larangan menikah pada bulan muharram dalam adat...

70
i LARANGAN MENIKAH PADA BULAN MUHARRAM DALAM ADAT JAWA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali) SKRIPSI Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) Oleh: MUHAMMAD ISRO’I NIM 21108014 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

    LARANGAN MENIKAH PADA BULAN MUHARRAM

    DALAM ADAT JAWA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

    (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede

    Kabupaten Boyolali)

    SKRIPSI

    Disusun untuk Memperoleh Gelar

    Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

    Oleh:

    MUHAMMAD ISRO’I

    NIM 21108014

    JURUSAN SYARI’AH

    PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH

    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

    SALATIGA

    2012

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    MOTTO

    “Sak bejo-bejone wong kang bejo isih luwih bejo

    wong kang eling lan waspodo”

    (Jayabaya/Ranggawarsita)

    PERSEMBAHAN

    UNTUK IBU DAN BAPAK KU

    UNTUK KANG MAS DAN MBAK KU

    UNTUK PARA DOSEN DAN SAHABAT-

    SAHABATKU YANG TIDAK SAYA SEBUTKAN

    SATU-PERSATU

    KONCO-KONCO AHS „08

    SPESIAL UNTUK “DIA” YANG SELALU

    MENEMANIKU DALAM SUSAH ATAUPUN

    SENANG

  • vi

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

    rahmat-Nya dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW

    berikut keluarganya, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, Penulis akhirnya

    dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Larangan Menikah Pada Bulan

    Muharram Dalam Adat Jawa Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa

    Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali )”. Penulisan skripsi ini

    merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Studi Ahwal

    Al Syahsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Skripsi ini

    disadari oleh Penulis masih jauh dari harapan dan masih banyak kekurangannya.

    Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Dalam

    kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang

    telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain :

    1. Bapak Drs. Imam Sutomo M.Ag Selaku rektor Sekolah Tinggi Agama Islam

    Negeri (Stain) Salatiga

    2. Bapak Ilyya Muhsin M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah

    Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Stain) Salatiga.

    3. Prof. Dr. H. Muh Zuhri, MA selaku dosen pembimbing yang dengan sabar

    memberikan bimbingan dan arahan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan

    skripsi ini.

  • vii

    4. Seluruh anggota Tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk

    menilai kelayakan dan menguji skripsi dalam rangka menyelesaikan studi

    Ahwal Al Syahsyiyah Di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

    Salatiga.

    5. Seluruh staf Program studi yang telah membantu Penulis dalam

    menyelesaikan administrasi-administrasi selama perkuliahan.

    6. Bapak Ibuku yang selalu memberi dukungan dan doa yang tiada henti.

    7. Semua Dosen-dosen Syari‟ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

    Salatiga.

    8. Semua teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat aku sebutkan satu

    persatu yang selalu membantuku.

    Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para

    Pembaca.

    Salatiga, Juni 2012

    Penulis

  • viii

    ABSTRAK

    Isro‟i, Muhammad. 2012. Larangan Menikah Pada Bulan Muharram Dalam Adat

    Jawa Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan

    Karanggede Kabupaten Boyolali. Skripsi Jurusan Syari‟ah. Program Studi

    Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

    Salatiga.Pembimbing: Prof.Dr. Muh Zuhri, M.A

    Kata kunci: Perkawinan, Adat Jawa,dan Muharram.

    Penelitian ini terfokus pada masyarakat yang menjalankan tradisi larangan

    menikah pada bulan Muharram. Adapun fokus penelitian yang penulis kaji dalam

    penelitian ini adalah 1) faktor apa yang mendorong masyarakat untuk tidak

    melakukan pernikahan pada bulan Muharram?, 2) Bagaimana pandangan ulama

    setempat tentang pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram?, 3)

    Bagaimana pandangan hukum islam tentang pernikahan yang dilakukan pada

    bulan Muharram?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang

    digunakan adalah penelitian lapangan (Field Research). Penelitian menggunakan

    pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik data melalui observasi, wawancara,

    dan dokumentasi. Metode analisis datanya menggunakan teknik analisis

    deskriptif.

    Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat Desa Bangkok Kecamatan

    Karanggede Kabupaten Boyolali masih mempercayai adanya mitos sampai

    sekarang. Misalnya, tidak melakukan pernikahan di bulan Muharram. Adapun

    faktor yang mendorong masyarakat untuk tidak melakukan pernikahan pada

    Bulan tersebut diantaranya karena masih tetap melestarikan adat istiadat Jawa dan

    dianggap sebagai warisan nenek moyang mereka. Masyarakat juga masih percaya

    bahwa bulan Suro itu adalah bulan keramat, sehingga mereka tidak berani untuk

    melakukan hajatan pada bulan itu. Jika hal itu tetap dilaksanakan, mereka

    mempercayai bahwa akan banyak halangan ketika pelaksanaan.

    Namun para tokoh agama di Desa Bangkok berpendapat bahwa menikah

    pada Bulan Muharram itu boleh dilakukan. Pernikahan boleh dilakukan kapan

    saja termasuk pada bulan Muharram. Bahkan salah seorang ulama‟ Desa

    mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram itu sangat

    baik, karena bulan Muharram termasuk bulan yang dimuliakan oleh Allah. Selain

    itu mereka juga belum pernah melihat secara nyata akibat buruk dari pernikahan

    yang dilakukan pada bulan Muharram. Menurut pandangan Islam pun pernikahan

    boleh dilakukan kapan saja termasuk pada bulan Muharram, dan tidak ada satu

    ayat atau hadis pun yang melarang menikah pada bulan Muharram. Kalau di Desa

    Bangkok sendiri memang belum pernah ada warganya yang melakukan

    pernikahan pada bulan Muharram. Jadi kebenaran tentang mitos larangan

    menikah pada bulan Muharram ini belum terbukti.

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

    PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii

    LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii

    PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... iv

    HALAMAN MOTTO ......................................................................................... v

    HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vi

    KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii

    ABSTRAK ........................................................................................................... viii

    DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang ................................................................................. 1

    B. Fokus Penelitian ............................................................................... 5

    C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5

    D. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 6

    E. Penegasan Istilah .............................................................................. 6

    F. Metode Penelitian ............................................................................ 7

    G. Telaah Pustaka ................................................................................. 11

    H. Sistematika Penulisan ...................................................................... 12

  • x

    BAB II KAJIAN PUSTAKA

    A. Konsep Perkawinan

    1. Pengertian ...................................................................................... 14

    2. Dasar Hukum ................................................................................. 15

    3. Rukun dan Syarat Sah ................................................................... 18

    4. Prinsip-prinsip perkawinan ............................................................ 19

    5. Hikmah Perkawinan ...................................................................... 20

    6. Perkawinan Adat Jawa .................................................................. 21

    B. Konsep tentang Bulan Muharram

    1. Menurut Islam ............................................................................... 28

    2. Menurut Adat Jawa........................................................................ 33

    BAB III PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN

    A. Gambaran Umum Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten

    Boyolali

    1. Letak Geografis ............................................................................. 38

    2. Keadaan Administratif................................................................... 39

    3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat ....................................... 40

    4. Tingkat Pendidikan ........................................................................ 42

    B. Pendapat Warga Desa Bangkok kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali

    tentang Menikah pada Bulan Muharram ..................................................... 43

    C. Pendapat Ulama” Desa Bangkok kecamatan Karanggede Kabupaten

    Boyolali tentang Menikah pada Bulan Muharram....................................... 47

  • xi

    D. BAB IV ANALISIS

    A. Analisis Faktor yang Mendorong Masyarakat tidak Melakukan

    Pernikahan pada Bulan Muharram.......................................................... 50

    B. Analisis Pandangan Hukum Islam tentang Pernikahan yang Dilakukan

    pada Bulan Muharram............................................................................. 51

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan ............................................................................................. 54

    B. Saran ....................................................................................................... 56

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Al-Qur‟an sebagai sumber pertama dan utama hukum Islam, di

    samping mengandung hukum-hukum yang sudah rinci dan menurut

    sifatnya tidak berkembang, juga mengandung hukum-hukum yang masih

    memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Ayat

    hukum yang menyangkut ibadah, pada umumnya disebutkan pokok-

    pokoknya saja. Akan tetapi, ayat-ayat tentang ibadah dijelaskan oleh

    Rasulullah SAW secara rinci dan lengkap dalam sunahnya (Jumantoro,

    2009:5).

    Dalam pandangan Islam, manusia dan segala makhluk yang ada di

    alam semesta merupakan ciptaan Allah SWT. Manusia diciptakan oleh

    Allah lengkap dengan pasangannya. Secara naluriah, mempunyai

    ketertarikan kepada lawan jenis. Untuk merealisasikan ketertarikan

    tersebut menjadi hubungan yang benar maka harus melalui dengan

    pernikahan.

    Perkawinan adalah peristiwa besar dalam kehidupan manusia.

    Dengan jalan ini, hubungan yang semula haram menjadi halal.

    Implikasinya pun besar dan beragam. Perkawinan adalah sarana awal

    mewujudkan sebuah tatanan masyarakat, karena keluarga adalah peran

    dalam kehidupan masyarakat. Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas,

  • 2

    bisa dipastikan bangunan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan

    baik (Djalil, 2000:285).

    Perkawinan termasuk salah satu bentuk ibadah. Tujuan perkawinan

    bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk

    menyambung keturunan dalam naungan rumah tangga yang penuh

    kedamaian dan cinta kasih. Setiap remaja setelah memiliki kesiapan lahir

    batin hendaknya segera menentukan pilihan hidupnya untuk mengakhiri

    masa lajang. Menurut ajaran agama Islam, menikah adalah

    menyempurnakan agama. Oleh karena itu, barang siapa yang menuju

    kepada suatu pernikahan, maka ia telah berusaha menyempurnakan

    agamanya, dan berarti pula dia telah berjuang untuk kesejahteraan

    masyarakat. Membantu terlaksananya suatu pernikahan, demikian pula

    merupakan ibadah yang tidak ternilai pahalanya (Hariwijaya, 2005:1).

    Dalam Budaya Jawa ajaran Hindu-Budha masih melekat, sebagian

    masyarakat masih berkeyakinan terhadap tradisi atau sistem-sistem budaya

    masyarakat tradisional. Orang yang melangar tradisi, berarti keluar dari

    sistem-sistem yang ada. Setelah agama Islam lahir, maka yang menjadi

    asas hukum mereka berganti dengan aturan-aturan atau nash-nash yang

    berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunah.

    Akan tetapi, banyak masyarakat Jawa pada umumnya dan

    khususnya di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali

    dalam melaksanakan perkawinan masih berdasar kepercayaan dari para

    leluhurnya. Misalnya mereka tidak berani melaksanakan pernikahan pada

  • 3

    bulan Muharram, karena adanya kepercayaan-kepercayaan yang turun-

    temurun dari zaman dahulu, meskipun mereka tidak akan pernah tahu apa

    yang terjadi jika aturan tersebut dilanggar.

    Islam memandang semua hari, bulan dan tahun adalah waktu yang

    baik. Tidak ada hari yang sial atau hari keramat, namun sebagian

    masyarakat Jawa masih berpegang teguh terhadap ajaran nenek moyang

    yang percaya terhadap hari-hari sial. Tathayyur (menganggap sial) adalah

    tindakan yang tidak berlandaskan ilmu atau realita yang benar. Sebagian

    masyarakat Jawa misalnya di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede

    Kabupaten Boyolali memandang bahwa bulan Muharram dianggap bulan

    sial. Sehingga tidak mau melakukan hajatan nikah. Jika melakukan hajatan

    pada bulan itu maka akan mendapatkan berbagai musibah, acara

    pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dan

    sebagainya.

    Padahal dalam Islam tidak mengajarkan demikian, Islam justru

    menganggap yang seperti ini adalah thiyarah (meramalkan bernasib sial

    karena melihat sesuatu). Ia hanyalah perilaku ikut-ikutan dan sekedar

    mengikuti faham. Apabila pada perilaku seseorang terdapat suatu cacat,

    hingga orang beranggapan bahwa nasib sial itu disebabkan oleh beberapa

    hal atau sebab-sebab tertentu, maka tidak seharusnyalah ia menyerah akan

    nasibnya itu, khususnya lagi bila sudah sampai pada tataran aktivitas

    konkrit.

  • 4

    Firman Allah Subhanahu wata‟ala :

    Artinya: Ketahuilah, Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan

    dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.(QS Al

    A‟raf: 131) (Depag, 1974:222).

    Artinya: Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena

    kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib

    malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas". (QS

    Yasin: 19) (Depag, 1974:627).

    Selain itu dalam Islam juga sangat melarang untuk terlalu

    mengkhawatirkan musibah yang akan terjadi karena semua musibah yang

    terjadi di alam semesta ini sudah ditakdirkan oleh Allah, sebagaimana

    dalam firman Allah Q.S Al Hadid (22):

    Artinya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)

    pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)

    sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah

    mudah bagi Allah (QS Al Hadid: 22) (Depag, 1974:904).

    Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa thiyarah

    itu dilarang oleh agama Islam. Akan tetapi masyarakat Desa Bangkok

    Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali tetap saja melakukan

    thiyarah tersebut.

    Dari berbagai fenomena di atas, penulis tertarik untuk melakukan

    penelitian mengenai mitos pernikahan pada bulan Muharram tersebut.

    Penulis akan meneliti hal tersebut dengan judul “LARANGAN

  • 5

    MENIKAH PADA BULAN MUHARRAM DALAM ADAT JAWA

    PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Bangkok

    Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali)”.

    B. Fokus Penelitian

    Penelitian ini terfokus pada masyarakat yang menjalankan tradisi larangan

    menikah pada bulan Muharram tersebut. Adapun fokus penelitian yang

    akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

    1. Faktor apa yang mendorong masyarakat untuk tidak melakukan

    pernikahan pada bulan Muharram?

    2. Bagaimana pandangan ulama‟ setempat tentang pernikahan yang

    dilakukan pada bulan Muharram?

    3. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang pernikahan yang

    dilakukan pada bulan Muharram?

    C. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :

    1. Mengetahui apa saja faktor yang mendorong masyarakat untuk tidak

    melakukan pernikahan pada bulan Muharram.

    2. Mengetahui pandangan ulama‟ setempat tentang pernikahan yang

    dilakukan pada bulan Muharram.

    3. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang pernikahan yang

    dilakukan pada bulan Muharram.

  • 6

    D. Kegunaan Penelitian

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru yang

    lebih komprehensif mengenai pernikahan pada bulan Muharram. Masalah

    perkawinan ini sangat riskan, apalagi kalau hal ini menyangkut masalah

    adat dan kepercayaan masyarakat setempat. Karena memang kita ini hidup

    bermasyarakat dan di dalam masyarakat tersebut berlaku adat istiadat

    tertentu.

    E. Penegasan Istilah

    Untuk mendapatkan kejelasan judul di atas, penulis perlu memberikan

    penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah yang ada. Istilah-istilah

    tersebut adalah :

    1. Nikah adalah perjanjian antara laiki-laki dan perempuan untuk

    bersuami istri (dengan resmi) (Poerwadarminta, 2006:800).

    Pernikahan adalah perbuatan nikah; upacara perkawinan (Fajri dan

    Senja:590)

    2. Kata adat berasal dari bahasa Arab „Adatun akar katanya „ada, ya‟udu

    mengandung arti perulangan. Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan

    satu kali, belum dinamakan adat.

    Adapun pengertian secara istilah adat adalah sesuatu yang

    dikehendaki manusia dan mereka kembali terus menerus. (Jumantoro,

    2009:1)

  • 7

    3. Hukum secara etimologi bermakna Al-Man‟u yakni mencegah.

    Pengertian hukum yang lebih luas lagi adalah ketetapan-ketetapan

    yang menyandarkan sifat-sifat (hukum) syar‟i kepada perbuatan-

    perbuatan manusia, yang zahir ataupun batin. (Jumantoro, 2009:86).

    F. Metode Penelitian

    1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

    Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan historis.

    Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui asal mula kepercayaan

    masyarakat tentang larangan menikah pada bulan Muharram. Hal ini

    tidak bisa dijelaskan dengan angka-angka, akan tetapi hal ini bisa

    terungkap dengan terjun langsung ke lapangan guna mengadakan

    penelitian pada obyek yang dibahas (Mukhtar,2007: 79), sehingga data

    yang diperoleh bisa bervariasi dan lebih lengkap.

    Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu

    penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak

    menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya

    (Moleong, 2008:6).

    2. Kehadiran Peneliti

    Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrument sekaligus

    menjadi pengumpul data. Instrument lain yang digunakan penulis

    adalah alat perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi

    instrument ini hanya sebagai pendukung tugas penulis sebagai

  • 8

    instrument. Oleh karena itu kehadiran penulis di lapangan mutlak

    diperlukan. Selain itu, penulis juga berperan sebagai partisipan penuh,

    yang mana penulis membaur dengan obyek penelitian. Kehadiran

    penulis sebagai peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti.

    3. Lokasi Penelitian

    Lokasi penelitian ini adalah di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede

    Kabupaten Boyolali. Karena para masyarakat tersebut percaya akan

    mitos mengenai pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram.

    Dan sampai saat ini pun mereka masih melaksanakan kebiasaan yang

    mereka percayai itu.

    4. Sumber Data

    Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian, penulis

    menggunakan obyek penelitian berupa informan. Yang menjadi

    informan dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Bangkok baik

    itu masyarakat biasa maupun para ulama‟ setempat.

    5. Prosedur Pengumpulan Data

    a. Observasi

    Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan

    pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadap fenomena-

    fenomena yang diselidiki (Arikunto, 1987:128). Dalam observasi

    penelitian ini dengan terjun langsung ke lapangan yang akan

    diteliti.

  • 9

    b. Wawancara

    Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis data

    dengan teknik komunikasi secara langsung (Surakhmad,

    1990:174). Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan-catatan

    mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan. Sasaran

    wawancara adalah masyarakat Desa Bangkok.

    c. Dokumentasi

    Mencari data mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan dan

    data dari Kantor Kelurahan Desa Bangkok Kecamatan Karanggede

    Kabupaten Boyolali. Metode ini digunakan sebagai salah satu

    pelengkap dalam memperoleh data.

    d. Studi Pustaka

    Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari bahan-bahan

    tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku- buku, surat

    kabar, makalah, dan sebagainya.

    6. Analisis Data

    Setelah seluruh data terkumpul maka barulah penulis menentukan

    bentuk analisa terhadap data-data tersebut, antara lain dengan metode :

    a. Deskriptif

    Penyelidikan yang menuturkan, menggambarkan, menganalisa dan

    mengklasifikasikan penyelidikan dengan teknik survey, interview,

    dan observasi (Surakhmad, 1990:139).

  • 10

    b. Kualitatif

    Penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (J. Moleong,

    2002:45). Dalam melaksanakan analisa, peneliti bergerak di antara

    tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan

    kesimpulan yang aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses

    siklus.

    7. Pengecekan Keabsahan Data

    Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian,

    karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa teori. Untuk

    memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik-

    teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang

    diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode,

    teori), pelacakan kesesuaian, dan pengecekan anggota. Jadi temuan

    data tersebut bisa diketahui keabsahannya.

    8. Tahap-tahap Penelitian

    Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian

    pendahuluan ke Desa Bangkok Kemudian penulis melakukan

    pengembangan desain dari data awal tadi dan selanjutnya penulis

    melakukan penelitian yang sebenarnya. Setelah itu penulis melakukan

    penulisan laporan hasil penelitian tersebut.

  • 11

    G. Telaah Pustaka

    Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Sepanjang ia tidak

    bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya islam akan

    membenarkannya. Kita bisa bercermin bagaimana Walisongo tetap

    melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam (Yazid,

    2005:249).

    Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya

    masyarakat Islam. Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, ia

    adalah keseluruhan jiwa-jiwa Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan

    Jahiliyah yang dikembangkan oleh paham keberhalaan yang sesat

    merupakan suatu keniscayaan, demi menyucikan masyarakat muslim dari

    debu-debu syirik dan sisa-sisa kesesatan (Qardhawi, 2007:333).

    Tradisi-tradisi yang ada di pulau Jawa tersebut masih saja

    berkembang di zaman modern seperti saat ini dan di lingkungan

    masyarakat muslim. Penelitian yang menyangkut tentang tradisi-tradisi di

    pulau Jawa telah dilakukan oleh peneliti yang bernama Mikdad Musa

    Mubaroq dengan judul Fiqh lingkungan sesajen kali dan kearifan lokal

    (Studi kasus di Desa Warangan, Munengwarangan, Pakis, Magelang).

    Penelitian ini mengkaji tentang tradisi sesajen kali di masyarakat Jawa

    dalam kaitannya dengan fiqh lingkungan.

    Dari berbagai tradisi di Jawa masih begitu banyaknya masyarakat

    mempercayainya hingga ke taraf perbuatan syirik. Begitu pula dengan

    tradisi mempercayai terhadap hari-hari baik atau menganggap hari-hari

  • 12

    sial. Seperti penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang bernama

    Ariyanto dengan judul Penggunaan Petungan Masyarakat Jawa Muslim

    dalam Ritual Pernikahan (Studi kasus di Desa Reksosari Kecamatan

    Suruh Kabupaten Semarang). Penelitian ini membahas tentang

    perhitungan untuk memperoleh gabungan hari, tanggal, dan bulan yang

    baik dan tidak baik untuk melaksanakan ritual pernikahan. Sehingga

    penelitian ini masih membahas hari, tanggal, dan bulan secara

    menyeluruh. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih khusus

    tentang larangan menikah pada bulan Muharram saja.

    Maka dari itu penulis akan melakukan penelitian tentang salah satu

    bulan yang dianggap paling sakral dan tabu untuk melaksanakan ritual

    pernikahan oleh masyarakat Jawa, yaitu “sasi suro” atau bulan Muharram.

    Adapun judul dari penelitian ini adaah “LARANGAN MENIKAH PADA

    BULAN MUHARRAM DALAM ADAT JAWA PERSPEKTIF HUKUM

    ISLAM (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten

    Boyolali)”.

    H. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan yang

    dapat dijelaskan sebagai berikut :

    BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang

    masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan

  • 13

    penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, telaah

    pustaka, dan sistematika penulisan.

    BAB II : Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang

    konsep perkawinan dan konsep tentang Bulan Muharram.

    BAB III : Dalam bab ini berisi paparan data dan temuan penelitian.

    BAB IV : Dalam bab ini berisi analisis mengenai faktor-faktor yang

    mendorong masyarakat Desa Bangkok tidak melakukan

    pernikahan pada Bulan Muharram dan pandangan Hukum

    Islam tentang pernikahan yang dilakukan pada Bulan

    Muharram.

    BAB V : Dalam bab ini penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

    Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup penulis.

  • 14

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    A. Konsep Perkawinan

    1. Pengertian

    Perkawinan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada

    semua makhluknya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-

    tumbuhan. Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT

    sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan

    hidupnya. Beberapa penulis terkadang menyebut pernikahan dengan kata

    perkawinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkawinan berasal

    dari kata “kawin”, yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga

    dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah

    kawin digunakan secara umum untuk tumbuh-tumbuhan, hewan dan

    manusia dan menunjukan proses generatif yang alami. Berbeda dengan itu,

    nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan

    secara hukum nasional, adat-istiadat, dan terutama menurut hukum agama.

    Adapun menurut syara‟, nikah adalah akad serah terima antara

    laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama

    lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah

    serta masyarakat yang sejahtera (Tihami, 2009:8).

    Dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 Bab I pasal I

    “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

  • 15

    wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

    tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

    Demikian pula dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 tahun

    1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II disebutkan bahwa

    “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

    sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan

    melaksanakannya merupakan ibadah.

    2. Dasar Hukum Pernikahan

    Hukum nikah (perkawinan) yaitu hukum yang mengatur hubungan

    antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran

    kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan

    dengan akibat perkawinan tersebut. Perkawinan adalah sunnatullah hukum

    alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan bahkan oleh

    tumbuh-tumbuhan sebagaimana pernyataan Allah dalam Al-Qur‟an Surat

    Al-Dzariat:49 :

    Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

    mengingat kebesaran Allah (Depag, 1971:862).

    Firman-Nya pula Al-Qur‟an Surat Yasin:36

  • 16

    Artinya: Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan

    semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka

    maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (Depag, 1971: 710).

    Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi

    manusia untuk beranak, berkembang biak dan menjaga kelestarian

    hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang

    positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Firman Allah surat Al-

    Hujurat:13

    Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari

    seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa

    - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

    Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah

    orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha

    mengetahui lagi Maha Mengenal (Depag, 1971: 847 ).

    Firman Allah Q.S An-Nisa‟:1

    Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah

    menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

    isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-

    laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang

    dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,

    dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu

    menjaga dan mengawasi kamu (Depag, 1971: 114).

  • 17

    Dengan demikian meskipun perkawinan itu asalnya mubah, namun

    dapat berubah menurut perubahan keadaan, yaitu:

    a. Nikah Wajib, nikah diwajibkan bagi yang telah mampu yang akan

    menambah takwa, nikah yang wajib bagi orang yang telah mampu,

    yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram.

    b. Nikah Haram, Nikah diharamkan bagi orang yang tahu dirinya tidak

    mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan

    kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan

    kewajiban batin seperti mencampuri istri.

    c. Nikah sunnah, nikah disunnahkan bagi orang yang mempu tetapi

    masih sanggup mengendalikan diri dari perbuatan haram. Dalam hal

    ini nikah lebih baik daripada membujang.

    d. Nikah mubah yaitu bagi orang yang tidak berhalangan nikah dan

    dorongan nikah belum membahayakan dirinya. Ia belum wajib nikah

    dan tidak haram bila tidak nikah.

    Berdasarkan hal di atas, Tuhan tidak mau menjadikan manusia

    seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti naluarinya dan

    berhubungan antara jantan dan betina secara anarkhi, dan tidak ada satu

    aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan

    manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabat manusia

    tersebut.

    3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan

    a. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

  • 18

    Rukun perkawinan menurut KHI dinyatakan dalam Pasal 14 yaitu:

    i. Calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.

    ii. Wali dari mempelai perempuan.

    iii. Dua orang saksi.

    iv. Ijab dan qabul.

    Syarat sahnya perkawinan menurut KHI dalam Pasal 4 adalah

    dinyatakan :

    “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam

    sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974

    tentang Perkawinan.”

    b. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

    Perkawinan

    Rukun perkawinan menurut UU No.1/1974 tidak diatur

    secara tegas. Akan tetapi undang-undang tersebut menyerahkan

    persyaratan sahnya suatu perkawinan sepenuhnya kepada

    ketentuan yang diatur oleh agama orang yang akan melangsungkan

    perkawinan tersebut. Syarat sahnya perkawinan menurut UU

    No.1/1974 diatur dalam pasal 2 yaitu :

    (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

    masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

    (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-

    undangan yang berlaku

  • 19

    Jadi bisa disimpulkan bahwa rukun dan syarat dalam perkawinan

    dalam yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-

    Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut :

    Rukun perkawinannya adalah Pertama,adanya calon mempelai

    laki-laki dan calon mempelai perempuan, kedua adanya wali dari pihak

    perempuan, ketiga adanya Saksi pernikahan, dan keempat adanya ijab

    qabul.

    Kemudian syarat sahnya perkawinan menurut kedua peraturan

    tersebut adalah pernikahan dilakukan menurut hukum masing-masing

    agama dan perkawinan tersebut harus dicatatkan.

    4. Prinsip-Prinsip Pernikahan dalam Islam

    a. Pilihan jodoh yang tepat.

    b. Pernikahan didahului dengan peminangan.

    c. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan

    perempuan.

    d. Pernikahan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang

    bersangkutan.

    e. Ada persaksian dalam akad nikah.

    f. Pernikahan tidak ditentukan untuk waktu tertentu.

    g. Ada kewajiban membayar maskawin/mahar atas suami.

    h. Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah.

    i. Tangung jawab pimpinan keluarga pada suami.

  • 20

    j. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah

    tangga (Tihami, 2009:12 )

    5. Hikmah Pernikahan

    Islam menganjurkan pernikahan karena pernikahan tersebut

    mempunyai banyak hikmah bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan

    umat manusia. Adapun hikmah pernikahan menurut Sabiq (1980:18)

    adalah:

    a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan

    keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana

    jalan keluar tidak dapat memuaskan, maka banyak manusia yang

    terguncang jiwanya sehingga akan mengambil jalan yang buruk.

    Dengan perkawinan badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang,

    mata terpelihara dari melihat yang haram, dan perasaan akan

    tenang menikmati hal yang halal.

    b. Perkawinan adalah jalan terbaik untuk memperbanyak keturunan,

    melestarikan hidup manusia, serta memelihara nafsu yang oleh

    Islam sangat dianjurkan.

    c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dalam hidup berumah

    tangga dengan anak-anak yang akan menimbulkan rasa cinta,

    sayang, dan sikap ramah yang merupakan sifat-sifat baik yang

    menyempurnakan akhlak manusia.

  • 21

    d. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-anak

    menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat

    bakat dan pembawaan seseorang.

    e. Ada pembagian tugas, dimana yang satu mengurus dan mengatur

    rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja mencari nafkah sesuai

    dengan batas-batas tangung jawab antara suami isteri dalam

    menangani tugas-tugasnya.

    f. Dengan perkawinan diantaranya dapat membuahkan tali

    kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara

    keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang

    memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang.

    6. Perkawinan Adat Jawa

    Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,

    dan merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari

    abad ke abad. Setiap bangsa di dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-

    sendiri yang berbeda sehingga adat merupakan identitas suatu bangsa. Di

    negara Indonesia, adat yang dimiliki oleh daerah-daerah, suku-suku

    bangsa berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya satu yaitu ke-

    Indonesiaannya. Oleh karena itu maka adat Indonesia dikatakan “Bhineka

    Tunggal Ika”.

    Perkawinan merupakan salah satu adat yang semua daerah

    memilikinya. Karena perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting

    dalam sejarah kehidupan setiap orang, perkawinan akan menyatukan dua

  • 22

    keluarga yang sebelumnya tidak ada ikatan. Maka dari itu dalam adat

    Jawa, pertimbangan penerimaan seorang calon menantu tidak boleh

    sembarangan, harus berdasarkan kepada bibit, bebet dan bobot (Yana,

    2010:60).

    Bibit : artinya mempunyai latar kehidupan keluarga yang baik.

    Bebet : calon penganten, terutama pria, mampu memenuhi kebutuhan

    keluarga.

    Bobot : kedua calon penganten adalah orang yang berkualitas, bermental

    baik dan berpendidikan cukup.

    Masyarakat Jawa memaknai peristiwa perkawinan dengan

    menyelenggarakan berbagai upacara. Upacara itu dimulai dari tahap

    perkenalan sampai terjadinya pernikahan. Tahapan-tahapan tersebut adalah

    sebagai berikut (Yana, 2010:62-68) :

    a. Nontoni

    Pada tahap ini sangat dibutuhkan peranan seorang perantara. Perantara

    ini merupakan utusan dari keluarga calon pengantin pria untuk

    menemui keluarga calon pengantin wanita. Pertemuan ini

    dimaksudkan untuk nontoni atau melihat calon dari dekat. Di rumah

    itu, para calon mempelai bisa bertemu langsung meskipun hanya

    sekilas. Pertemuan sekilas ini terjadi ketika calon pengantin wanita

    mengeluarkan minuman dan makanan ringan sebagai jamuan. Tamu

    disambut oleh keluarga calon pengantin wanita yang terdiri dari

  • 23

    orangtua calon pengantin wanita dan keluarganya, biasanya pakdhe

    atau paklik (Yana, 2010:62).

    b. Nakokake/Nembung/Nglamar

    Sebelum melangkah ke tahap selanjutnya, perantara akan menanyakan

    beberapa hal pribadi seperti sudah adakah calon bagi calon mempelai

    wanita. Bila belum ada calon, maka utusan dari calon mempelai pria

    memberitahukan bahwa keluarga calon mempelai pria berkeinginan

    untuk berbesanan. Lalu calon pengantin wanita diajak bertemu dengan

    calon pengantin pria untuk ditanya kesediannya menjadi isterinya. Bila

    calon pengantin wanita setuju, maka perlu dilakukan langkah

    selanjutnya, yaitu ditentukannya hari dimana utusan datang untuk

    melakukan kekancingan rembag (peningset). Peningset ini merupakan

    suatu simbol bahwa calon pengantin wanita sudah diikat secara tidak

    resmi oleh calon pengantin pria. Ketika semua sudah berjalan dengan

    lancar, maka ditentukanlah tanggal dan hari pernikahan yang

    disesuaikan dengan weton (hari lahir berdasarkan perhitungan Jawa)

    kedua calon pengantin. Hal ini dimaksudkan agar pernikahan itu kelak

    mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh anggota

    keluarga (Yana, 2010:62).

  • 24

    c. Pasang Tarub

    Pemasangan tarub ini dilakukan menjelang hari pernikahan. Tarub

    dibuat dari daun kelapa yang sebelumnya telah dianyam dan diberi

    kerangka dari bambu, dan ijuk atau welat sebagai talinya. Agar

    pemasangan tarub ini selamat, dilakukan upacara sederhana berupa

    penyajian nasi tumpeng lengkap. Selain itu dipasang juga tuwuhan,

    yaitu sepasang pohon pisang raja yang sedang berbuah yang dipasang

    di kanan kiri pintu masuk. Pohon pisang melambangkan keagungan

    dan mengandung makna berupa harapan agar keluarga baru ini

    nantinya cukup harta dan keturunan (Yana, 2010:63).

    d. Midodareni

    Midodareni diawali dengan upacara siraman. Pelaku siraman adalah

    orang yang dituakan yang berjumlah tujuh diawali dari orangtua yang

    kemudian dilanjutkan oleh sesepuh lainnya. Setelah siraman, calon

    pengantin membasuh wajah dengan air kendi yang dibawa ibunya

    kemudian kendi langsung dibanting/dipecah sambil mengucapkan

    kata-kata: “cahayanya sekarang sudah pecah seperti bulan purnama”.

    Setelah itu calon pengantin langsung dibopong ayahnya ke tempat

    ganti pakaian. Setelah ganti pakaian, dilanjutkan dengan acara potong

    rambut yang dilakukan oleh orangtua calon pengantin wanita. Setelah

    itu rambut dikubur di depan rumah dan dilanjutkan dengan acara

    “dodol dawet”. Yang berjualan dawet adalah ibu dari calon pengantin

    wanita dengan dipayungi oleh suaminya. Uang untuk membeli dawet

  • 25

    terbuat dari kreweng (pecahan genting) yang dibentuk bulat.

    Selanjutnya dilakukan midodareni, yaitu berasal dari kata widadari,

    yang artinya bidadari. Kedua calon pengantin diharapkan seperti

    widadari-widadara, di belakang hari bisa lestari, dan hidup rukun dan

    sejahtera (Yana, 2010:64).

    e. Akad Nikah

    Akad nikah adalah inti dari acara perkawinan. Biasanya dilakukan

    sebelum acara resepsi yang disaksikan oleh sesepuh/orang tua dari

    kedua calon pengantin dan orang yang dituakan. Pelaksanaan akad

    nikah dilakukan oleh petugas dari catatan sipil atau petugas agama

    (Yana, 2010:65).

    f. Panggih

    Upacara panggih dimulai dengan pertukaran kembar mayang,

    kalpataru dewadaru yang merupakan sarana dari rangkaian pangih.

    Sesudah itu dilanjutkan dengan balangan suruh, ngidak endhok, dan

    mijiki (Yana, 2010:65).

    g. Balangan Suruh

    Upacara ini dilakukan oleh kedua pengantin secara bergantian dengan

    saling melempar Gantal. Gantal yaitu daun sirih yang yang ditekuk

    membentuk bulatan yang diikat dengan benang putih. Daun sirih

    merupakan perlambang bahwa kedua pengantin diharapkan bersatu

    dalam cipta, karsa, dan karya (Yana, 2010:65).

  • 26

    h. Ngidak endhok

    Upacara ngidak endhok diawali oleh juru paes, yaitu orang yang

    bertugas untuk merias pengantin dan mengenakan pakaian pengantin,

    dengan mengambil telur dari dalam bokor, kemudian diusapkan di dahi

    pengantin pria diminta untuk menginjak telur tersebut. Ngidak endhok

    mempunyai makna secara seksual, bahwa kedua pengantin sudah

    pecah pamornya (Yana, 2010:66).

    i. Wiji dadi

    Pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria menggunakan air

    yang telah diberi bunga setaman. Mencuci kaki ini melambangkan

    suatu harapan bahwa “benih” yang akan diturunkan jauh dari mara

    bahaya dan menjadi keturunan yang baik (Yana, 2010:66).

    j. Timbangan

    Pengantin laki-laki duduk di atas kaki kanan ayah pengantin wanita,

    sedangkan pengantin wanita duduk di kaki sebelah kiri. Kedua tangan

    ayah dirangkulkan di pundak kedua pengantin. Lalu ayah mengatakan

    bahwa keduanya seimbang, sama berat dalam arti konotatif. Upacara

    ini berarti berupa harapan bahwa antara kedua pengantin dapat selalu

    saling seimbang dalam rasa, cipta, dan karsa (Yana, 2010:66).

    k. Kacar-kucur

    Caranya pengantin pria menuangkan raja kaya dari kantong kain,

    sedangkan pengantin wanitanya menerimanya dengan kain sindur yang

    diletakkan di pangkuannya. Makna dari kacar kucur adalah

  • 27

    menandakan bahwa pengantin pria akan bertanggung jawab mencari

    nafkah untuk keluarganya (Yana, 2010:67).

    l. Dulangan

    Upacara ini dilakukan dengan cara kedua pengantin saling

    menyuapkan makanan dan minuman. Makna dulangan adalah sebagai

    simbol seksual, saling memberi dan menerima (Yana, 2010:67).

    m. Sungkeman

    Upacara ini dilakukan dengan cara kedua pengantin duduk jengkeng

    dengan memegang dan mencium lutut kedua orangtua, baik orangtua

    pengantin pria maupun wanita. Maknanya adalah sebagai simbol

    perwujudan rasa hormat anak kepada kedua orangtua (Yana, 2010:67).

    n. Kirab

    Upacara kirab berupa arak-arakan yang terdiri dari domas, cucuk

    lampah, dan keluarga dekat untuk menjemput atau mengiringi

    pengantin yang akan keluar dari tempat panggih ataupun memasuki

    tempat panggih (Yana, 2010:67).

    o. Jenang Sumsuman

    Upacara ini dilakukan setelah semua acara perkawinan selesai, dengan

    kata lain, jenang sumsuman merupakan ungkapan syukur karena acara

    berjalan dengan baik dan selamat, tidak kurang suatu apapun, dan

    semua dalam keadaan sehat (Yana, 2010:68).

  • 28

    p. Boyongan/Ngunduh Manten

    Disebut boyongan karena pengantin pria dan wanita diantar oleh

    keluarga pihak wanita ke keluarga pihak pria secara bersama-sama.

    Acara ini diadakan di rumah pengantin pria. Biasanya acaranya tidak

    selengkap acara pada acara yang diadakan di tempat pengantin wanita.

    Dari uraian mengenai tahapan-tahapan terjadinya suatu proses

    perkawinan dalam masyarakat jawa, bisa disimpulkan bahwa

    masyarakat jawa sangat memegang teguh adat yang sudah turun

    temurun dilakukan. Berdasar pola pikir yang telah melekat ini, bagi

    masyarakat jawa kemudian dijadikan semacam pedoman yang mau

    tidak mau harus ditaati. Inilah yang menjadi sebab sangat banyak

    mitos-mitos yang tumbuh subur dalam masyarakat jawa (Yana,

    2010:68).

    B. Konsep Tentang Bulan Muharram

    1. Menurut Islam

    Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman dalam surat at Taubah ayat 36:

    Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,

    dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di

    antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,

  • 29

    Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat

    itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana

    merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya

    Allah beserta orang-orang yang bertaqwa (Depag, 1971: 283).

    Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam bersabda:

    َٓب َأْزَبَعٌت ُحُسٌو ُْ ًْٓسا ِي َُُت اْثَُب َعَشَس َش َٔاْنَأْزَض انسَّ َٕاِث ًَ ُّ انسَّ َْٕو َخَهَق انهَّ َٚ ِّ َْٛئِخ َٓ ٌُ َقْد اْسَخَداَز َك انزََّيب

    ٌَ ََٔشْعَبب ًَبَدٖ ٍَ ُج ْٛ ََٔزَجُب ُيَضَس انَِّر٘ َب ًَُحسَُّو َٔاْن َُٔذٔ اْنِحجَِّت َٕاِنَٛبٌث ُذٔ اْنَقْعَدِة َثَهبَثٌت ُيَخ

    “Waktu itu telah berputar sebagaimana biasa sejak Allah menciptakan

    langit dan bumi. Satu tahun ada 12 bulan, di antaranya 4 bulan haram.

    3 bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa‟dah, Dzulhijjah, Muharram, dan

    satu lagi adalah Rajab yang terletak di antara bulan Jumadil Akhir dan

    Sya‟ban.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 10/470, no. 2958)

    Bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan ia memiliki

    keutamaannya yang tersendiri. Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam

    menyatakan bulan Muharram adalah bulan Allah, dan puasa yang yang

    paling afdhal setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram.

    Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam:

    ِْٛم ََٔأْفَضُم انصََّهبِة َبْعَد اْنَفِسَٚضِت َصَهبُة انهَّ ًَُحسَُّو ِّ اْن ُْٓس انهَّ ٌَ َش َٛبِو َبْعَد َزَيَضب َأْفَضُم انصِّ

    Puasa yang paling afdhal setelah puasa di bulan Ramadhan adalah

    puasa di bulan Allah bulan al-Muharram. Dan sholat yang paling

    afdhal setelah sholat yang difardhukan adalah sholat di malam hari.”

    (Hadis Riwayat Muslim, 6/63, no. 1982)

    Dalil-dalil ini semuanya menunjukkan kemuliaan di bulan

    Haram, terutamanya di bulan Muharram. Selain itu, di dalamnya turut

    ditegaskan lagi akan larangan menganiaya diri. Ini menunjukkan

    perbuatan maksiat di bulan haram lebih diharamkan lagi dibanding

  • 30

    bulan-bulan selainnya. Sebaliknya, amalan soleh pula akan diberikan

    ganjaran yang besar.

    Di antara amalan sunnah yang disebutkan secara khusus pada

    bulan Muharram adalah berpuasa sunnah. Sebagaimana disebutkan

    dalam hadis di atas, puasa yang paling afdhal setelah puasa di bulan

    Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Maksud puasa dalam

    hadis tersebut adalah puasa sunnah secara umum. Memperbanyakkan

    amalan puasa sunnah dalam bulan Muharram terutamanya pada hari

    yang ke sepuluh Muharram adalah termasuk sunnah-sunnah yang

    sangat dianjurkan. „Abdullah B. „Abbas radhiyallahu „anhuma berkata:

    ٌْٕو ََْرا َٚ ََْرا َقبُنٕا َْٕو َعبُشَٕزاَء َفَقبَل َيب َُٕٓد َحُصُٕو َٚ َٛ ًَِدََُٚت َفَسَأٖ اْن ََٔسهََّى اْن ِّ ْٛ ُّ َعَه ُّٙ َصهَّٗ انهَّ َقِدَو انَُِّب

    ُُْكْى ًَُٕسٗ ِي ُّ ُيَٕسٗ َقبَل َفَأََب َأَحقُّ ِب ِْْى َفَصبَي ِّٔ ٍْ َعُد ُّ َبُِٙ ِإْسَساِئَٛم ِي ٌْٕو ََجَّٗ انهَّ ََْرا َٚ َصبِنٌح

    ِّ ََٔأَيَس ِبِصَٛبِي ُّ َفَصبَي

    “Nabi tiba di Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi

    sedang berpuasa „Asyura (hari ke sepuluh Muharram).” Nabi bertanya,

    “Puasa apakah ini?”

    Orang-orang menjawab, “Hari ini adalah hari yang baik, yaitu hari di

    mana Allah telah menyelamatkan bani Isra‟el dari kejahatan

    musuhnya, maka Musa pun berpuasa sebagai tanda syukur beliau

    kepada Allah. Dan kami pun turut serta berpuasa.”

    Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam pun berkata, “Kami lebih berhak

    terhadap Musa daripada kamu semua.” Akhirnya Nabi pun berpuasa

    dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa.” (Hadis Riwayat al-

    Bukhari, 7/127, no. 1865)

    Sejarah penetapan puasa „Asyura mengalami beberapa fasa.

    Pada awalnya, ketika di Makkah Nabi berpuasa „Asyura tanpa

    memerintah orang lain untuk berpuasa. Kemudian ketika sampai di

  • 31

    Madinah, beliau tetap terus berpuasa di hari „Asyura dan

    memerintahkan umat Islam agar turut berpuasa.

    Tetapi setelah perintah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan

    turun, puasa di hari „Asyura menjadi sunnah dan tidak diwajibkan.

    Rasulullah mengatakan:

    ُّ ٍْ َشبَء َحَسَك ََٔي ُّ ٍْ َشبَء َصبَي ًَ َف

    “Siapa yang hendak berpuasa (pada hari „Asyura), silakan berpuasa,

    bagi yang tidak berpuasa, juga tidak mengapa.” (Hadis Riwayat al-

    Bukhari, 7/125, no. 1863)

    Kemudian ketika di penghujung hayatnya, Rasulullah bertekad

    untuk tidak hanya berpuasa pada hari „Asyura (hari yang ke sepuluh)

    saja di bulan Muharram, tetapi juga bertekad untuk puasa pada hari

    yang ke sembilannya. Ibnu „Abbas radhiyallahu „anhuma berkata:

    ٌْٕو َٚ ُّ ِّ ِإََّ ِّ َقبُنٕا َٚب َزُسَٕل انهَّ ََٔأَيَس ِبِصَٛبِي َْٕو َعبُشَٕزاَء ََٔسهََّى َٚ ِّ ْٛ ُّ َعَه ِّ َصهَّٗ انهَّ ٍَ َصبَو َزُسُٕل انهَّ ِحٛ

    ٌْ ًُْقِبُم ِإ ٌَ اْنَعبُو اْن ََٔسهََّى َفِإَذا َكب ِّ ْٛ ُّ َعَه ِّ َصهَّٗ انهَّ َٔانََُّصبَزٖ َفَقبَل َزُسُٕل انهَّ ُُٕٓد َٛ ُّ اْن ًُ ُحَعظِّ

    ِّ ْٛ ُّ َعَه ِّ َصهَّٗ انهَّ َٙ َزُسُٕل انهَّ ُٕفِّ ًُْقِبُم َحخَّٗ ُح َْٕو انخَّبِسَع َقبَل َفَهْى َْٚأِث اْنَعبُو اْن َٛ َُب اْن ًْ ُّ ُص َشبَء انهَّ

    ََٔسهَّى

    “Ketika Nabi sedang berpuasa pada hari „Asyura dan memerintahkan

    para sahabatnya untuk turut berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai

    Rasulullah, hari „Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan

    Nashara.”

    Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam berkata, “Jika begitu,

    tahun depan insyaAllah kita puasa sekali pada hari yang ke

    sembilannya.” Ibnu „Abbas berkata, “Tetapi belum sempat sampai

    tahun depan, beliau telah wafat terlebih dahulu.” (Hadis Riwayat

    Muslim, 5/479, no. 1916)

    Dari hadis ini, umat Islam tidak hanya disunnahkan agar

    berpuasa di hari ke sepuluh Muharram atau dikenali sebagai hari

  • 32

    „Asyura, tetapi juga turut disunnahkan agar berpuasa pada hari ke

    sembilan Muharram. Rasulullah mengisyaratkan tentang kelebihan

    puasa „Asyura sebagaimana sabdanya:

    ُّ ََُت انَِّخٙ َقْبَه ٌْ َُٚكفَِّس انسَّ ِّ َأ ِْٕو َعبُشَٕزاَء َأْحَخِسُب َعَهٗ انهَّ َِٔصَٛبُو َٚ

    “Adapun puasa di hari „Asyura, aku memohon kepada Allah agar ia

    dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (Hadis Riwayat Muslim,

    6/55, no. 1976)

    Juga sebagaimana dalam hadis yang lain sebagaimana telah

    disebutkan, puasa di hari „Asyura adalah termasuk puasa yang paling

    afdhal setelah puasa wajib di bulan Ramadhan. Dan Rasulullah

    senantiasa melaksanakan puasa „Asyura ini dengan penuh

    kesungguhan. Ini adalah sebagaimana kata „Abdullah B. „Abbas

    radhiyallahu „anhuma:

    ُّ َعَهٗ ٍْٕو َفضََّه ََٔسهََّى ََٚخَحسَّٖ ِصَٛبَو َٚ ِّ ْٛ ُّ َعَه َّٙ َصهَّٗ انهَّ ُْٚج انَُِّب َيب َزَأ

    ٌَ َْٓس َزَيَضب َْٓس َْٚعُِٙ َش ََْرا انشَّ َٔ َْٕو َعبُشَٕزاَء َْٕو َٚ َٛ ََْرا اْن ِِ ِإنَّب ِْٛس َغ

    Tidaklah aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam

    berusaha untuk melaksanakan puasa pada satu hari yang lebih beliau

    utamakan berbanding hari-hari lainnya melainkan pada hari ini yaitu

    hari „Asyura, dan pada bulan ini, yaitu bulan Ramadhan. (Hadis

    Riwayat al-Bukhari, 7/125, no. 1867)

    Dari dalil-dalil di atas menurut An-Nablusi (2004:42-43), Allah

    SWT menyuruh kita menghormati bulan-bulan haram dan

    menghentikan perbuatan-perbuatan maksiat di dalamnya, karena

    kemaksiatan yang dilakukan pada bulan-bulan itu dosanya lebih besar

    dan kezhaliman yang dilakukan pada waktu itu adalah seburuk-buruk

  • 33

    kezhaliman. Dan Allah SWT memberitahu mereka bahwa perbuatan

    mengubah-ubah dan mengganti aturan agama adalah sejelek-jelek

    keburukan, sebagaimana pekerjaan menunda-nunda (amal atau taubat)

    menambah kekafiran. Allah SWT menetapkan, bahwa mereka wajib

    mengikuti perintah-perintah yang telah digariskan oleh Allah dan

    meninggalkan larangan-larangan yang dicegah olehNya.

    2. Menurut Adat Jawa

    Keberadaan hidup orang Jawa yang tak luput dari kehidupan

    sosial dan budaya yang memiliki corak dan ragam kehidupan sosial

    dan budaya. Ini sendiri dilatarbelakangi oleh sisa kebiasaan hidup pada

    zaman sebelumnya. Pengaruh-pengaruh ini dapat dimulai dari zaman

    berdirinya negara-negara Hindu Jawa, meskipun budaya ini kemudian

    sedikit terkikis dengan kehadiran budaya Islam dan kehidupan modern,

    tetapi pada umumnya masyarakat Jawa masih berusaha keras untuk

    terus melestarikan budayanya. Hal ini diteruskan dalam berbagai adat,

    misalnya:

    a. Rumah Tangga dan keluarga.

    b. Keinginan orang Jawa untuk mempunyai anak.

    c. Adat memberi nama.

    d. Pertumbuhan anak dalam keluarga ( Yana, 2010: 13-14).

    Sebagian besar orang Jawa masih belum dapat memisahkan

    mitos dalam kehidupan mereka. Sebagian besar mereka termasuk

  • 34

    dalam golongan bukan muslim santri. Ciri khas dari pandangan hidup

    orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan

    kesatuan antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang

    dianggap keramat.

    Dasar kepercayaan masyarakat Jawa ( kejawen) adalah

    keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pada hakikatnya

    adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Sebagian besar adat Jawa

    merupakan warisan ajaran Hindu dan Budha yang sudah menjadi

    tradisi masyarakat Jawa yang mengaku dirinya sebagai masyarakat

    kejawen. Kejawen berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang

    memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yang berhubungan

    dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan) (Yana, 2010:109).

    Bulan Suro sebagai awal tahun, bagi masyarakat Jawa

    dianggap bulan yang sakral, karena dianggap bulan yang suci, bulan

    untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, mendekatkan

    diri kepada Sang Khalik. Cara yang dilakukan biasanya disebut dengan

    laku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yang ikhlas untuk

    mencapai kebahagiaan dunia akhirat (http://himpalaunas.com).

    Namun kalau dicermati, esensi tradisi di bulan Suro yang

    dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah sebagai upaya untuk

    menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspada. Eling

    artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning

    dumadi “asal mulanya”, kedudukannya sebagai makhluk Tuhan,

  • 35

    tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi baik bagi diri sendiri

    maupun orang lain. Waspada, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan

    waspada terhadap segala godaan yang sifatnya menyesatkan. Karena

    sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari sang Pencipta,

    sehingga dapat menjauhkan diri mencapai manunggaling kawula gusti

    “bersatunya makhluk dan Khalik” (http://himpalaunas.com).

    Pada bulan Suro banyak orang melakukan ritual-ritual tertentu

    sebagai media introspeksi dengan berbagai cara. Ada yang melakukan

    laku dengan cara nenepi atau meditasi untuk merenung diri di tempat-

    tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam, gua, pohon

    tua, dan ada juga yang melakukan dengan cara lek-lekan 'berjaga

    hingga pagi hari' (http://himpalaunas.com). Selain ritual-ritual

    tersebut dalam masyarakat Jawa Ada juga Tradisi Ngalap Berkah yang

    dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-

    ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet

    muda), melakukan kirab kerbau bule (kiyai slamet) di keraton

    Kasunanan Solo, memandikan benda-benda pusaka, begadang

    semalam suntuk. ( http://jagadkejawen.com/id/upacara-

    ritual/perayaan1suro). Harmoni alam merupakan cita-cita manusia.

    Untuk menggapai harmoni alam itulah, sebagian masyarakat Jawa

    melakukan ritual-ritual tertentu.

    Ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa

    sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yang bersifat sakral,

    http://himpalaunas.com/http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/perayaan1surohttp://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/perayaan1suro

  • 36

    misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat

    mereka hindari. Hal ini terjadi karena adanya mitos Nyi Roro Kidul.

    Masyarakat Jawa yang percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul,

    penguasa laut selatan (Samudra Hindia) meyakini bahwa setiap bulan

    Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan

    anaknya. Setiap masyarakat Jawa yang punya gawe di bulan Suro ini,

    diyakini pengantin atau keluarganya tidak akan mengalami

    kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik tragedi cerai,

    gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah

    kebenaran itu ada atau tidak, yang jelas masyarakat Jawa secara turun-

    temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak

    (http://himpalaunas.com).

    Karena orang Jawa sebagian besar masih mengikuti paham

    kejawen, mitos yang berkembang di Jawa juga sangat erat kaitannya

    dengan keyakinan atau kepercayaan. Mitos adalah cerita suci

    berbentuk simbolik yang mengisahkan serangkaian cerita nyata dan

    imajiner menyangkut asal-usul dan perubahan-perubahan alam raya

    dan dunia, dewa-dewi, kekuatan-kekuatan atas kodrati, manusia,

    pahlawan, dan masyarakat. Cirri mitos yang berkembang dalam

    kehidupan orang Jawa, antara lain: (1) mitos sering memiliki sifat suci

    atau sakral, karenanya terkait dengan tokoh yang sering dipuja,

    misalnya mitos Nyi Roro Kidul, (2) mitos hanya dapat dijumpai dalam

    dunia mitos dan bukan dalam dunia kehidupan sehari-hari atau pada

    http://himpalaunas.com/

  • 37

    masa lampau yang nyata, (3) banyak mitos di Jawa yang menunjuk

    pada kejadian-kejadian penting, (4) kebenaran mitos tidak penting,

    sebab cakrawala dan zaman mitos tidak terikat pada kemungkinan-

    kemungkinan dan batas-batas dunia nyata ini (Endraswara, 2012:193-

    194).

  • 38

    BAB III

    PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

    A. Gambaran Umum Desa Bangkok Kecamatan Karanggede kabupaten

    Boyolali

    1. Letak Geografis

    Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali

    merupakan sebuah desa yang cukup ramai, jalannya naik turun dan

    udaranya cukup panas. Namun demikian, para warga yang tinggal di

    desa tersebut sangat ramah. Walaupun Desa Bangkok ini jauh dari

    pusat pemerintahan kecamatan, akan tetapi akses menuju desa

    Bangkok ini cukup mudah. Sehingga mempermudah perjalanan

    penulis dalam melakukan penelitian.

    Adapun luas Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten

    Boyolali sampai dengan 30 Juni 2012 adalah 12.327 ha, yang terdiri

    dari hutan, persawahan, ladang, dan pemukiman. Sedangkan batas

    wilayah Desa Bangkok adalah :

    a. Sebelah Utara : Desa Seworan

    b. Sebelah Selatan : Desa Dologan

    c. Sebelah Barat : Desa Klari

    d. Sebelah Timur : Desa Wonosegoro

  • 39

    2. Keadaan Administratif

    Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali

    mempunyai penduduk yang berjumlah 2.406 dengan jumlah Kepala

    Keluarga (KK) adalah 664.

    Table 3.1 Jumlah Penduduk berdasarkan jenis kelamin

    No Keterangan Jumlah

    1. Laki-laki 1.213 orang

    2. Perempuan 1.193 orang

    Jumlah 2.406 orang

    Untuk memperlancar kegiatan administrasi pemerintahan, di Desa

    Bangkok terdapat perangkat desa, mulai dari Kepala Desa hingga

    Ketua RT (Rukun Tetangga). Desa Bangkok terbagi dalam empat

    Dusun yaitu Dusun Bangkok, Karangsalam, Krajan dan Randusari,

    yang masing-masing dusun mempunyai Satu Ketua RW (Rukun

    Warga) dan beberapa Ketua RT.

    Tabel 3.2 Pembinaan RT/RW

    No Keterangan Jumlah

    1. Jumlah RT 16 unit

    2. Jumlah RW 4 unit

  • 40

    Di Desa Bangkok juga terdapat sebuah lembaga yang berfungsi untuk

    memberdayakan masyarakat desa tersebut. Kepaa Desa menunjuk

    beberapa kader untuk mengurusi lembaga tersebut.

    Tabel 3.3 Jumlah Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM)

    No Keterangan Jumlah

    1. KPM yang aktif 6 orang

    2. KPM yang tidak aktif 6 orang

    Jumlah 12 orang

    3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat

    Dalam kehidupan sehari-hari penduduk Desa Bangkok tidak

    menggambarkan adanya konflik yang berarti di masyarakat. Mereka

    hidup rukun saling berdampingan dalam bermasyarakat. Hal ini

    terlihat dari sikap gotong royong masyarakat ketika ada kegiatan di

    desa, misalnya kerja bakti, hajatan pernikahan, dan kematian. Selain

    itu di Desa Bangkok ini juga ada tradisi Nyadran berupa ziarah kubur

    yang dilaksanakan pada bulan Sya‟ban. Tradisi ini tetap mereka

    jalankan walaupun zaman sudah modern. Hal ini karena masyarakat

    Desa Bangkok sangat menghargai warisan para leluhur atau nenek

    moyang mereka.

    Walaupun seluruh masyarakat Desa Bangkok ini beragama

    Islam, akan tetapi mereka tetap menjalankan adat dan tradisi Jawa.

    Namun demikian mereka tidak membedakan antara syari‟at dan adat,

  • 41

    sehingga di masyarakat Desa Bangkok ini tidak pernah terjadi konflik

    berarti. Keadaan sosial yang rukun dan keagamaan yang saling

    toleransi inilah yang selalu dijaga oleh masyarakat Desa Bangkok.

    Di wilayah Desa Bangkok terdiri dari 664 Kepala Keluarga

    (KK), dan semuanya beragama Islam. Untuk menunjang

    pengembangan agama Islam di desa Bangkok terdapat beberapa sarana

    ibadah dan sarana pendidikan Islam.

    Tabel 3.4 Jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam

    No Keterangan Jumlah

    1. Jumlah masjid 6 buah

    2. Jumlah mushola 15 buah

    3. Jumlah pondok pesantren 1 buah

    4. Jumlah majelis ta‟lim 6 buah

    Dari jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam

    tersebut terlihat bahwa masyarakat Desa Bangkok banyak yang kurang

    pengetahuannya tentang agama Islam. Untuk meningkatkan keislaman

    masyarakat, para ulama‟ mempunyai tugas untuk menyampaikan

    ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat Desa Bangkok, salah

    satunya dengan ceramah. Akan tetapi ceramah oleh para ulama‟ jarang

    dilakukan. Dan materi ceramah yang disampaikan hanya tentang

    peningkatan keimanan dan ketaqwaan secara umum. Adapun materi

    yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap mitos-mitos dan

  • 42

    Ketauhidan jarang disampaikan. Jadi adat yang berkaitan dengan

    kepercayaan terhadap mitos-mitos itu terus dilakukan.

    4. Tingkat Pendidikan

    Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia.

    Karena dengan pendidikan manusia bisa menjadi berkualitas. Akan

    tetapi tidak semua orang bisa memperoleh pendidikan yang tinggi,

    karena untuk memperoleh pendidikan dibutuhkan biaya yang banyak.

    Keadaan ekonomi masyarakat Desa Bangkok yang berbeda-beda

    berakibat timbulnya perbedaan tingkat pendidikan masyarakat. Hanya

    sebagian masyarakat yang mampulah yang bisa memperoleh

    pendidikan yang tinggi.

    Tabel 3.5 Jumlah penduduk menurut Pendidikan

    No Pendidikan Jumlah

    1. Belum Sekolah 736 orang

    2. Lulusan SD/MI 601 orang

    3. Lulusan SMP/sederajat 598 orang

    4. Lulusan SMA/sederajat 464 orang

    5. Lulusan Akademi/ D1-D3 3 orang

    6. Lulusan Sarjana 4 orang

    Dari data pendidikan masyarakat desa Bangkok, rata-rata

    tingkat pendidikan rendah. Hanya ada beberapa orang saja yang

    mampu melanjutkan pendidikan sampai sarjana. Karena memang biaya

  • 43

    pendidikan yang cukup tinggi dan minat masyarakat untuk menuntut

    ilmu di bangku sekolah sangat kurang. Mereka lebih senang bekerja

    mencari nafkah daripada mencari ilmu. Oleh karena itu pola pikir

    masyarakatnya tradisional dan cenderung kurang kitis dalam

    menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan mitos. Misalnya saja

    tentang mitos larangan menikah pada bulan Suro yang mana menurut

    kepercayaan nenek moyang mereka akan memperoleh kesialan. Dan

    masyarakat pun mempercayai hal tersebut tanpa mencari tahu

    kebenaran tentang mitos tersebut.

    B. Pendapat Warga Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten

    Boyolali Tentang Menikah pada Bulan Muharram

    Tabel 3.6 Daftar Hasil Wawancara dengan warga Desa Bangkok

    No. Nama L/P RT/RW Umur Tanggapan

    1 Suwardi L 01/I 60 Tidak Boleh. Ikut

    nenek moyang

    2 Tamzis L 01/I 30 Boleh. Dalam Al-

    Qur‟an semua bulan

    baik

    3 Amin Soleh L 02/I 45 Boleh. Setiap waktu

    baik.

    4 Samsul L 02/I 23 Tidak Boleh. Orang

    tua melarang

    5 Muhlisin L 03/I 50 Boleh. Dalam Islam,

    tidak ada larangan

    menikah pada bulan

    itu

    6 Rowiyatun P 03/I 20 Tidak Boleh. Takut

    kena musibah

    7 Sudarji L 04/I 59 Tidak Boleh. Ikut

    yang sudah-sudah.

    8 Nur Faizah P 04/I 22 Boleh. Orang tua

    membolehkan dan

  • 44

    takut syirik

    9 Sriyadi L 05/II 25 Tidak Boleh. Tidak

    mau kena bencana

    10 Surbiyati P 05/II 20 Tidak Boleh. Takut

    hubungan tidak

    langgeng.

    11 Warito L 06/II 58 Tidak Boleh. Takut

    tidak punya

    keturunan.

    12 Darmini P 06/II 40 Boleh. Kapanpun

    boleh menikah.

    13 Muh

    Solikan

    L 07/II 25 Boleh. Agama tidak

    melarang.

    14 Rohiman L 07/II 28 Boleh. Tidak ada

    tuntunan yang tidak

    membolehkan untuk

    menikah di bulan

    suro.

    15 Tohir L 08/II 27 Tidak Boleh.

    Mengikuti ajaran

    leluhur.

    16 Muntofi‟ah P 08/II 50 Tidak Boleh. Takut

    putus di tengah

    jalan.

    17 Rohmadi L 09/III 55 Tidak Boleh. Karena

    bulan suro adalah

    bulan keramat.

    18 Ngatiman L 09/III 67 Tidak Boleh. Orang

    tua,kakek

    nenek,mbah buyut

    juga tidak

    membolehkan.

    19 Maryati P 10/III 44 Tidak Boleh. Takut

    tertimpa bencana

    20 Jasman L 10/III 30 Tidak Boleh.

    Mendingan ditunda

    saja.

    21 Juwarti P 11/III 35 Tidak Boleh. Karena

    banyak

    madharatnya.

    22 Sutimin L 11/III 40 Tidak Boleh. Takut

    ada yang meninggal

    dari salah satu pihak.

    23 Jumaroh P 12/III 61 Tidak Boleh. Takut

    dijadikan tumbal

  • 45

    oleh Nyi Roro

    Kidul.

    24 Kapsim L 12/III 29 Tidak Boleh. Sudah

    menjadi tradisi

    keluarga.

    25 Hamidurro-

    him

    L 13/IV 21 Boleh. Tidak ada

    alasan untuk tidak

    menikah pada bulan

    itu.

    26 Syuhada‟ L 13/IV 56 Tidak Boleh. Takut

    kena musibah dan

    bencana.

    27 Ma‟mun L 14/IV 39 Tidak Boleh. Tidak

    berani mlanggar

    aturan keluarga.

    28 Purtini P 14/IV 66 Tidak Boleh. Adat di

    desa kebanyakan

    tidak berani

    menikah.

    29 Ibnu

    Wijantoro

    L 15/IV 23 Tidak Boleh.

    Mendingan di bulan

    selain suro saja.

    30 Jumri L 15/IV 25 Tidak Boleh.

    Menghormati

    leluhur.

    31 Jumardi L 16/IV 50 Boleh. Tidak ada

    alasan logis yang

    melarang.

    32 Ngateno L 16/IV 30 Boleh. Larangan

    yang ada hanyalah

    sebuah mitos saja.

    Dari hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan, di Desa

    Bangkok sekitar 69 % masyarakat tidak memperbolehkan menikah pada

    bulan Muharram, sedangkan 31 % masyarakat memperbolehkan menika

    pada bulan Muharram. Adapun alasan yang disampaikan oleh masyarakat

    yang tidak memperbolehkan menikah pada bulan Muharram, yaitu

    diantaranya:

  • 46

    1. Masyarakat tidak berani menikah pada bulan Muharram karena sudah

    menjadi tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh para nenek

    moyang terdahulu.

    2. Masyarakat takut tertimpa musibah jika menikah pada bulan

    Muharram.

    Sedangkan alasan masyarakat yang memperbolehkan menikah pada bulan

    Muharram adalah:

    1. Dalam Islam tidak ada larangan menikah pada bulan Muharram.

    2. Semua bulan itu baik.

    3. Tidak ada alasan yang logis mengenai larangan menikah pada bulan

    Muharram.

    Adapun akibat pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram

    atau bulan Suro menurut Bapak Suwardi salah satu tokoh masyarakat di

    Desa Bangkok mengatakan :

    “Di Desa Bangkok belum pernah ada warga yang melakukan

    pernikahan pada Bulan Suro. Kalau ada yang melakukan

    pernikahan pada Bulan Suro akan mendapat halangan. Dan dalam

    membina rumah tangga akan sering terjadi percekcokan. Bahkan

    ada seorang warga Desa Bangkok yang pernah mendirikan rumah

    pada Bulan Suro kemudian orang itu menjadi gila.”

    Jadi menurut Bapak Suwardi pernikahan yang dilakukan pada bulan

    Suro ini dihindari oleh warga Desa Bangkok. Karena mereka beranggapan

    bahwa pernikahan yang dilakukan pada bulan Suro ini akan mendapat

    banyak halangan, sehinga mereka tidak berani melakukannya. Terbukti

    sampai sekarang mereka tidak ada yang maelakukan pernikahan pada

  • 47

    bulan Suro walaupun tidak ada fakta tentang akibat buruk dari pernikahan

    pada bulan Suro.

    C. Pendapat Ulama’ Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten

    Boyolali Tentang Menikah pada Bulan Muharram

    Tabel 3.7 Daftar Hasil Wawancara dengan ulama‟ Desa Bangkok

    No Nama Dusun Tanggapan

    1 M. Abdullah Bangkok Boleh. sangat

    dianjurkan

    2 M. Ali Alwi Karangsalam Boleh. Bulan yang

    sangat mulia

    3 Ramto Krajan dan Randusari Boleh. Musibah itu

    sudah takdir

    Desa Bangkok memiliki beberapa ulama‟ yang bertugas

    mengajarkan agama Islam di desa tersebut. Sehingga mereka menjadi

    panutan warga dalam hal ibadah. Akan tetapi adat yang berlaku tetap

    mereka lestarikan selama tidak bertentangan dengan syari‟at.

    Mereka berpendapat bahwa menikah di bulan muharram itu boleh,

    bahkan sangat dianjurkan, karena bulan muharram adalah bulan yang

    sangat mulia, selain itu tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur‟an yang

    melarang untuk menikah di bulan suro. Akan tetapi, di desa Bangkok adat

    yang berjalan adalah masyarakat tidak berani untuk menikah di bulan

  • 48

    muharram, bahkan hajat lain pun seperti mendirikan rumah mereka tidak

    berani melaksanakannya. Mereka merasa khawatir jangan-jangan jika

    mereka melaksanakan hajat di bulan itu mereka akan menimpa musibah,

    padahal hal seperti itu sangat dilarang agama, para ulama menyebut hal itu

    sebagai tathayyur, yaitu mempercayai kepada ucapan-ucapan nenek

    moyang yang belum tentu benar.

    Para ulama‟ Desa Bangkok berpendapat sebenarnya masyarakat

    menjalani tradisi itu masih terpengaruh dengan keyakinan yang dianut

    oleh sesepuh mereka. Seperti yang disampaikan Bapak Abdullah dari

    Dusun Bangkok, bahwa masyarakat hanya mengikuti apa yang sudah

    dilakukan nenek moyang mereka. Beliau menambahkan sebenarnya bulan

    Muharram adalah bulan yang sangat mulia, bahkan beliau sangat

    menganjurkan pernikahan pada bulan tersebut. Mengenai adat larangan

    menikah pada Bulan Muharram beliau berpendapat bahwa, sebuah adat

    memang bisa dipertimbangkan untuk menjadi hukum. Karena hal itulah

    adat larangan menikah pada bulan Muharram masih berlaku.

    Masyarakat mempunyai keyakinan jika mereka menikah di bulan

    Suro maka akan tertimpa musibah, mereka juga takut kepada mitos Nyi

    Roro Kidul yang mencari tumbal seseorang yang berani menikah di bulan

    Muharram. Padahal, menurut Bapak Ali Alwi sebagai tokoh agama di

    Dusun Karangsalam mengatakan bahwa sebenarnya isu tentang Nyi Roro

    Kidul itu hanyalah isu yang dimunculkan sejak zaman penjajahan Belanda,

  • 49

    biasanya orang Jawa itu jika ditakut-takuti dengan hal yang mistik seperti

    itu, mereka akan takut dan mengikutinya.

    Bapak Ramto salah satu tokoh agama di Dusun Krajan dan

    Randusari menambahkan bahwa kepercayaan tentang larangan menikah

    pada bulan Suro sebenarnya muncul saat Keraton Solo mempunyai hajat di

    bulan Suro, pihak Keraton melarang warga untuk membarengi hajat pihak

    Keraton, agar seluruh warga dapat ikut memeriahkan hajatan tersebut.

    Akan tetapi para ulama‟ tidak berani untuk langsung melarang adat yang

    berkembang di masyarakat, perlu waktu untuk menghilangkan mitos-mitos

    tersebut, kadar keislaman masyarakat dinilai masih tipis, jika terlalu

    dipaksakan mereka khawatir akan terjadi perpecahan diantara masyarakat.

    Mengenai kekhawatiran masyarakat yang takut tertimpa musibah jika

    menikah di bulan suro, para ulama‟ sangat melarang hal itu, karena

    termasuk thiyarah yaitu meramalkan bernasib sial karena melanggar

    sesuatu. Dan hal itu termasuk perbuatan sirik.

  • 50

    BAB IV

    ANALISIS

    A. Faktor Yang Mendorong Masyarakat Desa Bangkok Tidak

    Melakukan Pernikahan Pada Bulan Muharram

    1. Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali

    merupakan desa yang seluruh warganya beragama Islam, akan tetapi

    tradisi Jawa yang diwariskan nenek moyang khususnya dalam hal

    pernikahan tetap mereka pertahankan.

    2. Mayoritas masyarakat Desa Bangkok merupakan keturunan suku Jawa.

    Sehingga adat yang mereka anut pun adalah adat Jawa. Sebagian besar

    orang Jawa masih belum dapat memisahkan mitos dalam kehidupan

    mereka (Yana, 2010:15). Begitu juga dengan masyarakat Desa

    Bangkok yang masih mempercayai mitos. Seperti larangan melakukan

    pernikahan pada bulan Suro (Muharram), adat ini tetap mereka

    jalankan sampai sekarang.

    3. Warga Desa Bangkok mempercayai bahwa pernikahan yang dilakukan

    pada Bulan Muharram atau Bulan Suro akan mendapat banyak

    halangan. Selain itu jika pernikahan itu sudah dilangsungkan dan

    pasangan suami isteri ini berumahtangga, maka akan sering terjadi

    percekcokan. Dan hal ini bisa menimbulkan perceraian. Maka dari itu

    masyarakat tidak berani melakukan pernikahan pada bulan Muharram.

  • 51

    Sedangkan jika menikah pada bulan selain Muharram masyarakat

    meyakini tidak akan ada halangan yang berarti.

    4. Dalam kasus seperti yang terjadi di desa Bangkok ini sangat terlihat

    bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi mitos-mitos dan

    kepercayaan yang belum bisa dijelaskan dengan alasan yang logis. Apa

    yang mereka yakini hanya merupakan warisan turun-temurun yang

    terlahir dari proses akulturasi budaya islam dengan warisan animisme

    dan dinamisme yang ada pada zaman sebelum Islam masuk ke tanah

    Jawa.

    5. Sebenarnya apa yang masyarakat Desa Bangkok yakini dalam hal

    larangan menikah tersebut tentunya sangat bertentangan dengan

    budaya Islam. Tetapi karena alasan kestabilan masyarakat dan

    menghindari adanya kegoncangan dan kekacauan akibat benturan

    budaya tersebut, maka mitos dan budaya Jawa itu mau tidak mau harus

    tetap berjalan sebagaimana adanya.

    B. Pandangan Hukum Islam Tentang Pernikahan Yang Dilakukan Pada

    Bulan Muharram

    Demi memuliakan ummatnya, Islam datang dengan penuh berkah.

    Diantaranya, dengan mengistimewakan hari-hari dan bulan-bulan tertentu.

    Seperti bulan Muharram yang termasuk 4 bulan yang paling mulia dalam

    Islam. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa bulan-bulan lain selain 4 bulan

  • 52

    haram tersebut tidak baik. Jadi semua hari itu baik, dan kita bisa

    melaksankan hajat apapun setiap harinya.

    Seperti halnya hajat pernikahan itu boleh dilaksanan kapan saja.

    Tidak ada hari-hari tertentu yang mana dilarang untuk melakukan

    pernikahan. Karena pernikahan itu adalah sunnatullah yang mana sangat

    dianjurkan oleh Allah SWT. Bahkan suatu pernikahan itu wajib hukumnya

    ketika orang itu sudah mampu secara lahir dan batin dan sudah

    menginginkannya. Jadi tidak ada halangan untuk melakukan sebuah

    pernikahan tersebut.

    Dalam syarat dan rukun pernikahan yang tercantum dalam

    Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

    Tentang Perkawinan tidak menyebutkan bahwa pernikahan tersebut harus

    dilakukan pada hari tertentu. Dan tidak disebutkan pula tentang larangan

    menikah pada waktu-waktu tertentu. Jadi tidak ada peraturan tertentu yang

    melarang sebuah perkawinan yang dilakukan pada Bulan Muharram.

    Akan tetapi masyarakat Desa bangkok Kecamatan Karanggede

    Kabupaten Boyolali tetap tidak berani melaksanakan pernikahan pada

    bulan Muharram itu. Hal ini terjadi karena adanya kepercayaan-

    kepercayaan yang turun-menurun dari zaman dahulu bahwa pernikahan yg

    dilakukan pada Bulan Muharram akan mendapat banyak halangan dan

    kehidupan rumah tangganya tidak harmonis. Akan tetapi seandainya adat

    itu dilanggar entah apa yang terjadi itu tidak tahu. Karena memang sampai

    sekarang belum ada bukti yang nyata dari kepercayaan tersebut.

  • 53

    Dalam Islam hal seperti itu dianggap thiyarah, yaitu meramalkan

    bernasib sial karena melanggar sesuatu. Padahal yang berkuasa

    menentukan nasib manusia adalah Allah, jadi manusia yang percaya selain

    kepada Allah disebut musyrik. Dan dosa orang yang musyrik itu sangat

    besar.

    Jadi, dalam hukum Islam tidak ada larangan menikah pada waktu-

    waktu tertentu. Sehingga pernikahan itu bisa dilaksanakan kapan saja

    asalkan pernikahan itu bertujuan baik. Apabila pernikahan itu dilakukan

    pada Bulan Muhrram hal itu sangatlah baik. Karena bulan Muharram

    merupakan salah satu dari 4 bulan haram yang sangat dimuliakan oleh

    Allah.

  • 54

  • 55

  • 56

  • 57

    DAFTAR PUSTAKA

    An-Nablusi, Imam Abdul Ghani.2004. Keutamaan Hari dan Bulan dalam Islam.

    Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek.

    Jakarta: Bina Aksara.

    Endraswara, Suwardi. 2012. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Penerbit

    Cakrawala.

    Hamid, Syamsul Rijal. 2012. Tuntutan Perkawinan dalam Islam. Boror: Cahaya

    Salam.

    Hariwijaya, M. 2008. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa.

    Yogyakarta: Hanggar Kreator.

    Hasan, Aliah B. Purwakanika. 2008. Psikologi Perkembangan Islami:

    Menyingkap rentang Kehidupan manusia dari prakelahiran hingga

    pascakematian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

    Islamil, Faisal. 1999. Islam, Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah.

    Yogyakarta: Adi Wacana.

    J. Moleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif,. Bandung: Remaja Rosda

    Karya.

    Jumantoro, Totok, dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.

    Koentjaraningrat. 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat,. Jakarta:

    Gramedia Pustaka Utama.

    Kurniawan, Benny. 2012 . Ilmu Budaya Dasar. Tangerang Selatan: Jelajah Nusa.

    M. Amirin, Tatang, 1990. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers.

    Masroer. 2004. The History of Java Sejarah Perjumpaan Agama-agama di

    Jawa. Yogyakarta: Ar-ruzzjogjakarta.

    Mukhtar, Erna Widodo, 2000. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif,

    Yogyakarta: Avyrouz.

    Poerwadarminta, W.J. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

    Pustaka.

  • 58

    Sabiq, Sayyid. 1978. Fikih Sunnah 3. Bandung: PT Alma‟arif.

    Saksono, Gatut, dkk. 2012. Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa.

    Yogyakarta: Ampera Utama.

    Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta Selatan: Teraju.

    Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik

    Edisi VII, Bandung: CV. Tarsito.

    Tihami, Prof. Dr. HMA dan Sahrani, Drs. Suhari. 2009.Fikih Munakahat Fikih

    Nikah Lengkap. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.

    Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan.

    Yogyakarta: LkiS.

    Yana. 2010. Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Absolut.

    Yazid, Abu. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma‟had Aly Terhadap Wacana Hukum

    Islam Kontemporer.Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    http://himpalaunas.com

    http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/perayaan1suro

    http://himpalaunas.com/http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/perayaan1suro

  • 59

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

    Nama : Muhammad Isro‟i

    Nim : 21108014

    Fakultas : Syari‟ah

    Jurusan : Ahwal Al Syakhshiyyah

    TTL : Boyolali, 21 Februari 1989

    Alamat : Bangkok, Rt. 01 Rw.01 Karanggede Boyolali

    Pendidikan :

    a. MI Bangkok Karanggede Lulus 2001

    b. MTs Ma‟arif Karanggede Lulus 2004

    c. SMA 1 Karanggede Lulus 2007

    Demikian daftar riwayat hidup ini di buat dengan sebenar-benarnya.