lesi jar lunak rm.docx
TRANSCRIPT
Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS)Ditulis pada April 8, 2011
[Definisi]
Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) merupakan ulser suatu kelainan yang ditandai dengan berulangnya ulser dan terbatas pada mukosa rongga mulut pasien tanpa adanya tanda-tanda penyakit lainnya (Lynch et al., 1994).
Berbagai klasifikasi RAS telah diajukan, tetapi secara klinis kondisi ini dapat dibagi menjadi 3 subtipe; minor, mayor, dan hipetiformis. Semua tipe ulserasi dihubungkan dengan rasa sakit dan presentasi klinis dari lesinya. Ulser minor memiliki diameter yang besarnya kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa disertai pembentukan jaringan paut. Ulser mayor memiliki diameter lebih besar dari 1 cm dan akan membentuk jaringan parut pada penyembuhannya. Ulser herpetiformis dianggap sebagi suatu gangguan klinis yang berbeda, yang bermanifestasi dengan kumpulan ulser kecil yang rekuren pada mukosa mulut (Lynch et al., 1994; Lewis & Lamey , 1998).
[Etiologi dan Patogenesis]
Etiologi dan patogenesis RAS belum diketahui pasti. Ulser pada RAS bukan oleh karena satu faktor saja (multifaktorial) tetapi dalam lingkungan yang memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari trauma, stres, hormonal, genetik, merokok, alergi, dan infeksi mikroorganisme atau faktor imunologi (Scully et al., 2003: Kilic, 2004).
Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat bicara, kebiasaan buruk (brukism), atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman yang terlalu panas. Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan berkembangnya RAS pada semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung (Houston, 2009).
Pada beberapa wanita mengalami rekurensi RAS setiap bulan yang berhubungan dengan perubahan hormon, selalu ditandai dengan peningkatan kadar progesteron saat fase luteal siklus menstruasinya. Pada wanit sekelompok RAS sering terlihat di masa pra menstrual bahkan banyak mengalami berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor homonal antara lain hormon estrogen dan progesteron (Lewis & Lamey , 1998).
Beberapa mikroorganisme di dalam rongga mulut diduga juga berperan penting dalam patogenesis RAS, terutama golongan Streptococcus. Berdasar penelitian terdahulu, kecenderungan lebih besar untuk terjadi reaksi hypersensitivitas tipe lambat terhadap Streptococcus sanguis diantara pasien RAS (Lynch et al., 1994).
[Gambaran Klinis]
Ulser mempunyai ukuran yang bervariasi 1-30 mmm, tertutup selaput kuning keabu-abuan, berbatas tegas, dan dikelilingi pinggiran yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberap ahri atau bulan. Karateristik ulser yang sakit terutama terjadi pada mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa orofaring (Banuarea, 2009).
Minor Recurrent Aphthous Stomatitis
Sebagian besar pasien (80%) menderita bentuk minor (MiRAS), yang ditandai oleh ulser bulat atau oval, dangkal dengan diameter kurang dari 5 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang erimatus (Gambar 1). Ulserasi pada MiRAS cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal, dan dasr mulut. Ulserasi bias tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas empat atau lima dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas (Lewis & Lamey , 1998).
Mayor Recurrent Aphthous Stomatitis
Stomatitis aptosa mayor yang rekuren (MaRAS), yang diderita oleh kira-kira 10% dari penderita RAS, lebih hebat daripada MiRAS. Secara klasik, ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm, berlangsung selama 4 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin (Gambar 2 dan 3). Tanda pernah adanya MaRAS berupa jaringan parut terjadi karena keseriusan dan lamanya lesi (Lewis & Lamey , 1998). Lynch et al. (1994) mengatakan bahwa pasien dengan ulser mayor mengalami lesi yang dalam dengan diameter 1-5 cm.
Menurut Langlai & Miller (2000), ulser seringkali multiple, terjadi pada palatum lunak, tsucea tonsil, mukosa bibir, mukosa pipi, lidah dan meluas ke gusi cekat. Biasany lesi asimetri dan unilateral. Gambaran ulsernya yaitu ukuran besar, bagian tengah nekrotik dan cekung, tepinya merah meradang.
Ulserasi Herpetiformis
Tipe RAS yang terakhir adalah ulserasi herpetiformis (HU). Istilah “herpetiformis” digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer. Tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam setiap bentuk ulserasi aptosa (Lewis & Lamey , 1998).
Gambaran mencolok dari penyakit ini adalah erosi-erosi kelabu putih yang jumlahnya banyak, berukuran sekepala jarum yang membesar, bergabung dan menjadi tidak jelas batasnya (Gambar 4). Ukurannya berkisar 1-2 mm sehingga dapat dibedakan dengan aptosa namun tidak adanya vesikel dan gingivitis bersama sifat kambuhan membedakannya dari herpes primer (Gambar 5) dan infeksi virus lainnya (Langlais & Miller, 2000; Porter & Leao, 2005 ).
[Diagnosis]
Diagnosis RAS berdasarkan pada penampilan klinis ulser serta riwayat penyakitnya. Perhatian harus khusus ditujukan pada umur terjadinya, lokasi, lama (durasi), serta frekuensi ulser. Setiap hubungan dengan kelainan pencernaan, haid, stress, serta makanan harus dicatat (Lewis & Lamey , 1998).
[Terapi dan Perawatan]
Banyak obat-obatan, termasuk vitamin, obat kumur antiseptik, steroid topikal dan imunomodulator sistemik, dianjurkan sebagai pengobatan untuk RAS. Kombinasi vitamin B1 dan vitamin B6 diberikan selama 1 bulan dianjurkan sebagai penatalaksaan tahap awal. Namun, beberapa pasien memberikan respon yang baik terhadap obat kumur khorhexidin serta kortikosteroid topikal (hidrokortison hemisuksinat atau betametason natrium fosfat). Penggunaan terapi anxiolitik atau rujukan untuk hipnoterapi dapat memebantu penderita yang diperkirakan memiliki faktor preipitasi berupa stress (Lewis & Lamey , 1998).
Obat-obat sitemik seperti levamisole, inhibitor monoamine oksidase, thalidomide, atau depsone, digunakan untuk penderita yang sering mengalami ulserasi oral yang serius. Tetapi, penggunaan obat-obat ini harus dipertimbangkan secara hati-hati berdasarkan pertimbangan efektivitas serta efek sampingnya (Lewis & Lamey , 1998).
LESI JAR LUNAK RM
STEP 1
1. Burning mouth sensation (BMS):
Gejala berupa nyeri pada mulut yang biasanya ditemukan pada 2/3 anterior lidah, palatum
durum, dan bibir, ejala berupa panas dan terbakar, gejala tidak disertai gejala klinis maupun
laboratoris.
2. Kanker nasofaring:
Kanker yang terdapat pada belakang antara nasofaring dan hidung yang berasal dari epitel
pseudostratified columnar tipe respiratori dan epitel non keratinisasi, etiloginya yaitu virus epstein
bar, genetis, faktor lingkungan, contoh: ikan asin (mengandung neutrosamin yang dapat
mengaktifkan virus tersebut).
3. Apthous stomatitis:
Lesi pada mukosa rongga mulut yang sering terjadi dengan ulser yang biasanya terletak
pada jaringan lunak yaitu bibir, palatum durum, dan lidah. Apthus stomatitis ada dua tipe yaitu akut
dan kronis.
4. Terapi radiasi:
Terapi yang bertujuan untuk membunuh sel sel yang tumbuh dengan cepat seperti sel
kangker yaitu dengan memenfaatkan proses ionisasi dengan dosi kurang dari 75 cgy bila lebih dari
itu akan menyebabkan degenerasi asinar, fibrosis, dan atropi.
STEP 2
1. Bagaimana perawatan pendahuluan untuk mencegah terjadinya efek samping terjadinya terapi
radiasi pada rongga mulut ?
2. Apa efek samping dari terapi radiasi dan penatalaksanaannya ?
3. Apa terapi yang sesuai pada skenario (BMS dan apthous stomatitis) ?
STEP 3
1. Bagaimana perawatan pendahuluan untuk mencegah terjadinya efek samping terjadinya terapi
radiasi pada rongga mulut ?
a. Evaluasi jaringan periodonsium dan gigi yang mejadi karies infeksi serta merawat karies bila ada.
b. Kontrol plak.
c. Hidup sehat, contoh: olah raga dan makan makanan yang begizi.
d. Foto panoramik untuk mengetahui kelainan yang ada.
2. Efek samping dari terapi radiasi dan penatalaksanaannya ?
a. Mukosa tampak eritomathous dan terdapat perbahan histologi dan fisiologi.
b. Perubahan pada kelenjar ludah rongga mulut karena xerostomia yang disebkan karena sel asinar
yang terganggu karena radiasi, jadi volume saliva turun, protein saliva naik, PH rendah dan bakteri
meningkat.
Hubungan antara dosis penyinaran dan sekresi saliva adalah:
1) Dosis <10 gray dapat menyebabkan penurunan volume saliva
2) Dosis 10-15 gray dapat menyebabkan hiposalivasi
3) Dosis 15-40 gray dapat menyebabkan reduksi sliva semakin nyata dan reversibel
4) Dosis > 40 gray dapat menyebabkan kerusakan sel kelenjar saliva memperparah kelenjar salivasi
c. Osteoradionekrosis adalah nekrosis pada tulang yang disebabkan oleh radiasi. Gejalanya adalah
rasa sakit yang berdenyut-denyut, tulang yang nekrosis dengan adanya fistula orokutaneus dan
sequester, fraktur patologis, supurasi, dan halitosis karena adanya jaringan yang nekrosis.
d. Mukositis yaitu rasa nyeri pada saat menelan mukosa tampak berwarna putih yang terpinya yaitu
denga makan makanan yang bernutrisi, pemberian obat kumur, obat sedatif dan vitamin C serta
kontrol OH, pakai anastesi lokal serta antiseptik.
e. Gigi dapat terjadi mengalami hiperemia sensitif terhadap termis dan dapat terjadi gangguan erupsi
gigi yang sedang berkembang tumbuh. Karies radiasi juga dapat terjadi untuk melindungi terjadinya
karies radiasi tersebut menggunakan pasta gigi yang berflour atau flour topikal.
f. Kasus TMJ dapat dilatih membuka dan menutup mulut.
Efek samping dari terapi radiasi dapat diminimalkan dengan penggunaan radioprotektor
amyfostine. Dalam penelitian, amyfostine dapat melindungi mice, rat, guinea pig, anjing dan
monyet dari dosis radiasi yang mematikan. Jaringan normal yang dapat dilindungi oleh amyfostine
yaitu kelenjar saliva, sumsum tulang, ginjal, kulit, mukosa oral, sistem imun, testis, dan esofagus.
3. Terapi pada skenario (BMS dan apthous stomatitis) ?
a. Terapi BMS:
Dapat disesuaikan pada penyebabnya yaitu ada 4:
1) Sistemik
2) Lokal
3) Idiopatik
4) Psikologi
Contoh yang dapat dilakukan yaitu:
1) Meningkatkan asupan nutrisi pada pasien yang defisiensi nutrisi
2) Mengotrol penyakit sistemik
3) Mengganti resep obat yang menyebabkan BMS
4) Xerostomia dapat memakai obat kumur
5) Depresi menggunakan obat anti depresan
b. Terapi apthous stomatitis
1. Menggunakan obat kortikosteroid topikal, analgesik dan anti mikroba.
2. Menggunakan clorheksidin
3. Terapi dapat difokuskan pada simtom, kausatif atau suportif.
STEP 4
Mapping:
STEP 5
Mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan pasien yang sedang melakukan terapi radiasi,
pra-terapi, selama terapi, dan pasca radiasi yang berhubungan dengan kedokteran gigi.
STEP 6
Mandiri
STEP 7
Penatalaksanaan Efek Samping Pada Rongga Mulut Dari Radioterapi Secara Umum:
1. Pra Radioterapi
Sebelum dilakukan terapi radiasi, rongga mulut pasien terlebih dahulu diperiksa dan dirawat
oleh dokter gigi. Hal ini mencegah fokal infeksi. Perawatan yang dapat dilakukan sebelum
radioterapi yaitu restorasi, skalling, pemolesan dan perawatan endodonti pada gigi non vital serta
yang terpenting adalah meningkatkan mutu dan kecekatan gigi tiruan.
Untuk mencegah karies radiasi, pasien diwajibkan melakukan topical aplikasi fluor 1%
digunakan 2 hari sekali selam 5 menit/ penggunaan pasta gigi dengan kandungan fluor 3% NaF dua
kali sehari. Selain itu juga perlu mengistruksikan pada pasien untuk mengonsumsi diet yang tidak
kariogenik. Penggunaan bulu sikat gigi yang lembut, kumur- kumur dengan khlorheksidin,
pemakaina dental floss dpat pula digunakan untuk memaksimalkan pembersihan plak (Ginting,
2009).
2. Selama Radioterapi
Selama pelaksanaan radioterapi kanker pada daerah leher dan kepala, dokter gigi melakukan
perawatan–perawatan terhadap efek samping di rongga mulut:
a. Pada pasien yang mengalami xerostomia saat radioterapi maka dapat diberikan terapi pilocarpine
dan saliva pengganti.
b. Pada pasien yang mengalami kerusakan kuncup kencap saat radioterapi dapat dengan memberikan
supplemen makanan yang mengandung mineral besi.
c. Pada pasien yang mengalami mukositis saat radioterapi dierikan terapi analgesic, tablet hisap yang
berisikan campuran antimikroba polimiksin E, Tobramisin, dan amfoterisin B.
d. Pada pasien yang mengalami karies radiasi dapat dilakukan perawatan restorative gigi.
e. Pada pasien yang mengalami trismus dapat dilakukan latihan secara simultan membuka dan
menutup mulut agar tidak terjadi fibrois otot dan ligamen yang mengelilingi temporo mandibular
joint, sehingga otot pengunyahan dan ligament kehilangan elastisitasnya.
f. Pada pasien yang mengalami osteoradionekrosis dapat diberikan pembuangan ttulang yang
nekrosis, perbaikan vaskularisasi dan jaringan yang rusak, terapi antibiotik (Ginting, 2009).
3. Pasca Radioterapi
Setelah pelaksanaan radioterapi berakhir, dokter gigi dapat, melakukan pemeriksaan kondisi
rongga mulut pasien setiap tiga bulan sekali. Kondisi mutu dan kecekatan gigi tiruan pasien harus
diperiksa. Jika dilakuakn pencabutan gigi, maka diberikan terapi hyperbaric oxygen dan antibiotic
sistemik pada pasien. Dan perlu menginstruksikan pasien untuk tetap memelihara kebersihan
rongga mulut pasien (Ginting, 2009).
a. Penatalaksanaan Sindrom Mulut Terbakar (BMS)
Sindrom mulut terbakar (BMS) digunakan untuk menerangkan adanya keluhan rasa terbakar
pada lidah, palatum, atau bibir. Dimasa lampau istilah glosodinia, stomatopirosis, dan diestesia oral
digunakan untuk menerangkan kondisi ini (Lewis, 1998).
Pemeriksaan mukosa mulut pada BMS tidak menunjukkan adanya suatu abnormalitas.
Kadang-kadang pasien menunjukkan daerah yang dicurigakan tapi umumnya itu hanya merupakan
papilla lingual yang menonjol atau kelenjar sebasea (Lewis, 1998).
Ada 3 tipe penderita BMS itu sendiri:
Tipe 1 rasa terbakar tidak terjadi pada waktu bangun tidur dipagi hari tetapi akan terasa bila hari telah
siang.
Tipe 2 rasa terbakar dirasakan pada pagi hari segera setelah bangun dan menetap sampai penderita tidur
lagi.
Tipe 3 rasa terbakar hilang timbul dan menyerang tempat-tempat yang tidak umum, seperti dasar mulut
dan tenggorokan (Lewis, 1998).
Sindrom mulut terbakat (BMS) ini merupakan kondisi multifaktorial dengan berbagai faktor
presipitasi. pengobatan awal meliputi penyelidikan semua penyebab potensial dan oleh karena itu
kita perlu dilakukan bebagai tes (Lewis, 1998).
Pemeriksaan hematologi harus bias membedakan sindrom ini dengan defisiensi nutrisi dan
diabetes militus. Kandidosis dapat dideteksi dengan melakukan pengapusan, usapan, dan kumur-
kumur (Lewis, 1998).
Pengobatan pada kasus ini adalah dengan pemeriksaan yang telah diuraikan. Pengobatan
yang pertama harus mencakup member penjelasan kepada pasien tentang sifat masalah dan bahwa
ada gangguan serius terutama kanker pada mulut. Pasien harus diberikan vitamin B1 300 mg sekali
seharidan vitamin B6 50 mg setiap 8 jam untuk waktu 1 bulan (Lewis, 1998).
Terapi obat antidepresi trisiklik mempunyai peran pada penderita BMS yang tidak
mempunyai faktor-faktor presipitasi lainnya. Karena beberapa obat trisiklik mempunyai aktivitas
anxiolytic, antidepresan dan relaksan otot, obat-obat ini bermanfaat bagi mereka yang menderita
ansietas, depresi, fobia akan kanker atau yang mempunyai aktivitas parafungsional. Pada umumnya
prognosis untuk BMS tipe 1 lebih baik dari pada tipe 2, karena tipe yang disebutkan terakhir,
kecemasan kronis merupakan penghambat kesembuhan. Prognosis BMS tipe 3 umumnya baik,
asalkan faktor diet baik dan tidak dijumpai adanya faktor alergisecara keseluruhan, pasien penyakit
BMS ini 70% dapat disembuhkan (Lewis, 1998).
b. Penatalaksanaan Mukositis Oral
Mukositis:
Mukositis oral didefinisikan sebagai suatu eritem dan ulserasi di mukosa oral yang terjadi
pada pasien dengan kanker yang dirawat dengan kemoterapi dan/atau radiasi di daerah yang
berdekatan dengan rongga mulut. Lesi mukositis oral seringkali terasa sangat sakit dan mengganggu
asupan nutrisi, kebersihan mulut sehingga meningkatkan resiko terjadinya infeksi lokal dan
sistemik. Oleh karena itu, mukositis oral merupakan komplikasi perawatan kanker yang sangat
berpengaruh padaa terapi kanker dan seringkali terkait dengan komplikasi yang berhubungan
dengan dosis terapi (Vera, 2007).
Gambar 1. Lesi mukositis oral pada mukosa (A) bukal dan (B) lateral lidah yang terjadi pada
pasien dengan karsinoma sel skuamosa di lidah yang menerima radiasi dan kemoterapi.
Mukositis oral terjadi akibat efek inflamasi dan sitotoksik dari pemberian radioterapi dan
atau kemoterapi. Mukositis oral akibat radioterapi secara patofisiologis merupakan efek langsung
sitotoksik terhadap epitel dan respon inflamasi lokal. Selain itu, radiasi juga akan mengenai
struktur fasial dan oral termasuk kelenjar saliva mayor. Saliva membantu mengatur homeostasis
oral dengan perannya sebagai pelembab, pelumas, bufer, dan antimikroba. Perubahan kuantitas
dan kualitas saliva akan berefek pada fisiologi, pertahanan, dan ekologi mikrobial orofaring,
sehingga menurunkan kemampuan proteksi mukosa mulut (Leung, 2003).
Insidensi mukositis oral biasanya ditemukan cukup tinggi pada pasien dengan tumor primer
di rongga mulut, orofaring atau nasofaring, pasien dengan perawatan kemoterapi konkomitan,
pasien yang menerima radiasi lebih dari 5000 cGy dan pasien yang menerima terapi radiasi
fraksinasi (Lalla, 2008).
Beberapa faktor diketahui mempunyai peran dalam membedakan timbulnya mukositis oral
pada pasien yang menjalani kemoterapi dan/ atau radiasi untuk kanker di regio kepala dan leher.
Faktor-faktor tersebut adalah usia, jenis kelamin, penyakit sistemik, ras dan faktor spesifik yang
terkait dengan jaringan. Faktor spesifik jaringan meliputi jenis jaringan epitel, kebersihan rongga
mulut yang terkait dengan mikroba oral dan fungsi jaringan (Lalla, 2005).
Penatalaksanaan Mukositis Oral:
Sampai saat ini, terapi paliatif merupakan pilihan untuk menatalaksana pasien dengan
mukositis oral. Beberapa upaya penatalaksanaan dengan intervensi terapi saat ini sedang
dikembangkan. Berdasarkan rekomendasi dari MASCC/ISOO, penatalaksanaan klinis mukositis
oral yang disebutkan dalam “Panduan Mukositis Oral” mencakup: asupan nutrisi yang adekuat,
kontrol rasa sakit, kontrol mikroorganisme oral, mengatasi keluhan mulut kering, mengatasi
perdarahan oral dan terakhir adalah intervensi dengan upaya terapi (Lalla, 2005).
Menurut Eilers (2004), beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk mukositis akibat
kemoterapi atau radiologi adalah:
1. Oral care protocol
Oral care atau perawatan mulut merupakan salah satu tindakan yang bertujuan menjaga kesehatan
mulut. Oral care protocol dapat membantu meminimalkan efek mukositis akibat kemoterapi,
karena dapat mengurangi jumlah mikroflora, nyeri dan perdarahan, serta mencegah infeksi.
2. Agen kumur
Agen kumur sering digunakan dalam pencegahan mukositis. Secara umum, agen kumur digunakan
untuk membilas debris dan membantu mulut tetap lembut dan lembab. Agen kumur harus memiliki
karakteristik sebagai pembersih non-iritatif dan tidak membuat mulut kering. Zat yang dapat
berperan sebagai pembersih mulut antara lain normal saline, sodium bikarbonat, campuran normal
saliine dengan sodium bikarbonat, madu, dan beberapa jenis herbal tertentu.
3. Pelindung mukosa
Pelindung mukosa diharapkan dapat meningkatkan proses penyembuhan dan regenerasi sel.
4. Agen antiseptik
Yang termasuk dalam agen anti septik antara lain chlorhexidine, hidrogen peroksida, dan povidone
iodine.
5. Agen anti inflamasi
Agen anti inflamasi berfungsi untuk mengurang inflamasi yang terjadi akibat mukositis. Beberapa
agen anti inflamasi diantaranya kamilason liquid, chamomile, dan kortikosteroid oral.
6. Agen topikal
Agen topikal adalah agen yang diberikan untuk memberikan proteksi mukosa secara topikal,
diantaranya adalah lidocaine, capsaicine, dan morfin topikal.
c. Penatalaksanaan Xerostomia
Xerostomia merupakan istilah untuk keadan mulut yang kering, sama seperti xeroptalmia
yang digunakan untuk mata yang kering dan xerodemia untuk kulit yang kering (Gayford,1990).
Xerostomia sejati dapat disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva primer atau manifestasi
sekunder dari suatu kelainan sistemik atau terapi obat. Penyakit kelenjar saliva primer meliputi
sindrom Sjorgen, kerusakan pasca radiasi, atau anomali pertumbuhan. Penyebab sistemik sekunder
dari xerostomia meliputi kegelisahan kronis, dehidrasi, atau terapi obat (Lewis, 1998).
Terapi radiasi pada daerah leher dan kepala untuk perawatan kanker telah terbukti dapat
mengakibatkan rusaknya struktur kelenjar saliva dengan berbagai derajat kerusakan pada kelenjar
saliva yang terkena radioterapi (Amerongan, 1991).
Dosis Gejala
<10 Gray Reduksi tidak tetap sekresi saliva
10-15 Gray Hiposalia yang jelas dapat ditunjukkan
15-40 Gray Reduksi masih terus berlangsung, reversibel
>40 Gray Kerusakan irreversibel kelenjar
Tabel 1. Hubungan antara dosis dan penyinaran dan sekresi saliva
Menurut Gayford (1990) penatalaksanaan xerostomia untuk kasus yang ringan dapat dirawat
dengan cara banyak minum. Selain itu larutan kumur mulut seperti gliserin dari timol juga dapat
digunakan untuk pasien tertentu. Larutan kumur yang mengandung metil selulose 1% dapat
membantu pada keadaan yang parah, larutan ini tidak berbahaya bila tertelan pasien karena dapat
membantu mendorong makanan ke esofagus.
Terapi yang diberikan untuk penderita xerostomia diberikan tergantung keparahan dari
xerostomia. Bila xerostomia disebabkan oleh pemakaian obat-obatan, maka terapi yang dilakukan
adalah mengganti obat dari kategori yang sama. Sedangkan bila terjadi xerostomia berat dapat
digunakan obat perangsang saliva maupun zat pengganti saliva. Sekresi saliva dapat dirangsang
dengan pemberian obat-obatan yang mempunyai pengaruh merangsang melaui sistem syaraf
parasimpatism seperti pilokarpin, karbamilkolin, dan betanekol. Selain itu, salivix yang berbentuk
tablet isap berisi asam malat, gumarab, kalsium laktat natrium fosfat, lycasin dan sorbitol juga dapat
merangsang produksi saliva. Permen karet yang mengandung xylitol juga dapat menginduksi
sekresi saliva (Amerongan, 1991).
Bila zat perangsang saliva tidak memadahi untuk mengatasi keluhan mulut kering, maka
digunakan zat pengganti saliva. Pengganti saliva ini tersedia dalam bentuk cairan (V.A Oralube),
spray (Saliva Orthana), dan tablet hisap (polyox). Zat ini memiliki persyaratan antara lain bersifat
reologis, pengaruh buffer, peningkatan remineralisasi dan menghambat demineralisasi,
mengahmbat pertumbuhan bakteri dan sifat pembasahan yang baik (Amerongan, 1991).
Menurut Greenberg (2003), terapi yang dapat dilakukan untuk perawatan pasien yang
mengalami xerostomia dapat dibagi menjadi 4 kategori, antara lain:
1. Terapi preventive
Terapi preventive ini bukan bertujuan untuk mencegah terjadinya xerostomia, melainkan
mencegah terjadinya infeksi lain akibat xerostomia. Aplikasi flouride secara topikal pada pasien
xerostomia dibutuhkan untuk mengontrol karies gigi. Frekuensi aplikasi fluor bisa dimodifikasi,
tergantung keparahan disfungsi kelenjar saliva dan perkembangan karies. Selain itu, terapi
antijamur juga dapat diberikan karena pada pasien xerostomia resiko infeksi rongga mulut termasuk
candidiasis lebih tinggi. (Greenberg, 2003).
2. Terapi simtomatik
Pada terapi simtomatik, air merupakan hal yang penting. Berkumur dengan air dapat
membantu melembabkan rongga mulut. Akan tetapi pasien harus menghindari obat kumur yang
mengandung alkohol, gula atau penguat rasa yang dapat mengiritasi mukosa kering yang sensitif
(Greenberg, 2003).
3. Stimulasi secara lokal
Stimulasi saliva secara lokal atau topikal juga merupakan terapi xerostomia. Mengunyah
akan menstimulasi aliran saliva secara efektif, seperti rasa manis dan asam. Pasien xerostomia tidak
dianjurkan untuk mengkonsumsi produk yang mengandung gula dan pemanis karena dapat
meningkatkan resiko karies (Greenberg, 2003).
4. Stimulasi secara sistemik
Pemberian obat secara sistemik juga dapat menstimulasi saliva. Contohnya antara lain:
bromhexidine anetholetrithione pilocarpine, hydrochloride (HCl) dan cevimeline HCl (Greenberg,
2003).
d. Penatalaksanaan Karies Radiasi
Perubahan pada saliva akibat radioterapi menyebabkan resiko karies gigi pada passien yang
mengalamai radioterapi meningkat. Hal ini disebabkan karena penurunan pH saliva, dimana pH
saliva yang asam merupakan tempat yang cocok dalam perkembangan bakteri kariogenik, seperti
Streptococcus Mutans dan Lactobacillus yang dapat menyebabkan terjadinya demineralisasi gigi
secara berlahan (O’Brien, 1982).
Selain itu pada pasien radioterapi pulpa gigi yang terkena radiasi mengalami hyperemia
pulpa sehingga gigi menjadi sangat sensitive terhadap rangsang panas dan dingin ( O’Brien, 1982).
Pencegahan yang dapat dilakukan ialah menjaga oral hygine seperti dengan menghilangkan
seluruh plak dan melkukan penyikatan gigi dengan benar. Pemberian gel sodium floride 1% secara
topikal dapat mengurangi resiko terjadinya karies radiasi, penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan gel floride 2 kali sehari efektif dalam mencegah karies radiasi. Selain itu, penggunaan
obat kumur berfloride atau kombinasi dengan khlorhexidine juga efektif jika dilakukan setiap hari
(Kielbassa, 2006).
Tabel 2. Perawatan gigi sebelum selama dan sesudah radioterapi pada pasien kanker kepala dan
leher (Kielbassa, 2006).
e. Penatalaksanaan Osteoradionekrosis dan Trismus
Osteoradionekrosis:
Mekanisme kerusakan sel-sel tulang sampai saat ini masih dalam perdebatan, apakah
kerusakan sel-sel tulang karena efek langsung radioterapi kanker daerah kepala dan leher terhadap
sel-sel tulang atau karena efek sekunder radioterapi yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah.
Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan kerusakan sel-sel tulang.
Sel osteoblas cenderung lebih radiosensitif deibandingkan dengan osteoklas sehingga terjadi
peningkatan aktifitas lisis sel tulang. Radioterapi kanker kepala dan leher mengakibatkan penebalan
dinding arteri yang mendorong terjadinya trombosis dan kerusakan pembuluh darah yang kecil.
Jaringan akan mengalami hipovaskuler, hipoksi dan hiposeluler. Perubahan-perubahan ini
mengakibatkan tulang rentan mengalami infeksi dan nekrosis (Vissink et al, 2003).
Penatalaksanaan Perawatan Osteoradionekrosis:
Pencegahan timbulnya osteoradionekrosis merupakan tindakan yang sangat penting.
Pengendalian yang tepat dan bimbingan perawatan bagi periodontium benar-benar sangat
diperlukan. Jika pencabutan gigi di bagian rahang yang disinar tak dapat dihindarkan, tindakan ini
harus dilakukan oleh ahli bedah mulut (Maxymiw et al, 1989).
Selama pelaksanaan radioterapi kanker daerah kepala dan leher, dokter gigi melakukan
perawatan-perawatan terhadap efek samping di rongga mulut yang diantaranya adalah perawatan
yang dilakukan untuk osteoradionekrosis. Pembuangan tulang yang nekrosis perlu dilakukan
sehingga terjadi perbaikan vaskularisasi dan jaringan yang rusak disekitar tulang dengan didukung
terapi antibiotik (Vissink et al, 2003).
Trismus:
Trismus menurut Mosby Dental Dictionary (2004) adalah kejang pada otot mastikasi yang
menyebabkan ketidakmampuan untuk membuka mulut. Trismus dapat terjadi karena invasi dari
kanker tersebut ke otot mastikasi, saraf yang menginervasi (biasanya paling sering adalah blok
mandibular), TMJ dan jaringan pendukung lainnya. Terapi radiasi untuk terapi kanker di kepala dan
leher sering menyebabkan trismus pada pasien (Stubblefield, 2011).
Saat otot mastikasi termasuk dalam daerah penyinaran, dimungkinkan terjadinya fibrosis
dari otot yang dapat menyebabkan terjadinya trismus. Osteoradionekrosis juga dapat menyebabkan
terjadinya gejala-gejala seperti trismus dan nyeri (Dhanrajani, 2002). Kesulitan membuka rahang
bawah meningkat kemungkinannnya menyebabkan trismus saat pasien menerima radiasi dengan
dosis melebihi 10 Gy tiap fraksi pada daerah otot pterigoid (Stubblefield, 2011).
Menurut Dhanrajani (2002), penatalaksanaan trismus tergantung dari gejala yang timbul dan
dirasakan oleh pasien. Biasanya trismus menyebabkan rasa tidak nyaman dan disfungsi dari rahang.
Tingkatannya bervariasi dari ringan sampai parah, namun yang sering adalah ringan. Jika pasien
mengeluhkan terjadinya nyeri dan disfungsi dari rahang, maka terapi yang dilakukan adalah:
1. Terapi dengan panas
Terapi ini dilakukan dengan cara meletakkan handuk basah yang panas pada daerah yang terkena
selama 15-20 menit setiap jam.
2. Pemberian analgesic
Pemberian aspirin digunakan untuk menangani nyeri yang timbul saat trismus sekaligus
memberikan efek antiinflamasi. Selain itu, dapat digunakan juga analgesic golongan narkotik untuk
meredakan nyeri jika tidak mengalami perbaikan.
3. Pemberian muscle relaxant
Pemberian muscle relaxant yang dianjurkan adalah diazepam 2.5-5 mg tiga kali sehari.
Terapi utama untuk trismus adalah terapi fisik, dimana pasien dianjurkan untuk berlatih
membuka dan menutup mulut secara periodic untuk mengembalikan fungsi dari TMJ. Pasien
dianjurkan untuk latihan membuka dan menutup mulut dan menggerakkan mandibula kea rah
lateral selama 5 menit setiap 3 - 4 jam sehari (Dhanrajani, 2002).
Anastesi dapat membantu mengatasi masalah trismus namun hanya untuk waktu yang
singkat. Jika diperlukan suatu tindakan perawatan gigi saat terjadi trismus dapat dilakukan cara ini
untuk membantu dalam melakukan perawatan. Penggunaan alat untuk merawat trismusyang
dianjurkan adalah stacked tongue depressor, corkscrew device, dan alat lain yang di gunakan secara
komersial misalnya TheraBite Jaw Motion Rehabilitation System (TB) dan juga Dynasplint
Trismus System (DTS) ( Stubblefield, 2011).
a. Tongue depressor
b. Corkscrew device
c. TheraBite Jaw Motion Rehabilitation System
d. Dynasplint Trismus System
DAFTAR PUTAKA
Amerongan A.V.N. 1991. Ludah dan Kelenjar Ludah. Arti bagi Kesehatan Gigi. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada.
Dhanrajani. P. J dan o. Jonaidel. 2002. Trismus: Aetiology, Differential Diagnosis and Treatment. Dent
Update 2002; 29: 88–94.
Eilers, J. 2004. Nursing intervention and supportive car for the prevention and treatmen of oral mucositis
associated with cancer treatment. Oncology Nursing Forum. 31(4). P 13-28.
Gayford, J.J dan Lewis, Michael. 1990. Tinjauan Klinis Ilmu Penyakit Mulut. Penyakit Mulut (Clinical Oral
Medicine). Jakarta: EGC.
Ginting Rehulina, Ivanameilyn. 2009. Efek Samping Radioterapi Kanker Daerah Kepala dan Leher Pada
Rongga Mulut. Dentica Dental Journal. Vol. 14. Jakarta. Hal 82-86.
Greenberg, M.S et al. 2003. Burket’s Oral Medicine. 10th edition. Hamilton Ontario: Bc Decker Inc.
Kielbassa Andrej M, dkk. 2006. Radiation-related damage to dentitition. Germany.
Lalla RV, Sons ST, Peterson DE. 2005. Oral Mucositis. Dent Clin Nort Am. 49(1):167-84.
Lalla RV, Sons ST, Peterson DE. 2008. Management Of Oral Mucositis In Patients With Cancer. Dent Clin
Nort Am.52(1):61-viii.
Leung WK, Dassanayake, Yauu JYY, Jin LJ, Yam WC, Samaranayake LP. 2003. Oral Colonization,
Phenotypic, And Genotypic Profiles Of Candida Species In Irradiated, Dentate, Xerostomic
Nasopharyngeal Carsinoma Survivors. J Clin Microbial. 38(6): 2219-26.
Lewis, MAO. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta: Widya Medika.
Maxymiw WG, Wood RE. 1989. The Role Of Dentistry In Head And Neck Irradiation. Scientific Journal.
55: 193-8.
O’Brien, Richard C. 1982. Dental Radiography : An Introduction for Dental Hygienist and Assistants.
Philadhelpia: W. Saunders Company.
Stubblefield, Michael D. 2011. Radiation Fibrosis Syndrome: Neuromuscular and Musculoskeletal
Complications in Cancer Survivors. American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation.
Vol. 3. P. 1041-1054.
Veraa-Llonch M, Oster G, Ford CM, Lu J, Sonis. 2007. Oral Mucositis And Outcomes Of Allogeneic
Hematopoietic Stem-Cell Transplatation In Patients With Hematologic Malignancies. Support Care
Cancer.15(5): 491-6.
Vissink A, Burlage FR, Jansma J, Spijkervet FKL, Jansma J, dan Coppes RP. 2003. Prevention And
Treatment Of The Consequences Of Head And Neck Radiotheraphy. Crit Rev Oral Biol Med. 14(3):
P. 187-94.
Vissink A, Jansma J, Spijkervet FKL, Jansma J, dan Coppes