documentlo

23
Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia maupun dari segi materi, ekonomi, atau lingkungan dan melampaui batas kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.(United Nations International Strategy for Disaster Reduction-UN ISDR, 2004) Gambar 1. Siklus Manajemen Bencana 1. AKTIFITAS PADA SETIAP FASE SIKLUS MANAJEMEN BENCANA (SMB) Menurut Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan: (1) Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana, (2) menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana, dan (3) mencapai pemulihan yang cepat dan efektif. Dengan demikian, siklus manajemen bencana memberikan gambaran bagaimana rencana dibuat untuk mengurangi atau mencegah kerugian karena bencana, bagaimana reaksi dilakukan selama dan segera setelah bencana berlangsung dan bagaimana langkah-langkah diambil untuk pemulihan setelah bencana terjadi. Secara garis besar terdapat empat fase manajemen bencana, yaitu: 1. Fase Mitigasi: upaya memperkecil dampak negative bencana. Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan (building codes), analisis kerentanan; pembelajaran public. 2. Fase Preparadness: merencanakan bagaimana menaggapi bencana. Contoh: merencanakan kesiagaan; latihan keadaan darurat, system peringatan. 3. Fase respon: upaya memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh bencana. Contoh: pencarian dan pertolongan; tindakan darurat. 4. Fase Recovery: mengembalikan masyarakat ke kondisi normal. Contoh: perumahan sementara, bantuan keuangan; perawatan kesehatan. Keempat fase manajemen bencana tersebut tidak harus selalu ada, atau tidak secara terpisah, atau tidak harus dilaksanakan dengan urutan seperrti tersebut diatas. Fase-fase sering saling overlap dan lama berlangsungnya setiap fase tergantung pada kehebatan atau besarnya kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu. Dengan demikian, berkaitan dengan penetuan tindakan di dalam setiap fase itu, kita perlu memahami karakteristik dari setiap bencana yang mungkin terjadi. a. Fase Mitigasi Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah

Upload: andy-yusuf

Post on 12-Feb-2016

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

,

TRANSCRIPT

Page 1: Documentlo

Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia maupun dari segi materi, ekonomi, atau lingkungan dan melampaui batas kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.(United Nations International Strategy for Disaster Reduction-UN ISDR, 2004)Gambar 1. Siklus Manajemen Bencana1. AKTIFITAS PADA SETIAP FASE SIKLUS MANAJEMEN BENCANA (SMB)Menurut Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan: (1) Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana, (2) menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana, dan (3) mencapai pemulihan yang cepat dan efektif. Dengan demikian, siklus manajemen bencana memberikan gambaran bagaimana rencana dibuat untuk mengurangi atau mencegah kerugian karena bencana, bagaimana reaksi dilakukan selama dan segera setelah bencana berlangsung dan bagaimana langkah-langkah diambil untuk pemulihan setelah bencana terjadi.Secara garis besar terdapat empat fase manajemen bencana, yaitu:1. Fase Mitigasi: upaya memperkecil dampak negative bencana. Contoh: zonasi dan pengaturan bangunan (building codes), analisis kerentanan; pembelajaran public.2. Fase Preparadness: merencanakan bagaimana menaggapi bencana. Contoh: merencanakan kesiagaan; latihan keadaan darurat, system peringatan.3. Fase respon: upaya memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh bencana. Contoh: pencarian dan pertolongan; tindakan darurat.4. Fase Recovery: mengembalikan masyarakat ke kondisi normal. Contoh: perumahan sementara, bantuan keuangan; perawatan kesehatan.Keempat fase manajemen bencana tersebut tidak harus selalu ada, atau tidak secara terpisah, atau tidak harus dilaksanakan dengan urutan seperrti tersebut diatas. Fase-fase sering saling overlap dan lama berlangsungnya setiap fase tergantung pada kehebatan atau besarnya kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu. Dengan demikian, berkaitan dengan penetuan tindakan di dalam setiap fase itu, kita perlu memahami karakteristik dari setiap bencana yang mungkin terjadi.a. Fase MitigasiUpaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.b. PreparednessKegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur). c. ResponseJenis aktivitas respon emergensi

Page 2: Documentlo

1. Evakuasi dan pengungsi (Evacuation and migration)Melakukan evakuasi dan pengungsi ketempat evakuasi yang aman.2. Pencarian dan Penyelamatan (Search and rescue – SAR)Malakukan pencaharian baik korban yang meninggal dan korban yang hilang.3. Penilaian paska bencana (Post-disaster assessment)Melakukan penilaian terhadap bencana yang terjadi4. Respon dan Pemulihan (Response and relief)Memberikan respond an pemulihan terhadap korban bencana5. Logistik dan suplai (Logistics and supply)Manyalurkan bantuan logistik kepada korban bencana6. Manajemen Komunikasi dan Informasi (Communication and information management)Memberikan informasi dan komunikasi kepada media massa mengenai jumlah kerugian korban bencana7. Respon dan pengaturan orang selamat (Survivor response and coping)Melakukan mendata jumlah korban bencana yang selamat baik. Ibu Hamil, anak-anak dan orang Manula8. Keamanan (Security)Mamberikan pelayanan keamanan terhadap korban jiwa, baik itu harta benda dan yang lain.9. Manajemen pengoperasian emergensi (Emergency operations management)Melakukan manajemen pengoperasian emergenci pada saat terjadinya bencanad. RecoverySecara garis-besar, kegiatan-kegiatan utama pada tahap ini antara lain, mencakup:1. Pembangunan kembali perumahan dan lingkungan pemukiman penduduk berbasis kebutuhan dan kemampuan mereka sendiri dengan penekanan pada aspek sistem sanitasi lingkungan organik daur-ulang.2. Penataan kembali prasarana utama daerah yang tertimpa bencana, khususnya yang berkaitan dengan sistem produksi pertanian.3. Pembangunan basis-basis perekonomian desa dengan pendekatan penghidupan berkelanjutan, terutama pada kedaulatan dan keamanan pangan dan ketersediaan energi yang dapat diperbaharui (renewable energy); serta perintisan model sistem kesehatan yang terjangkau dan efektif.2. Lembaga/Institusi (Pemerintah dan non-pemerintah, NGO) yang aktif dalam PB dan pada Fase mana perannya yang paling menonjol.Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain:1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak membangun di lokasi yang rawan bencana;2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana, hingga penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif kebencanaan;3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang baik;4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan;5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah dalam kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya

Page 3: Documentlo

serta melakukan koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun dengan tingkat nasional, mengingat bencana tidak mengenal wilayah administrasi, sehingga setiap daerah memiliki rencana penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya.Contoh lembaga/Institusi (Pemerintah dan non-pemerintah, NGO) yang aktif dalam PB antara lain adalah :a. Dinas SosialDinas Sosial terlibat di semua fase. Namun pada saat ini sendiri sangat menonjol dalam fase response. Pada saat fase response yang dilakukan oleh Dinas Sosial adalah :1. Mengerahkan Taruna Siaga Bencana (TAGANA) untuk sesegera mungkin mencari informasi dan data-data yang dibutuhkan untuk tahap penyaluran bantuan.2. Dari data dan informasi yang diterima, Dinas Sosial mengeluarkan bantuan sesuai dengan bencana yang terjadi. Diutamakan prinsip tepat waktu, tepat sasaran dan tepat jumlah.3. Bantuan kemudian disaluran sesegera mungkin dengan kerjasama bersama Dinas Sosial Kab./Kota dan Tagana setempat.4. Untuk pengungsi, segera diarahkan menuju titik-titik pengungsian dan segera dibangun tenda-tenda atau shelter.b. T N IKeterlibatan TNI sesuai Pasal 25 ayat 1 “Pada saat keadaan darurat bencana, kepala BNPB dan kepala BPBD berwenang mengerahkan sumber daya manusia, peralatan dan logistik dan instansi lembaga dan masyarakat untuk melakukan tanggap darurat”Keterlibatan TNI lebih menonjol pada fase respon dan recovery. Seperti melakukan evakuasi, pencarian mayat, pendirian shelter-shelter, jembatan bailey, menembus daerah isolasi, manajemen logistik pada saat tanggap darurat.3. PERAN MASYARAKAT (INDIVIDU/LEMBAGA) PADA SETIAP FASE SMBUntuk mengurangi, mencegah dan menanggulangi bencana yang mungkin terjadi atau berulang, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana perlu melakukan pengurangan resiko bencana atau manajemen resiko. Pengurangan Resiko Bencana dimaknai sebagai sebuah proses pemberdayaan komunitas melalui pengalaman mengatasi dan menghadapi bencana yang berfokus pada kegiatan partisipatif untuk melakukan kajian, perencanaan, pengorganisasian kelompok masyarakat, serta pelibatan dan aksi dari berbagai pemangku kepentingan, dalam menanggulangi bencana sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana. Tujuan agar komunitas mampu mengelola resiko, mengurangi, maupun memulihkan diri dari dampak bencana tampa ketergantungan dari pihak luar.a. Mitigasi- Masyarakat berperan aktif menciptakan lingkungan yang aman dari bencana. Contohnya ;o Membangun rumah yang sesuai standar ketahan gempa;o Adanya kesadaran masyarakat untuk tidak tinggal di daerah yang rawan bencana.o Masyarakat memahami dengan baik safety rule yang sudah diprogram oleh pemerintahb. Preparedness- Mengikuti kegiatan drill dan pelatihan-pelatihan penguatan kapasitas kebencanaan.- Terlibat aktif dalam pembuatan jalur evakuasi.c. Response- Masyarakat sebagai relawan donatur, penyumbang tenaga dan keahlian serta penyedia fasilitas yang diperlukan dalam penanggulangan bencana.- Sebagai pemimpin dalam penanganan bencana.- Sebagai manajer logistik.- Menggerakkan elemen lokal dalam penanggulangan bencana.d. Recovery- Terlibat langsung dalam rehab rekon.

Page 4: Documentlo

- Mendukung program pemerintah dalam rehab rekon.4. PERAN PROGRAM S2 KEBENCANAAN DALAM SETIAP FASE SMBa. Mitigasi- Ikut memberi sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai pengurangan resiko bencana.- Melakukan penelitian dan riset terkait kebencanaan dan karakteristiknya di daerah yang berbeda.- Membuat pemetaan untuk daerah-daerah rawan bencana.- Mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan di daerah rawan bencana.- Belajar yang rajin.b. Preparedness- Sebagai fasilitator dalam pelatihan penanggulangan bencana berbasis masyarakat, berbasis sekolah, dan lain-lain, contohnya;o Gempa dan Tsunami drill- Melakukan kerjasama dengan pemerintah ataupun dengan lembaga-lembaga lainnya.- Terlibat aktif dalam pembuatan jalur evakuasi.c. Response- Terjun langsung sebagai relawan, baik sebagai pelaksana, pimpinan, maupun pembuat kebijakan.- Menjadi penghubung antara instansi atau lembaga pemerintahan dengan masyarakat.d. Recovery- Berperan sebagai fasilitator- Melakukan kegiatan-kegiatan psikososial.

Page 5: Documentlo

:45

Pada saat ini sudah mulai umum diterima kredo bahwa penanggulangan bencana (PB) merupakan urusan semua pihak. Hal itu merupakan gelombang perubahan paradigma dari disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007). Tentu saja upaya-upaya pengurangan risiko bencana (PRB) mesti dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan demi ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana.

Peran berbagai pihak dalam penyelenggaraan PB itu dipaparkan secara gamblang oleh Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Ir. Sugeng Triutomo, DESS., dalam “Sesi Akademis Gladi Nasional Penanggulangan Bencana 2012” di Hotel Swiss-Bel, Palu, Sulawesi Tengah pada pada Senin pagi (19/11/2012). “Ada tiga pilar pelaku PB, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga usaha. Peran ketiga pelaku itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Peran pemerinta dan pemerintah daerah diatur dalam Pasal  5, Pasal 6 dan Pasal 7; peran masyarakat diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 27; dan peran lembaga usaha diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 29,” papar Sugeng Triutomo.

Dengan mengacu kepada UU 24/2007 Sugeng Triutomo menjelaskan tentang proses dan peran berbagai pihak dalam penyelenggaraan PB. Disini bencana diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.

Pengertian penyelenggaraan PB (disaster management) adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi. Sedangkan tujuan penyelenggaraan PB adalah menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan dampak bencana. Skema penyelenggaraan PB secara umum dapat dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu pra bencana, saat bencana dan pascabencana. Alur penyelenggaraan PB secara lengkap dapat dibaca di bawah ini.

 

Visi PB adalah untuk mewujudkan ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana. Sedangkan misi PB adalah (1) Melindungi bangsa dari ancaman bencana melalui PRB, (2) Membangun sistem PB yang handal, dan (3) Menyelenggarakan PB secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh.

Selanjutnya Sugeng Triutomo menguraikan peran masing-masing pihak, meliputi pemerintah dan pemerintah daerah, lembaga usaha, dan masyarakat.

Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan PB. Secara khusus tanggung jawab itu dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pemerintah pusat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat pemerintah daerah.

Tugas BNPB antara lain (1) Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap PB, (2) Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan PB, (3) Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat, (4) Melaporkan penyelenggaraan PB kepada Presiden 1 kali per bulan dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana, (5) Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional, (6) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), (7) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan (8) Menyusun

Page 6: Documentlo

pedoman pembentukan BPBD.

Sementara itu tugas BPBD antara lain (1) Memberikan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan BNPB terhadap PB, (2) Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan PB, (3) Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana, (4) Menyusun dan menetapkan prosedur tetap (protap) PB, (5) Melaksanakan penyelenggaraan PB di wilayahnya, (6) Melaporkan penyelenggaraan PB kepada kepala daerah 1 kali per bulan dalam kondisi normal dan setiap saat dalam  kondisi darurat bencana, (7) Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang, (8) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan (9) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Peran Masyarakat

Masyarakat terdiri dari individu-individu dan kelompok-kelompok. Di dalam UU 24/2007 tidak ada definisi khusus tentang masyarakat, tapi pengertian masyarakat itu secara umum terdapat dalam  terdapat dalam pengertian “setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.” Di dalam penyelenggaraan PB ada hak dan kewajiban masyarakat.

Masyarakat (setiap orang) berhak untuk (1) Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya kelompok masyarakat rentan bencana, (2) Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan, (3) Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan, tentang kebijakan PB, (4) Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program penyediaan bantuan, (5) Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya, (6) Melakukan pengawasan, (7) Mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (khusus kepada yang terkena bencana), dan (8) Memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.

Sementara itu kewajiban masyarakat adalah (1) Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, (2) Memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup, (3) Melakukan kegiatan penanggulangan bencana, dan (4) Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang PB.

Secara nyata peran masyarakat itu terlibat pada pra bencana, saat bencana, dan pascabencana. Peran masyarakat pada saat pra bencana antara lain (1) Berpartisipasi pembuatan analisis risiko bencana, (2) Melakukan penelitian terkait kebencanaan, (3) Membuat Rencana Aksi Komunitas, (4) Aktif dalam Forum PRB, (5) Melakukan upaya pencegahan bencana, (6) Bekerjasama dengan pemerintah dalam upaya mitigasi, (7) Mengikuti pendidikan, pelatihan dan penyuluhan untuk upaya PRB, dan (8) Bekerjasama mewujudkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.

Peran masyarakat pada saat  bencana antara lain (1) Memberikan informasi kejadian bencana ke BPBD atau iInstansi terkait, (2) Melakukan evakuasi mandiri, (3) Melakukan kaji cepat dampak bencana, dan (4) Berpartisipasi dalam respon tanggap darurat sesuai bidang keahliannya.

Sementara itu peran masyarakat pada saat pascabencana adalah (1) Berpartisipasi dalam pembuatan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi, dan (2) Berpartisipasi dalam upaya pemulihan dan pembangunan sarana dan prasarana umum.

Peran Lembaga Usaha

Lalu bagaimana dengan peran lembaga usaha dalam PB? Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan PB, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain. Dalam aktivitasnya lembaga usaha menyesuaikan kegiatannya dengan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Lembaga usaha juga berkewajiban menyampaikan laporan kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas melakukan PB serta menginformasikannya kepada publik secara transparan. Selain itu lembaga usaha berkewajiban mengindahkan

Page 7: Documentlo

prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi ekonominya dalam PB.

Peran nyata lembaga usaha juga terlibat pada pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Peran lembaga usaha pada saat pra bencana antara lain (1) Membuat kesiapsiaagaan internal lembaga usaha (business continuity plan), (2) Membantu kesiapsiagaan masyarakat, (3) Melakukan upaya pencegahan bencana, seperti konservasi lahan, (4) Melakukan upaya mitigasi struktural bersama pemerintah dan masyarakat, (5) Melakukan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan untuk upaya PRB, (6) Bekerjasama dengan pemerintah membangun sistem peringatan dini, dan (7) Bersinergi dengan Pemerintah dan LSM/Orsosmas mewujudkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.

Sementara itu peran lembaga usaha pada saat bencana antara lain (1) Melakukan respon tanggap darurat di bidang keahliannya, (2) Membantu mengerahkan relawan dan kapasitas yang dimilikinya, (3) Memberikan dukungan logistik dan peralatan evakuasi, dan (4) Membantu upaya pemenuhan kebutuhan dasar.

Sedangka peran lembaga usaha pada saat pascabencana antara lain (1) Terlibat dalam pembuatan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi, (2) Membantu pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi sesuai dengan kapasitasnya, dan (3) Membangun sistem jaringan pengaman ekonomi.

Di dalam penyelenggaraan PB juga dikenal adanya jejaring dari para pemangku kepentingan untuk mengurangi risiko bencana. Walaupun tidak secara khusus diatur dalam UU 24/2007 tapi dalam praktik jejaring tersebut diakomodasi dan dilaksanakan dengan membentuk forum (platform) baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, masyarakat basis, dan tematik. Di tingkat nasional ada Platform Nasional PRB (Planas PRB), Forum Masyarakat Sipil, Forum Lembaga Usaha, Forum PerguruanTinggi PRB (FPT PRB), Forum Media, Forum Lembaga Internasional.

Di tingkat provinsi ada Forum PRB NTT, Forum PRB Yogyakarta, Forum PRB Sumatera Barat. Saat ini sudah terbentuk sebanyak 10 Forum PRB tingkat provinsi di Indonesia. Selain itu ada forum yang bersifat tematik, seperti Forum Merapi, Forum Slamet, Forum Bengawan Solo, dan lain-lain.

 

Sebagai penutup paparannya Sugeng Triutomo mengatakan, “PB merupakan urusan bersama antara pemerintah, lembaga usaha dan masyarakat, dimana pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggungjawab utama. Mekanisme koordinasi antara para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam PB diwujudkan dalam bentuk forum (platform). Diharapkan di Provinsi Sulawesi Tengah dibentuk Forum PRB yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam PRB.”

Salah satu hal yang sering dikeluhkan oleh rakyat yang tertimpa bencana adalah kekurang-sigapan pemerintah dalam menangani dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Sering kali bencana hanya ditanggapi secara parsial oleh pemerintah. Bahkan bencana kadang hanya ditanggapi dengan pendekatan tanggap darurat (emergency response). Kurang adanya kebijakan pemerintah yang integral dan kurangnya koordinasi antar departemen dianggap sebagai beberapa penyebab yang memungkinkan hal itu dapat terjadi. Terlalu panjang dan berliku-likunya proses birokrasi juga kadang menjadi penyebab terasanya kekurang-sigapan pemerintah dalam menangani dampak pasca bencana.

Sebagai contohnya adalah penyaluran dana rekonstruksi korban gempa Yogyakarta 27 Mei 2006. Butuh waktu hampir lebih dari lima bulan hingga akhirnya kipasan uang dari dana

Page 8: Documentlo

rekonstruksi itu dapat dirasakan oleh rakyat yang terkena bencana, tapi itupun hanya merupakan bantuan dana tahap pertama dan hanya sebagian korban gempa yang baru merasakannya (esai ini ditulis sekitar akhir November 2006). Butuh waktu lebih lama lagi dan birokrasi yang berbelit-belit lagi untuk mendapatkan bantuan dana rekonstruksi tahap dua. Sementara waktu itu masih banyak rakyat yang menjalani hidupnya di pengungsian dan menunggui datangnya dana rekonstruksi yang telah dijanji-janjikan sejak dari dahulu kala.Bagaimana hal ini dapat terjadi? Seperti apa sebenarnya manajemen ataupun sistem penanganan bencana yang dilakukan oleh pemerintah? Apa sebenarnya yang menjadi persoalan disini? Dan bagaimana sebaiknya hal itu dapat ditanggulangi? Esai yang mungkin terlalu singkat ini akan mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tubuh esai ini akan dibagi menjadi beberapa sub-bagian. Sub-bagian pertama tentang Indonesia dalam konteks kebencanaan dan penyaluran dana rekonstruksi, sub-bagian kedua tentang birokrasi penanganan dana dan sekelumitnya, dan sub-bagian ketiga tentang solusi alternatif pemecahannya.

Solusi Alternatif PemecahannyaPenyebab terjadinya hal ini kemungkinan besar adalah sistem yang tersentralisasi dan birokratisasi yang berlebih pada sistem tatanan pemerintahan Indonesia. Sistem sentralisasi dan birokratisasi yang berlebih seakan telah mendarah daging (dan telah mengalami apa yang namanya proses internalisasi) di Indonesia. Sentralisasi menyebabkan, perihal dana rekonstruksi tadi, pengurusannya harus melalui berbagai lembaga yang berkantor di Jakarta. Sehingga untuk pengurusannya harus membutuhkan waktu yang cukup lama dan ribet untuk bisa sampai ke Jogja (yang hal ini memungkinkan terjadinya ‘kebocoran’—tentu, dan hal tersebut terjadi dikarenakan yang menjadi obyek disini adalah uang, dimana kita tahu bahwa uang merupakan suatu hal yang mempunyai resiko inherent yang tinggi, apalagi jika uang tersebut berkumpul dengan jumlah yang besar, dan uang tadi harus melalui berbagai ‘tangan’ sebelum sampai ke para korban gempa).

Sedang birokratisasi yang berlebih, yang terjadi akibat sentralisasi, menyebabkan perihal tersebut menjadi semakin ribet. Birokratisasi berlebih dapat dilihat dari panjangnya alur yang harus ditempuh, mulai dari bagian ke bagian, sampai departemen ke departemen. Berbagai birokrasi harus dilewati agar dana rekonstruksi tersebut segera mengucur ke Jogja. Kesana dan kemari harus dijalani. Dana tak kunjung jua datang dan rakyat Indonesia yang menjadi korban bencana harus merasakan akibatnya dengan harus menunggu lama dan harus terpaksa tetap tingga di tempat pengungsian. Tak lain, solusi alternatif pemecahan masalah ini (dan juga masalah-masalah lain berkait dengan keuangan dimana terjadi juga permasalahan sentralisasi dan birokratisasi berlebih dengan akar permasalahan pada sesuatu yang bernama anggaran—tetapi hal tersebut merupakan cerita yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan apa yang sedang di-esai-kan pada tulisan ini) adalah desentralisasi dan debirokratisasi.

Dengan desentralisasi—dalam hal ini—pemerintah daerah tak perlu bersusah-payah lagi dalam mendapatkan dana untuk rekonstruksi, tak perlu lagi terlalu banyak—istilahnya—‘terlalu banyak pulang-pergi ke Jakarta mengurus ini itu kesana kemari’, ketika terjadi bencana alam dan diperlukan dana yang cukup besar untuk menangani berbagai masalah pasca bencana. Diharapkan penanganan pasca bencana dapat dilaksanakan dengan cepat dan sigap.

Kemudian dengan debirokratisasi, diharapkan lajur kepemerintahan tak perlu lagi terlalu panjang dan berliku—dijadikan semakin flat— sehingga dapat dicapai keefektifan dan keefisiensian ketika dana penanggulangan bencana diperlukan sehingga rakyat yang menjadi korban bencana tak berlu lagi berlama-lama untuk mengalami kesusahannya.

Page 9: Documentlo

Tentang iklan-iklan ini

Peran NGO Lokal dalam Pengurangan Risiko Bencana

Banda Aceh, TDMRC. Indonesia yang terletak pada zona rawan bencana khususnya gempa bumi disebabkan karena posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik di dunia yaitu: Lempeng Australia di selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian barat dan Lempeng Samudra Pasifik di bagian timur. Untuk itu, peran serta semua pihak sangat dibutuhkan dalam pengurangan risiko bencana. Salah satunya adalah peran serta NGO/Lembaga lokal.Dalam kontek Aceh, bencana yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan pengalaman yang sangat berarti untuk kita sadari betapa perlunya pengetahuan tentang bencana. Persoalan Penanggulangan Bencana di Indonesia merupakan tanggung jawab kita bersama semua elemen masyarakat Indonesia yang terintegral dan terpadu termasuk NGO atau lembaga swadaya masyarakat lokal yang berada di Aceh.Hal ini diungkapkan, Sekretaris Pemerintah Aceh, Husni Bahri TOB, ketika membuka Workshop Peran NGO Lokal, tentang peran NGO Lokal untuk pengurangan risiko bencana, di Hotel Hermes, Rabu (25/8)Ia memaparkan, bahwa NGO/LSM lokal sangat berperan dalam membantu pemulihan pasca bencana 26 Desember

Page 10: Documentlo

2004 lalu yang menghancurkan sebahagian besar Provinsi Aceh. Pada saat sekarang ini peran NGO di tingkat lokal, sangat di harapkan untuk membentuk masyarakat yang sadar bencana yang bertujuan menimalisir jatuhnya korban dan harta benda ketika bencana melanda.“Pemerintah telah berkomitmen untuk menetapkan pengurangan risiko bencana sebagai salah satu prioritas dalam rencana pembangunan nasional. Lingkungan hidup dan Pengelolaan Bencana merupakan prioritas nomor 9 dari 11 prioritas nasional yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014”, ujarnya.Di samping itu, tegasnya, dalam RPJMN 2010 – 2014 ditetapkan pula 4 target pencapaian sasaran nasional di bidang PRB (Pengurangan Risiko Bencana) dan mitigasi bencana. Selain itu, dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan global untuk pengurangan risiko bencana, sebagaimana dituangkan dalam Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action/ HFA) 2005-2015, yang mengamanatkan bahwa seluruh negara diharapkan dapat menyusun suatu kebijakan khusus untuk pengurangan risiko bencana.Sebagai upaya pencapaian target strategi nasional 5 tahun ke depan tersebut, terutama terkait dengan terwujudnya pengarusutamaan PRB dalam kebijakan dan perencanaan di tingkat nasional dan daerah serta upaya memenuhi komitmen global PRB yang dituangkan dalam Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action/ HFA) 2005-2015, maka Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) tahun 2010 – 2012. RAN PRB 2010-2012 disusun melalui koordinasi Bappenas dan BNPB dengan dukungan lembaga donor UNDP dan Bank Dunia, dan telah diresmikan pada bulan Februari 2010 yang lalu melalui Peraturan Kepala BNPB nomor 5 tahun 2010. RAN PRB ini merupakan salah satu sub-sistem dari Rencana Nasional Penanggulangan

Page 11: Documentlo

Bencana 2010- 2014 yang telah disahkan melalui Peraturan kepala BNPB Nomor 3 tahun 2010. Penilaian risiko suatu wilayah dari berbagai ancaman bencana merupakan salah satu dari input bagi penyusunan strategi penanggulangan bencana dan rencana aksi PRB.Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) didukung oleh Project Disaster Risk Reduction for Aceh (DRR-A) UNDP ditugaskan untuk menjadi ”think tank” dari Pemerintah Aceh dalam menyediakan produk-produk, informasi-informasi serta saran-saran terhadap kegiatan pengurangan risiko bencana yang dilakukan di Aceh, baik oleh Pemerintan maupun oleh pihak-pihak terkait lainnya yang bergerak dibidang usaha pengurangan risiko bencana.Sebagai lembaga yang bergerak dalam mitigasi bencana tentunya sangat diperlukan bagi TDMRC untuk dapat memetakan berbagai kebutuhan dan persoalan yang fundamental bagi pemerintahan daerah dan kabupaten/kota serta institusi-institusi linear lainnya dalam merancang kegiatan-kegiatan berbasis pengurangan risiko bencana (PRB). Untuk itu, identifikasi permasalahan telah dilakukan sebelumnya oleh Divisi Advokasi, Pendidikan dan Pelatihan TDMRC salah satunya, adalah memetakan peranan NGO/LSM lokal dalam pengurangan risiko bencana melalui workshop yang diadakan selama dua hari yang hasil akhirnya membantu Pemerintah Aceh dalam pengurangan risiko bencana.Langkah yang di lakukan oleh TDMRC dalam program DRR-A, yang berupaya untuk berkontribusi meningkatkan masyarakat yang tahan terhadap bencana dan memberikan advokasi pada pemerintah dalam membuat kebijakan dan merencanakan kegiatan pembangunan yang berorientasi kepada pengurangan risiko bencana sangatlah memerlukan dukungan dari semua pihak termasuk

Page 12: Documentlo

NGO/LSM lokal yang selalu berdampingan dengan masyarakat.“Kita berharap pada NGO/LSM lokal yang telah mengikuti workshop selama dua hari ini, bisa berperan sebagai ujung tombak dalam memberikan informasi kepada masyarakat mengenai peran dan tindakan yang harus diambil oleh masyarakat dalam usaha untuk mengurangi kerentanan masyarakat terhadap risiko bencana”, ujarnya.Ia juga tegaskan, dukungan dan peran NGO/LSM yang dalam kesehariannya bersentuhan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat sehingga bisa melakukan pembinaan dan bimbingan kepada masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Disamping itu, NGO/LSM lokal diharapkan mampu memainkan peranan dalam mengadvokasi dan mendukung pemerintah untuk masalah pengintegrasian unsur pengurangan risiko bencana kedalam perencanaan pembangunan daerah.Kita menyadari bahwa usaha yang sangat berat serta waktu yang panjang masih kita butuhkan dalam mewujudkan Aceh sadar dan tahan terhadap bencana, namun menjadi harapan kita, TDMRC Unsyiah, terus berupaya mensinergikan dan memobilitas sumber daya serta potensi yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan diatas

PERAN SERTA NGO/LSM DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.*PENDAHULUAN

Mengutip pendapat Sonny Keraf (Etika Lingkungan 2002) bawah cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan tidak lain adalah upaya untuk mensingkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek social budaya dan aspek lingkungan hidup.

Dinamika pembangunan, sosial politik, ekonomi yang terjadi telah membawa perubahan terhadap pola implimentasi kebijakan dan perilaku masyarakat dalam berbagai hal, termasuk dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kecenderungan untuk melakukan upaya eksploitatif terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama sumberdaya alam yang selalu di beri tema ”demi kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat”, di sana sini telah memberikan

Page 13: Documentlo

gambaran yang mengkhawatirkan. Bencana alam yang kerap kali terjadi, seperti banjir, longsor, kerusakan lahan, pencemaran sebagai akibat dari perilaku itu telah membawa keprihatinan dan Kekhawatiran yang akan timbul, pertama, terjadi kemiskinan yang semakin mendalam, tidak saja karena kekayaan sumber daya alamnya terkuras habis. Lebih dari itu, karena kemerosotan sumberdaya alam mengakibatkan mereka tidak mampu untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Tingkat pendidikan tetap rendah, karena tidak memiliki kemampuan untuk membayar biaya pendidikan yang lebih baik. Kedua, timbul berbagai penyakit yang terkait langsung dengan mutu kehidupan yang semakin menurun di satu pihak dan dampak dari berbagai pencemaran lingkungan hidup di pihak lain. Ketiga, kehancuran sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati membawa pengaruh langsung bagi kehancuran budaya masyarakat di sekitarnya yang sangat tergantung hidupnya dari keberadaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati tersebut. Akibatnya, cara berfikir dan cara hidup mereka dengan segala kekayaan budayanya juga terancam, bersama terancamnya eksistensi mereka oleh punahnya keanekaragaman hayati itu.

Timbul suatu pertanyaan siapa yang terkena dampak langsung terhadap kondisi ini? sudah barang tentu adalah Masyarakat lokal yang hidup di lingkungan tersebut.

Masyarakat merupakan komponen penting dalam segala aspek terutama dalam peran pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat merupakan subjek utama yang menentukan keberlangsungan sumber daya alam lingkungan mereka. Dengan demikian dalam kebijakan yang didibuat pemerintah harus mengarah ke pembangunan masyarakat dan beroreatasi terhadap kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan sumber daya alam sekaligus menopang kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan – kebijakan pembangunan yang menyimpang yang tidak memperhitungkan aspek-aspek Lingkungan harus dikeritisi oleh masyarakat.

Salah satu upaya untuk mengurangi terjadinya persoalan lingkungan yang terkait dengan sumber daya alam dan masyarakat adalah melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat untuk membangun kesadaran kolektif dan kritis agar mau dan mampu melakukan gerakan pengelolaan lingkungan secara mandiri dengan peran serta aktif, sehingga memiliki posisi tawar masyarakat yang baik dalam pembangunan lingkungan yang berkelanjutan dan melakukan pembelaan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan Sehat.

PERAN LSM DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.

Dari uraian diatas bahwa perlu upaya – upaya penguatan masyarakat melalui cara pandang dan pola fikir kritis terhadap lingkungan. Tentunya dalam persoalan ini tidaklah mungkin dilakukan sendiri oleh pemerintah, sudah tentu harus melibatkan komponen - komponen masyarakat lainnya. Salah satu adalah keterlibatan LSM (lembaga swadaya Masyarakat) dalam proses penguatan masyarakat sipil dengan pendekatan Pemberdayaan Masyarakat.

Istilah “pemberdayaan”(empowerment) betasal dari kata“power” yang berarti kemampuan, tenaga atau kekuasaan. Dengan demikian secara harfiah, “perberdayaan” dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan, tenaga, kekuatan atau kekuasaan.

Perberdayaan juga dapat diartikan sebagai upaya mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekanan di segala bidang dan sektor kehidupan melalui pengalihan pengambilan keputusan kepada masyarakat agar mereka terbiasa dan mampu bertanggung jawab terhadap

Page 14: Documentlo

segala sesuatu yang dipilihnya. Dengan demikian Pemberdayaan masyarakat dapat dipersamakan dengan proses pengembangan masyarakat yang bertujuan memampukan masyarakat dalam mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan sendiri, serta memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya.

Dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup tujuan pemberdayaan tidak semata-mata peningkatan kesejahteraan rakyat. Ide dasarnyapemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup adalah terciptanya keseimbangan antara keberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan. Pelestarian lingkungan dalam hal ini, tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan masyarakat secara umum tapi juga dimaksudkan bagi kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Tampa lingkungan yang dapat menjamin kehidupan dan penghidupan yang layak, keberdayaan masyarakat sangat sulit terujutkan.

Pada tataran implimentasi dilapangan Pemberdayaan Masyarakat memerlukan sebuah “Pendampingan”,yaitu kegiatan memfasilitasi proses pembelajaran secara nonformal untuk mencapai keberdayaan masyarakat. Peran sebagai pemdampingan inilah, LSM atau ORNOP sangat penting.

TUJUAN PENDAMPINGAN

Tujuan pendampingan pada dasarnya mencakup 2 elemen pokok, yaitu tumbuhnya kemandirian dan partisipasi aktif masyarakat.

Kemandirian merupakan kemampuan untuk pelepasan diri dari keterasingan, atau kemampuan untuk bangkit kembali pada diri manusia yang mungkin sudah hilang karena adanya ketergantungan, exploitasi, dan sub ordinasi.

Kemandirian merupakan cermin adanya kepercayaan seseorang pada kemampuan sendiri yang menjadi suatu kekuatan pendorong untuk kreativitas manusia, otonomi untuk mengambil keputusan, bertindak berdasarkan keputusan sendiri,dan memilih arah tindakan yang tidak terhalang oleh pengaruh luar seperti keinginan orang lain.

Kemandirian dapat dikategorikan menjadi tiga (3) yaitu kemandirian material, intelektual, dan pembinaan. Kemandirian Material tidak sama dengan konsep sanggup mencukupi kebutuhan sendiri. Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan materi dasar dan cadangan serta mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis. Kemandirian intelektual adalah kemampuan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh masyarakat yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus dari luar kontrol terhadap pengetahuan itu. Kemandirian pembinaan adalah kemampuan otonom masyarakat untuk membina diri mereka sendiri, menjalani serta mengelola tindakan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka.

Partisipasi merupakan proses aktif dalam pelaksanaan kegiatan dan pengambilan keputusan yang dibimbing oleh cara berpikir masyarakat sendiri, sehingga mereka dapa melakukan kontrol efektif.

FUNGSI PENDAMPING

Pendamping dalam program–program pengemangan masyarakat atau sering pula disebut ”Community Development (CD) worker” memiliki fungsi yang kompleks, yakni sebagai

Page 15: Documentlo

edukuator,motivator,fasilitator,dinamisator,mediator,dan konselor. Peran mana yang perlu lebih ditonjolkan sangat tergantung dari kondisi masyarakat. Namun,dalam peran segala peran yang dimainkannya, pendamping harus memposisikan dirinya sejajar atau setara dengan masyarakat. Beberapa fungsi pendampingan sebagai berikut :

Fungsi Edukator

Inti pendampingan adalah mendidik masyarakat dengan cara yang tidak oteriter, dengan memberikan ruang gerak bagi berkembangnya pemikiran dan kreativitas masyarakat untuk secara aktif belajar dan berlatih atas dasar kesadaran yang tumbuh dari dalam. Ketika sedang menjembatani hubungan antar masyarakat dengan instasi teknis lembaga keuangan, dan mitra usaha, pendamping sedang melatih masyarakat untuk memanfaatkan potensi layanan pemerintah dan melatih kemampuan masyarakat dalam menjalin kerja sama.

Fungsi Motivator

Sebagai motivator, pendamping berperan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan diri masyarakat. Pendamping memotivasi masyarakat untuk melakukan aktivitas guna mencapai tujuan yang direncanakan, seperti melakukan pengembangan usaha, pelestarian lingkungan, membangun kelompok dan sebagainya.

Fungsi Fasilitator, Dinamisator, dan Inspirator.

Pendamping juga dapat berfungsi sebagai fasilitator. Istilah ”fasilitator” berasal dari kata ”fasilitasi” yang berarti sarana. Maka ”memfasilitasi” berarti memberikan sarana agar tercapai tujuan. Serana tersebut biasanya untuk memperlancar proses kegiatan, seperti memfasilitasi proses agar kegiatan diskusi berjalan lancar. Sedangkan berfungsi sebagai Dinamisator dan Inspirator, yakni mendorong masyarakat dan kelompok untuk melakukan aktivitas sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Fungsi Konselor

Dalam hal- hal tertentu,masyarakat akan berkonsultasi dan meminta bimbingan pendamping. Misalnya dalam hal mengelola kelompok. Sejauh menguasai materinya , pendamping dapat langsung membimbing masyarakat

Fungsi Mediator

Sebagai mediator, peran pendamping diantaranya adalah menjembatani masyarakat dan kelompok dengan instansi teknis untuk memperoleh bimbingan teknis atau fasilitas lainnya,menjembatani dengan lembaga keuangan untuk memperoleh fasilitas permodalan usaha, menjembatai dengan mitra usaha,serta menjadi perekat hubungan anata anggota masyarakat sehingga tercipta iklim yang kondusif.

Fungsi Advokasi

Masyarakat dapat saja mengalami sengketa dengan berbagai pihak dalam kaitannya dengan hal-hal yang masih dalam spectrum pembinaan. Sengketa ini dapat terjadi antara penduduk dan dapat pula dengan pihak-pihak lain diluar komunitas yang didampingi seperti dengan mitra usaha atau bahkan dengan instasi penerintah. Dalam kondisi tingkat keberdayaan yang masih terbatas, masyarakat sering tidak memiliki posisi tawar, sehingga sering kalah bila bersengketa

Page 16: Documentlo

dengan pihak yang lebih memiliki kekuasaan. Untuk itu, pemdamping dapat melalukan pembelaan dalam batas-batas kebenaran dan kewajaran.

KOMPETENSI PENDAMPING

Kompetensi pemdamping sangat mempengaruhi kesuksesan dalam proses pendampingan kelompok masyarakat. Individu pendamping Kelompok masyarakat dipengaruhi faktor fokus dan oriantasi lembaga pendamping. Tentu saja untuk LSM yang fokus kerjanya dibidang Lingkungan hudup dan Pemberdayaan Masyarakat tentu saja tentu individu pendamping pada lembaga tersebut harus mempunyai kemampuan kedua bidang tersebut.

Kompetensi pendamping dapat dilihat dari dua sisi yaituatitude atau sikap serta penguasaan ilmu pengetahuan.

1. Sikap pendamping

Seorang pendamping harus mampu menumbuhkan motivasi dan meraih kepercayaan masyarakat. Untuk itu pendamping harus mempunyai sifat dasar dan kemampuan sebagai berikut:

 Jujur dan ikhlas

 Ramah, tapi tegar dan tegas

 Demokratis.

 Rendah Hati

 Mempunyai komitmen kuat pada kemajuan masyarakat

 Mengenali dan menghormati adat istiadat setempat

 Semangat belajar

2. Pengetahuan Keterampilan

Pendamping bukanlah manusia super yang memiliki kemampuan dalam semua aspek kehidupan. Namun,ia perlu memiliki sebagian pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat.

 Pengetahuan dan keterampilan teknis.

Dalam hal ini pendamping harus memiliki keterampilan untuk mengenali konsep lingkungan hidup dan konservasi serta filosofi lingkungan .

 Wawasan konseptual dan praktis tentang merode pemberdayaan masyarakat.

Pendamping diharapkan memiliki pemahaman yang baik terhadap konsep pemberdayaan dan memiliki keterampilan seperti keterampilan psikologi sosial, keterampilan dalam penumbuhan, pembentukan, pendampingan, pengelolaan, dan

Page 17: Documentlo

pengembangan kelompok, serta keterampilan animasi (penyadaran dan penumbuhan motivasi).

KETERKAITAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT POLA PEMBENTUKAN KELOMPOK DENGAN PELESTARIAN LINGKUNGAN.

Untuk mendorong kelompok yang didampingi terdapat muatan – muatan pelestarian lingkungan. Upaya – upaya tersebut dapat secara ekpsplisit diwujudkan dalam hal-hal seperti :

1. Spektrum Kelestarian lingkungan mewarnai tujuan kelompok. Sebagai contoh tujuan dirumuskan dalam pernyataan “ pembentukan kelompok bertujuan untuk membangun kesejahteraan masyarakat melalui proses pembelajaran, penyedian modal dan pelestarian lingkungan hidup.

2. Pelestarian Lingkungan hidup sebagai salah satu kegiatan Kelompok. Misalnya kegiatan kelompok melakukan rehabilitasi lahan kritis daerah DAS.

3. Pemberian Bantuan stimultan untuk kegiatan pelestarian Lingkungan. Misal melaksanakan program bantuan modal usaha ekonomi masyarakat dengan kompinsasi penananaman pohon, rehablitasi pantai dll.

Pola pemberdayaan masyarakat yang berbasis penguatan ekonomi masyarakat dapat di kombinasikan dengan pola penyadaran lingkungan dan program pelestarian lingkungan. Ada banyak skema dan pembelajaran yang perna dilakukan oleh LSM baik tingkat lokal, nasional maupun Internasional. Diantaranya

- Rehabilitasi Pantai yang dilakukan oleh WI-IP (wetlands –internasional ) di kabupaten pemalang Jawa tengah dengan sistem pembentukan kelompok usahan ekonomi masyarakat, pemberian modal ekonomisebagai konfinsasi mesyarakat melakukan pembibitan bakau dan melakukan rehabilitasi pantai. JICA di pantai Benoa Bali, Yayasan mangrove di beberapa lokasi sumatera , kalimantan, yayasan Bentera Karya ( di Kabupaten Belu NTT), kelompok pecinta alam Desa Karangsong/KELOPOK di indramayu dsb.

- Rehabilitasi Lahan gambut. Di Sumatera Selatan, jambi dan Kalimantan kerja sama antara pemerintah kanada (CIDA) dengan WI-IP dan LSM Lokal Yayasan WBHSumatera Selatan dan PINSE di Jambi.

 INTISARI

 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/ Organisasi Non Pemerintah(ORNOP), merupakan komponen penting dalam mendorong pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan peran kritis masyarakat dalam berkontribusi terhadap Pelestarian lingkungan Hidup.

 Masyarakat memiliki pengetahuan tentang potensi diri dan lingkungannya, karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berada di lingkungannya. Meskipun sering belum menyadari dan belum mampu mengidentifikasi permasyalahan tersebut, tetapi dengan di dampingi oleh Fasilitator, mereka terbukti akan mampu mengenalinya.

Page 18: Documentlo

 Masyarakat memahami potensi dan kemampuan yang dimiliki, meskipun belum mampu mengidentifikasinya secara eksplisit. Melalui pendampingan, mereka mampu mengidentifikasi kemampuan tersebut secara jelas dan tepat sesuai dengan kemampuannya.

 Masyarakat memiliki hak untuk mengetahui dan berpartisifasi dalam memilih arah serta melaksanakankegiatan pembangunan yang menyakut dirinya dan lingkungannya. Sebagaimana Masyarakat berhak mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat.

Diposkan oleh Deddy P di 22.52