lembar pengesahan - nad.litbang.pertanian.go.idnad.litbang.pertanian.go.id/ind/images/03-lapkir...

56
i LEMBAR PENGESAHAN 1. Judul Kegiatan : Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Geografical Information System (GIS) Di Provinsi Aceh 2. Unit Kerja : BPTP Aceh 3. 4. Alamat Unit Kerja Sumber Dana : : Jln. P. Nyak Makam No 27 lampineung Banda Aceh DIPA 2016 5. Status Penelitian (L/B) : Lanjutan 6. Penanggung Jawab : Nama : Cut Nina Herlina, S.Pi, M.Si Pangkat/Golongan : Pembina (IV/a) Jabatan : Penyuluh Madya 7. Lokasi : Provinsi Aceh 8. Agroekosistem : - 9. Tahun Mulai : 2016 10. Tahun Selesai : 2016 11. Output Tahunan : - 12. Output Akhir : 1. Peta Tingkat Adopsi Jajar Legowo di Kabupaten Aceh Besar 2. Peta Tingkat Adopsi Jajar Legowo di Kabupaten Pidie 13. Biaya : Rp. 125.000.000,- (Seratus Dua Puluh Lima Juta Rupiah) Koordinator program Penanggung Jawab Kegiatan, Dr. Rachman Jaya, S.Pi., M.Si NIP. 19740503 200003 1 001 Cut Nina Herlina, S.Pi NIP. 19640717 198503 2 003 Mengetahui, Kepala Balai Besar Menyetujui, Kepala Balai Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA NIP. 19680415 199203 1 001 Ir. Basri A. Bakar, M.Si. NIP. 19600811 198503 1 001

Upload: trinhkhanh

Post on 26-Jun-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul Kegiatan : Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Geografical Information System (GIS) Di Provinsi Aceh

2. Unit Kerja : BPTP Aceh 3. 4.

Alamat Unit Kerja Sumber Dana

: :

Jln. P. Nyak Makam No 27 lampineung Banda Aceh DIPA 2016

5. Status Penelitian (L/B) : Lanjutan 6. Penanggung Jawab : • Nama : Cut Nina Herlina, S.Pi, M.Si • Pangkat/Golongan : Pembina (IV/a) • Jabatan : Penyuluh Madya 7. Lokasi : Provinsi Aceh 8. Agroekosistem : - 9. Tahun Mulai : 2016 10. Tahun Selesai : 2016 11. Output Tahunan : - 12. Output Akhir : 1. Peta Tingkat Adopsi Jajar Legowo di

Kabupaten Aceh Besar 2. Peta Tingkat Adopsi Jajar Legowo di

Kabupaten Pidie

13. Biaya : Rp. 125.000.000,- (Seratus Dua Puluh Lima Juta Rupiah)

Koordinator program Penanggung Jawab Kegiatan,

Dr. Rachman Jaya, S.Pi., M.Si NIP. 19740503 200003 1 001

Cut Nina Herlina, S.Pi NIP. 19640717 198503 2 003

Mengetahui, Kepala Balai Besar

Menyetujui, Kepala Balai

Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA NIP. 19680415 199203 1 001

Ir. Basri A. Bakar, M.Si. NIP. 19600811 198503 1 001

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas selesainya pelaksanaan

penyusunan Laporan Akhir Tahun Kegiatan Model Pengembangan Adopsi Inovasi

Teknologi Pertanian Berbasis Geografical Information System (GIS) Di Provinsi Aceh.

Terlaksananya kegiatan ini tidak terlepas dari dukungan dan peran aktif seluruh

Dinas/Instansi yang terkait, petani, mantri tani dan penyuluh/peneliti yang ada di BPTP

Aceh. Namun demikian kami menyadari dalam pelaksanaan kegiatan ini masih banyak

terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun guna

perbaikan dimasa yang akan datang sangat diharapkan.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini

mulai dari mulai perencanaan sampai dengan pelaksanaan yang dilanjutkan dengan

penyusunan laporan akhir tahun ini, kami ucapkan terimakasih dan semoga laporan ini

memberikan manfaat bagi kita semua.

Banda Aceh, November 2016 Penanggung Jawab, Cut Nina Herlina, S.Pi, M.Si NIP. 19640717 198503 2 003

iii

RINGKASAN

1 Judul : Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian

Berbasis Geografical Information System (Gis) Di Provinsi

Aceh

2 Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh

3 Lokasi : 1. Kabupaten Aceh Besar,

2. Kabupaten Pidie

4 Agroekosistem : Lahan Sawah

5 Status (L/B) : Baru

6 Tujuan : Melakukan pemetaan tingkat adopsi inovasi teknologi

pertanian sebagai acuan dalam menyusun strategi

penyuluhan pertanian berdasarkan wilayah geografis di kabupaten Aceh Besar dan Pidie.

7 Keluaran : Terpetakannya tingkat adopsi inovasi teknologi pertanian berdasarkan wilayah geografis wllayah pesisir timur yaitu

kabupaten Aceh Besar dan Piide.

8 Hasil : Peta tingkat adopsi budidaya padi jajar legowo di kabupaten Aceh Besar dan Pidie.

9 Prakiraan Manfaat : a). Sebagai bahan acuan dalam menyusun strategi penyuluhan pertanian pada masing-masing kabupaten

di provinsi Aceh b). Sajian informasi data spasial dan sebagai media

pendukung informasi secara statis dengan peta hasil

digitasi.

10 Prakiraan Dampak : a). Meningkatnya tingkat adopsi teknologi hasil penelitian

karya Badan Litbang di seluruh wilayah Provinsi Aceh b). Terciptanya sistem penyuluhan pertanian yang tepat

sasaran di setiap kabupaten di Provinsi Aceh.Karya

tulis ilmiah (KTI) yang dipublikasikan di tingkat nasional.

11 Prosedur Pelaksanaan : 1. Persiapan meliputi : Studi pustaka, Menyusun proposal, menyusun RODHP, sosialisasi, koordinasi dengan

instansi terkait, dll. 2. Penentuan responden : Untuk setiap kabupaten akan

dipilih responden secara random. Jumlah responden

untuk tiap kabupaten akan berbeda tergantung pada jumlah kecamatan. Setiap kecamatan akan dipilih 10

responden. Apabila dalam satu kabupaten ada sepuluh kecamatan, maka responden yang dilibatkan sebanyak

100 orang.

3. Penyebaran kuisioner melalui survey pemetaan tingkat adopsi yang mencakup beberapa pertanyaan tentang

tiga komponen utama teknologi jajar legowo 4. Pengolahan data dan pengoperasionalkan perangkat

GIS

5. Pembuatan Peta 6. Pelaporan

12 Jangka Waktu : 1 (satu) Tahun

13 Biaya : Rp. 125.000.000,- (Seratus dua puluh lima juta rupiah).

iv

SUMMARY

1 Title : Development Model-Based Adoption of Agricultural Technology

Innovation Geographical Information System (Gis) In Aceh Province

2 Implementation Unit

: Assessment Institute for Agricultural Technology Aceh Province

3 Location : 1. Aceh Besar Distric

2. Pidie Regency

4 Agro ecosystem : Wetland

5. Status : New

6 Objectives

: Mapping the rate of adoption of agricultural technology

innovations as a reference in formulating agricultural extension strategy by geographic area in the district of Aceh Besar and

Pidie.

7 Output

: The mapping of the level of adoption of agricultural technology

innovation based on geographical region of the east coast with

the districts of Aceh Besar and Piide.

8 Result : Map adoption rate Legowo row rice cultivation in the district of

Aceh Besar and Pidie.

9 Expected

Benefits : a). As a reference in formulating agricultural extension strategy

in each district in the province

b). Spatial data and present information as a statically supporting media information with a map of the results of

digitization.,

10 Expected impact : a). The increasing rate of adoption of technology research and

Development Agency works throughout the province of

Aceh b). The creation of agricultural extension system is right on

target in each district in the province of scientific Aceh.

11 The execution

Procedures 1. Preparation includes : Literature, Making a proposal,

preparing RODHP, socialization, coordination with relevant agencies, etc.

2. Respondent : For each district will be selected respondents

randomly. The number of respondents for each district will vary depending on the number of districts. Each sub-district

will have 10 respondents. If in one district there are ten sub-districts, the respondents were involved as many as 100

people.

3. Distribution mapping survey questionnaire through adoption rate that includes some questions about three main

components technology Legowo row 4. Data processing and GIS pengoperasionalkan

5. Mapping 6. Reporting

12 Duration : 1 year

13 Budget : IDR 125.000.000,-

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara demografi, Provinsi Aceh terbagi atas 4 wilayah geografi yaitu

pesisir timur, pesisir barat, dataran tinggi gayo dan wilayah kepulauan. Wilayah

pesisir timur meliputi kota Banda Aceh, kabupaten Aceh Besar, Piide, Pidie Jaya,

Bireun, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, kota Langsa dan Tamiang.

Wilayah pesisir barat meliputi kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Barat

Daya, Nagan Raya, Aceh selatan, singkil dan Subulussalam. Dataran tingi gayo

meliputi kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah Gayo Luwes, kabupaten Aceh

Tenggara. Ditambah dengan wilayah kepulauan Sabang, dan Simeulu. Kondisi

dengan wilayah geografi yang berbeda ini mengakibatkan adanya perbedaan

(gap) sosio-kultural.

Sosio-kultural merupakan keaadaan yang dapat dilihat secara riil

menyangkut kondisi kehidupan manusia di dalam suatu kelompok yang disebut

masyarakat. Dalam kehidupan maysrakat terdapat sekelompok orang yang saling

menjalin hubungan antara satu dengan lainya, sehingga dapat menimbulkan

suatu tata aturan bagi kehidupan bersama, berisi tentang aturan yang

diperbolehkan, dianjurkan dan dilarang. Kesepakan sosial ini menjadi panduan

perilaku manusia dalam kelompok sosial ini lalu ditaati bersama, dan menjadi

kebiasaan dalam berperilaku yang lazim disebut kultur sosial.

Perbedaan (gap) sosio-kultural dalam proses adopsi inovasi teknologi

merupakan faktor penghambat tingkat adopsi dengan asumsi metode diseminasi

(teknik penyampaian dan media) yang digunakan seragam, Kenyataan ini yang

menyebabkan tingkat adopsi inovasi teknologi yang telah dihasilkan oleh Badan

Litbang pertanian masih relatif rendah. Sehingga diperlukan kajian dalam bentuk

pemetaan tingkat adopsi yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural (adat,

pemahaman terhadap gender, pendidikan) pengguna inovasi teknologi.

Pemetaan tingkat adopsi tidak terlepas pada kondisi sosial pada wilayah

geografis yang berbeda.

Pemetaan sosial (social mapping) didefinisikan sebagai proses

penggambaran masyarakat yang sistematik serta melibatkan pengumpulan data

dan informasi mengenai masyarakat termasuk di dalamnya profile dan masalah

sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Merujuk pada Netting, Kettner dan

2

McMurtry (1993), pemetaan sosial dapat disebut juga sebagai social profiling

atau pembuatan profile mata pencaharian, agama, pendidikan, dll.

Data yang dihimpun untuk pemetaan tingkat adopsi adalah data sosial-

kultur seperti : a). Data Geografi: topografi, letak lokasi ditinjau dari aspek

geografis, aksesibilitas lokasi, dll. b). Data psikografi: pengalaman petani dalam

berusahatani terutama terkait dengan lamanya berusahatani, pandangan, sikap,

dan perilaku terhadap inovasi baru, kondisi sosial yang berpengaruh, dll. Data-

data tersebut akan diolah dengan teknologi geografi informasi sistem (GIS) untuk

menghasilkan peta tingkat adopsi sebagai acuan dalam strategi penyuluhan

karya-karya badan litbang pertanian.

1.2. Dasar Pertimbangan

Perbedaan (gap) sosio-kultural dalam proses adopsi inovasi teknologi

merupakan faktor penghambat tingkat adopsi hasil Badan Litbang Pertanian.

Kajian pemetaan tingkat adopsi yang dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural

(adat, pemahaman terhadap gender, pendidikan) sangat diperlukan untuk

mengetahui karaketristik secara spesifik bagi pengguna inovasi teknologi. Salah

satu alat pemetaan untuk pengumpulan , penimbunan, pengambilan kembali

data yang diinginkan dan penayangan data keruangan yang berasal dari

kenyataan yang ada pada suatu wilayah geografi digunakan teknologi yang

disebut geografi informasi sistem (GIS).

Kegiatan Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian

Berbasis Geografical Information System (GiIS) Di Provinsi Aceh difokuskan pad 2

kabupaten yaitu kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Ke dua kabupaten ini

merupakan daerah sentra produksi padi yang ada di wilayah timur provinsi Aceh.

Selama beberapa tahun terakhir penerapan teknologi budidaya padi sudah

diterapkan di kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Untuk melihat sejauh mana

tingkat penerapan teknologi budidaya jajar legowo di masing-masing kabupaten

Aceh Besar dan Pidie dilakukan pemetaan berbasis GIS.

Hasil pemetaan nantinya dapat dijadikan acuan agar dapat disusun

kebijakan penyuluhan yang dapat diterapkan di masing-masing kabupaten

maupun di masing-masing kecamatan. Sehingga penerapan tingkat adopsi

teknologi hasil badan litbang dapat lebih ditingkatkan dan dapat mencapai

sasaran yang diharapkan.

3

1.3. Tujuan Kegiatan

Melakukan pemetaan tingkat adopsi inovasi teknologi pertanian sebagai

acuan dalam menyusun strategi penyuluhan pertanian berdasarkan wilayah

geografis di kabupaten Aceh Besar, Pidie, Piide Jaya, Aceh Barat, dan Aceh Jaya.

1.4. Keluaran Yang Diharapkan

Peta tingkat adopsi inovasi teknologi pertanian berdasarkan wilayah

geografis wllayah pesisir timur dan barat yaitu kabupaten Aceh Besar, Piide

Jaya, Aceh Utara, Aceh Barat, dan Aceh Jaya.

1.5. Perkiraan Manfaat

a). Sebagai bahan acuan dalam menyusun strategi penyuluhan pertanian pada

masing-masing kabupaten di provinsi Aceh

b). Sajian informasi data spasial dan sebagai media pendukung informasi secara

statis dengan peta hasil digitasi dari peta

Perkiraan Dampak

a). Meningkatnya tingkat adopsi teknologi hasil penelitian karya Badan Litbang

di seluruh wilayah Provinsi Aceh

b). Terciptanya sistem penyuluhan pertanian yang tepat sasaran di setiap

kabupaten di Provinsi Aceh.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi dalam Penyuluhan

Usaha mengubah perilaku individu atau masyarakat luas dalam

penyuluhan sosial dilakukan dengan pola-pola komunikasi tertentu yang sifatnya

mempengaruhi/ influence, pola komunikasi demikian dikaterogikan dalam

komunikasi persuasif. Komunikasi persuasif pada hakekatnya mempengaruhi

sikap, pendapat dan perilaku orang lain melalui kegiatan komunikasi, baik secara

verbal maupun non verbal. Menurut ahli komunikasi Anderson (2006) komunikasi

persuasif didefinisikan sebagai perilaku komunikasi yang mempunyai tujuan

mengubah keyakinan, sikap atau perilaku individu atau kelompok lain melalui

transmisi beberapa pesan. Dalam komunikasi penyuluhan, seorang penyuluh

harus memperhatikan kondisi/ karakteristik sasaran penyuluhan dari sisi

demografis, pola komunikasi, budaya, kebiasaan/ gaya hidup dan sebagainya.

Kemudian menetapkan strategi yang akan dilakukan. Ketika mengungkapkan

pesan-pesan kepada sasaran penyuluhan, pada tahap inilah komunikasi persuasif

dilakukan.

2.2. Geografi

Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang lokasi serta persamaan,

dan perbedaan/variasi keruangan atas fenomena fisik, dan manusia di atas

permukaan bumi. Kata geografi berasal dari Bahasa Yunani yaitu gêo ("Bumi"),

dan graphein ("tulisan", atau "menjelaskan"). Geografi juga merupakan nama

judul buku bersejarah pada subjek ini, yang terkenal

adalah Geographia tulisan Klaudios Ptolemaios pada abad kedua. Geografi lebih

dari sekedar kartografi, studi tentang peta. Geografi tidak hanya menjawab apa,

dan dimana di atas muka bumi, tapi juga mengapa di situ, dan tidak di tempat

lainnya, kadang diartikan dengan "lokasi pada ruang." Geografi mempelajari hal

ini, baik yang disebabkan oleh alam atau manusia. Juga mempelajari akibat yang

disebabkan dari perbedaan yang terjadi itu (Wikipedia Indonesia, 2013).

Letak geografis adalah letak suatu daerah dilihat dari kenyataannya di bumi

atau posisi daerah itu pada bola bumi dibandingkan dengan posisi daerah lain.

Letak geografis ditentukan pula oleh segi astronomis, geologis, fisiografis dan

social budaya. Aktivitas penduduk suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kondisi

5

geografis terutama kondisi fisiknya. Kondisi geografis fisik tersebut meliputi

kondisi iklim, topografi, jenis dan kualitas tanah serta kondisi perairan. Satu ciri

utama kajian geografi adalah mengkaji saling hubungan antara unsur fisik dan

unsur sosial di permukaan bumi.

2.3. Konsep Kehidupan Sosial Budaya

Realitas sosial budaya merupakan kenyataan-kenyataan sosial budaya di

sekitar lingkungan masyarakat tertentu. Kenyataan sosial budaya ini terjadi

karena adanya pola-pola hubungan yang terjadi dalam masyarakat. Pola-pola

hubungan tersebut dapat mencapai kestabilan tetapi dapat juga menimbulkan

konflik.

Kehidupan masyarakat terdiri dari berbagai aspek yang antara aspek satu

dengan aspek yang lainnya terdapat keterkaitan yang saling mendukung serta

melengkapi. Namun ada aspek yang penting dibandingkan dengan aspek yang

lainnya yaitu aspek sosial budaya. Unsur kebudayan yang universal yang umum

ditemukan di seluruh dunia yakni ada tujuh unsur kebudayaan yakni : 1). Sistem

religi, 2). Sistem Kemasyarakatan/organisasi social, 3). Bahasa, 4). Sistem

Pengetahuan, 5). Kesenian, 6). Sistem mata pencaharian hidup, 7). Peralatan

hidup dan teknologi (Koentjaraningrat. 2002).

2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geografis Informtion System (GIS)

adalah sistem komputer yang digunakan untuk memasukan, menyimpan,

memeriksa, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa dan menampilkan

data yang berhubungan dengan posisi-posisi permukaan bumi. SIG merupakan

sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang tereferansi

secara spasial atau koordinat-koordinat geografi (Therestia, 2010). Geografis

Information System (GIS) mampu menangani masalah basis data spasial maupun

non-spasial. Sistem ini merelasikan lokasi geografi (data spasial) dengan

informasi-informasi deskripsinya (non-spasial) sehingga para penggunanya dapat

membuat peta (analog dan dijital) dan menganalisa informasinya dengan

berbagai cara (Bafdal, 2011).

Menurut Therestia (2010), Konsep mobile GIS merupakan integrasi tiga

teknologi, yaitu perangkat lunak GIS, Teknologi Global Positioning System (GPS)

6

dan perangkat alat komunikasi gengam. Teknologi tersebut membuat basis data

yang dapat diakses oleh personil di lapangan secara langsung di segala tempat

dan waktu. Sistem ini dapat menambah informasi secara real time ke basis data

dan aplikasinya dalam hal kecepatan akses, tampilan, dan penentuan keputusan.

Beberapa manfaat sistem informasi geografis (SIG) adalah :

a. Sebagai alat analisis komunikasi dan integrasi antar disiplin ilmu terutama

yang memerlukan informasi-informasi geosciences.

b. Memecahkan masalah seputar akurasi representasi, akurasi prediksi dan

keputusan yang diambil berdasarkan representasi, minimalisasi volume data

yang digunakan, memaksimalisasi kecepatan komputasi, kesesuaian dengan

para pengguna, perangkat lunak dan proyek-proyek yang lain mengenai bumi.

2.5. Observasi

Observasi adalah metode pengumpulan data melalui pengamatan

langsung atau peninjauan secara cermat dan langsung di lapangan atau lokasi

penelitian. Dalam hal ini, peneliti dengan berpedoman kepada desain

penelitiannya perlu mengunjungi lokasi penelitian untuk mengamati langsung

berbagai hal atau kondisi yang ada di lapangan. Penemuan ilmu pengetahuan

selalu dimulai dengan observasi dan kembali kepada observasi untuk

membuktikan kebenaran ilmu pengetahuan tersebut.

Dengan observasi kita dapat memperoleh gambaran tentang kehidupan

sosial yang sukar untuk diketahui dengan metode lainnya. Observasi dilakukan

untuk menjajaki sehingga berfungsi eksploitasi. Dari hasil observasi kita akan

memperoleh gambaran yang jelas tentang masalahnya dan mungkin petunjuk-

petunjuk tentang cara pemecahannya. Jadi, jelas bahwa tujuan observasi adalah

untuk memperoleh berbagai data konkret secara langsung di lapangan atau

tempat penelitian.

Berdasarkan pelaksanaan, observasi dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu

observasi partisipasi dan observasi non partisipasi.

a. Observasi partisipasi

Observasi partisipasi adalah observasi yang melibatkan peneliti atau

observer secara langsung dalam kegiatan pengamatan di lapangan. Jadi, peneliti

bertindak sebagai observer, artinya peneliti merupakan bagian dari kelompok

yang ditelitinya. Keuntungan cara ini adalah peneliti merupakan bagian yang

7

integral dari situasi yang dipelajarinya sehingga kehadirannya tidak memengaruhi

situasi penelitian. Kelemahannya, yaitu ada kecenderungan peneliti terlampau

terlibat dalam situasi itu sehingga prosedur yang berikutnya tidak mudah dicek

kebenarannya oleh peneliti lain.

b. Observasi non partisipasi

Observasi non partisipasi adalah observasi yang dalam pelaksanaannya

tidak melibatkan peneliti sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti. Pada

metode ini peneliti tidak ikut berpartisipasi didalamnya, tetapi hanya semata –

mata sebagai pengamat saja. Cara ini banyak dilakukan pada saat ini. Kelemahan

cara ini antara lain kehadiran pengamat dapat memengaruhi sikap dan perilaku

orang yang diamatinya.

Alasan Menggunakan Metode Observasi adalah : Data yang hendak

diraih dengan metode observasi dapat menunjang data yang telah diperoleh

melalui metode lain. Observasi merupakan tehnik yang langsung dapat

digunakan untuk memperolah data dari berbagai aspek tingkah laku. Selain itu

dengan metode ini data yang diraih lebih auntentik dan dapat dipercaya serta

data yang dikumpulkan lebih efektif dan efisien.

`

8

III. PROSEDUR

3.1. Pendekatan

Kegiatan Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian

Berbasis Geografical Information System (Gis) bersifat partisipatif dan kemitraan

antara peneliti/penyuluh BPTP Aceh, PPL, petani, kelompok tani serta melibatkan

instansi terkait lainnya. Kegiatan pengkajian ini merupakan serangkaian kegiatan

lapangan berupa survey pemetaan sosial untuk menemukenali kondisi sosial

budaya masyarakat lokal atau disebut juga sebagai kegiatan orientasi sosial dan

wilayah sasaran.

3.2. Ruang Lingkup

a. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dimulai sejak tahun 2016 dan akan berakhir pada tahun 2018.

Untuk tahun pertama yaitu tahun 2016 kegiatan ini akan dilaksanakan di

sebagian wilayah pesisir timur dan sebagian wilayah pesisir barat yaitu untuk

pesisir timur kabupaten Aceh Besar, Pidie dan Pidie Jaya, sedangkan untuk

wilayah pesisir barat kabupaten Aceh Barat, dan Aceh Jaya. Penelitian di lakukan

mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun berjalan. Penelitian ini

merupakan kombinasi dari penelitian survey menggunakan kuisioner dan

penelitian kuantitatif menggunakan teknologi geografi informasi sistem (GIS).

b. Tahapan Pelaksanaan

1. Persiapan meliputi : Studi pustaka, Menyusun proposal, menyusun

RODHP, sosialisasi, koordinasi dengan instansi terkait, dll.

2. Penentuan responden.

Untuk setiap kabupaten akan dipilih responden secara random. Jumlah

responden untuk tiap kabupaten akan berbeda tergantung pada jumlah

kecamatan. Setiap kecamatan akan dipilih 10 responden. Apabila dalam

satu kabupaten ada sepuluh kecamatan, maka responden yang

dilibatkan sebanyak 100 orang.

3. Pengumpulan data primer dan sekunder, data yang dikumpulkan

adalah :

▪ Data Demografi: jumlah penduduk, komposisi penduduk menurut

usia, gender, mata pencaharian, agama, pendidikan, dll.

9

▪ Data Geografi: topografi, letak lokasi ditinjau dari aspek geografis,

aksesibilitas lokasi, pengaruh lingkungan geografis terhadap kondisi

sosial masyarakat, dll.

▪ Data psikografi diantaranya pengalaman-pengalaman masyarakat

dalam berusahatani, pandangan, sikap, dan perilaku terhadap

Inovasi baru, kekuatan sosial yang paling berpengaruh terhadap

tingkat penerapan teknologi, dll.

▪ Pola komunikasi: media yang dikenal dan digunakan, informasi yang

biasa dicari, dan tempat memperoleh informasi

4. Penyebaran kuisioner melalui survey pemetaan tingkat adopsi yang

mencakup beberapa pertanyaan tentang tiga komponen utama

teknologi jajar legowo yaitu :

▪ Tingkat Adopsi Jajar Legowo diukur berdasarkan persentase luas

tanam padi yang sudah menerapkan jajar legowo di 23 kecamatan

Kabupaten Aceh Besar dan 23 kecamatan di kabupaten Pidie

▪ Identifikasi sebaran varitas yang digunakan di 23 kecamatan

kabupaten Aceh Besar dan 23 kecamatan Kabupaten Pidie

▪ Tingkat penerapan bibit muda pada penanaman padi jajar legowo di

23 kecamatan Kabupaten Aceh Besar dan 23 kecamatan Kabupaten

Pidie

5. Pengolahan data dan pengoperasionalkan perangkat GIS

6. Pembuatan Peta

7. Pelaporan : Laporan triwulan, tengah tahunan dan laporan akhir.

3.3. Metode Pelaksanaan

A. Bahan dan Alat Penelitian

Adapun alat yang digunakan untuk mendukung pengerjaan Sistem

Informasi Geografis ini spesifikasinya sebagai berikut :

▪ Alat tulis kantor

▪ Kuisioner

▪ Seperangkat komputer

▪ Quantum GIS 1.8.0 sebagai Pengolah Peta dan data spasial

▪ MS4W 3.0.6 sebagai Webgis Server

▪ pmapper-4.3.1 sebagai Framework Webgis

10

▪ PHP 5.4.0 Sebagai bahasa pemrograman webnya

▪ PostgreSQL 9.0 dan Postgis sebagai database

Komponen Sistem Informasi Geografis dibagi kedalam 4 komponen utama

yaitu: perangkat keras (digitizer, scanner, Central Procesing Unit (CPU),hard-

disk, dan lain-lain), perangkat lunak (ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS,

MapInfo, dan lain-lain), organisasi (manajemen) dan pemakai (user).

B. Wilayah Sasaran dan Obyek Pemetaan

Wilayah Sasaran Pemetaan wilayah pemetaan sosial adalah setiap

desa/kelurahan yang menjadi sasaran program kegiatan. Obyek Pemetaan yang

dipetakan dalam kegiatan pemetaan sosial ini adalah meliputi :

▪ Tingkat aksesibilitas lokasi desa/kelurahan

▪ Letak lokasi desa/kelurahan dari aspek geografis

▪ Sarana informasi yang dimiliki masyarakat

▪ Kegiatan kelompok-kelompok Tani dan gapoktan

▪ Hubungan sosial antar kelompok tani

▪ Jenis-jenis profesi di kalangan masyarakat

▪ dll

C. Orientasi Sosial dan Wilayah

Orientasi Sosial dan Wilayah meliputi :

• Media-media informasi yang digunakan petani, termasuk media-media

warga

• Tanggapan petani dan penyuluh terhadap program-program yang

diluncurkan pemerintah/non pemerintah

• Keterlibatan petani dan penyuluh dalam program-program yang diluncurkan

pemerintah/non pemerintah

▪ Pemeliharaan terhadap hasil-hasil program yang pernah diluncurkan

pemerintah/non pemerintah

▪ Forum yang biasa digunakan petani untuk menyikapi program yang

diperkenalkan dan kebiasaan petani dalam pengambilan keputusan

11

D. Metode Pengumpulan Data

▪ Pengumpulan data sekunder dengan cara mengumpulkan dokumen-

dokumen yang dibutuhkan (dokumentasi) diambil dari kelurahan, kecamatan,

kabupaten dan atau sumber-sumber lainnya.

▪ Pengumpulan data primer dengan cara : Wawancara bersturktur maupun

wawancara mendalam terhadap anggota kelompok tani, penyuluh,

koordinator penyuluh, dll yang dianggap mengetahui informasi yang

diperlukan.

▪ Diskusi dengan kelompok tani dan pemerintah daerah (Focus Group

Discussion)

▪ Observasi (pengamatan langsung) : terhadap kondisi-kondisi lingkungan

fisik (lahan sawah petani, sarana dan prasarana pendukung pertanian),

hubungan sosial dan kebiasaan petani setempat, dll. Metode observasi

ini digunakan untuk mendapatkan data Raster Peta Wilayah.

▪ Jenis observasi yang digunakan adalah observasi non participan. Observasi

non partisipasi adalah observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan

peneliti sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti. Pada metode ini

peneliti tidak ikut berpartisipasi didalamnya, tetapi hanya semata – mata

sebagai pengamat saja.

E. Metode Analisa Data

Analisa dilakukan dengan menggunakan metode triangulasi yakni dengan

cara melakukan check dan cross check atas informasi yang diterima untuk

melihat persamaan dan keselarasan, dan juga perbedaan. Hasil triangulasi

selanjutnya disusun ke dalam suatu rangkuman secara deskriptif, dengan melihat

persamaan dan perbedaan pendapat dan pandangan yang ada di masyarakat.

Metode analisis data adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan data

2. Analisa sistem

3. Desain sistem

4. Implementasi

5. Pengujian

E. Tahapan Kerja GIS

12

SIG digunakan untuk menangani pengorganisasian data dan informasi,

menempatkan informasi pada lokasi tertentu, melakukan komputerisasi, serta

memberikan ilustrasi hubungan antara satu objek dan objek lainnya. SIG

dapat mempresentasikan dunia nyata ke dalam layar monitor komputer. Oleh

karena itu, SIG sama halnya dengan lembaran peta yang mempresentasikan

dunia nyata di atas kertas, meslcipun SIG melalui komputerisasi memilik i

kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan dengan peta. Akan tetapi, sebuah

peta dapat disebut SIG karena juga menginformasikan data-data dalam

ruang, khususnya muka bumi. Sebagai sebuah system.

Tahapan kerja dalam SIG meliputi :

1. Masukan Data

Masukan data merupakan fasilitas dalam SIG yang dapat digunakan

untuk memasukkan data dari mengubah data asli ke dalam bentuk yang dapat

diterima dan dapat dipakai dalam SIG. Masukan data terdiri atas sumber data

dan proses memasukkan data. Sumber Data Sumber data yang dapat

digunakan dalam masukan data antara lain data pengindraan jauh, data

teristris, dan data peta.

2. Manipulasi dan Analisis Data

Manipulasi data merupalcan aktivitas yang meliputi antara lain membuat

basis data baru, menghapus basis data, membuat tabel basis data, mengisi

dan menyisipkan data ke dalam tabel, mengubah dan mengedit data, serta

membuat indeks untuk setiap tabel basis data.

Manipulasi tersebut dapat digunakan untuk klasifikasi ulang,

mendapatkan parameter/ukuran, konversi struktur data, dan analisis. Sebagai

contoh, untuk melakukan klasifikasi ulang suatu data spasial atau data atribut

menjadi data spasial yang baru digunakan kriteria tertentu. Misalnya untuk

perencanaan tata guna lahan menggunakan krieteria kemiringan lereng, yaitu

0% -14% untuk permukiman, 15% - 29% untuk perkebunan dan pertanian,

30% - 44% untuk hutan produksi, serta lebih dari 45% untuk hutan lindung

dan taman nasional.

3. Penyajian Data

Subsistem penyajian data berfungsi untuk menayangkan informasi atau

hasil analisis data geografi Informasi yang dihasilkan berupa peta, tabel,

13

grafik, bagan, dan hasil perhitungan. Melalui informasi itu pengguna dapat

melakukan identifikasi informasi yang diperlukan sebagai bahan dalam

pengambilan kebijakan atau perencanaan.

14

IV . HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Persiapan Kegiatan

Persiapan kegiatan dilakukan dengan melakukan koordinasi ke beberapa

instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Badan Pelaksana Penyuluhan, Badan

Pusat Statistik. Balai Penyuluhan Pertanian Tingkat Kecamatan, dan instansi

lainnya yang ada di kabupaten Aceh Besar dan Pidie.

Koordinasi di kabupaten Aceh Besar dilakukan di Badan Pusat Statistik dan

Dinas Pertanian Tanaman Pangan serta Badan pelaksana Penyuluhan. Tujuan

koordinasi untuk mendapatkan data final kabupaten yang telah divalidasi BPS.

Data sekunder meliputi data luas sawah pertanian, luas baku lahan, luas lahan

kering, data kepadatan penduduk dalam satu desa, jumlah tenaga kerja yang

terlibat dalam sektor pertanian (buruh tani), dan data sekunder lainnya.

Tim bertemu dengan kepala bagian data, koordinator bagian data,

komunikasi dan media. Tim BPTP Aceh menjelaskan maksud kedatangan ke

Kabupaten Aceh Besar dalam rangka melakukan pengkajian yang berjudul

kegiatan Model Pengembangan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis

Geografical Information System (GIS) mendukung pencapaian mandiri pangan di

Provinsi Aceh Tahun 2016. Sambutan dari Badan Pusat Statistik sangat

kooperatif dan tim BPTP Aceh mendapatkan data dalam bentuk soft dan hard

copy.

Koordinasi oleh tim ke Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana

Penyuluhan (BKPLUH), tim bertemu dengan Kepala Bidang Kelembagaan dan

Penyuluhan. Tim BPTP Aceh menjelaskan maksud kedatangan adalah untuk

melakukan kegiatan pengkajian model pengembangan adopsi teknologi berbasis

GIS untuk kemandirian pangan. Untuk melakukan pengkajian tersebut tim

membutuhkan beberapa data sekunder dan data primer langsung dari petani

dan penyuluh dalam bentuk FGD (Fokus Discussion Group) yang akan

dilaksanakan nantinya di BKPLUH. Dalam sambutannya Kabid. Kelembagaan dan

Penyuluhan sanga senang dengan kegiatan yang akan dilaksanakan BPTP Aceh

dan akan membantu memberikan data sesuai dengan kebutuhan tim BPTP Aceh.

Koordinasi di Kabupaten Pidie dilaksanakan di kantor Dinas pertanian

tanaman pangan dan peternakan dan di kantor Badan Ketahanan dan

Penyuluhan. Tim BPTP bertemu dengan Kepala bidang produksi Dinas Pertanian

15

Tim BPTP menjelaskan tahun 2016 tentang kegiatan Model Pengembangan

Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian Berbasis Geografical Information System

(GIS) Di Provinsi Aceh. Untuk melakukan pengkajian tersebut tim membutuhkan

beberapa data sekunder dan data primer dan tim BPTP meminta dukungan

dalam penyelenggaran bentuk FGD (Fokus Discussion Group) yang akan

dilaksanakan nantinya di BKPLUH. Dalam sambutannya Kabid. Produksi

menyambut baik dengan kegiatan yang akan dilaksanakan BPTP Aceh dan akan

membantu apapun yang dibutuhkan oleh tim BPTP termasuk memberikan data

sesuai dengan kebutuhan tim BPTP Aceh.

4.2. Pengumpulan Data Primer dan Sekunder

Koleksi data merupakan tahapan yang penting dalam proses kegiatan ini,

karena hanya dengan mendapatkan data yang tepat maka proses penelitian akan

berlangsung sampai peneliti mendapatkan jawaban dari perumusan masalah

yang sudah ditetapkan. Data yang dicari harus sesuai dengan tujuan penelitian.

Dengan teknik sampling yang benar, akan didapatkan strategi dan prosedur

yang digunakan dalam mencari data di lapangan. Data yang dikumpulkan untuk

kegiatan ini adalah data sekunder dan primer.

Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia, sehingga mudah

dicari dan dikumpulkan. Data yang diperoleh berasal perpustakaan, biro pusat

statistik, dan Dinas Pertanian kabupaten, Badan Pelaksana Penyuluhan

kabupaten, Kantor BPP kecamatan, dll. Pengumpulan data sekunder yang

dikumpukan sesuai dengan tujuan penelitian yang didasarkan beberapa

pertimbangan, diantaranya yaitu ditekankan pada pada kualitas dan kesesuaian

(selektif), serta dapat digunakan sebagai pendukung data primer.

Pengambilan data memegang peranan penting dalam menentukan

validitas hasil penelitian. Oleh karena itu, dalam teori validitas, hasil riset tidak

akan mempunyai validitas tinggi, jika peneliti melakukan kesalahan dalam

pengambilan data yang secara tekni disebut data collection error. Kesalahan

dalam pengambilan data primer akan berakibat secara langsung dalam hasil

analisa yang tidak sesuai dengan masalah yang akan dijawab sehingga hasil

studi akan menghasilkan kesimpulan yang salah. Dengan demikian data primer

harus didapat secara langsung dari sumber aslinya melalui nara sumber yang

tepat (dalam hal ini kelompok tani, koordinator penyuluh, instansi terkait) yang

16

dijadikan responden dalam kegiatan ini. Pengambilan data primer pada kegiatan

ini dilakukan secara tepat melalui survei menggunakan kuesioner kelompok

fokus, dan panel, serta data hasil wawancara peneliti dengan nara sumber untuk

mendapatkan data yang valid.

4.3. Pengumpulan Data dengan Observasi

Obrservasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang tidak

hanya mengukur sikap dari responden (wawancara dan angket) namun juga

untuk melihat keadaan sebenarnya di lapangan. Pada kegiatan ini observasi

dilakukan untuk mempelajari perilaku petani, kondisi lahan sawah yang

digunakan petani dalam berusahatani padi dan teknologi yang digunakan oleh

petani dalam berusahatani padi. Pengumpulan data dengan observasi langsung

atau dengan pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan

menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan

tersebut.

Pengamatan dengan cara pengamatan langsung, dicatat hal-hal, perilaku

petani dan masyarakat, kondisi pertumbuhan tanaman padi di sawah, kondisi

sarana dan prasarana yang ada, hubungan sosial petani, penyuluh dan

pemerintah daerah, dan hal lainnya yang dianggap dapat mendukung kegiatan

pengkajian. Dengan cara pengamatan secara langsung keadaan dari objek dapat

dicatat segera, dan tidak menggantungkan data dari ingatan seseorang.

Selain itu pengamatan langsung dapat diperoleh data dari subjek baik tidak

dapat berkomunikasi secara verbal atau yang tak mau berkomunikasi secara

verbal. Adakalanya subjek tidak mau berkomunikasi, secara verbal dengan

enumerator atau peneliti, baik karena takut, karena tidak ada waktu atau karena

enggan. Dengan pengamatan langsung, hal di atas dapat ditanggulangi.

4.4. Pengumpulan data dengan Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui

tatap muka dan tanya jawab langsung antara pengumpul data maupun peneliti

terhadap nara sumber atau responden. Wawancara pada penelitian ini teknik

wawancara yang diterapkan terstruktur dan tidak terstruktur. Terstruktur artinya

pengkaji telah mengetahui dengan pasti apa informasi yang ingin digali dari

responden sehingga daftar pertanyaannya sudah dibuat secara sistematis.

Sebagai sarana pembantu digunakan alat bantu seperti tape recorder, kamera

17

photo, dan material lain yang dapat membantu kelancaran wawancara.

Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara bebas, yaitu peneliti tidak

menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan yang akan diajukan

secara spesifik, dan hanya memuat poin-poin penting masalah yang ingin digali

dari responden.

Dalam melakukan wawancara pengkaji melakukan dengan dua cara yaitu

wawancara tatap muka jarena memiliki kelebihan antara lain bisa membangun

hubungan dan memotivasi responden, Bisa mengklarifikasi pertanyaan,

menjernihkan keraguan, menambah pertanyaan baru, bisa membaca isyarat non

verbal dan bisa memperoleh data yang banyak. Namun demikian wawancara

juga meiliki kekurangan yang menjadi faktor penghambat dalam pengumpulan

data yaitu membutuhkan waktu yang lama, biaya besar jika responden yang

akan diwawancara berada di beberapa daerah terpisah, responden ada kalanya

meragukan kerahasiaan informasi yang diberikan, pewawancara perlu dilatih,

bisa menimbulkan bias pewawancara. Untuk mengantisipasi hal tersebut apabila

diperlukan pengkaji melakukan wawancara melalui telephon kepada responden

untuk melengkapi data yang dibutuhkan.

4.5. Hasil Kegiatan Pemetaan di Kabupaten Aceh Besar

4.5.1. Letak Geografis

Wilayah darat Aceh Besar berbatasan dengan Kota Banda Aceh di sisi

utara,Kabupaten Aceh Jaya di sebelah barat daya, serta Kabupaten Pidie di sisi

selatan dan tenggara. Aceh Besar juga mempunyai wilayah kepulauan yaitu

wilayah Kecamatan Pulo Aceh. Kabupaten Aceh Besar bagian kepulauan di sisi

barat, timur dan utaranya dibatasi dengan Samudera Indonesia, Selat Malaka,

dan Teluk Benggala, yang memisahkannya dengan Pulau Weh, tempat di

mana Kota Sabang berada. Pulau-pulau utamanya adalah Pulau

Breueh dan Pulau Nasi.

Secara geografis sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Besar berada

pada hulu aliran Sungai Krueng Aceh. Saat ini kondisi tutupan lahan adalah

62,5% (menurut data citra landsat tahun 2007). Bandar Udara Internasional

Sultan Iskandar Muda yang merupakan bandara internasional dan menjadi salah

satu pintu gerbang untuk masuk ke Provinsi Aceh berada di wilayah kabupaten

18

ini. Pulau Benggala yang merupakan pulau paling barat dalam wilayah Republik

Indonesia merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Besar.

Letak Geografis kabupaten Aceh Besar adalah sebagai berikut :

L e t a k : 5,2º - 5,8º L U

: 95,0º - 95,8º B T

Panjang Pantai / Coast Length : 295 KM

Luas Lahan / Soil Size : 1.480 KM2

Luas Laut / Teritorial Sea Area : 1.355,90 KM2

Panjang Sungai / River Length : 719,50 KM

Luas Wilayah / Land Area : 2.903,50 Km²

Banyaknya Kecamatan : 23

Banyaknya Kemukiman : 68

Banyaknya Desa Definitif : 604

Batas - batas Daerah

Sebelah Utara : Selat Malaka

: Kota Banda Aceh

Sebelah Selatan : Kabupaten Aceh Jaya

Sebelah Timur : Kabupaten Pidie

Sebelah Barat : Samudera Hindia

: Kabupaten Aceh Jaya

4.5.2. Wilayah Administratif

Kabupaten Aceh Besar memiliki 23 kecamatan di mana salah satunya

berupa kepulauan yaitu kecamatan Pulo Aceh. Jumlah desa keseluruhannya

mencapai 609 desa/kelurahan. Nama-nama kecamatan dan jumlah desa per

kecamatan di kabupaten Aceh Besar adalah sebagai berikut :

19

Tabel 1. Jumlah Desa/ Kelurahan Dan Mukim Menurut Kecamatan Di Kabupaten Aceh Besar, 2013

Kecamatan Desa/Kelurahan Mukim

1 2 3

01. L h o o n g 28 4

02. Lhoknga 28 4

03. Leupung 6 1

04. Indrapuri 52 3

05. Kuta Cot Glie 32 2

06. Seulimeum 47 5

07. Kota Jantho 13 1

08. Lembah Seulawah 12 2

09. Mesjid Raya 13 2

10. Darussalam 29 3

11. Baitussalam 13 2

12. Kuta Baro 47 5

13. Montasik 39 3

14. Blang Bintang 26 3

15. Ingin Jaya 50 6

16. Krueng Barona Jaya 12 3

17. Sukamakmur 35 4

18. Kuta Malaka 15 1

19. Simpang Tiga 18 2

20. Darul Imarah 32 4

21. Darul Kamal 14 1

22. Peukan Bada 26 4

23. Pulo Aceh 17 3

Jumlah 604 68

Sumber : Bagian Pemerintahan, Setdakab Aceh Besar, 2014

20

Tabel 2. Perkembangan Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar

Kecamatan dan Kabupaten

Perkembangan Jumlah Penduduk (Jiwa)

2009 2010 2011 2012 2013

Lhoong 8 897 9 093 9 302 9 592 9 904

Lhoknga 14 561 14 874 15 214 15 659 16 168

Leupung 2 497 2 553 2 611 2 703 2 791

Indrapuri 19 231 19 975 20 433 21 020 21 703

Kuta Cot Glie 12 047 12 388 12 672 13 040 13 463

Seulimeum 21 163 21 519 22 012 22 806 23 546

Kota Jantho 8 066 8 443 8 636 8 923 9 212

Lembah Seulawah 10 170 10 753 10 999 11 346 11 714

Mesjid Raya 20 307 20 864 21 342 22 033 22 749

Darussalam 22 266 22 633 23 151 23 950 24 729

Baitussalam 16 176 16 590 16 969 17 491 18 058

Kuta Baro 23 018 23 541 24 080 24 823 2 563

Montasik 17 382 17 732 18 138 18 695 19 303

Blang Bintang 10 488 10 723 10 969 11 416 11 787

Ingin Jaya 27 027 28 064 28 706 29 628 30 591

Krueng Barona Jaya 13 594 14 096 14 419 14 931 15 416

Suka Makmur 13 569 13 905 14 224 14 634 15 109

Kuta Malaka 5 827 5 891 6 026 6 222 6 424

Simpang Tiga 5 241 5 360 5 483 5 609 5 791

Darul Imarah 45 725 46 397 47 460 49 264 50 865

Darul Kamal 6 586 6 766 6 920 7 145 7 377

Peukan Bada 14 904 15 462 15 815 16 483 17 018

Pulo Aceh 3 793 3 796 3 883 3 999 4 129

Aceh Besar 342 537 351 418 359 464 371 412 383 477

Sumber : BPS Aceh Besar, 2015

21

Tabel 3. Rata-rata Curah Hujan di Kabupaten Aceh Besar

B u l a n Keadaan Hujan/ Rain Fall Avarage Condition

2011 2012 2013 2011 2012 2013

Januari 152.5 91.7 283.3 15 9 16

Februari 82.3 78.4 136.1 14 11 15

Maret 223.5 99.5 89.7 17 10 8

April 142.3 78.6 106.2 13 9 12

Mei 58.8 98.4 131.1 11 15 13

Juni 19.8 41 167.2 5 5 13

Juli 55.6 28 83.8 8 9 9

Agustus 68.1 38 40.4 7 6 11

September 136.8 77.6 164.6 13 6 7

Oktober 41.8 177.2 56.6 16 15 11

November 164.4 199.1 149.8 12 12 16

Desember 123.4 150.2 214.8 20 18 20

Sumber : Stasiun Meteorologi Klas II, Blang Bintang, Aceh Besar, 2014

4.5.3. Tingkat Adopsi Jajar Legowo di kabupaten Aceh Besar

Hasil pengumpulan data melalui suvey di 23 kecamatan/kota diperoleh data

bahwa rata-rata tingkat adopsi jajar legowo di kabupaten Aceh Besar mencapai

49 %. Tingkat adopsi jajar legowo untuk kategori sangat tinggi di capai oleh

kecamatan Lhok Nga (97 %) disusul dengan Kota Jantho (85 %). Kategori

sangat tinggi untuk tingkat adopsi jajar legowo di Kecamatan Lhok Nga dan Kota

Jantho dikarenakan teknologi jajar legowo sudah diterapkan di dua wilayah ini

sejak tahun 2009 yaitu lebih dulu dibandingkan dengan kecamatan lainnya.

Sebaliknya untuk tingkat adopsi sangat rendah di dapat pada kecamatan

Mesjid Raya yaitu (3 %) dan kecamatan Pulo Aceh (5 %). Hal ini dapat dipahami

karena secara geografi pada kecamatan Mesjid Raya lebih banyak dijumpai

pemukiman dibandingkan dengan luasan sawahnya. Selain itu penerapan jajar

legowo di kecamatan ini relatif masih baru yaitu diterapkan mulai tahun 2014.

Demikian juga dengan kecamatan Pulo Aceh sangat rendahnya tingkat

adopsi jajar legowo disebabkan karena secara geografi wilayah ini merupakan

daerah kepulauan yang harus ditempuh dengan melewati lautan. Sehingga

terdapat faktor penghambat untuk penyebaran adopsi teknologi di daerah ini.

22

Menurut Holid (2011) salah satu hambatan dalam penyebaran inovasi adalah

hambatan geografi. Hambatan geografi mencakup jarak yang jauh, transportasi

yang kurang lancar, serta daerah yang terisolasi.

Untuk lebih jelasnya rata-rata tingkat adopsi jajar legowo per kecamatan

dapat dilihat pada tabel 4 berikut :

Tabel 4. Rata-rata Tingkat Adopsi Jajar Legowo dan Tahun Mulai diterapkan Menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Besar

NO. KECAMATAN TINGKAT ADOPSI MULAI PENERAPAN

1 Pulo Aceh 5 % Tahun 2013

2 Kota Jantho 85 % Tahun 2009

3 Lambah Seulawah 50 % Tahun 2012

4 Darul Imarah 65 % Tahun 2013

5 Krueng Barona Jaya 35 % Tahun 2014

6 Seulimum 40 % Tahun 2012

7 Darussalam 50 % Tahun 2012

8 Baitussalam 28 % Tahun 2013

9 Peukan Bada 70 % Tahun 2011

10 Kuta Baro 63 % Tahun 2012

11 Blang Bintang 26 % Tahun 2013

12 Montasik 55 % Tahun 2011

13 Ingin Jaya 45 % Tahun 2011

14 Suka Makmur 45 % Tahun 2012

15 Kuta Malaka 54 % Tahun 2013

16 Simpang Tiga 45 % Tahun 2011

17 Darul Imarah 63 % Tahun 2013

18 Lhok Nga 97 % Tahun 2009

19 Indrapuri 60 % Tahun 2012

20 Kuta Cot Glie 38 % Tahun 2010

21 Leupung 80 % Tahun 2011

22 Mesjid Raya 3 % Tahun 2014

23 Lhoong 25 % Tahun 2014

Rata-rata 49 %

Sumber : Data Primer, diolah (2016)

23

4.5.4. Sebaran Varitas Unggul Padi di Kabupaten Aceh Besar

Jenis varitas dan rata-rata penerapan varitas unggul padi di kabupaten

Aceh Besar dapat dilihat pada tabel 5 berikut :

Tabel 6. Jenis varitas dan rata-rata persentase penerapannya Menurut Kecamatan

NO.

KECAMATAN PENERAPAN VARITAS

CIHERANG

PENERAPAN VARITAS UNGGUL LAINNYA

NAMA VARIETAS

TINGKAT PENERAPAN

1 2 3 4 5

1. Pulo Aceh 90 % Inpari Sidenuk 10 %

2. Kota Jantho 70 % Inpari 30 Inpari Sidenuk

20 % 10 %

3. Lambah Seulawah

70 % Inpari 30 30 %

4. Darul Imarah

70 % Inpari 30 IR 64

20 % 10 %

5. Krueng Barona Jaya

75 % Inpari 30 25 %

6. Seulimum

70 % Inpari 30 Mekongga Inpari 16

10 % 10 % 10 %

7. Darussalam 50 % Inpari 30 20 %

Mekongga Hibrida Inpari Sidenuk Bestari

10 % 5 % 10 % 5 %

8. Baitussalam 50 % Mira 50 %

9. Peukan Bada

65 % Inpari 30 Mekongga Bestari

20 % 10 % 5%

10. Kuta Baro 90 % Hibrida 10 %

11. Blang Bintang 75 % Inpari 30 25 %

12. Montasik 70 % Inpari 30 30 %

13. Ingin Jaya

60 % Inpari 30 Inpari Sidenuk Inpari Mugibat Mekongga

20 % 5 % 5 % 10 %

14. Suka Makmur

45 % Inpari 30 Inpari Sidenuk Mekongga

30 % 20 % 5 %

15. Kuta Malaka

70 % Inpari 30 Inpari Sidenuk

20 % 10 %

16. Simpang Tiga

70 % Inpari 30 Mira

20 % 10 %

17. Darul Imarah

70 % Inpari 30 IR 64

20 % 10 %

24

1 2 3 4 5

18. Lhok Nga

10 % Inpari 30 Cigeulis Mekongga Situ Bagendit Inpari 16 Inpari 10

10 % 50 % 10 % 10 % 5 % 5 %

19. Indrapuri

70 % Inpari 30 Inpari 16 Batu Tegi

20 % 5 % 5 %

20. Kuta Cot Glie 70 % Inpari 30 30 %

21. Leupung 70 % Inpari 30 30 %

22. Mesjid Raya 100 % - -

23. Lhoong 50 % Inpari 30 50 %

Rata-rata 66 % -

Sumber : Data Primer, diolah (2016)

Hasil survey terhadap terhadap sebaran varitas unggul di kabupaten Aceh

besar menunjukan bahwa varitas unggul ciherang adalah varitas unggul yang

paling disukai dan paling banyak diadopsi oleh petani. Rata-rata penggunaan

varitas ciherang di kabupaten Aceh Besar mencapai 66 %, selebihnya adalah

varitas unggul lainnya dengan tingkat penerapan bervariasi. Hasil wawancara

kepada responden didapat keterangan bahwa petani menyukai varitas padi

ciherang dikarenakan varitas ini memiliki rasa nasi yang enak/pulen dan tahan

terhadap kekeringan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Djatihardi dan Ruskandar (2007)

bahwa varitas unggul ciherang adalah varitas unggul padi yang paling disukai

petani diantara semua varitas unggul baru karena produksinya tinggi, harga jual

yang tinggi, rasa nasi yang enak/pulen, dan tahan perhadap serangan hama dan

penyakit.

4.5.5. Tingkat Adopsi Penggunaan Bibit Muda

Hasil survey terhadap tingkat adopsi penggunaan bibit muda di kabupaten

Aceh Besar menunjukan angka yang bervariasi untuk tiap kecamatan. Pada Tabel

7 terlihat bahwa rata-rata penerapan teknologi penanaman benih muda (7-14

HSS) di kabupaten Aceh Besar masih dalam kategori sedang yaitu sebesar 52,6

%. Kategori sangat tinggi didapat pada kecamatan Lhok Nga (88 %), sedangkan

untuk kategori rendah diperoleh pada kacamatan Mesjid Raya (25 %).

25

Untuk lebih jelasnya rata-rata penerapan benih muda dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 7. Rata-rata penerapan penanaman padi benih muda di kabupaten Aceh Besar

NO. KECAMATAN TINGKAT PENERAPAN

1. Pulo Aceh 43 %

2. Kota Jantho 65 %

3. Lambah Seulawah 55 %

4. Darul Imarah 50 %

5. Krueng Barona Jaya 38 %

6. Seulimum 35 %

7. Darussalam 60 %

8. Baitussalam 38 %

9. Peukan Bada 65 %

10. Kuta Baro 58 %

11. Blang Bintang 45 %

12. Montasik 63 %

13. Ingin Jaya 40 %

14. Suka Makmur 53 %

15. Kuta Malaka 69 %

16. Simpang Tiga 55 %

17. Darul Imarah 50 %

18. Lhok Nga 88 %

19. Indrapuri 57 %

20. Kuta Cot Glie 43 %

21. Leupung 80 %

22. Mesjid Raya 25 %

23. Lhoong 35 %

Rata-rata 52,6 %

Sumber : Data Primer, diolah (2016)

Masih rendahnya tingkat penerapan adopsi disebabkan petani belum

sepenuhnya memahami manfaat penggunaan bibit muda. Kebiasaan petani

menanam bibit di atas umur 21 hari setelah semai menjadikan jumlah anakan

berkurang, tanaman mudah stress sehingga pertumbuhan lambat, lebih mudah

26

terserang penyakit dan kebutuhan benih menjadi tinggi. Selain itu

kebiasaan petani memotong ujung daun saat tanam untuk menghindari

rebah menyebabkan tanaman susah bertunas, demikian juga menanam terlalu

dalam akan menyebabkan akar susah berkembang sehingga umur tanaman jadi

panjang.Hasil wawancara kepada petani responden menunjukan bahwa kendala

yang dihadapi dalam penerapan bibit muda adalah pada saat kondisi curah hujan

tinggi dan pada saat banyak air disawah, padi tidak bisa langsung ditanam

karena banyak muncul hama keong mas, begitu juga ketika kondisi tidak ada air

maka penanaman harus tertunda.

Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, beberapa keuntungan tanam

pindah menggunakan bibit muda (<21 hari) adalah tanaman tidak mengalami

stress akibat pencabutan bibit di pesemaian dan mudah dalam pengangkutan ke

lokasi lahan yang akan ditanami. Bibit lebih muda akan menghasilkan vigor

pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan bila menggunakan bibit lebih tua.

Namun demikian untuk daerah endemis keong mas, dianjurkan menggunakan

umur bibit lebih tua.

4.5.6. Permasalahan pada masing-masing kecamatan

1). Kecamatan Pulo Aceh

Penerapan teknologi jajar legowo di kecamatan Pulau Aceh dimulai sejak

tahun 2013. Tingkat Adopsi Jajar Legowo di kecamatan ini termasuk dalam

kategori sangat rendah hanya mencapai sebesar 5%. Kendala penerapannya

adalah karena petani belum mengetahui manfaat dari jajar legowo tersebut dan

petani belum memiliki keterampilan dalam menerapkan teknologi jajar legowo.

Hal ini dapat dipahami karena lokasi kecamatan ini berada pada wilayah geografi

kepulauan dan harus ditempuh dengan menyeberang lautan. Sehingga

transformasi inovasi teknologi terkendala dengan jarak dan waktu.

Di kecamatan ini tidak ditemui petani penggarap. Status kepemilikan lahan

100% adalah milik sendiri. Luas lahan rata-rata yang dimiliki petani berkisar 300

- 750 M2. Rata-rata lamanya pengalaman berusahatani sekitar 10 - 20 tahun.

Pola bertanam padi yang dilakukan selama ini yaitu dengan sistem tandur jajar.

Umumnya sawah di kecamatan ini adalah sawah tadah hujan.

Hampir seluruh petani padi didaerah ini menggunakan varitas Ciherang

yaitu sekitar 90% dan sisanya (10%) adalah Inpari Sidenuk. Petani menyukai

27

varietas Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap tahan kekeringan dan

rasa nasi pulen. Tingkat Penerapan penanaman bibit muda (7-14 HSS) di

kematan Pulau Aceh masih sebesar 43%. Kendala yang dihadapi dalam

penerapan bibit muda diantaranya yaitu pada saat banyak air disawah, padi

tidak bisa langsung ditanam karena banyak muncul hama keong mas, begitu

juga jika tidak ada air maka penanaman akan tertunda.

2). Kecamatan Lhoong

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo di kecamatan Lhoong

sebesar 25% dengan kategori rendah. Penerapan jajar legowo di daerah ini

dimulai sejak tahun 2014. Kendala Penerapan Jajar Legowo Adapun kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki masih kurang terampil. Status

kepemilikan lahan di daerah ini, 20% milik sendiri dan 80% sebagai penggarap

Varietas yang digunakan adalah Ciherang (50%) dan Inpari 30 (50%). Tingkat

penerapan penanaman bibit muda sebesar 35%, hal ini dikarenakan adanya

kendala hama keong mas.

3). Kecamatan Leupung

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo di kecamatan ini sudah

telah termasuk dalam kategori sangat tinggi yaitu sebesar 80%. Dibandingkan

dengan kecamatan Pulo Aceh dan Lhoong penerapan jajar legowo sudah lebih

lama yaitu dimulai sejak tahun 2011. Walaupun tingkat penerapan sudah sangat

tinggi namun perlu adanya peningkatan lagi agar bisa mencapai 100 %.

Status kepemilikan lahan sawah terdiri dari 40% milik sendiri dan 60%

sebagai penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%) dan Inpari

30 (30%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan

varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kekeringan. Tingkat penerapan

penanaman bibit muda sebanyak 80% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu

hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi dan

tadah hujan.

4). Kecamatan Lhoknga

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 97% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2009. Kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 18% milik sendiri dan 82% sebagai penggarap. Varietas yang

28

digunakan adalah Ciherang (10%), Inpari 30 (10%), Cigeulis (50%), Mekongga

(10%), Situ Bagendit (10%), Inpari 16 (5%) dan Inpari 10 (5%). Banyaknya

petani yang menanam varietas Cigeulis dikarenakan varietas tersebut dianggap

pulen dan tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak

88%. Hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas dan jika pada

saat banyak air disawah maka tidak bisa langsung ditanam, begitu juga jika tidak

ada air maka penanaman akan tertunda. Adapun sistem pengairan yang

diterapkan yaitu sistem tadah hujan.

5). Kecamatan Peukan Bada

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 70% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2011. Kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 35% milik sendiri dan 65% sebagai penggarap. Varietas yang

digunakan adalah Ciherang (65%), Inpari 30 (20%), Cigeulis (50%), Mekongga

(10%), dan Bestari (5%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang

dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat

penerapan penanaman bibit muda sebanyak 65%. Hal ini dikarenakan adanya

kendala yaitu hama keong mas dan kurangnya tenaga kerja yang dimiliki

sehingga pada saat menanam umur bibit tua dipersemaian. Adapun sistem

pengairan yang diterapkan yaitu sistem tadah hujan.

6). Kecamatan Darul Imarah

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 65% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2013. Kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 50% milik sendiri dan 50% sebagai penggarap. Varietas yang

digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30 (20%) dan IR 64 (10%).

Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas

tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit

muda sebanyak 50% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas

dan jika pada saat banyak air disawah maka tidak bisa langsung ditanam, begitu

juga jika tidak ada air maka penanaman akan tertunda. Sistem pengairan yang

diterapkan yaitu sistem irigasi dan sistem tadah hujan.

29

7). Kecamatan Darul Kamal

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 63% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012 sampai dengan

tahun 2013. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap

kurang terampil. Status kepemilikan lahan 42% milik sendiri dan 58% sebagai

penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (50%) dan Inpari 30

(50%). Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 50% hal ini

dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang

diterapkan yaitu sistem irigasi dan sistem tadah hujan.

8). Kecamatan Simpang Tiga

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 45% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2011 sampai dengan

tahun 2012. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap

kurang terampil. Status kepemilikan lahan 50% milik sendiri dan 50% sebagai

penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30 (20%)

dan Mira (10%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang

dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat

penerapan penanaman bibit muda sebanyak 50%. Hal ini dikarenakan adanya

kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem

irigasi.

9). Kecamatan Mesjid Raya

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 3% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2014. Kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 40% milik sendiri dan 60% sebagai penggarap. Varietas yang

digunakan adalah Ciherang (100%). Banyaknya petani yang menanam varietas

Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat

penerapan penanaman bibit muda sebanyak 25% hal ini dikarenakan adanya

kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem

tadah hujan.

10). Kecamatan Baitussalam

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 28% dengan penerapannya dimulai dari tahun 2013 sampai tahun 2014.

30

Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang

terampil. Status kepemilikan lahan 45% milik sendiri dan 55% sebagai

penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (50%) dan Mira (50%).

Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 38% hal ini dikarenakan

adanya kendala yaitu hama keong mas dan jika pada saat banyak air disawah

maka tidak bisa langsung ditanam, begitu juga jika tidak ada air maka

penanaman akan tertunda. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem tadah

hujan.

11). Kecamatan Darussalam

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 50% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012. Kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 40% milik sendiri dan 60% sebagai penggarap. Varietas yang

digunakan adalah Ciherang (50%), Inpari 30 (20%), Mekongga (10%), Hibrida

(5%), Inpari Sidenuk (10%) dan Bestari (5%). Banyaknya petani yang

menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan

tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 55% hal ini

dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas. Sistem Pengairan Sstem

pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi dan sistem tadah hujan.

12). Kecamatan Kuta Baro

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 63% dengan penerapannya dimulai dari tahun 2012 sampai dengan

tahun 2013. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap

kurang terampil dan pada saat menarik caplak, air masih tergenang sehingga

cetakannya tidak tampak. Status kepemilikan lahan 35% milik sendiri dan 65%

sebagai penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (90%) dan Hibrida

(10%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas

tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit

muda sebanyak 58% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas.

Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi dan sistem tadah hujan.

13). Kecamatan Krueng Barona Jaya

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 35% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2014. Kendala

31

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 45% milik sendiri dan 55% sebagai penggarap. Varietas yang

digunakan adalah Ciherang (75%) dan Inpari 30 (25%). Banyaknya petani yang

menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan

tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 38% hal ini

dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas dan jika pada saat banyak

air disawah maka tidak bisa langsung ditanam, begitu juga jika tidak ada air

maka penanaman akan tertunda. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem

irigasi dan sistem tadah hujan.

14). Kecamatan Blang Bintang

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 26% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2013. Kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 45% milik sendiri dan 55% sebagai penggarap. Varietas yang

digunakan adalah Ciherang (75%) dan Inpari 30 (25%). Tingkat penerapan

penanaman bibit muda sebanyak 45% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu

hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi.

15). Kecamatan Ingin Jaya

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 45% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2011 sampai dengan

tahun 2012. Adapun kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki

dianggap kurang terampil. Status kepemilikan lahan 33% milik sendiri dan 67%

sebagai penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (60%), Inpari 30

(20%), Inpari Sidenuk (5%), Inpari Mugibat (5%) dan Mekongga (10%). Tingkat

penerapan penanaman bibit muda sebanyak 40% hal ini dikarenakan adanya

kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem

irigasi.

16). Kecamatan Montasik

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 55% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2011. Kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 55% milik sendiri dan 45% sebagai penggarap. Varietas yang

digunakan oleh petani adalah Ciherang (70%) dan Inpari 30 (30%). Banyaknya

32

petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap

pulen dan tahan kering.

Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 63% hal ini

dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas dan jika pada saat banyak

air disawah maka tidak bisa langsung ditanam, begitu juga jika tidak ada air

maka penanaman akan tertunda. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem

irigasi.

17). Kecamatan Sukamakmur

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 45% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012. Kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 63% milik sendiri dan 37% sebagai penggarap. Varietas yang

digunakan adalah Ciherang (60%), Inpari 30 (20%), Inpari Sidenuk (10%) dan

IR 64 (10%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan

varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat penerapan

penanaman bibit muda sebanyak 53% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu

hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi.

18). Kecamatan Kuta Malaka

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 54% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2013. Kendala

Penerapan Jajar Legowo. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki

dianggap kurang terampil. Status kepemilikan lahan 40% milik sendiri dan 60%

sebagai penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30

(20%), dan Inpari Sidenuk (10%). Banyaknya petani yang menanam varietas

Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat

penerapan penanaman bibit muda sebanyak 69% hal ini dikarenakan adanya

kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang diterapkan yaitu sistem

irigasi.

19). Kecamatan Indrapuri

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 60% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012 sampai dengan

2013. Kendala Penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang

terampil. Status kepemilikan lahan 57% milik sendiri dan 43% sebagai

33

penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30 (20%),

Inpari 16 (5%) dan Batu Tegi (5%). Banyaknya petani yang menanam varietas

Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat

penerapan penanaman bibit muda sebanyak 57% hal ini dikarenakan adanya

kendala yaitu hama keong mas dan air sangat bergantung pada irigasi. Sistem

pengairan yang diterapkan yaitu sistem irigasi dan tadah hujan.

20). Kecamatan Kota Cot Glie

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 38% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2010 sampai dengan

2011. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang

terampil. Status kepemilikan lahan 65% milik sendiri dan 35% sebagai

penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%) dan Inpari 30

(30%). Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 43% hal ini

dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas. Adapun sistem pengairan

yang diterapkan yaitu sistem irigasi.

21). Kecamatan Kota Jantho

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 85% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2009 sampai dengan

2011. Kendala penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang

terampil. Status kepemilikan lahan 50% milik sendiri dan 50% sebagai

penggarap. Varietas yang digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30 (20%)

dan Inpari Sidenuk (10%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang

dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat

penerapan penanaman bibit muda sebanyak 65% hal ini dikarenakan adanya

kendala yaitu hama keong mas. Adapun sistem pengairan yang diterapkan yaitu

sistem irigasi.

22). Kecamatan Seulimum

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 40% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012. Kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 43% milik sendiri dan 57% sebagai penggarap. Varietas yang

digunakan adalah Ciherang (70%), Inpari 30 (10%), Mekongga (10%) dan Inpari

16 (10%). Banyaknya petani yang menanam varietas Ciherang dikarenakan

34

varietas tersebut dianggap pulen dan tahan kering. Tingkat penerapan

penanaman bibit muda sebanyak 35% hal ini dikarenakan adanya kendala yaitu

hama keong mas dan kurangnya tenaga kerja yang dimiliki sehingga

terlambatnya penanaman yang dilakukan. Adapun sistem pengairan yang

diterapkan yaitu sistem irigasi dan tadah hujan.

23). Kecamatan Lembah Seulawah

Tingkat adopsi teknologi budidaya padi jajar legowo telah digunakan

sebesar 50% dengan penerapannya dimulai sejak tahun 2012. Kendala

penerapannya yaitu tenaga kerja yang dimiliki dianggap kurang terampil. Status

kepemilikan lahan 55% milik sendiri dan 45% sebagai penggarap. Varietas yang

digunakan adalah Ciherang (70%) dan Inpari 30 (30%). Banyaknya petani yang

menanam varietas Ciherang dikarenakan varietas tersebut dianggap pulen dan

tahan kering. Tingkat penerapan penanaman bibit muda sebanyak 55% hal ini

dikarenakan adanya kendala yaitu hama keong mas. Sistem pengairan yang

diterapkan yaitu sistem irigasi dan tadah hujan.

4.6. Hasil Kegiatan di Kabupaten Pidie

Kabupaten Pidie adalah salah satu kabupaten di provinsi Aceh. Dengan

pusat pemerintahan berada di kota Sigli. Jumlah penduduk di kabupaten ini

merupakan jumlah yang terbesar ke 2 di provinsi aceh setelah kabupaten Aceh

Utara. Dua pertiga masyarakat kabupaten ini ada di perantauan, bagi masyarakat

wilayah ini merantau adalah suatu kebiasaan yang turun temurun untuk melatih

kemandirian dan keterampilan. Masyarakat wilayah ini mendominasi pasar-pasar

di berbagai wilayah di provinsi Aceh dan sebagian ke provinsi sumatera utara dan

negara tetangga malaysia.

4.6.1. Letak Geografis

Kabupaten Pidie yang membentang di antara 04,30 – 04,60 Lintang Utara

dan 95,75 – 96,20 Bujur Timur merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah

Provinsi Aceh. Wilayah Kabupaten Pidie yang terkenal dengan sebutan Krupuek

Mulieng merupakan wilayah hulu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Luas

wilayah Kabupaten Pidie mencapai 3.086,90 km2. wilayah Kabupaten Pidie

sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Pidie Jaya, sebelah barat

berbatasan dengan kebupaten Aceh Besar, sebelah utara berbatasan dengan

selat malaka dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Barat.

35

4.6.2. Wilayah Administratif

Secara administratif, Kabupaten Pidie terdiri dari 30 Kecamatan, 128

Kemukiman, 29 Kelurahan, dan 923 Desa, namun pada tanggal 15 Juni tahun

2007 melalui undang-undang Nomor 7 Tahun 2007 tentang pembentukan

Kabupaten Pidie Jaya, Kabupaten Pidie mengalami pemekaran menjadi 2 (dua)

Kabupaten yaitu Pidie sebagai Kabupaten Induk dan Pidie Jaya sebagai

Kabupaten pemekaran, sehingga saat ini wilayah Kabupaten Pidie terdiri atas 23

Kecamatan, 94 Kemukiman, 732 Gampong (yang sebelumnya 15 gampong di

Kecamatan Kota Sigli, 4 di Grong-grong dan 1 di Kec. Mutiara yang sesuai

dengan Qanun menjadi Kelurahan). Batas Wilayah Kabupaten Pidie meliputi :

Sebelah Utara berbatasa dengan selat malaka, Sebelah selatan berbatasan

dengan kabupaten Aceh Jaya, Sebelah Barat berbatasab Kabupaten Aceh Besar,

Sebelah Timur berbatasan dengan Pidie Jaya

Keadaan Iklim di kabupaten ini yaitu iklim Tropis (Dataran Rendah/Pesisir

Pantai) ; Iklim Sejuk (Dataran Tinggi /Lembah/Pegunungan), Curah Hujan dan

Suhu Rata-Rata, Curah Hujan 1.482 mm pertahun ; Suhu rata-rata 24° – 32 °C,

Panjang Pantai dan Sungai :

• Sungai 567, 40 Km ;

• Pantai 122 Km

Jenis Tanah :

• Alluvial (Kembang Tanjong, Pidie, Simpang Tiga),

• Hydromof (Pekan Baro, Geulumpang Tiga, Mutiara, Titue, Keumala, Tiro

Truseb, Muara Tiga),

• Podsolik (Padang Tiji, Indra Jaya, Tangse)

Penggunaan Tanah :

• Sawah 29.391 Ha

• Pekarangan 9.175

• Tegalan/Kebun 26.857

• Ladang/Huma 19.772

• Padang Penggembalaan 16.194

• Hutan Rakyat 23.782

• Hutan Negara 81.448

• Perkebunan 21.212

• Rawa-Rawa 2.128

36

• Tambak 2.890

• Tebat/Empang 162

• Pemukiman 30.714

• Belum diupayakan 78.093

Tabel 8. Jumlah Penduduk Di Kabupaten Pidie Tahun 2013

No. Kecamatan Jumlah

Penduduk Jumlah Rumah

Tangga

Rata-Rata Jiwa/Rumah

Tangga

1 2 3 4 5

1. Geumpang 6.447 1.600 4,0294

2. Mane 8.181 2.031 4,0281

3. Glumpang Tiga 18.118 4.498 4,0280

4. Glumpang Baro 10.400 2.582 4,0279

5. Mutiara 19.779 4.910 4,0283

6. Mutiara Timur 33.577 8.335 4,0284

7. Tiro/Truseb 7.647 1.898 4,0290

8. Tangse 25.622 6.361 4,0280

9. Keumala 9.627 2.390 4,0280

10. Titeue 6.504 1.615 4,0272

11. Sakti 20.211 5.017 4,0285

12. Mila 8.676 2.154 4,0279

13. Padang Tiji 21.368 5.304 4,0287

14. Delima 20.326 5.046 4,0281

15. Grong-grong 6.652 1.651 4,0291

16. Indrajaya 22.465 5.577 4,0282

17. Peukan Baro 19.775 4.909 4,0283

18. Kembang Tanjong 20.842 5.174 4,0282

19. Simpang Tiga 21.892 5.435 4,0280

20. Kota Sigli 20.431 5.072 4,0282

21. Pidie 43.496 10.797 4,0285

22. Batee 19.589 4.863 4,0282

23. Muara Tiga 18.955 4.705 4,0287

Jumlah 410.580 101.924

Sumber : BPS Kabupaten Pidie, 2014

37

4.7. Tingkat Adopsi Inovasi Jajar Legowo di kabupaten Pidie

Pengumpulan data dilakukan di 22 kecamatan, untuk kota Sigli tidak

dilakukan pengambilan data sebab tidak memiliki lahan sawah. Hasil yang

didapatkan menunjukan bahwa rata-rata tingkat adopsi jajar legowo di

kabupaten Pidie sebesar 49,6 % (Tabel 9). Angka ini sama dengan tingkat adopsi

budidaya padi jajar legowo di kabupaten Aceh Besar (49 %). Hal ini dapat

dipahami bahwa secara geografi ke dua kabupaten ini memiliki banyak

persamaan dengan posisi berdekatan atau berdampingan sehingga memiliki

karakteristik sosial budaya yang tidak jauh berbeda.

Untuk lebih jelasnya rata-rata tingkat adopsi jajar legowo dan penerapan

bibit muda per kecamatan dapat dilihat pada tabel 9 berikut :

Tabel 9. Rata-rata Tingkat Adopsi Jajar Legowo dan Penerapan Bibit Muda Menurut Kecamatan di Kabupaten Pidie

NO. KECAMATAN TINGKAT ADOPSI JAJAR LEGOWO

PENERAPAN BIBIT MUDA

1 MUARA TIGA 35 % 85%

2 GEUMPANG 80 % 80 %

3 TIRO 45% 25 %

4 MILA 65% 0 %

5 MUTIARA 60% 60 %

6 INDRAJAYA 18% 27 %

7 TITEU 95% 95 %

8 SAKTI 30% 70 %

9 MUTIARA TIMUR 28% 75%

10 GLP. BARO 20% 35 %

11 SIMPANG TIGA 60 % 75 %

12 BATEE 20% 20 %

13 MANE 80% 92 %

14 TANGSE 60% 70 %

15 PADANG TIJI 75% 60 %

16 DELIMA 60% 40 %

17 KEUMALA 60% 50 %

18 PIDIE 45% 55 %

19 GLP.TIGA 80% 80 %

20 PEUKAN BARO 65% 92%

21 GRONG-GRONG 5% 80 %

22 KB TANJONG 5% 70 %

Rata-rata 49,6 % 69,7 %

Sumber : Data Primer, diolah (2016)

Tabel 9 menunjukan bahwa tingkat adopsi jajar legowo untuk kategori

sangat tinggi di capai oleh kecamatan Mane dan Glumpang Tiga masing-masing

sebesar 80 %. Sebaliknya untuk tingkat adopsi sangat rendah di dapat pada

38

kecamatan grong-grong dan kembang tanjung masing-masing sebesar 5 %.

Rata-rata penerapan bibit muda tertinggi dijumpai pada kecamatan Titeu sebesar

95 %, sedangkan yang terendah pada kecamatan Batee sebesar 20 %.

Tingkat penerapan bibit muda di kabupaten Pidie menunjukan angka

sebesar 69,7 % (Tabel 9). Penanaman bibit muda (< 21 hari ) mempunyai

beberapa keuntungan, antara lain : 1) Bibit lebih muda akan menghasilkan

anakan lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan bibit lebih tua, 2) Bibit

muda lebih tahan menghadapi stres akibat pencabutan bibit di persemaian,

pengangkutan dan penanaman kembali di bandingkan dengan bibit yang lebih

tua, 3) Bibit muda mempunyai bahan makanan cadangan untuk pertumbuhan

bibit pada endesperm benih dan kadar nitrogen di daun lebih tinggi

4.1.1. Sebaran Varitas Unggul Padi di Kabupaten Pidie

Penggunaan Benih bermutu dan berlabel pada budidaya padi jajar legowo

akan menghasilkan bibit yang sehat dan akar yang banyak. Benih yang baik

akan menghasilkan perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam. Ketika

ditanam pindah, bibit dari benih yang baik dapat tubuh lebih cepat dan kuat.

Benih yang baik akan memperoleh hasil yang tinggi. Benih bermutu adalah benih

berlabel dengan tingkat kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi. Pada

umumnya benih bermutu dapat diperoleh dari benih berlabel yang sudah lulus

banyak sehingga pertumbuhannya akan lebih cepat dan merata serta lebih tahan

terhadap serangan hama dan penyakit. Varietas unggul baru (VUB) yang

digunakan didasarkan pada keunggulan yang dimiliki yaitu imempunyai hasil

tinggi, ketahanan terhadap biotik dan abiotik, atau sifat khusus tertentu.

Berdasarkan hasil perhitungan dari survey yang dilakukan dalam rangka

pemetaan sebaran varitas di kabupaten Pidie menunjukan bahwa didominasi oleh

varitas Inpari, disusul dengan varitas ciherang dan Mekongga. Hal ini terlihat dari

sebaran varitas yang dipilih petani pada tiap kecamatan di kabupaten Pidie.

Berbeda dengan di kabupaten Aceh Besar varitas ciherang masih digunakan di

tiap kecamatan secara meratai. Bila dilihat per kecamatan pada kabupaten Pidie

posisi varitas ciherang sudah digeser oleh varitas inpari dengan demikian

penggunaan varitas ciherang di kabupaten Pidie sudah mulai berkurang dan

sudah beralih kepada baeitas unggul baru inpari atau mekongga dan VUB

39

lainnya. Jenis varitas dan rata-rata penerapan varitas unggul padi di kabupaten

Pidie dapat dilihat pada tabel 10 berikut :

Tabel 10. Jenis varitas dan rata-rata persentase penerapannya Menurut Kecamatan

NO KECAMATAN SEBARAN VARITAS UNGGUL

NAMA VARIETAS TINGKAT PENERAPAN

1 2 3 4

1. MUARA TIGA

Ciherang Inpari 30 Mekongga Hibrida

5 % 25 % 65 % 5 %

2. GEUMPANG

Inpari Hibrida Ciherang

30 % 60 % 10 %

3. TIRO

Inpari 16 Inpari 30 Inpari 32 Mekongga Hibrida Lokal

20 % 20 % 5 % 25 % 10 % 10 %

5. MILA

Ciherang Inpari Hibrida Lokal

10 % 50 % 20 % 20 %

6. MUTIARA

Inpari 32 Hibrida Ciherang Mekongga Sidenuk

70 % 10 % 10 % 5 % 5 %

7. INDRAJAYA

Ciherang Inpari Mapan Pioner Intani H6444

24 % 28 % 12 % 21 % 7 % 8 %

8. TITEU

Ciherang Inpari Mekongga Hibrida Lainnya

15 % 55 % 15 % 10 % 5 %

9. SAKTI

Ciherang Inpari Mekongga Hibrida Lainnya

10 % 45 % 10 % 20 % 15 %

10. MUTIARA TIMUR

Ciherang Inpari Mekongga Hibrida

15 % 42 % 18 % 25 %

40

1 2 3 4

11. GLP. BARO

Ciherang Inpari 30 Inpari 16 Inpari 32 Inpari 19 Mekongga Lainnya

10 % 25 % 10 % 15 % 10 % 10 % 20 %

12. SIMPANG TIGA

Ciherang Mekongga Inpari 16 Inpari 18 Inpari 30

75 % 5 % 5 % 5 % 10 %

13. BATEE

Mekongga Inpari 30 Ciherang Lokal

20 % 20 % 20 % 40 %

14. MANE

Inpari Hibrida

5 % 95 %

15. TANGSE

Ciherang Hibrida Inpari

40 % 20 % 40 %

16. PADANG TIJI

Inpari 30 Inpari 32 Ciherang Hibrida Mekongga Lainnya

30 % 30 % 10 % 10 % 5 % 15 %

17. DELIMA

Inpari Mekongga Sidenuk Pioner

40 % 25 % 20 % 15 %

18. KEUMALA

Ciherang Inpari Lokal

30 % 40 % 30 %

19. PIDIE

Inpari Mekongga Sidenuk Hibrida Lokal

45 % 15 % 10 % 20 % 10 %

20. GLP.TIGA

Inpari Cibogo Mekongga lainnya

45 % 20 % 10 % 25 %

21. PEUKAN BARO

Ciherang Inpari Mekongga Cibogo Situbagendit

3 % 45 % 15 % 10 % 2 %

41

1 2 3 4

Hibrida Lainnya

15 % 10 %

22. GRONG-GRONG

Inpari Mekongga Ciherang Pioner

32 % 48 % 14 % 6 %

23. KB. TANJONG

Ciherang Inpari Lainnya

53 % 32 % 15 %

Rata-rata

Sumber : Data Primer, diolah (2016)

42

V. KESIMPULAN

Rata-rata tingkat adopsi budidaya padi jajar legowo di kabupaten Aceh

Besar mencapai 49 %. Angka ini hampir sama dengan tingkat adopsi budidaya

padi jajar legowo di kabupaten Pidie sebesar 49,6 %. Masih rendahnya tingkat

adopsi budidaya padi jajr legowo di dua kabupaten ini disebabkan oleh adanya

anggapan dari petani bahwa teknologi ini cukup menyulitkan, petani sudah

terbiasa dengan teknologi yang selama ini dilakukan.

Rata-rata penerapan teknologi penanaman benih muda (7-14 HSS) di

kabupaten Aceh Besar masih dalam kategori sedang yaitu sebesar 52,6 %.

Tingkat penerapan bibit muda di kabupaten Pidie menunjukan angka lebih tinggi

dibandingkan kabupaten Aceh Besar yaitu sebesar 69,7 %. Masih rendahnya

tingkat penerapan adopsi disebabkan petani belum sepenuhnya memahami

manfaat penggunaan bibit muda. Selian itu penerapan bibit muda terkendala

dengan hama keong mas yang menyukai bibit muda.

Sebaran varitas unggul di kabupaten Aceh besar menunjukan bahwa

varitas unggul ciherang adalah varitas unggul yang paling disukai dan paling

banyak diadopsi oleh petani. Rata-rata penggunaan varitas ciherang di

kabupaten Aceh Besar mencapai 66 %. Sedangkan sebaran varitas di kabupaten

Pidie menunjukan bahwa didominasi oleh varitas Inpari, disusul dengan varitas

ciherang dan Mekongga. Varitas ciherang masih disukai oleh petani di dua

kabupaten ini dikarenakan rasa nasi yang pulen.

43

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James. (2006). Public Policy Making: An Introduction. Belmont: Wadsworth.

Aronoff, Stan. 1989. "Geographic Information System a Management Perspective". WDL Publication, Ottawa-Canad

Badan Pusat Statistik, Aceh Besar dalam Angka, 2015.

Badan Pusat Statistik, Pidie dalam Angka, 2015.

Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, 2015. Programa Penyuluhan Pertanian Kabupaten Aceh Besar.

Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan, 2015. Programa Penyuluhan Pertanian Kabupaten Pidie.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Besar, 2014.

Bungin,Burhan. (2009). Metode Penelitian Kuantiattif: Komunikasi Ekonomi, dan Kebijakan Publik Serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

https://www.academia.edu/5702119/55794604-35-Sistem-Informasi-Geografis-Pemetaan-Fasilitas-Kesehatan-Di-Kota-Magelang-Berbasis-Web

https://www.academia.edu/8354936/PROPOSAL_PENELITIAN_SISTEM_INFORMASI_GEOGRAFIS_PEMETAAN_LAHAN_PERTANIAN_DI_KABUPATEN_TUBAN_MENGGUN

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Santrock, J. W. (2005). Psikologi Remaja : PT Raja Grafindo Persada

Soekartawi, 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta

Therestia, 2010. Implementasi Mobile GIS pada Navigasi jalan Menggunakan PDA di kabupaten Sleman. Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer. Jogyakarta.

Wikipedia Indonesia, 2013. Geografi. Diakses pada tanggal 17 September 2015.

(Oon Holid, hakikat difusi dan inovasi pembelajaran Universitas islam as-syafi’iah, 2011.

http://bbpadi.litbang.pertanian.go.id/index.php/tahukah-anda/185-penggunaan-bibit-muda

43

LAMPIRAN 1

PETA TINGKAT ADOPSI BUDIDAYA PADI JAJAR LEGOWO

DI KABUPATEN ACEH BESAR

44

45

46

47

48

LAMPIRAN 2

PETA TINGKAT ADOPSI BUDIDAYA PADI JAJAR LEGOWO

DI KABUPATEN ACEH BESAR

49

50

51