lko i & ii - a

21
Laporan Praktikum Kimia Organik Ki-2051 Semester II 2004/2005 Percobaan 1 dan 2 Pemisahan dan Pemurnian Zat Cair dan Zat Padat Tanggal Percobaan : 21 September 2005 Kelompok : V Nama Asisten : Uti Yuda Disusun Oleh : NAMA : Anggit Lufiandati NIM : 10704058 LABORATORIUM KIMIA ORGANIK

Upload: lynnlynn23

Post on 23-Jun-2015

1.124 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: LKO I & II - A

Laporan Praktikum Kimia Organik

Ki-2051 Semester II 2004/2005

Percobaan 1 dan 2

Pemisahan dan Pemurnian

Zat Cair dan Zat Padat

Tanggal Percobaan : 21 September 2005

Kelompok : V

Nama Asisten : Uti

Yuda

Disusun Oleh :

NAMA : Anggit Lufiandati

NIM : 10704058

LABORATORIUM KIMIA ORGANIK

DEPARTEMEN KIMIA FMIPA

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2005

Page 2: LKO I & II - A

PERCOBAAN 1

PEMISAHAN DAN PEMURNIAN ZAT CAIR :

Distilasi dan Titik Didih

1. Tujuan Percobaan

a. Menjelaskan prinsip kerja distilasi

b. Menjelaskan perbedaan antara distilasi sederhana dengan distilasi bertingkat

c. Menjelaskan pengertian campuran azeotrop dan cara pemisahannya

2. Teori / Prinsip Percobaan

Salah satu metode yang sangat baik untuk memurnikan zat cair adalah

dengan cara distilasi. Prinsip dasar dari distilasi adalah perbedaan titik didih. Secara

umum titik didih didefinisikan sebagai temeperatur ketika jumlah tekanan parsial di

atas fasa cair sama dengan tekanan luar yang dikenakan pada sistem.

Jika prinsip distilasi tersebut dikaitkan dengan hukum Roult, maka

dengan demikian, komponen dengan titik didih lebih rendah yang proporsinya lebih

tinggi akan terdistilasi pertama kali, selanjutnya diikuti oleh peningkatan jumlah

komponen dengan titik didih lebih tinggi.

Suatu zat cair mengandung atom-atom atau molekul yang tersusun

berdekatan namun masih dapat bergerak bebas dengan energi yang berlainan. Ketika

suatu molekul zat cair mendekati perbatasan fasa uap-cair, maka molekul tersebut,

jika memiliki energi yang cukup, dapat berubah dari fasa cair menjadi fasa gas. Hanya

molekul yang memiliki energetika yang cukup yang dapat mengatasi gaya yang

mengikat antarmolekul dalam fasa cair, sehingga dapat melepaskan diri ke dalam fasa

gas.

Ada beberapa jenis distilasi, diantaranya : a. distilasi biasa atau distilasi

sederhana, dilakukan apabila perbedaan titik didih antara komponen itu relatif cukup

besar, b. distilasi bertingkat, apabila perbedaan titik didihnya tidak terlalu jauh, c.

distilasi uap, biasanya digunakan untuk suatu zat yang sudah bisa mengurai pada uap

panas, misalnya untuk mengekstraksi minyak-minyak atsiri, dan d. distilasi vakum,

digunakan untuk zat yang mampu mengurai pada suhu tinggi.

Campuran azeotrop adalah suatu campuran zat cair dengan komposisi

tertentu yang mengalami distilasi pada temperatur konstan, tanpa adanya perubahan

dalam komposisinya.

3. Data Fisik dan Kimia

Page 3: LKO I & II - A

Zat

Rumus

molek

ul

Titik

didih

Titik

leleh

Ind

eks

bia

s

Kelarutan Precautions

Air H2O 1000

C

00C 1

benzena C6H6 80,10

C

5,50C dalam air

250C =

0,18

berbahaya, jika

cairannya

memasuki paru-

paru, gejalanya

mual

Methanol CH3OH 64,70 64,70C 1,3

2

jangan dihirup,

dapat

menyebabkan

kebutaan,

segera basuh

jika kena

Toluene C7H8 110,

60C

-94,90C 1,4

9

tidak toxic, jika

terkena kulit

seperti terbakar,

cuici dengan air

dan sabun

sikloheksa

na

C6H12 80,80 1,3

4

4. Alat dan Bahan

a. Bahan b. Alat

~ metanol ~ peralatan distilasi sederhana

~ air ~ labu bundar

~ batu didih ~ peralatan distilasi bertingkat

~ sikloheksana ~ termometer

~ toluena

~ benzena

5. Diagram Percobaan

a. distilasi sederhana b. distilasi bertingkat

Pasang peralatan pasang peralatan

Page 4: LKO I & II - A

distilasi

distilasi distilasi

distilat distilat

c. distilasi azeotrop terner

pasang peralatan

6. Pembahasan

a. Distilasi Sederhana

Hal penting sebelum melakukan proses distilasi adalah merangkai alat

distilasi. Pemasangan alat ini harus benar-benar diperhatikan agar proses distilasi bisa

berjalan dengan lancar. Pada perangkat alat distilasi, terdapat kondensor yang berisi

air. Air tersebut harus mengalir dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah. Hal itu

bertujuan agar seluruh permukaan kondensor bisa rata terkena air. Selain itu, lubang

pipa pada kondensor diusahakan harus menghadap ke atas, karena dengan posisi

demikian, memungkinkan air untuk membasahi permukaan kondensor secara merata,

hal itu bertujuan agar proses kondensasi pada kondensor berjalan secara sempurna.

Setelah semua peralatan dirangkai, pada zat cair yang akan didistilasi

ditambahkan batu didih. Tujuannya untuk menghindari terjadinya ‘bumping’ atau

letupan, sebab jika pada proses ini terjadi ‘bumping’, dikhawatirkan letupan itu akan

mengganggu atau merusak rangkaian alat distilasi yang telah dirangkai sedemikian

rupa. ‘Bumping’ itu sendiri terjadi karena pada saat dilakukan pemanasan, zat cair

yang pertama kali bertambah panas adalah zat cair yang berada pada bagian bawah

labu, sedangkan zat cair pada bagian atas, masih belum begitu panas jika

dibandingan dengan cairan yang ada di bagian bawah. Dengan adanya perbedaan

suhu ini, maka cairan yang ada di bawah (yang suhunya lebih panas), akan mendesak

ke atas, ke cairan yang suhunya masih rendah, dengan demikian, pada proses

pemanasan tersebut akan terjadi gelembung-gelembung atau letupan pada

permukaan zat cair. Lain halnya jika pada pemanasan ini ditambahkan batu didih.

Batu didih mempunyai banyak pori-pori yang dapat menyerap panas sehingga batu

didih berfungsi untuk mendidihkan panas perlahan-lahan. Panas yang naik secara

perlahan-lahan akan mencegah terjadinya ‘bumping’ . Sehingga sebelum gelembung

metanol-air ( 1:1) + batu

didih

campuran sikloheksana-

toluena ( 1:1) 40 mL + batu didih

25 mL campuran metanol-air +

benzena + batu didih

Page 5: LKO I & II - A

tersebut muncul ke permukaan dan menghasilkan letupan, terlebih dahulu gelembung

tersebut akan pecah di dalam cairan, dan ‘bumping’ atau letupan pun bisa dihindari.

Alasan lain mengapa dalam proses distilasi tidak boleh terjadi ‘bumping’’ karena

‘bumping’ tersebut akan menyebabkan uap yang didistilasi akan mengisi dahulu

gelembung udara sehingga dikhawatirkan kemurnian distilasi akan berkurang.

Semakin banyak batu didih yang ditambahkan, maka proses pemanasan pun akan

semakin baik juga.

Prinsip dasar distilasi adalah perbedaan titik didih. Distilasi sederhana

adalah proses distilasi yang tidak melibatkan kolom fraksinasi, dan digunakan untuk

memisahkan campuran yang perbedaan titik didihnya relatif cukup besar, atau

diperkirakan tidak akan menguap dalam waktu yang hampir bersamaan.

Pada proses distilasi sederhana ini (metanol-air), tetesan distilat yang

pertama terjadi pada suhu 690C, hal itu menandakan bahwa pada suhu tersebut

campuran mulai mendidih. Jika kita perhatikan, titik didih campuran tersebut, lebih

besar daripada titik didih metanol, tetapi lebih kecil dibandingkan titik didih air. Hal ini

terjadi sesuai dengan sifat koligatif larutan, menurut hukum Roult, suatu campuran

titik didihnya tidak akan sama dengan titik didih komponennya pada keadaan murni,

tetapi akan lebih tinggi, karena adanya pengaruh komponen lain yang ada pada

campuran tersebut.

Pada proses distilasi ini, yang lebih dulu mendidih dan menguap adalah

metanol, karena titik didihnya lebih rendah dibandingkan air. Metanol yang mendidih

dan menguap ini, selanjutnya akan terkondensasi, dan akhirnya akan berubah lagi

menjadi fasa cair seperti semula.

Namun dalam percobaan ini, kemungkinan besar kita tidak akan

memperoleh metanol yang 100% murni, karena campuran yang didistilasi (metanol-

air 1:1) merupakan suatu campuran azeotrop yang sulit untuk dipisahkan secara

distilasi biasa. Jadi distilat yang dihasilkan masih berupa campuran metanol-air yang

komposisinya sudah bebeda dengan semula. Untuk memastikan apakah metanol yang

kita peroleh sudah murni atau tidak, sebaiknya kita lakukan uji indeks bias.

b. Distilasi bertingkat

Sebelum melakukan distilasi, sama seperti pada distilasi sederhana, kita

harus merangkai terlebih dahulu alat yang akan kita pakai, yaitu seperangkat alat

distilasi bertingkat. Dari susunan alatnya, tidak jauh beda dari alat distilasi sederhana,

hanya saja pada distilasi bertingkat kita menggunakan suatu kolom fraksinasi. Selain

itu, sama juga kita harus menambahkan batu didih pada zat cair yang akan didistilasi,

tentunya dengan tujuan yang sama pula, yaitu untuk mencegah terjadinya ‘bumping’

atau letupan. Satu hal lain yang tidak kalah pentingnya, dalam setiap proses distilasi

Page 6: LKO I & II - A

kita harus memperhatikan air yang ada dalam kondensor untuk selalu tetap mengalir.

Air tersebut berfungsi untuk membantu kondensasi, jika air dalam kondensor tersebut

tidak mengalir atau statis, maka lama-kelamaan suhunya pun akan meningkat. Jadi

mengalirnya air tersebut sangat penting untuk sempurnanya proses kondensasi.

Distilasi bertingkat ini digunakn untuk memisahkan campuran zat cair

yang memiliki perbedaan titik didih yang relatif dekat. Dekat di sini maksudnya, saat

kedua zat tersebut tercampur, dan terpengaruh oleh sifat-sifat koligatif, maka

dikhawatirkan kedua-duanya akan menguap dalam waktu yang hampir bersamaan,

sehingga kita susah untuk memisahkan campuran tersebut. Tetapi dengan

menggunakan alat distilasi bertingkat ini, kekhawatiran tersebut bisa disiasati, salah

satunya dengan cara memanjangkan jalan uap.

Pada proses distilasi ini (campuran sikloheksana-toluena), yang akan

terlebih dahulu mendidih dan menguap adalah sikloheksana, karena tituk didihnya

lebih rendah dibandingkan titik didih toluena. Suatu hal yang perlu diperhatikan, pada

proses ini, tetesan pertama distilat terjadi pada suhu 870C, padahal jika kita lihat di

literatur, titik didih sikloheksana berkisar antara 810C. Hal ini menandakan bahwa

sikloheksana mendidih di atas suhu titik didihnya. Alasannya sama seperti yang telah

di kemukakan pada pembahasan distilasi sederhana, yaitu terkait masalah sifat

koligatif dan hukum Roult.

Sebenarnya pada suhu tersebut (870C), ada sebagian toluena yang ikut

mendidih dan menguap, tapi karena ada degradasi (perbedaan) suhu, toluena tidak

mempunyai energi yang cukup untuk menstabilkan dirinya agar tetap berada pada

fasa uap, akibatnya, toluena kembali turun dan menjadi fasa cair kembali. Dengan

cara demikian, kita bisa memisahkan toluena dengan sikloheksana.

c. Distilasi azeotrop terner

Campuran azeotrop adalah suatu campuran zat cair dengan komposisi

tertentu yang mengalami distilasi pada temperatur konstan, tanpa adanya perubahan

dalam komposisinya. Sistem azeotrop sulit dipisahkan dengan cara ditilasi biasa.

Sehingga ada beberapa cara yang harus dilakukan untuk memisahkan larutan

azeotrop, yaitu:

a. Melakukan penambahan senyawa ketiga (zat lain) yang mampu mengganggu

interaksi antara komponen A dan B, sehingga jika interaksi komponen-

komponennya sudah terganggu, maka campuran tersebut akan lebih mudah untuk

didistilasi. Contohnya seperti pada percobaan yang dilakukan, untuk memisahkan

campuran metanol-air, sebelum dilakukan distilasi, kita menambahkan benzena

kepada campuran tersebut sebagai pengganggu. Benzen diharapkan dapat

membentuk azeotrop terner metanol-air-benzena, yang lebih mudah dipisahkan

Page 7: LKO I & II - A

dari campuran daripada campuran azeotrop biner metanol-air. Benzen dalam

campuran ini berperan untuk memecah sistem dari metanol-air, sehingga dapat

mengganggu atau merusak interaksi antara komponen air dengan metana .

Benzena akan mengikat salah satu dari metanol atau air, dan membentuk benzen-

air atau benzen-metanol. Azeotrop benzen-air dan benzen-metanol mempunyai

titik didih berbeda, dan perbedaannya pun cukup tinggi sehingga dapat dipisahkan

menjadi metanol, air, dan benzena melalui distilasi bertingkat.

Metode ini juga digunakan dalam industri pembuatan etanol mutlak dari etanol

95,6%. Dengan penambahan benzena kemudian disuling atau didistilasi dengan

alat distilasi bertingkat, maka yang tersuling pertama kali adalah campuran

azeotrop terner yang mempunyai titik didih minimum 64,850C dan mengandung

7,4% air, 18,5% alkohol, dan 74,1% benzena. Kemudian diikuti oleh campuran

azeotrop kedua dengan titik didih 68,250C yang mengandung 32,4% benzena dan

67,6% etanol, dan akhirnya tersuling etanol mutlak.

b. Melakukan penambahan pereaksi yang hanya bereaksi dengan salah satu senyawa

penyusun campuran azeotrop. Contohnya: kalsium karbonat dapat digunakan

untuk menghilangkan air pada pembuatan etanol mutlak. Hidrokarbon aromatik

dan hidrokarbon tak jenuh dapat dipisahkan dari hidrokarbon jenuh dengan cara

sulfonasi.

Contoh-contoh campuran azeotrop beserta komposisina terdapat pada lampiran.

7. Kesimpulan

a. Prinsip dasar distilasi adalah perbedaan titik didih.

b. Distilasi sederhana digunakan untuk memisahkan campuran yang perbedaan

titik didih tiap komponennya cenderung jauh, sedangkan distilasi bertingkat

digunakan untuk memisahkan campuran yang memiliki perbedaan titik didih

tiap komponennya cenderung dekat. Dekat di sini maksudnya, saat kedua zat

tersebut tercampur, dan terpengaruh oleh sifat-sifat koligatif, maka

dikhawatirkan kedua-duanya akan menguap dalam waktu yang hampir

bersamaan, sehingga kita susah untuk memisahkan campuran tersebut.

Sehingga untuk memisahkan campuran tersebut perlu digunakan distilasi

bertingkat, bukan distilasi sederhana.

c. Campuran azeotrop adalah suatu campuran zat cair dengan komposisi tertentu

yang mengalami distilasi pada temperatur konstan, tanpa adanya perubahan

dalam komposisinya. Untuk memisahkan campuran azeotrop kita perlu

menambahkan senyawa ketiga (zat lain) yang mampu mengganggu interaksi

antara komponen A dan B, sehingga campuran tersebut akan lebih mudah

Page 8: LKO I & II - A

untuk didistilasi. Selain itu bisa juga dengan menambahkan pereaksi yang

hanya bereaksi dengan salah satu senyawa penyusun campuran azeotrop.

8. Daftar Pustaka

Adam & Johnson. 1958. Laboratory Experiments in Organic Chemistry. USA: The

Macmillan Company.

Sudjadi, drs. 1986. Metode Pemisahan. Jakarta: Kanisius.

Vogel. 1959. A Text-Book of Practical Organic Chemistry. London: Spotisswoode.

PERCOBAAN 2

PEMISAHAN DAN PEMURNIAN ZAT PADAT :

Rekristalisasi dan Sublimasi

1. Tujuan Percobaan

a. Menjelaskan prinsip kerja rekristalisasi

b. Menyebutkan atau mengetahui kriteria pelarut yang baik dan sesuai

untuk rekristalisasi

c. Menjelaskan pengaruh kemurnian kristal terhadap trayek titik lelehnya

d. Menjelaskan prinsip sublimasi

2. Teori / Prinsip Percobaan

Salah satu cara untuk memurnikan zat padat adalah dengan

metode kristalisasi, yaitu: proses melarutkan zat padat tidak murni dalam

pelarut panas, yang dilanjutkan dengan pendinginan larutan tersebut untuk

membiarkan zat tersebut mengkristal. Prinsip dasarnya adalah:

a. adanya perbedaan kelarutan zat-zat padat dalam pelarut tertentu, baik

dalam pelarut murni atau dalam pelarut campuran.

b. suatu zat akan lebih mudah larut dalam pelarut panas dibandingkan

dalam pelarut dingin.

Sesuai dengan prinsip dan teknik kristalisasi tersebut, hal yang menentukan

keberhasilannya adalah memilih pelarut yang tepat. Pelarut yang tepat

adalah pelarut yang sukar melarutkan senyawa pada temperatur kamar,

tetapi dapat melarutkan dengan baik pada titik didihnya.

Page 9: LKO I & II - A

Titik leleh senyawa murni adalah suhu ketika fasa padat dan fasa

cair senyawa tersebut berada dalam kesetimbangan pada tekanan 1 atm.

Cara menentukan titik leleh, dengan menggunakan :

a. Alat Thiele : digunakan untuk titik leleh 250-1800C dengan menggunakan

minyak parafin atau oli sebagai pemanas.

b. Alat Thomas-Hoover : digunakan untuk titik leleh 250-3000C dengan

menggunakan silikon oli sebagai pemanas.

c. Alat Mel-Temp : digunakan untuk titik leleh 250-4000C dengan

menggunakan melting block.

d. Alat Fisher-Johns : digunakan untuk titik leleh 250-3000C dengan

menggunakan heating-block (elektrik).

Selain itu, sublimasi termasuk ke dalam cara pemisahan sekaligus

pemurnian zat padat. Untuk bisa menyublim, suatu zat padat harus

mempunyai etkanan uap relatif tinggi pada suhu di bawah titik lelehnya.

3. Data fisik dan Kimia

Zat Rumu

s

Molek

ul

Titik

Didi

h

Titik

Lele

h

Inde

ks

Bias

Kelarutan Precautions

asam

benzoat

C7H6O

2

249,

2

122

,4

1,50

4

bersifat toxic,

masih bisa

ditoleransi

dalam dosis

kecil

karbon C 420

0

365

2

tidak

larut

dalam air

dingin

stabil, cepat

terbakar

air H2O 100 0 1

naftalen 217,

55

89,

29

Page 10: LKO I & II - A

4. Alat dan Bahan

a. Bahan b. Alat

~ asam benzoat ~ gelas kimia 100mL

~ air ~ kasa asbes

~ karbon ~ pembakar Bunsen

~ norit ~ corong penyaring

~ serbuk kamper kotor ~ kertas saring

~ labu Erlenmeyer

~ corong Buncher

~ cawan porselen

~ klem bundar

5. Diagram Percobaan

a. Kristalisasi asam benzoat

asam benzoat + pelarut panas

didihkan

+ norit atau karbon dan saring biasa

pengotor filtrat

penyaringan kristal

pelarut kristal

b. Sublimasi

serbuk kamper kotor

lakukan

sublimasi

kristal

6. Pembahasan

a. Kristalisasi asam benzoat

Kristalisasi adalah proses melarutkan zat padat tidak murni dalam

pelarut panas, yang dilanjutkan dengan pendinginan larutan tersebut untuk

Page 11: LKO I & II - A

membiarkan zat tersebut mengkristal. Proses kristalisasi adalah kebalikan dari

proses pelarutan. Mula-mula molekul zat terlarut membentuk agregat dengan

molekul pelarut, lalu terjadi kisi-kisi diantara molekul zat terlarut yang terus

tumbuh membentuk kristal yang lebih besar diantara molekul pelarutnya,

sambil melepaskan sejumlah energi. Kristalisasi dari zat murni akan

menghasilkan kristal yang identik dan teratur bentuknya sesuai dengan sifat

kristal senyawanya, dan pembentukkan kristal ini akan mencapai optimum bila

berada dalam kesetimbangan.

Pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses rekristalisasi

adalah pelarut cair, karena setelah melarutkan zat padat, bila dilakukan

penguapan akan lebih mudah diperolehnya kembali. Kriteria pelarut yang

baik :

• Tidak bereaksi dengan zat padat yang akan di rekristalisasi

• Zat padatnya harus memiliki kelarutan terbatas atau relatif tak larut dalam

pelarut pada temperatur kamar atau temperatur kristalisasi

• Zat padatnya memiliki kelarutan yang tinggi (larut baik) dalam suhu titik

didih pelarutnya

• Titik didih pelarut tidak melebihi titik leleh zat padat yang akan

direkristalisasi

• Zat pengotor yang tidak diinginkan harus sangat larut dalam pelarut pada

temperatur kamar, atau tidak larut dalam pelarut panas

• Pelarut harus cukup volatile ( mudah menguap ) sehingga mudah untuk

dihilangkan setelah zat padat yang diinginkan telah terkristalisasi

Pada proses rekristalisasi ini, setelah zat padat yang akan

dikristalisasikan (asam benzoat) larut dalam pelarut panas, kita menambahkan

norit (arang halus) atau arang aktif pada campuran larutan tersebut, tujuannya

untuk menyerap berbagai macam pengotor yang terdapat pada larutan, karena

norit memiliki daya absorpsi yang sangat besar, bahkan dalam tubuh kita pun

norit bisa mengabsorpsi racun, pengotor, dan bisa juga dijadikan sebagai obat

anti diare. Sifat tersebut berkaitan erat dengan struktur kimia norit yang

berbentuk cincin dan di dalamnya terdapat rongga, dan rongga inilah yang

memiliki kekuatan untuk mengabsorpsi.

Setelah larutan ditambah norit, sebelum disaring untuk

mendapatkan kristal, kita juga perlu memanaskan kembali larutan yang akan

direkristalisasi tadi, tujuannya: ketika kita sudah menambahkan norit pada

Page 12: LKO I & II - A

larutan yang panas, maka akibat panas tersebut, rongga yang dimiliki norit

membesar sehingga mampu menyerap pengotor, tetapi ketika suhu larutan

menjadi dingin, rongga norit yang sudah dipenuhi pengotor akan menutup

kembali, dan dikhawatirkan akan ikut mengkristal. Jika terjadi demikian, maka

kita tidak akan mendapatkan kristal asam benzoat yang benar-benar murni.

Sehingga pemanasan kembali larutan setelah ditambah norit berguna untuk

menghindari hal tersebut.

Setelah dipanaskan kita harus menyaring larutan tersebut, dalam

percobaan ini menggunakan corong penyaring yang dilengkapi penghisap

(pompa vakum). Tujuan digunakannya penghisap ini adalah untuk menyerap

udara pada larutan yang akan direkristalisasi, sehingga dengan demikian

proses pembentukan kristal pun akan semakin cepat.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam proses ini adalah kita

harus cepat-cepat menyaring larutan tersebut dalam keadaan panas, hal ini

berkaitan dengan melting point dari asam benzena, karena kalau dibiarkan

larutan tersebut dingin, maka asam benzoat akan membentuk kristal sebelum

dilakukan penyaringan.

Setelah dilakukan rekristalisasi, maka akan didapat perbedaan antara kristal kotor

dengan kristal yang sudah mengalami pemurnian, yaitu:

Sebelum penyaringan Sesudah penyaringan

2 gram 0,76 gram

berbentuk serbuk-serbuk putih berbentuk kristal bening

kotor bersih

titik leleh 122,40C titik leleh 97 - 98,50C

Pada tabel tersebut dapat kita lihat bahwa jumlah asam benzoat

sebelum penyaringan adalah 2 gram, dan setelah disaring dan direkristalisasi

menjadi 0,76 gram. Pengurangan jumlah massa asam benzoat tersebut terjadi

karena setelah dilakukan rekristalisasi, pengotornya hilang, sehingga

mempengaruhi massa kristal.

Untuk mengetahui apakah kristal yang kita peroleh itu benar-benar

asam benzoat, kita lakukan uji indeks bias. Misalnya dengan menggunakan alat

refraktometer. Indeks bias bisa dijadikan cara untuk mengidentifikasi suatu zat,

karena setiap zat memiliki kerapatan yang berbeda-beda, sehingga indeks bias

Page 13: LKO I & II - A

yang dimilikinya pun berbeda-beda pula. Jadi indeks bias merupakan salah satu

karakteristik suatu zat.

Selain itu untuk menguji apakah kristal yang kita peroleh sudah

murni, kita lakukan uji titik leleh. Suatu zat padat memiliki molekul-molekul

dalam bentuk kisi yang teratur, dan diikat oleh gaya-gaya gravitasi dan

elektrostatik. Bila zat tersebut dipanaskan, energi kinetik dari molekul-molekul

tersebut akan naik. Hal ini akan mengakibatkan molekul bergetar, yang

akhirnya pada suatu suhu tertentu ikatan-ikatan molekul tersebut akan

terlepas, maka zat padat akan meleleh. Titik leleh adalah temperatur yang

teramati ketika zat padat mulai meleleh sampai semua partikel berubah

menjadi cair.

Titik leleh senyawa murni adalah suhu dimana fasa padat dan fasa

cair senyawa tersebut berada dalam keetimbangan pada tekanan 1 atm. Kalor

diperlukan untuk transisi dari bentuk kristal, sampai semua berbentuk cair.

Proses pelelehan ini terjadi dalam kesetimbangan atau reversible. Untuk

melewati proses ini memerlukan waktu dan perubahan suhu. Makin murni

senyawa tersebut, trayek (range) suhu lelehnya makin sempit, biasanya tidak

lebih dari 10. Adanya zat asing atau pengotor di dalam suatu kisi akan

mengganggu struktur kristal keseluruhannya, dan akan memperlemah ikatan-

ikatan di dalamnya. Akibatnya titik leleh senyawa tidak murni akan lebih

rendah dari senyawa murninya, dan yang paling penting adalah trayek titik

lelehnya yang makin lebar.

Suatu senyawa murni biasanya memiliki titik leleh yang tajam

( trayek titik lelehnya sempit), yaitu sekitar 20 atau kurang. Adanya zat

pengotor dalam sample memiliki 2 pengaruh terhadap pengukuran titik leleh,

yaitu : (a). temperatur titik didih lebih rendah.; (b). melebarnya trayek titik

leleh (› 30). Jika suatu sample mengandung 2 senyawa atau lebih, setiap

komponen dalam campuran akan menurunkan titik leleh komponen lainnya

(mengikuti hukum Roult untuk campuran ideal), sehingga titik leleh sample

akan lebih rendah dan trayeknya lebih lebar daripada titik leleh masing-masing

komponen.

Dalam percobaan ini, untuk menentukan titik leleh digunakan alat

melting-block. Penentuan titik leleh suatu senyawa murni ditentukan dari

pengamatan trayek titik lelehnya, dimulai saat terjadinya sedikit pelelehan,

transisi padat-cair, sampai seluruh kristal mencair. Dari hasil pengamatan titik

Page 14: LKO I & II - A

leleh kristal hasil rekristalsasi berkisar antara 97 - 98,50C, padahal berdasarkan

data dari literatur, titik leleh asam benzoat murni adalah 122,40C. Karena titik

leleh setelah rekristalisasi lebih rendah dibandingkan titik leleh senyawa murni

yang sebenarnya, maka itu mengindikasikan bahwa kristal hasil rekristalisasi

yang kita peroleh belum benar-benar murni.

Salah satu penyebab kekurang murnian kristal yang kita peroleh,

mungkin disebabkan oleh adanya norit yang terperangkap dan ikut tersaring,

hal itu terjadi karena pada saat penyaringan, larutan yang akan disaring sudah

mulai sedikit mendingin, akibatnya norit yang berisi pengotor pun ikut

mengkristal. Selain itu, alat yang kita gunakan untuk menentukan titik leleh

(melting-block), dalam penggunaannya sangat subjektif, karena memerlukan

indera penglihatan yang cukup tajam. Sehingga mungkin saja kesalahan

tersebut terjadi karena kekurang cermatan pengamat dalam mengamati kapan

zat tersebut mulai meleleh, sampai zat tersebut semuanya habis meleleh.

b. Sublimasi

Sublimasi dari zat padat adalah analog dengan proses distilasi

dimana zat padat berubah langsung menjadi gasnya tanpa melalui fasa cair,

kemudian terkonednsasi menjadi padatan. Jadi sublimasi termasuk dalam cara

emisahan dan sekaligus pemurnian zat padat. Untuk bisa menyublim, suatu zat

padat harus mempunyai tekanan uap relatif lebih tinggi pada suhu dibawah

titik lelehnya.

Pada proses ini, diatas larutan yang akan disublimasi ditutup oleh

cawan kaca, tujuannya untuk menangkap uap hasil pemanasan dan pelelehan

zat padat tersebut. Di atas cawan juga disimpan es untuk membantu

kondensasi. Prinsip dasar sublimasi adalah perubahan zat dari fasa padat ke

fasa air, kemudian menjadi fasa padat lagi.

Perubahan fasa dari padat ke cair terjadi karena adanya

pemanasan dan penambahan kalor dari api bunsen. Sedangkan perubahan

fasa dari cair menjadi padat lagi terjadi karena adanya degradasi suhu yang

sangat mencolok karena adanya kondensasi.

Dalam proses sublimasi ini, prinsip lain yang digunakan adalah

perbedaan titik leleh. Suatu pengotor biasanya memiliki titik leleh yang lebih

tinggi daripada senyawa murninya, sehingga pada suhu tertentu senyawa

murninya sudah mulai meleleh, tetapi pengotornya belum. Jadi dengan cara

Page 15: LKO I & II - A

sublimasi ini kita bisa memperoleh senyawa yang lebih murni. Perbedaan zat padat

sebelum dan sesudah sublimasi terdapat dalam tabel berikut :

Naftalen sebelum sublimasi Naftalen sesudah sublimasi

1 gram 0.96 gram

titik leleh 89,29 0C titik leleh 73-770C

berbentuk butiran kecil (kasar) bernentuk kristal ; halus

kotor bersih

Dari hasil pengamatan di atas tampak bahwa zat hasil sublimasi

titik lelehnya lebih rendah daripada senyawa murninya, dan trayek titik

lelehnya pun cukup lebar, hal itu mengindikasikan kristal yang kita peroleh

belum cukup murni. Penyebabnya mungkin saja pada suhu titik leleh naftalen,

ada sedikit pengotor yang ikut meleleh juga, serta ikut menguap dan

terkondensasi. Akibatnya kristal yang dihasilkan pun belum sepenuhnya murni.

7. Kesimpulan

a. Prinsip dasar rekristalisasi adalah kelarutan dan pendinginan .

b. Kriteria pelarut yang baik untuk rekristalisasi adalah pelarut yang sukar

melarutkan senyawa pada temperatur kamar, tetapi dapat melarutkan

dengan baik pada titik didihnya.

c. Kristal yang tidak murni (adanya zat pengotor dalam sample) memiliki 2

pengaruh terhadap pengukuran titik leleh, yaitu : (a). temperatur titik

didih lebih rendah ; (b). melebarnya trayek titik leleh (› 30).

d. Prinsip dasar sublimasi adalah perubahan zat dari fasa padat ke fasa air,

kemudian menjadi fasa padat lagi.

8. Daftar Pustaka

Adam & Johnson. 1958. Laboratory Experiments in Organic Chemistry. USA:

The Macmillan Company.

Sudjadi, drs. 1986. Metode Pemisahan. Jakarta: Kanisius.

Vogel. 1959. A Text-Book of Practical Organic Chemistry. London:

Spotisswoode.

Page 16: LKO I & II - A

Lampiran

Contoh campuran azeotrop:

Senyawa A

(t.didih)

Senyawa B

(t.didih)

%A dalam

Campura

n

%B

dalam

campur

an

T.didih

campuran

azeotrop

Air (1000) etanol (78,30) 4,4 95,6 78,150

Air (1000) n-propanol

(97,20)

12,4 87,6 80,4

Air (1000) piridina

(112,50)

43 57 92,60

Metanol (64,70) metiliodida

(44,50)

7,2 92,8 39,00

Etanol (78,30) etiliodida

(72,30)

13 87 63,00

Etanol (78,30) etilasetat

(77,20)

31 69 71,80

Air (1000) asam

propionat

(140,70)

17,7 82,3 100,00

Benzena (80,2) sikloheksana

(80,80)

55 45 77,50

Etanol (78,30) toluena

(110,60)

68 32 76,70

Etanol (78,30) kloroform

(61,20)

7 93 59,40

Metanol (78,30) kloroform

(61,20)

12,5 87,5 53,50