lapsus mola klungkung
DESCRIPTION
reproduksiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Mola hidatidosa adalah penyakit yang berasal dari jaringan trofoblas yang bersifat
jinak dimana terjadi pertumbuhan/proliferasi sel-sel trofoblas yang berlebihan
dengan stroma yang mengalami degenerasi hidropik (terutama sinsitiotrofoblas).1,2
Vili koriales (jonjot - jonjot korion) tumbuh berganda berbentuk gelembung kecil
berisi cairan jernih (asam amino, mineral) yang menyerupai buah anggur sehingga
penyakit ini sering disebut hamil anggur. Mola hidatidosa merupakan penyakit
wanita yang sering muncul pada usia reproduktif yakni antara umur 15 tahun
sampai 45 tahun. Angka kejadian di Indonesia untuk mola hidatidosa berkisar
antara 1 : 50 sampai 1 : 141 kehamilan.3 Di negara-negara barat kejadian mola
dilaporkan 1 dari 2000 kehamilan, sedangkan di negara-negara berkembang 1 dari
120 kehamilan.
Mola hidatidosa diklasifikasikan menjadi mola hidatidosa komplit (klasik)
dan mola hidatidosa inkomplit (parsial) berdasarkan ada tidaknya jaringan janin
dalam uterus. Keluhan yang biasanya disampaikan oleh penderita adalah
amenorrhea, gejala-gejala hamil muda yang kadang - kadang melebihi kehamilan
biasa disertai tanda toksemia gravidarum, perdarahan (sedikit/banyak, tidak
teratur, warna tengguli tua atau kecoklatan seperti bumbu rujak), muka kelihatan
pucat kekuning-kuningan (mola face), keluar jaringan mola seperti buah anggur
atau mata ikan (tidak selalu ada) yang merupakan diagnosis pasti, dan
tirotoksikosis.4 Pada pemeriksaan fisik didapatkan uterus membesar tidak sesuai
dengan umur kehamilan dan teraba lembek, tidak teraba bagian-bagian janin,
balotement negatif, tidak dirasakan gerakan janin, adanya fenomena harmonika
(darah dan gelembung mola keluar, fundus uteri turun, kemudian naik lagi karena
terkumpulnya darah baru), dan tidak terdengar bunyi denyut jantung janin. Pada
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain reaksi kehamilan, uji
sonde, biopsi acosta sison, rontgen foto abdomen, arteriogram khusus pelvis,
ultrasonografi, serta uji T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis.5 Penatalaksanaan
mola hidatidosa berupa perbaikan keadaan umum, pengeluaran jaringan mola
(vakum kuretase, histerektomi) dan terapi profilaksis dengan sitostatika.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit trofoblas gestasional merupakan sekelompok penyakit yang ditandai
oleh adanya pertumbuhan plasenta yang abnormal. Penyakit ini dikelompokkan
menjadi mola hidatidosa, korioadenoma destruen (mola invasif), koriokarsinoma,
dan placental site trophoblastic tumor ( PSTT ).1,2
Mola hidatidosa merupakan bentuk jinak dari penyakit trofoblas
gestasional, yang ditunjukkan dengan tidak adanya fetus yang intak dan vili
korealis yang edema, hiperplasia trofoblas, dan adanya disintegrasi atau hilangnya
pembuluh darah dari vili.1,2
2.2 Epidemiologi
Perkiraan jumlah kejadian kehamilan mola sukar untuk diketahui secara pasti oleh
karena berbagai pertimbangan dalam penanganan kehamilan baik normal maupun
abnormal. Evaluasi awal memperkirakan insiden kehamilan mola yang 5 - 10 kali
lebih tinggi di Asia dan Asia tenggara jika dibandingkan di Amerika Serikat.
Seperti di Taiwan, kehamilan mola terjadi pada 1 : 120 kehamilan. Di Jepang dan
Vietnam insidennya cukup tinggi yaitu 1 : 500 kehamilan. Di Indonesia sekitar 1 :
100 kehamilan.12
Meskipun etiologi dari penyakit trofoblas gestasional tidak diketahui
secara pasti, penyakit ini dikaitkan dengan beberapa faktor risiko seperti usia
kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun, riwayat kehamilan mola, tingkat
sosioekonomi yang rendah, dan golongan darah ABO. Wanita berusia lebih dari
40 tahun memiliki insiden 5 kali lebih tinggi untuk mengalami kehamilan mola.
Di Singapura, insiden kehamilan mola pada wanita usia > 45 tahun didapatkan 1 :
72 kehamilan. Secara umum wanita dengan usia < 20 tahun memiliki risiko 1,5 - 2
kali lebih tinggi.3
2.3 Patogenesis
2
Fertilisasi yang normal terjadi sebagai hasil dari bertemunya satu sel sperma satu
sel telur yang selanjutnya diikuti pembelahan sel yang cepat dan menjadi embrio.
Diferensiasi sel - sel epitel berperan penting dalam menghubungkan embrio
dengan uterus pada tahap awal sehingga nantinya menjadi plasenta dan vili.
Kejadian ini ditandai dengan aktifnya faktor transkripsi, sitokin, sekresi hormon,
dan aktivitas imunologi. Dalam penyakit trofoblas gestasional, terjadi
pertumbuhan trofoblas yang tidak terkontrol dan invasi trofoblas sebagai hasil dari
munculnya kromosom yang abnormal dan penyimpangan pada proses biologik
sel.3
Penyakit trofoblas gestasional muncul akibat penyatuan sel sperma dan
telur yang abnormal. Hal ini terjadi ketika ada satu sel sperma normal yang
membuahi ovum tanpa kandungan materi genetik yang tidak aktif. Selanjutnya
terjadi duplikasi kromosom paternal tanpa diikuti oleh pembelahan saat mitosis
blastomer pertama, atau sperma yang diploid karena tidak adanya divisi miosis
kedua, sehingga menghasilkan satu zigot yang seluruhnya mengandung
kromosom paternal. Kejadian ini menghasilkan abnormalitas dari trofoblas dan
memungkinkan embrio untuk mati lebih awal. Fertilisasi yang menyimpang ini
menghasilkan kelainan genetik yang spesifik dan karakteristik patologis yang
khas. Karakteristiknya berupa tumbuhnya elemen plasenta yang terus-menerus
dengan edema vili dan pertumbuhan sel sito dan sinsiotrofoblas yang berlebihan.
Vili yang mengalami edema memberikan gambaran seperti gelembung -
gelembung air. Massa ini selanjutnya disebut mola hidatidosa atau kehamilan
mola. Sel - sel trofoblas dapat menghasilkan hormon kehamilan yakni human
chorionic gonadotropin (hCG), yang dipakai sebagai dasar tes kehamilan.
Produksi hCG yang berlebih an menyebabkan munculnya keluhan - keluhan pada
masa kehamilan.2,3
Berdasarkan gambaran morfologi dan sitogenetiknya, mola hidatidosa
dibagi menjadi dua sindrom yaitu mola hidatidosa komplit (klasik) dan parsial.
2.4 Patologi
3
Gambaran patologis yang utama dalam menegakkan diagnosis mola hidatidosa
adalah adanya proliferasi trofoblas dan gambaran vili yang hidrofik. Berdasarkan
gambaran morfologi, kariotipe, dan gambaran kliniknya, mola hidatidosa dibagi
menjadi komplit dan parsial.1,3
Mola hidatidosa komplit umumnya terdeteksi pada saat trimester kedua
kehamilan, rata-rata ditemukan pada saat umur kehamilan 18 minggu. Ditandai
dengan adanya vili yang sebagian besar mengalami edema hidrofik, dibungkus
oleh trofoblas yang hiperplastik dan atipik. Tidak ditemukan embrio dan selaput
ketuban. Lebih dari 90 % mola komplit atau klasik menunjukkan suatu kariotipe
46 XX yang berasal dari ayah yang ditunjukkan dengan analisis polimorfik
fluoresen. Risiko terjadinya keganasan pada mola komplit adalah 15%-20%.4,5
Mola hidatidosa parsialis umumnya ditandai dengan adanya embrio atau
selaput amnion. Mola ini disebut parsial karena perubahan bentuk hidatidiform
pada vili yang bersifat fokal. Vili hidrofik biasanya tidak teratur dan mempunyai
stroma inklusi yang hiperplastik. Kapiler dari vili masih bersifat fungsional,
karena proporsinya sama dengan inti eritrosit dari fetus seperti yang ditemukan
pada embrio. Pada mola parsialis, perubahan bentukan hidatid terjadi secara
lambat, dan tampaknya perbandingan penampakan vili yang normal dengan yang
abnormal berhubungan dengan angka harapan hidup fetus. Mola hidatidosa
parsialis biasanya aneuploidi dan lebih sering tampak suatu kariotipe XXY, yang
mana terjadi lewat proses fertilisasi dispermik sekunder dari ovum dengan retensi
genom maternal. Sekitar 2% - 5 % dari mola parsial akan mengalami degenerasi
menjadi ganas .4,5 Gambaran dari mola komplit dan parsialis dapat dilihat pada
tabel 1.
2.5 Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Mola hidatidosa komplit yang juga dikenal sebagai mola hidatidosa klasik adalah
bentuk kehamilan mola yang paling sering terjadi. Kelainan ini biasanya muncul
pada umur kehamilan 11 - 25 minggu, dengan rata-rata umur kehamilan sekitar 18
minggu.3
Komplit Parsialis
4
Jaringan janin/embrio Tidak ada Ada
Edema vili korealis Difus Fokal
Hiperplasia trofoblas Difus Fokal
Scalloping of villi Tidak ada Ada
Inklusi stroma trofoblastik Tidak ada Ada
Kariotipe 46 XX Triploid
46 XY Tetraploid
Tetraploid Normal
Tabel 1. Gambaran dari mola komplit dan mola parsialis 2
Gejala umum yang sering dirasakan oleh pasien dengan kehamilan mola
adalah perdarahan pervaginam, tercatat melebihi 97 % dari penderita. Adanya
perdarahan pervaginam yang berulang dan lama dapat menyebabkan anemia oleh
karena defisiensi besi. Keluhan oleh karena anemia terjadi pada sekitar 50 % dari
penderita saat diagnosa ditegakkan. Kadang kala disertai pengeluaran spontan
gelembung - gelembung mola dari uterus yang merupakan tanda diagnosa pasti
mola hidatidosa.2,3,8
Nyeri abdomen yang terjadi pada kehamilan awal disebabkan oleh adanya
pembesaran dari uterus atau kista teka luteal yang prominen. Dari pemeriksaan
abdominal dan pelvis dapat ditemukan adanya pembesaran uterus yang lebih besar
dari umur kehamilan yang diperkirakan, terjadi pada sekitar 50% dari kasus. Pada
25% kasus dapat ditemukan besar uterus yang sesuai dengan umur kehamilan, dan
sebaliknya pada 25% malah ditemukan uterus yang lebih kecil dari masa
kehamilan. Konsistensi uterus lunak, tidak terasa balotemen dan tidak teraba
bagian janin. Pada auskultasi tidak terdengar denyut jantung janin. Massa ovarium
dapat teraba sebagai akibat dari kista teka luteal. Kista ini terjadi oleh karena
induksi dari hiperstimulasi hCG pada kedua ovarium, kejadiannya sekitar 50 %
5
dari penderita, yang mana akan menyebabkan tekanan atau pendesakan pada
pelvis. Biasanya kista ini mengalami regresi spontan setelah evakuasi mola.3
Toksemia dini atau preeklampsia (hipertensi, edema, dan proteinuria)
dapat ditemukan pada trimester pertama atau kedua tetapi kelainan ini tidak umum
terjadi pada kehamilan mola. Toksemia terjadi pada ± 27 % penderita yang
diobservasi di New England Trophoblastic Disease Center. Gangguan ini terjadi
oleh karena pengeluaran bahan vasoaktif yang berlebihan yang berasal dari
jaringan trofoblas yang mengalami nekrosis.3
Hiperemesis gravidarum dengan keluhan mual dan muntah yang
berlebihan selama kehamilan ditemukan pada sekitar 10 % dari penderita dengan
kehamilan mola. Dihubungkan dengan adanya pembesaran uterus yang berlebihan
dan peningkatan kadar hCG.3,5
Keluhan berdebar dan tremor karena hipertiroid dapat terjadi. Kejadian
hipertiroid muncul pada sekitar 7 % dari kehamilan mola. Adanya peningkatan
dari triiodothyronine (T3) dan thyroxine (T4) lebih sering ditemukan
dibandingkan dengan manifestasi klinik hipertiroid seperti takikardi, berkeringat,
dan penurunan berat badan. Peningkatan hormon ini terjadi secara sekunder oleh
karena kesamaan struktur hCG dengan thyroid stimulating hormon (TSH),
selanjutnya peningkatan kadar hCG intrinsik menstimulasi aktivitas dari kelenjar
tiroid. Tindakan evakuasi atau anastesi dapat mencetuskan terjadinya krisis tiroid.
Manifestasinya dapat berupa hipertermi, delirium, konvulsi, takiaritmia, kolaps
kardiovaskuler.2,5
Emboli paru oleh jaringan trofoblas dapat terjadi dan menyebabkan
terjadinya distres napas pada sekitar 2 % dari penderita mola. Distres napas
biasanya didiagnosis pada penderita dengan adanya pembesaran uterus yang
berlebihan dan peningkatan kadar hCG. Keluhan yang timbul dapat berupa nyeri
dada, dispnea, dan takikardia. Distres napas yang berat dapat terjadi selama dan
setelah evakuasi mola. Insufisiensi pernapasan dapat terjadi karena emboli
trofoblas atau sebagai akibat dari komplikasi kardiopulmoner oleh karena krisis
tiroid, preeklampsia, dan pemberian cairan yang berlebihan.4,5
Pada pemeriksaan tes kencing, didapatkan hasil positif dalam dilusi yang
tinggi. Nilai 1/200 menunjukkan kecurigaan yang tinggi, dan 1/500 menunjukkan
6
diagnosa pasti. Pemeriksaan kadar hCG dalam air seni 24 jam dapat melebihi
400.000 UI, bahkan kadang-kadang mencapai 1-2 juta UI per jam.6 Kadar hCG
serum juga menunjukkan peningkatan kadar yang tinggi (> 100.000 mIU/ml).6
Pada pemeriksaan darah lengkap sering ditemukan kadar Hb yang rendah,
LED yang meningkat, dan leukositosis. Kadang-kadang didapatkan albuminuria,
terutama pada penderita yang disertai edema dan hipertensi.5,6
Pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan adanya gambaran uterus yang
membesar, dengan massa intrauterin yang khas berupa “cluster of grapes“ atau
gambaran “snow storm”. Tidak teridentifikasi bagian janin dan selaput janin
(gestasional sac). Selain itu, dapat dideteksi adanya kista ovarium bilateral.7
Pemeriksaan dengan sinar - X yaitu histerografi dengan memakai bahan
kontras yang dimasukkan ke uterus, akan memberikan gambaran yang khas yaitu
gambaran sarang tawon (honey comb) dan tidak adanya gambaran tulang fetus.
Pemeriksaan ini juga dapat untuk melihat adanya metastase ke organ lain. Untuk
melihat adanya metastase ini kadang diperlukan pemeriksaan CT scan dan MRI.7,8
Pemeriksaan sitogenetik, dan flowcytometry dilakukan untuk menentukan
ploidi atau kromosom sel, baik dari jaringan hasil konsepsi maupun dari paternal
dan maternal. Dari analisa kromosom dapat ditentukan kariotipenya.8
Pada pemeriksaan histopatologik didapat kelainan yang khas dari mola
yaitu edema jonjot korion, pembuluh darah pada jonjot korion yang berkurang
atau menghilang, dan adanya proliferasi dari sel - sel trofoblas.2,3
2.6 Penatalaksanaan
Penanganan mola hidatidosa pada prinsipnya adalah evakuasi segera mungkin
begitu diagnosa ditegakkan. Sebelum evakuasi dilakukan dicari dahulu ada
tidaknya penyulit berupa tirotoksikosis, preeklampsia dan hal-hal lain yang dapat
memperburuk prognosis penderita, upaya evakuasi baru dilakukan bila penyulit
sudah diobati dan teratasi. Metode yang dilakukan tergantung dari ukuran
besarnya uterus, ada tidaknya ekpulsi parsial, umur penderita dan fertilitasnya.
Sebelum dilakukan evakuasi harus disiapkan darah, pemeriksaan darah lengkap,
tes fungsi hati dan ginjal, faal hemostasis, foto thorak, kadar serum hCG.2,8
Ada beberapa cara untuk mengevakuasi jaringan mola, yakni :
7
a. Kuretase :
Pada ukuran rahim yang tidak terlalu besar, kuretase dilakukan hanya satu kali
saja, yakni setelah jaringan mola dikeluarkan dengan vakum kuret dan langsung
diteruskan dengan sendok kuret tajam. Pada kasus mola dengan uterus besar,
dengan ukuran di atas 20 minggu, dapat dilakukan kuretase sebanyak dua kali,
kuretase pertama dengan vakum kuret dan kuretase kedua dilakukan satu minggu
kemudian setelah terjadi involusi uterus, yakni dengan sendok kuret tajam. Bila
osteum uteri belum terbuka dan serviks kaku, dilakukan pemasangan laminaria
stiff selama 12-24 jam sebelum evakuasi. Pada saat evakuasi, diberikan oksitosin
drip. Pemeriksaan histopatologi dilakukan setelah evakuasi jaringan mola untuk
mencari ada tidaknya gambaran proliferasi berlebih dan ada tidaknya penetrasi
jaringan trofoblas ke dalam endometrium.
b. Histerektomi :
Histerektomi dikerjakan sebagai cara evakuasi jaringan mola pada kasus mola
risiko tinggi pada umur > 40 tahun dengan anak cukup. Tujuannya, di samping
sebagai upaya untuk mengurangi kemungkinan timbulnya keganasan sekaligus
juga bila kemudian timbul koriokarsinoma maka derajat skor pada skor
prognostik akan lebih rendah sehingga sitostatika yang diperlukan akan lebih
sederhana dan kurang toksis, biayanya pun menjadi lebih murah.
Follow up atau pengawasan lanjut pasca evakuasi mola merupakan bagian
dari penatalaksanaan mola hidatidosa. Pengawasan ketat kasus mola pasca
evakuasi perlu dilakukan oleh karena sekitar 10% - 30% mola akan mengalami
transformasi menjadi tumor trofoblas gestasional (TTG). Pada penderita mola
risiko rendah, follow up mulai dilakukan seminggu setelah evakuasi mola.
Dilakukan pemeriksaan fisik penderita, keluhan, tanda - tanda metastase,
pemeriksaan tes kehamilan mulai dari yang kepekaannya paling rendah atau
pemeriksaan hCG. Pemeriksan klinis meliputi besar dan involusi uterus,
perdarahan (pervaginam atau hemoptoe), tanda-tanda metastase (vagina, paru-
paru dll). Follow up dilakukan sampai minggu ke-12. Diagnosis adanya
pertumbuhan baru jaringan trofoblas dengan pemeriksaan hCG ditetapkan
dengan kriteria yang dianjurkan oleh Mozisuki dkk, yakni: 2
- Kadar hCG 1000 mIU/ml pada minggu ke 4.
8
- Kadar hCG 100 mIU/ml pada minggu ke 6.
- Kadar hCG 30 mIU/ml pada minggu ke 8.
Bila kadar hCG melebihi batas - batas diatas dan atau secara klinis ada
tanda-tanda pertumbuhan baru jaringan trofoblas maka selanjutnya penderita
dikelola sebagai tumor trofoblas gestasional.
Selama pengawasan lanjut pasca evakuasi mola juga perlu dilakukan
pencegahan kehamilan baru. Penderita dianjurkan untuk menggunakan KB
kondom. Tidak dianjurkan memakai IUD karena efek samping perdarahan akan
menyulitkan diagnosis adanya pertumbuhan baru jaringan trofoblas, sedangkan
KB hormonal dilaporkan akan menimbulkan resistensi terhadap sitostatika bila
diperlukan. Penderita dianggap sembuh dari pengawasan lanjut pasca evakuasi
mola bila setelah follow up 12 bulan tidak ada tanda-tanda pertumbuhan baru
jaringan trofoblas atau penderita sudah hamil normal lagi kurang dari 12 bulan
setelah evakuasi mola. Adanya kehamilan normal dibuktikan dengan berbagai
cara termasuk USG. Pengertian sembuh tidak berarti bahwa tidak mungkin terjadi
TTG dimasa yang akan datang karena sifat sel trofoblas yang dorman. Penderita
tidak boleh hamil lagi paling sedikitnya selama 1 tahun untuk yang belum
memiliki anak atau 2 tahun untuk penderita yang sudah mempunyai anak.1,2
2.7 Prognosis
Prognosis dari mola hidatidosa untuk menjadi keganasan tergantung dari beberapa
faktor antara lain kadar HCG, besarnya uterus, terdapatnya kista ovarium dan
adanya faktor metabolik dan epidemiologik yang menyertainya. Berdasarkan
faktor risiko terjadinya keganasan, WHO menggolongkan mola hidatidosa
kedalam 2 kelompok, yakni mola hidatidosa risiko rendah dan risiko tinggi.2,9
a. Mola hidatidosa risiko rendah :
- hCG serum < 100.000 IU/ml
- Besarnya uterus umur kehamilan
- Kista ovarium < 6 cm
- Tidak ada faktor metabolik atau epidemiologik
b. Mola hidatidosa risiko tinggi :
- hCG serum 100.000 IU/ml
9
- Besar uterus > umur kehamilan
- Kista ovarium 6 cm
- Terdapat faktor metabolik atau epidemiologik seperti umur 40 tahun,
toksemia, koagulopati, emboli sel trofoblas, dan tirotoksikosis.
Seperti telah diketahui, sebanyak 80% kasus mola hidatidosa diperkirakan
akan mengalami remisi spontan pasca evakuasi, dan sisanya 20% dapat
berkembang menjadi penyakit trofoblas ganas (PTG).
10
BAB III
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas pasien
Nama : SI
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SLTA
Status perkawinan : Sudah menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Tukad Balian C 6, Denpasar
Tanggal Pemeriksaan : 8 Januari 2014
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Perdarahan pervaginam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik obstetri dan ginekologi RSUD Wangaya
tanggal 6 Januari 2014 pukul 09.30 WITA dengan keluhan perdarahan per
vaginam yang muncul sejak 3 hari yang lalu. Perdarahan dikatakan
berwarna merah segar dan disertai gumpalan sebanyak kurang lebih 1
gelas. Selain itu pasien juga mengeluh mual-muntah dan pusing. Awalnya
pasien mengatakan pernah mengalami perdarahan sedikit-sedikit (flek-
flek) dari kemaluannya pada bulan Desember 2013, dan saat itu pasien
sudah telat haid dua bulan. Pasien kemudian memeriksakan diri ke
puskesmas dan dikatakan hamil, diberikan vitamin dan disarankan untuk
11
kontrol 1 bulan lagi. Pada awal Januari 2014, penderita mengalami
perdarahan kembali dari kemaluan, perdarahan segar dan bergumpal
sehingga membuat pasien memeriksakan diri ke poliklinik RSUD
Wangaya.
Riwayat demam tidak ada, keluhan berdebar-debar tidak ada, sesak
nafas tidak ada, lemas tidak ada, berkeringat dingin tidak ada, gemetar
tidak ada, batuk-batuk tidak ada, buang air besar dan buang air kecil biasa.
Riwayat Menstruasi
Pasien mengatakan pertama kali mengalami haid pada usia 14
tahun. Siklus haid pasien dikatakan teratur setiap 28 hari selama 3 - 4 hari.
Dikatakan sebelum telat haid pasien tidak pernah ada keluhan saat
mengalami haid. HPHT pasien dikatakan tanggal 15 Oktober 2013. Pasien
saat ini sedang tidak memakai alat kontrasepsi.
Riwayat Perkawinan
Pasien menikah satu kali, pada usia 28 tahun dan sampai sekarang
telah menikah selama 2 tahun.
Riwayat Kehamilan
1. Abortus, tahun 2011
2. Laki – laki, , 3500 gram, SC, dokter SpOG, RSUD Wangaya, 7 bulan
3. Ini
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Riwayat asma, hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes melitus
disangkal.
Riwayat Keluarga
12
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang menderita
penyakit seperti yang dialami pasien saat ini. Riwayat asma, hipertensi,
penyakit jantung, dan diabetes melitus disangkal.
Riwayat sosial
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien memiliki
status ekonomi yang dikatakan cukup dimana sumber keuangan berasal
dari penghasilan suami. Pasien tidak memiliki riwayat merokok atau
minum alkohol.
2.3 Pemeriksaan Fisik (6 Januari 2014)
Status Present
Keadaan umum : Baik
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/mnt
Respirasi : 20 x/mnt
Suhu aksila : 36,2 °C
Berat badan : 48 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 18,75 kg/m2
Status General
Mata : anemia -/-, ikterus -/- , odem palpebra -/-
Leher : Pembesaran KGB (-)
THT : kesan tenang
Thorax:
Cor : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen : Massa (-), nyeri tekan (-), BU (+) N, distensi (-), timfani
(+), H/L : ttb
R.Inguinal : Pembesaran KGB -/-
Ekstremitas : akral hangat +/+, edema -/-
Status Ginekologi
13
Abdomen : fundus uteri setinggi 1/2 jarak pusat - simfisis, konsistensi
lembek, ballotement (-), His (-), denyut jantung janin (-)
Inspeksi : fluxus (+), flour (-), pØ (-), licin, livide (-)
VT : fluxus (+), flour (-), pØ (-), licin, slinger pain (-), CUAF
b/c 16 - 18 minggu, APCD : tidak ada kelainan
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah lengkap (6 Januari 2014)
Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
WBC 6,96 4,0 - 10,0 x 103/uL
Neu 69,3 50 – 70 %
Lymph 18,8 20 – 40 % Rendah
Mono 9,8 2 – 8 % Tinggi
Eos 1,9 0 – 4 %
Baso 0,1 0 – 1 %
RBC 4,29 4,20 – 5,40 x 106/uL
Hgb 13,1 12,0 – 16,0 g/dl
Hct 36,4 37,0 - 47,0 % Rendah
MCV 84,8 81,0 – 96,0 fL
MCH 30,5 27,0 - 36,0 pg
MCHC 36,0 31,0 - 37,0 g/dl
RDW 12,5 11,0 - 16,0 %
Plt 238 150 – 400 x 103/uL
MPV 9,1 9,0 -13,0 fl
Pemeriksaan Pencitraan:
USG Ginekologi (6 Januari 2014) :
- Uterus : tampak membesar dengan ekogenitas parenkim inhomogen,
tampak massa dengan gambaran bloody snow
14
- Ovarium : tak tampak massa
- Tak tampak cairan bebas pada kavum douglas
- Kesan : Gambaran Mola Hidatidosa
2.5 Diagnosis
Mola Hidatidosa
2.6 Penatalaksanaan
Rencana Diagnostik
- DL
- USG
Rencana Terapi
- MRS
- Kuretase
- RL 20 tts/menit
- Ondansentron 2 x 4 mg
Rencana Monitoring
- Keluhan
- Tanda – tanda vital
Rencana Edukasi
- KIE pasien dan keluarga mengenai tindakan yang akan dilakukan
2.7 Follow Up
Tgl 7 Januari 2014
S : Mual (+), muntah (+), pusing (+)
O : Keadaan umum : baik
Kesadaran : GCS 15 ( E4 V5 M 6 )
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 86 x/mnt
Respirasi : 20 x/mnt
Temperatur : 36,4 0 C
Status general : dbn
15
Status ginekologi : Abdomen : BU (+) N, TFU ½ jarak pusat - simfisis
Vagina : perdarahan (+) minimal
A : Mola Hidatidosa
P : - USG abdomen
- Rencana kuretase di OK
- Infus RL 20 tpm
- Ondansentron 2 x 4 mg
Tgl 8 Januari 2014
S : Mual (+), muntah (+), pusing (+)
O : Keadaan umum : baik
Kesadaran : GCS 15 ( E4 V5 M 6 )
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 84 x/mnt
Respirasi : 20 x/mnt
Temperatur : 36,5 0 C
Status general : dbn
Status ginekologi : Abdomen : BU (+) N, TFU ½ jarak pusat - simfisis
Vagina : perdarahan (+) minimal
A : Mola Hidatidosa
P : - Infus RL 20 tpm
- Ondansentron 2 x 4 mg
- Konsul TS Anestesi untuk rencana kuretase
- Puasa 8 jam pre-op
- Siapkan darah 1 kolf
Tgl 9 Januari 2014
S : Mual (+), pusing (+)
O : Keadaan umum : baik
Kesadaran : GCS 15 ( E4 V5 M 6 )
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 76 x/mnt
16
Respirasi : 20 x/mnt
Temperatur : 36,3 0 C
Status general : dbn
Status ginekologi : Abdomen : BU (+) N, TFU ½ jarak pusat - simfisis
Vagina : perdarahan (+) minimal
A : Mola Hidatidosa
P : - Evakuasi mola dengan kuretase Evaluasi PA di RSUP Sanglah
- Amoksisilin 3 x 500 mg
- Asam mefenamat 3 x 500 mg
- Metergin 3 x 125 mcg
Tgl 10 Januari 2014
S : Nyeri perut (+) minimal, mual (-), pusing (-)
O : Keadaan umum : baik
Kesadaran : GCS 15 ( E4 V5 M 6 )
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 78 x/mnt
Respirasi : 20 x/mnt
Temperatur : 36,5 0 C
Status general : dbn
Status ginekologi : Abdomen : BU (+) N, TFU ttb
Vagina : perdarahan (+) minimal
A : Post Kuretase PA hari-I ec Mola Hidatidosa
P : - BPL
- Amoksisilin 3 x 500 mg
- Asam mefenamat 3 x 500 mg
- Metergin 3 x 125 mcg
- SF 1 x 200 mg
17
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Diagnosis Mola Hidatidosa
Pasien dengan inisial SI, perempuan, 30 tahun, agama Islam, ibu rumah tangga,
datang ke poliklinik kebidanan RSUD Wangaya dengan keluhan perdarahan
pervaginam sejak 3 hari yang lalu. Perdarahan dikatakan berwarna merah segar
dan disertai gumpalan. Pasien juga mengeluh mual-muntah dan pusing. Pada
bulan Desember, pasien memeriksakan diri ke dokter karena mengalami
perdarahan minimal dan telat haid selama 2 bulan. Dari hasil pemeriksaan, pasien
dikatakan hamil. Pada bulan Januari, perdarahan kembali muncul dalam jumlah
yang lebih banyak sehingga membuat pasien untuk memeriksakan diri ke RSUD
Wangaya. Riwayat demam tidak ada, keluhan berdebar-debar tidak ada, sesak
nafas tidak ada, lemas tidak ada, berkeringat dingin tidak ada, gemetar tidak ada,
batuk-batuk tidak ada, buang air besar dan buang air kecil biasa.
Dari anamnesis ditemukan bahwa pasien mengalami perdarahan
pervaginam pada usia kehamilan yang muda. Pasien mengalami telat haid selama
2 bulan yang menandakan usia kehamilannya masih berada di bawah 20 minggu.
Perdarahan pada kehamilan muda dapat ditemukan pada beberapa kelainan
ginekologis, seperti mola hidatidosa, abortus, dan kehamilan ektopik terganggu
(KET).1,2 Pada pasien selain ditemukan perdarahan dengan jumlah sedang disertai
mual dan muntah yang berlebihan. Data – data ini sesuai dengan gejala klinis dari
mola hidatidosa. Pada abortus, perdarahan juga muncul dan umumnya disertai
oleh nyeri perut bagian bawah karena kontraksi uterus sebagai upaya untuk
mengeluarkan hasil konsepsi.2 Sedangkan, pada kehamilan ektopik terganggu,
pasien juga biasanya mengeluh perdarahan dan nyeri perut hebat yang kadang –
kadang dapat menjalar ke bahu dan rectum karena efek pendesakan oleh massa di
luar uterus. Kondisi pasien biasanya ditemukan lebih buruk pada KET. Dalam
kasus ini, tidak ditemukan adanya gejala nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu,
maupun rektum.2,3
18
Pada pemeriksaan fisik ditemukan bahwa status presen dan general pasien
masih dalam batas normal. Tidak terlihat konjungtiva yang pucat yang mana
biasanya ditemukan pada pasien mola hidatidosa yang mengalami perdarahan
banyak dan lama. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan adanya pembesaran
uterus setinggi ½ jarak pusat - simfisis dengan konsistensi yang lembek, tanpa
His, balotemen negatif, dan tidak terdengar denyut jantung janin. Pada
pemeriksaan VT ditemukan adanya bercak darah dan pembesaran korpus uteri
yang sesuai untuk usia kehamilan 16 - 18 minggu.
Tanda – tanda di atas sesuai untuk mola hidatidosa. Pasien baru
mengalami telat haid selama kurang lebih 3 bulan yang berarti usia kehamilannya
sekitar 12 minggu namun dari pemeriksaan ditemukan usia kehamilan yang
berkisar di antara 16 – 18 minggu. Ukuran uterus yang lebih besar dari usia
kehamilan seringkali ditemukan pada pasien dengan kehamilan mola, yakni
sebanyak 50% kasus.3 Hal ini disebabkan oleh proliferasi yang berlebihan dari sel
– sel trofoblas. Konsistensi uterus yang lembek, balotemen negatif, dan tidak
adanya denyut jantung janin menandakan tidak terdapatnya janin di dalamnya.
Pada abortus tanda – tanda seperti di atas tidak ditemukan. Dilatasi serviks dan
jaringan dapat ditemukan pada abortus inkomplit. Pada KET, tanda – tanda
absennya janin intrauterin seperti di atas dapat juga ditemukan namun tanda
tambahan seperti nyeri goyang porsio (slinger pain) biasanya muncul saat
dilakukan pemeriksaan dalam. Kavum Douglas menonjol jika telah terjadi
perdarahan intraabdominal dan pada adneksa parametrium dapat teraba massa
yang merupakan hasil konsepsi ekstrauterin.4,6 Pada kasus ini, tidak ditemukan
adanya dilatasi serviks dan nyeri goyang porsio. Selain itu, pada adneksa
parametrium dan kavum Douglas juga tidak ditemukan kelainan.
Pada kasus ini dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang seperi darah
lengkap dan USG. Pada pemeriksaan darah lengkap tidak ditemukan kelainan
yang signifikan. Kadar hemoglobin masih dalam batas normal, menandakan
pasien belum berada dalam kondisi anemia. Pada pemeriksaan USG ditemukan
adanya pembesaran uterus dan tampak massa dengan gambaran bloody snow.7
Gambaran ini sesuai dengan karakteristik mola hidatidosa. Pada abortus,
gambaran USG bervariasi bergantung pada masih ada atau tidaknya janin di
19
dalam rahim. Pada KET, kavum douglas dapat terisi cairan dan biasanya ditemuka
massa ekstrauterin.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang di atas dapat disimpulkan bahwa pasien didiagnosis dengan mola
hidatidosa.
4.2 Penatalaksanaan Mola Hidatidosa
Penatalaksanaan utama pada kasus ini adalah kuretase. Kuretase dilakukan hanya
sekali di ruang OK. Jika ukuran uterus cukup besar, kuretase dapat dilakukan dua
kali dengan interval 1 minggu. Setelah dilakukan kuretase, sampel jaringan hasil
evakuasi kemudian dikirim ke lab patologi anatomi RSUP Sanglah untuk
dievaluasi. Evaluasi PA penting dilakukan untuk mengetahui adanya gambaran
proliferasi berlebih dan penetrasi jaringan trofoblas ke endometrium.
Pasien juga diberikan medikasi ondansentron dengan dosis 2 x 4 mg
karena gejala mual muntahnya. Setelah dilakukan kuretase, pasien diberikan
beberapa obat tambahan berupa amoksisilin 3 x 500 mg sebagai upaya
pencegahan infeksi pasca kuretase, asam mefenamat 3 x 500 mg untuk meredakan
nyeri, metergin 3 x 125 mcg untuk mempertahankan kontraksi uterus guna
mencegah perdarahan, dan sulfas ferosus 1 x 200 mg sebagai suplai zat besi untuk
menjaga konsentrasi hemoglobin pasien akibat perdarahan sebelum dan sesudah
kuretase.
Satu hari setelah kuretase, pasien berada dalam kondisi stabil, keadaan
umum baik, tanda – tanda vital, status general, dan status ginekologis dalam batas
normal. Keluhan mual dan muntah juga sudah tidak ada, namun masih dirasakan
nyeri perut minimal akibat kuretase. Pasien kemudian diperbolehkan pulang
dengan saran untuk kontrol satu minggu lagi dan melakukan kontrasepsi dengan
kondom untuk mencegah kehamilan dalam waktu minimal 1 tahun setelah
kuretase dilakukan.
4.3 Prognosis Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa dapat berkembang menjadi penyakit trofoblastik ganas, sehingga
penting untuk dinilai faktor – faktor prognostic pada pasien. Faktor – faktor yang
20
mengindikasikan pasien berada dalam risiko tinggi untuk mengalami keganasan
seperti kadar hCG serum 100.000 IU/ml, kista ovarium 6 cm, dan faktor
metabolik atau epidemiologik seperti umur 40 tahun, toksemia, koagulopati,
emboli sel trofoblas, dan tirotoksikosis tidak ditemukan pada pasien.
21
BAB V
SIMPULAN
Pasien SI, perempuan, 30 tahun, agama Islam, ibu rumah tangga, datang ke
poliklinik kebidanan RSUD Wangaya dengan keluhan perdarahan pervaginam
sejak 3 hari yang lalu. Perdarahan dikatakan berwarna merah segar dan disertai
gumpalan. Pasien juga mengeluh mual-muntah dan pusing. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan bahwa status presen dan general pasien masih dalam batas
normal. Pada pemeriksaan abdomen ditemukan adanya pembesaran uterus
setinggi ½ jarak pusat - simfisis dengan konsistensi yang lembek, tanpa His,
balotemen negatif, dan tidak terdengar denyut jantung janin. Pada pemeriksaan
VT ditemukan adanya bercak darah dan pembesaran korpus uteri yang sesuai
untuk usia kehamilan 16 - 18 minggu. Pada pemeriksaan darah lengkap tidak
ditemukan kelainan yang signifikan. Pada pemeriksaan USG ditemukan adanya
pembesaran uterus dan tampak massa dengan gambaran bloody snow. Pasien
didiagnosis dengan mola hidatidosa. Penatalaksanaan yang diberikan berupa
kuretase. Hasil evakuasi jaringan kemudian dikirim ke lab PA RSUP Sanglah
untuk dievaluasi. Medikasi yang diberikan berupa ondansentron dengan dosis 2 x
4 mg sebelum kuretase, amoksisilin 3 x 500 mg, asam mefenamat 3 x 500 mg,
metergin 3 x 125 mcg, dan sulfas ferosus 2 x 1 setelah kuretase. Setelah kuretase,
pasien berada dalam kondisi stabil, keadaan umum baik, tanda – tanda vital, status
general, dan status ginekologis dalam batas normal. Keluhan mual dan muntah
juga sudah tidak ada, namun masih dirasakan nyeri perut minimal akibat kuretase.
Pasien kemudian diperbolehkan pulang dengan saran untuk kontrol satu minggu
lagi dan melakukan kontrasepsi dengan kondom untuk mencegah kehamilan
dalam waktu minimal 1 tahun setelah kuretase dilakukan. Pasien berada dalam
risiko rendah untuk mengalami keganasan.
22