

serta kebudayaan adalah menggarap ladang-ladang tempat kita orang kristiani dapat sekaligus melaksanakan panggilan kenegaraan dan panggilan iman. Oleh sebab itu, ikut menentukan arah pembangunan dunia ekonomi, politik, kebudayaan dan pendidikan dengan ikut memberikan suara dalam pemilihan umum dapat merupakan ungkapan bahwa kita mau melaksanakan iman: bahwa sekarang ini pun Tuhan sedang menebus bangsa kita. Dalam hal kita, ikut serta dalam proses membangun kembali dunia politik kita, adalah bagian dari tanggungjawab kita untuk menemukan kairos dalam sejarah bangsa kita: menemukan jejak rahmat Allah dalam gerak gerik politik kita. Hal itu dapat terjadi melalui partisipasi kita dalam pemilihan umum.

Tentu saja para Bapa Konsili tetap menjaga juga perbedaan antara kedua segi hidup manusia kristiani itu: jangan sampai orang berpenda pat, seakan-akan dalam setiap kemajuan manusiawi itu dengan sendirinya sudah ditemukan kehidupan ilahi.10 Puluhan tahun kita sudah mengalami, bagaimana para pemuka kita mencocok hidung bangsa kita, seakan-akan kemajuan ekonomi itu bagaikan barang suci yang tidak boleh dicela; seolah-olah pembangunan pabrik itu dengan sendirinya adalah harta kudus yang senantiasa membawa kebahagiaan kekal kepada seluruh bangsa; sepertinya kita menjadikan kemajuan ekonomi dan industri itu berhala kita. Lalu membangun pesawat terbang, menciptakan daerah industri dan menumpuk modal itu dengan sendirinya sama dengan memajukan harga kita sebagai manusia dan bangsa. Kita diajak melupakan, bahwa upaya-upaya itu baru menjadi baik, apabila harga si manusianya juga ditingkatkan, dan mutu bangsa kita ditinggikan. Tanpa itu semua, tambahnya harta kita tidak mempunyai ‘nilai-tambah’ yang sejati; apalagi, kalau tambahnya harta dan modal itu malah menciptakan kesenjangan sosial besar-besaran.

Gereja memang “mengakui dan menghargai”11 dan memandang dengan “rasa hormat yang tinggi”12 dinamika sejarah13, hasil-hasil kemajuan sosial dan politik, segala yang benar-baik-adil

Page 78: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

77Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

yang dihasilkan oleh umat manusia”.14 Namun, justru karena itu juga umat kristiani diajak oleh Konsili Vatikan II untuk “mempelajari baik-baik agar sungguh tahu dan mampu dalam setiap bidang kehidupan manusia dengan bekerjasa ma dengan semua orang”.15 Tetapi semua itu hanya mempunyai arti instrumental, yaitu hanya berarti bagi kita, sejauh menghargai martabat manusia. Oleh sebab itu, sudah sejak 1970 dan 1995, setiap tahun MAWI dan KWI mengingatkan agar pembangunan bangsa kita selalu mengingatkan martabat manusia. Sudah berpuluh tahun kita mengingatkan agar persaudaraan sejati sungguh dihargai dan dibangun di atas kemajuan harta dan modal. Pengabdian Gereja yang bisa diberikan tidak terletak dalam memi hak ahli ini atau itu, golongan ini atau itu: Gereja sebagai Gereja tidak mengikatkan diri dengan sesuatu sistem ekonomi, politik dan kemasyarakatan tertentu.16 Panggilan Gereja hanya lah mau menjadi saksi kehadiran Kabar Gembira Sang Sabda yang mau memulihkan segala sesuatunya di hadapan Allah. Oleh sebab itu, Gereja mengajak seluruh bangsa kita untuk menciptakan pembangunan yang meningkatkan martabat manusia, untuk membangun dunia politik yang menghargai harkat manusia dan untuk menciptakan persaudaraan bagi semua tanpa perbedaan. Segi pemulihan dan segi penyatuan kembali (‘rekonsiliasi’) dapat menjadi sudut pandangan yang dari segi panggilan iman merupakan pengabdian Gereja. Di sana Gereja bisa menonjolkan keyakinan iman, betapa semua orang bersatu dalam kedudukannya sebagai anak-anak Allah dan sebagai manusia. Martabat manusia dan martabat anak Allah menjadi dasar pengabdian itu. Nilai dasar alami dan manusiawi serta nilai dasar orang beriman merupakan isi sumbangsih Gereja di tengah pergulatan manusia mencari kesempurnaannya. Mengabdi pada kemajuan ilmu, teknologi, ekonomi, perdagangan, politik, pendidikan dan kebudayaan bagi orang yang beriman kristiani merupakan wujud keterlibatan dasarnya kepada kemanusiaan yang telah diangkat menjadi anak Allah.

Page 79: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

78 Prosiding

Sementara itu kita tahu, bahwa di tengah masyarakat Yahudi yang sangat menjunjung tinggi semua orang di Yerusalem dan pemimpin agama maupun negara yang berpengaruh itu, Yesus justru mendekat kan diri kepada para nelayan seperti Petrus, Yohannes dan Yako bus; mencintai pasien dan orang pinggiran seperti si Buta dan Si Lumpuh; menyenangi kaum tersingkir seperti pemungut cukai dan pelacur; menyayangi orang miskin seperti Maria di samping si kaya seperti Yusup Arimathea. Ia mau mati sebagai ganti mereka itu. Ia rela memperjuangkan nasib mereka. Bagi Yesus, si miskin itu lebih menarik dari pada si kaya; si hina dari pada si terhormat; si kecil dari pada si besar. Dari sudut ini, kita, para pengikut Yesus dipanggil untuk melakukan hal yang sama walaupun mungkin harus dengan cara yang diperbaharui.

B. Bidang-Bidang yang Memberi PeluangIndonesia mengalami awal millennium III yang berat. Secara

ekonomi, kita masih berat. Rupanya kemajuan yang dibangga-banggakan beberapa puluh tahun terakhir ini terbukti belum kokoh. Banyak ahli menunjukkan, bahwa pembangunan kita belum prima. Padahal pembangunan ekonomi itu ditentukan oleh keputusan-keputusan politik, yang memberi kesan, seakan-akan didukung oleh seluruh rakyat. Telah menjadi jelas, bahwa ternyata rakyat kebanyakan tidak merasa ikut mengambil keputusan dan rakyat terbanyak tidak selalu merasa diuntungkan oleh pembangunan Indonesia. Dalam kondisi dan situasi itulah umat kita harus mengambil posisi yang tepat. Memang tidak dapat ada petunjuk khas dan pasti mengenai pilihan politis tertentu atau pilihan ekonomis tertentu dari pihak pimpinan Gereja. Namun dorongan dari semangat iman dapat memberi juga semacam arah, misalnya “kalau mau menjadi saksi Kristus yang sejati, golongan dengan motivasi manakah yang harus dibela agar diuntungkan oleh gerak ekonomis dan keputusan politis tertentu”.

Page 80: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

79Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Dalam semangat itu, layaklah kalau kita berpendapat bahwa Indonesia dasawarsa mendatang agaknya akan ditantang untuk men gambil keputusan, apakah mau tetap memiliki pola pembangunan yang sama, yaitu amat menekankan kemajuan ekonomi ataukah mengikuti saran banyak pemikir kita yang mau melengkapi kemajuan ekonomi dengan penggarapan pembangunan sikap politik etis, pendidikan yang menonjolkan pengakuan martabat manusia dan kebudayaan yang menyuburkan harkat pribadi manusia yang tahu tanggungjawab sosialnya.17 Soedjatmoko pernah mengingatkan18 agar kita mengusahakan pembangunan yang padat karya, bukannya yang padat modal. Dalam gagasan Soedjatmo ko itu pendidikan lalu harus membantu rakyat untuk lebih memiliki kebanggaan diri, kreativitas untuk membaharui lingkungan, penye diaan lapangan kerja dan kemampuan untuk mengolah daerah perta nian secara seimbang. Sasaran yang didengung-dengungkan akan perlu dikaji juga yaitu mau mengejar ketinggalan ekonomi dan berusaha untuk segera tinggal landas secara ekonomi ataukah menggalakkan pembangunan mental yang sehat dalam menghadapi dunia.19 Penghitungan usaha itu terus saja akan dipertanyakan, apakah masih juga akan dititikberatkan pada cara makro sehingga tatanan ekonomi mikro akan tetap saja dikebelakangkan ataukah dengan sungguh-sungguh memperhatikan rakyat kecil dan tatanan mikro secara integral, yang mungkin dirasa akan memperlambat kemajuan fisik. Struktur politik rasanya akan disesuaikan dengan pilihan-pilihan itu. Tata hubungan dengan luar negeri akan dia-bdikan pada pemikiran tersebut. Kebijakan industri besar maupun kecil, yang tentu saja sangat erat menyangkut kebijakan pelestar ian lingkungan diduga akan tetap melayani kebijakan pengejaran tinggal landas pola makro atau pengabdian tulus kepada rakyat jelata itu.

Pengkajian ulang itu akan harus dilakukan dengan cermat sebab, dalam Millenium III ini Indonesia akan makin memasuki kenyataan dunia yang baru.20 Secara eksternal Indone sia akan semakin diseret ke dalam percaturan Asia Pasifik,21 yang diwarnai

Page 81: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

80 Prosiding

oleh persaingan berat dalam kemajuan teknologinya. Penggunaan otak dan ketrampilan akan semakin dituntut22. Kema juan itu khususnya menyangkut bidang informasi yang akan semakin menentukan hidup seluruh bangsa manusia23. Sementara itu tuntu-tan bersaing dalam memajukan bangsa akan menantang kita untuk di satu fihak bisa memanfaatkan segala sumber daya secara sehat, di lain fihak juga bisa memelihata lingkungan hidup secara bijaksa na.24

Perekonomian Indonesia akan semakin dihadapkan dengan pilihan, apakah akan lebih mengejar keunggulan makro sehingga bersaing dengan raksasa-raksasa ekonomi saja, ataukah lebih memperhatikan kebu tuhan rakyat kecil atau mencari jalan agar kedua kepentingan itu sungguh diperhatikan. Sebenarnya, kalau diakui bahwa mayoritas rakyat itu masih berkekurangan, maka dari sudut ilmu pemasaran perusahaan perlu mengarahkan perhatiannya untuk menarik hati kaum menengah ke bawah itu. Kalau setiap perusahaan ingin agar berumur panjang, maka sebenarnya masuk akal kalau mereka terus menerus berusaha mendekati kelompok yang tampaknya akan lama menjadi mayoritas rakyat: dan itulah si miskin. Kalau semakin orang berada, itu juga semakin merasakan perkembangan kebutuhannya, maka masuk akallah kalau kaum usahawan bersedia menyediakan dana dan tenaga serta perhatian kepada rakyat kecil. Untuk persaingan tingkat makro, tentu saja modal yang kuat amat diperlukan sehing ga kebijakan moneter dan perbankan pasti perlu dikokohkan.25 Dalam kerangka itu kadang kala sektor industri non-minyak (mis. pariwisata,26 industry kecil dan agribisnis27) dianggap perlu digarap lebih lanjut. Namun penyejahteraan rakyat kecil yang mayoritas tentu saja akan makan enersi dan modal tidak sedikit memang berkaitan erat dengan cita-cita demokrasi ekonomi.28 Sebab, membiarkan ekonomi makro berkembang sebegitu jauh sehingga banyak sekali rakyat kecil ketinggalan di landasan, tidaklah akan menguntungkan pembangunan persatuan bangsa dan keadilan sosial, yang juga kita cita-citakan sejak awal masa perjuangan kemerdekaan.

Page 82: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

81Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Padahal kesenjangan itu sendiri akan membahayakan ketenangan masyarakat (baca “ketahanan nasional”), yang pada gilirannya akan merisaukan dinamika ekonomi. Jadi, pengambilan keputusan mengenai arah ekonomi itu hanya dapat terjadi kalau situasi sosial kemasyaraka tan digarap dengan prinsip kemanusiaan yang bisa dipertanggungja wabkan.29 Sementara itu kita tahu bahwa prinsip kemanusiaan bukanlah sesuatu yang lahir dalam suatu ruang hampa melainkan tumbuh dan berkembang dalam konteks budaya tertentu. Agaknya perumusan kembali dan perekayasaan baru atas identitas budaya manusia Indonesia perlu diusahakan lagi dan lagi.30 Kancah penting dalam pembentukan identitas budaya manusia Indonesia adalah agama. Sebab dalam lingkungan keagamaan tertentulah, etos dan moral kita dibentuk sebagai persiapan untuk disumbangkan kepada masyarakat.31 Kita akan dihadapkan dengan keharusan mengadakan tinjauan cermat: di manakah ajaran agama-agama harus diletakkan di tengah pergulatan “duniawi”. Akan semakin dirasakan bahwa membawa mentah-mentah ajaran agama ke dalam arena politik dan ekonomi itu membuat kita semakin terpecahbelah dan merosotkan agama menjadi bagian dari pertimbangan politik/ekonomi belaka atau menjadikan politik/ekonomi hanya sekedar salah satu departe-men dalam imperium agama; di lain fihak mengasingkan agama ke bilik privat setiap manusia juga akan mempermiskin hidup politik maupun ekonomi dan kebudayaan kita dengan matra transenden hidup manusia. Cinta kasih, kesetiakawanan, kepedulian sosial, keadilan sosial, rasa bakti kepada Yang Maha tinggi, yang diajarkan oleh agama-agama akan semakin dirasa sebagai unsur-unsur yang sangat diperlukan oleh politik, ekonomi dan kebudayaan sampai ke perta hanan negara sekalipun kalau politik, ekonomi, kebudayaan dan pertahanan itu mau tetap manusiawi dan tidak menjadi hutan dengan hukum rimba yang “mengijinkan” setiap orang menjadi serigala bagi sesamanya, sampai yang menang bukanlah yang benar melainkan yang kuat saja.

Page 83: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

82 Prosiding

Pembentukan etos dan moral itu ditunjang oleh pendidikan, yang memusatkan perhatian kepada peningkatan mental, karakter dan intelektualitas manusia Indonesia. Sebab etos dan moral manusia Indonesia menda tang haruslah etos dan moral yang dapat mempertanggungjawabkan diri di hadapan tantangan ilmu dan teknologi.32 Karena etos dan moral yang akan semakin dipermasalahkan nanti sangat erat berkai tan dengan dunia bisnis, maka sangat diperlukan pendidikan kewir ausahaan dan manajemen33 Sekolah-sekolah tidak boleh membiarkan dirinya semakin tenggelam ke dalam pola kerja yang terlalu admin-istratif dan tehnis birokratis atau malah mencari uang saja (walau administrasi, birokrasi, uang itu perlu untuk persekola han) tetapi harus lebih inspiratif dan mendorong kreativitas. Dari tinjauan di atas menjadi jelas bahwa ada beberapa bidang hidup masyarakat Indonesia yang bisa memberi peluang bagi Gereja untuk berperan secara positif sesuai dengan panggilannya untuk menjadi saksi pemulihan kembali kedudukan alam dan manusia seba gai ciptaan dan anak Allah.

1. Bidang pengambilan keputusan politik yang menyangkut rekayasa kesejahteraan seluruh rakyat untuk mencapai cita-cita Pembu-kaan UUD 1945 mencapai masyarakat adil dan makmur.

2. Bidang penataan dan pelaksanaan demokrasi ekonomi yang menyangkut pewujudan upaya penyejahteraan rakyat baik secara makro maupun secara mikro.

3. Bidang pembentukan pendapat umum dan ketertiban umum yang menafsirkan Pancasila sesuai dengan cita-cita seluruh rakyat dan melaksanakannya tanpa diskriminasi.

4. Bidang penciptaan dan pengembangan suarahati serta pendidikan-masyarakat yang menyiapkan pelaksana-pelaksana pembangunan se jati.

Page 84: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

83Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

C. Sudut Pandangan yang Menciptakan PeluangKeempat bidang yang telah kami sebutkan masih memberi

ruang luas untuk aneka sumbangsih yang bisa kita lakukan bersama dengan kelompok lain, sebagai sesama warga negara. Dalam pemberian sumbangsih itu kita bisa muncul tidak usah sebagai kelompok orang dengan judul agama tertentu tersendiri. Atas dasar pertimbangan Gaudium et Spes, kita dapat saja memberikan sumbangsih sebagai manusia Indonesia demi pembangunan bangsa dengan semangat iman kita. Situasi dan kondisi setempat dapat menentukan pandangan aktual kita. Agaknya, dalam waktu yang agak lama, situasi sosial politik tidak akan memberi peluang kepada kita untuk dalam bidang-bidang itu muncul bersama sebagai satu regu Kristiani. Dari sudut anjuran Gaudium et Spes-pun hal itu tidak perlu dilakukan. Namun masih ada sejumlah hal yang mungkin dapat memberi ciri bersama dalam pengabdian kepada nusa dan bangsa, yaitu corak pelayanan yang layak kita pilih.

Sebab dalam sekian banyak bidang itu masih ada sudut pandangan tertentu, yang dari tahun ke tahun senantiasa dianjurkan untuk diperjuangkan oleh umat kristiani secara konsisten dari lubuk hatinya yang terdalam. Di situ iman kita mewarnai pelayanan kita walaupun senantiasa terjabar dalam bahasa dan wahana nasional.

1. Dari sejarah perjuangan nasional, sejak masa Kebangkitan Nasional (1908) dan Sumpah Pemuda 1928 jelas bahwa negara ini membutuhkan pengabdian politik, ekonomi, pembentukan pendapat dan penilaian umum serta pendidikan suarahati maupun pembinaan kecerdasan arah tegas dan konsisten: ber-Tuhan dan manusiawi-integral.34 Itulah peluang yang strategis bagi warga negara yang beragama katolik karena di situ mereka/kita bisa memberi sumbangsih kepada kebutuhan bangsa secara tulus dan sejalan dengan dorongan iman. Dalam segala bidang memperjuangkan keber-Tuhanan dan kemanusiaan

Page 85: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

84 Prosiding

serta menolak segala jenis ateisme dan pemerkosaan terhadap kemanusiaan.

2. Cara pengabdian kita adalah inkulturatif. Bangsa kita tidak hanya sedang membangun ekonomi dan politik serta mendidik suarahati maupun membina kecerdasan saja, tetapi menjadikan upaya pembangunan ekonomi dan politik serta pendidikan suarahati maupun pembinaan kecerdasan sungguh-sungguh kebudayaan. Upaya kemajuan itu perlu kita benamkan dalam-dalam ke pusat kultur kita.

3. Arah pengabdian kita senantiasa rekonsiliasi. Gaya pelayanan kita tampaknya akan harus semakin inklusif, bukannya eksklu sif. Kita perlu mengembangkan aneka cara kerja yang menonjolkan usaha untuk menemukan kesamaan-kesamaan pandangan, kemiripan-kemiripan cara kerja dan kedekatan-kedekatan prinsip daripada perbedaan. Kita akan harus menjadi saksi persaudaraan dan kepedu lian sosial serta mengikis habis jurang-jurang antara pengikut agama satu dengan lainnya, antara suku satu dari suku lain, antara ras satu dengan ras lain, antara golongan/kelompok satu dengan lainnya. Cara kita menyampaikan ajaran agama yang paling fundamental sekalipun perlu diperbaharui agar lebih mendekatkan semua fihak daripada membuat batas. Cara kita berpolitik juga harus lebih mempersatukan daripada memecahbelah. Cara kita menja lankan perusahaan harus juga lebih mendekatkan kelompok sosial yang satu dengan lainnya.35

Penutup Kita sudah mencoba menemukan relasi-relasi antara pengalaman kita menghadapi pelbagai masalah kemasyarakatan dengan pengalaman kita beriman dalam kebersamaan sebagai Gereja. Rupanya baik dari sudut kemasyarakatan maupun dari sudut kegerejaan ada sejumlah butir yang bersamaan. Kami berpendapat, bahwa justru dalam butir-butir itulah tersedia peluang bagi para warga Gereja untuk membagikan sumbangsihnya kepada

Page 86: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

85Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

masyarakat, bangsa dan negara. Sumbangsih itu di satu fihak sungguh keluar dari prinsip kita menjadi warga Indonesia. Sumbangsih itu juga bertumpu pada prinsip kita sebagai warga Gereja. Dengan begitu, keindonesiaan kita tidak memperalat kegerejaan kita dan kegerejaan kita juga tidak menunggangi kein donesiaan kita. Keduanya menjadi ungkapan kepribadian kita dan kebersamaan kita. Kita dapat melaksanakan cita-cita Mgr. Albertus Soegijapranata, yang bergema lagi dalam harapan Seri Paus di Senayan Oktober 1989, agar kita menjadi sepenuhnya warga Indone sia dan Gereja. Dengan itu juga Gereja kita dapat membumi semen tara Indonesia mewujudkan transendensinya juga. Dengan usaha itu juga kita akan dapat memberi sumbangsih yang fundamental bagi pembangunan Indonesia.

Daftar Rujukan

1. Aziz, M. Amin. “Proyeksi Perkembangan Agribisnis memasuki Abad 21”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.

2. Anggadiredja, Deddi. “Peluang dan Tantangan Bisnis Perbankan, Kini dan Esok”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.

3. Assegaff, Djafar. “Era Informasi kini dan masa mendatang”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.

4. Chenu, Marie-Dominique. “Die Aufgabe der Kirche in der Welt von Heute.” Dalam G. Barauna (ed.), Die Kirche in der Welt von Heute: Untersuchungen und Kommentare zur Pastoralkonstitution “Gaudium et Spes” des II. Vatikanischen Konzils: Otto Mueller, Salzburg, 1967; Judul aslinya “A Igreja no mundo de hoje”, Petropolis, 1966.

5. Champion Ward, F (ed.). Education and Development Reconsidered: The Bellagio Conference Papers. New York: Ford Foundation/Rockefeller Foundation, 1974.

Page 87: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

86 Prosiding

6. Dawam Rahardjo, M. “Agama sebagai Etos Sosial: Kini dan Masa Datang”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.

7. Intervensi Kardinal Doepfner, 22 September 1965.8. 8ntervensi Kardinal Frings, 24 September 1965.9. Kismadi, M.S. “Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan

Lingkungan Hidup”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.10. Mardiatmadja, B.S. Januari 1990.11. Mardiatmadja, B.S. Pendidikan Manusia Indonesia, Suatu

Refleksi Proyektif. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi, 219-236.

12. Menuju Masyarakat Baru Indonesia, Antisipasi terhadap Tantangan Abad XXI. Diangkat dari sarasehan HUT XXV KOMPAS. Jakarta: KOMPAS dan PT Gramedia, 1990.

13. Mudji Sutrisno, k. “Perspektif Identitas Budaya Manusia Indonesia”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.

14. Nasution, Anwar. “Tantangan moneter dan perbankan dalam era globalisasi”. Dalam Indonesia dalam era globalisasi.

15. Noer, Deliar dan Iskandar Alisjahbana (eds.). Perubahan, Pembaruan dan Kesadaran menghadapi Abad ke-21. Jakarta: PT Dian Rakyat, 1988.

16. Pendit, Nyoman S. “Inventarisasi posisi industri pariwisata”. Dalam Indonesia dalam era globalisasi.

17. 17. Pamungkas, Sri-Bintang. “Profesionalisme dalam Dunia Kerja di Masa Mendatang”. Dalam “Indonesia dalam Era Globalisasi”.

18. Sudarsono, Juwono. “Indonesia dalam percaturan di Asia Pasifik”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.

19. Ramelan, Rahardi. “Kecenderungan Teknologi dan Tantangan bagi Indonesia”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.

20. Soeharto. “Cita-cita Pembangunan: Mewujudkan Masyarakat Pancasila yang Sosialistis Religius”. Dalam Agama dalam

Page 88: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

87Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Pembangunan Nasional: Himpunan sambutan Presiden Soeharto. Jakarta: Pustaka Biru, Jakarta, 1981.

21. Seminar di Hotel Indonesia mengenai Dialog antar Agama yang diadakan pada tanggal 21 November 1990.

22. Swasono, Sri-Edi. “Masa depan demokratisasi ekonomi”. Dalam Indonesia dalam era globalisasi.

23. Suseno, Franz Magnis. Gereja yang berwajah sosial. Ceramah 4 November 1990 di Bandung.

24. Wirutomo, P. “Proyeksi Perkembangan Sosial di Indonesia Menyongsong Era Asia Pasifik”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.

25. Winoto Doeriat, A. “Realitas baru dalam Kewirausahaan dan Manajemen”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.

26. Wignjowijoto, Hartojo. “Indonesia Menyongsong Perkembangan Asia Pasifik”. Dalam Indonesia dalam Era Globalisasi.

27. Widyahartono, Bob (ed.). Indonesia Dalam Era Globalisasi, Dimensi Baru Asia Pasifik Abad 21: Bachtiar Aly, A. Sandiwan Suharto. Jakarta: Bank Summa, 1990.

Catatan Akhir1. Systematic Theology, pendahuluan.2. Theological Investigations. 3. Bdk. Marie-Dominique Chenu, Die Aufgabe der Kirche in der Welt von Heute,

dalam G. Barauna (ed.), Die Kirche in der Welt von Heute: Untersuchungen und Kommentare zur Pastoralkonstitution “Gaudium et Spes” des II. Vatikanischen Konzils: Otto Mueller, Salzburg, 1967; Judul aslinya “A Igreja no mundo de hoje”, Petropolis, 1966.

4. Bdk. Tulisan saya dalam Rohani, Januari 1990.5. Franz Magnis-Suseno, Gereja yang berwajah sosial: Ceramah 4 November

1990 di Bandung.6. GS a. 38.7. GS a. 45.

Page 89: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

88 Prosiding

8. GS a. 50.9. Bdk. GS a. 40.10. Bdk. Intervensi Kardinal Doepfner 22 September 1965. Juga Intervensi

Kardinal Frings pada 24 September 1965. 11. GS a. 41.12. GS a. 42.13. GS a. 41.14. GS a. 42.15. GS a. 43.16. GS a. 42.17. Bdk. Menuju Masyarakat Baru Indonesia, Antisipasi terhadap Tantangan

Abad XXI: diangkat dari sarasehan HUT XXV KOMPAS: KOMPAS dan PT Gramedia, Jakarta, 1990.

18. Dalam Education and Development Reconsidered: The Bellagio Conference Papers: Ford Foundation/Rockefeller Foundation, ed. by F. Champion Ward, New York etc., 1974, 315dst.

19. Bdk. Perubahan, Pembaruan dan Kesadaran menghadapi Abad ke-21, disunting oleh Deliar Noer dan Iskandar Alisjahbana: PT Dian Rakyat, Jakarta, 1988.

20. Lih. Indonesia Dalam Era Globalisasi, Dimensi Baru Asia Pasifik Abad 21: Editor: Bob Widyahartono, Bachti ar Aly, A. Sandiwan Suharto: Bank Summa, Jakarta, 1990.

21. Bdk. Juwono Sudarsono, Indonesia dalam percaturan di Asia Pasifik: dlm. Indonesia dalam ERa Globalisasi, 21-30. Hartojo Wignjowijoto, Indonesia Menyongsong Perkembangan Asia Pasifik: dlm. Indonesia dalam Era Globa-lisasi, 65-77.

22. Bdk. Rahardi Ramelan, Kecenderungan Teknologi dan Tantangan bagi Indonesia: dlm. Indonesia dalam Era Globalisasi, 31-44.

23. Bdk. Djafar Assegaff, Era Informasi kini dan masa mendatang: dlm. Indonesia dalam Era Globalisasi, 55-64.

24. Bdk. M.S. Kismadi, Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan Hidup: Indonesia dalam Era Globalisasi, 45-54.

25. Bdk. Anwar Nasution, Tantangan moneter dan perbankan dalam era globalisasi: dlm. Indonesia dalam era globalisasi, 101-112. Bdk. juga dengan Deddi Anggadiredja, Peluang dan Tantangan Bisnis Perbankan, Kini dan Esok: dlm. Indonesia dalam Era Globalisasi, 265-284.

26. Bdk. Nyoman S. Pendit, Inventarisasi posisi industri pariwisata: dlm. Indonesia dalam era globalisasi, 113-130.

Page 90: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

89Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

27. Bdk. M. Amin Aziz, Proyeksi Perkembangan Agribisnis memasuki Abad 21: dlm. Indonesia dalam Era Globalisa si, 285-304.

28. Bdk. Sri-Edi Swasono, Masa depan demokratisasi ekonomi: dlm. Indonesia dalam era globalisasi, 131-138.

29. Bdk. P. Wirutomo, Proyeksi Perkembangan Sosial di Indonesia Menyongsong Era Asia Pasifik: dlm. Indonesia dalam Era Globalisasi, 161-174.

30. K. Mudji Sutrisno, Perspektif Identitas Budaya Manusia Indonesia: dlm. Indonesia dalam Era Globalisasi, 175-199.

31. Bdk. M. Dawam Rahardjo, Agama sebagai Etos Sosial: Kini dan Masa Datang: dlm. Indonesia dalam Era Globa lisasi, 203-218.

32. Bdk. B.S. Mardiatmadja, Pendidikan Manusia Indonesia, Suatu Refleksi Proyektif: dlm. Indonesia dalam Era Globalisasi, 219-236.

33. Bdk. A. Winoto Doeriat, Realitas baru dalam Kewirausahaan dan Manajemen: dlm. Indonesia dalam Era Globa lisasi, 237-248. Bdk. juga Sri-Bintang Pamungkas, Profesionalisme dalam Dunia Kerja di Masa Mendatang: dlm. Indonesia dalam Era Globalisasi, 249-264.

34. Kita dapat melihat gagasan ini, misalnya dalam Sambutan Presiden pada Peringatan Nuzulul Qur’an tanggal 11 September 1976 di Istana Negara: “Cita-cita Pembangunan: Mewujudkan Masyarakat Pancasila yang Sosialistis Religius”: dlm. Agama dalam Pembangunan Nasional: Himpunan sambutan Presiden Soeharto: Pustaka Biru, Jakarta, 1981,

35. Bdk. Seminar di Hotel Indonesia mengenai Dialog antar Agama yang

diadakan pada tanggal 21 November 1990.

*******

Page 91: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

90 Prosiding

Page 92: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

91Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Penelaahan Terhadap Struktur dan Isi Pemahaman Bersama Iman Kristen

Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia

Andreas HimawanDosen Teologi Sistematika STT Amanat Agung, Jakarta.Menyelesaikan studi doktoral (D.Th) dari Trinity TheologicalCollege, Singapura, dengan pokok kajian: Revelation andReligion in the Theology of Karl Barth and the Second VaticanCouncil.

I. Hakikat Pemahaman Bersama Iman Kristen

Pada dasarnya, yang dimaksud dengan “Pemahaman” dalam PBIK adalah suatu statement of faith. Memang PGI sendiri berusaha membedakannya dengan “Pengakuan Iman” (Confession of Faith), dan menganggap PBIK sebagai

pendahuluan (“langkah awal”) bagi terbentuknya suatu Pengakuan Iman Bersama. Sebagai catatan, secara umum jika digunakan kata “Pengakuan Iman” dalam arti Confession of Faith, biasanya digunakan untuk pengakuan iman yang bersifat denominasional, misalnya konfesi iman gereja-gereja Reformatoris atau Lutheran. Pengakuan Iman dalam arti yang lebih universal, biasanya digunakan kata kredo (creed), dan karena itulah Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius secara umum disebut sebagai kredo ekumenis (ecumenical creeds, catholic creeds, atau universal creeds). Karena PGI bukanlah perkumpulan sewarna, kata “Pengakuan Iman” dalam arti konfesi cukup sulit untuk digunakan. Statement of faith (“Pernyataan Iman”), karena itu, mungkin lebih lazim untuk digunakan, paling tidak isitilah ini tidak memiliki beban makna denominasional.

Page 93: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

92 Prosiding

Walaupun demikian, dengan menggunakan istilah yang mana pun, butir-butir yang tertera di dalamnya sesungguhnya adalah suatu bentuk pengakuan iman (“Kami percaya”), yakni suatu pernyataan kepercayaan dasariah yang dapat diterima bersama, suatu pernyataan identitas diri. Karena itu pula, dalam kata pendahuluannya PBIK menyatakan menerima dan mengikrarkan kredo Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel yang menjadi ciri identitas iman historis kekristenan dan lambang keesaan Gereja; catatan: Saya berharap Pengakuan Iman Athanasius yang sangat trinitaris juga dapat disebut dalam PBIK, karena secara bersama-sama, tiga kredo ini umum dianggap sebagai simbol Gereja yang am. Lagi pula, beberapa sinode besar di Indonesia secara eksplisit menyebut tiga kredo tersebut dalam Tata Dasar mereka, misalnya, GKI dan GKY). Karena Pemahaman/Pengakuan/Pernyataan Iman adalah pernyataan kepercayaan yang dasariah dan penegasan identitas diri, sebaiknya keinginan-keinginan untuk memasukkan keprihatinan-keprihatinan kontekstual tidak dimasukkan ke dalam bagian integral pengakuan iman tersebut. Statement of faith berbeda dari “call to action.” Keprihatinan kontekstual sekalipun memang sangat penting tidak seharusnya membentuk agenda apalagi isi pernyataan iman. Pada saat ini cukup lazim digunakan dua bagian berbeda di dalam satu “komitmen.” Bagian pertama adalah statement of faith, bagian kedua, call to action. Salah satu contoh anyar adalah Cape Town Commitment yang dihasilkan oleh Lausanne Movement: Bagian pertama adalah Confession of Faith, bagian kedua adalah Call to Action yang terdiri dari beberapa butir:

a. Bearing witness to the truth of Christ in a pluralistic, globalized world.

b. Building the peace of Christ in our divided and broken world.c. Living the love of Christ among people of other faiths.d. Discerning the will of Christ for world evangelization.

Page 94: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

93Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

e. Calling the church of Christ back to humility, integrity and simplicity.

f. Partnering in the body of Christ for unity in mission.

Jika PGI hendak memasukkan butir-butir panggilan untuk engage dengan konteks, saya usul untuk tidak dimasukkan ke dalam bagian pemahaman/pengakuan iman tetapi ke dalam Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama. Dengan demikian, urgensi revisi PBIK bukan datang dari desakan untuk menjawab dan engage dengan konteks, tetapi untuk lebih menajamkan dan mendalamkan isi kepercayaan kita. Hal itu terjadi mungkin karena adanya pergumulan-pergumulan doktrinal yang baru yang muncul dari pengkajian eksegetis alkitabiah atau dari dialog dengan kekayaan pengajaran dalam pelbagai tradisi Kristen. Tentu saja akal budi dan pengalaman dapat memberi sumbangsih juga kepada pemahaman teologis yang lebih tajam dan dalam, tetapi teologi tidak didasarkan pada sumber-sumber itu. Pengalaman dan keprihatinan kontekstual memberi kesadaran bahwa kebenaran kepercayaan harus juga relevan dengan kebutuhan konteks. Dengan demikian, seiring dengan call to believe diikrarkan lebih kokoh, call to action pun diserukan lebih nyaring. Dengan kata lain, call to believe dan call to action sekalipun tidak boleh dipisahkan, tetapi harus dibedakan. Pernyataan iman adalah pernyataan identitas diri, bukan pernyataan relevansi diri. Karena pemahaman/pengakuan/pernyataan iman bukanlah “penghayatan iman” di tengah-tengah konteks, maka butir-butir pernyataannya bukanlah refleksi-refleksi teologis-etis, tetapi pengakuan kepercayaan dan jati diri yang murni. Karena itu, seharusnya pernyataan iman tidak boleh dimodifikasi akibat tuntutan konteks; contoh relevan, PBIK dimulai dengan doktrin Allah yang esa, bukan Allah Tritunggal, karena kekuatiran pada adanya kesalahpahaman dan tuduhan penyembahan tiga Allah. Sekalipun demikian, iman yang murni bukan sekedar untuk diakui, tetapi harus dihidupi dan dihayati. Karena itu, iman yang diakui harus menjadi iman yang menggerakkan dan melahirkan

Page 95: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

94 Prosiding

perbuatan (Yakobus 2:17). Namun yang lebih penting, iman harus diekspresikan dalam bentuk kasih (Galatia 5:6). Iman harus melahirkan perbuatan-perbuatan kasih.

II. Struktur dan Isi Pemahaman Bersama Iman Kristen Sebelum berbicara mengenai struktur dan isi PBIK yang ada saat ini, saya ingin menggoda PGI untuk berpikir ulang apakah memang diperlukan suatu PBIK atau PIB yang sangat panjang, begitu banyak kata dan kalimat, dan penuh dengan ayat-ayat Alkitab. Kalau tidak membaca judulnya, bisa jadi orang-orang akan mengira ini adalah buku katekisasi! Pernyataan iman umumnya sederhana, dengan kalimat-kalimat yang mudah untuk diingat, dan to the point, dan mendasar. Apalagi pernyataan iman dari suatu persekutuan ekumenis yang mencakup banyak warna teologis, seyogyanya hanya berisi poin-poin yang paling inti dan yang dapat disepakati bersama. Saya bisa paham bahwa visi dan hasrat ekumenis dari PGI, seperti halnya WCC, adalah “visible unity in one faith and in one eucharistic fellowship, expressed in worship and common life in Christ, through witness and service to the world, and to advance towards that unity in order that the world may believe.” “Visible unity in one faith” adalah suatu proses percakapan panjang, yang terekpresi dalam kehidupan sehari-hari, yang tidak mungkin bisa dibukukan secara persis dan detil dalam suatu pengakuan iman. Pengakuan iman yang disepakati bersama sejatinya dapat berperan sebagai dasar pijak dan titik tolak untuk proses percakapan tersebut. Mungkin baik juga untuk dipikirkan, pernyataan iman yang diinginkan oleh PGI bisa berupa pernyataan sederhana yang sangat hakiki, seperti “basis” WCC:

The World Council of Churches is a fellowship of churches which confess the Lord Jesus Christ as God and Saviour according to the scriptures, and therefore seek to fulfill together their common calling to the glory of the one God, Father, Son and Holy Spirit.

Page 96: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

95Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Atau seperti milik NCC:

The National Council of Churches is a community of Christian communions, which, in response to the gospel as revealed in the Scriptures, confess Jesus Christ, the incarnate Word of God, as Savior and Lord.

These communions covenant with one another to manifest ever more fully the unity of the Church.

Relying upon the transforming power of the Holy Spirit, the communions come together as the Council in common mission, serving in all creation to the glory of God.”

Atau seperti punyanya Churches Together in England (British Council of Churches):

Churches Together in England unites in pilgrimage those Churches in England which, acknowledging God’s revelation in Christ, confess the Lord Jesus Christ as God and Saviour according to the Scriptures, and, in obedience to God’s will and in the power of the Holy Spirit commit themselves:a. to seek a deepening of their communion with Christ and with

one another in the Church, which is his body; andb. to fulfil their mission to proclaim the Gospel by common

witness and service in the world to the glory of the one God, Father, Son and Holy Spirit.

Bila ingin sedikit lebih panjang, tetapi tetap dalam bentuk yang sederhana, mendasar, dan to the point, bisa dalam bentuk pengakuan iman yang lazimnya dimiliki oleh Sinode-sinode di Indonesia, atau seperti dua contoh di bawah ini:

Page 97: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

96 Prosiding

Statement of Faith dari World Evangelical Alliance:

We believe

in the Holy Scriptures as originally given by God, divinely inspired, infallible, entirely trustworthy; and the supreme authority in all matters of faith and conduct.

One God, eternally existent in three persons, Father, Son, and Holy Spirit.

Our Lord Jesus Christ, God manifest in the flesh, His virgin birth, His sinless human life, His divine miracles, His vicarious and atoning death, His bodily resurrection, His ascension, His mediatorial work, and His Personal return in power and glory.

The Salvation of lost and sinful man through the shed blood of the Lord Jesus Christ by faith apart from works, and regeneration by the Holy Spirit.

The Holy Spirit, by whose indwelling the believer is enabled to live a holy life, to witness and work for the Lord Jesus Christ.

The Unity of the Spirit of all true believers, the Church, the Body of Christ...

The Resurrection of both the saved and the lost; they that are saved unto the resurrection of life, they that are lost unto the resurrection of damnation.

Statement of Faith dari National Association of Evangelicals:

We believe the Bible to be the inspired, the only infallible, authoritative Word of God.

We believe that there is one God, eternally existent in three persons: Father, Son and Holy Spirit.

We believe in the deity of our Lord Jesus Christ, in His virgin birth,

Page 98: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

97Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

in His sinless life, in His miracles, in His vicarious and atoning death through His shed blood, in His bodily resurrection, in His ascension to the right hand of the Father, and in His personal return in power and glory.

We believe that for the salvation of lost and sinful people, regeneration by the Holy Spirit is absolutely essential.

We believe in the present ministry of the Holy Spirit by whose indwelling the Christian is enabled to live a godly life.

We believe in the resurrection of both the saved and the lost; they that are saved unto the resurrection of life and they that are lost unto the resurrection of damnation.

We believe in the spiritual unity of believers in our Lord Jesus Christ.

Seandainya masih dikehendaki suatu bentuk dan isi seperti yang ada saat ini, saya mengusulkan (tanpa bermaksud komprehensif) beberapa revisi struktur dan isi.

1. Dimulai dengan Alkitab Dalam hal menstruktur suatu pengakuan/pemahaman/pernyataan iman, orang-orang Injili lebih suka memulainya dengan pernyataan percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah yang adalah penyataan diri Allah. Cara ini dapat dipahami dari sudut order of knowing (epistemologi), yang menekankan bahwa pengetahuan pada Allah adalah melalui Firman Allah. Lagi pula, adalah sangat lazim dalam struktur teologi sistematik, langkah pertama dimulai dengan prolegomena dengan pembahasan mengenai Alkitab (bibliologi). Kalangan Islam melihat orang-orang Kristen adalah umat berkitab, adalah relevan juga kita memulainya dengan Alkitab. (Sebaliknya, sangatlah tidak lazim meletakkan poin Alkitab di bagian paling ujung.)

Page 99: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

98 Prosiding

Dalam hal isi, saya ingin PBIK memberi pernyataan yang lebih kuat bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Ini menyangkut status Alkitab yang adalah pengungkapan diri Allah. Kalimat pertama dalam bagian “Alkitab” terkesan mengikuti Barth dalam hal fungsi Alkitab yang memberi “kesaksian,” namun hal ini tidak dapat ditekankan tanpa terlebih dahulu menyatakan bahwa ia adalah Firman Allah. Dan lebih-lebih adalah salah kaprah ketika poin 29 menyatakan “Oleh karena itu, Alkitab adalah Firman.” Seolah-olah status Alkitab sebagai Firman adalah akibat dari kesaksiannya yang melampaui ruang dan waktu.

2. Allah Tritunggal Selanjutnya setelah bagian Alkitab, saya usul adalah pernyataan percaya kepada Allah Tritunggal. Ini harus ditegaskan setegas-tegasnya. Teologi Kristen memasuki abad ke-21 justru menemukan kembali pentingnya doktrin Allah Tritunggal, yang menjadi ciri dan identitas kekristenan yang partikular. Bahkan teologi agama-agama pun melihat doktrin Allah Tritunggal dapat menjadi sumber yang baik dalam ber-engage dengan umat beragama lain. Berhubung PGI mengikuti PIR dan PINK, penekanan pada Kristologi seharusnya lebih kuat, misalnya, penegasan bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia yang mati di kayu salib untuk pengampunan dosa-dosa manusia, dan bahwa Dia adalah Juruselamat dunia. Kalimat pada poin 2 malah lemah secara kristologis dan rancu secara teologis (atau hanya gramatis?). “Dalam Yesus Kristus Allah menyatakan diri sebagai Allah yang mengampuni dan menyelamatkan manusia dari penghukuman karena dosa, yaitu dengan jalan mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba ….” Contoh lain, dalam poin 3 tentang Allah hadir dan bekerja di dalam dunia dan dalam gereja melalui Roh Kudus, seharusnya pekerjaan Roh Kudus tersebut

Page 100: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

99Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

dikaitkan secara integratif dengan karya Yesus Kristus. Bila tidak demikian, ada kesan Allah bekerja melalui dua ordo penyelamatan.

3. Ciptaan dan Manusia Saya cukup yakin bahwa poin penciptaan dan pemeliharaan dapat disatukan dengan poin tentang manusia. Dalam hal theology of creation, saya berharap PGI tidak memberi kesan adanya penyelamatan di luar Yesus Kristus, seperti yang ternyata dalam kalimat di poin 6 ini: “Dari permulaan hingga akhir, Tuhan Allah memerintah, memelihara dan menuntun segenap ciptaan-Nya … Ia menuntun seluruh ciptaan-Nya menuju kesempurnaan di dalam langit baru dan bumi baru.” Kalimat demikian secara teologis tidak dapat dipahami tanpa memasukkan Kristus dan karya-Nya di atas kayu salib.

4. Penyelamatan dan Kehidupan Baru Jauh lebih logis menyatukan kehidupan baru dengan penyelamatan daripada dengan Kerajaan Allah. Bahkan dalam PBIK sendiri, hal-hal mengenai kehidupan baru telah disebut dan dinyatakan dalam poin tentang penyelamatan. Kerajaan Allah lebih tepat disatukan dalam poin tentang Gereja. Dalam poin “Penyelamatan” terlihat ada keraguan (poin 10) untuk menyatakan bahwa keselamatan itu diperoleh manusia oleh karena Yesus Kristus telah mati di kayu salib untuk menebus dan mengampuni manusia dari dosa dan kesalahan. Juga perlu ditambahkan butir tentang perlunya kepercayaan kepada Yesus Kristus dan pertobatan untuk mendapatkan pengampunan dosa dan keselamatan yang dari Allah.

5. Kerajaan Allah dan Gereja Agak tidak lazim konsep kerajaan Allah dimaksukkan ke dalam suatu poin dalam pengakuan/pernyataan iman. Salah satunya mungkin karena pokok bahasan ini masih memiliki banyak

Page 101: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

100 Prosiding

pedebatan hangat. Bila ingin dimasukkan, seyogyanya penekanan lebih kuat perlu diberikan kepada aspek:a. Kerajaan Allah sebagai pemerintahan Allah, melalui Yesus

Kristus, yang menyelamatkan manusia berdosa dan yang menjadikan manusia sebagai umat tebusan dan pengikut-pengikut Kristus

b. Ketuhanan dan ke-raja-an Kristus atas seluruh dunia dan secara progresif harus diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan (rohani, sosial, budaya, politik, ekonomi, dll).

c. Aspek already dan not yet dari Kerajaan Allah perlu mendapatkan penegasan.

Ketika membicarakan Gereja, perlu ditegaskan pula hakikat Gereja yang misional, yang dipanggil dan diutus untuk memberitakan Injil keselamatan hingga ke ujung bumi. Dalam poin 12 PBIK (“Penyelamatan”) ada disinggung bahwa “orang-orang percaya sebagai manusia baru dipanggil untuk melakukan perbuatan baik … dengan memberitakan keselamatan yang disediakan Allah kepada segala makhluk ….” Bagi saya, kalimat ini masih kurang jelas dan tegas menekankan pada keniscayaan dan urgensi pemberitaan Injil keselamatan yang menjadi hakikat pengutusan Kristus terhadap umat-Nya.

6. Kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali untuk penggenapan penyelamatan manusia dan ciptaan di dalam langit baru dan bumi baru.

Butir-butir mengenai penyelamatan yang kekal dan sempurna telah disinggung dalam bagian “Penyelamatan” dan “Kerajaan Allah dan Hidup Baru” (dari PBIK existing), namun alangkah baiknya bila diletakkan dalam bagian tersendiri untuk menyatakan bahwa kepercayaan kepada kedatangan Kristus yang kedua kali (eskatologi) adalah suatu doktrin yang sangat penting, bahwa kedatangan kedua Yesus Kristus adalah pengharapan pamungkas orang-orang percaya, dan bahwa penggenapan keselamatan dan kesatuan secara

Page 102: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

101Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

sempurna tergenapkan dalam kedatangan Kristus yang kedua kali itu. Demikilah beberapa butir masukan dari saya. Akhir kata, saya masih lebih menyukai suatu pengakuan/pernyataan iman yang sederhana, to the point, mendasar.

*******

Page 103: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

102 Prosiding

Page 104: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

103Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) PGI 1984: Ringkasan Pokok-pokok Iman dan

Unsur-unsur Pemahamannya

Dasar Pemikiran 1. DGI jadi PGI2. Sejarah Bersama3. Dua Pengakuan Ekumenis4. Pengakuan Iman Reformasi5. Pengakuan Iman Gereja-gereja6. PBIK ditingkatkan Kinasih7. PBIK langkah pendahuluan Pengakuan

Iman Bersama

Pokok Iman Pokok-pokok Pemahaman Iman1

Bab I Tuhan Allah2

8. Keesaan Allah dan Penyataan Allah dalam ciptaan

9. Penyataan Allah dalam Kristus10. Allah hadir dalam dunia dan gereja

melalui Roh Kudus

Page 105: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

104 Prosiding

Bab II Penciptaan Dan Pemeliharaan3

11. Alam semesta adalah milik dan ciptaan Allah.

12. Seluruh ciptaan itu ditempatkan Allah dalam keselarasan dan memberi manusia mandat pemeliharaan.

13. Dari permulaan hingga akhir, Tuhan Allah memerintah, memelihara dan menuntun segenap ciptaan-Nya.

Bab III Manusia414. Manusia diciptakan Allah menurut

gambar/citra-Nya 15. Manusia telah berdosa.16. Allah tetap mengasihi manusia dan

menyelamatkannya.

Bab IV Penyelamatan5

17. Allah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal.

18. Dalam kematian dan ke bangkitan Kristus Allah menyelamatakan manusia.

19. Kesempurnaan keselamatan pada waktu Yesus datang kembali.

20. Allah menetapkan pemerintah.21. Orang percaya berdoa dan berkarya

untuk kebaikan.

Page 106: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

105Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Bab V Kerajaan Allah Dan Hidup Baru6

22. Karya penyelamatan Allah dinyatakan dengan kehadiran Kerajaan Allah.

23. Kerajaan Allah itu sudah mulai datang dan gereja bekerja menegakkan tanda-tanda Kerajaan Allah.

24. Gereja dipanggil untuk menja lankan kehidupan baru sesuai dengan tuntutan Kerajaan Allah.

Bab VI Gereja725. Roh Kudus menghimpun umat-Nya ke

dalam gereja.26. Gereja ada di tengah-tengah dunia ini.27. Gereja di Indonesia dipanggilan dalam

konteks Indonesia.28. Gereja mengakui bahwa negara adalah

alat dalam tangan Tuhan.29. Gereja memerlukan pertobatan dan

pembaruan yang terus-menerus.30. Gereja itu esa.31. Gereja itu kudus.32. Gereja itu am.33. Gereja itu rasuli.34. Gereja terpanggil mewujudkan keesaan,

kekudusan, keaman dan kerasulannya.

Page 107: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

106 Prosiding

Bab VII Alkitab35. Alkitab merupakan kesaksian yang

menyeluruh mengenai Allah.36. Roh Kudus menyertai dan mengilhami

para penu lis Alkitab.37. Alkitab mempunyai kewibawaan

tertinggi.

Contoh: Struktur dan Pokok-pokok Iman/Ajaran Gereja

1. Trinitas2. Pencipta3. Yesus Kristus4. Roh Kudus5. Alkitab6. Gereja7. Eskatologi

1. Tuhan Allah2. Penciptaan

&Pemeliharaan3. Manusia4. Penyelamatan5. Kerajaan Allah &

Hidup Baru6. Gereja7. Alkitab

1. Tuhan Allah2. Alam3. Manusia4. Keselamatan5. Gereja6. Peribadahan7. Hidup Baru8. Akhir Zaman9. Alkitab

Makassar, Hari Minggu Palma 2019Zakaria J. Ngelow

Catatan Akhir1. Versi Ambon (1984) terdapat 28 poin. Versi Palangkaraya (2000) tidak

memberi penomoran bersambung antara Bab; jumlah seluruhnya 30 poin. 2. Versi Ambon 1984: poin 4, Mengaku dan memuliakan Allah yan Esa, Allah

Bapa. Allah Anak dan Allah Roh Kudus.3. Versi Palangkaraya (2000) tidak ada poin 6.4. Versi Ambon (1984) poin ke-4 tentang manusia dan kematian. Versi

Palangkaraya (2000) poin ke-4 tentang penciptaan manusia menurut

Page 108: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

107Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

gambar dan rupa Allah melampaui berbagai batas (jenis kelamis, suku, agama, status sosial).

5. Dalam versi Ambon (1984) poin ke-2 (13) mengenai perbuatan baik sebagai syukur atas keselamatan. Dalam versi Palangkaraya (2000) hanya 4 poin.

6. Dalam versi Ambon (1984) Bab ini setelah Bab Gereja. 7. Dalam Versi Ambon (1984) hanya ada 6 poin. Poin 18-22 tidak ada.

*******

Page 109: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

108 Prosiding

Page 110: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

109Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Draft Pernyataan Iman Gereja-Gereja di Indonesia

Dari semula Allah Tritunggal terus-menerus bekerja di ten-gah dunia yang telah tercemar oleh dosa manusia. Sebab Allah di dalam Yesus Kristus adalah Tuhan atas sejarah dan atas seluruh bangsa-bangsa, dan seluruh dunia ini merupakan sasaran kasih Al-lah (bdk. Yoh. 3:16). Melalui Roh-Nya Allah terus menerus bekerja sampai sekarang, agar Kristus menjadi semua di dalam semua. Gereja-gereja di Indonesia meyakini bahwa kehidupan ber-masyarakat, berbangsa, dan bernegara juga merupakan bagian tak terpisahkan dari pemeliharaan Allah terhadap ciptaan-Nya. Oleh sebab itu masyarakat, bangsa, dan negara Republik Indonesia, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan meliputi selu-ruh wilayah kepulauan dari Sabang sampai Merauke dan dari Mian-gas sampai Rote, adalah karunia yang terus menerus layak disyukuri. Dalam keyakinan itu, gereja-gereja di Indonesia menyadari bahwa ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh bangsa Indonesia. Gereja-gereja lahir dari tengah-tengah pergumulan ma-syarakat dan bangsa Indonesia sebagai buah pekerjaan Roh Kudus, dan telah ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan panggilan-Nya dan menjadi sarana berkat bagi semua orang di dalam negara Pancasila yang sedang memulihkan diri dari berbagai krisis multidimensional setelah mengalami sistem pemerintahan otoriter selama 32 tahun. Sebagai bagian dari seluruh rakyat, masyarakat, dan bangsa Indonesia, maka gereja-gereja di Indonesia sepenuhnya ikut me-mikul tanggungjawab bersama semua kalangan yang berkehendak baik untuk keluar dari berbagai krisis multidimensional tersebut, dan membangun masyarakat berkeadaban Indonesia yang mandiri,

Page 111: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

110 Prosiding

menghormati hak-hak asasi manusia, dan menegakkan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu gereja-gereja di Indonesia bertekad untuk berperan-serta secara penuh dan memelopori terwujudnya cita-cita ini dengan berpartisipasi positif, kritis, kreatif, realistis, dan transfor-matif. Secara positif gereja-gereja di Indonesia menyambut proses demokrasi, namun tetap kritis dalam membaca tanda-tanda zaman. Gereja-gereja juga mendayagunakan seluruh kemampuannya untuk secara kreatif menyumbang pikiran dan tenaga guna meraih cita-cita itu namun tetap realistis agar tidak tenggelam dalam impian kosong, dan bersama semua orang yang berkehendak baik mengusahakan transformasi tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan so-sial, menghormati harkat dan martabat manusia, serta memelihara keutuhan ciptaan.

*******

Page 112: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

111Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Rekomendasi Diskusi Pleno Lokakarya PBIK

Kelompok I

1. Usulan Pokok-Pokok Iman dan Isu

Pokok Butir Isu

Allah yang Esa • Istilah Tuhan Allah diusulkan diganti dengan Allah yang Esa dalam rangka menegaskan keyakinan Kristen tentang Keesaan Allah, sekaligus menjadi dasar bagi keesaan gereja

• Rumusannya perlu disusun dengan memperlihatkan bagaimana: (1) gagasan Trinitaris tertuang di dalam karya penciptaan. penyelamatan dan pemeliharaan, (2) kehadiran Allah secara Trinitaris terlihat di dalam seluruh proses tersebut.

• Bagaimana gagasan Trinitaris harus dirumuskan di hadapan relasi antaragama dan gerakan keesaan gereja.

Page 113: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

112 Prosiding

Penciptaan dan pemeliharaan

• Dalam alur penciptaan dan pemeliharaan, perlu ada rumusan yang menekankan tanggung jawab manusia dalam memeliharan semesta ciptaan. Dalam konteks ini juga, istilah “mandat” diusulkan diganti dengan “tanggung jawab” mengingat istilah tersebut (mandat) dirasakan agak antroposentris.

• Seperti apa tanggung jawab manusia harus dipahami dalam konteks pemeliharaan seluruh alam ciptaan, apalagi di hadapan krisis sosial-ekologis yang mendapat perhatian dalam DKG.

Page 114: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

113Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Manusia• Harus ada

penjelasan mengenai kebebasan manusia dan tanggung jawab sosial-etis di hadapan krisis yang disorotan DKG.

• Perlu penjelasan teologis mengenai manusia dan kebudayaan (seluruh aspek kebudayaan; baik lokal maupun modern); termasuk karya Allah di dalam kebudayaan. Ini sejalan dengan perhatian DKG pada soal kebudayaan

• Apakah manusia masih bisa dipahami memiliki free will, khususnya dalam konteks berkembangnya masyarakat digital.

• Tanggung jawab sosial-etis apa yang harus dikembangakan di tengah krisis yang ada.

• Bagaimana memahami karya Allah juga di dalam kebudayaan.

• Apakah ada tanda keselamatan dalam budaya lain, seperti dalam masyarakat adat

Page 115: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

114 Prosiding

Penyelamatan• Nomor 13 dalam

ringkasan PBIK (Allah menetapkan pemerintah) digabung ke dalam nomor 21 (Gereja mengakui bahwa negara adalah alat dalam tangan Tuhan).

• Dibutuhkan memasukan gagasan JPIC di dalamnya merumuskan gagasan penyelamatan; gagasan yang menekankan keberpihakan Allah pada mereka yang lemah, kesetaraan umat manusia, bumi dan seluruh ciptaan sebagai milik Allah, sekaligus membantu gereja memahami perannya di tengah dunia.

Bagaimana menuangkan gagasan JPIC ke dalam gagasan penyelamatan di dalam DKG.

Page 116: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

115Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Gereja• Perlu penekanan

pada dimensi misiologi dan pastoral yang melekat pada gereja.

• Perlu penjelasan mengenai pemberitaan firman dan sakramen dalam kaitan dengan gereja. Dalam rumusan yang paling basic, gereja dipahami sebagai persekutuan di mana firman diberitakan dan sakramen dilayangkan

• Ada kebutuhan untuk mencari model-model bergereja yang dapat menjawab kehidupan sosial yang cair maupun menjawab pergumulan pergumulan mengenai wilayah misi dan model kehadiran gereja dalam misi yang kerap menimbulkan gesekan.

.

Alkitab • Tidak ada tambahan

• Tidak ada tambahan

Eskatologi• Perlu memasukan

gagasan mengenai Kerajaan Allah yang sudah, sedang dan akan datang sehingga dimensi eskatologis dari kerajaan Allah dapat terlihat.

• Gereja sebagai tanda-tanda kerajaan Allah.

Bagaimana gereja harus dipahami dalam konteks kerajaan Allah di mana ketegangan antara yang sudah dan yang akan datang terlihat dalam pemahaman gereja.

Page 117: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

116 Prosiding

2. Catatan Terhadap Draft Peryataan Iman

1. Perlu penambahan kata “pengharapan” dalam draft yang ada agar memperlihatkan dimensi eskatologis dari panggilan gereja. Dengan demikian perlu ada penambahan kata ”pengharapan/harapan” pada alinea ke-5: ”........dengan berpartisipasi secara positif, kritis, kreatif, realistis dan transformatif.”

2. Di alenea ke-3, hanya sampai kata “Pancasila” sehingga yang selanjutnya dibuang: ”....berkat bagi semua orang di dalam negara Pancasila.

3. Alinea ke-4, kalimat ”tanggung jawab bersama semua kalangan yang berkehendak baik.....” diganti dengan “tanggung jawab bersama untuk membangun masyarakat berkeadaban.....”

4. Alenia ketiga, langsung dimulai dengan “Gereja-gereja di Indonesia menyadari bahwa….”

Anggota Kelompok I:1. Beril Huliselan2. Trisno Sutanto3. Pdt. Riris Johanna Siagian4. Pdt Adriaan Pitoy

Page 118: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

117Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Kelompok II

PBIK 1985 (Lama)

Pokok-Pokok

Butir Isu Isu

Tuhan Allah Di ganti dengan Trinitas

Penyebutan nama Allah Point 2 ditambahkan isu tentang eskatologi

Page 119: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

118 Prosiding

Penciptaan dan Pemeliharaan

Di ganti dengan Ciptaan

Anthroposentris Manusia sebagai mahkota ciptaan mulia

Kosmocentris Semua ciptaan saling tergantung satu dengan lainnya

Bencana AlamTeologi BencanaAllah tidak pernah berhenti mencipta

Disabilitas(orang berkebutuhan khusus)

SAMANTASaudara sesama manusia dengan HIV AIDS

Page 120: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

119Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Manusia Tambah butir tentang Perkawinan

Perceraian

Perkawinan ulang Dari salah satu ataua dua duanya yang cerai hidup.

SOGIESCSexsual orientation, Gende identityExpresion and seks CharacteristicSexsual

Perkawinan LGBT

Penyelamatan Diganti Keselamatan

Sola GratiaSola FideSolus KristosSoli Deo Gloria

Page 121: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

120 Prosiding

Kerajaan Allah Dan Hidup Baru

Diganti hanya

Hanya Kerajaan Allah

Hidup Barudihapus

Menghadirkan Kerajaan Allah dalam semua aspek kehdiuoan manusia sehingga manusia mengakami damai sejahtera

Kualitas kehidupan yang lebiih luas

Menghadirkan Kerajaan Allah dalam kehidupan berpolitik

Gereja Butir21 tdk cocok dialihkan ke butir baru tentang negara

Butir 23 sd 27 di satukan menjadi butir 27 saja

Page 122: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

121Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

AlkitabSepakat menggunakan Alkitab cetak dan digital terjemahan LAI

Usulan Baru

Peribadahan

SakramenLiturgiPersembahanKalender Gerejawi

Page 123: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

122 Prosiding

Usulan Baru

Negara

Panggilan Gereja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

Pancasila adalah dasar Negara

Mengakomoder kearifan kearifan lokal dalam menjamin demokrasi di Indonesia

Peran profetis Gereja bagi bangsa

Posisi gereja dengan negara sebagai mitra kritis dan sejajar

Page 124: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

123Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Kelompok III

Pokok Butir Isu

Tuhan Allah

Allah yang trinitas dalam perspektif Allah yang merangkul pterbedaan tetapi mempersatukan perbedaan itu dalam diriNya

Krisis keesaan,

Penekanan pada sejarah seluruh ciptaan, bukan hanya sejarah umat manusia. Jadi manusia tidak dilihat sebagai yang unggul, tetapi ia berada dalam relasi dengan seluruh ciptaan.

Krisis sosial-ekologis

Kosmos dilihat secara keseluruhan, bukan hanya planet bumi.

Krisis kebangsaan (keindonesiaan)

Bagaimana dengan Agama-agama arkais/agama suku? Mereka juga adalah bagian dari penyataan umum Allah.

Allah berbicara dan menyatakan diri kepada seluruh ciptaanNya, bukan hanya berbicara kepada manusia.

Page 125: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

124 Prosiding

Allah menyelamatkan seluruh ciptaan bukan hanya menyelamatkan manusia.

Yesus mati dan bangkit untuk menyelamatkan dunia ini (seluruh ciptaan) dan membuat Allah menjadi sahabat bagi semua.

Dosa personal, dosa komunal dan dosa struktural.

Karya Roh Kudus tidak bisa dibatasi dalam institusi gereja.

Tambah kata memulihkan, menyadarkan dan mendamaikan sebagai bagian dari karya Roh Kudus.

Penciptaan dan Pemeliharaan

Perlu berbicara tentang definisi sumber daya alam yang meliputi: sumber daya yang dapat pulih kembali, sumber daya yang tidak dapat pulih, dan sumber daya energi yang unik, misalnya nuklir, geoternal.

Perlu dikaitkan dengan konsep Allah yang terus-menerus mencipta.

Page 126: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

125Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Hapus kata penguasaan. Allah memberi tanggungjawab pengelolaan dan pemeliharaan kepada manusia untuk kesejahteraan dan kehidupan bersama.

Dosa manusia telah membawa ...dst

Titik di langit baru dan bumi baru.

Manusia

Seluruh manusia (tanpa membedakan usia, ras, suku, gender, agama, disabilitas fisik-mental-intelektual, status sosial) diciptakan dengan martabat yang sama. Hapus kalimat dikaruniai tugas mandat untuk beranak cucu Kalimat ini untuk mencegah diskriminasi berbasis gender, budaya, ideologi, dll. Kalimat ini untuk membuka ruang bagi semua.

Bisa disandingkan manusia dan budaya. Budaya diberikan porsi tersendiri dalam kaitan dengan manusia untuk menampung isu perkembangan kebudayaan dan revolusi digital

Page 127: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

126 Prosiding

Kalimat terlalu panjang, dipersingkat, dengan menekankan aspek dosa manusia secara personal, komunal dan struktural yang menyebabkan rusak hubungan manusia dengan alam, sesama dan Tuhan, karena terlalu berorientasi pada diri sendiri.

Ada pokok tentang Yesus sebagai manusia sejati. Di dalam Dia kita melihat kemanusiaan kita, baik kekuatan dan kerapuhan. Pokok ini berkaitan dengan Yesus sebagai sahabat dan saudara.

Aspek penderitaan manusia perlu juga dilihat dalam keseluruhan kesaksian Alkitab. Jangan hanya dilihat secara negatif. Penderitaan juga tidak boleh diromantisir dan dilegalisasi.

Dalam kerangka Allah mengasihi manusia dan mengaruniakan kepadanya keselamatan, manusia membangun budaya peradaban sebelum revolusi industri 1.0- 4.0

Page 128: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

127Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Penyelamatan

Perlu didefinisikan apa yang dimaksud dengan penyelamatan :( perhatikan : Allah adalah Allah yang hidup sehingga karya penyelamatan berati memberi ruang hidup bagi seluruh ciptaan sehingga jagad raya dapat berfungsi sesuai maksud penciptaan).

Karya keselamatan Allah perlu dilihat secara utuh dan mencakup seluruh ciptaan, tidak terbatas pada kejatuhan manusia. Perlu juga dilihat kemerdekaan Indonesia sebagai bagian dari karya keselamatan Allah.

Penciptaan adalah karya keselamatan Allah.

Fungsi pemerintah apakah sebatas memuji dan menghukum? Fungsi pemerintah untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan Allah, untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Page 129: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

128 Prosiding

Kerajaan Allah

Kalimat: karya keselamatan yang holistik, dihapus karena pengulangan kalimat.

Kerajaan Allah mengapa dihubungkan dengan hidup baru, bukan dengan gereja?

Usul kelompok: hidup baru dihubungkan dengan pertobatan (personal, komunal, struktural), kerajaan Allah dengan gereja.

Kalimat perlu ditinjau kembali... penyataan Allah baru terjadi ketika tekuk lutut dst... untuk mencegah kerajaan Allah diidentifikasi dengan gereja.Kerajaan Allah sudah datang sedang datang dan akan datang.

Allah juga dapat bekerja untuk mendatangkan tanda kerajaan Allah melalui lembaga/pihak lain yaitu pemerintah.

Gereja

Gereja adalah alat Tuhan untuk pembaruan sekaligus sasaran pembaruan yang Allah kerjakan.

Page 130: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

129Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Perlu ada definisi tentang gereja yang dikonstruksi secara trinitaris.

Dua dimensi dari gereja sebagai entitas iman dan entitas sosial harus muncul dalam bagian ini.

Gagasan tentang gereja dan tugasnya disusun secara sistematis.

AlkitabKalimat yang dimulai dengan: oleh karena itu... dihapus saja.

Alkitab mempunyai kewibawaan sebagai sumber pengajaran iman dan pedoman hidup kristiani.

Catatan diskusi kelompok:1. PBIK jangan berisi salinan ayat Alkitab.2. PBIK, kalimat jangan diulang-ulang dan jangan terlalu

panjang.3. Tim membuat draft dan dikirimkan ke gereja-gereja untuk

memberikan tanggapan. Urutan PBIK tetap sama. Untuk pokok Tuhan Allah, penekanan pada Trinitas.

4. Perlu penjelasan tentang fungsi PBIK, sebagai pengakuan (konfesi), buka credo. Pemahaman tentang pokok-pokok iman Kristen, aksi bersama mendorong kita untuk melihat kembali rumusan iman dalam PBIK.

5. Krisis kebangsaan, menguatnya politik identitas, dalam dinamika berbangsa. Mengapa mengalami krisis kebangsaan, setelah 70 tahun Indonesia merdeka. Ketidakadilan sosial

Page 131: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

130 Prosiding

dan kurangnya pendidikan menjadi akar masalah. Bagaimana perhatian gereja. Pandangan gereja tentang ideologi kebangsaan, Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, bagaimana warga gereja melalui pendidikan, dapat dibina pemahaman dan wawasan kebangsaan. Program Gereja mesti juga mengusung nilai kebangsaan, program yang inklusif, ada kerjasama interfaith.

6. Nilai-nilai budaya lokal, bisa dipakai untuk memperkaya narasi kebangsaan.

7. Gereja-gereja masih sibuk dengan ritual dan kurang memberi perhatian pada aspek sosial-politik.

8. Berbicara tentang Allah, membuka pandangan tentang Allah yang menciptakan keragaman bangsa Indonesia:(a) Krisis keesaan, berkaitan dengan krisis sosial, ekonomi.

Dalam dokumen apakah cukup memberi ruang tentang keesaan yang dapat menjawab pergumulan semua gereja anggota termasuk gereja di daerah perbatasan.

(b) Krisis ekologis, disebabkan oleh keserakahan, kapitalisme, hedonisme, modernisme, materialisme. Juga pandangan teologi Kristen, yang menempatkan manusia sebagai mahkota ciptaan/penguasa. Manusia justru adalah bagian dari ciptaan, yang hidup dalam relasi dengan ciptaan yang lain. Perlu mendefinisikan pandangan tentang bencana alam. Nilai-nilai adiluhung yang ada dalam budaya yang menekankan relasi manusia.

Anggota Kelompok III:

1. Pdt Marlen Joseph2. Pdt Gede Mandia3. Pdt. Martha L. Rantewai4. Pdt. Jufrius Gultom5. Pdt Deivi S. Salanti6. Pdt. Fransisca Tuwanakotta7. Pdt. Harley Pattianakotta8. Pdt. Irene Umbu Lolo

Page 132: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

131Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Kelompok IV

Pokok Iman Tanggapan Tambahan/Usulan

Tuhan Allah

Setuju dengan kata

Tuhan Allah

Dibeberapa gereja memakai kata “Tuhan Pencipta”

Dalam Bab 1 ditambahkan satu butir bahwa alam adalah suatu bentuk penyataan Allah.

Alam

Anak kalimat ..… “baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan” agar dipertimbangkan untuk dimasukkan.

Kata “mandate” agar diganti dengan tanggung-jawab supaya alam dipelihara.

Butir 5, Bab II dihilangkan saja paragraph satu dan diawali dengan kalimata Allah memberikan tanggung-jawab.

Kalimat terakhir Butir 5 Bab II, …”perusakan…..dalam kasih dan kesetiaan.” Dipertegas menjadi satu butir sendiri. Dengan demikian butir 6 bab II dihilangkan.

Page 133: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

132 Prosiding

Manusia

Kutipan Kej 1:27 “Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan” ditiadakan

Butir 7 Bab III, “manusia diciptakan dalam kebebasan agar dimuat menjadi poin sendiri” dijadikan menjadi butir sendiri untuk penegakan HAM.

Kalimat terakhir Butir 7 Bab III, “manusia mempunyai martabat kemanusiaan, yaitu hak-hak dan kewajiban-kewajiban…..” Ini Hak azasi dan kewajiban

Butir 8 Bab III dipersingkat “ Manusia telah jatuh dalam dosa, ia terasing dari Allah. Lalu ditambahankan kata “Allah yang rahmani” untuk menunjukan Allah yang penuh kasih.

Butir 9 Bab III menjadi butir 1 dalam bagian keselamatan.

Page 134: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

133Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Keselamatan

Butir 10, Bab IV “Keselamatan manusia dari Yesus Kristus” Yoh 3: 16

Semua butir dalam bab 4 agar dipersingkat karena pengulangan-pengulangan kalimat.

Keselamatan dari Yesus Kristus disediakan untuk semua manusia.

Gereja

Butir 27 Bab VI, “gereja orang-orang percaya laki-laki dan perempuan”, ini sangat biasa gender.

Usul agar dimuat definisi gereja, lalu hakekat gereja dalam butir 18-27 dirumuskan kembali

Peribadahan

Kelompok 4 menanggapi tidak perlu membahas tentang peribadahan dalam PBIK karena peribadahan itu ada banyak bentuk dan caranya dan berbeda-beda dalam setiap gereja. Misalnya ibadah seremonial dan ibadah karya/sejati.

Hidup Baru

Kelompok 4 belum melihat Hidup Baru menjadi pokok Bahasa dalam PBIK.

Page 135: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

134 Prosiding

Kerajaan

Allah

Kelompok 4 belum memahami akhir zaman. Jadi mengusulkan Kerajaan Allah.

Kerajaan Allah sudah, sedang dan akan datang yang ditandai dengan kedatangan Yesus Kristus.Hal 110 Buku Dokumen Keesaan Gereja, mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah itu adalah tugas panggilan gereja.

Alkitab

Butir 28 & 29 Bab VII diakomodir tetapi kalimat terakhir: “ Oleh karena itu, Alkitab adalah Forman dihapus”

Isu-isu Aktual dan Strategis

Isu Penjabaran Isu Strategi

Radikalisme

Isu yang dipetakan pada SR Nias merasa perlu untuk dilanjutkan dan akan dikerjakan pada lima Tahun ke depan.

Page 136: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

135Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Lingkungan Hidup

• Isu ini masih perlu dilanjutkan karena gereja-gereja mengadopsi ini. Bukan hanya daam ibadah tetapi juga ada aksi konkrit

• Perusakan lingkungan, misalnya pengerukan danau yang merusak ikan-ikan.

Pendidikan karakter dan integritas

Industri 4.0Gereja-gereja harus memetakan dampak dari industry 4.0

Krisis Kebangsaan

• Perlu Diterapkan pendidikan karakter di sekolah-sekolah yang menyebabkan krisis kebangsaan.

• Pengamalan Panca Sila

Pendidikan karakter kejujuran

HAM

Hak-Hak Anak dan Perempuan; perdagangan anak dan perempuan; gereja ramah anak; planet 50;50 gender equality

Advokasi Kebijakan di Tingkat Sinodal

Keputusan-keputusan advokasi harus berjenjang sinode, mupel/klasis/distrik dan jemaat.

Page 137: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

136 Prosiding

Pengembangan Budaya Adiluhung (kearifan lokal)

Menerapkan budaya-budaya lokal

Kelompok IV:1. Pdt. I Made Imanuel2. Richard H.A.T.3. Pdt. Henry Jacob4. Pdt. Yurike Jacobus5. Pdt. Indriani Bone6. Pdt. Krise Gosal7. Repelita Tambunan

Page 138: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

137Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Kelompok V

Pokok Butir Isu

Tentang Allah Tritunggal

Ketritunggalan yang belum nampak (konteks sudah berubah dalam politik identitas-postkolonial-perlu ada penanda)

- Penjelasan umum dibuat catatan khusus lalu Ayat menjadi catatan kaki- ayat tetap tetapi kata-kata dibuat seringkas mungkin. - Yesus Kristus sebagai Anak harus lebih eksplisit.

Page 139: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

138 Prosiding

- Ada kesan gereja sebagai komunitas tanpa dosa, dan gereja mentobatkan, padahal gereja juga bisa melakukan hal keliru. Usul: merumuskan ulang dengan mempertimbangkan panggilan pertobatan gereja.- Peran Roh Kudus dielaborasi-mendorong keterlibatan lembaga lain untuk membantu membaharui gereja. - Roh kudus memberi karunia-karunia yang berbeda dalam kesatuan pelayanan.

Model trinitarian menjadi model bergereja kita- Allah persekutuan

Page 140: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

139Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Bab II: Penciptaan dan Pemeliharaan

Usul Judul Bab: Ciptaan dan Keutuhan Ciptaan

Sumber Daya dan Keutuhan Ciptaan

- Ciptaan sejak awal sudah rusak-starting point berteologi dimulai dari krisis/chaos.- Semangat antroposentris sangat menonjol-alam menjadi lebih rendah dari manusia-makin tinggi kerusakan alam kalau dokumen gereja memberi ruang utk melegitimasi.

Page 141: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

140 Prosiding

- kalimat terakhir dari butir 6 “ yang didalamnya segala ciptaan yang ada diatas dan yang ada dibawah bumi bertekuk lutut dan mengaku bahwa Yesuslah Tuhan” didrop atau perlu direkonstruksi pemahaman yang lebih inklusif.- Tambahkan teks pendukung Matius 5:45 “Karena dengaan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang disorga yang menerbitkan matahari bagi orang jahat dan orang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar”

Page 142: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

141Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

- fungsi intrinsik dan instrumental dari alam belum nampak-alam berguna pada dirinya, bukan hanya utk memuliakan Allah, tapi berguna pada dirinya dan mahkluk yang lain.- Perayaan Sabat Israel bukan hanya untuk manusia tetapi juga untuk tanah beristirahat (konsep sabat untuk alam/ alam perlu merdeka) . Kej 2:2, dan Kej 3:3, Im 25

Di GPIB hal ini dibahas dalam bab besar yang diberi judul : Sumber daya. Sehingga bisa mencakup banyak dimensi a.l alam, material, kapital, dll. Ciptaan bukan hanya natural resources.

Page 143: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

142 Prosiding

Bab III Manusia

Point …..manusia laki2 dan perempuan perlu ditinjau kembali- konteks berubah ada identitas gender lainnya

Usul: kata “laki-laki dan perempuan” dihilangkan. Sehingga yang ada hanyalah “ Allah menciptakan manusia”.

Perlu ada penekanan bahwa manusia sebagai mahkluk sosial yang sejak awal diciptakan bersekutu”

Keluarga yang dimaksud bukan semata-mata berkaitan dengan perkawinan tetapi relasi sosial dan persekutuan.

Isu yang perlu dimasukkan: cloning; Etos kerja, HAM

Page 144: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

143Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Sebagai citra Allah manusia tidak bisa direndahkan harkatnya,perdangan orang, perdagangan organ tubuh, disabilitas.

Menghargai kreativitas manusia tetapi tidak merendahkan harkat kemanusiannya ( perkembangan dunia medis sekarang)

-Panggilan etis manusia.-Tanggungjawab manusia dalam kaitan dengan pertanggungjawaban hidup kepada Allah,manusia dituntut perannya tehadap upaya membangun hubungan gereja yang lebih terbuka

Page 145: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

144 Prosiding

Bab IV Penyelamatan

Usul Perubahan Judul: Keselamatan

Ditinjau kembali: (pemerintahan dipindahkan pda bagian Kerjaan Allah)

Allah menyatakan karya keselamatan dan manusia harus proaktif merespon

-Keselamatan lintas iman ( teks yang inklusif disandingkan dengan teks yang partikular)-Matius 28 adalah konsep pemuridan bukan penaklukan, dengan pergi berarti bergerak ke luar….- Peran Kristus yang bersifat kosmik hilang- Yang ditebus adalah ciptaan bukan cuma manusia. - Keselamatan terlalu antroposentris- dimensi eskatologis dan dimensi kekinian belum nampak pada dokumen ini.

Page 146: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

145Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Bukan sekedar ungkapan syukurDidrop ke tempat lain

Bab V Kerajaan Allah dan Hidup Baru

Usul Perubahan Judul: Kerajaan Allah

Usul perubahan judul: Kerajaan Allah (hidup baru didrop) nanti dalam penjelasan dimasukkan tentang hidup baru).- Kerajan Allah dipakai sebagai wacana utk menyoroti isu sosial.

Ayat ekslusif “ bertekuk lutut..dan diulang dari beberapa bagian sebelumnya

KA = pemerintahan Allah sebagai RajaKA tidak identikan dengan sorga

Hidup baru dimasukan dalam point MANUSIA sebagai implikasi

Istilah KA di ganti dengan kedaulatan Allah (ada istilah “ otoritas dan ini berbeda dengan kedaulatan)

Page 147: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

146 Prosiding

Bab VI Gereja

- Perlu penyederhanaan rumusan (terlalu panjang dan mengulang). - Rumusan sebaiknya sederhana mulai dari hakikat, gereja yang lahir dari karya Allah dalam Roh Kudus, sifat gereja, gereja dibentuk oleh Allah dan secara sosio antropologis ; kesediaan manusia utk bersekutu.

- Keragaman gereja belum muncul

- Misi gereja dlam panggilan menjadi gereja di Indonesia belum nampak (internal dan eksternal).

Gereja sebagai rumah bersama belum nampak.

Konsep trinitarian blm terlalu tajam diulas

Page 148: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

147Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Gereja diperlengkapi dengan karunia2 (dengan kepelbagaian aliran dan denominasi) karena gereja lahir dari karya Roh Kudus.

Rumusan perlu dipersingkat tetapi dalam rumusan yang padat dan implisit.

Usulan format dokumen: Dibuka kemungkinan bagi gereja yang belum sepakat dengan point tertentu dan tetap membuka kemungkinan Mereka diterima sebagai bagian dari proses menemukan pemahaman

Ada keterbukaan bagi gereja untuk menerima sakramen dari gereja lain sebagai kekayaan bergereja yang berlaku di sesame anggota PGI.Perlu ada ketegasan untuk gereja-gereja anggota PGI yang tidak melaksanakan PBIK terutama soal baptisan (menolak baptisan ulang).

Page 149: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

148 Prosiding

Bab VII Alkitab

- Ada lompatan logis. - “Menampakkan keterbatasan” tidak perlu dicantumkan.- Kata “menyeluruh” butir 28 diganti dengan “ kesaksian yang hidup”.

Usulan konsep awal: Alkitab adalah Firman Allah yang terdiri dari…….

Point 29 bagian akhir dipindahkan ke 28

Dimana kita meletakkan tradisi local sebagai bagian dari teks.

Page 150: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

149Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Usulan: kebenaran Alkitab ditempatkan secara dialogis dengan kearifan lokal sehingga firman Tuhan semakin mengakar dan mendarahdaging dalam budaya lokal.

Usulan: Alkitab sebagai firman Allah menyapa dan berdialog dengan manusia disegala abad dan tempat dalam segala situasi.

Anggota kelompok V:1. Pdt. Margie Ririhena2. Yusuf Nakmofa3. Pdt. Domidoyo Ratupenu4. Miryam Nainggolan5. Pdt. Stefanus Perinusa6. Pdt. Ratna7. Pdt. Anwar Tjen

Page 151: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

150 Prosiding

Page 152: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

151Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Hasil Lokakarya PBIK Mengenai Revisi Pemahaman Bersama Iman Kristen

1. Pengantar: Lokakarya Revisi PBIK, 27-29 Mei 2019 di Wisma Kinasih, Depok, Bogor.

2. Usul Proses Penyusunan Revisi PBIK Kepada SR XVII PGI Tahun 2019 di Sumba.

3. Usul-usul mengenai Isu-isu Teologis yang perlu mendapat perhatian PGI dalam rangka Proses Penyusunan Revisi PBIK.

I. Pengantar: Lokakarya Revisi PBIK, 27-29 Mei 2019 di Wisma Kinasih, Depok, Bogor

1. Pada tanggal 27-29 Mei 2019 berlangsung Lokakarya Revisi Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK), salah satu dokumen dalam DKG. Revisi diselenggarakan oleh Tim Revisi DKG dengan dukungan Departemen Persektuan dan Keesaan Gereja PGI dan Komisi Teologi PGI, dengan host Gereja Protestan di Indonesia.

2. Tujuan Lokakarya untuk memperoleh masukan bagi pekerjaan Tim Revisi DKG, khususnya dalam menyangkut dokumen PBIK. Dalam acuan dicatat tujuan Lokakarya: (a) Mendapatkan penilaian kritis dari para pakar teologi

sistematika tentang isi PBIK yang ada. (b) Mendapatkan pandangan terbaru dari para pakar teologi

sistematika tentang isi pemahaman iman Kristen yang

Page 153: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

152 Prosiding

relevan dalam konteks kemajemukan agama, kerusakan ekologis, kemiskinan dan ketidakadilan.

(c) Mendengarkan pandangan para peserta tentang struktur dan relevansi pokok-pokok iman Kristen dalam konteks yang sama dengan butir kedua di atas.

3. Untuk itu peserta yang diundang mewakili beberapa gereja dan beberapa lembaga pendidikan teologi. Pada sesion pertama lima orang panelis dari kalangan teolog mewakili denominasi memberikan saransaran bagi revisi PBIK, dengan moderator Pdt. Dr. Anwar Tjen, dari LAI dan anggota Komisi Teologi PGI. Para panelis adalah Pdt. Dr. Andreas Himawan mewakili kalangan Injili, Pdt. Dr. Riris Johanna Siagian mewakili tradisi Lutheran, Pdt Dr. Junifrius Gultom dari kalangan Pentakosta, Pdt. Dr. Joas Adiprasetya dari tradisi Reform, dan Romo Prof. B.S. Mardiatmadja, SJ, dari Gereja Katolik. Ketiga yang terakhir adalah juga anggota Komisi Teologi PGI.

4. Presentasi dan diskusi panel pada tanggal 27 Mei 2019 sore pada pokoknya menekankan tiga hal: (1) Dokumen ajaran, seperti PBIK, jangan disusun/direvisi oleh sekelompok orang, terpisah dari proses diskursus teologi yang berlangsung di kalangan gereja-gereja, supaya yang dihasilkan bukan suatu dokumen yang isinya bagus tetapi substansinya tidak hidup di kalangan gereja-gereja. (2) Dokumen ajaran gereja harus sekaligus kontekstual dan universal, dengan terutama merujuk pada konteks pelayanan gereja-gereja di Indonesia, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip utama iman Kristen yang universal. (3) Sebagai pegangan bersama gereja-gereja, PGI memerlukan suatu rumusan Pernyataan Iman (Statement of Faith). Ketiga penekanan ini mempertegas gagasan-gagasan Tim Revisi DKG, setelah mendapat masukan-masukan dari Sidang MPH-PGI pada 24-25 Mei 2019.

5. Untuk mendorong diskursus teologi di kalangan gereja-

Page 154: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

153Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

gereja dalam rangka revisi PBIK atau perumusan Pengakuan Iman Bersama Gereja-gereja, peserta Lokakarya mengajukan sejumlah isu teologi, yang diletakkan dalam kaitan dengan topik-topik pengakuan atau ajaran bersama gereja-gereja.

6. Dan suatu konsep Pernyataan Iman (Statement of Faith) Gereja-gereja di Indonesia diajukan untuk dibahas dan ditetapkan di sidang Raya XVII 2019 di Sumba.

II. Usul untuk Proses Penyusunan Revisi PBIK Kepada SR XVII PGI Tahun 2019 di Sumba

Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK), salah satu naskah dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI, mula-mula ditetapkan pada SR X PGI pada tahun 1984 di Ambon. Setelah sekitar 16 tahun, suatu konsep revisi diajukan dan ditetapkan pada SR XIII pada tahun 2000 di Palangkaraya. Dan menjelang 19 tahun setelah itu, dirasakan kebutuhan untuk tidak saja merevisi rumusannya, tetapi juga menghidupkan isinya di dalam persekutuan, pelayanan dan kesaksian bersama gereja-gereja. Sebab itu diusulkan kepada SR XVII PGI Tahun 2019 di Sumba beberapa hal berikut:

1. Menetapkan Konsep Pernyataan Iman (Statement of Faith) Gereja-Gereja Anggota PGI sebagai dokumen tambahan dan pembuka bagi seluruh Dokumen Keesaan Gereja.

2. Menugaskan MPL dan MPH-PGI memfasilitasi diskursus teologi di kalangan gereja-gereja di Indonesia untuk mengembangkan Pemahaman Iman Bersama atas isu-isu aktual yang dihadapi bersama gereja-gereja dengan memperhatikan keempat aspek teologi ekumenis kita: kontekstual, interdenominasional, ekumenis, dan Alkitabiah. Diskursus teologi atas isu-isu aktual dapat menjadi salah satu agenda rutin bidangbidang terkait dalam struktur PGI.

3. Menugaskan MPH-PGI menerbitkan dan menyebarluaskan

Page 155: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

154 Prosiding

hasil-hasil pergumulan teologis bersama gereja-gereja, supaya gagasan dan temuan dapat menjangkau kalangan yang lebih luas.

4. Menugaskan MPH-PGI menyiapkan suatu konsep revisi PBIK (atau Pengakuan Iman Bersama Gereja-Gereja) untuk disahkan pada SR XVIII tahun 2024, berdasar pada hasilhasil diskursus di kalangan gereja-gereja.

5. Sambil menunggu dokumen iman yang baru itu (revisi PBIK), Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) yang terakhir direvisi SR XIII PGI pada tahun 2000 di Palangkaraya tetap dimuat sebagai bagian dari Dokumen Keesaan Gereja 2019-2024.

III. Usul-usul Mengenai Isu-isu Teologis yang Perlu Mendapat Perhatian Diskursus Teologi dalam Rangka Proses Revisi PBIK

6. Seperti dikemukakan di atas, diperlukan adanya diskursus teologi dai kalangan gereja-gereja dalam rangka proses revisi PBIK atau penyusunan Pengakuan Bersama Gereja-gereja di Indonesia. Perlu dinyatakan bahwa revisi PBIK atau penyusunan Pengakuan Bersama Gereja-gereja di Indonesia bersifat sekunder. Hal yang utama adalah berlangsungnya diskursus teologi secara serius, mendalam dan meluas di kalangan gereja-gereja perumusan revisi dapat bertolak dari teologi yang hidup di dalam gereja-gereja.

7. Dalam hubungan itu Lokakarya mengajukan usul-usul mengenai isu-isu aktual yang dapat dilengkapi dengan isu-isu aktual lainnya untuk menjadi agenda diskursus pengembangan teologi di kalangan gereja-gereja. Isu-isu aktual itu dikaitkan dengan pokok-pokok ajaran dan iman bersama gereja-gereja.

8. Dalam kaitan itu penting memperhatikan beberapa

Page 156: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

155Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

kecenderungan teologi yang mengemuka dalam Lokakarya: (a) Makin menguatnya perspektif Trinitaris dalam

memahami keesaan Allah, (b) Kuatnya kesadaran untuk mengubah cara pandang

antroposentris ke arah kosmosentris, (c) Dan dengan itu pemahaman keselamatan sebagai

keselamatan kosmik yang menyeluruh, (d) Dalam pemahaman mengenai manusia, makin kuat

penekanan pada kesetaraan, dimensi sosialitas maupun tanggung jawab sosio-etis-ekologis,

(e) Ada kesadaran yang makin kuat untuk menghargai keragaman warisan gereja-gereja yang dinilai sebagai kekayaan kasih karunia Allah dalam Kristus yang dianugerahkan dengan tuntunan Roh Kudus.

4. Isu-isu Aktual untuk diskursus teologi gereja-gereja di Indonesia dapat ditempatkan dalam kerangka besar PBIK. Jika tabel di bawah dibaca dari belakang, maka kaitan PBIK atau Pengakuan Iman Bersama Gereja-gereja di Indonesia dengan isu-isu aktual diskursus teologi dapat difahami sebagai berikut:

(a) Pokok-pokok Pemahaman Iman menunjuk pada tema-tema utama, yang dalam PBIK (2000) terdiri atas tujuh pokok.

(b) Butir-butir ajaran gereja adalah jabaran dari Pokok-pokok Pemahaman Iman. Dalam PBIK (2000) terdiri atas 30 butir.

(c) Isu-isu aktual adalah masalah-masalah yang dihadapi dalam panggilan gereja-gereja, yang memerlukan pemahaman atau sikap teologis bersama.

Page 157: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

156 Prosiding

Isu-Isu Aktual Butir Ajaran Pokok Iman

• Memahami Allah Tritunggal dalam relasi antaragama dan gerakan keesaan gereja.•Kontekstualisasi nama Allah

• Allah Bapa• Yesus Kristus (al. Allah sejati, manusia sejati)• Roh Kudus• Agama sebagai penyataan Allah

Allah Tritunggal

• Krisis sosial-ekologis• Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC)• Deep ecology

•Hakekat Alam semesta • Tanggung jawab pemeliharaan alam• Teologi Bencana

Alam Semesta

Page 158: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

157Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

• Gender dan orientasi seksual• Manusia dan perkembangaan kebudayaan digital (termasuk AI)• Cloning• Euthanasia•

• Krisis keesaan• Model-model bergereja yang cair dan dapat menjawab pergumulan misioner• Keesaan gereja dalam keragaman denominasi/ eklesiologi

• Krisis kebangsaan Indonesia• Radikalisme Agama• Pancasila asas gereja• Suara kenabian gereja

• Manusia citra Allah (HAM)• Kebebasan kehendak manusia• Keadilan gender• Perkawinan

Manusia

• Kosmosen-trisme kese-lamatan

•Dosa dan Kematian•Penebusan oleh Kristus•Keselamatan seutuhnya

Keselamatan

Page 159: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

158 Prosiding

•Krisis keesaan•Model-model bergereja yang cair dan dapat menjawab pergumulan misioner•Keesaan gereja dalam keberagaman deniominasi/eklesiologi

• Hakekat dan Panggilan Gereja• Sifat gereja: esa, kudus, am dan rasuli• Kelembagaan Gereja (Church Polity)• Jabatan Gereja

Gereja

• Pelayanan Gerejawi (terkait KKG Bab II)• Sakramen Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus• Kalender Gerejawi

Peribadahan

•Krisis kebangsaan•Radikalisme agama•Pancasila asas gereja•Suara kenabian gereja

• Hakekat dan fungsi negara• Gereja dan Negara• Teologi Politik

Negara

• Hakekat Kerajaan Allah• Gereja dan Kerajaan Allah• Tanda-tanda Kerajaan Allah• Kegenapan Kerajaan Allah

Kerajaan Allah dan Eskatologi

•Terjemahan Alkitab•Alkitab digital

• Penyataan Allah• Pengilhaman Roh Kudus

Alkitab

Page 160: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

159Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen

Page 161: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

160 Prosiding

Page 162: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

161Lampiran

Sesi I: Tinjauan Teologis-Kontekstual Terhadap Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI 2014-2019

Emanuel Gerrit SinggihPendeta GPIB dan dosen Biblika di Universita Duta Wacana, Yogyakarta, menyelesaikan studi doktoral di University of Glasgow.

Pendahuluan

S aya selalu menyambut baik permintaan untuk mengevaluasi sebuah dokumen, apalagi yang sepenting DKG, oleh karena membaca dokumen ini akan membuat saya menjadi lebih tahu mengenai situasi konkret di

sebuah konteks tertentu, dan tentu saja penambahan pengetahuan tersebut membuat saya bisa berteologi lebih konkret dalam konteks tertentu. Tentu saja untuk berteologi saya memerlukan bantuan dari teolog-teolog sistematik atau konstruktif, jadi nantinya saya akan merujuk pada Joas Adiprasetyo, Robert Borrong dan mungkin saja beberapa teolog Indonesia lainnya. Evaluasi terhadap DKG akan saya lakukan dengan bantuan kedua hasil penelitian Litbang PGI, yaitu Potret dan Tantangan Gerakan Oikoumene, Laporan Penelitian Survei Oikoumene PGI 2013 yang sudah diterbitkan oleh BPK GM pada tahun 2015 dan “Model-Model Bergereja di Indonesia” terbitan 2018 yang masih berupa Draft Penelitian Tahap Pertama.

Saya mengerti bahwa DKG dan kedua penelitian ini merupakan karya besar yang dijalankan dengan susah-payah. Saya berterima kasih atas hasil jerih payah teman-teman yang telah menghasilkan dokumen yang luar biasa ini, dan juga teman-teman yang telah melakukan kedua penelitian ini. Evaluasi saya tidak berniat untuk merendahkan jerih payah teman-teman, melainkan

Page 163: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

162 Prosiding

anggaplah sebuah bagian dari percakapan bersama mengenai wujud eklesiologi seperti apa yang diperlukan dalam konteks Indonesia pada masa kini. Anda semua tahu bahwa bidang saya adalah Teologi Biblika dan Teologi Kontekstual, bukan Teologi Konstruktif atau Sistematik yang bergulat dengan tema-tema Eklesiologi. Saya juga bukan pakar penelitian. Tetapi sejauh tema Eklesiologi digumulkan dalam konteks masa lampau dan dapat diraba dalam teks Alkitab, dan sejauh tema itu nampak dalam pergumulan masa kini seperti dikemukakan dalam TOR pertemuan kita, ya apa boleh buat, saya masuk saja dan nanti anda mengoreksi dan menegur saya kalau saya salah.

Dalam Pendahuluan ini, meskipun saya tidak terlalu suka memulai dengan definisi, saya memberikan sebuah definisi sederhana mengenai Eklesiologi yang biasanya kami pakai dalam kuliah Berteologi Dalam Konteks Indonesia untuk program S2, yaitu Komunitas manakah yang relevan untuk konteks Indonesia1. Tetapi, Eklesiologi ini berkaitan dengan Misiologi, yaitu Visi atau Komunikasi apakah yang relevan untuk konteks Indonesia. Dalam dunia perguruan tinggi, orang harus memberikan “Visi dan Misi Perguruan Tinggi”, jadi Visi berbeda dari Misi, meskipun berkaitan. Namun dalam definisi di atas, Misiologi adalah Visi yang bisa kita perbincangkan dengan mereka yang berada di luar komunitas. Eklesiologi untuk orang dalam, Misiologi untuk orang luar. Tetapi kadang-kadang Eklesiologi bisa dekat sekali dengan Misiologi, bahkan bisa identik, seperti misalnya pemahaman mengenai kehadiran gereja sebagai presensia2.

Dalam pengalaman kami di kuliah Berteologi dalam Konteks, baik Eklesiologi maupun Misiologi tidak bisa dilepaskan dari Gambaran Ilahi yang manakah yang relevan untuk konteks Indonesia. Aspek ini jarang dipergumulkan, padahal seringkali Eklesiologi dan Misiologi berpangkal dari Gambaran Ilahi ini. Dulu kita menamakannya “Kristologi” dan ketika membahas mengenai eklesiologi poskolonial dalam sebuah artikel untuk antologi

Page 164: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

163Lampiran

Eklesiologi Poskolonial, saya membicarakan Kristologi juga dan bukan hanya Eklesiologi3. Barangkali persoalan yang kita hadapi yaitu bahwa PBIK tidak mendukung PTPB (informasi dari rekan Ngelow) persis berada dalam pemahaman Kristologi ini.

Akhirnya, ada dua masalah eklesiologi yang saya lihat dalam tinjauan saya: yang pertama adalah penolakan terhadap sesama Kristiani, baik sesama anggota PGI maupun non anggota PGI, dan yang kedua adalah penolakan terhadap sesama umat beragama, terutama terhadap agama yang mayoritas. Memang dalam suasana sekarang, yang cenderung memulai pembahasan dari segi positif, yaitu “appreciative inquiry”4 mungkin memulai dengan “penolakan” memberi kesan tertentu yang negatif, tetapi kadang-kadang saya merasa perlu untuk memulai dengan membahas hal yang negatif, supaya orang tidak mendapat kesan bahwa semuanya baik-baik saja, dan, yang paling penting adalah, dari yang negatif kita bisa berjalan menuju ke yang lebih positif.

Masalah Eklesiologis: Penolakan Terhadap Sesama Kristiani Di tabel III-11 PTGO5 dan DKG6 jelas bahwa semua gereja anggota menerima PSMSM, dan bahwa tidak ada masalah dengan hal itu. Tetapi hanya beberapa halaman sesudah itu PTGO7 dan DKG8 mengemukakan bahwa ada banyak masalah, juga yang tadinya dibayangkan sudah diatasi di Sidang Raya XI 1989, yang membarui rumusan PSMSM 1984, yaitu berkaitan dengan perpindahan warga jemaat yang sama-sama anggota PGI, tidak dilakukan baptisan ulang. Ternyata ada beberapa gereja anggota PGI yang tetap melakukan baptisan ulang. Dalam praktik, baptis ulang ini berarti pengakuan terhadap baptis selam sebagai sesuatu yang sah menurut ajaran gereja sedangkan baptis percik tidak. Ada gereja anggota yang mengadakan baptis selam bagi warganya yang akan menjadi pendeta, sedangkan untuk warga biasa tidak. Saya juga bisa menambahkan bahwa ada gereja-gereja anggota yang menolak

Page 165: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

164 Prosiding

baptisan anak dan hanya mengakui baptisan dewasa. Nampaknya gereja-gereja anggota ini tidak termasuk dalam 26 sinode gereja yang diteliti8. Di samping itu, ada masalah keengganan menerima warga dari gereja lain anggota PGI yang berada dalam penggembalaan atau siasat gereja. Cuma dalam pengalaman saya, kalau masalahnya berkaitan dengan penolakan menikahkan secara gerejawi karena ada masalah siasat, katakanlah konkretnya karena sudah pernah bercerai, maka di situ pun tidak ada satu suara, oleh karena kalau orang yang pernah bercerai ini pindah ke gereja lain dan menikah di sana, biasanya mereka diterima. Butir mengenai perceraian ini penting untuk dibahas dalam pertemuan-pertemuan PGI, dan pada sesi II saya akan kembali ke situ. Dalam kaitan dengan gereja-gereja bukan anggota, angka penerimaan ini memang menurun drastis, karena berkaitan dengan ketidaksamaan asas dan ajaran gereja. Buku katekesasi nampaknya merupakan cerminan doktrin yang berlaku mutlak, sehingga tidak bisa menerima buku katekesasi yang lain9. Namun, GBI disebut yang posisinya “lebih lentur” karena di samping menjadi anggota PGI, juga menjadi anggota PGPI dan PGLII10. Karena GBI disebut, saya menduga bahwa yang sulit untuk diterima oleh banyak gereja-gereja anggota PGI adalah gereja-gereja non anggota PGI dari aliran Karismatik-Pantekostalis. Tetapi jika demikian, maka terjadilah situasi yang aneh: di dalam PGI ada anggota-anggota yang berasal dari tradisi KarismatikPantekostalis misalnya GBI, tetapi tetap ada gereja anggota-anggota PGI yang tidak bisa menerima tradisi ini. Berarti pemahaman mengenai makna “oikoumene” terbatas pada gereja-gereja yang menganut asas yang sama, itu saja. Ada pemicunya sehingga orang bisa zaman now bisa sampai ke situ, namun nanti saya bicarakan pada bagian akhir evaluasi ini. Hal lain sehubungan dengan penolakan terhadap yang lain berkaitan dengan pemahaman mengenai jabatan pendeta. Para

Page 166: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

165Lampiran

peneliti betul, bahwa teologi jabatan pendeta berkait erat dengan jabatan struktural pendeta, ajaran (doktrin) resmi gereja dan aspek fungsional pendeta.11 Pendeta yang pindah namun dari gereja yang tidak seasas tidak bisa melayankan sakramen. Bahkan bagi pendeta yang pindah dari gereja anggota PGI pun kadang-kadang masih harus mengikuti masa orientasi, oleh karena lembaga pendidikan teologinya tidak diakui atau didukung12. Kalau di atas masalahnya adalah siapa yang berhak melayankan sakramen, maka tetap masih ada juga masalah siapa yang berhak melayankan Firman atau berkotbah. Ada yang membolehkan bukan pendeta berkotbah pada kebaktian hari Minggu di gereja, ada juga yang tidak. Meskipun mereka tidak berpendidikan teologi, mereka disebut “pendeta” atau “evangelis”. Sampai di sini kita bisa mengatakan bahwa penolakan yang berkaitan dengan mereka yang bukan anggota PGI ternyata sebenarnya bisa diterapkan mutatis mutandis juga terhadap mereka yang anggota PGI namun berasal dari tradisi yang berbeda. Pertanyaannya adalah apakah selama ini tidak pernah ada dialog intrareligius (istilah dari Raymundo Panikkar), atau percakapan teologis dalam semangat keterbukaan mengenai masalah-masalah yang terkait dengan perbedaan ajaran di dalam PGI? Dus, masalah Eklesiologi! Apakah ada semacam Komisi Faith and Order (dulu di zaman pra DGD) di PGI yang mempelajari dengan mendalam perbedaan doktrinal dan berusaha mencari jalan keluar yang bisa diterima oleh semua atau minimal, sebagian besar? Di PTPB butir 99c ada imbauan semacam ini,14 tetapi seingat saya (saya bisa salah lho!) pertemuan lokal untuk membahas masalah-masalah doktrinal tidak pernah diadakan. Padahal sudah ada imbauan Joas Adiprasetya mengenai eklesiologi, yaitu agar kita di Indonesia menjalankan secara dialektis Prinsip Protestan (The Protestant Principle) dengan Substansi Katolik (The Catholic Substance) dan dengan Prinsip Pentakostal (The Pentecostal Principe).13 Maksudnya jelas: dalam konteks Indonesia, gereja-gereja tidak bisa lagi hanya mengandalkan

Page 167: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

166 Prosiding

semata-mata pada warisan yang diperolehnya dari mereka yang datang mengabarkan Injil di sini, seakan-akan itulah identitasnya, melainkan harus mencoba mengembangkan identitas yang terbuka pada denominasi-denominasi lain, dan bagi orang-orang Protestan di Indonesia, denominasi-denominasi lain ini adalah Katolik dan Pantekosta. Kalau saya tidak salah tangkap maksud Joas adalah supaya warna Pantekosta yang sudah ada pada PGI dikembangkan lagi sehingga menjadi bagian yang proporsional dalam tubuh PGI, di samping mengembangkan warna Katolik sehingga juga menjadi proporsional (di kantor PGI saya sudah melihat pernik-pernik ibadah Taize, dan menurut saya itu sudah awal dari menghayati substansi Katolik). Beberapa gereja anggota (dan beberapa sekolah teologi dan universitas Kristen) malah bertindak lebih jauh lagi dengan merayakan hari Rabu Abu. Meskipun ada yang menentang hal ini, saya sih ok saja. Saya mau lebih menegaskan: oikoumene pada konteks kita di Indonesia sekarang adalah berhenti menganggap orang Katolik dan orang Pantekosta sebagai orang yang keliru secara doktrinal. Penerimaan kita terhadap satu sama lain tidak bisa jalan kalau kita menganggap bahwa ada yang dari sononya sudah salah. Hanya dengan jalan demikian kita bisa menyelesaikan masalah-masalah eklesiologi kita. Di atas saya menyinggung mengenai pemicu dari mengapa kita akhirnya menekankan pada gereja seasas. Hal itu disebabkan karena politik identitas global, ketika orang takut pada kepelbagaian dan menekankan kekhasan atau keunikan. Dalam lingkup pembicaraan kita hal ini dapat dilihat pada maraknya kegiatan organisasi-organisasi denominasional global yang seakan-akan menetralisir atau menggembosi banyak kesepakatan-kesepakatan yang telah diambil dalam pertemuan-pertemuan WCC. Di Indonesia kita lebih cenderung mengikuti aktivitas-aktivitas atau petunjuk-petunjuk dari LWF, WCRC, The Anglican Communion, Methodist, Baptis dan lain-lainnya daripada menerapkan kesepakatan-kesepakatan

Page 168: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

167Lampiran

WCC. Lihatlah misalnya nasib “Liturgi Lima” yang menurut saya sangat sesuai dengan world-view orang Indonesia yang menghormati mereka yang sudah meninggal, tetapi sesudah sekian tahun tidak pernah masuk dalam liturgi gereja-gereja anggota PGI.

Masalah Kristologis: Penolakan Terhadap Sesama Umat Beragama

Di atas kita berbicara mengenai saudara-saudara kita yang Pantekostal, tetapi kita akan membahas saudara-saudara kita yang Katolik dalam pembicaraan mengenai penerimaan terhadap agama dan kepercayaan lain. Kalau terhadap sesama anggota PGI saja masih terdapat penolakan, maka dalam laporan yang berkaitan dengan penerimaan terhadap agama dan kepercayaan lain, maka angka penerimaannya amat tinggi, seperti nampak di Tabel III-1614. Laporan para peneliti positif sekali: “terdapat kecenderungan untuk bersikap positif dan terbuka dalam menjalin kerja sama dengan umat beragama dan kepercayaan lain. Artinya, agama/kepercayaan lain tidak lagi dilihat sebagai musuh, saingan atau bahkan ancaman, tetapi sebagai rekan di dalam menyelesaikan masalah dan persoalan bersama”15. Beberapa gereja malah telah melaksanakan agenda yang lebih jauh lagi daripada sekadar mengubah sikap dan membangun tali silaturahmi dengan Islam. Mereka membuat program-program khusus misalnya GKI yang mengharuskan live-in di pesantren bagi calon pendeta, program SIKI (Studi Intensif Kristen-Islam) oleh GKJW, forum-forum dialog rutin mengembangkan ekonomi masyarakat bersama kelompok Muslim dan agama lain (GBKP,GKE) dan advokasi bersama untuk kasus pertambangan (GKS).16 Bahkan 75% bersedia menerima pernikahan beda agama17. Khusus mengenai persentase ini peneliti mengingatkan bahwa yang dimaksudkan dengan beda agama di sini adalah pernikahan orang Kristen dengan orang Katolik (oleh karena gereja Katolik di Indonesia secara resmi merupakan agama yang berbeda dari agama Kristen) dan bukan

Page 169: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

168 Prosiding

dengan orang Islam atau yang lainnya. Nampaknya persentase tersebut patut diragukan. Penelitian terakhir dari Ebenheser Lalenoh yang sekarang sedang menulis disertasi doktor di PThU Amsterdam mengenai kemungkinan gereja-gereja di Indonesia melaksanakan ibadah pernikahan beda agama (di lingkup GPIB, HKBP dan GKJ/GKJW) malah menunjukkan pada angka yang amat rendah, dan mungkin hanya sedikit lebih tinggi di GKJ/GKJW (mungkin karena budaya religius Jawa sampai beberapa waktu ini terbuka pada keluarga yang terdiri dari pemeluk agama yang berbedabeda). Justru pada titik pernikahan beda agama ini kita bisa menduga bahwa persoalannya dengan mereka sesama umat beragama sama juga seperti relasi dengan sesama Kristiani di atas. Apakah pernyataan-pernyataan yang amat positif itu bersifat tulus dan jujur, ataukah malah menyembunyikan perasaan-perasaan negatif tertentu? Apakah kalau sudah sampai pada komponen teologi, ajaran, ibadah atau tradisi, kita tidak mungkin bisa bersama? Apakah betul bahwa dalam soal ajaran, agama Kristen total berbeda dari agama Islam dan agama-agama lain? Dalam diskusidiskusi nasional mau pun internasional mengenai dialog antar agama, orang sudah berangkat dari sekadar “agree to disagree” ke langkah-langkah berikut, yaitu memetakan “commonalities and differences”, secara seimbang, dan bahwa komponen-komponen “commonalities and differences” ini jangan hanya didasarkan pada penemuan 50-100 tahun yang lalu, yang sering mengantitesakan agama-agama dan bersumberkan satu lapisan saja, yaitu mereka yang menentukan mana yang normatif dan mana yang tidak, melainkan dari penemuan 10-20 tahun yang lalu, yang lebih empirik daripada yang sebelumnya. Saya teringat misalnya pada pemahaman filsafati-teologis-antropologis mengenai ritual (“interritual dialogue”), yang memungkinkan orang dari berbagai agama untuk ambil bagian dalam ritual yang sama, tanpa kehilangan identitasnya yang khas. Bukankah pemahaman seperti ini akhirnya bisa memungkinkan pernikahan beda agama?

Page 170: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

169Lampiran

Tetapi lebih dari itu, kita masuk dalam persoalan Kristologis: apakah keselamatan dari Kristus hanya secara eksklusif terbatas pada mereka yang beragama Kristiani, ataukah tersedia juga bagi yang lain, dan apakah keselamatan itu hanya tersedia bagi manusia, ataukah juga kepada “segala mahluk” seperti yang dirumuskan dalam DKG yang mengutip dari Mark 16:1518. Artinya diterangkan di butir 46 PTPB. Saya kutip sebagian “manusia dan alam lingkungan hidupnya serta keutuhannya. Injil yang seutuhnya itu diberitakan kepada manusia yang seutuhnya, sebab Injil itu mencakup seluruh kehidupan manusia”. Maksudnya jangan dipertentangkan di antara aspek vertikal dan horisontalnya, berarti Injil yang bersifat holistik. Saya setuju dengan pemahaman Injil yang bersifat holistik ini, namun apakah hal ini sudah menjelaskan makna “segala mahluk”? Dalam bahasa Yunani kata yang dipakai untuk mahluk adalah ktisis, dari ktizoo, “membangun/mendirikan, menciptakan”. Jadi ktisis bisa berarti “mahluk ciptaan” atau “mahluk” saja. Di Roma 8:18-29 kata ini muncul sampai empat kali19. Konteks di Surat Roma adalah mereka yang lain, selain “kita yang telah menerima karunia sulung Roh, tetapi tetap sama-sama, “kita dan mereka” menderita “sakit bersalin”. Di Injil Markus, para murid terpanggil mewartakan Injil kepada segala mahluk. Di Surat Roma, semua mahluk adalah mereka yang tidak termasuk orang beriman. Berarti pekabaran Injil adalah pewartaan kepada mereka yang sama-sama berada dalam keadaan sakit bersalin, sama-sama masih tetap berupa mahluk yang rapuh (yang “vulnerable”). Mungkin aspek kebersamaan dalam kerapuhan (aspek vulnerability) ini perlu ditambahkan dalam butir B mengenai keharusan mengabarkan Injil kepada segala mahluk. Dengan demikian pemahaman kita mengenai Kristologi juga berubah: bukannya bahwa mereka yang bukan sulung terabaikan, melainkan bahwa mereka dan mereka yang sulung tetap berada bersama dalam kerapuhan, sambil menantikan kemerdekaan dan kemuliaan semua anak-anak Allah, baik yang sulung maupun yang kemudian. Kristologi

Page 171: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

170 Prosiding

ini bersifat inklusif, tidak eksklusif, dan bersahabat dengan yang lain, karena merujuk pada kesetaraan dalam penderitaan. Di DKG istilah presensia sebagai model misi muncul di PTPB butir 66 dan di Glossarium20. Juga dalam Pendahuluan saya telah mengemukakan bahwa kadangkadang sulit memisahkan Eklesiologi dari Misiologi, kalau model misinya adalah sentripetal seperti presensia). Tetapi saya membayangkan bahwa teks Roma 8 yang sama-sama menekankan pada penderitaan dan penantian dalam pengharapan merupakan “commonality” bagi semua agama di Indonesia, dan hal itu paling baik terungkap dalam model presensia.21 Masalah Kristologis: Apakah Kristologi Kita Selalu Harus Antroposentrik atau Sudah Waktunya Menjadi Kosmik?

Dalam Pendahuluan, saya telah menyebut dua masalah, yaitu penolakan terhadap sesama Kristiani, dan penolakan terhadap sesama umat beragama. Kita masih bisa menggali kekayaan lain lagi dari ungkapan ktisis. Kalau maknanya adalah mahluk atau mahluk ciptaan, berarti bukan manusia saja yang termasuk di dalamnya, melainkan juga yang di luar manusia. Kalau ktisis berarti “ciptaan”, maka tentunya bukan hanya manusia saja yang dimaksudkan di situ. Martin Harun pakar PB yang menaruh perhatian besar pada kerusakan ekologi, menekankan bahwa pemahaman kepada kata ktisis perlu dikembangkan sehingga tidak lagi hanya menunjuk kepada manusia, melainkan juga kepada mereka yang bukan manusia22. Di DKG memang disebutkan mengenai “alam lingkungan hidupnya dan keutuhannya”. Tetapi kesannya alam hanya dihargai sejauh melayani kepentingan manusia. Bagi pakar-pakar teologi ekologi, pandangan semacam itu disebut pandangan antroposentrik, atau malah “ekologi dangkal” (“Shallow Ecology”), untuk dilawankan dengan “ekologi dalam” (“Deep Ecology”)23 dan perlu dikembangkan menjadi pandangan kosmosentrik. Robert Borrong menggunakan istilah “nilai instrumentalis” dari alam, yang

Page 172: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

171Lampiran

perlu dikembangkan ke arah penghargaan terhadap “nilai intrinsik” dari alam26. DKG memang mengingatkan mengenai kemungkinan “kiamat ekologis” sebagai dampak pemanasan global di PTPB butir 9024, tetapi itu saja belum menunjukkan penilaian terhadap alam secara intrinsik. Pemahaman PI kepada segala mahluk dalam pengertian penyelamatan alam dalam arti sedalam-dalamnya, alam sebagai sesama mahluk yang dihargai secara intrinsik, akan mendukung kebijakan gereja dalam membangun program-program penangkalan terhadap kelanjutkan kerusakan ekologi. Saya teringat kepada teman-teman di GPM dan GKJW yang berjuang untuk mengatasi kerusakan ekologi, misalnya pengurangan drastik dari hutan mangrove untuk kepentingan segelintir manusia. Di PTPB sebaiknya diberikan sebuah perumusan konkret bagaimana peningkatan taraf hidup manusia dapat dilakukan tanpa merugikan keberlangsungan alam dan tanpa merugikan perjuangan demi penegakan keadilan sosial, yang sudah dirumuskan dengan baik sekali dalam PTPB.25 Kita kembali kepada pokok Kristologi. Saya memberi tanda tanya kepada judul paragraf di atas, oleh karena saya merasa masalahnya di sini bukan penolakan, melainkan belum adanya kesadaran akan kaitan Kristologi, Eklesiologi dan Misiologi dengan masalah Keutuhan Ciptaan atau masalah kerusakan ekologi planet bumi ini. Tradisi Katolik (melihat bumi sebagai sakramen) dan Tradisi Pantekosta (Roh Kudus yang berada dalam ciptaan) bisa menolong kita menghubungkannya, tetapi Tradisi Calvinis juga! Calvin cukup dikenal dengan pemahamannya mengenai Penyataan atau Pewahyuan Ilahi, yaitu Penyataan di dalam Alam dan Penyataan di dalam Firman (yang konkretnya adalah Kristus). Namun, warisan zending di Indonesia kebanyakan menekankan pada penyataan yang kedua ini, yang dianggap lebih penting daripada yang pertama. Padahal di USA pada abad ke 19, pemahaman Calvin mengenai penyataan dalam alam dan pernyataannya yang terkenal, yaitu natura theatrum gloriae Dei, “Alam adalah teater kemuliaan Allah”

Page 173: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

172 Prosiding

mengilhami orang-orang Calvinis untuk membangun wilayah-wilayah alam yang dilindungi (nature preservations), yang masih ada sampai sekarang2627. Robert Borrong telah menulis buku teks teologi ekologi, yaitu Etika Bumi Baru28. Saya menggunakannya sebagai bacaan wajib mahasiswa S1 dalam kuliah “Teologi dan Ekologi”. Karena Borrong adalah orang Calvinis, maka tidak heran bukunya juga sarat dengan nuansa Calvinisme. Bukannya saya tidak setuju dengan nuansa ini. Saya juga masih Calvinis. Namun, seperti yang telah dikemukakan di atas, warisan Calvinisme yang kita terima dari pendahulu-pendahulu kita adalah penyataan atau pewahyuan berupa Firman, yang konkretnya adalah Kristus. Pendekatan melalui warisan ini akhirnya masih antroposentrik, belum kosmosentrik. Maka, pendekatan antroposentrik ini perlu dilengkapi dengan pendekatan yang kosmosentrik, seperti dapat dilihat dalam pemahaman teman-teman dari gereja Ortodoks Yunani, mengenai Kristus sebagai “Pantokrator”. Maknanya bukan sekadar “Pencipta” melainkan “Pencipta yang mencakup segala sesuatu”. Pemahaman ini melihat Kristus sebagai Kristus kosmik, yang mencakup baik alam maupun persekutuan manusia29. Kalau kita kembali kepada imbauan Joas Adiprasetya di atas, maka pemahaman Ortodoks Yunani ini bisa masuk ke dalam “Catholic Substance”. Kalau tidak setuju, pemahaman Ortodoks Yunani ini bisa ditambahkan lagi ke dalam warna teologis PGI sebagai warna keempat, di samping ketiga pokok Joas di atas. Dasar teologisnya diambil dari Surat Kolose 1:15-23 dan Surat Efesus 1:15-23, yaitu Kristus kosmik, bukan Kristus historik seperti di Injil-Injil. Monike Hukubun belum lama ini telah menulis disertasi mengenai Kolose 1:15-20 dalam kaitannya dengan pergumulan GPM menghadapi kerusakan ekologi di kepulauan Kei. Disertasi ini mendialogkan kepercayaan lokal mengenai keseimbangan ekologi dengan Kristus kosmik.30 Pendekatan yang kosmosentrik ini berusaha mengimbangi pengakuan terhadap Allah yang transenden dengan Allah yang

Page 174: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

173Lampiran

imanen. Hal yang terakhir ini jarang disadari, padahal di Perjanjian Lama, yang sering dianggap menekankan transendensi Allah, cukup banyak teks-teks teofani yang justru melihat Allah di dalam alam, imanensi Allah!31. Penyataan Allah di Sinai misalnya, sering hanya dilihat dari segi penyataan 10 Hukum (Dasatitah) saja, tetapi mengabaikan bahwa penyataan itu terjadi di dalam gejala alam, entah erupsi gunung berapi, entah gempa bumi, entah badai, bisa juga semuanya sekaligus! Mengakhiri sesi ini, saya menyimpulkan bahwa bukan hanya Eklesiologi kita yang bermasalah, melainkan Kristologi kita juga. Gambaran kita mengenai Allah yang relevan dengan konteks Indonesia mestinya bukan lagi gambaran Allah yang eksklusif melainkan Allah yang inklusif. Sudah ada sih di DKG, yaitu pernyataan bahwa “Allah adalah baik untuk semua orang” di PTPB butir 2932 dan PTPB butir 5333. Asal saja kalimat ini tidak disambung dengan “tetapi”, yang ujung-ujungnya mengembalikan eksklusivisme itu lewat pintu belakang. Allah baik kepada semua orang, baik dia Kristen maupun bukan Kristen dan Allah menginginkan agar semua ciptaan pada akhirnya selamat, baik manusia maupun alam. Kalau tidak salah ini pandangan dari Bapak Gereja Irenaeus. Kalau Eklesiologi kita inklusif maka pastilah Eklesiologi kita juga akan menjadi inklusif, dan demikian juga Misiologi kita. Yogyakarta, Libur Maulud Nabi Muhammad S.A.W., 20 November 2018.

Page 175: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

174 Prosiding

Catatan Akhir.1. Lih. Emanuel Gerrit Singgih, “Lingkaran Teologi Praktis sebagai model

berteologi kontekstual di Indonesia”, dalam Yusak Soleiman dkk, Vivat Crescat Floreat, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014, 92102).

2. Lih. DKG, 66. Idea presensia dipopulerkan di Indonesia oleh Arie de Kuijper dalam buku Missiologinya. Eklesiologi yang bercorak presensia merupakan misi berupa lingkaran yang berpusat ke dalam (“sentripetal”), yang berbeda dengan misi lain yang lingkarannya mengarah keluar (“sentrifugal”).

3. Lihat Emanuel Gerrit Singgih, “Emmanuel Garibay, Interpretasi Poskolonial dan Eklesiologi Asia Tenggara”, dalam antologi Eklesiologi Poskolonial yang akan diterbitkan oleh teman-teman “Oase”. Saya terinspirasi oleh lukisan-lukisan Garibay, yang lukisan-lukisannya mengenai Kristus sekaligus menggabungkan Kristologi, Eklesiologi dan bahkan Misiologi. Lukisan memang bisa lebih “cair” daripada Teologi. Bagi yang menyukai pendekatan sistematik, lih. Hans Abdiel Harmakaputra, “Toward an Indonesian Postcolonial Christology: Discerning Some Key Elements”, dalam Exchange 45/2/2016, 173-193.

4. Lih. J.B. Banawiratma, Pemberdayaan Diri Jemaat dan Teologi Praktis Melalui Appreciative Inquiry (AI), Yogyakarta: Kanisius, 2014.

5. Lih. PTGO, 45. 6. Lih. DKG, 28-29. 7. Lih. PTGO, 48-51. 8 Lih. DKG, 82-83. 8. Lih. PTOG, 32-33. 9. Dugaan saya buku katekesasi ini pun merupakan warisan yang diterima dari

zaman zending yang tidak dibuatkan suplemen, seperti yang telah dilakukan oleh GKJTU yang disebutkan dalam PTOG atau pun buku katekesasi baru seperti yang dibuat oleh GKJ misalnya.

10. Lih. PTOG, 49. 11. Lih. PTOG, 50. 12. Gereja anggota PGI ini tidak termasuk gereja pendukung dari sekolah

teologi pendeta tersebut. Tentu saja kita perlu membedakan “diskriminasi” doktrinal ini dengan kebijakan beberapa gereja yang mendukung lembaga-lembaga pendidikan teologi yang bersifat akademik. Kalau menerima pendeta atau calon pendeta dari lembaga pendidikan teologi yang tidak mementingkan aspek akademik, tentu hal ini menjadi masalah besar bagi yang lulusan lembaga pendidikan yang akademis. 14 Lih. DKG, 83.

13. Lih. Joas Adiprasetya, “Arah baru Eklesiologi Masa Kini”, presentasi pada Studi Institut Eklesiologi Persetia di STT Jakarta, 23-26 Juni 2015.

Page 176: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

175Lampiran

14. Lih. PTOG, 61. 15. Lih. PTOG, 60. 16. Lih. PTOG, 62. 17. Lih. PTOG, 63. 18. Lih. DKG, 15-16. 19. Di DKG teks ini baru muncul di butir 89, Lih. DKG, 77. 20. Lih. DKG, 66 dan 94. 21. Lih. Emanuel Gerrit Singgih, “Suffering as Ground for Religious Tolerance:

An Attempt to Broaden Panikkar’s Insight on Religious Pluralism”, dalam Exchange 45/2/2016, 111-129; versi Indonesianya terdapat di buku prosiding konperensi internasional UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Costly Tolerance, 2017.

22. Lih. Martin Harun, “Paulus dan Penyelamatan Kosmos”, dalam Forum Biblika 14 (2001), 67-85, mengenai makna luas dari ktisis, 76-78.

23. Lih. Celia Deane Drummond, Eco-Theology, London: Darton, Longman & Todd, 2008, 35-37. 26 Percakapan lisan dengan saya beberapa bulan yang lalu di Yogyakarta.

24. Lih. DKG, 78. 25. Lih. Richard Evanoff, Bioregionalism and Global Ethics: A Transactional

Approach to Achieving Ecological Sustainability, Social Justice and Human Well-Being, New York: Routledge, 2011, 81-91.

26. 26 Lih. Michael S. Northcott, “Lynn White jr. Right and Wrong: The Anti-Ecological Character of Latin Christianity and the Pro-Ecological Turn of Protestantism”, dalam Todd Le Vasseur dan Anna Peterson (eds.), Religion and Ecological Crisis: The “Lynn White Thesis” at Fifty, New York: Routledge, 2017,

27. Buku ini merupakan sebuah antologi yang memeringati 50 tahun munculnya “tesis” White mengenai ajaran agama Protestan sebagai biang keladi kerusakan ekologi masa kini. Artikel Northcott mengoreksi Lynn White jr, sejarawan terkenal beragama Kristen Protestan yang di tahun 1967 menerbitkan tulisan yang bersifat auto-kritik, yaitu bahwa ajaran Protestan Calvinis bertanggung jawab atas kerusakan ekologi masa kini. Menurut Northcott, White bersikap berat sebelah. Ungkapan Calvin dalam bahasa Latin tidak ada di artikel Northcott, yang hanya mengatakan bahwa bumi sesudah kejatuhan dalam dosa, tetap merupakan “theater of God’s glory”, di h. 68.

28. Lih. Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999. 29. Lih. Celia Deane-Drummond, Eco-Theology, 56-65. 30. Lih. Monike Hukubun, Nuhu-Met sebagai Tubuh Kristus-Kosmis,

Page 177: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

176 Prosiding

perjumpaan makna Kolose 1:15-20 dengan budaya sasi umum di Kei-Maluku melalui Hermeneutik Kosmis, Yogyakarta: Disertasi Doktor, 2018

31. Lih. Emanuel Gerrit Singgih, “Allah dan Alam dalam Perjanjian Lama”, dalam Emanuel Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna, Yogyakarta: Edisi Revisi 2019, 132-147.

32. Lih. DKG, 53. 33. Lih. DKG, 63.

Page 178: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

177Lampiran

Sesi II: Tinjauan Teologi-Kontekstual Terhadap Dokumen Keesaan Gereja (DKG) PGI 2014-2019

Emanuel Gerrit SinggihPendeta GPIB dan dosen Biblika di Universita Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, menyelesaikan studi doktoral di University of Glasgow.

Pendahuluan

Berbeda dengan bahan sesi I yang analitis, maka bahan sesi II ini lebih banyak bersifat reflektif, meskipun segi analitisnya tetap ada juga. Beberapa tema yang sudah dibicarakan dalam sesi I akan dilanjutkan dengan

membahasnya lebih mendalam. Baru sesudah itu saya akan masuk ke dalam evaluasi terhadap bahanbahan PBIK. Mungkin juga dalam refleksi sebelumnya saya sudah akan menyangkutkannya dengan PBIK. Sebelum masuk ke dalam refleksi perkenankanlah saya memberikan sebuah evaluasi menyeluruh terhadap PTPB. Menurut saya, uraian butir-butir PTPB sangat bagus dan sangat kontekstual. Kritik terhadap globalisasi ekonomi neo liberal amat tajam, tetapi saya setuju. Dalam konteks globalisasi ekonomi neolib yang menghalalkan semua cara, PTPB betul, kita harus waspada terhadap money-politics,1 yang bisa menyebabkan Kabar Sukacita dari Yesus Kristus berubah menjadi “Kabar Sukacita” dari Mammon. Memang ada beberapa tinjauan saya terhadap PTPB yang bersifat kritis, namun kesemuanya itu tidak mengurangi penghargaan saya terhadap teman-teman yang telah menyusun DKG, terutama PTPB.

Page 179: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

178 Prosiding

Apakah Keharusan Memberitakan Injil berarti PI Model Sentrifugal?

Refleksi yang pertama berkaitan dengan PTPB butir B, 45-522 mengenai keharusan memberitakan Injil. Dasarnya tentu saja Matius 28:18-20 yang sudah lama dianggap sebagai amanah terakhir Gusti Yesus Kristus sebelum naik ke surga. Orang jadinya jarang merenungkan bahwa frasa poreuthentes oun bisa dimaknai sebagai imperative dan diikuti oleh TB-LAI, “Karena itu pergilah” (Mat 28:19, TBLAI), tetapi bisa juga dimaknai sebagai non-imperative “sementara kamu pergi”. Juga urutannya tidak kronologis, pergi, baptis dan mengajar, melainkan “pergi” itu berarti membaptis dan mengajar. Kemudian kalau kita menggunakan tafsir naratif terhadap teks Matius, maka meskipun Amanah di Matius 28:18-20 ini dianggap satu-satunya Amanah, malah “Amanat Agung”, sebelumnya sudah ada Amanah-Amanah lain, yaitu Matius 25:31-46 dan Matius 22:37-40 dan Matius 7:12.3

Sebetulnya, tidak ada satu Amanat Agung karena semua Amanah dalam narasi Matius adalah agung adanya. Matius 25 merupakan Amanah menolong orang kecil atau korban yang tidak berdaya dan berada di dalam kesulitan, dan di situ Gusti Yesus mengidentikkan DiriNya dengan mereka: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Teologinya adalah “Teologi Menolong Tuhan” dan bukan sekadar menolong sesama manusia atau “Ditolong oleh Tuhan” saja. Saya akan kembali ke teologi yang tidak biasa ini. Matius 22 merupakan Amanah Kasih yang kita semua sudah tahu oleh karena ada di liturgi kebaktian Minggu, dan Matius 7 merupakan Kaidah Kencana (Golden Rule) dari Gusti Yesus, yang intinya sama dengan Golden Rule dari nabi Konghucu.

Kesadaran bahwa Amanah Gusti Yesus bukan hanya satu melainkan paling sedikit empat di Injil Matius, paling tidak akan menyadarkan kita bahwa Injil memang bersifat holistik dan plural,

Page 180: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

179Lampiran

dan kalau diakui bahwa Injil itu “sepenuh” (“full”), maka seharusnya semua aspek dari Amanah-Amanah tersebut diperhatikan dengan seimbang. Jarang dari kita yang sadar bahwa “Amanat Agung” di Matius 28 hanya berbeda tiga pasal dari “Amanat Agung” lain di Matius 25. Kita tahu bahwa orang bisa menarik garis teologis dari Matius 28 dan Matius 25 secara ekstrim dan tidak pernah keduanya bertemu. Itulah ceritanya mengenai kaum Evangelical dan kaum Ecumenical. Padahal teksnya sama-sama dari Matius, dan jaraknya hanya tiga pasal. Mestinya secara naratif, kedua Amanah yang samasama Agung ini bisa dipertemukan!

Di uraian eklesiologi dan misiologi di sesi I mengenai PTPB kita telah melihat model-model PI yang sentripetal dan sentrifugal, dan saya mengusulkan agar kita memilih eklesiologi model sentripetal dalam wujud presensia sebagai yang paling cocok untuk konteks Indonesia masa kini. Mereka yang tidak melihat kemungkinan lain dari PI selain model sentrifugal akan memandang secara negatif bahwa di model sentripetal orang bersifat pasif, tidak mengabarkan Injil dan hanya mengarah ke dalam saja. Padahal dalam model sentripetal juga ada aktvitas, tetapi aktivitas ini mengarah ke dalam bukan supaya jadi introvert melainkan justru supaya menarik perhatian dunia. Dalam teori pembangunan jemaat sekarang amat ditekankan bagaimana kita membangun diri menjadi “aantrekkelijk” (menarik).4 Jadi bukan terutama kita keluar mencari orang, melainkan bagaimana supaya orang datang ke kita.

Jika kita menghubungkan presensia dan pemahaman mengenai Amanah di Matius 28:18-20 seperti di atas, maka memberitakan Injil tidak perlu dilihat sebagai keharusan yang mau tidak mau harus dilakukan. Selama seribu tahun sesudah Gereja Perdana, Matius 28:18-20 tidak dimaknai sebagai keharusan, melainkan sebagai panggilan. Begitu juga pada masa Reformasi. Maksud saya panggilan tidak perlu berarti keharusan. Agama Kristen bukan agama kewajiban atau keharusan, melainkan agama hati nurani. Baru pada abad 19, yang berkaitan dengan kejayaan imperialisme

Page 181: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

180 Prosiding

Barat, teks ini dimaknai sebagai Amanat Agung PI (“The Great Commission”). Ketika kolonialisme Barat menjadi mantap, teks ini menggerakkan para misionaris Barat datang ke tanah-tanah jajahan dan dengan model PI berupa plantatio ecclesiae (penanaman gereja, yang sekarang lebih populer dengan pertumbuhan gereja), mereka mendirikan gereja-gereja suku, yang dilihat sebagai model baru dari suku yang lama, bahkan bisa dianggap sebagai mewakili atau menggantikan suku yang lama. Budaya lokal dianggap jahat dan harus digantikan oleh “budaya Kristen”, yang sebenarnya adalah budaya Barat.

Dalam bahan sesi I saya berbicara mengenai teologi yang bersifat poskolonial. Kalau kita serius bahwa dalam era poskolonial kita harus waspada terhadap struktur-struktur kolonial yang tanpa disadari tetap menguasai cara berpikir kita, termasuk cara berpikir teologis, maka pemahaman misiologis mengenai PI sebagai keharusan perlu kita modifikasi menjadi PI sebagai panggilan. Saya tahu bahwa ada juga teks yang bisa dijadikan pendukung untuk memahami PI sebagai keharusan, yaitu ucapan Paulus, “celakalah aku apabila aku tidak mengabarkan Injil … sebab itu adalah keharusan bagiku” (I Kor 9:16). Tetapi konteksnya adalah persoalan mengenai hak dan kewajiban rasul. Paulus adalah rasul yang memberitakan Injil dan mereka yang bertugas memberitakan Injil berhak hidup dari pemberitaan Injil itu (ayat 14). Itu ketetapan Tuhan. Cuma bagi pribadi Paulus, itu bukan hak tetapi kewajiban. Maka dia tidak menggunakan haknya. Kita semua merasa bahwa kita adalah penerus Paulus, maka kita juga menerapkan kata-kata Paulus bagi diri kita, padahal tidak harus demikian.

Menurutku, model-model PI kolonial seperti yang bersifat sentrifugal oleh para misionaris di atas, dan penanaman atau pertumbuhan gereja yang bersifat plantatio ecclesiae perlu digantikan dengan model-model PI yang lebih bersifat poskolonial seperti model presensia yang bersifat sentripetal, seperti yang sudah diterangkan di bahan sesi I. Sebenarnya kalau mau jujur, Amanah di Mat. 28:1820

Page 182: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

181Lampiran

pun, kalau memerhatikan bahwa ayat 19 bisa diartikan non-imperative, kemudian komponen-komponennya yaitu membaptis dan mengajar segala sesuatu yang telah diamanahkan Yesus kepada mereka (yaitu Kotbah di Bukit di Matius 5-7), tidak dilihat sebagai bagian dari misiologi dalam arti sempit yaitu PI melainkan eklesiologi, maka eklesiologinya bersifat presensia. Dalam rangka itu maka pembangunan gereja atau jemaat tidak dimaksudkan untuk menghapus budaya suku yang lama dan menggantikannya dengan budaya Kristen, melainkan menghayati Injil dalam budaya lokal. Ketidakwaspadaan terhadap kerangka pikir kolonial yang masih saja bercokol di dalam diri kita bisa berdampak pada berbagai kebijakan gereja anggota sekarang ini, yang akan merugikan, bahkan memecah belah kesatuan orang Kristen dalam jangka panjang.

Hal itu terlihat dalam laporan teman-teman yang meneliti “Model-Model Bergereja di Indonesia 2018” di enam gereja anggota PGI (selanjutnya disingkat MMBI). Terlebih dulu sedikit catatan terhadap hasil penelitian ini. Judulnya adalah “Model-Model Bergereja” dan menggunakan model eklesiologi dari Mannion dan Mudge yang memerhatikan tiga faktor, yaitu pemerintahan gereja, kehidupan liturgis dan misi gereja.5 Menurutku, penggunaan model Mannion dan Mudge ini tidak berhasil mengangkat ke permukaan, identitas eklesiologis dari gereja-gereja yang diteliti. Mungkin kalau yang dipakai adalah model-model bergereja dari Dulles dan Weverbergh, maka modelnya lebih nampak, yaitu gereja sebagai sebagai lembaga keselamatan, gereja sebagai persekutuan, gereja sebagai sakramen, gereja sebagai bentara dan gereja sebagai pelayan.6

Tetapi yang lebih penting adalah penemuan penelitan ini, yaitu munculnya “gerak ekspansif lintas teritori” yang dapat mendorong kompetisi antargereja dan dapat menimbulkan gesekan di tingkat lokal.7 Perubahan ini diduga dipengaruhi oleh pemahaman mengenai otonomi daerah. Teman-teman peneliti bahkan mencatat bahwa perubahan pemahaman dari gereja teritorial menuju kepada gereja non-teritorial ini terjadi di GMIM, GKE dan GMIT.8

Page 183: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

182 Prosiding

Perubahan ini disebutkan sebagai perubahan yang bersifat kultural dan emosional, tetapi menurutku perubahan ini sebenarnya tekanan pada identitas etnis dari pada teritori atau lokalitas. Sebab-sebabnya dikemukakan, yaitu warga yang bermigrasi ke luar teritori tidak merasa nyaman oleh karena merasa berbeda identitas dengan warga sesama gereja anggota di perantauan. Kemudian ada masalah di teritori sendiri, yang warganya semakin berkurang karena banyak yang bermigrasi keluar dan secara sosial ekonomi menjadi lebih kuat dari pada warga di teritori, dan akhirnya ada perasaan tidak terlayani atau agak diabaikan oleh warga sesama gereja anggota di perantauan.9

Kita dapat mendebatkan sebab-sebab di atas, dan dapat dinilai positif ataupun negatif. Namun tentunya pertama-tama kita perlu menimbangnya secara sosiologis. Di atas disebutkan mengenai pengaruh otonomi daerah. Sejak akhir abad ke 20 secara global terjadi perubahan pemahaman mengenai identitas, yaitu dari nasionalitas ke arah yang lebih bersifat etnisitas. Negatifnya adalah negara seperti Yugoslavia bubar dan menimbulkan perang saudara, tetapi positifnya muncul negara-negara Serbia, Kroatia, Bosnia dsb. Perubahan mengenai identitas ini nampaknya juga memengaruhi perjalanan PGI menuju ke Gereja Kristen yang Esa, sehingga akhirnya diakui bahwa hal ini tidak mungkin terwujud.10 Tetapi, bahwa ketidakmungkinan ini bisa jadi disebabkan oleh faktor etnisitas, tidak disebut-sebut (belum lagi faktor ajaran denominasi seperti yang sudah diuraikan di sesi I)!

Di atas para peneliti mengemukakan kekuatiran bahwa jika gejala perubahan dari paham eklesiologi teritorial ke non-teritorial tidak dikelola dengan baik, maka dapat menimbulkan gesekan. Sebenarnya, bagi gereja-gereja anggota GPI (Gereja Protestan di Indonesia) perubahan ini sudah menjadi masalah. Seperti diketahui, sejak sebelum zaman kemerdekaan terdapat kesepakatan di antara GMIT, GPM, GMIM dan GPIB bahwa mereka tidak akan mendirikan jemaat di teritori gereja sesama anggota GPI. Tetapi

Page 184: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

183Lampiran

terutama GMIM dengan Tager 2016 telah merumuskan diri sebagai tidak hanya melayani di tanah Minahasa, tetapi juga di luarnya11. Dengan demikian, GMIM bisa mendirikan jemaat di Jakarta, dan GPIB kuatir bahwa adanya jemaat-jemaat GMIM di Jakarta akan menyebabkan warga GPIB yang berasal dari Minahasa pindah bergabung dengan jemaat GMIM di Jakarta. Bagi PGI juga menjadi masalah, oleh karena PSMSM di LDKG, setelah menjadi DKG, digabungkan bersama MKTDD menjadi dokumen “Oikoumene Gerejawi” (OG) dengan menambahkan Konsep Dasar Keesaan Gerejawi. Kemudian MKTDD diubah menjadi SMDD. OG terdiri dari (a) Konsep Dasar Keesaan Gerejawi, (b) Saling Menerima dan Mengakui dan (c) Saling Menopang di bidang Daya dan Dana (SMDD).12 Tetapi kalau kita memerhatikan dokumen 3B mengenai “Saling Menerima dan Mengakui” yang terdiri dari enam butir,13 terutama mengenai butir 4 yaitu “Pekabaran Injil”, maka tidak ada kalimat-kalimat yang bisa menolong gereja-gereja anggota dalam mengelola dampak dari perubahan pemahaman gereja teritorial menjadi gereja non-teritorial.

Jadi masalahnya agak mirip dengan persoalan apakah kita mengakui paradigma kepelbagaian agama yang menghargai keberadaan agama lain di sekitar kita, sehingga kita tidak melakukan PI terhadap mereka, atau kita mengakui paradigma kebebasan beragama, termasuk di dalamnya kebebasan untuk melakukan PI dan sebagai dampaknya, masuk ke wilayah yang secara mayoritas dan tradisional dianggap sebagai wilayah agama tertentu, dan mendirikan jemaat yang sebagian terdiri dari ex penganut agama mayoritas. Kelihatannya kita tidak bisa mengambil sikap mengenai keberadaan kedua paradigma di atas dalam konteks Indonesia.14 Mutatis Mutandis, dalam skala lebih kecil berupa konteks keberadaan gerejagereja anggota PGI, kita juga tidak bisa mengambil keputusan mengenai kebijakan PI kita, apakah akan dilakukan berdasarkan prinsip kebebasan beragama, meskipun kita tahu bahwa di wilayah tertentu sudah ada gereja-gereja yang melakukan PI secara

Page 185: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

184 Prosiding

tradisional, ataukah kita memberlakukan paradigma kepelbagaian gereja yang satara karena telah saling menerima dan mengakui, dan karena itu tidak masuk ke teritori gereja lain yang sudah terlebih dulu ada di situ. Memang ungkapan “teritori” dan “non-teritori” bisa dipersoalkan, apakah itu istilah eklesiologis atau bukan. Ya memang bukan, tetapi kalau gereja telah melembaga dan sudah menjadi bagian dari masyarakat, maka ungkapanungkapan seperti itu tidak terhindarkan.

Secara sosiologis kita memang perlu mengamati dan mengelola gejala perubahan ini, apakah akhirnya menguntungkan keberadaan umat Kristiani di Indonesia, ataukah merugikan. Atau lebih tegas: apakah etnisisme menguntungkan atau merugikan kesatuan umat Kristiani di Indonesia? Saya tidak bisa memberi jawaban langsung, oleh karena sebenarnya banyak anggota PGI seperti HKBP, Gereja Toraja dan GMIST, yang telah mendirikan jemaat-jemaat di luar wilayah etnis mereka, dan tidak menolak gereja-gereja lain, juga yang bukan anggota PGI, untuk masuk ke wilayah mereka. Tetapi saya bisa memberikan alasan teologis, mengapa etnisisme (dan temannya, yaitu denominasionalisme) merugikan kita di masa depan, oleh karena asal muasal dari masalah ini adalah pemahaman kita mengenai apa itu PI, dan bahwa PI kita masih sebagian besar mewarisi model PI kolonial yang bersifat sentrifugal, melakukan kebijakan plantatio ecclesiae dan menawarkan budaya Kristen sebagai tandingan bagi budaya atau agama lokal, bahkan bagi agama mayoritas. Saya menganjurkan agar kita menerapkan model PI yang bersifat sentripetal, melakukan kebijakan presensia seperti sudah disebutkan di DKG dan berdialog dengan budaya dan agama lokal, bahkan dengan agama mayoritas. Kalau rencana revisi DKG 2019 ke atas dilakukan dengan tidak mengubah paham PI kita, saya kuatir akan masa depan PGI dan agama Kristen di Indonesia.

Page 186: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

185Lampiran

Membangun Teologi Publik PGI Atas Dasar Kebangsaan dan Keagamaan

Refleksi yang kedua berkaitan dengan “Pokok-Pokok Tugas Bersama” (PPTB yant tidak sama dengan PTPB lho!).15 Meskipun civil society disebut dalam DKG,16 nampaknya keberadaan gereja-gereja anggota PGI sebagai bagian dari civil society tidak diangkat ke permukaan. Seperti diketahui dalam penggambaran zaman now mengenai keberadaan gereja di dalam dunia, kita tidak bisa lagi hanya membaginya atas “gereja dan negara”, oleh karena di samping negara/pemerintah masih terdapat dua pusat kekuasaan lagi, yaitu pasar dan komunitas (tradisional). Ketiganya seyogyanya membangun sebuah segi tiga sama sisi, namun dalam praktik kita sering mendapatkan segi tiga sama kaki, ada satu sudut yang mencoba mengkooptasi kedua sudut lainnya. Di masa Orde Baru, pemerintah/negara mencoba mengkooptasi pasar dan komunitas, di masa pasca Orde Baru, komunitas dan pasar bergantian mencoba menguasai kedua sudut yang lain, bahkan bisa terjadi bahwa dua sudut kemudian bekerja sama dalam menguasai sudut yang tersisa. Persoalan yang kita hadapi sekarang berkaitan dengan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan nampaknya dapat digolongkan ke dalam upaya kooptasi negara/pemerintah terhadap Komunitas. Juga masalah STT dan STAKN, dan masalah nomenklatur sekolah-sekolah teologi yang bernaung di bawah DIKTI.

Dalam rangka memudahkan mendapatkan gambarannya, kita bisa mengatakan bahwa di masa lalu (mudah-mudahan tidak lagi di masa kini) GKI dekat ke pasar, HKBP dekat ke komunitas dan GPIB dekat ke negara/pemerintah. Kalau dalam skema zaman now, di manakah tempat gereja? Di satu pihak, gereja berhubungan dengan ketiga sudut dalam segitiga, tetapi di pihak lain dia juga menjaga jarak dengan ketiga sudut ini, sama seperti komponen-komponen lain dari civil society. Menurut banyak teolog sosial Kristen, gereja harusnya bersama komponenkomponen civil society yang lain seperti misalnya NU dan Muhammadiyah bergerak secara

Page 187: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

186 Prosiding

lincah dan dinamis di antara ketiga sudut ini, dan menjaganya sehingga tetap berada dalam keadaan sama sisi. Masyarakat yang bagaimanakah yang disebut civil society itu? Dulu ada yang menerjemahkan istilah civil society dengan “masyarakat madani” sehingga menimbulkan asosiasi dengan Piagam Medinah dan akhirnya menakutkan orang Kristen. Maka sekarang tidak perlu diterjemahkan asal dipahami bahwa civil society adalah perjuangan menegakkan masyarakat keadaban yang kuat, berinteraksi dengan pemerintah/negara, komunitas (tradisional) termasuk agama-agama dan aliran kepercayaan, dan pasar. Sebenarnya semua uraian di PTPB mengenai masyarakat yang berjuang untuk keseimbangan kuas, keadilan dan cinta kasih dengan jalan mewaspadai sistem ekonomi global neolib sudah termasuk di sini.

Civil society juga memerjuangkan masyarakat demokratis dan pemerintahan sipil yang menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak minoritas. Dalam PTPB ada pengakuan terhadap Pancasila dan HAM, tetapi tidak ada uraian mengenai masyarakat demokratis yang berdasarkan Pancasila.17 Mungkin karena selama ini PGI selalu menolak istilah “mayoritas” dan “minoritas” oleh karena dalam masyarakat Pancasila tidak ada yang seperti itu. Nampaknya oleh PGI istilah “mayoritas” dan “minoritas” dianggap akan menyudutkan orang Kristen, yang jumlahnya memang lebih sedikit daripada orang Muslim. Namun dalam negaranegara demokrasi orang amat terbiasa dengan pembedaan mayoritas dan minoritas, namun keduanya setara di mata hukum, artinya hak dan kewajibannya seimbang. Memerjuangkan HAM adalah baik, tetapi kalau tidak dikonkretkan menjadi HAM untuk kelompok-kelompok minoritas seperti kalangan Ahmadiyah dan kalangan LGBT, maka memerjuangkan HAM hanya akan menjadi wacana yang abstrak saja. Saya tahu bahwa di tahun 2016 MPH PGI telah menerbitkan Surat Pastoral mengenai penerimaan terhadap orang LGBT, yang merupakan kejutan yang menyenangkan. Memang sambutan dari gereja-gereja anggota PGI tidak menggembirakan,

Page 188: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

187Lampiran

namun apa yang dilakukan oleh MPH PGI ini merupakan salah satu contoh bagaimana PGI sebagai wakil gereja-gereja di Indonesia melaksanakan fungsinya sebagai bagian dari civil society.

Sebenarnya apa yang dikemukakan dalam PTPB mengenai hubungan gereja, negara dan masyarakat dapat disebutkan sebagai “teologi publik (Public Theology)” PGI. Istilah yang penting ini tidak muncul di DKG, jadi saya mengusulkan agar dalam revisi ungkapan ini dimunculkan. Definisi Public Theology bermacam-macam dan kita dapat mendebatkannya, tetapi dalam kesempatan ini saya hanya menyoroti dua pemahaman saja, yaitu: (1) Pernyataan-pernyataan dari berbagai Sinode, Lembaga-Lembaga Kristen dan PGI serta KWI mengenai gejala-gejala dalam masyarakat, baik yang berdampak pada kehidupan intern umat Kristiani, maupun pada kehidupan bermasyarakat, khususnya di bidang publik. Bidang publik ini tidak harus dimaknai sebagai “ruang publik”, meskipun boleh juga dan sering itu yang dimaksudkan, tetapi lebih kepada “public sphere” yang tidak harus bermakna ruang. Pesan-pesan Natal PGI-KWI dapat digolongkan ke dalam Teologi Publik jenis pertama ini. Teologi Publik ini tidak hanya berhubungan dengan relasi gereja dan negara, melainkan gereja dan negara/pemerintah, pasar dan komunitas. (2) Pemahaman Teologi Publik dalam arti bagaimana sekelompok komunitas religius yang hidup dalam masyarakat menghayati keberadaannya dalam masyarakat berdasarkan keyakinan keagamaannya. Dalam pemahaman ini sudah termasuk konsep teologinya maupun tindakan-tindakan teologisnya. Lama kita tidak sadar akan Teologi Publik yang berangkat dari keyakinan keagamaan ini, oleh karena kita menerima warisan Orde Baru yang menolak kehadiran wacana dan lambang-lambang keagamaan di ranah publik (meskipun Orde Baru kadangkadang tidak konsekwen). Yang harus muncul adalah wacana dan lambanglambang kebangsaan, oleh karena Indonesia bukan negara agama melainkan negara Pancasila. Untuk waktu yang cukup lama, kedua kelompok keagamaan yang paling besar di Indonesia, yaitu Islam dan Kristiani selalu berbicara

Page 189: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

188 Prosiding

mengenai apa yang saya sebut sebagai “Teologi Kebangsaan”, yaitu bagaimana umat Islam dan Kristiani memunculkan aspirasi keagamaannya dalam wadah Pancasila.

Namun dalam era pasca Reformasi ini, situasi berubah. Yang ada bukan cuma Teologi Kebangsaan, melainkan juga Teologi Keagamaan. Para peneliti sosial mencatat bahwa telah terjadi “conservative turn” di kalangan Islam, yang membuat banyak umat Islam merasakan kebutuhan untuk lebih mengungkapkan aspirasi-aspirasi keagamaannya dalam ranah publik, termasuk menggunakan pakaian yang dirasakan lebih mewakili tuntutan agama daripada tuntutan masyarakat sekular modern mengenai busana yang relevan pada masa kini di Indonesia. Menurut beberapa peneliti sosial, “conservative turn” ini tidak perlu langsung dicap sebagai negatif, oleh karena bisa saja mereka sedang mengisi kekosongan dalam pengisian identitas diri akibat terlalu dipenuhi dengan wacana kebangsaan seperti pada masa lampau. Mungkin mereka ingin agar Teologi Kebangsaan yang sudah mereka punyai sekarang agak diimbangi dengan Teologi Keagamaan, dan mereka tidak merasa bahwa Teologi Keagamaan bertentangan dengan Teologi Kebangsaan. Teologi Keagamaan tidak akan bermuara dalam politik, melainkan dalam bisnis atau pasar.

Namun, menurut beberapa peneliti sosial lainnya, “conservative turn” ini sudah mengandung bibit radikalisme, dan hasilnya sudah nampak, misalnya dalam heboh pemilihan gubernur Jakarta yang telah lewat di tahun 2016. Ternyata calon gubernur yang adalah incumbent dan dikenal sebagai gubernur yang amat berhasil dalam membangun Jakarta, kalah dalam pemilihan oleh karena mayoritas masyarakat Muslim di Jakarta tidak bisa menerima gubernur non-Muslim. Apabila masalahnya menjadi masalah politik, maka “conservative turn” bisa menjadi kekuatan yang amat canggih, yang oleh lawan-lawan politiknya yang moderat harus tetap diperhitungkan. Andaikata teologi keagamaan ini masuk ke pasar, kekuatan politik akan mendorongnya untuk mendominasi dan

Page 190: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

189Lampiran

bahkan berusaha memonopoli pasar, seperti kita lihat pada akhir 2016, ketika gerombolangerombolan masuk ke mall-mall di Jakarta dan menuntut agar dekorasi-dekorasi Natal yang ada di mall-mall diturunkan.18

Saya mengamati bahwa bukan hanya Teologi Keagamaan Muslim saja yang muncul, tetapi juga Teologi Keagamaan Kristen. Dalam beberapa kesempatan saya mengemukakan hal ini, namun selalu dibantah dengan argumen bahwa pihak Muslim memang sudah berpindah dari Teologi Kebangsaan ke Teologi Keagamaan, namun orang Kristen tetap berpegang kepada Teologi Kebangsaan dalam kesetiaan kepada nasionalisme dan Pancasila. Tetapi lihatlah aksi-aksi yang telah dilakukan selama bertahun-tahun ini dalam rangka memrotes perlakuan terhadap teman-teman GKI Yasmin. Aksi-aksi protes ini dilakukan di ruang publik dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan, dengan kebaktian dan pendetapendetanya mengenakan toga. Kita juga bisa melihat bagaimana dukungan terhadap Ahok muncul di banyak jemaat-jemaat, bahkan pada hari Minggu, kotbah-kotbah secara terang-terangan mengajak jemaat untuk memilih Ahok sebagai gubernur. Kalau betul bahwa gereja-gereja ini adalah gereja-gereja konservatif (dan barangkali bukan anggota PGI), maka kita dapat mengatakan bahwa “conservative turn” ini terjadi juga di kalangan Kristiani Indonesia (saya mengatakan “Kristiani” oleh karena di Yogya ada seorang romo Katolik yang sengaja balik ke Jakarta karena KTP nya Jakarta, supaya bisa memilih Ahok. Bayangan saya banyak orang Katolik yang pro Ahok).

Jalan keluar yang saya usulkan adalah tetap menghayati Teologi Kebangsaan namun sekaligus memberi tempat juga untuk Teologi Keagamaan. Hal yang sama kita harapkan dapat terjadi juga di kalangan teman-teman Muslim kita. Saya pikir dalam era pasca Reformasi dan Kebangkitan Agama-Agama kita tidak bisa lagi merujuk ke teori-teori sosial mengenai sekularisasi, apalagi teori-teori sekuler yang memusuhi agama. Agama-agama bangkit dan

Page 191: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

190 Prosiding

itulah kenyataannya. Persoalannya adalah bagaimana agama-agama yang bangkit ini dapat mengelola relasinya satu sama lain, dan dalam konteks kita bagaimana Kristen dapat merumuskan ulang relasinya dengan Islam. Menurut saya kembali ke konservatisme sampai tahap tertentu tidak menjadi masalah, asal orang bisa mencegah kebablasan ke arah radikalisme dan fundamentalisme. Memang bagi banyak orang di Indonesia, konservatisme sama dengan fundamentalisme, namun menurutku tidak sama. Kalau radikalisme dan fundamentalisme tidak bisa dicegah maka kedua Teologi Publik kontemporer ini akan jatuh ke dalam contestation, memperebutkan ruang publik dan dampaknya tidak akan bisa diduga. Maka, saya juga mengusulkan agar kedua Teologi Publik ini mengarahkan diri pada tema bersama yaitu kemiskinan dan kerusakan ekologi. Yang paling banyak menderita karena kedua konteks ini adalah umat Islam, maka keberpihakan Teologi Publik Kristen kontemporer tetaplah kiranya pada kedua konteks ini, di tambah dengan ketiga konteks lainnya (yaitu kepelbagaian agama, penderitaan dan bencana, dan ketidakadilan termasuk diskriminasi dan ketidakadilan gender/orientasi seksual). Dengan bekerjanya kedua Teologi Publik ini, yang kadang-kadang bisa sejajar, namun bisa juga berkelindan, kita berharap kedua umat beragama, yaitu Islam dan Kristen dapat hidup dengan lebih bersahabat satu sama lain, dan karena lembaga-lembaganya aktif di dalam civil society, maka harapan akan Indonesia yang lebih baik di masa depan akan menjadi lebih cerah, mudah-mudahan.

Sebelum mengakhiri bagian ini baiklah saya mengomentari pokok mengenai perceraian yang dibahas dalam sesi I.19 Menurut saya sekarang tiba waktunya bagi kita untuk menimbang kembali teologi Kristen mengenai Pernikahan yang selama ini bersikap anti terhadap perceraian, dengan alasan apapun. Kalau dilihat dalam teologi Kristen, perkawinan tidak termasuk sebagai sakramen seperti di ajaran Katolik. Kristen hanya mengenal dua sakramen, yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus. Kalau perkawinan adalah

Page 192: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

191Lampiran

sakramen, maka dapat dimengerti bahwa perceraian dilarang. Namun bagaimana kalau bukan sakramen? Bukan tanpa alasan para Reformator menekankan kepada ajaran dua sakramen. Bahwa perkawinan sangat dijunjung tinggi dalam agama Kristen tidak mau saya bantah. Saya juga setuju bahwa idealnya perkawinan bersifat langgeng. Namun agama Kristen terbuka bahwa kerapuhan dan dosa manusia bisa mengganggu kelanggengan pernikahan.

Hal yang terutama disoroti adalah bahwa pernikahan dilihat sebagai wewenang kalangan patriarki, sehingga perempuan selalu menjadi pihak yang lemah. Suami bisa mengabaikan kewajiban terhadap keluarga selama bertahun-tahun, tetapi istri “dihibur” di jemaat agar sabar menunggu, pada waktunya pasti pulang. Bagaimana kalau istri masih muda, apakah harus menunggu sampai tua? Teman-teman feminis mencatat bahwa KDRT sering terjadi di kalangan Kristen terhadap perempuan dan anak-anak, tetapi dalam pendampingan pastoral, istri diajak untuk kembali ke suami, memikul salibnya sebagai istri Kristen yang setia, meskipun sesudah itu dia kembali mengalami kekerasan dari suaminya. KDRT merupakan salah satu sebab mengapa Teologi Pernikahan yang amat tertutup terhadap perceraian perlu dipertimbangkan ulang, dan PGI dapat menjadi pelopor dalam wacana semacam itu, tentu saja dibantu oleh sekolah-sekolah teologi.20

Sebagai catatan: istilah SOGI di DKG, h. 22 dan di Glossarium, yang kepanjangannya “Sexual Orientation and Gender Identities” dan diberi definisi “orientasi seksual yang berbeda dari orientasi heteroseksual” perlu diperbaiki. Bukan SOGI melainkan SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Expression and Sex Characteristics). Sudah ada jaringan Interfaithnya juga yaitu GIN-SOGIE (Global Interfaith Network for SOGIE). Ada baiknya di dalam revisi DKG, pokokpokok Orientasi Seksual, Identitas Gender dan Ungkapan serta Karakteristik Seks diterangkan satu-persatu sehingga menjadi jelas. Kalau tidak ketiga ungkapan ini akan dipakai secara campur baur dan tidak kena pada masalahnya.

Page 193: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

192 Prosiding

Bagaimana dengan PBIK? Akhirnya saya baru bisa memberi pertimbangan terhadap

perumusan PBIK seperi yang diharapkan beberapa teman (misalnya rekan Ngelow seperti sudah disebutkan di atas). Lebih dulu sebuah catatan umum: kesan saya sebenarnya sulit membuat perbedaan di antara PTPB dan PBIK. Dalam banyak hal PTPB sebenarnya sudah memuat unsur-unsur yang biasanya kita bahas dalam sebuah konsep Pemahaman Iman. Tetapi baiklah kita lihat dalam hal apa revisi PBIK dapat membantu dalam menopang atau malah mendorong PTPB. Bab I sebaiknya diberi judul yang bersifat Trinitarian. Memang dalam penjelasn jelas ada Bapa, Putra dan Roh Kudus, namun rujukan terhadap Tuhan Allah sebaiknya Trinitarian untuk menunjukkan kekhasan iman Kristiani. Saya mengerti bahwa kita mewarisi semacam keengganan untuk mengekespresikan kepercayaan kepada Allah Tritunggal dalam ranah publik, oleh karena kalangan mayoritas dengan alasan-alasan teologis tertentu, bersikap kritis terhadap pemahaman ini. Sikap kritis ini dapat dijawab dengan baik, dan hal itu sudah dilakukan oleh Joas Adiprasetya dan Ekaputra Tupamahu yang mengusulkan sebuah pemahaman Trinitas yang bersifat “perikhoretik”, yang berasal dari para Bapa Gereja.21 Kemudian, jauh dari asumsi bahwa perumusan Trinitas akan menyebabkan jurang di antara doktrin dan ajaran sosial, kita melihat bagaimana Yahya Wijaya menjelaskan mengenai “Trinitas Sosial”, yang akhirnya mengusulkan ekonomi yang berdasarkan keluarga (“Trinitas Keluarga”) sebagai dasar pengembangan teologi ekonomi yang paling cocok dengan konteks Indonesia.22

Bab II mengenai Penciptaan, Pemeliharaan dan Pembebasan dan bab III mengenai Manusia kiranya dapat dikaitkan dengan usulan revisi saya mengenai ekologi di PTPB, dengan menimbang kembali masalah “mandat khusus” yang diberikan kepada manusia dalam kedudukannya sebagai mandataris atau khalifah Ilahi di bumi. Judul Bab III sebaiknya “Allah, Manusia dan Alam”. Mungkin

Page 194: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

193Lampiran

karena faktanya sekarang kita mengalami kerusakan ekologi yang parah, maka pemahaman mengenai mandat khusus (yang adalah ajaran Calvinisme) mendapat sorotan negatif, bukan karena orang tidak mengikuti dengan benar pemahaman mengenai mandat khusus ini, melainkan karena mandat khusus mengandaikan kekuasaan manusia atas yang lain, padahal superioritas manusia terhadap yang lain inilah yang menyebabkan kerusakan ekologi. Hal yang sama dapat kita lihat dalam menggambarkan hubungan Manusia dengan Alam. Biasanya kita menggambarkan hubungan Tuhan, Manusia dan Alam sebagai hubungan hierarkis, namun sekarang Alam dan Manusia dilihat dalam keadaan setara berhadapan dengan Allah Pencipta. Bahkan ada juga yang malah menggambarkan segitiga sama sisi yaitu Allah, Alam dan Manusia, sehingga yang satu tidak dikorbankan untuk yang lain.

Berkaitan dengan itu kita melihat bab IV yang membahas mengenai Allah sebagai Penyelamat. Saya setuju bahwa teks yang dipakai antara lain adalah Filipi 2:6-8, namun dalam pembahasan teologis kontemporer Kristiani masa kini orang cenderung menekankan pada segi kenosis pada awal perikop ini, lebih daripada pemuliaan pada akhir perikop. Masalahnya adalah berakhirnya kejayaan agama Kristen di dunia Barat dan di bagian-bagian dunia lainnya, yang dibahas dengan “era pos-Kristen”. Filsuf Italia, Gianni Vattimo sangat menekankan mengenai kenosis Ilahi ini, yang dampaknya adalah munculnya Kekristenan yang “lemah” dan Allah yang “lemah”, yang sebenarnya sudah dikemukakan lama berselang oleh Bonhoeffer dengan konsep teologisnya bahwa hanya Allah yang “lemah” yang bisa menyelamatkan.23 Dengan pemahaman baru mengenai agama ini, yang tidak mengedepankan kuasa berdasarkan konsep mengenai Tuhan yang main kuasa, agama dapat kembali mendapat tempat dalam pergaulan manusia.

Hal yang sama dapat kita lihat pada bab V mengenai Kerajaan Allah. Saya setuju dengan butir 15-17, namun barangkali model mengutip sekian ayat pada akhir statement seperti kebiasaan

Page 195: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

194 Prosiding

dogmatik jadul kiranya dapat kita hindarkan (bukan di sini saja tetapi juga di tempat-tempat lain, termasuk di PTPB). Kita mengetahui bahwa dalam teologi tradisional Calvinisme, tema yang penting adalah Pemberitaan mengenai Yesus dan bukan Yesus memberitakan apa. Bahwa Yesus memberitakan Kerajaan Allah, yang tidak sama dengan Gereja tetapi juga tidakj sama dengan sistem apapun di dunia ini, jarang disadari. Memang Kerajaan Allah tidak dapat dilepaskan dari Yesus, namun bahwa keduanya tidak sama dapat memberi jalan kepada kita untuk secara serius berdialog dengan agama-agama dan ideologi-ideologi, baik itu kapitalisme maupun komunisme.

Hal yang juga jarang disadari bahwa konsep Kerajaan Allah yang berada di luar pelbagai sistem dapat menolong kita dalam era medsos ini, yang memberikan kepada kita berbagai gambaran realitas, “hiperrealitas”, sehingga kita bingung yang mana hoax dan yang mana bukan. Maka yang pertama perlu kita lakukan adalah berhenti menganggap bahwa objektivitas dan landasan kita adalah yang objektif, yang tidak perlu dipertanyakan. Siapa tahu apa yang kita andalkan ini sebenarnya adalah anggapan kita mengenai fakta, dan bukan fakta? Tetapi setelah itu kita tidak perlu putus asa dan berpuas diri pada relativitas, oleh karena Kerajaan Allah masih selalu akan datang, seperti dalam doa Bapa Kami. Dalam dunia posmodern, kita tidak mengandalkan pemutlakan maupun perelatifan, melainkan probabilitas. Itu cocok dengan konsep Kerajaan Allah. Mungkin relevansi paham Kerajaan Allah bagi dunia medsos yang terdiri dari “hiperrealitas” ini bisa ditambahkan ke dalam bab V mengenai Kerajaan Allah ini. Sekalian judulnya bukan “Kerajaan Alah” melainkan “Kedaulatan Allah”, lebih demokratis.

Dalam bab VI mengenai Gereja, pada butir 1824 saya mengusulkan agar perikop mengenai kenosis di Filipi 2:6-8 dibahas lagi dalam kaitan dengan bab IV mengenai Penyelamatan. Di butir 19 dikemukakan mengenai gambaran Gereja sebagai arak-

Page 196: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

195Lampiran

arakan, dengan mengutip banyak ayat Alkitab (yang sayangnya tidak diterangkan satu persatu). Tentu dapat dipertanyakan apakah pemahaman gereja-gereja anggota mengenai gambaran Gereja memang seperti itu, yaitu suatu arak-arakan, prosesi, movement. Nampaknya dalam kenyataan gerejagereja anggota tidak melihat diri sebagai movement tetapi sebagai lembaga (institution) dengan birokrasi yang lengkap. Dalam banyak hal, gereja-gereja yang besar, misalnya GPIB, meniru negara dalam kelengkapan birokrasinya. Akibatnya gereja mandek, tidak bisa mengantisipasi perubahan zaman dan cenderung bersikap tertutup dan menunggu. Beberapa teolog nasional sudah menyoroti hal itu, misalnya Eben Nuban Timo, yang me ngusulkan agar kita memahami gereja sebagai “gereja tanpa dinding”.25 Teman-teman dari STT Jakarta juga telah menerbitkan sorotan terhadap kemandekan itu dalam buku Ecclesia in Transitu.26 Saya hanya merujuk ke Joas Adiprasetya yang mengusulkan agar pemahaman biblis mengenai gereja sebagai pengembara ditanggapi dengan serius oleh gereja-gereja masa kini.

Dengan mengandalkan pada filsuf Italia Giorgio Agamben, status pengembara ini jangan hanya diartikan berdimensi spatial, tetapi juga temporal. Inilah yang disebutkan sebagai “semangat messianis” yang berusaha menautkan kembali paroika (embara) dan parousia (kedatangan Tuhan).27 Saya mengutip Joas: “Saya percaya, panggilan gereja untuk menghidupi kembali semangat mesianisnya terwujud lewat sebuah spiritualitas eklesial yang memahami diri sebagai komunitas peziarah, komunitas yang secara cair berusaha untuk bersikap kritis, bukan hanya pada kekuatan empire … namun juga pada dirinya sendiri”.28 Joas banyak menggunakan istilah “gereja cair”, yang rupanya diambil dari Peter Ward, yang telah menulis mengenai “Liquid Ecclesiology”.29 Dalam hal keramahtamahan terhadap mereka yang beragama lain, mungkin pandangan Eben Nuban Timo sedikit lebih maju daripada Joas, tetapi saya pikir pandangannya mengenai “gereja embara” yang tidak lagi

Page 197: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

196 Prosiding

mementingkan keanggotaan, dan keramahtamahan oikoumenis patut direnungkan oleh gereja-gereja anggota PGI.

Catatan: dalam merenungkan mengenai gereja embara ini saya berpikir agak “nakal”. Kalau hakikat gereja adalah gerakan embara, maka sebenarnya PGI sudah memenuhi syarat sebagai gereja. Dia bukan gereja dalam arti lembaga gereja, tetapi dia gereja dalam pengertian gerakan. Kita bersusah payah memikirkan eklesiologi untuk gereja-gereja anggota, padahal PGI sendiri sudah merupakan model dari gereja embara Joas Adiprasetya. Agak ironis memang. Salah satu bukti dari keberadaan embara itu adalah keberanian MPH PGI pada tahun 2016 untuk menerbitkan Surat Pastoral mengenai LGBT. Maka, saya mengimbau agar PGI jangan mundur dari posisi membela LGBT, meskipun ada tekanan yang kuat baik dari gereja-gereja anggota maupun dari pihak negara dan masyarakat.

Di butir 2130 dikemukakan mengenai hubungan gereja dan negara, yang sebenarnya sudah dibahas lengkap di PTPB. Tinggal diputuskan saja apakah yang di PBIK mau dilengkapi lagi dengan pembahasan mengenai civil society dan public theology, atau dihapus saja. Di butir 25 ada rujukan terhadap kesetaraan dengan antara lain menyebutkan mengenai “orang cacat”. Saya kira ungkapan ini bersifat derogatoris, maka ada yang mengusulkan “orang-orang berkebutuhan khusus”, misalnya Aritonang bapak-anak.31 Namun dalam pelbagai pertemuan, Tabita Kartika Christiani berpendapat bahwa istilah itupun masih menempatkan yang lain di bawah yang tidak berkebutuhan khusus, dan menganjurkan agar istilah “differently able” disingkat “difable” dan diindonesiakan menjadi “difabel”, itulah yang dipakai.32 Sekalian saja untuk butir 25 ini dikemukakan teologi PGI yang menjadi dasar penerimaan terhadap mereka yang difabel dan mereka yang LGBT.

Akhirnya di bab VII mengenai Alkitab, saya mengusulkan agar ditambahkan uraian mengenai Hermeneutik Biblis, dalam rangka mengatasi pemahaman doktrinal/dogmatis yang mau

Page 198: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

197Lampiran

mengklaim pandangan “Alkitabiah” (padahal bukan), terhadap semua pemahaman lain yang berbeda, yang dicap sebagai “tidak Alkitabiah”, dengan kata lain, pemahaman yang bersiat fundamentalistik terhadap Alkitab. Penutup

Demikianlah pembahasan saya mengenai beberapa pokok penting dan evaluasi terhadap PBIK. Mohon maaf bahwa materi untuk sesi II ini lebih panjang daripada materi untuk Sesi I. Mestinya terbalik. Tetapi begitulah yang terjadi, dan semoga semuanya ini hanya untuk kemuliaan nama Tuhan. Yogyakarta, 27 November 2018.

Catatan Akhir1. Lih. DKG, 81. 2. Lih. DKG, 60-63. 3. Lih.Emanuel Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks, Yogyakarta-Jakarta:

Kanisius-BPK Gunung Mulia, 2000, 147-160. 4. Lih. Jan Hendriks, Een Vitale en Aantrekkelijke Kerk. Terjemahannya dalam

bahasa Indonesia sudah ada: Jemaat yang Vital dan Menarik, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

5. Lih. MMBI, 5. 6. Lih. Avery Dulles, Model-Model Gereja, Endeh: Nusa Indah, 1990,

terejemahan dari Models of the Church, 1978; Roger Weverbergh, Bouwen Met Beelden, Baarn: Gooi & Sticht, 1992. Kritik Weverbergh terhadap Dulles adalah bahwa D terlalu teologis, maka dia menambahkan faktor-faktor sosiologis.

7. Lih. MMBI, 4. 8. Lih. MMBI, 10. 9. Lih. MMBI, ibid.. 10. Lih. DKG, 27. 11. Lih. MMBI, 13,27. 12. Lih. DKG, 14-15. 13. Lih. DKG, 124-128. 14. Lih. Emanuel Gerrit Singgih, “Mission and Dialogue as Means of

Communication: A Paradigm Shift in the Indonesian Context”, dalam

Page 199: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

198 Prosiding

Volker Kuester and Robert Setio (eds.), Muslim Christian Relations Observed, Leipzig: Evangelische Verlagsanstalt, 2014, 353-366.

15. Lih. DKG, 80-91. 16. Lih. DKG, 40. 17. Lih. PTPB butir 76-77, 73-74. 18. Mengenai hal ini lih. Emanuel Gerrit Singgih, “What has Ahok to do with

Santa? Contemporary Christian and Muslim Public Theologies in Indonesia”, akan terbit Januari 2019 di International Journal of Public Theology (IJPT- Brill).

19. Lih. Makalah Sesi I, 4. 20. Lih. Robert Setio dan Daniel Listijabudi (eds.), Perceraian di Persimpangan

Jalan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015; Asnath Niwa Natar (ed.), Percwraian dan Kehidupan Menggereja, Yogyakarta: TPK-FTeol UKDW, 2018; teman-teman GKI Jateng malah sudah melangkah lebih jauh dengan menerbitkan Buku Panduan Pendampingan Perceraian dan Pernikahan Kembali, BPMS Sinode Wilayah GKI Sinwil Jateng, 2018.

21. Lih. Joas Adiprasetya, An Imaginative Glimpse: Trinitas dan agama-agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018; Ekaputra Tupamahu, “A Perichoretic Model for Christian Love: A Theological Response to ‘A Common Word Between Us and You’, dalam Jurnal Teologi Indonesia, 1/1 (Juli 2013), 67-89.

22. Lih. Yahya Wijaya, “Doktrin Trinitas dalam Diskursus Teologi Ekonomik”, dalam Diskursus, 15, 1, April 2016, 45-68.

23. Lih. Richard Rorty dan Gianni Vattimo, The Future of Religion, New York: Columbia University Press, 2005; Onno Zijlstra, Letting Go: Rethinking Kenosis, Bern-Wien: Peter Lang, 2002.

24. Lih. DKG, 111. 25. Lih. Eben Nuban Timo, Gereja Tanpa Dinding …26. Lih. Meitha Sartika dan Hizkia A. Gunawan, Ecclesia in Transitu: Gereja

di Tengah Perubahan Zaman, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018, memuat tulisan dari Binsar Pakpahan, Denni Boy Saragih, Joas Adiprasetya, Linna Gunawan, Meitha Sartika, Nindyo Sasongko, Robby Chandra, Simon Rachmadi dan Yusak Soleiman.

27. Lih. Joas Adiprasetya, Gereja Pengembara, Gereja Sahabat, dalam Ecclesia in Transitu, 6.

28. Lih. Joas Adiprasetya, Ecclesia in Transitu, 6. 29. Lih. Peter Ward, Liquid Ecclesiology: the gospel and the church, Leiden &

Boston: Brill, 2017. 30. Lih. DKG, 113. 31. Lih. Jan S. Aritonang dan Asteria T. Aritonang, Mereka Juga Citra Allah,

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017. 32 Lih. Tabita Kartika Christiani, dalam Bayu Mitra A. Kusuma-Zaen Musyrifin (eds.), Difabel, Yogyakarta: Dian/Interfidei, 2016, 37. Namun, dalam tulisan ini Tabita menggunakan istilah “penyandang disabilitas”, yang menurutnya sesuai dengan UU no 8, 2016. Dalam percakapan lisan, dia menjelaskan bahwa istilah “difabel” sudah dimanipulasi dalam rangka “meng-umum-kannya”: orang yang pakai kaca mata pun bisa mengklaim bahwa dia difabel …

Page 200: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

199Lampiran

Usulan Untuk Upaya Pembaruan DKG PGI 2014-2019

Yolanda PantouPendeta Gereja Kristen Indonesia, sedang menempuh studi doktoral di Vrije Universiteit, Netherlands.

(Materi pada FGD Eklesiologi, 30 November 2018, di Grha Oikoumene PGI, Jakarta Pusat)

Pendahuluan

Sebuah dokumen yang ditulis oleh berbagai orang dengan berbagai latar belakang, di satu sisi dapat menjadi suatu dokumen yang sangat kuat karena mencakup berbagai pandangan dan pertimbangan, tapi di sisi lain juga bisa

memiliki banyak kekurangan karena ada berbagai upaya kompromis yang dilakukan untuk menjembatani ‘kepentingan’ semua pihak agar dapat bertemu di suatu titik konvergensi. Salah satu hal yang membuat upaya tersebut menjadi lebih mudah bagi kita adalah karena gerakan kita berada pada aras nasional – sehingga pergumulan politik-sosial-ekonomis kita menjadi kurang lebih sepenanggungan. Selain itu juga karena sebagian besar gereja yang berada di bawah naungan PGI adalah gereja berdenominasi Protestan dan Pentakosta, yang walaupun berbeda di banyak aspek, namun lebih dekat dalam ragam tradisi yang dikenal dan dipraktikkan di kalangan umat. Jika boleh dibandingkan dengan upaya merumuskan dokumen apalagi yang bersifat teologis di Dewan Gereja Dunia, misalnya, ada lebih banyak kompleksitas yang terkait pada ikatan (emosional maupun rasional) terhadap tradisi masing-masing. Dalam kesempatan ini saya hendak menggunakan pengalaman saya selama kurang lebih 4 tahun ini terlibat di Dewan Gereja Dunia sebagai anggota Komisi Faith and Order, Echos,

Page 201: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

200 Prosiding

dan bagian dari kelompok studi tema “Pilgrimage of Justice and Peace”. Walaupun saya bukan seorang pakar dalam eklesiologi, tapi dengan keberanian “masuk air dulu, belajar renang kemudian”, perkenankanlah saya menyumbangkan beberapa masukan untuk upaya kita bersama menuju masa depan gerakan keesaan gereja. Dokumen Keesaan Gereja (DKG)

Dari antara dokumen-dokumen yang menyusun DKG, yaitu Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB), Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK), Piagam Saling Menerima dan Saling Mengakui (PSMSM), dan Tata Dasar PGI, saya hendak menyoroti ketiga yang pertama saja PTPB, PBIK, PSMSM.

PTPB yang berorientasi pada misiologis-pastoral, menguraikan panggilan dan tugas gereja dalam rangka keutuhan gereja sebagai tubuh Kristus di dunia. Dengan “4 areas of concern”, yaitu sikap gereja terkait isu dan kehidupan politis di tanah air, upaya gereja untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang merata dan keadilan sosial, upaya menegakkan hak asasi manusia dan melawan diskriminasi, serta terlibat aktif dalam melestarikan lingkungan hidup. Dokumen ini bukan hanya menjadi dokumen pertama dari DKG, tetapi juga yang terpanjang, serta bisa dikatakan terpenting. Jika dokumen ini dihidupi, maka kita akan memiliki gereja yang bersuara dan berbuat di tengah tanah air kita, Indonesia.

Dokumen berikutnya, PBIK, merupakan suatu konfesi yang lebih bersifat internal – untuk kalangan orang Kristen, tapi juga universal, bukan hanya nasional. Namun demikian, PBIK berisi pokokpokok iman Kristen yang dijelaskan dalam pengertian diri sebagai orang-orang yang hidup di tengah konteks Indonesia dan Asia. Dalam dialog dengan umat beragama lain dan berbagai realita yang spesifik dialami oleh kita di Indonesia.

PSMSM adalah sebuah dokumen yang mengatur relasi antar gereja, suatu kesepakatan yang didasari pemahaman bahwa sesungguhnya hanya ada satu gereja, yaitu tubuh Kristus di dunia. PSMSM ini dapat disejajarkan dengan dokumen Dewan Gereja Dunia, “Baptism, Eucharist and Ministry” (1982) dan “The Church

Page 202: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

201Lampiran

Towards a Common Vision” (2013). Mungkin dokumen inilah yang paling sulit untuk diterapkan di aras jemaat. Ada gereja yang mengakui setiap baptisan yang dilakukan dalam nama Allah Tritunggal, tetapi berhati-hati menerima pengajar dan pengkhotbah dari denominasi berbeda. Sebaliknya, ada gereja yang terbuka pada setiap pengajar dan pengkhotbah yang meyakinkan, tapi mensyaratkan baptisan kembali untuk menjadi anggotanya. Saya mengamati hal ini sebagai suatu fenomena yang menarik, walau mungkin tidak unik dan bukan baru. Bagaimana gereja bisa (dengan lebih mudah) bersatu dalam kehadirannya di tengah ‘dunia’, tetapi lebih sulit berbagi kehidupan dalam keseharian praktik gerejawi. Di manakah esensi keesaan gereja, pada aktivisme atau peribadahan? Tentu bukan berarti yang belakangan harus diseragamkan, tapi dalam keragaman tersebut, adakah kita sudah memandang yang berbeda dari kita sebagai bagian dari tubuh Kristus yang esa? Bagi saya, peribadahan adalah salah satu upaya kita membentuk dan mengasah spiritualitas umat, dan spiritualitas inilah yang akan menggerakkan kita untuk berkarya di tengah dunia. Maka penting untuk juga mengupayakan keesaan gereja dalam semangat bersama, bukan sekedar aturan organisasi. Bagaimana kita mengupayakannya? Ekumenisme Masa Kini

Di dunia yang sudah semakin terhubung, bahkan sudah sampai tahap hyper-linked, tampaknya bicara soal keesaan gereja seharusnya menjadi lebih feasible. Perjumpaan-perjumpaan yang dulu hanya dialami oleh para pemimpin gereja – itu pun sebagian kecil, kini dapat dialami oleh kaum awam dalam berbagai wujud, di dunia nyata maupun maya. Seharusnya hal ini juga mempermudah kita mengangkat sekat-sekat kecurigaan. Namun, dalam perjumpaan dengan gereja dari denominasi lain, keesaan gereja bukan yang menjadi agenda kebanyakan orang. Melainkan mereka sedang mencari alternatif lain untuk kehidupan bergereja. Hal ini menunjukkan bahwa ada hal lain yang menjadi prioritas orang.

Page 203: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

202 Prosiding

Gereja menjadi tempat mereka mencari jawaban untuk kebutuhan dan pergumulan mereka. Kabar baiknya adalah, kebutuhan dan pergumulan manusia bisa kita jadikan pintu masuk untuk membangun semangat keesaan gereja. Karena itu berikut ini adalah hal-hal yang dapat menjiwai pembaruan DKG sehingga gerakan keesaan gereja menjadi gerakan natural dari kehidupan gereja di akar rumput. 1. Kaum Perempuan dan Kaum Muda Tidak bisa tidak, mulai dari perumusan dokumen sampai isi dan pengejawantahan, DKG harus melibatkan kaum perempuan dan kaum muda. Mengapa kaum perempuan? Karena di akar rumput, masih banyak sudut pandang dan perilaku yang meminggirkan dan merendahkan kaum perempuan. Maka DKG tidak bisa sekedar bersifat netral terkait isu gender, tapi dengan lebih jelas menyuarakan keberpihakannya kepada kaum perempuan – dan dalam hal ini juga dengan kaum yang menanggung isu-isu terkait gender lainnya. Mengapa kaum muda, karena bagi sebagian besar kalangan muda generasi sekarang sangat asing dengan gerakan keesaan gereja. Sebaliknya, mereka lebih dipusingkan dengan isu fundamentalisme dan radikalisme agama, gereja yang bersolek dan bergaya untuk memenangkan hati mereka, materialisme dan kompetisi hidup yang membuat motivasi mereka bergereja adalah untuk kenyamanan pribadi. Padahal kaum muda inilah yang sudah kita ketahui bersama sebagai masa depan gereja. 2. Fundamentalisme dan Radikalisme Poin ini dan yang berikutnya masih terkait dengan keterlibatan kaum muda dalam gerakan keesaan gereja. Fundamentalisme dan radikalisme, walaupun tidak mengenal usia, tapi sangat menarik bagi kaum muda yang tengah mencari identitas dan membutuhkan pegangan yang pasti. Kita perlu merumuskan suatu pemahaman bersama sehingga semangat keesaan gereja juga menjadi semangat yang merangkul orang dalam berbagai perbedaan keyakinan.

Page 204: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

203Lampiran

3. Sekularisme

Di sisi yang berlawanan dari poin sebelumnya, banyak juga kaum muda dan dewasa, yang semakin terpikat oleh sekularisme. Istilah ini sendiri dapat diperdebatkan, tapi yang saya maksudkan adalah sikap memisahkan kehidupan religius/gerejawi dari kehidupan sesehari, dan bahkan tidak merasa perlunya aspek religi dalam hidupnya. Malah sebaliknya, roh sekularisme ini merasuk dalam kehidupan bergereja. Orang beribadah dan berdoa karena berharap mendapat jawaban untuk masalah bisnisnya, Tuhan menjadi kendaraan untuk mendapat keinginan-keinginan sekularnya.

4. Rasisme dan Bigotry Gereja perlu mengakui bahwa sikap diskriminatif tidak jarang bersumber pada pengajaran dan tradisi gereja. Oleh karena itu gereja dalam semangat keesaan ini perlu bersama-sama berjuang melawan kecurigaan, kebencian, dan diskriminasi. Jika semangat keesaan gereja sudah berakar dan bertumbuh, maka kehadiran gereja suku bisa menjadi media pengajaran melawan rasisme. Posisi gereja yang berpihak pada kaum LGBT juga dapat membuat gereja yang tidak/belum, berupaya untuk memahami sudut pandang saudaranya dalam keyakinan bahwa kita adalah satu tubuh Kristus.

5. Etika dan Moralitas Jika pada masa gereja abad-abad pertama, ancaman bagi kesatuan gereja adalah pengajaran/dogma, dan pada abad pertengahan adalah eklesiologi dan tata gereja, maka di masa kini ancaman bagi kesatuan gereja adalah posisi gereja terkait dengan moralitas. Sikap gereja terhadap seksualitas manusia, hak hidup atau hak atas tubuh perempuan, perceraian dan pernikahan kembali, dsb, inilah yang mengancam keutuhan gereja. PGI telah mengambil langkah yang berani di tahun 2016 untuk menyatakan sikap pastoral terhadap isu LGBT, mungkin perlu dipikirkan agar pernyataan tersebut tidak hanya bersifat pastoral.

Page 205: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

204 Prosiding

6. Ketidakadilan Global Isu asing dan aseng menjadi bahan dagangan di tahun-tahun politik, tapi isu ini juga yang menggelisahkan banyak orang yang hidup di negara berkembang, terutama dengan sejarah kolonialisme. Maka gerakan keesaan gereja di Indonesia juga perlu menjadi gerakan yang berdialog dalam skala global, bukan hanya nasional.

7. Krisis Ekologis Sekalipun isu ini telah menjadi salah satu keprihatinan utama dalam DKG 2014-2019, namun saat ini kita perlu bersuara lebih keras, tegas, dan menyampaikan teladan serta panduan etis untuk gaya hidup manusia. Di periode anthropocene ini, kita perlu mengakui tanggung jawab kita atas kerusakan ekologis dan melakukan segala upaya dengan maksimal untuk memulihkan bumi. Perlu disampaikan juga bahwa dalam perusakan ekologi secara massal, terdapat juga ketidakadilan dan penindasan terhadap manusia yang hidup dalam kemiskinan dan di margin.

8. Otoritas Gereja Ketika gereja terpecah, maka otoritas gereja pun semakin lemah. Orang hanya perlu berpindah gereja untuk mencari gereja yang dapat memenuhi kemauannya. Gerakan keesaan gereja adalah suatu upaya memulihkan otoritas tersebut. Namun otoritas gereja di masa kini, perlu kita sadari bukan lagi sebagai perwakilan Allah di dunia yang berada di atas orang lain. Di sinilah kita perlu suatu studi (lapangan maupun pustaka), untuk suatu konsep otoritas gereja yang tepat untuk konteks kita dan yang menyatukan gereja-gereja.

Page 206: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

205Lampiran

Catatan FGD Eklesiologi, 30 November 2018

1. Pengantar oleh Pak Mojau: penjelasan alur FGD.

2. Doa oleh Pak Daniel Ronda.

3. Sapaan Sekum PGI: Kenyataan konflik gereja-gereja makin kuat misalnya GKI TP dan HKBP di Papua. Juga konflik internal gereja: Dibutuhkan kelenturan gereja dalam meramu kembali DKG.

4. Presentasi 1: Pak Gerrit Singgih (lihat draft h. 2-20).

5. Presentasi 2: Ibu Yolanda Pantou (lihat draft h. 44-50).

6. Presentasi 3: Pak Zakaria Ngelow (Powerpoint presentation).

7. Sesi tanggapan:

1. Pak Binsar Pakpahan: Kita sulit berbicara keesaan dalam teologi. Pemahaman kita tentang Alkitab saja berbeda-beda. Sekolah teologi (STFT J) juga alami hal itu. Saya dukung kita bicara tentang doktrin. Perpecahan terjadi di manamana. Politik identitas semakin menguat. Ada pendeta (mahasiswa pascasarjana) tidak paham ajaran gerejanya sendiri. Sudah saatnya kita bicara tentang doktrin.

2. Pak Trisno: Saya bicara sebagai seorang sekuler berlatarbelakang filsafat. Teologi yang berkembang di jemaat, di lingkungan STT, atau yang berkembang di sinode, atau di PGI, tidak terhubung. Sehingga pergumulan dalam jemaat lokal tidak terefleksi dalam teologi yang dikembangkan di STT, Sinode, dan PGI. Era perkembangan digital juga menimbulkan pertanyaan2 teologis yang serius. Bagaimana

Page 207: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

206 Prosiding

google kini menjadi tempat untuk mendapatkan jawaban. Persoalan big data, bagaimana gereja menyikapi kenyataan perkembangan teknologi ini.

3. Pak Anwar Chen: Bagaimana landasan alkitabiah dilihat sebagai landasan eklesiologi. Tidak ada keseragaman pemahaman tentang Alkitab. Dasar sudah jelas: Kristus. Tetapi bagaimana melihat keberagaman yang didikte oleh konteks. Gereja mula2 sangat dipengaruhi oleh konteks. Kitab Matius, Surat Petrus, semua bergumul dengan konteks. Keesaan di dalam kepelbagaian konteks sangat penting. Kedua, persoalan perkembangan digital juga menjadi persoalan yang dihadapi LAI. Berpindah dari teritorial ke ekstra-teritorial. Di sisi lain, ada generasi baru muncul, koneksi tidak ditentukan lagi oleh ruang. Koneksi menjadi lintas ruang. Ketiga, persoalan hermeneutik amat mempengaruhi interpretasi kita tentang berbagai hal. Menerjemahkan untuk siapa? Audiens menjadi penting. Karena akan beda pendekatan, agar bisa relevan.

4. Ibu Indriani Bone: Surat pastoral PGI, memicu gereja-gereja menjadi anti LGBT. Saya usul agar ditambahkan visi oikoumene sehubungan dengan LGBT.

5. Pak Henrek Lokra: Tentang ekspansi teritori gereja masuk Jakarta. Jangan lupa ada juga ekspansi gereja-gereja lewat bisnis, menopang gereja-gereja lokal di daerah. PPMT dan Evangelis Explotion (EE).

6. Pak Gultom: Sejauhmana hasil2 diskusi sebelumnya ditampung oleh PGI? Mana bagian dari dokumen keesaan gereja yang perlu ditambahkan? Menyentuh doktrin gereja itu ngeri2 sedap. Di kalangan pentakostal kharismatik saja banyak model. Saya usul kita concern saja pada persoalan sosial, ketimbang mempertanyakan doktrin gereja.

7. Pak Daniel: Gereja-gereja pedalaman perlu juga menjadi perhatian dalam rumusan eklesiologi. Dialog itu bagus tetapi

Page 208: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

207Lampiran

perlu ada benang merah antara PGI, PGII dst. Di kalangan kharismatik sudah ada komunitas kristiani homoseksual. Kalau mau bahas hal LGBT, perlu dapatkan sebanyak mungkin input agar tidak menuai protes dari gereja-gereja anggota. Gereja harus ada perlawanan terhadap digital world, bukan anti teknologi, tetapi counter teknologi, dengan penekanan pada aspek keluarga.

8. Pdt. Margie: Apakah kita memulai semua ini dengan penelitian dan data-data konkrit? Kita akan memulai revisi DKG ini dari kebutuhan yang kuat dan mendasar dari gereja-gereja di Indonesia bukan kebutuhan elit2 gereja.

9. Pak Gerit: berbicara tentang doktrin, kita tidak berbicara doktrin tunggal. Kita perlu bicara doktrin plural. Identitas kita tidak satu, tetapi bisa lebih dari satu. Itu semua tidak menjadi masalah. Di era pasca moderen, kita menerima kepelbagaian. Itu yang pertama. Yang kedua, dari mana kita berangkat, itu sangat penting. Tetapi jangan terlalu dipisah-pisah komponen itu. Toh sekolah teologi juga bergumul untuk menjawab persoalan yang ada di jemaat-jemaat. Pemahaman tentang eklesiologi yang lebih cair, gereja tanpa dinding, sinkretik bukan masalah sekarang. Dulu zaman misionaris bahaya, sekarang tidak lagi. Tentang digital disruption, bagaimana gereja tidak menerima, tetapi juga tidak menolak.

10. Pdt. Irene: Kita perlu memberi perhatian pada konteks pergumulan gereja berhadapan dengan agama lokal. Perjumpaan gereja dengan agama lokal sangat mempengaruhi pemahaman teologi-eklesiologis gereja. Pola Pekabaran Injil dan pemahaman misiologis gereja-gereja di pedesaan mesti mengalami perubahan. Penganut agama lokal tidak lagi menjadi sasaran PI gereja melainkan sebagai mitra dialog. Pentingnya dialog lintas iman antara gereja dan agama lokal menjadi perhatian dalam revisi DKG.

Page 209: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

208 Prosiding

11. Pak Daniel Ronda: Tentang islamisasi di NTT. Juga di Papua?

12. Pak Anwar: Tentang kewibawaan gereja.

13. Ibu Yolanda: yang dimaksudkan dengan kewibawaan gereja yaitu bagaimana peran gereja sehingga suaranya memiliki pengaruh pada level umat.

14. Pak Gomar: tidak relevan lagi untuk membuat dikotomi antara evangelical, reformed, lutheran, dan seterusnya. Perlu ada kelenturan pemahaman teologi dan menjadikan pergerakan oikoumene sebagai rumah bersama.

15. Ibu Yolanda: perlu juga ditambahkan bagaimana gereja punya solidaritas. Bagaimana solidaritas bertumbuh di kalangan gereja-gereja anggota PGI.

16. Pak Anwar: Tetap ada batasan dalam tataran prakmatis, hal ini perlu mendapat perhatian PGI. Di LAI saja penggunaan kata Allah masih pro kontra dalam terjemahan. Ada banyak agenda yang juga perlu dipertimbangkan dalam sebuah gerakan oikoumene.

17. Ibu Margie: Selain kelenturan, perlu ada tatanan kesepakatan/klausul yang mengatur dan mengikat gereja-gereja anggota PGI.

18. Pak Ngelow: Kenyataan model keesaan: PGI itu justru keesaan dalam aksi yang ditekankan. Aturan dan tatadasar. PGI menerima semua model dan sistem eklesiologi. model denominasi, teritorial dan ekspansi.

19. Presentasi 4: Pak Gerit Singgih (lihat materi h. 21-43).

20. Tanggapan:

1. Pak Gultom: pembahasan tentang LGBT. Kita juga harus tahu bahwa kita melayani gereja yang masih lamban dalam diskursus teologi: reaksi penolakan banyak datang justru dari gereja mainstream. Untuk lingkungan akademis, lebih mudah.

Page 210: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

209Lampiran

2. Pak Gerit: pertimbangan saya lebih pada situasi global dan nasib kaum LGBT. Ini panggilan etis.

3. Pak Ngelow: gereja perlu mengambil sikap pastoral terhadap LGBT. Gereja sudah mengakui dan menerima kaum LGBT.

4. Pak Trisno: PGI hanya bisa jangkau level sinode, bukan level jemaat. Belum ada alat bantu untuk mencek sejauhmana dokumen ini sampai ke level jemaat. Perlu ada saluran yang terbuka untuk bisa menjangkau aras jemaat.

5. Pak Ngelow: Bagaimana supaya dokumen yang kita hasilkan ini bisa hidup di gereja-gereja?

6. Pak Anwar: Saya tidak pesimis. Ketika gereja berhadapan dengan isu tertentu, dokumen PGI minimal akan menjadi acuan. Penting dalam satu periode kepengurusan PGI, ada upaya rutin untuk mendiskusikannya.

7. Pak Ngelow: Perlu juga dibuat DKG ini seramping mungkin.

8. Pak Gultom: Perlu juga sosialisasi dan roadshow ke sinode2.

9. Pak Henrek: gereja-gereja juga mengerjakan isu2 yang diangkat dalam DKG.

10. Bu Margie: kita menggumuli eklesiologi sebagai gereja2 anggota PGI. Kita membangun secara bersama, gerakan ini menjadi kekuatan bersama. Bagaimana supaya ada keterikatan antara gereja dalam gerakan bersama ini.

11. Pak Ngelow: Tugas tim merevisi DKG. Belum ada aturan sanksi bagi gerejagereja yang melanggar dan tidak patuh pada tata dasar dan tata rumahtangga PGI. Seandainya ada gereja yang usul agar revisi TD/TRT PGI, maka hal ini bisa dikerjakan.

Page 211: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

210 Prosiding

12. Pak Trisno: mestinya PSMSM juga direvisi. Rumusannya dibuat tahun 1970an, mestinya direvisi karena konteks gereja-gereja sudah berubah. PGI yang berbasis persekutuan tidak mewajibkan adanya hukuman bagi anggotaanggotanya (sebagai persekutuan gerejawi). Tetapi sebagai sebuah organisasi, mestinya ada sanksi bagi anggota yang ‘nakal”. TD/TRT PGI direvisi sehingga ada sanksi organisasi. Dipending keanggotaan merupakan salah satu pilihan sanksi.

13. Pak Ngelow: Hasil FGD ini akan dibuatkan draft untuk diusulkan ke MPL PGI Januari 2019.

14. Pak Mojau: Tim masih akan bekerja, semua masukan akan ditampung dan dipertimbangkan. Kita memikirkan dua hal, dokumen sebelum SR dan sesudah SR. Ini penting, karena aksi sosial gereja harus memiliki basis teologis dan eklesiologis yang jelas dan mendasar. Apakah gambaran gereja sebagaimana dalam PBIK dan PTPB masih relevan? Ini perlu studi yang mendalam.

15. Pak Ngelow: Revisi kita selain PTPB, juga PBIK, dan oikoumene gerejawi (PSMSM).

16. Pak Henrek: Format bergereja ini perlu diklarifikasi.

17. PGI menerima semua format, sebagai sesama gereja anggota PGI.

18. Teritorial dan non teritorial itu bukan istilah eklesiologi. Karena itu perlu dipikirkan istilah yang tepat.

19. Pak Ngelow: Masih terbuka kemungkinan gereja-gereja untuk memberi masukan pada TIM Revisi. Ada tiga hal yang menurut saya masih sangat perlu dielaborasi agar dapat menjiwai DKG 2019 - 2024:

(a) Ruang-ruang keprihatinan (areas of concern) yang membingkai tugas dan panggilan gereja-

Page 212: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

211Lampiran

gereja: Krisis Kebangsaan, Krisis Ekologi dan Krisis Keesaan.

(b) Visi eklesiologis ke depan: *Gereja Embara* yang inklusif, terbuka, selalu dalam peziarahan, sembari tetap memperhatikan konteks dan problem lokal, khususnya gerejagereja di pedalaman/pinggiran.

(c) Konsekuensi dari visi eklesiologis itu: butuh penataan ulang PGI sebagai fasilitator gerak Embara Gereja-gereja. Penataan ulang ini mencakup baik model, struktur (hierarki sampai pembidangan) maupun mekanisme kerja.

Notulis: Ratna dan Irene

Jakarta, Grha Oikoumene, 30 November 2018

Page 213: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

212 Prosiding

Page 214: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

213Lampiran

Page 215: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

214 Prosiding

Page 216: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

215Lampiran

Penelitian Model Bergereja: Catatan dari Enam Gereja

Tim Pengarah:• Beril Huliselan• Jhon Simorangkir• Jeirry Sumampow

Peneliti:• Herman Nainggolan • Denni Pinontuan • Beril Huliselan

Page 217: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

216 Prosiding

Daftar Isi

I. Pendahuluan1. Latar Belakang 2. Masalah 3. Pembatasan Masalah4. Rumusan Masalah5. Tujuan Penelitian.6. Metodologi

6.1 Lokasi Penelitian6.2 Sumber Data6.3 Teknik Pengumpulan Data6.4 Analisis Data6.5 Alur

I. Ringkasan TemuanII. Laporan Wilayah2.1 Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)

1. Pemerintahan Gereja 2. Kehidupan Liturgis 3. Misi

2.2 Gereja Kalimantan Evangelis (GKE)1. Pemerintahan Gereja 2. Kehidupan Liturgis 3. Misi

2.3. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM)1. Pemerintahan Gereja 2. Kehidupan Liturgis3. Misi

Page 218: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

217Lampiran

2.4 Gereja Bethel Indonesia (GBI)1. Pemerintahan Gereja 2. Kehidupan Liturgis 3. Misi

2.5 Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB)1. Pemerintahan Gereja 2. Kehidupan Liturgis3. Misi

Page 219: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

218 Prosiding

I. Pendahuluan

1. Latar Belakang Pergulatan gereja-gereja di Indonesia untuk menemukan

gerak bersama sebagai gereja Tuhan yang esa telah lama melahirkan arah bersama mengenai bagaimana gereja-gereja mewujudnyatakan hakikatnya yang esa demi tugas dan panggilannya di Indonesia. Dokumen Keesaan Gereja (DKG) menegaskan bahwa: “….gereja-gereja….terlibat dalam proses untuk mengesa atau menyatu guna makin mewujudnyatakan tugas panggilan bersama dengan melihat Indonesia sebagai satu wilayah kesaksian dan pelayanan bersama” (DKG, 2015, 53).

Kesadaran misional menjadi roh yang mendorong gereja-gereja di Indonesia memasuki sejarah bersama sebagai gereja Tuhan yang esa. Oleh karena itu, saling mendukung dalam teologi, daya dan dana menjadi penting mengingat, pertama, hal tersebut merefleksikan kesadaran bahwa setiap gereja dalam persekutuan adalah wujud gereja Tuhan yang esa; “….gereja tidak dapat benar-benar saling menopang di luar ikatan persekutuannya dengan gereja-gereja lain….” (DKG, 2015, 137). Kedua, kesadaran bahwa gereja-gereja harus bertumbuh menjadi dewasa dan mandiri dalam mengerjakan misinya dalam satu kesatuan wilayah pelayanan; “….saling topang menopang adalah suatu upaya bersama untuk….memperkembangkan semua kemampuan (potensi) dan pemberian Tuhan….bagi persekutuan, palayanan dan kesaksian” (DKG, 2015, 134).

Gereja-gereja pun secara rutin menggumuli misi bersama (common mission) yang memberi arah bagi gerakan oikoumene di Indonesia. Arah ini ditopang, salah satunya, oleh kesediaan gereja-gereja untuk saling mengakui dan saling menerima sebagai gereja Tuhan yang esa; “….oikoumene gerejawi dalam GKYE itu, ditentukan, pertama, oleh derajat konektivitas antartubuh dan seluruh tubuh dengan sang kepala (1 Kor. 12)…..” (DKG, 2015, 124). Dalam konteks ini, pergulatan gerakan oikoumene

Page 220: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

219Lampiran

memperlihatkan hal yang menggembirakan. Hasil survei oikoumene yang dilakukan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada tahun 2013, mengenai potret dan tantangan gerakan oikoumene, memperlihatkan tingkat penerimaan yang tinggi antaranggota PGI terkait poin-poin saling mengakui dan saling menerima yang ada dalam DKG.

Sekalipun demikian, gerakan oikoumene juga menghadapi tantangan yang rumit untuk menerjemahkan misi bersamanya dalam satu kesatuan wilayah pelayanan. Salah satunya adalah pergeseran pola bergereja yang berlangsung di era otonomi daerah (Otda). Penelitian PGI mengenai Gereja dan Politik Pasca Orde Baru, dilakukan pada tahun 2012, memperlitkan bahwa Otda yang menjadi penanda realitas sosio-politik pasca Soeharto terbelahnya sejumlah wilayah dalam garis identitas. Kelompok-kelompok lokal berbasis identitas dan wilayah kemudian memiliki posisi dalam pergulatan ekonomi dan politik di sejumlah wilayah. Di tengah situasi seperti ini, hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa sejumlah gereja di daerah pun turut terseret dalam persoalan identitas yang bergerak tegak lurus dengan sentiment wilayah. Bahkan, ada gereja yang kemudian terpecah karena dampak pemekaran wilayah di daerah.

Kenyataan di atas menunjukan bahwa terjadi pergeseran dalam kehidupan gereja di era Otda. Selain perpecahan yang berdiri tegak lurus dengan pemekaran wilayah, pergeseran juga terjadi dalam bentuk keluarnya beberapa gereja dari model bergereja yang sudah dijalani bertahun-tahun. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) dan Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), misalnya, memperlihatkan pergeseran di mana model gereja wilayah dirasakan tidak lagi memadai di era pasca Soeharto. Pergeseran juga bisa dilacak pada ekspansi beberapa gereja ke sejumlah wilayah dan menimbulkan perdebatan dalam gerakan oikoumene. Ini belum lagi ditambah munculnya gereja-gereja independence yang membuat medan gerakan oikoumene menjadi rumit.

Page 221: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

220 Prosiding

2. MasalahCatatan di atas memperlihatkan bahwa adanya tantangan

yang dihadapi gerakan oikoumene di Indonesia, dalam hal ini terkait kesepakatan oikoumenis yang menekankan Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah pelayanan (misi). Gerak ekspansif lintas teritori tentunya dapat mendorong kompetisi antargereja yang, kalau tidak dikelola dengan bijak, dapat menimbulkan gesekan di tingkat lokal.

Memang, kesepakatan akan kesatuan wilayah pelayanan tidak memuat atau menekankan secara eksplisit bahwa gereja-gereja anggota harus mengadopsi model gereja tertentu, misalnya model gereja wilayah. Apa yang tampak adalah kesadaran bahwa gereja-gereja harus terhubung satu dengan yang lain dalam rangka misi bersama di Indonesia, sebagaimana ditekankan dalam DKG:

Sebagai bagian dari Tubuh Kristus itu, maka gereja-gereja di Indonesia merupakan bagian utuh dari gereja yang satu, kudus, am, dan rasuli di segala tempat dan zaman. Sekaligus, pada saat bersamaan, gereja-gereja memahami dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari pemeliharaan Allah bagi bangsa dan negara Indonesia. Kesadaran itu membuat gereja-gereja memahami bahwa Indonesia merupakan “wilayah kesaksian dan pelayanan bersama” guna menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah di negara Pancasila ini” (DKG, 2015, 17).

Karena itu, gereja-gereja menyepakati pentingnya saling mendukung dalam teologi, daya dan dana menjadi penting untuk menghidupkan gerakan oikoumene dalam kesatuan wilayah pelayanan di Indonesia; “Untuk menopang proses kebersamaan dan keesaan gereja di Indonesia, disadari mutlaknya gereja-gereja di Indonesia itu mandiri di bidang teologi, daya, dan dana” (DKG, 2015, 10). Namun, ekspansi lintas teritori bagaimana pun telah menimbulkan sejumlah gesekan di tingkat lokal, dan sedikit banyak bersampak pada gerak bersama gereja-gereja di dalam misi. Perkembangan di atas menunjukan adanya kebutuhan untuk menemukan pendekatan baru dalam memahami tantangan

Page 222: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

221Lampiran

bergereja di era Otda saat ini; sebuah era yang ditandai ledakan politik identitas, sentiment wilayah, pergeseran demografi dan berkembangnya berbagai tuntutan kemandirian. Dengan kata lain, kesepakatan oikoumenis yang ada − terkait Indonesia sebagai wilayah pelayanan (misi) bersama gereja-gereja − membutuhkan pendekatan yang berbeda (alternatif) agar kesepakatan tersebut dapat terus digerakan secara bersama-sama oleh gereja-gereja di Indonesia. Hal ini menunjukan adanya kebutuhan untuk menangkap model-model apa yang sedang berkembang saat ini dan apa implikasinya bagi masa depan gerakan oikoumene. Kemudian, apa saja model alternatif yang tersedia untuk merespons tantangan tersebut 3. Pembatasan Masalah

Upaya menemukan model alternatif merupakan tahapan yang harus didahului pemetaan awal mengenai model bergereja yang sedang berlangsung saat ini, lalu faktor-faktor sosial apa saja yang terekam di dalamnya. Mode-model tersebut merupakan abstraksi dari tiga hal mendasar dalam studi eklesiologi, sebagaimana disinggung oleh Gerard Mannion dan Lewis Mudge, yakni: (1) pemerintahan gereja, (2) kehidupan liturgis dan (3) misi gereja.

Dengan kata lain, pertama, penelitian awal ini difokuskan pada tiga hal di atas yang memperlihatkan bagaimana pemahaman diri gereja diterjemahkan di dalam sejarah. Sebagaimana dikatakan oleh Mannion dan Mudge, ketiga hal tersebut (pemerintahan gereja, kehidupan liturgis, misi) merupakan instrumen utama di mana Injil dihidupi dan dikomunikasikan di dalam ruang sosial. Kedua, unit analisis dari penelitian ini dibatasi pada sinode mengingat keterbatasan waktu dan tenaga untuk melakukan penelusuran sampai ke tingkat jemaat. Selain itu, sinode merupakan tempat di mana garis besar dari posisi resmi gereja dapat diperoleh, khususnya terkait tiga hal yang yang disoroti dalam penelitian ini. Ketiga, istilah “model” digunakan untuk merujuk pada abstraksi yang dilakukan

Page 223: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

222 Prosiding

gereja dalam memahami siapa dirinya dan dan bagaimana relasinya dengan dunia sebagaimana terekspresi dalam pemerintahan gereja, kehidupan liturgis, misi.

Penting dicatat di sini bahwa penelitian ini belum merupakan sesuatu yang sudah selesai mengingat ada hal penting dalam studi eklesiologi, sebagaimana disinggung Mannion dan Mudge, yang belum masuk dalam penelitian ini, yakni komponen social space. komponen ini sangat berpengaruh terhadap ketiga komponen sebelumnya (pemerintahan gereja, kehidupan liturgis, misi), namun belum bisa dieksplorasi dalam penelitian ini mengingat keterbatasan waktu dan dana. Selain itu, penelitian ini masih merupakan upaya awal yang membutuhkan pengayaan data dari beberapa wilayah lain dalam rangka memperoleh gambaran yang lebih luas.

4. Rumusan Masalah Penelitian ini hendak melihat (1) bagaimana model pemahaman mengenai gereja yang terbentuk dalam kehidupan institusional (pemerintahan gereja), peribadahan (liturgi) dan posisi misi gereja, serta (2) dampak dari model tersebut terhadap pergerakan misi gereja dan (3) pergumulan/tantangan yang bersinggungan dengan model tersebut. Hal ini dilakukan dengan menggali sejumlah informasi yang menonjol dalam konteks:1. Pemerintahan gereja: terkait dengan (a) rumusan, istilah dan

teks Alkitab yang digunakan untuk menjelaskan mengenai mengenai gereja, (b) bentuk pelayanan yang paling menonjol, (c) mekanisme institusional penyelenggaraan gereja secara sinodal dan lokal (jemaat), (d) hubungan jemaat dengan sinode, (e) peran utama dari para pelayan, khususnya pendeta dan penatua, (f) kriteria untuk menjadi pelayan, khususnya pendeta dan penatua, (g) tempat warga jemaat dalam formasi (perumusan dan pembaruan) ajaran gereja, (i) posisi yang bisa diisi warga dalam kehidupan gereja, (j) tanda keangotaan seseorang dalam kehidupan gereja dan (k) logo gereja dan penjelasannya.

Page 224: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

223Lampiran

2. Kehidupan liturgis: terkait dengan (a) bagaimana ibadah dipahami/dirumuskan, (b) simbol-simbol yang menonjol dalam ibadah? Lalu, bagaimana simbol tersebut dipahami, (c) tujuan utama yang ingin dicapai dalam peribadahan, (d) pola peribadahan yang menonjol, (e) komponen yang dipandang penting dalam peribadahan, (f) hal yang paling menonjol dalam peribadahan, (g) tempat pengalaman individual (internal) akan kehadiran roh, (h) tempat/partisipasi umat dalam ibadah, (i) berapa banyak: (1) sakramen yang ada, (2) seberapa sering (dalam satu tahun) sakramen tersebut dilaksanakan dan apa penjelasannya.

3. Misi: terkait dengan (a) seperti apa misi gereja dipahami, (b) tujuan utama dari misi gereja, (c) kegiatan yang paling menonjol dalam aktivitas misi, (d) ukuran yang digunakan untuk melihat kesuksesan/keberhasilan misi gereja dan (e) bagaimana relasi gereja dan dunia digambarkan.

5. Tujuan Penelitian1. Memperoleh gambaran awal mengenai model-model bergereja

yang ada saat ini, termasuk pergeserannya, dan dampaknya dalam gerak misioner gereja.

2. Memperoleh gambaran awal mengenai berbagai tantangan yang tengah dihadapi gereja dan terefleksi di dalam model-model bergereja tersebut.

3. Memberikan masukan untuk pembaruan dokumen keesaan gereja (DKG) 2019-2024.

6. Metodologi6.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dipilih dengan mempertimbangkan: (1) gereja-gereja anggota PGI, (2) gereja-gereja yang mengalami pergeseran

Page 225: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

224 Prosiding

dalam pola bergereja, terkait gereja wilayah dan non wilayah, (3) gereja-gereja dengan wilayah pelayanan yang luas dan (4) memperhatikan varian pentakostal di dalam keanggotaan PGI mengingat jangkaunnya yang luas (dalam hal jumlah dan wilayah). Gereja-gereja tersebut adalah:

1. Gereja Bethel Indonesia (GBI)2. Gereja Protestan Perjanjian Baru (GKPB)3. Gereja Kalimantan Evangelis (GKE)4. Gereja masehi Injili di Timor (GMIT)5. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)6. Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM)

6.2 Sumber Data Penelitian ini merupakan studi awal ini mengandalkan wawancara dan data sekunder baik dalam bentuk dokumen gereja (tata gereja, dokumen ajaran gereja dan dokumen liturgi) maupun beberapa hasil penelitian yang penah dilakukan Litbang PGI.

6.3 Teknik Pengumpulan Data1. Melakukan studi dokumen gereja dan hasil-hasil penelitian yang

ada dengan memperhatikan kategori yang sudah disusun dalam matriks pengumpulan data.

2. Memilih beberapa gereja (sinode) untuk pendalaman data melalui wawancara, khususnya gereja-gereja yang memperlihatkan pergeseran dari teritori ke non-teritori.

6.4 Analisis Data Data yang ada dikelompokkan dengan memperhatikan ciri-ciri yang menonjol untuk kemudian diabstraksikan ke dalam model gereja. Ciri-ciri tersebut terkait dengan tiga hal yang disinggung

Page 226: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

225Lampiran

oleh Gerard Mannion dan Lewis Mudge, yakni: (1) pemerintahan gereja, (2) kehidupan liturgis dan (3) misi gereja.

6.5 Alur Secara umum, abstraksi dari model bergereja ditarik dari tema-tema yang paling menonjol dari tiga hal mendasar dalam studi eklesiologi, sebagaimana disinggung oleh Gerard Mannion dan Lewis Mudge, yakni: (1) institusi, (2) ibadah dan (3) misi. Tema-tema yang menonjol ini kemudian diuraikan lebih lanjut sebagai model berbereja yang memuat tiga aspek, serta tentunya tantangan yang terekam di dalam model tersebut

I. Ringkasan TemuanGereja-gereja yang dipilih dalam penelitian awal ini adalah

gereja-gereja yang memperlihatkan gerak ke luar melintasi batas teritori. Ada gereja yang sudah lama bergerak non-teritori, seperti misalnya HKBP, GKPB, GBI dan GPIB sekalipun tidak sama dan sebangun dengan 3 gereja tersebut. Namun ada juga gereja yang dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan pergumulan yang kemudian bermuara pemahaman non-teritori terhadap dirinya. Ini tampak pada gereja-gereja seperti GMIM, GKE dan GMIT. Pada kasus ketiga gereja ini (GMIM, GKE dan GMIT), bisa dikatakan ada proses negosiasi non-teritori dalam memahami dirinya. Artinya, sebuah proses di mana afiliasi geografis berlahan-lahan diganti dengan afiliasi yang lebih bersifat kultural, atau bahkan emosional. Dengan kata lain, asosiasi gereja dalam membaca warga jemaatnya mulai bergerak ke arah kesamaan cultural way of life and thinking. Secara umum bisa dikatakan bahwa perubahan sosial tampaknya tidak bisa sepenuhnya dikelola oleh corak bergereja yang saat ini berkembang. Alhasil, beberapa gereja mulai melirik pada afilasi non-teritori sebagai pilihan untuk merumuskan peran gereja ke depan. Dan mungkin, gereja-gereja lain pun akan mengikuti jejak

Page 227: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

226 Prosiding

yang dilakukan GMIM, GKE dan GMIT. Hal ini memberi isyarat bahwa gerakan oikoumene sepertinya harus mulai memikirkan perkembangan seperti ini. Pergerakan demografi menjadi faktor yang terlihat berperan mendorong gereja-gereja meninjau ulang posisi teritori yang selama ini dipegang. Apa yang terjadi pada GMIM dan GKE paling tidak memperlihatkan hal tersebut. Pergerakan warga jemaat yang tak terbendung ke berbagai tempat membuat gereja mulai memikirkan bentuk kehadirannya. Apalagi, warga jemaat tersebut bergerak ke luar dan masuk ke gereja-gereja yang dianggap memiliki perbedaan dengan gereja asalnya. Selain itu, gerak demografi juga mendorong kompetisi mengingat wilayah yang selama ini didominasi oleh gereja tertentu mulai menjadi majemuk di mana berbagai gereja saling berebut “panggung” di wilayah tersebut. Arus seperti ini membuat gereja tertentu menghadapi kenyataan bahwa terjadi penurunan warga jemaat dalam jumlah besar di beberapa titik. Alhasil, gerak non-teritori kemudian menjadi salah satu cara yang harus ditempuh agar gereja tersebut tidak terus tergerus. Selain catatan di atas, pergerakan non-teritori juga terjadi karena gereja merasa harus merespons warga jemaatnya yang dipandang tidak terlayani oleh gereja di mana warga tersebut bermigrasi. Gereja seperti GMIT misalnya, tetap memahami diri sebagai gereja teritori, namun dengan pengeculian untuk wilayah tertentu di mana mereka merasa ada warganya yang tidak terlayani. Hal seperti ini tentunya masih harus ditelusuri mengingat gerak ke luar tidak berhenti di sati titik atau wilayah, namun terus bertambah ke wilayah lain Perkembangan seperti ini tentunya membawa persoalan tersendiri mengingat gerak non-teritori membuat gereja harus menggerakan sumber dayanya, baik SDM maupun dana, untuk mengakses berbagai wilayah. Bagi gereja yang sumber dayanya terbatas, gerak keluar akan menjadi pergumulan yang berat. Namun di pihak lain, apabila tidak keluar maka ada kekuatiran terhadap

Page 228: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

227Lampiran

dampak pergeseran demografi yang membuat wilayah kehadiran gereja selama ini semakin berwarna dengan gereja-gereja lain. Persoalan berikutnya adalah penguatan afiliasi budaya atau rasa identitas dalam peta kehadiran gereja-gereja di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memperkuat ikatan warga jemaat dengan gereja mengingat afiliasi teritori seperti mulai melemah. Memang, di sisi lain, bisa saja gerak non-teritori ini akan mendorong gereja untuk mendefenisikan ulang identitas budayanya, atau mendialogkannya dengan kenyataan baru di mana gereja tersebut hadir. Namun, sejauh ini belum terlihat pergerakan ke arah tersebut. Apa yang tampak adalah pergerakan di wilayah afiliasi budaya (identitas) untuk membangun dan memperkuat ikatan warga jemaat dengan gereja. Hal ini terjadi saat gereja, khususnya di lokasi baru, tidak lagi menjadi pemain dominan seperti di wilayah di mana gereja tersebut lahir dan berkembang; menjadi pemain dominan berarti juga gereja memiliki akses terhadap sumber-sumber materi di wilayah teritorinya. Karena itu, pada saat gereja hadir di berbagai lokasi yang baru, maka afiliasi budaya (rasa identitas) menjadi penting menjaga survivalitas atau kemampuan bertahan. Hal ini, sedikit banyak, akan memberikan dampak pada peta gerakan keesaan di Indonesia. Tantangan pergeseran demografi juga berjalan bersamaan dengan upaya beberapa gereja untuk mengadopsi model penginjilan Evangelism Explosion (EE) yang selama ini dekat dengan kalanga Injili. Memang tidak ada catatan spesifik mengenai munculnya penggunaan EE di beberapa gereja, dalam hal ini di GKE dan HKBP, namun ada catatan mengenai kebutuhan akan misi yang bergerak keluar dan persoalan kemajemukan di wilayah kehadiran gereja sebagai akibat persoalan demografi. Dari beberapa gereja yang diambil dalam penelitian ini paling tidak ada beberapa model yang bisa diabstraksikan dari sejumlah catatan yang ada, yakni:

(1) Model gereja yang menekankan keberadaannya sebagai persekutuan yang kudus yang hadir untuk membawa dunia

Page 229: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

228 Prosiding

ke dalam kekudusan yang dipandang berpusat pada Kristus. Model gereja seperti ini pada dasarnya tidak mengenal batas teritori dalam kehadirannya (misi) mengingat Kristus berada di atas dunia (kebudayaan) dan gereja bertanggung jawab untuk menjangkau dunia sejauh mungkin dan membawanya kepada Kristus. Dengan kata lain, model ini memberi tekanan kuat pada aktivitas ekspansi dari misi gereja mengingat dunia harus dibawa ke dalam kekudusan Kristus. Gerak ekspansi akan semakin kuat dengan adanya ada ikatan antara gereja dengan afiliasi budaya tertentu karena pergerakan warga yang membawa budayanya ke daerah baru akan diikuti dengan pendirian gereja di wilayah tersebut.

Gereja seperti ini menekankan pola peribadahan membawa umat pada pengenalan akan dosa-dosa mereka dan diikuti dengan tuntunan hidup baru yang harus menjadi perhatian umat. Dalam konteks ini, disiplin gereja menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam gerak gereja tersebut mengingat kekudusan harus ditegakkan. Tekanan seperti ini berdampak pada kehidupan peribadahan, termasuk adanya tata ibadah atau prosesi khusus untuk menyatakan seseorang telah bebas dari disiplin gereja tersebut dan dapat diterima kembali di dalam umat. Selain peribadahan, soal kekudusan juga berdampak pada struktur pemerintahan gereja di mana para pejabat gereja ditempatkan sebagai orang-orang yang harus memonitor kehidupan umat, dan dengan sendirinya mereka juga harus menjaga kekudusan mereka dan keluarga.

Hal lain yang juga menjol dalam model ini adalah kuatnya pengaruh orang-orang yang dianggap telah dipilih menjadi pelayan di tengah umat, namun hal seperti ini juga bisa bersinggungan dengan soal budaya di mana gereja tersebut lahir dan berkembang. Gereja seperti HKBP memperlihatkan model seperti ini, sekalipun memang dalam pemerintahan gereja ada corak kolektif sebagaian juga ditemuka pada gereja-

Page 230: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

229Lampiran

gereja lain di Indonesia. Namun, sebagaimana catatan peneliti, dalam pelaksanaanHKBP dipandang tidak 100% bercorak kolektif mengingat ada tekanan pada peran tokoh tertentu yang dipandang memiliki peran utama, misalnya Ephorus. Namun di sini perlu diingat bahwa bentuk pemerintahan gereja juga dipengaruhi oleh variabel lain, seperti misalnya pengaruh lembaga zending yang dulu melahirkan gereja tersebut, atau juga termasuk juga afiliasinya dengan denominasi tertentu.

(2) Model gereja yang memahami diri sebagai komunitas yang saling menopang dalam rangka kemandirian. Gereja ini lahir dari kenyataan di mana gereja harus berhadapan dengan pergeseran nilai-nilai di tengah masyarakat dan sejumlah masalah yang menimpa sejumlah lembaga yang dimiliki gereja. Selain itu, ketimpangan ekonomi yang dihadapi warga jemaat menjadi pergumulan yang tidak mudah dipecahkan. Hal ini kemudian melahirkan kebutuhan untuk mendorong kemandirian gereja. Pergeseran demografi juga turut berperan dalam memperkuat kebutuhan akan saling menopang ini. Hal ini mengingat, di satu sisi, pergesera demografi berakibat pada penurunan jumlah anggota jemaat di wilayah kehadirannya selama ini. Di sisi lain, dorongan untuk keluar tidak selamanya didukung dengan sumber daya yang memadai. Karena itu, saling menopang dalam rangka kemandirin menjadi sesuatu yang mendesak. Dalam konteks ini kita juga bisa mengatakan bahwa gereja dengan model ini tidak mengenal batas teritori dalam pergerakannya. Selain itu, tekanan pada saling menopang juga membuat adanya tekanan akan kelenturan dalam gerak gereja.

Dalam aktivitas peribadahan, gereja seperti ini memperlihatkan upaya untuk mengebangkan model peribadahan yang dapat membuat warga jemaat saling dekat dan sharing pergumulan hidup mereka. Hal seperti ini terlihat di GKE di mana model ibadah rumahan coba dikembangkan, yakni ibadah yang bersifat lentur dan menonjolkan sharing pengalaman.

Page 231: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

230 Prosiding

Dalam peribadahan minggu, memang tidak memperlihatkan corak ibadah yang lentur tersebut, namun lebih memperlihatkan keteraturan (susunan ibadah yang teratur) sebagaimana ditemui pada gereja-gereja lainnya; ini tidak lepas juga dari pengaruh lembaga zending yang bekerja sebelumnya. Namun, hal ini juga membawa ketegangan di dalam kehidupan gereja karena ada kebutuhan akan kelenturan. Di sini ibadah rumahan kemudian menjadi pilihan untu memberi ruang terhadap kebutuhan tersebut.

Dalam konteks kehidupan organisasi, khususnya terkait peran pelayan (pendeta dan penatua), hal yang menonjol adalah peran mereka dalam penatalayanan agar kehidupan umat dapat saling terhubung dalam rangka saling menopang. Hal ini membuat para pelayan harus memiliki ketrampilan tambahan agar dalam membantu umat dalam mengupayakan kemandirian. Di sini memang ada persoalan mengingat tekanan pada tolong menolong dankemandirian membuat model ini lebih bergerak untuk penguatan internal.

(3) Model gereja yang memahami diri sebagai komunitas global. Istilah ini muncul dari tema yang menonjol dalam pergerakan GMIM sejak perubahan Tata Gereja GMIM 2016. Istilah ini berhubungan dengan dua hal, yakni pertama dengan pergumulan untuk keluar dari bingkai gereja suku yang dirasakan membuat gereja sulit bergerak menjangkau berbagai wilayah karena adanya pergerakan demografi yang tidak bisa dibendung. Kedua, berkaitan dengan soal demografi tersebut, respons terhadap landscape yang semakin majemuk dan berimbas ke dalam kehidupan gereja, dalam hal ini terkait warna religiositas umat yang semakin beragam dan persoalan tingkat kehadiran. Karena itu, gereja pada model ini melihat dunia sebagai tempat yang paling tepat untuk merumuskan ulang identitasnya dalam rangka meneruskan perbuatan Allah

Page 232: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

231Lampiran

di manapun dan kapanpun. Dengan demikian, jangkauan misi gereja adalah seluas dunia ini, baik terkait dengan pergerakan warga jemaat ke berbagai tempat maupun tempat-tempat lain yang dipandang membutuhkan pelayanan; GMIM sendiri sudah lama mengembangkan pelayanan melalui Tenaga Utusan Gereja (TUG) yang diutus ke berbagai ke gereja-gereja di dalam negeri dan luar negeri. Sekalipun demikian, upaya menjangkau warga jemaat yang mengglobal tampak menonjol. Dalam konteks seperti ini, ukuran keberhasilan misi berkaitan dengan jumlah gereja yang berhasil didirikan di berbagai tempat mengingat dunia ini dipandang sebagai ruang hidup warga jemaat yang tidak terbatas sekat teritori. Karena itu, gereja pun harus bergerak mengglobal dan merumuskan ulang identitasnya di ruang global tersebut.

Dalam kehidupan peribadahan, sentralitas Kristus menjadi penting mengingat gereja melihat perannya untuk meneruskan pekerjaan Allah di dunia. Hal ini membuat khotbah dan pengajaran menjadi penting, selain tentunya ada pengaruh dari segi denominasi gereja. Dalam bingkai ini, peran pelayan yang terlihat menonjol adalah dalam soal pengajaran dan koordinasi pelayaanan, baik dalam konteks pelayanan katagorial maupun pelayanan di berbagai tingkat pelayanan. Hal ini berjalan bersamaan dengan keteraturan organisasi dalam setiap jenjang dan dominasi para pendeta dalam berbagai posisi penting di kehidupan gereja.

(4) Model gereja yang memahami diri sebagai komunitas pemuridan. Model ini ditarik dari tema yang terlihat menonjol pada gereja-gereja yang berlatar belakang gerakan Pentakostal, dalam penelitian ini terkait dengan GBI dan GKPB. Model ini melihat gereja sebagai komunitas percaya yang dihimpun oleh karya Roh Kudus untuk menggarami dunia atau memenangi dunia bagi Kristus. Karena itu, afiliasi teritori tidak di kenal dalam model ini mengingat dunia adalah medan pemuridan.

Page 233: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

232 Prosiding

Ini juga yang membuat pertambahan umat dan pertumbuhan gereja menjadi ukuran keberhasilan misi gereja. Dalam konteks menggarami tersebut, model ini mengembangkan kelompok-kelompok sel di mana pendalaman Alkitab dilakukan dalam rangka pemuridan dilakukan.

Model ini juga ditandai dengan adanya otonomi jemaat dalam mengelola kehidupan gereja yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan iman umat dan menghasilkan murid-murid Kristus yang siap bersaksi ke berbagai tempat. Ini sekaligus menjadi peran yang menonjol dari para pelayan di jemaat. Sekalipun otonomi menjadi ciri yang menonjol, namun tetap ada hubungan komunikasi dengan persekutuan yang lebih luas, misalnya di tingkat wilayah dan sinode.

Dalam kehidupan gereja, mengingat adanya tekanan pada otonomi, para pendeta yang memiliki peran dalam merintis dan membangun sebuah jemaat; berkaitan dengan buah-buah pelayanan seorang pelayan. Hal ini membuat setiap jemaat bisa memiliki corak peribadahan dan model kepemimpinan yang berbeda-beda, tergantung pada siapa yang merintis jemaat tersebut. Alur seperti ini juga membawa kita pada ciri lain dari model ini, yakni kelenturan untuk menampung berbagai corak teologi, sekalipun tentu ada dasar-dasar ajaran yang menjadi pegangan di tingkat sinode.

Kehidupan peribadahan di dalam model ini lebih menekankan pengalaman perjumpaan individu dengan sang Kudus, dan karena itu juga praise and worship terlihat menonjol dalam kehidupan peribadahan. Posisi ini juga yang membuat tidak ada simbol yang menonjol di dalam model ini, berbeda dengan beberapa model di atas yang memperliatkan mimbar sebagai simbol yang menonjol.

Dalam konteks model ini, ada variasi lain yang memperlihatkan otonomi yang terlalu tinggi, yakni kelompok yang disebut sebagai

Page 234: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

233Lampiran

post-denominational. Variasi ini dicirikan dengan rendahnya kesadaran untuk berjalan bersama dalam persekutuan yang lebih luas (wilayah dan sinode) dan lebih menekankan hal yang bersifat inspirasional. Perkembangan variasi ini dikuatirkan semakin memperlemah fungsi dan peran persekutuan di tingkat wilayah dan sinode.

II. Laporan Wilayah

2.1 Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)

1. Pemerintahan Gereja

HKBP berdiri pada 7 Oktober 1861 sebagai hasil badan misi Rheinische Evangelische Mission (RMG) dari Jerman. Pada tahun 1952, HKBP diterima sebagai anggota The Lutheran World Federation (LWF) setelah lahirnya Konfessi HKBP 1951 yang disahkan dalam Sinode Agung HKBP, 28-30 Nopember 1951 di Sipoholon, Tapanuli Utara. Konfesi ini kemudian mengalami penyesuaian dengan lahirnya Konfessi HKBP 1996.1

Dalam Konfesi HKBP 1996, gagasan mengenai kekudusan sangat menonjol dalam pemahaman mengenai gereja; dasar kekudusan diletakkan pada Kristus yang menguduskan gereja. Dalam konteks ini, pemahaman mengenai gereja lebih ditekankan pada membawa dunia kepada kekudusan; “Gereja terpanggil mengajak manusia supaya hidup kudus, itulah kehidupan yang mau bergumul supaya lebih taat kepada Yesus Kristus daripada kepada kuasa-kuasa di dunia ini” (Konfesi HKBP 1996). Dengan kata lain, gereja menjadi instrumen untuk membawa dunia, termasuk mengawasinya, pada kekudusan yang dipahami berumber dari Kristus. Karena itu,

Page 235: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

234 Prosiding

pengajaran (pemberitaan firman) dan siasat gereja (dalam konteks pengembalaan) kemudian menjadi tanda yang terlihat menonjol dari gereja; selain pelaksanaan dua sakramen, yakni baptisan dan perjamuan kudus (Konfesi HKBP, 2000, 111). Bahkan, dalam konteks kekudusan tersebut, HKBP memiliki liturgi khusus untuk menerima kembali anggota jemaat yang dikenakan hukum siasat gereja atau Ruhut Parmahaniaon dohot Paminsangon (RPP) (Agenda, 2003, 42).2 Dalam konteks ini, teks-teks Alkitab yang digunakan untuk memahami gereja dan perannya di tengah dunia adalah teks-teks yang dipandang menekankan tuntutan kekudusan terhadap umat dan keberadaan Kristus di atas dunia yang menuntut dunia berada di bawah kekudusanNya. Di sini teks-teks seperti 1 Korintus 1:2,3 1 Petrus 2:9,4 Wahyu 1: 6,5 1 Kor. 3:16,6 Ef. 2: 227 digunakan untuk menjelaskan gereja sebagai komunitas kudus yang berperan (instrumen) membawa dunia ke dalam kekudusan kristus. Posisi seperti ini bisa dibaca bersamaan dengan gagasan yang melekat pada logo HKBP, yakni gambaran mengenai HKBP yang terikat kepada Yesus Kristus sebagai kepala gereja yang berkuasa atas bumi (Pedoman, 2011, 13). Ada 3 bidang/bangunan yang membentuk logo HKBP, yakni salib, lingkaran/bulatan dan pita. Salib menggambarkan Yesus Kristus, lingkaran/bulatan menggambarkan bumi, sedangkan pita dengan tulisan HKBP menunjukkan institusi sebagai organisasi yang utuh. Warna yang dipakai dalam logo HKBP terdiri dari warna biru laut dan warna putih. Warna biru laut menyiratkan keteduhan dan pengharapan. Warna putih mengandung makna kekudusan dan kebenaran. Secara keseluruhan, logo HKBP memvisualisasikan visi dan misi HKBP yang dengan sukacita memberitakan anugerah Yesus Kristus kepada segala mahluk di dunia ini untuk menciptakan situasi hidup baru yang teduh (Hutauruk, 2011, 198).

Dalam konteks pemerintahan gereja, sejak 1922, HKBP menempatkan Sinode Agung (Godang) sebagai pusat pengambilan

Page 236: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

235Lampiran

keputusan tertinggi; pesertanya terdiri dari Pimpinan HKBP, Praeses, pendeta resort, St. (majelis) utusan resort, utusan perempuan distrik, utusan pemuda distrik, dan anggota Majelis Pekerja Sinode (MPS). Di Sinode Agung ditetapkan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan (RIPP) 20 tahunan, Rencana Stratejik (Renstra) 4 tahunan, Tata Gereja, Konfesi, Agenda (liturgy), RPP, dan pemilihan Piminan HKBP. Sinode Agung dilaksanakan sekali dalam dua tahun (Tata Gereja, 2002, 153-154), dan ephorus memberi pertangggungjawaban di dalamnya.

Di luar Sinode Agung, ada persidangan MPS yang dilaksanakan 2 kali dalam satu tahun. MPS menyusun dan menetapkan program dan anggaran tahunan HKBP, membahas laporan kinerja Pimpinan HKBP, menetapkan konsep-konsep RIPP, Renstra, peratuan-peraturan, memilih beberapa kepala Badan yang ada di HKBP (Tata Gereja, 2002, 154-161). Program kerja yang ada implementasinya ditindaklanjuti di tingkat distrik oleh Sinode Distrik, di tingkat resort oleh rapat resort dan di tingkat jemaat oleh rapat jemaat (Hutauruk, 2011, 223).8

Sejak 2002, HKBP menganut sistem kepemimpinan kolektif dengan 5 orang pimpinan yang dipilih oleh Sinode Agung, yakni: Ephorus, Sekretatis Jenderal, Kepala Departemen Koinonia, Kepala Departemen Marturia, dan Kepala Departemen Diakonia (Tata HKBP 2002); masing-masing membawahi bidang-bidang tertentu.9 Dalam pelaksanaan, Ephoruslah yang meminpin segenap HKBP dengan dibantu oleh 4 pimpinan lainnya.

Dalam struktur organisasi, HKBP mengenal 4 aras, yakni jemaat, resort, distrik dan pusat (Hatopan).10 Pimpinan di tingkat distrik adalah Praeses yang dibantu oleh Sekretaris Distrik, Bendahara Distrik, Kepala Bidang Koinonia, Kepala Bidang Marturia, Kepala Bidang Diakonia dan Majelis Pekerja Sinode Distrik dalam penyusunan kebijakan, program dan anggaran. Pimpinan di tingkat Resort adalah Pendeta Resort yang dibantu oleh dibantu oleh Sekretaris Bendahara (Sekbend) Resort dan

Page 237: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

236 Prosiding

Majelis Resort (Parhalado Resort). Pimpinan di tingkat jemaat adalah Pimpinan Jemaat; di tingkat jemaat, HKBP hanya mengenal pendeta dan penatua, tidak ada diaken karena sudah ada diakones dengan pendidikan tersendiri.

Dalam konteks peran pelayan,11 khususnya pendeta dan penatua, peran pengajaran serta siasat gereja dan penggembalaan terlihat menonjol; di luar ini ada juga soal pelayanan sakramen dan melaksanakan pembangunan.12 Dalam liturgi penahbisan pendeta (Agenda HKBP, 2013, 44), peran pendeta ditekankan pada mengajar dan menegor kesalahan atau mereka yang sesat, meneliti warga jemaat agar hanya mereka yang layak yang bisa mengikuti Perjamuan Kudus, mencegah para penyesat, memelihara warga jemaat, pelayan harus hidup kudus (tidak bercacat). Penjelasan ini sejalan dengan tekanan yang dijelaskan sebelumnya, yakni gereja sebagai komunitas kudus yang harus membawa dunia kepada kekudusan Kristus. Untuk penjalankan peran tersebut, seorang pendeta disyaratkan telah menempuh pendidikan teologi, menghayati imannya dan mendapat rekomendasi dari Praeses dan Pendeta Resort.13

Sementara untuk penatua, liturgi penahbisan penatua (Agenda HKBP) menggambarkan peran (fungsi) penatua dalam mendorong keaktifan warga jemaat beribadah, mengunjungi mereka yang sakit dan ambil bagian daam pengumpulan dana. Menariknya, penatua juga didorong untuk berperan dalam meneliti prilaku jemaat serta membimbing para penyebah berhala dan orang-orang yang sesat. Untuk mendukung hal tersebut, penatua disyaratkan berasal dari warga jemaat yang rajin dalam peribadahan dan sakramen, dipilih oleh jemaat dan berpendidikan (minimal SMP).14

Dalam struktur organisasi, kedua jabatan ini (pendeta dan penatua) memiliki peran utama dalam pengambilan keputusan di dalam gereja. Semua posisi pimpinan aras (pusat, distrik, resort dan jemaat) hanya diisi oleh kedua jabatan ini. Hanya 1 posisi pimpinan yang bisa diisi oleh anggota jemaat (non-tahbisan), yakni posisi Kepala Departemen Diakonia. Mengenai dasar mengapa posisi ini

Page 238: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

237Lampiran

boleh diisi oleh anggota jemaat, dibutuhkan memerlukan penelitian yang lebih lanjut. Anggota jemaat hanya dimungkinkan untuk mengisi, misalnya di Majelis Pekerja Sinode, posisi Pimpinan Badan (Badan Audit, Badan Usaha, Badan Penelitian and Pengembangan, dan Unit-unit pelayanan).

HKBP memberi ruang juga bagi warga jemaat (non-tahbisan) untuk terlibat dalam pelayanan. Pelayanan non-tahbisan di HKBP ada 4 jenis, yakni: 1) pengurus Badan, Yayasan, Dewan, Seksi, Guru Sekolah Minggu, Pendamping Remaja, Organis, Dirigent Koor, dan Panitia; 2) Pelayan penuh waktu yang mempersembahkan segenap waktu dan tenaganya untuk bekerja di jemaat, dan menerima belanja penuh dari jemaat. 3) pelayan tidak penuh waktu yang mempersembahkan dirinya bekerja di jemaat dengan menyediakan sebagian dari waktu dan tenaganya, dan tidak menerima belanja dari jemaat, 4) pelayan sukarela yang mempersembahkan dirinya bekerja di Jemaat sesuai dengan waktu dan tenaganya secara sukarela, dan tidak menerima belanja dari jemaat (Tata Gereja, 2015, 31)

2. Kehidupan Liturgis Kehidupan peribadahan, sebagaimana tampak dalam Agenda HKBP (liturgi/tata ibadah), bisa dikatakan menonjolkan pengajaran dan kekudusan. Hal ini sekaligus menggambarkan bagaimana gagasan gereja sebagai komunitas kudus mengambil bentuk di dalam peribadahan. Secara umum, tata ibadah ini memiliki sejarah yang panjang, yakni berhubungan dengan penyatuan tata ibadah di Jerman yang kemudian menghasilkan buku Agende fur die Evangelische Landeskirche Preussen, yakni tata ibadah gereja-gereja di Prussia ini (Pakpahan, 2013, 5).15 Susunan tata ibadah yang ada terlihat menonjolkan soal penundukan di bawah Allah, pengenalan pelanggaran-pelanggaran, pengampunan dosa dan tuntunan untuk hidup dalam kekudusan. Urutan Liturgi Ibadah minggu di HKBP terdiri dari:16

Page 239: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

238 Prosiding

1. Nyanyian Bersama: Jemaat memasuki ruangan ibadah, kemudian memusatkan perhatian dan penyerahan diri pada kehadiran Tuhan.

2. Votum Introitus Collecta: Pernyataan kehadilan Allah dan umat sebagai persekutuan menyambut kehadiranNya. Bagian ini juga hendak menekankan bahwa persekutuan yang beribadah tersebut berada di bawah pengawasan Allah.

3. Nyanyian Bersama: Nyanyian pembukaan sesuai dengan Hari Raya Gerejani.

4. Pembacaan Hukum Tuhan: Memperdengarkan serta memahami Hukum Taurat dari Allah dengan tujuan anggota jemaat sadar akan kesalahan dan pelanggaran yang dia lakukan selama ini.

5. Nyanyian Bersama: Respons jemaat atas harapan Allah agar Tauratnya dipenuhi, karena itu isi nyanyian bersama ini berkaitan dengan Hukum Taurat.

6. Pengakuan Dosa dan Janji Tuhan tentang Pengampunan Dosa: Umat yang telah mengenal pelanggarannya melalui pembacaan Hukum Taurat tersebut menaikan doa pengampunan dosa dimana disebut doa pelanggarannya atau perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah.

7. Nyanyian Bersama: Respons jemaat atas berita pengampunan dosanya.

8. Pembacaan Firman Tuhan (Epistel): Pembacaan Alkitab berupa surat kiriman (Epistel) yang isinya mendorong berbuat baik dan bersaksi; setelah umat mengetahui pelanggarannya dan memohon pengampunan.

9. Nyanyian Bersama: Respons jemaat atas pembacaan Firman (Epistel).

10. Pengakuan Iman Rasuli: Pengampunan dan jaminan dari Allah mendorong umat untuk melakukan pengakuan iman.

11. Warta Jemaat: Informasi mengenai hal-hal yang ada kaitannya langsung dengan kehidupan jemaat dan kegiatan gereja.

Page 240: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

239Lampiran

12. Nyanyian Bersama sambil Mengumpulkan Persembahan: Respons jemaat terhadap pengakuan iman. Ini berarti umat tidak saja bersaksi melalui pengakuan iman, tetapi juga melalui pengakuan akan berkat Tuhan yang diterimanya dan kesediaan hatinya untuk memberi persembahan syukur.

13. Khotbah: Firman Allah disampaikan kepada jemaat sebagai bekal hidup, pegangan dan penuntun hidupnya. Khotbah adalah puncak atau centrum dari ibadah Minggu; segala hal dalam ibadah Minggu tidak boleh terlepas dari (nats) khotbah.

14. Nyanyian Bersama: Respons umat sesudah khotbah didengar. Lalu nyanyian bersama ini sekaligus merupakan intisari khotbah untuk dibawa pulang dihayati oleh anggota jemaat.

15. Doa dan Nyanyian Persembahan: Persembahan yang terkumpul dibawa di hadapan Tuhan (Kol. 1: 3), lalu diikuti nyanyian sambutan jemaat yang menyatakan bahwa segala hal ini boleh dipersembahkan kepada Tuhan.

16. Doa Penutup/Doa Bapa Kami: Lanjutan dari nyanyian persembahan, lalu disambung dengan Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus.

17. Doxologi: Bagian dari doa Bapa Kami dikumandangkan oleh jemaat sebagai responsnya atas seluruh karya anugrah Allah.

18. Berkat & Amin: Berkat Allah kepada umat (Bilangan 6: 24-26), jemaat meresponsnya dengan nyanyian bersama “Amin Amin Amin”, artinya kiranya benarlah terwujud sebagaimana Allah kehendaki dalam hidup ini.

Terkait pelaksanaan sakramen, HKBP mengenal dua sakramen, yaitu sakramen Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus.� Hal ini dijelaskan dalam konfesi 1951 dan 1996. Sakramen Baptisan kudus dilaksanakan kepada anak yang baru lahir, dan menjadi tanda keanggotaan dalam gereja. Sedangkan sakramen perjamuan kudus hanya dapat diberikan kepada anggota jemaat yang telah di sidi. Sakramen ini biasanya dilakukan paling sedikit sebanyak dua kali

Page 241: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

240 Prosiding

yakni pada masa perayaan Jumat Agung dan perayaan Natal. Pejelasan di atas juga menunjukan bahwa warga HKBP

adalah orang yang sudah dibaptis ke dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Semua warga HKBP harus mengetahui dan menghayati firman Tuhan, rajin memperlajarinya di rumahnya, di perguruan yang diselenggarakan HKBP, atau di perguruan lain yang tidak bertentangan dengan ajaran HKBP; mengaku iman, menghayati Pengakuan Iman HKBP, taat kepada Peraturan dan Ruhut Parmahaniaon Pamiinsangon HKBP (Siasat Gereja), namanya tertulis pada buku keluarga atau buku register Warga jemaat (Tata Gereja, 2002 (2), 31).

3. MisiSecara umum, jika dilihat dari konfesinya, setiap warga jemaat

HKBP pada dasarnya dipanggil untuk menjadi saksi Kritus dan memberitakan kabar baik (Konfessi, 2000, 113-115). Selain itu Tata Gereja 2002 menjelaskan bahwa warga HKBP wajib menjadi saksi Kristus di tengah-tengah persekutuan umum dengan menggunakan karunia-karunia yang ada pada dirinya masing-masing; berpartisipasi aktif dalam pelayanan jemat, mempersembahkan tenaga, pikiran, dan hartanya untuk pekerjaan pelayanan jemaat dengan sukacita (2 Kor. 9:7) (Tata Gereja, 2002 (2), 32). Dengan kata lain, HKBP memahami bahwa misi adalah tanggung jawab seluruh umat. Sementara soal arah dari misi, catatan yang ada dalam Tata Gereja HKBP 2002 Bab VII paling tidak memperlihatkan hal yang spesifik mengenai relasi misi dengan soal kekudusan dan tujuan HKBP. Pertama, tujuan HKBP adalah memberitakan dan menghayati firman Allah. Kedua, memelihara kemurnian pemberitaan dan pengajaran firman Allah. Ketiga, menyediakan dirinya agar menjadi kemuliaan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus (Tata Gereja, 2015, 21). Di sini terlihat tekanan pada pengajaran dan soal kemurnian, tema yang muncul di dalam pemahaman mengenai gereja dan terlihat di dalam liturgi.

Page 242: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

241Lampiran

Alur di atas bisa dibaca bersamaan dengan catatan yang ada dalam Aturan dan Peraturan HKBP 2002 (AP 2002) yang menjelaskan mengenai misi HKBP itu sendiri, yakni: 1) Beribadah kepada Allah Tri Tunggal Bapa, Anak dan Roh Kudus

dan bersekutu dengan saudara-saudara seiman. 2) Mendidik warga jemaat supaya sungguh-sungguh menjadi anak

Allah dan warganegara yang baik. 3) Mengabarkan Injil kepada yang belum mengenal Kristus dan

yang sudah menjauh dari gereja. 4) Mendoakan dan menyampaikan pesan kenabian kepada masya-

rakat dan Negara. 5) Menggarami dan menerangi budaya Batak, Indonesia, dan

Global dengan Injil. 6) Memulihkan harkat dan martabat orang kecil dan tersisih

melalui pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

7) Mengembangkan kerjasama oikoumene antargereja dan memba-ngun dialog lintas agama.

8) Mengembangkan penatalayanan (pelayan, organisasi, adminis-trasi, keuangan, dan asset) yang bersih, rapih, transparan, akuntabel dan melaksanakan pembangunan gereja.

Poin nomo 3-5 memperlihatkan kuatnya tekanan pada pengajaran dan kekudusan. Kita bisa membandingkan hal ini dengan gagasan yang terjandung di dalam logo HKBP, yakni gagasan yang menekankan posisi Kristus di atas dunia (kebudayaan). Posisi ini diikat dalam warna biru dan putih yang melambangkan pengharapan dan kekudusan.

Selain soal Logo, kita juga bisa membandingkan arah misi HKBP dengan melihat dokumen Strategi Pekabarn Injil 2011-2021, dikeluarkan oleh Departemen Marturia, yang menyebutkan adanya warna zending Eropa abad 19 dalam misi HKBP. Karena itu, misi lebih berorientasi menjangkau mereka yang belum menjad Kristen;

Page 243: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

242 Prosiding

argumentasinya terletak pada pemahaman mengenai Matius 28: 19-20. Atas dasar itu, misi difokuskan untuk menjangkau suku-suku bangsa di daerah tertentu yang belum menjadi Kristen.

Dalam sejarah HKBP, tercatat pelayanan PI HKBP di suku Mentawai di pulau Mentawai, suku Melayu di pulang Enggano (Sengol, Malaysia Barat), suku Akit di Bengkalis dan pulau Rupat, suku bangsa Batak Toba yang masih menganut Parmalim di Parhitean dan Panamean Sampuara (Toba Samosir, Janji Marapot), suku Jawa di Medan, Palembang dan Pangkalan Lunang Tanjung Leidong, warga transmigran di Pasir Pangarayan, Airmolek, Rengat (Indragiri, Riau). Program PI HKBP di Pulau Mentawai menjadi cikal bakal berdirinya Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM). Di Pulau Enggano telah berdiri Gereja PKPE dan di daerah Medan berdiri Gereja Kristen Jawa (GKJ) tetapi secara struktural berada dalam naungan HKBP. Di sini terlihat bahwa misi HKBP lebih bergerak ke arah mewartakan Injil dan membangun gereja di antara suku bangsa dan daerah yang belum percaya kepada Kristus. Pengutamaan PI eksternal di HKBP tercermin pola dari slogan Tahun Marturia HKBP 2008, yakni: “boan sadanari tu jesus” – ‘bawa satu lagi kepada Yesus’ (Strategi PI, 2011, 2-3).

Sejak Tata Gereja 2002 program bidang Misi HKBP dilaksanakn langsung oleh Kepala Departemen Marturia. HKBP juga memiliki biro pekabaran injil yang bertugas untuk melakukan pekabaran injil ke luar (zending). Beberapa wilayah yang pernah menjadi wilayah misi HKBP antara lain: Mentawai (Sumatera Barat), Enggano (Bengkulu), Bengkalis (Riau) (Kantor Pusat, 2008, 125-142).

Menurut laporan kepala Departemen Marturia 2012 -2016, Pdt. Marolop Sinaga M. Th, HKBP telah menjalin kerjasama secara formal dengan Evangelism Explosion (EE) internasional; program penginjilan yang dekant dengan kelompok Injili. Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa pada periode beliau, HKBP telah secara resmi menggunakan metode EE. Memorandum of Understanding

Page 244: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

243Lampiran

Page 245: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

244 Prosiding

(MOU) ditandatangani pada tanggal 4 April 2013 di Rapat MPS. Karena itu, dalam laporan pelayana Kepala Departemen Marturia 2012-2016 hampir seluruhanya berisi laporan tentang proram EE yang dilakukan Biro Zending dan Biro Outreach (Kantor Pusat-Marturia, 2016. 23).

Hal lain yang juga bisa diperhatikan dalam kaitan dengan gerak ekspansi HKBP, khususnya terkait pertumbuhan gereja-gereja HKBP di luar Sumatera, adalah aktivitas merantau suku Batak yang di mana budaya batak juga dibawa ke daerah perantauan. Suku Batak merupakan bangsa karena keadaan dipaksa berimigrasi karena daerah tempat tinggal mereka tidak subur dan tidak dapat menghidupi mereka. “Kemana orang Batak pergi, dia akan membawa serta agama dan istiadatnya”, demikianlah ucapan banyak orang asing yang mengenal orang-orang batak di rantau (Andar, 1995, 125).

Page 246: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

245Lampiran

2.2 Gereja Kalimantan Evangelis (GKE)

1. Pemerintahan Gereja GKE merupakan gereja yang

lahir dari aktivitas misi Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) yang kemudian diteruskan oleh Basel Mission. Pada 1935, gereja ini berdiri dengan nama Gereja Dayak Evangelis di mana nama identitas yang terlihat menonjol. Di kemdian hari, 1950, namanya berubah menjadi Gereja Kalimentan Evangelis (GKE). Di sini istilah etnis diganti dengan wilayah, dan ini terjadi tidak lepas dari pengaruh nasionalisme dan gerakan keesaan gereja yang ikut mewarnai pergumulan di tubuh gereja. GKE kemudian lebih memosisikan diri sebagai gereja wilayah di mana Kalimantan menjadi basis pelayanannya. Dalam Tata Gereja sebelum perubahan, GKE ditegaskan hanya berada di Kalimantan dan tidak diperkenankan keluar dari wilayah tersebut.18

Perkembangan situasi yang ada membuat terjadinya perubahan di dalam pemahaman diri GKE di mana wilayah di luar Kalimantan juga menjadi bagian dari lokasi pelayanan GKE. Ini tertuang di dalam Tata Gereja (Tager) GKE 2015 di mana ditegaskan bahwa “GKE adalah persekutuan jemaat-jemaat yang ada di pulau Kalimantan, dan di tempat lain di Indonesia”.19 Perubahan ke arah ini sudah mulai menggumpal pada sidang sinode 2005 di mana muncul tuntutan dari peserta sidang agar GKE mengubah Tagernya agar pelayanan GKE bisa bergerak ke luar wilayah Kalimantan. Kegelisahan ini kemudian mendapat persetujuan dalam sidang sinode 2010 di Pontianak.

Pergeseran demografi yang diikuti dengan ekspansi gereja ke Kalimantan dan juga pergerakan warga jemaat ke luar Kalimantan menjadi pergumulan di dalam GKE. Apalagi, di lokasi tertentu di

Page 247: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

246 Prosiding

Kalimantan, GKE merasa kehilangan warga jemaat akibat ekspansi gereja tertenu ke wilayah tersebut. Hal inilah yang mendorong GKE untuk memperluas wilayah pelayanannya ke luar Kalimantan, dan ini terjadi dalam di era otonomi daerah yang diwarnai oleh ledakan politik identitas dan pergeseran demografi yang berjalan bersamaan dengan realitas politik dan ekonomi yang terjadi di era tersebut.

Dalam pembacaan GKE, kondisi yang ada tidak memungkinkan lagi untuk tetap bergerak dengan pemahaman kesatuan wilayah Pelayanan dalam bingkai teritori. Sekalipun demikian, logo GKE tetap memperlihatkan posisi Kalimantan sebagai basis dari kelahiran dan perkembangan GKE. “Makna historis lambing GKE: GKE lahir, hidup dan melayani di pulau Kalimantan sebagai pusat GKE. GKE menjadi bagian dari sejarah Kalimantan. Pengakuan ini dituangkan dalam bentuk pulau Kalimantan dan tahun lahirnya GKE di Kalimantan”,20 demikian bunyi penjelasan pulau di dalam logo GKE. Sekalipun unsur Kalimantan menonjol di dalam logo tersebut, namun kesadaran untuk memberitakan Injil sampai ke ujung bumi ditampilkan dngan salib. Hal ini menjadi menarik apabila dibaca bersamaan dengan keinginan GKE, sebagaimana tertuang dalam visi GKE 2015-2040,21 untuk memahami dirinya sebagai gereja yang misioner. Dengan kata lain, di dalamnya terdapat kesadaran untuk memahami dirinya tidak terikat dalam batas teritori tertentu. Visi 2015-2020 itu sendiri disusun setelah GKE menempatkan wilayah pelayanannya tidak hanya terbatas di wilayah Kalimantan.

Dalam Garis-Garis Besar Tugas Panggilan (GBTP) GKE 2015-2040, terekam pergumulan GKE untuk menjadi gereja yang Mandiri di tengah politik identitas, maraknya politik uang, tergerusnya nilai-nilai sosio-budaya masyarakat dan sejumlah masalah di lembaga-lembaga pendidikan milik GKE. Kenyataan ini membuat istilah “tolong menolong”, dalam kehidupan GKE, dipandang menonjol. Apalagi, realitas internal GKE juga menunjukan bahwa berbagai resort yang tidak memiliki kondisi ekonomi yang tidak seragam,

Page 248: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

247Lampiran

bahkan dipandang ada yang timpang. “Tolong menolong” kemudian menjadi kata kunci dalam beberapa tahun belakangan untuk mendorong kemandirian.

Secara umum, GKE tersusun dari sinode, resort dan jemaat. Di tingkat jemaat, terdapat empat jabatan, yakni penatua, daikon, penginjil dan pendeta. Di luar ini terdapat resort, dipimpin oleh majelis resort, yang bertugas untuk mengawasi kehidupan pelayan dan jemaat di wilayahnya dan mengurusi hal-hal eksternal yang terkait dengan pemerintah setempat dan lembaga-lembaga yang ada di wilayah resort tersebut. Sementara sinode bertanggung jawab atas pengawasan dan evaluasi kehidupan jemaat, resort, yayasan dan lembaga-lembaga yang berada dalam lingkup GKE.

GKE memahami corak pemerintahan gerejanya dalam bingkai sinodal-presbiterial. Ini memang unik, namun rumusan ini hendak menekankan posisi penting para utusan gereja dalam menjalankan roda kehidupan gereja. Dengan kata lain, penatalayanan kehidupan gereja bertumpu pada orang-orang pilihan yang berada di level sinode sampai jemaat. Sebagai contoh, posisi ini terlihat dalam pengaturan pendeta di mana peran sinode terlihat menonjol dalam menempatkan maupun memindahkan wilayah pelayanannya. Termasuk di dalamnya, menjatuhkan sangsi terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang, seperti persoalan moral atau masalah penyimpangan ajaran.

Keberadaan pendeta di tengah umat umumnya berperan dalam rangka pemeliharaan umat dalam bingkai tolong menolong. Ini menunjukan adanya kebutuhan internal di mana jemaat-jemaat dalam bingkai resort dapat saling menopang untuk mendorong kemandirian gereja; biasanya terkait dukungan sarana yang dibutuhkan pelayanan pendeta dan jemaat. Penekanan ini sekaligus menjadi menjadi ciri khas yang dipandang menonjol dalam pergumulan GKE saat ini. Para pendeta itu sendiri diharuskan memiliki latar belakang pendidikan teologi dan mengikuti pelatihan yang diadakan GKE untuk menjawab kebutuhan riil di tingkat

Page 249: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

248 Prosiding

jemaat, seperti pengetahuan mengenai pertanian misalnya. Ini menjadi kriteria utama yang harus dimiliki untuk menjadi pendeta, selain tentunya juga persoalan moral.

Dalam konteks pergumulan ajaran, GKE memberikan ruang bagi warga jemaat untuk ikut berpartisipasi, yakni melalui berbagai seminar ajaran yang dilakukan komisi teologi. Hasil seminar tersebut kemudian dibawa ke dalam Raker majelis sinode yang di dalamnya juga terdapat warga jemaat; posisi ketua (ada 3 ketua dalam kepengurusan sinode), sekretaris dan bendahara semuanya diisi oleh anggota jemaat. Setelah itu, hasil Raker akan dibawa ke sidang sinode yang di dalamnya juga ada keterlibatan warga jemaat.

2. Kehidupan Liturgis Dalam kehidupan peribadahan, GKE memperlihatkan

kemiripan dengan gereja-gereja yang ada, yakni menonjolkan susunan ibadah yang teratur dengan pengajaran (khotbah) dipandang sebagai hal yang sentral. Ini juga yang membuat mimbar terlihat menonjol di tengah dan sekaligus memperlihatkan pengaruh tradisi Reformed yang juga ikut membentuk gereja ini, selain RMG tentunya.

Dalam perjalanan, pola peribadahan seperti ini menimbulkan perdebatan di tengah kehidupan gereja. Ada kelompok-kelompok yang menginginkan GKE lebih fleksibel dalam pelaksanaan ibadah. Hal ini tentunya bisa dibaca dalam konteks GKE yang juga bergumul dengan pengaruh Evangelism Explosion (EE) yang mengedepankan penginjilan dalam rangka membawa jiwa-jiwa pada Kristus. Pergumulan ini paling tidak bisa terlihat dari diberi ruang kesaksian dalam susunan ibadah Pemuda, remaja, pelayanan perempuan dan rumah tangga.� Selain itu, GKE juga mencoba ibadah rumah tangga yang lebih menonjolkan doa dan sharing pengalaman. Model ini diambil dari model ibadah serupa di Korea Selatan untuk mengembangkan jemaat rumahan di lingkup palayanan GKE. Sebelumnya, ibadah rumah tangga lebih merupakan foto

Page 250: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

249Lampiran

kopi ibadah minggu. Tuntutan akan perlunya kelenturan dalam ibadah membuat GKE kemudian melihat model ibadah rumahan yang mengedepankan doa dan sharing sebagai respon atas tuntutan kelenturan tersebut. Dengan demikian, pada ibadah umum hal yang mendapat penekanan adalah keteraturan, sementara dalam ibadah rumahan ada tempat bagi hal-hal yang sifatnya personal, yakkni mealui doa dan sharing.

Sebagaimana gereja-gererja lain, GKE hanya mengenal dua sakramen, yakni baptisan dan perjamuan kudus, dan baptisan menjadi tanda keanggotaan seseorang di dalam jemaat. Perjamuan kudus biasanya dilaksanakan setahun 4 kali, mengikuti tradisi yang sudah lama berkembang, sementara dan ini artinya pelaksanaan baptisan bisa lebih banyak dibandingkan perjamuan kudus.

3. Misi Dalam konteks pergumulan GKE akan kemandirian, persoalan topang menopang, sebagaimana disebutkan sebelumnya, mendapat perhatian dan menjadi ciri khas yang menonjol dalam bergereja. Dalam pengamatan yang ada, hal ini juga yang terlihat menonjol dalam pelaksanaan misi. Dengan demikian, tekanan untuk merespons persoalan internal GKE membuat fokus misi diarahkan untuk membangun kemandirian melalui saling menopang antar-resort di GKE.

Dalam konteks “topang menopang” ini, ukuran misi kemudian berkaitan dengan tercapainya dukungan lintas GKE yang semakin memperkuat pelayanan GKE. Posisi ini membuat aktivitas misi lebih bekaitan dengan berbagai dukungan dalam rangka memperkuat kemandirian GKE. Alur ini rasanya bisa dibaca secara bersamaan dengan visi GKE 2015-2040 di mana istilah “GKE yang misioner” dikaitkan dengan kondisi warga GKE yang makin bertumbuh dan berbuah. Di dalam GBTP GKE 2015-2040, terdapat sorotan terhadap tantangan di wilayah ketidakadilan, kemiskinan,

Page 251: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

250 Prosiding

intoleransi dan berbagai kekerasan sebagai tantangan, persoalan layanan pendidikan dan kesehatan, serta pembenahan internal organisasi GKE. Ini membuat misi GKE memberi penekanan pada penguatan daya dukung GKE dalam rangka mendorong pertumbuhan jemaat, sebagaimana tertuang dalam GBTP. Dalam konteks ini juga, pengamatan terhadap upaya “topang menopang” dipandang akan memperkuat kemandirian GKE. Apalagi, pertama, GKE sejak 1980an menghadapi pengurangan bantuan luar negeri yang selama ini membantu operasional GKE. Kedua, kondisi ekonomi antar-resort yang tidak merata. Ketiga, GKE membutuhkan dukungan dalam rangka perluasan wilayah pelayanan yang sejak 2010 diputuskan tidak dibatasi oleh teritori Kalimantan. Pengalaman di lapangan menunjukan bahwa upaya “topang menopang” lintas resort, dalam rangka mendorong kemandirian, dirasakan sangat membantu perluasan wilayah pelayanan GKE. Di luar ini, GKE juga bergumul dengan EE yang mempengaruhi kehidupan jemaat dengan tekanan pada memenangkan jiwa-jiwa. Hal ini membawa pro dan kontra dalam kehidupan GKE. Karena itu, persoalan ini kemudian direspons dengan memunculkan apa yang disebut Pemberitaan Kabar Baik (PKB). Sebuah istilah yang digunakan menggantikan EE, namun tetap berada dalam persinggungan dengan EE. Dengan kata lain, istilah PKB merupakan penggantian nama terhadap istilah EE dengan muatannya lebih pada pembinaan ke dalam; sesuatu yang dipandang sudah berkembang juga di dalam GKE. Perkembangan ini nampaknya bisa dibaca juga secara pararel dengan ungkapan “tolong menolong” mengingat ada persinggungan dengan penguatan internal di dalam GKE.

Page 252: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

251Lampiran

2.3. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM)

1. Pemerintahan Gereja GMIM merupakan gereja yang kelahirannya tidak lepas dari karya badan zending Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang bekerja melalui karya dua orang misionaris, yakni Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwarz pada tahun 1930-an. Dikemudian hari, setelah wilayah Minahasa dikebalikan kepada Indische Kerk dan berkembangnya semangat kemandirian, jemaat-jemaat yang lahir dari aktivitas zending kemudian membentuk sinode pada September 1934 dengan nama Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Sebagai yang lahir dalam konteks lokal di Minahasa, GMIM dari awal pendiriannya melihat panggilan Tuhan sebagai dasar bagi karyanya di tanah Minahasa, yang kemudian teraktualisasi dalam pelayanan pendidikan, kesehatan dan sosial. Jejak-jejak ini masih bisa dilihat dalam pemahaman diri GMIM yang kini tertuang di dalam Tata Gereja 2016 (Tager 2016), yakni melihat karya Allah sebagai dasar bagi karya GMIM. Namun, sejak tager 2016, karya GMIM tidak dibahasakan di tanah Minahasa, namun juga di luar Minahasa bagi berbagai macam suku; “sebagai persekutuan orang-orang Minahasa dan suku-suku lain serta ras-ras lain, yang ada di Tanah Minahasa dan di luar Tanah Minahasa yang percaya kepada Yesus Kristus.” Persekutuan ini adalah “untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar Tuhan Allah dan menjadi berkat bagi orang banyak di mana pun dan kapanpun” (Tager 2016, Tata Dasar Bab I Nama dan Bentuk Gereja Pasal 1 tentang Nama Gereja). Ini tentunya memperlihatkan pergeseran dari pemahaman sebelumnya, yakni pada Tager 1970 dan 1981 di mana disebutkan: “Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) adalah persekutuan jemaat-

Page 253: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

252 Prosiding

jemaat di tanah Minahasa (yang ditetapkan dengan Beslit Sinode).” Tata Gereja 1990 redaksinya sedikit berubah tetapi substansi tetap sama: “Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) adalah persekutuan jemaat-jemaat di tanah Minahasa (yang ditetapkan dengan Beslit Sinode).” Sampai pada Tata Gereja 1999 dan 2007 serta adendumnya tahun 2012, rumusan mengenai wujud dan bentuk GMIM tersebut secara kongkrit menegaskan, bahwa jemaat-jemaat GMIM hanya ada di Tanah Minahasa.23 Pergeseran ini tidak lepas dari gerak demografi masyarakat Minahasa ke berbagai tepat yang diikuti dengan kebutuhan untuk merumuskan identitas gereja dalam konteks global; tidak terikat pada identitas suku. Gerak keluar yang berlangsung di GMIM bisa dibaca secara bersamaan dengan teka Alkitab yang digunakan GMIM dalam merumuskan dirinya, umumnya teks-teks yang dipandang bermakna misioner. Beberapa teks Alkitab yang dipahami berdimensi misioner menjadi rujukan atau dasar untuk mendefinisikan GMIM. Teks-teks tersebut adalah: Kej. 12:1-3; 1 Pet. 2:9, 10; Kis. 1:8; I Kor. 9:16; Mat. 28:19-20; Luk. 4:18-21. Dalam perumusan di TG 2016 terutama bagian penjelasan untuk pasal 1 disebutkan bahwa “GMIM adalah hasil pekabaran Injil di Tanah Minahasa. Oleh karena Injil telah melekat di dalam GMIM, maka GMIM bertugas memberitakan Injil ke seluruh dunia kaena memiliki karakteristik esa, kudus, am, rasuli dan universal. (Band. Kej. 12:1-3; 1 Pet. 2:9, 10; Kis. 1:8; I Kor. 9:16; Mat. 28:19-20; Luk. 4:18-21). Selain teks-teks di atas, menarik juga menyandingkan gerak misioner tersebut dengan gagasan yang ada dalam logo GMIM, yakni menonjolkan sentralitas Kristus sebagai dasar persektuan, kesaksian dan pelayanan GMIM, sekaligus memperlihatkan gagasan gereja yang misioner; gereja yang lahir di tanah Minahasa dengan pelayanan yang menjangkau dunia. Adapun berbagai komponen yang ada pada logo GMIM dapat dijelaskan sebagai berikut:a. Burung Manguni melambangkan “Gereja di tanah Minahasa”.b. Warna coklat tua pada gambar burung Manguni melambangkan

Page 254: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

253Lampiran

dewasa dan mandiri, mencirikan kehidupan berjemaat dalam GMIM.

c. Mawar yang ditempatkan di jantung burung manguni melambangkan Reformasi. Simbol ini melambangkan Yesus Kristus sebagai Pokok Pembaharu Gereja dan telah digunakan dalam Gereja Reformasi sejak abad ke-16.

d. Bulatan berwara biru di dada melambangkan bahwa sebagai gereja, GMIM di utus ke dalam dunia, sedangkan warna hitam pada salib di tengah hati (jantung) berwana berwarna merah melambangkan pengorbanan Kristus yang menjiwai persekutuan, kesaksian dan pelayanan GMIM.

e. Warna biru laut melambangkan bahwa GMIM akan tetap menghadapi pergumulan kecil dan besar, sedangkan warna putih melambangkan kekudusan dan kebenaran Injil Yesus kristus.

f. Bulan September dalam mana GMIM berdiri sendiri dilambangkan pada sembillan helai sayap luar, tanggal peresmian 30 tergambar pada lima kelopak daun dan ujung meruncing yang melingkar jantung, sedangkan tahun 1934 adalah jumlah keseluruhan helai sayap.

g. Pada bagian ekor terdapat masing-masing sepuluh ranting yang menggambarkan keadaan sepuluh wilayah palayanan GMIM disaat berdiri sendiri, yang terdiri dari sepuluh klasis dan tetap akan berkembang. Klasis-klasis itu adalah: Manado, Maumbi, Tomohon, Tondno, Langowan, Sonder, Ratahan, Amurang, Motoling, Airmadidi dan Manado Kota.

h. Keenam ujung tombak yang mengarah ke bawah melambangkan keenam distrik di Minahasa pada waktu GMIM berdiri sendiri, yakni distrik-distrik: Tonsea, Manado, Toulour, Kawangkoan, Amurang, Ratahan, dalam mana pelayanan GMIM dijalankan.

i. Tulisan Gereja Masehi Injili di Minahasa, menyatakan bahwa GMIM hanya berada di tanah Minahasa, walaupun

Page 255: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

254 Prosiding

pelayanannya menjangkau seluruh dunia dan warna hitam pada tulisan itu menyatakan solidaritas sampai akhir.

Dalam konteks kelembagaan, GMIM memahami bentunya dengan rumusan: “Gereja Masehi Injili di Minahasa ialah penjelmaan keesaan seluruh anggota Gereja yang tersusun atas jemaat, Wilayah dan Sinode (Tager 2016, Pasal 2). Dan di sini, sistem pemerintahan yang dianut adalah presbyterial sinodal24 yang menekankan makna berjalan bersama. Artinya, kepemimpinan di GMIM, termasuk dalam hal hal pengambilan ketetapan dan keputusan, dijalankan secara musyawarah untuk mufakat oleh para presbiter pada persidangan di semua aras (Penjelasan BAB III Sistem dan Struktur Gereja Pasal 8 Sistem Gereja). Hal ini sekaligus menjadi ciri khas yang menonjol dari GMIM, yakni aspek organisatorisnya yang kuat. Sebagai gereja tua di Tanah Minahasa, ciri-ciri hirarki di GMIM sangat kuat.25 Hal lain yang memungkinkan GMIM menonjol dengan aspek hirarki dalam organisasinya adalah keberadaan GMIM yang mayoritas di Tanah Minahasa dan Sulawesi Utara, dengan jumlah wilayah sebanyak 115; jemaat sebanyak 951 dengan 10.229 kolom (kelompok terkecil pelayanan GMIM di jemaat yang beranggotakan sekitar 20-30 kk). Struktur GMIM ditata dalam tiga aras yakni: Jemaat, Wilayah dan Sinode. Pada aras Jemaat, keberadaan Jemaat dirumuskan sebagai persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus yang menyatakan dirinya sebagai anggota GMIM di suatu tempat tertentu dan patuh pada Tata Gereja. Kelengkapan pelayanan adalah Majelis Jemaat sebagai wadah berhimpun Pelayan Khusus di jemaat yang memiliki tanggung jawab organisatioris dan berwujud dalam Sidang Majelis Jemaat. Sidang ini dipimpin oleh Ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat (BPMJ) yang adalah seorang pendeta yang ditetapkan dan ditempatkan oleh Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS); Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Anggota BPMJ adalah pelayan khusus/penatuan dan syamas serta guru agama.

Page 256: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

255Lampiran

BPMJ adalah Penanggung jawab pelaksanaan keputusan-keputusan sidang gerejawi. Aras Wilayah adalah persekutuan sejumlah jemaat dalam lingkungan tertentu di teritorial pelayanan GMIM. Wadah berhimpun pelayan khusus perutusan jemaat adalah melalui Badan Pekerja Majelis Wilayah (BPMW) dan nampak dalam Sidang Majelis Wilayah. BPMW adalah juga kelengkapan pelayanan di aras wilayah yang melaksanakan kepemimpinan GMIM di wilayah tersebut. Ketua BPMW adalah seorang pendeta yang ditetapkan dengan surat keputusan oleh BPMS; wakil ketua, sekretaris, bendahara dan ketua-ketua komisi pelayanan ketegorial adalah pelayan khusus. Aras Sinode adalah persekutuan jemaat-jemaat yang dihimpun dalam wilayah-wilayah yang menampakkan kebersamaan GMIM. Majelis Sinode adalah wadah berhimpun pelayan khusus perutusan jemaat, wilayah dan Badan Pekerja Majelis Sinode yang terwujud dalam Sidang Majelis Sinode. Sidang Majelis Sinode adalah persidangan anggota Majelis Sinode sebagai pengambil keputusan tertinggi. Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) adalah pelaksanan ketetapan dan keputusan Sidang Majelis Sinode, sebagai alat kelengkapan pelayanan yang melaksanakan kepemimpinan GMIM atas mandat Majelis Sinode (Tata Dasar Bab IV Pasal 18). Berbagai posisi seperti Ketua BPMS, Sekretaris, Wakil Ketua untuk bidang Ajaran, Pembinaan dan Pengembalaan, Wakil Ketua Bidang Hubungan Kerjasama umumnya diisi oleh pendeta. Hal ini sekaligus memberikan gambaran mengenai posisi pendeta yang tampak dominan dalam organisasi GMIM. Para pemimpin mulai dari tingkat jemaat, wilayah hingga sinode, sebagai ketua ditempati oleh pendeta sesuai dengan ketentuan Tager; demikian juga dalam soal ajaran. Dominasi para pendeta semakin diperkuat dengan berlakunya Tager 2007 dan Tager 2016 di mana Sidang Majelis Sinode sebagai pengambilan keputusan tertinggi didominasi oleh pendeta yang mengisi puncak dalam hirakhi GMIM.

Page 257: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

256 Prosiding

Warga jemaat biasanya menempati jabatan-jabatan gereja seperti penatua dan syamas.Di tingkat sinode, warga jemaat yang terpilih sebagai Pelsus, terutama penatua dan Syamas, berhak menempati posisi Wakil Ketua Bidang Pengembangan Sumber Daya, Wakil Sekretaris untuk tugas-tugas khusus; bendahara, wakil bendahara, ketua-ketua komisi pelayanan kategorial (anak, remaja, pemuda, wanita/kaum ibu, pria/kaum bapa). Dalam kehidupan organisasi, GMIM mengenal yang namanya Pelayan Khusus (Pelsus), yakni: pendeta, penatua, syamas dan guru agama. Pelsus adalah anggota sidi jemaat yang menerima panggilan Yesus Kristus, melalui pemilihan dan pemberian diri, untuk melaksanakan pelayanan Gereja. Tugas pendeta yang menonjol adalah pelayanan firman, pengajaran dan sakramen (baptisan dan perjamuan kudus). Namun, secara khusus pendeta yang ditempatkan oleh BPMS di Jemaat dan Wilayah juga berperan sebagai pemimpin organisasi, yaitu sebagai Ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat dan Badan Pekerja Majelis Wilayah. Peran yang menonjol dari penatua adalah sebagai koordinator pelayanan di tingkat kolom, koordinator pelayanan untuk kelompok pelayanan kategorial anak, remaja, pemuda, kaum ibu dan pria kaum bapa. Penatua yang terpilih menjadi Majelis Jemaat juga berperan sebagai kolega ketua jemaat untuk tugas-tugas organisasi. Untuk mendukung aktivitas pelayanan gereja, GMIM menekankan pentingnya kekudusan diri sebagai syarat penting bagi para pelayan; didasarkan pada teks I Tim. 3:1-13 dan Titus 1:5-9. Hal ini tampak pada petunjuk pelaksanaan pemilihan Pelsus dan juga Tager. 2. Kehidupan Liturgis

Dalam kehidupan peribadahan, GMIM memahami ibadah sebagai bentuk panggilah gereja – sebagai satu kesatuan dalam keseluruhan panggilan gereja – untuk bersekutu, bersaksi, melayani dan membaharui untuk hidup dalam ketaatan dan kekudusan

Page 258: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

257Lampiran

sebagai perwujudan dari proses hidup baru. Dalam konteks ini, pertumbuhan iman dan ketaatan (bentuk ungkapan syukur) menjadi ciri yang menonjol dalam kegiatan peribadahan di GMIM. Kita bisa membandingkan hal ini dengan teks-teks Alkitab yang dipakai untuk memahami peribadahan itu sendiri, yakni teks-teks yang menekankan ketaatan dan sentralitas Kristus; Yer. 31, Gal. 5, Kol. 3, 1 Pet. 1:14-16. Pola peribadahan di GMIM mengacu dari Tata Ibadah yang dikeluarkan oleh BPMSyang bentuknya seperti susunan tata ibadah gereja-gereja protestan pada umumnya, yakni dimulai dari votum, salam, pengakuan dosa dan pemberitaan anugerah Allah, pemberitaan firman, persembahan, berkat dan penutup. Dalam alur ini, kotbah dan pengajaran adalah hal yang menonjol atau menjadi sentral dalam kehidupan peribadahan. Ini sejalan dengan tekanan GMIM pada ketaatan dan sentralitas Kristus. Beberapa tahun terakhir ini beralangsung apa yang diistilahkan dengan Seminar Dunanis Project yang umumnya dihadiri oleh pendeta dan Pelsus. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong pemahaman dan pengalaman akan kerja Roh Kudus. Di sini tampak ada aspek internal dalam peribahan, namun apa yang terlihat menonjol dalam ibadah-ibadah jemaat adalah partisipasi dalam ritual, berupa kehadiran dalam persekutuan untuk memahami iman secara lebih luas dalam dimensi sosial dan kulturalnya. GMIM mengenal dua sakramen, yakni Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. Baptisan Kudus dilakukan dengan cara percik, penekanan pada baptisan anak-anak dan berlaku satu kali seumur hidup (TG 2016 Bab XII, pasal 42:4). Sakramen ini juga menjadi tanda dari keanggotaan seseorang di gereja, selain tentunya ada keharusan mengikuti sidi dan tercatat sebagai salah satu anggota jemaat GMIM. Baptisan Kudus dilaksanakan sesuai dengan permintaan orang tua/warga gereja yang bersangkutan. Sementaa untuk Perjamuan Kudus, dilaksanakan dalam rangka memperingati

Page 259: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

258 Prosiding

dan merayakan karya penyelamatan Yesus Kristus.Sakramen Perjamuan Kudus dilaksanakan mengikuti tahun gerejawi, seperti Jumat Agung, Hari Pekabaran Injil GMIM, Perjamuan Kudus se-Dunia, Minggu-minggu Advent dan dalam persidangan-persidangan gerejawi.

3. Misi Pemahaman GMIM mengenai misi gereja ditekankan pada meneruskan karya Allah dan bergerak melmpaui batas-batas geografis dan suku. Hal ini tertuang dalam Tager 2016 yang berbunyi: “Gereja Masehi Injili di Minahasa....adalah persekutuan orang-orang Minahasa dan suku-suku lain serta ras-ras lain, yang ada di Tanah Minahasa dan di luar Tanah Minahasa yang percaya kepada Yesus Kristus untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar Tuhan Allah dan menjadi berkat bagi orang banyak di mana pun dan kapanpun.” GMIM melihat dirinya sebagai gereja yang lahir dari hasil pekabaran Injil di Tanah Minahasa. Kesadaran ini membuat GMIM membaca misi dalam konteks Pekabaran Injil sebagai sesuatu yang melekat dengan dirinya. Dan karena itu, GMIM memiliki tanggung jawab untuk bergerak ke seluruh dunia, melampaui batas geografis dan suku, dalam konteks misi tersebut; bdk. Kej. 12:1-3; 1 Pet. 2:9, 10; Kis. 1:8; I Kor. 9:16; Mat. 28:19-20; Luk. 4:18-21. Itu berarti GMIM meluas secara geografis dan terbuka bagi orang-orang percaya dari berbagai latarbelakang sosial, budaya untuk menjadi anggota di salah satu jemaat GMIM.” Perubahan Tager GMIM yang menghasilkan Tager 2016 memperihatkan misi GMIM yang oleh pimpinan gereja/sinode disebut ‘eklesiologi global’. Tujuannya adalah untuk menjangkau warga GMIM di luar Tanah Minahasa dengan cara mendirikan jemaat-jemaat GMIM atau perluasan organisasi. Hal ini juga yang menjadi ukuran keberhasilan misi GMIM, yakni bertambah

Page 260: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

259Lampiran

banyaknya jemaat-jemaat GMIM di luar Tanah Minahasa. Teks Alkitab yang sering digunakan untuk menggambarkan misi ini adalah Matius 28:19,20; Mrk. 16:15; Kis. 1:8. Hal ini juga bisa dilihat dalam kaitan dengan relasi gereja dengan dunia mengingat pengakuan iman GMIM, yang ditetapkan pada Sidang Majelis Sinode Istimewa Mei 2016, terlihat menonjolkan sentralitas Kristus di atas dunia. Rumusan yang ada dalam pengakuan iman tersebut adalah sebagai berikut:

a. Bahwa Allah telah menciptakan alam semesta dan segala isinya dengan sungguh amat baik (Kej. 1-2). Allah adalah pemelihara ciptaan-Nya itu.

b. Bahwa oleh kasih-Nya yang begitu besar kepada dunia ini, Allah menyelamatkan manusia dan seluruh ciptaan-Nya di dalam dan melalui Yesus Kristus, maka Dia disebut Putera, ka-rena DIA telah mewujudkan kasih Bapa itu (Yoh. 3:16; Ibr. 1:1-2; Fil. 2:7-11).

c. Bahwa Allah hadir dan berkarya di dalam dunia dan Gereja-Nya melalui Roh Kudus yang menguduskan, menghidupkan, me-nyertai, membaharui, mempersatukan, menertibkan, menguatkan, meneguhkan, menghibur serta memberi kuasa kepada Gereja-Nya (Yeh. 37; Yoh. 16:8-11, 13; Kis. 1:8; Rm. 8:1; 1 Kor. 12:7, 12; 14:26, 33; Ef. 3:16-17; 4:3-4; 2 Tim. 1:7).

d. Bahwa Allah memanggil dan mengutus manusia untuk menunaikan tugas bersama dalam mengelola, menata dan memeliharan alam ciptaan-Nya secara bertanggung jawab (Kej. 2:15; Mzm. 104:8).

e. Bahwa Allah memberikan tanggung-jawab, kewenangan dan kemampuan agar manusia sanggup mengelola alam semesta serta isinya dengan berpikir dan bertindak sesuai kehendak Allah demi keutuhan ciptaan-Nya (Kej. 2:15-16).

Page 261: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

260 Prosiding

2.4 Gereja Bethel Indonesia (GBI)

1. Pemerintahan Gereja

Gereja Betel Indonesia (GBI) merupakan gereja Pentakostal yang kelahirannya tidak lepas dari masuknya Gerakan Pentakostal pada 1919-1923 yang kemudian, salah satunya, menghasilkan Gereja Pentakosal di Indonesia (GPdI). Dari GPdI inilah muncul GBI yang pada 1972 mendapat pengakuan resmi dari pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 41 tanggal 9 Desember 1972; pengakuan sebagai Kerkgenootschap (badan hukum gereja) di Indonesia.26

Sebagai gereja yang lahir dari sebuah gerakan, GBI memberi penekanan pada gagasan mengenai gereja sebagai persekutuan yang didiami oleh Roh Kudus dan bertujuan untuk menggarami dunia dan membawa orang kepada Krstus (Tager GBI, 2014, 16-17). Jemaat-jemaat dalam GBI memiliki ciri otonom yang menggambarkan pemahaman yang umumnya berkembang di GBI mengenai gereja, yakni gereja dipahami sebagai tubuh Kristus yang tidak bolah diatur terlalu sentralistik. Otonomi ini bisa terlihat pada:a. Variasi yang tinggi dari jemaat-jemaat yang berada dalam lingkup

GBI. Variasi tersebut bergerak mulai dari model Pentakostal klasik – model yang masih memberi tempat bagi sinode, ajaran dan tata ibadah yang tersusun dan pendidikan teologi – sampai pada model neo-karismatik yang bercorak independen (post-denominational) di mana kesadaran akan sinode melemah dan lebih menekankan hal-hal yang sifatnya inspirasional. Dalam konteks ini, ada sedikit kekuatiran apabila model seperti ini semakin berkembang, dalam hal ini terkait dengan dampaknya pada fungsi dan peran Sinode dan Badan Pekerja Daerah (BPD).

b. Kuatnya peran gembala jemaat (istilah yang dipakai untuk

Page 262: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

261Lampiran

menyebut pendeta di GBI) dalam kehidupan bergereja. Seringkali, gembala jemaat adalah orang-orang yang berperan dalam melahirkan jemaat tersebut. Karena itu, visi dari gembala itulah yang akan mempengaruhi kehidupan jemaat. Kebebasan harus mendapat tempat, dan itu tergambar dalam visi pemimpin atau gembala jemaat. Dalam kontek ini juga, GBI memahami gereja dalam kaitan dengan teks-teks Alkitab yang menekankan kebebasan Roh Kudus dan keunikan visi setiap gembala.

c. Peran keluarga sang gembala jemaat dalam meneruskan kehidupan gereja. Dengan kata lain, keluarga memiliki tempat strategis dalam meneruskan visi sang gembala jemaat. Karena itu, apabila sang gembala sudah tua atau meninggal maka kehidupan gereja akan diteruskan oleh keluarganya.

d. Variasi para pendeta yang melayani di GBI, yakni mulia dari yang dianggap liberal sampai yang fundamentalis. GBI memberikan ruang yang longgar terhadap variasi ini mengingat tekanan kuat pada visi pemimpin sebagai refleksi dari kebebasan dalam mengelola gereja.

e. Variasi yang ada dalam pengelolaan jemaat, terkait keberadaan para pejabat, dan juga dalam susunan ibadah.

Sinode sendiri sejauh ini masih memiliki posisi dalam hal ajaran, namun hanya terkait hal-hal yang basic saja, selebihnya menjadi ruang bagi gembala dan jemaat setempat. Selain ajaran yang sifatnya basic, posisi sinode dan BPD terlihat dalam penyelesaian konflik, khususnya yang tidak bisa diselesaikan di tingkat jemaat atau yang sudah mendapat sorotan luas, termasuk dalam persoalan ajaran (biasanya persoalan ajaran yang sudah menimbulkan keresahan umat). Dalam perjalanan GBI sendiri, pernah seorang pendeta dipecat karena persoalan ajaran nama-nama Allah.

Dari segi organisasi, di level jemaat biasanya ada variasi yang berhubungan dengan visi gembala jemaat. Ada jemaat yang memiliki diaken, namun ada yang tidak. Atau, ada juga yang memiliki tim

Page 263: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

262 Prosiding

penatua yang hanya terdiri dari para pendeta, tapi ada juga yang tidak. Secara umum, setiap jemaat selalu memiliki gembala jemaat yang memiliki peran (otoritas) yang sentral dalam kehidupan jemaat. Posisi majelis jemaat, kalaupun ada, bisanya tidak memiliki otoritas seperti yang dimiliki gembala jemaat. Sentralitas seperti ini juga tergambar dalam penyusunan atau pembaruan ajaran gereja, yakni hanya para pendeta yang memiliki tempat dalam soal ajaran. Namun, secara umum aspek ajaran gereja tidak terlalu menonjol dibandingkan tekanan pada pengalaman religius

Di luar jemaat ada BPD yang perannya berkaitan dengan peresmian gereja, sosialisasi keputusan sinode, menangani konflik dan kegiatan fellowship di lingkup BPD. Secara umum, peran BPD tidak bersinggungan langsung dengan jemaat, namun lebih ke para gembala jemaat. Kemudian, ada juga sinode yang terdiri dari ketua umum dan lima ketua yang membawahi bidang-bidang yang ada. Relasi sinode dengan jemaat pada dasarnya bersifat longgar, sebagaimana dijelaskan di atas.

Di dalam organisasi GBI, dikenal tiga jenjang pendeta, yakni pendeta pembantu, pendeta, muda dan pendeta penuh. Di sini syarat yang terlihat menonjol menonjol dalam penetapan seseorang menjadi pendeta adalah buah-buah pelayanannya. Apabila seseorang, saat menjadi anggota jemaat, terlihat aktif dalam pelayanan dan menghasilkan buah-buah pelayanan maka dia dapat diusulkan oleh jemaat untuk dilantik menjadi pendeta pemula. Apabila pelayanannya semakin berkembang maka dia bisa diusulkan untuk naik menjadi pendeta muda. Kedua hal ini, pelantikan sebagai pendeta pemula dan pendeta muda, biasanya dilakukan di tingkat BPD. Sementara di tingkat sinode hanya untuk pelantikan sebagai pendeta penuh, dan ini biasanya diberikan kepada para pendeta yang: (1) berhasil membuka jemaat yang baru, (2) menjadi dosen, (3) memiliki pelayanan di level nasional, seperti menjadi ketua departemen sinode atau penginjil nasional, dan (4) gerejanya memiliki anggota jemaat di atas 1000 orang.

Page 264: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

263Lampiran

Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus merupakan hal yang menonjol dari peran para pendeta, sekaligus tanda yang menonjol dari gereja itu sendiri. Di GBI sendiri sudah berkembang banyak bentuk pelayanan, seperti pelayanan koperasi, Tagana (Taruna Siaga Bencana), PAUD (Pendidikan anak usia dini), membangung sumur-sumur di NTT, orang tua asuh dan sebagainya. Namun, fokus utama yang terlihat menonjol adalah gerak memenangkan jiwa bagi Kristus. Posisi ini bisa dikatakan juga terlihat dalam makna logo gereja itu sendiri, yakni kesadaran bahwa GBI dipanggil untuk mewartakan Injil dan menjadi saksi Kristus ke seluruh dunia (lingkaran dan salib). Sementara Pelita memperlihatkan aspek doa, pujian dan penyembahan yang menjadi ciri kuat dalam kehidupan peribadahan di GBI.27

Dalam kehidupan organisasi, jemaat-jemaat GBI biasanya menekankan pendaftaran keanggotaan sebagai tanda seseorang menjadi anggota gereja. Ini terihat kuat di wilayah perkotaan. Baptisan tidak menjadi syarat keanggotaan, sehingga setiap orang bisa mendaftar menjadi anggota gereja sekalipun belum dibabtis.

2. Kehidupan Liturgis Sebagaimana semangat gereja yang menekankan otonomi dan kebebasan yang berkaitan dengan aktivitas roh, GBI menempatkan pujian dan selebrasi sebagai hal yang menonjol dalam aktivitas ibadahnya. Di dalamnya, pengalaman perjumpaan individu dengan sang kudus menjadi pusatnya. Karena itu, teks-teks Alkitab yang menonjolkan perjumpaan (encounter) individual menjadi pijakan dalam pemahaman GBI mengenai ibadah. Pola ini juga terlihat di dalam pelaksanaan sakramen. Selain baptisan, GBI juga menempatkan perjamuan kudus sebagai sakramen dan dilaksanakan setiap awal bulan; tidak ada penjelasan khusus mengenai hal ini, selain sebuah tradisi yang sudah lama dijalankan di GBI. Pelaksanaan perjamuan kudus biasanya didahului, beberapa

Page 265: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

264 Prosiding

hari sebelum pelaksanaan, dengan kegiatan doa dan puasa. Ini dilakukan agar semua pelayan diurapi dan siap melaksanakan perjamuan kudus.

GBI memberikan kebebasan bagi setiap jemaat untuk mengembangkan model ibadahnya sendiri. Dalam konteks ini, visi gembala jemaat akan terlihat menonjol dalam mengelola aktivitas peribadahan. Hal ini, sebagaimana disinggung di atas, berkaitan dengan keyakinan bahwa kebebasan yang menjadi bagian dari keberadaan gereja terefleksi dalam visi dan keunikan gembala jemaat. Sekalipun tidak ada susunan ibadah yang baku dan seragam, secara umum aktivitas peribadahan di GBI memuat lima komponen, yakni (1) praise, (2) worship, (3) doa syafaat, (4) khotbah dan (5) doa berkat. Seluruh aktivitas ini menggambarkan tujuan kehidupan peribadahan itu sendiri, yakni pengalaman individual dengan sang kudus. Alur seperti ini bisa dikatakan berkaitan dengan, pertama, keberadaan GBI sendiri yang lahir dari sebuah gerakan. Kemudian, Kedua, tujuan yang melekat pada kehidupan gereja itu sendiri, yakni membawa setiap orang keada Kristus. Dengan penekanan seperti ini, tidak ada simbol-simbol yang menonjol dalam aktivitas peribadahan di GBI. Apa yang ada hanyalah panggung dan aktivitas selebrasi.

3. Misi Pemahaman GBI mengenai misi bisa dikatakan berada dalam garis lurus dengan bagaimana gereja dan ibadah dipahami. Dalam konteks, mejadi saksi kristus dan membawa dunia pada Kristus menjadi hal yang menonjol dalam pemahaman misi GBI. Karena itu, teks-teks yang menekankan pengutusan untuk memenangkan dunia bagi Kristus, seperti amanat agung misalnya, menjadi pijakan dalam memahami misi. Ini sekaligus menjelaskan bagaimana GBI memahami relasinya dengan dunia dalam konteks misi, sekaligus jangkauan misi GBI yang tidak diikat oleh batas-natas teitori.

Page 266: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

265Lampiran

Pemahaman seperti ini membuat ukuran keberhasilan misi sering berkaitan dengan pertumbuhan jumlah gereja dan anggota jemaat. Ini sejalan dengan semangat awal pendirian GBI, sebagai gereja yang lahir dari sebuah gerakan, yakni mengutus orang untuk pertumbuhan jumlah gereja. Sebagaimana disinggung sebelumnya, GBI memang sudah mengembangkan berbagai pelayanan sosial, namun pertumbuhan dalam artian kuantitas tetap menjadi hal yang menonjol dalam kehidupan misi di GBI. Orientasi misi seperti ini didukung adanya militansi di dalam GBI dan keberadaan para pelayan di GBI yang juga memiliki latarbelakang pengusaha. Hal seperti ini bukan saja mendukung pendanaan bagi misi gereja, namun juga dukungan manajemen dengan target-target yang jelas. Di satu sisi, gerak misi seperti ini dipandang mendorong pertumbuhan gereja dan jemaat. Namun di sisi lan, membawa tantangan tersendiri bagi GBI, yakni menguatnya alur pragmatis dalam aktivitas misi di mana hasil menjustifikasi proses dan lemahnya pergulatan teologi di dalam misi.

2.5 Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB)

1. Pemerintahan Gereja GKPB berdiri sebagai

gereja yang keberadaanya tidak bisa dilepaskan dari pelayanan Jeremia Rim yang pada 1970-1980 aktif dalam kebangunan rohani. Pelayanan pemuridan ini kemudian dinaungi dibawa lembaga yang bernama Making Disciples for Christ (MDC). Lembaga ini kemudian terdaftar di departemen agama dengan nama Yayasan Masa Depan Cerah (MDC) dan aktif dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan pemuridan; misalnya kegiatan leadership camp, Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) dan pelayanan kaum muda. Pelayanan ini semakin berkembang dan menjangkau berbagai tempat di tanah air sehingga

Page 267: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

266 Prosiding

muncul kebutuhan untuk mewadahinya di dalam sebuah gereja. Pada 1987, GKPB berdiri dan terdaftar sebagai badan gereja.28

Pemilihan nama GKPB tidak lepas dari semangat awal yang melahirkan gereja ini, yakni pemuridan. Bagi GKPB, Kisah mengenai pencurahan Roh Kudus kepada para rasul di Yerusalam (Kis 2) dan semangat misioner jemaat mula-mula menjadi model untuk memahami gereja dan tempatnya di tengah dunia. Di sini terlihat keinginan untuk menghidupkan kembali gereja yang misioner dengan bertolak dari pemahaman terhadap pencurahan Roh kudus dan kehidupan jemaat mula-mula. Posisi inilah yang membuat istilah Perjanjian Baru digunakan sebagai nama gereja yang lahir dari semangat pemuridan yang berkembang pada 1970-1980.

Semangan pemuridan menjadi ciri khas yang menonjol dari GKPB. Hal ini selain terlihat pada penekanan terhadap teks-teks misioner jemaat mula-mula, ciri khas teresbut juga terihat dalam logo GKPB yang menonjolkan rajawali untuk menggambarkan semangat visioner dan keberanian menembus berbagai macam tantangan. Lalu istilah “keluarga” digunakan untuk menekankan relasi di dalam GKPB yang ingin menekankan sifat kekeluargaan. Poin ini bisa dibaca secara bersamaan dengan rujukan pada jemaat mula-mula yang menonjol dalam pemahaman diri GKPB.

Pemuridan jugan menjadi poin yang menonjol dalam peran seorang pendeta, yakni mendorong pertumbuhan kehidupan rohani umat sebagai murid dan membawa jiwa-jiwa kepada Kristus. Para pendeta memiliki peran yang menonjol untuk mengarahkan kehidupan jemaat, namun mereka ditempatkan secara kolektif, yakni dalam majelis penatua. Di sini istilah penatua dipahami sebagai jabatan dalam konteks pemerintahan gereja, sementara istilah pendeta dipahami dalam konteks fungsi (memimpin ibadah, sakramen dan sebagainya). Dengan demkian, di GKPB, penatua adalah jabatan yang diisi para pendeta secara kolektif; artinya tidak satu orang. Ini sejalan dengan istilah keluarga yang digunakan di

Page 268: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

267Lampiran

logo GKPB yang juga menunjukan bahwa gereja dikelola bersama (kolektif) sebagai keluarga.

Tidak semua pendeta yang ada di jemaat dapat mengisi jabatan penatua. Biasanya, jemaat akan mengusulkan ke sinode, lalu keputusan sinode akan diambil dalam musyawarah besar untuk menetapkan siapa saja yang bisa masuk dalam jabatan penatua. Di sini sinode memiliki peran yang kuat dalam menetapkan seseorang menjadi pendeta maupun masuk dalam jajaran penatua. Posisi jemaat adalah mengusulkan, lalu akan dipelajari oleh sinode soal kelayakannya. Dalam konteks ini, syarat yang paling kuat dalam menentukan seseorang menjadi pendeta adalah kontribusinya di tengah umat, memiliki track record yang baik dan tidak memiliki masalah moral. Di luar ini, sesesorang yang berjasa dalam mendirikan sebuah jemaat biasanya akan langsung dinagkat menjadi pendeta. Dalam konteks pemerintahan, GKPB membedakan sinode (majelis pusat) dan majelis apostolik. Sinode berkaitan dengan tanggung jawab eksekutif dalam roda pemerintahan, sementara majelis apostolik bertanggung jawab soal ajaran gereja. Di luar ini ada majelis penghubung wilayah (tingkat provinsi) yang berfungsi sebagai badan pembantu sinode dalam hubungan dengan jemaat dan majelis penatua (tingkat jemaat) yang menjalankan roda kehidupan di jemaat secara otonom.29 Para pendeta memiliki otonomi dalam mengelola kehidupan jemaat, namun sinode memiliki ruang untuk bergerak apabila ada persoalan di tengah umat yang tidak bisa dipecahkan di tingkat lokal. Demikian juga dalam hal ajaran, ada bahan bacaan yang menjadi pegangan dalam pertumbuhan umat di seluruh GKPB, yakni buku Dasar Kekristenan dan Dasar Hidup Berjemaat. Kedua bacaan ini wajib dipelajari sebelum seseorang dinyatakan siap untuk dibaptis; biasanya dilakukan di atas 12 tahun. Hal ini juga yang membuat GKPB hanya mencatat anggota jemaat yang sudah dibaptis, sementara anggota anak tidak masuk. Menonjolnya para pendeta juga terlihat dalam persoalan ajaran. Di GKPB, hal-hal yang berhubungan dengan soal ajaran

Page 269: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

268 Prosiding

biasanya berada di tangan para pendeta dan akan dibicarakan dalam majelis apostolik. Apabila ada pembaruan ajaran, hal tersebut akan diputuskan dalam musyawarah besar. Namun, sejauh ini jarang ada pembaruan ajaran.

2. Kehidupan Liturgis Sentralitas pemuridan dalam GKPB juga tergambar dalam kegiatan peribadahan di mana pujian dan penyembahan mendapat perhatian utama. Di semua jemaat GKPB, terdapat empat komponen dalam aktivitas perubadahan, yakni (1) praise and worship, (2) khotbah, (3) pengumuman dan persembahan, (4) pengutusan. Di gereja tertentu, ada penambahan kegiatan pra ibadah yang berfungsi sebagai saat teduh sebelum masuk ibadah. Bagian ini menjadi pengantar untuk masuk dalam praise and worship yang menonjol di GKPB. Pemuridan juga terlihat dalam tema-tema yang diangkat dalam peribadahan, seperti kerajaan Allah, keteguhan iman dan tema-tema sejenisnya. Tema-tema ini mendapat posisi penting mengingat ibadah berperan untuk meningkatkan pertumbuhan rohani sebagai murid Kristus. Berbagai pembahasan yang muncul dalam ibadah, biasanya akan diteruskan dalam kelompok-kelompok sel di mana bahan-bahan pertumbuhan rohani diperdalam lagi. Kelompok sel itu sendiri pada gilirannya, apabila sudah semakin besar, akan dipecah sehingga sel-sel yang ada semakin banyak. Alur seperti ini sekaligus memperlihatkan bahwa pelaksanaan ibadah tidak berdiri seniri, namun berada dalam alur pemuridan yang menjadi tanda paling kuat dari kehidupan GKPB. Kelompok-kelompok sel itu sendiri bisa dibentuk oleh jemaat, tapi tetap di bawah departemen di dalam gereja yang khusus menangani kelompok sel. Hal ini membuat keberadaan kelompok sel selalu tercatat. Kemudian, pemimpin sel grup harus melalui kelas Dasar Kekristenan dan Dasar Hidup Berjemaat, ditambah dengan pendidikan khusus untuk memimpin kelompok sel.

Page 270: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

269Lampiran

3. Misi Sejalan dengan pemahaman mengenai gereja dan peribadahan, misi gereja juga bertumpu pada pemuridan dan perluasan gereja. Hal ini membuat ukuran keberhasilan dalam misi adalah pertumbuhan jiwa. Dalam keyakinan GKPB, pertumbuhan jiwa adalah hal yang juga menonjol dalam kehidupan umat Kristen mula-mula yang menjadi model bagi GKPB. Posisi seperti ini kemudian membuat teks-teks Alkitab yang menonjolkan pengutusan dan pemuridan, seperti amanat agung, memiliki tempat penting dalam pemahaman mengenai misi. Karena itu, tidak mengherankan apabila GKPB memahami misinya tidak dalam basis teritori, namun lintas teritori, bahkan sampai luar negeri. Dalam rangka mendukung misi seperti ini, GKPB menyiapkan pendidikan khusus bagi para penuai yang akan bekerja di berbagai tempat, termasuk di suku-suku terasing. Sekolah ini terbuka bagi orang-orang yang memiliki kerinduan untuk ambil bagian dalam misi. Selain itu, untuk para pelayan disiapkan program Equipping Christian Leadership yang berperan untuk memperlengkapi para pendeta dengan perkembangan-perkembangan terkini untuk menunjang pelayanan mereka yang berpusat pada pemuridan.

Di jemaat-jemaat GKPB, misi dibaca dalam konteks misi ke dalam dan misi ke luar. Ka dalam artinya, penguatan dan pertumbuhan kualitas sebagai murid Kristus. Sementara keluar, mengarah pada pekabaran injil untuk membawa dunia pada Kristus. Dalam posisi seperti ini, GKPB memahami relasinya dengan dunia dalam konteks garam dan terang. Artinya, GKPB melihat kehadiran mereka adalah untun menggarami dunia. Hal ini membawa GKPB sejalan dengan semangat awal kelahirannya yang berakar pada gerakan kebangunan rohani dan pemahaman dirinya sebagai gereja yang diutus untuk membawa dunia pada Kristus.

Page 271: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

270 Prosiding

Catatan Akhir1. Konfessi 1996 bukanlah membarui, merobah atau menyambung pengakuan

iman 1951 tetapi lebih merupakan sebuah bentuk penyesuaian dengan zaman. HKBP memahami gereja sebagai sebuah persekutuan kudus yang am dan esa.

2. Namun pelaksanaan siasat RPP ini sudah mulai merosot khususnya di jemaat perkotaan. Hasil penelitian terakhir Balitbang HKBP kepada Pendeta HKBP menyebutkan bahwa ada 30 % Responden yang menyatakan kurang puas, dan 43,56 % responden yang menyatakan sedang dengan pengimplementasian RPP di gereja yang dilayani, dan yang lainnya menyatakan tidak puas (Balitbang HKBP, 2018, 14).

3. “kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita” (1 Korintus 1:2)

4. “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Petrus 2:9).

5. “dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, --bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya” (Wahyu 1: 6).

6. “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (1 Kor. 3:16).

7. “Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh” (Ef 2: 22).

8. Dalam hal pengawasan keuangan, masing-masing aras diawasi oleh Badan Audit. Di tingkat jemaat oleh Badan Audit Jemaat, di tingkat distrik oleh Badan Audit Distrik dan Di tingkat Pusat oleh Badan Audit Pusat.

9. Ephorus membawahi empat pimpinan lainnya. Sekretaris Jenderal membawahi Biro Jemaat, Biro Personalia, Biro Informasi, Bendahara Umum, Biro Dana Pensiun. Departemen Koinonia membawahi Biro Pembinaan, Biro Smirna (Sekolah minggu dan remaja), Biro Perempuan, Biro Lansia, dan Biro Oikoumene. Departemen Marturia membawahi Biro Zending, Biro Outreach, Biro Ibadah. Departeman Diakonia membawahi Biro Caritas Emergency, Biro Pengabdian Masyarakat dan Biro Transformasi.

10. Distrik adalah kumpulan dari beberap resort, dan resort adalah kumpulan dari beberapa jemaat. Di dalam jemaat sendiri terdiri dari beberap weijk atau wilayah.

Page 272: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

271Lampiran

11. HKBP mengenal 6 jenis tahbisan, yakni Pendeta, Guru Jemaat, Bibelvrouw, Diakones, Evangelis, dan Penatua.

12. Lebih lanjut, Konfessi HKBP 2000 menjelaskan peran pelayan untuk berkhotbah, melayankan dua sakramen (Baptisan dan Perjamuan Kudus), mengggembalakan warga gereja, mengawasi seluruh kegiatan gereja, mengajarkan dan memelihara ajaran yang murni, menjalankan hukum siasat gereja dan penggembalaan, menentang ajaran sesat, menjalankan pelayanan kasih, membebaskan orang dari berbagai kemiskinan dan kebodohan, ikut serta melaksanakan pembangunan yang berdasarkan kebenaran dan keadilan

13. Lebih lanjut Tata Gereja HKBP 2002 menjelaskan bahwa jabatan pendeta diterima dari HKBP melalui Ephorus sesuai dengan Agenda (liturgi penahbisa pendeta) HKBP. Dalam kependetaan itu tercakup tiga jabatan Kristus, yaitu nabi, imam dan raja. Syarat menjadi pendeta antara lain: 1) lulusan Sekolah Tinggi Teologi HKBP atau Sekolah Tinggi Teologi lain yang diakui oleh HKBP yang sama kurikulumnya dengan Sekolah Tinggi Teologi HKBP jurusan kependetaan; 2) Warga HKBP yang menghayati kasih karunia Allah yang diterimanya melalui baptisan dan pengakuan iman; 3) Sudah praktek sedikit-dikitnya dua tahun di HKBP, dan dianggap sudah mampu menerima jabatan kependetaan sesuai dengan rekomendasi Praeses dan Pendeta Resort; 4) Sehat rohani dan jasmani; 5) menerima jabatan tahbisan jabatan kependetaan dari HKBP; 6) Pendeta yang diutus oleh gereja lain yang seiman dengan HKBP diperhitungkan sama dengan Pendeta HKBP (Tata Gereja 2002, 101).

14. Penatua adalah yang menerima jabatan penatua dari HKBP melalui Pendeta Resort sesuai dengan Agenda HKBP. Syarat menjadi penatua: 1) warga jemaat yang mempersembahkan dirinya menjadi penatua di jemaat; 2) rajin mengikuti kebaktian minggu dan perjamuan kudus; 3) berprilaku tidak tercela; 4) paling sedikitnya berumur 25 tahun; 5) sehat rohani dan jasmani; 6) sekurang-kurangnya berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; 7) dipilih oleh warga jemaat dari antara mereka dan ditetapkan oleh rapat pelayan tahbisan (AP 2002, 129).

15. Agenda HKBP (liturgi) adalah adaptasi dari agenda Jerman yang bernama Agende atau Kirchenagende, artinya ’hal-hal yang perlu dilakukan agenda’. Liturgi HKBP berasal dari Kerajaan Prussia Jerman. Pada waktu itu (abad ke-18) terdapat bermacam-macam denominasi gereja di Jerman, tetapi secara umum hanya ada dua aliran gereja, yakni Lutheran dan Calvinis. Keyakinan Kaisar Fredrik William III (1770-1840), yang memerintah Jerman pada waktu itu, memandang bahwa apabila agama bersatu maka negara akan menjadi kuat. Apabila negara kuat, berarti kekaisaran juga kuat. Karena itu, negara berkepentingan menyatukan tata ibadah yang ada agar menjadi sama di seluruh Jerman. Proses penyatuan ini juga memakan waktu

Page 273: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

272 Prosiding

bertahun-tahun dan akhirnya diputuskan untuk menggunakan tata ibadah gabungan dari tradisi Lutheran dan Calvinis. Kaisar Fredrick William III menerbitkan agenda pada 1822 untuk berbagai gereja di daerah kekuasaan Kerajaan Prussia. Setelah mengalami revisi menyeluruh pada 1879, sinode gereja di Kerajaan Prussia menerbitkan sebuah buku tata ibadah pada tahun 1895. Buku tata ibadah gereja-gereja di Prussia ini bernama Agende fur die Evangelische Landeskirche Preussen (Pakpahan, 2013, 5).Seiring dengan pembukaan stasi sending di Tanah Batak, segera menggema dalam diri para penginjil untuk pengadaan sebuah liturgi atau tata ibadah minggu dan peristiwa-peristiwa gerejawi lainnya. Dapat diduga bahwa upaya untuk itu sudah dilakukan sejak awal. Ini tampak dari laporan-laporan kegiatan penginjilan di lembah Silindung oleh I.L. Nommensen. Dalam kaitan ini, sejak 1897 telah ada kumpulan tata ibadah minggu dan perayaan khusus. Buku kumpulan tata ibadah ini dikenal dengan nama Agende yang kini disebut Agenda sesuai dengan pemakaian kata itu oleh gereja-gereja asal para penginjil Jerman. Besar kemungkinan buku Agenda edisi pertama ialah Agenda 1904. Agenda ini dilengkapi dengan pedoman pemakaiannya yang diterbitkan pada tahun 1906 dalam bahasa Jerman dan untuk edisi Batak Toba tahun 1907. Agenda yang kini dipakai HKBP (1998) mengikuti susunan Agenda 1904. Tetapi khusus mengenai urutan mata acara ibadah minggu dalam Agenda edisi 1904 dan edisi 1998 sudah mengalami perubahan pada urutan pengampunan dosa. Agenda 1904 masih menggunakan nyanyian khusus. Sedang Agenda 1998 tidak membatasinya, artinya bisa diambil nyanyian yang sesuai dengan mata acara tersebut. Tetapi teologi yang mewarnai urutan tata ibadah HKBP adalah teologi kebaktian Marthin Luther bukan Calvin (Hutauruk. 2011, 181-183).Menurut Konfesi HKBP (1951) Pasal 13 yaitu tentang Hari Minggu, HKBP menguduskan hari Minggu sebagai “hari Tuhan” Yang juga seluruh orang Kristen merayakannya sejak permulaan gereja. Dalam Konfesi HKBP (1996) Pasal 11 menyebutkan bahwa HKBP menguduskan hari Minggu; Hari Tuhan sebagaimana juga Tuhan Allah melalui Hukum Taurat memerintahkannya (Yoh 20: 19-26; 1 Kor. 16:2; Kis. 20: 7; Why. 1: 10) (Konfesi, 2000, 116). Selain itu, menurut Tata Gereja 2002 disebutkan bahwa ibdah HKBP diselenggarakan menggunakan liturgi sebagaimana diatur dalam Agenda HKBP dan sesuai urutan minggu-minggu gerejawi yang diatur dalam Almanak HKBP, menggunakan Buku Ende HKBP atau buku nyanyian yang sesuai dengan Konfesi HKBP, serta menggunakan teks khotbah atau bacaan Alkitab yang diatur dalam Almanak HKBP (HKBP, 2015, 15).

16. Penjelasan lebih lanjut mengenai urutan dalam Tata ibadah HKBP adalah sebagai berikuti:

Page 274: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

273Lampiran

• Nyanyian bersama: (Sebenarnya sebelum dilakukan acara Nyanyian Bersama ini, para anggota jemaat yang telah masuk ke tempat/ruang Kebaktian, menunggu lebih dahulu “lonceng gereja” dibunyikan, lalu mereka “saat teduh” (berdoa dalam hati), kemudian disusul dengan Nyanyian Bersama setelah ada aba-aba dari pemandu acara (=liturgis, paragenda). Maksud dan tujuan lonceng gereja dibunyikan adalah pemberitahuan bahwa saat ibadah segera akan dimasuki, lalu jemaat melalui saat teduhnya ingin memusatkan perhatian terhadap perbuatan Allah melalui kebaktian ini. Isi doa pada saat teduh ini (doa pribadi) adalah: penyerahan diri kepada Tuhan, mohon kehadiran Tuhan serta tuntunanNya, memohon kepada Tuhan agar para pelayan bertindak atas nama Tuhan). Oleh karena itu, maka nyanyian bersama yang pertama ini dimaksud memohon kehadiran Allah pada ibadah yang telah dimulai. Disamping itu, Tuhan yang dimohon kehadiranNya dipahami sebagai Tuhan yang memelihara hidupnya, Dia dipuji dan dimuliakan. Secara bersama anggota jemaat menyatakan penghormatan dan pujiannya melalui nyanyian bersama.• Votum – Introitus – Collects: Votum ialah suatu pernyataan, atau janji yang mengkonstatir “kehadiran Tuhan Allah” ditengah-tengah persekutuan umatNya dengan seruan: “Di dalam Nama Allah Bapa dan Nama AnakNya Tuhan Yesus Kristus dan Nama Roh Kudus....” Oleh Votum, anggota jemaat yang datang berkumpul di dalam ruang ibadah berubah menjadi persekutuan orang percaya yang menyambut kehadiran Tuhan yang Maha Agung, Kudus dan Mulia. Votum menjadi dasar kegiatan ibadah dan “cap” (identitas) kegiatan yang sedang dimulai. Hal ini dimaksudkan ibadah ini walaupun merupakan kegiatan manusiawi (anggota jemaat) tetap berada dalam, kuasa pengawasan Allah Tri Tunggal, bukan pertemuan biasa dari manusia. Sejak awal hal ini perlu disadari oleh peserta ibadah maupun oleh pemandu ibadah sehingga gerak gerik, suara dan perkataan serta segala tindakan mereka harus tunduk kepada kehendak Allah. Seruan ini diakhiri dengan kata Amin berarti hal itu benar dengan sesungguhnya. Lalu introitus, yaitu suatu pernyataan ataupun ajakan yang dikutip dari nats Alkitab untuk menyatakan bahwa kita boleh memasuki ibadah seturut dengan hari atau Minggu gerejani tertentu, sebagaimana kebiasaan pada jemaat Kristen. Setiap hari Minggu orang Kristen berkumpul untuk mengenang dan merayakan kehidupan dan karya Yesus Kristus, misalnya: Minggu-Minggu Advent, Natal, Minggu Epiphania, Minggu Passion, Kebangkitan, Kenaikan, Turunnya Roh Kudus dan seterusnya . Jadi nats Alkitab yang dibacakan sebagai pernyataan dan ajakan bahwa jemaat sedang berada dalam suasana tertentu. Lalu pernyataan dan seruan tadi disambut oleh jemaat dengan menyanyikan ”Tri Haleluyah” (bdk. Wahyu 19, 6). Banyak gereja-gereja Lutheran menetapkan suatu group koor untuk menyambut Introitus tadi dengan nyanyian: Gloria in exelsis deo. Sambutan Jemaat disusul kemudian oleh Collecta, yaitu semacam doa

Page 275: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

274 Prosiding

pembukaan di mana unsur kebersamaan ditekankan, perhatian kata ”kami” dalam doa tersebut itu jelas, dialamatkan kepada Tuhan Allah, memohonkan bukan mengatur dan inilah Doa pembukaan secara bersama oleh anggota jemaat yang hadir dalam ibadah tersebut.• Nyanyian bersama: sesudah doa pembukaan, dilanjutkan dengan nyanyian pembukaan sesuai dengan Hari Raya Gerejani. Jadi bukan No. I dalam urutan acara ini yang menjadi nyanyian pembukaan, tetapi no. 3 inilah. Dalam gereja-gereja berbahasa Inggris, hal ini disebut: ”The Hymn of the day”. Jadi merupakan respons jemaat terhadap Doa pembukaan. Dan secara umum setiap nyanyian bersama adalah respons Jemaat terhadap acara kegiatan sebelumnya, yang mendahuluinya.• Pembacaan hukum Tuhan: Memper dengarkan serta memahami Hukum Taurat dari Allah, anggota jemaat yang beribadah sadar akan kesalahan -kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran (dosa) yang dia lakukan selama ini. Barangkali dia menemukan dalam hidupnya perlakuan-perlakuan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Ancaman murka Allah atas pelanggarannya mendorong dia mohon pengampunan atas dosanya sebab oleh Hukum Taurat manusia mengenal dosanya (Roma 3: 20b) dan Hukum Taurat menuntun manusia kepada Yesus (menurut Gal. 3, 24). Untuk itu secara bersama jemaat memohon kekuatan untuk melakukan Tauratnya.• Nyanyian bersama: respons jemaat atas harapan Allah agar Tauratnya dipenuhi. Oleh karena itu isi nyanyian bersama ini harus berkaitan dengan Hukum Taurat.• Pengakuan Dosa: Tatkalah manusia telah mengenal dosanya karena Hukum Taurat telah diperdengarkan serta mengetahui ancaman/murka Allah atas dosa tersebut, ia membutuhkan kasih karunia Allah untuk mengampuninya. Melalui ”doa pengampunan dosa” dimana disebut doa pelanggarannya atau perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah, anggota jemaat tertentu dalam rendah hati dan mengiba kepada Tuhan agar dosanya diampuni (bdk. Luk 15: 21). Selanjutnya setelah pengakuan dosa tersebut diperdengarkan janji Tuhan tentang pengampunan dosa kita. Allah bersedia mengampuni dosa dari orang yang telah mengakui dan menyesalinya (Hesek 33,11). Maka Allah memberi janji dan jaminan bahwa Dia mau mengampuni dosa kita, menerima kita kembali bergaul denganNya. Setelah jemaat mendengar pengampunan atas dosanya maka jemaat bersuka-cita, serta berkata: Kemuliaan bagi Allah ditempat yang Maha Tinggi. Amin (bagi HKBP, hanya Amin yang merupakan sambutan jemaat. Orang yang telah diampuni dosanya sungguh menghargai maka acara dilanjutkan dengan:• Nyanyian bersama: respons jemaat atas berita pengampunan dosanya. Jadi nyanyian ini bukan terutama berkenaan dengan pengampunan dosa tetapi dengan ”pengampunan Allah atas dosa manusia.”

Page 276: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

275Lampiran

• Pembacaan Firman: dalam kebaktian/ibadah minggu ada dua macam pelajaran (lesson-lection) yang diambil dari Nats Alkitab, yakni pertama berupa nats/hukum Taurat yang menyadarkan manusia atas dosanya sekaligus mendorong dia memohon pengampunan atas dosanya. Kedua, nats Alkitab berupa surat kiriman (Epistel) yang isinya mendorong berbuat baik dan bersaksi. Maka, pembacaan Firman (Epistel) sekaligus merupakan pengantar untuk acara berikut yakni Pengakuan Iman Rasuli.• Nyanyian bersama: respons jemaat atas pembacaan Firman (Epistel), jadi isinya diseleksi berkaitan dengan hal tersebut. • Pengakuan Iman Rasuli: orang yang telah diampuni dosanya serta dijamin oleh Allah melalui Firman yang dibacakan mendorong mereka untuk melakukan pengakuan iman kepercayaannya. Banyak hal yang perlu disaksikan, dinyatakan secara iman Kristiani. Tetapi gereja telah sepakat merumuskan: Pengakuan Iman Rasuli untuk diucapkan sebagai pengakuan iman bercorak Trinitas. Dianggap Pengakuan Iman ini telah mencakup pengakuan iman yang fundamental. Sebaiknya dalam hal ini jemaat harus bersikap tegar, yakin dan tegas bukan loyo atau malas, kurang semangat.• Warta Jemaat: warta atau berita perlu dikomunikasikan kepada anggota jemaat, adalah hal-hal yang ada kaitannya langsung dengan kehidupan jemaat dan kegiatan gereja (bd. Jes. 62,11; Luk.2,17-19). Sebaiknya jelas, ringkas dan kalimatnya tidak berbau bahasa koran. Tidak perlu ada istilah yang memancing jemaat menafsirkan sendiri-sendiri.• Nyanyian bersama sambil mengumpulkan persembahan: respons jemaat terhadap pengakuan iman sekaligus pengantar untuk khotbah yang akan didengarkan. Hal itu berarti bahwa mereka yang bersaksi melalui Pengakuan Iman, bersaksi juga melalui pengakuan akan berkat Tuhan yang diterimanya dan kesediaan hatinya untuk memberi “persembahan syukur” sesuatu dengan Taurat. Persembahan merupakan “tanda” dari seluruh kehidupan kita. Kualitasnya melahirkan kuantitasnya.• Khotbah: Firman Allah disampaikan kepada jemaat sebagai bekal hidup, pegangan dan penuntun hidupnya. Khotbah bukan pidatoyang didasarkan atas pikiran dan keinginan manusia tetapi tuntunan yang didasarkan atas Firman Allah sesuai kesaksian Alkitab. Khotbah adalah puncak atau centrum dari peribadatan Minggu, Segala bagian dalam acara kebaktian Minggu tidak boleh terlepas dari (nats) khotbah. Karena khotbah memegang peranan yang central, persiapan (isi khotbah dan penyampaiannya) harus sebaik mungkin. Khotbah bukan bacaan (membaca) tetapi penyampaian Firman Allah. Kehendak Allah harus semakin nyata manusia perlu memahami serta mematuhinya sebaik mungkin.• Nyanyian bersama: sesudah khotbah didengar, jemaat berespons untuk

Page 277: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

276 Prosiding

itu. Mereka berbahagia karena Tuhan memperdulikan mereka. Lalu nyanyian bersama ini sekaligus merupakan intisari khotbah untuk dibawa pulang dihayati oleh anggota jemaat. Acara kebaktian perlu diakhiri pada saat sukacita yang besar itu, maka nyanyian bersama disini mendukung, meneguhkan isi khotbah. • Doa persembahan dan nyanyian persembahan: sebelum pulang ke tempat masing-masing, jemaat diajak membawakan dalam doa, persembahan yang telah terkumpul karena segala sesuatu perlu dibawa di dalam Dia (Kol. 1: 3). Jemaat menyambut doa persembahan itu dengan nyanyian bersama, yang menyatakan bahwa segala hal ini boleh dipersembahkan kepada Tuhan Maha Pemberi.• Doa Penutup/Doa Bapa Kami: Lanjutan dari nyanyian persembahan adalah doa penutup. Kalau di awal ada doa pembukaan (Introitus + Collecta), doa penutup disesuaikan dengan hari raya gerejani juga. Kalau hal ini sudah dilakukan barulah disambung dengan Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus, ini merupakan doa yang mencakup segala kepentingan Allah dan kebutuhan manusia. Itulah sebabnya itu menjadi bagian akhir pada doa penutup.• Doxology: bagian dari doa Bapa Kami dikumandangkan oleh jemaat sebagai responsnya atas seluruh karya anugrah Allah. Allah dipuji dimuliakan karena Dialah yang berhak atas kerajaan kuasa dan kemuliaan sampai kekal abadi.• Berkat: sesuai dengan Bilangan 6: 24-26 di mana umat Israel harus diberkati menurut perintah Allah, gereja memahami bahwa Allah juga memberkati anggota jemaat dengan berkat yang sama. Menyambut berkat Allah yang telah disampaikan maka jemaat meresponsnya dengan nyanyian bersama “Amin Amin Amin”, artinya kiranya benarlah terwujud sebagaimana Allah kehendaki dalam hidup ini (Manullang).

17. Penjelasan mengenai Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah sebagai berikut: Baptisan adalah saluran kemurahan Allah bagi manusia, anak-anak dan dewasa, karena melalui baptisan itu gereja berdiri di tengah dunia ini, dan melalui iman dijadikan layak menerima pengampunan dosa, kelahiran kedua kali, kelepasan dari kuasa maut dan dari kuasa iblis, dan memperoleh kebahagiaan kekal. Dan melalu baptisan itu jugalah orang percaya dipersatukan ke dalam kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus, dan menerima kuasa Roh Kudus (Mark 10. 14; Luk. 18:16; Kis. 2: 41; 10:48; 16: 33; Rom. 6:4; 1 Kor. 10: 1-9; 1 Tit. 3:5; Ibr. 11: 29; 1 Petr. 3: 21). Dengan ajaran ini kita menekankan bahwa yang bayi dibaptiskan termeteraikan ke dalam persekutuan yang ditebus Kristus, sebab Tuhan Yesus juga bersukacita meneriman anak-anak. Orang tua diimbau agar mereka mendorong anak-anak mereka yang sudah dibaptis ikut sekolah minggu dan persekutuan lainnya di gereja. Kita juga menekankan, gereja itu esa dalam Baptisan

Page 278: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

277Lampiran

Kudus. Cukuplah Baptisan Kudus dilayankan sekali kepada seseorang selama hidupnya.Perjamuan kudus adalah memakan roti sebagai saluran tubuh Tuhan Yesus Kristus dan meminum anggur sebagai saluran darah Yesus Kristus agar kita menerima keampunan dosa, kehidupan dan kebahagiaan. Perjamuan Kudus adalah pesta sukacita bagi orang yang ikut, karena itu adalah pendahuluan dari persekutuan yang kekal dan tanda syukur mengingat penebusan Tuhan Yesus Kristus serta jalan menerima kasih karuniaNya (Mat. 26:20-30; Mar. 14:17-26; Luk. 22:14-20; 1 Kro. 11:17-34). HKBP menolak kebiasaan beberapa gereja yang hanya memberikan roti kepada warga gereja, tanpa anggur. Demikian juga pendapat yang mengatakan ada lebih dari dua sakramen (konfesi, 2000, 112-113).

18. PGI, Perbandingan Potret Diri Antargereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hal. 49.

19. Majelis Sinode GKE, Tata Gereja Gereja Kristen Evagelis (Banjarmasin, 2015), hal. 5.

20. BPH Sinode GKE, Himpunan Peraturan Gereja Kalimantan Evangelist Tahu 2016 (Banjarmasin, 2016), hal. 22

21. GKE, Garis-Garis Besar Tugas panggilan Gereja Kalimantan Evangelis 2015-2040 dan 2015-2020 (Banjarmasin, 2015), hal. 7.

22. BPH GKE, Liturgi GKE dan Kumpulan Doa (Banjarmasin, 2016), hal. 109-112.

23. Jonely H. Ch. Lintong, “Wujud dan Bentuk Gereja dalam Tata Gereja GMIM”, makalah yang disampaikan pada Studi Teologi Kajian Terhadap Perubahan Eklesiologi GMIM yang dilaksanakan oleh Program Pascasarjana Teologi UKIT Tomohon, 7 Mei 2016.

24. Kata Presbiterial Sinodal berasal dari bahasa Yunani Presbyteros artinya tua-tua atau yang dituakan (Syamas, Penatua, Guru Agama dan Pendeta). Sinodal (baca: Syn-hodos) = berjalan bersama. Dengan system presbiterial sinodal, yang artinya berjalan bersama, maka kepemimpinan kepelayanan GMIM dan dalam hal pengambilan ketetapan dan keputusan dijalankan secara musyawarah untuk mufakat oleh para presbiter pada persidangan di semua aras. (Penjelasan BAB III Sistem dan Struktur Gereja Pasal 8 Sistem Gereja).

25. Dalam konteks hirarki, GMIM juga mengenal hirarki keputusa, yang diatur dalam TG 2016 BAB XIII Urutan Keputusan Pasal 31:1. Ketetapan dan Keputusan Sidang majelis Sinode.2. Keputusan Badan Pekerja Majelis Sinode.3. Keputusan Sidang Majelis Wilayah.

Page 279: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

278 Prosiding

4. Keputusan Badan Pekerja Majelis Wilayah.5. Keputusan Sidang Majelis Jemaat.6. Keputusan Badan Pekerja Majelis Jemaat.Pada penjelasannya disebutkan: “Pasal ini memberikan pedoman agar setiap keputusan tidak bertentangan dengan keputusan diatasnya.”

26. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, edisi revisi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hal. 224-225; “Gereja Bethel Indonesia”, http://dbr.gbi-bogor.org/wiki/Gereja_Bethel_Indonesia (diakses 21 Mei 2018).

27. “Logo Gereja Bethel Indonesia”, http://dbr.gbi-bogor.org/wiki/Logo_Gereja_Bethel_Indonesia (diakses 21 Mei 2018)

28. Wawancara dengan sekum GKPB, 29 April 2018; band. Bambang H. Widjaja, “Sejarah GKPN”, dalam The Newwave (Jakarta: 2014), hal. 12-13.

29. Wawancara dengan sekum GKPB, 29 April 2018; band. Majelis Pusat GKPB, Anggaran Rumah Tangga badan Persekutuan Gereja Kristen Perjanjian Baru (Cipanas, 2013), hal. 14-20.

Page 280: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

279Lampiran

Page 281: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

280 Prosiding

Susunan Acara Lokakarya PBIK

Waktu Acara Fasilitator Keterangan

Hari Pertama

12.00 – 14.30

- Kedatangan Peserta- Registrasi- Snack

Panitia dan KPG

14.30 – 15.00

Pembukaan Kegiatan :- Doa- Ucapan Selamat Datang- Orientasi Acara

PanitiaKetua Umum BPH GPI, Wasekum PGI dan SE KPG

Notulis: Ratna dan Irene

15.00 – 18.00

Panel 5 Pakar TeologiSistematik

- Katolik- Lutheran- Calvinis- Injil- Pentakostal/ - KharismatikModerator: Anwar Tjen

Notulen: Ratna dan Irene

18.00 – 20.00

Diskusi PersertaBersama Para Panelis

Moderator: Anwar Tjen

Notulis: Ratna dan Irene

20.00 – 20.30

-Doa malam-Makan Malam

Panitia

20.30 – 21.30

Pertemuan GPI BPH GPI

21.30 - … Istirahat malam

Page 282: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

281Lampiran

Hari kedua

07.00 – 08.00

- Sarapan- Doa Pagi

Panitia

08.00 – 09.30

Rangkuman Diskusi Peserta-Panelis

Pdt. Dr.Zakaria NgelowModerator:Pdt. Harly Patianakotta

Menetapkan Pokok-pokok PemahamanNotulis: Ratna dan Irene

09.30 – 10.00

Snack Pagi

10.00 – 12.00

Diskusi Kelompok

Anggota Tim Revisi dan komisi Teologi (Fasilitator dalam Kelompok)

Menjabarkan Pokok-pokok Pemahamnan Iman ke dalam Pokok-pokok AjaranNotulis: Ratna dan Irene

12.00 – 13.00

Makan siang Panitia

13.00 – 16.00

Pleno: Laporan Kelompok

Moderator: Trisno S

Menetapkan Pokok-pokok ajaran dan penjarannyaNotulis: Ratna dan Irene

16.00 – 16.30

Snack Sore Panitia

Page 283: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

282 Prosiding

16.30 – 18.30

Diskusi Kelompok

Anggota Tim Revisi dan Komisi Teologi (Fasilitator dalam kelompok)

Menggagas Aspek-aspek Pokok Ajaran yang perlu dirumuskanNotulis: Ratna dan Irene

18.30 – 19.00

- Doa malam- Makan Malam

Panitia

19.00 21.00 Pertemuan GPI BPH GPI

21.00 - … Istirahat malam

Hari ketiga07.00 – 08.00

- Sarapan- Doa Pagi

Panitia

08.00 – 10.00

Pleno: Laporan Kelompok

Moderator: Julianus Mojau

Menetapkan Aspek-aspek Pokok Ajaran yang perlu dirumuskanNotulis: Ratna dan Irene

09.30 – 10.30

Snack Pagi

10.30 – 12.30

Pleno: Laporan Kelompok(Lanjutan)

Moderator: Beril Huliselan

Notulis: Ratna dan Irene

12.30 – 14.00

- Penutupan Kegiatan- Makan Siang

Panitia dan KPG

Page 284: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

283Lampiran

Lagu-Lagu Selama Lokakarya PBIK

Lagu-Lagu Selama Lokakarya

1. JALAN HIDUP ORANG BENARJalan hidup orang benar, diterangi oleh cahya Firman TuhanJalan hidup orang benar, Semakin terang hingga rembang tengah hariApabila ia jatuh, tidakkan dibiarkan hingga tergeletakS’bab tangan Tuhan jua Yang menopangnya.. dan membangunk-an... dia kembali

2. HATI SEBAGAI HAMBAKutak membawa apapun juga saatku datang keduniaKutinggal semua pada akhirnya, Saat ku kembali kesurga(Ref.) Inilah yang kupunya hati s’bagai hamba, yang mau taat dan setia padaMu BapaKemanapun kubawa Hati yang menyembah, Dalam roh dan ke-benaran Sampai s’lamanya.

3. SEMUA BAIKDari semula t’lah Kau tetapkan hidupku dalam tanganMu Dalam rencanaMu TuhanRencana indah t’lah Kau siapkan, Bagi masa depankuYang penuh harapanS’mua baik, s’mua baik, apa yang t’lah Kau perbuat di dalam hidupkuS’mua baik, sungguh teramat baik, Kau jadikan hidupku berarti

4. KU TAHU BAPA P’LIHARAKUKutahu Bapa p’liharaku, Dia baik, Dia baikKuyakin Dia slalu sertaku, Dia baik bagiku

Page 285: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

284 Prosiding

Lewat badai cobaan, semuanya menyatakan kebaikanKutahu Bapa p’liharaku, Dia baik bagiku

5. ALLAH PEDULIBanyak perkara, yang tak dapat kumengertimengapakah harus terjadi Didalam kehidupan iniSatu perkara, Yang kusimpan dalam hatiTiada sesuatu kan terjadi Tanpa Allah perduliRef.Allah mengerti, Allah perduli, Segala persoalan yang kita hadapiTak akan pernah dibiarkanNya Kubergumul sendiriS’bab Allah mengerti

6. BERTEMU DALAM KASIHNYABertemu dalam kasih-Nya, berkumpul dalam anugerah-NyaBersukacita semua di dalam rumah TuhanOoo Saudaraku dan saudariku, Tuhan cinta dan mengasihimuMari bersukacita semua, Didalam rumah Tuhan..

7. SATUKANLAH HATI KAMISatukanlah hati kami tuk memuji dan menyembah... Oh Yesus Tuhan dan RajakuEratkanlah tali kasih diantara kami semua, Oh Yesus Tuhan dan RajakuBergandengan tangan dalam satu kasih, bergandengan tangan dalam satu imanSaling mengasihi diantara kami, Keluarga kerajaan Allah..

8. HARI INI KURASA BAHAGIAHari ini kurasa bahagiaberkumpul bersama saudara seimanTuhan Yesus telah satukan kita

Page 286: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

285Lampiran

Tanpa memandang diantara kitaBergandengan tangan dalam kasihdalam satu hatiberjalan dalam terang kasih TuhanKau sahabatku....kau saudarakutiada yang dapat memisahkan kita..kau sahabatku....kau saudarakutiada yang dapat memisahkan kita..

9. DENGAR DIA PANGGIL NAMA SAYADengar Dia panggil nama sayaDengar Dia panggil namamuDengar dia panggil nama sayaJuga Dia panggil namamu...Ooo giranglah..OoogiranglahTuhan Yesus amat cinta pada saya ....Ooo giranglah...Kujawab ya..ya..ya..(2X)kujawab ya Tuhan....(2X)kujawab ya...ya...ya...

10. DATANG KEHADIRAT TUHANDatang kehadirat Tuhan dengan hatiyang penuh sukacitaDatang kehadirat Tuhan dengansenyum dan muka yang gembiraTanggalkan beban dan kesedihan yang adadi dalam hatimuKenakan jubah pujian, sambut hadirnya Sang Raja

Page 287: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

286 Prosiding

Dan gunung-gunungpun bersorak-sorai memuji DiaDan pohon-pohonpun bertepuk tangan memuji DiaSekalian kita disini berkumpul dan memuji DiaYesus Tuhan Raja Dia Yang bertahta diatas Pujian !

11. KUKASIHI KAUKukasihi kau dengan kasih TuhanKukasihi kau dengan kasih Tuhankulihat diwajahmu kemuliaan Rajakukasihi kau dengan kasih Tuhan..

Page 288: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

287Lampiran

Foto-Foto Lokakarya PBIK

Page 289: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

288 Prosiding

Page 290: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

289Lampiran

Page 291: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

290 Prosiding

Page 292: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

291Lampiran

Page 293: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019

292 Prosiding

Page 294: Lokakarya Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK) 2019