lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah ...kc.umn.ac.id/179/8/lampiran.pdfteam project...
TRANSCRIPT
Team project ©2017 Dony Pratidana S. Hum | Bima Agus Setyawan S. IIP
Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work non-commercially, as long as you credit the origin creator and license it on your new creations under the identical terms.
Wawancara via Telepon
Tokoh Intelektual dan Pemilik Hak Ulayat Nemangkawi
Tokoh Masyarakat Adat Amungme-Kamoro
Hans Magal
N: Bagaimana Bapak melihat kehadiran Freeport di tanah Papua?
H: Kehadiran Freeport di tanah Papua itu, ketika awal Freeport hadir itu kan
sebuah komitmen antara stake to stake. Stake dengan Indonesia ya. Tanpa awal
melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat. Jadi ketika review kembali tentang
perjalanan sejarah kontrak karya 1967, sampai dengan awal pertama, kemudian
bagaimana UU Penanaman Modal Asing No 1 Tahun 1967, itu kan pertama kali
Freeport. Jadi kalau mau saya katakan itu sebenarnya sebuah ikatan dua
kepentingan antara Indonesia dengan Amerika yang kalau saya mau singkat kata
itu sebuah kelompok korporat ekonom dunia. Sehingga sampai hari ini di mata
masyarakat setempat itu Freeport illegal mining. Sekalipun negara katakan, iya,
negara berhak menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, seperti
tertulis di pasal 33 itu. Tapi di mata kami orang asli Papua, itu illegal mining.
N: Kenapa illegal mining?
H: Ya karena tidak melibatkan masyarakat adat setempat kan.
N: Lalu seperti dikutip di SuaraPapua.com, apa yang bapak maksud dengan
kehadiran Freeport sebagai bentuk penindasan HAM?
H: Nah, berawal dan berlanjut dari sebuah proses itu, maka demi kepentingan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
negara kemudian terjadilah sejumlah operasi militer besar-besaran di areal PT
Freeport. Nah, akibat dair itu kemudian di areal Freeport itu disebut DOM, Daerah
Operasi Militer yang di tahun 60-an, 70-an, dan lagi sampai 80-an itu begitu
banyak gejolak terjadi. Jadi memang penduduk setempat kan hidup dalam operasi
militer itu kan sudah hampir 3 sampai 4 dekade ya, semenjak Freeport hadir.
Lebih banyak peran Freeport itu kemudian diambil alih oleh negara, tapi juga
dijaga oleh para aparatur keamanan, sehingga akses melintas daripada masyarakat
lokal itu dalam tekanan, dan tidak ada kebebasan saat itu.
N: Memangnya posisi pemilik hak ulayat itu sekarang bagaimana pak?
H: Ya posisi hak ulayat dan posisi orang Papua itu hari ini sedang meminta
pemerintah Jakarta untuk sebelum renegoisasi kontrak karya lanjutan itu orang
Papua, masyarakat pemilik hak ulayat, tapi juga pemerintah provinsi itu terus
mengharapkan harus duduk bersama begitu. Jadi tripartit ya, pemilik saham dalam
hal ini Freeport, pemerintah, dan masyarakat Papua dalam hal ini pemilik hak
ulayat harus duduk satu meja untuk membicarakan perpanjangan kontrak karya ke
depan gitu. Itu jadi harapan hari ini.
N: Berarti menurut Bapak selama ini, kebijakan-kebijakan yang ada itu hanya
terjadi antara pemerintah pusat dan Freeport saja ya begitu?
H: Benar sekali, karena ini hanya sebatas kebijakan pemerintah di lingkungan
istana, di lingkungan kementerian. Itu kan polanya bergulir, berputar tingkatan
kekuasaan, tapi kan rembesannya tidak sampai di masyarakat orang Papua.
Sehingga pertanyaannya adalah mau ditempatkan orang Papua dan masyarakat
pemilik hak ulayat itu di mana? Itu jadi pertanyaan besar yang harus negara jawab.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Bapak sendiri memandang masalah perpanjangan kontrak karya Freeport ini
bagaimana? Bapak setuju asalkan duduk satu meja tadi atau bapak menolak?
H: Ya bagi saya, ada tiga hal penting ketika kita berbicara kontrak karya ya.
Sebelum saya harus katakan setuju atau tidak setuju, tapi ada tiga hal yang
penting. Pertama itu kita berbicara tentang masa lampau, kemudian masa depan,
terus kemudian bagaimana hari ini. Jadi ada tiga durasi waktu yang kemudian
Freeport harus pikirkan baik-baik karena ini Freeport harus juga meng-covering
kembali itu, banyak hal yang belum selesai, contoh kata itu hak ulayat, kemudian
itu persoalan-persoalan bagaimana menempatkan orang Amungme dalam posisi di
perusahaan seperti apa. Sehingga alangkah baiknya menurut pandangan saya, itu
sebelum kontrak karya, mari kita duduk bicara dulu. Masyarakat adat terutama
suku Amungme dan Kamoro melalui lembaga LEMASA dan LEMASKO, kami
punya pointer-pointer apa yang kemudian itu bisa masuk juga ke dalam klausula-
klausua kontrak karya, dilibatkan proses itu di dalam regulasi, tidak hanya duduk
bersama.
N: Kalau terkait pembangunan smelter, bagaimana menurut bapak?
H: Kalau smelter itu sepantasnya dibangun di Timika lah. Masa tambang ada di
sini kok, smelter-nya dibangun di Gresik. Itu kan sebenarnya sebuah kejahatan
negara. Masa emasnya diambil di Papua, kemudian dibawa pergi ke Gresik sana.
Ini kan secara tidak langsung negara terus membuat supaya akselerasi proses
pembangunan dan percepatan pembagnunan di kawasan Timur ini tidak
berkembagn-kembang gitu. Karena ketika smelter ada, itu berimbas kepada
berbagai aspek, ada pabrik semen, ada pabrik listrik. Ini kan sebetulnya bisa jadi
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kekayaan untuk membangun juga sebuah struktur pembangunan dasar untuk
kawasan Timur, untuk orang Papua, sehingga sebenarnya selayaknya itu dibangun
di Timika lah.
N: Berarti hubungan untuk saat ini antara pemilik hak ulayat dan Freeport?
Apakah masih bersitegang? Salah satu reporter di salah satu media lokal di Timika
mengatakan, pemilik hak ulayat ini sudah tidak bersuara lagi terkait dampak
limbah tailing Freeport karena sudah mendapat dana 1 persen dari Freeport,
bagaimana Bapak menanggapi hal ini?
H: Iya gini, sebenarnya kadang orang banyak salah terjemahkan. 1 persen itu
sebenarnya bukan pembayaran ganti rugi hak ulayat, tidak benar itu. Dana itu kan
keluar pada tahun 1996 ketika demonstrasi besar-besaran orang Papua waktu itu.
Lalu kemudian, semua fasilitas perusahaan waktu itu dibakar kemudian
dihancurkan dan lahirlah itu dana 1 persen. Bukan kesadaran Freeport kemudian
kasih 1 persen, dari mana itu, tidak ada itu. Nah oleh karena itu, dalam pandangan
masyarakat Amungme dan Kamoro, 1 persen itu bukan ganti rugi tanah hak ulayat
yang dipakai oleh negara atas nama Freeport. Nah beda itu. Jadi sampai hari ini,
orang Amungme-Kamoro masih menuntut ke pemerintah, ke perusahaan bahwa
mereka harus ganti rugi itu. Jadi hak pakai lahan adat itu seharusnya mereka bayar
ke dua pemilik hak ulayat itu, dua suku.
N: Lalu menurut bapak, terkait limbah tailing Freeport, mengapa suara pemerhati
lingkungan ini sangat kecil ya? Atau suara pemerhati lingkungan ini sebenarnya
sudah ada, tapi media tidak membantu untuk menyuarakan itu karena ada
kedekatan dengan Freeport?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
H: Iya sebagaimana diketahui, bung bisa tahu media-media nasional, media-media
asing, reporter, wartawan itu kan dilarang masuk langsung ke areal Freeport kan.
Itu pertanda apa? Ya itu sebuah proses pembungkaman terhadap pers. Sehingga
sejumlah aib tentang hal-hal, kejanggalan di dalam perusahaan, lingkungan, dan
lain-lain, tidak bisa di-blow up oleh media. Memang peran media sebenarnya
sangat dibutuhkan, hanya akses ke Freeport yang sangat sulit. Itu yang menjadi
kendala juga.
N: Seberapa meresahkan limbah tailing ini bagi masyarakat suku Amungme-
Kamoro pak?
H: Ya dampak tailing itu kan, kita jangan jauh-jauh lah, saya selalu kasih satu
analogi ya. Sampai hari ini kan Freeport bilang, masih ada di ambang batas, masih
dalam kategori normatif kan begitu dampaknya. Nah, kalau kita analisa, kita timba
saja satu botol aqua di Kali Kabur, tempat mengalirnya limbah, kemudian taruh
satu botol aqua yang biasa. Kalau memang itu Freeport bilang itu air dari kali
tidak beracun dan berlimbah, suruh dia minum. Dia berani minum tidak itu? Kalau
memang dia minum berarti air itu tidak ada dampak apa-apa kan. Artinya bahwa,
masalah lingkungan itu bermasalah. Tailing sudah menghancurkan ratusan hektar
flora, fauna, ini ekosistem rusak. Bapak kalau ikut pesawat lihat saja hamparan
apa yang sebelum masuk bandara itu. Itu kan terlihat secara fisik. Belum lagi
pembuangan tailing itu sampai di muara, kasian, suku Kamoro, itu terjadi
pendangkalan. Semua terjadi pendangkalan karena pasir, sedimentasinya. Jadi
perahu sudah tidak bisa lewat. Orang sudah setengah mati mencari sagu, ikan. Jadi
tampak sekali. Kuncinya bahwa memang lingkungan rusak.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Ya itu sampai ke pesisir dan saat pasang pun tetap sulit untuk menyeberang ya
pak?
H: Ya sangat sulit. Saya pernah alami sendiri. Harus di dalam perahu, karena
sudah tidak bisa lagi dilalui. Karena semua endapan itu terendap semua di muara.
Jadi itu sudah tidak bisa lagi perahu lewat sekarang. Setengah mati.
N: Dan pintarnya Freeport, dia hanya mengadakan reklamasi di Mile 21 saja ya
pak? Jadi kalau ada pejabat datang, ya yang dikasih lihat hanya di Mile 21 saja ya,
yang hanya sampling-nya saja, mereka tidak melihat bagaimana langsung kondisi
pesisirnya?
H: Sangat benar. Mile 21 itu hanya untuk men-covering kebusukan lingkungan
hidup di areal Freeport. Jadi sangat benar.
N: Dan di belakang Mile 21 sangat kotor ya pak?
H: Wah itu sangat rusak itu.
N: Padahal dulu Freeport pernah kalah gugatan ya pak dengan WALHI. Apakah
bapak melihat adanya perubahan yang dilakukan Freeport setelah gugatan itu?
H: Ya pernah, betul. Ya pernah juga masyarakat Amungme menggugat dia
(Freeport) sampai di bawah ya, dibantu oleh WALHI, ELSAM waktu itu ya.
Gugatan itu kan mereka (Freeport) waktu itu kan kalah ya di sana.
N: Karena manipulasi data itu ya pak?
H: Betul...betul. Dan ini perusahaan juga punya Amerika.
N: Jadi maksud bapak ini perusahaan asing berada di Indonesia dan mengapa
negara sendiri 'membiarkan' masyarakatnya tersiksa di negaranya, begitu ya pak?
H: Betul. Dan seharusnya bangsa Indonesia ini kan, kalau saya rakyatmu di
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Timika, suku Amungme Kamoro, ya seharusnya membela melawan Amerika gitu
lho. Kan perusahaan asing. Kok malah didiamkan. Masih lagi dengan keributan
papa minta sahamlah.
N: Apakah bapak melihat media lokal sudah memberitakan pemberitaan yang
berimbang tentang Freeport dan telah menyuarakan lingkungan?
H: Sampai hari ini belum. Peran media betul-betul menjadi sumber informasi yang
terpercaya untuk mengangkat isu-isu yang faktual soal lingkungan, soal
penindasan, soal PHK, dan lain-lain. Sampai hari ini belum sama sekali media
punya peran yang penting. Saya tidak tahu, apakah kemudian itu para redaktur-
redaktur di surat kabar di Timika ini disuap oleh Freeport, atau kemudian dilarang
atau seperti apa saya bingung. Tapi tidak pernah ada berita-berita yang berimbang.
Ada mungkin prestasi, tapi ada dampak-dampak lain yang jarang diangkat oleh
media.
N: Kesulitan media saat ini adalah Freeport ini ternyata diketahui sebagai 'mitra'
sehingga sangat sulit untuk menjaga objektivitas dalam pemberitaan itu.
H: Sangat sulit. Hampir semua media itu pasti Freeport punya mitra, juga punya
andil di dalam.
N: Jadi dari media sendiri, bapak melihat belum objektif begitu ya dalam
memberitakan Freeport ini?
H: Ya media belum independen betul untuk mengangkat terkait pemberitaan
Freeport. Tidak menjaga independensi dunia pers untuk membedakan mana yang
benar dan mana yang salah. Sepanjang Freeport ada, saya pikir susah sekali nanti.
N: Menurut bapak, siapa pihak yang patut bertanggung jawab atas dampak limbah
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
tailing Freeport?
H: Yang harus bertanggung jawab kan Sudirman Said. Dia jangan hanya bicara
soal saham-saham, tapi bertanggung jawab atas nama negara terhadap limbah dan
lingkungan yang hancur. Kok saya jadi aneh gitu, orang Jakarta itu bicaranya
saham melulu, bicaranya Freeport melulu. Tapi tidak pernah negara ini
bertanggung jawab terhadap kekerasan yang terjadi di Freeport, ada sejumlah
proses PHK yang terjadi di lingkungan Freeport, kemudian lingkungannya rusak
dan masalah sosial yang timbul akibat persoalan Freeport. Ini kan tidak pernah
dibicarakan. Pak Sudirman Said harus bertanggung jawab atas nama negara.
N: Saya dengar dari wartawan di sana, staf ahli Kementerian ESDM akhir-akhir
ini sering ke Timika ya pak? Dan memang pejabat yang mau berkunjung ke
Freeport ini sudah ada rutenya ya?
H: Kalau orang Jakarta, kementerian, orang-orang lingkaran istana, kalau ke
Timika kan setelah tiba dari bandara langsung ke mobil, mobil langsung ke Rimba
Papua. Setelah Rimba Papua, langsung ke dalam mobil perusahaan diantar ke golf.
Setelah ke golf, makan siang dan main-main golf sampai sore, setelah itu kembali
lagi ke dalam mobil menuju hotel. Jadi kapan mereka mau lihat situasi di situ, di
lingkungan yang rusak?
N: Di Mozes Kilangin itu kan ada papan-papang pengumuman begitu yang
menunjukkan pengelolaan limbah tailing Freeport sudah sesuai AMDAL dan lain-
lain, bapak percaya akan hal itu?
H: Saya akan percaya kalau WALHI yang kasih nilai. Biar lebih independen dong.
Kalau yang penghargaan-pengharagaan itu, penghargaan darimana masalah itu.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Saya tidak percaya sama sekali.
N: Bagaimana usaha bapak untuk menyuarakan masalah lingkungan karena
dampak tailing Freeport ini ke media-media lokal di Timika?
H: Saya hampir setiap saat selalu berperang melawan Freeport. Artinya bukan
berperang, tapi mengkritik kebijakan, mengkritik pola-pola pendekatan, program-
program CSR-nya, banyak hal yang Freeport harus benahi. Dan satu hal yang
khusus sampai hari ini adalah jabatan Presiden Direktur PT Freeport harus dari
orang asli Papua. Sampai hari ini kan setelah Pak Maroef Sjamsoeddin kan belum
ada penggantinya.
N: Dan memang sampai saat ini masih polemik jabatan itu akan diberikan kepada
orang asli Papua atau bagaimana. Orang Papua meminta jabatan itu dipegang oleh
orang asli Papua. Tapi menurut bapak bagaimana terkait hal itu? Dari segi
kesiapan dan lain-lain.
H: Betul. Sementara negara bilang, orang Papua belum siap. Ya sudah, dia lantik
saya saja jadi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia. Saya mampu. Saya bisa
pimpin. Selama ini orang kepentingan di Jakarta, di kementerian, Angkatan Darat,
Angkatan Laut, mereka punya background apa tentang PT Freeport? Yang setiap
hari bongkar pasang senjata malah jadi Presiden Direktur Freeport. Sama saja kan.
Saya seorang yang tahu dan memahami situasi, latar belakang saya dari orang
pertanian, saya juga tahu proses menimbang dan lain-lain, bisa menjaga
keamanan, kalau negara bingung untuk cari orang, ya tunjuk saja Hans Magal,
saya siap.
N: Tapi Freeport ini sering sekali bersitegang dengan masyarakat Papua sendiri.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Apakah tidak menjadi pilihan yang dilematis bagi bapak nantinya untuk bisa
mengambil keputusan yang objektif dan terbaik untuk masyarakat Papua?
H: Persoalan sosial itu kan persoalan yang tidak akan pernah hilang sampai dunia
kiamat. Jadi kita jaga soal kepentingan perusahaan, kita jaga juga soal kepentingan
masyarakat adat, kita juga jaga soal kepentingan negara. Jadi tripartit ini, ini harus
the same level, the same benefit. Harus sama. Semua punya kepentingan para
pihak. Sehingga kita harus menjaga itu. Jadi tidak ada yang merasa dirugikan.
Semua poin ada di situ. Dan sepanjang kita bisa menjaga itu, sepanjang kita bisa
melihat persoalan di masyarakat dan kita tahu solusinya seperti apa, ini hanya soal
bagaimana kita bisa menyelesaikan persoalan. Itu saja. Dan saya pikir, tidak
terlalu berat untuk itu.
N: Terkait masalah perpanjangan kontrak karya dan pembangunan smelter, bapak
melihat ada kasus apa di situ? Politik kah, sosial atau apa?
H: Saya mungkin melihat lebih kepada soal politik. Karena itu soal kepentingan
ya, soal ketakutan negara kalau smelter dibangun di Papua. Saya melihat itu lebih
kepada kepentingan politis ya.
N: Bapak juga pernah ungkapkan di sebuah media massa terkait realitas kornet di
Nemangkawi. Bisa diceritakan kepada saya pak hubungan itu dengan kehadiran
Freeport di tanah Papua?
H: Ya, saya pernah katakan. Kalau negara ini sudah tidak mampu lagi membangun
Papua, membangun Timika, ya sudah bangun saja, nanti saya siapin lahan, bangun
Monas kedua di tanah Papua. Dan dengan luas yang sama, lanskap yang sama,
ketinggian yang sama dengan Monas di Jakarta. Tapi yang membedakan di atas
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
bubungan Monas itu taruh saja kalung kornet, bukan emasnya. Karena kalung
kornet itu simbol penindasan, simbol awal di mana masyarakat setempat ditipu.
Emas ditukar dengan kaleng kornet, beras satu sampai dua kilo. Itu kan nilai tukar
emas dengan kornet waktu itu. Perusahaan hanya kasih itu. Hal itu selalu saya
angkat, kornet itu sebagai simbol awal penindasan.
N: Mungkin ada saran yang ingin bapak sampaikan untuk negara atau Freeport?
H: Saran saya kalau untuk kemanan di areal Freeport tidak usahlah pakai TNI atau
Polisi. Pakailah itu pendekatan security biasa. Security langsung dari masyarakat
lokal saja yang bisa jaga, karena di dalam saja tidak banyak pencuri, tidak banyak
maling. Ya jangan seperti sekarang, masa maling jaga kandang maling. Kalau
begitu kan, apa yang ditakuti sama perusahaan? Siapa musuh Freeport? Kemudian
itu, TNI ikut menjaga Freeport. Kan tidak ada kan? Tidak ada yang musuh dengan
Freeport. Lalu ngapain jaga-jaga itu. Kasih saja masyarakat lokal untuk jaga
perusahaan itu. Itu satu poin. Poin yang kedua, soal lingkungan, harus ada
lembaga independen yang bisa meneliti tentang dampak apakah akan terjadi
kerusakan lingkungan hidup atau tidak, misalnya WALHI atau ada lembaga yang
lebih independen, yang tidak punya andil sama sekali, tidak punya erat mata rantai
langsung dengan Freeport. Yang ketiga, bahwa Jakarta harus mendukung
kebijakan Bapak Gubernur Papua Lukas Enembe terkait dengan 17 poin yang
pernah disampaikan kepada pemerintah pusat dan Freeport. Sebenarnya Freeport
dan pemerintah pusat tidak usah takut. Dukung saja kebijakan yang pernah
gubernur perjuangkan.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Wawancara Langsung
Wartawan Radar Timika Selviani (Sun)
N: Gimana sih proses Mbak Selvi bisa sampai jadi wartawan di Radar Timika?
S: Kayak kalau kita mau melamar pekerjaan pada umumnya to. Kita seleksi
berkas, lalu tes tertulis, wawancara. Itu saja sih.
N: Dan lancar-lancar saja?
S: Ya, lumayan.
N: Dari tahun?
S: Dari Mei 2011.
N: Kenapa memilih Radar Timika sebagai tempat berkarir?
S: Begitu selesai kuliah, datang ke sini, kebetulan Radar (Timika) buka lowongan,
yasudah ikut saja. Tidak ada sama sekali, tidak pernah ada perencanaan bilang
mau jadi wartawan atau apa.
N: Background-nya memang apa?
S: Saya manajemen.
N: Desk-nya di mana sekarang?
S: Saya di pemerintahan sekarang. Kalau saya dulu pertama di pos ”Ekonomi”,
dari “Ekonomi” kemudian pindah di “Pendidikan”, dari “Pendidikan” kemudian
sekarang di “Pemerintahan”. Jadi, sekarang tiap hari di pemerintahan.
N: Sekarang wartawan tetap?
S: Ya, tetap.
N: Gimana pendapat Mbak Selvi terkait pola kerja di Radar Timika?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
S: Pola kerja kalau menurut saya ya di sini kan ada beberapa media, ada empat
media. Kalau menurut saya sih yang paling tertata dan paling rapih ya Radar
Timika. Karena memang dari sisi manajemennya memang bagus, selain mungkin
karena terstruktur dari atas Jawa Pos. Kemudian sampai di sini kan dia bagus lah.
Dia manajemennya bagus.
N: Mbak Selvi ini kan orang Toraja ya. Ada nggak kesulitan saat lagi liputan
karena Mbak Selvi bukan orang asli Papua?
S: Nggak. Cuman kalau di sini untuk apa namanya...justru kita yang harus hati-
hati.
N: Hati-hati bagaimana?
S: Maksudnya dalam hal apa ya...di sini kan, masyarakat di sini ini kan apa
namanya...ya itu...karena mungkin merasa didiskriminasi atau apa, jadi untuk
kalau misalnya kita justru dari kitanya yang harus tahu, bagaimana misalnya cara
penulisannya kita, pembawaannya kita di lapangan seperti apa. Justru kita yang
harus menyesuaikan dengan mereka begitu. Kita tidak pernah ini...kecuali kalo
memang ada yang namanya konflik-konflik seperti itu ya tidak mereka tidak
melihat kok pendatangnya ini, tidak. Kadang kalau misalnya konflik antar suku
pun mereka suka kalau misalnya diliput.
N: Apa alasannya?
S: Ini kalau misalnya di sini kan ada yang nama daerahnya Kwamki Lama. Itu di
dalam itu kayak pokoknya sering sekali yang namanya perang, karena di dalam
ada beberapa suku to. Suku asli Papua sini. Dan memang sistim peperangannya
mereka itu..apa namanya ya..ada ini...pakai aturan-aturan juga. Dan mereka tidak
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
marah kalau misalnya diliput apa.
N: Apa memangnya yang biasa memunculkan konflik?
S: Biasanya sih karena di sini itu apa namanya...mungkin beda dengan di Jawa
atau di luar mana, misalnya orang konsumsi miras to. Orang di sini kalau misalnya
konsumsi miras biasanya kan biasanya mabuk begitu dampaknya itu paling bunuh
orang atau apa gitu kan. Nah itu bisa menjadi pemicu, apalagi kalau misalnya,
pokoknya ulah oknum sebenarnya, tapi dibawa-bawa sampai suku.
N: Jadi lebih ke masalah individu, tapi malah jadi masalah kelompok?
S: Iya, di sini paling sering. Di Timika paling sering seperti itu.
N: Bagaimana Mbak Selvi menerapkan ideologi dari Radar Timika?
S: Kalau kita sih eksklusif.
N: Eksklusif gimana maksudnya?
S: Karena sejak awal dulu kita masuk itu kan di-training bagiamana cara kita...kan
sebelumnya sama sekali tidak tahu masalah jurnalistik. Begitu masuk, dikasih
tahu..oh begini begini. Nah, saya ingat ada mantan kita punya Pemred juga, tapi
beliau sekarang sudah kerja di luar. Dia selalu menekankan kayak begini.
Misalnya, ada satu kejadian atau apa begitu biar liputan biasa, ceremonial atau apa
pasti misalnya orang sambutan atau orang diwawancara pasti semua wartawan kan
pasti ada di situ, berarti rekamannya semuanya sama. Tapi sebisa mungkin,
bagaimana caranya kita mencari sisi lainnya begitu. Mencari data yang lebih
lengkap dan itu kan “eksklusif” to. Orang tidak akan menemukan itu di koran
yang lain. Begitu sih. Eksklusifnya kita. Kita kan kompetisi to empat media.
N: Bagaimana moto Radar Timika, yakni “Dekat, Hangat, Tuntas” ini diterapkan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
dalam pola kerja Mbak Selvi?
S: Memang diakui juga pasti ada hal-hal yang tidak tuntas. Ya memang karena
mungkin karena di sini itu kemudian juga itu kebijakan-kebijakan redaksi kadang-
kadang ini to. Kadang kalau misalnya kita ikuti misalnya satu perkembangan atau
apa ya ada yang mungkin kemudian ada kejadian baru lagi otomatis yang satu ini
yasudah tertinggal, kita agak lupakan. Kemudian kita fokus dengan yang satu lagi.
N: Apa yang bikin Mbak Selvi bangga menjadi bagian dari Radar Timika?
S: Kalau kita wartawan ini kan bukan dilihat dari bagaimana cara kita, tapi kan
orang melihatnya dari kita punya tulisan to.
N: Selama Mbak Selvi menjadi wartawan di Radar Timika, adakah Mbak Selvi
merasa tidak menulis secara bebas?
S: Justru kalau misalnya kita ya, tapi mungkin semua media ya, wartawan bisa
saja mungkin istilahnya “penanya tajam begitu to, tapi kadang tumpul di depan”.
Itu tidak dipungkiri, semua media pun pasti kaya begitu. Dan pasti itu ada. Karena
kita wartawan di lapangan ya sebisa mungkin menulis apa yang menurut kita ya.
Tapi kan semua kembali, kita ini kan wartawan, setidaknya masih ada Redaktur.
Kadang tulisan kita ya dirubah, kadang juga tidak dimuat.
N: Apa asalannya tidak dimuat?
S: Pasti kan pendapatan media itu kan dari iklan. Kalau di sini, pasti Ibu Misba
sudah kasih tau. Kalau kita ini pasti dapat iklan kan, kayak misalanya Freeport dan
pemerintah daerah. Ya kadang kalau misalnya kita tulis berita-berita yang sedikit
kritis macam begitu misalnya soal Freeport, karena pertimbangan redaksi mungkin
ini terlalu berat untuk menjaga mitra ini. Sudah, itu pertimbangan.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Saat mbak menulis? Atau saat sudah diedit?
S: Kita ini kan tulis saja. Nanti soal kebijakannya, itu Redaktur.
N: Tapi pernah ada tulisan tidak dimuat karena hal itu?
S: Pernah. Baru kok, mungkin sekitar seminggu yang lalu.
N: Kata Mas Sevianto, ada tanda merah di Corcomm Freeport bagi wartawan yang
menulis negatif tentang Freeport?
S: Mungkin kalau misalnya saya sih tanda merahnya belum banyak di Freeport.
Karena kebetulan saya pos di pemerintah daerah. Bupati ini kan sedikit keras sama
Freeport. Mungkin karena kebetulan beliau anak adat sini, dia meluncurkan buku
soal dia menggugat Freeport sekitar 248 triliun. Saya tulis sesuai dengan apa
alasannya ini. Tapi karena mungkin kebijakan redaksi seperti apa untuk menjaga
mitra ya beritanya diperhalus. Misalnya, kata miskin.. “Masyarakat di sini sudah
sangat miskin, sementara Freeport hampir setengah abad di sini.” Kata miskinnya
misalnya diubah jadi “kondisinya kurang baik”. Itu bukan pernyataan dari saya,
tapi itu pernyataan dari seorang Bupati.
N: Jadi redaksi memperhalus omongannya dari Bupati itu?
S: Iyaa
N: Padahal mbak menulis apa yang dikatakan oleh Bupati itu?
S: Iyaa
N: Terus apa tindakan Mbak Selvi kalau beritanya tidak terbit karena hal itu?
S: Ya, kita sudah mengerti dan sudah memaklumi.
N: Artinya banyak perubahan-perubahan juga yang dilakukan oleh Redaktur ya?
S: Tergantung topiknya.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Biasanya apa sih Mbak Selvi? Ini kan saya mengategorikan, Perpanjangan
Kontrak Karya, Pembangunan Smelter, Pembangunan oleh Freeport, serta Aksi
Mogok dan Demo Karyawan Freeeport.
S: Nah kebetulan itu kan kalo dari sisi pemerintah daerahnya, yang mereka
menginginkan pembangunan smelter di Timika, Bupati ini. Jadi, setiap pertemuan
soal smelter apa segala macam, memang selalu saya yang tulis, kalau misal ada
komentar Bupati. Itu karena memang pernah kita diskusi-diskusi juga, siapa yang
setuju kalau misalnya smelter di Timika? Hampir semua setuju. Kenapa? Jujur,
kalau memang ada industri segala macam ya Papua akan maju. Terlepas dari
mungkin tidak tahu tujuannya Pak Bupati mungkin ke depan mau majukan Timika
kemudian arahnya merdeka atau seperti apa kan.
N: Memang ada indikasi mau ke sana?
S: Tapi jangan ditulis ya. Maksud saya. Tapi kalau menurut referensi-referensi
soal background-nya, latar belakangnya Bupati, karena kebetulan waktu beliau
mau dilantik, saya juga yang profil beliau, dan dia mengakui kalau sempat waktu
dia masa sekolah atau kuliah itu memang sempat ikut gerakan OPM itu. Dia
mengakui itu. Kemudian beberapa kali kita kunjungan, kayak misalnya ke
bandara. Kebetulan sekarang kan pemerintah membangun bandara nih, bandara
yang baru. Bandara yang sekarang (Mozes Kilangin) ini kan privatisasi Freeport
punya. Beliau, saya tidak tahu, mungkin gurauan atau seperti apa, tapi yang jelas,
beliau katakan, “Ini salah satu persiapan untuk 'M' itu.” Beliau kan memang
sedikit sensasional, kontroversial juga.
N: Si Bupati itu? Kalau kata Ibu Misba, Si Serba Emas.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
S: Iya. Toko emas berjalan.
N: Itu tidak membuat kesenjangan bagi masyarakat di sini?
S: Tidak sih. Karena memang beliau sebelum menjadi Bupati kan dia pemegang
salah satu perusahaan supplier tenaga kerja ke Freport, namanya PT Salju Abadi
Sejahtera (SAS). Jadi beliau memang sampai untuk membangun smelter di Papua
itu gagasannya dia. Kemudian dia mencari dukungan ke mana-mana. Pokoknya
Pak Bupati ini boleh dibilang kayak lawan terberatnya Freeport juga sih. Karena
selalu mengkritisi-mengkritisi Freeport.
N: Bukannya deket banget ya hubungan antara Bupati dan Freeport? Seperti
misalnya kalau ada pembangunan oleh Freeport, pasti ada Pak Bupati.
S: Iya, tapi menurut beliau kan, ah ini tidak ada apa-apanya. Kemudian program-
program yang dilaksanakan Freeport kayak misalnya dia (Freeport) membangun
ini, membangun ini, dia (Bupati) itu menanggap bahwa itu memang kewajiban
dari perusahaan. Tidak usah yang perlu dibilang, kami (Freeport) sudah
membangun ini, membangun ini, kemudian dijadikan tameng begitu. Beliau itu
seperti itu. Aduh, saya tidak punya bukunya lagi. Buku 'Suku Amungme
Menggugat Freeport'. Itu baru diluncurkan tanggal 24 kemarin (24 Februari 2016).
Itu dia sendiri yang menulis.
N: Hanya terbit di sini kah?
S: Iya, tidak diperjualbelikan masalahnya.
N: Yang jelas Bupati itu salah satu orang yang paling memperjuangkan yang
namanya pembangunan kawasan industri terpadu di Papua, di Timika khususnya.
Sampai-sampai waktu itu, dia berangkat ke China, cari investor di sana untuk
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
membangun pelabuhan, dibawa investor dari India. Tapi memang secara fisik di
lapangan kita tidak melihat perkembangan yang begitu bagus. Dia sampai
berseteru dengan masyarakat adat sendiri, khusus di wilayah pesisir. Karena di
sini kan ada dua suku, Amungme dan Kamoro. Kalau beliau ini suku Amungme.
suku Amungme ini berada di wilayah gunung, sedangkan suku Kamoro ini yang
di pesisir. Nah wilayah yang direncanakan Bupati untuk pembangunan kawasan
industri itu, termasuk smelter itu, masuk dalam wilayah Kamoro kan. Nah,
mungkin, ya Freeport menggunakan masyarakat yang di bawah ini, kemudian
masyarakat di bawah ini menolak pembangunan smelter. Jadi sebenarnya mereka
menolak pembangunan smelter. Tapi Bupati tidak pernah kehilangan akal.
Pokoknya tantangan-tantangan itu bagi Bupati bukan hal yang terlalu berarti.
Beliau anggap santai saja. Tapi sekarang, terakhir kemarin, kami pergi sama-sama
ke wilayah di bawah, pesisir yang rencananya di dekat pelabuhan itu, dia ketemu
dengan satu tokoh masyarakat, yang katanya pemilik lahan di situ. Pemilik
lahannya sudah bersedia untuk membebaskan lahan untuk pembangunan smelter.
Jadi beliau, ya lumayan senanglah.
N: Berarti Mbak Selvi termasuk sering juga ada tulisan tidak dimuat atau kalau
dimuat pun bahasanya diperhalus?
S: Iya. Lumayan sering.
N: Ada syarat-syarat terntentu nggak dalam memberitakan soal Freeport? Ada
larangan-larangan, yang boleh dan yang tidak boleh diberitakan? Entah ketika
rapat, atau secara langsung-tidak langsung?
S: Kalau misalnya redaksi sih tidak mengatakan bilang, jangan, tidak. Yang jelas,
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
mereka cuma kasih tahu ya Freeport itu mitra-nya kita. Jadi, untuk
pemberitaannya otomatis ya tidak terlalu keras dan terlalu menghatam Freeport.
N: Tapi kenapa tentang lingkungan itu seperti tidak ada suaranya?
S: Ya..
N: Mbak Selvi pernah datang ke daerah-daerah yang terkena dampak tailing?
S: Sering. Kita pernah ke kampung Nayaro, itu berada di wilayah arealnya
Freeport. Jadi itu memang dulu pernah satu perkampungan itu dihuni sama
masyarakat suku Kamoro. Dia kalau sejak tahun 2006 atau 2009 katanya sih,
pernah ada aksi penembakan di dalam, jadi masyarakat semuanya keluar dari
kampung itu. Mereka sekarang tinggal di kota. Tapi sekarang, mereka sudah mulai
kembali ke dalam. Itu wilayah namanya kampung Nayaro itu masuk ke dalam
distrik ini, kecamatan Mimika Baru juga. Itu pokoknya dia di tengah-tengah
limbah tailing itu. Yang namanya mau cari ikan di mana, tidak ada sama sekali.
N: Tapi kenapa suaranya tidak pernah diangkat ya?
S: Ya pastilah, itu tidak akan mungkin dimuat. Kecuali kalo misalnya, karena kan
paling orang kalau menghubungkan kampung Nayaro, orang tidak melihat sisi
dampak lingkungannya di situ, tapi dari sisi faktor keamanan. Tapi masyarakat di
dalam mulai kembali yang namanya menanam sagu. Kemudian, dia kayaknya
orang pantai ini kan tidak terlalu ini ya yang namanya berkebun atau segala
macam, atau berternak. Dia paling hidupnya itu mencari ikan, kemudian sagu.
Pokoknya 3 S ini yang mereka punya, sungai, sampan, dan sagu. Sementara di
dalam, sungainya sudah tidak ada.
N: Ya saya lihat dari pesawat itu, sungainya mengerikan.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
S: Itu kayak pantai kayak gurun pasir. Dan sekarang, katanya sih, mungkin karena
Sungai Ajkwa ini, dia kayaknya sudah, ini kan ada tanggulnya kan, kayaknya
sudah mendekati overload, kayaknya Freeport akan membuat tanggul yang baru
lagi. Tanggul yang ini kan sudah perpindahan yang kedua kalinya. Karena pernah
ada tanggul yang satu, tapi karena mungkin sudah tertimbun semua, sudah
dialihkan lagi. Dan sekarang dia (Freeport) mau bikin tanggul yang baru lagi
untuk mengalirkan dia punya limbah itu.
N: Dan akses untuk ke sana sulit sekali?
S: Iya, sulit.
N: Siapa sih mbak, orang atau pihak yang harus bertanggung jawab terhadap
permasalahan di Freeport?
S: Kalau menurut saya sih memang ini kan Freeport ini soal ketegasan pemerintah
pusat. Karena memang pemerintah daerah dan pemerintah provinsi tidak punya
wewenang sama sekali. Ada omongannya Wakil Bupati bilang, “Kita di sini hanya
terima ampasnya saja.” Karena memang mereka di sini tidak punya peran sama
sekali. Gubernur, Bupati, dia bilang, “Kami tidak pernah dilibatkan. Papua tidak
pernah dilibatkan.” Begitu. Jadi, pemerintah pusat yang memang tidak terlalu ini
sih, menurut saya. Karena nasibnya Freeport ini kan di tangan pemerintah pusat,
bukan kabupaten.
N: Dan memang sering kebijakan-kebijakan itu timbul tiba-tiba dari pemerintah
pusat?
S: Iya, tapi tidak dimungkiri juga memang untuk keberlangsungan Freerpot,
pemerintah daerah juga pasti mau, pokoknya setuju lah. Tapi ada beberapa poin
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
yang mereka tuntut juga. Kalau Bupati di sini, katanya sih ada 10 apa 11 poin.
Tapi ada di link-nya JPNN. Yang soal 'Tuntutan Mimika Terkait Kontrak Karya
Freeport'. Ada beritanya. Saya pernah tulis itu. Itu dimuat, cuma kecil. Itu kan
sebenarnya isunya besar kan.
N: Persiapan-persiapan apa sih yang Mbak Selvi lakukan sebelum liputan?
S: Kalau untuk strategi penulisan, kita tidak ini sih. Kalau untuk pengambilan
angle, apa segala macam, itu dari kitanya. Tapi kadang-kadang juga kalau
misalnya kita sudah tulis, kadang redaktur mungkin melihat dari sisi yang lain
yasudah diubah jadi beda angle. Untuk persiapannya sih kita paling menyesuaikan
di lapangan saja.
N: Bagaimana Radar Timika menyikapi setiap pemberitaan Freeport? Mengingat
Radar Timika kan satu-satunya media lokal terbesar di Timika?
S: Kalau menurut saya sih kayaknya lebih subjektif, tidak objektif. Kadang-
kadang dalam situasi tertentu ya. Kecuali kalo misalnya demo karyawan Freeport.
Ya, sebatas ini sajalah, tidak terlalu yang objeknya, yang betul-betul kontra
Freeport.
N: Memang Mbak tidak coba menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi?
S: Kalau kita sih wartawan mencoba untuk objektif. Tapi kan untuk kebijakan-
kebijakan segala macem itu ada di redaktur.
N: Apa sih larangan-larangannya dalam memberitakan Freeport?
S: Dalam memberitakan Freeport, kalau untuk larangan-larangan sih tidak pernah.
Cuman karena redaktur masih punya wewenang untuk melihat kita punya berita
seperti apa, jadi mungkin mereka menggunakan wewenangnya itu untuk kebijakan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
pemberitaan.
N: Pernah ditegur oleh redaktur terkait pemberitaan karena terlalu mengkritisi
Freeport?
S: Oo tidak pernah.
N: Dari Freeport sendiri pernah ditegur oleh Corcomm-nya Freeport?
S: Tidak..tidak..
N: Dari TNI mungkin mendapat ancaman-ancaman?
S: Ancaman...soal berita Freeport? Atau soal berita apa saja?
N: Freeport, apa saja.
S: Kalau Freeport tidak pernah. Cuman mungkin pernah ada kesalahan foto.
Karena ini kan menyangkut citranya Freeport. Waktu itu di dusun Banti, di
bawahnya Tembagapura. Kemudian sebelum masuk ke dusun Banti, ada kampung
Kimbeli, itu tempat pemukimannya para pendulang. Kemudian masyarakat-
masyarakat lokal yang cuma mereka bangun tenda-tenda itu. Nah itu saya foto
kan. Kemudian, tulis beritanya tentang Banti, tapi naik fotonya di kampung
Kimbeli itu. Nah, itu dia (Freeport) protes. Dia bilang, “Kok fotonya foto itu?
Seolah-olah nanti image-nya bahwa kenapa Banti sejelek itu?”
N: Padahal memang seperti itu?
S: Ya.
N: Seharusnya kalau mau bagus, fotonya di Kuala Kencana kali ya.
S: Hahaha mungkin
N: Kalau di Kuala Kencana, beda banget ya?
S: Beda
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Apa yang Mbak Selvi liat? Perbedaan sosial apa sih antara masyarakat di Kuala
Kencana dan di tempat-tempat lain?
S: Perbedaan pertama ya, akses masuknya itu tidak mudah. Masuknya harus pakai
ID atau sticker. Oh ini orang Freeport nih. Pernah sih, waktu itu, seinget saya
tanggal 30 November, kemudian besoknya kan 1 Desember. 1 Desember di sini
kan identik dengan kegiatan kunjungannya Kapolda atau siapa. Nah tanggal 30
November, saya mau liputan di Kuala dengan teman-teman. Diundang sama orang
Freeport. Mau lewat di situ, “Eh tidak bisa masuk ini ini ini...Orang Corcomm
belum kasih tau kalau ada wartawan yang begini gini gini.” Sesudah begitu, kita
bertengkar dengan security-nya. Dari sisi status sosialnya ya pasti beda. Beda
sekali. Kalau misalnya kita masuk, kalau di sini kental sekali yang namanya pakai
dialeg Papua, kalau di Kuala Kencana itu kayak di Jakarta. “Elu, Gue.”
N: Dan pembangunannya juga beda ya?
S: Beda. Beda sekali. Itu memang lingkungan perusahaan. Kemudian yang
bergaul ya itu-itu saja.
N: Gimana menurut Mbak Selvi, sikap atau respon masyarakat terhadap Radar
Timika ketika memberitakan tentang Freeport?
S: Saya pernah mendengar dari Kabag Humas Pemda, karena memang Pemda
sama Freeport di sini kan kayak tidak cocok begitu. Ini kan seolah-olah Freeport
ini kan kayak dia itu kayak negara sendiri, punya aturan sendiri, daerah sendiri
begitu. Jadi banyak sekali aturan-aturannya mereka yang pemerintah masuk saja
itu sulit begitu. Jadinya kan kadang agak bentrok-bentrok begitu. Pernah saya
dengar dari Kabag Humas, “Ihh kenapa Radar Timika itu Freeport sekali?”
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Penyebab masalah di Freeport itu, masalah politik, hukum, sosial, atau
ekonomi?
S: Kalau saya sepakat soal masalah politik. Dari awal Freeport kan ini masalah
politik. Ada konspirasi-konspirasi atau semacamnya, ya sampai sekarang memang
masih seperti itu. Kalau menurut saya, memang ironis juga sih, maksudnya
masyarakat-masyarakat di sini atau mungkin tokoh-tokoh masyarakat di sini tidak
terlalu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan-keputusan.
N: Mbak Selvi sendiri melihat perpanjangan kontrak karya Freeport ini
bagaimana?
S: Kalau menurut saya sih, harus. Karena kita melihat dampaknya, cuman
pemerintah harus memiliki ketegasan untuk beberapa hal, soal mungkin menekan
Freeport tentang bagaimana pengelolaan limbahnya. Kayak misalnya tambang-
tambang seperti ini kan limbah tailing-nya bisa dikelola. Kayak sebenarnya sudah
ada MoU antara pemerintah provinsi dengan PT Freeport soal pembangunan
pabrik pengepakan semen di bawah karena bahannya ada juga dari tailing ini. Tapi
sampai sekarang ini kan tidak terealisasi. Tidak tahu antara siapa yang
menggantung, kenapa sampai tidak ini. Jadi ini soal ketegasan saja sih. Timika ini
yang kena dampak langsung.
N: Hasil penelitian saya, apakah benar Freeport ini menggunakan masyarakat
sebagai tameng? Jadi, ekonomi masyarakat di Timika ini diperlihatkan seolah-olah
sangat tergantung dengan kehadiran Freeport.
S: Ya, CSR-nya. Dia menggunakan itu sebagai tamengnya. Itu pasti Freeport
gunakan itu. Kenapa? Karena setiap kali kunjungan, siapapun yang ke sini,
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kemarin terakhir Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) ke Timika, jadi ini
juga kesalahan-kesalahan di pemerintah pusat sana atau siapa begitu, kalau
kunjungan ke sini malah langsung ke Freeport. Bukan ke pemerintah daerahnya,
bukan ke masyarakat langsungnya. Karena ketika misalanya dari Wantimpres,
DPR RI, Menteri, pokoknya pejabat-pejabat politik itu tiba di bandara, pergi ke
Hotel Rimba Papua. Hotel Rimba Papua itu di dekat bandara situ. Itu hotel milik
Freeport. Itu selalu ya. Pokoknya kita sudah tahu ya rute-rute di mana mereka
akan kunjungan kalau misalnya ke sini. Itu keluar dari hotel, langsung kunjungan
pergi makan siangnya di golf. Dari situ, pergi ke yang namanya Institut
Pertambangan Nemangkawi. Itu salah satu institut yang didirikan sama Freeport
untuk pendidikan anak-anak Papua sini, tapi ada juga campuran, ada juga anak-
anak pendatang, tapi kalau mereka presentasi sih, mereka katanya dominan anak-
anak Papua. Di dalam itu pokoknya Institut Pertambangan Nemangkawi nih yang
pokoknya kuliah yang alat berat segala macam. Lokasi kampusnya di Kuala
Kencana. Dari Institut Pertambangan Nemangkawi, kita pasti akan pergi ke
Rumah Sakit Mitra Masyarakat. Itu rumah sakit yang memang dikelola sama
Yayasan Caritas Timika Papua untuk mengelola pembiayaan pelayanan kesehatan
gratis untuk masyarakat tujuh suku di Timika. Untuk pendatang tidak. Orang lebih
kenal namanya Rumah Sakit Caritas. Tapi rumah sakit itu sekarang
mengembangkan private wing. Jadi ada yang memang di belakang kalau masuk ya
bayar. Pokoknya di situ, kita sudah tahu betul rutenya bagaimana. Di situ
dijelaskan, “Masyarakat itu datang berobat ke sini, mereka gratis begini begini.
Sampai-sampai mereka ada yang dirujuk begitu.” Itu kan kayak dibilang
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
pecitraannya Freeport. Dari situ pasti kita akan ke sekolah asrama yang namanya
Taruna Papua. Sekolah Taruna Papua itu didirikan oleh Freeport melalui Lembaga
Pengembangan Masyarakat Amungme-Kamoro (LPMAK). Dia sekarang
menggunakan yayasan dari Jakarta untuk mengelola sekolah asrama itu. Jadi itu
sekolah berbasis asrama untuk anak-anak Papua sini. Itu yang dilakukan Freeport
sama mereka (pejabat-pejabat). Tidak pernah yang namanya diajak melihat
masyarakat langsung yang kehidupannnya seperti apa.
N: Tidak pernah?
S: Tidak pernah.
N: Tidak pernah ke limbah-limbah tailing sungai-sungai sini?
S: Kan kalau kita naik, kalau kita lewat di areal jalan tambang ini kan di
sebelahnya baru ada lagi tanggul. Diperlihatkan sih, tapi pasti semua orang kalau
misalnya mau turun pesawat pasti semua lihat. Cuman sebagian besar kalau
menurut saya, anggota dewan kah, menteri kah, atau siapa yang punya pandangan
sebelum mereka ke sini itu, “Freeport begini-begini.” Setelah dikasih lihat rumah
sakit, IPN, Sekolah Taruna Papua, itu pemikirannya berubah drastis. Mereka akan
menyatakan bahwa, “Oo Freeport sudah berbuat ini.” Padahal sebelum datang ke
sini, teriak-teriak, “Ahh Freeport belum bikin apa-apa ini, sama sekali.” Iya kan?
Begitu datang ke sini, dikasih tahu, dipaparkan, dipresentasikan kayak begini,
berubah pikiran mereka. Salah satunya, Said Didu, staf ahli Kementerian ESDM.
Dia kan salah satu orang yang dulu bicara keras soal Freeport. Saya ikut waktu ke
Tembagapura. Dikasih pesan, dikasih tahu, presentasi soal operasional tambang
Freeport, bagaimana..bagaimana. Yasudah. Di situ dia bilang, “Saya ini orangnya
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
dulu memiliki pandangan begini sama Freeport. Tetapi setelah mendengar
presentasi kayak begini ternyata Freeport itu berbeda ya.” Bahkan Said Didu,
setau saya, dia sering ke Timika.
N: Oh ya?
S: Iya. Makanya memang kasian sih, ini benar-benar masalah politik. Dan
memang orang-orang Papua hanya dijadikan apa ya, kayak tameng begitu untuk
memperpanjang kontrak karya. Kemudian masyarakat di sini juga ya, untuk
orang-orang yang sekelas kayak misalnya mereka sekolah pun ketika dia mulai
dibilang digunakan oleh Freeport untuk dikasih jabatan, atau apalah itu, pasti dia
tidak akan berbicara soal Freeport. Karena kan mental-mental orang sini kan
begitu kan, uang. Banyak yang begitu.
N: Apakah Freeport main amplop?
S: Tidak pernah.
N: Kalau tidak pernah, lalu sebatas apa intervensinya?
S: Intervensinya itu di level kita kepemimpinan. Freeport tidak pernah kasih
amplop. Kemarin waktu Wantimpres datang, yang ketua Wantimpres ini kan, Sri
Adiningsih, dia datang ke sini, pernah kan kita diberitahu dari orang humas Pemda
bahwa dia sampai di bandara sekitar jam 6. Kita bangun pagi-pagi lah jam 6.
Sudah menunggu-nunggu, katanya, “Wantimpres-nya masih istirahat, tunggu,
sekitar jam 10 baru jalan-jalan ke sini..sini.” Pas tinggal jalan begini, tidak tahu,
katanya sih pesanan dari Wantimpres bahwa kedatangannya mereka tidak boleh
di-blow up begitu.
N: Karena?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
S: Tidak tahu alasannya. Tapi yang jelas hal itu disampaikan oleh orang Corporate
Communication, ya sudah berat hati sekali kita pulang. Padahal kita tinggal
berangkat dengan mereka untuk kunjungan-kunjungan.
N: Dan tidak boleh diberitakan?
S: Sebenarnya beritanya saya tulis. Tapi katanya intervensi dari orang Corcomm
Freeport, “Jangan di-blow up dulu.” Ya sudah berita saya tidak dimuat. Besok
setelah pertemuan dengan Pemda, karena Pak Wakil Bupati-nya bilang, “Sudah
liput..liput saja.” Ya sudah diliput dan dimuat. Karena memang sih saya lihat
kalau misalnya ada orang-orang dari pemerintah pusat begitu datang memang
selalu didampingi sama orang Corcomm sih. Pasti mereka (Corcomm Freeport)
juga pantau sih, ini mereka (wartawan) nanya apa, bicara apa.
N: Pernah tidak Mbak Selvi ditegur karena pertanyaan-pertanyaan Mbak Selvi
yang memojokkan Freeport?
S: Tidak sih. Paling dia suruh kita, “Coba kamu tanya ini, bagaimana pendapatnya
ini...ini.”
N: Faktor apa dan siapa yang mempengaruhi konflik di Freeport?
S: Ya kepentingan politik, bukan hanya di Indonesia, tapi pasti di luar negeri.
Amerika juga karena ini kan perusahaan mereka. Cukup kecewa juga sebenarnya,
karena waktu itu Sudirman Said datang. Pak Bupati yang undang dia untuk datang
ke sini, tapi ketika dia datang, dia malah asyik flyover naik helikopter sama
Presdir-nya Freeport. Makanya waktu itu keputusannya antara Gubernur dan
Presdir Freeport ini ya mereka setuju untuk membangun smelter di Papua. Tapi,
seperti apa dukungan pemerintah pusat untuk membangun smelter di Papua? Toh
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
mereka juga tetap mendukung Freeport untuk membangun smelter di Gresik. Iya
kan? Kalau misalnya memang mereka mau Papua itu maju, ya sudah bangun kan
kawasan industri di sini, smelter. Harus berani menekan Freeport. Itu kan salah
satu kebijakan sebenarnya yang dipunya pemerintah pusat.
N: Tapi kalau misalnya memang ada perpanjangan, memang tidak takut dengan
limbah yang semakin besar?
S: Nah itu, tekanan dari pemerintah pusat bagaimana manajemen limbahnya itu,
pengelolaan limbahnya.
N: Tapi memang suara dari aktivis lingkungan itu tidak pernah dimuat ya?
S: Tidak pernah. Di sini memang untuk orang yang berbicara seperti itu, tidak
pernah. Masyarakat yang menerima dampak langsung, biasa saja. Mungkin karena
memang sudah dikasih dana 1 % itu ya merasa bahwa itu sudah menjadi ganti rugi
bagi mereka yang merasa rugi karena limbah tailing untuk suku Amungme dan
Kamoro. 1 % dari keuntungan Freeport itu dikelola sama LPMAK. Itu lembaga
kemitraannya Freeport. Itu di bawahnya Freeport.
N: Netralitasnya berarti dipertanyakan ya?
S: Tidak netral. Itu kan dipegang sama Freeport.
N: Kalau dalam pemilihan narasumber, bagaimana mbak?
S: Sebelum kita ke lapangan, perencanaan pemberitaannya, nanti mau cari berita
apa, atau mungkin ada berita-berita yang bisa kita tindaklanjuti, sudah kita
tanyakan.
N: Pertanyaan yang diberikan ke narsumber, lebih ke pertanyaan menjebak, solusi,
atau pendapat pribadi?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
S: Sesekali kita berusaha untuk pertanyaan menjebak. Misalnya ada situasi-situasi
apa begitu yang memang ya kita putar-putar dulu habis itu baru ke pertanyaan
yang menjebak itu. Tapi karena kita kalau misalnya untuk di pemerintahan ya
biasanya agak datar-datar saja sih.
N: Menurut Mbak Selvi, solusi apa yang tepat terkait konflik-konflik yang terjadi
di Freeport, baik dari lingkungan, demo karyawan, dan lain-lain?
S: Kalau saya sih harapannya pemerintah pusat mengambil sikap tegas pokoknya
soal Freeport ini.
N: Menurut Mbak Selvi, menggantungkan perpanjangan ini berdampak bagi
Freeport?
S: Ya pasti. Dia kan butuh kejelasan agar dia bisa beroperasi. Saya pernah baca
tulisannya Dahlan Iskan, memang betul, misalnya dia (Freeport) harus bangun
atau mengeksplorasi tambang bawah tanah, otomatis kan butuh perencanaan dari
sekarang. Kalau misalnya masih digantung kayak begini, terus kemudian dia
(Freeport) nanti sudah terlebih dahulu misalnya berinventasi di areal tambang
bawah tanah, kemudian tiba-tiba ditarik, tidak diperpanjang, mubazir dong sudah
terlanjur dia (Freeport) mengeluarkan dana yang begitu besar untuk investasi, tapi
ternyata tidak ada perpanjangan.
N: Tapi Mbak Selvi pernah memberitakan terkait lingkungan limbah Freeport atau
orang-orang yang terkena dampak limbah Freeport?
S: Pernah. Tapi dibikin secara halus. Waktu itu ada seorang tokoh masyarakat
yang mengatakan, dia punya sampai berapa kali tertimbun begitu oleh limbah
tailing, kemudian mereka aksesnya tidak bisa lagi jadi harus berputar ke tengah
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
laut begitu karena memang tidak bisa lewat sungai karena memang sudah dangkal.
Jadi air pasang pun dia tidak akan bisa. Dia pernah bilang begitu. Pernah saya
tulis. Itu kan masuk dalam kategori limbah B 3 kan? Berhaya sebenarnya. Baru
sekarang tidak bisa digunakan untuk minum dan lain-lain. Tapi ini, saya tidak
tahu, Freeport punya area reklamasi di bawah. Itu yang selalu mereka tampilkan
sama orang-orang kalau datang ke sini. Jadinya orang punya pikiran bahwa
limbahnya Freeport tidak berdampak. Itu areal reklamasi namanya Mile 21. Itu
kawasan reklamasi, pokoknya sebagai sampling begitu. Sebagai sample aja. Itu
ditanam sayur apa segala macam. Ada sapi beternak di situ. Seolah-olah itu areal
limbah tapi masih bisa hidup sapi, masih bisa tumbuh ini itu. Tapi di belakangnya
kan limbah.
N: Dan kualitas air di sini juga parah sekali ya?
S: Nah ini pertanyaannya orang-orang ya sama Departemen Lingkungan Hidup
Freeport. Di Timika ini kan kita mendapat air bersihnya susah. Kuning. Pokoknya
itu sehari sampai berapa kali pun itu tidak akan pernah jernih. Nah itu yang
ditanyakan, apakah itu dampak dari Freeport? Mereka (Freeport) menjelaskannya
begini ya, “Ah tidak, kan pas kita keluar dari bandara itu, di sebelahnya kan ada
laboratorium itu. Ada kayak danau di situ. Nah kita selalu cek air yang ada di
sebalah situ, itu tidak kena kok. Ini tidak ini kok.” Tidak, katanya. Mereka
alasannya, kenapa air di Timika itu kuning karena memang di sini daerah rawa,
katanya.
N: Dan memang itu menjadi bahan gugatan WALHI kepada Freeport karena
ditemukan adanya manipulasi data.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
S: Iya. Berdampak untuk lingkunganya itu memang parah. Menurut saya sih
parah. Sampai kayak misalnya kita ke wilayah pesisir, itu muncul kayak pulau-
pulau baru. Itu sedimentasi tambang kan. Nah Freeport untuk mengakalinya,
sudah dia datang tanam mangrove. Kalau mangrove kan untuk pasir atau apa kan
pasti tetap tumbuh. Ya sudah jadi rindang kembali.
N: Apa yang Mbak Selvi lakukan untuk menjaga objektivitas dalam menulis berita
terkait pemberitaan Freeport?
S: Waktu pertemuan Wantimpres, kan ada anggota DPR di situ, saya justru malah
tidak suka kalau misalnya anggota DPR sudah bicara kayak juru bicaranya
Freeport yang membangga-banggakan Freeport bilang, “Ahh pemerintah pusat itu
harus perpanjang ini..harus ini.” Loh sebagai wakil rakyat kan harus berpihak pada
rakyat. Itu saya kadang tidak mau tulis. Karena kan kita juga harus jeli melihat
mana yang harus ditulis dan tidak.
N: Apa yang menjadi pertimbangan dalam menulis berita? Ini berdampak
ekonomi bagi masyarakat Timika, menjaga keselamatan Radar Timika, menjaga
keselamatan Mbak Selvi sendiri, atau apa?
S: Kalau itu saya tidak ada faktor-faktor yang terlalu berpengaruh supaya kita
objektif. Tidak. Selagi beritanya seperti itu, ya kita beritakan apa adanya saja.
Tidak harus yang mencari bagaimana.
N: Ada saran yang ingin Mbak Selvi berikan untuk Radar Timika terkait
pemberitaan Freeport?
S: Kalau saya sih mungkin dalam kondisi tertentu media harus menempatkan diri,
memposisikan diri sebagai kayak suara rakyat, suara masyarakat. Ya memang apa
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
adanya yang ada di situ, ya kita harus suarakan begitu. Jangan karena kita cuma
mitra, kemudian kita sepenuhnya tunduk sama Freeport, tidak juga.
N: Punya kisah menarik terkait pemberitaan tentang Freeport? Entah intimidasi
atau apapun.
S: Dulu tahun 2011, itu saya awal-awal baru menjadi wartawan, itu kasus yang
paling besar, yang mogok karyawan sekitar 4 bulan waktu itu. Satu kali berita kita
muncul soal PKB-nya (Perjanjian Kerja Bersama) antara Manajemen PT Freeport
dengan Serikat Pekerjanya. Di beritanya, itu kan berita dari Corcomm, di rilis dari
sana, itu di beritanya tertulis terancam deadlock begitu. Serikat pekerja ini kan
marah. Dan dia sangat membenci wartawan, apalagi wartawan Radar Timika. Dia
tidak mau tahu. Mereka datang ribut di kita punya kantor. Dan mereka waktu itu
tidak mau melayani wartawan, selain wartawan TVOne. Karena TVOne waktu itu
dia live. Saya punya teman waktu di kejadian itu, waktu pecah ini puncak klimaks
sekali mogok waktu itu, di cek point masuk areal Freeport, di situ muncul
kerusuhan. Ada satu orang karyawan waktu itu kena tembak. Tapi sebelumnya
memang mereka sudah tidak suka wartawan karena pemberitaan itu kan. Muncul
konflik di situ. Pokoknya siapapun wartawan kek, bukan kek, yang
mendokumentasikan apapun video atau hp, itu semuanya pokoknya diserang sama
karyawan waktu itu. Kita sementara liputan di lapangan, semuanya disuruh pulang
ke kantor. Karena kita kan takut ini, jangan sampai nanti ada apa-apa, karena
mereka lagi jengkelnya ya. Saya lihat saya punya teman satu cowok, tapi sekarang
dia sudah di Kalimantan. Dia datang itu sudah tidak pakai sandal, tinggal
kemejanya sama celana jeans. Itu waktu itu dibonceng sama Ibu Misba kembali ke
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kantor. Karena motornya sudah dibuang ke sungai, dompetnya, tasnya,
kameranya, itu semuanya sudah dijarah sama orang. Dan memang dia mungkin
tidak menduga kalau akan terjadi seperti itu. Dia pergi mengambil gambar di sana.
Sudah tahu karyawant idak suka dengan wartawan. Dia tetap ke sana. Itu kan
dampak karena kita terlalu manggut-manggut sama Freeport kan. Dan akhirnya
kita dibenci sama karyawannya. Karena kan berita dari Freeport waktu itu kita
muat tanpa konfirmasi dari Serikat Pekerjanya. Mereka marah. Ya sudah. Di situ
karyawan mulai benci wartawan karena kita pro Freeport.
N: Sampai sekarang?
S: Ya, kayaknya sampai sekarang. Kalau saya sih juga terlepas dari kita salah atau
tidak, Serikat Pekerja seola-olah memandang wartawan lokal di sini itu kayak apa
ya, makanya juga kalau misalnya kegiatan mereka itu kita juga malas liput.
Seolah-olah mereka membenci kita sekali begitu. Karena gara-gara berita yang
kita terlalu pro-Freeport itu akhirnya berdampak kaya gitu. Ya saya ingat. Dan
situasi Timika waktu itu betul-betul banyak sekali tragedi. Sudah perang pecah di
Kwamki Lama. Orang Freeport kan mogok waktu itu, akses semua ditutup, dari
pelabuhan gak bisa barang-barang apa segala macam naik ke Tembagapura. Itu
dalam lima tahun terakhir, itu konflik internal Freeport paling besar.
N: Jadi aksi mogok ini memang dinilai pengganggu aktivitas tambang operasional
Freeport?
S: Ya mengganggu. Itu salah satu pengganggu. Parah dulu, mas. Saya dengar ya
waktu itu dari orang Corcomm bahwa mesinnya Freeport itu tidak boleh berhenti
sedetik pun. Jadi dia harus tetap berjalan, meskipun ada aktivitas tambang kah
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
atau tidak, pokoknya mesin itu harus tetap berjalan. Jadi karyawan itu harus tetap
standby ya. Sementara karyawannya kan mogok, mereka (Freeport) datangkanlah
karyawan-karyawan dari luar langsung ke atas. Besar sekali.
N: Yang sampai terjadi penembakan itu ya?
S: Ooo itu, iya penembakan itu. Kayaknya polisi kan waktu itu tidak pakai tameng
waktu mereka demo. Jadi waktu ini mau melindungi diri bagaimana tidak ada
tameng ya tembak saja, baru satu karyawan meninggal. Tambah panas lah waktu
itu.
N: Lalu, melihat kejadian itu, siapa pihak yang harus bertanggung jawab menurut
Mbak Selvi?
S: Pihak polisi yang tidak bisa memprediksi, membaca situasi. Harusnya kan
karena intelejennya kan mereka sudah berpikir bahwa itu akan menjadi konflik
atau apa. Tapi ini tidak ada persiapan sama sekali dari Kapolres masuk situ tanpa
perlindungan apa-apa, sampai kita punya teman wartawan waktu itu, senior saya,
itu tertahan di dalam terminal itu, dan mereka harus putar ke bawah begitu, tidak
bisa lewat ke luar. Pokoknya polisi dan wartawan itu paling tidak disukai sama
mereka (karyawan). Jadi kita di lapangan juga, kayak apa ya terintimidasi. Karena
memang dampaknya kita terlalu pro Manajemen Freeport.
N: Lalu bagaimana tanggapan Mbak Selvi sendiri kalau wartawan saja sudah tidak
mendapat kepercayaan dari masyarakat?
S: Itu kan saya tidak terlalu tahu bagaimana sampai berita itu. Tapi setahu saya
beliau sudah keluar, beliau juga termasuk orang yang hebat, beliau namanya Pak
Sumaryoto. Beliau waktu itu posisinya Redaktur Pelaksana. Beliau mendapat e-
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
mail dari Corporate Communication Freeport soal itu, bahwa PKB-nya Freeport
terancam deadlock. Dia memang sudah tahu bahwa berita ini pasti akan beresiko.
Dia pending sehari kan. Karena dia pending sehari pun akhirnya dia tidak disuka
sama Manajemen Freeport. Koran yang satunya, dia sudah muncul, tidak jadi
masalah. Tapi ketika Radar Timika yang mengeluarkan berita itu seolah-olah
menjadi berita yang heboh sekali dan menimbulkan kemarahan oleh karyawan
yang mogok, menimbulkan keributan. Mereka datang marah-marah ke sini (kantor
Radar Timika) menuntut berita itu dari mana. Di berita itu kan tidak ada
narasumbernya juga. Sampai akhirnya, daripada kita menjadi korban di sini, kita
punya kantor mungkin dibakar atau seperti apa, ya sudah, kita punya Redaktur
Pelaksana waktu itu memperlihatkan, “Ohh ini e-mail dari Manajemen Corcomm
Freeport.” Dan saat itu, Freeport agak renggang dengan kita, dengan Radar
Timika. Karena mereka punya ini, kita kasih tahu. Kita ini cari aman sebenarnya.
Tapi itu kayaknya kasus yang paling besar.
N: Kasus konflik lain pasti banyak ya Mbak Selvi?
S: Banyak. Yang paling hangat sekarang ya masalah kontrak karya. Baru
pemerintah kan sampai sekarang Gubernur sama Bupati juga punya tuntutan yang
banyak sama mereka. Dari Freeport juga agak-agak takut kalau Bupati akan bilang
apa begitu. Karena Bupati memang agak sedikit keras dengan Freeport.
N: Memangnya bagaimana kesejahteraan karyawan di Freeport menurut
sepengetahuan Mbak Selvi?
S: Mereka (Freeport) sekarang karyawannya masih bertambah kok. Terus pernah
ada yang bertanya, “Bagaimana kalau misalnya operasional di tambang terbuka
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
sudah berakhir tahun 2017 nanti, terus nanti berpindah ke areal bawah tanah?
Otomatis kan skill-nya kan berbeda. Itu ditanya, bagaimana nasib karyawan yang
di atas itu? Apakah mereka diberhentikan atau bagaimana?” Freeport bilang,
“Mereka direlokasi, tapi tetap dikasih pelatihan dulu sebelum masuk ke tambang
bawah tanah. Ada juga yang direlokasi untuk yang kerja-kerja tanggul,
penimbunan-penimbunan itu.” Untuk masalah gaji, sebenarnya untuk standar di
Indonesia, gajinya besar, cuman memang beresiko. Saya dulu tahun 2013, yang
tambang longsor di tambang Big Gossan, kebetulan waktu itu sebenarnya mereka
(Freeport) melarang wartawan untuk naik, cuman kebetulan saya di situ, Pak
Wakil Gubernur bilang, “Selvi, ikut naik.” Ya sudah, saya ikut saja. Di atas itu
kita dilarang ambil gambar, saya tetap ambil gambar, meskipun orang Freeport
larang ambil gambar. Itu kalau dengar penjelasannya dari mereka itu, kedalaman
dari permukaan tanah sekitar 1 kilometer di dalam. Jadi kan beresiko. Sekali
longsor kayak begitu, tertimbun. Gila itu. Jadi memang, istilahnya pekerja di atas,
“Pokoknya setelah kembali dari terowongan itu terus bisa bernapas di luar
terowongan itu, itu yang selamat. Tapi kalau selama di dalam, kasian juga. Tidak
hirup udara segar. Tidak pernah lihat matahari.” Memang bersiko sekali. Tapi
tidak mungkin juga mereka menuntut upah standar kayak orang Amerika yang
sejam berapa dolar. Menurut saya, terlalu berlebihan. Ya bagaimana kesenjangan
itu orang-orang yang bekerja. Banyak tuntutan-tuntutannya waktu itu yang sampai
bagaimana untuk anak-anaknya, istrinya. Itu sudah berapa kali mogok. Tapi yang
paling besar mogoknya tahun 2011, itu mulai dari Agustus sampai awal Desember
kalau tidak salah. Pokoknya mulai dari situ Freeport mulai tidak stabil. Sejak
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
peristiwa itu mulai tidak stabil. Kemudian 2011 dan masuk 2012, dia (Freeport)
masuk dalam pemulihan untuk ini. Kemudian tahun 2013 terjadi insiden yang
longsor itu. Itu operasional juga dihentikan karena proses evakuasi. Itu seinget
saya bulan Mei atau Maret. Pokoknya 2013 itu longsor di Big Gossan. Kemudian
2014, di situ mulai ada masyarakat pergi palang ke atas sekitar bulan Oktober itu
pemalangan sama karyawan lagi. Waktu itu ada masalah karyawan yang
kecelakaan, kemudian dia menuntut apa saya lupa. Cuma saya waktu itu ikut ke
atas sama Bupati untuk penyelesaiannya. Jadinya dibuka palangnya waktu
Oktober 2012 masuk ke 2013. Tahun 2014 itu UU Minerba itu. Jadi kan
konfliknya Freeport ini terus berkepanjangan dia.
N: Kalau terkait konflik UU Minerba, siapa yang disalahkan menurut Mbak
Selivi?
S: Kesalahannya di Freeport sih, karena UU itu kan sudah menyatakan di tahun
2014 batasnya Freeport sudah membuat smelter, tapi ternyata Freeport belum.
Akhirnya dengan berbagai alasan bilang begini-begini, pemerintah melunak lagi,
dikasih lagi perpanjangan. “Ooo boleh ekspor, tapi yang jelas komitmen
membangun smelter.” Freeport diminta untuk punya pemurnia di dalam negeri.
Sementara dia (Freeport) saat itu punya kapasitas baru 40 %. Di situ Freeport
mulai goyah lagi sampai akhirnya mungkin pemerintah waktu itu Menteri ESDM
waktu itu dikasih kebijakan karena Freeport komitmen membangun smelter.
Akhirnya pemerintah mengizinkan Freeport untuk ekspor. Melunak lagi. Terus
Freeport membangun smelter, sampai sekarang juga belum kelar dia membangun
smelter di Gresik. Malah dikasih perpanjangan lagi. Jadi ini sebenarnya kuncinya
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kan di pemerintah untuk tegas. Terus kemudian kalau sudah terjadi kayak begitu,
misalnya operasionalnya diganggu apa segala macam, kayak misalnya nggak
dikasih perpanjangan, ya sudah, dia mulai gunakan itu, sampai Rumah Sakit Mitra
Masyarakat, dia gunakan sebagai tameng, dia bilang, “Di dalam tidak bisa ini
karena pendapatan perusahaan menurun.” Jadi Freeport menunjukkan dampaknya
ke masyarakat ini..ini..itu selalu yang dijadikan alasan. Tapi Freeport kan memang
multiplayer effect-nya banyak kan. Sampai penerimaan daerahnya menurun. Di
Timika 2015 kemarin karena royaltinya Freeport berkurang, kan disetor ke negara
kan royaltinya, itu Mimika sampai defisit sekitar 234 miliar. Kemarin, karena
sempat percaya diri bahwa Freeport bisa ini, dia ancang-ancang punya APBD 3,3
triliun, tapi karena pendapatan tidak mencapai ya sudah dirasionalisasi kembali
diturunkan sekarang proyeksinya jadi 2,7 triliun. Makanya memang tergantung
sama Freeport. Untuk Mimika dipengaruhi sampai 90 persen dari keberadaan
Freeport. Itu besar sekali. Dari kalau misalnya 2,7 triliun APBD itu sekitar 1
triliun lebih itu bersumber dari Freeport. Royaltinya dan dana bagi hasil pajak itu
semua bersumber dari Freeport. Dan memang besar sekali dampaknya. Makanya
orang bilang, nanti kalau misalnya Freeport tutup, Timika ini bisa jadi Ghost
Town. Kecuali kalau sekarang ada persiapan dari pemerintah membangun sektor
lain kayak misalnya perikanan, dan lain-lain. Kayak misalnya kemarin, waktu
Wantimpres datang, Wakil Bupati bilang, “Pemerintah pusat itu harus memikirkan
juga bagaimana pasca-Freeport. Mungkin pemerintah membangun pabrik apa di
sini, pabrik semen dengan menggunakan tailing itu, karena kan sebenarnya
materialnya bisa itu. Tinggal ditambah komponen apa bisa jadi semen. Mungkin
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
bangun pabrik ikan atau apa. Untuk antisipasi tidak hanya dari tambang.
Pemerintah terlena dengan tambang.
N: Jadi sebenarnya banyak kepentingan politik di Freeport?
S: Banyak sekali. Penentuan-penentuan seperti posisi Presdir itu kan politis
banget. Itu tidak sepenuhnya penentuan dari direksi di Amerika. Memang cuma
Amerika seolah-olah punya titipan di situ atau pemerintah punya titipan di situ.
N: Dan makanya dicari orang TNI?
Sevianto: Nah itu kepentingan kita Indonesia, makanya kan kita juga harus
pentingkan orang-orang yang nasionalismenya tinggi di Freeport, supaya dia
bisa meng-cover kepentingan negara untuk di Freeport. Makanya bagus
sekali kemarin Pak Maroef Sjamsoeddin, dia betul-betul nasionalis, tapi
mungkin karena dia merasa terlalu mementingkan negaranya, mengabaikan
kepentingan perusahaan asing, ya mungkin merasa terbebani dengan itu.
Tapi itu pandangan kita. Kok beliau mengundurkan diri di saat dia tetap
bertahan dari negara, di sisi lain dia juga harus memikirkan pemilik
perusahaan. Toh Freeport yang gaji dia. Kan dia dilema jadinya.
S: Ya memang banyak sekali permasalahan. Kemarin saya sempat wawancara
Sekretaris Daerah Provinsi Papua Hery Dosinaen, dia itu mengatakan bahwa
memang orang memandang Papua itu dari kepentingan politik saja. Tidak ada
yang memang punya niat namanya membangun, tapi ya memang Presiden kita
akui kalau memang dia sedikit ada ini di Papua kan dengan dia membangun jalan
trans, membangun bandara, apa segala macam. Sebelumnya? Aduh kasian. UU
Otonomi Khusus (Otsus) diturunkan seperti itu, tapi sekarang jadi perbincangan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
lagi. Itu berdasarkan Pak Sekda, dana Otsus kan Papua dapat 2 % dari dana
alokasi umum secara nasional. Terus dia bilang begini, itu sekitar berapa triliun.
Dibandingkan dengan misalnya katakan pemasukannya Freeport dalam kurun 4
tahun meskipun dia sedang kayak masalah begini, dia tetap kasih pemasukan
kepada negara sekitar 400-an triliun, tapi Papua cuman dapat segitu. Ini jadi
pertanyaan juga. Dia bilang, “Papua sudah kasih banyak untuk negara ini, tapi
kembalinya itu tidak ada.” Begitu. Makanya memang pemerintah provinsi dan
pemerintah daerah sangat ini sekali untuk bagaimana celahnya ini masuk dalam
proses renegoisasi ini. Kemarin Pak Bupati, salah satu tuntutannya itu Presdir
harus orang Papua. Kemudian, dia juga harus memiliki saham pemerintah daerah,
pemerintah provinsi di sana (Freeport). Kemudian, masyarakat adat harus punya
saham. Itu tuntutan dari pemerintah daerah kabupaten.
N: Menurut Mbak Selvi, apakah orang asli Papua sudah siap untuk jadi Presdir
Freeport?
S: Kalau menurut saya, Freeport ini kan kepentingannya luas sekali. Maksudnya,
dia (Freeport) lini sektor. Kalau misalnya nanti dia harus punya kemampuan
bagaimana bernegoisasi dengan pemerintah, dengan masyarakat lagi di sini,
pokoknya dengan semua pihak. Dan kalau misalnya dia masyarakat Papua, pasti
dia terbeban moral juga apabila suatu kali waktu diperhadapkan antara konflik
perusahaan dan masyarakat, dia harus pilih yang mana. Kecuali kalau memang
ada orang yang benar-benar dia bisa dipegang sama negara dan mampu
mengendalikan Freeport. Untuk manajemen, saya pikir ada orang Papua sudah
mampu, cuman untuk Papua secara umum ya. Tapi kalau untuk masyarakat suku
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
di sini, orang suku Amungme atau Kamoro, menurut saya belum, dari segi
kualitas. Jangan sampai nanti makin runyam karena dibenturkan antara
kepentingan masyarakat sama perusahaan. Pasti dia dilema memilih.
N: Bagaimana wacana pembangunan oleh Freeport di Timika? Jadi Freeport
memang melakukan pembangunan, tapi itu hanya sebatas fisik, tidak secara
kualitas.
S: Memang di sini kalau bermasalah adalah pendidikan dan kesehatan. Kayak
misalnya kemarin saya ke kampung Arwanop, itu di bawah mile 50, boleh
dibilang masuk di dekat daerah operasional tambang Freeport, itu termasuk ke
dalam wilayah binaannya Freeport, itu saya ke sana, di situ PT Freeport bangun
gedung sekolah, tapi itu diserahkan ke pemerintah daerah untuk dikelola. Itu
gurunya datang kalau pada saat ujian saja. Tidak ada pas pembelajaran. Itu banyak
cari di Papua, di Timika banyak. Kendalanya apa? Masalah transportasi. Tapi
sebenarnya kita juga harus akui ya PT Freeport itu setiap hari, kalau Mas Niko
pernah lihat helikopter yang berwarna kuning lalu-lalang begini, itu mengangkut
kebutuhan masyarakat ke sana. Jadi guru diangkut pakai itu gratis sama PT
Freeport yang penting ada prosedurnya. Cuma masalah gurunya ini yang tidak
betah di sana. Kebanyakan di kota. Itu masalah juga. Mungkin pemerintah atau
perusahaan sudah bangun fasilitas, tapi ketika seperti itu operasionalnya tidak
berjalan maksimal karena memang person-nya. Banyak persoalan seperti itu. Di
bidang kesehatan juga seperti itu. Orang kalau yang paling sering datang terima
laporan, di sana itu tidak pernah ada guru, puskesmas itu selalu kosong. Itu
persoalan klasik sekali. Karena memang di sini, orang selalu menjadikan alasan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
transportasi, apalagi kalau memang wilayah pedalaman. Kemudian tidak semua
ada lapangan terbang kalau mau menggunakan helikopter. Jadi memang, kalau
staf menteri ESDM waktu itu bilang, untuk persoalan-persoalan kayak begini, itu
laknat tambang. Di Afrika atau di mana, di Australia yang ada suku Aborigin di
situ, saserupa (sama). Masyarakat di sana juga tertinggal padahal kayak Afrika
minyaknya bagaimana? Ya memang kepentingan kapitalis. Tidak pernah memang
ada orang yang benar-benar serius untuk membangun manusianya. Pernah saya
bikin berita yang tentang lingkungan itu, yang ada tokoh masyarakat yang bilang,
ada sekitar 4 sungai sudah tertimbun karena sedimentasi limbah. Itu dimuat, bukan
headline. Padahal isunya isu besar. Kebanyakan juga orang-orang masyarakat di
sini ya kayak sudah menerima begitu. Lagian juga kayak misalnya masyarakat
begitu ya yang dana 1 % itu merasa sudah cukup, jadi tidak berkoar-koar lagi.
Mana ada sekarang lembaga masyarakat berkoar-koar bilang masalah lingkungan?
Tidak.
N: Jadi menurut Mbak Selvi, LSM juga kurang menyuarakan itu?
S: Tidak pernah selama saya (di Radar Timika). Kecuali komentar masyarakat
yang begitu, masalah sungainya sudah dangkal, apa begitu, karena rata-rata kan
daerah ke sana ini bagian Timur ke sana in kan memang bermuaranya semua
limbah ini mereka. Makanya di sana itu ada berapa kampung yang dibina sama
Freeport, kayak misalnya kampung Manosari, Agimuga, tapi kasian juga karena
tidak semua masyarakat di Mimika ini mendapatkan dana 1 % itu. Kalau misalnya
kita ke Mimika Barat, jauh, Mimika Tengah ke sana, tidak tersentuh. Padahal kan
mereka juga sebenarnya kena dampak. Mereka tidak menikmati itu. Yang
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
namanya mereka dikasih fasilitas apa, tidak. Ada, paling cuma beberapa yang
dijadikan sample. Kayak misalnya kemarin kita dapat berita-berita apa, kan
banyak sebenarnya kejadian-kejadian di lingkungan perusahaan, tapi susah kita
jangkaunya, karena kita tidak bebas masuk. Kayak misalnya kemarin longsor di
Tembagapura, yang saya hubungi itu bukan orang Freeport-nya, tapi hubungi
Camat-nya saja biar dapat beritanya. Tulis-tulis saja. Tapi tidak ada complain sih.
Itu kan berita agak besar karena banyak orang yang keluarganya bekerja di atas
jadi banyak orang membutuhkan informasi itu. Aksesnya kita kan ke sana susah.
Jadi untuk masuk ke sana itu susah. Itu tantangan besar wartawan dengan Freeport
ke areal tambang.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Wawancara Langsung
Redaktur Radar Timika Maftukin (Sms)
N: Bagaimana ceritanya Mas Maftukin bisa sampai di Radar Timika?
S: Saya dulu sebelum di Radar Timika, kerja di konsultan pengawas proyek di
pedalaman Timika. Di situ proyek kan tidak setiap tahun ada, kita sepanjang tahun
ada. Hanya bulan-bulan tertentu, mungkin bulan April sampai dengan akhir tahun
itu proyek baru jalan. Nah di situ baru ada kegiatan. Kalau pas lagi nggak ada
proyek, kebanyakan di rumah, meskipun diberi gaji. Nah di situ ada titik
kejenuhan, karena tidak beraktivitas. Di lain sisi saya menikah, otomatis istri yang
saya bawa ke sini, nggak mungkin saya tinggalin di pedalaman. Jadi saya
memutuskan untuk berhenti di situ untuk mencari pekerjaan yang sekiranya hanya
di dalam kota. Istilahnya, tiap hari bisa ketemu dengan keluarga. Di situ saya
melamarlah ke beberapa perusahaan. Pengalaman saya nol waktu itu di media.
Hanya sekedar istilahnya melihat lowongan, saya melamar. Beberapa bulan tidak
ada panggilan. Nah panggilan datang dari Radar Timika. Awalnya saya sempat
hanya iseng saja.
N: Jadi memang tidak ada niat?
S: Tidak ada. Basic pun tidak ada. Dunia jurnalistik pun tidak ada. Ya mungkin
hobi di blog, nulis-nulis di blog, pengalaman-pengalaman pribadi, perjalanan
pribadi, mungkin itu saja, di media belum pernah. Di situ bulan Agustus tahun
2010, saya bergabung dengan Radar Timika. Pertama, 3 bulan sebagai wartawan
magang. Magang sambil orientasi di lapangan. Orientasi pertama itu, saya masuk
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
di desk kriminal, selama kurang lebih 3 tahun setelah saya diangkat pun, saya
masih di kriminal sampai tahun 2013, meskipun berpindah-pindah areal liputan,
misalnya di Polsek, Pengadilan, Kejaksaan, tapi masih di dalam desk hukum dan
kriminal. Setelah dari kriminal, saya di-rolling masuk di politik, di DPRD, itu
pertengahan tahun 2013. Nah, pada masa itu awal-awal bursa pencalonan Bupati
dan Wakil Bupati. Di politik hanya kurang lebih 1 tahun. 2014 saya diangkat
menjadi asisten redaktur. Tidak bertahan lama, paling sekitar 6 bulan, saya sudah
diangkat menjadi redaktur pada Juli 2014. Memang terbilang cepat ya, karena
memang ada beberapa senior saya yang masih di lapangan, tapi saya yang junior
malah jadi redaktur duluan. Mungkin pertimbangan apa, saya tidak tahu. Mungkin
iu pertimbangan dari atas, waktu masih Pak Octo. Kalau nggak salah sekarang
hampir 2 tahun. Saya menjadi redaktur pertama pegang halaman ekonomi, hanya
teknologi di sini kan kurang ada penemuan, makanya sering download dari grup di
Jawa Pos, Cenderawasih Pos, Fajar. Tapi tetap saya mencari yang kira-kira
berkaitan dengan di Papua, khususnya di Mimika. Yang ada kaitannya, mungkin
pengaruh kebijakan-kebijakan dari pusat yang sekiranya berdampak, seperti BBM,
ada yang dirasakan oleh masyarakat di Papua. Nah setelah 10 bulanan, saya di-
rolling kembali untuk pegang halaman metro, metro itu kriminal hukum dan
halaman olahraga, halaman-halaman non-sepak bola. Di Timika sendiri untuk
olahraga tidak terlalu menonjol karena ada campur tangan daripada pemerintah.
KONI sampai sekarang ini pun istilahnya mati suri, kepengurusannya tidak aktif,
jadi dampaknya sangat luar biasa ke dunia olahraga. Makanya olahraga sering kita
isi dengan konten-konten dari luar, tetap dari grup. Karena macam ada larangan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kalau kita ambil dari media lain, karena itu kan ada hak ciptanya. Kalau dari grup
kan tidak masalah, memang kita diizinkan untuk saling bertukar berita. Kita ada
sebuah room sendiri untuk saling bertukar berita. Nah kadang memang mungkin
perbedaan waktu kita Indonesia Timur dengan Indonesia Barat, ada momen-
momen tertentu yang tidak ada di grup kita. Berita misalnya motoGP, itu kadang
di grup kita belum ada, kita sementara sudah dituntut dengan waktu. Jadi paling
kita tinggal paling sempat lihat membuat berita dari apa yang kita lihat. Tapi kalau
misalnya kita juga tidak sempat, mungkin kita bisa membaca referensi dari media
lain, tapi tetap kita sendiri yang bikin, paling kita tambah kutipan-kutipan nanti
tinggal dikutip dari BBC atau darimana.
N: Kenapa memilih Radar Timika?
S: Saya memilih Radar Timika karena waktu itu panggilan yang ada cuma Radar
Timika.
N: Kenapa Mas Maftukin yakin, Mas bukan dari background jurnalistik, tapi
mendaftar di dunia jurnalistik?
S: Awalnya saya penasaran, seperti apa sih wartawan. Di samping itu, saya juga
memang mau mencari pekerjaan yang di dalam kota, sekiranya saya bisa pulang
setiap hari.
N: Bagaimana Mas Maftukin menanamkan ideologi Radar Timika kepada reporter
lain?
S: Jadi di Radar Timika ini kan memiliki moto 'Dekat, Hangat, Tuntas'. Nah,
khusus untuk bidang saya, di halaman yang saya tangani, halaman kriminal.
'Dekat' ini istilahnya kita ada unsur kedekatan berita, dari tokoh-tokoh dan lain-
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
lain. 'Hangat' sendiri maksudnya isunya masih berkembang dan aktual. Misalnya,
di kasus-kasus kriminal tidak hanya mengekspos suatu kriminalnya saja, tapi
berita-berita terbaru. Nah, 'Tuntas'-nya, kita akan mengikuti kasus itu sampai
tuntas. Misalnya, kriminal, kita ikuti kasus itu sampai ada putusan di pengadilan.
Meskipun ada perdamaian, kita ikuti sampai titik perdamaian itu. Kita kawal
sampai situ.
N: Sejauh ini apakah ada kendala untuk menerapkan ideologi itu kepada para
jurnalis di Radar Timika?
S: Kadang-kadang teman-teman di lapangan, karena di sini banyak kasus, ada
yang terlupakan. Tapi kan kita punya list. Ada kasus-kasus yang, kebanyakan
kasus selesai, selesai bukan hanya ada putusan dari pengadilan, tapi selesai di
tingkat kepolisian, mugkin antara korban dan pelaku berdamai. Kita anggap sudah
tuntas berita itu. Jadi unsur 'Kedekatan' itu berkaitan dengan emosional.
N: Hal apa yang buat Mas Maftukin bangga menjadi salah satu bagian dari Radar
Timika?
S: Saya paling bangga di sini itu saya merasa nyaman karena ada kebersamaan di
antara kita. Karena istilahnya uang itu bisa dicari, tapi kenyamanan dalam bekerja
itu yang tidak bisa kita dapatkan, mungkin kita pindah ke yang sekiranya mungkin
ini lebih bagus, belum tentu saya bisa nyaman di situ.
N: Apa hambatan dan tantangan Radar Timika mengingat media ini adalah salah
satu media lokal terbesar di Timika?
S: Tantangan yang saya rasakan selama ini mungkin istilahnya pola pikir
masyarakat di Papua ini belum sebagus di daerah lain tentang pers. Kadang-
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kadang kita masuk, kita adalah pers, masyarakat menganggapnya memetik
keuntungan dari suatu peristiwa. Itu yang kadang-kadang menjadi tantangan buat
kami. Soal ada pertikaian-pertikaian yang sudah jatuh korban di kanan-kiri. Kita
istilahnya mendorong pihak kepolisian untuk segera bertindak, tapi kadang-
kadang masyarakat malah melawan ke kita, maksudnya kadang-kadang
masyarakat merasa kita mau liput itu menjual peran itu ke luar. Meskipun media
itu bisnis, tapi kan istilahnya kita ada sisi kemanusiaannya. Istilahnya kadang-
kadang perang itu kan di Timika ini beberapa kali, tahun 2013 itu yang besar, itu
kan korban berjatuhan. Sementara itu disebut-sebut sebagai perbuatan tradisi, adat.
Adatnya mereka itu begitu. Tapi kita melihatnya, ini nyawa. Jadi, adat itu
istilahnya, okelah, ada adat perang, tapi jangan perang betul-betulan. Istilahnya
cuman dijadikan sebagai simbolis saja, nanti menarik wisatawan. Kita maunya
seperti itu. Jadi, perang yang sudah terjadi, kita harapkan pihak-pihak keamanan
itu benar-benar pressure mereka biar terselesaikan. Nah, kadang-kadang itulah
masyarakat tidak mengerti maksudnya kita. Kita masuk ke situasi konflik, mereka
kadang-kadang mereka mengira, “Ini nanti mau foto kita, nanti dikasihkan ke
polisi.” Kadang-kadang seperti itu.
N: Apakah Mas Maftukin pernah merasa menulis tidak secara bebas, karena ada
kepentingan individu atau kelompok?
S: Untuk saya secara pribadi, saya bebas menulis, asalkan kaidah-kaidah
jurnalistik tetap kita pegang. Kita utamakan, berita ballance, tidak memihak, dan
kalau misalnya kita menyudutkan pihak tertentu harus ada konfirmasi. Selama
saya di Radar Timika, belum pernah sekalipun saya dibatasi untuk jangan menulis
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
ini. Menulislah seperti ini, tidak pernah. Tapi ya begitu, kita mau menyoroti
siapapun, sekecil apapun, kita harus berimbang dan meninggalkan segala
kepentingan. Kita mungkin kadang-kadang seperti saya mungkin warga di sana
ada bentrokan, warga tempat saya dengan tempat sini, saya sebagai penulis kan
tidak bisa untuk seolah-olah warga ini yang betul. Nah, itu yang harus saya
tinggalkan. Andai kata ada perselisihan atau apa, tetap kita mengambil di tengah.
Misalnya ada pihak-pihak yang menyoroti pejabat ini, kita harus ada konfirmasi.
N: Apakah pernah ada pengalaman Mas Maftukin dan tidak dimuat?
S: Ooo sering.
N: Itu karena apa?
S: Mungkin menurut saya sudah berimbang, ketika saya masih wartawan ya, tapi
mungkin sama redaktur masih dianggap ada istilahnya menulis dengan emosi. Jadi
tidak berada di titik tengah. Nah, itu mungkin berita di-cut, tidak akan naik.
N: Bahkan pending dulu?
S: Ya itu juga sering, seperti sekarang. Sekarang saya kan ada di posisi redaktur.
Ketika ada berita yang sekiranya tidak berimbang, saya akan cut berita itu.
N: Memangnya apa yang sebenarnya bikin berita itu di-cut?
S: Biasanya yang kita hindari itu masalah klaim tanah. Di sini kan tinggi kasus
masalah tanah. Terkahir itu di irigasi, itu ada masyarakat yang istilahnya menemui
wartawan minta diwawancara sama wartawan bahwa tanahnya telah digunakan
untuk pasar, tapi belum dibayar. Padahal kasus itu sudah lama. Nah, kita harapkan
dari pihak yang merasa dirugikan, silakan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Nah, di pengadilan-lah kita akan liput kasus itu. Bukan dia mengundang wartawan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
dan dia kasih komentar secara personal menyinggung pihak lain. Kita harapkan,
dia menempuh jalur yang sesuai prosedur. Dia harus melapor ke kepolisian atau
menggugat ke pengadilan.
N: Apa faktor lain tulisan itu layak cetak, selain 5W+1 H?
S: Selain kelengkapan data, tentunya media ini kan bisnis juga ya. Saya di tingkat
redaktur mungkin juga ada sumbangsih bagaimana besok supaya koran ini laku
dijual. Berita yang naik cetak tentu berita yang laku dijual. Seperti apa berita yang
laku dijual untuk di kalangan di halaman yang saya pegang, di kriminal tentu
berita-berita yang nanti sekiranya berdampak pada masyarakat. Misalnya seperti
hari ini, berita saya hanya saya jadikan opening, ada pertikaian di Kwamki Lama.
Itu buntut dari tahun 2013 yang lalu, ternyata masih berimbas sampai sekarang.
Nah saya bikin besar karena itu tadi, sebenarnya saya tidak sependapat dengan
pertikaian yang mengorbankan nyawa. Di sisi lain saya juga membuat informasi
bagi masyarakat bahwa di sini lagi tegang. Di sini kan banyak masyarakat yang
kerja sebagai tukang ojek, harapan saya adanya berita itu, mereka juga berpikir
bahwa sekarang lagi tegang di situ, jangan masuk di situ dulu karena situasi
keamanan belum benar-benar kondusif. Meskipun diklaim sama pihak keamanan
sudah kondusif tapi tetap saja,
N: Sebagai redaktur, bagaimana Radar Timika menyikapi pemberitaan-
pemberitaan terkait Freeport?
S: Radar Timika tentang Freeport, kita tetap memberitakan apa adanya fakta, tetap
kita akan beritakan. Tapi dengan kaidah jurnalistik, azas keberimbangan. Kita
istilahnya, meskipun ada fakta, misal ada peristiwa insiden di Freeport, tetap kita
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
akan beritakan, tapi karena itu di area perusahaan, area khusus, kita tetap akan
minta konfirmasi ke Corcomm-nya Freeport. Itu sudah menjadi ininya kita, setiap
kali pemberitaan yang menyinggung Freeport. Kita harus mengedepankan
konfirmasi.
N: Adakah larangan-larangan yang diberikan redaktur Radar Timika kepada
jurnalis dalam meliput masalah Freeport?
S: Selama saya di sini, belum pernah ada. Bisa ditanyakan itu, tidak ada. Yang
penting dia membawa data itu lengkap, itu adalah fakta dan ada konfirmasi.
N: Kalau misalnya ada data dari Freeport, memangnya tidak ada ketakutan kalau
data itu dimanipulasi?
S: Nah itu tadi. Misalnya ada suatu peristiwa di Freeport, otomatis kita wajib
konfirmasi tidak hanya dari Corcomm. Misal, musibah kecelakaan di jalan areal
tambang. Itu kan meskipun wilayah khusus, areal tambang, di situ kan ada polsek-
polsek, kita tetap konfirmasi ke Kapolsek, apakah betul ada peristiwa ini? Jadi kita
tidak datang, langsung kita simpulkan mentah-mentah, tidak bisa.
N: Respon masyarakat terhadap pemberitaan Freeport di Radar Timika ini tinggi
ya?
S: Ya selama kita memberitakan berita tentang Freeport itu sering menjadi
incaran, koran kita laku. Karena apa? Di Mimika ini pernah ada anggota dewan itu
mempublikasikan data 90 % pemasukan Mimika itu dari Freeport. Istilahnya, 90
% dari pendapatan kabupaten Mimika, otomatis ini kan akan berdampak. Ketika
kita ada isu apapun tentang Freeport, pastinya itu akan diminati masyarakat karena
selain pendapatannya di kabupaten Mimika, karena di Timika sendiri sudah
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
berapa ribu karyawan Freeport, terus yang berakitan dengan Freeport, petani-
petani itu kan mereka menyuplai hasil mereka ke Freeport, termasuk para tukang
ojek pun itu melayani akses dari rumah karyawan ke terminal. Kan ada
multiplayer effect itu tadi.
N: Mas Maftukin pernah menulis “Papuan Brotherhood: UU Minerba Ikat
Kesejahteraan Rakyat Papua”. Nah, kalau melihat masalah UU Minerba ini,
menurut Mas, apa yang jadi penyebab masalah dari berita itu?
S: Jadi begini, UU Minerba itu kan sebenarnya dia membatasi untuk pengiriman,
pengeksporan konsentrat. Nah, Papuan Brotherhood waktu itu ada karena kita tahu
sendiri bahwa di Indonesia ini belum ada smelter yang belum mampu menampung
produksi Freeport. Sekarang ini kan smelter yang ada cuman di Gresik. Nah,
misalnya daya tampung smelter itu cuman 20 ribu kubik, sementara produksi dari
Freeport 50 ribu kubik, otomatis kan terjadi kelebihan stock di sini. Tidak bisa
tertampung semua, tidak bisa terolah di smelter di Gresik. Nah, ini kan akan
berdampak pada pendapatan Freeport, pendapatan Freeport juga berdampak pada
dana kemitraan yang dikelola sama LPMAK. Itu akan untuk pendidikan,
kesehatan, dan sebagai-sebagainya. Mungkin itulah yang disebut masyarakat
mengikat kesejahteraan mereka karena adanya UU itu kan tidak dilihat dulu
apakah smelter ini sudah ada dan mampu menampung hasil produksi Freeport atau
tidak. Jadi, masyarakat waktu itu kan melihat UU ini dibentuk untuk membatas
Freeport, istilahnya mengekang pendapatannya Freeport, yang juga pasti akan
berdampak ke mereka.
N: Berarti aktor daripada permasalahan itu dari pemerintah pusat karena
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
mengeluarkan UU Minerba?
S: Iya. Jadi belum siapnya smelter untuk mengelola hasil produksi.
N: Kalau masalah perpanjangan kontrak karya bagaimana menurut Mas Maftukin?
S: Untuk perpanjangan kontrak karya itu kan dari pemerintah pusat waktu itu
secara sepihak dia langsung membuat pertemuan atau negoisasi dengan
perusahaan, yaitu Freeport, tanpa melibatkan Papua dengan kabupaten. Nah itulah
yang sempat waktu itu dari pihak kabupaten dengan pihak provinsi, mereka
berontak, mereka menuntut ke Jakarta, karena kita ini langsung terdampak oleh
Freeport. Jadi kita minta untuk dilibatkan secara langsung dalam negoisasi kontrak
karya. Itulah terus ada tuntutan-tuntutan dari pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten.
N: Apa sih latar belakang dalam pemilihan narasumber?
S: Dari narsumber, biasanya kita lihat dari ketokohannya. Brotherhood waktu itu
diketuai oleh Pak Silas Natkime. Silas Natkime ini kan tokoh, hampir semua orang
di Timika kenal. Dia yang punya gunung di atas yang sekarang dipakai sama
Freeport. Dia kepala sukunya yang gunung, bukan pemiliknya. Istilahnya kepala
suku yang mempunyai hak ulayat di atas gunung itu. Meskipun sekarang dia
sudah di jajaran manajemen Freeport. Dia bagian dari Freeport. Istilahnya apa ya.
Papuan Brotherhood itu kan bukan satu orang saja yang menyuarakan itu. Itu kan
beberapa. Itu kan kelompok dari orang-orang. Jadi kita tidak ada salahnya untuk
mengangkat mereka.
N: Kalau Mas Maftukin memberikan pertanyaan ke narasumber, itu pertanyaan
yang menjebak, meminta solusi, atau meminta pendapat pribadi?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
S: Ya tentu solusi yang kita cari. Kita kan istilahnya menganut jurnalisme damai.
Kita inginnya itu semua permasalahan itu bisa tuntas dengan cara win-win
solution.
N: Menurut Mas Maftukin, solusi apa yang bisa diberikan untuk masalah UU
Minerba atau kasus Freeport secara umum?
S: Kalau menurut saya secara pribadi, sebenarnya apa yang telah dilakukan
Freeport di Papua ini sudah luar biasa. Secara pembangunan, maupun perhatian ke
masyarakat itu sudah sangat sangat luar biasa. Kadang-kadang saya, meskipun
bukan orang Papua, saya orang Jawa yang tinggal di Papua sudah belasan tahun,
kadang-kadang saya merasa iri, iri dalam arti, kenapa perusahaan di Jawa tidak
bisa seperti ini? Mereka sudah membiayai pendidikan masyarakat, banyak yang
dikasih subsidi untuk sampai kuliah di luar sampai jadi pilot, kesehatan, semua
gratis. Kenapa di perusahaan-perusahaan asing di daerah Jawa tidak seperti itu?
Ada mungkin, tapi tidak sebesar Freeort. Perumahan, mereka bikinkan. Dan
pengembangan masyarakat melalui LPMAK, mereka kasih. Termasuk
pembangunan di kabupaten, GOR, rumah sakit, fasilitas-fasilitas umum
kebanyakan dibangun oleh Freeport. Tapi ya mungkin entah apa yang terjadi di
Mimika, Papua ini kok banyak sekali tuntutan-tuntutan ke Freeport. Kalau saya
merasa mungkin di Jawa ada perusahaan itu, kita tuntut itu tidak akan digubris.
Memang saya sendiri tuh merasa Freeport ini sudah luar biasa. Pembangunan
sekolah-sekolah di pesisir itu hampir semua itu Freeport, fasilitas kesehatan,
termasuk akses masyarakat dari Timika ke pesisir, mereka dikasih.
N: Bagaimana Mas Maftukin melihat dari sisi limbah tailing yang dihasilkan oleh
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Freeport?
S: Kalau limbah tailing tentu Freeport kan ada AMDAL ya. Dan selama ini tailing
itu kan sudah dialirkan ke...ada tempat khususnya itu. Ya mungkin karena
produksinya besar, akhirnya ada penampungan tailing tapi berapa persen masih
mengalir dan mengendap ke laut. Dan selama ini, entah itu uji laboratorium dan
pengawasan itu salah ya bagaimana kita tidak tahu. Tapi selama ini belum pernah
ada respon keras dari pemerintah maupun dari peneliti tentang limbah-limbah.
N: Memang narasumber untuk lingkungan itu sangat minim?
S: Pernah itu dari Unipa (Universitas Papua), itu rektornya sendiri saya
wawancara. Itu kan pernah saya wawancara, setelah dia melakukan penelitian di
wilayah reklamasi, di Mile 21. Waktu itu kan gencar, tailing Freeport beracun.
Nah, dia melakukan penelitian. Saya wawancara rektornya. Nah dia menyebut, itu
dari hasilnya dia, saya kan tidak mengerti hasil penelitiannya seperti apa, saya
tidak mengerti, dia menyebut bahwa tailing Freeport tidak mengandung racun.
Maksudnya dia, tanaman-tanaman di sekitar situ mati itu bukan karena racun, tapi
karena perbedaan apa ya misal tanam pohon ini kan pohon di tempat kering, tiba-
tiba dia dialiri cairan basah lumpur, otomatis dia tidak akan bertahan, karena dia
pohon di darat.
N: Tapi Mile 21 bukannya memang sample buat reklamasi Freeport?
S: Iya buat program reklamasinya mereka. Di situ banyak budidaya pohon-pohon,
termasuk peternakan, termasuk perikanan, apa semua di situ. Dijadikan sample
bahwa tailing ini tidak seberbahaya seperti yang dikatakan.
N: Tapi kan ada Freeport yang kalah gugatan dengan WALHI karena telah
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
memanipulasi data AMDAL, bagaimana Mas Maftukin menanggapi hal itu?
S: Nah itu saya tidak monitor yang itu.
N: Jadi alasannya apa kalau suara peneliti lingkungan ini kurang ditampung di
Radar Timika?
S: Kadang begini, kita kan tidak, istilahnya begitu tadi, kita tidak bisa mengangkat
apa ya, satu-dua orang tiba-tiba dia bersuara Freeport ini telah membuang limbah
ke laut. Kan tidak kredibel. Kita butuh, misal hasil uji laboratorium, bener nggak?
Mungkin ada peneliti datang ke sini, dia langsung dikasihkan bahwa hasil
penelitian mereka, Freeport telah mencemari lingkungan. Itu kan selama ini belum
ada.
N: Kalau memang nanti ada, apakah akan diberitakan?
S: Ya tetap. Asalkan itu tadi, itu resmi dan itu kredibel sumber itu. Dia melakukan
uji. Nanti kita konfirmasikan ke PT Freeport. Apapun Freeport nanti komentarnya,
yang penting data kita sudah kuat, itu sesuai dengan fakta dan ada uji di situ, kita
akan tetap terbitkan.
N: Ini misalnya ada pilihan narasumber, pemerintah pusat, pemerintah daerah, PT
Freeport dan orang yang terkena dampak tailing. Seberapa penting narasumber-
narasumber tersebut di dalam pemberitaan di Radar Timika?
S: Ya itu semua akan penting. Masyarakat ini mungkin menurut mereka melalui
sebuah forum yang resmi, kita tidak bisa istilahnya satu orang saja, dan mereka
mempunyai forum. Tentu kita anggap semuanya penting, dari masyarakat,
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, Freeport, kita akan rangkum itu menjadi
satu kesatuan berita yang tidak bisa dipisahkan.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Bagaimana cara Mas Maftukin menjaga objektivitas dalam menulis berita
terkait Freeport?
S: Saya berusaha objektif. Saya selalu berusaha untuk menempatkan di tengah-
tengah, melepaskan asumsi pribadi saya. Saya berusaha meninggalkan itu, salah
satunya dengan cara melakukan konfirmasi ke pihak-pihak yang mungkin
disinggung, maupun ya pihak yang dirugikan dalam sebuah data itu tadi.
N: Pernahkah ada beda pendapat antara redaktur dan pemimpin redaksi atau
redaktur dengan wartawan di lapangan?
S: Redaktur dengan jurnalis sering ya.
N: Biasa dalam hal apa?
S: Misal begini, kadang wartawan ini merasa dia sudah capek untuk mencari data
itu. Nah itu tadi, kita melihat kadang wartawan ini kan mungkin dalam pergaulan
dia merasa dekat dengan ini, tiba-tiba di tulisan dia, kita lihat ternyata dia ada
emosi, nulisnya sambil emosi. Nah itu yang kita tekankan ke mereka bahwa
hindari asumsi pribadi ketika menulis sebuah berita, opini-opini itu selalu
dihindari. Kadang nih, di salah satu faktor ya, saya mem-pending berita itu tadi,
karena menganggap berita itu belum seimbang. Belum ada konfirmasi yang apa
ya, sepadan dengan tudingannya. Jadi konfirmasi pun tidak harus istilahnya
membenarkan atau tidak, otomatis kita memberikan kesempatan dia untuk
melakukan pembelaan. Kan begitu. Menurut versinya dia itu seperti apa. Kadang-
kadang kan cukup dia memberikan iya atau tidak. Kita maunya, berimbang itu
bukan cuman kita mengkonfirmasi iya atau tidak saja, tapi berikan dia kesempatan
untuk memberikan penjelasan. Kan begitu.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Mas Maftukin termasuk sering meliput kasus Freeport?
S: Kalau dibilang sering juga enggak ya.
N: Biasanya kalau meliput tentang Freeport dari sisi apa?
S: Biasanya kalau saya meliput Freeport itu cenderung ke organisasi, himpunan-
himpunan karyawan begitu.
N: Karyawan Freeport?
S: Iya. Dia kan ada komunitas muslim. Nah itu saya sering meliput di daerah
Freeport. Kalau Freeport-nya sendiri mungkin dia ada program ke masyarakat
pesisir, dia (Freeport) meresmikan apa itu mungkin, kita sama-sama dengan
Freeport, masyarakat juga ada, dari pemerintah juga ada.
N: Punya pengalaman tersendiri nggak Mas Maftukin saat meliput Freeport?
S: Freeport itu kan tidak pernah memberikan uang saku. Memang itu positif.
Menurut saya itu positif, karena entah apa latar belakangnya Freeport, dia
(Freeport) tidak pernah memberikan uang saku. Karena jangan-jangan kita
istilahnya itu meliput melulu karena ada imbalan dari itu. Meskipun itu Freeport
tidak bakalan kasih uang saku, tapi dia ngasih fasilitas, seperti menginapnya kita,
otomatis kita diajak ke sana, masa kita nggak dikasih tempat menginap. Pernah
juga mungkin saya waktu ngeliput karyawan-karyawan Freeport yang tergabung
dalam suatu komunitas fans Persipura. Cuman di antara mereka itu,
komunikasinya kurang bagus, akhirnya dia terlantar di Jayapura. Meskipun dari
pihak Freeport sendiri sudah menjamin tempat, terus konsumsi selama kita di
sana, tapi kan kita meliput Persipura ini kan sore. Sore perjalanan dari lapangan ke
hotel ini macet. Kadang-kadang kita sampai di hotel itu, restoran sudah tutup.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Otomatis kita kan tidak bisa minta makan di restoran. Uang dikasihkan ke kita
untuk cari makan. Nah itu yang kita pusing. Sementara restoran sudah tidak ada,
kita sudah tidak makan dari siang, tiba-tiba malamnya sampai di hotel kita mau
makan sudah tidak ada makanan, nah itu kita harus makan, wah ini bagaimana.
Tapi itu kan hanya cerita-cerita. Itu bagian ada kadang kita merasa senang, ada
situasi tertentu kita merasa ini, tapi kan itu hanya karena miss communication saja.
N: Tapi Mas Maftukin pernah naik sampai Grasberg?
S: Saya naik itu mungkin, di antara para redaktur, saya yang paling jarang. Saya
naik pun itu belum pernah resmi dari Freeport. Saya malah ngikut anggota Dewan.
Waktu longsor yang 28 orang itu, saya ngikut dengan anggota Dewan. Freeport
tidak tahu kalau saya naik. Dan itu terbit. Tetap ada konfirmasi karena itu masalah
nyawa.
N: Apakah pernah ada protes terkait pemberitaan Freeport di Radar Timika?
S: Ya mungkin ada protes, tapi kan kita kasih penjelasan. Ini kan suatu fakta.
Nggak mungkin sebuah fakta itu bisa ditutup. Dan masyarakat kan ingin
mengetahui bagaimana kondisi keluarga mereka yang bekerja di sana. Karena ini
kan menyangkut nyawa. Bagaimana kalau keluarga kita terjebak dalam suatu
terowongan berhari-hari, meskipun kita tahu kondisi mereka meninggal, paling
tidak kan kita berharap jenazahnya bisa dikeluarkan. Nah itulah yang kita misi
melihat keluarga korban. Itulah semangat saya.
N: Ada saran yang ingin Mas Maftukin berikan untuk Radar Timika?
S: Kalau kritik, saya rasa tidak ya, karena saya benar-benar merasa nyaman di sini.
Mungkin saran. Saran untuk istilahnya kekompakan ini kita tetap bisa jaga sampai
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kapanpun, sampai mungkin saya sudah tidak lagi di Radar Timika, mungkin suatu
hal apa-apa. Tapi sejauh ini, tidak ada pikiranlah untuk keluar. Tetap komunikasi
antara pimpinan dengan karyawan bagus seperti sekarang ini. Tidak ada ya
momen-momen tertentu, kita harus patuh dalam....tetap tentu kita harus selalu
patuh pada aturan, tapi untuk kebersamaan itu kadang kita butuh momen-momen
tertentu yang tidak ada lagi pimpinan, tidak ada lagi ini, kita kumpul suatu acara
khusus, kita senang-senang istilahnya apa ya, refreshing. Kita kan sering bikin
begitu. Kita sering bakar-bakar ikan. Istilahnya kita hanya fun saja di situ. Tidak
memandang ibu ini Direktur, saya ini Manajer. Tidak. Kita cuma bercanda-canda
pas lagi acara itu. Kita kadang-kadang ejek-ejekan. Sangat ada kedekatan
personal. Karena itu tadi, kadang-kadang satu bulan sekali kita ngumpul melepas
saya ini redaktur, kamu ini wartawan, itu tidak ada. Kita semua teman. Karena kita
kebetulan di sini kan satu umur saja. Tidak ada perbedaan umur yang terlalu
tinggi.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Wawancara Langsung
Wartawan Radar Timika Sevianto Pakiding
*Wawancara berlangsung di ruangan Pemimpin Redaksi Misba Latuapo
N: Sudah sejak kapan bekerja di Radar Timika?
S: Sudah sejak tahun 2013.
N: Sebelumnya di mana?
S: Sebelumnya kerja di Trakindo selama 1 tahun lebih.
N: Mas kan berarti background bukan dari jurnalistik, apa yang membuat Mas
Sevianto beralih untuk menjadi wartawan?
S: Awalnya kan saya sukanya organisasi. Gabung di banyak organisasi, sering
ikut-ikut di situ. Nah, dari organisasi ini kan kita banyak komunikasi dengan orang
lain, atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial, masyarakat. Nah ternyata dari
organisasi ini berkaitan juga dengan kerja jurnalis. Jurnalis kan selalu
berhubungan dengan siapapun, sosial, kemudian masyarakat, sama seperti
organisasi. Dan pada saat ada teman saya juga memang jurnalis dulu, sebelum
saya jadi jurnalis, kenal siapapun dia, ke mana-mana pun dia, pasti orang kenal.
Bagi saya itu suatu kebanggaan juga. Dan dari situ juga berasa asyik juga jadi
jurnalis. Pada saat saya lihat ada pendaftaran di sini dulu, saya coba-coba ikut.
Dalam pikiran saya juga, saya tidak mungkin diterima nih. Terus, pendaftarannya
pada waktu itu kan harusnya minimal D3. Tapi pada saat itu saya juga masih
kuliah. Saya bawa rekomendasi dari kampus bahwa saya masih kuliah, dan itu
bisa dimaklumi juga. Akhirnya saya dipanggil untuk tes di sini.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Dulu kuliah apa?
S: Saya teknik listrik. Tidak tahu penguji saya menilai saya bagaimana, akhirnya
saya diterima.
M: Jadi waktu itu ketika kami wawancara, memang secara administrasi, dia masih
kurang, karena di sini minimal D3 untuk jadi wartawan. Tapi kita melihat ada
potensi dan memang ternyata bayangan kita tidak salah. Sampai sekarang kita
poskan dia pada DPRD dan Politik. Menulisnya sudah bagus.
N: Apakah merasa kesulitan dalam menulis berita?
S: Memang awalnya, mau dibilang sulit juga tidak. Karena sebelum saya jadi
jurnalis juga, saya biasa sering suka nulis-nulis juga. Walaupun itu strukturnya
kacau balau karena ternyata jurnalis itu punya standar untuk bisa menulis, untuk
bisa dikatakan itu sebuah berita. Nah selama ini, sebelum saya jadi jurnalis kan
kita tahunya susun kata saja. Kita anggap itu sebuah informasi berita, padahal
setelah kita masuk dalam dunia jurnalis yang sebenarnya, ternyata kita punya
standar untuk bisa dikatakan itu sebuah berita. Itu saja. Jadi memang awalnya itu
kalau kita baru, mungkin kita bisa menganggap itu sulit. Tapi ketika kita sudah
mencintai pekerjaan itu, menyukainya, pasti itu kita penasaran. Tingkat penasaran
kita justru malah memudahkan. Penasarannya bahwa bagaimana caranya kita
harus bertemu pejabat. Bayangkan kita seorang masyarakat biasa, awam nih, jadi
jurnalis, tiba-tiba kita langsung bertemu dengan Pak Bupati. Tantangan kan. Nah
dari tantangan itulah penasaran. Karena kita penasaran, pengin tahu, itu mudah.
N: Mengapa memilih Radar Timika?
S: Karena di Timika ini kan yang banyak orang kenal adalah Radar Timika. Kita
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
tahunya itu wartawan, wartawan Radar Timika. Karena yang tertua di sini kan.
N: Berarti ini sudah wartawan tetap ya?
M: Iya dia sudah karyawan tetap. Jadi aturan di sini untuk seorang karyawan
diangkat jadi karyawan tetap itu kita 3 bulan. Tapi kita melihat potensi, kadang
sebulan ada yang 2 bulan. Kalau dia sudah memenuhi standar dari sini, itu bisa
diangkat jadi karyawan tetap. Nah Sevianto termasuk lebih cepat untuk diangkat
jadi karyawan tetap.
N: Apa pendapat Mas Sevianto dengan kinerja dan pola kerja di Radar Timika?
S: Kita memang di sini betul-betul dibina di sini jadi seorang jurnalis. Dan saya
pikir, beda kita daripada dengan yang lain. Kita tidak ingin bicara masalah di
media lain. Kita bicara di sini bahwa kita di sini memang dibina, dibentuk menjadi
seorang jurnalis. Banyak pengalaman kita. Dari awal kalau kita memang tidak
bisa, memang tidak memenuhi syarat, seperti Ibu tadi bilang 3 bulan itu, kalau
memang kita tidak memenuhi standar ya tidak diterima. Jadi 3 bulan itu
kesempatan sekali untuk kita bisa membentuk diri jadi wartawan. Kalau tidak,
berarti kita tidak bisa bekerja dong. Dan bagi saya itu luar biasa kita bisa jadi
memaksa diri untuk bisa maju kan.
N: Apa yang membuat Mas Sevianto bangga menjadi bagian dari Radar Timika?
S: Kalau kita di wartawan Radar Timika, bangganya, kita punya jaringan itu
sangat luas. Mungkin orang bilang, kalau kita kerja di media lokal begini, bahwa
kita wartawan lokal. Tapi kalau kita di jaringan Radar Timika ini kan Jawa Pos
kan, kita sebetulnya bukan hanya wartawan lokal, kita itu wartawan nasional,
karena berita kita itu bukan hanya terbit di koran ini saja, tapi sampai di Jawa Pos.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
M: Jadi kita kalau di Jawa Pos itu punya jaringan khusus. Kita punya satu
jaringan. Jadi setiap hari itu kita posting berita di jaringan kita itu. Dari seluruh
grup Jawa Pos terkumpul di jaringan itu. Jadi tidak hanya Cepos saja yang saya
tahu headline -nya apa besok ini, Jawa Pos pun saya tahu headline-nya apa ketika
malam saya buka link kita. Nah di situ kita bisa sharing berita. Misalnya di link
kita itu kita kasih masuk berita Sevianto. Nah dari situ nanti akan terlihat koran
mana saja yang mengambil berita Sevianto. Jadi itu otomatis ketahuan langsung.
S: Bangganya di situ, jadi kita bukan hanya wartawan lokal, tapi berita kita juga
bisa dibaca semua orang di seluruh Indonesia. Banyak berita-berita saya sudah
saya baca di Jawa Pos dan JPNN online.
N: Bagaimana ideologi Radar Timika diterapkan dalam diri Mas Sevianto sebagai
seorang jurnalis?
S: 'Dekat' kalau menurut saya, dekat itu dalam artian kita bisa menjalin hubungan
dengan semua orang di sana. Bagaimana kita bisa berkomunikasi dengan
siapapun, terutama dengan narasumber kita. Nah kalau masalah tuntasnya itu, itu
tanggung jawab besar bagi kami, wartawan. Karena itu misalnya ada sebuah berita
yang kita ulas, jadi kita tidak bisa berhenti sampai di hari itu saja. Jadi artinya,
berita itu ditindaklanjuti.
N: Pernahkah ada pengalaman Mas Sevianto menulis tapi tidak dimuat di Radar
Timika?
S: Pernah, tapi sudah lama. Kalau sekarang sih jarang. Mungkin dulu karena saya
baru-baru belajar.
N: Memangnya apa faktor sebuah berita tidak dimuat?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
M: Kalau memang kita benar-benar rasa tidak dimuat itu misalnya ada berita yang
kita rasa bisa memicu konflik. Berita yang kita terbitkan, menurut pertimbangan
redaktur, itu tidak hanya diputuskan oleh satu redaktur yang punya halaman, tapi
kita putuskan dalam rapat bersama. Dan biasanya teman-teman minta
pertimbangannya dari saya. Jadi mereka tidak membuat keputusan sendiri. Mereka
mengusulkan ke saya, saya yang memutuskan bahwa berita ini tidak dimuat.
Biasanya kalau saya tidak ada di kantor, materi beritanya mereka kirim ke saya
lewat e-mail, saya baca dulu, dan kalau pertimbangannya memang berita ini dirasa
akan ada dampaknya, itu tidak kita beritakan. Kemudian, yang kedua itu yang
saya bilang mengenai kredibilitas, kepercayaan, dan keakuratan data. Kalau kita
rasa bahwa berita ini datanya belum memenuhi dan belum kuat, biasanya itu tidak
kita beritakan, tapi kita pending. Jadi konfirmasi lagi. Tapi kalau memang berita
yang tidak diberitakan itu kita melihat pertimbangan dampak negatifnya. Dan itu
kita kasih penjelasan ke wartawan. Setelah kita putuskan, ada juga wartawan
nanya, ketika besok dia tidak melihat ada beritanya ke redaktur. Nah di situ kita
kasih pemahaman dan penjelasan.
N: Bagaiman sikap Mas Sevianto ketika mendapati berita yang sudah ditulis dan
tidak dimuat?
S: Kalau untuk tidak layak untuk dimuat sih tidak pernah. Karena kalau tidak
dimuat paling karena halaman penuh. Jadi harus di-pending hari berikutnya. Tidak
ada yang salah sih.
N: Ada syarat-syarat tertentu kah dalam meliput sebuah berita?
S: Apa yang menarik, itulah yang kita kejar. Kita punya tanggung jawab untuk
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
menggali informasi itu.
N: Apa persiapan yang Mas Sevianto lakukan sebelum liputan?
S: Paling tidak harus ada ide sebelum liputan. Standarnya paling tidak kita harus
baca koran pagi-pagi, melihat isu di koran, apa yang lagi booming. Kedua,
informasi di luar, apa yang lagi booming, apa yang isunya lagi disukai masyarakat.
Itulah yang kita cari, gali informasinya.
N: Bagaimana ketika meliput Freeport?
S: Saya pikir, hanya satu saja yang jadi kendala itu adalah konfirmasi. Nah,
banyak kan selama ini orang menuding, banyak yang berkomentar pedas untuk
Freeport, tapi kan di sisi lain juga, apakah betul tudingan-tudingan itu akurat
datanya. Jadi bagi saya, bicara soal Freeport itu kan masalah data saja. Nah,
kenapa kita harus pertimbangkan orang bicara yang keras, karena kita belum tentu
apa yang dia bicara itu betul. Nah sekarang ini kan zamannya Freeport sudah
mulai transparan. Dari dulu kan memang kita akui ada sedikit...kita susah lah
untuk konfirmasi begitu. Dia tertutup dengan media. Nah itulah yang kendala
sebetulnya. Ya di saat dia tertutup itulah banyak tudingan dari berbagai macam
orang datang. Karena kita tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi di dalam itu.
Bagaimana sepertinya Freeport di dalam itu. Tapi sekarang ini kan sudah mulai
ada transparansi dari manjemen Freeport. Sejauh ini tidak ada kendala. Kalau saya
kritik ya saya kritik. Kalau orang bicara itu masuk akal, saya tulis. Kadang-kadang
juga orang bicara sembarang, tidak punya data.
N: Kalau ada berita menuding Freeport seperti itu memangnya tidak pernah ada
tekanan dari pihak Freeport?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
S: Selama saya jadi wartawan, tidak pernah.
M: Biasanya mereka, ininya ke saya. Biasanya kalau wartawan meliput di
lapangan, biasanya dari Corcomm-nya konfirmasinya ke saya, ataupun Manajer
Corcomm-nya menghubungi saya langsung, sms atau whatsapp saya langsung.
“Kami merasa tadi ada wartawan Radar Timika datang meliput, dan ini
konfirmasinya.” Kadang konfirmasi itu kita teruskan ke wartawan langsung,
kadang kita juga yang tambahkan ke beritanya wartawan.
S: Itu dia kendalanya saja. Karena memang betul bahwa Freeport banyak tudingan
yang bertubi-tubi. Itu hanya kritikan untuk Freeport. Tuntutan dan segala macam.
Tapi di sisi lain juga kadang-kadang kita mau menulis itu dari faktor datanya ini
lho, mereka bicara apakah ini sesuai data.
N: Mereka itu siapa?
M: Banyak. Seperti yang saya bilang, di sini tokoh intelektual banyak sekali,
tokoh masyarakat banyak. Kadang-kadang tiba-tiba muncul jadi tokoh pemuda.
Kalau kita asal tulis saja, nanti kan menyangkut kredibilitas koran. Pembaca akan
bilang, “Dia siapa? Background dia apa? Kok Radar Timika bisa memuat dengan
narasumber seperti ini.” Berarti kan berpengaruh ke kualitas koran.
S: Narasumbernya tidak tahu bahwa kita tulis juga kan berarti kita dibodoh-bodohi
dong? Tapi kalau kita akui bahwa itu sumbernya memang berkompeten, kenapa
tidak kita tulis?
N: Merasa kesulitan setiap menunggu konfirmasi dari Freeport?
S: Kalau dari Freeport kan biasanya kadang-kadang langsung ke redaksi, karena
langsung kirim ke e-mail redaksi. Dia langsung kasih press release. Jadi saya sih
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kalau ada ini, langsung kasih masuk, nanti kan redaksi yang terima konfirmasinya
dari sana.
N: Terkait perpanjangan kontrak karya, pembangunan smelter, aksi demo
karyawan, dan pembangunan oleh Freeport, Mas Sevianto melihat ini sebagai
permasalahan apa?
S: Saya pikir masalah Freeport ini kan kurang koordinasi pemerintah dengan
Freeport.
N: Pemerintah ini siapa? Pemerintah daerah, pemerintah pusat atau siapa?
S: Mungkin pemerintah daerah. Bukan cuma pemerintah daerah, tapi pemerintah
provinsi. Pemerintah di Papua.
N: Nah kalau di pemberitaan di Radar Timika ini seperti pembangunan smelter,
UU Minerba, perpanjangan kontrak, itu yang selalu disalahkan pemerintah pusat.
Siapa yang dimaksud dengan pemerintah pusat?
M: Pemerintah pusat ya kementerian ESDM, Jakarta. Soalnya di sini kan kalau
untuk Freeport itu kan kalau kita melihat urusannya selalu dengan pemerintah di
pusat. Kalau pemerintah di Papua kan ibaratnya royalti. Nah, masalah
perpanjangan kontrak ini kan dia sudah berbau politik juga. Dari sisi kita media
melihat ya, kita lihat ini ranahnya sudah lebih dari itu, politik juga. Jadi ada
kepentingan Freeport, ada kepentingan pemerintah pusat. Jadi ini nanti takutnya
arahnya ke politik juga nih, mulai dari perpanjangan sampai ke pergantian Presdir-
nya. Nah ini kalau Freeport terus dibiarkan pemerintah pusat ngambang seperti ini
itu dampak yang dirasakan terutama adalah Kabupaten Mimika. Karena dari sisi
Freeport-nya, kita tidak berbicara untuk membela Freeport, tapi fakta. Fakta di
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
lapangan dari segi pembangunan, Freeport punya kontribusi membangun sekolah
yang bagus, sport center yang lebih bagus di seluruh Papua sekarang, jalan-jalan
di lingkungan, kesehatan, rumah sakit gratis, pembagian pendidikan dibangun
Freeport. Itu menurut data mereka yang ada di berita kami ya. Tapi faktanya
memang ada seperti itu. Jadi data didukung dengan fakta juga. Seperti itu yang
saya bilang contoh tadi. Waktu 2012, terakhir waktu demo terakhir untuk sebulan
itu juga, dampak ekonominya sangat terasa. Kalau kita di media di Papua itu
bilangnya gini, “Kadang kita geram melihat pemberitaan-pemberitaan media dari
Jakarta.” Itu faktanya gitu. Saya pernah meliput touring Freeport dengan Pemred
koran-koran nasional dari Jakarta, ada dari KOMPAS, MetroTV, Media Indonesia.
Kebetulan dari Timika, saya yang liput. Saat itu bersama dengan Pak Said Didu.
Saya bilang ke mereka, waktu kita touring Freeport justru mereka banyak yang
tanya ke saya. Mereka tanya ke saya, “Ternyata Freeport seperti ini ya..” Saya
bilang, “Kamu yang ada di Jakarta itu asal bikin berita. Kamu kalau mau jadi
wartawan, kamu ke Papua. Kamu tuh asal dengar, nulis, apalagi yang media
online.” Saya bilang salah satu contoh kecil saja, tidak usah bicara masalah
Freeport dulu. Mimika itu Kabupaten, Timika itu kotanya. Tapi sering yang
terlontar di Jakarta, maupun di tulisan koran atau media online, atau di MetroTV,
TVOne dan TV yang lain, ini satu contoh kecil, “Kabupaten Timika”, yang ditulis
dan disebutkan. Yang benar Kabupaten Mimika. Kalau sesederhana itu dia salah,
gimana mau tahu Freeport kan. Gimana mau tahu tentang pemerintah di Papua.
Jadi kalau mau nulis tentang Mimika atau Papua secara keseluruhan, mending
tanya dulu. Kita tidak usah bicara tentang Freeport lagi. Kasus Tolikara, seolah-
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
olah ini Papua kacau semua. Padahal kalau kita mau sampai ke Tolikara itu, kita
harus naik pesawat. Bukan kaya kita dari Jakarta ke Jogja, enggak. Kita harus naik
pesawat. Dan harus siapkan sekian juta, baru bisa naik pesawat itu. Pesawat itu
pun paling dia hanya muat 15 penumpang. Nah setiap pemberitaan supaya ini,
orang biar bisa yakin bahwa tidak semua itu Papua daerah konflik, itu dalam
pemberitaan memang harus disebutkan, jarak dari Jayapura atau dari Mimika ke
Tolikara itu berapa kilometer dan transportasinya apa. Ini seolah-olah gambaran
mereka, Papua ini daerah konflik. Padahal ini Papua aman-aman saja.
N: Nah, Mas Sevianto ini pernah kah menemukan data yang diberikan Freeport
ternyata tidak sesuai dengan faktanya di lapangan?
S: Sejauh ini sih belum. Cuman ya itu tadi yang saya bilang kalau misalnya
ekonomi tadi itu. Saya pikir selama ini kurang koordinasi. Karna ini tidak ada
sinergitas antara Freeport dan pemerintah daerah membangun. Freeport jalan
sendiri, pemerintah daerah jalan sendiri. Dan ternyata kontribusi Freeport ke
pemerintah daerah itu kita tidak pernah tahu. Maksudnya begini, Freeport kan
memberikan kewajiban mereka untuk bagaimana royalti mereka untuk pemerintah
daerah. Nah kita tidak pernah tahu itu royalti digunakan untuk apa. Artinya,
apakah royalti Freeport untuk pemerintah itu memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat atau tidak. Kan seharusnya dari dulu, Freeport sudah 40 tahun lebih di
sini. Harusnya secara terbuka bahwa setiap tahun Freeport memberikan kontirbusi
ke pemerintah daerah sekian. Jadi harus adanya target pembangunan dalam berapa
tahun itu harus sudah bagaimana. Makanya pada saat ini datang, Merdeka Sirait,
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, beliau kaget. Beliau bialng, “Timika
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
tidak harus begini. Ini sudah saya bayangkan Timika adalah sebuah kota
megapolitan. Di sana itu gunung emas. Kok Timika begini?” Tapi pada saat itu,
beliau lebih mengkritik ke Freeport bahwa “Kok Freeport sudah bohong sama
kami dalam pemberitaan di Indonesia. Bahwa mereka memberikan kontirbusi
kepada Papua, kok Timika saja yang gunung emas itu begini. Masyarakatnya jalan
telanjang di jalanan.” Tapi jujur, karena saya juga bisa dibilang bahwa saya juga
orang Papua. Dan saya juga merasakan apa yang dirasakan saudara-saudara saya
di Papua. Karena saya ambil contoh di kampung saya itu ada sebuah perusahaan
nikel, itu tidak jauh dari Sulawesi. Perusahaan Nikel saja, tapi kotanya itu maju.
Maju sekali. Dan sekarang saya bayangkan, Timika ini Freeport. Emas ini lho.
Tapi kok begini-begini saja. Kembali lagi kita berpikir tadi siapa yang
membangun kan pemerintah, bukan perusahaan yang langsung membangun ini.
Tapi perusahaan punya tanggung jawab. Harusnya punya tanggung jawab juga.
N: Jadi memang karena pemerintah daerah yang tidak transparan?
M: Kalau kita ngomong masalah pendanaan Freeport, berarti pengelolaan dana
oleh pemerintah daerah yang tidak becus. Itu yang harus adanya dua versi yang
kita lihat. Karena sampai sekarang juga ketika kita tanya ke Freeport, dia terbuka,
bayar berapa. Sekarang transparansi pengelolaan dana itu seperti apa? Coba sekali
buka di Jawa Pos. Tulis, “Wawancara dengan Bupati mengenai Pemanfaatan
Dana Freeport.” Itu Pak Bupati tidak terbuka.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Wawancara via Telepon
Wartawan Radar Timika Eleuterius Leisubun (Rex)
N: Mungkin Mas Terry bisa cerita, bagaimana awal Mas Terry bisa bergabung
menjadi wartawan di Radar Timika?
R: Jadi waktu awal masuk di Radar Timika tuh, kebetulan ada lowongan
pekerjaan di koran. Terus, awalnya saya hanya coba-coba. Kebetulan memang
awalnya coba-coba karena dilihat dari wartawan itu kan harus dia dari orang yang
bahasa, komunikasi gitu, kebetulan saya itu memang latar belakangnya bukan dari
jurusan bahasa maupun komunikasi. Saya sama sekali tidak. Cuman asal kasih
masuk lamaran sajalah. Tiba-tiba dipanggil. Sudah, diterima.
N: Memangnya sebelumnya Mas Terry pernah mengambil pendidikan di bidang
apa gitu?
R: Kalau background-nya tidak. Cuman kalau pengalaman kerja di dunia
jurnalistik itu yang pernah ada. Sempat waktu itu, tapi di radio. Di radio itu, tapi
bukan jadi karyawan, hanya ikut jadi istilahnya seperti kontributor, pernah juga
ikut loper koran.
N: Jadi langsung keterima gitu ya mas?
R: Ya, langsung keterima. Jadi langsung keterima itu saya ikut prosedur yang dari
kantor, ikut wawancara dari kantor, dari Radar (Timika). Terus setelah itu tinggal
tunggu hasil selama 4 hari sudah keluar. Terus diinfokan, kebetulan ada kakak
yang melihat, “Eh, ada namamu keluar di koran. Katanya, disuruh menghadap ke
kantor Radar Timika.” Ya sudah, saya langsung kembali lapor diri ke Radar
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Timika. Sesudah itu, dikasih tahu bahwa sudah tembus, sudah diterima di Radar
Timika, tapi dikumpul untuk ikut pelatihan jurnalistik, waktu itu sekitar satu
minggu.
N: Itu saat masa jabatan Pak Octo atau Ibu Misba?
R: Pak Octo. Pas 2010.
N: Apakah Mas Terry merasa kesulitan untuk beradaptasi mengingat Mas Terry
sendiri bukan dari latar belakang jurnalistik?
R: Awalnya memang merasa kesulitan karena pertama itu kita belum tahu dunia
jurnalistik itu bagaimana, terus bagaimana caranya kita mengolah suatu berita.
Tapi setelah kita mengikuti pelatihan, terus cara penulisan berita, terus pengenalan
struktur penulisan berita yang 5W+1H itu, terus ya di samping itu kita juga dapat
arahan tentang cara wawancara narasumber. Terus dari situ ya, kesempatan, kapan
lagi kita bisa diterima begitu kan. Langsung saya berusaha bagaimana bisa
menyesuaikan diri. Terus setelah itu, pengalaman penyesuaian dengan lapangan,
setelah diterima, terus kita dikasih kesempatan ikut sama senior waktu itu.
Langsung dikasih waktu itu saya kebetulan pos ikut senior itu di pos kriminal.
Kemudian dari situ, kita pengalaman saja biar kita hanya ikut arahan dari senior
yang bimbing kita di lapangan. Terus di samping itu kita juga belajar-belajar
menulis berita. Jadi awalnya itu dari kantor itu kalau dia anggap berita kita, seluk
beluk beritanya sudah tepat, datanya lengkap, langsung dimuat waktu itu. Jadi
waktu itu kita dikasih percobaan sekitar 3 bulan, waktu training. Cuman wkatu itu
sebelum 3 bulan, ada beberapa teman yang sudah diangkat. Saya kebetulan waktu
itu orang ketiga atau keempat yang diangkat jadi wartawan tetap. Tapi sudah
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
melewati masa training selama 3 bulan langsung diangkat.
N: Sekarang masih di desk kriminal kah?
R: Masih..masih di desk kriminal.
N: Berarti sebelumnya sempat di radio ya? Dan itu di Timika?
R: Bukan, jadi dulu hanya ikut-ikut saja. Jadi sering antar-antar. Kebetulan ada
kakak saya, dia itu wartawan radio, terus kontributor di Kompas sama ada koran
lokal juga. Jadi dari situ saya belajar pengalaman, caranya dia tulis berita.
Biasanya kan dia ngirim berita, jam 3 sore dia sudah susun naskahnya, kasian.
Saya menyesuaikan di situ.
N: Sampai saat ini, bagaimana menurut Mas Terry, kinerja dan sinergi di Radar
Timika?
R: Pengalaman sebagai seorang jurnalis ini sebenarnya tantangan juga untuk kita.
Apalagi yang di dunia lokal dan dunia kriminal. Karena dunia kriminal itu kita
tidak bisa untuk menduga bahwa besok itu berita ini. Istilahnya kita hanya
waspada, standby. Jadi kalau ada suatu kejadian, kita langsung turun. Kalau yang
di pos-pos lain, kan sudah tahu ohh ini berita ini berita ini kan ada sumbernya
jelas. Nah kalau kita, memang ada sumber yang jelas dari kepolisian, seperti
kapolsek dan kapolres. Cuman untuk suatu kejadian kan tidak bisa menduga,
bahwa kejadian ini kejadian ini, kita belum tahu. Jadi ini suatu pengalaman yang
menurut saya tuh gampang-gampang susah. Tapi setelah berjalan lama akhirnya
menikmati pekerjaan ini.
N: Adakah ideologi Radar Timika yang diterapkan atau ditanamkan dalam benak
Mas Terry sebagai wartawan? Ideologi seperti apa? Setujukah Mas Terry dengan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
ideologi tersebut?
R: Jadi menurut saya, yang 'Dekat, Hangat, dan Tuntas' itu bagaimana kita
menyajikan suatu berita yang dibacakan oleh pembaca itu senang di hati. Jadi, itu
'Dekat' di masyarakat. Kita menyajikan informasi yang aktual, yang lengkap, itu
kan berarti masyarakat senang, berarti kan dia (Radar Timika) dekat dengan
orang. Terus kalau 'Hangat' itu kita tidak bisa kalaupun berita itu berita menarik
dalam arti suatu kejadian besar. Tapi bagaimana kita bisa menulis suatu berita itu
bahwa berita ini tidak memihak kepada siapapun. Jadi istilahnya itu, dia (Radar
Timika) netral, jadi harus ada konfirmasi dari korban, maupun pelaku. Kalau tidak
dapat dari satu pihak, kadang itu kalau kita wawancara korban, dia pasti bicara,
dan para pelaku kan tidak mungkin. Nah pelaku itu kita ambil dari kepolisian. Jadi
yang menetralkan itu dari pihak yang berwenang, yaitu kepolisian. Nah begitu.
Kalau untuk 'Tuntas' itu, menurut saya itu, suatu kejadian itu kan masyarakat,
tentu kan kita beritakan hari ini bahwa korban ini, kondisinya seperti ini,
pelakunya sementara belum diketahui identitasnya, nah besok kita harus lihat
terus. Jadi harus ada up date terbaru. Biasanya pelakunya sudah ditahan. Terus
kondisi korban ini mungkin sudah bagaimana-bagaimana. Jadi 'Tuntas' itu
pokoknya bagaimana sampai kasus itu selesai sampai di persidangan. Memang
sekarang itu kita jarang mendapat konfirmasi yang setelah dia ditahan, jarang kita
dapat up date tentang itu. Tapi rata-rata kita dapat up date itu sampai kasus itu
tuntas di pengadilan.
N: Dan di Radar Timika itu ada catatan list yang menuliskan kejadian ini sudah
sampai mana, sudah sampai mana, begitu ya Mas?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
R: Iya. Kadang itu memang ada untuk redaktur sendiri, bukan list untuk umum.
Catatan dari redaktur, kalau sidang dilanjutkan. Di samping itu juga saya sendiri
tidak secara langsung nulis, tapi saya masih ingat. “Ooo jadi berita ini harus saya
lanjutin begitu.”
N: Apa yang buat Mas Terry merasa bangga menjadi bagian dari Radar Timika?
R: Yang bikin saya bangga di sini ya kalau kita lihat ini salah satu koran lokal
dengan pembaca yang terbesar di Timika. Terus dia memegang prinsip bahwa
koran itu dia tidak bisa terpengaruh dengan orang lain. Jadi dia (Radar Timika) itu
istilahnya independen. Dan itu sampai sekarang bisa dipegang, itu yang saya
masih yakin dan percaya itu. Jadi masih bisa bertahan.
N: Mas Terry kalau menulis berita, apakah menulis secara bebas? Maksudnya,
tidak ada kepentingan baik dari pengiklan terbesar di Radar Timika, yaitu
Freeport, atau redaktur dan pemimpin redaksi.
R: Kalau saya itu kadang-kadang menulis bebas. Tapi kalau yang pertimbangan-
pertimbangan itu, pertimbangan di redaktur. Tapi kalau saya wartawan, apa yang
saya terima dari lapangan, saya tulis di kantor. Nanti pertimbangan untuk yang
diterbitkan atau kerja sama semacam itu, nanti dari redaktur yang terjemahkan.
Saya tulis saja apa yang mereka sampaikan, kebanyakan yang kasus-kasus
masalah Freeport itu, ya saya wartawan di lapangan itu tidak berpikir bahwa ini
kerja sama atau apa. Kalau saya tidak. Saya meliput ya meliput tapi dimuat atau
tidak beritanya itu nanti pertimbangan redaktur.
N: Tapi pernah ada pengalaman tidak dimuat?
R: Sering. Itu yang tidak dimuat itu karena kita tidak dapat konfirmasinya. Jadi
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
suatu berita kita hanya dapat berita dari pantauan kita sendiri. Dan itu tidak bisa
dikategorikan sebagai suatu berita yang 'Dekat, Hangan, dan Tuntas' itu. Karena
tidak ada sumber yang korban maupun pelaku. Dan kalau kita pun dapat data yang
istilahnya tidak ada konfirmasi korban maupun pelaku, tapi kita bisa ambil dari
yang berwenang, kepolisian, yang dia bisa pertanggungjawabkan kasus itu. Harus
ada konfirmasi.
N: Jadi alur pembagian tugas liputan seperti apa Mas Terry?
R: Kalau di sini kan kebetulan kita sudah dibagi pos-posnya itu. Jadi kebetulan
saya di kriminal, kriminal itu tidak hanya di kepolisian, ada di kejaksaan,
pengadilan. Yang isitlahnya kita untuk berita-berita kota. Kecuali ada penugasan
khusus dari redaktur bahwa kamu harus liput di sini ada kegiatan ini, dihubungi
kan, diinformasikan kegiatan ini soalnya yang punya pos itu dia tidak sempat atau
dia lagi halangan. Jadi itu penugasan khusus. Penugasan khusus itu tidak untuk
wartawan yang dia pos di situ. Kebetulan saya di situ juga, selain punya pos
sendiri, juga plotting. Kalau plotting itu bebas. Dia bisa ditugaskan ke area-area
Freeport, atau ditugaskan di tempat yang bukan posnya dia. Nah terus mungkin
liputan-liputan luar yang seperti di pedalaman-pedalaman, tempat-tempat lain
yang butuh wartawan, itu kita dihubungi untuk ke situ.
N: Kalau Mas Terry seberapa sering meliput tentang kasus Freeport?
R: Kalau untuk kasusnya itu jarang. Kalau ada kejadian besar yang pernah saya
liput di atas itu hanya waktu kejadian runtuhan di Gossan. Kebetulan kan saya pos
di area Tembagapura. Jadi area Tembagapura itu di polsek, pokoknya semua
kejadian-kejadian di Tembagapura itu, saya kebetulan di situ. Nah itu yang saya
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
sampai di atas. Terus untuk kasus berita-berita Freeport yang lain seperti yang
berkaitan dengan Pemda itu ada teman juga itu. Tapi tidak menutup kemungkinan
juga kalau ada teman yang berhalangan, kita juga yang liput, kegiatan-kegiatan
ilmiah, HUT, itu kita bisa liput.
N: Bagaimana Radar Timika menyikapi pemberitaan-pemberitaan terkait
Freeport?
R: Kalau menurut saya, yang pengalaman saya itu ada berita yang istilahnya itu
dia keras, dia menyentuh ke Freeport, itu kita beritakan kecuali ada...e...., kita
berusaha untuk komunikasi ke bagian Corcomm untuk konfirmasi. Walaupun
tidak dapat, itu biasanya dari redaksi yang bantu untuk konfirmasi berita itu. Jadi
kalau kita di sini itu berita untuk Freeport tidak ada yang di-pending. Kalau ada,
ya kita yang istilahnya bicara tentang Freeport, kita berusaha untuk konfirmasi.
Nanti terserah, muat atau tidaknya itu tergantung dari redaktur. Beda dengan
berita-berita yang seremonial itu beda, bisa langsung. Ya nanti kalau ada berita
yang istilahnya yang menyinggung mereka (Freeport) itu kadang kan dari sumber
dari tokoh-tokoh masyarakat, dari pemilik hak ulayat, itu konfirmasi ke Freeport
bagian Corcomm.
N: Apakah ada larangan-larangan dari redaksi terkait pemberitaan Freeport?
R: Tidak ada. Sejauh ini kita tidak ada larangan. Tapi biasa kita komunikasikan ke
kantor kalau seandainya kita dapat komentar terkait Freeport. Dan itu mereka
langsung kasih respon untuk diinformasikan ke Corcomm begitu. Walaupun
pernyataan sekecil apapun, kita muat sebagai konfirmasi. Contohnya kemarin ini
seperti ikan yang mati mendadak. Itu juga karena tailing segala macam.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Masyarakat banyak menyoroti bahwa ini kena tailing Freeport atau segala macam.
Ya tetap kita muat. Saya pikir kita juga dapat konfirmasi dari Freeport. Freeport
bilang, “Ini kita belum bisa pastikan, karena ini..” Jadi kadang itu pending karena
kita belum dapat konfirmasi dari Freeport. Jadi setelah dapat konfirmasi, baru kita
terbitkan. Jadi berita itu, walaupun media lain sudah kasih naik, jadi kita tidak
mau, harus ada konfirmasi. Bukan hanya Freeport, yang lain juga begitu. Ada
yang mengeluh pada Pemda, kita juga konfirmasi pada Pemda juga.
N: Kalau Mas Terry katakan menulis secara bebas, tak memungkiri Mas Terry
memberitakan hal yang memojokkan Freeport. Nah apakah Mas Terry pernah
mendapat masalah ketika memberitakan soal Freeport?
R: Kalau saya sampai sejauh ini belum pernah ada. Belum dapat yang begitu.
N: Menurut Mas Terry, bagaimana posisi Freeport di Timika? Kenapa suara
pemerhati lingkungan terkait limbah tailing Freeport ini kok kecil sekali ya di
Radar Timika?
R: Betul.. betul, suara pemerhati lingkungan memang kecil. Yang Freeport sudah
lakukan itu misalnya mereka sudah memberikan lapangan pekerjaan dan ada
dampaknya bagi masyarakat. Dan mereka (Freeport) ini sudah ada perhatian untuk
masyarakat. Tapi kalau masalah lingkungan itu saya tidak tahu kenapa. Memang
banyak yang mengeluh tentang lingkungan-lingkungan dan dampak dari Freeport,
tapi sepertinya tidak digubris begitu.
N: Maksudnya tidak digubris dari Freeport-nya?
R: Iya, lembaga yang bersangkutan. Tidak tahu mereka datang tiba-tiba ketemu
dengan Freeport, sudah pulang aman-aman saja. Tapi kadang kita ketemu dengan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
orang lingkungan begitu, kita konfirmasi, mereka ya bilang saja, tidak ada ini.
N: Apakah Mas Terry pernah datang langsung ke daerah dampak tailing Freeport?
R: Sudah beberapa kali. Tapi kalau liput di situ belum. Tapi kalau melintas,
sering. Pernah saya liput di daerah itu kebetulan di daerah pelabuhan Port Side.
Jadi masyarakat itu mereka mengeluh itu ya masalah dampak dari adanya
perusahaan itu. Sebelumnya itu masyarakat mengeluh, jadi dulunya itu di depan
itu kan ada satu pulau namanya Pulau Puriri. Mereka mengatakan kalau di situ
dulu banyak ikan. Jadi mereka bisa buat jual, bisa untuk makan, tapi setelah ada
itu, di daerah situ pun sekarang sudah dangkal dan sedimentasinya sudah tinggi.
Mata pencaharian mereka jadi jauh. Otomatis mereka melaut ke laut yang dalam,
di depan pulau. Dan saya sempat merasakan pernah terjebak di situ karena pas
melintas ke situ malam, kita telat masuk, akhirnya kandas di atas sedimentasi itu,
akibat tailing itu. Tapi Freeport sudah bangun akses. Masyarakat kan biasa menuju
ke Agimuga, ke Mimika Timur Jauh, seperti Omawita, ini kan mereka kadang-
kadang terhambat kalau lewat dalam, kalau lewat luar tidak. Kalau lewat dalam
kali itu, dulunya mereka sering lewat itu tidak nyangkut, tidak kandas. Sekarang
ini mereka kandas di situ akibat kena tailing. Jadi Freeport yang saya lihat itu
Freeport sudah bangun akses, sudah buat jalan untuk dilintasi, kali baru untuk
akses jalannya masyarakat.
N: Ooo jadi dibuat kali baru gitu?
R: Iya. Itu yang sering kan masyarakat tolak ke Ajimuga, ke Mimika Timur Jauh,
itu kan biasa lewat situ. Jadi informasinya dari mereka, dulu itu memang tidak ada
hambatan lewat situ, biasa, tidak kandas-kandas, tapi sekarang sudah kandas-
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kandas. Karena dia berlumpur. Jadi kalau kita turun untuk bantu dorong saja, ya
bagaimana? Tenggelam. Karena lumpur. Jadi tunggu sampai airnya itu pasang,
baru kita bisa keluar dari situ. Kadang itu kan di daerah situ juga arus kencang
juga. Kadang itu mereka kalau sudah kandas di situ ya cari tempat aman begitu
untuk tunggu naik dulu airnya, sesudah pasang, baru mereka ke luar. Mungkin itu
dampak sosial yang masyarakat rasakan.
N: Dan itu pernah diberitakan oleh Radar Timika?
R: Pernah. Jadi pernah, itu kan kejadian itu masyarakat Agimuga, waktu ada guru-
guru. Guru-guru mau ke sekolah antar soal ujian. Lalu mereka kandas, terus kena
arus. Mereka tenggelam. Perahu itu terbalik. Merka punya semua, tas, surat-surat,
persediaan makanan dan kesehatan, segalam macam itu hilang, karena arus yang
turun kencang, dia kandas, dan akhirnya kapalnya terbalik. Itu waktu itu salah satu
tokoh Agimuga atau Amungme sempat protes keras sekali. Untung waktu itu tidak
ada korban jiwa, hanya korban harta benda yang mereka bawa. Kalau tidak salah
waktu itu uang untuk tunjangan guru pun hilang. Itu kalau tidak salah tahun 2012,
seingat saya.
N: Mas Terry sendiri melihat dampak tailing Freeport seperti apa?
R: Kalau dampak untuk, akibat dari adanya tailing itu, ya mungkin dampak sosial
itu, mata pencaharian mereka itu tidak seperti yang dulu, yang dulunya mungkin
mereka bisa dapat untuk jualan di pasar. Sekarang ini yang saya pernah
wawancara masyarakat di bawah itu bahwa mereka itu kesulitan untuk dapat hasil
laut seperti ikan. Itu sudah susah. Yang dulunya ikan biasa sampai muara, setelah
ada itu (tailing), mata pencaharian mereka menjaring lebih jauh dari itu untuk
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
dapat ikan. Tapi saya tidak tahu untuk konsumsi ikan yang mereka konsumsi itu
dampaknya belum dapat.
N: Mas Terry melihat kasus perpanjangan Freeport dan pembangunan smelter
Freeport sebagai masalah apa sih mas?
R: Menurut saya itu, kalau untuk kasus perpanjangan kontrak itu sebenarnya
dampaknya untuk karyawan itu harus ada, sehingga kalau tidak diperpanjang,
ribuan karyawan ini mau lari kemana gitu. Pencaharian mereka ya cuma di situ.
Kalau ada perpanjangan itu kan proyek-proyek Freeport bisa untuk kesejahteraan
masyarakat di sini kan. Karena kalau dilihat juga seperti masyarakat di sini kan
masih bergantung kepada Freeport. Istilahnya LPMAK, itu kan dananya dari
Freeport. Terus kalau Freeport tidak beroperasi, dananya keluarnya lambat, terus
dikurangi bertahap. Tidak dikurangi, tapi bertahap keluarnya.
N: Kalau pemilihan narasumber untuk pemberitaan Freeport ini bagaimana sih
mas?
R: Jadi kalau terkait pemberitaan PT Freeport. Di dalam itu kan ada dia punya
departemen masing-masing. Dan rata-rata itu kalau seperti kejadian di areal
Frerport, seperti penembakan, atau kejadian-kejadian insiden di Freeport, itu kita
biasanya melalui Corcomm atau seperti kasus kriminal itu biasanya melalui
kepolisian, baik di Mimika sini atau di Polda Jayapura yang tertinggi. Jadi,
biasanya kalau ada kejadian-kejadian begitu, kita langsung masuk ke
departemennya masing-masing, seperti kegiatan lingkungan, terus ke bagian
lingkungan. Tapi seperti terkait ikan mati itu, itu kan bagian lingkungan, cuman
kita ke situ, kita diarahkan semua harus lewat Corcomm-nya. Semua lewat situ.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Jadi satu pintu. Kalaupun mereka punya bidangnya masing-masing, cuma mereka
arahkan ke satu pintu. Beda dengan kita liputan seperti ada kegiatan di
lingkungan, nah itu bisa. Dan mereka juga punya kegiatan-kegiatan sosial-sosial
ke masyarakat itu bisa melalui yang bersangkutan seperti lewat PR, kalau
kegiatan-kegiatan seremonial di Kuala, di Jayapura, kita harus lewar Corcomm.
Jadi semua itu lewat Corcomm. Karena untuk memberikan informasi dan segala
macam, itu melalui Corcomm.
N: Kalau memberikan pertanyaan ke narasumber itu, Mas Terry lebih ke
pertanyaan menjebak, memberi solusi, atau pendapat pribadi?
R: Kita mengikuti perkembangan beritanya. Seandainya kalau berita itu yang
menurut kita belum jelas, ya kita bertanya meminta pendapat. Ada juga yang dia
ini sulit untuk menyampaikan sesuatu, ya kita kasih pertanyaan yang menjebak
untuk cari titik terang. Kalau sudah ada tiitk terang, baru kita bisa masuk ke situ.
N: Menurut Mas Terry, apa solusi yang tepat terkait masalah perpanjangan
kontrak karya Freeport?
R: Kalau menurut saya itu kalau masalah perpanjangan kontrak itu, ya saya setuju,
karena kembali ke kesejahteraan masyarakat, dampak ekonominya itu. Hanya
kembali lagi dampak sosialnya yang dair hasil Freeport itu, ya bagaimana mereka
(Freeport) itu bisa meminimalisir dampaknya terhadap masyarakat. Contohnya
seperti masyarakat Nayaro, itu kan salah satu dampak dari tailing juga.
Sebelumnya kan mereka di bawah. Setelah ada tailing itu, akhirnya mereka
dipindahkan, dibangun satu tempat untuk meng-cover satu perkampungan untuk
mereka. Jadi ya kalau dibilang mereka (Freeport) melakukan, mereka juga yang
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
bertanggung jawab. Hanya kita belum tahu untuk berapa generasi ke depan,
dampak sejauh mana, belum tahu.
N: Dampak sosial seperti apa lagi yang terjadi karena kasus di Freeport?
R: Ya kita lebih ke dampak sosial saja. Seperti waktu penembakan. Masyarakat itu
sudah tidak tempati tempat itu dan bangunan yang mereka bangun sudah usang,
termasuk sekolah, fasilitas kesehatan, itu hancur. Jadi waktu ikut kan bersamaan
dengan DPR, kita ke situ. Jadi melihat situasi, dampak sosialnya itu memang besar
untuk masyarakat. Dan sampai di situ, karena penembakan, masyarakat itu sudah
tidak lagi tinggal di situ, karena takut. Sekarang masyarakat mau kembali tinggal
di situ, mereka tidak punya kendaraan. Kita tahu sendiri bahwa masuk ke areal
Freeport itu harus kan ada izin. Dan masyarakat itu tidak bisa masuk sendiri tanpa
ada izin. Harus dilaporkan ke bagian Freeport untuk pengamanan ke dalam. Dan
berapa tahun itu mereka tidak punya bantuan kendaraan untuk dibawa ke situ,
setelah ada komunikasi dan mereka mengeluh-mengeluh ke Pemda, akhirnya
Freeport berikan bantuan, akhirnya mereka kasih bantuan bis itu ke masyarakat
secara gratis dan pada jam-jam tertentu keluar dari gorong-gorong, terus
pengamanan sampai ke kampung, dan itu sampai sekarang terus berjalan.
N: Mengapa pemberitaan Freeport di Radar Timika itu cenderung positif?
R: Iya, karena itu banyak masyarakat yang tergantung dengan Freeport. Punya
dampak langsung dengan Freeport. Masalahnya agak sensitif kalau untuk
menyinggung Freeport itu. Mereka sensitif sekali. Kalau (berita) yang bagus-
bagus itu mereka senang ya. Tapi kalau menyinggung sedikit, terus tanpa
konfirmasi. “Uss, ah itu bagaimana...?” Padahal menurut kita itu wajar, tapi
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
menurut mereka (Freeport) sensitif. Tapi bagaimana kita bisa bangun komunikasi
yang baik dengan mereka.
N: Bagaimana Mas Tery menjaga objektivitas dalam menulis berita?
R: Salah satunya itu ya melalui konfirmasi itu. Jadi biar berita itu lengkap dan
masyarakat pembaca juga tidak ada pada satu pihak saja, tapi melalui pihak yang
disoroti begitu. Jadi harus ada konfirmasi dengan mereka.
N: Apakah Mas Terry pernah silang pendapat dengan pemimpin redaksi atau
redaktur dalam menulis berita terkait Freeport?
R: Pernah juga. Ya mereka sampaikan, “Ini beritamu tidak salah, hanya kita butuh
konfirmasi.” Jadi dalam pemberitaan itu kita yang diutamakan itu objektivitas,
yang lebih netral.
N: Itu berita tentang apa ya?
R: Waktu itu kalau tidak salah masalah lingkungan juga. Waktu itu kita ke
pedalaman, di daerah pantai, kebetulan ada masyarakat, saya langsung tulis
beritanya, tidak konfirmasi. Setelah itu baru dikasih omong sama redaktur begitu,
kamu harus begini, harus konfirmasi. Saya usahakan cari konfirmasinya, hubungi-
hubungi, akhirnya dimuat.
N: Ada saran untuk Radar Timika terkait pemberitaan Freeport?
R: Sebenarnya kita untuk berita terkait Freeport, sebenenarnya kita sudah tahu,
kriteria kita sebagai wartawan bahwa kalau berita ini kita butuh konfirmasi. Jadi
kita lebih mengutamakan konfirmasi itu, berita apapun. Saran saya untuk
wartawan-wartawan yang baru atau mungkin yang lama, mendapat berita yang
terkait Freeport itu ya kita harus konfirmasi, karen banyak masyarakat yang bicara
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
tentang Freeport. Tapi kadang masyarakat itu bicara setelah ada masalah. Kalau
tidak ada masalah, mereka tidak bersuara. Dan kadang itu, masyarakat yang
mengatasnamakan tokoh intelektual dan segala macam. Dan ketika mereka
berbicara, kita ini sebagai wartawan harus jeli untuk mleihat bahwa ini nyambung
atau tidak, cocok dan pas atau tidak dengan apa yang dia omongkan. Kadang-
kadang kan mereka hanya mendengar dari orang, tapi tidak tahu sebenarnya ini
masalah apa. Kita harus bisa memilah-milah, berita ini pas kalau dia bicara,
kadang ada yang bicara melantur begitu. Kadang mereka bicara itu karena
kepentingannya mereka. Tapi rata-rata untuk masalah lingkungan itu banyak yang
dikeluhkan masyarakat, khususnya di daerah pantai.
N: Adakah kejadian-kejadian unik atau menarik yang pernah Mas Terry alami saat
meliput kejadian di Freeport?
R: Kalau pengalaman saya meliput di Freeport itu biasanya itu terkendala akses
masuk ke Freeport-nya. Kalau di deretan yang seremonial itu biasa mereka
mengizinkan, tapi kalau kasus penembakan, kasus yang terjadi di area Freeport itu
Freeport tutup kiri kanan. Jadi tutup akses masuk. Bahkan, kadang kita ingin
konfirmasi pun, mereka kadang menghindar. Kita berusaha-berusaha terus
bagaimana mendapat konfirmasi. Ada permasalahan di area Freeport itu mereka
tidak mau untuk diberitakan. Tapi kan datanya kita sudah punya, nah itu cari
sumber yang lain begitu. Akses masuk Freeport aja yang sulit sampai sekarang.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Wawancara Langsung
Redaktur Pelaksana Radar Timika Leonardus Sikteubun
N: Bapak Leo bisa ceritakan bagaimana awal bisa bergabung dengan Radar
Timika?
L: Saya kuliah kan di Jogja, lulus November 2007, fakultas hukum Atma Jaya.
2008 saya ke sini (Timika), bulan Agustus waktu itu ada lowongan di Radar
Timika, lalu magang 3 bulan di Radar Timika. Tapi kalau di sini kan kalau
dianggap mampu, sebulan pun langsung diangkat. Tapi karena mungkin waktu itu
saya terlambat beradaptasi, jadi mentok 3 bulan baru bisa diangkat jadi wartawan.
Terus 2 tahun, sudah dengar belum kisah Radar Timika terpecah? Banyak yang
keluar
N: Sudah, terus mereka membuat media lokal baru?
L: Ya, TimeX itu. Lalu kekurangan tenaga. Jadi, walaupun saya terlambat diangkat
jadi wartawan, tapi saya dipilih jadi redaktur duluan pada 2010. Dari 2010 sampai
2015, redaktur. 2015 kemarin pergantian lagi manajemen dan sekarang diangkat
jadi redaktur pelaksana.
N: Itu kan bapak dari Jogja. Nah, yang membuat bapak bisa dari Jogja ke Timika
dan masuk ke Radar Timika itu apa?
L: Kalau terus terang ya, waktu itu kan baru datang, saya ada melamar juga di
beberapa tempat, ya namanya baru lulus. Saya dulu kan SMA di Jayapura, SMP di
Fakfak. Cuma kuliah saja di Jawa. Jadi kembali ke sini tuh sudah seperti pulang
kampung, bukan merantau lagi. Waktu itu datang ya melamar pertama di Hasjrat
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Abadi. Cuma karena orang tua saya ini kan latar belakangnya PNS, jadi saya ada
mau tes PNS gitu. Tapi Hasjrat Abadi bilang, setelah melalui proses, lulus
diterima mungkin karena lulusan Jawa, saingannya dengan orang-orang sini. Tapi
dia bilang tidak boleh tes PNS. Kejamnya di situ. Kalau di sini kan terserah, hak
asasi kan. Saya sudah diterima secara formalitas, tinggal mengikuti tes PNS atau
tidak, kalau tidak langsung akan diterima, tapi kalau masih mengikuti tes PNS,
minta maaf. Ya saya jujur, oke saya pulang dulu. Jadi saya pamit pulang dulu.
Orang tua bilang, harus PNS lah. Lalu ya sudah saya bilang, maaf saya tidak bisa
bergabung, saya mau ikut tes PNS. Kebetulan ya itu baca-baca koran, kan waktu
itu baru datang juga, mau tau caranya, mau tau Timika seperti apa ya harus lihat
media, baca-baca koran hari-hari, liat ada lowongan di situ. Ada lowongan, saya
melamar dan di sini katanya tidak apa kalau melamar jadi PNS, tapi di sini bekerja
full time. Kemudian saya tahun pertama ikut tes PNS, tapi sambil wartawan,
waktu itu ikut tes sambil meliput karena wartawan kan. Tahun pertama tidak lolos
kan, lalu tahun kedua juga ada ikut lagi. Tahun ketiga saya sudah tidak ikut karena
sudah dua kali tidak lolos. Sejak tahun ketiga itu saya mulai enjoy di sini. Jadi
tahun pertama belum, tahun kedua belum, tahun ketiga sudah mulai senang.
Terutama yang pas kemelut di sini. Kita waktu itu kan hanya 2 wartawan saja
waktu mereka keluar itu. Cuman saya dan teman. Jadi saya handle berapa halaman
di koran itu, setiap hari 10 berita minimal ke atas untuk penuhi halaman. Waktu
itu kan wartawan habis. Jadi kita yang bertahan, ada sekitar 4 orang, tapi untuk
yang kriminal ada 2.
N: Apa yang buat Mas Leo masih bertahan?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
L: Tantangan. Waktu itu kan dirayu juga pindah ke sana bikin koram baru, begini-
begini, janji-janji manis begitu. Tapi saya bilang, dengan grup Radar Timika yang
luas, saya di sini saja. Ya itu, bertahan. Setengah mati sekali, 6 bulan itu. Setelah
situasi normal, saya diangkat. Nah setelah jadi redaktur itu, saya sudah tidak ikut-
ikut tes lagi. Sudah memantapkan pilihan di media dengan segala tantangannya,
dinamikanya, ancaman, pujian, cacian, segala macam. Berbagai hal sudah
diterima. Ternyata aman-aman saja, sampai sudah orang datang ke sini taruh pisau
begini.
N: Karena masalah apa?
L: Pertikaian dua kelompok. Karena beritanya tidak konfirmasi, kemudian kami
naikkan, Dia merasa dirugikan dan itu.
N: Sampai diancam seperti itu?
L: Ya, saya dibanting di pintu itu. Kami hanya cuma dua orang waktu itu sama
saya punya redaktur pelaksana. Kami dua yang diancam di dalam sana, ditarik ke
dalam. Angkat begini, baru pisau dirasa-rasa begitu di perut begitu, baru di sini
juga (di leher). Tapi kan kita tahu orangnya. Dia kan waktu itu kan Lurah
Koperapoka. Dia kan pejabat juga. Jadi kita pikir, pasti dia tidak akan berani,
karena dia kan pejabat. Kecuali kalau orang kita tidak kenal, nah itu harus benar-
benar ditolak, tidak boleh ketemu, face to face apalagi, kita pasti akan tutup pintu.
Tapi karena kita kenal, ya ini kita layani. Ya itu sampai sekarang. Redpel baru
setahun.
N: Background bapak kan hukum, apakah merasa kesulitan ketika awal memasuki
dunia jurnalistik?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
L: Sambil jalan, awal memang merasa kesulitan karena kita punya basic-nya beda
kan. Kalau orang kan biasanya kalau cepat itu komunikasi, cuman di sini kan
lintas. Waktu itu kan saya di jurusan hukum, ya saya diposkan di pos kriminal,
yang mungkin memahami hukum dari segi keamanan berita. Tapi untuk teknik
menulis, pokoknya untuk berita ya dari nol, sendiri. Dibina sama senior saja. Yang
senior 2 minggu, materi seminggu, kemudian ada praktik-praktik kecil selama
seminggu, kemudian dilepas 3 bulan. Kesulitan kalau saya sih di awal saja,
pertama kali saja, hari-hari pertama, kedua, minggu-minggu pertama lah, mungkin
cara masuk itu menulis beritanya itu. Waktu itu kebetulan saya diajak senior ke
Gedung Pengadilan di tengah hutan di SP 5 sana. Memang dia tidak kelihatan dari
luar. Dan saya diajak ke sana, ke dalam hutan sana, gedung megah, itu kan
namanya proyek abal-abal kan, proyek perencanaan yang penting ada pekerjaan
saja. Saya bantu menulis waktu itu jadi heboh. Saya masih baru itu, teman-teman
wartawan bilang saya sudah bisa membuat berita. Ya itu, belajarnya sendiri.
Diajar, lalu kami belajar sendiri. Kan ini setiap hari. Jadi setiap hari, kita punya
pikiran itu diasah gitu. Setahun kerja itu jadi wartawan paling saya sakit sehari
saja. Jadi setiap hari masuk, tidak ada izin.
N: Bapak dari suku apa kah?
L: Saya Maluku Tenggara.
N: Nah, saat peliputan, apakah pernah ada konflik karena bukan orang asli Papua?
L: Tidak pernah. Kalau misalnya liputan, tidak. Bahkan, kita orang pendatang
kalau liputan perang suku, kita tidak terancam. Kecuali kalau chaos ya macam
suku Kei dengan suku Paniai saat tahun 2010, paling kacau sudah. Nah itu tidak
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
bisa masuk sama sekali. Tapi selama ini, perang-perang suku gara-gara berita,
tidak pernah. Justru kita dengan berita, menenangkan mereka, melalui tokoh-
tokoh. Saat kejadian, wartawan ditugaskan untuk cari tokoh agama untuk
menenangkan, untuk terbitan besok.
N: Jadi kalau ditanya, kenapa bapak pilih Radar Timika karena?
L: Yang pertama, karena dia bergrup, grupnya Jawa Pos kan. Kemudian, dari grup
ini kita kan bisa berteman dengan grup di Cepos, Radar Sorong, dan yang paling
penting adalah kenyamanan kita kerja, dengan kantor yang representatif. Nyaman
dengan model pimpinan seperti ini. Kan kita baku kenal lah dengan koran yang
baru, orangnya seperti apa, kita baku kenal lah.
N: Bagaimana kinerja dan sinergi kerja dalam Radar Timika?
L: Ada dinamika, tidak selalu mulus. Ada juga yang ngeyel-ngeyel begitu. Kalau
kita bilang, posisinya wartawan ini kan 75 persen dia sifatnya karyawan, artinya
dia hanya membela dia sebagai karyawan. Kalau redaktur, 50 persen sebagai
karyawan, tapi 50 persen sudah harus membela manajemen. Kemudian kalau
pemred dan redpel sudah pasti 75 persen manajemen dan 25 persen adalah
membela karyawan. Jadi saya sering sih konflik sama wartawan terutama
berkaitan dengan kebijakan pemberitaan. Berita ini di-pending dulu karena kita
mementingkan situasi dampak, macam terakhir itu kasus pemalangan LPMAK.
Sudah diliput sama wartawan, kemudian saya bilang, “Tolong jangan dimuat dulu
karena besok pagi ada mau pertemuan untuk menyelesaikan LPMAK ini.”
Kemudian wartawannya berontak, “Saya sudah meliput capek-capek,
begini..begini..begini.” Ya saya kan berkoordinasi dengan pemred saya (Ibu
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Misba), kita pending saja dulu demi kondusif lah, kita utamakan dulu kondusif di
Timika. Kalau LPMAK lancar, ya otomatis, bisnis ya, kita lihat bisnis lagi, tentu
LPMAK beraktivitas dan bisa pasang iklan lagi. Artinya apa, kalau LPMAK tutup,
sumber iklan kita juga mati.
N: Tapi memang berapa persen sumber iklan dari LPMAK ini?
L: Nggak banyak sih, nggak banyak. Cuman tentu di samping bisnis, yang kita
utamakan adalah kondusif daerah dulu. Kalau daerah sudah kondusif, ya
bagaimana kita berbisnis. Saya kira pikirannya sudah ikut 75 persen manajemen.
Jadi tidak selalu berjalan mulus, penuh dinamika, konflik dengan wartawan itu
paling sering.
N: Apalagi pak situasi yang membuat berita itu di-pending?
L: Pertama itu kondusif daerah dulu. Kita utamakan itu dulu. Kita lihat dulu
beritanya, kalau membahayakan, mengandung SARA, apalagi kejadian sampai
orang datang ke sini mengamuk-mengamuk segala macam itu, itu kita pending.
Kalau dia tidak ada konfirmasi, pending. Konfirmasi yang pertama, jelas. Jadi
wartawan tidak bisa mengelak kalau tidak ada konfirmasi kemudian beritanya di-
pending, wartawan akan terima. Kedua, bisnis. Dengan Freeport itu kita tidak bisa
pungkiri ada bisnis besar. Ada orang bilang, kenapa media tidak berani beritakan
limbah Freeport? Sekarang kita tanya, apakah TVOne berani beritakan Lapindo?
Jadi itu mungkin dia pemilik sebagai pemilik televisi, mungkin Lapindo adalah
perusahaan Aburizal. Dia (TVOne) tidak akan berani. Kalau Freeport dengan kita,
sekarang kita begini, ahli mana yang bisa membuktikan limbah itu dia merusak,
beracun, kemudian ada UU di Indonesia mana yang dia langgar? Kemudian
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
narasumber siapa yang berani untuk bicara? Selama saya di Radar Timika itu
belum ada, bahkan tidak ada, cuma bicara-bicara saja.
N: Ada yang datang ke Radar Timika tapi tidak dimuat atau benar-benar tidak ada
yang datang?
L: Tidak ada yang mau jadi sumber. Kan mereka nggak tahu, asal bicara. Secara
langsung membawa data sebagai seorang ahli, itu tidak pernah. Saya cuma denga-
dengar saja. Dari dulu sih kita, kalau bicara masalah ini (limbah tailing Freeport),
kita tidak bicara bisnis dulu, tapi kita bicara dia sebagai sumber yang kompeten,
yang kredibel, yang bisa dipertanggungjawabkan beritanya besok. Radar Timika
memberitakan harus ada sumbernya dong. Kemudian akan ada konfirmasi juga ke
Freeport. Sumber berita itu, dia harus bisa membuktikan UU di Indonesia apa
yang dilanggar? Batas wilayah yang terdampak di sungai-sungai itu memang areal
kerjanya mereka (Freeport), lah kenapa masyarakat masuk ke situ? Orang liatnya
masyarakat itu hidup di atas limbah, sementara itu memang areal kerjanya mereka
(Freeport). Dan itu memang area yang akan ditanami oleh mangrove. Itu kan
izinnya dari pemerintah pusat. Buktikan. Bahkan sekarang di Jakarta pun ada kah?
Cuman koar-koar saja kan? Bicara-bicara saja, tapi faktanya adalah daerah yang
terkena limbah itu, itu memang sudah diprediksi dari dulu, AMDAL, segala
macam, dan itu pasti akan kena karena ada limbah yang turun. Dari situ mereka
(Freeport) berkutat dengan penanaman mangrove, segala macam. Tapi kemudian
masyarakat datang tinggal di situ kan harusnya tidak boleh. Kalau masyarakat
dilarang tinggal di situ mungkin bisa masalah lagi. Tapi sudah terjadi. Orang
lihatnya, kasian masyarakat, harusnya di situ tidak boleh.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Jadi itu ya masalah bisnis...
L: Kalau masalah bisnis yang tadi itu mungkin belum jelas tadi. Saya kasih tahu,
ya itu kalau Freeport tutup mas, dampaknya bukan kita pikir Radar Timika saja.
Di Jakarta itu orang bicara saja, tapi ojek, warung makan, kos-kosan, pajak ke
daerah, itu semua dari Freeport. Kalau Freeport ini dia tutup, Timika ini akan
tutup. Orang-orang pengangguran berpuluh ribu orang, kemudian multiplayer
effect-nya itu seperti apa, dia punya dampak lain, pokoknya bisa chaos di Timika
ini. Belum lagi ke Indonesia-nya. Indonesia bilang, bisa diambil alih Freeport
dulu, abis itu cari investor lain. Ya sama saja. Mendingan yang sudah ada ini
dilanjutkan kan kalau kita bicara kontrak karya.
N: Ada lagi kah pak?
L: Yang pertama itu tadi ya, kondusif daerah dulu. Dulu pernah ada berita
pelarangan mendirikan masjid di Tolikara. Itu kan isu saja. Dari Fajar, itu
grupnya kami di Makassar, “Tolong beritakan karena kami sudah terima
selebarannya.” Pemred saya (Ibu Misba) komunikasi dengan sana termasuk dari
Cepos juga, “Kami menolak memberitakan dengan alasan ini ini ini. “Loh itu kan
selebaran saja.” “Iya, pak, tapi dampaknya itu sangat besar.” Media di Jakarta
memberitakan Freeport segala macam, jungkir balik apa-apa tidak ada
pengaruhnya, tidak ada pengaruhnya ke sini, pengaruhnya di TV atau apa, tidak
ada. Coba sekali Radar Timika beritakan. Wah langsung ramai di Timika ini. Iya,
saya tidak memuji diri sendiri, tapi faktanya seperti itu. Karena kan kami yang
berhubungan langsung di sini. Pembaca kami kan yang berkepentingan langsung
dengan Freeport. Dulu waktu demo besar-besaran Freeport, aksi mogok, berita
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
yang sama, diterbitkan di tiga media waktu itu, tapi Radar Timika yang diserang
habis-habis, diancam segala macam, sama orang SPSI yang demo, yang kontra
Freeport, yang menuntut itu. Kemudian Freeport memberikan kami rilis, kami
muat, mereka marah, kenapa beritakan yang itu. Kami yang kena sasaran. Padahal
berita itu ada di media lain juga.
N: Apa pertimbangannya kok bisa sampai langsung diterbitkan?
L: Itu memang dari perusahaan kan, dan itu bentuknya rilis. Rilis itu kan siapapun
bisa bikin rilis, yang penting dia sumbernya yang jelas. Rilis itu adalah kalau kita
mau bilang, 75 persen tanggung jawabnya adalah di pembuat rilis itu. Kami hanya
25 persen. Kami ini kan menyebutnya, sesuai rilis yang diterima Radar Timika.
Jadi kami tidak mencari berita itu, tapi rilis itu datang. Dan itu mereka (SPSI)
minta ke kami waktu itu siapa yang kasih rilis itu. Dengan bawa ancaman. Dan
akhirnya ketahuanlah oleh mereka, mereka marah, akhirnya kami dengan Freeport
sempat renggang dulu. Cuman mereka sih tidak tahu situasinya. Waktu itu
bagaimana kita diserang sama SPSI. Kalau itu sih sudah biasa, Corcomm ini kan
tidak lama pimpinannya, suka berganti juga, 3 tahun ganti baru, 2 tahun ganti lagi.
Jadi sempat ya sama dinamika. Sekarang ini lagi harmonis sekali. Karena
kalaupun ada masalah sekarang sudah jelas aturannya, konfirmasi. Orang mau
kasih berita jelek, silakan, tapi Corcomm mengetahui. Misalnya masalah
pendangkalan sungai, misalnya yang parah, dia harus bicara dia sumbernya siapa
harus jelas begitu, dia kalau orang biasa tidak bisa kami terima, ini dampaknya
kan besar, pendangkalan sungai yang terkait pencemaran itu. Kalau pun
sumbernya adalah Kadistrik misalnya, kami harus pending beritanya dulu, kami
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
koordinasi dulu dengan Freeport. Dan sekarang itu dimungkinkan sama mereka
(Freeport), dengan Pak Sonny Prasetyo. Dia yang kasih jaminan ke media.
Sekarang itu tidak tertutup. Freeport sudah tidak tertutup sama sekali. Yang
penting ada konfirmasi, katanya.
N: Lalu apakah itu berarti masyarakat yang terkena dampak langsung limbah
tailing tidak bisa bersuara langsung melalui Radar Timika terkait keresahannya
terhadap Freeport?
L: Masyarakat ya paling biasanya demo langsung. Mereka ini kan juga punya
lembaga sendiri, macam yang kena dampak langsung di Nawaripi, mereka punya
lembaga sendiri. Jarang sih ke kita dulu. Kadang langsung demo, langsung palang
lah itu. Palang ini, palang itu, biasa begitu. Nanti kita tinggal beritakan saja ke
Freeport, “Pak, ada pemalangan gini...gini, konfirmasi dulu, pak.”
N: Bagaimana motto dan ideologi Radar Timika ini ditularkan dan ditanamkan
kepada para wartawan?
L: Itu sudah kita terapkan dari dulu. Jadi 'Dekat' itu adalah kita dekat dengan
masyarakat. 'Hangat' itu beritanya, beritanya terbaru, up date lah. 'Tuntas' ya kita
harus tuntas, macam ada kejadian sabu-sabu, ya kita beritakan sampai putusan,
dikejar terus beritanya. Itu saja sih slogan itu. Jadi ditanamkan ke wartawan kalau
kita tidak boleh jauh dari masyarakat. Dekat artinya siapapun, bukan hanya
masyarakat, tapi pejabat, Bupati, Freeport, mitra-mitra kita, dekat. Hangat itu
maksudnya beritanya, beritanya harus kita cari yang terbaru. Setiap hari highlight
kita harus berbeda. Kebetulan saya yang pegang halaman satu dengan koordinasi
biasa bersama Ibu Misba. Itu beritanya hangat. Kemudian kalau tuntasnya ya
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
beritakan suatu kasus harus tuntas. Misalnya kasus pembunuhan ya kita ikuti
kasusnya sampai putusan pengadilan. Kalau dia banding, ya ikuti lagi bandingnya
di Jayapura sana kan kita punya grup di sana.
N: Apa yang membuat bapak bangga menjadi salah satu bagian dari Radar
Timika?
L: Yang pertama, sekarang kita kerja ini, kalau mungkin dulu, kita kerja orientasi
kita dapat uang ya gaji. Sekarang ini kalau saya secara pribadi khusus ke
bagaimana kita bisa mempengaruhi orang. Kita sebagai pengendali. Ketika ada
kejadian, kita mau tulisan kita itu menenangkan. Terutama saya sangat selektif
sekali untuk berita yang begitu, karena terlalu banyak sudah asam garam orang
datang mengamuk ke sini. SARA yang paling terbaru itu. Orang demo, SAR
tabrak orang di sana. Kami beritakan. Itu kan demo. Jadi kita tidak beritakan pun
orang akan tahu. Kita tidak konfirmasi dan mereka datang ke sini ngamuk-ngamuk
cari wartawannya yang nulis siapa, gini gini. Yang saya sebutkan tadi, enjoy di
Radar Timika itu sih. Mungkin yang mengikuti belakangan itu status ya. Kita di
mana-mana dikenal. Apalagi di Timika kecil ini, orang sudah tahu. Kita jalan,
orang tinggal liat-liat saja. SMS bupati bisa, SMS siapapun bisa, dandim bisa,
kapolres bisa, dengan embel-embel nama, tulis saja Radar Timika. Orang sudah
bisa terima. Itu sih enaknya itu, kita bisa ikut mempengaruhi opini orang.
N: Apa sih hambatan dan tantangan Radar Timika, mengingat ini adalah surat
kabar lokal terbesar di Timika?
L: Kalau saya perhatikan adalah masyarakat yang masih belum paham tentang
pers. Itu yang paling susah. Karena kita memberitakan, kalau kita tidak hati-hati
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
sekali, ada pihak yang tersinggung, penggunaan nama saja, kita menyebut marga,
misalnya dia korban, ada nama kemudian ada marga, itu saya pernah tulis begitu,
dan itu masih juga dikomplain. Padahal dia korban. Korban ini kan istilahnya kita
di posisi dia lah, posisi seolah-olah kita juga korban begitu, tetap diprotes juga.
Orang lapas ada kecelakaan, kami menyebut plat nomor kendaraannya. Itu kan
sudah lumrah kan, namanya juga kecelakaan. Masyarakat membuktikan berita itu
benar bahwa datanya itu ada, ada pelaku. Jadi masalah juga, datang ke sini. Jadi
kendala paling utaman adalah kita beda dari daerah lain yang sudah sangat
terbuka, sudah sangat keterbukaan informasi publik, pemahaman masyarakat
tentang media, itu kita masih ketinggalan. Itu sih kendala utama. Belum lagi
dengan beragam suku di Timika ini. Kita konflik sama sekali kita tidak boleh
menyebut salah satu suku atau jargon-jargon kesukuan itu tidak boleh, harus dua
kelompok warga saja.
N: Terkait Freeport sebagai pengiklan, apakah ini juga bisa dikatakan sebagai
tantangan dalam memberitakan kasus Freeport dengan netral?
L: Iya. Sangat dinamis sekali hubungan kami ya. Ya seperti itu, gara-gara
hubungan dengan Freeport, kami juga jadi tegang-tegangan. Tapi kadang juga
mengasyikan. Ya kita punya teman lah juga banyak di sana. Bukan cuma teman
untuk berita saja, tidak. Teman ya lain-lain, kita bisa masuk ke Hero, bisa dikasih
ID, bisa main golf. Hubungan itu bukan sekedar untuk pemberitaan saja, tapi
sudah jadi teman semua.
N: Kalau mau berhubungan langsung dengan Freeport mengontak ke siapa terkait
fasilitas-fasilitas itu?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
L: Ya kita bicara ke Corcomm. Karena kita kan media. Jadi tidak bisa ke divisi
lain. Nanti kepentingan kita mungkin mau meliput di mana, nanti Corcomm yang
fasilitasi.
N: Jadi memang Freeport itu lebih ke memfasilitasi semua ya pak, tidak pernah
memberikan uang langsung ke wartawan?
L: Nggak pernah. Dia hanya memberikan fasilitas. Apa saja yang dibutuhkan, tapi
fasilitas saja, makan, tempat tinggal, helikopter, pesawat, kalau untuk finansial sih
ya kembali ke iklan saja.
N: Apa maksudnya pesawat ini? Kalau kita pulang kampung kah atau bagaimana?
L: Iya, bisa. Kita hubungan baik dengan dia (Freeport). Dari Corcomm kan tinggal
carikan satu kursi, dua kursi, seperti begitu. Tapi sebenarnya sih ada, perusahaan
dikasih jatah.
N: Perusahaan? Maksudnya?
L: Kita (Radar Timika).
N: Berapa banyak jatahnya pak?
L: Oo kalau itu saya tidak tahu. Memang full manajemen yang tahu hal itu. Saya
cuman, saya pernah sih nikmati.
N: Tapi memang dapat jatah ya?
L: Iya. Saya pernah satu kali pakai. Waktu itu saya ke Manado.
N: Apa lagi fasilitas lain pak?
L: Ya cuma pesawat saja.
N: Apakah dapat uang saku juga?
L: Tidak. Kalau yang macam liputan begini ya fasilitas aja. Nanti hasil liputannya,
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kita tuangkan ke dalam bentuk iklan. Nah itu baru kita dapat. Freeport kan bayar
ke perusahaan, perusahaan yang bayar kita sebagai fee dari berita yang kita liput
tadi.
N: Bagaimana sikap dan respon masyarakat terhadap pemberitaan Freeport oleh
Radar Timika?
L: Nah itu dia, dari 3 sampai 4 media itu, kalau kita beritakan sama, Radar Timika
yang selalu didatangi duluan, mungkin karena kantornya lebih besar kah atau
bagaimana, keliatan sekali dari jalan kah atau bagaimana. Ini kan kalau koran ini
kan kita lihat yang dibaca ya, semakin banyak oplahnya, tentu pembacanya
semakin banyak. Kalau oplahnya 500 bandingkan dengan 3 ribu ya beda lah.
Pembaca 3 ribu tentu lebih banyak. Jadi, selama ini memang kalau Radar Timika
yang beritakan apalagi soal Freeport, responnya sangat banyak di luar, jadi
polemik. Bukan cuma Freeport saja sih, semua lah, semua yang kita tulis itu,
seperti saya bilang tadi, kita bisa memainkan opini publik.
N: Dalam memberitakan Freeport, apakah dari redaktur sendiri memberikan
penegasan kepada wartawan terkait, ini yang boleh dan yang tidak boleh diliput?
L: Tidak dibatasi begitu. Cuman kita lihat ke tadi itu, kondusifnya perusahaan
(Freeport) supaya tetap beraktivitas. Kalau sampai kita memberitakan dan
kemudian masyarakat berdemo, aduh itu berarti kita sudah parah. Itu bukan kita
takut ke Corcomm-nya lagi, tapi kita sudah takut ke kondusif suatu daerah ini.
Kita sangat bertanggung jawab kan. Yang kita hindari seperti itu. Jadi kalau bisa,
berita itu ya kita sudah tertanam otomatis sih, tidak perlu ditegaskan lagi sama
manajemen, kita semua sudah tahu. Kecuali yang tertentu, misalnya yang demo
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
itu. Nah itu kita tegaskan, tidak bisa menerima berita dari warga. Jadi tidak boleh
ada yang terima wawancara. Nanti kalau ada narasumber tanya kenapa, jawab saja
“Karena sekarang situasinya sedang penyelesaiaan masalah saja. Kalau bapak
kasih masuk berita lagi, nanti dari suku ini minta lagi kasih masuk, nanti tidak
selesai masalah. Jadi kita tidak menerima dulu yang wawancara-wawancara yang
pribadi-pribadi begitu. Kecuali misalnya konferensi pers LPMAK atau Corcomm
yang bikin konferensi pers dari Freeport soal itu.” Itu paling begitu saja
arahannya. Kalau situasi kondusif begini, tidak ada.
N: Menurut Bapak, ada masalah apa di setiap permasalahan terkait perpanjangan
kontrak karya Freeport, pembangunan smelter, aksi demo karyawan, dan
pembangunan fasilitas oleh Freeport? Ada masalah politik kah, huku, sosial atau
apa?
L: Jadi sebenarnya Freeport ini kan dia minta kepastian. Terakhir itu saya yang
hampir berangkat yang peresmian Deep Mile Level Zone (DMLZ). Itu kan hampir
diresmikan itu sama Jokowi. Kemudian ada masalah di Jakarta soal kontrak karya
itu. Mereka ini kan sebenarnya hanya butuh kepastian. Kan 2021 sudah habis
kontraknya, cuma dari sekarang kan harus sudah ada kepastian. Jangan sudah
investasi banyak-banyak, sudah diresmikan, tiba-tiba 2021 putus. Itu kan yang
dipikirkan Freeport sebenarnya. Jadi kalau masalah ini, bukan hanya satu masalah
saja. Macam smelter, ini kan kepentingan pemda di sini, maunya di sini. Tapi
Freeport kan maunya di Gresik. Freeport bilang, “Mau bikin smelter bagaimana di
Timika? Lampu saja mati hidup mati hidup.” PLN-nya mendukung tidak. Berarti
kita harus bangun PLN lagi. Kemudian, yang CSR-nya Freeport sih sudah bagus
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
menurut saya. Tidak bisa pemerintah pusat mengambil alih dan menggantikan itu.
Paling dia seperti Pak Dahlan Iskan bilang, Pak Dahlan pernah menulis,
“Pemerintah ambil alih Freeport sih bisa sih bisa, tapi ujungnya apa? Mencari
perusahaan lain untuk menggantikan itu.” Ya sama saja. Sementara Freeport sudah
berikan fasilitas yang oke. Jadi kalau masalah-masalah yang mempengaruhi itu
aduh terlalu banyak, unsur kepentingan politiknya, apa segala macam,
kepentingan pemerintah, inilah.
N: Saya lihat aktor yang disalahkan selalu pemerintah pusat, apa alasannya?
L: Ya pemerintah pusat karena menurut mereka kan katanya kan pemerintah
daerahnya tidak dilibatkan. Di sini kan orang kalau bicara Freeport kan yang
paling utama itu hak ulayat. Hak ulayat itu kan diwakili dengan pemerintah
daerah, libatkan dong pemerintah daerah, Mimika. Jangankan Mimika, provinsi
saja tidak pernah. Itu sih yang dikeluhkan oleh pemerintah daerah ke pusat.
Sehingga akhirnya sekarang muncul keinginan bahwa Presdir-nya harus orang
Papua. Ya gara-gara itu.
N: Padahal secara kesiapan kita belum tahu?
L: Ya kita tidak tahu, bukan belum tahu lagi.
N: Bagaimana prosedur penempatan halaman berita di Radar Timika? Dan
Freeport sering sekali di headline ya?
L: Ya itu sudah, kita kembali mendukung suasananya kondusif saja. Kalau dia
beritanya bagus, tapi jangan salah, karena mereka (Freeport) membayar berita itu.
Untuk posisi headline.
N: Oo itu bayar?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
L: Biasanya. Tapi kadang kalau kami memang butuh berita itu ya gratis. Tapi
kadang tiba-tiba, tolong dong beritanya headline, pariwara istilahnya.
N: Saya tadi tanya Pak Rony dari manajemen, katanya, sekitar 800 juta per bulan
atau per tahun gitu ya?
L: Per tahun. Kalau tidak salah sekarang rata-rata sampai 1 M. Tapi itu kadang-
kadang tidak terserap habis itu.
N: Maksudnya?
L: Ya itu kan harus diserap dalam bentuk iklan, mereka tidak kasih gratis. Seperti
tadi saya bilang, headline. Headline itu kan misalnya mereka minta. Headline-nya
Radar Timika kan sebesar Rp 16.500.000,- masuk ke tagihan. Ditagihnya ya yang
sudah dialokasikan tadi itu. Makanya kadang kami sayang kalau tidak habis itu.
N: Jadi kalau bisa dihabisin ya?
L: Ya. Tahun ini syukur sekali karena mereka (Freeport) sudah susun program,
setiap bulan ada 2 advetorial, advetorial itu berita topiknya mereka siapkan, kami
yang wawancara. Kami beritakan dalam bentuk satu halaman. Beritanya panjang
sekitar 4 artikel dengan fotonya. Satu halaman full. Itu kena berapa ya...saya lupa.
(Orang) iklan yang tahu itu.
N: Kata Ibu Misba, yang wartawan mendapat fee 10 persen dari setiap berita itu
bagaimana pak?
L: Ya itu untuk wartawan yang membuat berita. Freeport yang
mengalokasikannya. Itu nanti dari manajemen Radar Timika yang lihat siapa yang
liput.
N: Wah itu lumayan sekali. Makanya saya tadi bilang ke Ibu Misba, wartawan di
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
sini bisa sejahtera sekali kalau rajin menulis tentang Freeport.
L: Makanya saya tadi bilang, ya alhamdulillah. Istilahnya kayak APBD-lah. Kita
sudah dialokasikan sekian, tinggal diserapnya bagaimana. Kita yang putar otak.
Freeport kalau tidak ada porgramnya, kita yang kesulitan. Kita lihat
perkembangannya di masyarakat. Terakhir kan kita lihat yang program malarianya
ini. Bagus kan? Kita coba ini dan direspon. Dan sekarang dalam proses
pembuatan. Jadi ide apa saja dari kita semua dari wartawan, lalu kita usulkan,
sampai kalau bisa habis sih semua itu 800 sampai 1 M itu. Dan Freeport senang
kalau habis. Dia lebih senang. Kalau itu habis, kan artinya mereka lihat produknya
banyak yang terbit nih. Merasa bahwa banyak diberitakan. Berarti kan opini
publik akan tercipta di situ. Dia akan senang dan dia bisa tambah lagi. Seperti itu,
itu Freeport.
N: Perusahaan itu cuman Freeport ya?
(OFF THE RECORD) L: Ya cuman Freeport saja. Dulu, Redpel saya dulu,
sekarang dia sudah tidak ada di sini, kami kena kasus dan dia diancam sama
Cepos. Ini off the record saja, untuk diketahui sajalah, jangan ke luar juga. Dia
bilang begini, dia dulu redpel dan ada di posisi saya, “Kalau kamu bisa mencari
perusahaan yang bisa membayar seperti Freeport, 800 juta satu tahun, terserah
kamu mau beritakan Freeport itu seperti apa. Kau bilang Freeport itu meracuni
orang kah. Silakan. Tapi syaratnya harus bisa cari perusahaan yang bisa kasih
dana segitu. Bisa tidak?” “Tidak bisalah, pak.” “Ya, makanya, tidak usah cari
masalah dengan Freeport.” Itu dari Cepos, kan kita anaknya Cepos.
N: Tapi ada hubungan kah Freeport dengan Jawa Pos secara grup?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
L: Kalau ini sih kayaknya belum. Soalnya kita juga pernah sampaikan itu ke
Freeport. Kenapa tidak beriklan di Jawa Pos grup? Karena dia kan semua daerah
ada, tinggal bayar saja iklan, ada100 lebih grup muat iklannya. Tapi kayaknya
belum, cuma kami di Papua saja, Cenderawasih Pos dan Radar Sorong. Biasanya
kegiatan Freeport di Sorong, mereka pariwara, kita juga dapat, kita beritakan juga.
N: Masalah limbah tailing ini memang jarang ya diberitakan?
L: Sekarang malah hampir tidak ada. Kalau dulu masih. Masalah limbah tailing itu
sudah tidak kedengaran lagi sih. Ya palingan kalau ada pun mereka langsung
demo ke perusahaan. Mungkin mereka tahu, ahh tidak mungkin diberitakan ini.
N: Saya ingin tanyakan juga masalah alur pemberian tugas sampai naik cetak.
Bisa tolong dijelaskan pak?
L: Awalnya kita setiap hari rapat pagi jam 8 pagi, itu adalah rapat penugasan
wartawan, yang hadir itu redaktur, redaktur pelaksana, pemred, dan wartawan.
Jam 8 ini kan juga jam masuk staf yang lain. Itu sampai jam 9, satu jam saja kita
batasi karena biasa pagi itu jadwal padat. Itu kita akan tugaskan wartawan sesuai
posnya. Ide berita dari redaktur, pemred, redpel ke wartawan. Redaktur adalah
perencana sebuah berita. Malamnya kita mau buat apa nih, kita sampaikan ke
wartawan. Nanti wartawan akan cari bahannya. Selain dari redaktur, di rapat itu
kita juga diskusi, karena kadang-kadang wartawan juga punya ide yang menarik.
Jadi kita lempar ke wartawan. Wartawan bebas bicara. Dari situ kita bisa lihat
ternyata ide wartawan lebih menarik, dia punya info begini begini. Dan wajib
mereka aktif. Selain itu, misalnya ada yang mengundang liputan di mana, itu
disampaikan di situ. Ada juga undangan yang masuk ke kantor, kita bagikan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
sesuai posnya. Nah itu rapat pagi, rapat perencanaan. Itu hari Senin. Selasa, sama,
tapi sebelumnya, kita evaluasi yang hari Senin. Penugasan seperti biasa. Kalau
misalnya tugas saat Senin tidak dapat, kalau bisa hari ini (Selasa) dapat, kita
tugaskan lagi. Setiap hari sampai Jumat, karena Sabtu kita libur.
N: Adakah rapat sore?
L: Dulu ada rapat sore, sekarang kita kasih pagi semua.
N: Setelah itu mereka liputan, setelah itu?
L: Setelah mereka selesai liputan, biasanya paling cepat mereka datang jam 12.
Biasanya itu wartawan ekonomi, karena mereka paling cari harga di pasar, harga
ikan. Kita deadline jam 5. Kenapa jam 5? Karena jam 5 sore, redaktur, redpel, dan
pemred rapat. Nanti kami akan bagi berita-berita yang sudah masuk. Misalnya,
ada satu wartawan menulis tiga berita, berita ini langsung masuk ke dalam buku
listing berita untuk penempatan halaman. Itu rapat jam 5. Setelah listing,
wartawan kan sudah mengetik tuh, dan sudah kasih masuk ke server-nya masing-
masing, satu wartawan punya log in-nya sendiri. Dia kasih masuk berita sesuai
dengan yang dia listing. Kami redaktur punya log in juga yang bisa mengakses ke
seluruh wartawan. Tapi kami tidak bisa menyimpan berita di wartawan punya log
in, tidak bisa mengubah wartawan punya berita. Kami hanya bisa ambil, edit, dan
simpan di log in kami sendiri. Karena kalau ada masalah hukum, nanti bisa
diselediki. Misalnya, nulis Freeport yang tidak imbang, ini munculnya dari mana?
Redaktur bilang, wartawannya memang nulis begitu. Dilihat dulu, wartawan
punya log in, kan tidak bisa diubah. Wah ini beritanya wartawan seperti ini.
Ketahuan, berarti redakturnya yang lupa. Jadi, walaupun bisa akses wartawan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
punya log in, dia tidak bisa merubah. Dia hanya bisa ambil, edit, dan simpan di
log in-nya. Nanti setelah kami edit, deadline sekitar jam 8 malam itu sudah masuk
k e lay out. Biasa sesi satu yang metro, halaman 9 sampai 16. Sesi satu masuk
biasa ke percetakan jam 12. Lalu begitu itu selesai, nanti sesi dua halaman 1
sampai 8. Jam 5 biasa sudah selesai semua. Jam 5 biasa pemasaran sudah datang,
pemasaran ini loper-loper koran. Ada 5 loper koran kalau tidak salah, mereka ada
yang tugas ke bawah, ke Kuala, ke dalam kota, ke gorong-gorong.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Pertanyaan untuk Wartawan Radar Timika
1. Bagaimana tahap atau proses sampai Anda bisa masuk menjadi wartawan
di Radar Timika? (melalui tes, interview, dsb)
2. Sudah berapa lama Anda bekerja di Radar Timika?
3. Sebelumnya bekerja di mana?
4. Mengapa Anda memilih bergabung dengan Radar Timika?
5. Apakah Anda merupakan wartawan kontributor atau reporter tetap di
Radar Timika?
6. Apa pendapat Anda mengenai kinerja dan sinergi kerja yang terjadi di
Radar Timika?
7. Adakah ideologi Radar Timika yang diterapkan.ditanmkan dalam benak
Anda sebagai pekerjanya? Ideologi seperti apa? Setujukah Anda dengan
ideologi tersebut?
8. Hal apa yang membuat Anda merasa bangga menjadi salah satu bagian
dari Radar Timika?
9. Ketika Anda bekerja di Radar Timika, apakah Anda merasa bahwa Anda
tidak menulis secara bebas, artinya banyak perubahan-perubahan yang
dilakukan terhadap tulisan yang Anda buat untuk memenuhi kepentingan-
kepentingan kelompok tertentu?
10. Apakah pernah ada pengalaman Anda menulis sesuatu tapi tidak dimuat
11. Biasanya apa alasannya tulisan Anda oleh Radar Timika tidak dimuat?
12. Di Radar Timika, apa alasannya tulisan Anda dikatakan layak cetak (selain
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
5W+1H dan berita itu menarik)?
13. Adakah syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi, berkaitan dengan
ideologi Radar Timika?
14. Anda bisa jelaskan alurnya, bagaimana berita yang ditulis bisa layak cetak
(proses apa saja yang harus dilalui hingga berita itu sampai dicetak di
Radar Timika)?
15. Adakah pembagian tugas antara rekan wartawan sendiri yang dilakukan di
luar rapat redaksi?
— (Menuju Perpanjangan KK Freeport dan UU Minerba. Saya sudah
membagi pemberitaan menjadi 4 kategori: Perpanjangan KK Freeport,
Pembangunan Smelter Freeport, Aksi Demo/Aksi Mogok Karyawan
Freeport, Pembangunan oleh Freeport)
16. Persiapan seperti apa yang Anda lakukan untuk diri Anda sendiri sebelum
melakukan tugas peliputan, khususnya liputan terkait PT Freeport
Indonesia? (Draft pertanyaan, angle apa yang akan diangkat, dll)
17. Menurut Anda bagaimana Radar Timika menyikapi setiap pemberitaan
terkait PT Freeport Indonesia? (mengingat Radar Timika merupakan satu-
satunya SKH yang berada di daerah PT Freeport berdiri)
18. Adakah larangan/pantangan-pantangan yang diberikan Radar Timika
kepada Anda ketika meliput pemberitaan tentang PT Freeport Indonesia?
Jika, ya, larangan seperti apa?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
19. Bagaimana prosedur atau kriteria yang dipakai dalam menentukan berita
terkait PT Freeport yang layak terbit?
20. Menurut Anda, bagaimana sikap/respon masyarakat terhadap Radar
Timika khususnya dalam memberitakan mengenai PT Freeport Indonesia?
21. Bagaimana pendapat pribadi Anda mengenai: Perpanjangan KK
Freeport, Pembangunan Smelter Freeport, Aksi Demo/Aksi Mogok
Karyawan Freeport, Pembangunan oleh Freeport ?
22. Menurut Anda, apakah empat kategori yang saya sebutkan di atas dapat
dikategorikan sebagai kasus politik, hukum, kemanusiaan, atau apa?
23. Bagaimana sikap Radar Timika dalam menghadapi peristiwa-peristiwa
konflik terkait Freeport (hak ulayat dan lingkungan) dan pemerintah pusat
karena telah mengesahkan UU Minerba dan menggantungkan
perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia? Mengingat Radar
Timika merupakan salah satu media cetak terbesar di yang ada di Timika-
salah satu daerah rawan konflik)
24. Menurut Anda, adakah faktor ataupun aktor luar yang mempengaruhi
konflik Freeport ini? Kepentingan seperti apa itu? (politik, sosial?)
25. Menurut Anda, apa penyebab masalah sering terjadinya konflik dalam
pemberitaan di PT Freeport Indonesia?
26. Lalu, menurut Anda apa penjelasan atau alasan yang tepat sebagai
penyebab terjadinya konflik tersebut?
27. Menurut Anda, adakah orang/pihak yang patut bertanggung jawab atas
konflik Freeport?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
28. Pemerintah pusat selalu disalahkan, siapa yang dimaksud dengan
pemerintah pusat? Presiden? Pengesah UU Minerba? Yang berwenang
dalam perpanjangan kontrak karya PTFI?
29. Apa latar belakang/alasan/pertimbangan Anda dalam memilih narasumber
yang akan dimintai keterangan? (khususnya terkait pemberitaan PT
Freeport Indonesia)
30. Apakah pemil ihan s iapa narasumber yang akan d imin ta i
kterangan/pendapatnya sudah ditentukan dalam rapat redaksi?
31. Pertanyaan seputar apa yang ditanyakan kepada narsumber tersebut?
(pertanyaan yang menjebak, meminta solusi, pendapat pribadi, atau yang
bagaimana?)
32. Berdasarkan pengalaman dan hemat Anda, solusi seperti apakah yang
cocok untuk keempat kategori di atas?
33. Setiap pemberitaan terkait PT Freeport Indonesia, apakah Anda
mendapatkan langsung dari lapangan atau melalui wawancara dengan
pemerintah, wawancara dengan Freeport?
34. Seberapa pentingkah pemerintah daerah perlu menjadi sumber?
35. Seberapa pentingkah pemerintah pusat perlu menjadi sumber?
36. Seberapa pentingkah PT Freeport Indonesia perlu menjadi sumber?
37. Apakah pernah memberitakan terkait lingkungan terdampak dari PT
Freeport?
38. Seberapa pentingkah masyarakat yang terkena dampak tailing Freeport
atau yang menolak perpanjangan kontrak karya Freeport perlu menjadi
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
sumber?
39. Apakah berita tentang Freeport termasuk berita yang paling diminati
masyarakat dan menduduki minat pembaca tertinggi?
40. Apakah yang Anda lakukan untuk menjaga objektivitas berita? Ataukah
Anda punya pendapat tersendiri tentang objektivitas berita?
41. Apakah pernah ada beda pendapat dengan redaktur dan pimpinan redaksi
dalam memberitakan PT Freeport Indonesia?
42. Sudah berapa lama Anda mendalami kasus PT Freeport Indonesia?
43. Apa saran, kritik, atau masukan yang Anda berikan untuk Radar Timika?
(secara umum dan khususnya dalam menghadapi pemberitaan tentang PT
Freeport Indonesia)
44. Apakah Anda memiliki kisah tersendiri ketika meliput pemberitaan terkait
PT Freeport Indonesia dari kategori di atas?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Pertanyaan untuk Redaktur Pelaksana Radar Timika
1. Bagaimana kisahnya sampai Anda bisa bergabung dengan Radar Timika
2. Mengapa Anda memilih Radar Timika sebagai tempat berkarir Anda?
3. Apa pendapat Anda mengenai kinerja dan sinergi kerja yang terjadi di
Radar Timika?
4. Apa motto kerja dari Radar Timika? Apakah Anda terapkan dalam
menjalankan tugas sebagai Redaktur?
5. Adakah ideologi Radar Timika yang diterapkan/ditanmakan dalam benak
Anda seabgai pekerjanya? Ideologi seperti apa? Setujukah Anda dengan
ideologi tersebut?
6. Hal apa yang membuat Anda merasa bangga menjadi salah satu bagian
dari Radar Timika?
7. Menurut Anda, apa hambatan dan tantangan bagi Radar Timika sebagai
satu-satunya media cetak harian yang ada di Timika, Papua?
8. Menurut pengalaman dan hemat Anda, hal-hal/jenis berita seperti apa yang
paling disukai, diminati, dan menarik perhatian pembaca (masyarakat
Timika)?
— (Menuju Perpanjangan KK Freeport dan UU Minerba. Saya sudah membagi
pemberitaan menjadi 4 kategori: Perpanjangan KK Freeport, Pembangunan
Smelter Freeport, Aksi Demo/Aksi Mogok Karyawan Freeport, Pembangunan
oleh Freeport)
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
9. Menurut Anda bagaimana Radar Timika menyikapi setiap pemberitaan
terkait PT Freeport Indonesia? (mengingat Radar Timika merupakan satu-
satunya SKH yang berada di daerah PT Freeport berdiri)
10. Bagaimana prosedur atau kriteria yang dipakai dalam menentukan berita
terkait PT Freeport yang layak terbit?
11. Menurut Anda, bagaimana sikap/respon masyarakat terhadap Radar
Timika khususnya dalam memberitakan mengenai PT Freeport Indonesia?
12. Bagaimana pendapat pribadi Anda mengenai: Perpanjangan KK
Freeport, Pembangunan Smelter Freeport, Aksi Demo/Aksi Mogok
Karyawan Freeport, Pembangunan oleh Freeport ?
13. Menurut Anda, apakah empat kategori yang saya sebutkan di atas dapat
dikategorikan sebagai kasus politik, hukum, kemanusiaan, atau apa?
14. Bagaimana sikap Radar Timika dalam menghadapi peristiwa-peristiwa
konflik terkait Freeport (hak ulayat dan lingkungan) dan pemerintah pusat
karena telah mengesahkan UU Minerba dan menggantungkan
perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia? Mengingat Radar
Timika merupakan salah satu media cetak terbesar di yang ada di Timika-
salah satu daerah rawan konflik)
15. Apakah berita tentang Freeport termasuk berita yang paling diminati
masyarakat dan menduduki minat pembaca tertinggi?
16. Bagaimana prosedur penempatan berita Freeport dalam halaman Radar
Timika?
17. Apa saran, kritik, atau masukan yang Anda berikan untuk Radar Timika?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
(secara umum dan khususnya dalam menghadapi pemberitaan tentang PT
Freeport Indonesia)
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Pertanyaan untuk Pimpinan Redaksi Radar Timika
1. Bagaimana kisahnya sampai Anda bisa bergabung dengan Radar Timika?
2. Mengapa Anda memilih Radar Timika sebagai tempat berkarir Anda?
3. Bagaimana hubungan antara Radar Timika dengan Jawa Pos (sebagai
induk media)? Jalinan kerja sama yang seperti apa yang dibangun?
4. Bagaimana sistim pembagian hasil/profit antara Radar Timika dengan
Jawa Pos?
5. Apa motto kerja dari Radar Timika?
6. Ideologi apa yang dianut oleh Radar Timika?
7. Apakah motto dan ideologi tersebut ditularkan dan ditanamkan kepada
para pekerja Radar Timika? (wartawan, redaktur, karyawan, staff, dll)
8. Apakah ideologi Radar Timika menganut atau mengadopsi ideologi dari
Jawa Pos? Mengapa?
9. Adakah alasan tersendiri dari Jawa Pos dalam menempatkan diri sebagai
Surat Kabar Harian Lokal di tanah Timika, Papua ini?
10. Adakah faktor organisasi lain yang berkerja sama dengan Radar Timika?
(baik pemerintah maupun swasta) - hubungan kerja sama yang seperti apa?
11. Apakah hubungan kerja sama tersebut (no. 10) mempengaruhi pola kerja
dan ideologi dari Radar Timika?
12. Bagaimana dengan para pengiklan yang juga merupakan salah satu
penyumbang dana bagi berlangsungnya hidup Radar Timika, dalam hal ini
PT Freeport Indonesia?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
13. Apakah para pengiklan tersebut turut mempengaruhi ideologi dan pola
kerja Radar Timika?
14. Adakah pesaing/kompetitor bagi Radar Timika? (baik media cetak,
elektronik, atau apa saja)
15. Bagaimana cara/strategi Anda dalam membangun sinergi dan pola kerja
bagi para karyawan Anda (khususnya para wartawan dan redaktur dalam
memproduksi berita)
16. Apa hal terpenting yang selalu Anda ingatkan dan tekankan kepada para
wartawan dan redaktur Radar Timika?
17. Apa tantangan terbesar bagi diri Anda sendiri dalam menjalankan profesi
sebagai Pimpinan Redaksi Radar Timika?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Pertanyaan untuk Pembina Radar Timika dan CEO Jawa Pos
Bapak Dahlan Iskan
1. Bagaimana hubungan antara Jawa Pos dengan Radar Timika (sebagai
induk media)? Jalinan kerja sama yang seperti apa yang dibangun?
2. Ideologi apa yang telah dan ingin Bapak tanamkan pada Jawa Pos, secara
khusus bagi Radar Timika sebagai surat kabar harian lokal di Timika
(Papua)?
3. Bagaimana cara atau strategi Bapak dalam menanamkan ideologi tersebut
kepada para karyawan Bapak, secara khusus kepada General Manager dan
Pemimpin Redaksi Radar Timika?
4. Adakah alasan tersendiri dari Jawa Pos dalam menempatkan diri sebagai
surat kabar harian lokal di Timika dengan didirikannya Radar Timika?
5. Adakah pesan khusus yang Bapak berikan kepada General Manager dan
Pemimpin Redaksi Radar Timika terlebih kita tahu bahwa di Timika
sangat rawan konflik dan sarat kepentingan PT Freeport Indonesia sebagai
pengiklan terbesar di Radar Timika?
6. Bagaimana cara atau strategi Bapak dalam membangun sinergi dan pola
kerja bagi para karyawan Bapak (secara khusus dalam hal memproduksi
berita)?
7. Apa hal terpenting yang selalu Bapak ingatkan kepada para General
Manager dan Pemimpin Redaksi di Jawa Pos Group, khususnya Radar
Timika?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
8. Apa tantangan terbesar bagi diri Bapak sendiri dalam menjalankan profesi
sebagai Pembina Radar Timika dan CEO Jawa Pos saat ini?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Pertanyaan untuk Aktivis Lingkungan dan Mantan Direktur Nasional
WALHI
Bapak Berry Nahdian Forqan
1. Apakah Bapak pernah melihat secara langsung dan meneliti bagaimana
dampak dari limbah tailing Freeport? Adakah halangan atau tantangan
(seperti, keamanan, akses masuk, dan lain-lain)?
2. Apa pendapat Bapak mengenai pencemaran lingkungan yang terjadi
karena limbah tailing Freeport?
3. Freeport telah menyatakan bahwa pengelolaan limbah tailing-nya sudah
sesuai AMDAL dan mendapatkan sertifikasi ISO 14001 sejak tahun 2001.
Lalu, apa yang salah dengan pengelolaan limbah tailing Freeport sampai
saat ini?
4. Kasus limbah tailing Freeport ini sudah menjadi masalah dari tahun ke
tahun, bahkan WALHI pernah menggugat Freeport karena terbukti
melakukan pencemaran lingkungan. Lalu, bagaimana tindak lanjut dari
gugatan tersebut hingga saat ini?
5. Bagaimana reaksi dari Freeport dan Pemerintah Indonesia setelah gugatan
WALHI tersebut terbukti?
6. Setelah gugatan itu terbukti, WALHI menuntut permintaan maaf Freeport
kepada masyarakat Indonesia secara terbuka. Apakah hal itu sudah
dilakukan oleh Freeport? Apakah hal itu dirasa cukup untuk
menyelesaikan permasalahan lingkungan yang terjadi?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
7. Menurut Bapak, siapa orang atau pihak yang patut bertanggung jawab atas
terjadinya pencemaran lingkungan karena limbah tailing Freeport? Apakah
Pemerintah Indonesia karena telah memberikan izin pembuangan tailing ke
sungai Ajkwa atau Freeport sendiri?
8. Menurut Bapak, mengapa kasus tentang pencemaran lingkungan karena
limbah tailing Freeport ini tidak menjadi kasus yang serius dan
diperbincangkan oleh pemerintah Indonesia? Adakah faktor-faktor yang
mempengaruhi hal tersebut?
9. Menurut Bapak, apakah selama ini media (surat kabar) sudah
memberitakan masalah lingkungan karena limbah tailing Freeport dengan
benar? (Baik media nasional, maupun media lokal)
10. WALHI pernah mengeluarkan rekomendasi untuk Freeport agar
mengurangi produksi, namun tidak dilakukan oleh Freeport. Adakah
penjelasan mengenai hal ini? Apakah Bapak memiliki rekomendasi lain
saat ini untuk Freeport?
11. Apa rekomendasi yang ingin Bapak berikan kepada Pemerintah Indonesia
terkait pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh Freeport?
12. Apa tantangan terbesar bagi diri Bapak sebagai aktivis lingkungan dalam
meneliti kasus pencemaran lingkungan karena limbah tailing Freeport ini?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Wawancara Langsung
Pemimpin Redaksi Radar Timika Octovianus Danunan
N: Sibuk apa pak saat ini?
O: Sibuknya itu menghadapi wartawan yang suka kadang kala aneh-aneh gitu.
Wartawan itu seperti mesin yang liar yang harus di-setting. Kalau dia tidak ditaruh
oli, dia tidak akan bisa berputar. Kadang kala kalau digas terlalu tinggi, dia akan
kebablasan. Dan kadang kala kalau tidak disetir, dia akan lari ke mana-mana.
Itulah beratnya menyetir media. Banyak orang tidak mau bergerak di bidang usaha
ini. Karena hanya melihat dari sisi bisnisnya. Tidak melihat dari sisi manfaatnya
terhadap bangsa dan negara. Cuma kadang kala media tidak diperhatikan bangsa
dan negara. Dianggap melawan, karena memang media banyak yang salah dalam
memahami tugas pokoknya. Memang media ini serba salah. Susah sekali.
N: Serba salah bagaimana pak?
O: Salahnya begini, ketika dia menjalankan tugas utamanya sebagaimana amanah
Undang-Undang Dasar 1945 itu dia tidak bisa hidup, dia tidak bisa membiayai
operasionalnya. Tapi ketika kita lebih memperhitungkan kepada biaya operasional
atau biaya hidup, maka untuk menjalankan Undang-Undang itu juga susah.
Karena kita harus memihak kepada pemilik uang. Di situ bingungnya. Bingungnya
di situ.
N: Dalam artian pengiklan seperti itu? Atau pemilik media?
O: Ya, pendapatan koran ini kan iklan. Tapi kan ada pendapatan lain, kerja sama
dan sebagainya. Tapi kita berupaya untuk meyakinkan mereka, ya maaf kita kritik,
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
uang anda punya uang tapi tetap kita kritik gitu lho. Anehnya di situ. Di sinilah
media ini pandai-pandai bawa diri supaya tidak keluar daripada rel atau regulasi.
Dia harus berani mengkritik orang yang memberinya uang. Di situ tingkat
kesulitannya. Tapi, bisa. Asalkan, kita mampu meyakinkan kepada mereka bahwa
jurnalistik itu seperti ini. Harus dipisahkan antara iklan dan jurnalistik, pers,
redaksinya. Kalau kita bicara managment, ya tidak bisa dicampuraduk dengan
redaksi. Karena redaksi itu merupakan komponen tersendiri di dalam perusahaan
ini. Tapi dia ada di dalam lingkup perusahaan. Ya dia ada dalam lingkup
managment.Ya, itu itu sulitnya. Kalau saya itu ya alhamdulillah 20 tahun lebih di
media dan saya berawal dari organik, wartawan di lapangan. Kemudian sudah ke
daerah-daerah, seperti ke Nabire. Saya pernah jadi biro di daerah, kemudian di
Biak. Ya itu artinya tugas menetap ya di daerah selama dua sampai tiga tahun.
Kemudian kalau tugas organik lainnya yang sifatnya tidak tetap, seluruh Papua
sudah saya injak. Petualangannya di situ yang tidak mungkin saya dapat dalam
nilai uang. Artinya, paling tidak memahami Papua inilah yang paling saya
bahagia, baik dari karakteristik daerahnya, topografinya, maupun budayanya, adat-
istiadatnya. Saya sungguh menikmati. Yang tidak bisa saya bandingkan dengan
harta apapun. Itu yang saya beruntung di Papua itu. Setelah itu saya dicoba ditarik
oleh Jawa Pos untuk mengelola managment. Maka saya bentuklah Radar Timika
itu memang betul-betul murni dari doktrin yang saya bangun. Dari tahun 2000
saya mulai, tapi 2001 diresmikan. Tapi sebenarnya kegiatan saya Desember tahun
2000 sudah jalan. Kaderisasi sudah berjalan. Wartawan saya sudah jalan. Nah,
tahun 2001 bulan Mei tanggal 14 baru diresmikan. Jadi, empat bulan penuh itu
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
saya persiapkan, baik dari segi fisik, dari segi teknik, baik dari segi filosofi,
menanamkan nilai, prinsip kejujuran, pengabdian kepada bangsa. Wartawan yang
saya didik itu betul-betul bangun berdasarkan sudut pandang nasionalisme itu.
Saya tidak mengajari dulu bagaimana menulis berita. Tapi saya doktrin dulu
apakah dan kewajiban mengapa kita jadi wartawan, apa dasar hukumnya, apa
akibatnya kalau kita berkhianat, sampai kepada aplikasinya bahwa media itu
adalah pengijawantahan daripada Undang-Undang, Pancasila. Jadi mereka seperti
obor. Dia seperti kalau negara atau daerah ini tidak ada wartawan, negara ini akan
seperti orang buta, tuli, dan orang bisu tanpa media. Tapi media yang
menyalahgunakan tugasnya, maka dia pengkhianat bangsa. Itu saya ajarin mereka.
N: Bermula dari berapa wartawan pak?
O: Saya pertama mendidik wartawan itu lima. Sekarang sisanya sudah tidak ada
jadi wartawan lagi sih. Nah, setelah saya bangun Radar Timika itu dengan penuh
doktrin dan prinsip-prinsip yang baik, saya rasa Radar Timika itu sebuah pilot
proyek daripada koran di Indonesia. Karena orang-orangnya itu sangat militan.
Sangat penuh dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang sehat. Jurnalisme yang
damai seperti apa. Cuman karena dia ada di daerah ya hanya sebatas di dalam situ.
Tapi sebetulnya bisa dijabarkan di luar seperti apa sih menjalankan, baik dari sisi
managment-nya, kita kuat. Kuat sekali. Setelah saya 20 tahun mengabdi dan 15
tahun menjalani di Radar Timika, saya kembali lagi kepada hitung-hitungan diri
saya pribadi. Kalau saya sudah berbuat banyak, lalu pertama kalau saya di sini
terus, lima tahun akan datang saya pensiun. Itu pesangon yang saya terima sama.
Jadi, saya hitung-hitung kalau saya keluar dari Radar Timika itu ya lima tahun
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
akan datang pesangon saya tetap sama kan, sudah mentok kan. Kan 19 tahun kalau
di swasta kan. Terus yang kedua pas lagi di atas puncak waktu itu Radar (Timika)
dari segi laba, dari segi hasil usaha sudah di atas. Terus pas dari sisi kesiapan
kader, inilah yang terbaik selama saya 15 tahun, kader-kader yang saya tinggali ini
yang terbaik. Dari segi kapabilitas, tapi loyalitas, prinsip-prinsip dasar mereka
sudah sangat paham, prinsip kerja sudah sangat paham. Jadi, saya tinggalkan
dalam keadaan sangat baik. Sangat siap. Uangnya cukup. Bahan bakunya saya
lengkapi semua dulu. Kemudian, saya minta diaudit sama tim audit oleh tim
independen. Saya tidak mau diaudit oleh orang Jawa Pos. Karena bisa jadi orang
berpikir bahwa karena temannya. Tapi saya minta orang luar yang ditunjuk oleh
orang lain. Jadi tim audit independen dari Makassar. Dari pihak ketiga. Dan saya
tidak kenal orangnya. Nanti dia datang ke sini, itu pun saya tidak mau fasilitasi.
Pokoknya nanti kamu dibayar sama Jawa Pos. Saya diaudit. Alhamdulillah, saya
keluar dengan nama yang bersih. Dan saya berani menulis di..ada tulisan saya
nanti anda copy, waktu saya mau keluar itu, menulis di publik bahwa saya keluar
itu dengan bangga karena berani menolak berbagai macam sogok, suap, dan
sebagainya. Saya tulis di publik itu karena pasti kalau orang baca, kalau ada yang
suap saya, “Bohong, saya pernah.” Tapi karena saya menulis di publik karena saya
merasa tidak pernah menerima suap. Artinya saya keluar dengan penuh
kemerdekaan, penuh kebanggaan dari harian Radar Timika.
N: Walaupun banyak yang mencoba untuk melakukan hal itu?
O: Oo namanya manusia itu tidak akan pernah....saya masuk di sini aja masih
difitnah bahwa sedang buron polisi karena bermasalah dengan Radar Timika. Tapi
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
saya bilang, “Itu dinamika, biasalah.” Secara psikologis, saya datang ke sini
(Harian Papua) tiba-tiba menjadi pemimpin di sini kan teman-teman sudah lama
di sini jelas tidak terima saya. Siapa saya juga.
N: Bapak di sini (Harian Papua) sebagai apa?
M: Saya di sini mengambil alih manajemen sebagai Direktur Pelaksana. Ada
Direktur secara hukum kan saya tidak bisa gantikan. Tapi beliau menyerahkan
kepada saya tugasnya dia untuk memperbaiki manajemen di sini. Alhamdulillah,
empat bulan saya masuk ke sini sudah mulai ada tanda-tanda membaik dari sisi
langganan, dari sisi iklan, dari sisi manajemen, sudah mulai terpimpin. Dan itulah
tujuan saya. Kalau Radar Timika bisa saya besarkan, bukan saya yang dibesarkan
oleh Radar Timika, kenapa Harian Papua saya tidak bisa besarkan juga. Dan
kalau saya bisa kuasai, bisa mendidik dan membesarkan dua media ini artinya kan
peran saya untuk dalam hal edukasi, prinsip-prinsip lokal di sini, ya kita kan
belum bisa berarti di tempat luar ya, cukup di Timika dulu lah. Saya akan pensiun
dengan damai ketika saya bisa membawa dua media ini dan mendidik
wartawannya menjadi wartawan-wartawan yang handal, bisa dipercaya, pegang
prinsip, jurnalis yang baik, sehat, dan punya dasar yang kuat. Itu yang jadi cita-
cita saya sebelum saya akan pensiun lima tahun akan datang.
N: Berbicara masalah Radar Timika, apakah ketika bapak memimpin ada faktor
organisasi atau kepentingan-kepentingan lain, seperti perusahaan-perusahaan atau
bahkan Jawa Pos sendiri dalam memberitakan sesuatu?
O: Akhir-akhir, iya. Ketika Pak Dahlan mulai berpolitik. Kadang kala Pak Dahlan
secara tidak langsung, tidak meminta tapi tekanan dari grup lain ini pada saat
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
rapat-rapat evaluasi kita disindir gitu lho. Walaupun Pak Dahlan waktu itu selalu
menyatakan bahwa anda profesional, tapi secara grup itu sangat terasa sekali
atmosfernya bahwa kita sangat tidak fair lah waktu itu. Selalu melebih-lebihkan
Pak Dahlan. Saya rasa Jawa Pos itu ketika Pak Dahlan mulai berpolitik sudah
kehilangan jati diri. Bukan karena saya keluar dari Jawa Pos ya. Saya cinta sama
Jawa Pos sampai sekarang. Tapi saya dibesarkan oleh Jawa Pos. Ibu saya itu
Jawa Pos. Tapi ketika Pak Dahlan mulai terjun ke dunia politik, orang-orang yang
bagaimanapun juga kita loyal ya. Kita diciptakan oleh Pak Dahlan. Tapi secara
hati nurani saya mengatakan bahwa ini sudah salah. Tapi secara langsung, enggak.
Tapi secara psikologi, kadang kala kita merasa tidak enak kalau itu, sehingga ada
sedikit tekanan di situ. Tapi secara keuangan itu yang saya salut dari Jawa Pos itu
karena kita diberikan kepercayaan itu mengelola keuangan sendiri. Hanya mereka
pada akhir tahun, mereka minta uang itu. “Uang mu berapa?” “5 M, pak.” “Udah,
saya ambil 2 M ya.” Nah, 2 M itu ya dibagi kepada para pemegang saham, juga
kepada Direksi, dan kadang dibagi rata.
N: Ooo dibagi rata?
O: Ya, dibagi rata. Termasuk saya. Jadi kalau misalnya, dulu di Radar (Timika) itu
biasa paling kurang itu dibagi 1 M dibagi lima, Pak Dahlan, kemudian Pak Suyoto
sebagai Direktur Utama, kemudian Pak Zainal Muttaqin sebagai Direktur Jawa
Pos, kemudian Ibu Nurul dan saya. Nah, itu biasanya. Dan itu hebatnya di Jawa
Pos di situ. Nah, itu lain ke karyawan. Karyawan itu selalu diambil 20 persen dari
katakanlah 5 M diambil 1 M untungnya. Jadi memang di situ kehebatan Jawa Pos.
Dan diberikan otonom kepada pemimpinnya di daerah.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Karena tidak dimungkiri Radar Timika hidup dari iklan juga kan pak, dan
perusahaan paling besar mengiklan di situ kan Freeport. Nah, bagaimana bapak
menyikapi hal itu? Apakah mempengaruhi pola kerja saat itu?
O: Hmmm...memang satu trik yang kita lakukan itu adalah memberikan komisi
kita kepada wartawan. Yang 10 persen setelah pajak (setiap satu berita). Karena
kalau tidak seperti itu ya itu tadi dilema kan. Kita mau mendapatkan iklan, susah.
Karena memang melalui wartawan lah kadang kala lebih mudah pendekatannya,
lebih dekat. Tapi itu hanya pada iklan-iklan tertentu saja, seperti iklan-iklan
ucapan, pariwara. Tapi saya selalu menjelaskan kepada kawan-kawan bahwa iklan
dengan berita itu sangat jauh berbeda. Iklan itu berdasarkan kesadaran mereka dan
jangan dipaksa, ditawari saja. Tapi ketika berbicara soal berita, ya itu harus
merujuk kepada aturan dan perundang-undangan kode etik jurnalistik. Jadi kalau
memang salah ya kita datang mengkritiknya tentu dengan cara mengkonfirmasi
gitu lho. Walaupun dia pasang iklan di kita. Dan itu tidak boleh tidak. Tapi ketika
kita bicara iklan ya, itu kita omongin. Misalnya, jangan melanggar kode etik. Ya
itu yang kita lakukan.
N: Dan sejauh ini berjalan lancar?
O: Lancar. Tergantung pemimpinnya sih. Bagaimana menjelaskan itu supaya
jangan kita melanggar kode etik, tapi dia bisa menjelaskan fungsi lain daripada
wartawan itu membantu perusahaan. Kenapa harus begitu? Karena ya memang,
kita hidupnya dari iklan. Kita tidak ada subsidi dari pemerintah. Nah, sementara
biaya produksi, biaya operasional daripada media itu kan berat sekali. Utamanya
bahan baku. Bahan baku dengan gaji karyawan saja itu sudah menghabiskan 80
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
persen dari seluruh penghasilan. Kalau ada sisa itu iklan akhir tahun. Gaji saja kita
harus dalam 30 orang karyawan itu 100 juta lebih. Jadi target anggaran dalam
setahun untuk media tipe D atau tipe E di daerah-daerah kayak gini kan kalau
karyawan yang lebih dari 30 sudah ngos-ngosan. Karena kita harus menggaji
orang berdasarkan peraturan dan kemanusiaan. Kalau peraturannya tidak cukup,
dilihat dari sisi kemanusiaannya. Apalagi, biaya hidup di Timika ini mahal sekali.
Nah, kalau kita menggaji hanya UMP (Upah Minimal Provinsi), kasian nggak bisa
hidup. Oleh sebab itu, kita harus mencarikan cara supaya mereka produktif, tidak
merugikan perusahaan. Ya harus, macam saya di sini kan akal-akalannya kan saya
tidak perlu merekrut fotografer, tapi saya bayar mereka punya hasil foto yang
bagus. Kemudian, fotonya yang headline, itu saya bayar lebih dibanding yang
hanya tiga kolom. Jadi itu yang kita lakukan ya.
N: Apakah sebagai pengiklan, PT Freeport mempengaruhi ideologi bapak?
O: Tidak.
N: Tidak ada larangan-larangan ketika meliput? Kamu boleh meliput ini, kamu
tidak boleh meliput ini, begitu?
O: Kita membuat komitmen. Sebelum kita bekerja sama kita membuat komitmen.
N: Sebelum MoU itu?
O: Ya. Jadi MoU itu kan bagian dari kerja sama manajemen. Tapi redaksi punya
prinsip-prinsip bahwa kita menjaga hubungan, tapi bukan berarti tidak bisa
dikritik. Dan cara kita mengkritik ya seperti ini begitu lho. Kalau anda setuju ya
kita jalan. Jelas sekali. Dan saya adalah salah satu yang memotivasi karyawan
saya untuk melakukan kritik yang membangun, kritik yang baik, tapi jangan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
sampai kritiknya tidak bermartabat, emosi, dan sebagainya. Itu saya awasi. Dan
saya masuk ke sini (Harian Papua), yang paling sulit saya rubah itu kan mindset
teman-teman terhadap Freeport Indonesia. Ada semacam berpikir bahwa Freeport
ini perlu ditekan dan sebagainya. Saya bilang menekan itu kan kurang profesional.
Kalau ada yang perlu kita kritik, ya dikritik. Tentu dikonfirmasi. Tapi kalau ada
yang bagus, ya angkat yang bagus. Kenapa tidak? Kan itu media gitu lho. Yang
bagus angkat, yang negatif konfirmasi. Negatifnya lihat dulu masuk akal nggak.
Kadang kala kan negatif juga muncul karena kepentingan. Jadi dia merasa
disepelekan, dikeluarkan dari...persis dengan Roy Suryo. Ketika dia dulu diangkat
menjadi Menteri SBY, Roy Suryo itu kan menjadi anak manis, berwibawa.
Sekarang ini kan Roy Suryo jadi anak kecil gitu lho. Membabi buta karena dia
tidak diangkat menjadi Menteri sama Jokowi. Hehehe jadi dungu. Saya jadi
bingung lihat mereka. Ya seperti itulah. Kadang kala orang kalau punya
kepentingan yang tidak diakomodasi, jadi dungu, jadi anak kecil, jadi tidak tahu
aturan, jadi temperamental. Nah itu. Itu pasti. Apalagi, Freeport. Apalagi, Pemda.
Itu biasa. Kadang kala media ini kan mau diperalat. Tapi itulah hebatnya saya
karena tidak mau menerima apapun. Dan saya selalu menjaga nama baik saya di
depan bawahan saya. Itu yang paling saya jaga. Jangan sampai bawahan saya
melihat saya bodoh. Jangan sampai bawahan saya melihat saya tuh tidak paham
jurnalistik. Jangan sampai bawahan saya tuh melihat saya membina hubungan
khusus untuk saya bela-bela. Jangan sampai bawahan saya tahu bahwa saya itu
makan gaji. Jangan sampai..jangan sampai..jangan sampai. Sehingga saya enak
memimpin. Enak menyetir. Aturan sangat jelas. Kalau melanggar, terima amplop,
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
maaf. Kamu ambil satu koran lempar pun maaf. Itu bukan teman saya. Saya bilang
begitu. Kejujuran. Kamu kerja itu ibadah. Jadi itulah enaknya. Jadi saya enak.
Saya tanpa beban kepada siapapun, sama Bupati, sama siapa. Dan saya ke
Freeport, saya begitu berwibawa. Sehingga banyaklah goal kerja sama yang enak
buat perusahaan.
N: Karena ada kedekatan personal?
O: Pertama ya memang kita diketahui bahwa kita ini kan bersih. Kedua, ya
memang kedekatan personal. Tapi ini kan dekat dan bermartabat. Bukan dekat
karena ada kolusi gitu lho. Saya lebih baik dibenci daripada diajak kolusi gitu.
Saya berulang kali kehilangan teman baik karena hanya ketika saya mau diajak
berkolusi, saya tidak mau. Ketika saya mungkin karena terbangun dari karakter
wartawan yang baik dan jujur, saya kadang kala kehilangan teman baik. Karena
saya konsisten dan prinsip. Karena ketika saya prinsip, saya punya integritas untuk
berbuat sesuatu. Nah itu kalo wartawan tidak miliki itu, pemimpin media tidak
miliki itu, gimana mau pertahankan kewibawaannya? Tapi itu tadi, kewibawaan
itu bukan ke luar, tapi ke dalam dulu. Pemimpin mereka dia tahu bahwa
berwibawa, ini bersih, ini enak, ini pemaaf, ini tidak suka kalau kita begini, tanpa
komentar pun semua orang di bawah-bawahan kita pun bekerja luar biasa. Orang
tidak jujur pun jadi jujur. Tapi kalau kita sendiri sudah tidak jujur dan tidak benar,
orang jujur jadi tidak jujur juga. Itu sebaliknya lho mas. Jadi, akhirnya kan orang
tidak baik berusaha jadi baik kalau pemimpinnya baik. Tapi kalau kita
pemimpinnya tidak baik, orang baik lama-lama jadi tidak baik.
N: Tapi selama ini mengkritik pun tidak pernah ada masalah apapun?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
O: Kalau ada berita negatif selalu konfirmasi, itu standar SOP-nya kan. Dan kita
memberitakannya tidak dengan cara kampung kan. Mengkritik pun kan harus ya
apa adanya tapi bahasa yang tentu harus dijaga. Karena kita kan menganut
jurnalisme damai. Jadi, jangan kita ini membabi buta. Ya ada tekniknya.
Kritikannya itu biasanya kalau orang yang keras itu kan yang metro, yang di
lampu merah. Koran-koran metro kan biasanya kan langsung di depan headline-
nya itu, teras beritanya ya, lead beritanya kan biasanya langsung pedas. Kalau kita
jurnalisme damai itu kan mengedepankan dulu keseimbangannya. Nanti di bawah-
bawah baru kritikannya muncul. Atasnya dulu konfirmasinya. Tapi judulnya agak
kritik. Itu kan teknik saja. Tetapi di dalam berita itu bisa dipertanggungjawabkan
secara hukum. Ada kritikannya, ada ballance-nya, ada konfirmasinya. Dan sangat
jelas berita itu independen. Kita tidak terlibat dalam sebuah kasus atau peristiwa.
Kita hanya memberitakan. Tapi kita adil gitu lho. Apa adanya. Tanpa beban. Dan
saya pasang badan ketika ada yang mencoba menawar anak buah saya.
Ada dua. Kemarin pas saya di Jakarta, saya di sms. “Pak, saya sudah bayar
berjuta-juta kepada seorang oknum, tapi anda hantamin saya punya berita, pak.”
Saya tertawa. Saya bilang, “Okelah, kalau memang anak buah saya ambil berjuta-
juta yang anda maksud itu, saya akan selidiki. Dan itu konsekuensi yang berat
buat dia. Tapi bagi saya berita itu tetap harus jalan karena memang anda salah
membuat pasar malam yang isinya judi tanpa izin pemerintah, hanya diizinkan
oleh kepolisian.” Karena saya tahu, uang itu tidak ada kaitannya dengan
pemberitaan, tapi iklan. Itu kasus lain. Dan itu uangnya masuk ke perusahaan.
Akhirnya, dia coba datangi ke tempat ini. Akhirnya, diakui. “Jangan menuduhlah.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Saya bisa persoalkan anda ke hukum kalau gitu. Kan kita konsisten memberitakan
itu pasar malam itu kita beritakan terus sampai mereka tutup karena pasar malam
itu salah. Judi.” Nah, itu.
N: Karena memang banyak masalah judi, togel, miras di Timika ini ya pak?
O: Di Timika ini yang paling menonjol itu kan minuman keras, kemudian judi,
mulai lagi masuk narkoba. Tapi yang paling parah menurut saya adalah mental
para pejabat, korupsi. Sudah sangat apa ya istilahnya. Dia sudah sistematis. Sudah
saling menutupi kan. Karena kalau satu kita angkat, yang lain akan melindungi.
Karena satu terbongkar, semua terbongkar. Tersistematis. Sehingga kadang kala
kita itu susah sendiri gitu ketika memberitakan itu. Kita juga mau berlindung ke
polisi, polisi juga ada konspirasi.
N: Tapi bapak pernah dapat ancaman kah atau intimidasi?
O: Pernah. Pernah saya diancam mau dibunuh. Waktu saya masih di Radar
(Timika). Jadi waktu itu, sekitar tiga tahun atau empat tahun yang lalu itu ada
kasus konflik internal di Freeport Indonesia antara serikat pekerja buruh dengan
PT Freeport Indonesia. Mereka punya kesepakatan untuk membuat satu konsensus
di Hotel Rimba Papua sampai menemukan titik temu, baru membuat beritanya. Itu
saya tahu ceritanya. Dan saya tidak diinformasikan bahwa seperti itu konsensus
mereka. Tapi waktu itu ya itulah beratnya, saya diminta sama Corporate
Communication PT Freeport Indonesia supaya memuat berita itu. Artinya ingin
memberitakan bahwa ada kesepakatan waktu itu yang sudah menuju titik terang.
Nah, terus saya ditelpon sama Pak Sumar, “Pak, ada press release dari PT
Freeport Indonesia.” Saya bilang, “Coba di-forward saja.” Saya sudah dekat. Di-
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
forward-lah ke saya. Terus di situ tidak ada sumber beritanya. Freeport yang bikin
tapi tidak ada sumber beritanya. Itu hanya opini mereka yang diambil dari data
dari pertemuan itu. Orang-orang Corcomm (Corporate Communication)-nya kan.
Saya bilang Pak Sumar, “Pak Sumar, itu jangan dimuat.” “Loh, pak. Nggak enak
sama Pak Dani sama Pak Budiman.” Saya bilang, “Apa nggak enaknya? Cukup
saja sampaikan sama beliau, kita perlu ngomong. Sampaikan kalau itu tidak ada
sumber beritanya. Nah itu aja. Sumbernya apakah dari Corcomm atau dari mana?”
Secara berita kan harus ada sumber beritanya. Nah terus Pak Sumar kan nggak
enak. Orang Jawa kan. Orang Jawa kan orangnya sungkan. “Ya sudah nanti aku
telpon.” Saya telpon lah si Ramdani. Waktu itu, dia menjabat Manager Corcomm-
nya, karena menggantikan Pak Budi kan, Pak Budi mau resign waktu itu. Saya
bilang, “Pak Dani, posisi di mana?” “Saya masih di jalan, pak.” “Saya perlu
ngomong, pak.” “Oo sudah, nanti sampai di kantor, saya telpon balik.” Terus, aku
tunggu setengah jam, satu jam kok nggak ada telpon. Aku telpon lagi. Itu saya
tahu dialihkan, dia tidak akan layani. Karena dia tahu pasti saya akan
membicarakan apa. Dia kan maunya memang naik tanpa “tendeng aling-aling”
berita itu, maunya tanpa syarat. Maunya....kan selama ini kan apa yang dia
ngomong kita turuti kan. Tapi kan saya merasa itu masih masuk dalam karakter
jurnalistik. Tapi kalau sepanjang tidak ada sumber beritanya, saya tidak mau.
Apalagi saya tahu ada masalah kan. Saya menghindar. Nah, akhirnya ada koran
yang baru muncul, Timika eXpress itu, di-sent lah ke mereka. Dan itu langsung
dimuat tanpa pikir. Dan aman saja, nggak ada masalah. Jadi, dimuat itu headline.
Di situ mulai dibanding-bandingkan. “Wah justru koran baru lebih kooperatif.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Sama koran Radar (Timika) kita kerja sama kok tidak ini.” Di sini kan
profesionalisme yang bekerja kan. Bukan soal kerja sama. Bukan soal hubungan
baik. Nah di situ dibanding-bandingkan. Begitu bodohnya mereka melihat sebuah
profesionalisme jurnalistik, sehingga yang mengikuti maunya yang dianggap
hebat. Mulailah, dihidupkanlah si Timika eXpress itu. Apapun dibayar. Sampai M-
M itu dibayar itu. Pokoknya semua beritanya dibayar. Pokoknya apapun dibayar.
Sampai naik pesawat satu kampung itu ke Bali. Jalan-jalan. Pokoknya dimanja lah
sama mereka itu.
N: Agar membuat iri?
O: Ya mereka berharap memukul kita dengan cara itu. Tapi saya kan pikir, saya
kan iklan koran ini kan kuat, tanpa Freeport pun bisa. Akhirnya, Pak Sumar
bilang, “Pak, ini kok dimuat di Timika eXpress tidak masalah gitu lho. Kenapa kita
tidak muat?” Itu jam 11 malam itu satu minggu kemudian. “Menurut Pak Sumar,
bisa dimuat atau tidak? Tidak masalah kan?” Pak Sumar bilang, “Menurut saya,
tidak.” Ya sudah dimuat saja. Kita nggak enak sama Freeport lah. Itu kan hanya
press release. Waktu itu jam 11 malam, sudah mau cetak.
N: Dan gaungnya lebih besar?
O: Ya itu baru jam 6 pagi, koran kita beredar jam 5, saya sudah ditelepon, “Pak
Octo kurang ajar.” Pokoknya dimaki-maki, “Babi, kamu anjing. Kamu ada di sini,
saya cari kamu. Anakmu sekolah, istrimu ada di Timika, kamu hati-hati.” Nah
jujur saja waktu itu, karena bukan cuma satu yang telepon saya, itu ganti-gantian
mereka telepon saya. Saya mencoba untuk menghindar karena mereka cari saya
sepanjang pagi itu. Dari jam 6 pagi itu diteror. Saya mencoba untuk mengatasinya
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
sendiri dulu. Saya belum lapor polisi. Saya mencoba untuk gentle lah. Sampai
saya bikin minta pertimbangan dengan perangkat tokoh, termasuk Bupati waktu
itu. Minta pertimbangan ke teman-teman anggota DPR. Tapi saya pikir, sampai
kapan saya harus main kucing-kucingan dengan mereka. Lalu, saya menghadapi
mereka ini. Ya sudah, saya bilang, “Bung, jam 6 sore saya di kantor. Jadi, kalian
semua datang saja.” “Jangan takut, Pak Octo. Kami datang ini ada lima truk.”
Nah, terus saya bilang, “Okelah saya tunggu di kantor.” Bukan lima truk yang
datang, selain lima truk itu masih ada mobil kecil-kecil itu, tujuh apa delapan.
Nah, itu semua naik (ke lantai 2 kantor Radar Timika) untuk mendemo saya.
Mereka yang bawa batu, ada yang pukuli tangga. Mereka sebagian ada yang naik
lantai 2 di atas, ada sebagian di bawah.
N: Siapa saja yang menghadapi mereka?
O: Yang menghadapi itu saya berempat di ruang rapat. Saya, Misba, Sumaryoto,
dengan Sianturi. Nah, itu. Kami diintimidasi di situ. Si Misba itu sampai saya
kurang sopan, saya kan duduk di sini dengan meja agak tinggi. Misba ini kan
sedikit agak mau melawan, tapi saya lihat kondisinya saya lihat tidak bisa dilawan
ini. Saya pegang si Misba itu, “Jangan. Jangan. Diam.” Karena kondisi seperti ini
caranya menghadapi mereka, diam. Karena mereka ada yang bawa batu kok. Ada
yang mabuk. Dan kami mau disuruh keliling untuk minta maaf lewat satu kota
Timika ini pakai microphone itu. Saya tidak mau. Akhirnya kami dipaksa untuk
memberikan sumber berita dari mana itu. Nah, di situ tidak ada lagi kode etik
jurnalistik. Yang ada di situ ingin selamat, karena kalau gedung dibakar, ya paling
bisa diganti sama Jawa Pos atau sama Freeport kan. Tapi kalau kami yang
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
dipukul, dibunuh, ya nggak bisa diganti. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik
tidak ada. Akhirnya, saya bilang, “Print saja itu press release yang dikirim dari
Freeport itu.” Nah, di situ tercatat namanya Pak Branco. Ada nomor teleponnya,
alamat emailnya, contact person-nya. Dia diteror seperti saya. Si Branco yang di
Corcomm itu. Justru dia itu diteror persis dengan yang saya alami. Diteror
setengah mati. Dia ketakutan juga. Sampai dia mau keluar dari Timika saking
takutnya. Akhirnya, justru anehnya, si Branco itu membenci luar biasa ke saya.
Bencinya karena katanya dia yang membocorkan informasi itu ke mereka ini.
Sedangkan, mereka yang paksakan harus dimuat di Radar (Timika). Karena kita
pertama pertemanan kita jaga, akhirnya kita kasih naik juga gitu kan. Nah, lalu
dibanding-bandingkan dengan Timika eXpress. Nah, waktu itu kami ada kerja
sama dengan Freeport, cetak berita kita itu dua kali sebulan. Dengan nilai 12 juta
sekali cetak. Nah itu diputus sepihak. Padahal, ada kontrak. Nah itu saya datang ke
Ibu Dessy waktu itu, kalau saya ini bangga bekerja sama dengan Freeport tapi
sebetulnya Freeport ini tidak mendidik kita secara profesional. Kalau saya mau
buka, kan saya kan pengadaan kertas ini kan khusus. Kemudian ada kontrak kita
kok diputus sepihak. Nah, Ibu Dessy kaget. “Kita berikan surat kok, Pak Octo.”
Nah ternyata disimpan si Branco brengsek ini. Sampai sekarang itu, si Branco ini
kan...ya dia kaya perempuan lah. Kalau saya sih sudah selesai.
N: Apakah berpengaruh sama bapak sekarang?
O: Ohh tidak. Pak Branco kan tidak ada kaitannya dengan kita. Dia kan Corcomm
di Tembagapura. Bukan di lowland sini, dia di highland. Dan di sini kan namanya
Pak Karel. Sama, dua-duanya Corcomm. Yang menerima tamu di atas, melayani
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
media di atas itu dia (Pak Branco). Yang melayani media di bawah itu ada Pak
Karel Luntungan. Dan saya langsung kontak ke Jakarta. Saya punya relasi sampai
Jakarta. Jadi, kenapa ini mentok dan sebagainya sudah dua tahun. Saya ke Jakarta.
Saya baru pulang dari Jakarta hari ini, langsung okee semua. Saya minta maaf,
bukan saya tidak percaya sama Corcomm, tapi saya harus tahu apa alasannya.
Karena kalau saya di sini sudah cukup penjelasan, tapi Jakarta bagaimana kan kita.
Ternyata perusahaan ini (Harian Papua) belum terdaftar sebagai vendor. Makanya
nggak pernah dibayar kita. Saya datang bawa dengan data, dengan jaminan saya
juga sudah pindah ke sini. Dan saya dengan Radar (Timika) dulu. Akhirnya,
langsung, okee. Ada pengaruhnya juga itu.
N: Tidak pernah diungkit-ungkit masa lalu?
O: Tidak. Masa lalu itu kan mereka paham situasinya bahwa yang salah ya
mereka, Pak Dani itu dengan Pak Branco itu.
N: Dan semua masih di Freeport sekarang?
O: Pak Dani sudah keluar. Nggak tau Freeport itu selalu tidak pernah lama
Corcomm-nya itu. Presiden Corcomm-nya. Keluar masuk keluar masuk. Itu kan
sejak saya bekerja sama Freeport 15 tahun, itu pertama yang jadi Presiden
Corcomm-nya, Pak Mindo Pangaribuan, kemudian diganti sama Pak Siddharta
Moersjid, kemudian diganti sama Pak Budiman Moerdijat, kemudian diganti sama
Pak Ramdani Sirait, kemudian diganti sama Ibu Dessy Priyantini, sekarang ini
diganti lagi sama Pak Riza Pratama. Jadi sudah tujuh kali mengganti Presiden
Corcomm selama 15 tahun. Saya hafal semua sifat-sifatnya, wataknya,
kemampuan logikanya. Saya tahu. Freeport ini saya hafal itu. Kalau saya mau
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
pukul Freeport dengan berbagai macam tulisan, saya hafal dari ujung kaki sampai
rambut. Tapi kesimpulan saya, Freeport itu sebenarnya perusahaan yang banyak
berbuat, cuman tidak dikonvensi dengan baik dan tidak tahu format seperti apa
yang bisa dilakukan untuk bisa diterima di masyarakat. Terlalu berlebihan. Dan itu
saya sudah sampaikan sama Freeport. Freeport itu selalu menganggap bahwa
orang yang dia rekrut itu adalah seorang profesional ahli. Padahal, belum tentu.
Memahami media saja enggak kok. Saya bilang. Saya pernah ada pertemuan
dengan salah satu petinggi Freeport. Kenapa Freeport itu tidak pernah bagus di
mata orang? Karena Freeport tidak menemukan format yang baik untuk
mempublikasikan, menciptakan opini publik. Sementara Freeport bergelimang
dengan uang untuk bisa melakukan ini. Berapa sih duit dibanding yang gelap-
gelap itu, dibanding papa minta saham, dibanding serong ini serong itu. Kamu
siapkan saja, nggak usah 20 M satu tahun untuk publikasi, itu luar biasa. Tapi
harus cari skill yang baik untuk meramu baik seperti apa publikasi yang harus
diciptakan oleh Freeport Indonesia. Saya kasih contoh saja, rumah sakit terbaik
mungkin di Indonesia, itu Freeport punya dan itu gratis untuk tujuh suku. Standar
luar biasa. Tempat tidurnya saja luar biasa, pelayanannya bagus. Itu berapa ratus
miliar setiap tahun Freeport korbankan untuk itu. Belum lagi angkutan kalau anda
ke pedalaman, coba anda ke pelabuhan Kokonao. Nah di situ ada beberapa kapal-
kapal yang standar yang bagus. Itu anda bayar cuma Rp 15 ribu. Itu hanya biaya
operator. Tapi yang bayar sewa darat sebagainya itu kan subsidi dari Freeport
Indonesia. Ditangani oleh pihak ketiga. Jadi pihak ketiga beli kapal misalnya, tapi
sewanya yang bayar itu Freeport. Begitu juga base-base ke pedalaman.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Helikopter, apa semua. Air pass itu. Yang isi air pass itu kan paling 30 persen
karyawan Freeport. Jadi bantuan Freeport terhadap masyarakat itu saya rasa luar
biasa. Cuma tidak terformat, tidak terpublikasi secara teratur, secara detail, dan
tidak tahu mereka bagaimana caranya. Kenapa selalu merasa hebat? Cuman saya
tidak mau menawarkan diri bahwa inilah format yang terbaik gitu lho.
N: Tidak pernah coba menawarkan diri pak?
O: Karena ukuran saya bukan uang. Saya lebih bahagia memperbaiki perusahaan
kecil-kecil begini, daripada memperbaiki perusahaan Freeport yang segede itu.
Seakan banyak orang hebat katanya gitu kan. Dan kalau saya masuk di perusahaan
Freeport, pasti oriented saya adalah profit. Kalau di sini oriented saya bukan
profit, adalah moral saja. Ya saya cuma keluar dari sini saja, “Oo berarti Pak Octo
di Harian Papua manajemennya agak membaiklah, ada perubahanlah.” Itu adalah
satu keberuntungan buat saya gitu lho. Atau paling tidak kawan-kawan yang ada
di sini, “Oo iya, Pak Octo yang ngajar kami begini.” Nah itu sudah keberuntungan
buat saya. Karena saya ini kan tidak perlu prestasi lain kan. Saya kan butuh tinggal
bagaimana sisa hidup saya ini bermanfaat buat orang lain selama masih kuat dan
sehat, masih produktif kan. Makanya, saya mau. Buktinya, saya sudah seharusnya
saya ini menikmati hidup. Sudah harusnya jalan-jalan lihat anak saya kuliah.
Pulang kampung lihat-lihat keluarga, beternak, dan sebagainya. Untuk menghibur
diri, bukan lagi saya mau berkutat dengan berita, jual koran tiap hari. Tapi selagi
masih bisa bermanfaat buat orang lain, kenapa tidak? Kan gitu. Prinsip saya
seperti itu.
N: Dan memang dampak Freeport ini begitu besar?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
O: Oo Freeport ini kalau tutup, bukan cuma Timika jadi kota mati, tapi seluruh
Papua. Di sini APBD-nya itu 90 persen dari Freeport. Dari royalti itu. Dan hampir
seluruh kabupaten juga ada 60 miliar. Provinsi lebih gede. Makanya, provinsi
tidak mau kalau dibagi tiga provinsi karena yang menjadi pembagi royalti itu di
sini. Dia tuan rumah kan. Makanya dulu sering terjadi gejolak. Nah itu kan orang-
orang di provinsi tidak akan mau.
N: Dan setiap media di sini memamng mendukung dengan adanya perpanjangan
kontrak karya, pembangunan smelter di sini, terus menolak UU Minerba itu
karena dirasa mengikat kesejahteraan rakyat Papua karena memang Freeport
mempunyai dampak yang luas bagi Timika?
O: Sebetulnya, orang Timika itu kan butuh saja apa ya...sosialisasi. Di sini kan
orang Papua, media juga kan tidak paham. Jangankan orang umum, media pun
tidak paham. Contohnya saja, ada pemaksaan kehendak pembangunan smelter di
sini, ngerti nggak sih sebetulnya itu apa yang dibutuhkan, infrastrukturnya seperti
apa, listriknya seperti apa, berapa lama dibangun, berapa investasinya? Ya kalau
mau bangun smelter di Timika ya rugilah.
N: Freeportnya?
O: Iya, bagi Freeport-nya. Karena dia harus menyiapkan industri bumi dulu untuk
memulai bangun smelter. Jadi, smelter ini kan harus didukung industri lain. Tidak
boleh sendiri. Banyak sekali industri yang harus dukung dia karena
kebutuhannya...ini pemurnian lho. Belum lagi standar AMDAL-nya seperti apa.
Kemudian, membangunnya itu tidak mudah, butuh waktu dan nilai investasinya
itu ratusan triliun. Sementara sistim adat-istiadat dan kerumitan kepemilikan tanah
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
di sini juga tidak jelas. Suatu kali dipalang masyarakat dan nggak bisa produksi,
ruginya berapa triliun. Ya gitu..itu..pertimbangan-pertimbangan itu. Sehingga,
kadang kala kita ini terlalu apa ya sempit dalam memahami itu. Nah, kemudian
soal Undang-Undang Minerba itu kan dengan nama lain dari perpanjangan. Ada
namanya izin pertambangan khusus. Jadi kalau dulu itu kan diatur oleh Undang-
Undang lain yang namanya kontrak karya. Nah, muncullah Undang-Undang
Minerba yang tidak lagi memperpanjang...kalau memperpanjang berarti kan
kontrak karya jalan terus kan...Undang-Undang lama. Undang-Undang baru ini
kan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Itu menurut Undang-Undang
Minerba itu. Jadi tidak ada perpanjangan, tapi menerbitkan izin baru. Nah, izin
baru untuk Freeport tetap beroperasi. Nah, tapi persyaratannya itu ada enam isu
yang harus dipenuhi, di antaranya membangun smelter, kemudian penyempitan
wilayah yang dari 2 ribu hektar menjadi 90 sekian, dan itu sudah dipenuhi.
Kemudian divestasi harus diubah, yang tadinya hanya 9,3 persen, harus menjadi
30 persen. Dan itu sudah dipenuhi 20 persen. Tinggal tambah 10 persen.
Kemudian penggunaan produk dan jasa dalam negeri, ya itu harus dibicarakan.
N: Yang masih gantung ini masalah perpanjangan kontrak karya...
O: Karena memang waktunya belum kan. Kebodohannya Freeport, ini kan
Freeport persoalan yang dihadapi Freeport sekarang ini kan dari sekarang harus
investasi kan. Membangun smelter kan. Nah, sementara membangun smelter ini
kan ratusan triliun. Bisa sampai 256 triliun. Itu untuk investasinya kan. Pokoknya
semua lah investasinya itu. Sebenarnya kepastian belum ada. Jadi, ini kan ragu,
mau investasi, tapi nanti malah perpanjangan kontrak diputus dan tidak
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
mendapatkan izin usaha pertambangan khusus, kan kasian. Nah ini kan yang jadi
persoalan di Freeport sekarang. Tapi bodohnya Freeport, dia tidak paham.
Seharusnya dia paham siapa Jokowi. Jokowi itu orang yang luar biasa. Dia harus
paham. Dia kan sudah pernah bertemu dengan Freeport. Dan bilang, semuanya
sudah dipenuhi. Tapi saya rasa, Jokowi masih bisa nego kalau memang ada
sesuatu yang misalnya penggunaan produk dalam negeri. Ya memang sekelas
Freeport tidak harus...Hmm Indonesia belum mampu menutupi semua
kebutuhannya untuk produk dalam negeri, seperti alat berat, seperti dump truck-
dump truck yang bisa membawa 500 ton. Kan Indonesia kan belum siap. Tapi kan
saya rasa, Jokowi tidak sebodoh itu mau buta-buta mau itu kan...kemudian
divestasi sudah dipenuhi, ya saya rasa Jokowi sudah jalan. Nggak perlu takut.
Invest saja. Dan saya juga pernah bilang, “Invest, saya yakin.” Tapi ya mungkin
dia bilang, “Siapa kau yang ngomong?” Gitu kan. Tapi suatu saat saya kan bilang.
Nah itu, bila mana sampai pada perpanjangan tahun 2019 nanti, 29 Desember. Itu
waktunya...Freeport tidak siap. Karena takut berinvestasi. Bisa jadi tidak diizinkan
dan diambil alih pemerintah. Akhirnya mereka ini yang ketakutan, karena
sekarang ini kan ditinggalkanlah pejabatnya Pak Komisaris namanya kan
mengundurkan diri, Pak James Moffet. Jim Bob itu. Kemudian Presiden
Direkturnya Pak Maroef mengundurkan diri. Kacau di dalam. Dan sekarang
dipolitisasi lagi. Ada putra daerah yang ingin jadi presiden. Dan mobilisasi massa
ke Jakarta. 200 orang dibiayai ke sana menyuarakan supaya Presdir harus orang
asli Papua. Dipolitisasi lah itu. Padahal tidak sesederhana itu.
N: Padahal harus melihat dari kesiapan SDM-nya kan?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
O: Ya, Freeport ini kan perusahaan raksasa, internasional. Yang tidak hanya
berpikir soal produk dan marketing. Dia berhadapan dengan keamanan
internasional, berhadapan dengan AFTA, berhadapan dengan keamanan dalam
negeri, politik dalam negeri. Jadi, tidak sesederhana yang dipikirkan oleh Silas
Natkime. Jadi, Freeport ini perusahaan terbesar, penghasil emas terbesar di dunia
dan penghasil tembaga nomor dua di dunia yang banyak mendapat perhatian
dunia, baik dari lingkungan hidup, dari WHO. Jadi, seharusnya yang memimpin
pribumi itu adalah yang di atasnya setingkat menteri gitu lho. Kalau perlu utusan
dari Presiden gitu. Yang punya wawasan cukup.
N: Sepertinya yang punya tingkat keamanan juga...TNI misalnya.
O: Ya. Yang kalau saya sih pernah menyampaikan juga. Saya sering dipanggil-
panggil konsultasi nih. Secara pribadi mereka sering undang-undang saya.
“Menurut Pak Octo siapa nih?” “Sekarang ini penguasa republik ini bukan
Jokowi.” “Siapa, pak?” “Pak Luhut.” “Terus gimana?” “Carilah temannya Pak
Luhut, seangkatannya, teman baiknya Pak Luhut itu. Jadi Presiden Direktur cari
tentara lah, menggantikan Pak Maroef itu.” “Ooiya saya catat itu.” “Oo yasudah
itu saja. Carilah orang-orang yang sahabatan Pak Luhut atau teman Pak Luhut.”
N: Tapi memang secara AMDAL ini juga masalah limbah tailing Freeport masih
dipertanyakan kan pak?
O: Kalau saya kan sering berhubungan dengan orang-orang yang sering datang
periksa.
N: Periksa maksudnya? Penelitian lingkungannya?
O: Ya, survey, meneliti.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Dan selama bapak di Radar Timika tidak pernah ada orang lingkungan yang
meminta diberitakan tentang AMDAL Freeport?
O: Nggak pernah. Karena memang, Freeport itu penanganan lingkungannya cukup
baik. Dia sangat peduli. Dan menginvestasikan banyak dana untuk pengendalian
lingkungannya. Cuman yang memang yang tidak bisa dihindari fakta bahwa
endapan air yang turun ke Timika ini kan sudah di atas lebih tinggi dari kota
Timika ini. Tapi kalau dibilang pencemaran air laut dan itu saya rasa biota laut
sering kita pergi lihat ke sana kok ada ikan-ikan, tumbuhan. Kalaupun yang mati
itu kan tenggelam saja, jadi batangnya tinggal dia terus pucuk, tinggal daunnya, ya
matilah. Bukan karena racun itu. Karena memang mereka memproses
konsentratnya kan tidak dengan kimia. Orang bilang, merkuri..merkuri. Saya
bilang, iya kalau cuma dibahasakan kaya politik, merkuri kan apa sih tidak
dibutkikan. Pasti ada orang yang bisa buktikan itu kalau memang ada merkurinya.
Dan sampai sekarang ini kan tidak ada yang bisa buktikan. Jadi saya mengatakan,
oo tidak tercemar lingkungan itu.
N: Karena memang tidak ada yang menyuarakan itu?
O: Banyak yang menyuarakan, tapi tidak ada yang bisa membuktikan kalau ada
merkuri secara ilmiah. Saya selalu tantang teman-teman LSM yang datang. “Coba
buktikan deh. Buktikan secara ilmiah bahwa menemukan zat-zat berbahaya
yang...”
N: Tapi apakah bapak berani memuat berita tentang itu kalau memang terbukti
ada?
O: Berani aku kalau ada buktinya. Dan gampang aja, kita datang ke Freeport
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
untuk konfirmasi. Kita kan media nggak ada bebannya. Kecuali kalau saya orang
Freeport, mungkin saya tidak berani beritakan. Tapi kalau saya kan orang
independen. Kalau ada yang datang, “Ini pak temuannya secara ilmiah, ditemukan
LSM ini, ada zat-zat ini ditemukan, unsur ini, laboratoriumnya ini, di laboratorium
Australia misalnya ditemukan.” Tapi kalau cuma sekadar bilang
pencemaran..pencemaran, saya mati-matian pasang badan bela Freeport. Makanya
teman-teman yang mengatakan bahwa ada pencemaran ya jangan cuma bahasa
politik. Turunlah. Ambil sampel, bawa ke laboratorium, periksa. Itu baru saya
percaya sebagai seorang media. Jangan kaya Amien Rais. “Wah seperti ini
pipanya itu...pengirimannya Freeport dari atas.” Saya langsung hantam Amien
Rais di Graha Pena lantai 6 itu. “Bang, anda kan profesor. Profesor itu kan ukuran
daripada seorang yang intelek. Kok sebut pipa begini. Ada kan ukuran pipa. Anda
pakai inch. Kalau anda bilang begini kan kalau orang kampung ya okelah. Paling
tidak, siapa yang memberi anda itu informasi segini? Seharusnya, Amien Rais
kalau mau ngomong soal pipanya Freeport itu menyebut berapa inch. Saya ini dari
sana lho pak. Saya lihat sehari-hari itu.” Terus, “Ooiya ya, kita lupa tanyain.”
“Yang benar itu 6 inch. Pipa yang menghubungkan dari Tembagapura ke Port
Side. Itu membawa bubur konsentrat sampai ke pengeringan di sana. Jadi
dikeringkan dulu baru dikapalkan. Jadi itu bubur konsentrat yang dipompa dari
Tembagapura melalui pipa 6 inch.”
N: Di bawah tanah kah?
O: Iya dia ada di bawah tanah, pokoknya di permukaan lah . Tapi kadang
ditimbun-timbun dikit dengan tanah. Karena memang di situ perlu safety kan.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Karena itu tekanannya sangat kuat. Itu pernah terjadi orang gergaji. Dan itu
percikannya saja menembus mobil. Bayangkan itu. Percikan bubur itu yang keluar
dari itu menembus mobil. Bayangkan tekanan yang tinggi kan. Waktu itu saya
bilang sama Amien Rais, “Bang Rais, ngomongnya harus punya dasar, ilmiah, dan
bisa dipertanggungjawabkan. Inilah yang bangsa kita ini selalu salah karena selalu
melebih-lebihkan ngomong baru katanya sudah diangkat ke publik, ternyata tidak
bisa dipertanggungjawabkan.” Itu orang ketawa semua di Jawa Pos. Amien Rais
ini kan seorang tokoh yang sangat benci juga sama Freeport kan. Ya, pokoknya
kalau kita membenci orang itu apapun kita ngomong. Itu yang salah. Kita tidak
pernah membicarakan kebaikan orang yang kita tidak suka. Harusnya, biacarakan
kebaikan dan keburukannya. Keburukannya pun harus dibicarakan secara
mendidik. Tidak dengan membunuh karakter. Kita ini kan tidak terlalu pusing
dengan karkater orang. Nah, itu yang dimaksud dengan jurnalisme damai ketika
kita memperhitungkan kata-kata, kalimat kita.
N: Dan itu bapak terapkan juga kepada wartawan di sini?
O: Oo, pasti. Dan saya memberikan logika-logika berpikir. Waktu itu saya datang
itu kan mereka betul-betul anti dengan Freeport. “Kita itu diremehkan Freeport.
Tidak bisa bekerja sama. Iklan-iklan kita tidak pernah dibayar. Udah masa bodoh,
hantam saja,” katanya gitu.
N: Di Radar Timika itu 800 juta sampai 1 M to?
O: Bisa lebih. Nah sekarang ini, saya bilang gini, “Pandanglah Freeport ini seperti
apa adanya. Kalau misalnya dia bagus, kenapa kamu tidak ekspos bagus? Kalau
dia jelek, konfirmasi saja. Kalau masuk akal, konfirmasi saja, baru beritakan.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Seperti itu cara memandang Freeport. Berikutnya, kalau kita memperlakukan
Freeport apa adanya, kita tidak malu-malu minta iklan. Dan menawarkan kerja
sama dengan dia. Kira-kira pilih yang mana?” “Mau pilih yang Pak Octo punya
itu.” Kan gitu kan. Tinggal komunikasi saja.
N: Itu tantangannya menjadi media lokal di Timika?
O: Intinya bahwa saya ingin mendidik teman-teman ini menjadi pekerja keras
yang profesional, korannya profesional, mandiri, manajemen korannya mandiri,
dan bisa mengemban tugas sebagai media yang betul-betul sesuai dengan amanah
Undang-Undang. Itu perjuangan, karena untuk mengaplikasikan itu untuk
mewujudkan itu kan butuh proses waktu. Tapi minimal sudah bisa saya tanamkan
itu di Radar (Timika). Dan paling tidak akan tertular ke koran lain. Paling tidak
akan jadi cerminan, paling tidak akan menjadi punya efek domino terhadap koran
lain. Nah itu. Termasuk Timika eXpress.
N: Tapi bapak kenal dengan pemilik Timika eXpress?
O: Yang bentuk itu kan kader-kader saya semua yang tidak sehat, keluar dari
Radar Timika semua itu.
N: Saya tahu dari Pak Andreas bahwa pemilik Timika eXpress adalah pengusaha
minuman keras terbesar kah di Timika, benar pak?
O: Iya. Jadi, dia inilah yang sebetulnya meracuni masyarakat di sini saja. Dia
pintar memberi makan polisi. Nah omzet daripada minuman keras ini kan miliaran
rupiah. Dan dia sebetulnya itu kan didirikan koran itu kan bumper saja. Jadi cari
teman saja biar ada pembelaannya kan. Jadi kan koran ini kan dikonversi sebagai
tameng. Labanya dia tidak pusing. Dikelolalah sama orang-orang yang diberikan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
tugas itu. Tapi dengan catatan dia harus menjadi tameng biar bisnisnya berjalan
lancar, kan sampai sekarang. Intinya itu. Jadi, seharusnya dewan pers tahu. Cuma
ya kita ini kan sesama...
N: Jadi saat ini kompetitor itu ya media yang telah bapak bangun sendiri?
O: Ya. Dan ini uniknya saya membangun koran Radar Timika itu dari nol sampai
luar biasa. Kemudian saya berbalik lawan lagi. Dan saya yakin, saya menang.
Iyalah. Potensi yang saya miliki, pengalaman yang saya miliki. Teorinya kan
begini yang ciptakan Radar (Timika) dan personilnya kan saya. Mereka besar
karena Radar (Timika), tapi kan saya yang membesarkan Radar (Timika). Nah
sekarang, saya ada di sini dengan potensi saya yang lebih besar. Kenapa? Dari
segi senioritas, di sini lebih banyak senior. Di sana seniornya hanya Misba dan
Sianturi. Itu pun Sianturi kapasitasnya tidak bisa jadi pemimpin. Dia pernah jadi
Wapemred, tapi saya copot karena memang nggak bisa berperilaku sebagai
pemimpin lah ya selalu menyalahkan, tidak pernah bawa anak buah benar, dan
membuat anak buah itu semacam berat. Padahal seharusnya, seorang pemimpin itu
kan motivator ya, pendorong gitu. Tidak bisa beri contoh, nah itu bukan
pemimpin. Makanya kita coba tidak bisa, dan kita turunkan jadi redaktur biasa,
kemudian saya angkat Misba jadi Pimred sekaligus General Manager. Dan itu
diterima Jawa Pos. Dan itu saat-saat kecewa dengan saya itu Pak Sianturi. Pasti
dia kecewa karena memang secara logika seharusnya Sianturi karena dia lebih
senior dibanding Misba. Tapi kepemimpinan, saya rasa Misba baik. Jadi, itu yang
membuat saya bangga karena bisa menciptakan Radar (Timika). Dan target saya
di sini, saya harus menang melawan Jawa Pos. Dulu saya menang lawan Timika
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Pos Kompas Group pakai Radar (Timika). Sekarang saya pindah ke Harian
Papua seharusnya saya menang.
N: Ooo iya, benar. Dulu itu ada namanya Timika Pos..
O: Ya, itu mati, tutup. Kalah persaingan dengan kita. Dan itu di-support Freeport
dulu. Dan saya melawan itu Freeport dulu waktu saya masuk. Saya kira sampai
sekarang masih ada itu orang-orangnya sudah pindah-pindah, Pak Julius Lopo itu.
Sempat saya digoda dulu. Waktu sudah mulai berimbang kan, Radar (Timika) dan
Timika Pos, saya didatangi. “Pak Octo gabung yuk dengan Kompas Gramedia
Group. Nanti tinggal ambil alih Timika Pos.” Tapi waktu itu saya lagi panas-
panasnya juga, lagi membangun Radar Timika. Saya tidak bisa tinggalkan dalam
keadaan belum dewasa, belum mampu mandiri kan. Sehingga kalau saya keluar
dari Radar Timika hanya karena mau membangun Timika Pos waktu itu kan saya
jahat namanya.
N: Berarti pionir media daripada di Timika ini adalah Timika Pos?
O: Pionirnya? Justru Kompas lebih dulu masuk sini. Tapi dia mati dulu karena
manajemennya yang kalah. Dia hancur karena manajemennya. Bukan karena tidak
ada uang di sini. Justru mereka ada duit, cuma tidak jelas manajemennya ya
hancur.
N: Apa yang membuat bapak masih berkarya sampai saat ini?
O: Saya ingin membuktikan pada Jawa Pos bahwa kadernya Jawa Pos yang tidak
lagi, katakanl“dibuang” Jawa Pos lah mungkin, kadernya Jawa Pos dan yang
“dibuang” Jawa Pos itu bisa lebih baik. Dan saya ingin membuktikan kepada
Azrul bahwa usia itu bukan ukuran dalam bekerja. Azrul itulah yang membuat
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
peraturan di Jawa Pos bahwa yang tua-tua disingkirkan. Sehingga kita secara
halus itu diminta pensiun sebetulnya. Dengan berbagai macam intimidasi gitu.
Akhirnya kita keluar sendiri. Bagi saya kan pas juga apa yang mereka minta itu
sudah pas keinginan saya karena dua tahun sebelumnya saya sudah bilang sama
Misba. Misba mungkin cerita bahwa saya akan segera pensiun, karena saya sudah
merasa apa yang saya pimpin di Radar (Timika) sudah mentok. Kalau saya
bertahan terus di situ berarti saya ini tidak memberikan kesempatan kepada kader-
kader saya. Dan memang kemarin waktu Pilpres itu labanya luar biasa. Pilpres
kemarin dapat itu iklan dari Jakarta sampai hampir 1 M. Iklan Jakarta saja, belum
lagi lokal. Ketika saya 2015 itu, sudah betul-betul luar biasa penghasilannya. Dan
di situ kader-kadernya sudah baik, sampai bahan bakunya sudah order semua, di
situ saya mengundurkan diri. Dan karir puncak saya di situ. Nah, kalaupun
seandainya saya bertahan sampai sekarang, itu pasti turun. Biarpun saya yang
pimpin. Karena Jokowi punya kebijakan menaikkan BBM dan sebagainya dan itu
akan berpengaruh pada inflasi, sehingga bahan baku cetak semua naik, angkutan
naik, kemudian daya beli masyarakat menuurun, sehingga banyak orang yang
tadinya beriklan jadi tidak ngiklan, kemudian tadinya berlangganan jadi tidak
berlangganan, kemudian perusahaan-perusaahan besar yang sudah tidak lagi
menjalin kerja sama, akhirnya pasti turun. Gitu. Saya itu tidak pernah
membayangkan menjadi Direktur di Jawa Pos. Dan orang yang tidak pernah
menanyakan gaji tuh saya seumur hidup saya. “Kok gaji saya gini?” Nggak
pernah. Kalau tidak dibayar gaji saya, saya diam saja. Pernah tunjangan jabatan
saya selama satu tahun di Nabire tidak pernah dibayarkan dan tidak pernah turun
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
sampai sekarang. Saya baru tahu ketika melihat laporan keuangan. Tapi
alhamdulillah, saya 21 tahun di Papua ini nggak pernah berhutang, malah orang
lain berhutang ke saya. Saya mau disogok, saya tolak. Kalau saya mau main, saya
kaya raya. Itu luar biasa. Luar biasa.
N: Padahal banyak sekali kesempatan untuk dapat itu semua?
O: Di meja saya itu pernah satu kali miras saja ya. Kan yang terkenal anti-miras
i t u Radar Timika dari dulu. Nah, datanglah yang namanya Sandiego Saleh,
pengusaha miras terbesar di sini. Dia pergunakan orang yang kenal dekat dengan
saya. Namanya Iwan, yang biasa tinggal di rumahnya Pak Bupati Klemen Tinal.
Datanglah si Iwan ini, namanya Sandiego siapa saya tingak kenal. Datang ke
rumah saya bawa tas. “Eh, Pak Octo.” “Wah, tumben Bung Iwan datang ke rumah
saya.” Mulai ngobrol akrablah. Tapi nada-nadanya, “Ini saya datang bawa teman,
Pak. Ini Sandiego Saleh mau berteman dengan Pak Octo.” “Waduh terima kasih,
pak.” Pertemanan itu luar biasa. Terus masuklah akhirnya. “Radar (Timika)
jangan terlalu keraslah pada miras. Boleh beritakan, tapi jangan terlalu keras.”
Saya bilang, “Menurut saya, pak, kami tidak pernah keras. Berita kami terukur.
Tapi miras sendiri yang terlalu tampil ke permukaan gitu lho.” Miras sudah jualan
kios di pinggir jalan, dan orang sudah oleng-oleng. Sudah terlalu..ya sudah
dominan lah di sini. Ya itu, sehingga keluarlah duit itu dari amplop yang coklat itu
yang besar itu. Taruh di meja. “Pak Octo, ini ada terima kasih. Saya tidak minta,
hanya kadarnya dikurangi saja.” Saya langsung bilang sama Mas Iwan dan
Sandiego, “Pak, cara berteman tidak begini caranya.” Saya langsung berdiri. “Kita
duduk di luar yuk, panas rumah saya ini. Kita duduk di depan rumah. Di teras saja,
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
lebih enak ngobrol sambil nunggu kopi dari ibu.” Supaya maksud saya jangan
disogok lagi kan. Jadi dia kasih masuk tas kembali. Kita duduk setelah minum
kopi. Saya minta maaf. “Pak Iwan, saya bukannya tidak baik, tapi saya punya
jadwal main badminton ini. Jadi saya harus pergi.” Ya, itu minimal 50 juta kalau
uang 50-50, kalau uang 100-100 itu bisa 100 juta saya mau disogok. Dan bukan
cuma itu. Puluhan kali saya tolak. Pak Klemen Tinal. Saya disuruh. Saya padahal,
saya dekat dengan Pak Klemen Tinal. Saya selalu profesional membedakan kapan
saya jadi teman, kapan saya jadi wartawan. Ketika saya jadi wartawan, kacamata
saya itu memberitakan yang sesuai aturan jurnalistik. Ketika saya jadi teman, ya
saya kasih masukan. Ketika dia terpilih jadi Bupati waktu itu saya dipanggil ke
rumahnya di Timika Indah. Saya mau dibelikan rumah, mau dikasih uang tunai,
atau minta mobil Fortuner. Terus saya bilang sama beliau, “Pak, kalau mau
berteman dengan saya, tidak begitu caranya. Kalau bapak sayang sama saya
belikan saya pembatas Alkitab.” Terus, dia bilang, “Pak Octo becanda?” “Tidak,
saya serius. Kalau bapak mau membina hubungan dengan baik, saya jangan
dikasih apa-apa.” Nah waktu terpilih kedua kalinya, saya dipanggil ke Jakarta. Dia
tanya saya, “Pak Octo, kira-kira peluang saya ini bisa terpilih nggak?” Saya
bilang, “Dua. Bisa terpilih, bisa tidak.” “Kalau tidak, apa penyebabnya?” “Ya,
kalau bapak tersandung masalah hukum ya. Nah kalau itu saya jamin tidak
tersandung masalah hukum. Kalau bapak yakin, ya bapak terpilih.” Ehh betul,
terpilih lagi. Dan itu saya dipanggil lagi mau dikasih uang. Setingkat dengan
mobil Fortuner, 500 jtua. Saya bilang, “Jangan. Karena bagaimana pun juga saya
sangat menyayangi bapak dan menyayangi profesi saya.” Nah terakhir itu saya
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
terima waktu dia mau pergi yang dia mau jadi Wakil Gubernur. “Pak Octo, apa
saya mau kasih ini? Saya mau pergi.” Saya bilang, “Satu pak permintaan saya.”
“Apa?” “Kamera. Harga-harga di bawah 10 juta, tapi jangan ambil dari uang
negara, uang kantong pribadi bapak. Karena kita berteman, biar saya ingat terus
bapak.” Dibawakanlah laptop itu dengan kamera di mobil, Nikon.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Wawancara Langsung
Pemimpin Redaksi Radar Timika Misba Latuapo (lrk)
M: Kita rapatnya setiap hari jam 8, setelah itu jam 4 baru pada kumpul semua.
N: Saya melihat Radar Timika terbesar ya untuk di Timika?
M: Menurut orang luar ya. Kalau kami sih merasa bahwa kami belum bisa
menyebut terbesar kalau kami terbesar takutnya kami terlena. Takutnya tidak
semangat kerja lagi. Tapi memang kalau dari segi oplah, Radar Timika terbanyak.
N: Berapa ibu?
M: Kami itu rata-rata per hari, kami cetak 3000-an dengan ukuran kabupaten ya.
Dengan jumlah penduduk di kota hanya berkisar 90 ribuan. Kalau dari hitung-
hitungan sih untuk ukuran kabupaten dengan oplah segitu sudah lumayan ya. Di
sini kan kita harus kerja keras untuk tingkatkan minat baca warga di sini.
Pemahaman masyarakat mengenai media juga masih sangat minim. Hanya
beberapa persen. Jadi, kerja keras juga.
N: Terbagi ke mana saja bu?
M: Itu pun menyebar dengan beberapa pesisirnya. Kan ada 18 distrik di sini.
Distrik di kota itu hanya distrik Mimika Baru, di sekitarnya itu ada distrik
Koinonia, distrik Kuala Kencana, distrik Mimka Timur, distrik Iwaka. Nah, itu
memang jangkauannya juga cukup jauh. Kemudian risiko keamanannya juga.
Risiko keamanan di sini kan belom stabil. Kita belom berani menyebar ke luar
karena berkaitan keamanan pengantar koran kami. Jadi, sejauh ini kami masih di
seputaran. Kalau 12 distrik yang lainnya kan kita harus jangkau dengan pesawat,
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
speed boat atau long boat. Dan biasanya mereka kalau kepala distriknya datang
baru mereka beli koran terbitan mingguan itu di bawah (kantor arsip Radar
Timika).
N: Apakah mempengaruhi harga Radar Timika?
M: Di Timika, Radar Timika yang paling mahal juga. Satu eksemplar 6000, kalau
langganan per bulannya 150 ribu. Jadi, kami yang paling mahal.
N: Tapi di daerah-daerah yang sulit terjangkau juga tetap 6000?
M: Iya, kami tetap 6000. Tapi mereka sendiri yang datang beli. Atau misalnya,
pemerintah yang beli supaya masyarakat bisa tahu informasi. Jadi pemerintah
yang beli dan pemerintah yang bawa ke masyarakat. Jadi, akomodasi tanggungan
mereka. Kami hanya menyediakan koran. Mereka bayar sesuai dengan harga
eksemplarnya berapa. Ada juga beberapa duta besar juga, beberapa kantor di luar,
LSM-LSM juga langganan ke kami. Kami kirim per minggu ke Jakarta, Surabaya.
Jadi, kalau yang itu mereka bayarnya beda. Satu bulan itu mereka bayar 500 ribu
langganannya karena kan berkaitan dengan ongkirnya. Kemarin kita baru dapat
orderan baru lagi dari satu LSM juga di Jakarta Selatan, minta juga. Itu dia bayar
satu bulan 1,5 apa ya. Yang penting bisa tahu informasi di sini. Jadi, rata-rata
referensinya dari Radar (Radar Timika) gitu. Makanya kita, kualitasnya kita jaga,
hasil percetakannya juga kita harus konsisten, SDM wartawannya juga kita
perhatikan. Karena kalau SDM wartawannya bagus, otomatis produk yang kita
keluarkan juga bagus.
N: Terkait situasi keamanan, maksudnya seperti apa?
M: Ya, di sini masyarakat mungkin karena banyak orang datang ke sini dengan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
harapan ada perubahan nasib. Banyak yang menginginkan akan berkerja di
Freeport. Banyak yang menginginkan menjadi PNS di sini. Nah, di sini kan kalau
dibilang sih kalau kita di sini sih bilang Timika ini seperti Indonesia mini. Karena
semua suku, semua budaya ada di sini semua. Otomatis karakter masyarakatnya
juga kan berbeda. Dari Indonesia Timur dengan mungkin karakternya yang agak
keras. Dari Jawa yang karakternya yang lemah lembut. Dari Sunda yang memang
juga hampir sama dengan Jawa. Jadi, ketemu di sini dengan dua karakter-karakter
yang berbeda ini. Kemudian yang menjadi satu persoalan di sini ada paguyuban-
paguyuban. Ada mereka bentuk satu organisasi-organisasi misalnya dari Maluku,
ada paguyuban Maluku. Ada dari Jawa, KBJB (Keluarga Besar Jawa Bersatu).
Ada dari Kei, keluarga Kei. Nah, ini yang sebenarnya memicu ketika persoalan
yang hanya antara personal, si A dan si B. Akhirnya jadinya, kelompok.
Melibatkan kelompok. Karena di sini, paguyuban itu merasa kami harus bersatu.
Persatuan kami harus kuat. Akhirnya, semua terlibat di situ. Jadinya, Timika
kacau. Nah kalau Timika sudah kacau, dendam itu akan bermunculan. Nah, itu
yang selalu jadi pertimbangan kita. Kami mengejar target, tapi keselamatan
karyawan kami juga sangat penting untuk wilayah Timika ya. Tapi kalau aman,
kami bekerja apa adanya.
N: Apakah dari polisi atau TNI juga memberikan tekanan dalam pemberitaan?
M: Enggak. Sebenernya misalnya gini, cuma kami memang tidak sebatas media
yang hanya mencari eksklusif berita. Tidak sebatas media yang hanya berpikir
foto yang kami terbitkan bagus, kemudian menjadi dicari sama pembaca. Wah
foto di Radar Timika jauh lebih bagus karena foto yang kita tampilkan misalnya
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
sadis, sporadis, tidak seperti itu. Atau misalnya, ada perang antara dua suku, kami
dengan gamblang memberitakan bahwa menyebutkan nama suku ini, nama suku
ini, enggak. Kami tidak. Jadi sebenarnya, tidak ada intervensi sama sekali dari
pihak kepolisian bahwa kamu dari Radar Timika jangan memberitakan seperti ini.
Nggak ada. Tapi kami dari Radar Timika sendiri yang memutuskan bahwa kami
bersama-sama membantu menjaga keamanan di sini.
N: Itu juga berlaku terkait pemberitaan Freeport juga gitu bu?
M: Freeport sampai saya selama menjadi Pemimpin Redaksi dan GM di Radar
Timika dari bulan Mei sampai sekarang, sejauh ini belum ada sama sekali
intervensi dari Freeport. Jadi, memang kami juga sudah berkomitmen bahwa kami
akan apa adanya memberitakan. Nah, tentu kami berpegang dengan kode etik
pemberitaan. Jadi, apapun yang akan kami beritakan, beritanya tetap ballance.
Jadi, ketika ada yang menuding tidak hanya kepada Freeport, kepada pemerintah
daerah, ataupun kepada siapapun, ketika ada pemberitaan yang menuding, tidak
segan-segan berita itu kami pending. Kami pending apabila si pihak tertentu yang
dituding belum kami dapat konfirmasinya. Kalaupun di koran lain sudah
beritakan, tapi saya tekankan di sini, aturan pemberitaan harus tetap kita
laksanakan karena itu menyangkut profesionalisme. Jadi, biasanya media itu kan
rawan dengan praperadilan kan.
N: Jadi benar-benar tidak ada intervensi sama sekali?
M: Nggak ada intervensi. Misalnya salah satu contoh kasus ini, biasanya Freeport
itu paling yang disoroti masalah lingkungan, dampak terhadap lingkungan, atau
limbah dari tailing atau produksinya. Kita kalau melihat misalnya seperti pejabat
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
publik misalnya seperti Bupati yang berkomentar, seperti itu biasanya kami
beritakan saja. Tapi misalnya, ada di sini di Papua kan tokoh intelektual banyak
sekali, yang mengatasnamakan tokoh pemuda banyak sekali, yang
mengatasnamakan kepala suku banyak sekali, yang mengatasnamakan tokoh
masyarakat banyak sekali, seperti itu. Jadi apapun semua pasti dikomentari. Nah,
tipikal di sini, kalau misalnya dia sudah berkomentar dan beritanya belum kami
muat, biasanya mereka akan menghubungi kami bertanya, “Kenapa berita dari
kami belum dimuat?”
N: Sampai dikejar-kejar begitu ya?
M: Ya, sampai dikejar seperti itu. Nah, biasanya seperti itu kami berikan
pemahaman. Jadi, kami tidak menjanjikan ke mereka juga bahwa beritanya akan
kami beritakan kapan. Tapi kami kasih pemahaman bahwa karena yang berbicara
bukan ahli lingkungan, seperti itu. Kalau orang berbicara tentang lingkungan kan
kita harus lihat dulu background-nya dia karena ini menyangkut dengan
kredibilitasnya koran kita. Kepercayaannya koran kita. Nanti pembaca akan
menilai bahwa, “Ini siapa kok bisa bicara tentang lingkungan? Apa dia tahu
tentang lingkungan?” Nah, seperti itu. Kita akan pending. Kita akan nanti cari
narasumber yang lain, yang mengerti tentang lingkungan. Kemudian kita
konfirmasi ke Freeport. Beritanya kami terbitkan. Apakah memang tailing ini bisa
berdampak di area situ tidak ada tanaman yang tumbuh. Misalnya, Freeport punya
penjelasan, “Ada tanaman yang tumbuh. Buktinya ini kita reklamasi dan ada
tanaman yang tumbuh.” Nah, itu entah benar atau tidak, tapi itu haknya Freeport
untuk memberikan jawaban. Dia memberikan konfirmasi.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Berarti kita memberikan konfirmasi kepada Freeport terlebih dahulu?
M: Iya. Dan kalau kita konfirmasi seperti itu, Freeport biasanya langsung
keluarkan rilis atau dikasih pernyataan langsung dari Corporate Communication-
nya. Nah itu yang kita tampilkan. Tapi kadang misalnya ada kejadian kasus
penembakan atas pertikaian di Freeport misalnya kalau sudah ada komentar dari
Kapolda Papua atau Kapolres kadang pun kita beritakan karena pihak yang
berwenang sudah memberikan pernyataan. Nah, nanti besok baru kami dapat rilis
dari Freeport. Tapi biasanya juga sebelum berita itu kami sudah konfirmasi ke
Freeport, “Apakah operasional perusahan terganggu atau tidak dengan kejadian
ini?” Biasanya dia juga kadang tidak langsung memberikan informasi. Besok baru
dia kirim konfirmasinya, penjelasannya. Tapi tidak mengintervensi bahwa berita
yang kekacauan di Freeport tolong jangan diberitakan. Tidak seperti itu. Jadi,
beritanya HL (Headline), kita besar-besarkan beritanya karena memang kasusnya
terjadi fakta. Jadi, sejauh ini tidak ada.
N: Tapi apakah pernah coba untuk membuka suara bagi masyarakat yang terkena
limbah tailing Freeport?
M: Ooo kita sering beritakan. Misalnya gini, seperti beberapa hari lalu ada
masyarakat yang datang, dia yang punya hak berbicara karena mungkin dia yang
merasakan dampaknya gitu. Misalnya “Kok di bawah di tanggul ada dangkal, ada
sungai yang dangkal. Apakah benar itu dia dari aliran tailing-nya? Nah ini kita
perahu itu kita harus nunggu air naik dulu baru kita jalan.” Nah itu, ada fotonya,
ada ininya, kita beritakan. Karena memang dia masyarakatnya yang memang dia
yang merasakan dampaknya. Itu kadang kita juga tidak konfirmasi Freeport pun
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Freeport juga sudah ngerti.
N: Jadi itu nggak coba ibu tanyakan, “Ini gimana ada permasalahan seperti ini?”?
M: Ya kita tanyakan. Kalau dia tidak memberikan konfirmasi kita beritakan saja.
Yang penting etika jurnalistiknya sudah kita jalankan. Kita sudah konfirmasi.
Entah mau diberikan jawabannya sekarang atau besok ya intinya yang masyarakat
yang merasakan dampaknya. Tapi biasanya, Freeport sejauh ini sangat kooperatif
sih. Sangat kooperatif. Ketika ada persoalan, ada ini, kami konfirmasi dan mereka
cukup cepat respon untuk berikan konfirmasi juga cepat. Kadang itu begini,
kadang dia sudah tahu ada kejadian, kami belum konfirmasi, tapi kadang dia
sudah kirim rilis duluan. Freeport sekarang sangat berbeda dengan Freeport yang
dulu yang anti-media. Sekarang sudah sangat terbuka, paling sering itu seperti itu.
N: Ooo jadi sudah mengklarifikasi terlebih dahulu ya?
M: Iya paling sering itu sekarang seperti itu. Kita baru mau konfirmasi, dia sudah
kirim rilis duluan. Nanti kalau misalnya dari rilis itu masih ada pertanyaan lagi
baru kami kirim pertanyaan lagi, dikirim jawaban lagi.
N: Tapi yang penting itu pemberitaan itu tidak mengganggu operasional dari
Freeport itu ya bu?
M: Kadang misalnya ada pemalangan di atas kita beritakan. Ya kalau
mengganggu, kita beritakan mengganggu operasional, mengganggu produksi di
Freeport. Kita beritakan apa adanya. Kaya beberapa waktu lalu kan ada demo dari
tujuh suku yang merasa tidak diperhatikan sama manajemen Freeport. Kita apa
adanya memberitakan bahwa terjadi pemalangan dan ini mengganggu produksi di
Freeport. Dan itu pun kita akan lihat, di Mimika ini kan sangat bergantung pada
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Freeport. Aktivitas ekonomi di Mimika sangat bergantung pada Freeport. Jadi
ketika Freeport itu berhenti maka ekonomi di Mimika akan lemah. Daya beli
masyarakat akan menurun, kemudian Mimika seperti kota yang tidak hidup. Itu
waktu demo tahun 2011, itu cukup lama demo karyawan yang menuntut
kesejahteraan dan itu ekonomi Mimika sangat lamban sekali. Karena aksi itu.
Karena di sini kan karyawan di Freeport 30 ribu orang. Hampir 30 ribu karyawan
di Freeport. Mereka punya penghasilan yang baik, otomatis daya beli mereka juga
akan tinggi kan. Kalau daya beli mereka tinggi, otomatis perputaran uang di
Mimika juga akan tinggi. Nah, kalau misalnya mereka demo terus tidak dapat gaji
atau hanya dapat gaji bassic-nya saja, otomatis berpengaruh juga pada daya beli
juga. Daya beli akan menurun, otomatis perputaran uang di Mimika akan menurun
dan ekonomi di Mimika akan lemah.
N: Jadi gimana memang saling bantu-membantu untuk perekonomian di Mimika
ya?
M: Iya. Jadi, kami Radar Timika koran yang independen. Tapi kami juga punya
peranan untuk bagaimana supaya Mimika ini bisa dari segi ekonomi dia baik, dari
segi keamanaan dia baik. Karena kalau kita memberitakan Mimika itu (yang
buruk) pasti kan investor tidak akan datang. Jadi, kami media yang tidak hanya
sporadis, tapi kita juga punya peranan yang lain untuk membangun Mimika.
N: Ini kan di bawahnya Jawa Pos ya?
M: Iya.
N: Nah bagaimana hubungan antara Radar Timika dan Jawa Pos?
M : Jawa Pos itu sangat induk. Sangat induk itu sangat peduli dengan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
pengembangan koran-korannya yang berada di daerah. Itu sangat peduli sekali.
Program yang ada di pusat itu pun dia sebarkan semuanya ke daerah. Jadi kalau
kami itu Pemred-Pemred se-Indonesia kita saling tahu. Kita punya grup di situ.
N: Jadi ini di bawah Cenderawasih Pos?
M: Ya kalau kita regional Papua di bawah Cenderawasih Pos. Jadi, Cepos pun
setiap malam, HL kita apa, Cepos punya HL apa, Radar Sorong punya HL apa,
kita sudah saling tahu. Jadi, besok ini Radar Timika terbit HL-nya apa, Cepos
terbit HL-nya apa, Radar Sorong terbit HL-nya apa kita sudah saling tahu. Karena
kita berbagi informasi, kita bertukar berita. Jadi memang Jawa Pos itu koran
induk yang memang sangat peduli ketika dia melihat ada koran di daerah
pertumbuhannya agak lambat. Nah itu motivasinya terus. Dia kasih motivasi, tapi
motivasi yang tidak mengambil sesuatu dari kami. Itu Jawa Pos. Dia
pengelolaannya serahkan ke media yang bersangkutan. Cuman dia akan pantau
sebagaimana pertumbuhan medianya. Kalau sekarang Jawa Pos lebih melihat
pada SDM wartawan, utama di redaksinya. Jadi misalnya kalau saya ada persoalan
ini, saya kirim. Nah itu nanti Komisaris, dari Pemred-nya Jawa Pos, Pemred-nya
Fajar, Pemred-nya Cepos, Pemred-nya dari Sumut Pos atau dari Riau Pos itu
langsung kasih masukan.
N: Jadi memang kuat banget ya hubungan antar regional dan dengan Jawa Pos?
M: Kita kuat. Hubungan emosional dengan ini saling mendukung itu sangat kuat
sekali kalau Jawa Pos Group. Dia juga, pimpinan kita di Jawa Pos misalnya kalau
saya punya ide ini, itu di-support sekali sama mereka. Mereka support sekali.
Kamu terserah mau bikin apa yang penting efek dari program itu positif kepada
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
masyarakat dan ingat harus menjaga nama baik, dan kita kedepankan
profesionalisme. Itu sekarang yang diingikan Jawa Pos.
N: Untuk pembagian profit dan hasilnya itu bagaimana bu?
M: Saya tujuh bulan ini saya tidak pernah diminta apapun dari Jawa Pos. Jadi
keuangan semua kita kelola sendiri. Cuma karena kita punya pimpinan, wajib kita
lapor bahwa pendapatan kita sekian. Tapi kita mau diambil uangnya itu tidak sama
sekali. Paling kalau pembagian wajar bonus akhir tahun itu kan pasti diberi. Tapi
misalnya, tolong kasih uang ke Jawa Pos, enggak sama sekali. Dia mau
mengambil sesuatu dari kita itu tidak. Tapi support-nya dan spirit-nya dari mereka
itu sangat kuat sekali. Nah paling kalau kita misalnya ada rapat-rapat kita pergi.
Tapi kadang mereka juga yang fasilitasi sendiri. Kita ke sananya tinggal nginep,
hanya belikan tiket. Sekarang juga pelatihan-pelatihan fotografer, wartawan, terus
desain, grafis, itu juga sekarang lagi kita laksanakan. Sekarang kan harus yang
kreatif kan. Tapi sejauh ini memang sangat profesional dan tidak membebani kami
apapun. Bukan karena saya orang Jawa Pos ya hehehe. Tapi support-nya itu yang
luar biasa. Apalagi kan saya di Radar Timika sudah delapan tahun. Jadi wartawan
dua tahun, kemudian diangkat jadi editor, jadi koordinator liputan, setelah itu jadi
GM dan Pimred di sini. Di usia bekerja di media delapan tahun itu kan sangat
cepat. Sangat cepat untuk diangkat jadi Pimred.
N: Tapi memang ibu yang paling lama di sini?
M: Enggak, di atas saya masih ada. Masih ada yang 13 tahun. Masih ada yang 15
tahun, sebelum Radar Timika ada di sini ada. Cuman karena mereka tahu saya
masih muda, mungkin dipikir saya anak kecil. Jadi, support dari pimpinan dan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
teman-teman pimred yang lain itu sangat luar biasa.
N: Dulu kenapa sih ibu pilih Radar Timika untuk berkarir?
M: Saya kuliah di Jogja. Saya dulu itu sebenarnya mau disekolahkan di sekolah
pajak yang dua tahun di Prambanan. Tapi saya nggak mau kerja di pajak. Saya
nggak mau kerja di perpajakan. Saya dikirim sama orang tua saya ke Jogja. Mama
saya mau saya di pajak. Papa saya mau saya kerja di bank. Sementara cita-cita
saya wartawan. Jadi, karena saya menolak di pajak, akhirnya saya dikasih masuk
ke sekolah perbankan. Di bank, saya sekolah khusus di perbankan. Tiga tahun
setengah saya lulus, wisuda. 2006 itu kemudian saya bermain dulu enam bulan
cari-cari pengalaman dulu di Jogja. Saya tinggal enam bulan di Jogja dulu cari
pengalaman. Kebetulan saya punya teman satu kampus itu ada anak Timika. Nah
dulu abang saya kerja di Freeport. Jadi, yang dia kirim ke saya itu poster-poster
gambar-gambar Tembagapura. Jadi, dia nggak pernah kirim saya ke Jogja itu
poster-poster kota Timika. Dia kirim Kuala Kencana, kirim poster Grasberg,
Cartenz. Itu yang dia kirim ke saya gitu. Jadi saya tidak tahu kota Timika seperti
apa. Sekali waktu tahun 2005 awal, itu ada satu kasus di Timika. Ada perang suku
di Kwamki Lama. Dan saya lihat waktu itu, saya nonton di RCTI. Itu ada
wartawan di sini nama wartawan RCTI di sini, kontri di sini namanya Mohammad
Yamin. Saya lihat dia live langsung dari depan Pasar Lama. Dia laporan dari situ.
Nah, itu saya lihat dia saat saya turun praktik. Jadi karena kami sekolah tinggi jadi
kan harus PKL. Nah, waktu itu saya punya pembimbing itu AO (Account Officer)
Bank Mandiri dari Jakarta. Jadi, saya mau dikirim praktik ke Bali, saya nggak
mau. Tapi setelah itu saya harus jadi wartawan. Lulus dari sana, saya harus jadi
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
wartawan. Itu sudah tekad itu. Akhirnya, saya milih praktik di Jawa Pos. Bank-
bank itu kan pengembangan juga dengan dia membuka cabang baru. Nah, secara
teori kan tidak berbeda jauh dengan Jawa Pos mengembangkan perusahaannya di
daerah. Jadi saya memilih praktik di Jawa Pos. Saya praktik di Jawa Pos dua
minggu. Kemudian setelah dari Jawa Pos, saya praktik di Sampoerna. Jadi
pengembangan perusahaannya saya ngambil dari Jawa Pos, pemasaran produknya
saya ngambil dari Sampoerna. Kan di bank juga kan dia harus pasarkan dia punya
produk-produk baru. Setelah itu, saya kembali ke Jogja. Saya mulai buka-buka
informasi, cari tahu tentang Timika. Waktu itu saya di Jawa Pos, saya lihat ada
Radar Timika. Jadi di Jawa Pos itu kan, dia punya pintu masuk itu kan di Graha
Pena itu semua grupnya dia taruh di lingkaran itunya. Saya lihat waktu itu ada
koran Radar Timika. Nah, kebetulan ada teman kuliah juga yang orang Timika,
bapaknya salah satu bos di Freeport waktu itu. Saya tanya-tanya dia tentang
Timika seperti apa. Dulu kan belum ada informasi betul tentang Timika. Mungkin
Freeport sangat tertutup jadinya informasi tentang Timika itu masih sangat sedikit.
Jadi saya tanya-tanya dari dia. Diperkuat dengan saya melihat gambar-gambar
yang tayang di RCTI tentang area Timika. Itu kemudian 2006, gempa (di Jogja)
itu ada satu kejadian itu, wah ternyata Timika tidak seperti bayangan saya, hutan
gitu. Bahkan Timika sudah cukup berkembang. Saya lulus. Saya pulang ke
Ambon. Saya orang Ambon. Saya pulang. Bapak saya ngurus saya untuk kerja di
BPD (Bank Pembangunan Daerah) Maluku. Kebetulan ada saya punya sepupu
kenalan sama pimpinan BPD Maluku. Diam-diam mereka masukan berkas saya ke
BPD Maluku. Terus saya dipanggil untuk interview. Saya ikut saja orang tua
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
punya kemauan. Tapi hati saya, saya harus ke Timika. Saya harus jadi wartawan
di Timika karena saya penasaran dengan masyarakat di sini (Timika). Secara
physically kan berbeda tapi kita tetap manusia. Nah, saya nanya sama teman saya
namanya Frans Magal waktu itu, “Kalau saya mau dekat dengan saudara-saudara
di sana, saya harus kerja di apa?” Dia bilang, “Kau jangan jadi orang LSM dulu.
Kalau zaman dulu ya. Karena sering di Timika jadi kacau kan. Jadi wartawan saja.
Kalau mau saling rangkul, mau duduk sama-sama dengan saya punya masyarakat,
kau jadi wartawan.” Jadi, saya tanya-tanya sama dia. Akhirnya waktu itu saya
alhamdulillah saya kasih pemahaman ke orang tua saya bahwa saya tidak mau
bekerja di perbankan. Saya bukan tipe orang yang setiap hari saya harus dengan
kostum itu. Saya bukan tipe orang di belakang meja. Jadi saya minta pengertian
orang tua saya. Saya harus ke Timika. Saya ke Timika. Waktu itu saya hanya
dibekali uang Rp 450 ribu ditambah dengan ada tabungan saya sedikit waktu saya
kuliah, saya punya sedikit tabungan. Jadi, waktu itu saya dikirim naik kapal.
Karena mungkin mereka berat, “Biar, biar dia rasa. Ini kemauannya.” Mungkin
pemikiran mereka seperti itu. Saya empat hari di atas kapal sendiri. Saya tidak
diantar sama orang tua. Dan saya tidak diinapkan di kelas. Saya tidur di kelas
ekonomi. Saya masih ingat, saya tidur itu di bawah tangga, nggak ada kasur,
hanya alas saya punya selimut, bantalnya hanya ranselku. Mungkin orang tua
bilangnya, “Kasih dia pelajaran, dia bisa betah bertahan atau tidak.”
N: Apakah ibu tidak takut karena banyak konflik di Timika?
M: Karena kakak saya kan tinggal di sini waktu itu. Tapi dia tinggalnya di
Tembagapura. Jadi, saya sampai di Timika itu saya punya uang sisa Rp 50 ribu di
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Pelabuhan Pomako karena saya nggak mau makanan-makanan di kapal. Jadi,
banyak saya beli. Akhirnya, waktu itu untung abangku suruh ada satu keluarga
jemput saya naik motor. Jadi kita motoran dari Pomako sampai ke sini. Sampai di
sini pun keluarga saya, orang tua saya masih bersikukuh saya harus kerja di bank.
Akhirnya, waktu itu ada BRI buka lowongan. Saya disuruh tes. Saya ikut saja.
Saya sampai ke Jayapura. Tes di Timika, saya lolos. Kemudian saya pergi ke
Jayapura. Saya lolos sampai di 35 besar. Setelah itu, nanti penentuan siapa yang
akan kerja di bank. Dan saya lolos dengan nilai yang...saya selalu di nomor urut
dua...tiga gitu, karena waktu itu saya ambil skripsi tentang likuiditas kesehatan
perbankan. Saya disuruh presentasikan masalah itu. Alhamdulillah, saya lolos di
BRI Jayapura. Tapi karena memang saya berdoa mudah-mudahan saya tidak lolos
supaya saya jadi wartawan. Saya berdoa sekali. Waktu itu memang yang ngetes itu
bilang, “Ini sudah dipastikan kamu bisa lolos besok. Besok kamu datang ke BRI.
Namamu akan ada.” Karena waktu itu saya disuruh presentasi betul. Saya datang.
Alhamdulillah nama saya tidak ada. Nah, teman saya kan ada orang Batak, dia
nangis gitu, “Kok nama saya nggak ada.” Ya saya senang nama saya nggak ada.
Makanya dia heran. Karena saya mau jadi wartawan. Udah, saya balik dari
Jayapura. Besoknya itu, saya selama di Timika saya datang itu, setiap hari saya
beli koran di Radar Timika. Saya baca-baca tentang menulis berita, wartawan
memotret. Jadi, saya suruh abangku anter-anter lihat kantor Radar Timika, lihat
kota Timika gitu. Saya ngomong sama abang saya, “Saya tidak mau kerja di mana
pun. Saya mau jadi wartawan.” Akhirnya, saya baca di koran ada lowongan
wartawan. Abang saya yang antar saya ke sini bawa lamaran. Dan dia yang
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
nungguin saya tes. Sampai hasil lolosnya dia yang ikutin dan saya diterima di
Radar Timika. Seperti itu, panjang ceritanya. Saya tes. Ada salah satu Wapemred
dulu itu Pak Rustaman Dubun. Saya tes di sini. Waktu itu kan pengumuman nama
yang lolos kan diterbitkan besoknya. Beberapa hari kemudian maksudnya
diterbitkan di koran. Tapi saya tes itu, sorenya beliau telpon saya. “Kamu sudah
diterima. Kamu lolos dengan nilai tertinggi.” Ahhh, saya rasa mau terbang. Saya
rasa mau terbang, bener. Sayang bilang, “Yakin pak?” “Lah, ini saya yang nelpon
ini Wakil Pemimpin Redaksi Radar Timika. Masa kamu tidak percaya?” Itu saya
belum yakin juga. Besoknya saya pergi cari koran. Benar, nama saya ada.
Kemudian diterima kan kita training-training tiga minggu di sini. Sebelum terjun
ke lapangan, saya di-training.
N: Jadi prosesnya agak panjang juga ya?
M: Ya, prosesnya. Training tiga minggu waktu itu kan ya namanya baru selesai
kuliah ya. Baru abis kuliah jadi baru abis Jawa kan sok-sok ayu gitu ya. Bicaranya
pelan. Kulitnya masih bersih. Nggak item kaya gini. Nggak gemuk kaya gini.
Masih ABG-ABG l a h waktu itu. Jadi, saya sudah diterima. Kemudian, saya
diposkan di kriminal. Karena mereka bilang gini, “Melihat kamu dengan gayamu
kaya gini kita nggak yakin kamu akan bertahan jadi wartawan.” Pikiranku kan,
“Jangan nilai orang dari penampilan kan waktu itu.” Terus saya dipanggil waktu
itu di ruang iklan. Mereka bilang gini, “Kita kasih waktu kamu dua minggu. Dan
kita poskan kamu di kriminal. Kalau kamu bisa betah dari dua minggu itu berarti
kamu akan terus bekerja di sini. Kalau dua minggu kamu sudah tidak betah.
Mohon maaf, kamu kami keluarkan.” Nggak tau, mereka nggak yakin. Bisa nilai
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
saya seperti apa katanya saya dulu itu lemah dan saya nggak cocok jadi wartawan.
Penilaian waktu itu Redaktur yang dulu. Saya disuruh kalau pergi liput itu naik
mobil patroli polisi. Saya nggak boleh naik yang lain. Mereka kasih saya
tantangan itu. Jadi, kasus-kasus pembunuhan itu saya yang liput. Kasus perang di
Kwamki Lama saya yang liput. Sendiri. Ke mana-mana liputan itu saya naik mobil
patroli polisi. Polisi yang enam tahun lalu dulu itu kan berbeda dengan yang
sekarang. Dulu kan mobil patroli kalo mati, kita dorong. Kalu sekarang kan
mobilnya sudah keren-keren ya, sudah Ford semua. Tapi biasanya, teman-teman
di Polsek dan Polres itu setiap kali saya turun itu mereka selalu taruh saya di
depan. Kadang di depan. Kalau misalnya ada korban parah gitu baru korbannya di
depan, saya di belakang. Akhirnya, lewat dua minggu. Nggak dikasih keluar, saya
dipanggil lagi. “Okay, kamu sudah lewat dua minggu. Kamu kita tetapkan
diposkan di kriminal.” Saya lanjut diposkan di kriminal. Kemudian sempat sudah
jalan beberapa bulan itu, sempat saya ditarik untuk diposkan di kesehatan,
pendidikan. Tapi halaman kriminal, berita berkurang. Rupanya teman yang
diposkan di itu dinilai tidak produktif. Halaman kriminal kami tidak beragam.
Akhirnya, saya ditarik lagi diposkan lagi di kriminal. Kemudian, tidak tahu
penilaian mereka dari segi apa gitu. Jadi, saya diangkat jadi redaktur. Jadi redaktur
pun saya jadi redaktur kriminal. Kalau saya boleh dibilang, saya nggak pernah
diposkan di pemerintahan. Saya nggak pernah diposkan di Pemda. Wilayah
liputan saya hanya di kriminal sama Freeport. Sama misalnya kaya ada kunjungan
pejabat dari pusat, baru saya yang liput. Saya wartawan floating gitu kan. Tapi
kalau ke pemerintahan, SKPD-SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) itu
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
enggak. Ekonomi nggak pernah sama sekali. Saya nggak pernah liputan masalah
ekonomi. Tapi pernah jadi redaktur ekonomi sebagai redaktur pengganti
sementara pernah. Pernah jadi redaktur pemerintahan, pengganti sementara. Tapi
kalau mau dibilang, saya wartawannya kriminal. Redakturnya juga kriminal gitu.
N: Apa yang paling berkesan bu dari pertama kali liputan kriminal?
M: Saya jadi wartawan kriminal itu saya concern-nya itu kekerasan pada
perempuan.
N: Ini motto atau slogannya “Dekat, Hangat, dan Tuntas”. Nah, apa sih ideologi
yang mau dibawa dari slogan itu? Artinya dulu deh mungkin.
M: Ya, jadi “Dekat” itu, Radar Timika dekat dengan siapa saja. Radar Timika
tidak melihat bahwa ini pejabat, ini masyarakat, enggak. Radar Timika berada
pada semua kalangan. Kita dekat dengan semua kalangan. Kemudian, “Hangat”
itu kita memberitakan tidak dengan memancing emosi atau pemberitaan kita bisa
menimbulkan efek negatif. Kita apa-apa merespon sesuatu dengan kehangatan
gitu. Kemudian, “Tuntas” itu setiap pemberitaan kita, kita harus tuntas. Jangan
sampai pembaca kita bertanya-tanya, “Ini ending-nya apa?”
N: Jadi, sampai selesai masalahnya?
M: Iya, sampai selesai masalahnya. Bahkan, kita memberikan solusi. Misalnya,
kasus perang di Kwamki Lama, kita tuntas sampai perdamaian adatnya. Bahwa
harus kalau perang itu dituntaskan kalau mau berdamai itu kita harus panah babi.
Nah, setelah panah babi, kemudian bayar adat kepala. Nah, selesainya supaya
jangan perang ini terulang lagi, ternyata perang itu berdampak negatif banyak lho.
Anak-anak tidak berangkat sekolah. Pelayanan kesehatan tidak berjalan. Mama-
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
mama sangat sulit memberikan makan pada anak-anaknya karena mereka tidak
berkebun, mereka tidak bisa jalan ke pasar untuk membeli makanan. Nah, itu yang
kita beritakan efek-efek negatif dari satu kasus, atau perang, atau konflik antar dua
kelompok gitu.
N: Ideologi apa sih bu yang dianut oleh Radar Timika?
M: Hmmm..kami intinya media yang pemersatu. Intinya, kita bukan “koran
kuning” gitu. Judul yang kami pakai pun judul yang tidak memancing. Kita judul
yang Bahasa Indonesia yang sederhana, yang santun.
N: Gimana cara ibu mengajarkan, menanamkan ideologi itu kepada para
wartawan, redaktur?
M: Sudah hampir tujuh bulan ini, setiap pagi kami rapat. Rapat setiap jam 8 pagi
sampai jam 9. Kalau redaktur rapatnya dua kali dalam sehari, jam 8 pagi sama jam
5 sore. Nah, kenapa kita rapat jam 8 pagi, membiasakan diri bahwa kita bekerja
dengan planning. Membuat planning. Karena kita membuat planning, kita akan
tahu apa, buat bisa mengukur kinerja kita. Apakah target yang kita buat pagi ini
tercapai atau tidak. Kalau misalnya tercapai, bagus, positif. Kalau tidak tercapai,
kita kendalanya apa. Nah, di rapat pagi juga, tidak hanya kita berbicara mengenai
isu apa yang harus kita angkat untuk pemberitaan besok. Jadi kita rapat hari ini
untuk planning-kan koran terbitan besok gitu. Nah, di situ kami selingi dengan
selalu sharing. Kita sharing untuk kita karyawan Radar Timika harus bersikap apa
adanya. Dan yang kami tekankan di sini adalah kesantunan. Kesantunan dalam dia
ketika dia mewawancarai, dan ketika dia menyapa, dan ketika dia bertemu dengan
orang baru. Kemudian, kami tanamkan sikap jujur. Jujur tidak hanya dia menulis
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
data. Karena wartawan harus jujur ketika dia menulis suatu berita kan dia harus
jujur. Dia tidak boleh ambil dari wartawan lain punya data baru dia tulis kan
nggak boleh. Jadi, jujur dalam dia menulis berita. Dan saya di sini tekankan kalau
saya dapat fakta, kalau ada wartawan kami atau redaktur kami yang bermain di
luar sistem, itu tidak segan-segan kita pecat.
N: Pernah ada kejadian seperti itu?
M: Saya sudah sering keluarkan SP (Surat Peringatan) untuk karyawan. Redaktur
pun saya keluarkan SP. Karena memang kita harus kerja dengan sistem. Kalau kita
bekerja di luar sistem itu tidak terkontrol kan akhirnya masing-masing jalan
sendiri. Aturan yang kita buat bersama, kita putuskan bersama dan kita harus
patuhi aturan itu. Jadi, redaktur senior pun SP tetap saya jalankan. Jangan sampai
ada like-dislike di kantor ini. Saya nggak mau. Jadi, kita melihatnya dari sisi
kinerja dan profesionalisme karyawan yang kerja. Saya pun ketika rapat pun saya
tanya satu-satu, “Apa yang kamu tidak suka dari kepemimpinan saya? Kalau kamu
tidak berani berbicara di depan langsung, tulis di kertas, nggak usah tulis namamu.
Kalau kamu nggak mau saya tahu siapa yang protes. Simpan di atas. Saya akan
ambil itu. Saya tidak mau mengevaluasi karyawan, tapi karyawan juga harus
evaluasi saya. Karena tidak semua kebijakan yang kita ambil itu baik buat
karyawan. Jadi kebijakan yang kita ambil pun kita rembuk bersama.
N: Ideologi Radar Timika ini mengadopsi Jawa Pos atau punya sendiri?
M: Ya, sama semua. Di Jawa Pos juga gitu. Kemarin saya berangkat ke Surabaya.
Saya ngobrol banyak dengan Pimred Jawa Pos juga. Memang di Jawa Pos pun
demikian. Karena memang kita ditanamkan untuk itu. Seperti itu.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Adakah alasan tersendiri dari Jawa Pos menempatkan ibu di Radar Timika?
M: Saya sampai sekarang belum dapat alasan yang jelas bahwa kenapa saya yang
dipilih. Saya nggak tahu dilihat dari sisi apa. Waktu itu saya liputan di Surabaya.
Kemudian, saya dihubungi bahwa harusnya hari Senin itu saya baru tiba di
Timika. Itu bulan Mei. Kemudian, saya ditelepon. Saya dari beberapa rekan-rekan
di Timika, sudah ada beebrapa yang menghubungi saya. “Selamat ya Ibu Mis jadi
Pemimpin Redaksi Radar Timika.” Saya kaget. Saya nggak tahu sama sekali. Saat
itu mereka dapat informasi dari Jayapura. Waktu itu ada bos-bos datang untuk
menentukan siapa ini di Radar Timika ini yang akan kelola Radar Timika ini?
Waktu itu saya lagi di Surabaya. Ada dari Jayapura, dari...termasuk pimpinan dari
Freeport, dari pemerintah, dari Polres.
N: Wah luas juga ya?
M: Iya, sudah nelpon. Akhirnya, langsung ditelpon lagi dari kantor bahwa Misba
kalau bisa Senin pagi harus sudah ada di kantor. Itu berarti malam kan
penerbangan dari Surabaya biasanya malam kan. Nah, itu sementara jam 11 itu
kan ada pesawat dari Surabaya ke Timika. Jam 9 itu saya ngurus tiket dan saya
berangkat malam itu, lewat Solo. Minggu sore saya tiba di Timika. Senin pagi
saya masuk. Senin pagi saya masuk, terus saya dipanggil sama pimpinan dari
Cepos. Berdua kita di ruang redaksi di atas. Saya dikasih wejangan, dikasih
nasihat. Tapi tidak dibilang bahwa kamu Pimred dan kamu GM menggantikan Pak
Octo. Nggak bilang sama sekali. Cuman saya dikasih motivasi, dikasih nasihat
bahwa kita bekerja harus begini. Kadang persoalan pribadi, kita sampingkan untuk
kepentingan kantor. Kalau kerja di media kadang waktu kita lebih banyak di
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
kantor daripada di rumah gitu. Jadi kerja di media itu apalagi menjadi pimpinan di
media itu. Jadi beliau lebih menceritakan kisahnya gitu. Tapi untuk dijadikan
motivasi ke saya gitu. Saya tidak tahu sama sekali. Kemudian saya turun. Waktu
itu Pak Octo ketemu dengan saya dan bilang bahwa saya Pimred Radar Timika di
sini. Tapi saya tidak dibilang bahwa saya GM menggantikan Pak Octo. Jadi, kita
tidak berpikir kalau Pak Octo diganti. Saya pun tidak ada bayangan Pak Octo
diganti sama sekali.
N: Ibu juga tidak tahu kenapa Pak Octo diganti kenapa?
M: Nggak, Jadi, waktu itu kan kita hanya di redaksi kan fokus hanya mengerjakan
berita. Manajemennya kan kita nggak tahu kan. Macam itu kan punya urusan
sendiri. Yang penting koran bisa terbit, itu urusan redaksi kan gitu. Kemudian jam
4 sore kami rapat umum. Semua karyawan Radar Timika ada, hadir. Pimpinan
d a r i Cepos hadir. Kemudian, kita duduk. Diberitahukan bahwa akan ada
strukturisasi di sini. Pergantian bahwa sekarang yang dicari adalah pimpinan-
pimpinan muda. Yang usia 30an. Saya tidak berpikir bahwa saya gitu. Walaupun
saya sudah tahu bahwa kalau Pimred itu kan per divisi kan. Jadi divisinya aja gitu.
Sama juga kayak di iklan ada manajernya. Kan sama per divisi. Di atas saya kan
masih ada senior-senior kan gitu. Tidak ada bayangan sama sekali dalam pikiran
saya bahwa saya akan menggantikan Pak Octo. Nggak ada sama sekali.
Menggantikan Pak Octo yang memang sudah dari dulu membangun Radar Timika
ini.
N: Kalau Pak Octo dari awal bu?
M: Iya jadi ada beberapa, Pak Octo, Pak Sumaryoto, Pak Bahar. Ada Mas Budi
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
satu yang sekarang jadi manajer desain kita. Itu mereka yang bangun Radar
Timika ini. Jadi, saya baru tahu sampai saya menggantikan Pak Octo setelah saya
SK saya dibaca saat rapat. Kalau Pemred, saya sudah tahu. Dan saya nggak kaget.
Tapi saya kaget ketika SK saya dibaca menggantikan Pak Octo. Di situ saya kaget.
Dan semua karyawan Radar Timika juga kaget. Saya sempat menolak. Bukan
berarti saya tidak...hmm semua orang pasti menginginkan. Ini pengembangan
karir. Cuma saya berpikir, ada yang lebih dari saya dari sisi pengalaman kerja gitu.
Jadi, saya menolak. Kalau Pimred mungkin saya terima. Tapi kalau memimpin
kantor ini masih ada yang punya pengalaman jauh dari saya. Tapi, pimpinan
bilang, “Terima nggak terima, kamu harus terima.” Dari situ, sepertinya Pak Octo
juga baru dengar akan diganti saat SK itu baru dibaca. Karena waktu itu, beliau
kaget dan nangis.
N: Sekarang Pak Octo pindah ke Harian Papua. Bagaimana hubungan ibu dengan
dia?
M: Kemarin baru ketemu dengan beliau di sini bahwa kami bersaing secara
profesional. Saya bilang, “Kalau saya di sini tidak berpikir tentang persaingan.
Karena ketika saya berpikir tentang persaingan, maka tiap hari saya akan
memplototi koran bapak. Dan saya tidak akan berpikir tentang apa yang akan saya
buat di koran saya. Saya akan pusing sendiri mikir lho kok Harian Papua bagus
ya gini gini. Nggak. Tapi saya bilang di sini dengan teman-teman, kita punya style
sendiri. Kita punya gaya sendiri. Itu aja. Pembaca yang akan menentukan mana
yang terbaik. Yang penting kita menampilkan yang terbaik.”
N: Ada alasan sendiri nggak, kenapa Jawa Pos membuat Radar Timika di Timika?
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
M: Setahu saya, waktu itu Timika termasuk daerah yang berkembang dengan
adanya Freeport. Otomatis aktivitas di sini meningkat. Dan perkembangan Timika
dengan adanya Freeport tahun ke tahun pasti jauh lebih baik. Berkembang.
Buktinya sekarang seperti itu. Akhirnya, Jawa Pos berani berinvestasi di sini. Dan
hasilnya seperti ini. Seperti itu. Jadi Jawa Pos sepertinya melihat potensi yang ada
di daerah.
N: Adakah faktor organisasi lain yang bekerja sama dengan Radar Timika bu?
M: Kami cukup men-support kegiatan-kegiatan misalnya tentang kekerasan
terhadap perempuan atau dia concern pada lingkungan, misalnya penanaman
kembali mangrove di area pesisir pantai. Nah, itu kami mendukung dengan cara
kita meliput, memberitakan bahwa semua harus memperhatikan lingkungan.
Semua harus memperhatikan kekerasan. Jadi, kita lebih ke pemberitaan gitu.
N: Jadi hubungan kerja samanya sejauh pemberitaan gitu ya?
M: Iya. Kalau dari segi pendapatan, nggak ada kerja sama yang profesional
dengan Radar Timika mendapatkan keuntungan dengan ini.
N: Bagaimana dengan pemerintah daerah?
M: Kalau pemerintah daerah misalnya dia pasang iklan gitu-gitu aja sih. Tapi
ketika Bupati salah jalan juga kita hantam juga. Ketika Bupati tidak ada di tempat
ya kita sikat juga. Gitu juga.
N: Jadi mereka pengiklan juga?
M: Ya. Biasanya mereka ngiklan cuma kaya pengumuman-pengumuman, ucapan
selamat, misalnya Idul Fitri, Natal. Seperti itu. Kerja samanya lebih ke situ sih. Di
mana-mana pemerintah juga pasang iklan kan.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Swasta hanya Freeport saja atau ada yang lain sih bu?
M: Biasanya kalau swasta itu dia biasanya sifatnya pariwara aja. Misalnya kaya
dia bikin berita, dia bayar. “Kami mau berita kami tampil di halaman depan Radar
Timika.” Itu profesional dibayar gitu.
N: Berarti, hubungan kerja ini apakah mempengaruhi pola kerja dari Radar
Timika?
M: Enggak. Kami tetap dengan prinsip. Seperti kayak di Pemda. Dia pasang iklan
dengan bayar sekian juta per halaman sesuai standar harga iklan. Tapi tidak
menghentikan kita untuk ketika pemerintah tidak sesuai dengan prosedur ya kita
kritik. Begitu pun dengan Freeport. Ya, begitu pun dengan Freeport juga. Jadi dia
beriklan di kita dengan bayar sekian belas juta, setengah halaman atau satu
halaman terus ketika ini ada tolong ya jangan, enggak.
N: Berapa tuh bu kalau satu halaman di sini?
M: Itu kita kalau satu halaman hitam putih itu 16,5 juta. Kalau warna itu 36,5 ya.
Kayaknya harga iklan yang termahal di Timika juga Radar Timika juga.
N: Konflik minuman keras itu banyak ya di Radar Timika?
M: Iya, ini yang jadi sorotan karena Radar Timika anti-miras. Sama dengan judi.
Saya pernah didatangi sama salah satu bos miras dan judi. “Mis, kamu maunya
berapa?” Jadi mau dikasih jatah-jatah gitu. Saya bilang, “Ke karyawan saja saya
tekankan kalau saya tahu saya pecat. Gimana saya mau terima?” Saya bilang,
“Kamu bayar saya berapapun, enggak.” Sempat saya didatangi sama bos judi,
minuman keras, togel. “Apakah 10 juta? Apakah 5 juta tiap bulan?” “Enggak,
kamu bayar berapapun, enggak.” Kita mungkin di media, saya punya gaji kecil.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Tidak sebesar orang di Freeport atau anda.” Dan memang prinsipnya, apapun kita
tidak mau. Sempat saya juga diprotes, kenapa Radar Timika selalu memberitakan
miras? Selalu judulnya menonjolkan miras. Saya bilang, “Yang berhak
menyatakan bahwa pertikaian di Kabupaten Mimika dipicu oleh minuman keras
adalah pihak kepolisian. Kami Radar Timika kan tidak memberitakan tentang ide.
Kami tidak bisa membuat satu kesimpulan bahwa okee konflik di Timika karena
miras. Tidak. Tapi karena memberitakan atas pernyataan. Itu atas pernyataan. Itu
bukan keluar dari Radar Timika sendiri. Tapi pernyataan dari pihak kepolisian.
Bukan opini dari wartawan. Tapi jadinya, kalau kita tegasin, biasanya kalau kita di
media itu kita kurang disukai banyak orang.
N: Nah itu bagaimana bu?
M: Ya saya apa adanya. Saya nggak mau mempermasalahkan selama saya
berjalan sesuai aturan, sesuai prosedur, tidak masalah. Selama kita sesuai dengan
jalur yang benar kan, ngapain harus takut kan.
N: Apakah pernah di Radar Timika ini misalnya memberitakan masalah
lingkungan karena Freeport gitu-gitu sampai Freeport akhirnya datang gitu, ibu
pernah?
M: Sempat. Sempat waktu itu kami beritakan tentang penembakan ya.
Penembakan di areal Freeport. Dan itu kan isunya internasional ya. Ada warga
Australi. Tapi didatangi bukan untuk intervensi, tapi memberikan penjelasan.
Bukan datang untuk, kenapa memberitakan kaya gini-gini, enggak.
N: Nggak pernah diancam?
M: Enggak, enggak. Kalau ancaman dari Freeport nggak pernah. Justru
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
ancamannya dari luar-luar ini, misalnya judi miras ini. Saya pernah diancam
selama satu minggu penuh. Sempat itu kalau bawa motor itu, tiba-tiba sms masuk
ke saya. “Kamu keluar dari rumah jam sekian. Kamu di atas motor, posisi
dudukmu seperti ini. Kamu pakai baju begini.” Itu saat saya memberitakan
masalah togel. Soalnya bukan pemberitaan, tapi dia tahu bahwa saya editornya.
Pokoknya berita itu muncul di grup kita di luar juga, sampai Indo Pos, Fajar.
Sampai akhirnya saya merasa sudah tidak nyaman. Saya lapor ke Polres. Dan
Kapolres bikin satu strategi untuk cari tahu bahwa siapa yang ngancam. Akhirnya,
dikirim tiga anggota opsnal. Jadi sebelum jalan kan, kita meeting kecil dulu
dengan mereka. Akhirnya dibikin satu rekayasa. Saya pura-pura belanja di suatu
toko. Kemudian mobil sama motor itu yang sering ngikutin saya. Oh, ketahuan
platnya motor sama mobil dicatat. Setelah itu, sampai sekarang saya nggak pernah
diancem lagi.
N: Oh iya?
M: Ehh tapi enggak. Pernah diancam sama salah satu tokoh masyarakat di sini
sekitar dua bulan yang lalu. Itu ada berita dia yang sangat menuding pihak lain.
Dan ini saya rasa tidak benar. Kalau berita itu kita muat, kantor Radar Timika ini
akan terbakar. Dia menuding sangat tendensius sekali. Akhirnya saya putuskan,
Redpel-nya koordinasi. Saya bilang, “Berita itu di-pending.” “Gak papa bu berita
itu kita pending? Takutnya orang ini kan temperamennya nggak bagus kan.” “Biar
saya yang hadapi.” Akhirnya, dia dapat nomor saya dari salah satu wartawan
senior di Mimika di luar, bukan orang Radar (Timika). Karena dia sampaikan
langsung, “Saya ambil nomor kamu dari si ini.” Ancam saya katanya, “10 menit
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
ini saya tidak boleh lihat kamu ada di Kabupaten Mimika. Kamu harus keluar dari
Kabupaten Mimika.” Saya bilang, “Saya akan keluar dari Kabupaten Mimika, tapi
saya harus ketemu bapak dulu. Saya harus tahu bapak siapa.” Kan namanya ada,
tapi physically kita belum tahu dia gitu. Dia balik, “Kamu mau nantang saya?” Ini
lewat telpon. Saya bilang, “Saya tidak menantang bapak. Tapi siapa tahu dengan
kita bertemu, kita bisa jadi teman. Kan bapak belum tahu saya bagaimana. Saya
juga belum tahu bapak seperti apa.” Dia maki-maki saya. Orang tua saya pun ikut
dimaki-maki dengan bahasa yang tidak enak bangetlah didengar. Saya pendatang
yang mengacaukan lah, segala macam itu. Saya bilang, “Kalau bapak bersedia,
jam 4 saya ketemu dengan bapak di warkop nanti. Setelah bertemu dengan bapak,
okay saya akan keluar dari Kabupaten Mimika.” Itu dia telpon saya sekitar jam 11
siang. Belum sampai jam 4 sore, dia telpon saya minta maaf. “Saya minta maaf.
Saya tadi emosi. Kalau ibu masih mau tetep ketemu, ayok kita ketemu sama-
sama.” Akhirnya, aman. Kita jadi teman. Dia nggak jadi ketemu karena ada alasan
lain. Itu masalah politik. Nah di sini juga kan sangat ini. Jadi di sini kita juga hati-
hati kalau urusan politik. Jangan sampai media dimanfaatkan begitu untuk
kepentingan. Ujung-ujungnya nanti media yang disalahkan. Kan selalu seperti itu.
Karena pemahaman orang ke media kan masih sangat kurang di sini. Dia sudah
keluarkan pernyataan itu, kita sudah beritakan. Nanti besok diprotes, dia salahkan
media. “Oo wartawan itu yang dengernya salah.” Nah, supaya itu tidak terulang
lagi, kita antisipasi, jangan itu.
N: Ada nggak sih kompetitor Radar Timika, mau media elektronik, cetak?
M: Di Timika ada empat koran ya. Ada Radar Timika, Salam Papua, Timika
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
eXpress, Harian Papua. Secara bisnis, kompetitor. Koran ini kan orang melihat
dari sisi kualitas. Kita mau pakai cara-cara bagaimana pun, tetap yang akan dipilih
adalah koran yang berkualitas. Saya ambil salah satu contoh. Kemarin misalnya
ada salah satu perusahaan. Dia pesan iklan di semua koran, tapi Radar Timika
harga iklannya beda. Jauh lebih tinggi dari koran yang lain. Karena dia lihat dari,
menurut mereka mungkin Radar Timika lebih bagus. Misalnya, hari ini saya dapat
surat konfirmasi dari Garuda. Kemarin semua koran berikan penawaran, ternyata
Garuda memilih Radar Timika. Garuda beriklan dan koran Radar Timika naik ke
pesawat Garuda. Hari ini tadi baru dapat surat konfirmasinya dari Garuda dan
akan mulai berjalan per 1 April besok. Jadi, semua kompetitor, cuman sekarang
yang kita pikir adalah bagaimana kita menampilkan yang terbaik saja. Karena
pasti orang melihat pada kualitasnya, entah dari hasil cetakannya, hasil editannya,
pemberitaannya, kelengkapan data dari pemberitaan, bagaimana wartawannya
motret, itu kan dia satu ini semua jadi ke produk Radar (Timika). Jadi saya tidak
ambil pusing dengan koran yang lain. Walaupun rata-rata memang kalau di atas.
Saya tidak mau berkaca ke yang lain. Prinsip saya, mereka yang harus berkaca
pada kami. Prinsip saya itu. Karena kita yang lebih kreatif. Jadinya, mereka
berkaca pada kita. Kalau kita berkaca pada mereka, kita yang ngikutin.
N: Secara lebih tua?
M: Radar (Timika).
N: Gimana cara dan strategi ibu dalam membangun sinergi dan pola kerja bagi
karyawan di sini?
M: Di sini kami membangun sistem kekeluargaan, di Radar (Timika). Jadi, banyak
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
karyawan yang punya persoalan pribadi datang curhat. Ketika saya merasa ketika
karyawan datang curhat ke saya berarti ada hubungan baik antara kami. Ketika
karyawan kekurangan, dia datang ke saya, berarti ada hubungan baik kita. Jadi
kita membangun emosional. Ketegasan, iya saya jalankan. Tapi di satu sisi,
kekeluargaan secara emosional pribadi, saya beruntung adanya mereka. Dan saya
selalu tekankan ke mereka bahwa Radar Timika yang keluar bukan saya. Tapi kita
semua. Karena kita di sini kerja tim. Kalau saya sendiri kerja, Radar Timika tidak
akan jadi. Jadi kita di sini kerja tim. Yang keluar adalah produk Radar Timika. Di
dalam Radar Timika itu ada siapa? Ada bagian iklan, ada bagian redaksi, ada
bagian percetakan, dan ada bagian pemasaran.
N: Kalau dalam memproduksi berita gimana?
M: Dalam produksi berita, saya tidak ada penekanan intervensi ke wartawan.
N: Tidak ada?
M: Tidak ada. Setiap rapat pagi saya selalu menekankan bahwa kalian mau nulis
apa aja, silakan. Tapi dalam tanda petik ikut kode etik pemberitaan. Ballance.
Kamu mau nulis tentang judi, silakan, karena kita tidak ada kepentingan dengan
perjudian. Mau nulis tentang miras, silakan. Mau nulis tentang pejabat siapa yang
korupsi, silakan. Nggak ada kepentingan apa-apa.
N: Apa sih hal terpenting yang sering ibu ingatkan ke wartawan?
M: Saya selalu sama wartawan itu mengingatkan bahwa jangan merasa bahwa diri
kita pintar. Karena kalau kita jadi wartawan itu jangan merasa bahwa tulisan saya
lebih bagus. Karena yang berhak menilai tulisan saya bagus adalah pembaca.
Sekarang tujuanmu adalah bagaimana kamu mengumpulkan data yang baik,
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
akurat, sumber yang berkompeten, dan foto yang baik. Itu yang akan kita
tampilkan. Dari hasil liputanmu, pembaca akan menilai bahwa siapa yang menulis
berita ini. Kalau kamu merasa kamu pintar, itu wartawan itu akan sombong, akan
merasa dia lebih dari yang lain, semuanya. Terus di sini yang kita tekankan juga
tentang sekarang itu kan seperti kita lihat dari teman-teman yang ada di Jakarta
bahwa wartawan disakiti dikit aja sudah jadi berita yang besar. Saya bilang,
“Sama dengan kita pelajari rumus kimia. Ada aksi, ada reaksi gitu kan.” Jangan
berpikir bahwa wartawan itu punya kebebasan. Kalau kita belajar satu pasal dari
pasal UU Pers Nomor 40 tahun 1999. Itu banyak kelemahan wartawan di situ. Ada
kan yang, “Kami sekarang bebas meliput apa saja.” Enggak. Nah, karena
pemikiran kebebasan itu akhirnya etikanya kalian langgar. Karena berpikir bebas
itu kan. Etikanya dikesampingkan. 11 Kode etik jurnalistiknya dikesampingkan.
Karena dalam pemikiran mereka, “Kami bebas. Saya wartawan. Kamu mau apa?
Mau apa? Saya bebas mau liput di mana saja.” Enggak. Itu yang kita tanamkan
teman-teman di sini. Jadi misalnya, kalau wartawan ada undangan gitu wartawan
kita kirim biasanya yang liput setelah berita muncul biasanya saya sering ditelpon.
Kan nomor saya ada di koran juga. Atau saya sering di-sms. “Terima kasih, ibu.
Kami sangat puas.” Paling sering seperti itu. Nah, biasanya kalau ada terima kasih
seperti itu ke wartawan bahwa pihak yang mengundang puas dengan kita, saya
sampaikan ke wartawannya saat rapat. Biar dia merasa bahwa hasil kerjanya baik
gitu. Ada motivasi buat dia. Tapi ketika dia tidak baik, disampaikan juga di rapat.
Biar dia mengoreksi gitu. Seperti itu sih.
N: Ada aturan sendiri nggak sih bu di Radar Timika terkait masalah doorprize
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
terus “amplop” saat liputan?
M: Iya, kita di sini misalnya kadang wartawan itu jujur, dia jujur. “Ibu, tadi saya
liputan ini. Dikasih transport. Begini, katanya, “Kalau kita tidak ambil, nanti kan
di laporan pertanggungjawaban mereka ada.” Saya di situ saya selama itu positif
bahwa memang yang penting gini kamu jangan menjual profesimu untuk
memperoleh sesuatu.
N: Tapi kalau misalnya berupa barang gitu gimana?
M: Enggak, biasanya dia bawa ke kantor. Kalau misalnya kayak ada seperti ini,
liputan terus dapet sesuatu dibawa ke kantor. Soalnya saya bilang, “Saya nggak
mau, jangan sampai misalnya ada pemberitaan ini terus kasih uang, tolong jangan
ditulis ya. Itu nggak boleh. Itu namanya jual profesimu.” Saya selalu bilang,
“Kami dengan teman-teman redaktur itu juga bekas wartawan. Kami pernah di
lapangan. Kami punya teman-teman lama itu masih ada semua. Jadi ketika kamu
menyimpang, pasti ketahuan. Kami pasti dapat informasi. Jadi hati-hati.” Biasanya
kita selalu gitu ke teman-teman. Tapi alhamdulillah, wartawan kita di sini masih
sangat patuh. Mereka patuh dan 11 wartawan di sini masih berada dalam sistim
kita. Dan teman-teman di sini yang saya senang dari mereka itu mereka sangat
terbuka dan terus mau belajar. Kalau dia merasa hari ini tidak maksimal, dia
sampaikan. Setelah itu, kita kasih motivasi. Dan kita kalau di sini juga kalau rapat
itu kita tidak evaluasi keras dalam rapat. Karena kita pelajar ketika kita evaluasi
keras di rapat pasti akan down dia. Karena merasa malu dengan teman-temannya.
Jadi, kalau misalnya wartawan ini kita rasa kinerjanya sudah menurun, kita
panggil secara pribadi bersama dengan Redpel. Kita nggak marah. Kita kasih
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
motivasi-motivasi. “Tidak semua orang dari sekian puluhan orang yang mendaftar
hanya kamu terpilih lho. Ini sudah kesempatanmu. Kalau kamu punya kesempatan
di sini, kamu nggak mau belajar dan nggak mau bekerja sungguh, jangan salahkan
kami kalau kami lepas.” Dari situ dia mulai bekerja baik lagi.
N: Di sini wartawannya ada berapa bu?
M: Ada 11 orang. 7 sudah karyawan tetap, 4 masih magang.
N: Ini nggak ada online-nya ya bu?
M: Kita online-nya ikut JPNN. Atau di JawaPos.com.
N: Ada pelatihan-pelatihan nggak sih bu untuk wartawan di sini?
M: Oh iya, jadi kita rasa bahwa ini sudah agak kendor dia, kita kasih push lagi
dengan materi-materi. Kita kasih lagi penyegaran ke mereka dari Redaktur yang
lain.
N: Apa sih tantangan terbesar ibu selama menjalani profesi sebagai Pemimpin
Redaksi Radar Timika?
M: Saya kalau tantangan dari luar, saya nggak terlalu berpikir untuk tantangan
dari luar. Kita kalau keluar kan pasti tentang strategi kan. Tapi saya berpikir ketika
saya bisa ini di dalam. Ketika saya bisa bersama-sama dengan karyawan di dalam.
Otomatis saya akan bisa di luar pun saya bisa. Tapi kalau di dalam saja saya tidak
mampu merangkul, saya pun akan beban untuk tidak bisa di luar juga. Jadi saya
lebih ke bagaimana saya internal. Kami kompak. Kami satu tim. Nah, tim ini yang
kami keluar. Tapi saya bersyukur sejauh ini teman-teman sangat men-support.
Kita saling mendukung.
N: Pernah nggak sih bu selama berdiri Radar Timika stop terbit? Entah karena
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
pemberitaan atau dibredel?
M: Hm...enggak. Kita tetap terbit. Mungkin kalau misalnya dari segi pemberitaan,
enggak. Paling cuman kalau mesin trouble ya. Tapi kalo mesin trouble pun kita
tetap cetak dikirim dari Cepos. Jadi malam kita desain di sini, pdf-nya kita kirim
ke Cepos, cetak di Cepos. Cepos kirim korannya lewat Garuda ke kami, baru kami
sebarkan. Pernah kita satu minggu cetak di Cepos karena mesin kita eror fatal.
Jam 11 baru ada koran di sini. Saya berpikirnya begini, ada dari salah satu koran
yang pimpinannya datang ke saya, “Kenapa tidak cetak di kami?” Saya
berpikirnya gini, “Dari segi bisnis, Radar (Timika) akan kalah kalau saya cetak di
kamu. Mendingan saya sibuk mengirim surat pemberitahuan ke mitra-mitra bahwa
koran akan kami bagikan sebentar jam 11 jam 12 daripada saya cetak di kamu.
Kenapa? Itu akan jadi senjatamu untuk kamu jual ke luar.” (Kamu bisa bilang ke
luar) “Sekelas Radar Timika aja lihat cetak di kami. Otomatis kami lebih bagus.”
Dari segini bisnis, kami akan kalah. Kenapa saya tetap cetak di Cepos juga. Itu
juga bahwa pelanggan kita, pembaca kita akan berpikir bahwa ternyata Radar
Timika jaringannya kuat. Buktinya, mesinnya cetak saja di Cepos. Itu efek
positifnya. Dan ternyata itu yang kami dapat.
N: Bagaimana kebijakan redaksi dalam pemilihan headline?
M: Ya, itu yang kita rapatkan. Jadi, putusan posisi di halaman mana-mana itu atas
rapat Redaktur. Jadi, rapat tiap jam 17.30, itu untuk memposisikan apakah berita
ini masuk ke halaman satu, halaman dua, halaman tiga, atau halaman lainnya. Itu
keputusan bersama Redaktur. Jadi, wartawan tidak punya wewenang untuk mau
memposisikan beritanya di halaman mana. Itu wewenangnya Redaktur. Jadi
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
wartawan hanya punya tugas, kamu nulis berita yang baik, foto yang baik, simpan
di foldermu. Redaktur yang akan melihat. Kalau untuk putusan HL, biasanya
Redpel dengan saya berkoordinasi.
N: Apa yang jadi faktor dalam HL?
M: Biasanya kita melihat isu publik. Kita melihat news-nya juga jadi sorotan.
Biasanya kita melihat dari isu-isunya sih.
N: Kalau isu-isu Freeport itu menurut ibu termasuk hal yang penting juga nggak
untuk diberitakan?
M: Ooo koran laku. Laku koran. Itu karena banyak yang bergantung hidup di
Freeport. Mungkin ya. Jadi, coba bayangkan, 30 ribu orang bekerja di Freeport.
Kita mengambil sekitar 18 sampai 19 ribu yang menikah. Dia menikah kan
otomatis dia punya istri, punya anak, punya keluarga, sebagian besar kan keluarga
karyawan Freeport kan di Timika. Nah, kalau misalnya suaminya di atas kan
otomatis istrinya akan cari tahu informasi tentang seperti apa Freeport. Kalau
Freeport tutup bagaimana masa depan kami. Nah, kalau misalnya isu Freeport itu
koran laku. Atau misalnya ada satu insiden di Freeport, itu kalau kita
beritakan..seperti ini, “Longsor di Underground, Satu Pekerja Tewas”. Ini tidak
ada intervensi. Kalau untuk Freeport pasti merugikan karena K3-nya mungkin
dinilai tidak bagus kan. Tapi apa adanya kita beritakan karena untuk informasi
untuk keluarga. Jadi isu-isu tentang seperti apa Freeport misalnya Freeport
menghentikan produksi. Kalau Freeport menghentikan produksi, berarti
berpengaruh tidak pada gaji? Apakah nanti karyawan terima bassic saja? Itu yang
bikin koran laku.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Siapa sih bu pembaca Radar Timika?
M: Kami semua kalangan. Semua umur. Karena kami punya halaman-halaman
suplemen. Ada “Racil”. “Racil” itu anak-anak TK. Kelompok bermain Radar
Cilik. Ada halaman “Klasik”. “Klasik” itu kita sambangi sekolah-sekolah.
“Klasik” itu Kelasku Asyik. Itu SD sampai SMA. Kita ada halaman “Komik”.
“Komik” itu Komunitas Mimika. Isinya kita memprofilkan satu komunitas yang
kegiatannya positif. Kemudian kita ada, yang kita sambangi ibu-ibu rumah tangga,
“Kuliner”. Kita tampilkan resep-resep. Kemudian, kita ada halaman “Wisata”.
Kenapa kita tampilkan halaman “Wisata”? Karena di sini pekerja. Orang sebagian
besar itu cari hiburan ke luar. Dia butuh referensi tempat wisata di mana saja, di
Indonesia ataupun di luar negeri.
N: Lalu ada rubrik apalagi bu?
M: Ada “Kesehatan”, “Gaya Hidup”, “Seputar Mimika” itu berita lokal seputar
pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan, serta ada “Metro Timika” itu berita
khusus yang kriminalitas, kalau halaman satu itu kita melihat isu dan ada
“Sambungan” di halaman dua. Ada berita “Ekonomi”, ada “OlSport” itu juga
berita-berita bola lokal, lalu ada “Mimika Dalam Gambar” itu adalah halaman
pariwara. Mereka bayar. Biasanya Freeport itu promosi kan program apa yang dia
buat. Misalnya, dia sambangi sekolah-sekolah, lingkungan. Nah, di situ euforia
anak-anak sekolah bagaimana, ternyata anak sekolah sambut baik. Atau dia ada
pembangunan di kampung. Nah, itu ditampilkan bahwa ini kami ada bangun
gereja, kami udah bangun sekolah. Itu ditampilkan di gambar seperti ini mungkin
tujuan Freeport supaya masyarakat semua tahu, mungkin ya. Tapi kita kan
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
profesional Freeport bayar jadi kita muat aja gitu.
N: Kalau situasi dalam rapat nih bu. Ibu melempar isu, terus nanti ada sautan dari
wartawan atau wartawan punya isu apa lalu didiskusikan bersama?
M: Ya, kita diskusi. Jadi, ada penugasan dari Redaktur. Misalnya, Redaktur punya
materi ini ditugaskan ke wartawan yang punya pos-posnya. Kemudian dari saya.
Nah, setelah itu kita sharing dengan wartawan. Wartawan punya informasi apa.
Apa ada isu yang wartawan tahu yang Redaktur tidak tahu? Nah, di situ kita
sharing. Nah, dari situ kita planning-kan untuk koran terbitan besok. Jadi, koran
yang terbitan besok itu biasanya sudah kita rancang hari ini. Fotonya harus
bagaimana, gitu..gitu. Apa dia vertikal atau diagonal.
N: Di sini reporter sendiri dan fotografer sendiri dalam penugasan atau merangkap
reporter jadi fotografer juga?
M: Kami masih reporter merangkap fotografer. Tapi ada memang wartawan yang
kita lihat dia punya potensi fotonya bagus. Nah, biasanya pada momen-momen
tertentu wartawan yang punya foto bagus ini kita float-kan untuk membantu foto
gitu. Seperti itu.
N: Ini yang terakhir bu. Punya nggak bu kebijakan sendiri dalam memberitakan
Freeport? Apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan?
M: Apa saja silakan diberitakan. Cuman etikanya tidak untuk Freeport. Ke
siapapun tetap harus konfirmasi. Itu aturan pemberitaan. Sebenarnya itu bukan
kebijakan masing-masing media, tapi aturan pemberitaan seperti itu. Bahwa
apapun harus kita konfirmasi. Jadi, kita tidak punya hak untuk menuding siapa.
N: Jadi setiap ada permasalahan apa, yang dituding siapa akan dimintai
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
konfirmasi. Kalau belum menemukan akan di-pending beritanya?
M: Iyaa. Tapi biasanya kita lihat pada siapa yang berbicara juga. Kalau Bupati kan
wewenangnya dia kan.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Wawancara Langsung
Manager Umum/Personalia Radar Timika Rony Setiawan
N: Di sini terima berapa kali gaji pak?
R: Kita gajinya 15 kali. Kita gajian per bulan, kemudain THR Natal itu Protestan
dan Katolik terima gaji full, jadi dia bulan itu terima 2 kali gaji, gajinya utama
sama THR-nya satu kali gaji full, nanti yang muslim terima gaji pokok saja. Nanti
kalau pas Idul Fitri, yang muslim terima 2 kali gaji, yang Protestan dan Katolik
terima gaji pokok. Gantian. Kemudian nanti bonus akhir tahun beda lagi, itu setiap
bulan April. Jadi kalau yang lain kan yang Natalan yang Protestan dan Katolik
saja yang terima THR, Muslim tidak. Kalau di kita, Muslim tetap terima yang gaji
pokok.
N: Bonus untuk wartawan ada pak?
R: Terus kalau wartawan yang bonus itu, kita ada target berita mereka 1 bulan
berapa, kalau dia memenuhi target itu ada bonusnya. Dan lumayan, bonusnya bisa
sampai Rp 600 ribu. Itu belum hitungan dengan transport lagi. Terus kalau di sini,
biasanya kan kalau yang lain itu, uang makan kalau karyawan tidak masuk kan
dipotong, kalau di sini tidak. Kalau dia tidak masuk, dia izin untuk tidak masuk,
itu tidak dipotong.
N: Gimana cara meningkatkan kesejahteraan di sini?
R: Ya dipacu saja dari kualitas kerja. Semakin kualitas kerja bagus, semakin tinggi
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
penghasilannya. Jadi semakin banyak berita, semakin bagus kualitas beritanya, itu
semakin tinggi pendapatannya. Kalau headline itu nilainya berbeda. Nulis feature
itu juga nilainya berbeda. Foto pun ada bayarnya, walaupun kecil tapi kita hargai.
Jadi yang banyak, dia juara 1, nah kalau juara 1, beritanya banyak, nilainya tinggi,
itu otomatis bonus transportnya juga tinggi. Jadi penggajian bonus dengan
transport, kita lihat dari kinerja. Kalau gaji pokok, tetap. Itu tidak diganggugugat.
Di sini juga dikasih kemudahan bagi karyawan untuk kredit motor, kredit kamera,
nanti dicicil potongan gaji.
N: Selain Bapak Octo, banyak karyawan yang diganti kah?
R: Jadi dulu ada 8 orang keluar dari Radar Timika. Mereka bikin koran baru
namanya Timika eXpress. Jalan...jalan...jalan, ganti manajemennya, beberapa
orang keluar lagi bikin Salam Papua. Dari Salam Papua, keluar lagi 2 orang, bikin
lagi namanya Harian Papua, tempatnya Pak Octo sekarang. Dia (Pak Octo) jadi
pimpinan umum, kemudian pimpinan perusahaan. Kemudian merekrut-rekrut,
terus panggil wartawan di Timika ini yang nganggur, redaktur, gabunglah di
Harian Papua, terus jalan sampai sekarang.
N: Radar Timika ini posisinya di mana kalau di grup Jawa Pos?
R: Kami di bawahnya Cenderawasih Pos. Jadi Jawa Pos Gorup punya anak
Cenderawasih Pos. Nah Cenderawasih Pos punya anak lagi Radar Timika dan
Radar Sorong. Nanti mau buka lagi di Manokwari.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
N: Bagaimana hubungan Freeport dengan Radar Timika?
R: Sekarang Freeport sudah baik, sudah mulai terbuka. Tidak seperti dulu.
Zamannya Soeharto itu tertutup sekali. Sekarang itu kan sudah terbuka, jadi akses
masuk sudah. Malah sempat itu kita dapat kesempatan setiap tahun naik ke
wilayah tambangnya. Radar Timika selalu dikasih kesempatan setiap tahun naik
satu kali. Tapi setelah kasus penembakan-penembakan, mulailah dibatasi, tidak
boleh sembarang orang naik. Tapi ini, bulan kemarin dikasih kesempatan naik,
kalau perlu dengan grup Jawa Pos sekalian, Cenderawasih Pos. Karena mereka
sadar kalau naik di Radar Timika, peluang untuk dimuat di grup Jawa Pos itu
besar. Apalagi kalau panggil petinggi-petinggi Jawa Pos datang. Pasti semua grup
pergi liput.
N: Kalau di sini, Freeport kontrak iklan berapa?
R: Itu kalau satu tahun itu 800 juta, itu semua ya, pariwara, advetorial, dan
langganan koran.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
BIODATA WARTAWAN DI SKH RADAR TIMIKA
1. Nama Lengkap :
2. Jabatan / Pekerjaan :
3. Tempat, Tanggal Lahir :
4. Jenis Kelamin :
5. Hobi :
6. Agama :
7. Status Perkawinan :
8. Jumlah Anak :
9. Suku :
10. Kota Asal :
11. Alamat Rumah :
12. Telepon Rumah / HP :
13. Masuk Radar Timika Sejak :
14. Sejarah Pendidikan
TK :
SD :
SLTP :
SMU :
Perguruan Tinggi :
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
15. Sejarah Pekerjaan
Tahun Pekerjaan
16. Pengalaman Organisasi (dulu-sekarang) :
17. Aktivitas / Kegiatan di Luar Pekerjaan :
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Education
Elementary School(2000 - 2006)Strada Nawar
Junior High School(2006 - 2009)Marsudirini Marganingsih
Senior High School(2009 – 2011)Seminari St. Petrus Canisius
Bachelor Degree(2012 – )Multimedia Nusantara Univ.
Skills
Adobe Illustrator, Adobe Photoshop, Adobe Indesign
Word, Excel, Power Point
Indepth Reporting, Creative Writing, News Writing, Article Editing, Radio Journalism, TV Journalism, Photography
Adobe Creative
Microsoft Office
Journalism
Public Speaking
AQUILA Magazine (2010)
(2010)
(2011)
(2012)
(2014)
(2014)
(2014)
(2014)
(2014)
(2014)
(2014)
(2014)
Reporter
Admissions Seminari St. Petrus CanisiusVice President
Organization Experience
EnglishLatin
Languages
Awards
ABOUT MENIKOLAUS HARBOWOJOURNALIST
BEKASI | INDONESIATanjung VI, BS: 26 No: 26, Kranggan Permai
Bekasi
Muntilan, Magelang
Mertoyudan, Magelang
Pangudi Luhur St. YosefSolo
(2011 – 2012)
TangerangBachelor of Communication in JournalismGPA 3.67
OSIS Seminari St. Petrus CanisiusMember
COMPRESS Multimedia Nusantara University Art Division
“Non scholae sed vitae discimius.”
ULTIMAGZ MagazineEditor in Chief
Kompas Kampus Batch IIMember
Pekan Produk Kreatif IndonesiaReporter
Rajaspot(dot)comReporter
Journalism Training National Level at MakassarMember
Candle Tree Senior High SchoolJournalism Teacher
Borobudur Youth Forum - UNESCOMember
Ikatan Bikers Multimedia Nusantara University Public Relations
The 2nd and 3rd Winner(2009)Book Reviews & Writing Contests
The 3rd Winner(2013)“Back To Feature” Competition
Multimedia Nusantara University
Seminari St. Petrus Canisius
The 2nd Winner(2011)Communication Interest Festival
Atma Jaya University, Yogyakarta
+62877 8023 5330
nikolausharbowo.wordpress.com
I have an honest attitude, discipline, good communication, and analytical skills. I have the ability to work individua-lly and team.
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Kompas MuDa (2011)Journalism Team
Character Building Training (2012)Participant
Conference on New Media Studies (2012)
Participant
The title of article: “Yuk Cintai Gamelan!”
Multimedia Nusantara University
Multimedia Nusantara University
Certificates
DISKOTIK (Diskusi Tentang Komedi dan Kritik) (2012)ParticipantMultimedia Nusantara University
Teamwork and Leadership Training (2013)
ParticipantMultimedia Nusantara University
Marketing PR: “To Change The Different, Become The Excellent” Seminar (2013)
ParticipantCommunication Festival Multimedia Nusantara University
SCTV Goes To Campus: “Konvergensi Media Menuju Era Digital” (2013)
ParticipantMultimedia Nusantara University
Transparency International Indonesia (2014)
ParticipantMultimedia Nusantara University
“Media Milik Siapa? Menggugat Independensi Media dalam Pemilu 2014”
Bung Hatta Tour: The Discussion of Anti-Corruption Musical (2014)
ParticipantMultimedia Nusantara University
Forum Ultima: “Great Language, Great Community” (2015)
Participant
Multimedia Nusantara University
Democratic Dialogue In 140 Character (2015)
ParticipantMultimedia Nusantara University
The Role of Social Media in Indonesia’s Presidential Election
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016
Wacana pembangunan..., Nikolaus Harbowo, FIKOM UMN, 2016