lembaga administrasi negara pusat kajian...
TRANSCRIPT
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono Pengembangan BUMDes dalam menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana
Jurnal
Desentralisasi
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
Volume 13 Nomor 2 Halaman 85-157 2015
ISSN : 1412-3568
JUR
NA
L D
ESE
NT
RA
LISA
SI VO
LU
ME
13
NO
MO
R 2
TA
HU
N 2
01
5
i
ISSN : 1412-3568
Jurnal Desentralisasi Vol. 13 No. 2 Tahun 2015
Redaksi :
Pengarah : Sri Hadiati WK, SH, MBA Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi : Dr. Ridwan Rajab, M.Si Dewan Redaksi : Dr. Ridwan Rajab, M.Si
Ani Suprihartini, SE, MM Widhi Novianto, S.Sos, M.Si Dr. Edy Sutrisno, SE, M.Si
Mitra Bestari : Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, MA (Administrasi
Publik) Dr. Makhdum Priyatno, MA (Administrasi Publik) Dr. Hanif Nurcholis, M.Si (Pemerintahan Desa) Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, MA (Politik Lokal)
Redaktur Pelaksana : Tony Murdianto Hidayat, S.Si Redaksi : Muhamad Imam Alfie Syarien, S.Sos, MPA
Rico Hermawan, SIP Rusman Nurjaman, S.Fil
Maria Dika Puspita Sari, SIA
Diterbitkan oleh:
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
(Center For Decentralization and Lokal Autonomy Studies)
Lembaga Administrasi Negara
(National Institute Of Public Administration)
Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110
Telp. (021) 3688201-05 Ext 114, 115, Fax (021) 3865102
Website : www.lan.go.id/web/dkk/
Email : [email protected]
2015
UNDANGAN MENULIS:
Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis isu-isu dalam lingkup bidang Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Politik Lokal. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Judul, Abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalu pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan softfile copy. Redaksi berhak, melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Reviewer). Naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imba-lan yang menarik
ii JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Daftar Isi
Editorial iii - iv
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) Widhi Novianto
85-105
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal Marsono
107-117
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
119-131
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014 Suryanto
133-146
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa Yogi Setya Permana
147-157
Petunjuk Penulisan
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 iii
Editorial
Akhir Desember 2015 merupakan kick off
pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN
atau MEA. MEA merupakan pasar tunggal
ASEAN yang memungkinkan negara-negara
ASEAN menjual barang dan jasa dengan
mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia
Tenggara sehingga kompetisi akan semakin
ketat. Tujuan diberlakukannya MEA adalah
untuk menghilangkan atau paling tidak me-
minimalisir hambatan-hambatan di dalam
melakukan kegiatan ekonomi lintas kawasan,
misalnya perdagangan barang, jasa dan in-
vestasi.
Dengan diberlakukannya MEA berarti
membuka arus barang, jasa, dan investasi
serta tenaga kerja asing masuk ke Indonesia.
Jika tidak diantisipasi dengan baik, pemberla-
kuan MEA akan berdampak negatif bagi per-
ekonomian Indonesia. Alih-alih bisa menang-
kap peluang dan potensi yang ada, Indonesia
hanya bisa menjadi pasar yang menerima
limpahan produk-produk negara ASEAN lain.
Apalagi, sebagai negara dengan jumlah pen-
duduk terbesar di Asia Tenggara, Indonesia
merupakan pasar potensial bagi produk ne-
gara ASEAN lainnya.
Oleh karena itu, perlu upaya serius dalam
menyiapkan segenap komponen bangsa un-
tuk menghadapi MEA. Penyiapan tersebut ti-
dak hanya bagi para pelaku usaha yang bakal
terimbas langsung dengan MEA, tetapi juga
bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Melalui
berbagai perangkat kebijakan yang ada, pe-
merintah bisa mendorong pelaku usaha un-
tuk berperan serta secara aktif memanfaat-
kan pasar tunggal ASEAN tersebut. Edukasi
kepada masyarakat juga perlu dilakukan su-
paya masyarakat semakin sadar bahwa saat
ini tingkat persaingan terbuka tidak hanya
terjadi di dalam negeri tetapi juga di tingkat
regional.
Untuk itulah Jurnal Desentralisasi kali ini
mengangkat tema tentang kesiapan Indone-
sia dalam pemberlakuan MEA sebagai topik
utamanya. Melalui tema ini, diharapkan mun-
cul ide, gagasan dan pemikiran konstruktif
untuk meningkatkan kapasitas bangsa dalam
rangka menangkap peluang pemberlakuan
MEA—terutama terkait dengan tantangan
peningkatan kompetensi ASN Pemda di dae-
rah. Dengan demikian, sebagai negara terbe-
sar di ASEAN, Indonesia tidak hanya menjadi
pasar poduk-produk asing tetapi mampu me-
manfaatkan peluang MEA bagi peningkatan
ekonomi bangsa.
Edisi kali ini mengetengahkan sejumlah
tulisan yang merefleksikan sejumlah gagasan
sebagai respon terhadap pemberlakuan MEA
dalam waktu dekat ini. Melalui tulisannya
yang berjudul “Penyusunan Standar Kompe-
tensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan
Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah
Dalam Menghadapi ASEAN Economic Commu-
nity (AEC)” Widhi Novianto mencoba meru-
muskan kompetensi teknis yang perlu dimi-
liki Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemda khu-
susnya di sektor perdagangan dan industri.
Kompetensi teknis tersebut disusun dengan
beberapa pendekatan antara lain pendekatan
konseptual, AEC Blueprint, Rencana Pemba-
ngunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-
2019, Rencana Pembangunan Jangka Mene-
ngah Daerah (RPJMD) di Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara
dan Nusa Tenggara Barat serta pembagian
urusan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabu-
paten/Kota di bidang perdagangan dan peri-
ndustrian.
Di aras lokal, dua penulis lain menyoroti
masalah kesiapan kecamatan dan desa dalam
menghadapi MEA. Dalam tulisan yang berta-
juk “Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strate-
gi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di
Tingkat Lokal”, Marsono mengingatkan pen-
tingnya peran strategis kecamatan sebagai
pembina kewilayahan di tingkat pemerintah
terbawah dalam menghadapi MEA. Menurut-
nya paling tidak ada 6 (enam) peran strategis
kecamatan dalam rangka menyiapkan desa
iv JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
untuk menghadapi MEA. Oleh karena itulah,
penguatan kapasitas kecamatan merupakan
suatu keniscayaan guna mendukung peran
strategis keamatan tersebut.
Selaras dengan hal tersebut, Harditya
Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
menyampaikan gagasan penguatan BUMDes
dalam rangka kemandirian desa menghadapi
MEA. Melalui tulisan yang berjudul “Pengem-
bangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian
Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA)”, kedua penulis tersebut
menyatakan bahwa kesiapan dalam mengha-
dapi MEA juga harus dilakukan hingga
tingkat desa. Sebagai penggerak ekonomi
desa, BUMDes harus ditingkatkan kapasitas-
nya. Ada beberapa langkah yang perlu dilaku-
kan dalam pengembangan kapasitas BUM-
Des, antara lain 1) Penataan kelembagaan
desa; 2) Pengelolaan BUMDes dilakukan
dengan profesional, kooperatif dan mandiri;
3) Peningkatan peran dan kerja sama; dan 4)
Memahami kebutuhan masyarakat desa ter-
hadap BUMDes.
Selain tentang MEA, edisi kali ini juga
menyajikan pemikiran mengenai implemen-
tasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah. Dalam tulisan
yang bertajuk “Kewenangan Pemerintah Dae-
rah dan Kemungkinan Problematika Imple-
mentasi Undang-undang Nomor 23 Tahun
2014”, Suryanto menyoroti adanya peruba-
han distribusi urusan pemerintahan. Peme-
rintahan desa yang sebelumnya lebih banyak
melaksanakan kewenangan delegasi dari su-
pra desa, saat ini dituntut untuk mampu me-
laksanakan kewenangan lokal berskala desa.
Di bagian akhir tulisan, penulis menyampai-
kan saran terkait antisipasi yang sudah dan
perlu dilakukan di masa depan dan dalam
waktu yang cepat (segera).
Artikel terakhir yang dimuat terbitan kali
ini adalah hasil tulisan Yogi Setya Permana.
Dalam artikel yang berjudul “Aristokrat dan
Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (In-
termediary Actors) di Kabupaten Sumbawa”,
penulis membahas kebangkitan identitas lo-
kal melalui masyarakat Adat (Lembaga Adat
Tana Samawa–LATS). Dalam dokumen resmi-
nya, LATS dimaksudkan sebagai aktor pene-
ngah yang memediasi antara pemerintah da-
erah dengan masyarakat. Tulisan ini menco-
ba mengelaborasi apakah kehadiran LATS di
Sumbawa dapat memperkuat demokrasi lo-
kal di Sumbawa di tengah derasnya pertum-
buhan aparatur negara.
Redaksi menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan serta apresiasi yang
setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari sela-
ku reviewer yang memberikan masukan yang
berharga atas seluruh naskah yang masuk.
Tak lupa ucapan terima kasih juga ditujukan
kepada semua penulis yang telah berupaya
keras dan tidak putus asa telah melakukan
revisi dan perbaikan naskahnya sesuai ko-
reksi dan masukan dari mitra bestari. Kepada
sidang pembaca budiman, kami haturkan se-
lamat membaca. Komentar dan masukan dari
pembaca mengenai isi, topik, dan pengemba-
ngan jurnal ke depan juga sangat kami nanti-
kan. Semoga bermanfaat.
********************
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 85
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam
Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Formulation of Technical Competence Standards for Senior Executives in Local
Governments in Dealing with the ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
Peneliti Madya pada Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak Dalam konteks ASEAN Economic Community (AEC), aparatur negara memerlukan penyesuaian-penyesuaian kapasitas untuk menghadapi tantangan baru yang akan muncul di lingkungan ASEAN. Pemerintah tidak hanya harus mereposisi kebijakan-kebijakan ekonominya, tetapi juga memastikan komponen aparatur siap dengan perubahan struktural ini. Langkah maju dalam reformasi birokrasi telah dilakukan oleh pemerintah, yakni dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Ten-tang Aparatur Sipil Negara. Tidak berlebihan, lahirnya UU tersebut merupakan tonggak keberhasilan reformasi dan juga lahirnya Aparatur Sipil Negara yang berbasis profesionalisme dan kompetensi serta memenuhi kualifikasi dalam menjalankan jabatannya. Sejalan dengan implementasi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dalam konteks AEC, maka diperlukan penyusunan kompetensi Apa-ratur Sipil Negara khususnya kompetensi teknis bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam menghadapi liberalisasi di sektor perdagangan baik perdagangan dalam maupun luar negeri serta peningkatan daya saing sektor perindustrian. Standar kompetensi teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah disusun dengan mempertim-bangkan beberapa pendekatan antara lain pendekatan konseptual, AEC Blueprint, Rencana Pembang-unan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Barat serta pembagian urusan pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di bidang perdagang-an dan perindustrian.
Kata Kunci: ASEAN Economic Community, Aparatur Sipil Negara, Kompetensi.
Abstract
In the context of the AEC, government apparatus needs to adjust its capacity to cope with new challenges that will arise within ASEAN. The government not only has to tailor its economic policies, but also to make sure all the components of its apparatus are ready with this structural change. The enactment of Law No. 5 of 2014 On the Civil Servant is a milestone in Indonesian bureaucratic reform. The birth of this law signified the birth of the new civil service management based on profes-sionalism and competence. In order to implement of the Law within the context of the AEC, formu-lation of technical competence for civil servants, particularly those assuming the senior executives levels, is a necessity to deal with the trade liberalisation and to enhance regional industry compe-titiveness level. The technical competence standards for senior executives in local governments are built on multiple consideration being relevant theoretical concepts, ASEAN Ecconomic Community Blueprint, National Mid-Term Development Plan (RPJMN) 2015-2019, Regional Mid-Term Develop-ment Plans (RPJMD) of Kepulauan Riau Province, East Java Province, North Sulawesi and West Nusa Tenggara Province, and the related laws and regulations concerning distribution of power between central and local government in the field of trade and industry.
Keywords: ASEAN Economic Community , the State Civil Apparatus , Competence
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
86 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
A. PENDAHULUAN
Setelah krisis ekonomi yang melanda khu-
susnya kawasan Asia Tenggara, para Kepala
Negara ASEAN dalam KTT ASEAN ke-9 di Bali
pada tahun 2003, menyepakati pembentukan
komunitas ASEAN (ASEAN Community) da-
lam bidang Keamanan Politik (ASEAN Politi-
cal-Security Community), Ekonomi (ASEAN
Economic Community), dan Sosial Budaya
(ASEAN Socio-Culture Community) dikenal
dengan Bali Concord II. Untuk pembentukan
AEC pada tahun 2015, ASEAN menyepakati
perwujudannya diarahkan pada integrasi
ekonomi kawasan yang implementasinya
mengacu pada AEC Blueprint.
AEC Blueprint merupakan pedoman bagi
negara-negara Anggota ASEAN dalam mewu-
judkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat em-
pat pilar utama yaitu: (1) ASEAN sebagai pa-
sar tunggal dan berbasis produksi tunggal
yang didukung dengan elemen aliran bebas
barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik
dan aliran modal yang lebih bebas; (2)
ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing
ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan
kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas
kekayaan intelektual, pengembangan infra-
struktur, perpajakkan dan e-commerce, (3)
ASEAN sebagai kawasan dengan pengemba-
ngan ekonomi yang merata dengan elemen
pengembangan usaha kecil dan menengah,
dan prakarsa integrasi ASEAN, (4) ASEAN
sebagai kawasan yang terintegrasi secara
penuh dengan perekonomian global dengan
elemen pendekatan yang koheren dalam
hubungan ekonomi di luar kawasan, dan
meningkatkan peran serta dalam jejaring
produksi global.
Sesuai dengan empat pilar utama AEC
tersebut, negara-negara ASEAN telah mela-
kukan persiapan yang diawali dengan diber-
lakukannya penghapusan hambatan tarif
menjadi 0% pada tahun 2010 oleh negara-
negara ASEAN 6 (Brunei, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura dan Thailand). Akan teta-
pi, perencanaan para elite politik negara
ASEAN melalui pilar-pilar tersebut nyatanya
menimbulkan permasalahan utama dalam
pencapaian regionalisasi ekonomi ASEAN
yaitu ketimpangan signifikan antara dua pilar
pertama dengan dua pilar yang terakhir.
Laporan tahunan pembentukan AEC tahap II
misalnya, menunjukkan bahwa target inte-
grasi dengan pasar global telah tercapai
85,7% sementara target peningkatan daya
saing regional dan pemerataan pembangun-
an baru tercapai berturut-turut 67,9% dan
66,7% (ASEAN Secretariat, 2012). Dengan
kata lain, upaya ASEAN untuk membebaskan
pasarnya dengan berbagai kesepakatan pasar
bebas dengan negara-negara diluar kawasan
jauh lebih akseleratif daripada memperkuat
daya saing internal kawasan ASEAN itu sen-
diri.
Kendati secara regional pencapaian em-
pat pilar utama AEC masih menemui gan-
jalan, data Perdagangan pada tahun 2014
menunjukkan bahwa share perdagangan in-
tra-ASEAN menunjukkan angka yang cukup
menjanjikan pada masing-masing share per-
dagangan ke negara-negara ASEAN, yaitu di
atas 15%. Hal ini berarti bahwa regionalis-
me ekonomi di Asia Tenggara merupakan hal
yang krusial bagi masing-masing negara
ASEAN.
Seiring dengan perkembangan konstelasi
ekonomi global, Indonesia tetap terus ber-
upaya mendorong peningkatan kerjasama in-
ternasional baik di forum bilateral, regional,
maupun multilateral. Salah satunya adalah
melalui peningkatan peran dan kemampuan
Indonesia dalam melakukan diplomasi eko-
nomi. Pada tingkat bilateral, saat ini telah ada
kesepakatan kerjasama ekonomi antara Indo-
nesia-Jepang, Indonesia-Korea Selatan, Indo-
nesia-Australia serta Indonesia dengan nega-
ra-negara European Free Trade Association
(EFTA) seperti gambar berikut ini.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 87
Gambar 1. Kerjasama Ekonomi Bilateral, Multilateral, dan Regional
Pada tingkat regional, kerjasama ekonomi
ASEAN semakin meningkat sejak dimulainya
integrasi ekonomi regional dalam ASEAN
Free Trade Area (AFTA) hingga kepada pem-
bentukan AEC yang akan diimplementasikan
secara penuh pada tanggal 31 Desember
2015. Perkembangan persiapan implemen-
tasi AEC yang diukur melalui scorecard,
menunjukkan bahwa Indonesia telah menca-
pai 82,4 persen dari 431 butir penilaian pada
scorecard AEC, capaian tersebut di atas rata-
rata ASEAN yang saat ini mencapai 82,1
persen dari 229 Key Deliverables prioritas
yang ditargetkan selesai pada tahun 2015.
Tabel 1.
AEC Scorecard Key Deliverables Phases I-III (2008-2013)
Tantangan kerjasama ekonomi internasi-
onal antara lain: 1) masih belum selarasnya
antara diplomasi politik dan diplomasi eko-
nomi; 2) belum optimalnya kualitas koordi-
nasi lintas sektor dan seluruh pihak terkait
dalam proses penyiapan dan implementasi
hasil-hasil kerjasama ekonomi internasional
serta 3) belum optimalnya pemanfaatan ke-
sepakatan kerjasama ekonomi internasional
dalam mencapai kepentingan nasional ter-
utama untuk mendorong pertumbuhan eko-
nomi dan meningkatkan kesejahteraan rak-
yat
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
88 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Awareness dan preparedness pemerintah
menjadi kunci penting dalam memenangkan
AEC. Studi yang dilakukan oleh Pusat Studi
ASEAN (2014) menunjukkan bahwa peme-
rintah daerah masih memfokuskan diri pada
pelaku ekonomi yang berbasis ekspor. Pa-
dahal dampak AEC nantinya tidak hanya
dirasakan pelaku ekspor, namun juga pelaku
ekonomi yang menggunakan bahan baku
impor maupun pelaku ekonomi lokal yang
memproduksi barang yang sama dengan
negara lain di ASEAN. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa rendahnya kesiapan
pelaku ekonomi terhadap AEC ditentukan
oleh pendekatan pemerintah dan aparatur-
nya yang kurang komprehensif.
Dalam konteks AEC, aparatur memerlu-
kan penyesuaian-penyesuaian kapasitas un-
tuk menghadapi tantangan baru yang akan
muncul di lingkungan ASEAN (Hill dan
Menon, 2012; Aksaranee dan Arunanondchai,
2005). Penyesuaian tersebut antara lain ter-
kait dengan liberalisasi di sektor perdagang-
an dan jasa yang membuat pemerintah tidak
hanya harus mereposisi kebijakan-kebijakan
ekonominya, tetapi juga memastikan semua
komponen aparatur siap dengan perubahan
struktural ini.
Terkait dengan kapasitas misalnya, dalam
menghadapi AEC, Kasali (2014) mengisyarat-
kan perlunya penyesuaian kapasitas internal
organisasi. AEC memberikan paradigma baru,
sebuah transformasi dari cara pandang ‘siapa
yang mampu beradaptasi akan bertahan’
menjadi ‘siapa yang cepat, dialah pemenang-
nya’. Menurut Kasali, tantangan seperti AEC
tadi memerlukan sebuah kapasitas yang
dibangun secara berkelanjutan agar organi-
sasi mampu merespon perubahan dengan
waktu yang efisien, tangkas dan efektif.
Kasali menyebutnya sebagai agility dan dyna-
mic capability yaitu kualitas sensorik yang
cepat dalam mengidentifikasi ancaman mau-
pun kesempatan.
Namun demikian, pemerintah saat ini
masih punya beberapa persoalan serius. Ca-
tatan ASEAN Competitiveness Fundamentals
(2013) memperlihatkan bahwa Indonesia
masih cukup tertinggal dalam hal pengemba-
ngan infrastruktur makroekonomi dan masih
belum memiliki institusi yang responsif ter-
hadap perkembangan ekonomi regional.
Dengan kata lain, daya saing institusional
pemerintah masih belum kompatibel dengan
AEC. Akibatnya indeks daya saing Indonesia
masih cukup rendah di sektor infrastruktur
(terendah dari ASEAN-5), perkembangan
pasar tenaga kerja (terendah dari ASEAN-5),
serta cukup minim dalam hal pengembangan
institusional (hanya lebih baik daripada
Thailand yang baru saja mengalami kudeta
militer).
Beberapa fakta di atas mengisyaratkan
pentingnya Indonesia untuk mempersiapkan
kapasitas pemerintah dalam menghadapi
AEC. Secara garis besar, Indonesia memiliki
peluang sebagai negara tujuan investasi di
ASEAN karena share FDI yang tinggi serta
market size yang sangat besar. Dari persepsi
investor, Indonesia adalah the most favorable
country sebagai ekonomi pasar yang besar
dan tenaga kerja yang juga cukup menjanji-
kan (ASEAN Business Outlook, 2015). Namun,
selama ini ada problem institusional yang
belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan
kerangka Good Governance. Data Global
Competitiveness Report empat tahun terakhir
menunjukkan bahwa masalah paling krusial
yang dihadapi di Indonesia dalam menjaga
daya saingnya adalah permasalahan di sektor
publik baik berupa inefisiensi maupun
korupsi. Kondisi ini tentunya akan meng-
ganggu iklim untuk berbisnis akibat ekonomi
biaya tinggi.
Langkah maju dalam reformasi birokrasi
telah dilakukan oleh pemerintah, yakni
dengan disyahkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara.
Tidak berlebihan, lahirnya UU tersebut meru-
pakan tonggak keberhasilan reformasi dan
juga lahirnya Aparatur Sipil Negara yang
berbasis profesionalisme dan kompetensi
serta memenuhi kualifikasi dalam menja-
lankan jabatannya. UU Aparatur Sipil Negara
mengatur bahwa kompetensi meliputi:
a. kompetensi teknis yang diukur dari ting-
kat dan spesialisasi pendidikan, pelatih-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 89
an teknis fungsional, dan pengalaman be-
kerja secara teknis;
b. kompetensi manajerial yang diukur dari
tingkat pendidikan, pelatihan struktural
atau manajemen, dan pengalaman kepe-
mimpinan; dan
c. kompetensi sosial kultural yang diukur
dari pengalaman kerja berkaitan dengan
masyarakat majemuk dalam hal agama,
suku, dan budaya sehingga memiliki wa-
wasan kebangsaan.
Kompetensi teknis bagi Aparatur Sipil Ne-
gara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah
Daerah dalam menghadapi AEC merupakan
jenis-jenis kompetensi yang seharusnya di-
miliki Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah
Provinsi dalam menghadapi AEC. Sejalan
dengan implementasi Undang-Undang Apara-
tur Sipil Negara dalam konteks AEC, maka
diperlukan penyusunan kompetensi Aparatur
Sipil Negara khususnya kompetensi teknis
bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan
Tinggi di Pemerintah Daerah dalam mengha-
dapi liberalisasi di sektor perdagangan baik
perdagangan dalam maupun luar negari serta
peningkatan daya saing sektor perindustrian.
No 2010 2011 2012 2013
1 Inefisiensi Birokrasi Korupsi Inefisiensi Birokrasi Korupsi
2 Korupsi Inefisiensi Birokrasi Korupsi Inefisiensi Birokrasi
3 Infrastruktur Infrastruktur Infrastruktur Infrastruktur
4 Akses Pembiayaan Ketidakstabilan Politik Etika kerja buruk Akses pembiayaan
5 Inflasi Akses Pembiayaan Peraturan ketenagakerjaan
Peraturan Ketenagakerjaan
Sumber: Global Competitiveness Report, 2013, diolah.
Tabel 2 Faktor Paling Bermasalah di Indonesia dalam Global Competitiveness Report
Paling tidak ada tiga argumen penting
mengapa sektor perdagangan dan industri
menjadi fokus dalam tulisan ini. Pertama, isu
perdagangan dan industri adalah salah satu
dari empat elemen penting dalam AEC yang
akan dihadapi oleh Indonesia. Cetak Biru AEC
(2007) telah menyatakan bahwa ASEAN akan
menginisiasi sebuah pasar dan basis produk-
si tunggal, yang salah satu substansi penting-
nya adalah arus bebas perdagangan barang
dan jasa. Konsekuensinya, isu perdagangan
menjadi penting untuk direspons oleh semua
kalangan di Indonesia.
Kedua, Secara komparatif, Indonesia
cukup tertinggal dari negara-negara anggota
ASEAN lain dalam dua isu ini. Data indeks
ASEAN Competitiveness Fundamentals menu-
njukkan bahwa Indonesia tertinggal dari
Singapura dan Malaysia dalam inovasi, per-
tumbuhan pasar keuangan, serta infrastruk-
tur pasar barang dan jasa. Padahal, tiga vari-
abel ini penting dalam menopang industri
dan perdagangan barang dan jasa di ASEAN.
Ketiga, isu perdagangan dan industri
adalah dua isu yang krusial bagi negara-
negara Middle Power seperti Indonesia, kare-
na isu ini menunjukkan daya saing (competi-
tiveness) Indonesia di tingkat global. Dengan
pertumbuhan ekonomi dan market size yang
cukup besar, Indonesia berpotensi untuk
menjadi sasaran ekspansi perdagangan da-
lam skema liberalisasi di kawasan maupun
global. Jika pemerintah tidak mempersiapkan
diri menyambut hal ini, Indonesia akan diru-
gikan karena hanya akan menyediakan tena-
ga kerja murah dan konsumsi karena market
size-nya yang besar. Oleh sebab itu, memper-
siapkan sektor perdagangan dan industri
menjadi penting, tanpa diikuti oleh produkti-
vitas dari sektor perdagangan dan industri,
Indonesia akan kehilangan daya saingnya
dalam pasar global dan kawasan. Pada titik
inilah pemerintah bisa memfasilitasi semua
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
90 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
elemen untuk memperkuat daya saing
dengan menumbuhkan knowledge economy
sebagai fondasi ekonomi menghadapi inte-
grasi ekonomi (Irawati dan Rutten, 2014).
Secara garis besar, penelitian ini mengam-
bil sampel Provinsi Jawa Timur karena ka-
rakteristiknya sebagai area industri dan per-
dagangan, dengan potensi investasi di sektor
industri pengolahan (lihat BPS 2014). Provin-
si Kepulauan Riau dipilih karena karakteris-
tiknya sebagai area perdagangan bebas (free
trade zone) dan dengan demikian akan men-
jadi salah satu area penting dalam integrasi
ekonomi kawasan (lihat BPS Kepulauan Riau,
2014). Provinsi Sulawesi Utara dipilih karena
karakteristiknya sebagai kepulauan yang ber-
batasan dengan Filipina dan memiliki Kawa-
san Ekonomi Khusus, dengan potensi sektor
ekspor dan impor (lihat RPJMD Provinsi Sula-
wesi Utara). Sedangkan Provinsi Nusa Teng-
gara Barat dipilih karena karakteristiknya
sebagai destinasi wisata dan mewakili kori-
dor ekonomi Bali-Nusa Tenggara.
B. PENDEKATAN DALAM MENYUSUN
STANDAR KOMPETENSI TEKNIS
Dalam penyusunan standar kompetensi
teknis dilakukan dengan beberapa pendekat-
an antara lain pendekatan konseptual, AEC
Blueprint, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMN) 2015-2019, Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) di beberapa lokus serta pembagian
urusan pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabu-
paten/Kota di bidang perdagangan dan per-
industrian.
Secara teoretik, penelitian ini akan meng-
gunakan bingkai Competitive and Representa-
tive Government (Pusat Studi ASEAN UGM,
2015) untuk mendefinisikan kapasitas-kapa-
sitas tertentu yang harus dimiliki oleh nega-
ra. Competitive and Representative Govern-
ment memerlukan kapasitas negara yang bisa
menghadapi kompetisi di tingkat regional/
global tetapi juga mampu membangun legiti-
masi internal di tingkat domestik (Bretton,
2007). Hal ini membutuhkan konseptualisasi
mengenai apa saja kapasitas yang perlu dimi-
liki oleh negara.
Proyek integrasi ekonomi regional secara
teoretik melahirkan satu konsep baru dalam
paradigma pengelolaan negara yakni regula-
tory state. Model pengelolaan negara ini
membutuhkan pergeseran dalam paradigma
penyelenggaraan negara dari state-building
menjadi capacity building (Hameiri, 2010;
Irawati dan Rutten, 2004). Sebagai regulator,
negara memerlukan kemampuan untuk me-
lakukan manajemen risiko dan krisis untuk
menyelamatkan perekonomian ketika pasar
tidak mampu berjalan secara optimal
(Hameiri, 2010). Di sisi lain, negara juga di-
tuntut untuk beradaptasi dengan knowledge
economy yang beriringan dengan regionalisa-
si produksi dan bisnis di kawasan. Dalam
model knowledge economy, ada tiga elemen
yang diperlukan: (1) institusi untuk mendu-
kung inovasi; (2) jaringan untuk mengem-
bangkan dan mentransfer pengetahuan (ke
dalam inovasi), serta (3) dukungan infra-
struktur inovasi untuk mendorong perusa-
haan untuk berinovasi (Irawati dan Rutten,
2004). Dalam konteks ini, kapasitas negara
dan aparatur di dalamnya sangat penting
untuk mendukung inovasi, baik yang diini-
siasi oleh aparatur, entitas bisnis, maupun
komunitas-komunitas masyarakat kreatif.
Dalam konteks yang lebih luas, negara
juga menjadi aktor yang penting untuk mene-
gosiasikan kepentingannya dalam forum-
forum yang tidak hanya mengikutsertakan
negara, tetapi juga aktor bisnis. Artinya,
kapasitas diplomasi yang dimiliki oleh negara
tidak hanya ditujukan hanya pada perunding-
an yang melibatkan negara, tetapi juga
dengan pasar (Nesadurai, 2013). Pada kon-
teks ini, artinya, perlu ada reposisi paradig-
ma penyelenggaraan negara untuk mengha-
dapi proyek integrasi ekonomi regional.
Dengan demikian, dalam lanskap integrasi
ekonomi regional tersebut, posisi negara
menjadi penting untuk membangun kapasi-
tas dalam empat hal penting. Pertama,
kapasitas regulatory, yakni kapasitas untuk
membuat aturan-aturan, norma, dan koridor
yang memastikan pasar bisa berjalan secara
optimal dan risiko-risiko yang berpotensi
muncul dalam hal tersebut dapat diantisipasi.
Kedua, kapasitas pengetahuan, yakni kapasi-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 91
tas untuk merespons perubahan-perubahan
yang terjadi di tingkat global/regional dan
menghubungkan pengetahuan tersebut, seca-
ra institusional, dengan para pemangku ke-
pentingan (stakeholders). Ketiga, kapasitas
pemberdayaan stakeholders, yakni kapasitas
untuk memperkuat pemangku kepentingan
yang tidak memiliki kapasitas skill, pengeta-
huan, serta akses terhadap modal yang mem-
buat mereka gagal berkompetisi dalam pasar
regional/global. Keempat, kapasitas negosia-
si, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan
dengan kekuatan ekonomi lain, baik didalam
maupun luar negeri, serta membangun kerja-
sama yang bisa menguntungkan untuk
pengembangan ekonomi domestik.
Dalam konteks Indonesia yang mengala-
mi desentralisasi, keempat kapasitas ini perlu
diturunkan menjadi daftar kapasitas yang
bisa diimplementasikan, baik oleh pemerin-
tah daerah maupun pemerintah pusat. Kebe-
radaan lembaga riset seperti Lembaga Apara-
tur Negara atau instansi terkait akan menjadi
sangat krusial dalam memastikan kapasitas-
kapasitas tersebut bisa diimplementasikan
dalam pengembangan kapasitas aparatur
negara di berbagai tingkatannya.
Pertanyaan mendasar kemudian muncul
di aras yang lebih mikro, bagaimana aparatur
negara harus menyikapi integrasi ekonomi
regional? Tantangan bagi administrator pu-
blik secara paradigmatis telah berkembang
dari peran tradisional sebagai pembentuk
enabling environment seperti regulasi, infra-
struktur, pendidikan dan pelatihan; mem-
bentuk prakondisi bagi ekonomi pasar yang
efektif seperti menjaga kompetisi yang sehat,
menjamin keterbukaan informasi, penegakan
hukum, dan minimalisasi dampak eksterna-
litas (Klinger, 2004) menuju peran nontradi-
sional Governing on The Edges. Dengan pen-
dekatan baru tersebut, Mintzberg (2004)
dalam Abonyi & Slyke (2010) menekankan
pada kebutuhan untuk menghubungkan pe-
merintah dengan lingkungan global yang
kompleks, dinamis dan saling terkait.
Paradigma Governing on The Edges memer-
lukan kolaborasi yang efektif antara peme-
rintah dengan sektor privat dalam memben-
tuk kebijakan yang mampu memberikan
insentif bagi dunia bisnis namun di saat yang
sama merupakan pendekatan yang mengede-
pankan aspek akuntabilitas publik. Secara
umum Governing on The Edges berpegang
erat pada prinsip (1) linking ketimbang com-
manding (2) convincing daripada controlling
(3) enabling, partnering versus doing.
Sebenarnya ada dua problem utama yang
harus diselesaikan dalam memecahkan masa-
lah inkompatibilitas aparatur negara dengan
tantangan seperti AEC. Chen dan Neo (2007)
melalui pendekatan dynamic governance
menjelaskan problem tersebut sebagai perta-
ma, ketidakmampuan organisasi publik
dalam memahami perubahan yang terjadi di
sekitarnya dan kedua, sulitnya membuat
penyesuaian-penyesuaian institusional sehi-
ngga organisasi tetap efektif dalam merespon
perubahan.
Dalam konteks AEC, permasalahan perta-
ma bisa diartikan sebagai problem awareness.
Aparatur negara perlu menjadi yang terde-
pan untuk memahami aturan main perdaga-
ngan bebas dan investasi di ASEAN, membaca
dan menerjemahkannya menjadi serangkaian
peluang dan tantangan yang perlu diantisipa-
si oleh seluruh elemen masyarakat. Aspek
kedua adalah unsur preparedness dalam tata-
ran pragmatis tentang bagaimana aparatur
melakukan penyesuaian. Penyesuaian misal-
nya dalam hal kelembagaan, dengan aturan
main baru di tingkat regional apakah perlu
direspon dengan lembaga yang ramping dan
ringkas sehingga gerak organisasi menjadi
tangkas. Ataukah diperlukan organisasi yang
besar, merespon banyak permasalahan sehi-
ngga pendekatan terhadap AEC menjadi lebih
komprehensif.
Konseptualisasi peran aparatur negara
dalam menghadapi AEC juga bisa dilihat
dalam kapabilitas seperti apakah aparatur
negara telah memiliki mindset untuk thinking
ahead; thinking again dan thinking across
(Chen & Neo, 2007). Aparatur harus berpikir
ke depan (thinking ahead), menyadari bahwa
dalam lanskap ekonomi baru ide, kreativitas
dan pengetahuan merupakan faktor produksi
atau input yang sangat penting. Dalam skema
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
92 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
liberalisasi perdagangan jasa AEC, hanya te-
naga kerja bersertifikasi dengan skill khusus
yang dapat memaksimalkan kesempatan mo-
bilitas tenaga kerja.
Selanjutnya, think again yang berarti apa-
ratur harus mampu meninjau ulang kebija-
kan yang sudah ada apakah mampu menja-
wab tantangan yang berkembang sehingga
kebijakan dapat berkinerja lebih baik dari
sebelumnya. Dalam hal ini, penyesuaian atau
adaptasi kebijakan tidak hanya sebuah reaksi
pasif dari tekanan eksternal tapi merupakan
pendekatan proaktif terhadap inovasi, kon-
tekstualisasi dan eksekusi kebijakan. Think
across berarti kemampuan dan keterbukaan
untuk belajar dari pengalaman institusi lain-
nya di luar batas-batas organisasi sehingga
ide baru dapat diperkenalkan dalam sebuah
institusi. Kemampuan ini juga memerlukan
kapasitas aparatur untuk bekerja sama de-
ngan institusi lainnya di luar batas-batas ad-
ministratif birokrasi. Berdasarkan uraian
konseptual tersebut, maka dapat diidenti-
fikasi beberapa jenis kompetensi teknis di bi-
dang perindustrian dan perdagangan seba-
gai berikut:
No Konsepsi Usulan Jenis Kompetensi
1. Dalam kerangka Competitive and Representative Go-vernment memerlukan kapasitas negara yang bisa menghadapi kompetisi di tingkat regional/global te-tapi juga mampu membangun legitimasi internal ditingkat domestik
Kemampuan menyusun kebijakan untuk meningkatkan daya saing
Kemampuan untuk menyusun kebijakan untuk membangun dan mengembangan industri dalam negeri
2. Dalam model knowledge economy, ada tiga elemen yang diperlukan: (1) institusi untuk mendukung ino-vasi; (2) jaringan untuk mengembangkan dan men-transfer pengetahuan (ke dalam inovasi), serta (3) dukungan infrastruktur inovasi untuk mendorong perusahaan untuk berinovasi
Kemampuan melakukan inovasi Kemampuan mengembangkan dan men-
transfer pengetahuan
3. Dalam lanskap integrasi ekonomi regional diperlu-kan beberapa kapasitas: Pertama, kapasitas regu-latory, Kedua, kapasitas pengetahuan, yakni kapa-sitas untuk merespons perubahan-perubahan, Keti-ga, kapasitas pemberdayaan stakeholders, yakni ka-pasitas untuk memperkuat kapasitas pemangku kepentingan d a n Keempat, kapasitas negosiasi, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan dengan kekuatan ekonomi lain.
Kemampuan menyusun kebijakan Kemampuan merespon perubahan Kemampuan untuk fokus kepada pelang-
gan Kemampuan melakukan negosiasi
4. Konseptualisasi peran aparatur negara dalam menghadapi AEC juga bisa dilihat dalam memiliki mindset untuk thinking ahead; thinking again dan thinking across
Kemampuan berpikir ke depan Kemampuan meninjau ulang kebijakan Kemampuan dan keterbukaan untuk be-
lajar
Tabel 3 Identifikasi Jenis Kompetensi Berbasis Konsepsi
Penyusunan standar kompetensi teknis
ASN JPT di pemerintah daerah dapat diidenti-
fikasi berdasarkan AEC Blueprint yang rele-
van di bidang perindustrian dan perdagang-
an sebagai berikut:
No Pilar Usulan Jenis Kompetensi
1. ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas
Kemampuan memahami dan melaksanakan kebijakan perdagangan luar negeri
2. ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi, perlindu-ngan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, penge-mbangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce
Kemampuan memahami dan melaksana-kan kebijakan peraturan kompetisi
Kemampuan memahami dan melaksana-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 93
No Pilar Usulan Jenis Kompetensi
kan kebijakan perlindungan konsumen Kemampuan memahami dan melaksana-
kan kebijakan hak atas kekayaan intelek-tual
3. ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan eko-nomi yang merata dengan elemen pengembangan usa-ha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN
Kemampuan memahami dan melaksanakan kebijakan pengembangan UKM
4. ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara pe-nuh dengan perekonomian global dengan elemen pen-dekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.
Kemampuan memahami kebijakan jejaring produksi global
Tabel 4 Identifikasi Jenis Kompetensi Berbasis AEC Blueprint
Penyusunan standar kompetensi teknis
ASN JPT di pemerintah daerah di bidang per-
industrian dan perdagangan dapat diidentifi-
kasi berdasarkan RPJMN dan RPJMD sebagai
berikut:
No Bidang Isu Strategis Usulan Jenis Kompetensi
1 Industri 1) Deindustrialisasi 2) Populasi dan Struktur Industri
Lemah 3) Bahan mentah diekspor, se-
mentara bahan setengah jadi diimpor.
4) Ketergantungan pada impor tinggi
5) Produktivitas Rendah 6) Industri Terkonsentrasi di Pu-
lau Jawa dan Sumatera
Mengetahui dan mampu menyusun kebijakan pembangunan Kawasan Industri Mengetahui dan mampu menyusun kebijakan pembangun Sentra Industri Kecil dan Mene-ngah (SIKIM) Mampu berkoordinasi dengan para pemangku dalam mengimplementasikan kebijakan
Mampu menyusun kebijakan untuk mendo-rong investasi untuk industri pengolah sum-ber daya alam, baik hasil pertanian maupun hasil pertambangan (hilirisasi) Mampu menyusun kebijakan untuk mendo-rong investasi industri penghasil barang kon-sumsi kebutuhan dalam negeri, penghasil ba-han baku, bahan setengah jadi, komponen dan sub-assembly Mampu menyusun kebijakan dalam memanfa-atkan kesempatan dalam jaringan produksi global baik sebagai perusahaan subsidiary, contract manufacturer, maupun sebagai indep-endent supplier (Integrasi ke Global Production Network). Mampu menyusunan kebijakan dalam pembi-naan industri kecil dan menengah (Pembinaan IKM) agar dapat terintegrasi dengan rantai nilai industri pemegang merek (Original Equipment Manufacturer, OEM) di dalam negeri dan dapat menjadi basis penumbuhan populasi industri besar dan sedang. Mampu menyusun kebijakan dalam penguasa-an Iptek / Inovasi Mampu menyusun penguasaan dan pelaksa-naan pengembangan produk baru (New Pro-duct Development) oleh industri domestik.
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
94 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
No Bidang Isu Strategis Usulan Jenis Kompetensi
2 Perdagangan DN 1) Masih terdapatnya kelangkaan stok dan disparitas harga ba-han pokok yang tinggi
2) Belum optimalnya aktivitas perdagangan dalam negeri
3) Masih rendahnya minat masya-rakat terhadap produk domes-tik.
4) Belum optimalnya upaya pelin-dungan konsumen
1) Mampu menyusun kebijakan pembenahan sistem distribusi bahan pokok dan sistem logistik rantai pasok
2) Mampu menyusun kebijakan pembenahan iklim usaha perdagangan yang lebih kondu-sif
3) Mampu menyusun kebijakan perlindungan konsumen dan standardisasi produk lokal di pusat dan di daerah
3 Perdagangan LN 1) Besar ekspor merupakan ko-moditas Primer.
2) Masih rendahnya tingkat diver-sifikasi pasar tujuan ekspor.
3) Masih rendahnya daya saing ekspor jasa
4) Meningkatnya hambatan non tarif.
5) Fasilitasi ekspor yang belum optimal
Kemampuan diplomasi perdagangan
Mampu menyusun kebijakan dalam mening-katkan peran perwakilan dagang di luar nege-ri Mampu memanfaatkan kerjasama perdagang-an yang ada dan meningkatkan kerjasama perdagangan bilateral Mampu meningkatkan peran perwakilan da-gang di luar negeri Mampu menyusun kebijakan meningkatkan promosi ekspor Mampu menyusun kebijakan pemanfaatan Rantai Nilai Global dan Jaringan Produksi Global yang menghasilkan barang dan jasa berorientasi ekspor Mampu menyusun kebijakan meningkatkan efektivitas market intelligence Mampu meningkatkan kapasitas dan kemam-puan calon eksportir dan eksportir pemula Mampu meningkatkan sosialisasi dan disemi-nasi informasi mengenai produk potensial ke-pada seluruh produsen atau pelaku usaha po-tensial Mampu meningkatkan daya saing produk na-sional Mampu menyusun kebijakan untuk mening-katkan efektivitas manajemen impor Mampu menyusun kebijakan untuk mengop-timalkan fasilitas safeguards dan pengamanan perdagangan lainnya Mampu melakukan evaluasi terhadap pelak-sanaan Free Trade Agreements (FTA) yang su-dah dilakukan Mampu menyusun kebijakan dalam mengem-bangkan fasilitasi perdagangan yang lebih efektif
4 Kerjasama Eko-nomi Internasio-nal
Kerjasama Ekonomi Internasional (peningkatan kerjasama interna-sional baik di forum bilateral, re-gional, maupun multilateral)
Mampu merumuskan strategi diplomasi eko-nomi nasional Mampu menyusun kriteria dalam menentukan prioritasi (seleksi) kerja sama ekonomi inter-nasional
Mampu melakukan pemantauan, kaji ulang, dan evaluasi terhadap perjanjian kerjasama ekonomi internasional Mampu meningkatkan koordinasi antar lem-baga pemerintah, antara lembaga pemerintah dengan kalangan dunia usaha, akademisi,
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 95
No Bidang Isu Strategis Usulan Jenis Kompetensi
LSM, dan masyarakat dalam proses perumus-an strategi diplomasi ekonomi, serta imple-mentasi dan pemanfaatan kerja sama ekonomi internasional yang telah disepakati. Mampu melakukan identifikasi kepentingan nasional untuk diperjuangkan dalam forum kerja sama ekonomi internasional, baik dalam forum bilateral, regional, maupun multilateral Mampu menyusun road map kerangka kerja sama ekonomi maritim dalam rangka mendu-kung pembangunan, pengelolaan, dan peman-faatan wilayah maritim Indonesia yang lebih baik.
Tabel 5 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMN 2014-2019 dan
RPJMD di Beberapa Lokus Kajian
Penyusunan standar kompetensi teknis
ASN JPT di pemerintah daerah, juga memper-
hatikan pembagian urusan di bidang perda-
gangan dan perindustrian sebagaimana di-
atur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 ten-
tang Pemerintah Daerah, sebagai berikut:
No Sub Urusan Kewenangan Provinsi Usulan Jenis Kompetensi
1 Perdagangan a. Perizinan dan Pendaf-
taran Perusahaan 1. Penertiban surat izin usaha perdaga-
ngan minuman beralkohol toko bebas bea dan rekomendasi penerbitan SIUP-MB bagi distributor.
2. Penerbitan surat izin usaha perdaga-ngan bahan berbahaya pengecer ter-daftar, pemeriksaan sarana distribusi bahan berbaya dan pengawasan dis-tribusi, pengemasan pelabelan bahan berbahaya di tingkat Daerah provinsi.
3. Rekomendasi untuk penerbitan PGAPT dan SPPGRAP.
4. Penerbitan surat keterangan asal bagi Daerah provinsi yang telah ditetapkan sebagai instansi penerbit surat kete-rangan asal).
5. Penerbitan angka pengenal importir (API).
Kemampuan menyusun kebi-jakan pelayanan perizinan
b. Sarana Distribusi Per-dagangan
Pembangunan dan pengelolaan pusat dis-tribusi regional dan pusat distribusi pro-vinsi.
Kemampuan membuat kebija-kan pengelolaan sarana per-dagangan
c. Stabilisasi Harga Ba-rang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting
1. Menjamin ketersediaan barang kebu-tuhan pokok dan barang penting di tingkat daerah provinsi.
2. Pemantauan harga, informasi keterse-diaan stok barang kebutuhan pokok dan barang penting di tingkat pasar provinsi.
3. Melakukan operasi pasar dalam rang-ka stabilisasi harga pangan pokok yang dampaknya beberapa daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) dae-rah provinsi.
Kemampuan menyusun kebi-jakan stabilisasi harga
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
96 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
No Sub Urusan Kewenangan Provinsi Usulan Jenis Kompetensi
4. Pengawasan pupuk dan pestistida tingkat daerah provinsi dalam mela-kukan pelaksanaan pengadaan, pe-nyaluran dan penggunaan pupuk ber-subsidi di wilayah kerjanya.
d. Pengembangan Ekspor 1. Penyelenggaraan promosi dagang melalui pameran dagang internasio-nal, pameran dagang nasional dan pa-meran dagang lokal serta misi dagang bagi produk ekspor unggulan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) dae-rah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi.
2. Penyelenggaraan kampanye pencitra-an produk ekspor skala nasional (lin-tas Daerah provinsi).
Kemampuan menyusun kebi-jakan pengembangan ekspor
e. Standardisasi dan Per-lindungan Konsumen
Pelaksanaan perlindungan konsumen, pengujian mutu barang, dan pengawasan barang beredar dan/atau jasa di seluruh Daerah kabupaten/kota.
Kemampuan menyusun kebi-jakan standarisasi dan perlin-dungan konsumen
2. Perindustrian a. Perencanaan Pemba-
ngunan Industri Penetapan rencana pembangunan industri provinsi.
Kemampuan menyusun kebi-jakan perencanaan pemba-ngunan industri
b. Perizinan 1. Penerbitan IUI Besar. 2. Penerbitan IPUI bagi industri besar. 3. Penerbitan IUKI dan IPKI yang lokasi-
nya lintas Daerah kabupaten/kota dalam (satu) Daerah provinsi.
Kemampuan menyusun kebi-jakan perizinan
c. Sistem Informasi In-dustri Nasional
Penyampaian laporan informasi industri untuk: - IUI Besar dan Izin perluasannya; dan - IUKI dan IPKI yang lokasinya lintas
Daerah kabupaten/kota.
Kemampuan menyusun kebi-jakan sistem perizinan indus-tri nasional
Tabel 6 Identifikasi Jenis Kompetensi Teknis Berbasis Pembagian Urusan
Perdagangan dan Perindustrian
C. IDENTIFIKASI KOMPETENSI
Berdasarkan pertimbangan-pertimbang-
an tersebut, berikut ini disampaikan bebe-
rapa jenis kompetensi bagi Aparatur Sipil Ne-
gara khususnya Jabatan Pimpinan Tinggi bi-
dang perindustrian dan perdagangan di Pe-
merintah Daerah dalam menghadapi AEC, ya-
itu:
No Jenis Kompetensi Deskripsi
1. Menyusun kebijakan di bidang perdagangan dan perindustrian
Mengetahui dan mampu menyusun kebijakan di bidang perdagangan dan perindustrian
2. Menkoordinaskan perdagangan dalam negeri Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan berba-gai aspek terkait dengan perdagangan barang atau jasa dalam negeri,
3. Mengkoordinasikan perdagangan luar negeri Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan berba-gai aspek terkait dengan perdagangan barang dan jasa luar negeri.
4. Merumuskan sasaran pembangunan dan penge-mbangan industri
Mengetahui dan mampu merumuskan sasaran pem-bangunan dan pengembangan industri
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 97
No Jenis Kompetensi Deskripsi
Bidang Industri
5. Mengarahkan Desain Produk Industri Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan desain produk industri baik dalam perancangan, perencanaan, dan pembuatan produk industri.
6. Mengarahkan Standarisasi Produk Industri Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan produk industri dengan mempertimbangkan aspek daya saing dan perlindungan konsumen.
7. Mengarahkan Hak Kekayaan Intelektual Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan hak kekayaan intelektual
8. Mengarahkan Sistem Informasi Industri Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan penerapan sistem informasi industri.
9. Membina Manajemen IKM Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan manajemen IKM baik dalam hal pembiayaan, pen-ciptaan nilai tambah, jangkauan pasar, penguatan kelembagaan usaha, dan perlindungan usaha, serta menumbuhkan semangat kewirausahaan.
10. Membina Pemanfaatan Rantai Nilai Global dan Jaringan Produksi Global
Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan pemanfaatan rantai nilai global dan jaringan pro-duksi global.
11. Mengarahkan Pemanfaatan Teknologi Industri Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan pemanfaatan teknologi industri.
Bidang Perdagangan Dalam Negeri
12. Membina Perlindungan Konsumen Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan perlindungan konsumen dan pengawasan produk yang beredar.
13. Mengendalikan Stabilisasi Harga Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan stabilitas harga barang atau jasa
14. Mengendalikan Manajemen Stok Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan persediaan dan pendistribusian barang-barang kebutuhan pokok
15. Mengkoordinasikan Fasilitasi Sarana Penunjang Perdagangan
Mengetahui dan mampu mengkoordinasikan penye-diaan sarana penunjang perdagangan
16. Mengevaluasi Pemberiaan Izin Usaha Mengetahui dan mampu mengevaluasi pemberian izin usaha
Bidang Perdagangan Luar Negeri
17. Mengarahkan promosi Mengetahui dan mampu mengarahkan kebijakan promosi produk-produk yang dihasilkan
18. Mengarahkan pemanfaatkan market intellegence Mengetahui dan mampu memanfaatkan market in-tellegence penetrasi pasar dan pengembangan pasar
19. Mengevaluasi insentif perdagangan Mengetahui dan mampu mengevaluasi kebijakan insentif perdagangan
20. Mengevaluasi fasilitasi ekspor dan Impor Mengetahui dan mampu mengevaluasi kebijakan fasilitasi ekspor dan impor
21. Mengarahkan pemanfaatan Teknologi Informasi Mengetahui dan mampu memanfaatkan teknologi informasi dalam rangka membuka akses pasar dan meningkatkan pangsa pasar produk Indonesia
Tabel 7 Jenis Kompetensi Teknis
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
98 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
D. VALIDASI STANDAR KOMPETENSI
Berdasarkan identifikasi jenis-jenis kompetensi teknis tersebut,
kajian ini melakukan validasi terhadap jenis-jenis kompetensi-kompe-
tensi teknis tersebut di 4 lokus kajian yaitu Provinsi Riau, Provinsi
Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Nusa Tenggara Ba-
rat sebagai berikut:
1. Provinsi Kepulauan Ria
Gambar 1. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 99
2. Provinsi Jawa Timur
Gambar 2. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Jawa Timur
Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
100 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
3. Provinsi Sulawesi Utara
Gambar 3. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Sulawesi Utara
Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 101
4. Provinsi Nusa Tenggara Barat
Gambar 4. Validasi Kompetensi Teknis Provinsi Nusa Tenggara Barat
Sumber: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
102 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Berdasarkan hasil temuan lapangan di be-
berapa lokus tersebut, sebagian besar respo-
nden memberikan jawaban sangat relevan
dan relevan terhadap jenis-jenis kompetensi
yang telah disusun oleh tim PKDOD. Namun
menurut responden ada beberapa jenis-jenis
kompetensi yang dipandang relevan bagi
Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan
Tinggi di pemerintah daerah dalam mengha-
dapi AEC khususnya di bidang perdagangan
dan perindustrian, yaitu:
Pengetahuan tentang Ekonomi Regio-nal Selain penguasaan kompetensi teknis tertentu, responden juga mengusulkan agar aparatur di level kepala dinas juga harus mempunyai kompetensi terkait dengan pengetahuan tentang ekonomi regional
Pengetahuan tentang Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter Perdagangan dan perindustrian selalu terkait dengan situasi fiskal dan moneter. Dengan memahami kebijakan fiskal dan moneter, seorang kepala dinas akan mampu merumuskan langkah-langkah strategis dan taktis dalam kebijakan dan programnya dengan mengintegrasikan perspektif fiskal dan moneter.
Pengetahuan tentang industri kreatif Standar kompetensi juga mengakomoda-si kebutuhan jenis yang terkait dengan industri kreatif.
Pengetahuan Perundangan-undangan (Regulatory Mapping) Lintas Sektor Selain pengetahuan perundang-undang-an di bidang perdagangan dan perindus-trian, responden juga mengusulkan pe-ngetahuan perundang-undangan lintas sektor sebagai jenis kompetensi yang ha-rus dimiliki oleh aparatur Pemda di dinas terkait.
Pengetahuan tentang Pengembangan Industri Berwawasan Lingkungan. Pengetahuan pengembangan industri berwawasan lingkungan sebagai jenis kompetensi juga harus diakomodir da-lam pengembangan standar kompetensi teknis ASN Pemda di dinas terkait.
Pengetahuan GeoSpasial Pengembangan kawasan industri sangat
terkait dengan masalah tata ruang (RT
RW). Pengetahuan geo-spasial mencakup
pengetahuan tentang tata ruang dan ke-
wilayahan.
E. PENUTUP
Pada bagian penutup ini, akan disampai-
kan kesimpulan, rekomendasi dan rencana
aksi sebagai tindak lanjut dari kajian penyu-
sunan standar kompetensi teknis dalam
menghadapi AEC.
1. Kesimpulan:
1) Dalam konteks AEC, aparatur memerlu-
kan penyesuaian-penyesuaian kapasitas
untuk menghadapi tantangan baru yang
akan muncul di lingkungan ASEAN.
Penyesuaian tersebut antara lain terkait
dengan liberalisasi di sektor perdagang-
an dan jasa yang membuat pemerintah
tidak hanya harus mereposisi kebijakan-
kebijakan ekonominya, tetapi juga me-
mastikan semua komponen aparatur siap
dengan perubahan struktural ini. Namun
demikian, pemerintah saat ini masih
punya beberapa persoalan serius. Cata-
tan ASEAN Competitiveness Fundamentals
(2013) memperlihatkan bahwa Indone-
sia masih cukup tertinggal dalam hal
pengembangan infrastruktur makroeko-
nomi dan masih belum memiliki institusi
yang responsif terhadap perkembangan
ekonomi regional. Dengan kata lain, daya
saing institusional pemerintah masih
belum kompatibel dengan AEC. Akibat-
nya indeks daya saing Indonesia masih
cukup rendah di sektor infrastruktur
(terendah dari ASEAN-5), perkembangan
pasar tenaga kerja (terendah dari
ASEAN-5), serta cukup minim dalam hal
pengembangan institusional (hanya lebih
baik daripada Thailand yang baru saja
mengalami kudeta militer).
2) Langkah maju dalam reformasi birokrasi
telah dilakukan oleh pemerintah, yakni
dengan disyahkan Undang-Undang No-
mor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Si-
pil Negara. Tidak berlebihan, lahirnya UU
tersebut merupakan tonggak keberhasil-
an reformasi dan juga lahirnya Aparatur
Sipil Negara yang berbasis profesionalis-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 103
me dan kompetensi serta memenuhi kua-
lifikasi dalam menjalankan jabatannya.
UU Aparatur Sipil Negara mengatur bah-
wa kompetensi meliputi kompetensi tek-
nis, kompetensi manajerial dan kompe-
tensi sosial kultural. Sejalan dengan im-
plementasi Undang-Undang Aparatur Si-
pil Negara dalam konteks AEC, maka
diperlukan penyusunan kompetensi Apa-
ratur Sipil Negara khususnya kompetensi
teknis bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan
Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah
dalam menghadapi liberalisasi di sektor
perdagangan baik perdagangan dalam
maupun luar negeri serta peningkatan
daya saing sektor perindustrian.
3) Dalam penyusunan standar kompetensi
teknis dilakukan dengan beberapa pen-
dekatan antara lain pendekatan konsep-
tual, AEC Blueprint, Rencana Pembangun-
an Jangka Menengah (RPJMN) 2015-
2019, Rencana Pembangunan Jangka Me-
nengah Daerah (RPJMD) di beberapa lo-
kus serta pembagian urusan pemerintah
Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di
bidang perdagangan dan perindustrian.
Dalam kerangka Competitive and Repre-
sentative Government memerlukan kapa-
sitas negara yang bisa menghadapi kom-
petisi di tingkat regional/global tetapi ju-
ga mampu membangun legitimasi inter-
nal di tingkat domestic. Dalam model
knowledge economy, ada tiga elemen
yang diperlukan: (1) institusi untuk men-
dukung inovasi; (2) jaringan untuk me-
ngembangkan dan mentransfer pengeta-
huan (ke dalam inovasi), serta (3) duku-
ngan infrastruktur inovasi untuk mendo-
rong perusahaan untuk berinovasi. Da-
lam lanskap integrasi ekonomi regional
diperlukan beberapa kapasitas: Perta-
ma, kapasitas regulatory, Kedua, kapasi-
tas pengetahuan, yakni kapasitas untuk
merespons perubahan-perubahan, Keti-
ga, kapasitas pemberdayaan stakehol-
ders, yakni kapasitas untuk memperkuat
kapasitas pemangku kepentingan dan
Keempat, kapasitas negosiasi, yakni ka-
pasitas untuk bisa berhubungan dengan
kekuatan ekonomi lain. Konseptualisasi
peran aparatur negara dalam menghada-
pi AEC juga bisa dilihat dalam memiliki
mindset untuk thinking ahead; thinking
again dan thinking across.
4) AEC Blueprint digunakan sebagai salah
satu pertimbangan dalam menyusun
standar kompetensi teknis, dimana AEC
Blueprint merupakan pedoman bagi ne-
gara-negara Anggota ASEAN dalam me-
wujudkan AEC 2015. AEC Blueprint me-
muat empat pilar utama yaitu: (1) ASEAN
sebagai pasar tunggal dan berbasis pro-
duksi tunggal yang didukung dengan ele-
men aliran bebas barang, jasa, investasi,
tenaga kerja terdidik dan aliran modal
yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai
kawasan dengan daya saing ekonomi
tinggi, dengan elemen peraturan kompe-
tisi, perlindungan konsumen, hak atas
kekayaan intelektual, pengembangan in-
frastruktur, perpajakkan dan e-commer-
ce, (3) ASEAN sebagai kawasan dengan
pengembangan ekonomi yang merata de-
ngan elemen pengembangan usaha kecil
dan menengah, dan prakarsa integrasi
ASEAN, (4) ASEAN sebagai kawasan yang
terintegrasi secara penuh dengan pere-
konomian global dengan elemen pende-
katan yang koheren dalam hubungan
ekonomi di luar kawasan, dan mening-
katkan peran serta dalam jejaring pro-
duksi global.
5) Penyusunan standar kompetensi yang
dibutuhkan Aparatur Sipil Negara Jabat-
an Pimpinan Tinggi di Pemerintah Dae-
rah dalam menghadapi AEC juga mem-
pertimbangkan Nawa Cita (9 Program
Prioritas Pemerintahan Jokowi) dan as-
pek lingkungan strategis sebagaimana
tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN
2015-2019) dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) pada
lokus kajian. Aparatur Sipil Negara diha-
dapkan pada beberapa permasalahan di
bidang perindustrian antara lain dein-
dustrialisasi, populasi dan struktur in-
dustri lemah, bahan mentah diekspor,
sementara bahan setengah jadi diimpor,
ketergantungan pada impor tinggi serta
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
104 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
produktivitas rendah. Sedangkan perma-
salahan perdagangan dalam negeri anta-
ra lain masih terdapatnya kelangkaan
stok dan disparitas harga bahan pokok
yang tinggi, belum optimalnya aktivitas
perdagangan dalam negeri, masih ren-
dahnya minat masyarakat terhadap pro-
duk domestik, dan belum optimalnya
upaya pelindungan konsumen, serta per-
masalahan luar negeri peningkatan ker-
jasama internasional baik di forum bila-
teral, regional, maupun multilateral.
2. Rekomendasi dan Rencana Aksi:
1) Membangun kepedulian dan kesiapan
pemerintah dan pemda dalam mengha-
dapi AEC dengan rencana aksi:
Aspek kebijakan, merancang dan
mengintegrasikan isu AEC dalam ke-
bijakan agar mampu meminimalisir
resiko-resiko yang muncul.
Aspek kelembagaan, membangun si-
nergi dan aksi kolaboratif antara
pemerintah dan pemerintah daerah,
perguruan tinggi, dunia usaha dalam
menghadapi AEC.
Aspek SDM, sosialisasi AEC kepada
ASN untuk membangun kepedulian
dan kesiapan ASN dalam menghada-
pi AEC
2) Penyusunan standar kompetensi yang
bersifat spesifik, dengan rencana aksi:
Identifikasi potensi daerah, penyu-
sunan standar kompetensi seharus-
nya didasarkan potensi daerah ma-
sing-masing.
Identifikasi geospasial, penyusunan
standar kompetensi mencakup pe-
ngetahuan tentang tata ruang dan
kewilayahan masing-masing daerah.
Dokumen Perencanaan, penyusunan
standar kompetensi didasarkan pada
RPJMN, RPJMD dan Renstra
3) Integrasi standar kompetensi dengan
manajemen ASN, dengan rencana aksi:
Melakukan integrasi standar kompe-
tensi dengan Promosi
Melakukan integrasi standar kompe-
tensi dengan Rotasi
Melakukan integrasi standar kompe-
tensi dengan Pelatihan dan Pengem-
bangan
Melakukan integrasi standar kompe-
tensi dengan Evaluasi kinerja
4) Penyusunan kebijakan standar kompe-
tensi, dengan rencana aksi:
Penyusunan kebijakan standar kom-
petensi oleh pemerintah daerah
Kebijakan tersebut dijadikan acuan
dalam bagi pemerintah daerah da-
lam rangka pelaksanaan manajemen
ASN di pemerintah daerah
5) Melaksanakan dan melakukan evaluasi
terhadap standar kompetensi, dengan
rencana aksi
Pelaksanaan standar kompetensi
yang telah disusun
Melakukan evaluasi terhadap stan-
dar kompetensi
6) Penyesuaian standar kompetensi dengan
target-target kinerja dalam RPJMN/D,
dengan rencana aksi:
Mengidentifikasi isu-isu strategik,
sasaran, arah kebijakan dan strategi
sebagaimana diatur dalam dokumen
RPJMN dan RPJMD
Melakukan evaluasi terhadap stan-
dar kompetensi dengan mempertim-
bangkan target-target kinerja dalam
dokumen perencanaan.
7) Melakukan tindak lanjut kajian dengan
mengidentifikasi standar kompetensi
teknis negara-negara ASEAN lainnya, de-
ngan rencana aksi:
Melakukan tindak lanjut kegiatan de-
ngan mengidentifikasi standar kom-
petensi beberapa negara ASEAN lain-
nya dengan menjalin kemitraan de-
ngan Sekretariat ASEAN.
Memetakan kompetensi ASN di be-
berapa Negara ASEAN dalam meng-
hadapi AEC.
F. DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Nomor 3 Tentang Perindus-
trian
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 105
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Ten-
tang Aparatur Sipil Negara
Undang-Undang Nomor 7 Tentang Perdaga-
ngan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Ten-
tang Pemerintahan Daerah
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Provinsi Kepulauan Riau
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Provinsi Jawa Timur
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Provinsi Sulawesi Utara
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Rencana Strategis Kementerian Perdagangan
Rencana Strategis Kementerian Perindustri-
an
Rencana Strategis Provinsi Kepulauan Riau
Rencana Strategis Provinsi Jawa Timur
Rencana Strategis Provinsi Sulawesi Utara
Rencana Strategis Provinsi Nusa Tenggara
Barat
2. Buku:
Abonyi, G. & Van Slyke, D. M. (2010). Go-
verning On The Edges: Globalization
Of Production And The Challenge to
Public Administration In The Twenty
First Century. Public Administration
Review. 70 (1): 33-45.
ASEAN. (2007). Blueprint of ASEAN Econo-
mic Community. Jakarta: ASEAN Secre-
tariat. Bretton, A. (2007). The Econo-
mic Theory of Representative Govern-
ment. Transaction Publishers.
Bowornwathana, B. (2009). The Need To
Build Administrative Capacity In The
Age Of Rapid Globalization: A “Mo-
dest” Prescription or A Major Blue-
print? Public Administration Review,
69(6), 1031-1033.
Hameiri, S. (2007). Failed States Or A
Failed Paradigm? State Capacity And
The Limits Of Institutionalism. Jour-
nal Of International Relations And
Development, 10 (2), 122-149.
Hameiri, S. (2010). Regulating Statehood:
State Building and the Transforma-
tion of the Global Order. Basingstoke,
UK: Palgrave Macmillan.
Irawati, D., & Rutten, R. (Eds.). (2013).
Emerging Knowledge Economies in
Asia: Current Trends in ASEAN 5:
Current Trends In ASEAN-5. London
And New York: Routledge.
Kasali, R. (2014). Agility: Bukan Singa Yang
Mengembik. Jakarta: Gramedia.
Neo, B. S & Chen, G. 2007. Dynamic Go-
vernance: Embedding Culture, Capa-
bilities And Change In Singapore.
Singapore: World Scientific.
Nesadurai, H. E. (2003). Globalisation, Do-
mestic Politics and Regionalism.
London: Routledge.
Nesadurai, H. (2013). “ASEAN/East Asia
and Global Economic Governance:
Reasserting the State as Market Actor”
Studia Diplomatica [P], 66 (1), 51-70.
Permana, P., Sulistyastuti, D. R. and
Rachman, N.A. (2014). “Gearing Up for
ASEAN Economic Community: Small
and Medium Enterprises‟ Responses
and Preparedness to Regional Market
Integration”. Working Paper No. 1,
ASEAN Studies Center, Universitas
Gadjah Mada
Penyusunan Standar Kompetensi Teknis Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
Widhi Novianto
106 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 107
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di Tingkat
Lokal
Strengthening the Capacity of Sub-Disctricts: A Local-Based Anticipative
Strategy for the ASEAN Economic Community
Marsono
Peneliti Madya pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak Kebijakan membangun Indonesia dari Desa sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak akan pernah menafikkan peran strategis Kecamatan sebagai pembi-na kewilayahan di tingkat pemerintahan terbawah (akar rumput) dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang segera diberlakukan. Selanjutnya tantangan berat bagi Kecamatan saat ini adalah pelaksanaan perannya sebagai transformator dan akselerator bagi pemerintah desa dalam menghadapi MEA di tingkat lokal. Peran ini tentu menjadi sangat penting manakala Desa/Kelurahan harus dapat bersaing dengan beberapa negara di kawasan ASEAN, baik menyangkut produk-produk pertaniannya maupun terkait dengan tenaga kerjanya. Oleh karena itu, agar tenaga kerja dan ekonomi lokal memiliki daya saing yang baik dalam menghadapi pasar bebas ASEAN, maka Kecama-tan harus memiliki kapasitas untuk dapat melakukan perannya tersebut. Peran strategis yang harus dimainkan Kecamatan terkait dengan kesiapan Desa dalam menghadapi MEA, antara lain: (1) mem-fasilitasi desa untuk melakukan mapping (pemetaan) potensi unggulan; (2) penguatan pelaku usaha dan industri di desa; (3) mendorong dan memfasilitasi Desa untuk membentuk BUMDes (4) bantuan program pelatihan kewirausahaan, manajemen, pemasaran, teknik produksi modern, teknis penge-masan modern, bantuan peralatan, modal usaha, dan lainnya; (5) mendampingi desa untuk mening-katkan wawasan sumber daya manusia (SDM) pelaku UKM terhadap MEA; (6) mendorong dan men-dampingi para pelaku UMKM desa untuk menerapkan standarisasi atau sertifikasi produk-produk unggulannya, sehingga akan memiliki daya saing.
Kata Kunci: Penguatan kapasitas, daya saing dan MEA
Abstract
The spirit of “development from the villages” as brought by the Law Number 6 Year 2014 concerning
Village could not ignore the strategic role of Sub-district as the lowest level government, particularly
in anticipating the upcoming ASEAN Economic Community (AEC). One of the biggest challenges for
Sub-district administration is to play its role as the transformator and accelerator for village
administration in responding the threat of AEC. This role becomes strategic when villages are forced
to compete with their likes in ASEAN, both in terms of produces and labour. Therefore, to enhance
local labour and economy in the AEC, sub-districts has to improve its capacity. Some of sub-districts
role in anticipating the AEC are 1) facilitating villages to map their superior products; 2) strengthe-
ning local industry in villages; 3) facilitating villages to establish village-owned company; 4) sup-
porting villages through trainings on entrepreneurship, marketing, management, production, packa-
ging, as well as through subsidy and ease of capital; 5) advocating the potential businessmen in the
villages to enhance their knowledge regarding AEC; and 6) accelerating and advocating local busi-
nesses to comply with the international standards.
Keywords: capacity strengthening, competitiveness, AEC
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal
Marsono
108 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
A. PENDAHULUAN
Data empiris terkait dengan pembentuk-
an pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) atau pasar bebas Asia Tenggara
diawali dari KTT ASEAN di Bali Oktober
2003. Para Pemimpin ASEAN mendeklarasi-
kan bahwa Komunitas Ekonomi ASEAN
(KEA) merupakan tujuan integrasi ekonomi
regional (Bali Concord II) pada tahun 2020.
Selain KEA, Komunitas Keamanan ASEAN dan
Komunitas Sosial Budaya ASEAN merupakan
dua pilar integral lain dari komunitas ASEAN
yang akan dibentuk. Ketiga pilar tersebut
diharapkan dapat bekerja secara erat dalam
pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun
2020.
Selanjutnya pada pertemuan ke-38 Men-
teri Ekonomi ASEAN di Kuala Lumpur Malay-
sia pada Agustus 2006 telah bersepakat un-
tuk menyusun “Suatu Cetak Biru” yang terpa-
du untuk mempercepat pembentukan KEA.
Kemudian dilanjutkan dengan mengidentifi-
kasi berbagai karakteristik dan elemen KEA
pada tahun 2015 sesuai Bali Concord II, de-
ngan sasaran dan kerangka waktu yang jelas
dalam mengimplementasikan berbagai lang-
kah serta fleksibilitas yang telah disepakati
sebelumnya guna mengakomodir kepenting-
an seluruh negara anggota ASEAN.
Upaya percepatan implementasi pasar be-
bas ASEAN telah disepakati pada KTT ASEAN
Ke-12, dimana para pemimpin ASEAN mene-
gaskan komitmen yang kuat untuk memper-
cepat pembentukan Komunitas ASEAN pada
tahun 2015 sejalan dengan Visi ASEAN 2020
dan BALI Concord II, dan menandatangani
Cebu Declaration on Acceleration of the Esta-
blishment of an ASEAN Community by 2015.
Secara khusus, para pemimpin sepakat
untuk mempercepat pembentukan Komuni-
tas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan
mentranformasikan kawasan ASEAN menjadi
suatu kawasan dimana terdapat aliran bebas
barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja tram-
pil, serta aliran modal yang lebih bebas. Ter-
dapat Empat Pilar utama yang dijadikan pe-
doman dalam mencapai AEC 2015 yaitu:
a. Pilar Pertama ASEAN merupakan pasar
tunggal dengan basis produksi elemen
aliran adalah barang bebas, investasi, te-
naga kerja terampil, serta aliran modal.
b. Pilar Kedua ASEAN dengan daya saing
ekonomi tinggi, elemen yang digunakan
adalah peraturan kompetisi, perlindung-
an pelanggan (konsumen), HAKI, penge-
mbangan infrastruktur, serta perpajakan
dan e – commerce.
c. Pilar Ketiga ASEAN adalah pengembang-
an ekonomi merata, elemen yang diguna-
kan yaitu pengembangan UKM, serta pra-
karsa dari integrasi ASEAN kepada Nega-
ra Kambodia, Laos, Vietnam dan Myan-
mar ).
d. Pilar Keempat ASEAN kawasan integrasi
penuh terhadap ekonomi global. Elemen
yang digunakan yaitu dengan pendekat-
an yang koheren antara hubungan eko-
nomi kawasan luar ASEAN, serta pening-
katan dalam produksi global.
Percepatan pemberlakuan pasar bebas
Masyarakat Ekonomi ASEAN tersebut, dite-
ngarai hanya akan membuat Indonesia hebat
dalam menjadi konsumen. Kondisi tersebut
bukan tidak mungkin, mengingat kapasitas
SDM yang relatif rendah dan tidak memiliki
daya saing di lingkungan Negara-negara ang-
gota ASEAN. Sejalan dengan kondisi tersebut,
Faisal Basri (2014) menyatakan bahwa pasar
bebas tersebut tentu saja dapat menjadi hal
positif bagi kita jika kita mampu bersaing.
Namun, sebaliknya dapat merugikan kita jika
kita tidak mampu bersaing. Pasar bebas tentu
saja menguntungkan bagi para produsen
yang target pasarnya internasional. Lalu un-
tuk produsen dalam negeri, apakah sudah
siap menghadapi persaingan dengan produk
yang ditawarkan asing. Sudahkah siap SDM
kita bersaing dengan SDM asing yang mung-
kin lebih berkompeten daripada kita. Dalam
menghadapi pasar bebas 2015 nanti, masya-
rakat dan pemerintah perlu berbenah untuk
memperbaiki kualitas diri, agar mampu ber-
saing dengan asing dan mendapatkan manfa-
at sebanyak-banyaknya dari pasar bebas
2015 nanti.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 109
Terkait dengan penguatan kapasitas Keca-
matan sebagai strategi antisipasi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) di tingkat lokal, pada
hakekatnya adalah upaya yang sangat pen-
ting dimana dalam manajemen pemerintahan
menempatkan Kecamatan sebagai pembina
dan akselerator bagi Pemerintah Desa dan
Kelurahan dalam menghadapi MEA.
B. PERAN DAN KEDUDUKAN KECAMAT-
AN DALAM PEMERINTAHAN DAERAH
Pemerintah kecamatan merupakan ting-
kat pemerintahan yang mempunyai peranan
penting dalam pelaksanaan pelayanan terha-
dap masyarakat, hal ini yang kemudian men-
jadikan Camat sebagai ujung tombak dalam
pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintah-
an serta sebagian urusan otonomi yang di-
limpahkan oleh Bupati/Walikota untuk dilak-
sanakan dalam wilayah kecamatan.
Perubahan kedudukan kecamatan sejak
diberlakukannya kebijakan otonomi daerah
melalui pemberlakuan Undang-Undang No.
22 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui
dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ten-
tang Pemerintahan Daerah membawa dam-
pak berubahnya kedudukan kecamatan.
Kecamatan berubah dari Perangkat Kewi-
layahan yang menyelenggarakan fungsi-fung-
si dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
menjadi Perangkat Daerah Otonom, yang
membawa dampak pada kewenangan yang
dijalankan oleh camat. Camat selain mene-
rima kewenangan atributif yang melekat
dalam jabatannya, juga memperoleh kewena-
ngan delegatif dari pejabat atasannya (Bupa-
ti/Walikota).
Pelimpahan adalah proses menyerahkan
sebagian wewenang dari pejabat kepada pe-
jabat untuk melaksanakan sebagian urusan.
Mengapa pelimpahan kewenangan ini perlu
dilakukan? Dengan adanya pelimpahan ke-
wenangan, maka camat dapat memiliki “ru-
ang gerak” yang lebih luas untuk melakukan
berbagai upaya termasuk inovasi dalam pe-
nyelenggaraan pemerintahan terutama pela-
yanan kepada masyarakat. Pelimpahan we-
wenang ini sebenarnya merupakan upaya un-
tuk optimalisasi peran dan fungsi Kecamatan
dalam rangka meningkatkan pelayanan kepa-
da masyarakat. Hasil yang diharapkan adalah
terealisasikannya Kecamatan sebagai pusat
pelayanan masyarakat yang mudah, murah,
cepat dan berkualitas.
Dalam skema pelimpahan ini, kecamatan
sebagai SKPD dan koordinator wilayah ber-
fungsi mendukung pencapaian Standar Pela-
yanan Minimal (SPM) menuju peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Kecamatan juga
harus bekerjasama dengan unit-unit peme-
rintahan di lingkup kecamatan (seperti Pus-
kesmas, Cabang Dinas, UPTD, Sekolah, para
penyuluh). Kerjasama sinergi ini dimaksud-
kan agar kemampuan yang ada dapat diaku-
mulasi dalam rangka mendukung Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam mencapai SPM/Tar-
get Kinerja yang ditetapkan oleh Bupati.
Dalam kerangka itulah maka kecamatan
mendapatkan sejumlah pelimpahan kewena-
ngan seperti bidang: kesehatan, pendidikan
dasar, perizinan, pembinaan mukim dan
gampong (desa), serta perpajakan. Adapun
aspek yang dilimpahkan pada dasarnya ber-
fungsi untuk mengefektifkan koordinasi. Oleh
karena itu camat mendapatkan pelimpahan
kewenangan untuk: (a) fasilitasi, perencana-
an dan penganggaran, (b) koordinasi dan fa-
silitasi penyelenggaraan kegiatan dan moni-
toring pelaksanaan kegiatan, (c) pengawasan
kegaiatan yang dilakukan UPTD tingkat keca-
matan, (d) Fasilitasi Pengaduan Masyarakat,
dan (e) Evaluasi Kinerja Bidang yang dilim-
pahkan. Untuk memastikan efektifitas pelim-
pahan maka kecamatan bersama SKPD Kabu-
paten/Kota mendapatkan Target Kinerja.
Namun, tugas tersebut tidak dengan serta
merta memposisikan Camat sebagai kepala
wilayah seperti pada waktu lalu. Camat ber-
kedudukan dibawah dan bertanggungjawab
kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris
daerah. Tugas-tugas umum pemerintahan
yang diselenggarakan oleh Camat, meliputi:
(a) Mengkoordinasikan kegiatan pemberda-
yaan masyarakat; (b) Mengkoordinasikan
upaya penyelenggaraan ketentraman dan ke-
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal
Marsono
110 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
tertiban umum; (c) Mengkoordinasikan pe-
nerapan dan penegakan peraturan perun-
dang-undangan; (d) Mengkoordinasikan pe-
meliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum; (e) Mengkoordinasikan penyelengga-
raan kegiatan pemerintahan di tingkat keca-
matan; (f) Membina penyelenggaraan peme-
rintahan desa dan/atau kelurahan, dan; (g)
Melaksanakan pelayanan masyarakat yang
menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau
yang belum dapat dilaksanakan pemerintah-
an desa/kelurahan.
Selain melaksanakan tugas-tugas umum
pemerintahan Camat juga melaksanakan ke-
wenangan pemerintahan yang dilimpahkan
oleh pemerintahan di atasnya untuk mena-
ngani sebagian urusan otonomi daerah, yang
meliputi aspek perizinan, rekomendasi, koor-
dinasi, pembinaan, pengawasan, fasilitasi, pe-
netapan, penyelenggaraan, kewenangan lain
yang dilimpahkan. Pelimpahan sebagian we-
wenang ini dilakukan berdasarkan kriteria
ekternalitas dan efisiensi. Eksternalitas yang
dimaksud adalah adalah kriteria pelimpahan
urusan pemerintahan dengan memperhati-
kan dampak yang timbul sebagai akibat dari
penyelenggaraan suatu urusan pemerintah-
an. Apabila dampak yang ditimbulkan ber-
sifat internal kecamatan, maka urusan peme-
rintahan tersebut menjadi kewenangan ca-
mat. Sedangkan yang dimaksud dengan efisi-
ensi adalah kriteria pelimpahan urusan pe-
merintahan dengan memperhatikan daya gu-
na tertinggi yang dapat diperoleh dari penye-
lenggaraan suatu urusan pemerintahan di
lingkup kecamatan. Apabila urusan pemerin-
tahan lebih berdayaguna ditangani oleh keca-
matan, maka urusan tersebut menjadi kewe-
nangan camat.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Peme-
rintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
Pasal 98 ayat (2) dan Pasal 102, mengisya-
ratkan bahwa Camat wajib membina dan
mengawasi penyelenggaraan pemerintahan
desa dan lembaga kemasyarakatan. Pembina-
an dan pengawasan tersebut, meliputi: (1)
Memfasilitasi penyusunan peraturan desa
dan peraturan kepala desa; (2) Memfasilitasi
administrasi tata pemerintahan desa; (3)
Memfasilitasi pengelolaan keuangan desa
dan pendayagunaan aset desa; (4) Memfasi-
litasi pelaksanaan urusan otonomi daerah
Kabupaten/Kota yang diserahkan kepada
desa; (5) Memfasilitasi penerapan dan pene-
gakan peraturan perundangundangan; (6)
Memfasilitasi pelaksanaan tugas kepala desa
dan perangkat desa; (7) Memfasilitasi upaya
penyelenggaraan ketentraman dan ketertib-
an umum; (8) Memfasilitasi pelaksanaan tu-
gas, fungsi, dan kewajiban lembaga kemasya-
rakatan; (9) Memfasilitasi penyusunan pe-
rencanaan pembangunan partisipatif; (10)
Memfasilitasi kerjasama antar desa dan ker-
jasama desa dengan pihak ketiga; (11) Mem-
fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masya-
rakat desa; (12) Memfasilitasi kerja-sama an-
tar lembaga kemasyarakatan dan kerjasama
lembaga kemasyarakatan dengan pihak keti-
ga; (13) Memfasilitasi bantuan teknis dan
pendampingan kepada lembaga kemasyara-
katan; dan (14) Memfasilitasi koordinasi unit
kerja pemerintahan dalam pengembangan
lembaga kemasyarakatan.
Sehingga dalam hal penyelenggaraan
pembinaan dan pengawasan pemerintahan
desa, Camat mempunyai peranan yang sangat
penting, karena dalam hirarki pemerintahan
kecamatan merupakan salah satu lembaga
supra desa, yang mana salah satu tugasnya
adalah melakukan pembinaan dan pengawa-
san terhadap pemerintahan desa/kelurahan
dalam rangka tertib administrasi pemerinta-
han.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2008 tentang Kecamatan, maka dapat dijelas-
kan bahwa tugas Camat dalam melaksanakan
pembinaan dan pengawasan pemerintahan
desa, meliputi:
a. Melakukan pembinaan dan pengawasan
tertib administrasi pemerintahan desa
dan/atau kelurahan; Dalam menjalankan
perannya Camat juga melakukan pembi-
naan dan pengawasan terhadap adminis-
trasi pemerintahan desa dan/atau kelu-
rahan dalam rangka tertib administrasi
pemerintahan, seperti dalam proses
pembuatan peraturan desa, peraturan
kepala desa, maupun keputusan kepala
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 111
desa, sehingga produk hukum dimaksud
tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Memberikan bimbingan, supervisi, fasili-
tasi, dan konsultasi pelaksanaan admi-
nistrasi desa dan/atau kelurahan; Selain
melaksanakan pembinaan dan pengawa-
san tertib administrasi pemerintahan
desa, Camat juga memberikan bimbing-
an, supervisi, fasilitasi dan konsultasi
yang berkaitan dengan pelaksanaan ad-
ministrasi desa dan/atau kelurahan.
c. Melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap kepala desa dan/atau lurah; Ca-
mat juga melakukan pembinaan dan pe-
ngawasan terhadap kinerja kepala desa,
meskipun secara de jure kepala desa bu-
kan merupakan bawahan dari Camat ka-
rena kepala desa dipilih secara langsung
oleh masyarakat, akan tetapi wilayah
kerja kepala desa berada dalam wilayah
kecamatan sehingga Camat dapat mela-
kukan pembinaan dan pengawasan ter-
hadap kepala desa walaupun hanya ber-
sifat koordinatif.
d. Melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap perangkat desa dan/atau kelu-
rahan; Selain melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap kepala desa, Ca-
mat juga melaksanakan tugas pembinaan
dan pengawasan terhadap perangkat de-
sa dan/atau kelurahan.
e. Melakukan evaluasi penyelenggaraan pe-
merintahan desa dan/atau kelurahan di
tingkat kecamatan; Camat juga berkewa-
jiban melakukan evaluasi terhadap pe-
nyelenggaraan pemerintahan desa dan/
atau kelurahan pada tingkat kecamatan,
agar dapat mengetahui sampai sejauh
mana tugas-tugas pemerintahan, pelaya-
nan dan pembangunan terhadap masya-
rakat yang telah dilaksanakan.
f. Melaporkan pelaksanaan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pemerin-
tahan desa dan/atau kelurahan di tingkat
kecamatan kepada Bupati/Walikota.
C. KONSEPSI KAPASITAS DAN PENGUAT-
AN KAPASITAS
Pengertian kapasitas menurut UNDP
1998, disebutkan bahwa “kapasitas adalah
kemampuan individu dan organisasi atau
unit-unit organisasi untuk melaksanakan tu-
gas pokok dan fungsinya secara efektif, efisi-
en, dan berkelanjutan. Kapasitas juga dapat
diartikan dalam konteks sistem dimana suatu
entitas bekerja untuk mencapai tujuan ber-
sama berdasarkan proses dan aturan-aturan
baku tertentu.”
Pengertian kapasitas berdasarkan Mc
Nair C.J (1994) yang dikutip oleh Mutiara S.
tahun 2013, mendefinisikan kapasitas seba-
gai sumber daya yang dimiliki oleh perusaha-
an yang siap untuk digunakan yang dapat
menggambarkan potensi keuntungan yang
akan didapatkan oleh perusahaan pada masa
mendatang. Mc Nair C.J dan Vangermeersch
(1998) mendefinisikan kapasitas sebagai ke-
mampuan dari suatu organisasi atau perusa-
haan untuk menciptakan nilai dimana ke-
mampuan tersebut didapatkan dari berbagai
jenis sumber daya yang dimiliki oleh perusa-
haan.
Menurut Chase (2001), definisi kapasitas
dalam konteks manajemen operasi sebaiknya
didefinisikan sebagai, “The amount of resour-
ce inputs available relative to output require-
ments over a particular period of time”. Ber-
dasar definisi tersebut maka disimpulkan
bahwa kapasitas adalah kemampuan penge-
lolaan sumberdaya yang ada untuk mengha-
silkan hasil akhir yang sesuai dengan kebutu-
han pelanggan dalam kerangka waktu terten-
tu.
Definisi kapasitas menurut Hilton, Maher
dan Selto (2003) adalah ukuran dari kemam-
puan proses produksi dalam mengubah sum-
ber daya yang dimiliki menjadi suatu produk
atau jasa yang akan digunakan oleh konsu-
men.
Selanjutnya terkait dengan penguatan
atau pengembangan kapasitas secara termi-
nologi masih terjadi adanya perbedaaan pen-
dapat, sebagian orang merujuk kepada
pengertian dalam konteks kemampuan
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal
Marsono
112 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
(pengetahuan, keterampilan) sebagian lagi
mengartikan kapasitas dalam konteks yang
lebih luas termasuk di dalamnya soal sikap
dan perilaku. Dalam hal ini yang akan kita ba-
has adalah kapasitas yang terkait dengan ma-
nusia dan juga sistem yang ada di sekitarnya,
kapasitas yang dapat pula diartikan sebagai
kemampuan manusia, kemampuan institusi
dan juga kemampuan sistemnya.
Pengembangan kapasitas secara umum
ditujukan agar individu, organisasi maupun
juga sistem yang ada dapat dipergunakan se-
cara efektif dan efisien untuk mencapai tuju-
an dari individu maupun organisasi tersebut.
Sedangkan dalam konteks kekinian, pengem-
bangan kapasitas ditujukan terutama untuk
menciptakan tata kepemerintahan yang baik
atau yang lebih dikenal dengan good gover-
nance. Suatu kondisi kepemerintahan yang
yang dicita-citakan semua pihak dan mampu
menjawab persoalan-persoalan dunia saat
ini.
Terkait dengan pengertian pengembang-
an kapasitas, A9CBF (2001) menyatakan bah-
wa peningkatan kapasitas dapat didefinisikan
sebagai sebuah proses untuk meningkatkan
kemampuan individu, kelompok, organisasi,
komunitas atau masyarakat untuk mengana-
lisa lingkungannya; mengidentifikasi masa-
lah-masalah, kebutuhan-kebutuhan, isu-isu
dan peluang-peluang; memformulasi strate-
gi-strategi untuk mengatasi masalah-masa-
lah, isu-isu dan kebutuhan-kebutuhan terse-
but, dan memanfaatkan peluang yang rele-
van. merancang sebuah rencana aksi, serta
mengumpulkan dan menggunakan secara
efektif, dan atas dasar sumber daya yang ber-
kesinambungan untuk mengimplementasi-
kan, memonitor, dan mengevaluasi rencana
aksi tersebut, serta memanfaatkan umpan
balik sebagai pelajaran.
Selanjutnya Riyadi Soeprapto lebih mene-
kankan mengenai konsepsi pengembangan
kapasitas pada: (1) Pengembangan sumber
daya manusia; training, rekruitmen dan pe-
mutusan pegawai profesional, manajerial dan
teknis; (2) Keorganisasian, yaitu pengaturan
struktur, proses, sumber daya dan gaya ma-
najemen; (3) Jaringan kerja (network), beru-
pa koordinasi, aktifitas organisasi, fungsi net-
work, serta interaksi formal dan informal; (4)
Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule)
dan undang-undang (legislation) yang me-
ngatur pelayanan publik, tanggung jawab dan
kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang
menjadi hambatan bagi development tasks,
serta dukungan keuangan dan anggaran; (5)
Lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meli-
puti faktor-faktor politik, ekonomi dan situ-
asi-kondisi yang mempengaruhi kinerja.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengertian
Pengembangan Kapasitas, yaitu: (1) Pengem-
bangan kapasitas bukanlah produk, melain-
kan sebuah proses; (2) Pengembangan kapa-
sitas adalah proses pembelajaran multi-ting-
katan meliputi individu, grup, organisasi, dan
sistem; (3) Pengembangan kapasitas meng-
hubungkan ide terhadap sikap; dan (4) Pe-
ngembangan kapasitas dapat disebut sebagai
actionable learning dimana pengembangan
kapasitas meliputi sejumlah proses-proses
pembelajaran yang saling berkaitan, akumu-
lasi benturan yang menambah prospek untuk
individu dan organisasi agar secara terus me-
nerus beradaptasi atas perubahan.
Sedangkan UNDP memfokuskan pada tiga
dimensi, yaitu: (1) Tenaga kerja (dimensi hu-
man resources), yaitu kualitas SDM dan cara
SDM dimanfaatkan; (2) Modal (dimensi fisik),
menyangkut sarana material, peralatan, ba-
han-bahan yang diperlukan dan ruang/ge-
dung; (3) Teknologi, yaitu organisasi dan ga-
ya manajemen, fungsi perencanaan, penentu-
an kebijakan, pengendalian dan evaluasi, ko-
munikasi, serta sistem informasi manajemen.
Secara umum pengembangan kapasitas
dilakukan secara berjenjang pada 3 (tiga)
area sebagai berikut: (1) area individual; (2)
area organisasi; dan (3) area sistem atau ling-
kungan strategik. Terkait hal tersebut, Riyadi
Soeprapto (2010) menyatakan bahwa penge-
mbangan kapasitas dilaksanakan dalam ber-
bagai tingkatan dengan skema sebagai beri-
kut:
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 113
Gambar 1. Skema Pengembangan Kapasitas
Berdasarkan skema tersebut, dapat terli-
hat bahwa pengembangan kapasitas harus
dilaksanakan secara efektif dan berkesinam-
bungan pada 3 (tiga) tingkatan-tingkatan, ya-
itu: (1) Tingkatan sistem, seperti kerangka
kerja yang berhubungan dengan pengaturan,
kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang
mendukung pencapaian obyektivitas kebijak-
an tertentu; (2) Tingkatan institusional atau
keseluruhan satuan. Contohnya adalah struk-
tur organisasi-organisasi, proses pengambi-
lan keputusan di dalam organisasi-organisasi,
prosedur dan mekanisme-mekanisme peker-
jaan, pengaturan sarana dan prasarana, hu-
bungan-hubungan dan jaringan-jaringan or-
ganisasi; (3) Tingkatan individual, contohnya
ketrampilan-ketrampilan individu dan per-
syaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah
laku, pengelompokan pekerjaan dan motiva-
si-motivasi dari pekerjaan orang-orang di da-
lam organisasi-organisasi.
D. PENGUATAN KAPASITAS KECAMATAN
KEDEPAN
Berdasarkan konsepsi dan lingkup penge-
mbangan kapasitas sebagaimana tersebut di
atas, maka penguatan kapasitas Kecamatan
tentu saja juga mencakup paling tidak 3 (tiga)
aspek, yaitu pada aspek: (1) individu; (2)
organisasi; dan (3) sistem atau lingkungan
strategis, sesuai dengan Panduan Pengemba-
ngan Kapasitas INAGARA (2015) sebagai be-
rikut:
1. Dalam konteks individual, adalah pe-
ningkatan penerapan pengetahuan dan
wawasan, pengalaman, keterampilan dan
keahlian, serta pembentukan sikap dan
perilaku kerja serta motivasi penyeleng-
gara pemerintah dalam menunjang pe-
laksanaan kinerja organisasi dan penye-
lenggaraan pemerintahan negara. Penge-
mbangan kapasitas individu dapat dilak-
sanakan dengan proses pembelajaran,
berbagi pengetahuan dan pengalaman,
penyelenggaraan pendidikan formal, pe-
latihan dan kursus, seminar, magang,
mentoring, pembinaan, pendampingan
serta coaching clinic yang mendukung tu-
gas dan fungsi.
2. Dalam konteks organisasi, pengemba-
ngan kapasitas organisasi tentu lebih di-
arahkan pada: (1) peningkatan kapasitas
struktur organisasi yang efisien dan pro-
porsional dalam menunjang pelaksanaan
kinerja; (2) Pelaksanaan proses pengam-
bilan keputusan yang melibatkan partisi-
pasi setiap elemen dalam organisasi; (3)
Penerapan Standard Operating Procedu-
res (SOP) dan mekanisme kerja sebagai
panduan dalam melaksanakan tugas dan
fungsi; (4) Peningkatan kapasitas dan pe-
ngaturan sarana dan prasarana yang me-
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal
Marsono
114 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
madai serta sesuai dengan kebutuhan
kerja; (5) Peningkatan hubungan dan ja-
ringan kerja dalam organisasi; (6) Pe-
ningkatan budaya kerja organisasi yang
berbasis kualitas dalam rangka memba-
ngun daya saing. Pengembangan Kapasi-
tas Organisasi Kecamatan dilaksanakan
dengan cara: (1) Penataan struktur orga-
nisasi yang dilakukan dengan mengeva-
luasi kelembagaan organisasi saat ini dan
menyesuaikan dengan tugas dan fungsi
yang dilakukan; (2) Pembenahan pola
dan metode pelibatan dan partisipasi pe-
gawai dalam pengambilan keputusan
organisasi; (3) Penetapan Standard Ope-
rating Procedures (SOP) dan mekanisme
kerja sehingga dapat dijadikan panduan
dalam melaksanakan pekerjaan; (4) Pe-
nyediaan sarana dan prasarana yang da-
pat menunjang pelaksanaan pekerjaan;
(5) Perbaikan mekanisme hubungan dan
jaringan kerja yang mendukung tercapai-
nya tujuan organisasi; dan (6) Internali-
sasi nilai-nilai ASN dalam pembangunan
budaya kerja organisasi yang inovatif.
3. Dalam konteks sistem atau lingkung-
an strategis, peningkatan kapasitas de-
ngan menyiapkan kerangka kerja lingku-
ngan strategis yang berhubungan dengan
aturan, kebijakan dan kepentingan stake-
holders; Penyusunan aturan dan kebijak-
an berdasarkan prinsip-prinsip good go-
vernance dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; Pe-
ningkatan peran serta stakeholders da-
lam setiap penentuan arah kebijakan. Pe-
ngembangan Kapasitas Lingkungan Stra-
tegis dilaksanakan dengan cara penyusu-
nan kerangka kerja yang berhubungan
dengan aturan, kebijakan dan partisipasi
stakeholders; Perbaikan metode dan me-
kanisme penyusunan aturan dan kebijak-
an; Pembenahan mekanisme pelibatan
partisipasi stakeholders dalam penyusu-
nan setiap aturan dan kebijakan.
E. PERAN STRATEGIS KECAMATAN DA-
LAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
(MEA) DI TINGKAT LOKAL
Strategi membangun Indonesia dari Desa/
Kelurahan sebagaimana diamanatkan Un-
dang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, tidak akan pernah menafikkan peran
strategis Kecamatan sebagai Pembina kewila-
yahan di tingkat pemerintahan terbawah
(akar rumput). Menurut Undang-Undang No-
mor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah pada pasal 209 dijelaskan bahwa Ke-
camatan adalah perangkat daerah Kabupa-
ten/kota, dimana dinyatakan bahwa Perang-
kat Daerah kabupaten/kota terdiri atas: (a)
Sekretariat Daerah; (b) Sekretariat DPRD; (c)
Inspektorat; (d) Dinas; (e) Badan; dan (f) Ke-
camatan.
Selanjutnya terkait dengan Kedudukan
Kecamatan dijelaskan pada pasal 221 sebagai
berikut: (1) Daerah kabupaten/kota mem-
bentuk Kecamatan dalam rangka meningkat-
kan koordinasi penyelenggaraan pemerintah-
an, pelayanan publik, dan pemberdayaan ma-
syarakat Desa/kelurahan; (2) Kecamatan se-
bagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
dengan Perda Kabupaten/Kota berpedoman
pada peraturan pemerintah; (3) Rancangan
Perda Kabupaten/Kota tentang pembentukan
Kecamatan yang telah mendapatkan persetu-
juan bersama bupati/walikota dan DPRD ka-
bupaten/kota, sebelum ditetapkan oleh bu-
pati/walikota disampaikan kepada Menteri
melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat untuk mendapat persetujuan.
Jadi Kecamatan dibentuk dalam rangka
meningkatkan koordinasi penyelenggaraan
pemerintahan artinya dengan adanya Keca-
matan, Camat sebagai pimpinan tertinggi di
Kecamatan harus dapat mengkoordinasikan
semua urusan pemerintahan di Kecamatan,
kemudian juga Camat harus memberikan pe-
layanan publik di Kecamatan dan juga pem-
berdayaan masyarakat Desa/Kelurahan. Sela-
njutnya Kecamatan dibentuk cukup dengan
Peraturan Daerah, dengan berpedoman pada
Peraturan Pemerintah. Namun Rancangan
Perda tentang pembentukan Kecamatan ter-
sebut sebelumnya harus mendapat persetu-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 115
juan bersama antara Bupati/Walikota disam-
paikan kepada Menteri melalui Gubernur un-
tuk mendapat persetujuan.
Berkaitan dengan implementasi MEA pa-
da akhir Tahun 2015 ini, sesungguhnya pe-
ran aktif Kecamatan dalam menstransformasi
Desa/Kelurahan dalam menghadapi pasar
bebas ASEAN di tingkat lokal sungguh sangat
vital. Peran ini tentu menjadi sangat penting
manakala Desa/Kelurahan harus dapat ber-
saing dengan beberapa Negara di kawasan
ASEAN baik menyangkut produk-produk per-
taniannya maupun terkait dengan tenaga
kerjanya. Oleh karena itu, agar tenaga kerja
dan ekonomi lokal memiliki daya saing yang
baik dalam menghadapi pasar bebas ASEAN,
maka Kecamatan harus memiliki kapasitas
untuk dapat melakukan perannya tersebut.
Sebagai akselerator implementasi MEA di
tingkat lokal, maka aparatur Kecamatan juga
perlu diberikan pemahaman secara kompre-
hensif terhadap agenda dan program-pro-
gram pelaksanaan pasar bebas ASEAN ini,
sehingga peran strategis Kecamatan dapat
dipahami secara jelas oleh seluruh unsur
aparatur Kecamatan. Beberapa agenda utama
MEA, yaitu: (1) Single Market and Production
Base (Pasar Tunggal Berbasis Produksi; (2)
Competitive Economic Region (Kawasan Eko-
nomi yang Kompetitif); (3) Equitable Econo-
mic Development (Pembangunan Ekonomi
yang Setara); dan (4) Integration into the
Global Economy (Integrasi Ke Dalam Ekonomi
Global). Dari 176 kegiatan, pembagiannya
terdiri dari 4 kebijakan, 17 strategi, dan 65
program. Berdasarkan jumlah 176 kegiatan,
dan 4 agenda utama sebagaimana tersebut di
atas, maka pembagiannya adalah untuk
Single Market and Production Base (Pasar
Tunggal Berbasis Produksi), terdiri dari 5
plus 2 bagian, yakni Free flow of goods (aliran
bebas barang), Free flow of services (aliran
bebas sektor jasa), Free flow of investment
(aliran bebas investasi), Free flow of capital
(aliran modal yang lebih bebas), Free flow of
skilled labor (aliran bebas lalu lintas tenaga
kerja terampil), Priority Integration Sectors
(sektor integrasi prioritas), Food, agriculture
and forestry (Pangan, Pertanian, dan kehuta-
nan).
Dengan memahami secara komprehensif
MEA, peran kecamatan menjadi jelas pada
kegiatan apa, program apa, strategi apa dan
kebijakan apa dapat dipetakan dengan jelas.
Sebagai ilustrasi bagaimana kecamatan me-
miliki peran strategis dalam implementasi
MEA konkritnya adalah, misalnya, dalam Free
flow of services (aliran bebas sektor jasa),
maka tidak ada hambatan bagi pemasok jasa
dalam menyediakan jasa apapun lintas nega-
ra; dan aturan tidak membatasi pendirian
perusahaan lintas batas. Bila kondisi ini dite-
rapkan, siapa saja bisa membuka jasa apa
saja, dalam level kecamatan dikhawatirkan
akan menimbulkan benturan karena faktor
adat, budaya, agama, kebiasaan, dan tradisi
setempat. Untuk itu kecamatan perlu meng-
antisipasi dengan berbagai kebijakan yang
diperlukan, sosialisasi, strategi yang diper-
lukan, keterlibatan para tokoh masyarakat,
tokoh agama, pemuda, wanita, adat, dan lain-
lain.
Demikian juga untuk free flow of skilled
labor. Bebas visa dan ijin bekerja bagi para
profesional dan tenaga kerja terlatih ASEAN
menjadi salah satu kesepakatan. Untuk itu
kecamatan memiliki peran strategis agar ti-
dak terjadi gesekan dengan tenaga kerja lo-
kal. Untuk itu peningkatan keterampilan te-
naga kerja di Desa/Kelurahan di lingkungan
wilayah kerja masing-masing Kecamatan
menjadi keniscayaan. Dari dua contoh ilus-
trasi di atas, dapat menggambarkan peran
konkrit Kecamatan dalam rangka implemen-
tasi MEA di tingkat lokal. Untuk selanjutnya,
masing-masing Kecamatan perlu menyusun
peta kegiatan, program, strategi dan kebija-
kan secara jelas untuk seluruh kegiatan MEA,
sehingga Kecamatan memiliki peran konkrit
dalam mengantisipasi implementasi MEA di
tingkat lokal.
Agar pengembangan kapasitas Kecamatan
dapat link and match dengan kebutuhan Desa
dalam menghadapi MEA, maka Desa juga ha-
rus didorong untuk lebih proaktif terkait de-
ngan kesiapan Desa/Kelurahan dalam meng-
hadapi MEA, misalnya:
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal
Marsono
116 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
1. Desa didorong untuk melakukan map-
ping (pemetaan) potensi unik dan lokal
untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai
potensi unggulan atau produk unggulan
lokal;
2. Desa didorong untuk melakukan pengua-
tan pelaku usaha dan industri di desa
yang rata-rata merupakan usaha rumah
tangga dan industri kecil menengah
(UKM/IKM) dalam hal akses permodalan,
pemasaran, teknologi dan sumber daya
manusia;
3. Desa didorong untuk segera membentuk
BUMDes. Karena melalui BUMDes ini
dana desa dapat dikelola secara produk-
tif untuk menggerakkan ekonomi desa
demi meningkatkan kesejahteraan ma-
syarakat desa;
4. Bantuan program pelatihan kewirausa-
haan, manajemen, pemasaran, teknik
produksi modern, teknis pengemasan
modern, bantuan peralatan, modal usaha,
dan lainnya bagi masyarakat desa;
5. Desa didorong untuk meningkatkan wa-
wasan sumber daya manusia (SDM) pela-
ku UKM terhadap MEA, peningkatan efi-
siensi produksi dan manajemen usaha,
peningkatan daya serap pasar produk
UKM lokal dan penciptaan iklim usaha
yang kondusif;
6. Desa didorong untuk mendampingi para
pelaku UMKM Desa untuk menerapkan
standarisasi atau sertifikasi produk-pro-
duk unggulannya, sehingga akan memili-
ki daya saing.
F. PENUTUP
Upaya membangun Indonesia dari Desa
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tidak
akan pernah menafikkan peran strategis Ke-
camatan sebagai Pembina kewilayahan di
tingkat pemerintahan terbawah (akar rum-
put). Selanjutnya berkaitan dengan pelaksa-
naan MEA pada akhir Tahun 2015, sesung-
guhnya peran aktif Kecamatan dalam men-
transformasi Desa/Kelurahan dalam meng-
hadapi pasar bebas ASEAN di tingkat lokal
sungguh sangat vital. Peran ini tentu menjadi
sangat penting manakala Desa/Kelurahan ha-
rus dapat bersaing dengan beberapa Negara
di kawasan ASEAN baik menyangkut produk-
produk pertaniannya maupun terkait dengan
tenaga kerjanya. Oleh karena itu, agar tenaga
kerja dan ekonomi lokal memiliki daya saing
yang baik dalam menghadapi pasar bebas
ASEAN, maka Kecamatan harus memiliki
kapasitas untuk dapat melakukan perannya
tersebut.
Adapun peran strategis yang harus dima-
inkan Kecamatan terkait dengan kesiapan
Desa/Kelurahan dalam menghadapi MEA, se-
bagaimana telah di uraikan di atas adalah: (1)
memetakan kegiatan sebagai respon terha-
dap implementasi seluruh agenda utama
MEA; (2) menyusun program kerja; (3) me-
rancang strategi dan kebijakan secara jelas
untuk seluruh kegiatan MEA, sehingga Keca-
matan memiliki peran konkrit dalam meng-
akselerasi Desa/Kelurahan dalam menghada-
pi MEA di tingkat lokal. Disamping itu, agar
Desa/Kelurahan melakukan upaya-upaya
proaktif secara mandiri dalam mengantisipa-
si pasar bebas ASEAN ini, maka yang perlu di-
lakukan Kecamatan antara lain: (1) Desa di-
dorong untuk melakukan mapping (pemeta-
an) potensi unik dan lokal untuk dikembang-
kan lebih lanjut sebagai potensi unggulan
atau produk unggulan lokal; (2) Desa dido-
rong untuk melakukan penguatan pelaku
usaha dan industri di desa yang rata-rata
merupakan usaha rumah tangga dan industri
kecil menengah (UKM/IKM) dalam hal akses
permodalan, pemasaran, teknologi dan sum-
ber daya manusia; (3) Desa didorong untuk
segera membentuk BUMDes. Karena melalui
BUMDes ini dana desa dapat dikelola secara
produktif untuk menggerakkan ekonomi de-
sa demi meningkatkan kesejahteraan masya-
rakat desa; (4) Bantuan program pelatihan
kewirausahaan, manajemen, pemasaran, tek-
nik produksi modern, teknis pengemasan
modern, bantuan peralatan, modal usaha,
dan lainnya bagi masyarakat desa; (5) Desa
didorong untuk meningkatkan wawasan
sumber daya manusia (SDM) pelaku UKM
terhadap MEA, peningkatan efisiensi produk-
si dan manajemen usaha, peningkatan daya
serap pasar produk UKM lokal dan pencipta-
an iklim usaha yang kondusif; (6) Desa dido-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 117
rong untuk mendampingi para pelaku UMKM
Desa untuk menerapkan standarisasi atau
sertifikasi produk-produk unggulannya, sehi-
ngga akan memiliki daya saing.
Agar peran strategis Kecamatan dalam
mengakselerasi Desa untuk dapat bersaing
dalam pelaksanaan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) di local state, maka diperlukan
penguatan atau pengembangan kapasitas Ke-
camatan dalam 3 (tiga) cakupan, yaitu: (1)
penguatan individu; (2) penguatan organisa-
si; dan (3) penguatan sistem atau lingkungan
strategis.
G. DAFTAR PUSTAKA
African Capacity Building Foundation
(ACBF), 2001, Capacity Needs Assess-
ment: A Conceptual Framework, ACBF
Newsletter, Vol.2, p. 9-12.
Anwar Syarif, (2013) Pengembangan Kapasi-
tas Sumber Daya Manusia, Artikel
Umum, Mei 2013.
Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN
(ASEAN Economic Community Blue-
print), Direktorat Jenderal Kerjasama
ASEAN Departemen Luar Negeri RI
2009.
Didik Herdiana, Konsep Umum Pengembang-
an Kapasitas, Sabtu, 11 Agustus 2012.
Lembaga Administrasi Negara, Panduan Pe-
ngembangan Kapasitas Inovasi Admi-
nistrasi Negara (Inagara) Jakarta,
2015.
Marwan Jafar, Hadapi Pasar Bebas ASEAN,
Daya Saing Desa Perlu Ditingkatkan,
Kompas, 28 Januari 2015.
Marwan Jafar, Sambut MEA, Menteri (Men-
des PDTT) Benahi UMKM Desa De-
ngan Program Peningkatan Daya Sa-
ing, Jurnal Pewarta, 28 Januari 2015.
Mutiara S. Pengembangan Kapasitas Organi-
sasi (Capasity Building), Universitas
Airlangga, Surabaya, 2013.
http:/mutiara-fisip11.web.unair.ac.id
Riyadi Soeprapto,The Capacity Building For
Lokal Government Toward Good Go-
vernance, Word Bank
http://www.tempo.co/read/news/2014/06
/25/090587919/Faisal-Basri-MEA-
Bukan-Ancaman-Ekonomi-ASEAN.
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kp
i/Umum/Setditjen/Buku%20Menuju
%20ASEAN%20ECONOMIC%20COM
MUNITY%202015.pdf
http://www.kompasiana.com/sutardjo/tant
angan-desa-menuju-masyarakat-
ekonomi-asean-mea-
2015_54f42ff77455139e2b6c87fc
http://www.kamusbesar.com/17613/kapasi
tas,Konsep Umum Pengembangan Ka-
pasitas.
Penguatan Kapasitas Kecamatan: Strategi Antisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN di Tingkat Lokal
Marsono
118 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 119
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Development of BUMDes in Maintaining Village Autonomy in Facing ASEAN
Economic Community
Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
Peneliti Pertama pada Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mempunyai tujuan untuk membentuk ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi, hal ini untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi dan maju. Bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi MEA sampai level desa. BUMDes sebagai penggerak ekonomi desa harus mengembangkan kapasitas sehingga da-pat menjaga kemandirian desa dalam menghadapi MEA. Tujuan dari tulisan ini adalah: 1) melihat kondisi realitas BUMDes saat ini; 2) mengetahui peluang dan tantangan BUMDes di era MEA; dan 3) mengetahui upaya-upaya pengembangan BUMDes. Langkah-langkah pengembangan BUMDes dalam upaya peningkatan kapasitas antara lain: 1) penataan kelembagaan desa; 2) pengelolaan BUMDes di-lakukan dengan profesional, kooperatif, independen dan efektif; 3) peningkatan peran, koordinasi dan kerjasama; dan 4) Memahami kebutuhan masyarakat desa terhadap BUMDes.
Kata Kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), BUMDes, Desa
Abstract
The ASEAN Economic Community (AEC) has objectives to turn ASEAN into a single market and
production base, and to make ASEAN as a highly competitive and advanced economic region.
Indonesia has to be well prepared to face the challenges that AEC brought, from the central
government to the village level. BUMDes as a driver of the rural economy must develop its capacity so
as to keep the village survive in the free-market competition of the AEC. This paper aims at: 1)
describing the situation faced by BUMDes; 2) exploring the opportunities and challenges for BUMDes
in the AEC; 3) developing strategy for BUMDes in coping with the AEC. Steps that need to be done to
enhance BUMDes capacity for the AEC being 1) changing institutional arrangement of village
administration; 2) creating professional, cooperative, and independent BUMDes management; 3)
Increasing BUMDes’ role and partnership; and 4) contextualising BUMDes business with the need of
village residents.
Keywords: ASEAN Economic Community (AEC), BUMDes, Village
A. LATAR BELAKANG
Implementasi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) secara umum mempunyai tu-
juan untuk membentuk kawasan ASEAN
sebagai pasar tunggal dan basis produksi
yang menggerakkan pelaku usaha sehingga
menjadikan regional ini sebagai kawasan
ekonomi perdagangan yang berdaya saing
tinggi, unggul dan maju. Selain itu pembentu-
kan MEA juga didasari persiapan menghada-
pi persaingan ekonomi dan perdagangan glo-
bal melawan invasi dagang negara-negara la-
in, terutama India dan China. ASEAN mempu-
nyai tekad untuk segera meningkatkan pertu-
mbuhan perekonomian dan daya saing antar
negara ASEAN dalam menghadapi berbagai
usaha dan persaingan global. Negara di kawa-
san ASEAN diharapkan bukan hanya sebagai
penonton dalam kancah persaingan global
melainkan juga sebagai pemain dan berparti-
sipasi aktif dalam arus perdagangan dunia.
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
120 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Menurut Edi Kuntadi, ada 4 (empat) hal
penting dalam MEA. Pertama, implementasi
MEA berpotensi menjadikan Indonesia seke-
dar pemasok energi dan bahan baku bagi in-
dustrialisasi di kawasan ASEAN, sehingga
manfaat yang diperoleh dari kekayaan sum-
ber daya alam minimal. Kedua, melebarnya
defisit perdagangan jasa seiring peningkatan
perdagangan barang. Ketiga, implementasi
MEA juga akan membebaskan aliran tenaga
kerja sehingga harus mengantisipasi dengan
menyiapkan strategi karena potensi memba-
njirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) akan ber-
dampak pada naiknya remitansi TKA yang
saat ini pertumbuhannya lebih tinggi dari-
pada remitansi TKI. Akibatnya, ada beban ta-
mbahan yaitu dalam menjaga neraca transak-
si berjalan dan mengatasi masalah pengang-
guran. Keempat, implementasi MEA akan
mendorong masuknya investasi ke Indonesia
dari dalam dan luar ASEAN.
Melihat kondisi di atas, MEA dapat mem-
berikan dampak yang signifikan jika bangsa
Indonesia belum siap dibandingkan dengan
negara lain, misalnya hilangnya pasar produk
ekspor bangsa Indonesia jika tidak siap ber-
saing dengan harga dan kualitas negara lain
di ASEAN. Kemudian bergabungnya tenaga
kerja asing dari luar negeri akan menggeser
peran tenaga kerja Indonesia. Dan, dampak
utamanya adalah banyaknya produk impor
negara ASEAN lain yang akan membanjiri pa-
sar dalam negeri, yang akan berakibat pada
matinya usaha-usaha di dalam negeri baik
pada skala lokal, regional maupun nasional.
Persiapan bangsa Indonesia jangan sam-
pai tertinggal dari negara lain di kawasan
ASEAN dalam menghadapi MEA. Dari tingkat
pusat sampai daerah harus bergerak ber-
sama untuk mempersiapkan diri dalam
menyongsong era MEA 2015. Setiap daerah
di Indonesia harus menyiapkan diri sedini
mungkin dalam menghadapi MEA. Kesiapan
ini bisa dilihat melalui upaya peningkatan
daya saing produk lokal daerah di berbagai
sektor, tidak terkecuali sampai dengan ling-
kup desa.
Desa saat ini merupakan garda terdepan
pembentuk perekonomian suatu daerah dan
bukan hanya sebagai suatu bentuk lembaga
pemerintahan saja. Sebagai lembaga peme-
rintahan selama ini, desa hanya merupakan
bagian terdepan dalam memberikan pelayan-
an kepada masyarakat desa. Tetapi paradig-
ma tersebut harus diubah dimana desa harus
dipergunakan sebagai penggerak roda pere-
konomian di daerah. Di level desa ini perlu
digerakkan Badan Usaha Milik Desa (BUM-
Des) yang bisa dipakai sebagai motor peng-
gerak strategis dalam perekonomian di dae-
rah.
BUMDes adalah usaha desa yang diben-
tuk/didirikan oleh pemerintah desa yang ke-
pemilikan modal dan pengelolaannya dilaku-
kan oleh pemerintah desa dan masyarakat.
BUMDes menjadi wadah pemerintah desa
dan warganya yang secara proporsional me-
laksanakan program pemberdayaan pereko-
nomian di tingkat desa. Tujuan pendirian
BUMDes secara umum adalah: (1) mening-
katkan sumber Pendapatan Asli Desa (PA-
Des); (2) memberikan pelayanan terhadap
kebutuhan masyarakat; (3) meningkatkan
kesempatan berusaha dan mengurangi pe-
ngangguran di desa; (4) meningkatkan pen-
dapatan masyarakat desa; dan (5) mengura-
ngi kemiskinan.
BUMDes ini juga diharapkan mampu men-
stimulasi dan menggerakkan roda perekono-
mian di pedesaan. Aset ekonomi yang ada di
desa harus dikelola sepenuhnya oleh masya-
rakat desa. Substansi dan filosofi BUMDes
harus dijiwai dengan semangat kebersamaan
dan self help sebagai upaya memperkuat as-
pek ekonomi dan kelembagaannya. Pada ta-
hap ini, BUMDes akan bergerak seirama de-
ngan upaya meningkatkan sumber-sumber
pendapatan asli desa, menggerakkan kegia-
tan ekonomi masyarakat di mana peran
BUMDes sebagai institusi payung dalam
menaungi. Upaya ini juga penting dalam ke-
rangka mengurangi peran free-rider yang se-
ringkali meningkatkan biaya transaksi dalam
kegiatan ekonomi masyarakat melalui prak-
tek rente (Nurcholis, 2011)
Menghadapi MEA 2015 masih banyak di-
temukan kendala dan hambatan dalam pe-
ngelolaan BUMDes. Menurut Sutoro Eko dkk,
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 121
berdasarkan pengamatan lapangan maupun
berbagi informasi di berbagai forum selama
ini, upaya-upaya pengembangan BUMDes
masih menghadapi berbagai macam keku-
rangan. Pertama, belum optimalnya penata-
an kelembagaan desa sehingga BUMDes be-
lum dapat diinstitusionalisasikan dalam for-
mat kepemerintahan dan perekonomian de-
sa. Kedua, adanya keterbatasan kapasitas
sumber daya manusia di desa untuk menge-
lola dan mengembangkan BUMDes yang
akuntabel dan berkinerja baik. Ketiga, ren-
dahnya inisiatif lokal untuk menggerakkan
potensi ekonomi lokal bagi peningkatan ke-
sejahteraan sosial dan ekonomi warga desa.
Keempat, belum berkembangnya proses
konsolidasi dan kerjasama berbagai pihak
untuk mewujudkan BUMDes sebagai patron
ekonomi yang berperan memajukan ekonomi
kerakyatan. Kelima, kurangnya responsivitas
pemerintah daerah untuk menjadikan BUM-
Des sebagai program unggulan untuk mem-
berdayakan desa dan menyejahterakan ma-
syarakat.
Kondisi BUMDes saat ini bisa dikatakan
belum optimal dalam menjaga kemandirian
perekonomian desa sehingga akan sulit un-
tuk mendukung bangsa Indonesia dalam me-
nyongsong era MEA 2015. Perlu dilakukan
berbagai usaha pengembangan ke arah pe-
ningkatan kapasitas BUMDes sehingga bisa
menjadi stimulus dan penggerak motor pere-
konomian desa. Tulisan ini dimaksudkan un-
tuk memahami kondisi BUMDes saat ini yang
mengarah pada kemandirian desa, sehingga
diketahui peluang dan tantangan yang diha-
dapi menjelang diberlakukannya MEA 2015.
Dan akhirnya dapat ditemukan arah pengem-
bangan kapasitas BUMDes sebagai penggerak
perekonomian desa demi kesejahteraan ma-
syarakat desa.
B. PRAKTEK PENGELOLAAN BUMDES DI
BERBAGAI DAERAH
BUMDes merupakan salah satu wadah
ekonomi rakyat yang dibentuk secara formal
oleh pemerintahan terbawah yaitu pemerin-
tahan desa. Sebagai badan usaha, modal ter-
besar dari BUMDes berasal dari pemerintah
desa melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan desa. BUMDes ju-
ga berperan sebagai bentuk penguatan terha-
dap lembaga-lembaga ekonomi desa yang da-
pat mendayagunakan ekonomi lokal yang
mengandalkan berbagai ragam jenis potensi
desa.
Sebagai aturan pendirian BUMDes, diter-
bitkan Peraturan Menteri Desa, Pembangu-
nan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No-
mor 4 tahun 2015 tentang Pendirian, Pengu-
rusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Ba-
dan Usaha Milik Desa. Peraturan ini diharap-
kan menjadi pedoman bagi daerah dan desa
dalam pembentukan dan pengelolaan BUM-
Des. Pendirian BUMDes sebelumnya diatur
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No-
mor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Mi-
lik Desa, selain itu diatur pula dalam Peratu-
ran Pemerintah nomor 72 Tahun 2005 ten-
tang Desa. Akan tetapi setelah adanya UU
nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang
mengatur bahwa pengurusan desa diserah-
kan kepada pada kementerian khusus dalam
hal ini adalah Kementerian Desa, Pembangu-
nan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, ma-
ka disusun kembali pedoman pengelolaan
BUMDes oleh Kementerian Desa, Pembangu-
nan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Data Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi saat ini
telah tercatat 1.022 BUMdes yang tersebar di
74 Kabupaten, 264 Kecamatan dan 1022 De-
sa. Kepemilikan BUMDes terbanyak berada di
Jawa Timur dengan 287 BUMDes, kemudian
Sumatera Utara dengan 173 BUMDes. Selain
itu terkait payung hukum pendirian BUMDes
telah diterbitkan sebanyak 45 Peraturan Dae-
rah dan 416 Peraturan Desa yang mengatur
tentang pembentukan dan pengelolaan BUM-
Des. Hal ini sangat memungkinkan untuk
mengembangkan kemandirian desa jika In-
donesia bisa kuat dalam menghadapi masya-
rakat ekonomi ASEAN nantinya. Akan tetapi
persentase jumlah BUMDes dari total 74.093
desa di Indonesia masih sangat terbatas yak-
ni sebesar 1,4 persen. Oleh karena itu Kepala
Desa perlu didorong untuk serius memben-
tuk dan mengembangkan BUMDes.
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
122 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Pengelolaan BUMDes memerlukan sum-
ber komoditi yang jelas dan jenis usaha me-
nurut Kementerian Desa, Pembangunan Dae-
rah Tertinggal dan Transmigrasi yang dapat
dikembangkan antara lain: usaha bisnis sosi-
al melalui usaha air minum desa, usaha listrik
desa dan lumbung pangan, usaha bisnis pe-
nyewaan melalui usaha alat transportasi,
perkakas pesta, gedung pertemuan, rumah
toko dan tanah milik BUMDes, usaha peran-
tara melalui jasa pembayaran listrik dan pa-
sar desa untuk memasarkan produk yang di-
hasilkan masyarakat, usaha bisnis yang ber-
produksi dan/atau berdagang melalui usaha
pabrik es, pabrik asap cair, hasil pertanian,
sarana produksi pertanian dan sumur bekas
tambang, usaha bisnis keuangan melalui ak-
ses kredit dan peminjaman, dan usaha bersa-
ma sebagai induk dari unit-unit usaha yang
dikembangkan melalui pengembangan kapal
desa dan desa wisata. Contoh riil pengelolaan
BUMDes yang bisa dirasakan manfaatnya
bagi peningkatan kas desa dan kesejahteraan
warganya dalam catatan Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Trans-
migrasi adalah Desa Pagedangan yang
mengelola sentra kuliner dan tempat pem-
buangan sampah terpadu (TPST) yang bisa
menampung sampah dari 1.000 rumah tang-
ga dan BUMDes Karya Mandiri Desa Cibodas
Kabupaten Bandung yang mengelola usaha di
bidang air, sewa gedung olahraga/gedung
serbaguna dan pengelolaan kios desa. Hasil
dari semua usaha BUMDes tersebut dapat
digunakan untuk meningkatkan kesejahtera-
an dan kualitas hidup manusia masyarakat
desa serta penanggulangan kemiskinan se-
suai dengan tujuan pembangunan desa. Sela-
in itu dapat juga dimanfaatkan untuk penge-
mbangan usaha, pembangunan desa, pem-
berdayaan masyarakat desa, dan pemberian
bantuan untuk masyarakat miskin melalui hi-
bah, bantuan sosial, dan kegiatan dana ber-
gulir yang ditetapkan dalam Anggaran Pen-
dapatan dan Belanja Desa.
Pendirian BUMDes sangat penting. Dalam
UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pasal
90 tertulis bahwa Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupa-
ten/Kota, dan Pemerintah Desa mendorong
perkembangan BUMDes dengan memberikan
hibah dan/atau akses permodalan, melaku-
kan pendampingan teknis dan akses ke pasar
dan memprioritaskan BUMDes dalam penge-
lolaan sumber daya alam di desa. Pernyataan
dalam pasal tersebut sudah jelas bahwa pe-
merintah ingin mendorong desa agar dapat
meningkatkan daya saing dengan mengguna-
kan BUMDes sebagai badan usahanya.
Beberapa daerah sudah banyak yang telah
mengembangkan BUMDes di wilayahnya. Pe-
ndirian BUMDes ini bagi sebagian besar desa
merupakan upaya melanjutkan program pe-
mberdayaan masyarakat dengan membentuk
unit simpan pinjam. Padahal, sesuai dengan
peraturan terbaru maka dimungkinkan bagi
BUMDes untuk membuka unit kerja yang
menggarap sektor riil untuk menggali potensi
alam maupun sumber daya manusia. BUM-
Des juga bisa menjadi garda depan dalam
menjaga dan mengelola aset-aset desa sehin-
gga lebih berdaya guna dan memberikan
manfaat kepada masyarakat.
Pengelolaan BUMDes di beberapa daerah
telah dilakukan dengan tidak meyimpang da-
ri peraturan perundangan yang telah ditetap-
kan. Pengelolaan BUMDes tidak terlepas dari
kapasitas desa dalam mengatur dan member-
dayakan sumber daya dengan semangat ke-
keluargaan dan gotong royong. Kapasitas de-
sa bukan sekadar kesanggupan dan kelancar-
an pemerintah desa menjalankan tugas po-
kok dan fungsinya atau mengikuti prosedur
administrasi yang sudah baku, tetapi berupa
inisiatif untuk melakukan inovasi atau pem-
baharuan terhadap pengelolaan pembangun-
an, pemerintahan dan kemasyarakatan agar
desa berkembang lebih dinamis dan maju.
Menurut Sutoro Eko (2004), dahulu ada se-
buah doktrin yang menegaskan bahwa keber-
hasilan otonomi daerah tergantung pada 3-M
(man, money, management), yaitu kemampu-
an manusia pengelola daerah, uang atau da-
lam bentuk PAD yang melimpah, dan profesi-
onalitas pengelolaan daerah (sistem, manu-
sia, uang, sumberdaya, dll). Pemerintah te-
rus-menerus melakukan pembinaan kepada
daerah dan desa, tetapi tetap saja mengede-
pankan argumen “tidak siap” kepada daerah
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 123
ketika daerah menuntut otonomi yang lebih
besar. Saat ini doktrin 3-M bisa dikatakan
sudah usang. Pemerintah, pemimpin, dan ma-
syarakat Indonesia, harus “siap” untuk bela-
jar satu sama lain, termasuk yang terkait de-
ngan pengembangan pengelolaan BUMDes
dalam menyiapkan kemandirian untuk meng-
hadapi masyarakat ekonomi ASEAN. Oleh ka-
rena itu, upaya-upaya konkret untuk menem-
pa kapasitas desa harus segera dilakukan.
Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu pa-
da tahun 2013 memberikan modal bagi 10
BUMDes untuk penguatan ekonomi masyara-
kat Desa. Kesepuluh BUMDes tersebut adalah
BUMDes Gudang Batu Sejahtera desa Gudang
Batu Kecamatan Pasir Penyu, BUMDes Karya
Mandiri Desa Pematang Kecamatan Batang
Peranap, BUMDes Makmur Jaya desa Rimpi-
an Kecamatan Lubuk Batu Jaya, BUMDes Se-
melinang Bersemi Desa Semelinang Tebing
Kecamatan Peranap, BUMDes Sepakat Sejah-
tera Desa Simpang Koto Medan Kecamatan
Kelayang, BUMdes Berkah Bersama Desa Se-
resam Kecamatan Seberida, BUMDes Maju Ja-
ya Sendawu Desa Sungai Dawu Kecamatan
Rengat Barat. Kemudian BUMDes Karya Ber-
sama Desa Titian Resak Kec Seberida, BUM-
Des Usaha Mulya Desa Talang Mulya Kecama-
tan Batang Cenaku, dan BUMDes Cahaya Ce-
naku Desa Kuala Mulia Kec Kuala Cenaku.
Pemkab Indragiri Hulu juga telah menerbit-
kan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 05 Ta-
hun 2011 tentangPembentukan Badan Usa-
ha Milik Desa untuk memperkuat keberadaan
BUMDes di Indragiri Hulu. Pemberian dana
hibah sebesar Rp 500 juta per desa atau kelu-
rahan sebagai modal awal untuk meningkat-
kan Usaha Ekonomi Produktif (UEP), seperti
perkebunan, pertanian, peternakan, perikan-
an, jasa, industri dan perdagangan.
Pemerintah Kabupaten Bandung pada ta-
hun 2010 juga telah menetapkan Peraturan
Daerah Kabupaten Bandung Nomor 18 Ta-
hun 2010 Tentang Pedoman Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes). Di dalam peraturan
tersebut telah diterangkan pula tentang tuju-
an pendirian BUMDes yang ujungnya dapat
meningkatkan daya saing dan kesejahteraan
masyarakat. Hal ini juga telah dijelaskan pada
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Dae-
rah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor 4 tahun 2015 tentang Pen-
dirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pe-
mbubaran Badan Usaha Milik Desa dan juga
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39
Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.
Dalam memetakan potensi desa sebagai
modal utama BUMDes, pemerintah desa di
Nusa Tenggara Barat telah memulai program
peningkatan pendapatan untuk diperguna-
kan bagi kesejahteraan masyarakat desa. Saat
ini ada beberapa BUMDes yang mulai ber-
konsentrasi ke arah itu, seperti BUMDes Len-
ka, BUMDes LKM, BUMDes Sakra Barat, BUM-
Des Bual. Dalam Diskusi Forum KTI Wilayah
NTB pada tanggal 25 Februari 2015 bertajuk
”Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Desa melalui BUMDes sebagai persiapan pe-
nerapan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa”
terungkap bahwa di wilayah NTB masih
banyak pemahaman mengenai badan usaha
di tingkat Desa hanya dalam bentuk simpan
pinjam. Forum ini mendorong pemerintah
desa untuk membuat usaha dan program
sesuai dengan potensi yang dimiliki desa.
Dengan begitu potensi daerah dapat terang-
kat melalui BUMDes. Selain itu, daya saing
desa juga akan terasah dan desa akan jauh
lebih mandiri.
BUMDes juga dapat menerapkan bentuk
kredit bersubsidi dengan sasaran tertentu se-
bagai salah satu usahanya. Hal ini dapat dili-
hat dari keberadaan BUMDes di Landungsari,
Kabupaten Malang. BUMDes yang mendapat
dana hibah dari alokasi dana desa sebesar
kurang lebih sembilan juta rupiah ini menja-
lankan usahanya sebanyak 7 (tujuh) bidang
usaha, antara lain: 1) bidang pertanian, 2)
bidang peternakan, 3) bidang simpan pinjam,
4) bidang pengelolaan sampah, 5) bidang jasa
bazis, 6) bidang home industri, dan 7) bidang
pasar. Akan tetapi pada saat awal berdiri
yang berjalan hanyalah bidang simpan pin-
jam. Hal ini disebabkan modal usaha yang
terbilang minim. Rendahnya produktivitas
pelayanan di BUMDes lebih disebabkan oleh
lemahnya sumberdaya manusia di bidang
manajemen dan lain lain. Dengan lebih me-
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
124 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
mandang dari segi kerjasama dalam menge-
mbangkannya sumber dana untuk pening-
katan pendapatan desa melalui BUMDes da-
pat direalisasikan. Menurut Ramadana, dkk.
(2013), BUMDes menjadi salah satu unsur
yang berkontribusi dalam pembangunan de-
sa mandiri yang dapat berjalan dengan per-
caya diri bahwa desa memang mampu meng-
atur rumah tangganya sendiri dan mencipta-
kan kemandirian yang tidak hanya bergan-
tung kepada alokasi anggaran dana desa yang
telah diberikan oleh pemerintah kabupaten
Malang. Sebagian masyarakat merasa terban-
tu dengan adanya BUMDes, seperti melalui
layanan penyewaan kios pasar dan pemi-
njaman modal. Oleh karena itu, Pemerintah
Kabupaten Malang seharusnya dapat mem-
perkuat dan meningkatkan daya saing BUM-
Des.
Namun demikian, BUMDes jangan sampai
mengambil alih peran dan fungsi jenis usaha
yang selama ini sudah menjadi sumber peng-
hidupan warga. Tetapi harus mengambil pe-
ran dan fungsi untuk memilih jenis unit usa-
ha yang berbasis pada aset yang dimiliki desa
atau kebutuhan dasar warga yang lebih tepat
jika dilayani oleh desa. Berdasarkan peneliti-
an IRE (2015), BUMDes Desa Labbo di Kabu-
paten Bantaeng dan Desa Karangrejek, Kabu-
paten Gunungkidul DIY mengambil peran da-
lam melayani kebutuhan dasar air bersih ma-
syarakat melalui unit usaha air bersih. Air
bersih ini dapat dijangkau oleh masyarakat
dari segi biaya, sehingga warga merasakan
manfaatnya untuk memenuhi kebutuhan ke-
seharian. Sedangkan BUMDes Desa Bleberan
di Gunungkidul melakukan pengembangan
wisata minat khusus dengan mengoptimal-
kan pengelolaan beberapa situs yang menjadi
primadona setempat, seperti air terjun “Sri
Gethuk”, situs purbakala Mataram, dan pe-
mancingan ikan. Desa wisata ini telah mera-
up omzet sekitar Rp 1,2 milyar pada tahun
2012. Pendapatan bersih yang diperoleh dari
pengelolahan potensi wisata tersebut, sekitar
Rp 361 juta, dimana 20 persen (Rp 72,2 juta)
dikontribusikan sebagai PADes Desa Bleber-
an.
Pendirian BUMDes diharapkan mampu
meningkatkan kemampuan pemerintah desa
sehingga penyelenggaraan pemerintahan, pe-
mbangunan dan pelayanan masyarakat dapat
berjalan dengan baik serta mengarah pada
peningkatan pendapatan asli desa. BUMDes
juga dapat mendorong berkembangnya usa-
ha mikro sektor informal yang nantinya da-
pat menyerap tenaga kerja asli di desa. Selain
itu dapat pula mengembangkan potensi sum-
ber daya alam sehingga menjadi nilai tambah
bagi masyarakat desa. Hal tersebut telah dije-
laskan pada berbagai contoh di atas.
MEA, yang awalnya digagas untuk me-
ningkatkan pertumbuhan ekonomi perdaga-
ngan dan daya saing antar sesama negara
anggota ASEAN, menuntut upaya perbaikan
untuk menghadapi persaingan global dengan
negara lain. Penguatan daya saing tersebut
harus dimulai dengan memperkuat lapisan
terendah dari sebuah negara. Oleh karena itu,
bangsa Indonesia harus gencar melakukan
upaya untuk meningkatkan kemampuan desa
sebagai lapisan terbawah melalui BUMDes.
Peluang dan tantangan ini harus diambil oleh
pemerintah desa jika tidak ingin menjadi pe-
nonton dan tamu di negeri sendiri. Pening-
katan investasi asing yang menjadi salah satu
tujuan dari gagasan MEA mungkin dapat
mencapai level desa dan dimasukkan ke da-
lam klausul yang ada dalam peraturan dae-
rah. Investasi itu sendiri dimaksudkan untuk
meningkat kesejahteraan masyarakat desa
melalui kerjasama dengan pihak ketiga ber-
dasarkan prinsip saling menguntungkan bagi
semua pihak dan mendapat persetujuan dari
Pemerintah Desa.
C. PELUANG DAN TANTANGAN BUMDES
DI ERA MASYARAKAT EKONOMI
ASEAN
BUMDes dibangun atas prakarsa dan
inisiatif masyarakat dalam perencanaan dan
pembentukannya. Prinsip-prinsip yang dipe-
gang dalam pengelolaannya adalah koope-
ratif, partisipatif dan emansipatif, dimana
anggota menjalankan dan saling membantu
dalam mengelolanya. BUMDes diamanatkan
agar dapat meningkatkan pendapatan masya-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 125
rakat dan desa melalui prinsip yang diambil
dalam pengelolaannya. Menurut Ramadana
dkk, (2013) sebagai lembaga komersial,
BUMDes merupakan institusi sosial-ekonomi
desa yang betul-betul mampu berkompetisi
ke luar desa yang berpihak kepada pemenuh-
an kebutuhan (produktif maupun konsumtif)
masyarakat. Hal ini terlihat dari bidang usaha
yang dilakukannya. Pada akhirnya BUMDes
berperan untuk meningkatkan perekonomi-
an masyarakat desa dengan mengangkat po-
tensi yang dimiliki desa.
Menurut Abdur Rozaki dkk, (2015), pen-
dirian BUMDes harus diletakkan sebagai stra-
tegi jitu dalam mengelola aset desa. Gagasan
pendiriannya harus diorganisir melalui me-
kanisme musyawarah desa, yakni sebuah fo-
rum demokratis yang mempertemukan BPD,
pemerintah desa dan kelompok warga. Mu-
syawarah desa merupakan mandatori UU De-
sa yang melembagakan demokrasi lokal me-
lalui perbincangan isu-isu strategis, salah sa-
tunya soal pendirian BUMDes. BUMDes pada
dasarnya membangun tradisi demokrasi di
desa untuk mencapai derajat ekonomi ma-
syarakat desa yang lebih tinggi. Oleh karena
itu, BUMDes harus memiliki daftar inventa-
risasi dan peta aset desa. Dengan begitu, me-
reka akan lebih mudah dalam hal menyepa-
kati gagasan pengelolaan dan pemanfaatan
aset-aset desa untuk meningkatkan kemandi-
rian desa itu sendiri. Pendirian dan pengem-
bangan BUMDes harus memperhatikan aset
desa yang dapat dikelola dan dimanfaatkan
secara maksimal berdasarkan pada potensi
yang ada. Sebagai contoh, desa-desa pesisir
dapat mengembangkan potensi laut untuk
memperbaiki kesejahteraan kaum nelayan,
sedangkan daerah pedalaman lebih menge-
depankan pengembangan unit usaha sarana
dan prasarana pertanian.
Peluang BUMDes cukup besar dalam me-
ningkatkan kemandirian desa serta pereko-
nomian masyarakat desa. Hal ini terlihat dari
ruang usaha yang dapat dikelola dan faktor
yang harus dipertimbangkan dalam mendiri-
kan sebuah BUMDes. Berdasarkan Permen-
desa, PDT, dan Transmigrasi No. 4 Tahun
2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pe-
ngelolaan, dan Pembubaran BUMDes Pasal 4
Ayat 2, pendirian BUMDes harus mempertim-
bangkan: 1) inisiatif pemerintah desa dan/
atau masyarakat desa; 2) potensi usaha eko-
nomi desa; 3) sumber daya alam di desa; 4)
sumber daya manusia yang mampu menge-
lola BUMDesa; dan 5) penyertaan modal dari
pemerintah desa dalam bentuk pembiayaan
dan kekayaan desa yang diserahkan untuk
dikelola sebagai bagian dari usaha BUMDes.
Berdasarkan aturan tersebut sumber daya
alam yang tersedia di desa menjadi salah satu
prioritas yang harus dipertimbangkan. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian dari IRE ta-
hun 2015 yang menyebutkan kompetensi
dan komitmen para pengurus BUMDes (pe-
merintah desa dan masyarakat) dalam men-
jalankan BUMDes sesuai dengan potensi desa
terbukti mampu membuat BUMDes berjalan
secara kokoh dan berkembang secara berke-
lanjutan.
Banyak dari BUMDes yang didirikan oleh
pemerintah desa merambah ke sektor Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Data
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, se-
perti yang dikutip oleh Budiman dan Prabo-
wo (Syncmagz, 2015), menunjukkan bahwa
kontribusi UMKM terhadap Pendapatan Do-
mestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2011 se-
besar 56,6% dan menyerap 97% dari tenaga
kerja nasional. Adapun kontribusi sektor
UMKM dalam penambahan devisa negara
yang berbentuk penerimaan ekspor sebesar
27.700 milyar dan menyumbang sebesar
4,86% terhadap total ekspor. Tentu saja
BUMDes di beberapa desa ikut berperan di
sana. Dari data yang dikutip tersebut dapat
dinilai bahwa UMKM terbukti mampu berta-
han dari goncangan ekonomi dan menjadi pe-
nyelamat bagi perekonomian pada krisis keu-
angan tahun 1997 dan krisis global 2008. De-
ngan begitu, kesiapan UMKM yang sebagian
besar dikelola BUMDes sangat menentukan
keberhasilan dalam bersaing menghadapi
MEA.
Tantangan saat ini terkait dengan berhasil
tidaknya BUMDes dalam menjalankan fungsi
utama untuk meningkatkan ekonomi lokal di
desa, yaitu menggairahkan dan menciptakan
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
126 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
sumber-sumber pendapatan baru yang men-
dorong kesejahteraan masyarakat desa. Di si-
si lain, terdapat tuntutan MEA yang lebih me-
nuntut potensi dan kelebihan yang dimiliki
oleh negara ASEAN untuk menghadapi persa-
ingan ke depan. Jika perekonomian lokal di
desa memiliki produktivitas dan daya saing
tinggi maka desa akan siap untuk bersaing
secara mandiri.
Rancangan MEA digagas untuk memben-
tuk sebuah pasar tunggal di kawasan ASEAN
yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan
investasi asing. Cara yang dapat dilakukan
adalah dengan membuka arus perdagangan
barang dan jasa dengan mudah ke berbagai
negara di tingkat regional Asia Tenggara. Da-
lam pelaksanaan MEA 2015 nanti ada 5 (li-
ma) hal yang tidak boleh dibatasi peredaran-
nya di seluruh negara ASEAN, yaitu: arus ba-
rang, arus jasa, arus modal, arus investasi,
dan arus tenaga kerja terlatih. Kelima hal ini
dapat menjadi peluang untuk berkembang-
nya BUMDes sehingga dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Namun sebalik-
nya, hal ini dapat juga menjadi tantangan jika
tidak ditangani secara profesional dan akun-
tabel. Dengan kata lain bahwa daya saing,
baik dari sisi produk maupun SDM, menjadi
taruhan. Oleh karena itu, apabila tidak disi-
apkan secara matang, ada kemungkinan ma-
syarakat hanya akan menjadi tujuan pasar
produk asing karena tidak mampu bersaing.
Dalam menghadapi tantangan MEA yang
mulai diberlakukan pada akhir 2015 (maju 5
tahun), Presiden mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pe-
ningkatan Daya Saing Dalam Rangka Mengha-
dapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Presiden
meminta untuk mengambil langkah-langkah
yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi,
dan kewenangan masing-masing secara ter-
koordinasi dan terintegrasi untuk melakukan
peningkatan daya saing nasional dan melaku-
kan persiapan pelaksanaan MEA. Lewat
BUMDes, produk-produk pengusaha desa
ataupun industri berbasis desa lainnya turut
difasilitasi untuk mampu bersaing di pasar
domestik, regional, bahkan global.
Problematika UMKM yang biasanya men-
jadi sektor usaha yang dikelola BUMDes, me-
nurut Budiman dan Prabowo (2015), adalah
terkait masalah produktivitas dan kualitas
produk yang belum seimbang dengan per-
kembangan jumlah UMKM itu sendiri. Pada
umumnya, kondisi itu terjadi karena rendah-
nya kualitas SDM, manajemen organisasi
yang belum matang, kurangnya penguasaan
teknologi, dan pemasaran. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut harus dilakukan pe-
ningkatan sentra atau klaster dalam upaya
pengembangan produk unggulan. Selain itu,
dilakukan usaha mendorong peningkatan ku-
alitas sumber daya manusia dan kewirausa-
haan serta berusaha meningkatkan kualitas
dan standarisasi produk. Menurut Syncore
(Syncmagz, 2015), BUMN, BUMD, BUMDes
adalah cermin kekuatan perekonomian Indo-
nesia, terutama di sektor strategi untuk
menghadapi MEA. Masyarakat seharusnya
berkontribusi dalam mengawal keberlangsu-
ngan sektor usaha yang dijalankan. Melalui
keterbukaan teknologi dan informasi me-
mungkinkan pengawalan terhadap BUMDes
dapat dilakukan dengan baik.
Peningkatan kapasitas dan kesadaran ma-
syarakat menjadi tantangan tersendiri bagi
kesuksesan perwujudan kemandirian desa
melalui pengembangan BUMDes. Di saat ke-
mandirian desa tercapai, di situlah peningka-
tan perekonomian masyarakat desa menjadi
taruhannya. Jika peningkatan perekonomian
itu tercapai maka desa menjadi akar kesiapan
bangsa Indonesa dalam menghadapi MEA se-
hingga dapat bersaing dengan negara lain di
kawasan ASEAN. Salah satu faktor penambah
daya saing adalah adanya investasi yang di-
butuhkan untuk peningkatan kualitas produk
serta kinerja BUMDes. Desa melalui BUMDes
yang dikelola harus dapat menciptakan ling-
kungan yang lebih menarik bagi masuknya
investasi yang nantinya dapat mendorong pe-
ningkatan kemandirian desa. Jika hal ini da-
pat dilakukan maka akan dapat menarik in-
vestor lebih banyak serta dapat menanam-
kan modal dan memberikan kontribusi terha-
dap pertumbuhan ekonomi, pembangunan
dan kemandirian desa.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 127
Tantangan dan peluang juga dapat dilihat
dari usaha negara tetangga dalam menghada-
pi MEA. Seperti yang dikutip dari buku Infor-
masi Umum MEA (Kementerian Perdagang-
an) bahwa Brunei Darussalam, Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand
telah menghapus sebanyak 7.881 tarif dari
pos tarif tambahan sehingga terdapat sejum-
lah 54.467 pos tarif yang bea masuknya nol
(zero duty) atau 99,65% dari pos tarif yang
diperdagangkan dalam Common Effective Pre-
ferential Tariff (CEPT-AFTA). Dari 7.881 pos
tarif tambahan tersebut, terdapat barang-ba-
rang dalam sektor prioritas integrasi (PIS)
sebesar 24,15% pos tarif, besi dan baja seba-
nyak 14,92%, mesin dan peralatan mekanis
8,93%, dan bahan kimia 8,3%. Penghapusan
tarif dari pos tarif tambahan ini telah menu-
runkan rata-rata tingkat tarif ASEAN, yaitu
dari 0,79% pada tahun 2009 menjadi 0,05%
sejak 1 januari 2010 sebagai langkah awal
kesiapan menghadapi MEA. Selain itu, bebe-
rapa negara seperti Kamboja, Laos, Myanmar
dan Vietnam menurunkan bea impor dari
98,86% pos tarif yang diperdagangkan men-
jadi 0-5% saja sebagai tahap awal komitmen
menghadapi MEA. Berbagai produk seperti
bahan makanan olahan, mebel, plastik, ker-
tas, semen, keramik, kaca, dan aluminium
asal ASEAN juga akan menikmati bebas bea
masuk ke Brunei Darussalam, Indonesia, Ma-
laysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Be-
berapa hasil produk itu justru berada di sek-
tor usaha yang sangat berpotensi dihasilkan
oleh BUMDes untuk meningkatkan kesejahte-
raan masyarakat serta meningkatkan daya
saing perekonomian desa.
D. PENINGKATAN KAPASITAS BUMDES
BUMDes sebagai salah satu lembaga yang
mendukung perekonomian desa mempunyai
peran penting dalam usaha untuk mendo-
rong terwujudnya kesejahteraan ekonomi
masyarakat desa secara keseluruhan. Kegia-
tan perekonomian yang digalakkan oleh
BUMDes harus mendukung usaha peningka-
tan ekonomi lokal di tingkat regional dalam
upaya mencapai taraf ekonomi secara nasi-
onal dan bersaing di tingkat global. Dalam
lingkup perekonomian nasional ini maka
BUMDes harus dikelola dengan baik sehingga
dapat mendukung dalam menghadapi MEA.
BUMDes di tingkat desa yang meningkat dan
mandiri akan membantu bangsa Indonesia
dalam kerawanan ekonomi menyambut MEA.
Sebagai upaya untuk mencapai tujuan terse-
but maka diperlukan pengembangan dan pe-
ningkatan kapasitas BUMDes secara optimal
dan berkesinambungan berbasis sumber da-
ya desa yang dimiliki. Selain itu, juga tetap
perlu dukungan untuk mendorong kreativi-
tas dan inovasi dari pemerintah dan masya-
rakat desa dalam mendukung kemajuan
BUMDes.
Perkiraan membanjirnya produk impor di
dalam negeri akibat dampak negatif dari
MEA, yang disinyalir dapat mematikan usa-
ha-usaha sampai tingkat lokal mewajibkan
perangkat ekonomi dari tingkat pusat sampai
desa untuk bersiap diri, salah satunya dengan
meningkatkan kapasitas BUMDes. BUMDes,
sebagai salah satu pilar ekonomi di tingkat
bawah, apabila dikelola dengan signifikan da-
pat menjaga kemandirian ekonomi desa sehi-
ngga dapat mendukung perekonomian secara
nasional dan berdaya saing dalam menyong-
song MEA 2015.
Dalam usaha untuk mengembangkan
BUMDes perlu dipahami langkah-langkah
membangun BUMDes itu sendiri. Memba-
ngun BUMDes secara inkremental jauh lebih
baik daripada membangun secara cepat dan
serentak, dengan langkah sebagai berikut: 1)
Sosialisasi dan pembelajaran; 2) Musyawarah
desa; 3) Pembentukan dan pelembagaan
BUMDes yang berbisnis pelayanan dan pe-
nyewaan; 4) Analisis kelayakan usaha BUM-
Des yang berorientasi ekonomi (trading dan
brokering); 5) Pembentukan dan pelembaga-
an BUMDes trading maupun brokering. Ini
adalah bentuk konsolidasi usaha warga men-
jadi sebuah korporasi desa yang kolektif, se-
hingga menjadi penanda satu desa satu pro-
duk; 6) Penjajakan dan pengembangan kerja-
sama kemitraan strategis, baik dalam bentuk
korporasi antardesa atau kerjasama dengan
pihak ketiga; dan 7) Diversifikasi usaha da-
lam bentuk banking maupun holding dengan
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
128 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
sekala yang lebih besar (Sutoro Eko, dkk,
2013).
Upaya dalam pengembangan BUMDes,
harus juga memperhatikan berbagai kapasi-
tas yang dimiliki desa. Menurut Sutoro Eko
(2004), ada beberapa kapasitas desa yang
bisa dikembangkan. Pertama, kapasitas re-
gulasi yaitu kemampuan pemerintah desa
mengatur kehidupan desa beserta isinya
(wilayah, kekayaan, dan penduduk) dengan
peraturan desa, berdasarkan kebutuhan dan
aspirasi masyarakat setempat. Kedua, kapa-
sitas ekstraksi yaitu kemampuan mengum-
pulkan, mengerahkan dan mengoptimalkan
aset-aset desa untuk menopang kebutuhan
(kepentingan) pemerintah dan warga masya-
rakat desa. Ketiga, kapasitas distributif yaitu
kemampuan pemerintah desa membagi sum-
ber daya desa secara seimbang dan merata
sesuai dengan prioritas kebutuhan masyara-
kat desa. Keempat, kapasitas responsif yaitu
kemampuan untuk peka atau memiliki daya
tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan
warga masyarakat untuk dijadikan sebagai
basis dalam perencanaan kebijakan pemba-
ngunan desa. Kelima, kapasitas jaringan yai-
tu kemampuan pemerintah dan warga ma-
syarakat desa mengembangkan jaringan ker-
ja sama dengan pihak-pihak luar dalam rang-
ka mendukung kapasitas ekstraktif.
Berbagai kapasitas yang dimiliki desa da-
pat ditingkatkan sebagai langkah pengemba-
ngan BUMDes. Di sisi lain, menurut Nurul
Purnamasari, pengembangan BUMDes dapat
dilakukan dengan cara: 1) Pengembangan
dan penguatan kelembagaan yang dilakukan
dengan cara pemerintah melakukan revisi
berbagai peraturan perundangan yang ku-
rang relevan dalam mendukung BUMDes dan
mengoptimalkan peran SKPD (Badan Pem-
berdayaan Masyarakat dan Pemerintahan
Desa) dalam pembinaan terhadap BUMDes;
2) Penguatan kapasitas melalui kegiatan
pemberdayaan, pelatihan, dan fasilitasi yang
dilakukan secara berjenjang, mulai dari Pe-
merintah kepada Pemerintah Daerah, dan
dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah
Desa dan Pengelola BUMDes; 3) Penguatan
pasar, yang dapat dilakukan melalui kerja-
sama BUMDes dengan berbagai pihak untuk
memperluas pasar dan mendapat fasilitasi
akses terhadap peningkatan sumber daya;
dan 4) Keberlanjutan, yang dapat dilakukan
apabila BUMDes memiliki forum advokasi
untuk mendapat dukungan masyarakat dan
dunia usaha diluar desa.
Berdasarkan paparan di atas, beberapa
langkah nyata berikut dapat dilakukan dalam
upaya meningkatkan kapasitas BUMDes se-
bagai roda penggerak perekonomian masya-
rakat desa terutama menjelang diberlaku-
kannya MEA 2015. Pertama, penataan kele-
mbagaan di tingkat desa yang mendukung
pendirian BUMDes. Selama ini BUMDes be-
lum dilembagakan secara formal dalam ta-
taran pemerintahan dan perekonomian desa.
Padahal kelembagaan BUMDes diperlukan
untuk: 1) menjaring pelibatan peran partisi-
pasi aktif masyarakat dalam pembangunan
dan pengembangan desa; 2) menciptakan
berbagai kreativitas yang mengarah pada pe-
luang usaha bagi masyarakat desa, 3) men-
ciptakan peluang lapangan pekerjaan sehing-
ga dapat mengurangi angka kemiskinan dan
pengangguran di desa. Kedua, pengelolaan
BUMDes harus dilakukan dengan profesional,
kooperatif, independen dan efektif. Pola pe-
ngelolaan seperti itu harus didukung dengan
penguatan kapasitas sumber daya manusia
yang mengelolanya sehingga dapat menge-
mbangkan BUMDes yang akuntabel, berku-
alitas dan berkinerja baik. Hal ini bisa dilaku-
kan dengan mengikutsertakan sumber daya
manusia yang ada dalam kegiatan pendidik-
an, pelatihan, maupun pemberdayaan, baik
secara formal maupun nonformal. Ketiga, pe-
ningkatan peran, koordinasi, dan kerjasama
semua pihak. Pemerintah daerah harus mem-
berikan respon positif dengan menjadikan
BUMDes sebagai program utama untuk pem-
berdayaan desa dan peningkatan kesejahte-
raan masyarakat desa. Selain itu, pihak supra
desa juga harus memberikan dukungan yang
kuat, melalui kegiatan berupa fasilitasi, advo-
kasi, maupun kerja sama yang berusaha me-
wujudkan BUMDes sebagai usaha untuk me-
majukan ekonomi dan kesejahteraan masya-
rakat desa. Keempat, memahami kebutuhan
masyarakat desa terhadap BUMDes yang se-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 129
suai dengan karakteristik kemampuan dan
potensi masyarakat desa dalam memandiri-
kan ekonomi desa. Hal ini bisa dilakukan me-
lalui peningkatan inisiatif dan kreativitas lo-
kal untuk menggerakkan potensi lokal bagi
peningkatan kesejahteraan dan ekonomi rak-
yat.
Satu catatan penting dalam upaya pening-
katan kapasitas BUMDes pada khususnya dan
desa pada umumnya bahwa diperlukan pe-
ran 4 (empat) aktor utama yang terlibat lang-
sung di dalamnya. Sutoro Eko menyebutkan
keempat aktor itu adalah: 1) para pemangku
kepentingan desa (lurah, BPD, lembaga desa,
tokoh masyarakat dan warga masyarakat).
Mereka juga harus mengambil prakarsa dan
bergerak sendiri untuk mengembangkan ka-
pasitas pada lingkup desa; 2) pemerintah su-
pradesa. Pemerintah pusat berperan membe-
rikan standar dan norma umum. Pemerintah
provinsi mempunyai perangkat dan bantuan.
Pemerintah kabupaten mempunyai kewena-
ngan, kebijakan, tenaga, anggaran dan lain-
lain yang sangat dibutuhkan untuk memper-
kuat kapasitas desa; 3) perguruan tinggi
(PT), mempunyai mandat pendidikan, peneli-
tian dan pengabdian kepada masyarakat, an-
tara lain juga dipersembahkan untuk menge-
mbangkan kapasitas para pengelola desa;
dan 4) LSM, merupakan kekuatan baru yang
ikut terlibat dalam proses pengembangan ka-
pasitas desa. Peran-peran yang dilakukan an-
tara lain penelitian aksi secara partisipatif,
diskusi komunitas, membuka ruang-ruang
belajar, pendampingan, pelatihan dan peng-
organisasian. Semua elemen di atas apabila
menjalankan peran dan fungsi yang optimal
maka upaya pengembangan BUMDes untuk
mewujudkan kemandirian desa akan terca-
pai.
Berbagai upaya pengembangan dan pe-
ningkatan kapasitas di atas merupakan suatu
langkah untuk menjadikan BUMDes lebih
operasional sebagai penggerak roda pereko-
nomian desa di era MEA. BUMDes harus bisa
menjadi elemen utama dan mengoptimalkan
perannya sebagai lembaga ekonomi untuk
meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan
masyarakat desa.
E. KESIMPULAN
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Eco-
nomic Community) adalah salah satu keputu-
san Bali Concord II, yang mensyaratkan bah-
wa sebelum tahun 2016 Asia Tenggara akan
menjadi pasar dan basis produksi tunggal.
Negara-negara di kawasan ASEAN mempu-
nyai tekad untuk segera meningkatkan pertu-
mbuhan perekonomian dan daya saing antar
negara ASEAN dalam menghadapi berbagai
usaha dan persaingan global. Oleh karena itu,
bangsa Indonesia juga harus siap sedini
mungkin menghadapi MEA dari tingkat pusat
sampai ke tingkat desa.
Pada level desa, BUMDes bisa dimaksi-
malkan perannya sebagai motor penggerak
perekonomian di tingkat desa dalam meng-
hadapi era MEA. BUMDes juga berperan se-
bagai bentuk penguatan terhadap lembaga-
lembaga ekonomi desa yang dapat mendaya-
gunakan ekonomi lokal yang mengandalkan
ragam jenis potensi desa. BUMDes diharap-
kan juga mampu menstimulasi dan mengge-
rakkan roda perekonomian di pedesaan sehi-
ngga sampai tingkat paling bawah kita mam-
pu bersaing ke tingkat ASEAN. Sampai saat
ini telah tercatat 1.022 BUMDes yang terse-
bar di 74 Kabupaten, 264 Kecamatan dan
1.022 Desa. Namun demikian, di lapangan
masih ditemukan beberapa kendala, antara
lain: 1) penataan kelembagaan desa belum
berjalan secara maksimal; 2) keterbatasan
kapasitas sumberdaya manusia; 3) rendah-
nya inisiatif lokal; 4) belum berkembangnya
proses konsolidasi dan kerja sama antar
stakeholders; 5) kurangnya responsivitas
Pemda.
Peluang BUMDes cukup besar dalam me-
ningkatkan kemandirian desa serta pereko-
nomian masyarakat desa. Hal ini terlihat dari
ruang usaha yang dapat dikelola oleh BUM-
Des. Dalam pelaksanaan MEA ada 5 (lima) hal
yang tidak boleh dibatasi peredarannya di se-
luruh negara ASEAN termasuk Indonesia,
yaitu arus barang, arus jasa, arus modal, arus
investasi dan arus tenaga kerja terlatih. Keli-
ma hal ini dapat menjadi peluang untuk ber-
kembangnya BUMDes dalam menggerakkan
perekonomian desa.
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
130 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Beberapa langkah berikut dapat dilaku-
kan dalam upaya meningkatkan kapasitas
BUMDes sebagai roda penggerak perekono-
mian masyarakat desa terutama menjelang
diberlakukannya MEA 2015. Pertama, pena-
taan kelembagaan di tingkat desa yang men-
dukung pendirian BUMDes. Kedua, pengelo-
laan BUMDes harus dilakukan dengan profe-
sional, kooperatif, independen dan efektif.
Ketiga, peningkatan peran, koordinasi dan
kerjasama semua pihak. Keempat, memaha-
mi kebutuhan masyarakat desa terhadap
BUMDes yang sesuai dengan karakteristik
kemampuan, dan potensi masyarakat desa
dalam memandirikan ekonomi desa. BUMDes
sebagai salah satu pilar ekonomi apabila di-
kelola dan dikembangkan dengan optimal
akan dapat menjaga kemandirian ekonomi
desa sehingga dapat mendukung perekono-
mian nasional dan berdaya saing dalam me-
nyongsong MEA 2015.
F. DAFTAR PUSTAKA
Bakti.or.id. “Memetakan Potensi Desa seba-
gai Modal Utama BUMDes”. Tersedia
online
(http://www.bakti.or.id/berita/mem
etakan-potensi-desa-sebagai-modal-
utama-bumdes, diakses 12 November
2015 )
Budiman, Kukuh, dan Desyan Prabowo.
2015. “MEA diambang mata, bagaima-
na peluang UMKM?”. Majalah Sync-
magz, Edisi 01-Agustus 2015.
Eko, Sutoro, dkk. 2013. Policy Paper “Mem-
bangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh
dan Berkelanjutan”.
Eko, Sutoro. 2004. “Memperkuat Kapasitas
Desa”. Makalah Disajikan Dalam Semi-
loka “Penguatan Kapasitas Perencana-
an Pembangunan Masyarakat Desa”,
yang diselenggarakan oleh Program
Studi Pembangunan Masyarakat Desa
Diploma III, Sekolah Tinggi Pemba-
ngunan Masyarakat Desa “APMD”,
Yogyakarta, 26 Agustus 2004.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi. “BUM-
Des Perkuat Ekonomi Desa”. Tersedia
online
(http://www.kemendesa.go.id/berita
/1674/bumdes-perkuat-ekonomi-
desa, diakses 12 November 2015 )
Kementerian Perdagangan. 2011. Informasi
Umum: Masyarakat Ekonomi ASEAN.
ASEAN Community in a Global Com-
munity of Nations. Kementerian Per-
dagangan Republik Indonesia: Jakarta
Kuntadi, Edi. Peranan Pengusaha Daerah Da-
lam Menghadapi MEA 2015.
Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Jakarta: Erlangga.
Pemerintah Kabupaten Malang. 2015. Kabu-
paten Malang Menuju MEA 2015.
Malang: Pemkab Malang
Putri, Winda Destiana. “Menteri Marwan Do-
rong Pembentukan dan Pengembang-
an BUMDes”. Tersedia online
(http://www.republika.co.id/berita/n
asional/umum/15/10/25/nws9iq359
-menteri-marwan-dorong-
pembentukan-dan-pengembangan-
bumdes, diakses 12 November 2015 )
Ramadana, Coristya Berlian, et. al. 2013.
“Keberadaan Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes) Sebagai Penguatan Ekono-
mi Desa (Studi di Desa Landungsari,
Kecamatan Dau, Kabupaten Malang)”.
Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol.
1, No. 6, Hal. 1068-1076. Universitas
Brawijaya.
Risadi, Aris Ahmad. “Dukungan DAK SPDT
terhadap BUMDes dalam Mengem-
bangkan Perekonomian Desa”. Terse-
dia online
(http://www.kemendesa.go.id/artikel
/84/dukungan-dak-spdt-terhadap-
bumdes-dalam-mengembangkan-
perekonomian-desa, diakses 12
November 2015 )
Rozaki, Abdur, dkk.,. 2015. “Membangun Ke-
mandirian Desa Melalui BUMDes”.
Policy Brief Institute for Research and
Empowerment (IRE). IRE: Yogyakarta
Syncore. 2015. Hadapi MEA, Pemerintah,
BUMN, Dunia Usaha dan Masyarakat
Wajib Bersinergi. Majalah Syncmagz.
Edisi 01-Agustus 2015.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 131
Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Ten-
tang Desa
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Da-
erah Tertinggal, Dan Transmigrasi Re-
publik Indonesia Nomor 4 Tahun
2015 Tentang Pendirian, Pengurusan
dan Pengelolaan, dan Pembubaran
Badan Usaha Milik Desa.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39
Tahun 2010 Tentang Badan Usaha
Milik Desa.
Pengembangan BUMDes dalam Menjaga Kemandirian Desa Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
Harditya Bayu Kusuma dan Witra Apdhi Yohanitas
132 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 133
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014
Local Government Affairs: Potential Problems for the Implementation of Law
Number 23 Year 2014
Suryanto
Peneliti Madya pada Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara
Abstrak Setiap perubahan selalu dihadapkan pada tantangan, karena apapun perubahan itu biasanya memba-wa kepada situasi ketidakpastian. Demikian pula ketika terbit dan berlaku UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, “ketidakpastian” pun muncul dalam penataan urusan pemerintahan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Yang dimaksud ketidakpastian disini adalah bahwa de-ngan perubahan dan pergeseran serta penambahan beberapa bagian aspek urusan pemerintahan tentu akan berimplikasi pada penataan urusan pemerintahan dan hubungan antar level pemerintah-an. Peta urusan pemerintahan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengalami perubahan diba-nding urusan pemerintahan dalam UU . 32 Tahun 2004 c.q. PP No. 38 Tahun 2007. Tulisan ini akan menggambarkan peta urusan pemerintahan dalam UU No. 23 Tahun 2014 dan lampirannya. Pada ba-gian akhir tulisan disampaikan saran terkait antisipasi yang perlu dilakukan dalam penataan urusan pemerintahan di masa depan.
Kata kunci: otonomi daerah, urusan pemerintahan daaerah, problematika
Abstract
Every change will always bring challenges, because changes usually lead to a situation of uncertainty.
Similarly, when the Law No. 23 of 2014 about Local Government enacted, "uncertainty" appeared in
the distribution of authority/government affairs between provincial and district governments. The
definition of uncertainty here is that the changes, both in terms of shift between actors as well as
addition, in the authorities would invite changes in the government structure and intergovernmental
relations. At the end of the article there will be suggestions related to the anticipation that needs to
be done in dealing with the distribution of authority and the uncertainties it brings.
Keywords: decentralization, local government affairs, wicked problem
A. PENDAHULUAN
Esensi penyelenggaraan desentralisasi
dan otonomi daerah adalah terjadinya penye-
rahan/pelimpahan kewenangan (dalam ter-
minologi UU 23/2014 disebut urusan peme-
rintahan) dari pemerintah tingkat di atas ke-
pada pemerintah di bawahnya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Nurcholis (2005) bahwa
desentralisasi adalah penyerahan wewenang
politik dan administrasi dari puncak hirarki
organisasi (pemerintah pusat) kepada jen-
jang di bawahnya (pemerintah daerah). Sela-
njutnya, Smith (1985) menyebutkan bahwa-
sanya desentralisasi memiliki ciri-ciri dianta-
ranya adanya penyerahan wewenang untuk
melaksanakan fungsi pemerintah tertentu
dari pemerintah pusat kepada daerah oto-
nom.
Penyerahan wewenang (baca: urusan pe-
merintahan) dari pemerintah pusat kepada
pemerintah di bawahnya berbeda antara ne-
gara federal dengan negara kesatuan. Sesung-
guhnya paham yang dianut pada federalisme
adalah non sentralisasi. Hal ini menyangkut
asal kedaulatan dari negara tersebut, dimana
kedaulatan yang dimiliki negara federal bera-
sal dari negara-negara berdaulat yang me-
nyerahkan kewenangan sisa kepada peme-
rintah nasional (pemerintah federal) untuk
dikelola bagi kepentingan bersama negara-
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014
Suryanto
134 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
negara berdaulat tersebut. Kedaulatan tidak
bersifat tunggal pada pemerintah nasional
karena negara-negara bagian di dalam wila-
yah negara tersebut juga memiliki kedaula-
tan ke luar (Adi Suryanto dkk., 2008).
Berbeda dengan negara kesatuan (seperti
Indonesia), kedaulatan itu bersifat tunggal
dan tidak dibagi kepada unit-unit pemerinta-
han di bawahnya. Konsep negara kesatuan
(unitary state) adalah bahwa semua kekuasa-
an pada prinsipnya merupakan milik peme-
rintah pusat. Kedaulatan yang dimiliki peme-
rintah daerah di negara yang berbentuk kesa-
tuan hanya bersifat ke dalam. Mekanisme
pendistribusian kewenangan dari pusat ke-
pada daerah dalam negara kesatuan hanya
sekedar menjalankan kewenangan sisa dari
pemerintah pusat berdasarkan mekanisme
yang telah ditentukan apalah dilimpahkan,
diserahkan atau didelegasikan (Cohen dan
Paterson, 1999; Adi Suryanto dkk., 2008).
Mencermati pendapat Cohen dan Pater-
son tersebut di atas, menurut hemat kami
penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia
sudah lebih maju (advanced) dalam artian
bahwa pembagian urusan pemerintahan ti-
dak hanya berdasarkan prinsip “residu” teta-
pi justru sebaliknya.1 Pemerintah (pusat) te-
lah menyerahkan/melimpahkan urusan pe-
merintahan yang sangat besar kepada peme-
rintah daerah untuk dikelola dan dipertang-
gungjawabkan kembali kepada pemberi man-
dat, meskipun terdapat dinamika “penarikan
urusan pemerintahan” di antara level peme-
1 Pada saat pemberlakuan UU No. 22/1999 jo PP 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang sangat terbatas (kewenangan residu dari Pemerintah). Namun pada saat berlaku UU No. 32/2004 jo PP 38/2007 pemda provinsi dan pemda kabupaten/kota memiliki kewenangan yang sangat besar. Begitu pula pada saat berlakunya UU 23/2014 (belum terbit PP tentang pembagian urusan pemerinta-han), pemda provinsi dan pemda kab/kota masih memiliki kewenangan/urusan pemerintahan yang besar, meskipun terdapat dinamika “penarikan urusan pemerintahan” dari pemda kabupaten/ko-ta ke pemda provinsi.
rintahan terutama dari pemda kab/kota ke
pemda provinsi.
Sebelumnya perlu dibedakan terlebih da-
hulu pemahaman mengenai pemerintahan
daerah dan pemerintah daerah. Di dalam Un-
dang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang dimaksud peme-
rintahan daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintah
daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah
menurut asas otonomi dan tugas pembantu-
an dengan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Repu-
blik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan peme-
rintah daerah adalah kepala daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah
yang memimpin pelaksanaan urusan peme-
rintahan yang menjadi kewenangan daerah
otonom. Jadi jelas yang dimaksud dengan
pemberian kewenangan dari pemerintah pu-
sat tersebut adalah pemberian kewenangan
kepada kepala daerah dan jajarannya (admi-
nistratif) serta kepada pimpinan dan anggota
DPRD sebagai mitra kerja kepala daerah (po-
litis).
Selanjutnya, wewenang yang telah dise-
rahkan/dilimpahkan tersebut, baik melalui
pelaksanaan asas desentralisasi, dekonsen-
trasi maupun tugas pembantuan (medebe-
wind), maka menjadi tanggung jawab kepala
daerah (gubernur, bupati, walikota) untuk
melaksanakan dan mempertanggungjawab-
kannya. Yang menarik adalah, menurut UU
No. 23 Tahun 2014 beberapa kewenangan
pemerintah kabupaten/kota “ditarik/dialih-
kan” ke pemerintah provinsi. Hal ini telah
mengubah peta kewenangan pemerintah da-
erah provinsi dan pemerintah daerah kabu-
paten/kota. Bagaimana peta kewenangan da-
erah menurut UU No. 23 Tahun 2014? Apa
yang membedakannya dengan peta kewena-
ngan daerah menurut UU No. 32 Tahun 2014
c.q. PP No. 38 Tahun 2007?
B. KONSEPSI KEWENANGAN
Kewenangan atau wewenang berasal dari
suatu istilah yang biasa digunakan dalam bi-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 135
dang hukum publik. Apabila dicermati terda-
pat perbedaan antara keduanya. Kewenang-
an adalah apa yang disebut sebagai “kekuasa-
an formal”, yaitu kekuasaan yang diberikan
oleh undang-undang atau legislatif dari keku-
asaan eksekutif atau administratif. Adapun
“wewenang” hanya mengenai suatu “onder-
deel” tertentu saja dari kewenangan (Asshid-
diqie, 2006).
Menurut Philipus M. Hadjon (2005), jabat-
an memperoleh wewenang melalui 3 (tiga)
sumber yakni atribusi, delegasi, dan mandat.
Atribusi merupakan wewenang yang melekat
pada suatu jabatan. Dalam tinjauan Hukum
Tata Negara, atribusi ditunjukkan melalui
wewenang yang dimiliki oleh organ pemerin-
tah dalam menjalankan pemerintahannya
berdasarkan kewenangan yang ditunjuk oleh
pembuat undang-undang. Kewenangan atri-
busi tersebut melekat pada kewenangan asli
atas dasar konstitusi. Kewenangan atribusi
hanya dimiliki oleh DPR, Presiden, dan DPD
dalam hal pembentukan undang-undang.
Kewenangan tidak dapat dipisahkan dari
kekuasaan (power). Dalam hirarki Weber, di-
temukan korelasi positif antara tingkat hirar-
ki jabatan dalam birokrasi dengan kekuasa-
an. Semakin tinggi lapis hirarki jabatan sese-
orang dalam birokrasi maka semakin besar
kuasanya dan semakin rendah lapisan hirar-
kinya semakin tidak berdaya (powerless). Ka-
rena korelasi ini menunjukkan bahwa peng-
gunaan kekuasaan pada hirarki atas sangat
tidak imbang dengan penggunaan kekuasaan
tingkat bawah. Dengan kata lain, sentralisasi
kekuasaan yang berada di tingkat hirarki atas
semakin memperlemah posisi pejabat hirarki
bawah dan tidak memberdayakan masyara-
kat yang berada di luar hirarki (Thoha 2003).
Berangkat dari konsep hirarki dan keku-
asaan tersebut, maka perlu ada transfer ke-
wenangan dari level atas ke level bawah guna
menghindari penumpukan kekuasaan. We-
wenang atau kewenangan adalah padanan
kata “authority” yakni “the power or right
delegated or given: the power to judge, act or
command”. Kewenangan dapat dirumuskan
sebagai suatu tipe khusus dari kekuasaan
yang secara asli melekat pada jabatan yang
diduduki oleh pimpinan. Otoritas adalah ke-
kuasaan yang disahkan oleh peranan formal
seseorang dalam suatu organisasi (Ibid,
2003). Dalam Ensiklopedi Administrasi (Wa-
sistiono dkk., 2009), wewenang didefinisikan
sebagai hak seorang pejabat untuk mengam-
bil tindakan yang diperlukan agar tugas dan
tanggung jawabnya dapat dilaksanakan de-
ngan baik.
Pendelegasian atau pelimpahan kewena-
ngan dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu
aspek tugas, tanggung jawab, dan wewenang.
Pada prinsipnya, pendelegasian atau pelim-
pahan sama dengan penyerahan. Jadi, pende-
legasian atau pelimpahan kewenangan berar-
ti penyerahan sebagian hak untuk mengambil
tindakan yang diperlukan agar tugas dan
tanggung jawabnya dapat dilaksanakan de-
ngan baik dari pejabat satu kepada pejabat
lainnya. Menurut Sutarto (2002), pelimpahan
kewenangan itu bukan penyerahan hak dari
atasan kepada bawahan, melainkan penyera-
han hak dari pejabat kepada pejabat. Format
pendelegasian wewenang dapat dilakukan
oleh pejabat yang berkedudukan lebih tinggi
(superior) kepada pejabat yang berkeduduk-
an rendah (subordinate) atau pejabat atasan
kepada pejabat bawahan (vertikal). Di sam-
ping itu, pelimpahan wewenang dapat pula
dilakukan di antara pejabat yang berkedudu-
kan pada jenjang yang sama antara pejabat
yang sederajat (horisontal).
Selanjutnya Wasistiono (2009), membe-
dakan kewenangan menjadi dua jenis yakni
atributif dan delegatif. Atributif adalah kewe-
nangan yang melekat dan diberikan kepada
suatu institusi atau pejabat yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Sedangkan
delegatif adalah kewenangan yang berasal
dari pendelegasian kewenangan dari institusi
atau pejabat yang lebih tinggi tingkatannya.
Masing-masing pejabat diberikan tugas mele-
kat sebagai bentuk tanggung jawab agar tu-
gas yang diberikan itu dapat dilaksanakan
dengan baik. Tanggung jawab merupakan ke-
harusan pada seseorang pejabat untuk me-
laksanakan secara layak segala sesuatu yang
telah dibebankan kepadanya. Tanggung ja-
wab hanya dapat dipenuhi bila pejabat yang
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014
Suryanto
136 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
bersangkutan disertai dengan wewenang ter-
tentu dalam bidang dan tugasnya.
Agar pelimpahan kewenangan dapat efek-
tif, maka perlu memperhatikan prinsip-prin-
sip sebagaimana dikemukakan oleh Koontz
O’Donnel dan Weihrich (1980), meliputi: 1)
principle of delegation by results expected; 2)
principle of functional definition; 3) scalar
principle; 4) authority level principle; 5) prin-
ciple of unity of command; 6) principle of ab-
soluteness of responsibility; and 7) principle of
parity of authority and responsibility.
Prinsip pertama, pelimpahan berdasar-
kan hasil yang diharapkan, maksudnya ada-
lah pelimpahan diberikan berdasarkan tuju-
an dan rencana yang telah disiapkan sebe-
lumnya. Perlu atau tidaknya sebuah kewe-
nangan dilimpahkan akan tergantung pada
hasil yang diharapkan, apakah menguntung-
kan bagi pencapaian tujuan organisasi. Prin-
sip kedua, pendelegasian berdasarkan prin-
sip definisi fungsional, yang dimaksudkan
bahwa pelimpahan kewenangan hendaknya
didasarkan pertimbangan fungsional agar pe-
kerjaan atau tugas tertentu dapat dilaksana-
kan secara efektif dan efisien. Prinsip ini le-
bih menekankan pada ketepatan arah pelim-
pahan sesuai dengan fungsi penerima limpa-
han.
Prinsip ketiga, berurutan berdasarkan
hirarki jabatan. Kewenangan yang diberikan
hendaknya secara berurutan dari jabatan
tertinggi hingga jabatan terendah. Hal ini di-
maksudkan agar kewenangan-kewenangan
setiap level jabatan jelas tingkat proporsi dan
substansinya. Prinsip keempat, yaitu jen-
jang kewenangan prinsip ini mengarapkan
adanya pelimpahan secara bertahap berda-
sarkan tingkat kewenangan yang dimiliki pe-
jabat atau satu unit organisasi tertentu. Prin-
sip ini erat kaitannya dengan prinsip ketiga
dimana jenjang hirarki berimplikasi kepada
tahapan-tahapan pendelegasian wewenang,
baik dalam arti tahapan proses maupun
struktur atau tingkatan organisasi.
Prinsip kelima, yaitu kesatuan komando,
yang menekankan akan pentingnya satu ke-
satuan komando dalam pelimpahan kewena-
ngan. Dengan adanya satu komando dapat di-
hindari kesimpangsiuran ataupun tumpang
tindih kegiatan dan tanggung jawab. Apa
yang harus dilakukan dan kepada siapa harus
bertanggung jawab akan menjadi jelas arah-
nya. Prinsip keenam, mengharapkan adanya
pelimpahan kewenangan yang diimbangi de-
ngan pemberian tanggung jawab yang penuh.
Pihak yang melimpahkan tidak seharusnya
terlalu campur tangan terhadap urusan yang
sudah dilimpahkannya. Oleh karena itu, ke-
percayaan penuh dari pemberi wewenang
kepada penerima wewenang menjadi faktor
utama yang diperhatikan sehingga penerima
wewenang dapat mengambil keputusan dan
dapat mempertanggungjawabkan sepenuh-
nya kewenangan yang dimilikinya tersebut.
Prinsip ketujuh, yakni keseimbangan antara
kewenangan dan tanggung jawab, artinya
bahwa kewenangan yang dilimpahkan harus
disertai dengan tanggung jawab yang se-
imbang. Dalam hal ini proporsi pertanggung-
jawaban sesuai dengan kewenangan yang di-
berikan/dilimpahkan.
C. PETA URUSAN PEMERINTAHAN DAE-
RAH PROVINSI DAN KABUPATEN/ KO-
TA
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 ten-
tang Pemerintahan Daerah, klasifikasi urusan
pemerintahan terdiri dari 3 urusan yakni
urusan pemerintahan absolut, urusan peme-
rintahan konkuren, dan urusan pemerintah-
an umum. Urusan pemerintahan absolut ada-
lah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Uru-
san pemerintahan konkuren adalah Urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah
Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabu-
paten/kota. Urusan pemerintahan umum
adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala peme-
rintahan. Anatomi pembagian urusan peme-
rintahan adalah sebagai berikut:
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 137
Bagan 1. Anatomi Pembagian Urusan Pemerintahan
Terkait kewenangan pemerintah, hal ini
secara jelas tersurat pada Pasal 10 dan Pasal
12 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerinta-
han Daerah. Kewenangan pemerintah pusat
menurut Pasal 10 Ayat (1) UU No. 23 Tahun
2014 meliputi politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasio-
nal, dan agama (6 urusan). Dalam urusan pe-
merintahan yang menjadi kewenangan Pe-
merintah di luar keenam urusan tersebut, Pe-
merintah dapat menyelenggarakan sendiri
sebagian urusan pemerintahan, melimpah-
kan sebagian urusan pemerintahan kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah, atau me-
nugaskan sebagian urusan kepada pemerin-
tahan daerah dan/atau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.
Sementara itu, urusan pemerintahan kon-
kuren adalah Urusan Pemerintahan yang di-
bagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Pem-
bagian urusan konkuren antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah provinsi dan pe-
merintah daerah kabupaten/kota didasarkan
pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, ekster-
nalitas dan kepentingan strategis nasional.
Akuntabilitas adalah kriteria pembagian
urusan Pemerintahan dengan memperhati-
kan pertanggungjawaban Pemerintah peme-
rintahan daerah Provinsi, dan pemerintahan
daerah kabupaten/kota dalam penyelengga-
raan urusan Pemerintahan tertentu kepada
masyarakat. Efisiensi adalah kriteria pemba-
gian urusan pemerintahan dengan memper-
hatikan daya guna tertinggi yang dapat dipe-
roleh dari penyelenggaraan suatu urusan pe-
merintahan. Eksternalitas adalah kriteria pe-
mbagian urusan pemerintahan dengan mem-
perhatikan dampak yang timbul sebagai aki-
bat dari penyelenggaraan suatu urusan pe-
merintahan. Apabila dampak yang ditimbul-
kan bersifat lokal, maka urusan pemerintah-
an tersebut menjadi kewenangan pemerinta-
han daerah kabupaten/kota.
Berdasarkan prinsip tersebut, kriteria
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewena-
ngan Pemerintah Pusat adalah: a) Urusan Pe-
merintahan yang lokasinya lintas Daerah
URUSAN
PEMERINTAHAN
DAERAH
PEMERINTAHAN
UMUM
Pelayanan Dasar
ABSOLUT KONKUREN
PILIHAN WAJIB
1. Kelautan & Perikanan
2. Pariwisata 3. Pertanian 4. Kehutanan 5. Energi dan
Sumber Daya Mineral
6. Perdagangan 7. Perindustrian 8. Transmigrasi
1. Politik Luar Negeri
2. Pertahanan 3. Keamanan 4. Yustisi 5. Moneter &
Fiskal Nasional
6. Agama
Non Pelayanan
Dasar
Sumber: UU No. 23 Tahun 2014
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014
Suryanto
138 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
provinsi atau lintas negara, b) Urusan Peme-
rintahan yang penggunanya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara, c) Urusan Peme-
rintahan yang manfaat atau dampak negatif-
nya lintas Daerah provinsi atau lintas negara,
d) Urusan Pemerintahan yang penggunaan
sumber dayanya lebih efisien apabila dilaku-
kan oleh Pemerintah Pusat, dan/atau e) Uru-
san Pemerintahan yang peranannya strategis
bagi kepentingan nasional.
Sedangkan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah provinsi ada-
lah: a) Urusan Pemerintahan yang lokasinya
lintas Daerah kabupaten/kota, b) Urusan Pe-
merintahan yang penggunanya lintas Daerah
kabupaten/kota, c) Urusan Pemerintahan
yang manfaat atau dampak negatifnya lintas
Daerah kabupaten/kota; dan/atau d) Urusan
Pemerintahan yang penggunaan sumber da-
yanya lebih efisien apabila dilakukan oleh
Daerah Provinsi.
Adapun Urusan Pemerintahan yang men-
jadi kewenangan Daerah kabupaten/kota
adalah: a) Urusan Pemerintahan yang lokasi-
nya dalam Daerah kabupaten/kota, b) Uru-
san Pemerintahan yang penggunanya dalam
Daerah kabupaten/kota, c) Urusan Pemerin-
tahan yang manfaat atau dampak negatifnya
hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/
atau d) Urusan Pemerintahan yang penggu-
naan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
Sementara itu, dalam Pasal 12 disebutkan
bahwa selain urusan pemerintahan absolut
terdapat urusan pemerintahan konkuren
yang menjadi kewenangan Daerah (baca: da-
erah otonom) terdiri atas Urusan Pemerinta-
han Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan.
Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas Uru-
san Pemerintahan yang berkaitan dengan Pe-
layanan Dasar dan Urusan Pemerintahan
yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Da-
sar. Urusan Pemerintahan Wajib yang berka-
itan dengan Pelayanan Dasar adalah Urusan
Pemerintahan Wajib yang sebagian substan-
sinya merupakan Pelayanan Dasar. Urusan
wajib yang berkaitan dengan pelayanan da-
sar meliputi (Pasal 12 Ayat 1): pendidikan,
kesehatan, pekerjaan umum dan penataan
ruang, perumahan rakyat dan kawasan per-
mukiman, ketenteraman, ketertiban umum,
dan pelindungan masyarakat, dan sosial (6
urusan wajib berkaitan dengan pelayanan da-
sar).
Urusan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar meliputi (Pasal 12 Ayat 2):
tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan
pelindungan anak, pangan, pertanahan, ling-
kungan hidup, administrasi kependudukan
dan pencatatan sipil, pemberdayaan masya-
rakat dan Desa, pengendalian penduduk dan
keluarga berencana, perhubungan, komuni-
kasi dan informatika, koperasi, usaha kecil,
dan menengah, penanaman modal, kepemu-
daan dan olah raga, statistik, persandian, ke-
budayaan, perpustakaan; dan kearsipan (18
urusan wajib tidak berkaitan dengan pelaya-
nan dasar).
Pasal 24 UU No. 23 Tahun 2014 menjelas-
kan bahwa Kementerian dan lembaga bersa-
ma dengan pemerintah daerah melakukan
pemetaan urusan pemerintahan wajib yang
tidak berkaitan dengan pelayanan dasar dan
urusan pilihan yang dipriorotaskan oleh se-
tiap Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/
kota. Hasil pemetaan Urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelaya-
nan Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan
ditetapkan dengan peraturan menteri (yang
bersangkutan) setelah mendapatkan rekome-
ndasi dari Menteri (Mendagri).
Pemetaan urusan wajib yang tidak berka-
itan dengan pelayanan dasar dimaksudkan
untuk:
1. Untuk menentukan intensitas Urusan Pe-
merintahan Wajib yang tidak berkaitan
dengan Pelayanan Dasar berdasarkan
jumlah penduduk, besarnya APBD, dan
luas wilayah.
2. Untuk menentukan Daerah yang mempu-
nyai Urusan Pemerintahan Pilihan berda-
sarkan potensi, proyeksi penyerapan te-
naga kerja, dan pemanfaatan lahan.
3. Untuk bahan pertimbangan bagi Daerah
dalam penetapan kelembagaan, perenca-
naan, dan penganggaran dalam penyele-
nggaraan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 139
4. Untuk pembinaan kepada Daerah dalam
pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib
yang tidak berkaitan dengan Pelayanan
Dasar dan Urusan Pemerintahan Pilihan
secara nasional.
Bagan 2. Pembagian Urusan Pemerintahan Wajib
Sumber: UU No. 23 Tahun 2014
Selain urusan wajib berupa pelayanan da-
sar dan non pelayanan dasar, terdapat uru-
san pemerintahan pilihan (Pasal 12 Ayat 3)
yang meliputi: kelautan dan perikanan, pari-
wisata, pertanian, kehutanan, energi dan
sumber daya mineral, perdagangan, per-
industrian, dan transmigrasi (8 urusan pili-
han). Jika dicermati lebih mendalam, sebe-
narnya tidak ada perbedaan antara substansi
urusan pilihan dalam UU 32/2004 dengan UU
23/2014 terkait yakni sama-sama memiliki 8
urusan.
Yang menarik dalam substansi UU baru
ini adalah “penegasan” mengenai urusan
pemerintahan umum. Dalam Pasal 25 UU No.
23 Tahun 2014 disebutkan bahwa urusan pe-
merintahan umum meliputi: a) pembinaan
wawasan kebangsaan dan ketahanan nasio-
nal dalam rangka memantapkan pengamalan
Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Da-
sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pelestarian Bhinneka Tunggal Ika serta per-
tahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; b) pembinaan
persatuan dan kesatuan bangsa; c) pembina-
URUSAN WAJIB
1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. PU & Penataan Ruang 4. Perumahan Rakyat dan
Kawasan Permukiman 5. Ketenteraman, Ketertiban
Umum & Perlindungan Masyarakat
6. Sosial
NON PELAYANAN DASAR
1. Tenaga Kerja 2. Pemberdayaan Perempuan &
Perlindungan Anak 3. Pangan 4. Pertanahan 5. Lingkungan Hidup 6. Administrasi Kependudukan &
Pencatatan Sipil 7. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa 8. Pengendalian Penduduk & Keluarga
Berencana 9. Perhubungan 10. Komunikasi dan Informatika 11. Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah 12. Penanaman Modal 13. Kepemudaan & Olah Raga 14. Statistik 15. Persandian 16. Kebudayaan 17. Perpustakaan 18. Kearsipan
PELAYANAN DASAR
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014
Suryanto
140 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
an kerukunan antarsuku dan intrastruktur,
umat beragama, ras, dan golongan lainnya
guna mewujudkan stabilitas kemanan lokal,
regional, dan nasional; d) penanganan konflik
sosial sesuai ketentuan peraturan perun-
dang-undangan; e) koordinasi pelaksanaan
tugas antar instansi pemerintahan yang ada
di wilayah Daerah provinsi dan Daerah kabu-
paten/kota untuk menyelesaikan permasala-
han yang timbul dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, hak asasi manusia, peme-
rataan, keadilan, keistimewaan dan kekhu-
susan, potensi serta keanekaragaman Daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perun-
dang-undangan; f) pengembangan kehidupan
demokrasi berdasarkan Pancasila; dan g) pe-
laksanaan semua Urusan Pemerintahan yang
bukan merupakan kewenangan Daerah dan
tidak dilaksanakan oleh Instansi Vertikal.
Hal lain yang menarik dalam kaitan de-
ngan urusan pemerintahan umum adalah
pembentukan forum komunikasi pimpinan
daerah (Forkopimda) baik di level provinsi,
kabupaten/kota maupun kecamatan. Kehadi-
ran Forkopimda dimaksudkan untuk mem-
bantu gubernur dan bupati/walikota serta
camat dalam pelaksanaan urusan pemerin-
tahan umum, dengan pembiayaan dari APBN.
D. PERBEDAAN URUSAN PEMERINTAH-
AN PEMERINTAHAN DAERAH DALAM
UU NO. 32 TAHUN 2004 C.Q. PP NO. 38
TAHUN 2007 DENGAN UU NO. 23
TAHUN 2014 DAN KEMUNGKINAN HA-
MBATAN
Terdapat perbedaan yang cukup menda-
sar antara urusan pemerintahan daerah yang
tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2004 c.q.
PP No. 38 Tahun 2007 dengan kewenangan
dalam UU No. 23 Tahun 2014 antara lain:
1. Jumlah urusan pemerintahan daerah da-
lam UU No. 23/2014 lebih sedikit diban-
dingkan dengan yang terdapat dalam UU
No. 32/2014 c.q. PP No. 38/2007.
2. Dalam UU No. 23/2014, beberapa urusan
pemerintahan daerah kabupaten/kota
dialihkan ke pemerintah provinsi, seperti
urusan pemerintahan pendidikan mene-
ngah kewenangan kehutanan, dan kewe-
nangan pertambangan.
3. Perbedaan dalam hal pembagian urusan
pemerintahan wajib, pada UU No.
32/2004 tidak terdapat pembagian uru-
san wajib, namun pada UU No. 23/2014,
urusan wajib tersebut dibedakan antara
urusan wajib pelayanan dasar dan non
pelayanan dasar.
Implementasi urusan pemerintahan khu-
susnya urusan pemerintahan konkuren dan
urusan pemerintahan umum oleh satuan ker-
ja perangkat daerah (SKPD) sesuai dengan
bidang tugasnya akan ditentukan oleh ba-
nyak aspek. Salah satu aspek yang sering di-
sebut sebagai hambatan dalam implementasi
urusan pemerintahan adalah adanya kenya-
taan yang cenderung mengarah pada “tarik
ulur dan inkonsistensi” antar level pemerin-
tahan. Sebagai contoh, penarikan sebagian
urusan wajib bidang pendidikan yakni penge-
lolaan pendidikan menengah yang semula di-
tangani oleh pemda kabupaten/kota ke pem-
da provinsi, dimungkinkan akan menimbul-
kan hambatan dalam pelaksanaannya.
No. Sub Urusan Pemerintah Pemda Provinsi Pemda Kab/Kota
1. Manajemen Pendidi-kan
Penetapan standar nasi-onal pendidikan, Pengelolaan Pendidikan Tinggi
Pengelolaan pendidik-an menengah, Pengelolaan pendidik-an khusus
Pengelolaan pendidik-an dasar, Pengelolaan pendidik-an usia dini dan pendi-dikan nonformal
2. Kurikulum Penetapan kurikulum nasional pendidikan me-nengah, pendidikan da-sar, pendidikan anak usia dini dan pendidikan nonformal
Penetapan kurikulum muatan lokal, pendidi-kan menengah, dan muatan lokal; pendidi-kan khusus
Penetapan kurikulum muatan lokal pendidik-an dasar, pendidikan anak usia dini dan pen-didikan nonformal
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 141
No. Sub Urusan Pemerintah Pemda Provinsi Pemda Kab/Kota 3. Akreditasi Akreditasi perguruan ti-
nggi, pendidikan mene-ngah, pendidikan dasar, pendidikan anak usia di-ni, dan pendidikan non-formal
-- --
4. Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pengendalian formasi pendidik, pemindahan pendidik, dan pengem-bangan karir pendidik; Pemindahan pendidik dan tenaga kependidik-an lintas daerah provinsi
Pemindahan pendidik dan tenaga kependidi-kan lintas daerah ka-bupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi
Pemindahan pendidik dan tenaga kependidik-an dalam daerah kabu-paten/kota
5. Perizinan Pendidikan
Penerbitan izin perguru-an tinggi swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat, Penerbitan izin penye-lenggaraan satuan pen-didikan asing
Penerbitan izin pendi-dikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat, Penerbitan izin pendi-dikan khusus yang di-selenggarakan oleh masyarakat
Penerbitan izin pen-didikan dasar yang di-selenggarakan oleh ma-syarakat, Penerbitan izin pendi-dikan anak usia dini dan pendidikan non-formal yang disele-nggarakan oleh ma-syarakat
6. Bahasa dan Sastra Pembinaan bahasa dan sastra Indonesia
Pembinaan bahasa dan sastra yang penutur-nya lintas daerah ka-bupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi
Pembinaan bahasa dan sastra yang penuturnya dalam daerah kabupa-ten/kota
Sumber: Lampiran UU No. 23 Tahun 2014
Tabel 1. Kewenangan Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Bidang
Pendidikan Menurut UU No. 23 Tahun 2014
Dari tabel tersebut jelas bahwa pengalih-
an sebagian urusan pendidikan yaitu penge-
lolaan pendidikan menengah dari pemerin-
tah kabupaten/kota ke pemerintah provinsi
telah mengurangi kewenangan pemerintah
kabupaten/kota—yang notabene merupakan
titik berat pelaksanaan otonomi daerah. Hal
ini semakin memperkuat sinyalemen terjadi-
nya pemusatan (resentralisasi) baik yang me-
ngarah ke pemerintah pusat (kementerian/
lembaga) maupun ke pemerintah di atasnya
(provinsi).
Senada dengan persoalan tersebut,
Dwiyanto (2012) mengidentifikasi setidak-
nya dua isu yang menjadi problematika pem-
bagian urusan pemerintahan. Pertama, dis-
torsi dalam pelaksanaan asas penyelengga-
raan pemerintahan daerah. Kedua, perubah-
an distribusi urusan pemerintahan dan krite-
ria pembagian urusan. Kedua permasalahan
tersebut memang merupakan respons beliau
ketika menanggapi UU No. 32 Tahun 2004
c.q. PP No. 38 tahun 2007, namun menurut
kami masih relevan untuk memberikan war-
ning terhadap pemberlakuan UU No. 23 Ta-
hun 2014.
Permasalahan yang mungkin timbul ter-
kait isu yang pertama antara lain: benturan
regulasi, pemerintah pusat mendekonsentra-
sikan urusan yang telah dilaksanakan di dae-
rah, campur tangan pemerintah provinsi ter-
hadap urusan pemerintah kabupaten/kota,
kerancuan penerapan asas dekonsentrasi
dan tugas pembantuan.
Penyelenggaraan otonomi daerah menga-
nut tiga asas yakni desentralisasi, dekonsen-
trasi dan tugas pembantuan. Artinya, dalam
penyelenggaraan pemerintahan—sebagaima-
na dijelaskan pada bagian sebelumnya—selu-
ruh urusan pemerintahan telah diserahkan
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014
Suryanto
142 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/
kota melalui asas desentralisasi, kecuali uru-
san pemerintahan absolut. Oleh karena itu,
posisi kementerian teknis/sektoral hanya
menjadi steering (pengarah) dengan mem-
berikan norma, standar, prosedur dan krite-
ria (NSPK) terhadap urusan-urusan pemerin-
tahan yang telah diserahkan. Namun pada
masa lalu, kadang terjadi penarikan urusan
pemerintahan melalui turunan undang-un-
dang sektoral, misalnya peraturan menteri/
surat edaran menteri dan lainnya. Kondisi ini
tentu akan menyebabkan terjadinya bentu-
ran regulasi, yaitu benturan antara UU Pem-
da dengan UU Sektoral.
Kemudian, permasalahan kedua adalah
manakala pemerintah pusat—dalam hal ini
kementerian—mendekonsentrasikan urusan
yang telah dilaksanakan di daerah. Kondisi
ini ibaratnya “menjilat ludah dan meludah-
kannya kembali” karena urusan pemerintah-
an dimaksud telah diserahkan kepada daerah
dan pemerintah daerah pun telah melaksana-
kan urusan pemerintahan tersebut. Namun
pada saat bersamaan, Pemerintah mende-
konsentrasikan sebagian urusan pemerintah-
an dimaksud kepada daerah. Sebagai contoh,
urusan pemerintahan bidang pendidikan ten-
tang tunjangan profesi bukan guru tetap bu-
kan PNS yang belum memiliki jabatan fung-
sional guru. Urusan tersebut telah diserahkan
kepada pemerintah kabupaten/kota, namun
kembali di-dekon-kan kepada Gubernur sela-
ku wakil pemerintah pusat. Yang menjadi
pertanyaan adalah, hal ini terjadi apakah
karena kabupaten/kota tidak memiliki kapa-
sitas untuk melaksanakan urusan tersebut
ataukah ada alasan lainnya.
Permasalahan selanjutnya adalah terda-
pat intervensi pelaksanaan urusan pemerin-
tahan di kabupaten/kota oleh pemerintah
provinsi. Masalah ini telah menjadi perhatian
banyak pihak di masa pemberlakuan UU No.
32 Tahun 2004 jo PP No. 38 Tahun 2007 lalu,
dimana pemerintah provinsi terkadang men-
desain dan melaksanakan program dan kegi-
atan yang juga dilaksanakan oleh kabupa-
ten/kota sehingga terjadi overlapping. Kondi-
si tumpang tindih seperti ini sekaligus menu-
njukkan minimnya koordinasi antar ting-
katan pemerintahan sebagai satu kesatuan
integral yang seharusnya menjalankan fung-
sinya sebagai pengarah/fasilitator dan yang
diarahkan/pihak yang difasilitasi. Padahal,
dalam UU Pemda walaupun Pemda Provinsi
dan Pemda Kabupaten/Kota bukan merupa-
kan “garis atasan-bawahan” tetapi pemda
provinsi memiliki fungsi supervisi, koordina-
si dan fasilitasi terhadap pemda kabupaten/
kota.
Terakhir, permasalahan pada isu pertama
adalah terjadinya kerancuan pelaksanaan
asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Hal ini terjadi karena keengganan pemerin-
tah pusat (kementerian sektoral) untuk men-
distribusikan anggaran yang dimilikinya me-
lalui mekanisme dana alokasi khusus (DAK)
dibanding melalui dekon maupun tugas pem-
bantuan. Alasannya, jika pendistribusian ang-
garan melalui mekanisme DAK maka kemen-
terian sektoral akan kehilangan kewenangan-
nya dalam mengelola anggaran tersebut.
Akhirnya, untuk menghindari terjadinya ke-
hilangan kewenangan dan agar tetap dapat
tetap “cawe-cawe” (ikut serta) dalam penge-
lolaan anggaran, kementerian mendekonsen-
trasikan dan atau melakukan tugas pemban-
tuan kepada pemerintah provinsi, padahal
urusan tersebut telah didesentralisasikan ke-
pada kabupaten/kota. Contoh kasus yang sa-
ngat menonjol terjadi di Kementerian Pendi-
dikan.
Permasalahan yang mungkin timbul ter-
kait isu perubahan distribusi urusan peme-
rintahan dan kriteria pembagian urusan ada-
lah menyangkut kriteria pembagian urusan
dan mekanisme penarikan dan penambahan
urusan. Pembagian urusan pemerintahan se-
sungguhnya telah ditetapkan dengan kriteria
yang disepakati: akuntabilitas, efisiensi, eks-
ternalitas, dan kepentingan strategis nasio-
nal. Kriteria terakhir merupakan kriteria ba-
ru dalam UU No. 23 Tahun 2014. Masalahnya,
dengan pembagian urusan yang hanya dibagi
dalam matriks kewenangan pemerintah pu-
sat, provinsi, kabupaten/kota itu, bagaimana-
kah pelaksanaannya di lapangan terutama
terkait dengan penganggarannya? Sebagai
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 143
contoh, dalam kasus pengelolaan pendidikan
menengah yang menurut UU No. 23 Tahun
2014 menjadi kewenangan pemerintah pro-
vinsi, sejauhmana peran pemda kabupaten/
kota karena keberadaan SMA/SMK/MA di
lingkup kabupaten/kota. Dampak ikutan dari
kebijakan tersebut juga terjadi pada saat pen-
daftaran siswa baru (terutama melalui sistem
online) yang sering menimbulkan berbagai
persoalan di daerah. Manajemen pendidikan
menengah oleh pemerintah provinsi sebisa
mungkin tidak mempersulit pelaksanaan
urusan pemerintahan ini di daerah.
Kedua, permasalahan pada isu perubahan
distribusi urusan ini terkait dengan penarik-
an dan penambahan urusan pemerintahan.
Kiranya sudah menjadi rahasia umum bahwa
pemerintah pusat sering melakukan tarik-
ulur urusan pemerintahan. Tentu hal ini sah-
sah saja sepanjang dilakukan secara benar
dan sesuai dengan kepentingan yang lebih
besar. Asas “kepentingan strategis nasional”
sebagaimana yang dituangkan dalam UU No.
23 Tahun 2014 mungkin dapat menjadi alat
pembenar dilakukannya kebijakan penarikan
atau penambahan kewenangan tersebut. Na-
mun, apabila penarikan dan penambahan ter-
sebut dilakukan secara sewenang-wenang
tentu akan berakibat kontraproduktif dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan. Da-
lam spektrum yang lebih luas, hambatan-ha-
mbatan di atas dapat terjadi pada berbagai
urusan pemerintahan, bukan hanya pada
urusan pemerintahan pendidikan, tetapi juga
pada urusan kesehatan, pekerjaan umum, ke-
pendudukan, dan sebagainya.
E. ANTISIPASI IMPLEMENTASI URUSAN
PEMERINTAHAN
Terlepas dari tepat atau tidaknya, terbit-
nya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.
120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015 tentang
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan me-
rupakan salah satu antisipasi terhadap keva-
kuman penyelenggaraan otonomi daerah ka-
rena UU No. 23 Tahun 2014 belum disertai
dengan peraturan pelaksanaannya. Dalam SE
No. 120/253/SJ tersebut dijelaskan hal-hal
sebagai berikut:
1. Pada Pasal 404 UU No. 23 Tahun 2014
menyatakan bahwa serah terima person-
el, pendanaan, sarana dan prasarana, ser-
ta dokumen (P3D) sebagai akibat pemba-
gian urusan pemerintahan antara Peme-
rintah, Daerah Provinsi, dan Kabupaten/
Kota yang diatur berdasarkan UU ini di-
lakukan paling lama 2 (dua) tahun ter-
hitung sejak UU ini diundangkan. Untuk
menghindarkan terjadinya stagnasi pe-
nyelenggaraan pemerintahan daerah
yang berakibat terhentinya pelayanan
kepada masyarakat, maka penyelengga-
raan urusan pemerintahan konkuren
yang bersifat pelayanan kepada masya-
rakat luas dan masif, yang pelaksana-
annya tidak dapat ditunda dan tidak
dapat dilaksanakan tanpa dukungan P3D,
tetap dilaksanakan oleh tingkatan/susu-
nan pemerintahan yang saat ini menyele-
nggarakan urusan pemerintahan konku-
ren tersebut sampai dengan diserahkan-
nya P3D. Adapun urusan konkuren terse-
but meliputi: pengelolaan pendidikan
menengah, pengelolaan terminal penum-
pang tipe A dan tipe B, pelaksanaan reha-
bilitasi di luar kawasan hutan negara,
pelaksanaan perlindungan hutan lindung
dan hutan produksi, pemberdayaan ma-
syarakat di bidang kehutanan, pelaksana-
an penyuluhan kehutanan provinsi, pe-
laksanaan metrologi legal berupa tera,
tera ulang dan pengawasan, pengelolaan
tenaga pengawas ketenagakerjaan, pe-
nyelenggaraan penyuluhan perikanan
nasional, dan penyediaan dana untuk ke-
lompok masyarakat tidak mampu; pem-
bangunan sarana penyediaan tenaga lis-
trik belum berkembang daerah terpencil
dan perdesaan.
2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
konkuren di luar urusan pada angka 1 di-
laksanakan oleh susunan/tingkatan pe-
merintahan sesuai pembagian urusan pe-
merintahan sebagaimana terdapat dalam
UU No. 23 Tahun 2014.
3. Khusus penyelenggaraan perizinan da-
lam bentuk pemberian atau pencabutan
izin dilaksanakan oleh susunan/tingkat-
an pemerintahan sesuai pembagian urus-
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014
Suryanto
144 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
an pemerintahan sebagaimana terdapat
dalam UU No. 23 Tahun 2014 dengan
mengutamakan kecepatan dan kemudah-
an proses pelayanan perizinan serta
mempertimbangkan proses dan tahapan
yang sudah dilalui.
4. Penataan/perubahan perangkat daerah
untuk melaksanakan urusan pemerinta-
han konkuren hanya dapat dilakukan se-
telah ditetapkannya hasil pemetaan uru-
san pemerintahan sebagaimana dimak-
sud dalam UU No. 23 Tahun 2014.
5. Urusan pemerintahan umum sebagaima-
na dimaksud dalam Pasal 25 UU No. 23
Tahun 2014 dilaksanakan oleh Badan/
Kantor Kesbangpol dan/atau Biro/Bagi-
an pada sekretariat daerah yang membi-
dangi pemerintahan sebelum terbentuk-
nya instansi vertikal yang membantu gu-
bernur dan bupati/walikota untuk me-
laksanakan urusan pemerintahan umum
tersebut.
6. Pelaksanaan tugas dan wewenang Gu-
bernur selaku Wakil Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91
UU No. 23 Tahun 2014 dibantu SKPD
provinsi sampai dengan dibentuknya pe-
rangkat gubernur sebagai Wakil Peme-
rintah Pusat.
7. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di
atas, Gubernur, Bupati, dan Walikota di-
minta: a) Menyelesaikan secara seksama
inventarisasi P3D antar susunan peme-
rintahan sebagai akibat pengalihan uru-
san pemerintahan konkuren paling lam-
bat tanggal 31 Maret 2016 dan serah te-
rima personel, sarana dan prasarana,
serta dokumen (P2D) paling lambat tang-
gal 2 Oktober 2014, b) Gubernur, Bupati/
Walikota segera berkoordinasi terkait
dengan pengalihan urusan pemerintahan
konkuren, c) Melakukan koordinasi de-
ngan kementerian/lembaga terkait yang
membidangi masing-masing urusan pe-
merintahan dan dapat difasilitasi oleh
Kemendagri, d) Melakukan koordinasi
dengan pimpinan DPRD masing-masing,
dan e) Melaporkan pelaksanaan Surat
Edaran ini kepada Menteri Dalam Negeri
pada kesempatan pertama.
Bagaimanapun, terbitnya surat edaran ini
setidaknya dapat menjadi “guidance” bagi
pemerintah daerah dalam mengimplementa-
sikan urusan pemerintahan yang menjadi ke-
wenangannya. Sebagaimana diketahui bersa-
ma, beberapa bagian urusan pemerintahan
telah mengalami perubahan atau pergeseran
dari sebelumnya. Sebagai contoh, manajemen
pendidikan menengah yang semula menjadi
kewenangan kabupaten/kota kemudian dige-
ser/dipindahkan kepada pemerintah provin-
si. Pergeseran pengelolaan pendidikan mene-
ngah dari pemerintah daerah kabupaten/ko-
ta ke pemerintah daerah provinsi tentunya
tidak sesederhana yang dibayangkan. Oleh
karena, implementasi pengelolaan urusan pe-
ndidikan khususnya urusan manajemen pe-
ndidikan menengah perlu dibimbing dengan
regulasi yang lebih sesuai.
Memang disadari bahwa kebiasaan menu-
nggu petunjuk pelaksanaan dari pemerintah
pusat sebenarnya dapat dikatakan ‘kurang
baik’, namun dalam konteks pelaksanaan
urusan pemerintahan kiranya keberadaan
peraturan pelaksana tersebut masih tetap
relevan. Untuk itu, Pemerintah sebaiknya
segera mengambil langkah-langkah akselera-
si (percepatan) untuk menerbitkan Peratu-
ran Pemerintah (PP)2 atau peraturan pelak-
sana yang lebih tinggi dari SE sebagai payung
hukum SE Mendagri No. 120 Tahun 2015 dan
sekaligus sebagai pengganti PP tentang pem-
bagian urusan pemerintahan. Pembahasan
perubahan PP tadi sedapat mungkin dilaksa-
nakan dengan mengikutsertakan segenap
stakeholders di antaranya K/L, pemda pro-
vinsi, pemda kabupaten/kota, dan para pakar
atau pemerhati kepemerintahan daerah.
Selain itu, antisipasi yang dapat dilakukan
adalah menerbitkan peraturan presiden (PP)
sesuai amanat Pasal 15 Ayat (2) UU No. 23
Tahun 2014: Urusan pemerintahan konkuren
2 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan umum akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pertanyaan kritisnya ada-lah bagaimana dengan urusan wajib dan pilihan, apakah cukup berpegang pada lampiran UU No. 23/2014 ataukah harus menunggu lahirnya PP pengganti PP No. 38/2007?
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 145
yang tidak tercantum dalam Lampiran Un-
dang-Undang ini menjadi kewenangan tiap
tingkatan atau susunan pemerintahan yang
penentuannya menggunakan prinsip dan kri-
teria pembagian urusan pemerintahan kon-
kuren; dan Ayat (3): Urusan pemerintahan
konkuren sebagaimana dimaksud pada Ayat
(2) ditetapkan dengan peraturan presiden.
F. PENUTUP
Produk perundangan silih berganti hadir
di tengah carut-marutnya kehidupan masya-
rakat, berbangsa dan bernegara. Tujuannya
tidak lain untuk memberikan jaminan dan
kepastian, jaminan akan masa depan yang
lebih baik dari sebelumnya. Namun ada
kalanya, peraturan perundangan yang hadir
justru telah memiliki ‘cacat bawaan’ atau
paling tidak potensi yang mengarah kepada
kondisi ‘cacat kinerja’. Menurut penulis,
hadirnya UU No. 23 Tahun 2014 merupakan
obat untuk menyembuhkan penyakit yang
disebabkan pemberlakuan UU sebelumnya.
Oleh karenanya, penulis mencoba mengela-
borasi permasalahan-permasalahan yang
mungkin timbul dalam implementasinya ke-
lak.
Dengan mengikuti alur berpikir Dwiyanto
(2012), penulis telah mengidentifikasi bebe-
rapa problematika dalam pelaksanaan uru-
san pemerintahan yang tertuang dalam UU
No. 23 Tahun 2014, di antaranya: Pertama,
permasalahan yang berasal dari isu distorsi
penyelenggaraan urusan pemerintahan dae-
rah dan, kedua, isu perubahan distribusi uru-
san pemerintahan dan kriteria pembagian
urusan pemerintahan. Dalam konteks pem-
berlakuan UU No. 23 Tahun 2014, upaya un-
tuk menelisik kemungkinan munculnya per-
masalahan-permasalahan turunannya masih
tetap relevan dan layak menjadi perhatian
semua pihak guna menyusun antisipasi pe-
nanggulangannya.
Beberapa langkah antisipasi yang perlu
ditempuh antara lain: Pertama, Kementerian
Dalam Negeri dan stakeholders terkait diha-
rapkan segera menerbitkan peraturan per-
undang-undangan yang diamanatkan dalam
UU No. 23/2014, yakni peraturan pemerintah
(PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Per-
soalannya apakah perlu dilakukan penyem-
purnaan/revisi PP No. 38 Tahun 2007 ten-
tang Pembagian Urusan Pemerintahan guna
mempertegas pembagian yang sudah tertu-
ang dalam lampiran UU No. 23/2014? Hal ini
menjadi menarik, mengingat pemikiran un-
tuk merevisi PP No. 38/2007 sebenarnya
bertentangan dengan UU No. 23/2014 karena
amanat untuk menerbitkan PP hanya dituju-
kan pada ketentuan pelaksanaan urusan pe-
merintahan umum (Pasal 25 Ayat 7) dan pe-
rubahan terhadap pembagian urusan peme-
rintahan konkuren antara Pemerintah Pusat
dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/
kota yang tercantum dalam lampiran UU No.
23/2014 (Pasal 15 Ayat 4).
Kedua, penataan kembali hubungan an-
tarlevel pemerintahan, termasuk hubungan
pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam
implementasi urusan pemerintahan yang le-
bih baik di masa mendatang.
G. DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus, Pembagian Urusan Peme-
rintahan: Problematika dan Rekomen-
dasi Kebijakan, DSF: 2012
Nurcholis, Hanif, 2005, Teori dan Praktik Pe-
merintahan dan Otonomi Daerah, Gra-
sindo: Jakarta
Suryanto, Adi dkk., 2008, Manajemen Peme-
rintahan Daerah, LAN: Jakarta
Wasistiono, 2009, Perkembangan Organisasi
Kecamatan dari Masa Ke Masa, Fokus
Media: Bandung
Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Da-
ya Aparatur, 2015, Policy Paper: Desa-
in Organisasi Pemerintah Desa Prog-
resif Kontekstual-Menata Struktur Pe-
rangkat Desa Berdasarkan Karakteris-
tik Kewenangannya Pasca UU No. 6
Tahun 2014.
Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara,
2013, Kedudukan dan Kewenangan
Pejabat Publik Menurut Perspektif
HAN, LAN: Jakarta
Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, 2004,
Sistem Manajemen Kinerja Otonomi
Daerah, LAN: Jakarta
Urusan Pemerintahan Daerah: Kemungkinan Problematika Implementasi UU No. 23 Tahun 2014
Suryanto
146 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ten-
tang Desa
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ten-
tang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Peraturan Menteri Desa, PDT, dan Transmi-
grasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pedoman Kewenangan Berdasarkan
Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal
Berskala Desa
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp-
content/uploads/2015/04/SOSIALIS
ASI-UU-NO-23-tAHUN-2014-
KEBUDAYAAN-DIR-UPD-II1.pdf
https://plus.google.com/+VianMolo/posts/
hoGUtZBRMLj tentang Efektivitas Pe-
limpahan Wewenang Walikota/Bupati
kepada Camat dalam Penyelenggara-
an Otonomi Daerah di tingkat Keca-
matan.
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 147
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa
Aristocrats and Traditional Institutions as Intermediary Actors in Sumbawa
Yogi Setya Permana
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Abstrak Pasca desentralisasi, dalam perpolitikan lokal di Indonesia berkembang fenomena baru, yaitu pengu-atan identitas lokal. Salah satu contoh menguatnya identitas lokal adalah bangkitnya lembaga adat seperti kerajaan dan lembaga adat lainnya. Pada saat yang sama, desentralisasi juga meningkatkan kehadiran aparatur negara, terutama di pulau-pulau terluar Indonesia. Birokrasi merepresentasikan kekuasaan negara pun mendominasi kepemimpinan politik di daerah-daerah tersebut. Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah contoh daerah pulau terluar yang me-ngalami peningkatan masif keberadaan aparatur negara dan kebangkitan identitas lokal pada saat yang bersamaan. Birokrat di sana mendominasi kepemimpinan formal maupun informal. Sementara itu, kelompok bangsawan lokal membangkitkan semangat kerajaan dengan merevitalisasi Lembaga Adat Tana Samawa (LATS). Dalam dokumen resminya, LATS dimaksudkan sebagai aktor penengah yang memediasi antara pemerintah daerah dan masyarakat. Oleh sebab itu, muncul pertanyaan apa-kah kehadiran LATS dengan modal simboliknya mampu memperkuat demokrasi lokal di Sumbawa sebagai penyeimbang kepemimpinan politik yang selama ini dimonopoli oleh birokrat. Artikel ini akan mengelaborasi sejauh mana kehadiran LATS di Sumbawa dapat memperkuat demo-krasi lokal di tengah derasnya pertumbuhan aparatur negara.
Kata kunci: Bangsawan, Lembaga Adat Tana Samawa, Birokrat, Aktor Penengah, Desentralisasi
Abstract
After decentralization been applied, local politics in Indonesia is marked by the emergence of new
phenomena such as the strengthening of local identity. The example of strengthening the local
identity is the revival of traditional institutions such as the monarchy and adat institutions. At the
same time, decentralization condition to the expansion of the state apparatus especially in the outer
islands. State authorities that represented by the bureaucracy dominate the political leadership in
these areas.
Sumbawa District in West Nusa Tenggara Province is an example of an area in the outer island that is
experiencing a massive expansion of the state apparatus and the revival of local identities at the same
time. The bureaucrat apparatus dominates formal and informal leadership in the region. Meanwhile,
the Sumbawa aristocrats evoke the romance of the monarchy with revitalizing Lembaga Adat Tana
Samawa (LATS). In the official documents, it is noted that LATS is intended to be as intermediary
actors that mediate between local governments and society. Therefore, it raises a question namely is
the presence of LATS with the symbolic capital can strengthen local democracy in Sumbawa as balan-
cing political leadership that monopolized by bureaucrats?
This essay will elaborate to what extent the presence of Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) in
Sumbawa can strengthen local democracy in the midst of a massive expansion of the state apparatus.
Key words: Aristocrats, Lembaga Adat Tana Samawa, Bureaucrats, Intermediary Actors, Decen-
tralization.
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa
Yogi Setya Permana
148 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Gambar 1. Peta Kabupaten Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat
A. PENGANTAR
Setelah kebijakan desentralisasi diaplika-
sikan, politik lokal di Indonesia ditandai oleh
kemunculan berbagai fenomena baru salah
satunya adalah penguatan identitas lokal.
Fenomena penguatan identitas lokal ini bisa
dilihat melalui kebangkitan kembali lembaga-
lembaga tradisional seperti aristokrasi dan
lembaga adat. Aristokrasi yang dimaksudkan
ialah sistem kesultanan atau kerajaan yang
dijalankan oleh para bangsawannya. Pada
saat yang sama, desentralisasi mengkondisi-
kan terjadinya perluasan dominasi negara
(state apparatus expansion) di level kabupa-
ten/kota. Otoritas negara yang direpresenta-
sikan oleh birokrasi atau pemerintah daerah
menjadi kekuatan yang dominan dalam poli-
tik dan kepemimpinan di daerah-daerah. Bi-
rokrasi menjadi begitu kuat terutama di dae-
rah-daerah yang sumber daya ekonominya
menggantungkan pada anggaran daerah
(APBD) dan dana alokasi dari pemerintah
pusat. Tidak adanya entitas kelompok masya-
rakat sipil dan para aktor-aktor penengah
(intermediary actors) yang mampu mengim-
bangi dominasi birokrasi di daerah membuat
pelembagaan demokrasi lokal terhambat.
Kabupaten Sumbawa yang berada di Pro-
vinsi Nusa Tenggara Barat merupakan se-
buah contoh tentang daerah di pulau terluar
yang mengalami perluasan dominasi negara
(state apparatus expansion) secara masif se-
kaligus kebangkitan kembali identitas lokal
secara bersamaan. Para birokrat daerah men-
dominasi baik kepemimpinan formal maupun
informal di kabupaten tersebut. Sementara
itu, para aristokrat Sumbawa membangkit-
kan romantisme sejarah dengan merevitali-
sasi Kesultanan Sumbawa melalui Lembaga
Adat Tana Samawa (LATS). Di dalam doku-
men resminya, para pendiri LATS bertujuan
untuk menempatkan lembaga tersebut seba-
gai aktor yang mampu menjembatani antara
pemerintah daerah dan masyarakat di Sum-
bawa. Dengan demikian, hal ini memuncul-
kan pertanyaan lebih jauh yakni apakah
LATS, sebagai sebuah aktor intermediari,
mampu memperkuat demokrasi lokal di
Sumbawa?
Saya berargumen bahwa LATS tidak
mampu untuk berfungsi sebagai aktor inter-
mediari yang baik karena ada dua faktor yang
berpengaruh. Pertama, ada persoalan kelem-
bagaan yang membuat kinerja LATS tidak
responsif dan efektif; Kedua, adanya kepen-
tingan ekonomi dan politik yang mengakibat-
kan LATS tidak melakukan pembelaan terha-
dap kelompok yang terpinggirkan. Artikel ini
akan mengelaborasi sejauh mana kehadiran
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 149
Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) mampu
menjalankan perannya sebagai aktor-aktor
penengah dalam rangka memperkuat demo-
krasi lokal di Sumbawa. Struktur dari artikel
ini terdiri dari (i) pengantar (ii) ulasan teore-
tis (iii) latar belakang sejarah dan politik
Sumbawa (iv) elaborasi LATS sebagai aktor
penengah (intermediary actor) (v) kesimpul-
an.
B. ULASAN TEORI
Saat ini kita bisa menemukan banyak lite-
ratur akademis tentang politik Indonesia
yang mendiskusikan fenomena penguatan
identitas lokal terutama setelah berakhirnya
rezim Orde Baru dan dimulainya sistem de-
sentralisasi (Mietzner dalam Hill, 2014:
Schulte Nordholt dalam Harris, Stokke,
Tornquist, 2005; Davidson dan Henley (ed),
2007). Sentimen kebangkitan kembali identi-
tas lokal merupakan konsekuensi dari mana-
jemen nation-building pada masa rezim Orde
Baru yang menerapkan kebijakan sentralisasi
secara ketat (Mietzner dalam Hill, 2014).
Suharto mengontrol beragam kelompok etnis
dan budaya di Indonesia secara represif
dengan menggunakan retorika persatuan dan
kesatuan. Birokrasi, Golkar, dan militer me-
rupakan lembaga yang menjadi alat politik
bagi Rezim Orde Baru untuk memastikan
kontrol yang efektif dan dominasinya di selu-
ruh wilayah Indonesia. Para birokrat senior
dan petinggi militer dari Jawa dikirim ke ber-
bagai tempat di Indonesia untuk menjadi
kepala daerah terutama di daerah-daerah pu-
lau terluar.
Bentuk dari penguatan identitas lokal
adalah kebangkitan kembali simbol-simbol
otoritas pra-republik (Van Klinken dalam Da-
vidson dan Henley, 2007). Desentralisasi me-
ndorong terjadinya revivalisme identitas, bu-
daya, adat, dan aristokrasi dalam dinamika
politik lokal. Kebangkitan ini merefleksikan
suatu sentimen primordial yang khas dima-
na keterikatan dengan tanah, komunitas, dan
adat-istiadat merupakan referensi pilihan po-
litik utama yang mengalahkan logika-logika
keterikatan lainnnya seperti negara bangsa,
kelas, dan hukum negara (Henley, Davidson,
Moniaga (Eds) dalam Pendahuluan, 2010, hal.
50). Revivalisme sentimen primordial ini
disebabkan pula oleh kebutuhan akan tertib
politik baru yang belum bisa disediakan de-
ngan baik oleh aturan dan sistem politik mo-
dern. Ketidakadilan sosial, lemahnya hukum,
dan tindak kekerasan yang sering terjadi me-
mbuat masyarakat di banyak daerah mencari
solusi alternatif dimana tradisi dan adat-isti-
adat adalah jawaban sementara (Henley, Da-
vidson, Moniaga (Eds) dalam Pendahuluan,
2010, hal. 18).
Para sultan mencoba eksis kembali dalam
peta politik lokal dengan menghadirkan gam-
baran bukan sebagai diktator yang menung-
gangi feodalisme akan tetapi lebih sebagai
representasi adat, identitas, komunitas lokal,
milik bersama (common good), serta mena-
warkan rasa aman. Orde Baru dengan para-
digma pertumbuhan ekonomi dan develop-
mentalismenya telah mengasingkan masya-
rakat di akar rumput Indonesia. Naik-tu-
runnya dinamika politik pasca 1998 juga me-
rongrong rasa aman di benak warga. Etnisi-
tas, indigenitas, adat, dan dongeng-dongeng
tentang keraton merupakan jalan pulangnya
mereka dari alienasi karena menawarkan ke-
akraban akan nilai dan ikatan lama yang
telah (di)hilang(kan) (Van Klinken dalam Da-
vidson, Henley, Moniaga (eds) 2010, hal.
169). Para sultan memiliki peranan simbolik
yang bisa dimanfaatkannya sendiri untuk
meraih jabatan publik atau untuk mendu-
kung kepemimpinan politik lokal tertentu.
Peranan ini kerap bersinggungan dengan ke-
kuasaan birokrasi dan kontrol atas tanah.
Peranan simbolik sultan juga merupakan per-
taruhan dalam perlawanannya terhadap mo-
dernitas yang menggerus rasa hormat ma-
syarakat terhadap institusi kerajaannya (Van
Klinken dalam Davidson, Henley, Moniaga
(eds) 2010). Gerry Van Klinken (dalam Da-
vidson, Henley, Moniaga (eds) 2010, hal. 169)
mencatat bahwa terdapat lusinan aristokrasi
yang pamornya meningkat atau mulai dike-
nal kembali oleh publik seperti Keraton Kase-
puhan di Cirebon. Ada juga beberapa keraja-
an di Borneo dan Maluku Utara yang bangkit
kembali untuk muncul di dalam masyarakat.
Terakhir, ada enam aristokrasi yang sedang
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa
Yogi Setya Permana
150 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
mengalami penggalian kembali peninggalan
kerajaan seperti Kesultanan Jailolo.
Studi Ari Dwipayana yang membanding-
kan aristokrasi di dua kota (Gianyar dan Su-
rakarta) pasca Orde Baru menangkap kesan
yang kurang lebih sama dengan kesimpulan
Van Klinken bahwa ada kebangkitan kembali
atau minimal daya survivalitas kelompok
aristokrasi dalam sistem politik yang baru
lewat berbagai strategi. Strategi survivalitas
dari aristokrasi di dua kota tersebut adalah
berayun dari politik akomodatif ke konfron-
tatif atau sebaliknya tergantung dari kekua-
tan dari luar. Apabila kekuatan dari luar atau
daya desak eksternal itu sangat kuat maka
kelompok aristokrat akan mengambil jalan
politik akomodatif namun jika kekuatan dari
luar yang mendesak perubahan itu berada
dalam kekuatan yang seimbang maka ayunan
akan mengarah ke politik konfrontatif (Dwi-
payana, 2004. hal. 158).
Selain tentang penguatan identitas, desen-
tralisasi juga mengondisikan terjadinya pene-
trasi negara secara masif di daerah. Desen-
tralisasi memperkuat kehadiran negara (pu-
sat) di daerah-daerah (Mietzner dalam Hill,
2014: 47). Hal ini tentunya berlawanan de-
ngan asumsi umum yang diterima tentang
desentralisasi dimana desentralisasi mem-
perlemah negara. Pengertian dari desentra-
lisasi adalah pemerintah pusat mendelegasi-
kan sebagian kewenangan atau otoritas kepa-
da pemerintah daerah namun tidak serta-
merta negara menjadi lemah (Mietzner da-
lam Hill (ed), 2014: 57). Kehadiran negara
melalui lembaga birokrasinya menjadi se-
makin bertambah signifikan di daerah-dae-
rah terluar Indonesia yang bahkan pada masa
pemerintahan Orde Baru belum begitu ter-
sentuh. Penyebab utamanya adalah karena
kebijakan pemekaran daerah yang membuat
negara semakin dekat kepada publik. Repre-
sentasi utama kehadiran negara di daerah-
daerah saat ini bukanlah militer seperti yang
terjadi pada masa lalu melainkan birokrasi si-
pil (Mietzner dalam Hill (ed), 2014: 58).
Birokrasi yang kuat di dalam politik lokal
bisa terlihat pada masa-masa awal setelah
transisi 1998 dimana mayoritas dari kepala
daerah memiliki latar belakang sebagai biro-
krat (Aspinall dan Fealy dalam Malley, 2003).
Setelah reformasi 1998, birokrat di daerah
adalah elite lokal yang dibesarkan oleh rezim
Orde Baru. Mereka mampu untuk beradapta-
si dengan sistem politik yang baru sehingga
mampu mempertahankan keberlangsungan
dominasi kekuasaannya. Setelah diberlaku-
kannya kebijakan pemilihan kepala daerah
secara langsung pada tahun 2005, birokrat
mampu untuk mempertahankan dominasi-
nya di banyak daerah. Tercatat bahwa 36
persen dari para kandidat yang maju dalam
50 pilkada yang dipilih dalam survey, memi-
liki latar belakang birokrasi. Posisi kedua ter-
banyak ditempati oleh pengusaha sebanyak
28 persen dan diikuti oleh politisi atau ang-
gota DPR baik pusat maupun daerah seba-
nyak 22 persen (Mietzner, 2014). Hal ini me-
nunjukkan walaupun rezim politik berubah,
para elite lama masih bisa bertahan. Mereka
mampu beradaptasi dengan sistem politik
yang berubah.
Bertahannya elite lama menggambarkan
betapa dominasi elite bisnis-politik pada ma-
sa Orde Baru masih terjaga. Walaupun Suhar-
to sudah jatuh dari kekuasaan, dominasi elite
oligarki tidak terputus (Robison dan hadiz,
2004). Oligarki masih mampu bertahan di te-
ngah tekanan reformasi tata kelola pemerin-
tahan yang didorong oleh berbagai lembaga
donor dan lembaga keuangan internasional
(Robison dan Hadiz, 2013). Kesuksesan oli-
garki untuk mampu bertahan karena mereka
masih mampu merawat jaringan yang ada di
institusi negara maupun di sektor ekonomi.
Para predator politik yang memiliki afiliasi
secara langsung maupun tidak langsung de-
ngan oligarki nasional kemudian membajak
agenda-agenda desentralisasi (Hadiz, 2010).
Sirkulasi kekuasaan pada level lokal terbatas
pada kelompok oligarki yang mampu bera-
daptasi secara tepat. Kelompok oligarki ini
beraliansi dengan para multi level kapitalis di
tingkat lokal, nasional, dan internasional un-
tuk mendominasi sumber daya politik dan
ekonomi di daerah-daerah (Hadiz, 2010).
Dengan demikian, dalam rangka merawat
advokasi terhadap kepentingan publik dan
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 151
pendalaman demokrasi, peran dari para ak-
tor intermediari bisa diharapkan. Konsep
tentang aktor-aktor intermediari ini merujuk
pada konsep yang diajukan oleh Olle Torn-
quist (2009) di dalam bukunya yang berjudul
“Rethinking Popular Representation”. Aktor-
aktor intermediari merupakan aktor perse-
orangan atau lembaga yang mampu bertin-
dak sebagai mediator antara publik dengan
urusan publik. Maksud dari urusan publik ia-
lah kepentingan bersama yang harus dikon-
trol oleh orang banyak seperti yang berkaitan
dengan kebutuhan dasar, akuntabilitas, dan
common goods. Lebih jauh lagi, urusan publik
bisa dicontohkan dengan pelayanan keseha-
tan yang terjangkau, biaya pendidikan yang
murah namun bermutu, atau pemenuhan ra-
sa aman dari instrumen koersif negara yang
profesional.
Ada tiga jenis mediasi (Tornquist, Web-
ster, and Stokke, 2009). Jenis yang pertama
adalah melalui masyarakat sipil seperti NGO,
kelompok-kelompok asosiasi, dan diskursus
publik. Masyarakat sipil dalam hal ini didefi-
nisikan bukan yang terisolasi hanya di level
akar rumput namun juga mampu berfungsi
sebagai mediator yang bernegosiasi dengan
entitas-entitas politik lain. Jenis kedua adalah
melalui masyarakat politik yakni partai seba-
gai aktor utama. Jenis ketiga adalah tokoh-to-
koh informal atau kelompok yang utamanya
berdasarkan hubungan kekerabatan, agama,
dan etnisitas.
C. ARISTOKRAT DAN POLITIK DI KABU-
PATEN SUMBAWA
Pada bagian ini saya akan menjelaskan
peran dari para aristokrat Sumbawa di dalam
politik. Hal ini penting karena dengan menge-
laborasi latar belakang sejarah Aristokrasi
Sumbawa, kita akan memahami konteks ke-
munculan Lembaga Adat Tana Samawa
(LATS) dan kebangkitan kembali Kesultanan
Sumbawa. Fenomena kemunculan LATS me-
rupakan konsekuensi dari sejarah politik di
Sumbawa. Pemahaman LATS sebagai aktor
antara pun akan didapatkan secara kompre-
hensif.
Pada masa kolonial, Belanda menjalin ali-
ansi dengan elit aristokrat dalam rangka
menjalankan pemerintahan tidak langsung
atau indirect rule. Setelah Indonesia merdeka,
para aristokrat bersaing dengan aktor-aktor
politik lainnya untuk mempertahankan posisi
kekuasaan. Aristokrasi, terutama di pulau-
pulau terluar, bekerja sama dengan para bi-
rokrat dari Jawa untuk mempertahankan po-
sisi politiknya dari lawan-lawan politik pada
tahun 1950-an. Para birokrat kiriman dari Ja-
wa tersebut mendapatkan keuntungan dari
aliansi yang terjalin dengan para aristokrat
dalam menghadapi musuh bersama yakni
partai Islam dan kelompok kiri.
Akan tetapi, situasi di Sumbawa menun-
jukkan kondisi yang berbeda. Tidak ada kon-
flik besar yang terjadi terkait dengan segre-
gasi politik yang umum terjadi pada tahun
1950 – 1960-an. Situasi di Sumbawa cukup
berbeda dengan yang terjadi di Jawa maupun
daerah-daerah lainnya di Provinsi Nusa
Tenggara Barat seperti Bima dan Lombok.
Kesultanan Sumbawa dengan kekuatan-ke-
kuatan politik lainnya relatif mampu men-
jaga perdamaian bersama. Kelompok-kelom-
pok Islam reformis seperti Muhammadiyah
dan PSII merupakan pendukung Kesultanan
Sumbawa. Dengan kemampuannya untuk
merangkul kelompok-kelompok Islam, Aris-
tokrat Sumbawa bisa mempertahankan ka-
risma dan otoritasnya di dalam masyarakat.
Aristokrat Sumbawa mulai kehilangan ek-
sistensinya sejak penghapusan status kesul-
tanan dan penetapan Sumbawa sebagai wila-
yah Swatantra II atau sederajat dengan kabu-
paten pada akhir tahun 1950-an. Kemerosot-
an eksistensi aristorkat Sumbawa ini berlan-
jut hingga masa Orde Baru dimana tidak ada
lagi aristokrat yang menjadi bupati di Sumba-
wa. Bupati terakhir yang berlatar belakang
aristokrat adalah Sultan Mohammad Kaha-
ruddin III yang menjabat pada tahun 1959
sebelum digantikan oleh Madilau ADT pada
tahun 1960. Madilau ADT merupakan biro-
krat karir yang menjadi bupati Sumbawa
dalam kurun waktu cukup lama yakni 1960 –
1965 dan 1979 – 1989.
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa
Yogi Setya Permana
152 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Terbentuknya Rezim Orde Baru menandai
pula akan mundurnya kekuasaan Aristokrat
Sumbawa. Militer mendominasi politik di
tingkat lokal maupun nasional pada masa Or-
de Baru. Kandidat yang akan menjadi bupati
sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat me-
lalui Menteri Dalam Negeri. Para aristokrat
Sumbawa kemudian mencoba untuk berga-
bung ke Golkar dengan harapan mampu tera-
komodasi dalam kekuasaan. Akan tetapi, ha-
rapan para arsitokrat tersebut tidak bisa ter-
wujud. Mereka masih terpinggirkan dalam
kepemimpinan politik di Kabupaten Sumba-
wa.
Semua bupati yang pernah menjabat di
Sumbawa memiiki latar belakang sebagai bi-
rokrat atau anggota militer. Tidak ada satu-
pun bupati yang berlatar belakang aristokrat.
Hasan Usman (1967 – 1979) adalah seorang
birokrat karir yang berasal dari keluarga pe-
tani biasa. Jakob Koswara (1989 – 1999) me-
rupakan seorang perwira militer yang bera-
sal dari Jawa Barat. Sebelum menjadi bupati,
Ia adalah seorang komandan militer yang
bertempat di Mataram, ibukota Provinsi Nusa
Tenggara Barat. Ia ditugaskan oleh pemerin-
tah pusat sebagai bupati di Sumbawa (wa-
wancara dengan Arassy Muhkan, 9 Juni,
2012). Situasi yang terjadi di Kabupaten
Sumbawa tersebut menggambarkan hubung-
an pusat-daerah yang diciptakan oleh Rezim
Orde Baru. Pemerintah pusat mengontrol se-
cara ketat kepemimpinan politik di tingkat
lokal. Marcus Mietzner (dalam Hill (ed),
2014: 58) mencatat bahwa 73 persen dari
seluruh provinsi di luar Jawa pada periode
tahun 1965 – 1998 dijabat oleh gubernur
yang berasal dari Jawa atau Sunda. Selain itu,
20 dari 26 provinsi pada tahun 1970 dijabat
oleh gubernur yang berlatar belakang militer
(Nordholt dalam Harris, Stokke, Tornquist,
2005).
Disamping penghapusan status kesultan-
an, penurunan eksistensi Aristokrasi Sumba-
wa disebabkan oleh hilangnya kuasa dan
kontrol atas tanah kesultanan. Kebijakan land
reform yang dikeluarkan oleh Sukarno mela-
lui Undang-Undang Agraria tahun 1960, me-
ngurangi kepemilikan tanah dari para aristo-
krat Sumbawa secara signifikan. Bagi para
aristrokat, tanah merupakan sumber daya
ekonomi yang sangat penting. Melalui pengu-
asaannya atas tanah, mereka menjaga struk-
tur patronase. Dengan hilangnya basis sum-
ber daya ekonomi tersebut, para aristokrat di
Sumbawa kehilangan pengaruhnya di masya-
rakat secara drastis.
Sebelumnya, Aristokrat Sumbawa mengu-
asai lebih kurang 500 hektar tanah komunal.
Kesultanan Sumbawa mempunyai hak kepe-
milikan terhadap tanah yang sangat luas mi-
rip dengan tanah sultan yang ada di Yogya-
karta. Tanah yang dimiliki oleh Kesultanan
Sumbawa disebut sebagai ‘uma pemangan’
dimana maksudnya ialah tanah sawah yang
berfungsi sebagai sumber makanan bagi is-
tana dan penghuninya. ‘Uma pemangan’ yang
dimiliki oleh kesultanan sebagian besar me-
rupakan tanah subur dengan sistem irigasi
yang baik. Setelah kebijakan land reform di-
laksanakan di Sumbawa, tanah tersebut tidak
lagi dimiliki oleh kesultananan karena status
kepemilikannya berpindah. Akan tetapi, sta-
tus kepemilikan tanah kesultanan tersebut
tidak serta merta semuanya dimiliki oleh pu-
blik. Militer menguasai lebih dari 37 ribu me-
ter persegi yang digunakan sebagai Markas
Polisi Militer dan perumahan untuk prajurit
(wawancara dengan pengurus LATS, 7 Juni
2012).
Setelah runtuhnya Rezim Orde Baru, do-
minasi birokrat di dalam politik formal mau-
pun informal belum tergantikan. Semua bu-
pati yang terpilih memiliki latar belakang bi-
rokrasi. Latif Madjid yang menjadi bupati pa-
da periode 2000 -2005 sebelumnya menjabat
sebagai Sekretaris Daerah kabupaten Sumba-
wa Barat. Jamaluddin Malik yang terpilih se-
bagai bupati pada tahun 2005 – 2015 posisi
terakhirnya adalah Sekretaris Daerah Kabu-
paten Sumbawa. Asosiasi-asosiasi kelompok
masyarakat pun dipimpin oleh para birokrat
baik yang sudah pensiun maupun yang masih
aktif bekerja. Kelompok-kelompok asosiasi
masyarakat seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan Forum Persaudaraan Umat Ber-
agama (FPUB) dipimpin oleh para pensiunan
birokrat. Lebih jauh lagi, banyak dari para bi-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 153
rokrat yang memiliki surat kabar-surat kabar
lokal di Sumbawa. Tidak sedikit pensiunan
birokrat juga yang menjadi ketua cabang par-
tai politik di Sumbawa.
Dominasi birokrat di Sumbawa juga dipe-
ngaruhi oleh postur anggaran daerah. Ekono-
mi Kabupaten Sumbawa masih bertumpu pa-
da dana dari pemerintah. Sumber keuangan
terbesar Kabupaten Sumbawa pada tahun
2010 beradal dari Dana Alokasi Umum (DAU)
yang jumlahnya mencapai 436 miyar rupiah.
Sementara itu, kontribusi dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD) hanya mencapai 41 milyar
rupiah. Alokasi terbesar dari anggaran peme-
rintah daerah tersebut tentu saja untuk mem-
biayai pengeluaran birokrasi.
Eksistensi Aristokrat Sumbawa mening-
kat sejak kepulangan kembali Daeng Muham-
mad Abdurahman Kaharuddin atau yang se-
ring disebut dengan Daneg Ewan ke Sumba-
wa. Ia adalah putra dari Sultan Muhammad
Kaharuddin III yang merupakan Sultan Sum-
bawa terakhir. Daeng Ewan diangkat diang-
kat menjadi Sultan secara resmi melalui mu-
sakarah adat atau upacara tradisional pada
tahun 2011. Sejak masa mudanya, Daeng
Ewan sudah merantau keluar dari Sumbawa.
Ia kemudian kuliah di Universitas Indonesia
dan berhasil meraih gelar sarjana. Ia kemu-
dian melanjutkan bekerja sebagai bankir.
Daeng Ewan pernah menjadi Direktur Bank
Bumi Daya dan komisaris di Bank Pembangu-
nan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Barat.
Sebelum secara resmi diangkat sebagai
Sultan Sumbawa, Daeng Ewan pernah men-
coba untuk maju sebagai kandidat bupati da-
lam pemilihan kepala daerah secara langsung
Kabupaten Sumbawa pada tahun 2005. Akan
tetapi, Ia tidak mampu memperoleh cukup
dukungan dari partai politik untuk menda-
patkan sedikitnya 15 persen dari total kursi
di lembaga legislatif daerah. Daeng Ewan pun
kemudian tidak lolos syarat administrasi un-
tuk maju dalam tahap pencalonan berikut-
nya. Para pendukung Daeng Ewan percaya
bahwa Latif Madjid, bupati petahana, adalah
aktor yang menyabotase dukungan partai po-
litik yang sebelumnya berjanji untuk diberi-
kan kepada sang putra mahkota tersebut
(wawancara dengan pengurus LATS, 7 Juni
2012). Mereka berasumsi bahwa ada bebera-
pa elite dan pendukungnya yang khawatir
dengan eksistensi aristokrat di Sumbawa. Se-
telah kegagalan dalam tahapan proses pemi-
lihan umum kepala daerah secara langsung
tersebut, Daeng Ewan memilih untuk fokus
melakukan revitalisasi Kesultanan Sumbawa
melalui Lembaga Adat Tana Samawa (LATS).
Ia berharap keberadaannya mampu memper-
kuat kembali eksistensi Aristokrasi Sumbawa
dengan modal simboliknya sebagai sultan
(wawancara dengan Daeng Ewan, 9 Juni,
2012).
D. LATS SEBAGAI AKTOR PENENGAH
Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) sebe-
narnya sudah berdiri sejak tahun 1996 tetapi
payung hukum tentang keberadaan lembaga
adat tersebut baru dibuat pada tahun 2007
yakni melalui Peraturan Daerah Kab. Sumba-
wa No. 23 tahun 2007. LATS saat pertama ka-
li didirikan bertujuan untuk merawat waris-
an budaya Sumbawa. Akan tetapi dengan tia-
danya payung hukum dan pengorganisasian
yang relatif tidak terlembaga dengan baik
maka kinerja LATS tidak optimal. Lembaga
tersebut tidak banyak melakukan aktivitas
dan sepi dari kegiatan. LATS tidak lebih dari
sekedar “lembaga papan nama” yang tidak
memiliki kiprah signifikan. Absennya figur
panutan yang memimpin lembaga adat turut
pula memposisikan LATS tidak terlalu eksis
di tengah masyarakat. Kondisi tersebut mem-
buat LATS tidak mampu untuk mengakomo-
dasi agenda-agenda kebudayaan dan adat-is-
tiadat dalam kebijakan publik di Kabupaten
Sumbawa. Setelah kepulangan Daeng Ewan
ke Sumbawa, LATS diaktifkan kembali seiring
dengan keinginan untuk membangkitkan
kembali Kesultanan Sumbawa. Dengan diang-
katnya Daeng Ewan sebagai pemangku adat
sekaligus Ketua LATS pada Musakarah Adat
2011, Ia diharapkan untuk mampu mening-
katkan eksistensi para aristokrat melalui
LATS.
Penunjukan Daeng Ewan sebagai Ketua
LATS dan penobatannya sebagai Sultan Sum-
bawa ke-17 sesungguhnya sebagai bagian da-
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa
Yogi Setya Permana
154 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
ri upaya revitalisasi eksistensi kesultanan di
dalam masyarakat. Daeng Ewan sejak muda-
nya merantau sehingga relatif kurang ber-
akar di dalam masyarakat Sumbawa. Terle-
bih beliau belum dilantik menjadi sultan keti-
ka masa-masa tersebut. Bupati-bupati yang
memimpin Sumbawa pun lebih banyak yang
berasal dari luar Sumbawa dan bukan dari
keluarga kesultanan. Mayoritas para bupati
tersebut berlatar belakang birokrat dan mili-
ter. Representasi kepemimpinan tradisional
dari Sumbawa di dalam politik formal pun
kemudian menghilang.
LATS dimaksudkan menjadi representasi
simbolik dari warisan kesultanan dan identi-
tas budaya masyarakat Sumbawa karena ke-
sultanan secara resmi telah dihapuskan sejak
bergabung dengan Republik Indonesia. De-
ngan demikian untuk memulihkan eksistensi
tersebut kebutuhan untuk menciptakan figur
panutan menjadi penting. Hal inilah kemudi-
an yang melatarbelakangi revitalisasi LATS
dan penobatan Daeng Ewan menjadi Sultan
Sumbawa. Masyarakat Sumbawa merindukan
atribut budayanya sebagai identitas kolektif
yang beberapa waktu sebelumnya tidak bisa
diekspresikan secara sempurna karena sen-
tralisme ketat politik Orde Baru. Para pemim-
pin politik formal di Sumbawa sebelumnya
dinilai tidak menaruh banyak perhatian ter-
hadap nilai-nilai pengembangan budaya Sa-
mawa.
Musakarah Adat di tahun 2011 juga
menghasilkan keputusan penting selain pe-
nobatan Daeng Ewan sebagai Sultan dan pe-
mangku adat. menempatkan LATS sebagai
lembaga penengah (intermediary) antara pe-
merintah daerah (state) dengan masyarakat
(society). LATS diharapkan menjadi jembatan
mediasi bila terjadi konflik antara pemerin-
tah dengan masyarakat. Peraturan Daerah
Nomor 23 tahun 2007 juga memberikan
tugas bagi LATS untuk bisa berperan menjadi
fasilitator dan mediator dalam penyelesaikan
perselisi-han yang menyangkut adat istiadat
dan kebiasaan masyarakat. Dengan demiki-
an, muncul pertanyaan lebih lanjut yakni
apakah LATS mampu menjadi antor antara
yang mengimbangi dominasi birokrasi di
Sumbawa? Ada dua hal yang menjelaskan
mengapa LATS tidak mampu berfungsi seba-
gai aktor antara secara efektif di Sumbawa
yaitu karena persoalan kelembagaan dan
orientasi terhadap sumber daya ekonomi.
Pertama, adanya persoalan kelembagaan
yang dialami oleh LATS menyebabkan lemba-
ga tersebut tidak mampu bekerja secara efek-
tif sehingga tidak sesuai dengan yang diha-
rapkan pada saat didirikannya. Dominasi pe-
merintah daerah di dalam tubuh organisasi
LATS ternyata sangat besar. Dengan duduk-
nya bupati sebagai anggota dewan penasehat
dan para birokrat lainnya di kepengurusan
LATS, tetap terbuka kemungkinan adanya ko-
optasi oleh pemerintah daerah. Komunitas-
komunitas adat yang ada di Sumbawa tidak
disertakan dalam perumusan peraturan dae-
rah yang mengatur tentang keberadaan
LATS. Hal ini menunjukkan bahwa pada ma-
sa-masa awal keberadaannya, LATS sudah
terkooptasi oleh pemerintah daerah. Komu-
nitas adat Sumbawa, yang dimotori oleh para
aristokrat dan para pendukungnya, tidak di-
berikan ruang untuk merumuskan sendiri
postur kelembagaan dari LATS.
Peraturan daerah tentang LATS tidak di-
lengkapi dengan aturan yang lebih teknis ter-
kait dengan lingkup dengan kewenangan
yang diberikan kepada lembaga tersebut.
Tanpa kewenangan yang jelas tentang ling-
kup kerjanya, LATS tidak mempunyai otono-
mi untuk menentukan agendanya sendiri. Se-
lain itu, para petinggi birokrasi daerah men-
duduki posisi-posisi penting di dalam lemba-
ga sehingga secara tidak langsung kewibawa-
an dari LATS di depan masyarakat pun menu-
run.
Dominasi birokrat di dalam LATS sebe-
narnya bertentangan dengan Peraturan Adat
No. 1 tahun 2009 tentang pemberdayaan, pe-
lestarian perlindungan, dan pengembangan
adat istiadat dan lembaga adat wilayah nega-
ra Republik Indonesia. Peraturan tersebut
memberi mandat bahwa relasi antara lemba-
ga adat dengan pemerintah daerah adalah ke-
mitraan dan koordinatif. Dengan demikian,
lembaga adat bukanlah bawahan dari peme-
rintah daerah. Lembaga adat seharusnya ti-
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 155
dak disubordinasi oleh pemerintah daerah.
Hal ini karena tujuan dari aktor antara, seba-
gaimana LATS, adalah sebagai representasi
alternatif yang menghubungkan antara ma-
syarakat dengan pemerintah.
Kedua, kepentingan terhadap sumber da-
ya ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan keter-
libatan LATS di dalam konflik antara suku
Cek Bocek dengan PT Newmont dan Peme-
rintah Kabupaten Sumbawa. Selain tidak
mencoba untuk melakukan pembelaan terha-
dap suku Cek Bocek, LATS terlibat dalam per-
sekusi terhadap kelompok masyarakat terse-
but dengan modal simbolik yang dimiliki.
Daeng Ewan, sebagai Sultan Sumbawa sekali-
gus pemimpin adat, menggunakan otoritas-
nya untuk memberikan pernyataan bahwa
Suku Cek Bocek bukan bagian dari Kesultan-
an Sumbawa ataupun etnis Samawa. Samawa
merupakan etnis yang tinggal di daerah Ka-
bupaten Sumbawa serta yang mendirikan Ke-
sultanan Sumbawa.
Konflik antara Suku Cek Bocek dengan PT
Newmont dan Pemerintah Kabupaten Sum-
bawa bermula dari penolakan suku tersebut
terhadap kegiatan eksplorasi tambang yang
mencakup 16.568.54 hektar pada tahun 2006
(Harianto, 2012). Penolakan tersebut karena
kegiatan eksplorasi tambang menduduki pe-
mukiman penduduk asli dan tanah leluhur
Suku Cek Bocek. Masyarakat adat Suku Cek
Bocek tersebar pada tiga desa di wilayah se-
latan Kabupaten Sumbawa. Tiga desa ter-
sebut antara lain Desa Lawin, Desa Lebang-
kar, dan Desa Ketapang. Suku Cek Bocek yang
mendiami Desa Lawin berjumlah 400 kepala
keluarga. Sedangkan yang mendiami Desa
Lebangkar dan Ketapang masing-masingnya
berjumlah 500 kepala keluarga dan 600
kepala keluarga (Antara, 7 Januari, 2012). Se-
lain menduduki wilayah pemukiman, kegi-
atan eksplorasi tambang juga mencakup Hu-
tan Elang Dodo yang merupakan tanah lelu-
hur sekaligus lokasi yang disakralkan oleh
Suku Cek Bocek. Mereka juga menggunakan
Hutan Elang Dodo untuk memenuhi kebutuh-
an hidup seperti berburu, beternak madu,
dan mengambil hasil hutan lainnya seperti
kayu.
Kegiatan eksplorasi tambang yang diten-
tang oleh Suku Cek Bocek merupakan bagian
dari kontrak jangka panjang yang telah dise-
tujui oleh Pemerintah Indonesia dan PT New-
mont Gold Company pada tahun 1986. Kon-
trak karya tersebut mengatur operasi PT
Newmont dalam menambang komoditas
tembaga dan emas seluas 1.127.134 hektar
yang berada di wilayah Nusa Tenggara Barat
(Harianto, 2012). Setelah dilaksanakannya
desentralisasi, Pemerintah Kabupaten Sum-
bawa memiliki otoritas untuk menyetujui
perpanjangan kontrak pada tahun 2005.
Suku Cek Bocek kemudian meminta DPRD
untuk membela hak mereka dengan melaku-
kan protes kepada Pemerintah Kabupaten
Sumbawa dan PT Newmont. Akan tetapi, per-
mintaan Suku Cek Bocek tersebut tidak men-
dapatkan respon yang diharapkan. Pemerin-
tah Kabupaten Sumbawa menilai bahwa Hu-
tan Elang Dodo bukan merupakan tanah adat
dari Suku Cek Bocek. Hutan tersebut adalah
milik negara (Sumbawa News, 12 Januari,
2012). Sebagai akumulasi kekecewaan, Suku
Cek Bocek melakukan penghentian aktivitas
eksplorasi PT Newmont secara paksa di ta-
nah yang diklaim sebagai tanah adat, terma-
suk yang ada di Hutan Elang Dodo.
Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) terli-
bat dalam konflik namun bukan dalam kapa-
sitasnya sebagai mediator. Pimpinan LATS,
melalui Daeng Ewan, yang sekaligus sebagai
pemimpin adat, tidak mengakui eksistensi
Suku Cek Bocek sebagai bagian dari etnis Sa-
mawa. Sultan berargumen bahwa keberada-
an Suku Cek Bocek tidak pernah muncul da-
lam catatan sejarah Kesultanan Sumbawa.
Pernyataan dari Daeng Ewan selaku pemim-
pin LATS tersebut menjadi legitimasi Peme-
rintah Kabupaten Sumbawa untuk menolak
tuntutan Suku Cek Bocek (Sumbawa News, 3
Januari, 2012).
Pernyataan pimpinan LATS tersebut ke-
mudian ditolak oleh perwakilan dari Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang
mendampingi Suku Cek Bocek dalam konflik
dengan PT Newmont dan Pemerintah Kabu-
paten Sumbawa. Ketua AMAN, Abdon Naba-
ban, ikut serta secara langsung membantu
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa
Yogi Setya Permana
156 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Suku Cek Bocek dalam beberapa pertemuan
dengan pemerintah dan PT Newmont. AMAN
menyatakan bahwa Suku Cek Bocek sah un-
tuk disebut sebagai orang asli di Sumbawa
(Sumbawa News, 16 Januari, 2012). Hal ini
karena mereka sudah tinggal selama bebera-
pa generasi pada lokasi geografi tertentu dan
menerapkan aturan adat sendiri. Selain itu,
AMAN berpendapat bahwa Lembaga Adat Ta-
na Samawa (LATS) bukanlah representasi
masyarakat adat melainkan Aristokrasi Sum-
bawa. Dengan demikian, LATS merepresenta-
sikan feodalisme yang bertentangan dengan
prinsip egalitarian dalam komunitas adat.
LATS, yang merepresentasikan Kesultan-
an Sumbawa saat ini, tidak mampu untuk
memposisikan diri sebagai aktor antara
seperti yang diharapkan sebelumnya. Modal
simbolis yang dimiliki oleh LATS dan Kesul-
tanan hanya digunakan sebagai alat untuk bi-
sa mengakses sumber daya ekonomi yang di-
sediakan oleh pemerintah maupun korporasi
global. Hal ini, kurang lebih, bisa dilihat dari
bersedianya pemimpin LATS untuk menem-
pati posisi sebagai anggota Komite Konsultasi
Eksplorasi (KKE) PT Newmont Nusa Tengga-
ra.
E. KESIMPULAN
Kasus Sumbawa menunjukkan bahwa pe-
nguatan identitas lokal melalui kebangkitan
kembali aristokrasi tidak memberikan kon-
tribusi yang signifikan bagi pendalaman de-
mokrasi di daerah. Kesultanan Sumbawa
yang direpresentasikan oleh kehadiran Lem-
baga Adat Tana Samawa (LATS) tidak mam-
pu untuk berperan sebagai aktor penengah
(intermediary actor) yang memberikan pem-
belaan terhadap kelompok marjinal. Mereka
justru menjadi bagian dari oligarki lokal –
korporasi global yang menjalin aliansi untuk
membajak agenda-agenda desentralisasi.
Besarnya pengaruh negara melalui peme-
rintah daerah tidak mampu diimbangi oleh
LATS. Dominasi birokrat di tubuh LATS me-
nyebabkan lembaga tersebut relatif tidak in-
dependen. Pengurus LATS non birokrat juga
tidak disertakan dalam perumusan regulasi
yang mengatur kerja LATS. Hubungan antara
LATS dan pemerintah daerah bukan lagi ke-
mitraan melainkan subordinasi. LATS hanya
memberikan dukungan dan legitimasi ter-
hadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah seperti yang terjadi
pada kasus Suku Cek Bocek.
Hal ini cukup ironis mengingat potensi
LATS untuk mampu menjalankan fungsinya
dengan baik sebagai penengah antara state
dengan society (intermediary actors). Legiti-
masi simbolik dari warga karena merupakan
lembaga yang mengakomodasi atribut buda-
ya dan identitas lokal adalah modal yang bisa
dikonversi menjadi alat tekan ampuh terha-
dap pemerintah daerah untuk mendesakkan
kebijakan daerah yang sesuai dengan agenda
LATS. LATS dengan kepengurusannya yang
ditargetkan hingga masuk sampai level desa
memiliki akar yang kuat dalam masyarakat
sehingga kebutuhan untuk mobilisasi massa
pun bukan sesuatu yang sulit. Jangan sampai
LATS hanya menjadi alat para elite lokal, ter-
masuk aristokrat yang muncul kembali, un-
tuk mengejar kepentingan ekonomi-politik.
F. DAFTAR PUSTAKA
Antara News. 2012. “Masyarakat Adat Kha-
watirkan Konflik Horizontal di Sum-
bawa” Mataram: Antara News, Janu-
ary 7.
Dwipayana, AAGN. 2004. Bangsawan dan
Kuasa: Kembalinya Para Ningrat di
Dua Kota. Yogyakarta: IRE Press
Erb, Mariberth dan Priyambudi Sulistyanto
(eds). 2009. Deepening Democracy in
Indonesia? Direct Elections for Local
Leaders (Pilkada). Singapore: ISEAS
Hadiz, Vedi R. 2010. Localising Power in
Post-Authoritarian Indonesia: A
Southeast Asia Perspective. Stanford:
Stanford University Press.
Hadiz, Vedi R. and Richard Robison. 2013.
The Political Economy of Oligarchy
and the Reorganization of Power in
Indonesia. Indonesia, No. 96, Special
Issue: Wealth, Power, and Contempo-
rary Indonesian Politics (October
2013), pp. 35-57
ARTIKEL
JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015 157
Harianto, Iwan. 2012. Sengketa Usaha Perta-
mbangan di Wilayah Hutan Elang Do-
do Kabupaten Sumbawa. University of
Udayana: Unpublished Material
Harris John, Kristian Stokke and Olle Torn-
quist (eds). 2005. Politicising Demo-
cracy: Local Politics and Democratisa-
tion in Developing Countries. London:
Palgrave Macmillan
David Henley, Jamie Davidson, Sandra Moni-
aga (Ed). 2010. Adat dalam Politik In-
donesia. Jakarta: KITLV
Klinken, Gerry Van. “Return of the Sultans:
The Communitarian turn in local Poli-
tics” in Jamie S. Davidson and David
Henley (ed). 2007. The Revival of Tra-
dition in Indonesian Politics: The de-
ployment of adat from colonialism to
indigenism. New York: Routledge
Malley, Michael. “New rules, old structures
and the limits of democratic decentra-
lisation” in Edward Aspinall and Greg
Fealy (ed) 2003. Local Power and
Politics in Indonesia: Decentralisation
and Democratisation. Singapore:
ISEAS
Mietzner, Marcus. “Indonesia’s decentraliza-
tion: the rise of local identities and the
survival of the nation-state” in Hal Hill
(ed). 2014. Regional Dynamics in a
Decentralized Indonesia. Singapore:
ISEAS
Mietzner, Marcus. 2014. More Democracy
Through Pilkada? The Direct Local
Elections Since 2005. Unpublished
Material
Pulau Sumbawa News. 2012. “Pertemuan
Pemda, LATS dengan Cek Bocek Ber-
langsung Ricuh”. Sumbawa Besar: Pu-
lau Sumbawa News, January 16
Pulau Sumbawa News. 2012. “Bupati Sum-
bawa Tidak Akui Suku Cek Bocek”. Su-
mbawa Besar: Pulau Sumbawa News,
January 3
Robison, Richard and Vedi. R. Hadiz. 2004.
Reorganising Power in Indonesia: The
Politics of Oligarchy in an Age of Mar-
kets. London: Routledge.
Schulte Nordholt, Henk dan Gerry van Klin-
ken (eds). 2007. Politik Lokal di Indo-
nesia, Jakarta: KITLV-Yayasan Obor
Indonesia
Schulte Nordholt, Henk dan Ireen Hoogen-
boom (eds). 2006. Indonesian Transi-
tions. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006
Schulte Nordholt, Henk. “Decentralisation in
Indonesia: Less State, More Democra-
cy?” in John Harriss, Kristian Stokke
and OlleTornquist (ed). 2005. Politici-
sing Democracy: The New Local Poli-
tics of Democratisation. New York:
Palgrave Macmillan
Tornquist, Olle. “Introduction: The Problem
is Representation! Towards an Analy-
tical Framework” in Olle Tornquist,
Neil Webster, and Kristian Stokke
(ed). 2009. Rethinking Popular Repre-
sentation. New York: Palgrave Mac-
millan.
Aristokrat dan Lembaga Adat sebagai Aktor Penengah (Intermediary Actors) di Kabupaten Sumbawa
Yogi Setya Permana
158 JURNAL DESENTRALISASI Volume 13, No.2, 2015
Petunjuk Penulisan
JURNAL DESENTRALISASI merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Pusat Kajian
Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara dengan Kode
ISSN 1412-3568. Untuk memperkaya isi jurnal, redaksi mengundang para
peneliti, dosen, pakar dan praktisi pemerintah atau pengamat untuk menyum-
bangkan hasil penelitian dan atau hasil pemikiran kritis di bidang desentralisasi
dan otonomi daerah dan otonomi daerah. Topik jurnal desentralisasi mencakup
berbagai isu dan permasalahan otonomi daerah. Substansi yang dikembangkan me-
liputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan otonomi daerah, dimensi-dimensi pelaksanaan
otonomi daerah.
Ketentuan umum penulisan naskah Jurnal Desentralisasi adalah sebagai berikut:
1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis terhadap isu-isu di bidang
desentralisasi dan otonomi daerah, yang meliputi perkembangan konsepsi desentralisasi dan
otonomi daerah, serta dimensi-dimensi pelaksanaan otonomi daerah;
2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk abstrak/intisari dan keyword/kata kunci diketik
dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris), menggunakan kertas ukuran ku-
arto sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabel dan daftar pustaka). Menggunakan hu-
ruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3
cm, batas atas 3 cm dan batas bawah 3 cm.
3. Setiap tabel dan gambar diberi judul. Posisi judul tabel berada di bawah tabel, sedangkan posisi
judul gambar berada di atas gambar.
4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. Judul tulisan;
b. Nama penulis, apabila penulis lebih dari satu orang, maka penulis yang ditulis pertama
adalah penulis utama;
c. Institusi dan alamat tempat penulis bekerja, apabila memungkinkan disertakan nomor te-
lepon dan alamat email penulis;
d. Abstrak/intisari ditulis dwi bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris masing-ma-
sing sepanjang 100-200 kata disertakan keyword/kata kunci;
e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema
tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan. Penulis dapat mengemuka-
kan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topik tulisan dengan disertai data-data
pendukung. Dan pada akhir bagian ini perlu diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis;
f. Metode penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu ditulis-
kan metode penelitian yang digunakan;
g. Bagian analisis dan pembahasan atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan
topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap
data;
h. Penutup, bisa berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi berkaitan dengan tujuan pe-
nulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan;
i. Daftar pustaka, disusun berdasar abjad, ditulis pada bagian akhir tulisan dengan susunan
dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan dengan tanda koma),
tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit dan nama penerbit. Untuk sumber yang dipe-
roleh dari internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa
contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:
Doherty, Tony L., dan Terry Horne, 2002, Managing Public Services, Implementing Cha-
nges: a Thoughtful Approach to The Practice of Management, New York: Routledge.
Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta: Gha-
lia Indonesia.
5. Catatan kaki (footnote) dapat digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bagian isi nas-
kah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip;
6. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak langsung,
gambar, serta tabel yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan sumbernya, ditulis dalam
daftar pustaka;
7. Naskah dapat dikirimkan langsung atau melalui email ke redaksi Jurnal Desentralisasi dengan
alamat:
Redaksi Jurnal Desentralisasi
Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah-Lembaga Administrasi Negara
Gedung B Lantai 3
Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat 10110
Telp. (021) 3868201-07 Ext. 114, 115
Email: [email protected]
Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan di-review oleh Mitra
Bestari, dan terhadap setiap naskah yang dimuat akan diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan
yang layak kepada penulis.***