lembar informasi 112004 penambangan pasir laut neraka bagi

23

Click here to load reader

Upload: people-power

Post on 15-May-2015

3.334 views

Category:

Business


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

Jln. Mangga No. 47 Sukajadi Pekanbaru -RIAUPh. 0761 43420 fax 0761 46676Emailto: [email protected]: [email protected]

KERTAS POSISI

Page 2: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

PENDAHULUAN

enambangan pasir laut adalah awal dari malapetaka panjang yang menggiring nelayan tradisional ke neraka. Bagaimana tidak bila aktivitas yang terjadi selama ini telah

memberikan begitu banyak dampak negatif terhadap nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan masyarakat setempat, khususnya masyarakat nelayan di Kabupaten Karimun yang selama ini menggantungkan hidup sepenuhnya dari laut. Kenyataan yang mendasari munculnya kertas posisi ini bukannya tanpa alasan. Berbagai temuan yang didapati selama ini telah menjelaskan hal tersebut diatas.

Penambangan pasir memang dianggap memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah. Trilyunan rupiah dihasilkan dari kegiatan ini. Terlepas dari maraknya aksi pencurian yang terjadi akibat sulitnya menentukan batas konsesi, penambangan pasir laut telah menjadi primadona bagi Pendapatan Asli Daerah setempat. Hampir 84%1 komoditi yang diekspor oleh Propinsi Riau adalah pasir laut. Dua persen lainnya pasir darat dan sisanya komoditi lain.

Kegiatan penambangan itu sendiri dilakukan dengan sangat. Saat ini, hampir seluruh wilayah perairan empat kabupaten di Propinsi Riau sudah dikapling-kapling oleh para pengusaha. Hingga Juni 2002 tercatat 67 perusahaan telah yang mengantongi izin eksploitasi. Sementara itu 300 perusahaan lainnya sudah memiliki izin eksplorasi. Belum lagi bila satu perusahaan memiliki lebih dari satu konsesi seperti PT Equator Reka Cipta dengan 14 konsesinya.

Bisnis ini juga melibatkan begitu banyak orang berpengaruh dinegeri ini. Dari mulai Habibie and the familiy’s, Ricardo Gelael, Taufik Kiemas hingga MS Zulkarnen – mantan Direktur Walhi. Tidak heran, mengingat ada begitu banyak uang yang mengalir didalamnya. Tidak heran pula bila kita melihat peta yang dikeluarkan Dinas Pertambangan, dimana tidak ada sejengkalpun laut yang bebas dari kepemilikan kuasa pertambangan. Semuanya untuk memenuhi proyek reklamasi yang dilakukan oleh Singapura, yang dialokasikan untuk menimbun kawasan industri, wisata, lahan pertanian dan pusat penelitian perikanan. Proyek tersebut tersebar di Pasir Panjang, Phase 2, Changi Bay, Western Islands, North Eastern Islands, Tuas Reclamation, Punggol Reclamation, dan Sentosa Islands, dengan kebutuhan yang bervariasi, dari mulai 10 juta meter kubik (Sentosa Island) sampai 900 juta meter kubik (Westerns Islands). Total kebutuhan untuk seluruh proyek tersebut diperkirakan mencapai 1,8 miliar meter kubik2 dan diperkirakan keseluruhan proyek tersebut akan selesai pada tahun 2010.

POTENSI KEBUTUHAN PASIR LAUT SINGAPURA

Nama Proyek Jumlah (juta m3) Status Selesai1. Pasir Panjang Tahap II 150 Berlangsung 20032. Pantai Changi 300 Berlangsung 20033. Kepulauan Barat 900 Berlangsung 20104. Pulau Jurong 200 Berlangsung 20105. Kepulauan Timor Laut 200 Tender 20056. Reklamasi Tuas 40 Tender 20057. Reklamasi Punggol 10 Tender 20058. Pulau Sentosa 15 Tender 2005

Penambangan pasir secara besar-besaran dimulai pada pertengahan tahun 70-an dan mencapai puncaknya sejak awal 80-an. Walaupun Badan Kordinasi Survey dan Pemetaan Nasional menyatakan bahwa Indonesia belum kehilangan satu pulau pun dari kegiatan ini, namun melihat bahwa kegiatan menjual “tanah air” ini masih terus berlangsung dan semakin bertambah intensitasnya, kekhawatiran tersebut bukan tidak mungkin terjadi.

Angka bercerita bahwa dalam satu kali kegiatannya tiap kapal mampu menyedot sekitar 60 ribu meter kubik, dan dalam satu hari setiap kapalnya bisa bolak-balik lima kali lebih dari lokasi

1 Dinas Bea Cukai Riau, Juni 20012 PT Surveyor Indonesia

Halaman 2 dari 20 halaman

Page 3: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

penambangan ke lokasi reklamasi. Artinya, 300 ribu meter kubik tersedot setiap harinya untuk satu kapal. Bila dikali 10 kapal (minimal) yang beroperasi maka setiap harinya 3 juta meter kubik. Setahun berarti 750 juta meter kubik untuk masa kerja aktif 250 hari. Kalikan saja selama 5 tahun (aktivitas penambangan paling marak) total 1,25 milyar meter kubik pasir Riau tersedot dan pindah ke Singapura. Kalau bibir pantai sebelah timur Sumatera di timbun selebar 500 meter dengan kedalaman 10 meter, pasir itu bisa dipakai untuk menutup pantai dari Lampung hingga Aceh.

Dengan jumlah yang sedemikian fantastis, Negeri Singapura bertambah luas. Pada tahun 1991, luas daratan Singapura hanya 633 kilometer persegi. Sepuluh tahun kemudian, luasnya sudah menjadi 760 kilometer persegi, bertambah 20 persen3. Dan penambahan pasir ini berkat andil Propinsi Riau dengan pasirnya. Bisa jadi suatu saat nantinya sebuah pulau yang dulunya milik Propinsi Riau akan diklaim menjadi milik Singapura. Hal ini dimungkinkan mengingat dalam konvensi hukum laut disebutkan bahwa wilayah laut dihitung berdasarkan coastal base line atau titik-titik terluar dari suatu wilayah. Bila pasir terus diekspor dan daratan Singapura bertambah, otomatis batas teritorialnyapun meluas.

3 PT Surveyor Indonesia

Halaman 3 dari 20 halaman

Page 4: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

ANTARA PAD DAN PENCURIAN PASIR

emua berawal dari keinginan Negeri Singa untuk memperluas daratannya, dan rencana reklamasi dibarengi tender seharga S$ 5 – 5,9 per meter kubik pun digelar. Tercatat ada

empat kontraktor sebagai pemenang tender, yaitu: Hyundai, Links Island/SLM Holding, Samsung dan Toa Corporation.

Keempat perusahaan tersebut kemudian menyerahkan urusan pengangkutan dan pembelian pasir kepada sejumlah perusahaan kapal keruk yang akan bertanggung jawab untuk membawa pasir dari lokasi penambangan sampai dengan ke lokasi reklamasi. Negara-negara pemilik kapal diantaranya Rusia, Belgia, Belanda, Jepang, Korea. Ke empat perusahaan pemenang tender itu tadi membeli pasir dari kapal keruk seharga S$ 3,9 – 4/meter kubik. Perusahaan kapal keruk kemudian membeli pasir dari pemegang kuasa pertambangan dengan harga jual di lokasi penimbunan (fee on board) sebesar S$ 1,75 /meter kubik (per Agustus 2002). Harga ini bersifat fluktuatif, tergantung negosiasi antara buyers dan sellers.

Pemilik kuasa pertambangan sendiri memperoleh keuntungan yang cukup besar, walaupun tidak cukup besar dibandingkan dengan para pemilik kapal keruk, apalagi bila dibandingkan dengan pemegang kontrak reklamasi pantai itu sendiri. Namun toh, bisnis pasir tetap saja bisnis yang begitu menggiurkan, yang “memaksa” sejumlah pejabat di Kabupaten Karimun serta merta mengalihkan bisnisnya ke jual beli “tanah air” ini. Dari 40 kuasa pertambangan yang ada, bisa dipastikan separuhnya dimiliki oleh para pejabat daerah. Tercatat ada 6 anggota dewan DPRD Riau yang memiliki kuasa pertambangan tersebut: Ketua DPRD Riau - Chaidir, Thamrin Nasution, Sharizal LZ, Badarawi Madjid, Fachruddin, Abdul Kadir, dan anak seorang Gubernur Riau yang sedang berkuasa saat ini: Indra Mukhlis Adnan. Ini belum ditambah dengan kuasa pertambangan yang dimiliki pejabat pusat termasuk klannya Habibie, mantan orang no 1 di Indonesia.

Walaupun demikian, menurut data Bea dan Cukai Riau, dari sekian banyak kuasa pertambangan yang ada, baru enam perusahaan yang menyetorkan pajak ekspornya. Nilainyapun tidak seimbang. Pada periode April – Desember 2000, ekspor pasir ini seharusnya bernilai US$ 14 juta atau 14 juta trilyun, tetapi pajak ekspor yang diterima pemerintah cuma 18,2 miliar. Pada semester pertama 2001, nilai ekspor pasir melonjak menjadi sebesar 47 trilyun, tetapi pajaknya cuma 73,4 miliar4.

Jelas banyak sekali pengusaha yang curang dan tidak membayar pajak ekspor. Anggota DPR RI, Priyo Budi Santoso menyatakan bahwa Angkatan Laut, Kepolisian dan Bea Cukai terlibat dalam bisnis pencurian pasir laut. Indikatornya bisa dilihat dari Berita Acara Klarifikasi thn 2001 dimana tercatat jumlah produksi hanya 47,3 juta meter kubik atau senilai Rp. 114,127 miliar. Padahal, kebutuhan Singapore periode 2000 – 2005 mencapai 1,268 trilyun meter kubik atau setara dengan Rp. 40,730 trilyun. Otomatis, seharusnya jumlah pasir yang telah ditambang mencapai 253,6 juta meter kubik. Alasan bahwa sebagian kebutuhan Singapore dipenuhi oleh Malaysia sangat tidak masuk akal karena aktivitas di Malaysia hanya berlangsung sebentar dan saat inipun tidak ada lagi.

Salah satu aspek yang mendorong terjadinya tindak pencurian ini bisa jadi akibat kacaunya perizinan yang ada. Setelah otonomi diberlakukan pada 1 Januari 2001, Gubernur Riau Saleh Djasit, Bupati Karimun HM Sani dan Bupati Kepri Huzrin Hood, saling berlomba mengeluarkan izin konsesi tanpa mengacu pada konsesi yang telah ada. Hingga dengan April 2001 saja ketiganya telah mengeluarkan lebih dari 300 izin eksplorasi konsesi pertambangan. Akibatnya bisa dibayangkan. Tidak adanya kordinasi dan sempitnya ruang mengakibatkan satu konsesi menindih konsesi yang lain. Inilah satu masalah mendasar dari proses perizinan yang bisa menjadi bom waktu pemicu konflik antara pengusaha vs pengusaha itu sendiri. Tapi jangan khawatir, konflik tersebut sebetulnya tidak akan terjadi jika pengusaha “jual beli tanah air” ini mengikuti aturan main yang telah ditetapkan dalam proses pembuatan Amdal.Sebagaimana diketahui, didalam Amdal telah disyaratkan untuk membuat tanda batas dari pelampung yang diberi warna. Tujuannya agar masing-masing konsesi dapat dikenali. Bila aturan ini dituruti, kekhawatiran munculnya konflik bisa diabaikan. Yang justru membuat cemas

4 Dinas Bea Cukai Propinsi Riau, Agustus 2001

Halaman 4 dari 20 halaman

Page 5: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

adalah bahwa para pengusaha tersebut telah melakukan pencurian sumberdaya alam secara besar-besaran dengan cara menambang ditempat yang bukan menjadi konsesinya, mengingat sulitnya menentukan batas antara satu dengan yang lain. Dan bila ini yang terjadi tentu saja negara berada pada posisi yang dirugikan.

Laut memang tidak memiliki tanda alam. Itu sebabnya, untuk menghindari terjadinya tumpang tindih, dokumen Amdal mewajibkan adanya pelampung sebagai batas konsesi. Dan inilah celah yang digunakan untuk melakukan pencurian. Dengan tidak meletakkan pelampung (baca: pembatas), mereka semakin leluasa mengeruk keuntungan. Hal yang juga mendorong mereka untuk melakukan ini adalah, salah satunya, begitu banyaknya pungutan yang harus dilalui, baik ketika masa eksplorasi maupun eksploitasi. Hal tersebut diakui sendiri oleh salah seorang pengurus Asosiasi Pengusaha Penambangan pasir Laut. Bahkan sumber dari AP3L tersebut mengaku bahwa dalam setahunnya, terjadi ilegal sand mining sebesar 35 juta meter kubik. Entah dari mana angka ini didapat namun ini bisa dijadikan petunjuk bahwa pencurian “tanah air” begitu menggila.

Pengusaha memang mendapat banyak keuntungan dari konsesinya, dengan harga jual S$ 1,75/meter kubik (Agustus 2002) di lokasi reklamasi. Namun, dengan banyaknya pungutan, keuntungan tersebut mungkin belum mencukupi untuk menutup pungutan-pungutan liar lainnya. Belum lagi kekhawatiran konsesi yang dimiliki berisikan lumpur, sebagaimana konsesi seorang tokoh Riau, DR. Tabrani Rab, yang berisi lumpur, sehingga berbalik dan mulai menyerang seluruh aktivitas penambangan tersebut dengan alasan merusak lingkungan dan merugikan masyarakat nelayan.

Sebagaimana diketahui, ketika izin konsesi didapatkan, pengusaha terlebih dahulu harus menyetorkan sejumlah uang sebagai jaminan kesungguhan sebesar US$ 5 per hektare ke BPD Riau. Ditambah iuran eksplorasi sebesar Rp. 20.000 per hektarnya dan iuran daerah Rp. 25 ribu/ha. Ini belum lagi ditambah dengan biaya Community Development, sebagai kompensasi terhadap nelayan tradisional yang besarnya mencapai 300 – 400 juta untuk setiap konsesi dan dana penelitian Amdal sebesar 200 juta. Jadi, seandainya seorang pengusaha mendapatkan konsesi, katakanlah 4.000 hektar, maka ia harus menyetorkan:

Tabel 1. Pungutan Pra Penambangan

Kewajiban Pengusaha Jumlah

Jaminan Kesungguhan* Rp. 200.000.000,-

Proses Amdal Rp. 200.000.000,-

Iuran Eksplorasi Rp. 80.000.000,-

Iuran Daerah/thn - masa eksplorasi Rp. 100.000.000,-

Kompensasi CD Rp. 300.000.000,-

Iuran Daerah/thn - dibayar dimuka untuk tahun pertama masa eksploitasi

Rp. 100.000.000,-

Total Rp. 980.000.000,-

*dikembalikan bila selesai/habis masa konsesi

Setelah semua proses dilalui, barulah pemilik konsesi mengontak pemilik kapal yang umumnya dimiliki oleh perusahaan asing. Tercatat beberapa pemain berada disini, diantaranya dari Jepang, Korea, Belanda, Belgia, Rusia dan beberapa perusahaan dengan nama asing namun berbendera Panama. Dan apabila terdapat warga asing sebagai ABKnya maka harus ada ‘izin’ dari Angkatan Laut dan Deplu. Untuk ini pengusaha ditarik sumbangan ‘sukarela’ yang besarnya bervariasi. Konon, sumbangan di Angkatan Laut mencapai S$ 10 sen/hektar atau bila mengacu pada luasan yang ada berarti sebesar S$ 40.000/thn.

Hal diatas belum lagi selesai. Ketika operasi, setoran yang harus dibayar adalah:

Komposisi Harga permeter Kubik Pasir Laut*

Untuk 1 meter kubik pasir laut

Halaman 5 dari 20 halaman

Page 6: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

1. Iuran produksi ke Pemerintah Pusat 10% S$ 0,1752. Iuran Produksi ke Pemerintah daerah 25% S$ 0,4383. Transport (untuk jarak rata-rata 20 mil laut) S$ 0,2 S$ 0,24. Biaya keruk S$ 0,33 S$ 0,335. Community Development S$ 0,10 S$ 0,106. Pajak Ekspor Barang S$ 0,35 S$ 0,35

Total Sementara S$ 1,693Margin Keuntungan sementara S$ 0,057

6. Pajak CnF pemerintah Pusat 25 % S$ 0,014257. Pajak CnF Pemerintah Daerah 50 % S$ 0,0285

Total Margin Keuntungan S$ 0,01425* 1 meter kubik pasir = S$ 1,75. Harga Per Agustus 2002.

Bila S$ 1 = Rp. 5600, maka keuntungan yang diterima oleh si pemilik konsesi mencapai Rp. 79,8/meter kubik. Kalau dalam seharinya satu buah kapal mampu menyedot sekitar 200 ribu meter kubik (tergantung jarak), maka keuntungan dari pengusaha tersebut menjadi hampir Rp 15.960.000/hari. Dalam setahun, dengan masa kerja efektif 250 hari, maka keuntungan menjadi hampir Rp. 4 milyar, kotor. Belum dipotong dengan biaya administrasi dan sebagainya termasuk berbagai macam pungutan siluman. Sebuah angka yang fantastis untuk jual beli tanah air. Bayangkan kalau ia memiliki banyak konsesi. Bayangkan pula kalau ia menyedot tidak sampai 1 mil dari bibir pantai, sebagaimana yang sering dilakukan. Bayangkan pula kalau nilai tukar dollar Singapore turun seperti sekarang ini yang hanya mencapai Rp. 5.100

Satu-satunya pilihan untuk menaikkan margin keuntungan bagi pemilik kapal keruk dan pelaksana proyek reklamasi adalah mencuri!. Kapal keruk beroperasi tidak berdasarkan kuasa pertambangan. Liar! Dan pihak Singapura dengan senang hati akan menghargainya sebesar 1 S$ per kubik. Kalau saja setiap kapal berukuran sedang mampu mengeduk sekitar 200 ribu meter kubik, berarti keuntungan yang diterima pemilik kapal mencapai S$ 100 ribu, setelah dipotong ongkos angkut dan ongkos keruk, dari satu kapal saja! Bebas dari biaya setoran dll. Tentu saja Pemerintah Singapura menutup mata dengan mendasarkan pada argumen bahwa seluruh kontrak reklamasi telah diserahkan pada pihak swasta dan pemerintah tidak ikut campur dari mana swasta akan melakukan pengadaan pasir tersebut, sebagaimana yang diakui oleh Ajiv Shingh, Konsulat Singapura di Riau. Otomatis dengan cara ini Negeri Singa tersebut menjauhkan diri dari pertanggungjawaban terhadap setiap ton pasir yang dicuri dari Riau. Secara otomatis bila kasus ini dibawa ke pengadilan maka pemerintah Singapura telah memposisikan dirinya sebagai yang tak tersentuh – The Untouchable.

Upaya untuk mencegah terjadinya pencurian bukan tidak pernah dilakukan. Sejumlah tim telah dibentuk. Awal tahun 1997 Letjend (purnawirawan) H.B.L. Mantiri mengirimkan surat kepada Menperindag, ketika itu Rahardi Ramelan, tentang sindikat ekspor pasir laut illegal yang telah berlangsung puluhan tahun. Mantiri juga menghubungi Habibie, yang ketika itu disamping sebagai Menristek juga menjabat sebagai Ketua Otorita Batam. Habibie kemudian menerbitkan SK pembentukan Tim Pengawas dan Penertiban Ekspor Pasir Laut (PPPL). Namun lagi pada 16 September 97, tim tersebut dibubarkan oleh Habibie dan menggantikannya dengan Asosiasi Pengusaha Pasir Laut Indonesia (APPL), yang diketuai oleh anaknya, Thareq Habibie. Untuk diketahui, Thareq juga sekaligus sebagai komisaris PT. Barelang Sugi Bulan. Pada awal 2002, sebuah kapal berbendera Belanda, Amsterdam Zeist, telah ditangkap oleh TNI AL karena kedapatan menyelundupkan pasir ke Singapura. Ketika disidik lebih jauh, awak kapal mengaku membawa pesanan PT. Barelang Sugi Bulan. Tidak ada tindakan hukum lebih jauh mengenai hal tersebut.Menteri Perindustrian dan Perdagangan kemudian mengeluarkan SK yang menyebutkan bahwa urusan perizinan pasir, yang sejak 15 April 1985 menjadi cengkeraman Otorita Batam, dialihkan ke pusat. Keputusan ini diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 24/1998 tertanggal 1 Agustus 1998. Keberatan kah Habibie? Tidak! Karena pada saat itu ia menjabat sebagai Presiden.

Harus diakui, kasus Mantiri ini merupakan kali pertama bisnis jual beli ‘tanah air’ ini merebak hingga ke Jakarta. Menggelincirkan sebagian pejabat apabila tidak mampu membaca peta politik yang ada. Apalagi, masalah pasir laut Riau selalu saja dikaitkan dengan Taufik Kiemas. Rumor yang begitu kuat mengatakan bahwa Taufik Kiemas, Ricardo Gelael, Djoni Rosadi dan MS

Halaman 6 dari 20 halaman

Page 7: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

Zulkarnaen merupakan komisaris dari D’Consortium, sebuah corporate yang menguasai bisnis pasir laut ini dengan cara memberikan jaminan kepada kontraktor proyek reklamasi supaya mereka mudah dan mendapat jaminan pasokan pasir. Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah dokumen pada tanggal 25 September 2000 tentang kontrak untuk memasok pasir laut sebanyak 100 juta meter kubik. Dalam kontrak yang dilakukan antara PT. Equator Reka Citra dengan Boskalis sebagai kontraktor, tercantum nama MS Zulkarnaen dan Ricardo Gelael sebagai penandatangan.

Sejak PPPL dibubarkan dan diganti dengan APPL, pencurian justru kembali marak dan betul-betul diluar kendali pemerintah. Otonomi yang digulirkan pada Januari 2001 ternyata tidak hanya belum mampu menjawab masalah pencurian ini, bahkan justru menambah aktor pencuri lebih banyak lagi. Tidak ada yang mau memperdulikannya seberapa banyak sudah pasir yang dikeduk. Propinsi dengan 3.200 pulau besar dan kecil ini memiliki luas perairan hingga 235.000 kilometer persegi. Dengan luas yang ada, diperkirakan lautan tersebut menyimpan cadangan pasir sekitar 1.200 milyar kubik. Dan, sepertinya, tidak akan berpengaruh banyak dengan pencurian yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Singapore yang ‘hanya’ 1,8 milyar kubik. Atau sebagaimana yang diungkapkan MS Zulkarnaen, yang juga komisaris utama dari PT Nalendra Bhakti Persada dengan luas konsesi mencapai 2.777 hektare. Mantan orang nomor satu Walhi ini mengungkapkan bahwa bisnis ini murni tidak merusak lingkungan. Menurutnya, pasir ditimba dari palung berisi timbunan pasir yang dihasilkan oleh gerusan ombak dan arus laut. Nalendra, katanya lagi, tidak mengeruk dipermukaan landai. “Setiap enam bulan, palung akan tersisi kembali”. Satu hal yang mungkin dilupakan adalah bahwa tidak ada palung diperairan selat malaka!.

Demikianlah pencurian berlangsung terus menerus siang dan malam. Berbagai usaha juga telah dilakukan. Antara lain dengan mensyaratkan penempatan AVL pada setiap kapal pengeruk yang ada. AVL adalah alat yang bekerja secara otomatis ketika mesin penyedot dinyalakan. Gunanya untuk menentukan titik kordinat dimana kapal tersebut berada sehingga dapat dipantau oleh PT. Surveyor Indonesia. Ternyata inipun kurang ampuh. Alat tersebut seringkali dirusak oleh ABK dan terkadang dimatikan sehingga keberadaan kapal tidak dapat diketahui.

Pemda Riau kemudian membentuk Satgas Pengawasan Pasir Laut dengan anggotanya antara lain: Polisi Air dan Udara, Angkatan Laut, Bea Cukai, Dinas Pertambangan serta Asosiasi Pengusaha Penambangan Pasir Laut. Sayangnya hal inipun tidak dapat menjawab hal tersebut. Pencurian masih saja terus berlangsung dan sepertinya tidak dapat dicegah lagi. Tidak heran, keterlibatan TNI AL dalam membecking pencurian pasir ini cukup santer terdengar. Kabarnya, setiap anggota TNI yang ditempatkan di kapal tersebut menerima bayaran hingga 40 juta per operasinya. Khabar ini mungkin bukan sekedar rumor. Berapa kali masyarakat setempat memergoki keberadaan TNI diatas kapal tersebut. Hal ini biasa dilakukan ketika pada malam hari ketika kapal beroperasi didekat pantai dimana penduduk menebarkan jalanya. Takut aktivitas kapal bisa merusak jala maka mereka berusaha mendekati kapal untuk memberitahukan bahaya tersebut. Saat inilah mereka memergoki keberadaan TNI AL diatasnya.

TNI AL sendiri juga memiliki konsesi penambangan pasir. Walau berteriak mati-matian membantah keterlibatannya dalam usaha ini, namun sebuah surat yang dikeluarkan oleh Induk Koperasi TNI Angkatan Laut justru membuka habis borok tersebut. Dalam Surat Perintah Kerja bernomor 08/SPK/III/2001 tanggal 30 maret 2001 dan ditandatangani Laksamana Pertama TNI (Purn) AR Katili sebagai Direktur Utama PT Andalan Megasari disebutkan dengan jelas bahwa perusahaan ini akan melakukan pengerukan di wilayah alur pelayaran kapal-kapal TNI AL dan akan dibuang pada Dumping Area perusahaan PT. Sarana Bintan Jaya dan Equator Reka Cipta. Nah!

Merasa bahwa Satgas inipun tidak membawa hasil, Gubernur mengundang 10 orang Bupati dan Walikota. Outputnya adalah sebuah kesepakatan bersama untuk memberhentikan sementara aktivitas penambangan pasir laut ini. Merasa masih kurang, Gubernur juga membuat nota kesepakatan bersama dengan Memperindag Rini MS Soewandi, DPR RI Komisi V Suryadharma Ali dan Wakil Ketua DPRD Propinsi Riau Djuharman Arifin. Turut hadir ketika itu KASAL TNI Angkatan Laut dan KAPOLRI. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kembali tata niaga ekspor pasir laut dan untuk meminimalisir tindak pencurian yang terjadi.

Halaman 7 dari 20 halaman

Page 8: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

Nota kesepakatan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres No 2 Thn 22 yang juga bernada sama dimana seluruh aktivitas penambangan pasir laut dihentikan terlebih dahulu sampai tata niaga yang mengatur hal ini bisa dikeluarkan. Menurut rencana, seluruh tata niaga ekspor pasir laut ini akan dituangkan kedalam bentuk Peraturan Pemerintah. Aktivitas penambangan pasir lautpun serta merta berhenti. Namun tidak dengan pencurian. Aktivitas pencurian masih terjadi, khsusunya di Perairan Batam

Pada Juli 2002, turunlah Keppres No. 33/02 sebagai pengganti PP yang batal dikeluarkan. Keppres yang mengatur tata niaga ekspor pasir laut dan zonasi wilayah pertambangan disambut muram oleh nelayan setempat. Karena ini berarti awal dari neraka panjang bagi kehidupan mereka sehari-hari. Terbitnya Keppress juga tidak serta merta menghentikan pencurian. Sejak Juli 2002 saja, TNI AL telah menangkap 10 kapal yang diduga melakukan pencurian pasir laut. Kapal tersebut diantaranya: TB Olivia, TB Jasmine, TB TB Victoria, MV Prof Gajunov, MV Samsung Apollo, MV. Vasco da gama, MV Lange Wapper, MV Alexander Van Humbol, Samsung 02 dan Samsung 03. Sayang, Menteri Kelautan dan Perikanan Rochimin dauri justru membentuk tim dan memberlakukan denda terhadap ke tujuh kapal yang disebutkan pertama. Setelah didenda kapal dilepaskan. Hal ini mengundang kecaman pedas dari seluruh pihak. Utamanya menanyakan kewenangan Rochimin dalam melepaskan kapal-kapal yang melakukan pelanggaran tersebut. Bukankah seharusnya hanya hakim yang bisa menentukan bersalah tidaknya suatu tindak kriminal seperti pencurian ini. Demikianlah negara ini. Kebingungan ditengah melimpahnya sumberdaya alam.

Demikianlah bahwa ternyata penambangan pasir laut tidak serta merta menambah Pendapatan Asli Daerah. Yang terjadi di lapangan lepas dari pantauan pemerintah. Sejumlah pajak yang seharusnya dihasilkan ternyata masuk ke kantung pengusaha pemilik konsesi dan pemilik kapal keruk. Dari 90 kapal keruk yang beroperasi di dunia, 60 diantaranya beroperasi di Selat Malaka. Dan semuanya milik perusahaan asing. Mereka bisa saja menambang tanpa berkordinasi dengan pemilik kuasa pertambangan. Toh pihak pemerintah Singapura masih mau menampung walaupun dengan harga dibawah harga resmi. Namun lagi itu tidak menjadi masalah karena penambangan tersebut bebas pungutan!

Halaman 8 dari 20 halaman

Page 9: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

ANTARA PAD DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

Penambangan Pasir ternyata juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius. Hal yang paling gampang dideteksi adalah hilangnya sebuah pulau karang di alur pelayaran antara Selat Panjang – Tanjung Balai Karimun. Seorang masyarakat yang seringkali menggunakan jasa tranportasi laut tersebut mengaku bahwa setahun yang lalu pulau tersebut masih ditumbuhi oleh dua tiga pohon keras dan ilalang. Dan sekarang, pulau tersebut hampir tidak terlihat lagi, khususnya pada saat titik terendah pasang surut laut. Dijalur pelayaran yang sama pula kita bisa menyaksikan puluhan kapal pengeruk beroperasi setiap harinya. Berjejer seperti noktah hitam di pinggir laingit.

Kondisi tersebut bertambah parah dengan keruhnya perairan laut sekitar maupun bau busuk yang terkadang menyengat. Tidak lagi bisa kita lihat birunya air dan harumnyaudara laut. Smeua berganti dengan warna keruh dan bau busuk yang cukup menyengat. Dan ini terjadi hampir diseluruh perairan Kepulauan Riau, khususnya dimana kapal keruk melakukan aktivitas.

Metode pengambilan pasir terbagi dua. Yang satu dengan melakukan pengerukan sebagaimana halnya buldozer melantak habis apa yang dilaluinya. Untuk yang satu ini khabarnya memang dilarang untuk melakukan aktivitasnya. Dalam investigasi yang dilakukan pun kami tidak menemukan satupun kapal yang menggunakan metode demikian. Yang satu lagi adalah dengan menggunakan pipa penyedot dengan kekuatan yang besar. Ia akan menyedot apapun yang ada di ujung pipa tersebut.

Namun, walaupun metode keduanya berbeda namun hasil yang ditimbulkan tetap saja sama. Pasir yang ada akan tersedot habis keatas dan sesampainya diatas dipisahkan. Pasir masuk ke bak penampungan dan lumpur dibuang kembali ke laut. Yang patutu dicermati kemudian adalah pasir yang tersedot tersebut kemudian meninggalkan lubang. Berdasarkan efek gravitasi kemudian pasir yang diatasnya akan menutup kembali lubang tersebut. Biasanya, secara alami pasir yang ada memang akan mengisi kekosongan ersebut. Namun ini terjadi secara alami sehingga perpindahan pasir dari satu tempat mengisi tempat yang lain tidak akan terlalu terasa perubahannya.

Namun apabila proses yang terjadi merupakan sebuah percepatan maka hasilnya akan berbeda. Pasir yang diatasnya secara otomatis turut menyedot dan membuat pantai menjadi curam. Akibat lebih jauh, gerusan ombak dengan leluasa menghajar apa yang ada dipinggir pantai.

Bisa dibayangkan proses pemindahan pasir yang terjadi secara drastis dari hari-ke hari, bulan dan dari tahun ketahun. Proses ini mengalami percepatan yang maha dahsyat dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini. Di sejumlah tempat, abrasi pantai yang terjadi sudah mencapai 35 meter. Bahkan, abrasi juga sudah menelan sebuah pulau, yang dikenal dengan nama Pulau Karang, tempat dimana nelayan biasanya berteduh dari hembusan angin yang terkadang tidak bersahabat.

Di Desa Parit, Kecamatan Karimun, abrasi pantai sudah berada di tepi rumah salah seorang nelayan. Abrasi sejauh 24 meter tersebut bisa dilihat pada titik N 00º57 31’.1” E 103º26’01.9”. Kemudian pada titik N 00º55’23.5” E 103º28’19.9” dimana abrasi dan lumpur yang ditinggalkan kapal keruk turut mengancam usaha budidaya rumput laut yang diusahakan warga. Demikian juga halnya di Desa Lubuk Puding di sebuah pulau yang bernama Pulau Buru, abrasi pantai juga terjadi pada titik N 00º52’32.0” E 103º31’40.5” sejauh 17 m.

Abrasi juga menghantam dan menghabiskan tiga baris perkebunan kelapa milik masyarakat di di Lubuk Puding. Masih banyak lagi lokasi dimana abrasi telah menggerus pantai yang ada. Inilah bukti tak terbantahkan bahwa ada penyusutan pulau yang tengah terjadi di Karimun.

Seperti yang telah dikatakan, bahwa abrasi pantai telah mengalami percepatan dalam 2 – 3 tahun belakangan ini. Tingginya aktivitas penambangan pasir dianggap menjadi penyebab dari kondisi tersebut. Belum adanya penelitian yang menyeluruh terhadap berbagai dampak yang ditimbulkan dari penambangan pasir, khususnya terhadap lingkungan, membuat hubungan

Halaman 9 dari 20 halaman

Page 10: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

sebab akibat ini bersifat asumsi. Akan tetapi, berdasarkan laporan langsung dari nelayan setempat dan berdasarkan logika berpikir hal ini bisa diketengahkan dalam melakukan penilaian hubungan sebab akibat yang terjadi dari suatu aktivitas penambangan pasir dan percepatan abrasi yang terjadi.

Kerusakan lingkungan bukan saja terjadi pada pantai, akibat abrasi. Lumpur yang ikut tersedot dan dimuntahkan kembali ke laut merupakan penyebab utama keruhnya perairan di Karimun. Berbagai jasad renik yang ikut tersedot, secara otomatis ikut menjadi penyebab munculnya bau busuk yang mengganggu. Dalam kondisi perairan yang sedemikian rupa, pertanyaan yang muncul, adakah kehidupan yang mampu bertahan didalamnya. Tidak ada satupun dan ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya hasil tangkapan nelayan. Bila sebelum maraknya penambangan, seorang nelayan mampu membawa pulang 30 – 50 kg udang sehari, kini untuk waktu yang sama jumlah tangkapannya menjadi 5 – 15 kg. Dengan catatan, hal itu bersifat untung-untungan.

Keruhnya perairan sekitar juga, secara otomatis menyebabkan terhambatnya pertumbuhan karang yang ada. Sulitnya sinar matahari menembus kedalaman laut tertentu menyulitkan karang dalam melakukan aktivitas fotosintesis sehingga menghambat pertumbuhan karang tersebut. Penyedotan pasir juga menyebabkan hilangnya sejumlah padang lamun disamping menghancurkan karang-karang yang ada. Hilangnya sejumlah padang lamun dan terumbu karang secara pasti turut menjadi penyebab ber-emigrasinya sejumlah ikan tangkapan nelayan ke lain tempat. Tentu saja, tidak ada yang suka untuk tinggal dan menetap di kondisi perairan yang sedemikian kotor dan berbau. Belum lagi polusi suara yang ditimbulkan oleh kapal-kapal pengeruk tersebut. Seorang nelayan mengaku pernah melakukan penyelaman sedalam lebih dari 7 meter dan masih mendengar dengan jelas kebisingan yang ditimbulkan oleh kapal pengeruk yang berjarak sejauh 500 meter dari lokasi penyelaman.

Hal yang paling mengerikan dari pada itu semua adalah kekhawatiran musnahnya sejumlah pulau kecil yang bertebaran di perairan Karimun. Aktivitas jual beli “tanah air” tersebut dituding sebagai satu faktor utama yang mempercepat proses tersebut. Ketakutan tersebut bukannya tidak beralasan. Ada sejumlah bukti yang bisa diketengahkan disini dimana ada beberapa pulau yang “nyaris” hilang dan ada yang memang sudah hilang sama sekali.

Lepas pantai Desa Moro, ada sebuah pulau karang yang dulunya dijadikan nelayan untuk tempat berteduh manakala badai datang menerpa. Pulau tersebut ditumbuhi oleh beberapa tetumbuhan keras dan ilalang dengan kontour tanah yang meninggi pada bagian tengahnya, sehingga mencukupi tempat untuk mengaso barang sejenak dan untuk melindungi diri dari amukan angin yang datang tanpa terduga, mengingat letaknya di selat yang cukup sempit. Tapi kini ….. yang tinggal di pulau tersebut hanya tunggul kayu yang mencuat keatas. Tidak ada lagi tanah dimana bisa ditambatkan perahu, tidak ada lagi!

Yang patut disayangkan, pemerintah sepertinya menutup mata dengan berbagai kondisi yang ada. Walaupun diakui bahwa, untuk meyakini proses abrasi dan keruhnya perairan sekitar akibat penambangan pasir diperlukan sebuah perangkat yang bisa menilai indikator dan parameter yang dimaksud, namun toh, menjalani fungsi sebagai fasilitator, seharusnya pemerintah tanggap dengan maraknya demo dari para nelayan tradisional, akibat terusiknya areal dimana mereka selama ini menggantungkan periuk nasi keluarganya.

Maraknya demo nelayan tradisional, juga, sekali lagi membuktikan kecurangan yang terjadi dalam proses penyusunan Amdal. Seharusnya, didalam penyusunan Amdal tersebut, masyarakat dilibatkan sebagai salah satu stakeholder yang selama ini dekat dengan lokasi konsesi dan sekaligus berhubungan erat dengan konsesi yang ada. Dengan adanya demo ini, fakta bahwa proses penyusunan Amdal begitu dangkal dan bobrok, bukan lagi sekedar isapan jempol. Fakta bercerita bahwa masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan hajat hidup mereka sehari-hari. Inilah sebab utama munculnya kerusakan lingkungan dan penghancuran sistem perekonomian nelayan tradisional. Dan dengan maraknya demo itu pulalah, pepatah Yunani seperti di awal tulisan menjadi kebenaran bahwa ternyata Tukang Sepatu hanya membuat sepatu yang pas dengan ukuran

Halaman 10 dari 20 halaman

Page 11: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

dirinya dan tidak mau peduli apakah sepatu itu pas dengan orang lain yang memesan dan mendaulat dia untuk menjadi tukang sepatu, atau tidak.

Tabel 3. Data Kerusakan Lingkungan

Desa/Kecamatan Kordinat Keterangan

Pulau Tulang, Desa Tulang, Kec. Karimun

Tidak diambil - Pantai pasir menjadi lumpur- Air laut keruh- Padang lamun hilang- Terumbukarang mengalami kerusakan

Pulau Setunak, Desa Tulang, Kec. Karimun

Tidak diambil - Banyak pohon kelapa yang tumbang- Pantai pasir menjadi lumpur- Air laut keruh- Padang lamun hilang- Terumbukarang mengalami kerusakan

Dusun Parit I, Desa Parit, Kecamatan Karimun

N 00º 57’ 31.1”E 103º 26’ 01.9”

- Abrasi pantai 12 meter dihitung dari rumah pak kadir ke titik pasang tertinggi

- Pohon kelapa tumbang 2 bari dan pantai menjadi landai – tidak ada beda antara pantai dgn daratan

- Permukaan laut naik 30 cm dari biasanya

Dusun Parit IV, Desa Parit, Kec. Karimun

N 00º 55’ 15.2”E 103º 28’ 39.5”

- Abrasi pantai sejauh 12,7 meter- Air menjadi keruh- Lumpur melekat di rumput laut kepunyaan pddk

Dusun Sukamulya, Desa Lubuk Puding, Kec. Karimun

Tidak diambil Pada tahun 2000 pantai masih landai dan sekarang menjadi curam. Apabila pasang maka air naik kerumah penduduk

Dusun Tjg pelanduk, Desa Lubuk Puding, Kec. Karimun

N 00º 52’ 04.7E 103º 31’ 23,4”

Abrasi pantai sejauh 15 meter

Dusun Teluk Dalam, Desa Lubuk Puding, Kec. Karimun

N 00º 52’ 05.0”E 103º 31’23.4”

Abrasi pantai sepanjang 14,3 yang mengakibatkan 3 baris pohon kelapa penduduk tumbang

Dusun Air Hitam, Desa Lubuk Puding, Kec. Karimun

N 00º 52’ 32.0”E 103º 31’ 40.5”

Dulunya tunggul bakau tidak muncul kepermukaan karena tertutup pasir dan lumpur. Sekarang ini pantai menjadi lebih curam dan mulai Juli 2001 air pasang masuk kedalam rumah penduduk

Sejak setahun yang lalu air pasang mencapai sepinggang orang dewasa. Dulunya hanya sampai selutut. Ini terjadi di rumah-rumah yang dekap pantai

Pantai Lubuk Puding, Kecamatan Karimun

N 00º 53’ 14.2E 103º 31’ 19.1”

Abrasi pantai sejauh 109.5 meter

Desa Sawang, Kecamatan Kundur

48N 0316587UTM 0082514

- Didepan pantai ada sebuah pulau yang dulunya tinggi dengan jarak dari garuis pantai 6 – 7 meter. Sekarang ini pulau tersebut hampir hilang dan jaraknya kepantai mencapai 25 – 35 meter

- Berkurangnya unggas laut- Ombak yang dulunya jernih sekarang membawa

lumpur dan keruh sekali- Kelapa banyak yangtumbang dan air pasang

mencapai ke daratan dan rumah penduduk- Bebatuan yang ada di pantai mulai turun

Kelurahan Tanjung Balai Karimun

48 N 0316587UTM 0082514

- Ikan dan udang banyak berkurang sedangkan ombak semakin besar

- Pasir dipantai mulai turun kelaut - Terumbu karang hancur dan bisa dilihat karang kecil

yang hancur dan terbawa ombak ke pantai

Inilah sebagian data kerusakan yang bisa bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tentu saja hubungan secara ilmiah antara kerusakan yang terjadi dengan aktivitas penambangan pasir tersebut belum pernah dilakukan dan kalaupun ingin dilakukan akan memakan biaya yang cukup besar.

Halaman 11 dari 20 halaman

Page 12: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

Fakta bahwa penambangan pasir ini berdampak serius terhadap lingkungan sebetulnya bisa dibuktikan dengan citra landsat dengan metode series, dimana kita akan memperbandingkan luasan pulau yang ada pada tahun 1995, 1998, 2000 dan 2002. Dari citra landsat itulah analisa dapat dilakukan dan sejumlah kerusakan tersebut dapat dikenali dari mana asal muasalnya dan bagaimana ke depannya nanti apabila penyebab kerusakan tersebut dibiarkan.

Satu hal yang pasti, bila abrasi ini tidak segera dihentikan, dalam waktu 5 – 10 tahun yang akan datang Pemerintah Daerah Karimun dan Propinsi Riau harus membangun barier di sekeliling pulau di Karimun sebagai pemecah ombak dan untuk menahan laju abrasi yang sedang terjadi. Berapa biaya yang harus dikeluarkan apabila Pemda Kabupaten Karimun tidak ingin kehilangan pulau-pulaunya dan bagaimana perbandingannya antara membangun barier dimasa yang akan datang dengan keuntungan yang didapat pada saat ini? Pada tahun 1995 saja, untuk membangun barier pemecah ombak, kita harus mengeluarkan biaya hampir 100 milyar untuk mengcover area sepanjang 500 meter dengan kedalaman laut antara 10 – 20 meter. Sungguh tidak dapat dihitung kerugian yang harus dikeluarkan dimasa yang akan datang bila dibanding dengan keuntungan yang didapat di masa kini.

Halaman 12 dari 20 halaman

Page 13: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

ANTARA PAD DAN HILANGNYA SUMBER PENDAPATAN NELAYAN

arimun, dimana satu liter air lebih mahal dari bensin, ada sekitar 400 ribu jiwa nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dari laut. Mereka tersebar di berbagai pulau

besar seperti P. Moro, P. Sugi, P. Ransang dan Karimun sendiri. Sedangkan sebahagian lagi berdiam di pulau-pulau kecil yang berserakan. Dikatakan air lebih mahal dari bensin, karena untuk satu gelasnya kita harus mengeluarkan uang Rp. 500. Sulitnya mendapatkan air bersih untuk konsumsi inilah yang membuat ia demikian berharga. Hanya beberapa orang saja yang mampu melakukan pengeboran yang cukup dalam untuk mendapatkan air bersih. Dengan biaya pegeboran yang mahal tersebut, tentu saja air menjadi lebih mahal. Dan ini hanya bisa dilakukan didaerah yang jauh dari pantai. Jauh dari aktivitas dimana nelayan tradisional berada.

Komunitas nelayan tradisional tersebut, dalam melakukan aktivitasnya, menggunakan sampan dayung dan pompong, sejenis sampan kecil dengan mesin yang sederhana, dengan peralatan seadanya seperti pancing dan jala. Jarak terjauh yang bisa ditempuh tidak lebih dari 4 mil. Satu hal dikarenakan jenis sampan yang digunakan, hal lainnya dikarenakan jarak antar pulau yang ada tidak lebih dari 5 mil. Diantara pulau-pulau tersebutlah mereka biasanya menebarkan jaring sembari mengharap mendapat sejumput rezeki untuk dibawa pulang. Nelayan lain, yang menggunakan mesin lebih besar dan peralatan lebih lengkap, bukannya tidak ada. Namun prosentasenya jauh lebih kecil bila dibandingkan para nelayan tradisional, yang merupakan mayoritas nelayan yang ada di Kabupaten Karimun. Lagipula, kebanyakan nelayan yang memiliki sarana dan prasarana lebih lengkap ini mayoritas dikuasai oleh warga negara keturunan. Sementara masyarakat asli setempat lebih banyak sebagai buruh pekerja.

Jenis ikan yang ditangkap oleh para nelayan tradisional ini biasanya ikan tenggiri, parang, udang dll. Di Desa Tulang di Pulau Karimun misalnya, seorang nelayan, dengan menggunakan sampan dayung bisa mendapatkan 40 – 50 kg udang dalam satu hari melaut. Udang-udang tersebut kemudian dijual secara langsung ke pasar atau kepada Balai Pelelangan Ikan yang ada. Hasilnya cukup untuk membiayai kehidupan seorang istri dengan lima orang anaknya.

Sedangkan di Pulau Moro seorang nelayan tradisional yang menggunakan pompong bisa mendapatkan 20 – 35 kg ikan tenggiri atau parang dalam satu hari melaut. Semuanya begitu mudah untuk mendapatkan hasil dari laut yang ada disekitar mereka. Tapi itu terjadi beberapa bulan yang lalu!

Sejak maraknya penambangan pasir tersebut, sejumlah nelayan tidak lagi bisa ke laut. Kalaupun ke laut maka hasil yang didapatkannya begitu kecil sehingga, bahkan, tidak mencukupi untuk biaya yang telah dikeluarkannya ketika akan melaut. Bila dulu hanya dalam waktu satu hari seorang nelayan bisa mendapatkan 40 – 50 kg udang, maka kini membutuhkan waktu 2 – 3 hari hanya untuk mendapatkan 10 kg udang. Itupun tidak rutin dan bersifat untung-untungan. Sedangkan nelayan yang lain, bila dulu hanya dalam waktu 3 jam melaut dia sudah mendapatkan 10 – 15 kg udang, maka kini dalam 5 jam melautpun ia hanya mendapatkan ¼ ons udang. Jangan ditanya tentang tenggiri karena hampir 5 bulan ini nelayan setempat tidak pernah lagi melihat ikan tersebut.

Kondisi ini terjadi akibat rusaknya hamparan laut dimana mereka menggantungkan hidup. Kotor, berbau dan berwarna kekuning-kuningan adalah kondisi permukaan laut yang ada sekarang ini. Tidak lagi bisa kita lihat laut biru yang jernih dan harumnya asin laut. Semuanya berganti akibat buangan limbah yang dilakukan kapal pengeruk.

Seperti yang diketahui, ketika kapal pengeruk melakukan aktivitasnya, ia akan menyedot apapun yang berada dibawahnya dengan menggunakan pipa besar ditambah pompa berkekuatan tinggi. Seluruh isi laut akan ditarik keatas dan sesampainya diatas dipilah-pilah. Pasirnya diambil sedangkan lumpur dan lainnya dibuang kembali ke laut. Bertebaranlah limbah pengerukan yang berisi lumpur dan jasad renik yang sebelumnya ada di dasar laut ke permukaan. Kejadian ini terus berulang dan tidak meninggalkan waktu sedikitpun bagi laut dan berbagai satwa lainnya untuk bernafas di air yang jernih. Tidak akan ada satu speciespun yang mau tinggal di kondisi perairan sedemikian rupa. Jangan tanya kemana udang, apalagi tenggiri.

Halaman 13 dari 20 halaman

Page 14: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

Tidak bisa tidak, bahwa, rusaknya perairan sekitar turut memberikan dampak yang cukup significant bagi kesejahteraan masyarakat nelayan, khususnya nelayan tradisional yang masih menggantungkan hidup dengan sampan, pompong, kail dan jala. Kalau dulu mereka bisa mendapatkan sejumlah tangkapan hanya diperairan sekitar pulau-pulau yang ada, kini hal tersebut tidak mungkin lagi bisa dilakukan. Keruhnya air dan bau busuknya perairan membuat tangkapan mereka berkurang.

Bagan dibawah ini bisa menjelaskan sampai berapa besar pengaruh penambangan pasir ini terhadap pendapatan nelayan setempat. Data dibawah ini tentunya tidak bisa mewakili keseluruhan opini nelayan yang ada karena data dibawah diambil berdasarkan sampling di Dua Kecamatan. Namun, paling tidak kita bsia mendapatkan gambaran sampai berapa jauh mereka kehilangan sumebr pendapatannya.

Tabel 2. Pengaruh Tambang Pasir terhadap mata pencaharian nelayanDesa/Kecamatan Narasumber Perbandingan Pendapatan Nelayan

Sebelum Operasi Selama operasi

Desa Parit I,Kec. Karimun

Abdul Kadir,Nelayan Tradisional

Rp. 100.000/ hari Rp. 10.000 (3 ons udang)

Desa Parit IV,Kec. Karimun

Nasrun,nelayan jaring udang dan penampung udang

5 kg/hr @ Rp. 18.000, atau Rp. 90.000/hr

½ kg/hratau Rp. 9.000/hr

Desa Tulang,Kec. Karimun

Bakri, Nelayan 5 – 10 kg ikan, dalam waktu 3 jam/hr disekitar pantai

½ kg/hr (1 hari penuh dengan wilayah tangkap yang jauh)

Zainal, Nelayan 5 – 6 Kg/hr ikan. Mancing sampai 300 – 400 ekor/hr

0,5 – 1,5 kg/hr, kadang seekorpun sulit

Rasib Salim , Penampung Udang

> 50 kg udang/hr < 7 kg udang/hr

Lubuk Puding, Kec. Karimun

Daud, sekretaris desa - Buruh nelayan mencapai Rp. 500.000 per bulan- Kapal sendiri mencapai Rp. 3 – 6 juta per bulan

Turun drastis. Malah sering menganggur

Arifin, nelayan S$ 1000 – 1.500/bulan Maksimal S$ 500/bln (sudah 5 bulan tidak melaut)

Amran, nelayan Togok* Rp. 50.000/hari Belasan ribu, tidak melaut

Sahemat, nelayan Rp. 50 – 70 ribu/hr Belasan ribu, tidak

Alis, Nelayan Gombang* Minimal Rp. 5 juta perbulan Turun drastis, sudah dua bulan menganggur

Ds Moro, Kec. Moro Edy, nelayan tenggiri Rp. 100.000/hr Menganggur

Desa pauh, Kecamatan Moro

Is, Nelayan 18 – 20 kg Tenggiri/hr @ Rp. 25.000 = Rp. 450.000 – Rp. 475.000/hr

5 – 6 Kg/hr, terkadang tidak mendapat hasil sama sekali

Hendranus, Ketua Nelayan jaring Tenggiri

10 ton/thn yang dihasilkan masyarakat = Rp. 200 juta.

Untuk mendapatkan 1 kg saja sudah sulit menganggur.

Soleh, Nelayan jaring, Petani rumput laut

7 kg rumput laut = Rp. 500.000/bln

Beberapa ribu perbulan

Desa Telaga Tujuh, Kec. Karimun

Saman, nelayan 5 – 10 kg ikan dan udang/3 jam dan bisa istirahat 3 hari

Wilayah tangkap semakin jauh, hasilnya 10 kg selama 3 hari

Desa Tulang, Kec. Karimun

Buntat Pontoh, Kepala Desa, nelayan

Rp. 100.000/hr dan ½ juta/bln Turun drastis, nganggur

Sawang, Kec. Kundur

Ahmad Tani, Ketua Rt, Nelayan

Sehari melaut dan sehari libur dengan hasil 15 kg ikan atau

1 kg udang/ikan dengan pendapatan terendah 1 – 20 ons

Halaman 14 dari 20 halaman

Page 15: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

udang udang

* Alat tangkap tradisional

Tentu saja penurunan pendapatan dan hasil tangkapan dari tabel diatas tidak mampu mewakili pendapatan nelayan yang terkena dampak dari penambangan pasir laut secara keseluruhan. Namun lagi, ini bisa dijadikan bukti serius bahwa penambangan pasir telah menimbulkan dampak yang cukup serius. Utamanya bagi kesejahteraan nelayan tradisional setempat.

Dampak yang sama juga dirasakan oleh penduduk yang bukan nelayan. Biasanya mereka membeli ikan-ikan tersebut dengan harga terendah Rp. 4.000 perkilonya. Namun kini mereka harus mengeluarkan uang lebih banyak hingga Rp. 12.000 untuk mendapatkan 1 kilogram ikan.

Satu hal yang cukup menarik untuk diketengahkan, yang juga berhubungan dengan perolehan ikan ini adalah tingginya kebutuhan masyarakat Singapura terhadap ikan. Bahkan, dalam perayaan Tahun Baru, kebutuhan terhadap ikan dingkis sangat besar. Ini berkaitan dengan kebiasaan setempat dimana belum lengkap rasanya merayakan tahun baru bila tidak ada menu ikan dingkis. Dan, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, masyarakat Singapura sangat bergantung dengan hasil tangkapan nelayan tradisional yang ada di Kepulauan Riau karena sebaran ikan tersebut ternyata hanya ada di sekitar perairan Kepulauan Riau. Dan atas kebutuhan Singapura atas pasir pulalah, kemungkinan ikan dingkis tidak lagi menjadi santapan utama kala perayaan Tahun Baru.

Community Development

Dari pengakuan seorang nelayan, dikatakan bahwa lebih dari 4 bulan sudah ia tidak ke laut. Kalaupun melaut, hasil yang didapat bahkan tidak cukup untuk mengganti modal yang sudah dikeluarkan. Dan permasalahan ini bukan saja ditemukan pada satu lokasi. Hampir seluruh pulau-pulau besar dan pulau kecil dimana komunitas nelayan tradisional berada, merasakan hal tersebut. Seorang nelayan di Desa Lubuk Puding, bahkan mengaku tidak sanggup lagi menyekolahkan anaknya karena ketiadaan uang transport antar pulau. Menyedihkan memang, dan ini terus berjalan tanpa ada usaha perbaikan dari pemerintah daerah setempat ke arah yang lebih baik.

Pemerintah dan pengusaha memang memberikan kompensasi berupa program community development, yang besarnya begitu relatif. Disebut relatif karena dalam Perda telah disebutkan bahwa dana Community Development sebesar 0,1% dari harga jual pasir per meter kubiknya, namun kejadian dilapangan jsutru tidak sama dengan apa yang tertulis. Yang sangat disayangkan, program yang pada hakikatnya memberikan semacam pendampingan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, ternyata tak lebih dari sekedar kegiatan bagi-bagi duit. Itu pun tidak cukup menggantikan penghasilan nelayan yang hilang sebelumnya.

Di Desa Tulang misalnya, pemberian CD yang ada selama ini berkisar antara Rp. 25.000 sampai dengan Rp. 150.000. Tergantung dengan mata pencaharian yang digeluti. Untuk seorang nelayan, kompensasi yang didapatkan hanya sekitar Rp. 150.000. Untuk Nelayan pantai, hanya Rp. 40.000, buruh tani Rp. 25.000. Sedangkan waktu pembagiannya berselang tiga bulan sekali. Jauh berbeda dengan hasil yang didapat nelayan, bahkan dalam satu haripun, yang bisa mencapai Rp. 100.000. Bahkan dalam setengah bulan saja, seorang nelayan minimal akan membawa pulang uang sejumlah Rp. 500 ribu, tergantung dengan kemauan untuk pergi ke laut atau tidak. Juga jauh berbeda dengan yang diterima oleh perangkat desa, yang besarnya mencapai Rp. 1 juta setiap bulan!

“Dulunya ketika saya melaut, bisa mencukupi kebutuhan keluarga karena hasil tangkapan saya banyak dan udang yang saya tangkap pun besar-besar. Sejujurnya, kami menolak adanya penambangan pasir ini karena telah mengganggu ketenangan hidup kami. Kami mau menerima penambangan ini asalkan mereka mau bayar Rp. 1.000.000 perbulan dan kalau mereka tidak mau lebih baik mereka angkat kaki. Coba tengok sampan dan jala kami. Mana mungkin kami menangkap ikan dan udang jauh dari pantai.

Kami tidak bisa menolak penambangan pasir ini karena sudah mendapat izin dari pemerintah. Namun kami tidak pernah ditanyai mengenai penambangan pasir ini. Tiba-tiba saja sudah ada.

Halaman 15 dari 20 halaman

Page 16: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

Kami tidak tahu mau mengadu kepada siapa karena perangkat desa dan pemerintah tidak mau peduli dengan nasib kami, rakyat kecil. Saya sudah bingung dan stress dengan keadaan ini. Saya tidak mau peduli lagi, lebih baik saya memikirkan kemana saya harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya karna saya tidak lagi percaya dengan pemerintah.” Demikian pengakuan Pak Harun, salah seorang nelayan yang dapat dijumpai ketika baru pulang melaut selama lima jam dengan hasil tangkapan yang sedemikian sedikit.

Yang lebih menarik dari pendistribusian dana kompensasi ini adalah, penyamarataan. Dalam satu komunitas desa misalnya, dana CD yang besarnya mencapai belasan juta dibagi rata berdasarkan jumlah KK untuk seluruh penduduk. Yang menarik, hampir di berbagai tempat, pendistribusian ini bersifat sama rata untuk mata pencaharian yang berbeda-beda seperti nelayan, buruh, pegawai negeri kecil, dst. Inilah yang menyebabkan nelayan tidak mendapatkan kompensasi yang setara dengan penghasilannya yang hilang selama ini. Petani, buruh, maupun para pegawai negeri kecil jelas tidak menerima dampak apapun dari tercemarnya laut karena mereka tidak mengail penghasilan dari sana. Penghasilan mereka lebih ditunjang oleh aktivitas yang tidak berkaitan sama sekali dengan laut. Berbeda halnya dengan nelayan tradisional. Ketergantungan mereka terhadap laut sedemikian tinggi. Tidak ada penghasilan sampingan yang bisa diandalkan untuk menghidupi satu orang istri dan sejumlah anak. Tidak ada!. Inilah yang menjadi masalah, karena pengusaha dan penguasa menganggap bahwa mereka telah memenuhi kewajibannya dengan memberikan dana kompensasi tersebut.

Program CD inipun bukannya tidak rentan akan konflik. Besarnya dana yang disalurkan membuat siapapun ingin terlibat dalam penyaluran dana. Pemotongan terjadi, baik ditingkat camat mapupun kepala desa. PT Indoguna, misalnya, telah menyetorkan sejumlah dana sebesar 100 juta pada bulan Mei 2001 kepada pemerintah daerah yang nantinya akan disalurkan ke masyarakat calon penerima CD. Sesampainya dimasyarakat, dana tersebut telah mengalami penyusutan yang sungguh luar biasa. Kepala Desa mengaku hanya menerima uang sejumlah Rp. 17 juta dari kecamatan. Uang itulah yang dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat desanya. Tidak perduli apakah ia bermata pencaharian sebagai nelayan ataupun sebagai buruh kasar.

Hal tersebut diatas terjadi hampir disetiap daerah dimana komunitas nelayan berada. Oknum Camat, Kepala Desa dan perangkatnya di satu sisi, dan masyarakat yang dirugikan di sisi yang lain. Setiap daerah masing-masing punya kordinator wilayah yang merupakan perpanjangan tangan pengusaha dalam mengawasi penyaluran dana CD. Jumlahnya bervariasi atara 7 orang sampai dengan 11 orang. Walaupun rumor yang ada mengatakan bahwa para kordinator dan anak buahnya itu merupakan preman-preman yang memang terlebih dahulu ada, namun toh tidak menghalangi perusahaan untuk mempercayai para kordinator tersebut mengawasi dana CD yang sebelumnya telah disetorkan oleh pemerintah. Jadilah sebuah rangkaian pemotongan dana yang begitu besar. Dari perusahaan ke pemerintah, lalu ke kordinator, lalu ke aparat desa dan baru ke masyarakat. Tidak heran bila sebuah perusahaan yang menyetorkan dana sejumlah Rp. 100 juta maka yang diterima masyarakatnya terkadang tidak sampai seperlimanya. Walaupun bukti otentik sulit didapatkan, namun inilah yang terjadi!.

Penyusutan dana ini bukannya tidak diketahui oleh perusahaan. Mereka mengaku bahwa selama ini mengalami kesulitan dalam memonitor sampai tidaknya dana bantuan tersebut kepada yang berhak karena mekanisme penyaluran tersebut telah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah setempat. Perusahaan misalnya, berdasarkan izin yang diperoleh, menyetorkan dana kompensasi kepada pemerintah yang besarnya mencapai 300 juta – 500 juta setahun yang harus dibayar dimuka. Dana tersebut kemudian diatur oleh pemerintah untuk kemudian dibagi-bagikan kepada yang berhak. Tidak ada tranparansi mekanisme penyaluran dari pemerintah agar, paling tidak, masyarakat tahu berapa sebetulnya hak yang mereka peroleh.

Untuk mengantisipasi berbagai kebocoran tersebut, dan untuk menaikkan posisi tawar para pengusaha kepada buyers di Singapura, dibentuklah Asosiasi Pengusaha Penambangan Pasir Laut. Dan untuk itu, mereka melakukan negosiasi dengan pemerintah untuk mengelola sendiri dana CD dengan menyalurkannya kepada yang berhak dan didampingi oleh LSM yang ada sebagai sebuah proses monitoring. Tentu saja itikad ini disambut baik oleh berbagai kalangan,

Halaman 16 dari 20 halaman

Page 17: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

walaupun pada awalnya mendapat tentangan dari pemerintah daerah setempat berkenaan pengelolaan dana CD tersebut. Bupati Karimun, HM Sani misalnya pernah berujar agar para pengusaha penambang pasir tidak usah mengajari pemerintah daerah untuk mengelola dana CD karena pemerintah lebih tahu kondisi sosial dan fisik masyarakat setempat. Yang penting, pengusaha menjalankan kewajibannya!

Demikianlah, bahwa ternyata aktivitas penambangan pasir ini telah memberikan dampak yang begitu buruk. Hilangnya mata pencaharian yang menyebabkan sejumlah (kalau tidak mau dikatakan semuanya) nelayan tradisional kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Sejumlah nelayan di sejumlah desa bahkan mengaku sudah hampir 7 bulan ini tidak mendapat penghasilan apa-apa. Belum ada alternatif mata pencaharian lain. Satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan hanyalah menjadi nelayan. Di Moro misalnya, sejumlah nelayan telah beralih fungsi menjadi buruh kasar. Sebagian lagi menjadi tukang becak dan sebagian lagi tidak melakukan apa-apa. Bertani? Jangan pernah berpikir bahwa masyarakat bisa mengganti mata pencahariannya dari nelayan ke tani. Alam yang sedemikian keras sangat tidak memungkinkan masyarakat di Kabupaten Karimun untuk melakukan budidaya pertanian.

Halaman 17 dari 20 halaman

Page 18: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

ANTARA PAD DAN PERUBAHAN NILAI SOSIAL BUDAYA

Masyarakat nelayan Karimun, dalam sejarahnya telah berada dikepulauan tersebut berpuluh-puluh tahun lamanya. Mayoritas penduduk bersuku Melayu (95%) dan sisanya diisi oleh suku Minang, Jawa, Bugis Makasar dan lain-lain. Pola kehidupan yang dikembangkan tidak jauh berbeda dengan kehidupan bahari di berbagai tempat lainnya di Indonesia. Ini bisa dilihat pada kebiasaan-kebiasaan yang mengatur pengelolaan sumberdaya laut dan mekanisme kehidupan sosial yang mereka miliki. Akan tetapi, pembahasan dibawah ini bukan terhadap aspek antropolog masyarakat yang mendiami Kepulauan Karimun, bukan, melainkan hanya menyitir berbagai kondisi sosial yang secara kasat mata memang mengalami perubahan akibat aktivitas penambangan pasir tersebut.

Penjelasan kehidupan sosial budaya tersebut bisa digambarkan pada awal Bulan Muharram misalnya dimana masyarakat beramai-ramai mengadakan acara sukuran laut. Mereka juga mempercayai bahwa, terlarang bagi nelayan untuk pergi mencari ikan di dua hari pertama di Bulan Muharram. Demikian pula dengan berbagai syukuran yang mereka adakan sesuai dengan tarikh waktu tertentu, yang mengindikasikan bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan tradisional sudah demikian lama sehingga melekat dalam prilakunya sehari-hari. Harus dipahami terlebih dahulu bahwa kondisi geografis Karimun menyebabkan masyarakat tidak mungkin untuk mengalihkan mata pencahariannya dari nelayan ke tani sawah, misalnya. Kondisi fisik dan kimia tanah setempat tidak memungkinkan mereka untuk melakukan budidaya pertanian.

Dengan adanya aktivitas penambangan pasir, kehidupan sosial masyarakat turut terganggu. Aktivitas yang dulu sering dilakukan, seperti melakukan syukuran laut, pergi ke laut pada waktu-waktu tertentu, pertemuan-pertemuan rutin untuk membicarakan hal-hal dan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi, dan berbagai hal lainnya yang berhubungan dengan kehidupan sosial mereka sudah tidak pernah lagi dilakukan, utamanya dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Salah satu penyebab, tentu saja dengan semakin berkurangnya intensitas mereka kelaut. Sedikitnya hasil tangkapan membuat mereka sedikit malas. Belum lagi iming-iming dari program CD yang muncul kemudian dimana secara tidak langsung telah terjadi proses pembodohan secara sistematis.

Secara sistematis! Karena masyarakat diajarkan untuk duduk berdiam diri dan menerima uang pengganti, walaupun terkadang kompensasi ini tidak sebanyak yang dapat dihasilkan dari ketika mereka turun melaut. Program CD yang seharusnya mampu membimbing masyarakat untuk keluar dari kesulitan, akibat berkurangnya tangkapan, malah justru menjadi sebuah kegiatan bagi-bagi duit. Dan nelayan diajarkan untuk menerima uang tanpa harus mengeluarkan keringat. Kalau cukup ya cukup dan kalau kurang masih bisa melakukan demo untuk menuntut kecukupan.

Kegiatan “bagi-bagi” duit ini bukannya tidak menimbulkan masalah. Tidak tranparannya distribusi kompensasi dana CD yang dilakukan oleh Kepala Desa ternyata justru menimbulkan friksi-friksi diantara masyarakat. Perbedaan pendapat antara perangkat kepala desa dengan masyarakat semakin meruncing sehingga memunculkan sikap anti pemerintah (minimal kepala desa) dari masyarakat. Pembakaran Kantor Kepala Desa beberapa waktu yang lalu di Desa Lubuk Puding merupakan bukti otentik dimana ada jurang yang memisahkan keduanya. Bahkan terungkap dalam wawancara yang dilakukan, dimana melihat kondisi yang dihadapi pada saat ini dengan semakin sedikitnya penghasilan yang didapatkan laut, disamping keengganan perangkat desa dan kecamatan untuk mendengarkan keluh kesah warganya, menyebabkan seorang nelayan tidak lagi percaya pada pemerintah.

Ketidak percayaan terhadap kepala desa ini tentunya bisa merembet lebih keatas. Dan ini bukan lagi menjadi suatu kekhawatiran dikarenakan fakta tersebut telah didapatkan. Ungkapan “tidak lagi percaya kepada pemerintah” merupakan akumulasi kekesalan warga akibat tidak terakomodirnya kebutuhan mereka akan wilayah tangkap yang mampu memberikan hasil yang siginicant bagi peningkatan kesejahteraan mereka. Puluhan, dan bahkan ratusan kali sudah berbagai kelompok masyarakat nelayan melakukan pendekatan kepada pihak legislatif. Intinya

Halaman 18 dari 20 halaman

Page 19: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

sama, mengadukan nasib mereka yang tidak lagi bisa mendapatkan penghidupan layak akibat hilangnya kesempatan melaut.

Namun toh, segala daya upaya tersebut tetap saja tidak mampu merubah kebijakan yang telah diambil oleh HM Sani dan Huzrin Hood cs. Pihak legislatif, baik pada tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten, selalu mengobral senjata yang sama. Berjanji di depan masyarakat akan menggunakan hak interplasinya untuk menanyakan lebih jauh keuntungan yang didapat dari penambangan pasir ini bila dibanding kesejahteraan nelayan yang notabene jumlahnya justru lebih banyak dari yang mendapat keuntungan penambang pasir itu, dan bahkan lebih banyak dari mayoritas penduduk, mengacu pada jenis matapencaharian, di Kabupaten Karimun.

Kondisi tesebut tentu saja tidak mutlak ditumpukan kepada pihak legislatif. Pihak pemerintah sendiri (eksekutif) bersikap “tuli telinga” mendengar berbagai keluhan yang disampaikan oleh warganya. Beberapa kali upaya DPRD Karimun untuk memanggil dan meminta klarifikasi dari Dinas Pertambangan selalu saja tidak pernah dihadiri oleh yang bersangkutan, apalagi memanggil Bupati setempat, yang notabene telah bermetamorfosa menjadi raja kecil. Isue yang berhembus kemudian, bisnis penambangan pasir ini, sekaligus juga dijadikan pundi-pundi keuangan untuk memperjuangkan niat Kepri menjadi propinsi tersendiri.

Halaman 19 dari 20 halaman

Page 20: Lembar Informasi 112004 Penambangan Pasir Laut   Neraka Bagi

KERTAS POSISI

KSumatera

KESIMPULAN DAN SARAN

Berbagai permasalahan tersebut diatas sedikit banyak turut mengganggu rasa dan karsa terhadap keadilan. Ada sebuah proses yang hilang dimana masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap kondisi sumberdaya alam sekitar tidak lagi dipandang oleh para pembuat kebijakan. Paradigma pembangunan yang mengandalkan dan mengedepankan nilai keuntungan pada jangka pendek membuat para pembuat kebijakan menafikan keberadaan dan ketergantungan masyarakat setempat terhadap lingkungannya. Yang terjadi kemudian, bahkan, sebuah proses pembodohan secara sistematis yang tujuannya untuk meredam gejolak-gejolak penolakan yang telah dan akan timbul dari masyarakat.

Paradigma pembangunan tersebut juga telah meluluh lantakkan sejumlah potensi sumberdaya alam lainnya seperti terumbu karang dan padang lamun, disamping turut menjadi penyebab terjadinya proses percepatan abrasi pantai.

Berdasarkan hal tersebut, dan didasarkan keinginan untuk menyaksikan bagaimana hak-hak masyarakat didengar dan bagaimana proses pembangunan tidak serta merta menghancurkan berbagai potensi yang sebetulnya ada dan belum digali, KALIPTRA Sumatera berharap , berkeinginan dan akan mengupayakan:

1. Agar dihentikannya seluruh aktivitas penambangan pasir mengingat bahwa hingga hari ini belum ditemukan satupun metode penambangan pasir yang ramah lingkungan dan tidak merugikan hidup dan kehidupan masyarakat nelayan tradisional setempat

2. Agar diterbitkannya kebijakan yang diikuti tindakan yang nyata dalam upaya merehabilitisir kerusakan lingkungan yang terjadi

3. Adanya sense of humanity dari pemerintah daerah, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Singapura dengan cara mengganti kerugian yang ditimbulkan selama ini, yang secara langsung telah memberikan dampak bagi kesejahteraan komunitas masyarakat nelayan tradisional setempat, dengan cara-cara yang mendidik dengan meningkatkan kemampuan mereka dalam mengelola dan mengusahakan sumberdaya alam yang berkelanjutan.

4. Sesegera mungkin mencari dan mengupayakan alternatif Pendapatan Asli Daerah yang spesifik dan sesuai dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat nelayan setempat

5. Mendorong terciptanya sebuah upaya Mekanisme Konsultasi Publik sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang lebih partisipatif

KALIPTRA SumateraPekanbaru, 8 Agustus 2002

Halaman 20 dari 20 halaman