laporan studi literatur kemitraan konservasi di 12 taman

120
Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN NASIONAL Disiapkan oleh: Sugeng Raharjo Rachmat Firmansyah Lika Aulia Indina Arif Aliadi Pernyataan: Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

Laporan Studi Literatur

KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

NASIONAL

Disiapkan oleh:

Sugeng Raharjo

Rachmat Firmansyah

Lika Aulia Indina

Arif Aliadi

Pernyataan:

Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan

Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah pendapat para penulis dan

tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Page 2: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

2

PENGANTAR

Kegiatan studi literatur merupakan salah satu kegiatan dari Program “Menumbuhkan Paradigma

Kemitraan Konservasi untuk Mendukung Implementasi Perdirjen KSDAE tentang Kemitraan

Konservasi.” Kegiatan ini dilakukan untuk melengkapi informasi dari kegiatan indepth interview dan

FGD yang telah dilakukan sebelumnya.

Kegiatan yang didukung oleh USAID – BIJAK ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei

2019. Kegiatan ini bertujuan untuk mendokumentasikan pembelajaran Kemitraan Konservasi di 6

Taman Nasional. Banyak temuan menarik dari hasil studi literatur ini. Salah satunya adalah kebijakan

kemitraan konservasi telah mendorong terjadinya perubahan paradigma dalam pengelolaan kawasan

konservasi di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada perubahan cara kerja petugas Balai Taman Nasional

dan juga interaksi antara petugas dengan masyarakat.

Perubahan-perubahan yang sedang terjadi penting untuk didokumentasikan agar bisa diambil

pembelajarannya bagi Balai Taman Nasional yang lain. Semoga upaya pendokumentasian ini bermanfaat

bagi pengembangan Kemitraan Konservasi di Indonesia.

Page 3: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

3

RINGKASAN EKSEKUTIF

Studi literatur dilaksanakan untuk mendokumentasikan pembelajaran (lessons learned) serta faktor-

faktor pendukung dan penghambat implementasi Kemitraan Konservasi khususnya di 12 Taman

Nasional, yaitu TN Gunung Leuser, TN Bogani Nani Wartabone, TN Komodo, TN Karimunjawa, TN

Kayan Mentarang, TN Bantimurung Bulusaraung, TN Kelimutu, TN Gunung Ciremai, TN Sebangau,

TN Gunung Halimun Salak, TN Meru Betiri, dan TN Gunung Tambora.

Sampai bulan Mei 2019, Ditjen KSDAE telah mendaftar ada 13 lokasi Kemitraan Konservasi dalam

rangka pemberdayaan masyarakat, yang terdiri atas 12 Taman Nasional dan 1 Taman Buru (data sampai

Maret 2019). Sedangkan untuk Pemulihan Ekosistem, ada 3 Taman Nasional (data sampai Mei 2019).

Kemitraan Konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat di 13 lokasi mencakup areal seluas

41.214,56 ha dengan jumlah kelompok sebanyak 40 kelompok. Kemitraan Konservasi dalam rangka

pemulihan ekosistem telah dilakukan di 3 Taman Nasional, yaitu TN Gunung Leuser, TN Kelimutu dan

TN Bogani Nani Wartabone. Luas areal pemulihan ekosistem di ketiga Taman Nasional mencakup 604

ha dan 17 kelompok.

Kebijakan Kemitraan Konservasi telah mendorong terjadinya perubahan dalam pengelolaan kawasan

konservasi. Perubahan terjadi baik pada paradigma konservasi, cara memandang masyarakat, cara kerja

dan cara memberi respon terhadap masalah yang dihadapi.

Dari hasil kajian ditemukan ada enam faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi, yaitu: (a)

kepemimpinan, (b) komunikasi, (c) perubahan cara kerja dari Balai Taman Nasional, (d) menemukan

dan bekerja bersama local champion, (e) dukungan publik dan stakeholder, (f) meningkatnya kesadaran

masyarakat lokal terhadap konservasi.

Di samping itu ada empat faktor penghambat implementasi Kemitraan Konservasi yaitu: (a) kurang

dukungan bagi lembaga kolaborasi multi-pihak, (b) perbedaan kepentingan, (c) manfaat kemitraan

konservasi belum bisa dirasakan, (d) dinamika masyarakat lokal.

Agar implementasi Kemitraan Konservasi dapat terus berjalan dan berkembang, maka ada lima kondisi

pemungkin (enabling condition) yang harus tetap ada, yaitu (a) political will dari Dirjen KSDAE, (b)

menghargai proses, (c) memperjelas isi Perdirjen No. 6 tahun 2018, (d) membuat manfaat dari

Kemitraan Konservasi bisa dilihat dan dirasakan, serta (e) mengembangkan organisasi pembelajar.

Page 4: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

4

DAFTAR ISI

PENGANTAR .............................................................................................................................................................. 2

RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................................................................ 3

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................................................... 6

DAFTAR TABEL ......................................................................................................................................................... 7

DAFTAR BOX ............................................................................................................................................................ 8

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................................................... 9

A. Latar Belakang .................................................................................................................................................... 9

B. Tujuan .................................................................................................................................................................. 9

C. Output ............................................................................................................................................................... 10

BAB II METODOLOGI ........................................................................................................................................... 11

A. Lokasi ................................................................................................................................................................. 11

B. Waktu ................................................................................................................................................................ 11

C. Metode Pengumpulan Data .......................................................................................................................... 11

BAB III KEBIJAKAN KEMITRAAN KONSERVASI ........................................................................................... 14

A. Kebijakan yang Terkait Dengan Kemitraan Konservasi ......................................................................... 14

B. Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Pada

Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam .................................................................................. 16

C. Catatan Kritis Terhadap Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 ........................................................... 18

C.1. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Kemitraan Konservasi ........................................ 18

C.2. Ukuran Keberhasilan Kemitraan Konservasi ........................................................................ 19

C.3. Lokasi Kemitraan Konservasi ................................................................................................ 24

C.4. Kegiatan-Kegiatan dalam Kemitraan Konservasi ................................................................... 24 C.5. Kelompok Sasaran/Mitra Konservasi .................................................................................... 26

C.6. Kapasitas yang Dibutuhkan Untuk Menerapkan Kemitraan Konservasi ............................... 28

BAB IV IMPLEMENTASI KEMITRAAN KONSERVASI ................................................................................... 31

A. Sebaran Lokasi Kemitraan Konservasi ....................................................................................................... 31

B. Implementasi Kemitraan Konservasi di Dua Belas Taman Nasional ................................................... 34

B.1. Kemitraan Konservasi di TN Gunung Leuser ....................................................................... 34

B.2. Kemitraan Konservasi di TN Bogani Nani Wartabone: Penerapan Resort Based Management

untuk Persiapan Kemitraan Konservasi ........................................................................................ 41

B.3. Kemitraan Konservasi di TN Komodo: Membangun Kemitraan dengan Pihak Swasta untuk

Pendanaan Berkelanjutan .............................................................................................................. 48

B.4. Kemitraan Konservasi di TN Karimunjawa ........................................................................... 51

B.5. Kemitraan Konservasi di TN Kayan Mentarang .................................................................... 59

B.6. Kemitraan Konservasi di TN Bantimurung Bulusaraung ....................................................... 63

B.7. Kemitraan Konservasi di TN Kelimutu: Pengembangan Produk dan Jasa Lingkungan .......... 65

Page 5: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

5

B.8. Kemitraan Konservasi di TN Gunung Ciremai: Membangun Kelembagaan Kolaborasi ....... 66

B.9. Kemitraan Konservasi di TN Sebangau: Wisata Berbasis Masyarakat .................................. 73

B.10. Kemitraan Konservasi di TN Gunung Halimun Salak: Model Kampung Konservasi (MKK)

...................................................................................................................................................... 76

B.11. Kemitraan Konservasi di TN Meru Betiri: Mekanime Apresiasi Untuk Petani Rehabilitasi 78

B.12. Kemitraan Konservasi di TN Gunung Tambora: Bekerja Bersama Masyarakat ................. 83

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kemitraan Konservasi......................................... 87

C.1. Faktor Penghambat ................................................................................................................ 87

C.2. Faktor Pendukung ................................................................................................................. 89

D. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) untuk Mengembangkan Kemitraan Konservasi............ 93

BAB V KESIMPULAN .............................................................................................................................................. 96

BAB VI REKOMENDASI ......................................................................................................................................... 98

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................................ 99

LAMPIRAN .............................................................................................................................................................. 101

LAMPIRAN I – KEMITRAAN KONSERVASI DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT, SETELAH PERDIRJEN KSDAE NO. 6 TAHUN 2018 DITERBITKAN ................ 102

LAMPIRAN 2 – KEMITRAAN KONSERVASI DALAM RANGKA PEMULIHAN EKOSISTEM,

SETELAH PERDIRJEN KSDAE NO. 6 TAHUN 2018 DITERBITKAN ................................................ 111

Page 6: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

6

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Sebaran Lokasi Kemitraan Konservasi dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat dan

Pemulihan Ekosistem (s/d Bulan Mei 2019) ........................................................................................................ 33

Gambar 2 Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk di TN Karimunjawa .......................................................... 57

Gambar 3 Peta Zonasi TN Karimunjawa ............................................................................................................ 58

Page 7: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

7

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kegiatan Studi Literatur ........................................................................................................................... 11

Tabel 2 Jenis Data yang Dikumpulkan, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data ........................... 11

Tabel 3 Peraturan-Peraturan Terkait dengan Kemitraan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi ..... 14

Tabel 4 Kapasitas yang Dibutuhkan Oleh Pengelola UPT dan Mitra Konservasi ...................................... 29

Tabel 5 Lokasi-Lokasi Kemitraan Konservasi dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat ........................ 31

Tabel 6 Lokasi-Lokasi Kemitraan Konservasi dalam Rangka Pemulihan Ekosistem .................................. 32

Tabel 7 Ringkasan Perjanjian Kerjasama di TN Gunung Leuser .................................................................... 35

Tabel 8 Ringkasan Tujuh Perjanjian Kerjasama di TNBNW ........................................................................... 45

Tabel 9 Program dan Kegiatan RARE di TN Karimunjawa Tahun 2016 ..................................................... 54

Tabel 10 Program dan Kegiatan WCS-IP di TN Karimunjawa Tahun 2016 ............................................... 54

Tabel 11 Kegiatan di Daerah Penyangga TN Karimunjawa Tahun 2016 ..................................................... 55

Tabel 12 Gagasan Program PINTAR .................................................................................................................... 80

Page 8: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

8

DAFTAR BOX

Box 1 Konflik Tenurial di TN Kelimutu .............................................................................................................. 18

Box 2 Geliat Wirausaha Konservasi di TN Meru Betiri .................................................................................. 20

Box 3 Pemberdayaan Masyarakat di TN Gunung CIremai ............................................................................. 21

Box 4 Pemulihan Ekosistem di TN Meru Betiri ................................................................................................ 22

Box 5 Pemanfaatan HHBK di TN Meru Betiri ................................................................................................... 25

Box 6 Konflik di TN Gunung Leuser ................................................................................................................... 27

Box 7 Model Kampung Konservasi di TN Gunung Halimun Salak ............................................................... 28

Box 8 Sejarah Terbangunnya RBM di TNBNW ................................................................................................ 43

Box 9 Membangun dan Menginternalisasi Visi Kemitraan Konservasi di TNBNK .................................... 89

Box 10 Wisata Sebagai Solusi Penebangan Liar di Tangkahan ....................................................................... 91

Box 11 Manfaat Kemitraan Konservasi di TN Kelimutu ................................................................................. 95

Page 9: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

9

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem No.

P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Pada Kawasan Suaka

Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018) dapat memperkuat inisiatif

kerja sama antara pengelola Taman Nasional dengan masyarakat setempat.

LATIN yang melakukan kajian terhadap penerapan Kemitraan Konservasi di 6 Taman Nasional (TN

Sebangau, TN Meru Betiri, TN Gunung Ciremai, TN Kelimutu, TN Gunung Tambora, dan TN Gunung

Halimun Salak), menemukan bahwa keenam Taman Nasional tersebut telah bekerja sama dengan

masyarakat setempat, baik yang dilakukan sebelum maupun setelah terbitnya Perdirjen KSDAE No. 6

Tahun 2018. Kerja sama memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menjadi subyek atau mitra yang

setara dalam pengelolaan Taman Nasional. Dengan pengalaman kerja sama yang sudah dilakukan,

Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 memiliki peluang besar untuk diterapkan di lapangan.

Peluang yang ada bisa semakin besar apabila praktek-praktek terbaik (best practices) dalam

mengembangkan kerja sama dengan masyarakat, didokumentasikan dan dipromosikan. Di sisi lain,

kekhawatiran muncul antara lain karena ada dampak yang akan terjadi. Demikian juga dengan hal-hal

yang masih kurang jelas dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, harus diperjelas.

Di sisi lain, kajian di enam Taman Nasional yang dilakukan melalui indepth interview dan FGD

menemukan bahwa penerapan Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 masih belum bisa diterapkan secara

langsung di lapangan. Dari 6 Taman Nasional yang dikaji tersebut, hanya TN Kelimutu yang langsung

menerapkan Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 ini dan membuat Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan

4 kelompok masyarakat. Sedangkan 5 Taman Nasional lain, ada yang masih ragu-ragu, ada yang

mendukung tetapi dengan catatan, dan ada yang masih mempelajari dulu.

Pembelajaran penting dari 6 Taman Nasional adalah: (a) faktor pendukung berjalannya Kemitraan

Konservasi adalah kepemimpinan di berbagai level, baik di Taman Nasional maupun di stakeholders;

(b) faktor penghambatnya, antara lain kekhawatiran terjadinya pembukaan lahan baru dan kegiatan lain

yang dapat mengganggu ekosistem di kawasan Taman Nasional, akibat dibukanya peluang budidaya

tradisional, perburuan tradisional dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) di zona tradisional

rehabilitasi.

Dari pembelajaran yang diperoleh, maka menjadi penting untuk mengeksplorasi faktor pendukung lain

agar Kemitraan Konservasi dapat dijalankan. Hal ini akan dilakukan di 6 Taman Nasional lainnya, yaitu:

TN Gunung Leuser, TN Bogani Nani Wartabone, TN Komodo, TN Kepulauan Karimun Jawa, TN

Kayan Mentarang, TN Bantimurung Bulusaraung. Dan sebaliknya, mengeksplorasi faktor penghambat

lain agar bisa dilakukan tindakan segera untuk mengantisipasi agar faktor penghambat dapat diatasi.

Oleh karena itu, studi literatur ini penting dilaksanakan, untuk memperkaya informasi yang sudah

diperoleh dari kegiatan indepth interview dan FGD yang telah dilakukan sebelumnya.

B. Tujuan

1. Mendokumentasikan pembelajaran (lessons learned) dan best practices dari berbagai model

Kemitraan Konservasi yang sudah dilaksanakan oleh Pengelola Kawasan Pelestarian Alam

(KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA) di Indonesia.

2. Mendokumentasikan/mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat dari

implementasi model-model Kemitraan Konservasi, dilihat dari kebijakan, kapasitas sumberdaya

manusia, fungsi-fungsi di dalam organisasi pengelola Taman Nasional, dsb.

Page 10: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

10

C. Output

Output dari kegiatan ini adalah dalam rangka menghasilkan Laporan Studi Literatur kemitraan

konservasi di 12 taman nasional, yang memuat:

1. Peta sebaran model kemitraan konservasi berserta kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan mitra

yang terlibat.

2. Pembelajaran (lessons learned) dari contoh-contoh keberhasilan (best practices) dan contoh-

contoh kegagalan.

3. Faktor pendukung dan penghambat (kebijakan, kapasitas SDM, fungsi-fungsi di dalam organisasi

pengelola TN, dll) terlaksananya Kemitraan Konservasi di lapangan.

4. Kondisi pemungkin (enabling condition) yang harus disiapkan untuk pengembangan Kemitraan

Konservasi.

Page 11: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

11

BAB II METODOLOGI

A. Lokasi

Kegiatan pengumpulan data akan dilakukan di Bogor dan Jakarta. Sedangkan informasi dan data yang

akan dikumpulkan adalah data dan informasi tentang kemitraan konservasi di enam taman nasional,

yaitu: TN Gunung Leuser, TN Bogani Nani Wartabone, TN Komodo, TN Karimunjawa, TN Kayan

Mentarang, dan TN Bantimurung Bulusaraung. Studi literatur terhadap enam taman nasional ini akan

melengkapi data dan informasi yang sudah diperoleh melalui kajian indepth interview dan FGD yang

telah dilakukan di enam taman nasional lainnya, yaitu: TN Gunung Halimun Salak, TN Gunung Ciremai,

TN Meru Betiri, TN Kelimutu, TN Gunung Tambora, dan TN Sebangau.

B. Waktu

Studi literatur dilakukan pada 18 Maret – 20 Mei 2019. Total waktu yang diperlukan untuk kegiatan

studi literatur adalah 45 hari, terdiri atas:

Tabel 1 Kegiatan Studi Literatur

Jumlah Hari Kegiatan

15 hari mengumpulkan informasi dan menyusun profil singkat setiap inisiatif

Kemitraan Konservasi.

15 hari analisis dan diskusi tim.

15 hari menulis draft, revisi, dan finalisasi studi literatur.

C. Metode Pengumpulan Data

Kegiatan studi literatur terdiri atas empat tahapan kegiatan, yaitu: (1) Persiapan; (2) Pengumpulan Data;

(3) Analisis Data; dan (4) Penulisan Laporan. Berikut ini perincian kegiatan di setiap tahap:

1. Persiapan

Pada tahap persiapan akan dilakukan pembentukan Tim Peneliti atau Tim Studi Literatur yang

terdiri dari: Sugeng Raharjo (Ketua Tim Peneliti), Rachmat Firmansyah (Anggota), Lika Aulia Indina

(Anggota), dan Arif Aliadi (Anggota).

Tim Studi Literatur bertugas untuk membuat rencana kerja, menentukan data dan informasi yang

dibutuhkan, sumber data dan informasi, cara mengumpulkan data dan informasi, para pihak yang

perlu dilibatkan dalam studi literatur, metode analisis data, outline laporan, serta dukungan

sumberdaya dan jaringan yang diperlukan.

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data akan dilakukan melalui penelusuran literatur dan diskusi dengan narasumber.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data spasial, informasi dari literatur, dan hasil diskusi atau

notulen diskusi dengan nara sumber. Jenis data yang dikumpulkan, sumber data, dan metode

pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Jenis Data yang Dikumpulkan, Sumber Data, dan Metode Pengumpulan Data

Page 12: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

12

No Jenis Data dan Informasi yang

Dikumpulkan Sumber Data

Cara

Mengumpulkan

1 Data spasial tentang: lokasi kerjasama

di KSA dan KPA, usulan wilayah adat

di KSA dan KPA, lokasi konflik tenurial

di KSA dan KPA, peta zonasi KSA dan

KPA

Direktorat PIKA

Ditjen KSDAE

Permohonan data

spasial kepada pemilik

data, melalui surat.

2 Informasi profil inisiatif kerjasama

Informasi tentang faktor-faktor

pendukung (kekuatan dan peluang) dan

penghambat (kelemahan dan ancaman)

penerapan inisiatif kerjasama yang

telah dilakukan.

Dokumen tertulis,

baik berupa rencana

pengelolaan taman

nasional, hasil

penelitian, artikel di

media massa cetak

maupun online, kebijakan atau

peraturan-peraturan

terkai dengan

kemitraan atau

kerjasama dan

pemberdayaan

masyarakat.

Penelusuran pustaka

melalui internet.

3 Informasi tentang penyebaran

kemitraan konservasi, pengalaman dan

pembelajaran membangun dan

mengembangkan kemitraan.

1. Ade dan Galuh

(RARE)

2. Drh. Supriyanto

(Kepala Balai TN

BNW) dan

Kepala Seksi

(Agung dan

Bagus)

3. Dr. Ir. Eva

Rachmawati,

M.Si. (Dosen

Fahutan IPB)

4. Adi (Burung

Indonesia)

5. Munawar Kholis

dan Edo

(LESTARI

USAID)

6. Fransiscus Harum

(mantan GM PT

Putri Naga

Komodo)

7. Nurman Hakim

(Direktorat

PIKA, Ditjen

KSDAE)

Diskusi terbatas

dengan narasumber.

4 Konfirmasi terhadap informasi yang

telah dikumpulkan dari literatur.

1. Adhi N. (Balai

TN Gn. Leuser)

2. Yusuf (Balai TN

Kepulauan

Karimun) Jawa

3. Bu Eni (Balai TN

Bogani Nani

Wawancara via

telepon dengan

Kepala Balai TN atau

stafnya.

Page 13: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

13

No Jenis Data dan Informasi yang

Dikumpulkan Sumber Data

Cara

Mengumpulkan

Wartabone)

3. Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk

membahas faktor pendukung dan penghambat berjalannya Kemitraan Konservasi.

4. Penulisan Laporan

Penulisan laporan merupakan tahap akhir dari kegiatan dalam studi literatur ini yang akan

menuangkan sekaligus menganalisis seluruh data dan informasi yang telah diperoleh.

Page 14: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

14

BAB III KEBIJAKAN KEMITRAAN KONSERVASI

A. Kebijakan yang Terkait Dengan Kemitraan Konservasi

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan terkait dengan kemitraan dengan masyarakat lokal

dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut,

kemitraan dinyatakan dengan peran serta, partisipasi masyarakat, kolaborasi, kerja sama atau

pemberdayaan masyarakat. Pada Tabel 3 diperlihatkan berbagai peraturan yang terkait dengan

kemitraan dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Tabel 3 Peraturan-Peraturan Terkait dengan Kemitraan Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi

Tahun Perkembangan Peraturan Topik terkait

Kemitraan Posisi Masyarakat

< 1990

Belum ada

kemitraan

dengan

masyarakat

Permenhut

No. 28

Tahun 1985

tentang

Perlindungan

Hutan

Tidak ada

Masyarakat adalah

obyek yang harus

diawasi

1990

Istilah peran

serta masyarakat

mulai muncul

UU No. 5

Tahun 1990

tentang

KSDAE

Peran serta masyarakat

dalam konservasi

sumberdaya alam hayati

diarahkan dan digerakkan

oleh pemerintah. Dan

untuk mengembangkan

peran serta masyarakat

dilakukan melalui

pendidikan dan

penyuluhan.

Masyarakat adalah

obyek yang harus

diarahkan dan

digerakkan oleh

pemerintah.

Masyarakat hanya

pasif.

2004 Kolaborasi

Permenhut

No. 19

Tahun 2004

Kemitraan konservasi

bisa dilakukan dalam hal

(a) Penataan Kawasan,

(b) Penyusunan Rencana

Pengelolaan KSA dan

KPA, (c) Pembinaan

Daya Dukung Kawasan,

(d) Pemanfaatan

Kawasan, (e) Penelitian

dan Pengembangan, (f)

Perlindungan dan

Pengamanan Potensi

Kawasan, (g)

Pengembangan Sumber

Daya Manusia dalam

rangka mendukung

pengelolaan KSA dan

KPA, (h) Pembangunan

Sarana dan Prasarana

dalam rangka menunjang

pelaksanaan kolaborasi,

(i) Pembinaan Partisipasi

Masyarakat.

Masyarakat adalah

salah satu pihak yang

bisa diajak

berkolaborasi.

Dalam pembinaan

partisipasi

masyarakat ada dua

program, yaitu (a)

Program peningkatan

kesejahteraan

masyarakat, dan (b)

Program peningkatan

kesadaran

masyarakat.

Page 15: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

15

Tahun Perkembangan Peraturan Topik terkait

Kemitraan Posisi Masyarakat

2006 Peran serta

dalam zonasi TN

Permenhut

No. 56

Tahun 2006

tentang

Pedoman

Zonasi TN

Peran serta masyarakat:

(a) memberi saran,

informasi dan

pertimbangan, (b)

memberi dukungan, (c)

melakukan pengawasan

kegiatan zonasi, (d) ikut

menjaga dan memelihara

zonasi.

Masyarakat belum

terlibat dalam

pengambilan

keputusan terkait

zonasi TN.

2013

Pemberdayaan

masyarakat

melalui

Kemitraan

Kehutanan

Permenhut

No. 39

Tahun 2013

Pelaku kemitraan antara

lain pengelola hutan

(instansi/Badan Usaha

(BUMN, BUMD,

KHDTK), tidak secara

tegas disebut UPT

sebagai pelaku kemitraan

kehutanan.

Masyarakat (di dalam

dan di sekitar hutan)

adalah pihak yang

diberdayakan oleh

pemegang izin

2014

Kerjasama dalam

pengelolaan KPA

dan KSA

Permenhut

No. 85

Tahun 2014;

mencabut

P.19 Tahun

2004 dan

Kepmenhut

No. 390

Tahun 2003

Ruang lingkup kerjasama

meliputi (a) penguatan

kelembagaan, (b)

perlindungan kawasan,

(c) pengawetan flora

fauna, (d) pemulihan

ekosistem, (e)

pengembangan wisata

alam, (f) pemberdayaan

masyarakat

Masyarakat adalah

salah satu mitra

kerjasama.

2017

Pemberdayaan

masyarakat di

sekitar KPA dan

KSA

Permenhut

No 43 Tahun

2017

Masyarakat (termasuk

masyarakat adat) hanya

yang berada di sekitar

KPA dan KSA. Masyarakat yang

diberdayakan hanya

yang ada di luar KSA

dan KPA, sedangkan

yang berada di dalam

kawasan, tidak

termasuk yang

diberdayakan.

Bentuk pemberdayaan

masyarakat (a)

pengembangan desa

konservasi, (b)

pemberian akses, (c)

fasilitasi kemitraan, (d)

ijin wisata alam, (e)

pembangunan pondok

wisata.

2017

Kerjasama dalam

pengelolaan KPA

dan KSA

Permenhut

No. 44

Tahun 2017

tentang

Perubahan

atas P.85

Tahun 2014

Ruang lingkup kerjasama,

selain 6 ruang lingkup

kerjasama yang sudah

disebut dalam P85/2014,

ditambah 2, yaitu: (a)

kerjasama

pemasangan/penanaman

instalasi air, dan (b)

kerjasama kemitraan

konservasi

Masyarakat menjadi

mitra, termasuk

dalam kegiatan

pemulihan

ekosistem.

Page 16: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

16

Tahun Perkembangan Peraturan Topik terkait

Kemitraan Posisi Masyarakat

Kerjasama kemitraan

konservasi bisa dalam

bentuk pemulihan

ekosistem antara unit

pengelola dengan

masyarakat.

Terminologi

Kemitraan

Konservasi sudah

disebut dalam

Permenhut No.

44/2017 sehingga

bisa menjadi dasar

hukum Perdirjen

KSDAE No. 6 Tahun

2018

2018 Kemitraan

konservasi

Perdirjen

KSDAE No.

6 Tahun

2018

Kemitraan konservasi

mencakup (a) kemitraan

konservasi dalam rangka

pemberdayaan

masyarakat, dan (b)

kemitraan konservasi

dalam rangka pemulihan

ekosistem

Masyarakat yang

mengusulkan,

menyusun rencana

kemitraan, dan

melaksanakannya.

Apabila melihat dari berbagai peraturan di atas, maka ada dua hal yang membedakan Perdirjen KSDAE

No. 6 Tahun 2018 dengan peraturan-peraturan sebelumnya. Pertama, dalam Perdirjen KSDAE No. 6

Tahun 2018 posisi masyarakat dianggap setara sebagai mitra. Sebagai mitra, maka skema yang

dikembangkan adalah Perjanjian Kerjasama, bukan skema perizinan. Ini menunjukkan bahwa

masyarakat bukanlah obyek tetapi subyek. Kedua, Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 mengatur

kemitraan dalam rangka pemberdayaan dan pemulihan ekosistem. Hal ini untuk menjawab pemanfaatan

HHBK dan lahan di dalam kawasan konservasi. Peraturan sebelumnya tidak ada yang berani mengatur

hal ini karena dianggap mengancam keutuhan kawasan konservasi. Oleh karena itu, Perdirjen KSDAE

No. 6 Tahun 2018 ini merupakan terobosan.

B. Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi

Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

Kemitraan Konservasi adalah kerjasama antara kepala unit pengelola kawasan atau pemegang izin pada

kawasan konservasi dengan masyarakat setempat berdasarkan prinsip saling menghargai, saling percaya

dan saling menguntungkan (Pasal 1 angka 13).

Ada dua pola kemitraan konservasi yang diatur dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018. Pertama,

kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Kedua, kemitraan konservasi dalam

rangka pemulihan ekosistem. Kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat dapat

berupa pemberian akses dan kerjasama antara pemegang izin pada kawasan konservasi dengan

masyarakat setempat (Pasal 4 ayat (1)). Sedangkan dalam Pasal 27 ayat (3) disebutkan bahwa kemitraan

konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekosistem secara

bertahap: (1) kembali ke tingkat/mendekati kondisi aslinya; atau (2) telah tercapai suatu kondisi sesuai

tujuan yang ditetapkan oleh pengelola.

Untuk kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan dilakukan melalui 4 tahapan,

yaitu: (1) persiapan, (2) usulan rencana kegiatan, (3) penilaian dan persetujuan, dan (4) perumusan dan

penandatanganan (Pasal 15).

Page 17: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

17

Dalam tahap persiapan, UPT berperan melakukan inventarisasi dan identifikasi karakteristik lokasi,

penentuan dan penetapan arah pengelolaan dan pemanfaatan (Pasal 17 ayat (3)). Sementara masyarakat

setempat sebagai calon mitra mengajukan usulan kerjasama kepada Unit Pengelola dengan dilampiri

legalitas pemohon dan proposal yang memuat lokasi dan rencana kegiatan (Pasal 18). Selain itu, dalam

tahap persiapan, UPT bersama para pihak membentuk lembaga kolaborasi untuk memfasilitasi

penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat, termasuk penyelesaian konflik.

Pada tahap penyusunan usulan rencana kegiatan, masyarakat yang berperan menyusun usulan (Pasal

22). Berdasarkan usulan dari masyarakat, maka pengelola UPT melakukan penilaian terhadap

persyaratan administratif dan verifikasi lapangan. Dan apabila telah memenuhi syarat, maka UPT

menerbitkan persetujuan kepada kelompok masyarakat (Pasal 23).

Selanjutnya, berdasarkan penilaian dan persetujuan UPT, maka Pasal 24 mengatur tentang perumusan

kerjasama yang dituangkan dalam perjanjian kerjasama (PKS) yang ditandatangani oleh Kepala

UPT/UPTD dengan kelompok masyarakat dan dilaporkan kepada Dirjen KSDAE.

Sementara itu, tahapan pelaksanaan Kemitraan Konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem terdiri

atas: (1) inventarisasi dan identifikasi kerusakan ekosistem, (2) menyusun rencana kemitraan, (3)

sosialisasi rencana kemitraan, (4) menyusun naskah kerjasama kemitraan konservasi pemulihan

ekosistem dan melaporkan PKS kepada Dirjen KSDAE.

Peran UPT Pengelola dalam kemitraan konservasi untuk pemulihan ekosistem cukup dominan

dibanding dengan peran masyarakat. UPT Pengelola berperan dalam tiga tahap pertama (Pasal 31 dan

32). Sedangkan masyarakat terlibat sebagai obyek yang mendapat sosialisasi rencana pemulihan

ekosistem yang telah disusun UPT (Pasal 32) dan terlibat dalam menyusun perjanjian kerjasama

kemitraan konservasi (Pasal 33).

Sementara itu, dalam pelaksanaan pembinaan dan pengendalian, termasuk di dalamnya adalah

monitoring dan evaluasi. Pasal 38 ayat (1) mengatur bahwa Kepala UPT/UPTD melakukan monitoring

dan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan kemitraan konservasi paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.

Kemudian Pasal 38 ayat (2) mengatur bahwa proses monitoring dan evaluasi dapat melibatkan pihak-

pihak independen, baik LSM, perguruan tinggi dan pihak lain.

Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 juga mengatur lokasi kemitraan konservasi. Untuk kemitraan

konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat, maka lokasinya meliputi zona/blok tradisional dan

blok pemanfaatan KPA (Pasal 10). Sedangkan untuk kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan

ekosistem, berlokasi di zona rehabilitasi taman nasional atau blok rehabilitasi suaka margasatwa, taman

hutan raya atau taman wisata alam atau areal yang telah mengalami kerusakan dan bukan pada areal

jelajah satwa dilindungi atau habitat satwa dilindungi (Pasal 29).

Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 mengatur kelompok sasaran yang disebut sebagai mitra

konservasi. Di dalam Pasal 1 angka 14 dijelaskan bahwa Mitra konservasi adalah masyarakat setempat

yang tinggal di sekitar kawasan konservasi yang melakukan kerjasama dengan kepala Unit Pengelola

Kawasan atau pemegang izin dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan atau pemulihan ekosistem.

Mitra konservasi bisa perseorangan masyarakat, kelompok masyarakat dan atau pemerintah desa.

Masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat yang

tinggal di sekitar dan/atau di dalam KSA/KPA atau yang kehidupannya memiliki keterkaitan dan

ketergantungan pada potensi dan sumberdaya alam di KSA/KPA. Jadi, kelompok sasaran yang dimaksud

dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 adalah spesifik, hanya mengacu pada masyarakat setempat.

Selanjutnya Pasal 14 mengatur tentang hak dan kewajiban mitra konservasi dalam rangka pemberdayaan

masyarakat, dan Pasal 28 ayat (3) dan (4) mengatur hak dan kewajiban mitra konservasi dalam rangka

pemulihan ekosistem.

Page 18: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

18

C. Catatan Kritis Terhadap Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018

Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 merupakan suatu terobosan karena bisa menjadi salah satu solusi

atas persoalan konflik yang selalu terjadi dalam pengelolaan kawasan konservasi, seperti yang terjadi di

TN Kelimutu.

Box 1 Konflik Tenurial di TN Kelimutu

Persoalan yang terjadi di TN Kelimutu bermula dari konflik tapal batas

kawasan hutan. Konflik ini terjadi sejak kawasan ini ditetapkan menjadi

Taman Nasional melalui SK Menhut No. 679/kpts-II/1997, tanggal 10

Oktober 1997 seluas 5.356,50 hektar. Sebelumnya, kawasan ini berstatus

cagar alam dan taman wisata alam sejak tahun1984.

Di sisi lain, masyarakat telah menanam kopi di Kelimutu sejak tahun 1930-

an. Lahan kebun kopi masyarakat adat Saga yang masuk ke dalam kawasan

TN Kelimutu mencapai sekitar 50 sampai 70 hektar dari seluruh lahan

perkebunan yang mencapai sekitar 100 hektar.

Pada tahun 2007, terjadi penertiban yang dilakukan oleh pihak Balai TN

Kelimutu. Masyarakat dilarang memetik dan menanam kopi di dalam

kawasan Taman Nasional Kelimutu. Saat itu, masyarakat protes dan

melawan seluruh keputusan yang dibuat. Akibatnya, berulang kali datang

utusan dari kecamatan, aparat kepolisian dan koramil ke masyarakat. Ketika

itu ada satu orang warga Desa Saga yang ditahan polisi.

Saat ada warga Desa Saga yang ditahan, masyarakat pun melakukan aksi

demo. Komunikasi dengan pihak gereja dan pemerintah lalu dibangun.

Kemudian ada tokoh adat Desa Saga yang waktu itu memberanikan diri

bertemu dengan Bupati Ende dan menyampaikan agar orang Saga tidak

boleh ditahan.

Perlawanan komunitas adat Saga lalu mendapat dukungan dari 20

komunitas adat yang bermukim di sekitar kawasan TN Kelimutu, yang

kemudian membentuk Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT).

Keberadaan AMATT sendiri merupakan respon atas konflik tapal batas

antara komunitas adat dan TN Kelimutu dan kasus kriminalisasi terhadap

warga Desa Saga yang ditangkap.

Menurut Ketua AMATT, “Sudah sejak zaman leluhur, tata ruang sudah

ditata menurut peruntukannya: sebagai hutan adat, permukiman, lahan

garapan dan padang penggembalaan. Selain hutan itu, ada tempat-tempat

tertentu yang ditetapkan untuk tidak digarap oleh masyarakat, seperti mata

air, lokasi ritual adat dan pemakaman. Masyarakat adat pun telah memiliki

kelembagaan adat yang di bawah otoritas para Mosalaki, yang harusnya

didengar pendapatnya.”

Walaupun Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 bisa menjadi suatu terobosan untuk menjadi solusi atas

konflik di kawasan konservasi, ada beberapa catatan kritis yang perlu dikemukakan agar Perdirjen

KSDAE No. 6 Tahun 2018 ini dapat diterapkan di lapangan.

C.1. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Kemitraan Konservasi

Page 19: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

19

Ada perbedaan cukup signifikan tentang partisipasi masyarakat dalam kemitraan konservasi untuk

pemberdayaan dan untuk pemulihan ekosistem. Dalam pemberdayaan masyarakat, partisipasi

masyarakat diatur mulai dari tahap perencanaan sampai penandatanganan PKS. Sementara untuk

pemulihan ekosistem, partisipasi masyarakat hanya diakomodir pada tahap penyusunan PKS dan

penandatanganan PKS. Perbedaan ini mungkin akan menimbulkan hasil yang berbeda juga. Dengan

partisipasi yang lebih signifikan, pemberdayaan masyarakat mungkin akan mencapai tujuan yang

diharapkan. Sedangkan dalam pemulihan ekosistem, mungkin masyarakat akan merasa bahwa kegiatan

pemulihan ekosistem adalah tanggung jawab UPT Pengelola. Hal yang mungkin terjadi adalah informasi

yang dihasilkan dari kegiatan inventarisasi dan identifikasi tidak akurat karena masyarakat tidak

dilibatkan. Informasi yang tidak akurat bisa jadi mencakup identitas penggarap, motif melakukan

penggarapan, cara memperoleh areal garapan, sejarah dan bentuk interaksi masyarakat dengan

KSA/KPA, bentuk-bentuk sistem penguasaan tanah, persepsi masyarakat terhadap KSA/KPA. Selain

itu, masyarakat akan merasa menjadi tenaga kerja dalam pemulihan ekosistem, sehingga mereka akan

meminta upah untuk menanam atau sampai merawat tumbuhan yang ditanam dalam rangka pemulihan

ekosistem.

Selain itu, partisipasi masyarakat ternyata tidak diatur dalam monitoring dan evaluasi. Yang

melaksanakan monitoring dan evaluasi adalah Kepala UPT/UPTD dan dapat melibatkan pihak-pihak

yang independen. Masyarakat tidak terlibat dalam monitoring dan evaluasi.

Kemudian, yang menjadi tantangan adalah melibatkan masyarakat sebagai subyek dalam proses

pemulihan ekosistem. Masyarakat bukan sekedar obyek yang harus dimintai atau ditanya untuk

memperoleh informasi, atau obyek yang mendapat sosialisasi. Masyarakat seharusnya menjadi tempat

konsultasi, mulai dalam proses inventarisasi dan identifikasi, penyusunan rencana pemulihan ekosistem,

penyusunan PKS, sampai monitoring dan evaluasi.

C.2. Ukuran Keberhasilan Kemitraan Konservasi

Ruang lingkup Kemitraan Konservasi dijelaskan dalam Pasal 3, yaitu (a) kemitraan konservasi dalam

rangka pemberdayaan masyarakat, (b) kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem dan (c)

pembinaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi.

Sebelumnya dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud pemberdayaan masyarakat adalah

upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan,

sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran serta memanfaatkan sumberdaya melalui

penetapan kebijakan, program, kegiatan dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan

prioritas kebutuhan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 ini

bukanlah tugas yang ringan karena harus membuat masyarakat menjadi mandiri dan sejahtera.

Apa yang dimaksud dengan kemandirian dan kesejahteraan dalam konteks pemberdayaan masyarakat

untuk kemitraan konservasi? Pasal 2 ayat (2) menjelaskan bahwa “Petunjuk teknis kemitraan konservasi

ini bertujuan untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka penguatan

tata kelola dan fungsi kawasan konservasi dan kelestarian keanekaragaman hayati.” Dengan mengacu

pada Pasal 2 ayat (2), maka kemandirian dan kesejahteraan masyarakat diletakkan dalam konteks

konservasi, untuk kepentingan kelestarian keanekaragaman hayati. Yang menjadi tantangan adalah

bagaimana hal itu diterapkan di lapangan? Apa indikator dan alat verifikasi yang harus digunakan agar

kemandirian dan kesejahteraan masyarakat seperti yang disebut dalam Pasal 2 ayat (2) bisa tercapai?

Salah satu ukuran keberhasilan kemitraan konservasi adalah jumlah kelompok dan luas areal yang

ekosistemnya dipulihkan. Hal ini bisa dilihat dari Rencana Kerja Ditjen KSDAE tahun 2018. Untuk

pemberdayaan masyarakat, targetnya adalah jumlah desa, jumlah kelompok yang diberdayakan dan luas

zona tradisional yang dikelola masyarakat. Untuk tahun 2018, indikator kinerja kegiatan “Pengelolaan

kolaboratif hutan konservasi bersama masyarakat di kawasan hutan konservasi taman nasional”, dengan

Page 20: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

20

target seluas 25.905,92 ha dengan jumlah kelompok yang ditargetkan sebanyak 237 kelompok. Luas

kawasan hutan konservasi pada zona tradisional yang dikelola melalui kemitraan dengan masyarakat

ditargetkan seluas 20.000 ha. Ada pula indikator kinerja kegiatan jumlah desa di daerah penyangga

kawasan konservasi (48 taman nasional) yang dibina, dengan target sebanyak 50 desa selama 5 tahun.

Sedangkan untuk pemulihan ekosistem, di dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa luas hutan

terdegradasi yang dipulihkan kondisi ekosistemnya seluas 100.000 ha.

Untuk mengetahui keberhasilan dan/atau kegagalan pencapaian sasaran strategis yang telah ditetapkan,

maka pada halaman 12 Dokumen Renstra Ditjen KSDAE Tahun 2018, disebutkan akan dilakukan

pengukuran kinerja, dengan menggunakan formulasi sebagai berikut:

Ukuran keberhasilan pencapaian target seperti formulasi di atas memang terukur secara kuantitatif.

Namun apakah ukuran tersebut sudah bisa menggambarkan pencapaian tujuan kemitraan konservasi,

yaitu kemandirian dan kesejahteraan masyarakat? Apakah kita bisa menyimpulkan kemandirian

masyarakat dari terpenuhinya target 237 kelompok yang diberdayakan, atau 50 desa yang sudah dibina,

yang semuanya diverifikasi melalui dokumen Perjanjian Kerja Sama (PKS)?

Jadi, tantangan implementasi kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat adalah

memperjelas arti dari kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dalam konteks konservasi, serta

mengembangkan indikator yang lebih tepat untuk mengukurnya. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka

yang akan terjadi adalah upaya instan yang semata-mata hanya mengejar PKS dengan angka-angka jumlah

kelompok, jumlah desa dan luasan saja. Kemungkinan besar target akan terpenuhi semua bahkan akan

melebihi target. Namun, jangan berharap bahwa masyarakat akan menjadi mandiri dan sejahtera. Ini

seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya atau business as usual.

Pengukuran keberhasilan pencapaian target seperti di atas menjadi terlalu sederhana, atau

menyederhanakan masalah. Seperti disebut dalam Pasal 4, bentuk kemitraan konservasi dalam rangka

pemberdayaan masyarakat dapat berupa: (a) pemberian akses, dan (b) kerjasama antara pemegang izin

pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat. Pemberian akses dapat berupa: (a) pemungutan

HHBK, (b) budidaya tradisional, (c) perburuan tradisional untuk jenis yang tidak dilindungi, (d)

pemanfaatan tradisional sumberdaya perairan terbatas untuk jenis tidak dilindungi, dan (e) wisata alam

terbatas. Kemandirian dan kesejahteraan masyarakat seperti apa yang dihasilkan dari berbagai bentuk

kemitraan konservasi seperti dalam Pasal 4? Apa yang dimaksud dengan masyarakat mandiri dan

sejahtera, misalnya dalam konteks pemungutan HHBK atau budidaya tradisional? Apa indikatornya?

Sebagai contoh budidaya tanaman obat seperti disebut dalam Pasal 6 ayat (1) budidaya tradisional antara

lain: (a) budidaya tanaman obat, (b) budidaya tanaman untuk kebutuhan sehari-hari. Budidaya tanaman

obat telah dilakukan di TN Meru Betiri (Jawa Timur). Di sana, ada kelompok perempuan yang telah

menanam berbagai tanaman obat di zona rehabilitasi TN Meru Betiri. Kelompok tersebut memanen

hasilnya, bisa berupa daun, akar, kulit kayu, buah, untuk diolah menjadi jamu. Jamu yang dihasilkan dijual

langsung ke konsumen yang membutuhkan.

Box 2 Geliat Wirausaha Konservasi di TN Meru Betiri

Wirausaha konservasi di TN Meru Betiri menggeliat seiring terbitnya

aturan Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018. Kelompok Tanaman Obat

Keluarga (TOGA) Sumberwaras di Desa Andongrejo telah merasakan

Page 21: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

21

manfaat ekonomis dari hasil wirausaha konservasi. Kelompok ini

memanfaatkan kawasan TN Meru Betiri sebagai sumber bahan obat untuk

dijadikan jamu tradisional.

“Kami juga membudidayakan tanaman obat di sekitar pekarangan rumah

untuk bahan baku jamu,” ungkap Ketua Toga Sumberwaras, Katemi.

Menurutnya, peraturan kemitraan konservasi membuka peluang bagi

kelompoknya untuk memanfaatkan kawasan konservasi secara legal.

“Sebab sebagian tanaman obat, sudah kami tanam di zona rahabilitasi,”

ungkapnya.

Penanaman tanaman obat yang dilakukan Katemi dan kelompok TOGA

lainnya di sekitar kawasan TN Meru Betiri sudah dilakukan selama belasan

tahun. Selama itu pula, tidak ada payung hukum bagi mereka untuk

memanfaatkan kawasan. Walaupun Katemi mengaku sudah ada

pembicaraan dengan pihak Balai TN Meru Betiri.

Kegiatan wirausaha tumbuhan obat di TN Meru Betiri memberi manfaat konservasi maupun

kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks konservasi, kelompok perempuan tersebut telah membantu

pengelola TN Meru Betiri untuk menghijaukan lahan terdegradasi di zona rehabilitasi dengan pola

agroforestry tanaman obat. Dalam konteks kemandirian masyarakat, kelompok perempuan ini telah

dapat memenuhi bahan baku pembuatan jamu, dari tanaman obat yang dibudidayakan di zona

rehabilitasi, sehingga mereka tidak perlu membeli. Dalam konteks kesejahteraan masyarakat, kelompok

perempuan ini telah memiliki pendapatan tambahan dari hasil penjualan jamu yang bahan bakunya

berasal dari zona rehabilitasi. Apabila contoh di atas dianggap sesuai, maka selanjutnya adalah

mengembangkan indikator yang sesuai, misalnya persentase pemenuhan bahan baku jamu yang berasal

dari budidaya tanaman obat, persentase peningkatan pendapatan dari budidaya tanaman obat.

Yang juga penting adalah membangun kemandirian dalam konteks kelembagaan. Kelembagaan yang

dimaksud adalah adanya organisasi, pembagian tugas dan tanggung jawab di antara unit di dalam

organisasi, adanya aturan yang disepakati agar organisasi dapat berkembang. Banyak organisasi atau

kelompok masyarakat yang tidak berkembang karena ketidakjelasan aturan main, termasuk

ketidakjelasan tugas dan tanggung jawab. Biasanya kelompok terpecah atau bahkan bubar dan akhirnya

hanya ada 1 orang yang memang berminat untuk mengembangkan produk.

Membangun kemandirian kelompok inilah yang tidak mudah dan memakan waktu yang tidak sebentar.

Kalau dalam kemitraan konservasi, untuk pemberdayaan masyarakat ada batasan waktu 5 tahun (Pasal

25) dan dapat diperpanjang lagi. Tantangannya adalah bagaimana membangun kemandirian kelompok

masyarakat dalam konteks kemandirian kelembagaan dalam waktu yang terbatas? Bagaimana roadmap

yang harus dilalui agar kemandirian kelembagaan bisa terwujud?

Box 3 Pemberdayaan Masyarakat di TN Gunung CIremai

Sebelum tahun 2004, saat Gunung Ciremai masih hutan lindung, masyarakat

melalui Program PHBM bisa memanfaatkan lahan untuk berkebun dan

HHBK seperti getah pinus dan diatur melalui perjanjian kerjasama antara

Perum Perhutani dengan masyarakat.

Setelah status hutan berubah menjadi Taman Nasional (2004), masyarakat

yang berkebun di dalam kawasan diturunkan oleh petugas TN Gunung

Page 22: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

22

Ciremai, sehingga terjadi konflik. Pada tahun 2010 ada arahan untuk

perubahan pendekatan dari pengelolaan fisik ke pengelolaan jasa lingkungan.

Pada jaman Pak Padmo menjadi Kepala TN Gunung Ciremai, masyarakat

mulai difasilitasi untuk mengelola wisata melalui pemberian izin. Banyak

kelompok masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan obyek wisata

(Obyek Daya Tarik Wisata Alam/ ODTWA) yang ada di dalam kawasan

TN Gunung Ciremai, seperti air terjun dan bumi perkemahan. Kerjasama

pengelolaan ODTWA di Balai TN Gunung Ciremai dilakukan dengan

skema perizinan, dan sampai sekarang sudah ada 64 izin yang sudah

dikeluarkan.

Perubahan pendekatan dari teknis perlindungan menjadi pemberdayaan

melalui pengembangan wisata alam mampu meredakan konflik. Resistensi

masyarakat jauh berkurang karena memberikan manfaat ekonomi langsung

dan pada saat yang sama masyarakat turut menjaga taman nasional dari

kebakaran hutan, perburuan liar atau kegiatan lain yang bertentangan

dengan tujuan konservasi. Perbaikan tutupan lahan juga berpengaruh

terhadap ketersediaan air, yang saat ini jauh lebih baik.

Namun demikian, skema yang dibuka masih berupa perizinan pariwisata dan

masih cukup banyak mantan penggarap yang belum terlibat dalam kegiatan

wisata alam. Dari seluruh penggarap lahan ex-hutan lindung, baru 25% yang

terlibat dalam pariwisata alam. Masyarakat memerlukan pendampingan

dalam kelembagaan dan kapasitas pengelolaan obyek wisata.

Begitu pula dengan keberhasilan pemulihan ekosistem. Kalau keberhasilan pemulihan ekosistem diukur

dari luasan hutan yang berhasil dipulihkan, apakah angka luasan tersebut sudah bisa menggambarkan

seberapa pulih ekosistem tersebut seperti yang disebutkan dalam Pasal 27 Perdirjen KSDAE No. 6

Tahun 2018. Dalam Pasal 27 ayat (3) disebutkan bahwa “Tujuan pemulihan ekosistem adalah

mengembalikan fungsi ekosistem secara bertahap: (a) kembali ke tingkat/ mendekati kondisi alamnya;

dan (b) telah tercapai suatu kondisi sesuai tujuan yang ditetapkan oleh pengelola.”

Dalam kemitraan konservasi dimana masyarakat terlibat dalam proses pemulihan ekosistem, maka

tujuan pemulihan ekosistem di Pasal 27 belum tentu bisa tercapai. Masyarakat cenderung akan memilih

jenis tumbuhan yang bernilai ekonomi seperti buah-buahan sehingga hasil akhir penanaman belum tentu

mendekati kondisi alam tetapi akan menjadi kebun campuran (agroforestri). Pola agroforestri yang

banyak dijumpai di berbagai daerah, selalu mengkombinasikan tanaman palawija dengan buah-buahan

dan juga tanaman hutan. Secara ekologi, ini akan menjamin fungsi ekologi, karena dapat menjamin

keberagaman jenis dan juga adanya lapisan tajuk yang menyerupai lapisan tajuk di hutan.

Box 4 Pemulihan Ekosistem di TN Meru Betiri

Pada awal reformasi, sejak 1998 hingga 2002, terjadi perambahan hutan

yang cukup massif di TN Meru Betiri. Para perambah merangsek masuk ke

dalam kawasan dan menebangi pohon jati yang ditinggalkan Perum

Perhutani. Bukan hanya jati, hutan alam pun tak luput dari jarahan. Para

penjarah berasal dari desa-desa yang jauh di luar dari kawasan taman

nasional. Dalam periode tersebut, hutan-hutan TN Meru Betiri telah

menjelma menjadi kawasan kering yang tandus. KAIL menyebut, kawasan

yang dijarah lebih dari 2 ribu haktare1.

1 Wawancara mendalam dengan KAIL, Jember, 17 Januari 2019.

Page 23: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

23

Sementara itu, proses rehabilitasi lahan sesungguhnya sudah dimulai melalui

kerja sama Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) bersama Balai TN

Meru Betiri dan KAIL sejak 1993. Rehailitasi menyasar lahan seluas 7

hektare yang terletak di desa Andongrejo. Di wilayah tersebut telah

ditanam tanaman hutan yang mengkombinasikan antara tanaman berkayu

dan buah, seperti nangka dan kluwak. Observasi lapangan di wilayah

tersebut kini telah terbentuk hutan sekunder yang terus tumbuh mencapai

kondisi hutan alami.

Bagi Balai TN Meru Betiri, kegiatan ini penting, karena menjadi salah satu

upaya resolusi konflik agar tidak menyebar menjadi konflik sosial dalam

skala yang lebih luas2. Mulanya, wilayah tersebut merupakan hutan jati yang

telah dirambah oleh masyarakat.

Pelajaran penting dari proses rehabilitasi lahan yang dilakukan LATIN, KAIL

dan Balai TN Meru Betiri tersebut disebar luaskan kepada masyarakat di 5

desa di sekitar kawasan, yakni: Desa Curahnongko, Andongrejo, Sanenrejo,

Wonoasri dan Curahtakhir. Semua desa tersebut berada di wilayah

administratif Kecamatan Tampurejo3. Lembaga-lembaga pendukung

rehabilitasi lahan menyediakan berbagai bibit tanaman dan melakukan

berbagai pelatihan guna mendukung rehabilitasi. Bahkan juga telah dilakukan

pemetaan lahan-lahan yang kemudian dikelola oleh masyarakat setempat.

Lahan-lahan dikelola melalui kelompok-kelompok tani. Setidaknya telah

terbentuk 108 kelompok tani yang menyasar 3556 Kepala Keluarga pada

lahan seluas 2.779,08 hektar. Tiap anggota kelompok bertanggung jawab

mengelola lahannya masing-masing.4

Beranjak dari proses tersebut, kini masing-masing anggota kelompok secara

independen mengelola lahannya dengan tanaman campuran (agroforestry). Tegakan atas biasanya berisi tanaman tua semisal petai, nangka, trambesi,

lamtoro dan kluwak. Sementara tegakan bawah yang dikelola intensif terdiri

dari jagung, padi ladang, umbi-umbian dan tanaman obat. Tapi proses

pendampingan yang sudah menurun sejak 2015 –lantaran keterbatasan

pendanaan5– membuat para penggarap lahan banyak yang memetingkan

tanaman hortikultura dan tanaman obat ketimbang tanaman yang berfungsi

untuk rehabilitasi lahan.6

Kalau agroforest ini dimungkinkan terjadi sesuai dengan Pasal 27 ayat (3) huruf b, maka hal ini tidak

menjadi masalah. Tetapi jika pengelola UPT cenderung untuk mengembalikan seperti kondisi hutan

alam untuk mengutamakan fungsi ekologi, dengan berbagai jenis tumbuhan yang belum tentu bernilai

ekonomi bagi masyarakat, maka hal ini sulit tercapai. Jadi, tantangan dalam pemulihan ekosistem adalah

bagaimana mengintegrasikan fungsi ekonomi dengan fungsi ekologi dari hutan yang dipulihkan.

2 Wawancara mendalam KAIL dan Balai TNMB, 17 dan 18 Januari 2019. 3 Disadur dari Nurhadi, Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Zona Rehabilitasi Menuju Tercapainya

Kelestarian TN Meru Betiri dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Pendekatan Manajemen

Kolaborasi, Jember, September 2017. 4 Wawancara mendalam dengan Kelompok Tani Mekar Sari I, Curahnongko, 11 Januari 2019. 5 Wawancara mendalam dengan KAIL, Curahnongko, 17 Januari 2019. 6 Wawancara Mendalam dengan Kelompok Wanita Tani Sumber Waras, Curahnongko, 11 Januari 2019.

Page 24: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

24

Tantangan berikutnya, apabila model agroforest disetujui sebagai upaya pemulihan ekosistem, maka

apakah kelompok masyarakat yang telah berperan membangun agroforest tersebut juga mendapat

kesempatan untuk memanfaatkan hasil dari agroforest tersebut? Apabila melihat Pasal 28 ayat (1) huruf

c, maka jangka waktu kemitraan maksimal 10 tahun dan/atau satu daur. Namun demikian, Pasal 28 ayat

(2) menyebutkan bahwa jangka waktu kemitraan dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.

Nampaknya Pasal 28 cukup memberi jaminan bahwa masyarakat akan dapat memanen hasil dari

agroforest yang mereka bangun. Tapi Pasal 28 ini juga mendorong agar masyarakat tidak tergantung

pada kawasan, karena Pasal 28 ayat (1) huruf e menyebutkan bahwa adanya jaminan untuk beralih mata

pencarian/ ketergantungan pada kawasan konservasi. Artinya, setelah masyarakat memanfaatkan hasil

agroforest, mungkin bisa dalam waktu 20 tahun, mereka harus meninggalkan kawasan dan beralih ke

luar kawasan. Tantangannya adalah bagaimana agar proses pengalihan mata pencaharian masyarakat

dari agroforest yang di dalam kawasan menjadi mata pencarian lain di luar kawasan? Siapa yang

bertanggung jawab untuk memfasilitasi proses ini? Di dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 ini

tidak ada pengaturan tentang hal ini.

C.3. Lokasi Kemitraan Konservasi

Lokasi kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat meliputi zona/blok tradisional

dan blok pemanfaatan KPA (Pasal 10). Sedangkan lokasi kemitraan konservasi untuk pemulihan

ekosistem dilakukan pada zona rehabilitasi taman nasional atau blok rehabilitasi suaka margasatwa,

taman hutan raya, atau taman wisata atau areal yang telah mengalami kerusakan dan bukan pada areal

jelajah satwa dilidungi atau habitat satwa dilindungi (Pasal 29).

Lokasi kemitraan konservasi yang dibatasi seperti di atas, belum tentu sesuai dengan kondisi yang ada

di lapangan. Kegiatan pemungutan HHBK, budidaya tradisional, perburuan tradisional, dan pemanfaatan

tradisional sumberdaya perairan, bisa terjadi di seluruh zonasi. Penyebaran tumbuhan yang

menghasilkan HHBK mungkin sekali tersebar di seluruh zonasi. Begitu juga penyebaran binatang

buruan, mungkin lebih banyak di zona rimba dan zona inti yang hutannya seharusnya masih bagus

kondisinya. Sedangkan sumberdaya perairan, bukankah kawasan konservasi lebih banyak terletak di

daerah hulu sungai yang ada di zona rimba dan zona inti? Sementara itu, di zona khusus sudah dipastikan

keberadaan manusia yang sudah memanfaatkan kawasan untuk pemukiman atau ladang.

Khusus untuk lokasi pemulihan ekosistem, Pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwa ada pemulihan

ekosistem dilakukan pada zona rehabilitasi taman nasional atau blok rehabiliitasi suaka margasatwa,

Taman Hutan Raya, atau taman wisata alam atau areal yang telah mengalami kerusakan dan bukan pada

areal jelajah satwa dilindungi atau habitat satwa dilindungi. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana

memulihkan ekosistem pada areal jelajah satwa yang dilindungi, yang kondisinya sudah terdegradasi?

Bagaimana memulihkan ekosistem di zona rimba dan zona inti yang sudah terdegradasi?

Dalam konteks pemulihan ekosistem, Pasal 29 ayat (2) memungkinkan terjadinya pemulihan ekosistem

di zona selain zona rehabilitasi, dapat dilakukan perubahan atau revisi zonasi. Sementara itu dalam

konteks pemberdayaan masyarkaat, tidak ada pengaturan untuk mengubah lokasi.

Yang menjadi tantangan adalah bagaimana menjawab keragaman kondisi di lapangan, dimana lokasi yang

diakses masyarakat untuk pemungutan HHBK, perburuan tradisional, budidaya tradisional dan

pemanfaatan sumberdaya air, tidak selalu ada di zona tradisional dan di zona pemanfaatan? Dan lokasi

yang telah terdegradasi juga tidak selalu di zona rehabilitasi? Apabila dimungkinkan terjadinya revisi

zonasi, tentu hal ini akan memakan waktu yang tidak sebentar. Sambil menunggu revisi zonasi, apakah

Kepala UPT/UPTD berwenang untuk mengeluarkan surat keputusan tentang lokasi sementara bagi

pemberdayaan masyarakat atau pemulihan ekosistem?

C.4. Kegiatan-Kegiatan dalam Kemitraan Konservasi

Page 25: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

25

Ada beberapa kegiatan di dalam kemitraan konservasi yang perlu dicermati, baik dalam rangka

pemberdayaan masyarakat maupun pemulihan ekosistem. Kegiatan-kegiatan tersebut perlu dicermati

karena ada kemungkinan menimbulkan perbedaan interpretasi di lapangan karena belum secara tegas

diatur dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018.

Salah satu kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat adalah pemungutan HHBK. Pada Pasal 5 ayat (4)

dinyatakan bahwa, “Dalam hal pengambilan HHBK untuk komersial, wajib memiliki izin kumpul dari

Kepala Unit Pengelola dan dokumen Surat Angkut Tumbuhan Satwa Dalam Negeri (SAT-DN) sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Izin kumpul untuk HHBK mengacu pada

Permenhut No. P.91/Menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu Yang Berasal Dari

Hutan Negara. Dalam Pasal 1 angka 9 disebutkan bahwa Izin Pengumpulan Hasil Hutan Bukan Kayu

adalah izin yang diberikan kepada perorangan/badan usaha yang bergerak di bidang kehutanan yang

melakukan pengumpulan HHBK yang berasal dari hutan negara yang dipungut oleh masyarakat sekitar

hutan berdasarkan IPHHBK.

Box 5 Pemanfaatan HHBK di TN Meru Betiri

Balai TN Meru Betiri telah menerbitkan 3 Surat Perjanjian Kerjasama (SPK)

antara Balai TN Meru Betiri dengan masyarakat. Ketiga SPK tersebut

bertujuan untuk melakukan pengelolaan zona tradisional, meningkatkan

kemandirian dan kesejahteraan masyarakat serta memperkuat fungsi tata

kelola kawasan. SPK yang diterbitkan terdiri dari:

1. Perjanjian Kerja Sama antara Kepala Balai TN Meru Betiri dengan

Ketua Kelompok PAL IV Sejahtera nomor

PKS.834/T.15/TU/KSK/12/2018 dan nomor 3/PAL-IV/12/2018

tentang Penguatan Fungsi tentang Kemitraan Konservasi Melalui

Pemberian Akses Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu Di Zona

Tradisional Blok PAL IV Taman Nasional Meru Betiri. Blok yang

dikelola terletak pada Blok Durenan PAL IV, Dusun Sumberjambe,

Desa Kandangan Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,

Wilayah Resort Sumberpacet, Seksi Pengelolaan Taman Nasional

Wilayah III Kalibaru, kawasan TN Meru Betiri seluas 8 hektar.

2. Perjanjian Kerja Sama antara Kepala Balai TN Meru Betiri dengan

Ketua Kelompok PAL VI Kalicawang Barokah nomor

PKS.835/T.15/TU/KSK/12/2018 dan nomor 3/PAL-VI/12/2018

tentang Penguatan Fungsi Tentang kemitraan Konservasi Melalui

Pemberian Akses Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu Di Zona

Tradisional Blok PAL VI Taman Nasional Meru Betiri. Blok yang

dikelola terletak pada Blok Pal VI, Dusun Sumberjambe, Desa

Kandangan Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,

Wilayah Resort Sumberpacet, Seksi Pengelolaan Taman Nasional

Wilayah III Kalibaru, kawasan TN Meru Betiri seluas 9,5 hektar.

3. Perjanjian Kerja Sama antara Kepala Balai TN Meru Betiri dengan

Ketua Kelompok Durian Sukmande Mandiri nomor

PKS.836/T.15/TU/KSK/12/2018 dan nomor 3/DSL/12/2018 tentang

Penguatan Fungsi Tentang kemitraan Konservasi Melalui Pemberian

Akses Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu Di Zona Tradisional

Blok Sukamande Taman Nasional Meru Betiri. Blok yang dikelola

terletak pada Blok Sukamande, Dusun Sukamande, Desa Sarongan

Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Wilayah Resort

Sukamande, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Sarongan,

kawasan TN Meru Betiri seluas 7,5 hektar.

Page 26: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

26

Ketiga SPK menyebutkan bahwa zona tradisional yang dikelola merupakan

zona pemanfaatan tradisional yang telah bergenerasi dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai sumber durian7 sebagai Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan

Kayu. Disamping itu, SPK juga secara tegas menyatakan Program-program

Perlindungan dan Pengamanan Kawasan, Peningkatan/pengembangan usaha

ekonomi produktif, serta Kesekretariatan dan Administrasi Kerjasama.

Permenhut No. P.91/Menhut-II/2014 ini juga mengatur tentang pengukuran dan pengujian, pembuatan

Laporan Produksi Hasil Hutan Bukan Kayu (LP-HHBK) oleh pemegang izin pengumpulan HHBK, atau

GANIS-PHPL atau WAS-GANIS PHPL, serta Pengesahan LP-HHBK oleh WAS-GANIS PHPL,

penagihan dan pembayaran PSDH. Selain itu, Permenhut ini juga mengatur tentang pengangkutan HHBK

(penyiapan dokumen angkut, penggunaan dokumen angkut), pelaporan, pengawasan dan pengendalian,

serta sangsi. Yang menjadi tantangan adalah mempersiapkan kelompok masyarakat dan UPT untuk

menerapkan peraturan ini, untuk mengakomodir pemungutan HHBK untuk tujuan komersial. Salah

satu contoh pemanfaatan HHBK untuk tujuan komersial telah dilakukan di TN Gunung Halimun Salak,

yaitu pemanfaatan getah pinus dan kopal, dan bisa menjadi contoh atau model bagaimana peraturan

tersebut diterapkan.

Dalam pemberdayaan masyarakat, kegiatan budidaya tanaman untuk kebutuhan sehari-hari mencakup

beberapa kelompok tumbuhan yang dapat dibudidayakan (Pasal 6 ayat (3)). Salah satunya adalah

kelompok biji-bijian. Apakah ini termasuk padi? Kalau padi termasuk dalam kategori budidaya

tradisional, maka apakah semua jenis padi dapat dibudidayakan dalam rangka pemberdayaan

masyarakat? Bagaimana dengan kelapa sawit? Sudah banyak kawasan konservasi yang ditanami kelapa

sawit. Apakah ini juga termasuk kategori budidaya tradisional? Ada pula karet. Di beberapa lokasi di

Sumatera dan Kalimantan, karet telah ditanam dengan pola agroforest dan ini dilakukan sudah lama di

kebun-kebun milik rakyat. Kemudian, apabila sekarang dijumpai ada karet yang telah ditanam di kawasan

konservasi, apakah ini juga termasuk budidaya tradisional? Semua itu bisa menjadi perdebatan di

lapangan karena memunculkan interpretasi yang berbeda-beda. Tantangannya adalah memperjelas

kegiatan budidaya tradisional, termasuk jenis-jenis dan cara budidaya yang bisa atau tidak bisa

dikategorikan sebagai budidaya tradisional.

Kegiatan lain dalam pemberdayaan masyarakat yang belum diatur adalah perburuan tradisional untuk

berburu satwa liar yang menjadi hama, seperti yang dilakukan masyarakat di Desa Kiarasari, Kabupaten

Bogor. Pasal 7 hanya mengatur perburuan tradisional untuk kebutuhan yang bersifat mendesak untuk

upacara adat atau keagamaan masyarakat setempat atau untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Tantangannya adalah bagaimana mengakomodir kebutuhan masyarakat untuk berburu satwa yang

menjadi hama, sementara hal itu tidak diatur dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018?

C.5. Kelompok Sasaran/Mitra Konservasi

Mitra konservasi yang menjadi kelompok sasaran dari Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 disebutkan

dalam Pasal 1 angka 11, 12, 13, 14 dan 18. Berdasarkan Pasal tersebut, maka kelompok sasaran adalah:

(a) orang perseorangan, (b) kelompok orang, (c) masyarakat hukum adat, dan (d) masyarakat setempat.

Ada penekanan bahwa kelompok sasaran tersebut: (a) tinggal di sekitar dan/atau di dalam KSA/KPA,

atau (b) yang kehidupannya memiliki keterkaitan dan ketergantungan pada potensi dan sumberdaya

alam di KSA/KPA, dan (c) turun-temurun mempunyai ketergantungan terhadap sumberdaya alam di

zona tradisional untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari dan tinggal di desa setempat yang

dibuktikan dengan kepemilikan KTP atau bukti kependudukan lainnya.

7 Dokumen SPK.

Page 27: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

27

Yang menjadi tantangan adalah beragamnya pihak yang berinteraksi dengan KSA/KPA, yang masing-

masing memiliki motivasi dan kegiatan yang berbeda-beda pula. Contoh, di TN Gunung Halimun Salak,

terdapat kawasan yang memiliki fungsi produksi untuk getah pinus dan damar, yang merupakan warisan

dari Perum Perhutani sebelum diserahkan ke TN Gunung Halimun Salak. Petani penggarap getah pinus

dan damar adalah masyarakat setempat. Namun mereka dimodali oleh pengusaha yang belum tentu

masyarakat setempat. Hubungan kerja antara petani penggarap dengan pemilik modal, tidak hanya jual

beli tetapi juga pinjaman bagi petani penggarap untuk hal lain di luar modal kerja. Ini berakibat pada

ketergantungan petani penggarap kepada pemodal. Tantangan untuk menerapkan Perdirjen KSDAE

No.6 Tahun 2018 adalah, siapa yang akan menjadi mitra konservasi yang akan menjadi sasaran? Apakah

petani penggarap atau juga pemiliki modal? Tantangan berikutnya adalah bagaimana membuat petani

penggarap menjadi mandiri dan sejahtera, sesuai tujuan Kemitraan Konservasi?

Contoh kasus lain adalah perambahan di Besitang di TN Gunung Leuser8. Masyarakat setempat berasal

dari pengungsi, tetapi sekarang kondisinya berubah. Masyarakat yang memanfaatkan lahan untuk sawit

adalah pendatang dari Sumatera Utara, dan ini semakin banyak sehingga sulit dikendalikan. Para

pendatang ini juga diberi modal usaha oleh para pemodal yang tinggal di kota. Yang menjadi tantangan

adalah siapa yang seharusnya menjadi mitra konservasi? Bagaimana proses yang harus dilakukan agar

tidak terjadi konflik horizontal di antara masyarakat yang dulu pengungsi dengan masyarakat pendatang?

Box 6 Konflik di TN Gunung Leuser

Ancaman terbesar yang hingga saat ini belum dapat diselesaikan di TN

Gunung Leuser adalah perambahan untuk pengembangan perladangan atau

perkebunan, terutama di wilayah Sumatera Utara, yaitu di wilayah kerja

Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah VI Besitang - Bidang

Wilayah III Stabat. Pada wilayah ini, luas perambahan sampai dengan tahun

2014 tercatat sebesar 28.678,60 ha (TN Gunung Leuser, 2017)9. Selain

perambahan kawasan, ada beberapa masalah lain yang terjadi di TN Gunung

Leuser, menurut temuan lapangan Forum Konservasi Leuser tahun 2017

menunjukkan, ada 245 kasus perambahan, 196 pembalakan hutan, dan 3

pertambangan ilegal yang terjadi di TN Gunung Leuser, sedangkan

pembangunan jalan di TN Gunung Leuser mencapai 24 kasus dengan

panjang sekitar 67 Kilometer10.

Tantangan bagi penerapan Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 juga berasal dari konflik kepentingan

dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah banyak yang mengeluarkan izin atau rekomendasi untuk

perkebunan kelapa sawit, pertambangan, HPH, HTI di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan kawasan

konservasi yang sebenarnya merupakan buffer zone. Ini merupakan tekanan bagi eksistensi kawasan

konservasi karena akan berubah menjadi ancaman bagi kawasan konservasi. Tantangannya adalah

bagaimana membangun kemitraan dengan para pemegang izin tersebut dan juga dengan pemerintah

desa yang berada di sekitar kawasan konservasi, agar dapat mengurangi tekanan dan ancaman terhadap

kawasan konservasi? Namun, Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 ini tidak mengatur tentang kemitraan

konservasi dengan perusahaan yang beraktivitas di buffer zone, dan juga tidak mengatur kemitraan

8 Sumber: blok Konservasi Wiratno. Tipologi Konflik-konflik Sosial di Kawasan Konservasi dan Upaya

Solusinya. 9 Buku Belajar Dari Lapangan Kisah Keberhasilan Pemulihan Ekosistem di Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam secara Partisipatif 10 Perambahan, Ancaman Serius yang Terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser,

https://www.mongabay.co.id/2018/02/20/perambahan-ancaman- serius-yang-terjadi-di-taman-nasional-

gunung-leuser/

Page 28: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

28

konservasi dengan pemerintah desa. Walaupun demikian, TN Gunung Halimun Salak tercatat pernah

melakukan kemitraan dengan pemerintah desa, yang disebut dengan Model Kampung Konservasi

(MKK).

Box 7 Model Kampung Konservasi di TN Gunung Halimun Salak

Balai TN Gunung Halimun Salak (BTNGHS) telah menjalankan

pemberdayaan masyarakat dan pemulihan ekosistem sejak lama melalui

Model Kampung Konservasi (MKK). MKK ini awalnya dirancang untuk desa

konservasi, namun pada pelaksanaannya skala kampung lebih efektif.

Sampai sekarang masih ada MKK yang berjalan, yaitu di Kampung Sukagalih

dan Kampung Cisangku. MoU untuk MKK Sukagalih ditandatangani 2008

dengan jumlah kelompok sekitar 40 KK. MoU untuk MKK Cisangku

ditandatangani 2007.

MKK merupakan program yang dinisiasi oleh BTNGHS dan JICA sejak

tahun 2003, untuk pilot project dilakukan 2003 -2007. Tahun 2008, MKK

berjalan atas dukungan dari BTNGHS, Pemda (Dinas Kehutanan Banten,

Dinas Kehutanan Jabar), BUMN (ANTAM, PLN), CIFOR, dll.

Tahapan yang dilakukan adalah, pendekatan dan pendampingan,

pembentukan kelompok, penyusunan rencana program, peningkatan

kapasitas, penandatanganan kesepakatan, pelaksanaan program.

Hasil dari MKK:

- Ada pengembangan mata pencaharian di luar kawasan seperti

peternakan.

- Ada mata pencaharian baru berupa pengembangan wisata alam.

- Masyarakat telah melakukan rehabilitasi/restorasi di kawasan

TNGHS.

- Masyarakat menggarap lahan secara legal.

- Konflik antara BTNGHS dengan masyarakat terselesaikan.

- Masyarakat Cisangku mendapatkan IUPJWA.

Faktor yang mendukung kerjasama dengan masyarakat, yaitu harus

membangun kepercayaan dengan masyarakat, dengan cara terus

membangun komunikasi; bangun pemahaman yang mendalam kepada

masyarakat; advokasi dan kampanye ke pemerintah/taman nasional;

pelibatan multipihak. Pendampingan masyarakat oleh pihak selain oleh

taman nasional diperlukan untuk menjembatani antara pemerintah

(TNGHS) dengan masyarakat. Pendampingan juga penting memfasilitasi

masyarakat membaca dan mencari celah di mana masyarakat bisa

memanfaatkan kerja sama, menyusun rencana kelola, penguatan

kelembagaan, peningkatan kapasitas tertentu yang diperlukan dan

melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kerja sama, baik dari sisi hak

ataupun kewajiban masing-masing.

C.6. Kapasitas yang Dibutuhkan Untuk Menerapkan Kemitraan Konservasi

Berbagai tantangan yang dijelaskan di atas membutuhkan kapasitas petugas UPT dan mitra konservasi

yang memadai supaya kemitraan konservasi dapat diterapkan dengan baik. Pengetahuan tentang

kemitraan konservasi sebenarnya sudah ada di Direktorat Jenderal KSDAE, bahkan sudah berkembang

Page 29: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

29

sejak tahun sembilan puluhan. Dulu kemitraan konservasi dikenal dengan berbagai nama, mulai dari

peran serta masyarakat, partisipasi masyarakat, kolaborasi, kerjasama, pemberdayaan, dan terakhir

dikenal dengan kemitraan konservasi. Ini menunjukkan perkembangan konsep kemitraan konservasi di

dalam Direktorat Jenderal KSDAE.

Direktorat Jenderal KSDAE juga mengembangkan tools yang bisa menjadi inspirasi dalam

pengembangan kemitraan konservasi, seperti Resort Based Management (RBM), Situation Room

(SITROOM), dan Flying Team untuk manajemen konflik. Selain itu, sudah ada beberapa dokumentasi

pembelajaran dari pengalaman individu dalam mengembangkan konservasi dan contoh-contoh

pengalaman membangun kemitraan atau kerjasama antara masyarakat dengan pengelola taman nasional.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengalaman, pengetahuan dan keterampilan yang sudah ada,

dapat meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal KSDAE dalam mengembangkan kemitraan konservasi?

Apakah pengetahuan, termasuk metodologi, yang dimiliki sudah cukup?

Sebagian UPT merasa belum dibekali dengan kapasitas yang memadai untuk menerapkan kemitraan

konservasi. Ketidaksiapan kapasitas mencerminkan belum memadainya pengetahuan dan keterampilan

yang dibutuhkan untuk menerapkan Kemitraan Konservasi. Untuk itu, bagian ini akan menjabarkan

kapasitas (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) apa yang dibutuhkan, baik oleh pengelola UPT maupun

mitra konservasi, untuk mengimplementasikan kemitraan konservasi (Tabel 3. Gambaran dalam Tabel

4, bisa jadi masih belum lengkap, karena kebutuhan di setiap lokasi KPA/KSA bisa berbeda-beda. Oleh

karena itu, kebutuhan pengembangan kapasitas ini harus terus diperbaharui. Proses identifikasi

kebutuhan pengembangan kapasitas bukan suatu kegiatan yang hanya dilakukan satu kali, tetapi harus

ada proses refleksi untuk melihat kembali, kebutuhan apa yang harus dipenuhi. Begitu kemitraan

konservasi diterapkan, maka dinamika akan terjadi, sehingga kebutuhan juga akan berkembang sesuai

dengan dinamika yang terjadi.

Tabel 4 Kapasitas yang Dibutuhkan Oleh Pengelola UPT dan Mitra Konservasi

Isu UPT TN/BKSDA Mitra Konservasi

Lokasi kemitraan

konservasi

Informasi tentang ketegasan aturan

lokasi kemitraan konservasi dan

revisi yang mungkin dilakukan.

Pengetahuan tentang kejelasan batas

zonasi, aturan tentang yang boleh dan

tidak boleh dilakukan di masing-masing

zonasi, aturan tentang revisi zonasi dan

partisipasi masyarakat dalam revisi

zonasi.

Pemungutan HHBK

yang telah dimanfaatkan

turun-temurun

Pengetahuan dan keterampilan

untuk memahami distribusi,

potensi, dan daya dukung dari

jenis-jenis yang boleh dimanfaatkan.

Pengetahuan tentang jenis-jenis yang

dilindungi dan tidak dilindungi.

Pemanfaatan HHBK

untuk komersial

Pengetahuan tentang peraturan

terkait pemanfaatan HHBK dan

peredarannya dan keterampilan

untuk menerapkan peraturan

tersebut.

Pengetahuan tentang izin kumpul dan

dokumen Surat Angkut Tumbuhan

Satwa Dalam Negeri (SAT-DN) dan

keterampilan untuk menerapkannya.

Budidaya tradisional,

perburuan tradisional,

pemanfaatan

sumberdaya perairan

dan wisata alam

terbatas

Pengetahuan tentang kearifan lokal

dalam budidaya tradisional,

perburuan tradisional, pemanfaatan

sumberdaya perairan dan wisata

alam terbatas, dan sikap

menghormati kearifan lokal

tersebut.

Pengetahuan tentang hal-hal yang

boleh dan tidak boleh dilakukan ketika

melakukan budidaya tradisional,

perburuan tradisional, pemanfaatan

sumberdaya perairan dan wisata alam

terbatas, di KPA/KSA dan sikap untuk

mentaati peraturan tersebut.

Fasilitasi Kapasitas dalam teknik fasilitasi

dasar, fasilitasi kelompok, fasilitasi

Teknik fasilitasi dasar dan teknik

fasilitasi kelompok.

Page 30: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

30

Isu UPT TN/BKSDA Mitra Konservasi

membangun kesepakatan dan

resolusi konflik.

Pembentukan lembaga

kolaborasi

Kapasitas untuk melakukan analisis

stakeholder, membangun

kesepakatan dan resolusi konflik

Kapasitas dalam menentukan

keperwakilan dalam lembaga

kolaborasi.

Fasilitasi penyusunan

rencana pemberdayaan

masyarakat

Kapasitas untuk melakukan

identifikasi kebutuhan (Misalnya:

RRA, PRA), analisis spasial dengan

GIS, memfasilitasi penyusunan

rencana.

Kapasitas dalam memberikan usulan

yang sesuai dengan kebutuhan bersama

masyarakat, bukan keinginan kelompok

tertentu.

Negosiasi penyusunan

PKS

Kapasitas untuk membangun

kesepakatan, monitoring dan

evaluasi pelaksanaan kesepakatan

dan perbaikan kesepakatan.

Kapasitas untuk membangun

kesepakatan, monitoring dan evaluasi

pelaksanaan kesepakatan dan

perbaikan kesepakatan.

Pemulihan ekosistem Kapasitas dalam menentukan

keberhasilan pemulihan ekosistem,

misalnya menentukan tipe

ekosistem yang menjadi acuan,

proporsi jenis tumbuhan yang

digunakan, dan metodologi

termasuk teknik silvikultur yang

tepat.

Pengetahuan tentang apa yang

dimaksud dengan pemulihan ekosistem

dan peran apa yang bisa dilakukan oleh

masyarakat dalam pemulihan

ekosistem.

Page 31: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

31

BAB IV IMPLEMENTASI KEMITRAAN KONSERVASI

A. Sebaran Lokasi Kemitraan Konservasi

Sejak diterbitkan Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, Direktorat Jenderal KSDAE telah mendaftar

ada 13 lokasi Kemitraan Konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat, yang terdiri atas 12

Taman Nasional dan 1 Taman Buru (data sampai Maret 2019). Sedangkan untuk Pemulihan Ekosistem,

ada 3 Taman Nasional (data sampai Mei 2019).

Kemitraan Konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat di 13 lokasi mencakup areal seluas

41.214,56 ha dengan jumlah kelompok sebanyak 40 kelompok. Kegiatan pemberdayaan masyarakat

yang dilakukan bermacam-macam, seperti pemanfaatan getah damar, pemanfaatan obyek wisata,

pemanfaatan limbah tanaman invasif yang dimusnahkan untuk dijadikan pupuk organik, budidaya

tradisional kerang, dan sebagainya.

Tabel 5 Lokasi-Lokasi Kemitraan Konservasi dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat11

No. Lokasi Jumlah

Kelompok Luas (ha) Kegiatan

1. TN Matalawa (Manupeu

Tanadaru dan Laiwanggi

Wanggameti)

5 kelompok 241,02 Pemanfaatan HHBK

2. TN Aketajawe Lolobata 1 kelompok 210 Pemanfaatan damar

3. TN Bukit Dua Belas 3 kelompok 6.000 Pemanfaatan HHBK

4. TN Bukit Barisan

Selatan

2 kelompok 108,58 Pemanfaatan damar

5. TN Manusela 1 kelompok 1.387,68 Pemanfaatan damar

6. TN Kayan Mentarang 4 kelompok

di 4 desa

22.579,17 -

7. TN Kelimutu 4 kelompok - - Pemanfaatan obyek wisata;

- Pemanfaatan limbah

tanaman invasif yang

dimusnahkan menjadi

pupuk organik;

- Pemanfaatan kopi

8. TN Lore Lindu 5 kelompok 250 Pemberdayaan masyarakat

9. TN Berbak Sembilang 3 kelompok

di Desa

Sungsang IV

8.488,26 - Budidaya tradsional

berupa tambak kerrang;

- Pemanfaatan tradisional

sumberdaya perairan

terbatas untuk jenis ikan,

udang yang tidak

dilindungi;

- Pemanfaatan tradisional

sumberdaya perairan

terbatas untuk jenis ikan,

udang, kerang yang tidak

dilindungi.

10. TN Merapi 2 kelompok 88,8 Pemugutan HHBK

11 Ditjen KSDAE Kementerian LHK, data sampai Maret 2019.

Page 32: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

32

No. Lokasi Jumlah

Kelompok Luas (ha) Kegiatan

11. TN Gunung Gede

Pangrango

5 kelompok 94,35 Pemungutan HHBK

12. TN Bantimurung

Bulusaraung

9 kelompok 916,70 Pemanfaatan SDA di zona

tradisional

13. Taman Buru Gunung

Masigit Kareumbi

11 kelompok 1.100 Pemungutan getah pinus

Kemitraan Konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem telah dilakukan di 3 Taman Nasional, yaitu

TN Gunung Lesuer, TN Kelimutu dan TN Bogani Nani Wartabone. Luas areal pemulihan ekosistem

di ketiga taman nasional mencakup 604 ha dan 17 kelompok.

Tabel 6 Lokasi-Lokasi Kemitraan Konservasi dalam Rangka Pemulihan Ekosistem12

No. Lokasi Jumah Kelompok Jumlah KK Luas (ha)

1. TN Gunung Leuser 13 kelompok 462 KK 496,99

2. TN Kelimutu 2 kelompok 85 KK 39,00

3. TN Bogani Nani

Wartabone

2 kelompok - 22,00

Peta sebaran Kemitraan Konservasi bisa dilihat pada Gambar 1, baik untuk Pemberdayaan Masyarakat

maupun untuk Pemulihan Ekosistem.

12 Ditjen KSDAE Kementerian LHK, data sampai Mei 2019.

Page 33: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

33

Gambar 1 Peta Sebaran Lokasi Kemitraan Konservasi dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat dan Pemulihan Ekosistem (s/d Bulan Mei 2019)

Page 34: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

34

B. Implementasi Kemitraan Konservasi di Dua Belas Taman Nasional

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam BAB II, bahwa Studi Literatur ini akan memotret

kemitraan konservasi di enam taman nasional, yaitu: TN Gunung Leuser, TN Bogani Nani Wartabone,

TN Komodo, TN Karimunjawa, TN Kayan Mentarang, dan TN Bantimurung Bulusaraung. Studi

literatur terhadap enam taman nasional ini akan melengkapi data dan informasi yang sudah diperoleh

melalui kajian indepth interview dan FGD yang telah dilakukan di enam taman nasional lainnya, yaitu:

TN Gunung Halimun Salak, TN Gunung Ciremai, TN Meru Betiri, TN Kelimutu, TN Gunung Tambora,

dan TN Sebangau.

B.1. Kemitraan Konservasi di TN Gunung Leuser

Secara yuridis formal, keberadaan TN Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam

Pengumuman Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980. Bedasarkan SK

Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN Gunung Leuser adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri

Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan No. 719/Dj/VII/1/80

tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub-Balai KPA Gunung Leuser dengan isi penting, yaitu

pemberian status kewenangan pengelolaan TN Gunung Leuser kepada Sub-Balai KPA Gunung Leuser.

Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan telah dikeluarkan Keputusan

Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN Gunung Leuser seluas 1.094.692

hektar yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Aceh) dan Provinsi Sumatera

Utara.

B.1.1. Permasalahan yang Terjadi di Kawasan TN Gunung Leuser

Ancaman terbesar yang hingga saat ini belum dapat diselesaikan di TN Gunung Leuser adalah

perambahan untuk pengembangan perladangan atau perkebunan, terutama di wilayah Sumatera Utara,

yaitu di wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah VI Besitang – Bidang Wilayah

III Stabat. Pada wilayah ini, luas perambahan sampai dengan tahun 2014 tercatat sebesar 28.678,60 ha

(TNGL, 2017)13. Selain perambahan kawasan, ada beberapa masalah lain yang terjadi di TN Gunung

Leuser, menurut temuan lapangan Forum Konservasi Leuser tahun 2017 menunjukkan, ada 245 kasus

perambahan, 196 pembalakan hutan, dan 3 pertambangan ilegal yang terjadi di TN Gunung Leuser,

sedangkan pembangunan jalan di TN Gunung Leuser mencapai 24 kasus dengan panjang sekitar 67

Kilometer.14

B.1.2. Proses Membangun Kemitraan Konservasi dan Kerjasama

Kerjasama yang telah dan sedang berjalan antara Balai Besar TN Gunung Leuser dengan mitra sebagai

bagian dari pengelolaan kolaboratif. Dalam proses kerjasama, mitra merupakan bagian yang mendukung

implementasi kerjasama atau kemitraan yang ada di BB TN Gunung Leuser, mitra tersebut adalah

Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia, Forum Konservasi Leuser (FKL), Orangutan

Information Center (OIC), USAID LESTARI.15

1. WCS Indonesia merupakan mitra yang berkegiatan dalam patroli pengamanan kawasan

menggunakan SMART Patrol.

13 Buku Belajar Dari Lapangan Kisah Keberhasilan Pemulihan Ekosistem di Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam secara Partisipatif 14 Perambahan, Ancaman Serius yang Terjadi di Taman Nasional Gunung Leuser,

https://www.mongabay.co.id/2018/02/20/perambahan-ancaman- serius-yang-terjadi-di-taman-nasional-

gunung-leuser/ 15 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019

Page 35: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

35

2. FKL melakukan kegiatan pengamanan kawasan dan monitoring, membantu kegiatan penanaman

dalam pemulihan ekosistem dalam pembibitan dan sarana prasarananya membantu dan

memfasilitasi dalam pemulihan ekosistem untuk pembibitan serta sarana dan prasarananya.

3. OIC berkegiatan untuk penyelamatan orangutan, membantu dan memfasilitasi dalam pemulihan

ekositem untuk pembibitann serta sarana dan prasarananya.

4. USAID Lestari membantu berkegiatan dalam pengelolaan TNGL secara kolaboratif, dan saat

ini membantu dalam memfasilitasi untuk kegiatan pemulihan ekosistem.

Persoalan konflik tenurial dan akses petugas ke dalam kawasan yang rawan tindak pidana kehutanan,

bisa diselesaikan dengan adanya Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, sehingga hadirnya Perdirjen

tersebut merupakan solusi bagi BTNGL.16

Pada bulan Oktober 2018 telah ditandangani Perjanjian Kerja Sama dengan 13 KTHK dan pada bulan

Mei 2019 telah ditandatangai Perjanjian Kerja Sama dengan 4 KTHK, sehingga di TN Gunung Leuser

saat ini ada 17 Perjanjian Kerja Sama dengan skema pemulihan ekosistem. Berikut ringkasan dari 17

PKS di TNGL dapat dilihat dalam Tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7 Ringkasan Perjanjian Kerjasama di TN Gunung Leuser17

No Lokasi Kegiatan Kelompok Luas

(ha)

Jumlah

KK

1 Resort Lawe

Malum, SPTN Wil.

IV, BPTN Wil. II

BBTNGL

Desa Lawe Malum,

Kecamatan Babul

Rahmah Kabupaten

Aceh tenggara

Provinsi Aceh

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK)

MARSADA

57

31

2 Resort Lawe

Malum, SPTN Wil.

IV, BPTN Wil. II

BBTNGL

Desa Lawe Malum,

Kecamatan Babul

Rahmah Kabupaten

Aceh tenggara

Provinsi Aceh

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) TENDA

BIRU

36.2

23

3 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK)

SEJAHTERA

86.05

39

16 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019. 17 Data KSDAE tentang Kemitraan Konservasi Dalam Rangka Pemulihan Ekositem.

Page 36: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

36

No Lokasi Kegiatan Kelompok Luas

(ha)

Jumlah

KK

4 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) KARYA

LESTARI

85.01

40

5 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK)

MANDIRI

76.55

37

6 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) MEKAR

55

29

7 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) BAMBAN

SEJAHTERA

40,082

34

8 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) BAMBAN

MAKMUR

69,9013

36

9 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) BINA

LINGKUNGAN

62,80684

34

Page 37: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

37

No Lokasi Kegiatan Kelompok Luas

(ha)

Jumlah

KK

Prop. Sumatera

Utara

10 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) BINA

LESTARI

101.29

51

11 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) CINTA

MAKMUR

58,8069

34

12 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK)

MAKMUR TANI

70,098

43

13 Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kemitraan

Konservasi dalam

Rangka Perlindungan,

Pemulihan Ekosistem

dan Pemanfaatan

secara Lestari

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) MAWAR

32,896

31

14 Resort Marpunge

SPTN Wil III,

Blankejeran

Kecamatan Puteri

Betung, Kabupaten

Gayo Lues Prop.

Sumatera Utara

Kemitraan

Konservasi

Penguatan Fungsi

Dalam Rangka

Pemulihan Ekositem

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) Aih

Gumpang

15 Resort Marpunge

SPTN Wil III,

Blankejeran

Kecamatan Puteri

Betung, Kabupaten

Gayo Lues Prop.

Sumatera Utara

Kemitraan

Konservasi

Penguatan Fungsi

Dalam Rangka

Pemulihan Ekositem

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) Aih Kais

Page 38: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

38

No Lokasi Kegiatan Kelompok Luas

(ha)

Jumlah

KK

16 Resort Marpunge

SPTN Wil III,

Blankejeran

Kecamatan Puteri

Betung, Kabupaten

Gayo Lues Prop.

Sumatera Utara

Kemitraan

Konservasi

Penguatan Fungsi

Dalam Rangka

Pemulihan Ekositem

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) Aih Nuso

17 Resort Marpunge

SPTN Wil III,

Blankejeran

Kecamatan Puteri

Betung, Kabupaten

Gayo Lues Prop.

Sumatera Utara

Kemitraan

Konservasi

Penguatan Fungsi

Dalam Rangka

Pemulihan Ekositem

Kelompok Tani

Hutan Konservasi

(KTHK) Gunung

Kemiri

Proses kerjasama ini dilatar belakangi oleh banyaknya kelompok yang menggarap kawasan menjadi

kebun, sehingga hal ini perlu penyelesian konflik yang sesuai dengan karakteristik dan kegiatan

masyarakat. Proses yang paling banyak dibutuhkan dalam memulai kerjasama ini yaitu proses

pendekatan dan pemberian pemahaman terhadap kelompok masyarakat, sehingga diperlukan dukungan

dari tokoh masyarakat dalam menyusun dan menerapkan strategi pendekatan, adapun langkah-langkah

yang dilakukan oleh staf TN Gunung Leuser yaitu:18

1. Identifikasi tokoh masyarakat (local champion) yang kompeten dan dapat menjadi jembatan

komunikasi antara UPT dengan kelompok masyarakat.

2. Selalu menjaga intensitas dan frekuensi komunikasi antara petugas dengan kelompok

masyarakat.

3. Mengikutsertakan kelompok masyarakat dalam setiap pembahasan rancangan pengelolaan areal

kemitraan konservasi.

4. Mengikutsertakan mitra (LSM, akademisi atau sektor swasta) dalam proses kemitraan

konservasi.

Perlindungan dan pengamanan hutan memiliki beberapa bentuk atau cara penanggulangan terhadap

gangguan kawasan hutan yaitu preemtif, preventif, represif, dan yustisi dalam rangka penanganan kasus.

Penjelasannya sebagai berikut:19

1. Kegiatan Preemtif adalah kegiatan dalam upaya penciptaan kondisi yang kondusif dengan tujuan

menumbuhkan peran aktif masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan. Kegiatannya dapat

berupa melakukan inventarisasi potensi masalah, anjangsana/kunjungan ke tokoh masyarakat,

gladi posko pengendalian perlindungan dan pengamanan kawasan.

2. Kegiatan Preventif adalah segala kegiatan yang dilaksanakan untuk mencegah terjadinya

gangguan keamanan kawasan dan hasil hutan. Bentuk kegiatan preventif, terdiri dari: melakukan

penjagaan di pos jaga daerah tertentu, melakukan patroli guna menjaga keutuhan kawasan hutan

dan mencegah terjadinya tidak pidana kehutanan, dan melakukan pemeriksanaan peredaran

satwa dan tumbuhan.

3. Kegiatan Represif adalah kegiatan penindakan dalam rangka penegakan hukum dimana situasi

dan kondisi gangguan keamanan kawasan hutan telah terjadi dan cenderung terus berlangsung

atau meningkat sehingga perlu segera dilakukan penindakan terhadap pelakunya. Bentuk

18 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019 19 Pengamanan Kawasan,http://gunungleuser.or.id/perlindungan-pengamanan/pengamanan-kawasan/

Page 39: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

39

kegiatan represif, terdiri dari operasi pengamanan hutan dan penanganan tersangka serta

barang bukti, yang dilakukan oleh intelijen, fungsional, dan gabungan khusus.

Setelah adanya Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, penyelesian konflik tidak lagi dengan tindakan atau

kegiatan preventif maupun represif tetapi melalui tindakan atau kegiatan preemitif dengan cara

melakukan kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem. Peran pemerintah provinsi juga

dalam hal ini bisa memperkuat Perdirjen KSDAE No.6 Tahun 2018, dimana ada Peraturan Gubernur

yang mengatur penyelesaian konflik tenurial di kawasan konservasi, sehingga Perdirjen KSDAE No. 6

Tahun 2018 merupakan alat untuk penyelesaian konflik tersebut dengan cara yang damai.20

Selain latar belakang permasalahan yang dihadapai, hasil restorasi ekosistem TN Gunung Leuser,

khususnya di blok hutan Sei Serdang – Resort Cinta Raja, telah dievaluasi oleh Puslitbang Konservasi

dan Rehabilitasi – Badan Litbang Kehutanan (2014) bekerjasama dengan UNESCO Jakarta Office,

dengan kesimpulannya sebagai berikut:21

1. Intensifnya kegiatan di lokasi disertai dengan upaya patroli rutin pencegahan gangguan kawasan,

merupakan faktor yang mendorong keberhasilan restorasi.

2. Kegiatan restorasi memberikan dampak positif terhadap proses suksesi alami areal sekitarnya

dan menumbuhkan pemahaman masyarakat sekitar terhadap pentingnya ekosistem TN

Gunung Leuser.

3. Setelah 4 tahun restorasi, kerapatan jenis tanaman dikategorikan sangat baik.

4. Pemilihan jenis tanaman berdasarkan perbedaan tempat tumbuh sangat disarankan karena

kemampuan adaptasi jenis tanaman sangat berbeda.

5. Suksesi alam berlangsung lebih cepat dibandingkan hasil penanaman. Pemilihan jenis-jenis

toleran sangat disarankan untuk mempercepat suksesi alam menuju kondisi klimaks.

6. Semakin dekat jarak lokasi restorasi dengan hutan alam di sekitarnya, suksesi berlangsung lebih

cepat.

7. Restorasi ekosistem di Sei Serdang dapat dijadikan model restorasi ekosistem di lokasi lain di

TN Gunung Leuser.

Keberhasilan yang sudah dilakukan di hutan Sei Serdang juga menjadi salah satu faktor pendorong TN

Gunung Leuser untuk mereplikasi di wilayah TN Gunung Leuser yang lain.

Manfaat yang didapatkan TN Gunung Leuser dengan adanya Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018,

antara lain (1) Keterlibatan masyarakat dalam pemulihan kawasan; (2) Petugas dapat mengakses

wilayah-wilayah rawan dalam kawasan; (3) Membatasi perluasan lahan garapan masyarakat dalam

kawasan; dan (4) Keterlibatan kelompok masyarakat dalam pengamanan kawasan.22

Selain kemitraan konservasi yang saat ini baru diimplementasikan, TN Gunung Leuser juga pernah

membangun proses kerjasama melalui pengelolaan ekowisata dengan masyarakat seperti di Tangkahan

melalui Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) dan Bukit Lawang.

1. Tangkahan

Tangkahan memiliki Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT), yaitu sebuah lembaga masyarakat lokal

yang dibentuk atas kesepakatan bersama Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang, Kecamatan

Batang Serangan pada tanggal 20 April 2001. Lembaga ini dibentuk untuk merencanakan dan

mengelola kawasan ekowisata Tangkahan. Pembentukan LPT ini juga atas dasar kesadaran

20 Diskusi Kemitraan Konservasi tanggal 16 Mei 2019 di Kantor LATIN. 21 Buku Belajar Dari Lapangan Kisah Keberhasilan Pemulihan Ekosistem di Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam secara Partisipatif. 22 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNGL tanggal 18 Mei 2019

Page 40: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

40

masyarakat untuk bisa mendapatkan suatu alternatif peningkatan ekonomi diluar penebangan kayu

ilegal. Ekowisata menjadi pilihan mereka karena mengajak semua pihak untuk saling bekerja sama,

serta mengedepankan sisi kemanusiaan, sosial dan budaya masyarakat. Gerakan alternatif ini

diharapkan dapat memiliki fungsi dan soslusi bersama, dimana tujuan pelestarian TNGL tercapai,

pemberdayaan dan penguatan perekonomian masyarakatpun dapat ditingkatkan (Burhanudin,

2012).23

Kelembagaan yang dibangun LPT menjadikan Tangkahan sebagai kawasan ekowisata yang menarik

untuk dikunjungi. Keberhasilan proses membangun kerjasama di Tangkahan selain ada dukungan

dari BTNGL, ada juga mitra yang membantu dalam hal fasilitasi pengelolaan wisata dengan

kelompok oleh Indecon24. Lembaga kolaboratif lainnya dalam pengelolaan pariwisata Tangkahan

Conservation Response Unit (CRU) yang berperan dalam kegiatan monitoring hutan dan

penyediaan paket wisata safari gajah untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di kawasan

Ekowisata Tangkahan.

Mitra lain seperti FFI dengan program elephant trekking-nya, Indecon yang mendampingi beberapa

tahun untuk desain tapak dan menyemangati LPT, untuk bergerak mendorong pengelolaan wisata.

Yang tidak kalah pentingnya adalah adanya beberapa tokoh muda yang terus melakukan upaya-

upaya penguatan kelembagaan lokal dan menjaga momentum pergulatan intelektual, terutama di

sepanjang awal pembentukan LPT. Intelektualisme yang diterjemahkan ke dalam banyak konsep

antara lain kemandirian desa sebagai yang banyak dicita-citakan, sebagai daerah otonomi penuh.

Bagaimana desa menguasai kembali sumberdaya lokal dan tidak dikendalikan oleh pihak luar, dan

sebagainya. Konsep-konsep ini secara tidak langsung telah menyumbangkan, melatari dan mewarnai

pola hubungan masyarkat-taman nasional, yang semakin harmonis dan saling bersinergi, selain itu

di Tangkahan ada Local Champions yang mempunya spirit mencintai hutan sangat kental dan dijiwai

dengan sepenuhnya oleh Wak Yoen (Wiratno, 2013).25

2. Bukit Lawang

Wisata alam Bukit Lawang menjadi andalan di Leuser dikarenakan memiliki daya tarik satwa langka

Orangutan Sumatera semi liar dan panorama hutan hujan tropis. Bukit Lawang atau lebih dikenal

sebagai Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera berada di Desa Perkebunan Bukit Lawang, Bahorok

Langkat Sumatera Utara. Areal ini memiliki luas 200 hektar. Pada awalnya, Bukit Lawang merupakan

pusat rehabilitasi orangutan. Namun seiring dengan perkembangannya, daerah ini berkembang

menjadi Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera atau Viewing Centre. Saat ini Bukit Lawang

menjadi obyek wisata andalan di Sumatera Utara yang ramai dikunjungi wisatawan nusantara dan

mancanegara.26

Keterlibatan masyarakat di Bukit Lawang sangat tinggi, hal ini dengan dibuktikan jumlah masyarakat

yang terlibat cukup banyak, yaitu sekitar 200-an, berkembangnya wisata Bukit Lawang juga

dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat yang terbuka terhadap orang luar sehingga seringkali

mendapat transfer pengetahuan dari keterbukaan.27

B.1.3. Pembelajaran (Lessons Learned)

23 Buku Review Tata Ruang Ekowisata Tangkahan tahun 2012 24 Diskusi dengan Dosen Fakultas Kehutan IPB tanggal 10 Mei 2019 25 Buku Pembelajaran Dari Tangkahan tahun 2013 26 Bukit Lawang, http://gunungleuser.or.id/jasa-lingkungan/wisata-alam/bukit-lawang/ 27 Diskusi dengan Dosen Fakultas Kehutanan IPB tanggal 10 Mei 2019

Page 41: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

41

Proses membangun kemitraan konservasi dan kerjasama yang terjadi di TN Gunung Leuseur

menghasilkan banyak pembelajaran, antara lain:

1. Modal pengalaman dalam restorasi kawasan yang pernah dilakukan merupakan bagian dari

semangat untuk melakukan kemitraan konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem.

2. Merubah cara pendekatan kepada masyarakat dalam menangani konflik dari preventif menjadi

preemtif, sehingga masyarakat tidak lagi menjadi takut dengan staf Balai Besar TN Gunung

Leuser yang dulu dianggap sebagai petugas.

3. Pelibatan kelompok masyarakat kemitraan konservasi di dalam kegiatan pengamanan kawasan,

dalam rangka melindungi areal kemitraan konservasi serta mensosialisasikan program

kemitraan konservasi pada kelompok masyarakat lainnya. Selain itu, kelompok masyarakat

kemitraan konservasi didorong atau dilibatkan dalam peningkatan kapasitas melalui kegiatan

pendidikan pelatihan maupun studi banding.

4. Adanya local champions di masyarakat yang dijadikan sebagai modal sosial untuk membangun

kepercayaan serta kesadaran masyarakat dalam mengelola kawasan sebagai kawasan yang perlu

dijaga dan dimanfaatkan sesuai aturan yang berlaku.

5. Menggunakan local champions sebagai jembatan penghubung untuk terjadinya komunikasi yang

baik antara masyarakat dan Balai Besar TN Gunung Leuser, terutama untuk membangun

komunikasi dengan masyarakat yang berkonflik.

6. Memberikan kapasitas dan pengetahuan kepada local champions, dan memberikan kesempatan

kepada local champions sebagai narasumber dalam berbagai cara, sehingga akan terjadi rasa

bangga dan meningkatan kepercayaan diri untuk membagikan pengetahuannya kepada

kelompok masyarakat.

7. Menjaga intensitas dan frekuensi komunikasi antara petugas dengan kelompok masyarakat,

dengan komunikasi yang efektif dan baik, terutama dalam memnyampaian aturan yang berlaku.

8. Merangkul berbagai elemen masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengelolaan kawasan secara

menyeluruh, dengan tujuan untuk menghindari konflik internal diantara kelompok masyarakat.

B.1.4. Tantangan

Dalam membangun proses kerjasama selain pembelajaran yang bisa diambil, terdapat juga tantangan

yang dihadapi, diantaranya:

1. Perlu merubah pola perilaku petugas di lapangan dalam penanganan konflik tenurial yang

sebelumnya lebih banyak menggunakan upaya yang bersifat represif.

2. Menyepakati pemahaman dan persepsi terhadap Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, baik di

dalam internal Balai Besar TN Gunung Leuser maupun ditingkat masyarakat.

3. Minimnya pengetahuan bagi staf Balai Besar TN Gunung Leuser dalam penyampaian komunikasi

yang baik dan efektif.

4. Konflik di internal kelompok masyarakat atau bahkan dengan kelompok lainnya yang seringkali

menghambat dalam kegiatan yang sudah direncanakan dalam RPP dan RKT.

5. Belum optimalnya kerjasama multipihak dalam hal pembagian peran.

6. Dalam pemulihan ekosistem, ada kewajiban UPT untuk mengalihkan mata pencaharian atau

mencari alternatif ekonomi baru bagi masyarakat agar tidak bergantung kepada kawasan. Hal

ini membutuhkan proses yang panjang dan tidak mudah, sehingga peran berbagai pihak sangat

diperlukan terkait hal tersebut.

B.2. Kemitraan Konservasi di TN Bogani Nani Wartabone: Penerapan Resort Based

Management untuk Persiapan Kemitraan Konservasi

B.2.1. Permasalahan yang Terjadi di Kawasan TN Bogani Nani Wartabone

Page 42: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

42

Permasalahan utama TNBNW adalah illegal logging dan perambahan hutan untuk pertanian. Konflik

antara Taman Nasional dengan masyarakat terjadi karena sebelum ditetapkan sebagai taman nasional,

masyarakat sudah berada di kawasan tersebut, bahkan pendatang dari Minahasa dan transmigrasi dari

Jawa dan Bali sudah ada sejak tahun 70-an. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tim Epass dan

penelitian lain menyebutkan bahwa 72% masyarakat sekitar TNBNW tergolong miskin dengan

penghasilan antaran Rp.500.000-Rp.1.000.000. Kondisi tersebut menjadi penyebab tekanan terhadap

kawasan taman nasional untuk kebutuhan lahan pertanian dan illegal logging. Pendekatan penegakan

hukum pada masa sebelumnya tidak cukup efektif untuk mengatasi perambahan dan illegal logging.

Permasalahan yang terjadi, tidak terlepas dari tata kelola Taman Nasional yang masih belum baik. Hal

ini digambarkan dengan jelas dalam buku berjudul “Shelter” pada paragraph pertama bagian

Pendahuluan, yang menyatakan, “Hingga akhir tahun 2015, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone

(TNBNW) masih menerapkan sistem kelola baku terhadap output dan proyek yang terpusat. Sistem

pengelolaan organisasi yang bersifat “Balai Based Management” membuat resort sebagai unit

pengelolaan terkecil yang bersentuhan langsung dengan lapangan (selama ini didengungkan sebagai ujung

tombak pengelolaan) menjadi tidak efektif. Petugas resort secara organisasi dan individu menjadi

inferior, tidak berdaya, dan kurang kreatif. Sistem ini juga membuat ujung tombak pengelolaan menjadi

ujung tombak yang tumpul. Output secara kegiatan tercapai, namun tidak memberikan dampak atau

outcome yang diharapkan.

B.2.2. Proses Membangun Kemitraan Konservasi dan Kerjasama

Kerjasama-kerjasama yang terjadi di masyarakat dibangun dengan proses yang panjang terkait isu

perkembangan dan konflik yang terjadi di kawasan TNBNW. Kerjasama yang terjadi antara TNBNW

dengan masyarakat merupakan hasil atau efek dari RBM dan filosofi shelter dimana ada empat tiang

satu atap.28 “Membangunkan pengelolaan berbasis tapak di TN Bogani Nani Wartabone, bagaikan

membuat shelter yang terdiri 4 (empat) tiang dan 1 (satu) atap. TIANG berupa unsur-unsur

membangunkan paradigma, membangunkan komitmen bersama, membangunkan jejaring dalam

pengelolaan, dan membangunkan sistem umpan balik. Sedangkan ATAP dimaksud adalah

membangunkan kepemimpinan yang mengayomi.

Resort Based Management (RBM) Disepakati Sebagai Sistem

Pengelolaan yang berbasis tapak/resort melalui RBM disepakati sebagai sebuah sistem, sehingga tidak

akan berpengaruh dengan pergantian pimpinan (Kepala Balai). Petugas harus kembali ke lapangan dan

petugas harus merangkul masyarakat.

Balai TN Bogani Nani Wartabone menerapkan RBM yang merupakan salah satu kebijakan Kementerian

Kehutanan Republik Indonesia yang ditargetkan dapat diimplementasikan disemua UPT Taman

Nasional. Resort merupakan garda terdepan dalam sebuah pengelolaan taman nasional. Orang-orang

yang berada di resort harus berhubungan langsung dengan masyarakat, baik itu masyarakat yang tinggal

di dalam atau disekitar taman nasional, maupun masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan ilegal di

dalam sebuah kawasan konservasi. Melalui 10 cara baru kelola kawasan konservasi, maka masyarakat

diposisikan sebagai subjek dalam pengelolaan kawasan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip HAM,

sehingga dalam penyelesaian masalah dan upaya pelestarian TNBNW, selalu didahului dengan dialog

dan komunikasi dengan masyarakat. Pemulihan ekosistem kolaboratif ini merupakan salah satu upaya

resolusi konflik yang mengedepankan masyarakat sebagai pelaku dalam upaya pelestarian TNBNW

dengan didukung oleh Balai TNBNW. Secara Konsisten pendekatan RBM dilaksanakan TNBNW

dengan bantuan proyek EPASS. Berbagai pelatihan, studi banding, penerapan di lapangan dilakukan

secara konsisten.

28 Diskusi dengan Unit Pengelola/Balai TNBNW tanggal 9 Mei 2019.

Page 43: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

43

Box 8 Sejarah Terbangunnya RBM di TNBNW

Pada dekade 1980 dan 1990an, petugas taman nasional dikenal oleh

masyarakat umum dengan sebutan “PPA” yang merupakan singkatan

Perlindungan dan Pengawetan Alam, sebuah direktorat dalam lingkup

Departemen Pertanian saat itu, yang membawahi pengelolaan sebuah

kawasan konservasi. Pada saat itu, setiap petugas memiliki dedikasi tinggi

dalam menjaga kawasan konservasi di wilayah tugasnya. Mereka bahu

membahu antar petugas mengawasi wilayahnya dan selalu menyusun

laporan harian. Namun sejak penganggaran pengelolaan kawasan konservasi

dilakukan melalui mekanisme keproyekan (Proyek APBN, DIK-S DR

maupun DIK-S PSDH) yang dimulai pada 1998, berangsur-angsur telah

mengubah mentalitas petugas dalam bekerja menjaga kawasannya. Untuk

itulah, nilai-nilai positif masa lalu tersebut perlu digali dan dihidupkan

kembali. Untuk membangunkan nilai-nilai dimaksud, maka Balai TNBNW

pun bergerak.

Pada periode 2015–2017, dilakukan serangkaian kegiatan strategis dalam

rangka menguatkan paradigma pengelolaan berbasis tapak atau RBM ini.

Beberapa kegiatan tersebut seperti Lokakarya RBM di Manado (Desember

2015), Lokakarya Penyusunan Rencana Pengelolaan Berbasis Tapak di

Kotamobagu (September 2016), serta studi banding beberapa staf

TNBNW ke taman nasional lain untuk memahami sistem kerja RBM. Studi

banding ke TN Alas Purwo (Agustus 2017), dititikberatkan pada cara kelola

yang dijiwai oleh seluruh petugasnya hingga di tingkat tapak. Sedangkan

studi banding ke TN Bukit Barisan Selatan (September 2017), lebih

menitikberatkan pada sistem patroli dan penerapan aplikasi Spasial Monitoring and Reporting Tool (SMART) dalam mendukung sistem

pengelolaan informasi kawasan.

Salah satu semangat RBM juga adalah komiten untuk menjalankan sikap

keterbukaan, saling percaya, dan kekompakan. Keterbukaan adalah

keterbukaan yang benar-benar terbuka. Petugas tahu pembiayaan kegiatan

yang ada dan tahu apa yang akan dilakukan dengan target yang jelas. Hal ini

memunculkan kejelasan sikap kerja antar petugas resort. Sedangkan saling

percaya harus terjadi di antara petugas, antara staf dengan pimpinannya,

maupun antara petugas dengan mitra yang terlibat dalam pengelolaan.

Keterbukaan dan saling percaya inilah yang akan membangun dan

menguatkan kekompakan tim (Nistyantara, 2018).29

Anjangsana Ke Masyarakat

Kegiatan-kegiatan RBM yang dilakukan sangat membantu dalam proses membangun kerjasama, dimana

data yang dihasilkan bisa menjadi basis data untuk merencanakan pengelolaan kawasan. Dalam RBM

terdapat salah satu kegiatan berupa anjangsana kepada masyarakat yang dilakukan sebulan sekali.

Kegiatan anjangsana yang dilakukan staf resort menjadikan salah satu cara pendekatan dalam

membangun komunikasi yang intens dengan masyarakat, sehingga menumbuhkan tingkat kepercayaan

yang tinggi antara masayarakat dan Balai TN Bogani Nani Wartabone.

29 Buku Rumah Bersama Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Pengalaman dan Pembelajaran

Bersama dalam Penerapan Pengleolaan Berbasis Tapak

Page 44: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

44

Menggalang Dukungan Dari Pemangku Kepentingan (Stakeholders)

Dukungan dari berbagai pihak dijadikan sebagai modal eksternal yang digunakan untuk pengelolaan

kawasan secara multipihak. Hal ini juga mendorong atau mempercepat proses kerjasama dengan

masyarakat, sehingga bisa berbagi peran dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan.

Adapun dukungan-dukungan yang sudah terjalin sekarang yaitu:

1. Dukungan dari NGO yanga ada disekitar TNBNW sangat membantu dalam proses

kesepakatan dan kerjasama kelompok masyarakat difasilitasi oleh EPASS Project dan beberapa

lembaga swadaya masyarakat lokal, Suara Bobato, Yayasan Rimbawan, dan Japesda Gorontalo.

2. Dukungan dari Pemerintah daerah Gorontalo melalui MoU dalam kegiatan wisata untuk

pengembangan sarana dan prasarana, dan sedang ditindaklanjuti menjadi PKS dengan dinas

pariwisata.

3. Masyarakat mengundang pihak Balai TNBNW dalam kegiatan Musyawarah Perencanaan

Pembangunan (Musrenmbang), sehingga kegiatan-kegiatan yang sudah direncanakan bisa

diajukan untuk masuk dalam ADD.

Membangun Kapasitas Masyarakat

Kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui wisata dilakukan dengan mekanisme Perjanjian Kerjasama

(PKS) bukan dengan izin. Hal ini dilakukan dengan harapan kelompok masyarakat bisa belajar dan

memperisapkan diri dalam mengelola wisata dengan baik dibawah bimbingan TNBNW, sehingga

kedepannya ketika PKS ini berubah menjadi izin maka masyarakat sudah memiliki kesiapan dan kapasitas

yang mumpuni untuk mengelola wisata dengan baik.

Membangun Etos Kerja Petugas Balai TNBNW

Etos kerja yang tinggi yang terbangun pada staf Balai TNBNW. Etos kerja staf Balai TNBNW yang

dibangun adalah:

1. Saling membantu dan belajar, seperti polhut dapat melakukan pengenalan jenis burung, PEH

dapat pula melakukan penyuluhan sedangkan penyuluh dapat pula memiliki kemampuan

mendata lokasi perambahan, sementara polhut pun mampu membuat SPJ, dll.

2. Semangat, transparan dan kompak dalam mencapai target resort, karena target resort jelas

dan biaya yang teralokasikan diketahui seluruh petugas resort.

3. Menanggapi berbagai keluhan masyarakat, dan dapat memberikan solusi melalui pendekatan 10

cara baru kelola kawasan, yaitu pendekatan non-litigasi dengan pembentukan kelompok-

kelompok masyarakat.

4. Perencana mengajukan kegiatan berdasarkan data hasil kerja nyata resort yang terbarukan.

5. Setiap petugas dituntut untuk mau saling berbagi dan belajar, sehingga saling terseret dan

terajak antar petugas untuk bekerja.

6. Masing-masing unit/pegawai selalu belajar dan berpikir, “Saya akan mendukung di bagian mana

terkait sistem RBM ini?”

7. Mempunyai “rasa handarbeni”, sehingga menimbulkan sikap percaya diri petugas karena

jelasnya kewenangan dan target.

Mencari Local Champion

Adanya local champion yang dijadikan sebagai modal sosial untuk membangun kepercayaan serta

kesadaran masyarakat dalam mengelola kawasan sebagai kawasan yang perlu dijaga dan dimanfaatkan

sesuai aturan yang berlaku.

Membangun Komunikasi dengan Pemangku Kepentingan (Stakeholders)

Page 45: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

45

Terbangunnya komunikasi yang intens antara stakeholder, sehingga tercipta komunikasi yang

memberikan kesempatan terbuka. Kesempatan terbuka ini bisa menghasilkan jejaring komunikasi

dengan berbagai stakeholder.

Memberikan Apresiasi

Adanya bentuk rewards atau apresiasi kepada staf terutama resort dengan cara mempublikasikan hasil

kerja mereka, sehingga timbul rasa bangga dan rasa dihargai atas pencapaian yang sudah dilakukan.

Menyepakati Kerjasama

Perjanjian Kerjasama yang sudah ditandatangani pada tanggal 20 Juli tahun 2018 di Tambun, Desa

Pinonobatuan, Bolaang Mongondow. TNBNW, Lingkup kerjasama ini meliputi bidang pemberdayaan

masyarakat dan pemulihan ekosistem. Beberapa kelompok mendorong pengembangan ekowisata

sedangkan beberapa kelompok lain secara swadaya akan membantu meningkatkan kelestarian maleo

sebagai satwa penting taman nasional dalam bentuk pemulihan ekosistem hutan sebagai koridor

maleo.30

Kelompok masyarakat yang menandatangani perjanjian kerjsama terdiri dari tujuh kelompok yang

terdiri dari dua kelompok dengan kegiatan pemulihan ekosistem yang ditandatangani pada bulan Mei

2018, dan 5 kelompok dengan kegiatan pengelolaan wisata yang ditandatangani pada bulan Juli 201831.

Tujuh perjanjian kerjasma tersebut didasari oleh aturan Permenhut No. P.85 Tahun 2014 tentang Tata

Cara Kerjasama Penyelangaraan KSA dan KPA dalam rangka penguatan fungsi32. Hal ini atur dalam Pasal

6 ayat (1) yang berbunyi: kerjasama dalam rangka penguatan fungsi KSA dan KPA serta konservasi

keanekaragaman hayati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, antara lain berupa:33

1. kerjasama penguatan kelembagaan;

2. kerjasama perlindungan kawasan;

3. kerjasama pengawetan flora dan fauna;

4. kerjasama pemulihan ekosistem;

5. kerjasama pengembangan wisata alam; atau

6. kerjasama pemberdayaan masyarakat.

Berikut daftar ringkasan tujuh Perjanjian Kerjasama (PKS) yang sudah ada di TNBNW tersaji dalam

Tabel 8.

Tabel 8 Ringkasan Tujuh Perjanjian Kerjasama di TNBNW34

No Lokasi Kegiatan Kelompok Luas (ha)

1 Resort Bolango, SPTN

Wilayah I Limboto, Desa

Tunggulo Kabupaten Bone

Bolango, Provinsi

Gorontalo

Penguatan fungsi

melalui Pemberdayaan

Masyarkat dengan

wisata

Kelompok

Ekowisata

Tinggabu

48

2 Wilayah kerja Resort Tulabolo Pinogu SPTN

Penguatan fungsi

melalui Pemberdayaan

Kelompok Maleo 400

30 Berita KSDAE, http://ksdae.menlhk.go.id/info/4087/beragam-kerjasama-untuk-tn-bogani-nani-

wartabone.html 31 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 32 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 33 Peraturan Menteri Kehutanan RI NOMOR P.85/Menhut-II/2014 34 Dokumen Perjanjian Kerjasama Setiap Kelompok

Page 46: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

46

Wilayah 1 Limboto Desa

Tulabolo, Kecamatan

Suwawa Timur,

Kabupaten Bone Bolango,

Provinsi Gorontalo

Masyarkat dengan

wisata

3 Wilayah kerja Resort Dumoga Timur Lolayan

SPTN Wilayah II Daleduo.

Desa Pinonobatuan,

Kecamatan Domuga

Timur, Kabupaten Bolaang

Mongondow, Provinsi

Sulawesi Timur

Penguatan fungsi

melalui Pemberdayaan

Masyarkat dengan

wisata

Kelompok

Maleoleosan

201

4 Resort Pantai Selatan

SPTN Wilayah II Doloduo,

Desa Molibagu,

Kecamatan Bolaang Uki,

Kabupaten Bolaang

Mongondow Selatan,

Provinsi Sulawesi Utara

Penguatan fungsi

melalui Pemberdayaan

Masyarkat dengan

wisata

Kelompok Modaga

no Suangge

120

5 Resort Eolango, SPTN

Wilayah I Limboto, yang

berada di wilayah

administrasi Desa

Tunggulo, Kecamatan

Tilongkabila, Kabupaten

Bone Bolango, Provinsi

Gorontalo

Penguatan fungsi

melalui Pemberdayaan

Masyarkat dengan

wisata

Kelompok Malahu 31

6 Resort Dumoga Utara,

SPTN Wilayah II Doloduo,

Desa Tapadaka Utara,

Kecamatan Dumoga

Tenggara, Kabupaten

Bolaang Mongondow,

Provinsi Sulawesi Utara.

Penguatan Fungsi

Pengelolaan Kawasan

Bersama Masyarakat

Melalui Kegiatan

Pemulihan Ekosistem

di Zona Rehabilitasi

Kelompok Tani

Hutan Motobatu

7 Resort Dumoga Utara,

SPTN Wilayah II Doloduo,

Desa Tapadaka Utara,

Kecamatan Dumoga

Tenggara, Kabupaten

Bolaang Mongondow,

Provinsi Sulawesi Utara

Penguatan Fungsi

Pengelolaan Kawasan

Bersama Masyarakat

Melalui Kegiatan

Pemulihan Ekosistem

di Zona Rehabilitasi

Kelompok Tani

Hutan Tapak

Linow

BTNBW terus berupaya memaksimalkan potensi-potensi yang ada di kawasan supaya bisa lebih

bermanfaat khususnya untuk masyarakat, hal ini tercermin dari proses-proses yang dilakukan dalam

upaya meningkatkan kerjasama dengan masyarakat dan mengoptimalkan regulasi yang sesuai dengan

kondisi di lapangan. Selain 7 PKS yang sudah ditandatangani, BTNBNW juga sedang berproses dalam

melakukan 9 (sembilan) Perjanjian Kerjasama yang terdiri dari 1 (satu) kegiatan pemulihan ekosistem

di zona rehabilitasi dengan konsep kemitraan konservasi sesuai Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018,

dan 8 (delapan) lainnya berupa kegiatan wisata walupun ada kegiatan pemulihan ekosistemnya dan oleh

Page 47: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

47

pusat diarahkan jadi penguatan fungsi sesuai P.85/Menhut-II/2014 karena kegiatannya berada di dua

zona.35

Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama ini memberikan manfaat bagi kedua pihak, diantaranya untuk

TNBNW. Kawasan TNBNW secara langsung dijaga oleh kelompok masyarakat yang bermitra, sehingga

jika ada tindakan-tindakan dari luar yang tidak boleh dilakukan di dalam kawasan, kelompok masyarakat

akan melaporkan kepada resort atau petugas yang berada di lapangan. Sedangkan manfaat yang

didapatkan oleh kelompok masyarakat yaitu berupa kepastian hukum dalam melakukan kegiatan di

kawasan. Secara ekonomi masyarakat yang berkegiatan dengan skema pemulihan ekosistem di zona

rehabilitasi belum mendapatkan manfaat langsung dari kegiatan ini. Namun Balai TNBNW memberikan

peningkatan kapasitas melalui pelatihan beternak ayam yang juga dibantu difasilitasi oleh EPASS.

Sedangkan dengan skema pemberdayan masyarakat, kelompok masyarakat mendapatkan manfaat

secara langsung dan cepat melalui kegiatan-kegiatan yang mendukung wisata, seperti jasa menjual

makanan.36

Manfaat yang signifikan justru dirasakan oleh petugas Balai TNBNW, berupa perubahan pola pikir

sebagai berikut:37

1. Pendekatan yang digunakan kepada masyarakat berubah dari pendekatan perlindungan,

pengawetan menjadi pendekatan pemanfaatan

2. UPT yang terdiri dari balai, seksi dan resort merupakan sales konservasi yang punya kewajiban

membuat produk konservasi yang sesuai regulasi

3. Tidak memandang permasalahan sebagai sebuah penghambat, tetapi merubahnya menjadi

sebuah kemauan untuk berani memulai

B.2.3. Pembelajaran (Lessons Learned)

Kepemimpinan (Leadership)

Kepemimpinan yang ditunjukkan kepala taman nasional dengan membangun visi bersama diantara

personil. Tiga Prinsip yang dikembangkan Bersama, pertama menetapkan visi yang konkrit pengelolaan

konservasi bersama masyarakat, bila masyarakat sejahtera maka konservasi juga terjaga. Kedua, prinsip

kendali, personil TN mengambil tanggung jawab terhadap apa yang terjadi di lapangan. Ketiga, prinsip

personil memiliki integritas artinya, konsistensi dalam tindakan, metode, ukuran, memiliki pribadi yang

jujur dan memiliki karakter kuat. Prinsip-prinsip leadership ini tidak hanya diajarkan melalui pelatihan,

tetapi selalu menjadi bahan diskusi 3 bulanan dalam rapat staf taman nasional. Sikap kepemimpinan ini

juga diuji sampai staf resort. Staf resort harus sanggup menyelesaikan persoalan di lapangan, baik

masalah teknis maupun masalah sosial di masyarakat.

Keterampilan Teknis dan Sosial

Pada Awalnya staf TN dibekali dengan pelatihan SMART Patrol dan didampingi WCS dalam

penerapannya. Berawal dari pendekatan monitoring berbasis data dan pelibatan masyarakat ini,

kapasitas personil dalam menengahi persoalan-persoalan di masyarakat menjadi semakin baik. Ini adalah

salah satu contoh leadership multi level, dimana resort dapat mengambil keputusan langsung di lapangan

atas data yang dikumpulkan dari kegiatan SMART Patrol.

Fasilitas Kantor dan Peralatan yang Memadai

35 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 36 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 24 April 2019 37 Diskusi dengan Unit Pengelola / Balai TNBNW tanggal 9 Mei 2019

Page 48: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

48

Kantor yang nyaman dan peralatan pendukung (komputer, alat survei/GPS, dll) juga menjadi kunci untuk

mengumpulkan data lapangan dan membuat analisis sebagai bahan untuk pengambilan keputusan yang

akurat.

Rutin Mengadakan Kunjungan ke Masyarakat

Kunjungan rutin ke desa-desa untuk mendiskusikan kemajuan, keluhan, ataupun pengembangan ide-ide

baru berperan penting untuk menjaga komitmen masyarakat terhadap kesepakatan-kesepakatan yang

dibangun dan menguatkan saling percaya antara TNBNW dan masyarakat.

Dukungan Mitra Pendamping

Dukungan lembaga lain (NGO) sangat diperlukan untuk mengisi keterbatasan sumberdaya manusia

yang terbatas, dan melengkapi kapasitas teknis pendampingan masyarakat. Lembaga tersebut

diantaranya: WCS, Yapeka-Bogor, Suara Bobato, Yayasan Rimbawan, dan Japesda Gorontalo.

B.2.4. Tantangan

Dalam membangun proses kerjasama selain pembelajaran yang bisa diambil, terdapat juga tantangan

yang dihadapi, diantaranya:

1. Tantangan dalam internal kelompok yang sering menjadi penghambat dalam membangun

kerjasama, yaitu:

a. Dinamika atau keaktifan kelompok masyarakat yang tidak stabil;

b. Naik turunnya semangat masyarakat dalam melakukan kegiatan yang sudah disepakati;

c. Kelompok masyarkat belum bisa melihat manfaat ekonomi dari kerjasama ini;

d. Masalah internal dalam kelompok yang mempengaruhi dalam melakukan kegiatan.

2. SDM yang dimiliki BTNBNW masih sangat kurang, terutama jumlah penyuluh yang sangat

berperan dalam proses membangun kerjasama.

3. Mengoptimalkan peran stakeholder yang sudah disepakati dalam sebuah kesepakatan untuk

bisa melaksanakan perannya masing-masing.

B.3. Kemitraan Konservasi di TN Komodo: Membangun Kemitraan dengan Pihak Swasta

untuk Pendanaan Berkelanjutan

Perlindungan Komodo pertama kali disahkan dengan dikeluarkan SK Kesultanan Bima tahun 1915,

kemudian dikuatkan Surat Penguasa Daerah Manggarai tahun 1926. Pengesahan Residen Timor tentang

Pembentukan Suaka Margasatwa P. Padar & P. Rinca pada tahun 1939. Pengesahan Kepulauan Komodo

sebagai taman nasional dikeluarkan melalui Pengumuman Menteri Pertanian Tanggal 6 Maret 1980

tentang Pembentukan 5 (lima) TN Pertama di Indonesia, termasuk TN Komodo. Terakhir dikuatkan

dengan Penetapan Taman Nasional Komodo oleh Menteri Kehutanan berdasarkan SK Nomor

SK.306/Kpts-II/1992 tanggal 29 Pebruari 1992, dengan luas 173.300 Ha. Terdiiri dari 118.300 ha berupa

perairan (marine) dan 55.000 ha daratan terdiri dari 6 pulau: Pulau Komodo seluas 31.159 ha, Pulau

Rinca seluas 20.478 ha, Pulau Padar seluas 1.409 ha Pulau Gilimotang seluas 948 ha Pulau Nusakode

seluas 733 ha, dan Pulau-Pulau kecil lainnya seluas 273 ha.

Pada tahun 1999, di dalam kawasan TN Komodo terdapat 4 desa dengan jumlah penduduk 3.267 jiwa,

kemudian di sekitar TN Komodo terdapat 11 desa dengan jumlah penduduk 16.816 jiwa. Ada 4 etnis

yang ada di desa-desa tersebut, yaitu etnis Bajo, Bima, Bugis, Manggarai. Sedangkan dari sisi profesi,

terbagi dalam beberapa profesi seperti nelayan, pengrajin patung, wirausahawan, dan PNS.

B.3.1. Permasalahan yang Terjadi di Kawasan TN Komodo

Ancaman terbesar yang dihadapi TN Komodo adalah:

Page 49: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

49

1. Tekanan populasi penduduk dan peningkatan kebutuhan sumberdaya alam yang meningkatkan

degradasi sumberdaya darat dan perairan.

2. Kegiatan penangkapan ikan yang merusak kawasan TN Komodo dan merupakan ancaman

terbesar bagi sumberdaya perairan.

3. Penangkapan sumberdaya perairan yang berlebihan, terutama jenis-jenis demersal, merupakan

masalah utama.

4. Masuknya spesies non-asli, termasuk anjing, kucing, dan kambing, yang menjadi resiko bagi

jenis-jenis endemik yang terancam punah melalui penularan penyakit, predasi, atau kompetisi.

5. Meningkatkan polusi karena cara pembuangan limbah yang tidak tepat untuk MCK dan sampah,

tumpahan minyak/bahan bakar ke lingkungan perairan, dan sisa pupuk dan pestisida.

6. Habitat daratan saat ini sangat dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan antropogenik di masa lalu.

Kebakaran, baik yang sengaja dibuat oleh para pemburu, atau yang tidak disengaja, merupakan

ancaman besar pada habitat hutan.

7. Banyaknya perburuan rusa, telur penyu, kalong, sarang burung walet, dll.

B.3.2. Proses Membangun Kemitraan Konservasi dan Kerjasama

Strategi kolaborasi kemitraan pertama kali dikembangkan atas kerjasama Balai TN Komodo, The

Nature Conservancy, dan swasta nasional yang bergerak di bidang pariwisata. Kolaborasi tersebut

menghasilkan Komodo Collaborative Management Initiative (KCMI) dan juga berhasil membentuk

usaha patungan PT Putri Naga Komodo (PT PNK), bersama Pemerintah Daerah, masyarakat pariwisata,

dan stakeholder lainnya, dalam kerangka pengelolaan TN Komodo secara berkelanjutan.

KCMI yang diberikan mandat untuk mengusahakan pengelolaan TN Komodo yang efektif dalam jangka

panjang, dalam kerangka organisasinya, terdapat dua organisasi penting, yaitu: Forum Komunikasi

Masyarakat (FKM) dan Komite Pengelolaan Kolaborasi (KPK). FKM dibentuk melalui SK Bupati

Manggarai, sedangkan KPK dibentuk melalui SK Dirjen PHKA (sekarang KSDAE) yang terdiri dari

beberapa unsur (Balai Taman Nasional, Pemda, Perwakilan FKM dan PT. Putri Naga Komodo sebagai

pemegang konsesi di TN Komodo). FKM dan KPK ini dibentuk KCMI guna mendukung dalam

pembuatan keputusan untuk pengelolaan TN Komodo dan mengakomodasi masukan dari berbagai

pihak.

Rencana Kolaborasi Pengelolaan TN Komodo telah didukung oleh berbagai lembaga pemerintah,

swasta, maupun komponen masyarakat, diantaranya: World Bank IFC, GEF, UNESCO, IUCN-World

Conservation Union, Bupati Manggarai, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, dan Menteri Kehutanan.38

Bahkan Menteri Kehutanan memberikan izin prinsip kepada PT PNK untuk melengkapi proposal

rencana karya pengusahaan pariwisata TN Komodo. Namun demikian, pada tahun 2008 izin PT PNK

dicabut karena tidak melaksanakan kegiatan pembangunan sarana prasarana yang disepakati.

Kemudian dalam perkembangannya, berdasarkan PP Nomor 36/2010 dan Permenhut Nomor

P.48/menhut-II/2010 jo. Permenhut Nomor P.4/menhut-II/2012, KSDAE menerbitkan pemberian Izin

Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) kepada PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) di Pulau

Rinca dan PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) di Pulau Komodo dan Pulau Padar. PT SKL

mendapatkan IUPSWA di Pulau Rinca berdasarkan keputusan Kepala BKPM Nomor

7/1/IUPSWA/PMDN/2015 tertanggal 17 Desember 2015 seluas 22,1 hektar (0,1%) dari Pulau Rinca

dan PT KWE mendapatkan IUPSWA berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

SK.796/Menhut-II/2014 tertanggal 23 September 2014 seluas 426,07 hektar, terdiri dari 274,13 hektar

(19%) di Pulau Padar dan 151,94 hektar (0,5%) di Pulau Komodo. Dalam perencanaannya, Pulau Rinca

akan dibangun restoran dan Pulau Padar dan Pulau Komodo dibangun penginapan. Jangka waktu izin ini

adalah 55 tahun dan akan dievaluasi setiap lima tahun sekali. Nilai investasi keduanya rata-rata Rp2-4

38 Fajrudin, Kemitraan Menuju Kolaborasi Pengelolaan TN Komdo, PT Putri Naga Komodo, 2001, hal 1-5.

Page 50: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

50

miliar. PT KWE akan bekerjasama dengan masyarakat Desa Komodo dan Desa Papagarang. Sedangkan

PT SKL bekerjasama dengan masyarakat Desa Pasir Panjang dalam penyediaan jasa pengembangan

wisata alam.39

B.3.3. Pembelajaran (Lessons Learned)

Proses membangun kemitraan konservasi dan kerjasama yang terjadi di TN Komodo menghasilkan

banyak pembelajaran, antara lain:

1. Dukungan banyak lembaga pendamping (TNC, WWF, GEF, RARE, Yayasan Komodo Survival

Program, Swisscontact Wisata Project) dalam bentuk riset, design rencana pengelolaan,

implementasi rencana kelola meningkatkan kualitas pengelolaan TN Komodo dan nilai jual

kekayaan konservasi di mata dunia, serta menciptakan dukungan pendanaan dari banyak donor

asing (World Bank-IFC, USAID, dll).

2. Pengakuan dunia terhadap keunikan TN Komodo melalui penetapan Cagar Biosfer dan

Warisan Alam Dunia oleh UNESCO dan New 7 Wonders of Nature menjadi promosi besar

bagi kunjungan wisatawan mancanegara.

3. Potensi wisatawan yang besar menarik investasi swasta dan meningkatkan Penerimaan Negara

Bukan Pajak (PNBP) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari kunjungan wisatawan.

4. Memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar diantaranya: pembangunan infrastruktur,

penyediaan lapangan kerja pemandu wisata, menyediakkan kerajinan/menjual cinderamata,

mengelola homestay, menyewakan perahu motor, dilatih menjadi kader konservasi.

B.3.4. Tantangan

Dalam membangun proses kerjasama, selain pembelajaran yang bisa diambil, terdapat juga tantangan

yang dihadapi, diantaranya:

1. IUPSWA memerlukan modal besar yang tidak mungkin dimiliki oleh kelompok masyarakat atau

koperasi, bahkan untuk menjadi operator wisata juga membutuhkan modal besar dan

keterampilan tinggi.

2. Mata pencaharian utama mayoritas penduduk di dalam dan sekitar TN Komodo adalah sebagai

nelayan. Pembatasan wilayah tangkapan menyebabkan biaya operasional penangkapan ikan

menjadi sangat mahal, terutama yang jauh dari perkampungan. Di sisi lain, alternatif mata

pencaharian pada sektor pariwisata belum dapat menyerap cukup banyak tenaga kerja, karena

pengetahuan dan keterampilan masyarakat masih rendah. Selain itu, pada musim-musim sepi

wisatawan, masyarakat tidak mendapatkan penghasilan yang cukup, khususnya bagi masyarakat

pengelola penginapan (homestay), cinderemata, dll.

3. Perlu pendekatan (komunikasi, sosialisasi, dan koordinasi) yang lebih intensif mengingat banyak

penolakan dari kelompok masyarakat dan Pemda terhadap pengelolaan TN Komodo.

Berdasarkan hasil kajian SUNSPIRIT-ARC-KPA (2016), telah terjadi marjinalisasi masyarakat

lokal karena aturan pengelolaan TN Komodo. Aturan zonasi membuat masyarakat lokal yang

sebagian besar nelayan tidak boleh sembarangan menangkap ikan. Mereka sering dilabeli

sebagai perusak ekosistem laut. Sementara penguasaan dan bangunan resort wisata di dalam

kawasan TN Komodo diperbolehkan. Bahkan kapal wisata dan operator diving dan snorkeling

bebas memanfaatkan laut dimana saja sehingga mengganggu ekosistem laut khususnya terumbu

karang.

39 Mongabay, KLHK: Pengembangan Wisata Komodo Berprinsip Konservasi dan Libatkan Masyarakat,

Benarkah?, 16 Agustus 2018, diakses dari https://www.mongabay.co.id/2018/08/16/klhk-pengembangan-

wisata-komodo-berprinsip-konservasi-dan-libatkan-masyarakat-benarkah/, pada tanggal 20 Mei 2019 pukul

04.15.

Page 51: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

51

4. Dampak kerusakan kawasan akibat kunjungan wisatawan secara massal. Pelanggaran memasuki

zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari. Di sisi lain, ada keluhan masyarakat dilarang

beraktivitas di kawasan tersebut.

5. Peran serta pemangku kepentingan dalam upaya pengelolaan TN Komodo, khususnya KCMI

yang memiliki 2 organisasi penting di dalamnya (FKM dan KPK) untuk membuat keputusan

pengelolaan dan mengakomodasi masukan dari berbagai pihak pihak, perlu diaktifkan kembali

untuk memastikan aspirasi dan keluhan masyarakat dan anggota dapat diselesaikan.

B.4. Kemitraan Konservasi di TN Karimunjawa

TN Karimunjawa sebelum menjadi taman nasional pada tahun 1986 merupakan Cagar Alam. Pada tahun

1999, melalui SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Pebruari 1999

diubah menjadi taman nasional dengan luas 111.625 ha. Kemudian pada tahun 2012 dilakukan revisi

zonasi yang terdiri dari 9 zona: inti, rimba, perlindungan bahari, pemanfaatan darat, pemanfaatan wisata

bahari, budidaya bahari, religi budaya dan sejarah, rehabilitasi, dan zona tradisional perikanan.

B.4.1. Permasalahan yang Terjadi di Kawasan TN Karimunjawa

Kawasan TN Karimunjawa sebagian besar berupa perairan, dan memiliki karakteristik masyarakat yang

sebagian besar adalah nelayan tangkap. Kondisi ini mengakibatkan tingginya ketergantungan masyarakat

terhadap sumberdaya hayati laut. Hal paling utama yang dirasakan masyarakat adalah adanya penurunan

hasil tangkapan. Penurunan hasil tangkapan diakibatkan oleh pola penangkapan ikan yang tidak lestari,

yaitu pengoperasian alat-alat tangkap yang memiliki efektifitas daya tangkap yang tinggi dengan

selektifitas yang rendah seperti penggunaan jaring muroami dan sianida. Sejak tahun 2006 silam, WCS

menemukan bahwa kawasan Karimunjawa dan sumber daya alam mereka tengah terancam akibat

pengambilan ikan secara berlebihan, ditambah lagi kondisi terumbu karang dan biomassa ikan yang

buruk akibat aktivitas tersebut. Sehingga perlu regulasi yang mengatur pemanfaatan sumberdaya alam

di TN Karimunjawa dengan pengelolaan berkelanjutan.

B.4.2. Proses Membangun Kemitraan Konservasi dan Kerjasama

Proses membangun Kemitraan Konservasi bisa dikatakan difasilitasi oleh RARE dengan pendekatan

perubahan perilaku masyarakat dan petugas Balai TN Karimunjawa. Pada tanggal 30 Mei 2011, RARE

telah menandatangani kesepakatan (MoU) dengan Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan

tentang Peningkatan Kapasitas Konservasi. Kemudian, pada 2014, Balai TN Karimunjawa dan RARE

sepakat untuk melaksanakan kerjasama Perjanjian Prototype Fish Forever pada tanggal 10 Juni 2014

sampai Desember 2016.

Kemudian pada tanggal 25 November 2017 ada Perjanjian Kerjasama (PKS) antara masyarakat Desa

Nyamuk dengan Balai TN Karimunjawa. PKS tersebut tentang Penguatan Fungsi Kawasan Pelestarian

Alam berupa Pemberdayaan Masyarakat melalui Pemberian Akses Area Perikanan (PAAP) di Taman

Nasional Karimunjawa di Zona Tradisional Perikanan. Dalam PKS tersebut menetapkan Kawasan

Pengelolaan Desa Nyamuk (KPDN) seluas 620 hektar. Dasar hukum implementasi PAAP dalam hal

pemberian askes kepada kelompok masyarkat local adalah Peraturan Pemerintah No. 1 No. 28 Tahun

2011 jo Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

tentang pengelolan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Adanya kerjasama atau kesepakatan dengan masyarakat menjadikan kawasan lebih terjaga, kegiatan

kerjasama yang dilakukan antara kelompok masyarakat di Desa Nyamuk yang tergabung dalam

Kelompok Pengelola KPDN merupakan salah satu upaya yang dilakukan Balai TN Karimunjawa dengan

memberikan akses pengelolaan berupa PAAP.

PAAP dilakukan di zona tradisional perikanan, kareana zona tersebut fungsinya sama dengan zona

tradisional yang didefinisikan sebagai bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan

Page 52: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

52

pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dangan

sumber daya alam setempat. Zona ini diperuntukkan sebagai daerah pemanfaatan perikanan tradisional

oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidupnya. Proporsi zona ini dalam kawasan TN Karimunjawa mencapai 90% luas kawasan

(102.899,249 Ha). Selama ini, zona ini dimanfaatkan masyarakat sebagai lokasi mencari ikan.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara tradisional oleh masyarakat setempat menjadi amanat dalam

Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 28

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Adapun definisi

dari pemanfaatan tradisional adalah berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya

tradisional serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi. Sampai dengan saat

ini, pemanfaatan tradisional di TN Karimunjawa terakomodir dalam zona tradisional, yaitu kegiatan

menangkap ikan. Namun demikian, belum ada kajian seberapa besar potensi pemanfaatan perikanan di

TN Karimunjawa akan dimanfaatkan dan bagaimana pemanfaatannya. Mengingat saat ini keberadaan alat

tangkap sudah semakin canggih dan menggunakan kapal yang lebih besar bahkan diantara 10-20 GT

maka pengaturan pemanfaatan perikanan perlu diregulasi lebih lanjut.

Ruang lingkup PKS antara Balai TN Karimunjawa dan Kelompok Pengelola KPDN meliputi:

1. Penguatan fungsi Kawasan Pelestarian Alam sebagai sistem penyangga kehidupan;

2. Pemanfaatan perikanan serta konservasi keanekaragaman hayati melalui pemberian akses

pengelolaan perikanan di areal yang dikerjasamakan;

3. Dukungan pengembangan usaha budidaya berbasis masyarakat di areal yang dikerjasamakan;

dan

4. Pemberdayaan dan pendampingan serta mengaktifkan pihak kedua yaitu kelompok masyarkat

dalam hal pelaksanaan pengelolaan, pemantauan dan pengamanan pelaksanaan kerja sama.

Letak dan luas areal kerjasama dalam PKS tersebut adalah:40

1. Areal kegiatan berada di Zona Tradisional Perikanan, Resort Nyamuk, Seksi Pengelolaan

Taman Nasional (SPTN) II Karimunjawa, TN Karimunjawa, Desa Nyamuk, Kecamatan

Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah.

2. Areal kegiatan merupakan Zona Tradisional Perikanan dengan luas 620 ha (enam ratus dua

puluh hektar), meliputi perairan Karang Ujung Sahid, Taka Coek dan Ujung LaBugis sebelah

Utara di luar zona pemanfaatan pariwisata.

Dalam PKS tersebut juga terdapat hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh Balai TN Karimunjawa

sebagai pihak pertama dan Kelompok Pengelola KPDN sebagai pihak kedua, hak dan kewajiban yang

harus dilakukan diantaranya:41

1. Balai TN Karimunjawa berkewajiban:

a. Bersama Pihak Kedua menyusun RPP dan RKT serta melaksanakannya;

b. Memberikan arahan teknis kepada Kelompok Pengelola Desa Nyamuk mengenai

Pemberian Akses Area Perikanan;

c. Menyediakan Sumber Daya Manusia (sebagai tenaga pendamping) dan memberikan

dukungan administrasi dalam rangka pelaksanaan kerja sama;

d. Bersama Kelompok Pengelola Desa Nyamukelakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan

kerja sama; dan

40 Dokumen Perjanjian Kerjasama KPDN dengan BTNKJ 41 Dokumen Perjanjian Kerjasama KPDN dengan BTNKJ

Page 53: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

53

e. Melakukan pengawasan dan monitoring serta mendukung penegakan hukum di wilayah

Pemberian Akses Area Perikanan (PAAP) perairan Nyamuk dan sekitarnya dengan

berkoordinasi dengan pejabat yang berwenang.

2. Balai TN Karimunjawa berhak:

a. Mendapatkan dukungan dari Kelompok Pengelola KPDN dalam pelaksanaan Pemberian

Akses Area Perikanan;

b. Mendapatkan informasi dan laporan dari Kelompok Pengelola KPDN mengenai hasil

pelaksanaan kegiatan;

c. Memberikan peringatan kepada Kelompok Pengelola KPDN apabila dalam pelaksanaan

kegiatan terdapat indikasi penyimpangan; dan

d. Melakukan pemantauan dan evaluasi berkala terhadap pelaksanaan pengelolaan akses area

perikanan yang dilakukan oleh Kelompok Pengelola KPDN.

3. Kelompok Pengelola KPDN berkewajiban:

a. Bersama Balai TN Karimun Jawa menyusun RPP dan RKT;

b. Berperan aktif mendukung Balai TN Karimun Jawa dalam pelaksanaan kegiatan;

c. Menjaga dan melindungi kelestarian kawasan;

d. Memberikan data, informasi dan laporan terkait pelaksanaan kerja sama;

e. Bersama Balai TN Karimun Jawa melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan; dan

f. Melakukan pemantauan dan melaporkan kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum

dan/atau melanggar perjanjian kemitraan ini.

4. Kelompok Pengelola KPDN berhak:

a. Melaksanakan kegiatan sebagaimana tertera pada Pasal 2 dan Pasal 3 yaitu memberi

dukungan, memberi informasi dan laporan kepada Balai TN Karimun Jawa, serta memberi

peringatan apabila terdapat indikasi penyimpangan dan melakukan monitoring dan evaluasi

pelaksanaan kegiatan Kelompok Pengelola KPDN, menyusun RPP dan RKT, melaksanakan

kegiatan, serta melakukan pemantauan dan melaporkan kegiatan penangkapan ikan yang

melanggar hukum;

b. Mendapatkan arahan teknis dari Balai TN Karimun Jawa mengenai pelaksanaan Pemberian

Akses Area Perikanan; dan

c. Mendapatkan dukungan Sumber Daya Manusia (sebagai pendamping) dan dukungan

administrasi dari Balai TN Karimun Jawa dalam rangka pelaksanaan kegiatan.

Penyusunan PKS dilakukan dalam proses yang panjang hingga 3 tahun, karena harus meyakinkan

kelompok masyarakat tentang manfaat dari Perjanjian Kerjasama.42 Di dalam PKS juga menyebutkan

dukungan dari berbagai pihak untuk membantu terimplementasinya kerjasama tersebut atau istilahnya

dukungan dari mitra kerjasama.

Dukungan Para Pihak

Dalam menjalankan pengelolaan kawasan TN Karimunjawa, dukungan dan kerjasama para pihak mutlak

dibutuhkan mengingat keterbatasan kapasitas yang masih dimiliki oleh Balai TN Karimunjawa sebagai

pengelola. Balai TN Karimunjawa mempunyai 3 (tiga) mitra yaitu RARE, Wildlife Conservation Society-

Indonesia Program (WCS-IP), dan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah, berikut

dukungan dilakukan oleh mitra kerjasama di Balai TN Karimunjawa:

1. RARE

Sebagai tindak lanjut penandatangan Memorandum Saling Pengertian antara Direktorat Jenderal

PHKA Kementerian Kehutanan dengan RARE Animal Relief Effort tentang Peningkatan Kapasitas

Konservasi. Keanekaragaman Hayati di Indonesia pada tanggal 30 Mei 2011, Balai TN Karimunjawa

42 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNKJ tanggal 9 Mei 2019

Page 54: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

54

dan RARE sepakat untuk melaksanakan kerjasama Perjanjian Prototype Fish Forever pada tanggal

10 Juni 2014. Tujuan kerjasama ini adalah untuk mengembangkan Pengelolaan Akses Area

Perikanan (PAAP) di kawasan TN Karimunjawa. Sampai dengan Desember 2016 melaksanakan

kerjasama Perjanjian Prototype Fish Forever pada tanggal 10 Juni 2014. Tujuan kerjasama ini adalah

untuk mengembangkan Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) di kawasan TN Karimunjawa

sampai dengan Desember 2016, adapun proses yang dilakukan adalah:43

Tabel 9 Program dan Kegiatan RARE di TN Karimunjawa Tahun 2016

PAAP dilakukan oleh Balai TN Karimunjawa dengan RARE mulai tahun 2014 dan 2017 baru ada

Perjanjian Kerjasama, prosesnya yang panjang ini dilakukan terutama untuk perubahan perilaku

kelompok masyarakat maupun internal Balai TN Karimunjawa sendiri.44

2. WCS-IP

WCS-IP merupakan mitra Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam upaya konservasi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kesepakatan Kerjasama kemitraan tersebut tertuang

dalam kesepakatan (MoU) antara Kementerian Kehutanan RI dengan The Wildlife Conservation

Society tentang Program Kerjasama Untuk Mendukung Konservasi Keanekaragaman Hayati dan

Kawasan Konservasi di Indonesia pada tanggal 1 April 2015. Sebagai tindak lanjut dari MoU

tersebut, maka pada tanggal 18 Agustus 2016 ditandatangani Perjajian Kerjasama Teknis antara

WCS-IP dan Balai TN Karimunjawa tentang Implementasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Perikanan

dan Jasa Wisata Yang Berkelanjutan di Taman Nasional Karimunjawa. Adapun ruang lingkup

kerjasama adalah:45

a. Melaksanakan upaya konservasi kehidupan liar;

b. Memperkuat upaya pengelolaan ekosistem penting di Taman Nasional Karimunjawa;

c. Mendukung upaya pemanfaatan kawasan Taman Nasional secara berkelanjutan;

d. Peningkatan kapasitas pengelola dan masyarakat di Taman Nasional Karimunjawa.

Tabel 10 Program dan Kegiatan WCS-IP di TN Karimunjawa Tahun 2016

No Kagiatan Bulan

1 Sosialisasi kesepakatan pengaturan perikanan kerapu Januari - Desember

2 Pelatihan pengolahan produk perikanan September - Oktober

3 Pendampingan kelompok masyarakat wisata (Paguyuban

Meniray)

Maret, Juni, September,

Desember

4 Pendampingan kelompok pembudidaya rumput laut Januari – Februari

5 Pendampingan kelompok perikanan Kemujan Oktober - Desember

6 Survey ekologi, pemutihan karang, dan wisata Mei

7 Presentasi hasil survei ekologi, pemutihan karang dan

wisata

November

43 Buku Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2016 44 Diskusi dengan staf RARE Indonesia tanggal 7 Mei 2019 45 Buku Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2016

No Kegiatan Bulan

1 Analisa Hasil Monitoring Aktivitas

Nelayan dan Hasil Tangkapan

Maret

2 Desain Program PAAP Oktober 2015 - Agustus 2016

3 Dasar Hukum PAAP Maret – Juli

4 Pemasaran Sosial PAAP Januari - Desember

Page 55: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

55

8 Presentasi hasil survei ekolofi dan FGD dengan

masyarakat

Desember

9 Pengambilan data hasil tangkapan Januari - Desember

3. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah

Dalam rangka optimalisasi pengamanan dan pengawasan Kawasan TN Karimunjawa, maka pada

tanggal 20 September 2014 dalam acara FGD Pengawasan Secara Terpadu telah ditandatangani

Nota Kesepakatan Bersama antara Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Tengah, Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Jepara dan Balai Taman Nasional Karimunjawa tentang

Pengawasan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Secara Terpadu di Karimunjawa.46

4. Usaha Ekonomi Produktif pada Desa Binaan di Daerah Penyangga Kawasan Konservasi Tahun

2017.47

Tabel 11 Kegiatan di Daerah Penyangga TN Karimunjawa Tahun 2016

No UPT Desa Kelompok Anggota Usaha Ekonomi

1 BTN

Karimunjawa

Kemujan SPKP

Mangga

Delima

15 15 Simpan pinjam dan

persewaan tratak beserta kursi

pesta dan sound system.

2 BTN

Karimunjawa

Karimun

Jawa

SPKP Karya

Bhakti

27 Penyewaan alat Selam dasar,

simpan pinjam.

Kerjasama bersama masyarakat dengan dasar Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 di TN

Karimunjawa akan dilakukan di desa Parang, Kecamatan Karimunjawa, Jepara. Saat ini kerjasama

masih dalam tahap fasilitasi pembentukan kelompok yang berbadan hukum, walaupun kelompoknya

sudah ada sejak dari 2009, yaitu SPKP (Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan).48 Dalam proses

kerjasama, Balai TN Karimunjawa memanfaatkan kelompok yang sudah ada dengan melakukan

perbaikan kapasitas dan pengetahuan. Untuk fasilitasi di desa Parang, Balai TN Karimunjawa

menugaskan satu penyuluh khusus untuk mengawal kemitraan konservasi.

B.4.3. Pembelajaran (Lessons Learned)

Proses membangun kerjasama yang terjadi di TN Karimunjawa menghasilkan banyak pembelajaran,

antara lain:

1. Pendekatan fasilitasi yang digunakan kepada staf Balai TN Karimunjawa dan kelompok

masayarakat yaitu melalui perubahan perilaku. Hal ini dilakuan dengan dasar bahwa yang akan

selamanya bekerja disana adalah staf Taman Nasional dan masayarakat , sehingga dengan adanya

perubahan perilaku dari pengelola kawasan akan lebih menjamin keberlanjutan pengetahuan

yang lambat laun akan menjadi sistem kerja.

2. Keterlibatan dan dukungan mitra kerjasama memberikan dampak yang baik dalam proses

membangun kerjasama dalam berbagai aspek terutama pengetahuan, perubahan perilaku dan

pola pikir.

3. Adanya staf yang sudah mengikuti Program Kampanye BANGGA yang difasilitasi mitra BTNKJ

yaitu RARE. Staf yang mengikuti Kampanye BANGGA didorong untuk membangun kerjasama

46 Buku Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2016 47 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNKJ tanggal 9 Mei 2019 48 Wawancara mendalam melalui telepon dengan Unit Pengelola / Balai TNKJ tanggal 9 Mei 2019

Page 56: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

56

dengan masyarakat, dan menularkan semangat dan membagi pengetahuan yang diperoleh dari

Program kepada staf BTNKJ yang lain.

4. Mencari dan membangun local champion internal di UPT atau Balai Taman Nasional, sebagai

agen perubahan ditingkat internal yang juga direplikasi di tingkat komunitas atau kelompok

masyarakat, strategi seperti ini memudahkan dalam berbagi peran untuk mecapai tujuan

kegiatan.

5. Menciptkan ruang komunikasi atau strategi komunikasi yang aman, efektif, mudah dan sesuai

dengan karakteristik pengelola kawasan baik staf BTNKJ maupaun kelompok masyarakat

sebagai sarana diskusi

6. Proses pendampingan kelompok masyarakat, khususnya kelompok nelayan dilakukan dengan

cara staf Taman Nasional tinggal lebih lama bersama masyarakat, sehinga akan ada kepercayaan

masyarakat kepada staf Taman Nasional.

7. Adanya PKS menjadikan tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kawasan menjadi lebih

baik. Kawasan yang merupakan areal kerja yang ada dalam PKS akan dijaga dengan baik oleh

kelompok masyarakat dengan harapan bahwa areal tersebut merupakan tabungan ikan, bahkan

areal kerja dimanfaatkan kelompok untuk mencari ikan hanya pada cuaca buruk (akhir

desember sampai maret) karena kelompok tidak bisa jauh mencari ikan, sedangkan dalam

keadaan cuaca baik kelompok akan lebih memilih mencari ikan di luar Kawasan.

8. Adanya kesepakatan-kesepakatan yang dibuat bersama masyarakat yang dijadikan dasar

pertama dalam membangun kerjasama kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut.

Hal ini terjadi di masyarakat Desa Nyamuk menyepakati beberapa pengaturan perikanan yang

akan berlaku di Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk (KPDN). Peraturan perikanan tersebut

didapat melaui proses fasilitasi tingkat RT dan RW yang dilakukan oleh kelompok KPDN.

Adapun peraturan yang berlaku di dalam KPDN adalah sebagai berikut:

a. KPDN adalah kepanjangan dari Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk.

b. KPDN (zona berwarna coklat) meliputi Karang Ujung Sahid, Taka Coek dan Ujung LaBugis

sebelah Utara.

c. Zona Pemanfaatan Baharidi sekitar Pulau Katang (zona berwarna hijau) ditujukan untuk

pemulihan populasi ikan, dan sumber dayanya tidak boleh diambil secara langsung.

d. KPDN bukan daerah larangan, melainkan suatu kawasan yang justru dikelola dan

dimanfaatkan khusus oleh warga Desa Nyamuk.

e. Warga Desa Nyamuk adalah mereka yang berdomisili di Desa Nyamuk dengan memiliki

KTP Desa Nyamuk atau Surat Keterangan Tinggal dari Pemerintah Desa.

f. KPDN bisa dimanfaatkan oleh nelayan pancing dan bubu dari Desa Nyamuk sepanjang

waktu.

g. Nelayan tembak (kompressor dan selam alami) tidak diperkenankan mengambil di dalam

KPDN dari tanggal 18-28 Hijriah setiap bulannya.

Page 57: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

57

Legenda:

Zona Perlindungan Bahari (ZB)

Zona Budidaya Bahari (ZBb)

Zona Pemanfaatan Bahari (ZPB)

Zona Tradisional Perikanan

Gambar 2 Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk di TN Karimunjawa

Page 58: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

58

Gambar 3 Peta Zonasi TN Karimunjawa

Page 59: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

59

B.4.4. Tantangan

1. Waktu yang terbatas terkait target yang dibebankan pada UPT, sedangkan fakta di lapangan

proses membangun kerjasama atau kemitraan memerlukan waktu 3 tahun.

2. Anggaran di UPT yang ada tidak terlalu fleksibel karena terkotak-kotak.

3. Kurangnya tenaga penyuluh untuk kerjasama dan kemitraan konservasi.

4. Manfaat yang belum terlihat oleh masyarakat setelah adanya kerjasama atau kemitraan dengan

Balai Taman Nasional, terutama manfaat ekonomi.

5. Data hasil tangkap dari areal kerjasama yang dilakukan kelompok masyarakat belum terstruktur

dengan baik.

B.5. Kemitraan Konservasi di TN Kayan Mentarang

Cagar Alam Kayan Mentarang awalnya ditunjuk sebagai cagar alam seluas ± 1.360.500 hektar

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 847/Kpts/Um/II/1980 tanggal 25 Nopember

1980 mengingat tingginya keanekaragaman hayati seperti yang telah diidentifikasi dalam National

Conservation Plan for Indonesia (UNDP/FAO. 1982). Status kawasan Kayan Mentarang diubah dari

cagar alam menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang (TN Kayan Mentarang) berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 631/Kpts-II/1996 tanggal 7 Oktober 1996 dengan luas kawasan

± 1.360.500 hektar. Surat Keputusan tersebut merupakan yang pertama di Indonesia yang menyatakan

bahwa di beberapa daerah di sekitar kawasan Taman Nasional merupakan tempat kehidupan

masyarakat tradisional etnis Dayak yang keberadaannya perlu diperhatikan. Seiring berjalannya waktu,

hingga tahun 2014, luas kawasan TN Kayan Mentarang menjadi 1.271.696,56 hektar berdasarkan Surat

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.4787/Menhut-VII/KUH/2014.

B.5.1. Permasalahan yang Terjadi di Kawasan TN Kayan Mentarang

Penetapan kawasan hutan Kayan Mentarang menjadi Cagar Alam telah menimbulkan keresahan bagi

masyarakat suku Dayak yang sudah bermukim dan hidup di sana sejak ratusan tahun lalu. Ada ± 34.508

jiwa di dalam dan sekitar CA Kayan Mentarang. Mereka tersebar di 11 wilayah adat besar, antara lain:

Apau Kayan-Kayan Hilir, Kayan Hulu, Hulu Bahau, Pujungan, Mentarang Hulu, Tubu, Lumbis Hulu,

Krayan Darat, Krayan Hilir, Krayan Hulu dan Krayan Tengah. Mereka memiliki ketergantungan erat

terhadap kawasan hutan. Secara turun temurun mereka memiliki kearifan tradisional dalam pengelolaan

kawasan hutan yang diwujudkan dalam hutan adat, tana ulen, tanah jakah dll. Uluk, Sudana dan

Wollenberg (2001) telah mendokumentasikan kearifan tradisional masyarakat adat di Kayan Mentarang

dengan cukup lengkap.

Dokumentasi yang ditulis Uluk et al. (2001) menunjukkan bahwa tanpa Taman Nasional, kawasan hutan

sudah dimanfaatkan dan dikelola secara lestari oleh masyarakat adat. Penetapan Kayan Mentarang

menjadi Cagar Alam49 dan kemudian diubah menjadi Taman Nasional50 justru dianggap sebagai ancaman

bagi masyarakat adat dan pada awalnya ditolak oleh mereka.

Penetapan Kayan Mentarang sebagai Cagar Alam telah menutup seluruh akses masyarakat untuk

memanfaatkan sumberdaya alam tempat mereka bergantung selama ini. Aspek sosial dan budaya

rupanya tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam proses penetapan kawasan Kayan Mentarang

menjadi Cagar Alam. Sejak itu konflik terjadi. Oleh karena itu, masyarakat menolak keberadaan CA

Kayan Mentarang. Salah satu bentuk penolakan adalah menolak hasil tata batas yang sudah dibuat.

Penolakan masyarakat terhadap hasil penataan batas menunjukkan adanya konflik yang muncul akibat

penetapan hutan Kayan Mentarang menjadi Cagar Alam dan kemudian diubah menjadi Taman Nasional.

49 Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 847/Kpts/Um/II/1980 tanggal 25 November 1980 50 Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 631/Kpts-II/1996

Page 60: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

60

Sikap penolakan mereka didasari oleh hal yang prinsip. Masyarakat adat merasa tidak dihormati dan

dihargai hak-haknya atas kawasan yang sudah ratusan tahun mereka kelola dengan baik. Mereka tidak

diajak berdialog sebelum Kayan Mentarang ditetapkan menjadi Cagar Alam. Proses penetapan CA

Kayan Mentarang hanya berdasarkan pertimbangan keanekaragaman hayati semata, tanpa

memperhatikan aspek sosial dan budaya setempat.

Selain itu, masyarakat adat juga khawatir penetapan cagar alam akan menghalangi akses mereka untuk

memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam yang selama ini mereka lakukan. Kekhawatiran mereka

beralasan karena menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990), cagar alam adalah wilayah yang tidak bisa diakses

oleh masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan budidaya, seperti dinyatakan dalam Pasal 17.51

UU No. 5 Tahun 1990 juga memuat larangan melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Larangan dalam

Pasal 1952 tidak bisa diikuti oleh masyarakat adat di Kayan Mentarang karena kehidupan mereka dari

berburu satwa, mengumpulkan hasil hutan, dan budidaya pertanian seperti sawah dan kebun campuran.

Sesuai dengan Pasal 40, Pelanggaran terhadap Pasal 19 akan dikenakan denda sebesar Rp. 100 juta

sampai Rp. 200 juta rupiah, atau dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.53 Dengan adanya

ketentuan tersebut, maka bisa dipahami kekhawatiran masyarakat dan munculnya sikap penolakan

terhadap penetapan CA Kayan Mentarang.

Pada prinsipnya masyarakat adat menuntut agar pemerintah mengakui, menghormati dan melindungi

hak-hak masyarakat adat atas tanah (wilayah adat) yang secara turun-temurun mereka huni serta hak

untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di dalam wilayah adat mereka.

Masyarakat adat di kawasan Kayan Mentarang berkeyakinan bahwa tujuan Cagar Alam atau TN Kayan

Mentarang sebagai kawasan konservasi dapat tercapai jika masyarakat di kawasan terlibat dan

bertanggung jawab penuh dalam perencanaan dan pengelolaan TN Kayan Mentarang. Keterlibatan dan

tanggung jawab penuh dari masyarakat itu hanya mungkin terjadi apabila hak masyarakat adat terhadap

tanah (wilayah adat) itu diakui dan dihormati. Berdasarkan keyakinan itu, maka masyarakat adat

menuntut agar hak-hak dasar yang melekat pada keberadaan masyarakat adat serta hak untuk

mengelola sumberdaya alam di wilayah adat harus diakui dan dihormati. Perjuangan masyarakat adat

untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah dilakukan dengan berbagai cara dan dukungan berbagai

pihak. Salah satunya adalah melalui WWF.

51 Pasal 17, “Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan

pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.” 52 Pasal 19 (1), “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan

terhadap keutuhan kawasan suaka alam.” Dalam penjelasan dikatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan

perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan kawasan dan

ekosistemnya, perburuan satwa yang berada dalam kawasan, dan memasukkan jenis-jenis bukan asli.”

Pasal 19 (3), “Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan

dan satwa lain yang tidak asli.” 53 Pasal 40 (1), ”Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)

tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Pasal 40 (3), “Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling

lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Page 61: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

61

B.5.2. Proses Membangun Kemitraan Konservasi dan Kerjasama

WWF memfasilitasi masyarakat adat untuk membentuk Forum Musyawarah Masyarakat Adat

(FoMMA), yang dikukuhkan oleh Bupati Kabupaten Malinau pada 7 Oktober 2000. Keberadaan FoMMA

dimaksudkan untuk menjadi sarana bagi masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan taman

nasional. Forum tersebut mewakili 16.000 orang, memberikan wewenang dan tanggung jawab dalam

bekerja sama dengan pengelola taman nasional. Forum tersebut juga akan menjadi penghubung utama

dalam komunikasi antara pengelola taman nasional dengan lembaga adat di tingkat wilayah adat dan

desa.

Pembentukan Dewan Penentu Kebijakan TN Kayan Mentarang

Pada tahun 2000, bersamaan dengan selesainya penyusunan RPTNKM, muncul usulan kelembagaan

kolaborasi. Setelah melalui berbagai pembahasan dan melalui perjuangan panjang sambil mencari-cari

model inovatif, para pihak utama yang terdiri dari Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi

Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten Nunukan, Pemerintah Kabupaten Malinau dan FoMMA, tiba

pada pilihan Pengelolaan Kolaboratif melalui Dewan Penentu Kebijakan TN Kayan Mentarang dan

Badan Pengelola TN Kayan Mentarang. Komitmen bersama ini kemudian pada tanggal 4 April 2002

dikuatkan secara formal oleh Menteri Kehutanan melalui 3 Keputusan Menteri, masing-masing adalah:

1. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1213/Kpts-II/2002 tentang Rencana Pengelolaan

Taman Nasional Kayan Mentarang;

2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1214/Kpts-II/2002 tentang Penetapan Taman Nasional

Kayan Mentarang dikelola secara Kolaboratif;

3. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1215/Kpts-II/2002 tentang Pembentukan Dewan

Penentu Kebijakan Taman Nasional Kayan Mentarang;

4. SK Menteri Kehutanan Nomor 1214/Kpts-II/2002, dalam pengelolaan TN Kayan Mentarang

secara kolaboratif berbasiskan masyarakat yang melibatkan para pihak yang berkepentingan

terhadap sumberdaya alam di TN Kayan Mentarang yaitu dikelola bersama antara pemerintah,

pemerintah propinsi, pemerintah daerah, dan masyarakat (FoMMA), serta pihak lain yang

secara nyata memberikan kontribusi kepada pengelolaan TN Kayan Mentarang.

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1215/Kpts-II/2002, Menhut secara tegas menugaskan

Dewan Penentu Kebijakan TN Kayan Mentarang untuk mengusulkan pembentukan Badan Pengelola

TN Kayan Mentarang kepada Menteri Kehutanan sebagai organisasi pelaksana dari pengelolaan

kolaboratif TN Kayan Mentarang. Rancangan Badan Pengelola TN Kayan Mentarang ini telah

disampaikan kepada Menteri Kehutanan melalui Direktorat Jenderal PHKA Bulan Agustus 2003.

Usulan dari Dewan Penentu Kebijakan TN Kayan Mentarang ini rupanya sejalan dengan aspirasi banyak

di daerah lain. Banyak stakeholder di berbagai daerah mempunyai aspirasi yang sangat kuat untuk

meminta ruang bagi para pihak di tingkat daerah dan lokal untuk secara aktif berperan dalam

pengelolaan taman nasional di era otonomi daerah berdasarkan prinsip keterbukaan, kesetaraan,

akuntabilitas dan manfaat bersama.

Perubahan DPK menjadi DP3K

Dewan Penentu Kebijakan (DPK) telah dievaluasi sesuai jadwal dalam pertemuan di Departemen

Kehutanan pada 24 Agustus 2007. Pertemuan menyepakati untuk melanjutkan dengan pengaturan

kelembagaan dari pendekatan kolaboratif, tetapi untuk membentuk sebuah taman nasional baru,

lembaga perwakilan yang memiliki kepentingan, yang disebut Dewan Pembina dan Pengendali

Pengelolaan Kolaboratif (DP3K atau Dewan Pengawas Taman), sebagai pengganti dari DPK. Hal ini

diatur dalam Keputusan SK Menhut MenhutNo.347/Menhut-II/07, tanggal 14 November 2007. Peran

dan tanggung jawab dari DP3K meliputi:

Page 62: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

62

1. Untuk bertindak sebagai forum konsultasi dan koordinasi bagi semua stakeholder dalam rangka

untuk memberikan pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan

kolaboratif di TN Kayan Mentarang.

2. Untuk memberikan supervisi mengenai perencanaan dan pelaksanaan program pengelolaan

kolaboratif berdasarkan aspirasi stakeholder dan peraturan pemerintah.

DP3K merupakan badan pengawas pendekatan pengelolaan kolaboratif dalam TN Kayaan Mentarang.

Badan ini memiliki 19 anggota, yang terdiri dari Dephut, pemerintah lokal dan provinsi, organisasi

masyarakat lokal, dan LSM. DP3K mengoperasikan sebuah sekretariat sejak Agustus 2008, yang diketuai

oleh Kepala Bappeda di Kabupaten Malinau. Sekretariat bekerja sama dengan Balai TN Kayan

Mentarang dan Proyek Kerjasama Indonesia – German, Program TN Kayan Mentarang, dan menerima

dukungan keuangan untuk kegiatan sehari-hari dari Proyek tersebut.

Kajian Tata Kelola di TN Kayan Mentarang

Pada tahun 2017, Working Group ICCAs Indonesia (WGII) melakukan kajian tata kelola di TN Kayan

Mentarang. Kajian dilakukan dengan metode: (a) pertemuan dengan masyarakat adat, Balai TN Kayan

Mentarang, FoMMA, DP3K, KLHK dan WWF, (b) wawancara dengan menggunakan kuesioner dan

FGD dengan masyarakat adat, (c) wawancara dengan pemangku kepentingan, (d) pertemuan FoMMA

dengan Balai TN Kayan Mentarang untuk membahas Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (RPJM) TN

Kayan Mentarang.

Hasil kajian dimuat dalam laporan berjudul “Masyarakat Adat dan Kawasan Konservasi di Indonesia:

Menuju Tata Kelola Konservasi Yang Efektif, Inklusif dan Adil. Contoh Kasus Kajian Tata Kelola

Kolaboratif di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Utara, Indonesia.” Beberapa hasil kajian

antara lain:

1. Belum ada pengakuan hak masyarakat adat yang kuat.

2. Tidak ada anggaran yang mendukung kolaborasi.

3. Institusi DP3K perlu dilihat kembali kinerja dan perannya.

4. SK DP3K hanya menetapkan fungsi koordinasi untuk DP3K.

5. Diusulkan agar SK tentang kelembagaan kolaborasi seperti DP3K ini ada payung di tingkat

nasional untuk mengatur kolaborasi dan menguatkan tata kelola kawasan.

6. Walaupun namanya pengelolaan kolaboratif, namun secara de facto, pengelolaan adalah

sepenuhnya dengan Balai TN Kayan Mentarang.

7. Kinerja DP3K perlu ditinjau kembali.

8. Masyarakat merasa ‘jauh’ dan tidak dilibatkan oleh Balai TN Kayan Mentarang.

9. Masih kuat di masyarakat, pertanyaan apakah ‘binatang lebih penting daripada manusia?’ dan

‘Masyarakat diminta terus untuk melindungi hutan, namun kita tidak mendapatkan imbalannya.’

10. Zonasi masih menjadi ‘persoalan’ utama, dimana masyarakat masih mengkhawatirkan adanya

larangan untuk mengambil kayu bangunan dan SDA lainnya di dalam TN Kayan Mentarang, atau

melanjutkan sistem pertanian gilir balik. Masyarakat pada umumnya ingin melanjutkan

pengelolaan hutan berdasarkan aturan adat untuk mendukung kehidupan mereka dan sumber

kehidupannya.

B.5.3. Pembelajaran (Lessons Learned)

Proses membangun kolaborasi yang terjadi di TN Kayan Mentarang menghasilkan banyak pembelajaran,

antara lain:

1. Pada tingkat organisasi DP3K, koordinasi dan kolaborasi sesungguhnya masih lemah, seolah-

olah tidak ada komitmen dari para pihak untuk mewujudkan bekerjanya kolaborasi. Salah satu

kendala yang sering dikemukakan adalah terbatasnya dana baik pusat maupun daerah, serta

sumberdaya manusia yang kurang.

Page 63: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

63

2. Pada tingkat pemerintah daerah, masih dijumpai benturan kebijakan, misalnya dalam proses

tata batas, pembangunan jalan, pengembangan kawasan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Hal

ini menunjukkan belum melembaganya kolaborasi di tingkat pemerintah daerah. Mungkin

pemerintah daerah belum menganggap kolaborasi sebagai strategi yang penting untuk mencapai

tujuan pembangunan.

3. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kayan Mentarang (RPTNKM) tahun 2001 - 2025 telah

selesai disusun dengan melibatkan para pihak dan telah ditanda tangani oleh Bupati Malinau,

Bupati Nunukan, Dirjen PHKA dan Menteri Kehutanan. RPTNKM yang disusun berhasil

mengungkapkan kekayaan keanekaragaman hayati sekaligus sosial budaya masyarakat yang

harus dipertimbangkan dalam pengelolaan TN Kayan Mentarang selama 25 tahun.

4. Membangun saling percaya (mutual trust) di antara para pihak masih belum terjalin dengan baik,

walaupun pada tahap awal pembentukannya partisipasi para pihak tinggi. Hal ini antara lain

menyangkut tentang strategi komunikasi para pihak.

5. Membangun manfaat sosial ekonomi yang seimbang dengan manfaat ekologi. Saat ini yang baru

dirasakan adalah manfaat ekologi. Masyarakat dan pemerintah daerah belum merasakan adanya

manfaat sosial ekonomi secara signifikan.

6. Melembagakan peran dan tanggung jawab para pihak. Secara tertulis sudah ada kesepakatan

peran dan tanggung jawab, tetapi belum dapat diwujudkan secara maksimal di tingkat praktis.

7. Mewujudkan kemandirian pendanaan pengelolaan taman nasional, karena belum ada jaminan

pendanaan yang berkelanjutan.

8. Fleksibilitas strategi dalam pendekatan tanpa mengabaikan tujuan utamanya. Hal ini terkait

dengan penyeragaman struktur organisasi balai taman nasional sebagaimana diatur dalam

Permenhut P. 03/2007, sehingga seringkali tidak sejalan dengan kondisi lokal.

B.5.4. Tantangan

Selain pembelajaran yang diperoleh, sejumlah tantangan untuk mewujudkan kolaborasi juga cukup

besar, antara lain:

1. Bagaimana membangun saling percaya (mutual trust) di antara para pihak? Hal ini antara lain

menyangkut tentang strategi komunikasi para pihak. Saat ini yang terjadi adalah komunikasi

belum terjalin secara memadai, walaupun pada tahap awal pembentukannya partisipasi para

pihak tinggi.

2. Bagaimana membangun manfaat sosial ekonomi yang seimbang dengan manfaat ekologi? Saat

ini yang baru dirasakan adalah manfaat ekologi. Masyarakat dan pemerintah daerah belum

merasakan adanya manfaat sosial ekonomi secara signifikan.

3. Bagaimana melembagakan peran dan tanggung jawab para pihak? Saat ini, secara tertulis sudah

ada kesepakatan peran dan tanggung jawab, tetapi belum dapat diwujudkan secara maksimal di

tingkat praktis.

4. Bagaimana mengakomodir ruang hidup masyarakat adat yang sudah digunakan turun-temurun

menjadi bagian dari sistem zonasi TN Kayan Mentarang.

5. Bagaimana strategi pengembangan kapasitas bagi pemangku kepentingan, antara lain

menyediakan wadah pembelajaran bagi para pemangku kepentingan dan pemegang hak untuk

bertemu dan mendiskusikan bersama hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan taman

nasional.

B.6. Kemitraan Konservasi di TN Bantimurung Bulusaraung

TN Bantimurung Bulusaraung terletak di Sulawesi Selatan, seluas ± 43.750 hektar. Secara administrasi

pemerintahan, kawasan taman nasional ini terletak di wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten

Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Taman nasional ini ditunjuk menjadi kawasan konservasi atau taman

nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18

Page 64: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

64

Oktober 2004. Perubahan fungsi sebagian kawasan hutan di Kabupaten Maros menjadi kawasan TN

Bantimurung Bulusaraung membawa dampak tersendiri bagi aktivitas masyarakat sekitar kawasan yang

dapat memicu terjadinya konflik dengan masyarakat.

B.6.1. Permasalahan yang Terjadi di Kawasan TN Bantimurung Bulusaraung

Konflik yang terjadi dengan masyarakat yaitu penggunaan kawasan sebagai kebun-kebun masyarakat,

dimana masyarakat yang mengklaim bahwa tanah yang ditetapkan sebagai taman nasional dan tanaman

budidaya yang ada di dalamnya adalah milik masyarakat. Dalam sebuah pertemuan yang difasilitasi oleh

Regional Community Forestry Training Center (RECOFTC) pada tanggal 28 Mei 2009 berlokasi di

dalam kawasan Bantimurung, masyarakat lokal mengakui bahwa justru dinas kehutanan dulu yang

meminta mereka untuk menanam tanaman budidaya itu dalam kawasan hutan sebagai bagian dari

pelaksanaan program Hutan Kemasyarakatan (HKm).

B.6.2. Proses Membangun Kemitraan Konservasi dan Kerjasama

Pada tahun 2012 telah dilakukan kajian oleh Balai Penelitian Kehutanan Makassar dengan tema Menuju

Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Kajian tersebut didasarkan pada visi

awal TN Bantimurung Bulusaraung, yakni “terwujudnya pengelolaan Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung yang mantap, serasi dan seimbang dengan dukungan kelembagaan yang efektif”, serta salah

satu misi untuk mewujudkan visi tersebut, yakni “mengembangkan kelembagaan dan

kemitraan/kolaborasi dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya”.

Pengembangan kemitraan atau pengelolaan kolaborasi menjadi pilihan Balai TN Bantimurung

Bulusaraung didasarkan akan kesadaran bahwa pengelolaan kawasan TN Bantimurung Bulusaraung

tidak dapat dilakukan sendiri hanya oleh pengelola/pemangku kawasan serta dengan memperhatikan

prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan.

Pengelolaan kolaborasi tersebut sekarang dijembatani oleh Perdirjen No.6 Tahun 2018 dengan adanya

11 dokumen Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang ditandatangani oleh Balai TN Bantimurung Bulusaraung

dengan 11 kelompok tani hutan. Kelompok-kelompok tersebut di antaranya: Kelompok Tani Hutan

(KTH) Bukit Harapan, KTH Bulu Tanete, KTH Pattiro Bulu, KTH Tunas Muda, KTH Banga-banga, KTH

Labongke, KTH Patanyamang I, KTH Patanyamang II, KTH Sonrae, KTH Wanua Deceng, dan

Kelompok Pengelola Ekowisata (KPE) Lamassua. Fokus pemanfaatan kelompok-kelompok yang berada

di zona tradisional ini di antaranya: pemanfaatan madu, bambu, aren, kemiri, getah pinus, pakan ternak,

budidaya palawija, dan tanaman obat. Terdapat satu kelompok yang berfokus mengelola jasa wisata

terbatas yakni KPE Lamassua.

B.6.3. Pembelajaran (Lessons Learned)

Kepemimpinan (Leadership)

Pemimpin adalah ujung tombak dari suatu organisasai, di Balai TN Bantimurung Bulusaraung pola

kepemimpinan yang diterapkan yaitu leader by example, dimana kepala taman nasional memberikan

contoh untuk melakukan sesuatu yang kemudian hal tersebut terbangun menjadi sebuah kebiasaan yang

diikuti oleh personil lainnya.

Komunikasi Rutin dengan Masyarakat

Pendekatan formal dan informal yang dilakukan Balai TN Bantimurung Bulusaraung dilakukan dengan

cara formal maupun informal. Dengan cara informal misalnya dengan menghadiri acara-acara yang

diadakan warga, misalnya hajatan atau melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat dan aparat

pemerintahan baik dusun, desa, hingga kecamatan. Hingga akhirnya silaturahmi ini menjadi jalan

pembuka untuk membangun komunikasi yang rutin dengan masyarakat.

Dukungan Mitra Kerjasama

Page 65: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

65

Dukungan dari pihak lain sebagai mitra kerjasama sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kerjasama

atau kemitraan konservasi. Dukungan dilakukan dengan meningkatkan kapasitas melalui berbagai

pelatihan untuk menambah pengatahuan dan keterampilan, serta pelatihan mediasi dan resolusi konflik.

Pihak-pihak tersebut diantaranya Tim Layanan Kehutanan Masyarakat Universitas Hasanuddin (TLKM

Unhas), Burung Indonesia, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarkat (FKKM), Forum Masyarakat Babul,

Pemerintah daerah, mulai dari pemerintah desa, kecamatan, dan kabupaten.

Mingkatnya Kesadaran Masyarakat Untuk Menjaga Kawasan

Kelompok masyrakat yang sudah mempunyai Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan Balai TN Bantimurung

Bulusaraung melakukan rehabilitasi dengan penanaman meskipun areal kerjasama dilakukan di zona

tradisional. Hal ini merupakan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kawasan,

sehingga kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat bersama pengelola taman nasional selain menjaga

kawasan dari ancaman, tetapi juga menjaga kawasan untuk kembali sesuai fungsinya.

B.7. Kemitraan Konservasi di TN Kelimutu: Pengembangan Produk dan Jasa Lingkungan

Kawasan Taman Nasional Kelimutu terletak di wilayah Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Taman Nasional Kelimutu ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Kehutanan, SK No. 279/Kpts-II/92 dengan luas ± 5.000 hektar. Pada tahun 1997 kemudian

ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan SK No. 675/Kpts-II/97 dengan

luas 5.356,5 hektar.

Di sekitar TN Kelimutu terdapat 24 desa yang termasuk daerah penyangga yang tersebar di lima

kecamatan. Seperti pada umumnya desa hutan di Indonesia, desa-desa pada daerah penyangga TN

kelimutu memiliki ketergantungan terhadap wilayah hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan

konservasi. Ketergantungan umumnya berupa air dan jasa lingkungan yakni pariwisata.

Menurut data kecamatan dalam angka tahun 2014 di lima kecamatan, maka sebagian besar mata

pencaharian penduduk adalah petani. Di dalam pengamatan di tingkat lapangan, maka sebagian besar

penduduk memiliki mata pencaharian petani berladang rotasi. Mereka membuat ladang setiap tahun

untuk kemudian berpindah ke lokasi lain dengan rotasi 3-5 tahun. Ladang yang dibuka setiap tahun atau

0,5 – 1 ha dengan jenis-jenis tanaman padi, jagung, ketela pohon, ubi jalar, sorgum, kemudian juga sayur-

mayur seperti wortel, ketimun, sawi, bayam, kacang-kacangan dan lain-lain. Walaupun demikian, petani

peladang ini juga sudah memiliki kebun menetap berupa kebun kopi atau kakao/ cokelat, bahkan

sebagian juga sudah bertani sawah.

Kepala Balai TN Kelimutu telah menandatangani dua Perjanjian Kerja Sama (PKS) dalam rangka

pemulihan ekosistem dengan dua kelompok tani. Kedua kelompok tani tersebut adalah Kelompok Tani

di Desa Nduaria dan SPKP di Desa Wologai Tengah.

B.7.1. Permasalahan yang Dihadapi Pasca Penandatanganan PKS

1. Membuktikan kepada masyarakat bahwa kemitraan konservasi memberi manfaat nyata.

2. Belum ada strategi yang tepat untuk memusnahkan ki-rinyuh.

3. Taman Nasional Kelimutu telah diinvasi oleh jenis tanaman Kirinyuh (Austroeupatorium

inulifolium). Perkembangan kirinyuh sangat cepat dan membentuk komunitas yang rapat

sehingga dapat menghalangi perkembangan tumbuhan lain (FAO, 2006). Kemampuannya

mendominasi area dengan cepat disebabkan oleh produksi bijinya yang sangat banyak. Setiap

tumbuhan dewasa mampu memproduksi sekitar 80.000 biji setiap musim (Mines dan Water,

2006). Penyebaran jenis ini cukup cepat karena mempunyai kemampuan memperbanyak diri

baik secara generatif dari biji maupun secara vegetatif dari batang-batang bawahnya (Tsai et al.,

2006).

Page 66: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

66

4. Perkembangan Kirinyuh menyebabkan keasrian kawasan hutan Taman Nasional Kelimutu tidak

alami. Perlu pendekatan yang intens terkait pencegahan invasi jenis tanaman Kirinyuh. Tanaman

Kirinyuh memiliki manfaat yang potensial dimana bisa dilakukan pendekatan terkait

pemberantasan invasi tanaman Kirinyuh. Luas kegiatan eradikasi dan pengendalian adalah 350

Ha yang direncanakan dalam kurun waktu lima tahun dari 2018 s/d 2022. Lokasi kegiatan terdiri

dari area non landau/curam seluas 200 Ha, dan area landai seluas 150 Ha. Dimana area yang

curam perlu menghindarkan system babat habis (land clearing). Salah satu pertimbangan adalah

mencegah terjadinya erosi. Selain itu terdapat pemberantasan kirinyuh disesuaikan manfaat

potensial dari tanaman Kirinyuh yaitu sebagai sumber organik (pupuk), obat dan herbisida.

Pemberantasan yang disesuaikan dengan potensi diusahakan berkaitan dengan peningkatan

kesejahteraan masyarakat desa penyangga.

B.7.2. Proses dan Hasil Kemitraan Konservasi

Proses yang dilalui dalam rangka membangun kemitraan konservasi antara pengelola TN Kelimutu

dengan masyarakat, antara lain: identifikasi kebutuhan kemitraan konservasi, penguatan kelompok,

kerjasama dengan para pemangku kepentingan yang terlibat, dan memulai kegiatan-kegiatan kerjasama

skala kecil untuk memberikan contoh kolaborasi dalam skala yang lebih besar.

Kegiatan Kemitraan Konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem dilaksanakan oleh kelompok

masyarakat di Desa Wologai Tengah dan Desa Nduaria. Kegiatan-kegiatan kerjasama yang dilakukan di

Desa Wologai Tengah adalah: (1) pemberantasan kirinyuh; (2) pembentukan sentra penyuluhan

kehutanan pedesaan (SPKP); (3) camping ground dan penataan embung; (4) pengembangan jalur treking

wisata; dan (5) pengembangan paket wisata Wologai.

Sedangkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat di Desa Nduaria adalah: (1)

pembentukan masyarakat mitra polhut dan kelompok tani rimbawan; (2) pemberantasan dan

pemanfaatan pengolahan kirinyuh menjadi pupuk organik dan bahan bakar; (3) pembuatan demplot

penggunaan pupuk organik; (4) penataan kampung adat.

B.7.3. Pembelajaran (Lessons Learned)

1. Konflik tenurial yang terjadi di TN Kelimutu dapat diselesaikan melalui Kemitraan Konservasi.

Kemitraan Konservasi adalah jalan tengah dalam menyelesaikan konflik tenurial yang terjadi di

TN Kelimutu

2. Kemitraan Konservasi telah mengubah pandangan masyarakat terhadap petugas TN Kelimutu,

dari anggapan sebagai musuh yang harus dihindari bahkan harus dihadapi kalau terpaksa,

menjadi kawan untuk bekerja sama dalam melakukan kegiatan.

3. Sebaliknya, cara kerja petugas TN Kelimutu juga berubah dari semula banyak melarang

masyarakat, menjadi memfasilitasi untuk memberdayakan masyarakat.

4. Balai TN Kelimutu memulai implementasi Kemitraan Konservasi dari empat desa, dan akan

dikembangkan terus ke desa-desa lain yang ada di daerah penyangga TN Kelimutu.

B.8. Kemitraan Konservasi di TN Gunung Ciremai: Membangun Kelembagaan Kolaborasi

Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian 3.078 meter di atas

permukaan laut dengan luas 15.518,23 hektar. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yakni Kabupaten

Kuningan (luas 8.205,38 hektar) dan Kabupaten Majalengka (luas 7.308,95 hektar).

Kawasan di kelompok hutan Gunung Ciremai tersebut sebelum tahun 2003 memiliki status sebagai

kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas yang pengelolaannya berada di bawah otoritas

Perum Perhutani KPH Kuningan dan KPH Majalengka. Kemudian sejak tanggal 4 Juli 2003 statusnya

menjadi hutan lindung seluruhnya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003

tentang penunjukan areal hutan di Provinsi Jawa Barat seluas ± 816.603 (delapan ratus enam belas ribu

Page 67: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

67

enam ratus tiga) hektar sebagai kawasan hutan, di antaranya Kawasan Hutan Lindung di Kelompok

Hutan Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Majalengka.

Sekarang, kawasan tersebut sudah berubah fungsinya dari kawasan hutan lindung menjadi Taman

Nasional dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004

tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung pada Kelompok Hutan

Gunung Ciremai Seluas ± 15.500 (Lima Belas Ribu Lima Ratus) terletak di Kabupaten Kuningan dan

Majalengka, Propinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai.

B.8.1. Permasalahan yang Terjadi di Kawasan TN Gunung Ciremai

Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) tersebut sempat

memunculkan kekhawatiran beberapa pihak, terutama masyarakat lokal. Masyarakat lokal

mengkhawatirkan kelanjutan kolaborasi pengelolaan hutan melalui program Pengelolaan Hutan

Bersama Masyarakat (PHBM) yang telah berlangsung beberapa tahun di kawasan itu. Ada 26 desa di

Kabupaten Kuningan seluas + 8.500 ha, yang berada di kawasan hutan Gunung Ciremai yang telah

menjalani proses implementasi PHBM. Sebagian di antaranya telah melaksanakan negosiasi dan

penandatanganan Nota Kesepakatan Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK) dengan

Perum Perhutani serta melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di lapangan. Dengan perubahan fungsi

kawasan menjadi TN, berarti pengelola kawasan hutan akan berganti (tidak lagi Perhutani) dan

kesepakatan kerja sama yang telah dibuat menjadi tidak berlaku lagi.

Kekhawatiran masyarakat lokal ini merupakan aspirasi yang harus didengar oleh pemerintah pusat.

Oleh karena itu LPI (Lembaga Pelayanan Implementasi) PHBM yang selama ini memfasilitasi masyarakat

untuk berkolaborasi dengan Perum Perhutani, berdiskusi dengan masyarakat untuk merumuskan

aspirasi yang akan disampaikan kepada Direktorat Jenderal PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam) Departemen Kehutanan. Hasil dari diskusi dengan masyarakat adalah rumusan tawaran solusi,

yaitu (a) masyarakat menolak TN Gunung Ciremai, SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai

harus dicabut, (b) SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai tidak perlu dicabut, tetapi proses

penetapan TN Gunung Ciremai harus diulang dari awal karena tidak ada proses konsultasi publik yang

transparan, (c) SK Menhut tentang penetapan TN Gunung Ciremai tidak perlu dicabut, proses tidak

perlu diulang tetapi untuk menjamin PHBM bisa diakomodir dalam pengelolaan TN Gunung Ciremai,

maka LPI PHBM harus terlibat dalam penyusunan Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai.

B.8.2. Solusi yang Ditawarkan

Pada saat dialog antara LPI PHBM dengan Ditjen PHKA, dicapai kesepakatan bahwa tawaran solusi

ketiga yang dipilih. Ini berarti peluang masyarakat untuk tetap mengembangkan PHBM di TN Gunung

Ciremai tetap terbuka. Masyarakat, melalui LPI PHBM justru bisa mempengaruhi pengelolaan TN

Gunung Ciremai. Akhirnya Departemen Kehutanan mengirim surat kepada Bupati Kuningan dan Bupati

Majalengka, yaitu Surat Dirjen Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam (PHKA) No. S.56/IV-KK/2005

tanggal 26 Januari 2005 yang ditujukan kepada Bupati Kuningan dan Bupati Majalengka. Dalam surat

Dirjen PHKA tersebut disebutkan beberapa hal penting dalam rangka tindak lanjut TNGC, yakni:

1. Perlu dilakukan kajian lebih lengkap dan komprehensif;

2. Kajian melibatkan para pihak secara partisipatif;

3. Pelaksanaan kajian difasilitasi Pemda;

4. Perlunya pembahasan multi pihak mengenai bentuk pengelolaan TNGC secara kolaboratif

sesuai Permenhut No P. 19/Menhut-II/2004 yang berbasis masyarakat, termasuk PHBM;

5. Implementasi program PHBM yang sudah berjalan dapat dilanjutkan selama sesuai dengan fungsi

taman nasional.

B.8.3. Proses dan Hasil

Page 68: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

68

Setelah proses negosiasi selesai dengan dikeluarkannya Surat Ditjen PHKA kepada Bupati Kuningan

dan Majalengka, para pihak di Kabupaten Kuningan segera menindak lanjutinya dengan mengadakan

dialog multi-pihak.

1. Dialog Multi-Pihak untuk Membangun Komitmen

Dialog tersebut dimaksudkan untuk membangun kesamaan pemahaman dan komitmen yang

dikristalkan dalam Rencana Tindak Lanjut. Hasil keluaran dari pertemuan tersebut pada dasarnya

merupakan Action Plan (Rencana Aksi) bersama yang memuat rencana kegiatan: kajian kebijakan,

pengamanan pendakian, pencegahan dan penangan kebakaran, rehabilitasi hutan, kajian pola

agroforestry, kerjasama lintas desa, penyusunan konsep pengelolaan TNGC kolaboratif serta input

percepatan proses TNGC kolaboratif.

2. Implementasi Rencana Aksi Hasil Dialog Multi-Pihak

Rencana Aksi Bersama sebagaimana hasil dialog multi pihak, mulai diaplikasikan di salah satu desa

hutan di kawasan TNGC yaitu dengan ditandatanganinya Nota Kesepakatan Bersama (NKB) dan

Nota Perjanjian Kemitraan (NPK) antara Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jabar II dengan

masyarakat Desa Pajambon.

Hasil kemajuan yang dicapai dari proses dialogis dan uji coba di Desa Pajambon, para pihak

memandang perlu untuk segera dibentuk sebuah Tim Pengkajian TNGC Kolaboratif. Diharapkan

melalui Tim Pengkajian TNGC Kolaboratif, seluruh Rencana Aksi bersama sebagaimana disepakati

para pihak, akan terfokus melalui kajian pada masing-masing Tim yang ditunjuk.

3. Pembentukan Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai

Untuk hal ini Bupati Kuningan telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 522.81/KPTS.251-

Dishutbun/2005 tanggal 11 Juli 2005 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Taman Nasional Gunung

Ciremai. Berdasarkan SK tersebut Tim yang telah terbentuk dibagai menjadi 3 (tiga) Kelompok

Kerja (Pokja). Pokja I bertugas mengkaji kebijakan, Pokja II bertugas membentuk format

kelembagaan dan mekanismenya, serta Pokja III bertugas menyiapkan konsep penataan zonasi.

Hasil yang telah dicapai kelompok kerja tersebut, adalah: Konsep Nota Kesepahaman antara

Direktur Jenderal PHKA dengan Bupati Kuningan tentang Pengelolaan TNGC Kolaboratif; Konsep

Pembentukan Organisasi dan Mekanisme Kerja Lembaga Kolaborasi TNGC, serta Konsep Penatan

Zonasi TNGC.

4. Penyusunan Draft Rencana Pengelolaan TN Gunung Ciremai

Pada tanggal 16 dan 31 Mei 2006 pihak BKSDA Jabar II mengundang para pihak dari Kabupaten

Kuningan dan Majalengka untuk membahas Draft Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung

Ciremai (RPTNGC) yang disusun tim konsultan dari Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti

(Unwim). Secara keseluruhan materi draft tersebut masih mencerminkan sistem pengelolaan

Taman Nasional konvensional, jauh dari harapan para pihak khususnya di Kabupaten Kuningan yang

sedang berproses mencari bentuk pengelolaan TN Gunung Ciremai secara kolaboratif berbasis

masyarakat melalui sinergitas program pemerintah pusat dan daerah.

Berdasarkan hal tersebut disepakati untuk membentuk Tim yang anggotanya terdiri atas unsur para

pihak Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, BKSDA Jabar II dan konsultan, untuk

memperbaiki draft RPTNGC, agar dalam implementasinya dapat diterima dan didukung para pihak

di kedua kabupaten tersebut.

Perubahan mendasar yang dihasilkan dalam perbaikan draft Rencana Pengelolaan TNGC antara

lain, yaitu:

Page 69: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

69

a. Keberadaan masyarakat desa sekitar hutan beserta kearifan lokalnya, diposisikan sebagai

potensi dalam perlindungan dan pengamanan hutan serta memberikan peluang kepada

masyarakat sebagai mitra Balai TN Gunung Ciremai dengan menerapkan manajemen

kolaborasi dan berbagi/sharing sesuai tanggung jawabnya.

b. Mengakomodasi pelibatan para pihak secara partisipatif sebagai perwujudan pengelolaan TN

Gunung Ciremai secara kolaboratif, terutama dalam proses penyusunan Rencana Pengelolaan,

penataan zonasi kawasan dan penataan kelembagaan.

c. Dalam analisa penentuan zonasi selain mendasarkan pada aspek potensi sumberdaya alam dan

ekosistemnya serta karakteristik biofisik wilayah, juga memperhatikan aspek sosial ekonomi

dan budaya masyarakat sekitar TN Gunung Ciremai.

Perbaikan draf RPTNGC tersebut dilakukan melalui serangkaian focus group discussion dan

workshop yang dilakukan di Kabupaten Kuningan maupun Majalengka selama kurun waktu bulan

Juni-September 2006. Rangkaian pertemuan para pihak tersebut pada intinya adalah untuk

mengintegrasikan hasil kajian pokja-pokja dari Tim Pengkajian TN Gunung Ciremai, terutama

integrasi sistem pengelolaan yang telah ada yakni PHBM ke dalam rumusan hasil tim konsultan.

Namun sampai sekarang (2009), draft RPTNGC yang telah diperbaiki dan disepakati bersama para

pihak tersebut belum disahkan oleh Departemen Kehutanan.

Kendala terhambatnya proses pengesahan RPTNGC ini justru terjadi setelah Balai TN Gunung

Ciremai definitif pada tanggal 1 November 2006 menggantikan BKSDA Jabar II. Keberadaan Kepala

Balai TN Gunung Ciremai yang menandai definitifnya institusi pengelola TN Gunung Ciremai

tersebut menimbulkan kemandekan komunikasi dan koordinasi dengan pihak Pemerintah

Kabupaten Kuningan dan Majalengka maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta para pihak

lainnya di kedua kabupaten tersebut. Sementara untuk mengesahkan RPTNGC diperlukan

rekomendasi dari pihak pemerintah daerah, baik kabupaten maupun provinsi. Namun sikap

pasif/saling menunggu dari kedua belah pihak menyebabkan rekomendasi yang diperlukan tidak ada.

Di sisi lain, masyarakat desa terus menuntut untuk segera dilakukan review Nota Kesepakatan

Bersama (NKB) dan Nota Perjanjian Kerjasama (NPK) dari yang tadinya dengan Perhutani

diperbaharui menjadi dengan Balai TN Gunung Ciremai. NKB dan NPK baru ini sangat diperlukan

masyarakat untuk menjamin keberlanjutan PHBM yang telah dilaksanakan sebelumnya serta sebagai

payung hukum atas hak akses masyarakat terhadap kawasan TN Gunung Ciremai. Namun

demikian seperti halnya RPTNGC, sampai terjadinya pergantian Kepala Balai TN Gunung Ciremai

pada bulan Agustus 2009, belum ada satu desa pun yang berhasil menandatangani NKB dan NPK

yang baru. Padahal beberapa desa telah mengajukan draft hasil review versi masyarakat yang

dilakukan melalui musyawarah-musyawarah di desa.

5. Tuntutan Masyarakat Untuk Me-review NKB dan NPK

Pola pemanfaatan lahan (pengelolaan berbasis lahan) yang dilakukan oleh masyarakat di kawasan

TN Gunung Ciremai merupakan salah satu hal yang membuat pihak Balai TN Gunung Ciremai

belum merespon keinginan masyarakat untuk mereview NKB dan NPK yang baru. Sikap kaku dan

pemahaman yang masih konvensional dari pihak Balai TN Gunung Ciremai terhadap aturan yang

ada bahwa taman nasional harus steril dari akses manusia merupakan salah satu alasannya.

Sementara masyarakat sudah eksis di dalam kawasan jauh sebelum Gunung Ciremai menjadi taman

nasional dan secara legal diakui keberadaannya sejak adanya PHBM.

Kegiatan pengelolaan kawasan oleh masyarakat melalui penerapan PHBM sebetulnya sudah banyak

yang sesuai dengan fungsi kawasannya, misalnya dengan pengembangan agroforestry tanaman kayu

hutan dengan jenis MPTS (multi purpose trees species) buah-buahan dan tanaman bawah tegakan

seperti lada, nilam, dan lain-lain. Atau kegiatan lain dengan pemanfaatan potensi alam sebagai obyek

wisata alam. Memang masih ada masyarakat di beberapa desa yang pola pemanfaatan lahannya

Page 70: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

70

belum sesuai dengan fungsi kawasannya, yakni dengan kegiatan pertanian sayuran. Namun secara

bertahap mereka telah mulai beralih komoditi dengan menanam jenis MPTS buah-buahan sebagai

pengganti sayuran, walaupun masih dengan skala-skala kecil karena keterbatasan kemampuan

secara swadaya.

Masyarakat sebetulnya sudah menyatakan siap dan berkomitmen bila NKB dan NPK segera

direview dan ditandatangani akan segera beralih komoditi dari sayuran menjadi jenis MPTS buah-

buahan, termasuk menanam jenis tanaman hutan endemik Ciremai. Apalagi bila ada fasilitasi

pendanaan atau dukungan program dari pihak Balai TN Gunung Ciremai maupun pemerintah

daerah. Hanya usulannya masyarakat meminta ada masa tenggang (transisi) sekitar 5 tahun untuk

peralihan tersebut serta komposisi jenis tanaman 40% : 60% antara tanaman endemik Ciremai

dengan tanaman buah-buahannya.

Pihak Balai TN Gunung Ciremai hanya memberikan masa transisi 3 tahun dan komposisi jenis

tanaman 70% : 30% antara tanaman endemik dan buah-buahan. Namun karena pernyataan ini

diungkapkan hanya secara lisan (tidak dituangkan menjadi kebijakan tertulis Balai TN Gunung

Ciremai), proses pengawalan yang lemah di lapangan, serta tidak segera direviewnya NKB dan NPK

membuat proses peralihan pola pemanfaatan oleh masyarakat ini tidak berjalan.

Beberapa desa melalui fasilitasi pendampingan dari LSM Kanopi tetap berupaya membuktikan dan

menjalankan komitmen untuk beralih pola pemanfaatan tersebut, misal di Desa Puncak, Karangsari,

dan Gunungsirah. Namun karena keterbatasan kemampuan swadaya masyarakat maupun LSM-nya

maka luasan lahan dan jumlah pohon yang ditanam skalanya sangat kecil. Jenis tanamannya memang

lebih banyak MPTS buah-buahan dengan pemikiran setelah 5 tahun dapat segera mengganti sumber

pendapatan ekonomi masyarakat yang hilang karena tidak lagi menanam sayuran.

Upaya-upaya masyarakat ini kurang mendapat respon positif dari pihak Balai TN Gunung Ciremai

bahkan dinilai masyarakat maupun pendampingnya (Kanopi) tidak pro konservasi karena terlalu

ekspansif menanami Gunung Ciremai dengan jenis MPTS buah-buahan. Di salah satu desa, kegiatan

penanaman ini sempat dihentikan petugas dengan alasan tidak komunikasi dan koordinasi. Padahal

saat penentuan jenis tanaman dan waktu penanamannya telah dimusyawarahkan di desa yang

sebetulnya dihadiri juga petugas tersebut dan kesepakatan hasil musyawarah telah dilaporkan ke

pimpinan Balai TN Gunung Ciremai. Alasan lain yang selalu dikemukakan adalah tidak adanya aturan

yang memayungi pemanfaatan kawasan TN berbasis lahan serta penanaman dengan jenis MPTS

buah-buahan.

6. Dialog Untuk Membangun Kesepakatan Antara Pemkab Kuningan dengan Balai TN Gunung

Ciremai

Guna mengisi kekosongan aturan-aturan yang selalu dijadikan alasan yang akhirnya dirasakan

menghambat kegiatan-kegiatan di lapangan, para pihak di Kabupaten Kuningan mendorong untuk

dibuatnya kesepakatan bersama antara Balai TN Gunung Ciremai dengan Pemerintah Kabupaten

Kuningan. Mulai pertengahan tahun 2007, pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten

Kuningan, LSM Kanopi, dan personal-personal yang tergabung dalam LPI PHBM beserta Balai TN

Gunung Ciremai kemudian merancang draft kesepakatan bersamanya. Setelah melalui proses yang

panjang akhirnya nota kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Kepala Balai TN Gunung Ciremai

dan Bupati Kuningan pada tanggal 02 Februari 2008 tentang Optimalisasi Pengelolaan TN Gunung

Ciremai.

Kesepakatan bersama tersebut salah satu poinnya adalah untuk memayungi kegiatan-kegiatan

masyarakat dalam pengelolaan kawasan Gunung Ciremai melalui PHBM, terutama yang telah sesuai

dengan aspek-aspek konservasi. Kesepakatan ini dimaksudkan untuk mengharmoniskan harapan

Page 71: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

71

dan kepentingan para pihak di daerah dengan kepentingan pusat beserta aturan-aturan

pengelolaannya.

7. Penyusunan Konsep Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat (PKKBM)

Memasuki tahun 2008, pihak Balai TN Gunung Ciremai mulai terbuka terhadap para pihak di daerah

untuk menggagas pengelolaan kolaboratif kawasan TN Gunung Ciremai. Di antara proses-proses

yang sedang dibangun melalui berbagai FGD dan workshop multipihak misalnya penyusunan konsep

PKKBM (Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis/Bersama Masyarakat), pembentukan

kelembagaan kolaboratif, serta proses zonasi TN Gunung Ciremai.

Di tataran praktis, misalnya di lapangan dilakukan kegiatan-kegiatan rehabilitasi yang dilakukan

bersama masyarakat melalui program GNRHL, pembentukan Tim Satgas Damkar (Satuan Tugas

Pemadam Kebakaran) yang beranggotakan masyarakat desa sekitar kawasan, pembentukan dan

pembinaan kader konservasi dari masyarakat desa, kelompok-kelompok pecinta alam, maupun

siswa-siswa sekolah untuk menjadi mitra kerja dalam memberikan pembinaan dan penyuluhan

kepada masyarakat, serta penyelenggaraan program-program pemberdayaan ekonomi seperti

bantuan ternak dan pembuatan kebun bibit masyarakat/desa.

Kegiatan-kegiatan tersebut berjalan melalui dukungan dari program Balai TN Gunung Ciremai,

dinas/instansi Pemkab maupun Pemprov, serta LSM. Namun masih terdapat sedikit kendala yakni

penilaian dari pihak pusat (Dephut) terutama terhadap program pemberdayaan ekonomi yang

dilakukan Balai TN Gunung Ciremai. Dephut menilai bahwa program pemberdayaan ekonomi

bukanlah domain Balai TNGC, sementara masyarakat menuntut Balai TNGC tidak hanya melarang

setiap kegiatan pengelolaan kawasan yang dilakukan masyarakat, tapi juga turut membantu

pemberdayaan ekonominya sebagai kompensasi hilangnya sumber pendapatan masyarakat dari

hutan.

Pada tataran konsep, saat itu telah dihasilkan dan masih terus dibahas draft konsep PKKBM sebagai

payung untuk sistem pengelolaan yang akan diimplementasikan di kawasan TN Gunung Ciremai.

Konsep ini disusun untuk mengintegrasikan sistem pengelolaan yang telah ada sebelumnya yakni

PHBM ke dalam sistem pengelolaan TN yang diatur berdasarkan aturan-aturan yang ada

sebelumnya. Pengintegrasian PHBM ini tentu saja melalui penyesuaian-penyesuaian dengan fungsi

kawasan konservasi saat ini, misalnya tidak lagi berorientasi pada hasil kayu melainkan hasil hutan

bukan kayu dan jasa lingkungan, serta tidak mengokupasi lahan baru melainkan mengoptimalkan

pemanfaatan lahan yang telah ada secara lestari dengan tanaman MPTS buah-buahan maupun

tanaman bawah tegakan.

8. Perubahan Fokus PKKBM dari Pemanfaatan Lahan Menjadi Pemanfaatan Jasa Lingkungan

Berawal dari kebutuhan untuk adanya mekanisme kerjasama pengelolaan jasa lingkungan air dan

wisata alam antara hulu-hilir, maka diadakan pertemuan para pihak yang meliputi wilayah

CIAYUMAJAKUNING (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan). Pertemuan berupa

Lokakarya diadakan pada tanggal 6 Juli 2009 yang difasilitasi Balai TNGC. Lokakarya yang diadakan

di Hotel Tirta Sanita Kuniingan dihadiri oleh Bupati Kuningan, Bupati Majalengka dan Kepala Badan

Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah III Jawa Barat.

Tujuan Lokakarya adalah membangun kesepahaman diantara berbagai pihak mengenai pengelolaan

jasa lingkungan dan wisata alam di kawasan TN Gunung Ciremai dan sistem hulu hilir. Sistem hulu

hilir adalah mekanisme yang dapat menghubungkan para pemanfaat di daerah hilir dengan pengguna

lahan di daerah hulu, adalah salah satunya melalui mekanisme imbalan yang tepat. Hal ini mungkin

merupakan strategi kunci yang diperlukan untuk menangani kemiskinan pedesaan di daerah hulu

sekaligus sebagai cara yang hemat biaya dalam meningkatkan pembangunan daerah hulu dan

melestarikan nilai ekosistem hulu DAS.

Page 72: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

72

Dalam Lokakarya tersebut diperoleh suatu rumusan yang menyatakan bahwa agar pengelolaan jasa

lingkungan air berjalan dengan baik maka perlu dibentuk wadah komunikasi antara para pengguna

jasa lingkungan air dan wisata alam di Gunung Ciremai. Walaupun begitu perlu adanya konsep yang

jelas tentang forum pengguna jasa lingkungan air dan wisata alam di wilayah Ciayumajakuning

dengan melibatkan perwakilan stakeholders di Ciayumajakuning. Oleh karena itu perlu dibentuk

kelembagaan multi-pihak atau paling tidak berupa forum.

Forum diharapkan ini tidak hanya memikirkan jasa lingkungan dan wisata alam saja tetapi juga harus

menjadi mitra yang positif dalam membantu permasalahan yang ada di Gunung Ciremai seperti

kebakaran hutan, rehabilitasi kawasan, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dan

penanggulangan bencana.

9. Pembentukan Dewan Kemitraan Pengelolaan TN Gunung Ciremai

Setelah itu diadakan Lokakarya kedua pada tanggal 22 Juli 2009 yang difasilitasi oleh Dishut Provinsi

Jawa Barat untuk menindaklanjuti pembentukan kelembagaan kolaborasi multi-pihak. Pada

Lokakarya tersebut disepakati nama (sementara) kelembagaan kolaborasi tersebut adalah Dewan

Kemitraan Pengelolaan TN Gunung Ciremai. Keanggotaannya terdiri dari perwakilan unsur Balai

TN Gunung Ciremai, Pemprov Jawa Barat, Pemkab dan Pemkot, perguruan tinggi, LSM, masyarakat

desa, serta swasta/perusahaan yang ada di Ciayumajakuning.

Direncanakan dewan kemitraan ini akan dilegalkan melalui SK Gubernur Jawa Barat, namun masih

dalam proses pembahasan kelembagaannya. Beberapa kekhawatiran masih ada terutama dari

institusi pemerintah, baik Balai TN Gunung Ciremai maupun dinas/instansi pemerintah daerah

bahwa keberadaan dewan kemitraan ini akan menjadi super body yang akan mengambil alih dan

menghilangkan kewenangan dan tupoksi mereka. Kekhawatiran lain datang dari pihak swasta

terutama dalam pemanfaatan jasa lingkungan air dan wisata alam yakni akan adanya pungutan baru

yang dibebankan kepada mereka selaku pengguna jasa-jasa tersebut. Sehingga sampai saat itu

dewan kemitraan tersebut belum definitif karena masih terus dibahas dan disusun oleh tim kecil

agar kekhawatiran para pihak tadi tidak terjadi atau paling tidak diminimalisir.

10. Perubahan dari Dewan Kemitraan Pengelolaan TN Gunung Ciremai menjadi Forum Kemitraan

Kawasan Lindung Gunung Ciremai (FKKLGC)

Akhirnya, pada saat Lokakarya Forum Fasilitasi Kelembagaan Masyarakat Pengguna dan Penyedia

Pemanfaatan Jasa Lingkungan di TN Gunung Ciremai diadakan pada tanggal 25 Maret 2010 yang

difasilitasi kembali oleh Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat terbentuklah Forum Kemitraan

Kawasan Lindung Gunung Ciremai (FKKLGC). Forum ini merupakan kelanjutan pembahasan pada

Lokakarya 22 Juli 2009. Diharapkan melalui kelembagaan ini, pengelolaan kawasan lindung Gunung

Ciremai yang termasuk didalamnya adalah kawasan TN Gunung Ciremai, lahan milik dan hutan

rakyat dapat berjalan berdasarkan peran dan tanggung-jawab masing-masing pihak termasuk

kontribusi untuk pendanaanmya.

Pada tahap selanjutnya, TN Gunung Ciremai mulai aktif membangun kolaborasi. Sejak tahun 2010,

ketika Balai TN Gunung Ciremai dipimpin Pak Padmo, mulai dilakukan pendekatan yang berbeda.

Untuk mengatasi konflik yang terjadi dilakukan strategi pelibatan kelompok elite/ tokoh yang

berpengaruh di sekitar TN Gunung Ciremai. Pada tahun 2010 ada arahan untuk perubahan

pendekatan dari pengelolaan fisik ke pengelolaan jasa lingkungan. Pada jaman Pak Padmo menjadi

Kepala TN Gunung Ciremai, masyarakat mulai difasilitasi untuk mengelola wisata melalui

pemberian ijin. Banyak kelompok masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan obyek wisata yang

ada di dalam kawasan TN Gunung Ciremai, seperti air terjun dan bumi perkemahan.

Keputusan TN Gunung Ciremai dalam pengembangan pelibatan masyarakat dalam usaha wisata

alam dan siapa saja yang dilibatkan merupakan hasil kesepakatan yang didukung oleh kelompok

Page 73: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

73

elite/ tokoh tersebut. Sejak saat itu konflik berhasil diredam dan wisata alam di TN Gunung Ciremai

berkembang sangat baik.

11. Perubahan dari FKKLGC menjadi Forum Ciremai

Forum Kemitraan Kawasan Lindung Gunung Ciremai (FKKLGC) kemudian beradaptasi dan

mengganti namanya menjadi Forum Ciremai pada tahun 2012. Peranan Forum CIremai terutama

adalah memfasilitasi proses kemitraan dengan memberikan rekomendasi kelayakan dari pemohon

ijin wisata alam kepada Balai Taman Nasional. Akan tetapi pada prakteknya tidak hanya

rekomendasi yang diberikan oleh forum tapi forum juga memberikan pendampingan dokumen-

dokumen persiapan pengajuan izin dan lainnya karena masyarakat sendiri kurang paham. Bahkan

sampai pengecekan ke lapangan sesuai kebutuhan.

Sampai tahun 2019, telah ada 97 pemegang izin IUPJWA (Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Wisata

Alam). Jenis-jenis IUPJWA yang ada sampai saat ini berupa izin perjalanan wisata, izin transportasi

wisata, izin pramuwisata, izin penyedia makan dan minum serta izin penyedia cindera mata. Dari

kesembilan puluh tujuh pemegang izin tersebut, hanya ada satu perusahaan, yaitu CV Wisata Putri

Mustika yang memegang lima izin (IUPJWA) yaitu untuk izin perjalanan wisata, izin transportasi

wisata, izin pramuwisata, izin penyedia makan dan minum serta izin penyedia cindera mata. Sisanya

sebanyak 92 IPJWA dipegang oleh perorangan. Selain itu ada satu koperasi yang juga memperoleh

IPJWA jenis pramuwisata yaitu Koperasi Agung Lestari yang mengelola pramuwisata di Curug

Cipeuteuy.

Izin perorangan lebih mudah diperoleh karena hanya mengajukan surat permohonan, fotokopi KTP

dan surat rekomendasi dari Forum Ciremai. Sedangkan izin atas nama badan usaha syaratnya lebih

banyak yaitu (1) surat permohonan, (2) proposal dan rencana usaha, (3) fotokopi akte pendirian,

(4) fotokopi NPWP, (5) fotokopi SIUP, (6) fotokopi TDP, (7) Laporan Keuangan (Neraca,

Perhitungan Hasil Usaha, Perhitungan Modal), (8) Referensi Bank. Dengan banyaknya persyaratan

yang harus dilengkapi oleh Badan Usaha untuk memperoleh IUPJWA, maka tidak heran apabila

sebagian besar pemohon izin adalah perorangan, karena syaratnya sangat mudah.

Manfaat wisata bagi masyarakat lokal dirasakan betul oleh pemegang izin (IUPJWA). Perubahan

pendekatan dari teknis perlindungan menjadi pemberdayaan melalui pengembangan wisata alam

meredakan konflik. Resistensi masyarakat jauh berkurang karena memberikan manfaat ekonomi

langsung dan pada saat yang sama masyarakat turut menjaga TN dari kebakaran hutan, perburuan

liar atau kegiatan lain yang bertentangan dengan tujuan konservasi. Perbaikan tutupan lahan juga

berpengaruh terhadap ketersediaan air saat ini jauh lebih baik. Sebaliknya, manfaat wisata belum

merata. Dari seluruhnya penggarap lahan ex-hutan lindung baru 25% yang terlibat dalam pariwisata

alam.

B.8.4. Pembelajaran (Lessons Learned)

Semangat kesukarelawanan (volunterism) yang dimiliki oleh para penggiat kolaborasi di Kuningan telah

menyebabkan lembaga kolaborasi multi-pihak tetap hidup dan berfungsi, dan dapat beradaptasi dengan

segala perubahan yang terjadi.

Pendekatan yang dilakukan oleh Balai TN Gunung Ciremai untuk pemberdayaan masyarakat melalui

pemberian ijin wisata alam, belum sepenuhnya berhasil mengakomodir mantan penggarap lahan. Hal

ini bisa menjadi potensi konflik di kemudian hari apabila tidak segera diatasi.

B.9. Kemitraan Konservasi di TN Sebangau: Wisata Berbasis Masyarakat

Kawasan Taman Nasional Sebangau merupakan salah satu Kawasan Konservasi yang berada di Provinsi

Kalimantan Tengah. Sebelum menjadi kawasan konservasi, area ini merupakan hutan produksi, dimana

Page 74: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

74

waktu itu masyarakat cukup bebas untuk melakukan aktifitas ekstraksi sumberdaya alam. Sebagian besar

aktifitas masyarakat di dalam kawasan yang menjadi ancaman adalah penebangan liar.

B.9.1. Permasalahan yang Dihadapi di Kawasan TN Sebangau

Penunjukan kawasan TN Sebangau pada tahun 2004 membuat akses masyarakat menjadi sangat

terbatas, sehingga muncul penolakan terhadap keberadaan TN Sebangau. Keberadaan TN Sebangau

dianggap merugikan masyarakat karena menghilangkan mata pencahariannya, terutama sebagai

penebang kayu. Sebagai contoh, di wilayah Desa Karuing Kabupaten Katingan hingga tahun 2009

masyarakat masih ada yang menolak keberadaan TN Sebangau walaupun sudah ada pendampingan dari

CARE dan WWF sejak 2006.

Sebelum adanya penertiban pada 2005, sebagian besar matapencaharian masyarakat desa karuing adalah

sebagai penebang kayu/illegal logging. Penertiban yang dilakukan menimbulkan konflik antara

masyarakat dengan pihak Balai TN Sebangau. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pihak Balai TN

Sebangau bersama WWF melakukan pendampingan dan pengembangan wisata alam di wilayah

punggualas.

B.9.2. Pemberian Akses Sebagai Solusi

Seperti dikatakan oleh Ir. Anggodo MM, sebagai kepala Balai TN Sebangau, pemberian akses kepada

masyarakat adalah salah satu untuk menyelesaikan konflik, karena TN Sebangau memberikan manfaat

bagi masyarakat. Hal ini terbukti di desa Karuing, masyarakat yang sebelumnya menolak keberadaan

kawasan TN Sebangau, saat ini menjadi mitra Balai TN Sebangau untuk mengelola kawasan. Bentuk

kerjasama tersebut adalah pemberian akses untuk mengelola jawa wisata melalui perjanjian kerjasama

antara Balai TN Sebangau, WWF, dan Kelompok Sumpul Wisata.

B.9.3. Proses dan Hasil

Pelibatan masyarakat Desa Karuing di TN Sebangau wilayah Punggualas dilakukan sejak 2008 melalui

kerjasama antara Balai TN Sebangau dengan WWF Indonesia Kalteng untuk kegiatan penelitian

orangutan (Pongo pygmaeus). Selain kegiatan penelitian, WWF juga melakukan kegiatan pendampingan

kepada masyarakat mengenai pentingnya kawasan TNS. Simpul Wisata Desa Karuing sendiri dibentuk

pada tahun 2010 melalui SK Kepala Desa Karuing, namun kegiatan di Punggualas masih berfokus untuk

membantu penelitian yang dilakukan oleh WWF. Kegiatan wisata alam Punggualas baru dimulai tahun

2013 dengan didampingi WWF untuk melayani wisatawan yang berkunjung. Hingga adanya

penandatanganan PKS, pengelolaan wisata alam punggualas dilakukan tanpa adanya izin secara tertulis,

namun diketahui dan didukung oleh pihak Balai TN Sebangau.

Penandatanganan PKS pengelolaan wisata alam punggualas dilakukan pada 22 Januari 2018, yang

diinisiasi sejak 2017 jauh sebelum adanya P.6/2018 tentang petunjuk teknis kemitraan konservasi. P.43

tentang pemberdayaan masyarakat di sekitar KSA/KPA dan P.44 tentang tata cara kerjasama

penyelenggaraan KSA/KPA merupakan trigger dari penyusunan PKS untuk pengelolaan punggualas.

Setelah terbitnya P.6/2018 tentang juknis kemitraan konservasi, selanjutnya PKS untuk pengelolaan

wisata alam punggualas telah sesuai dengan perdirjen tersebut, bahkan PKS ini saat ini sedang dalam

proses mendapatkan Kulin KK dari Menteri KLHK.

Kejasama untuk pengelolaan wisata alam punggualas dilakukan oleh tiga pihak, dikarenakan di dalamnya

terdapat asset WWF Kalteng berupa homestay, pondol peneliti, dan titian (wooden trail) yang belum

diserahkan kepada pihak TN Sebangau, hal ini dikarenakan kesulitan dalam biaya pemeliharaan dan

operasionalnya. Dari seluruh asset WWF yang ada di dalam kawasan TN Sebangau diperlukan biaya

pemeliharaan dan operasional yang mencapai 20 miliar.

Page 75: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

75

Melalui kerjasama pengelolaan punggualas, masyarakat diberikan hak untuk melakukan kegiatan,

diantaranya:

1. Jasa transportasi, untuk membawa wisatawan masuk kedalam kawasan pungualas dengan

menggunakan getek.

2. Menggunakan bangunan WWF (homestay), dalam hal ini simpul wisata berhak memungut

uang kebersihan bagi wisatawan yang menggunakan fasilitasnya, untuk mensiasati belum

adanya regulasi untuk memungut biaya penginapan).

3. Menggunakan titian/track (wooden trail) yang sudah dibuat oleh TN Sebangau dan WWF.

4. Penyediaan makanan dan minuman.

5. Jasa memandu wisatawan, untuk membawa wisatawan melihat/mengamati orangutan di

kawasan Punggualas.

Selain pelibatan masyarakat desa karuing mealui Simpul Wisata, pengelolaan wisata alam punggualas

juga telah mengintegrasikan dengan wisata di desa lainnya untuk pertunjukan seni budaya masyarakat

lokal. Sehingga yang mendapatkan manfaat dari keberadaan TN Sebangau lebih luas dan dukungan untuk

menjaga kelestarian TN Sebangau semakin besar. Pengintegrasian ini dilakukan melalui simpul wisata

kecamatan yang meliputi beberapa desa di sekitar Punggualas, walaupun belum berjalan secara

maksimal, namun integrasi wisata ini pernah dilakukan beberapa kali. Selain integrasi wisata, simpul

wisata desa karuing juga saat ini melibatkan masyarakat desa tetangga untuk memenuhi kebutuhan

transportasi darat.

Selama berjalan kegiatan Balai TN Sebangau dan WWF Kalteng telah banyak kegiatan yang dilakukan

di desa Karuing untuk memberikan pemahaman mengenai kawasan konservasi dan peningkatan

kapasitas yang menunjang untuk pengelolaan wisata alam Punggualas.

1. Pengenalan penelitian keanekaragaman hayati mengenai pengenalan jenis dan fenologi.

2. Pengamatan jelajah dan aktifitas harian orangutan.

3. Kelembagaan/manajemen organisasi.

4. Pelayanan wisata untuk memandu wisatawan, mengelola homestay, dan kuliner.

5. Studi banding pengelolaan wisata ke TN Baluran, TN Tanjung Puting, TN Gunung Ciremai, dan

Yogyakarta.

6. Kursus Bahasa inggris dengan mendatangkan guru bahasa Inggris ke Desa Karuing.

Keberhasilan kemitraan konservasi di TN Sebangau untuk wilayah Desa Karuing tentu merupakan hasil

proses yang panjang dan kerjasama para pihak. Menurut Makmun dari WWF Kalimantan Tengah, untuk

mencapai keberhasilan di wilayah Punggualas paling tidak harus melawati: (a) pendekatan dan

pendampingan untuk memberikan pemahaman tentang kawasan konservasi; (b) pembentukan

kelompok masyarakat; dan (c) peningkatan kapasitas.

Kegiatan Simpul Wisata desa karuing yang mulai diinisasi sejak 2010 saat ini telah memiliki payung

hukum melalui PKS yang ditandatangani pada awal 2018. Bahkan awal 2019 ini sedang dalam proses

untuk mendapatkan Kulin KK, sehingga jangka waktu PKS menjadi 35 tahun. Menurut Pak Jeki, sebagai

ketua Simpul Wisata, kemitraan konservasi di TN Sebangau untuk wisata alam Punggualas telah

memberikan dampak positif, diantaranya:

1. Wisata alam Punggualas menjadi alternatif matapencaharian baru dan menambah pendapatan

masyarakat.

2. Kepedulian masyarakat akan pentingnya kawasan TN Sebangau meningkat.

3. Konflik masyarakat dengan pihak Balai TN Sebangau terselesaikan.

4. Kapasitas masyarakat meningkat terutama untuk penelitian dan pelayanan wisata alam

5. Memberikan manfaat bagi desa lainnya melalui kerjasama desa Karuing dengan desa tetangga

untuk penyediaan transportasi darat.

Page 76: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

76

B.9.4. Pembelajaran (Lessons Learned)

Perjanjian kerjasama kolaborasi pengelolaan area punggualas pada zona pemanfaatan di desa Karuing,

Seksi III Kabupaten Katingan adalah satu-satunya PKS yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan

di TN Sebangau.

Sebelum 2005, sebagian besar matapencaharian masyarakat desa karuing adalah sebagai penebang

kayu/illegal logging. Aktivitas penebangan oleh masyarakat di dalam kawasan TN Sebangau yang ditunjuk

pada 2004 ditertibkan pada 2005. Akibat penertiban itu menimbulkan konflik antara masyarakat dengan

pihak BTNS. Selain buntut dari penertiban aktifitas penebangan, masyarakat juga menolak kehadiran

TN Sebangau karena adanya kecurigaan bahwa pihak TN Sebangau akan menguasai dan mengambil

sumberdaya emas yang ada di wilayah Punggualas.

Pendekatan terhadap masyarakat desa Karuing pertama kali dilakukan oleh CARE International pada

tahun 2006 selama setahun. CARE International hidup bersama-sama masyarakat sambil memberikan

pemahaman mengenai pentingnya peran Kawasan TNS. Pendekatan yang dilakukan CARE International

belum cukup untuk merubah pemahaman masyarakat, sehingga penolakan masih dilakukan oleh

sebagian besar masyarakat.

B.10. Kemitraan Konservasi di TN Gunung Halimun Salak: Model Kampung Konservasi

(MKK)

Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ditetapkan sebagai salah satu Taman Nasional,

berawal dari proses penunjukan Taman Nasional dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 dengan luas 40.000 hektar sebagai Taman Nasional Gunung

Halimun dan resmi ditetapkan pada tanggal 23 Maret 1997 sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis

Departemen Kehutanan (UPT BTNGH).

Selanjutnya atas dasar kondisi sumberdaya alam hutan yang semakin terancam rusak, dan adanya

desakan para pihak yang peduli akan konservasi alam, pada tahun 2003 kawasan Halimun ditambah area

dengan memasukkan kawasan Gunung Salak, Gunung Endut yang status sebelumnya merupakan hutan

produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, diubah fungsina menjadi hutan

konservasi, dimasukkan ke dalam satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun

Salak (TNGHS) melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 dengan luas total 113.357

hektar pada tanggal 10 Juni 2003.

B.10.1. Permasalahan yang Dihadapi di Kawasan TN Gunung Halimun Salak

Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (BTNGHS) telah menjalankan pemberdayaan masyarakat

dan pemulihan ekosistem sejak lama melalui MKK (model kampung konservasi). Perubahan dari TNGH

menjadi TNGHS pada tahun 2003 memerlukan sebuah model yang dibutuhkan masyarakat di sekitar

dan di dalam kawasan bersama pengelola demi menjaga kelestarian sumber daya yang ada di kawasan

taman nasional.

B.10.2. MKK Sebagai Solusi

Undang - Undang Otonomi Daerah No. 22 dan No. 25 tahun 1999 yang melatarbelakangi MKK di

TNGHS. MKK memiliki visi “Masyarakat hidup bersama taman nasional”. MKK merupakan sebuah

model dari sebuah kampung yang menerapkan kaidah-kaidah konservasi. Definisi dari kampung

konservasi adalah kampung yang di dalamnya bisa melakukan aktifitas perlindungan secara mandiri,

mampu menjaga ekosistem dan secara ekonomi bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. MKK

ini awalnya dirancang untuk desa konservasi, namun pada pelaksanaannya skala kampung lebih efektif.

MKK memiliki tujuan:

Page 77: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

77

1. Tindakan konservasi dengan partisipasi masyarakat.

2. Pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan di TNGHS yang strategis.

3. Memperkenalkan pengalaman tersebut ke desa lain baik di dalam TNGHS atau luar TNGHS.

Hasil yang diharapkan dalam kegiatan MKK, antara lain:

1. Polisi hutan mampu melakukan penguatan pada Community Based Organization (CBO) untuk

keberlangsungan keberadaan TNGHS.

2. Masyarakat lokal akan mampu mengelola SDA (sumber daya alam) secara berkelanjutan.

3. TNGHS mampu membuat kolaborasi dengan Pemerintah Daerah secara berkelanjutan

khususnya dalam income generating (peningkatan pendapatan).

4. Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) mampu menerapkan efisiensi dan efektifitas

dalam manajemen taman nasional ketika melakukan perluasan kawasan.

MKK memiliki tiga pilar kegiatan, yaitu:

1. Observasi Partisipatif

Joint observation atau observasi partisipatif (OP) adalah sebuah kegiatan pengamatan atau

observasi pada area-area yang direncanakan dan disepakati bersama dengan masyarakat lokal untuk

monitoring, situasi kawasan, membuat jaringan komunikasi yang kuat antara komunitas lokal, LSM

danTNGHS.

2. Rehabilitasi/Restorasi

Rehabilitasi/ restorasi dilaksanakan di wilayah yang terdegradasi, yang ada di tiga seksi pengelolaan

kawasan taman nasional. Rehabilitasi dilakukan bersama-sama antara masyarakat dan pihak taman

nasional. Areal yang sudah direhabilitasi yaitu seluas 20 hektar di wilayah seksi Lebak, 29 hektar di

wilayah seksi Bogor, dan 171 hektar di wilayah seksi Sukabumi. Tanaman yang ditaman dalam

proses rehabilitasi/ restorasi lahan yaitu jenis aren (Arenga pinata), puspa (Scima walicii), pasang

(Quercus suber), rasamala (Altingia excelsa) dan huru (Licea sp) yang merupakan tamanan asli

kawasan TNGHS. Selain tanaman asli juga ditanam beberapa jenis tanaman yang dapat menghasilkan

buah yang nantinya dapat menjadi salah satu penyangga kehidupan masyarakat.

3. Peningkatan Ekonomi Masyarakat (Income Generating)

Bekerja sama dengan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di

TNGHS dengan dukungan Sistem Dukungan (SISDUK). SISDUK dikembangkan melalui Rencana

Kerja Tahunan (RKT). Dasar penyususnannya yaitu dengan MoU antara TNGHS dan Bupati

Sukabumi yang mensyaratkan untuk pelaksanaan kerja sama pemberdayaan masyarakat. Pihak yang

terlibat dalam penyusunan RKT adalah tim koordinasi yang terdiri dari TNGHS, Bappeda (Badan

Perencanaan dan Pembangunan Daerah), Pemdes (Badan Pemerintahan Desa), Dinas Kehutanan,

dan dinas instansi terkait yang lain. Penyusunan RKT oleh tim koordinasi didasarkan pada data

lapangan yang diperoleh dari tenaga lapang dan desa. Diantaranya adalah perjanjian kerja sama

antara BTNGHS dengan masyarakat Desa Cipeuteuy Nomor S.419/IV-T.13/III.I/2007 tentang

pemanfaatan lahan garapan di zona khusus Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

B.10.3. Proses dan Hasil

Proses pembentukan MKK, yaitu:

1. MKK merupakan program yang dinisiasi oleh BTNGHS sejak tahun 2003, untuk pilot project

dilakukan pada tahun 2004 -2007. Sejak tahun 2004 dilakukan persiapan dan pendidikan petugas

Taman Nasional. Pada tahun 2005 MKK didukung oleh JICA dan mulai diadakan persiapan

sosial di dua desa yaitu Desa Sirnaresmi (masyarakat adat) dan Kampung Cipeuteuy

Page 78: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

78

(masyarakat non adat) yang menghasilkan guideline MKK ke Kampung Konservasi. MKK di

TNGHS dilakukan di dua tipe masyarakat, yaitu masyarakat desa dan masyarakat kasepuhan.

MKK di masyarakat desa lebih berhasil dipengaruhi oleh sistem sosial dan kepemimpinan di

tingkat masyarakat.

2. Pada tahun 2008 MKK konservasi BTNGHS berjalan atas dukungan dari BTNGHS, selain

mendapatrkan dukungan dari Pemerintah Daerah Sukabumi melalui, MKK mendapatkan

dukungan dari BUMN (ANTAM, PLN), CIFOR, dll.

3. Tahapan yang dilakukan adalah, pendekatan dan pendampingan, pembentukan kelompok,

penyusunan rencana program, peningkatan kapasitas, penandatanganan kesepakatan,

pelaksanaan program.

4. Hak-hak yang didapatkan oleh masyarakat melalui MKK diantaranya yaitu diberi akses untuk

menggarap lahan di zona khusus, dengan catatan tidak boleh ada perluasan, masyarakat diberi

akses untuk mengelola wisata alam, masyarakat mendapatkan pendampingan.

5. Kewajiban yang harus dilakukan masyarakat diantarnya yaitu wajib menanam untuk

rehabilitasi/restorasi lahan, masyarakat dilarang mengambil hasil hutan kayu, walaupun hasil

menanam sendiri.

Saat ini, MKK yang masih berjalan adalah MKK Sukagalih dan MKK Cisangku. MKK Sukagalih

ditandatangani pada tahun 2008 dengan jumlah kelompok mencapai 40 KK. Sedangkan MKK Cisangku

ditandatangani pada tahun 2007.

Hasil MKK, antara lain:

1. Ada pengembangan matapencaharian di luar kawasan seperti peternakan.

2. Ada matapencaharian baru berupa pengembangan wisata alam.

3. Masyarakat telah melakukan rehabilitasi/restorasi di kawasan TNGHS.

4. Masyarakat menggarap lahan secara legal.

5. Konflik antara BTNGHS dengan masyarakat terselesaikan.

6. Adanya learning center di Sukagalih sebagai tempat belajar tentang lingkungan dan konservasi

ataupun berbagai kegiatan masyarakat.

7. Masyarakat Cisangku mendapatkan IUPJWA.

B.10.4. Pembelajaran (Lessons Learned)

1. Pendekatan dan pemberian pemahaman kepada masyarakat diberikan secara intens, salah

satunya dengan metode hidup bersama masyarakat hingga 22 hari dalam sebulan selama 3-4

tahun.

2. Tipikal masyarakat Sukagalih dan Cisangku demokratis, jika ada masalah dibicarakan bersama.

3. Ada dukungan dari berbagai pihak/kolaborasi.

4. Melakukan proses secara bertahap, yaitu:

a. Pendekatan dan pendampingan

b. Perencanaan partisipatif

c. Peningkatan kapasitas

d. Pelaksanaan program

5. Memberikan manfaat bagi masyarakat, terutama manfaat ekonomi.

6. Pendanaan yang cukup dalam melaksanakan program.

B.11. Kemitraan Konservasi di TN Meru Betiri: Mekanime Apresiasi Untuk Petani

Rehabilitasi

Pada mulanya, Meru Betiri merupakan hutan lindung yang ditetapkan berdasarkan Besluit van den

Directur van Landbouw Neverheiden Handel nomor 7347/B pada 29 Juli 1931, serta Besluit van

Economische Zaken nomor 5751 pada 28 April 1938. Pada 1967, kawasan ini ditunjuk sebagai calon

Page 79: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

79

Suaka Alam dan ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa seluas 50.000 hektare berdasarkan SK Menteri

Pertanian nomor 276/Kpts/Um/6/1972 pada 6 Juni 1972 dengan tujuan utama sebagai perlindungan

terhadap jenis Harimau Jawan (Panthera tigris sondaica).54

Pada 1982, SM Meru Betiri diperluas menjadi 58.000 hektare melalui Surat Keputusan Menteri

Pertanian No. 529/Kpts/Um/6/1982 tanggal 21 Juni 1982 dengan memasukkan ex areal Perkebunan PT.

Bandealit dan PT. Sukamade seluas 2.155 Ha dan menggabungkan hutan lindung di sebelah utaranya

serta sepanjang pantai selatan seluas 5.845 Ha. Pada tanggal 14 Oktober 1982, berdasarkan Surat

Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982, SM Meru Betiri dinyatakan sebagai Calon

Taman Nasional. Selanjutnya pada tahun 1997 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan

(Kepmenhut) Nomor: 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 ditunjuk sebagai TNMB dengan luasan

58.000 Ha.55

Kemitraan konservasi sejauh ini belum menjadi isu utama di TNMB. Wilayah Taman Nasional (TN)

yang meliputi dua kabupaten ini – Jember dan Banyuwangi –menitik beratkan mendorong model-model

kerjasama dengan para pihak terkait dengan program konservasi kawasan, pengamanan kawasan,

pemberdayaan masyarakat, pengembangan wisata edukasi dan pendataan habitat serta spesies

penting56. Hal ini sejalan dengan visi TNMB 2018 - 2027, yakni: “Menjadikan Taman Nasional Meru

Betiri sebagai Pusat Wisata Edukasi dengan Biodiversitas Terutuh di Indonesia.“57

Visi tersebut mengandung pengertian: 1) Pantai Sukamade menjadi pusat wisata edukasi satwa penyu

di Indonesia58, 2) Keanekaragaman hayati TNMB terjaga kelestariannya dengan tidak ada satu jenis-pun

yang punah dan terdapat penambahan jenis-jenis baru yang belum diketahui, 3) Potensi keanekaragaman

hayati TNMB yang belum tergali menjadi tujuan utama penelitian dan pendidikan, 4) Perlindungan dan

pengamanan kawasan menjadi kunci keutuhan biodiversitas TNMB, dan 5) Peningkatan peran serta

masyarakat daerah penyangga dalam menjaga kelestarian kawasan TNMB.59

Walau demikian, diakui implementasi Kemitraan Konservasi sesungguhnya berkemungkinan besar

dapat turut mendukung upaya pencapai visi TNMB. Kemitraan Konservasi diyakini mampu menjawab

tantangan lapangan yang terus berkembang.60

B.11.1. Permasalahan yang Dihadapi di Kawasan TN Meru Betiri

Pada mula reformasi – sejak 1998 hingga 2002 – terjadi perambahan hutan yang cukup massif di TNMB.

Para perambah merangsek masuk ke dalam kawasan dan menebangi pohon jati yang ditinggalkan Perum

Perhutani. Bukan hanya jati, hutan alam pun tak luput dari jarahan. Para penjarah berasal dari desa-

desa yang jauh di luar dari kawasan TN. Dalam periode tersebut, hutan-hutan TNMB telah menjelma

54 Dokumen Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Meru Betiri Provinsi Jawa Timur

Periode 2018 - 2027 55 Dokumen Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Meru Betiri Provinsi Jawa Timur

Periode 2018 - 2027 56 Wawancara mendalam dengan Unit Pengelola / Balai TNMB, Jember, 14 dan 18 Januari 2019. 57 Dokumen Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Meru Betiri Provinsi Jawa Timur

Periode 2018 - 2027 58 Sebagai catatan, Pantai Sukamande terletak di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Kawasan ini

merupakan tempat pendaratan penyu. Terdapat 4 jenis penyu yang kerap bertelur di wilayah ini, yakni:

penyu hijau (Chelonia mydas), penyu slengkrah (Lepidochelys olivaceae), penyu sisik (Eretmochelys imbricata),

dan penyu belimbing (Dermochelys coriaceae) 59 Dokumen Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Meru Betiri Provinsi Jawa Timur

Periode 2018 - 2027 60 Wawancara mendalam dengan Unit Pengelola / Balai TNMB, Jember, 14 dan 18 Januari 2019.

Page 80: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

80

menjadi kawasan kering yang tandus. KAIL menyebut, kawasan yang dijarah melebih dari 2.000

hektar.61

Sementara itu, proses rehabilitasi lahan sesungguhnya sudah dimulai melalui kerja sama Lembaga Alam

Tropika Indonesia (LATIN) bersama Balai TNMB dan KAIL sejak 1993. Rehailitasi menyasar lahan

seluas 7 hektare yang terletak di desa Andongrejo. Di wilayah tersebut telah ditanam tanaman hutan

yang mengkombinasikan antara tanaman berkayu dan buah, seperti nangka, dan kluwak. Observasi

lapangan di wilayah tersebut kini telah terbentuk hutan sekunder yang terus tumbuh mencapai kondisi

hutan alami.

Bagi Balai TNMB, kegiatan ini penting menjadi salah satu upaya resolusi konflik agar tidak menyebar

menjadi konflik social dalam skala yang lebih luas.62 Mulanya, wilayah tersebut merupakan hutan jati

yang telah dirambah oleh masyarakat.

Pelajaran penting dari proses rehabilitasi lahan yang dilakukan LATIN, KAIL dan Balai TNMB tersebut

disebar luaskan kepada masyarakat di 5 desa di sekitar kawasan, yakni: Desa Curahnongko,

Andongrejo, Sanenrejo, Wonoasri dan Curahtakhir. Semua desa berada di wilayah administrative

Kecamatan Tampurejo.63

Namun proses rehabilitasi hutan belum berhasil. Semenjak proses rehabilitasi hutan dilakukan mulai

tahun 2002, belum semua lahan kritis berhasil direhabilitasi. Sebagai contoh, rehabilitasi hutan di zona

rehabilitasi yang dilakukan oleh petani dari Desa Curahnongko seluas 410 ha, sampai tahun 2012, baru

berhasil mencapai sekitar 40% dari luas 410 ha. Jumlah pohon yang ditanam mencapai 18.071 batang,

dengan jenis sebanyak 38 jenis pohon.

Untuk meningkatkan presentase luas yang ditanami dan juga jumlah bibit yang ditanam di lahan kritis di

dalam zona rehabilitasi, maka KAIL sebagai pendamping petani rehabilitasi melakukan uji coba

mekanisme apresiasi bagi petani yang terlibat dalam rehabilitasi hutan. Uji coba dilakukan terhadap 708

orang petani rehabilitasi yang berasal dari Desa Curahnongko.

B.11.2. Konsep Apresiasi Untuk Petani Rehabilitasi

Rencana penanaman yang didiskusikan bersama dengan petani dan ketua kelompok tani menghasilkan

gagasan tentang system insentif untuk rehabilitasi hutan. Sistem insentif tersebut diberi nama Program

PINTAR (Paket Insentif untuk Petani Rehabilitasi). Gagasan Program PINTAR adalah sebagai berikut:

Tabel 12 Gagasan Program PINTAR

Tujuan Program 1. Mendorong para petani untuk menanam pohon yang bernilai ekonomi

sekaligus ekologis di lahan-lahan yang masih termasuk dalam Kelas 1

sampai 4.

2. Memberi apresiasi kepada para petani yang telah berhasil menanam

dan merawat atau menjaga tanaman hasil rehabilitasi untuk Kelas 5

dan 6.

Kelompok Sasaran 708 orang anggota kelompok tani yang berasal 17 kelompok dari Desa

Curahnongko.

Bentuk Insentif 1. Ekonomi: potongan harga atau diskon untuk membeli sembako di

toko yang telah ditunjuk dalam Program PINTAR;

61 Wawancara mendalam dengan KAIL, Jember, 17 Januari 2019. 62 Wawancara mendalam KAIL dan Balai TNMB, 17 dan 18 Januari 2019. 63 Disadur dari Nurhadi, Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Zona Rehabilitasi Menuju

Tercapainya Kelestarian TN Meru Betiri dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Pendekatan

Manajemen Kolaborasi, Jember, September 2017.

Page 81: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

81

2. Kesehatan: bantuan untuk keringanan biaya berobat ke Puskesmas

Desa Curahnongko; dan

3. Pendidikan: bantuan untuk anak atau cucu dari petani untuk biaya

pendidikan atau fasilitasi pendidikan.

Skema Insentif

Tipe/Kelas

Lahan

Rehabilitasi

Jumlah

Insentif

Ekonomi

Per-Bulan

Jumlah

Insentif

Ekonomi

Per-Tahun

Insentif

Kesehatan

dan

Pendidikan

Total

Insentif Per-

Tahun

6 Rp. 30.000,- Rp.

360.000,-

Rp.

720.000,-

Rp.

1.080.000,-

5 Rp. 25.000,- Rp.

300.000,-

Rp.

600.000,-

Rp.

900.000,-

4 Rp. 20.000,- Rp.

240.000,-

Rp.

240.000,-

Rp.

480.000,-

3 Rp. 15.000,- Rp.

180.000,-

Rp.

180.000,-

Rp.

360.000,-

2 Rp. 10.000,- Rp.

120.000,-

Rp. 0,- Rp.

120.000,-

1 Rp. 5.000,- Rp. 60.000,- Rp. 0,- Rp. 60.000,-

B.11.3. Proses dan Hasil

Proses dan hasil Program PINTAR, antara lain:

1. Memeriksa kelayakan dan prioritas

Petani rehabilitasi yang layak memperoleh insentif adalah petani yang mengakses lahan di zona

rehabilitasi TN Meru Betiri. Lahan tersebut telah dipetakan dan diinventarisir sehingga dapat

dikelompokkan menjadi 6 6 kelas, mulai dari Kelas 1 sampai Kelas 6. Untuk tahap I, Kelas yang

mendapat prioritas untuk didahulukan memperoleh insentif adalah petani yang mengolah lahan

Kelas 6, yaitu lahan yang telah ditanami oleh berbagai jenis pepohonan sehingga struktur yang

dihasilkan mirip dengan struktur hutan alam.

2. Pendaftaran

Petani yang merasa layak memperoleh insentif harus mendaftarkan diri ke sekretariat Program

PINTAR yang dikelola oleh KAIL. Ketika mendaftar, petani akan diminta untuk: (a) Menunjukkan

letak atau posisi lahan yang dikelola di peta yang telah ada; (b) Memberikan informasi tentang jumlah

dan jenis tanaman yang sudah ada; dan (c) Memberikan rencana jenis dan jumlah pohon yang akan

ditanam.

3. Verifikasi

Beberapa hal yang dilakukan pada kegiatan verifikasi, antara lain:

a. Verifikasi akan dilakukan oleh sekretariat Program PINTAR terhadap petani yang mendaftar.

Hal-hal yang diverifikasi mencakup (a) identitas anggota kelompok; (b) informasi tentang posisi

atau letak lahan yang dikelola; (c) informasi tentang jumlah dan jenis tanaman yang sudah ada;

dan (d) verifikasi terhadap rencana penanaman.

b. Verifikasi terhadap identitas anggota kelompok dilakukan dengan memeriksa identitas petani

kepada ketua kelompok dan pendamping.

Page 82: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

82

c. Verifikasi dengan memeriksa kondisi lahan di lapangan dilakukan untuk memeriksa lokasi dan

batas lahan yang diakses, kebenaran jumlah dan jenis tanaman yang sudah ada, serta lokasi atau

titik-titik yang akan ditanami pohon.

4. Pembibitan dan penanaman

Pembibitan dilakukan secara swadaya oleh petani. Sumber bibit berasal dari dalam kawasan TNMB,

dan diambil dengan cara mencari buah yang sudah matang atau dengan mencabut anakan. Setelah

itu benih atau bibit ditanam di pekarangan, dan setelah siap, kemudian ditanam di lahan yang dikelola

masing-masing petani.

5. Monitoring dan evaluasi

Monitoring dilakukan secara rutin setiap dua bulan sekali, dilakukan oleh KAIL dan ketua kelompok

tani. Indikator yang dilihat adalah jumlah dan jenis bibit yang ditanam, serta kesesuaian dengan

rencana penanaman.

Evaluasi dilakukan pada akhir tahun untuk melihat keseluruhan hasil penanaman, serta

memperhitungkan jumlah dana yang diterima dan dikelola untuk Program ini. Dari hasil evaluasi

diputuskan bahwa Program tidak dapat berlanjut karena dana yang dikumpulkan untuk tahun kedua

dan seterusnya tidak mencukupi.

6. Penggalangan dana

Dana dikumpulkan dari sumbangan sukarela individu yang tertarik dan peduli dengan program ini.

Sasaran individu yang menyumbang adalah para pihak yang berkunjung untuk belajar tentang

tumbuhan obat, pelibatan masyarakat dalam konservasi, dan wisatawan dalam dan luar negeri.

Jumlah dana yang berhasil digalang pada tahun pertama sebesar Rp. 12.100.000,-

7. Pengelolaan dana

Pada tahun pertama, sesuai dengan jumlah dana yang diterima, dilakukan uji coba pemberian insentif

ekonomi berupa diskon pembelian sembako di toko yang telah ditunjuk. Untuk itu, dana

diserahkan kepada pengelola toko yang ditunjuk, secara berkala, yaitu satu bulan sekali. Setiap dua

bulan sekali, akan dilakukan diskusi untuk melihat apakah jumlah dana sudah cukup atau masih

kurang. Hal ini dibandingkan dengan transaksi yang dilakukan oleh petani yang mengikuti Program.

B.11.4. Pembelajaran (Lessons Learned)

Mekanisme pemberian insentif atau apresiasi bagi petani rehabilitasi di TNMB bisa berjalan pada tahun

pertama tetapi tidak bisa dilanjutkan karena gagal dalam mengumpulkan donasi sukarela. Kegagalan ini

antara lain karena kurang promosi dan dokumentasi atas proses-proses dan hasil yang telah dicapai.

Selain itu, tidak adanya payung hukum pelibatan masyarakat dalam rehabilitasi hutan di TNMB membuat

motivasi KAIL dan petani yang terlibat menjadi turun dan kurang bersemangat.

Beranjak dari proses tersebut, kini masing-masing anggota kelompok secara independen mengelola

lahannya dengan tanaman campuran. Setidaknya telah terbentuk 108 kelompok tani yang menyasar

3556 Kepala Keluarga pada lahan seluas 2.779,08 hektare. Tiap anggota kelompok bertanggung jawab

mengelola lahannya masing-masing64.Tegakan atas biasanya bersisi tanaman tua semisal petai, nangka,

trambesi, lamtoro dan kluwak. Sementara tegakan bawah yang dikelola intensif terdiri dari jagung, padi

ladang, umbi-umbian dan tanaman obat. Tapi proses pendampingan yang sudah menurun sejak 2015 -

64 Wawancara mendalam dengan Kelompok Tani Mekar Sari I, Curahnongko, 11 Januari 2019.

Page 83: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

83

lantaran keterbatasan pendanaan65 – membuat para penggarap lahan banyak yang memetingkan

tanaman hortikultura dan tanaman obat ketimbang tanaman yang berfungsi untuk rehabilitasi lahan.66

B.12. Kemitraan Konservasi di TN Gunung Tambora: Bekerja Bersama Masyarakat

Kawasan Gunung Tambora ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Nomor SK 111/Menlhk-II/2025 tanggal 7 April 2015 seluas 71.645,74 hektar.

Letak TN Gunung Tambora termasuk dalam wilayah Kecamatan Kempo dan Kecamatan Pekat,

Kabupaten Dompu serta Kecamatan Tambora dan Kecamatan Sanggar, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa

Tenggara Barat.

B.12.1. Permasalahan yang Dihadapi di Kawasan TN Gunung Tambora

Sekitar tahun 2013 – 2015, sebelum Gunung Tambora ditetapkan menjadi Taman Nasional, kegiatan

illegal logging sangat tinggi, dalam satu malam truk pengangkut kayu keluar dari hutan di Gunung

Tambora dan sekitarnya bisa mencapai 30 – 40 truk. Begitu juga kegiatan perambahan yang dilakukan

masyarakat cukup tinggi intensitasnya, terutama untuk peladangan jagung.

Sebagai Taman Nasional yang relatif baru, maka proses sosialisasi tentang keberadaan Taman Nasional

Gunung Tambora, fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat di sekitar Taman Nasional masih belum

tuntas.

Sosialisasi mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Balai TN Gunung Tambora belum secara

menyeluruh tersampaikan kepada masyarakat di sekitar Taman Nasional. Pihak TN Gunung Tambora

belum melakukan pemetaan stakeholder di sekitar TN sebagai bagian dari sosialisasi. Pemetaan

stakeholder sebaiknya dilakukan untuk mengetahui siapa mengerjakan apa dan dimana lokasinya.

Pemetaan stakeholder juga penting untuk mengetahui persepsi stakeholder terhadap TN Gunung

Tambora, dan juga untuk mengidentifikasi potensi konflik yang mungkin muncul.

Potensi konflik muncul antara lain karena tata batas TN Gunung Tambora belum tuntas. Menurut Ketua

Kelompok Perempuan Delta Api, Sulastri, lokasi kebun kopi anggotanya sebagian besar berada di

sekitar kawasan Taman Nasional. Penetapan Gunung Tambora menjadi Taman Nasional, menyebabkan

petani khawatir areal kebun mereka berada dalam kawasan TN Gunung Tambora. Kekhawatiran ini

sangat beralasan karena memang Balai TN Gunung Tambora belum melakukan sosialisasi secara

menyeluruh mengenai batas TN Gunung Tambora, sebagaimana yang disampaikan Kepala Seksi I Balai

TN Gunung Tambora, Muhammad Anshar pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang

Kemitraan Konservasi yang diselenggarakan oleh LATIN bersama BIJAK-USAID pada akhir Januari

2019. Dalam kesempatan ini, Anshar menegaskan karena keterbatasan staf dan usia TN Gunung

Tambora yang masih baru sehingga sosialisasi mengenai batas kawasan, manfaat dan fungsi TN Gunung

Tambora belum secara menyeluruh dilaksanakan. Keterbatasan sosialisasi ini juga karena saat ini, TN

Gunung Tambora baru memiliki staff 27.

B.12.2. Solusi Permasalahan

Illegal logging dan perambahan diatasi dan pelibatan masyarakat dalam pengamanan kawasan serta

penegakan hukum. Selain itu juga dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan ekonomi

produktif. Beberapa kegiatan yang difasilitasi oleh Balai TN Gunung Tambora bekerja sama dengan

LSM lokal adalah pengembangan kopi, madu, dan wisata alam.

Kegiatan kerjasama di TN Gunung Tambora banyak dilakukan dengan masyarakat dan para pihak di

Dompu dan Bima terutama dengan Pemda Dompu dan Pemda Bima. Kegiatan yang dilakukan sebagian

65 Wawancara mendalam dengan KAIL, Curahnongko, 17 Januari 2019. 66 Wawancara Mendalam dengan Kelompok Wanita Tani Sumber Waras, Curahnongko, 11 Januari 2019.

Page 84: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

84

besar adalah kegiatan pariwisata alam dan pemungutan hasil hutan bukan kayu, serta kegiatan

pengamanan kawasan Taman Nasional. Lokasi kegiatan kerjasama ini lebih banyak dilakukan di daerah

penyangga Taman Nasional. Kegiatan bersama masyarakat di dalam dan sekitar Taman Nasional

dilakukan belum menggunakan mekanisme kerjasama, masih menggunakan mekanisme pendampingan.

Antara lain: untuk kegiatan pariwisata alam dan Pendakian, kegiatan pengambilan Hasil Hutan Bukan

Kayu (HHBK) oleh masyarakat, dan Peningkatan kualitas pengelolaan kopi.

Adanya Perdirjen KSDAE No. 6 tahun 2018 tentang Kemitraan Konservasi diharapkan dapat menjadi

dasar untuk kerjasama yang lebih formal. Namun stakeholder (Masyarakat, LSM dan Perguruan Tinggi)

selain Balai TN Gunung Tambora belum mengetahui Perdirjen 6/2018, mereka membutuhkan

penjelasan yang detil mengenai isi di dalam nya. Diperlukan proses sosialisasi hingga ke tingkat tapak

bagaimana perdirjen ini diterapkan, sehingga dapat memberikan manfaat secara maksimal kepada

masyarakat di dalam dan sekitar Taman Nasional.

B.12.3. Proses dan Hasil

1. Pelibatan Masyarakat dalam Pengamanan dan Rehabilitasi Hutan

Balai TN Gunung Tambora berhasil mengurangi kegiatan illegal loging yang dilakukan oleh

masyarakat desa Sotompo. Selain itu, perambahan yang dilakukan oleh masyarakat berhasil

dihentikan. Solusi yang dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat dan penegakan hukum.

Masyarakat sekitar kawasan yang sebelumnya melakukan kegiatan illegal logging dilibatkan untuk

menjaga Taman Nasional dilakukan dengan cara melakukan kontrak kerja antara masyarakat dengan

Balai Taman Nasional. Mereka dilibatkan dalam pengamanan wilayah TN dengan wadah namanya

Masyarakat Mitra Polhut (MMP) sebanyak 30 orang dan Masyarakat Peduli Api (MPA) sebanyak

30 orang. Mereka kemudian difasilitasi seragam dan biaya operasional jika melakukan kegiatan

pengamanan kawasan. Nilai upah yang diperoleh masyarakat dinilai lebih besar dari nilai upah pada

instansi Pemerintah Daerah (Dompu) atau honor di kabupaten. Masyarakat merasa senang, karena

pekerjaannya lebih ringan dan sepadan. Pendapatan dari illegal logging sebenarnya kecil. Yang

mendapatkan keuntungan lebih banyak dari illegal logging adalah para pemodalnya bukan pekerja

yang menebang, dan mengangkut kayu ke jalan.

Selain itu, ada pelibatan dari Polisi Hutan (Polhut) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam

memerangi kegiatan illegal logging. Kerja sama ini cukup efektif dan dapat dengan cepat

menanggulangi praktek pembalakan kayu ini.

Sementara itu, untuk kegiatan perambahan telah diselesaikan dengan pembentukan Tim Terpadu

melalui SK Gubernur. Kemudian diturunkan menjadi SK yang lebih operasional Tim Terpadu dari

Dinas LHK, itu yang menjadi payung hukum. Tim Terpadu berhasil menertibkan masyarakat yang

dulu merambah menjadi kelompok yang memperbaiki kondisi hutan. Masyarakat sudah mulai

menanam areal yang dulunya dirambah dengan pohon-pohon kehutanan. Bibitnya diperoleh dari

bantuan Balai Taman Nasional. Mereka menanam seluas 50 ha di kawasan Taman Nasional yang

masuk administrasi Kabupaten Bima dan 50 Ha yang masuk Kabupaten Dompu. Dengan adanya

bantuan dari Tim Terpadu, mereka punya komitmen, satu jengkalpun wilayah Taman nasional

jangan sampai ditanami jagung. Sekarang mereka yang memerangi perambah lain.

Upaya pelibatan masyarakat dalam menangani illegal logging maupun perambahan adalah bentuk-

bentuk kemitraan yang dilakukan oleh Balai TN Gunung Tambora. Upaya pelibatan masyarakat

tidak hanya itu. Pihak Balai TN Gunung Tambora telah mengidentifikasi para pihak yang telah

melakukan pemberdayaan masyarakat, dan juga kelompok-kelompok masyarakat yang berpotensi

untuk diajak bermitra.

2. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Budidaya dan Pengolahan Kopi

Page 85: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

85

Beberapa pihak yang telah melakukan pemberdayaan masyarakat adalah LPP Baranusa dan

Kelompok Delta Api. Sedangkan kelompok masyarakat yang berpotensi menjadi mitra adalah

kelompok pengolah kopi pimpinan Pak Kemal dan Kelompok Pecinta Alam Kapata.

LPP Baranusa yang sudah melakukan kegiatan di sekitar Gunung Tambora sejak 1999. Baranusa

sudah melakukan pendampingan masyarakat terkait isu tenurial, bekerja sama dengan Bappeda

Kabupaten Bima, di bagian utara TN Gunung Tambora. Kegiatan kemitraan antara Taman Nasional

dengan LPP BARANUSA belum ada, belum pernah dilakukan.

Tahun 2012, LPP Baranusa menginisiasi pembentukan kelompok pemuda di sekitar Gunung

Tambora dengan nama Pemuda DELTA API (Pemuda Desa Ekologis, Tangguh Menghadapi

Perubahan Iklim). Delta Api sudah mendukung kegiatan konservasi di TN Gunung Tambora melalui

berbagai kegiatan dengan masyarakat. Kegiatan diawali dengan melakukan pemetaan partisipatif

di lima desa penyangga Taman Nasional, yaitu Desa Calabai, Desa Nanga Miro, dan Desa Korombo,

Desa Oi Bura, Desa Garuda. Kegiatan ini mendapat dukungan dari Samdhana.

Pemetaan partisipatif yang dilakukan di lima desa ini menunjukan informasi bahwa kelima desa

memiliki kebun kopi di sekitar gunung Tambora. Mata pencaharian sebagian besar masyarakatnya

juga mengolah kopi, namun lokasi kebunnya berada di dalam dan dekat dengan Taman Nasional

bagian selatan.

Setelah mengetahui potensi kopi yang ada, maka Kelompok Delta Api memfasilitasi masyarakat

untuk melakukan budidaya dan pengolahan kopi yang lebih baik. Kelompok Delta Api bekerja sama

dengan Dapur Kaoem dari Bogor untuk melatih petani dalam menerapkan Good Agriculture

Processes (GAP) dalam budidaya dan pengolahan kopi. Kegiatan ini dilakukan pada bulan

September 2017. Untuk memotivasi masyarakat, maka Baranusa memberi bantuan permodalan

sebesar 200 kg kopi, yang kemudian diolah menjadi kopi bubuk, kopi biji roasting. Masyarakat juga

belajar mengemas produk dan mempromosikan melalui media sosial. Sekarang produk mereka

sudah dijual di café di Bogor dan di Jakarta.

Pihak lain (selain Baranusa) yang sudah mulai membantu kelompok Delta Api dalam meningkatkan

nilai Kopi Tambora adalah Dinas UMKM dan PKK Kabupaten Dompu. Mereka sudah mengajak

untuk ikut dalam pelatihan dan pameran.

Selain kelompok yang didampingi oleh Delta Api dan Baranusa, ada pula kelompok masyarakat lain

yang mengolah kopi. Ada kelompok yang langsung dibina oleh Balai TN Gunung Tambora yaitu

Kelompok Pecinta Alam Tambora (KAPATA). Ada juga kelompok yang dibantu oleh Dinas

Pertanian Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yaitu kelompok petani yang dipimpin oleh Pak

Kemal. Keduanya berlokasi di Dusun Pancasila, namun masing-masing mempunyai anggota yang

berbeda.

3. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Madu

Kegiatan yang sedang direncanakan dan berpotensi untuk dilakukan kemitraan konservasi adalah

pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu berupa Madu. Sudah direncanakan di zona tradisional untuk

Umak Ani (pengambilan madu). Potensi madu ada di daerah Kawinda Toi, Kabupaten Bima.

Produksinya ratusan jerigen dalam satu kali musim panen. Madu dari daerah Kawinda Toi telah

diuji keasliannya oleh LIPI. Kelompok petani yang memanfaatkan madu ini adalah binaan Balai TN

Gunung Tambora. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Balai TN Gunung Tambora misalnya

membantu masyarakat untuk pengemasan madu hutan ini, kami membantu menyediakan

jerigennya, botolnya, printernya, kertas labelnya, alat uji kadar air, kemudian alat pengepresnya agar

produksinya menjadi baik dan higienis.

Page 86: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

86

Madu dari TN Tambora, dijual dalam jerigen besar berukuran 50 kiloan ke JMHS (Jaringan Madu

Hutan Sumbawa). Madu ini dikemas oleh JMHS dan diberi label sendiri. Pihak Balai TN Gunung

Tambora berkeinginan agar suatu saat madu dari TN Gunung Tambora bisa menggunakan label

sendiri. Oleh karena itu perlu ada pendampingan yang lebih intensif khususnya dalam

mengembangkan kelembagaan.

Saat ini petani mengambil dan menjual madu masih belum berkelompok. Dengan menjual sendiri-

sendiri maka posisi tawar petani pengumpul madu menjadi lemah terhadap pedagang. Harga bisa

berbeda jauh. Disparitas harga madu di tingkat petani dan pengepul sangat tinggi, bisa mencapai

Rp. 30.000,- sampai Rp. 40.000,- Harga termahal di tingkat petani Rp. 90.000,- namun di tingkat

pedagang yang lokasinya tidak terlalu jauh dari desa Kawinda Toi saja harganya sudah Rp. 130.000,-

sampai Rp. 140.000,-

Oleh karena itu, Balai TN Gunung Tambora ingin memfasilitasi pembentukan koperasi. Untuk

modal awal bisa dari iuran madu, misalnya masing-masing 40 liter madu. Jika anggota kelompok ada

20 orang, maka akan didapat 800 liter. Inilah yang akan menjadi stimulus untuk modal kerja

koperasi.

4. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Wisata

Balai TN Gunung Tambora telah membina Kelompok Pecinta Alam Tambora (KAPATA) untuk

mengembangkan wisata alam di TN Gunung Tambora. KAPATA adalah Asosiasi Guide dan Porter

untuk pendakian ke Gn. Tambora. Kegiatan pendakian sudah dilakukan sebelum Gunung Tambora

ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 2015.

Kelompok Pecinta Alam Tambora (KAPATA) diinisiasi oleh sekitar 4 orang pemuda di Desa

Tambora, Dusun Pancasila pada 2004. Embrionya sudah lama ada karena banyak pemuda dari

sekitar Tambora yang sering naik gunung, sering mengantar tamu naik gunung. Berdirinya KAPATA

dilatarbelakangi karena ada informasi bahwa para pendaki yang mendaki Gunung Tambora banyak

mendapatkan kesan kurang baik. Guide dan porternya kurang terkoordinir, Guide porter bertindak

perseorangan tanpa koordinasi. Keluhan para tamu diantaranya tentang kehilangan barang, pemuda

di Pancasila banyak menunggu di simpang-simpang jalan menunggu tamu yang datang untuk

mendaki, sehingga ini berkesan tidak baik dan akan berdampak buruk bagi kelangsungan wisata

pendakian di Tambora. Kondisi ini yang mendorong terbentuknya KAPATA.

Jumlah pendaki per tahun kira-kira sebanyak 2000 pendaki, yang puncak pendakian tertinggi

biasanya pada bulan Agustus dan April, namun lebih banyak Agustus. Terdapat 4 jalur pendakian di

TN Gunung Tambora yaitu 2 jalur di SPTN 1 wilayah Bima, dan di Dompu 2 jalur yaitu Ndoro

Cangak dan Dusun Pancasila. Sebelum menjadi TN kegiatan pendakian dilakukan hampir sepanjang

waktu, kapan saja bisa naik.

Setelah menjadi Taman Nasional, kegiatan pendakian sudah lebih teratur. kegiatan pendakian harus

mengikuti Standard Operation Procedure (SOP), kapan waktu boleh mendaki kapan tidak boleh

karena cuaca ekstrim, pendakian hanya dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember,

karena Januari sampai Maret itu cuaca ekstrim.

Sebelum mulai pendakian, dilakukan briefing kepada seluruh pendaki dan porter mengenai aturan-

aturan yang harus dipatuhi oleh pendaki. Aturan tersebut terkait dengan sampah, tidak boleh

mengganggu pohon dan satwa yang ada di dialam, juga mengenai tumbuhan yang berbahaya jika

tersentuh oleh pendaki, seperti tumbuhan Jelatang.

Selain mendaki gunung juga dilakukan kegiatan pembersihan jalur pada bulan maret – april. Ini

dilakukan untuk mempermudah kegiatan pendakian pada musim berikutnya. Walaupun kegiatan

bersih sampah dan penataan pendakian sudah dilakukan sejak sebelum menjadi Taman Nasional,

Page 87: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

87

karena memang kegiatan guide porter merupakan mata pencaharian para pemuda dan warga di

dusun Pancasila. KAPATA juga berinisiatif memasang rambu-rambu peringatan dan papan informasi

di jalur pendakian.

Kegiatan pemanduan mengantar tamu yang mendaki Gunung Tambora yang dilakukan oleh

KAPATA telah memberi pendapatan bagi anggotanya. Upah mengantar tamu per hari sebesar Rp.

200.000,- sebagai porter, dan rata-rata pendakian dilakukan 3 hari, jadi porter mandapatkan Rp.

600.000,- setiap mengantar tamu. Sedangkan untuk upah jasa Guide sebesar Rp. 250.000 per hari.

BTN Tambora hanya mengambil uang tiket Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sebesar Rp.

15.000 per tamu. Balai TN Tambora tidak terlibat dalam penentuan harga upah porter dan guide,

semuanya murni ditentukan oleh KAPATA atas kesepakatan anggota.

5. Dukungan Pemeritan Kabupaten Bima dan Dompu

Dukungan dari pihak lain dari Pemkab Bima dan Pemkab Dompu sudah berjalan. Saat ini sedang

dilakukan bersama Pemkab Bima, untuk kegiatan wisata Oi Marae. Ada dana desa yang dialokasikan

sebesar Rp 200.000.000,- untuk pengambangan wisata.

Sedangkan dengan Pemkab Dompu, sedang didorong untuk membuat akses jalan masuk dari jalan

raya tembus ke batas kawasan, berupa jalan aspal. Bupati Dompu sudah setuju dan sudah

memerintahkan kepala dinas PU sudah untuk mem-backup pembangunan akses jalan ini.

Pembangunan jalan ini direncanakan akan dilaksanakan pada tahun 2019. Kemudian dengan

Kabupaten Dompu, intergrasinya terkait event-event seperti Festival Tambora.

B.12.4. Pembelajaran (Lessons Learned)

1. Kepercayaan yang diberikan oleh Balai TN Gunung Tambora kepada masyarakat sebagai

subyek pengelolaan taman nasional terbukti dapat mengatasi illegal logging. Keterlibatan

masyarakat secara langsung dalam pengamanan kawasan bersama Taman Nasional dan KPH

berhasil mengurangi illegal logging.

2. Berbagai upaya pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh Balai TN Gunung Tambora,

seperti produksi dan pengolahan kopi dan madu, serta pengembangan wisata alam. Namun

semua kegiatan permberdayaan masyarakat tersebut belum dinaungi dalam Perjanjian Kerja

Sama (PKS). Belum adanya PKS menyebabkan kelompok masyarakat masih belum merasa

aman dan nyaman. Tanpa PKS kelompok masyarakat belum yakin akan keberlanjutan dari kerja

sama yang telah dijalin melalui pemberdayaan masyarakat.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kemitraan Konservasi

Pembelajaran (lessons learned) yang telah dipetik dari inisiatif kemitraan antara Balai Taman Nasional

dengan masyarakat di 6 Taman Nasional telah memberi gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi

implementasi Kemitraan Konservasi. Faktor-faktor tersebut bisa jadi merupakan faktor penghambat

atau sebaliknya bisa juga faktor pendukung.

C.1. Faktor Penghambat

Ada empat faktor penghambat implementasi Kemitraan Konservasi yang bisa diperoleh dari

pembelajaran di 6 Taman Nasional yang dikaji melalui studi literatur. Keempat faktor penghambat

tersebut adalah: (a) kurang dukungan bagi lembaga kolaborasi multi-pihak; (b) perbedaan kepentingan;

(c) manfaat kemitraan konservasi belum bisa dirasakan; dan (d) dinamika masyarakat lokal.

C.1.1. Kurang Dukungan Bagi Lembaga Kolaborasi Multi-Pihak

Page 88: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

88

Salah satu faktor penghambat implementasi kemitraan konservasi adalah kurangnya dukungan dalam

mengembangkan lembaga kolaborasi multi-pihak. Keberadaan lembaga kolaborasi multi-pihak menjadi

penting untuk mendukung pelaksanaan kemitraan konservasi. Balai Taman Nasional tidak bisa bekerja

sendiri dalam memfasilitasi masyarakat karena memiliki keterbatasan dalam kewenangan, kapasitas

sumberdaya manusia, jaringan kerja, pendanaan, dan sebagainya. Keterbatasan Balai Taman Nasional

itulah yang seharusnya dapat dilengkapi oleh para pihak.

Banyak faktor yang menyebabkan kurangnya dukungan, dan faktor penyebab ini bisa berbeda-beda

antara satu Taman Nasional dengan Taman Nasional yang lain. Contoh di TN Kayan Mentarang.

Lembaga DP3K yang telah dibentuk melalui SK Menteri Kehutanan hanya menetapkan fungsi

koordinasi. Pada tingkat organisasi DP3K, koordinasi sesungguhnya masih lemah, seolah-olah tidak ada

komitmen dari para pihak untuk mewujudkan bekerjanya kolaborasi. Sulit untuk melembagakan peran

dan tanggung jawab para pihak. Secara tertulis sudah ada kesepakatan peran dan tanggung jawab, tetapi

belum dapat diwujudkan secara maksimal di tingkat praktis. Rasa saling percaya (mutual trust) di antara

para pihak terjalin dengan baik, walaupun pada tahap awal pembentukannya, partisipasi para pihak tinggi.

Salah satu kendala yang sering dikemukakan adalah terbatasnya dana baik pusat maupun daerah, serta

kapasitas sumberdaya manusia yang kurang, khususnya pengetahuan dan keterampilan komunikasi

dengan para pihak. Jadi, walaupun namanya pengelolaan kolaborasi multi-pihak, namun secara de facto

pengelolaan TN Kayan Mentarang sepenuhnya masih berada di bawah Balai TN Kayan Mentarang. Oleh

karena itu, institusi DP3K perlu ditinjau lagi kinerja dan perannya.

C.1.2. Perbedaan Kepentingan

Sulitnya membangun kolaborasi multi-pihak terutama dirasakan ketika ada perbedaan kepentingan

antara kepentingan konservasi dengan kepentingan pembangunan. Perbedaan kepentingan ini

menyebabkan benturan kebijakan antara pemerintah daerah dengan Balai Taman Nasional, misalnya

dalam proses tata batas, pembangunan jalan, pengembangan kawasan dan pemanfaatan sumberdaya

alam. Hal ini menunjukkan belum melembaganya kolaborasi di tingkat pemerintah daerah. Pemerintah

daerah belum menganggap kolaborasi sebagai strategi yang penting untuk mencapai tujuan

pembangunan.

C.1.3. Manfaat Kemitraan Konservasi Belum Bisa Dirasakan

Manfaat kemitraan konservasi masih belum terlihat secara nyata atau belum dirasakan baik oleh

pemerintah daerah maupun oleh masyarakat lokal. Saat ini yang dilihat oleh pemerintah daerah dan

masyarakat adalah manfaat ekologi untuk kepentingan taman nasional, misalnya berkurangnya

perambahan atau kegiatan ilegal di kawasan Taman Nasional. Oleh karena itu di beberapa daerah sering

muncul pertanyaan, “Apakah satwa liar lebih penting daripada manusia?“ Masyarakat lokal diminta terus

untuk melindungi hutan, namun masyarakat belum mendapatkan imbalannya. Akibatnya, masyarakat

merasa jauh dan tidak dilibatkan oleh Balai Taman Nasional. Oleh karena itu, manfaat ekonomi yang

nyata bagi masyarakat lokal harus segera diwujudkan, agar ada keseimbangan manfaat ekologi dan

ekonomi dari kemitraan konservasi.

Mewujudkan manfaat ekonomi dari Kemitraan Konservasi tidak mudah. Dalam kegiatan pemulihan

ekosistem, ada kewajiban Balai Taman Nasional untuk mengalihkan mata pencaharian atau mencari

alternatif ekonomi baru bagi masyarakat agar tidak bergantung kepada kawasan. Namun hal ini

membutuhkan proses yang panjang dan tidak mudah, dan peran berbagai pihak sangat diperlukan terkait

hal tersebut. Contoh lain adalah pengembangan wisata bagi masyarakat lokal. Izin usaha penyediaan

sarana wisata alam (IUPSWA) memerlukan modal besar yang tidak mungkin dimiliki oleh kelompok

masyarakat atau koperasi, bahkan untuk menjadi operator wisata juga membutuhkan modal besar dan

ketrampilan tinggi. Di TN Komodo, sebagian besar penduduk di dalam dan sekitar TN Komodo

memiliki mata pencaharian utama adalah sebagai nelayan. Pembatasan wilayah tangkapan menyebabkan

terlalu mahal biaya operasional penangkapan ikan yang jauh dari perkampungan, di sisi lain alternatif

Page 89: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

89

mata pencaharian pada sektor pariwisata belum dapat menyerap cukup banyak tenaga kerja karena

pengetahuan dan ketrampilan masyarakat masih rendah dan pada musim-musim sepi wisatawan,

masyarakat pengelola penginapan (homestay), cindremata dll. tidak mendapat penghasilan yang cukup.

Wisata alam adalah kegiatan yang berpotensi dalam kemitraan konservasi. Namun wisata alam yang

tidak terkendali dapat menyebabkan dampak ekologi bagi kawasan konservasi dan ekonomi bagi

masyarakat lokal. Di TN Komodo, mulai terlihat dampak kerusakan kawasan akibat kunjungan

wisatawan massal. Terjadi pelanggaran memasuki zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari oleh

para wisatawan. Di sisi lain, ada keluhan masyarakat dilarang beraktivitas di kawasan tersebut. Hal ini

tentu saja menimbulkan kecemburuan sosial, pembatasan aktivitas masyarakat nelayan di kawasan

tersebut telah mengurangi pendapatan masyarakat nelayan.

C.1.4. Dinamika Masyarakat Lokal

Masyarakat lokal sendiri memiliki dinamika yang belum tentu sejalan dengan kemitraan konservasi.

Keaktifan kelompok sering kali tidak stabil. Semangat masyarakat naik turun, sehinga kegiatan yang

sudah disepakati menjadi terhambat atau berjalan tersendat-sendat. Konflik internal di kelompok

masyarakat ditengarai menjadi penghambat dalam kegiatan yang sudah direncanakan dalam Rencana

Pelaksanaan Program (RPP) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT). Apalagi masyarakat belum melihat

manfaat ekonomi yang nyata dari kemitraan konservasi.

C.2. Faktor Pendukung

Ada enam faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi yang bisa dipetik dari pembelajaran.

Keenam faktor pendukung tersebut adalah (a) kepemimpinan; (b) komunikasi; (c) perubahan cara kerja

dari Balai Taman Nasional; (d) menemukan dan bekerja bersama local champion; (e) dukungan publik

dan stakeholder; dan (f) meningkatnya kesadaran masyarakat lokal terhadap konservasi.

C.2.1. Kepemimpinan/Leadership

Faktor kepemimpinan adalah salah satu faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi yang

dijumpai di beberapa Taman Nasional. Kepemimpinan yang dijumpai di lapangan, tidak hanya ditemukan

pada Kepala Balai, tetapi juga dijumpai pada staf Balai Taman Nasional, dan juga ditemukan pada

kelompok masyarakat yang difasilitasi oleh Balai Taman Nasional. Sifat-sifat kepemimpinan yang bisa

dipetik dari lapangan antara lain bahwa pemimpin harus memberikan contoh atau teladan. Pemimpin

tidak hanya memberi instruksi. Pemimpin juga harus dapat menjelaskan visi terkait kemitraan

konservasi kepada seluruh stafnya, sehingga visi tersebut terinternalisasi di seluruh stafnya, seperti

contoh yang dilakukan Kepala Balai TN Bogani Nani Wartabone.

Box 9 Membangun dan Menginternalisasi Visi Kemitraan Konservasi di

TNBNK

Kepala Balai TN Bogani Nani Wartabone telah membangun visi Kemitraan

Konservasi. Ada tiga prinsip yang dikembangkan bersama. Pertama, menetapkan visi yang konkrit pengelolaan konservasi bersama masyarakat,

bila masyarakat sejahtera maka konservasi juga terjaga. Kedua, prinsip

kendali, personil TN mengambil tanggung jawab terhadap apa yang terjadi

di lapangan. Ketiga, prinsip personil memiliki integritas. Artinya, konsistensi

dalam tindakan, metode, ukuran, memiliki pribadi yang jujur dan memiliki

karakter kuat.

Prinsip-prinsip leadership ini tidak hanya diajarkan melalui pelatihan, tetapi

selalu menjadi bahan diskusi 3 bulanan dalam rapat staf taman nasional.

Page 90: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

90

Sikap kepemimpinan ini juga diuji sampai staf resort, staf resort harus

sanggup menyelesaikan persoalan di lapangan, baik masalah teknis maupun

masalah sosial di masyarakat.

C.2.2. Komunikasi

Komunikasi adalah faktor penting keberhasilan Kemitraan Konservasi. Dalam kemitraan, petugas harus

menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal. Tanpa komunikasi yang baik, hubungan baik tidak

akan terjalin. Namun dalam komunikasi, bukan hanya cara berkomunikasi yang baik. Faktor lain yang

penting adalah komunikasi yang rutin dengan masyarakat, yang dilakukan baik formal maupun informal.

Komunikasi formal maksudnya adalah komunikasi melalui pertemuan-pertemuan formal, sedangkan

komunikasi informal bisa berupa anjangsana atau kunjungan silaturahim petugas ke rumah-rumah warga.

Frekuensi dan intensitas komunikasi seperti ini yang harus dijaga.

Selain itu penting juga diciptakan ruang komunikasi yang membuat masyarakat maupun petugas menjadi

nyaman dan aman, sehingga komunikasi bisa berjalan efektif. Situasi seperti ini akan mengurangi stigma

atau pandangan negatif dari kedua belah pihak. Dengan demikian ketika ada kebutuhan untuk

menyampaikan peraturan yang berlaku, maka bisa terjadi dialog dua arah dan bukan hanya penyampaian

satu arah saja.

C.2.3. Perubahan Cara Kerja Balai Taman Nasional

Cara kerja Balai Taman Nasional dalam menangani konflik dan membangun kemitraan dengan

masyarakat mulai berubah. Dalam menangani konflik, cara-cara penegakan hukum dengan disertai

tindakan seperti penangkapan masyarakat, pembakaran gubuk dan ladang, yang membuat masyarakat

ketakutan, sudah mulai diubah. Balai Taman Nasional lebih mengedapankan tindakan preemtif, yaitu

upaya penciptaan kondisi yang kondusif dengan tujuan menumbuhkan peran aktif masyarakat dalam

pengamanan kawasan hutan. Kegiatannya dapat berupa melakukan inventarisasi potensi masalah,

anjangsana/kunjungan ke tokoh masyarakat, gladi posko pengendalian perlindungan dan pengamanan

kawasan. Upaya ini membuat masyarakat tidak lagi takut terhadap petugas Balai Taman Nasional.

Dengan adanya upaya preemtif, maka petugas harus lebih sering berkunjung dan berdialog dengan

masyarakat. Petugas didorong untuk bisa berbaur dengan masyarakat, kalau perlu petugas tinggal di

desa. Semua itu ditujukan untuk mengubah pandangan negatif masyarakat terhadap petugas dan juga

meraih kepercayaan masyarakat terhadap petugas. Setelah kepercayaan masyarakat sudah diraih, maka

dialog akan menjadi lebih efektif. Dengan demikian sosialisasi kemitraan konservasi bisa lebih lancar

dan muncul usulan kegiatan dari masyarakat untuk kemitraan. Petugas Balai Taman Nasional juga akan

mudah mengajak masyarakat untuk bersama-sama melindungi kawasan Taman Nasional. Petugas juga

bisa menawarkan masyarakat untuk mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan

studi banding. Peran petugas Balai Taman Nasional sedikit demi sedikit berubah menjadi fasilitator.

Perubahan cara kerja dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat sebenarnya merupakan

cerminan dari perubahan pola pikir petugas Balai Taman Nasional. Hal ini penting ditekankan, karena

perubahan tersebut bukan dimulai dari pembekalan keterampilan teknis komunikasi dan fasilitasi, tetapi

justru dimulai dari terjun langsung berinteraksi dengan masyarakat. Keterampilan teknis komunikasi

dan fasilitasi secara tidak langsung justru dipelajari dari interaksi yang intensif dengan masyarakat. Salah

satu teknik komunikasi dan fasilitasi yang penting adalah keterampilan mendengar yang harus

dipraktekkan oleh petugas.

Di sisi lain, petugas Balai Taman Nasional juga dibekali keterampilan teknis yang lain seperti

keterampilan melaksanakan SMART Patrol atau menerapkan Resort Based Management. Tidak hanya

pembekalan keterampilan teknis, tetapi Balai Taman Nasional juga melengkapi fasilitas pendukungnya

Page 91: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

91

seperti laptop/komputer, GPS, alat komunikasi, bahkan di Taman Nasional juga dibangun instalasi

kamera pemantau/CCTV dan jaringan wifi sampai tingkat resort.

C.2.4. Menemukan dan Bekerja Bersama Local Champion

Local champion adalah salah satu kunci dalam Kemitraan Konservasi, karena local champion adalah

agen perubahan di internal kelompok masyarakat, yang dapat direplikasi di tingkat komunitas atau

kelompok masyarakat. Adanya local champions di masyarakat dapat menjadi menjadi modal sosial

untuk membangun kepercayaan serta kesadaran masyarakat dalam mengelola kawasan. Local champion

juga bisa menjadi jembatan penghubung untuk terjadinya komunikasi yang baik antara masyarakat dan

Balai Taman Nasional, terutama untuk membangun komunikasi dengan masyarakat yang berkonflik.

Salah satu contoh local champion adalah Wak Yoen yang berhasil mengajak masyarakat untuk

mengembangkan wisata di Tangkahan.

Box 10 Wisata Sebagai Solusi Penebangan Liar di Tangkahan

Tangkahan memiliki Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yaitu sebuah

lembaga masyarakat lokal yang dibentuk atas kesepakatan bersama Desa

Namo Sialang dan Desa Sei Serdang, Kecamatan Batang Serangan pada

tanggal 20 April 2001. Lembaga ini dibentuk untuk merencanakan dan

mengelola kawasan ekowisata Tangkahan. Pembentukan LPT ini juga atas

dasar kesadaran masyarakat untuk bisa mendapatkan suatu alternatif

peningkatan ekonomi diluar penebangan kayu ilegal. Ekowisata menjadi

pilihan mereka karena mengajak semua pihak untuk saling bekerja sama,

serta mengedepankan sisi kemanusiaan, sosial dan budaya masyarakat.

Gerakan alternatif ini diharapkan dapat memiliki fungsi dan soslusi bersama,

dimana tujuan pelestarian TN Gunung Leuser tercapai, pemberdayaan dan

penguatan perekonomian masyarakatpun dapat ditingkatkan (Burhanudin,

2012)67.

Kelembagaan yang dibangun LPT menjadikan Tangkahan sebagai kawasan

ekowisata yang menarik untuk dikunjungi. Keberhasilan proses membangun

kerjasama di Tangkahan selain ada dukungan dari Balai TN Gunung Leuser,

ada juga mitra yang membantu dalam hal fasilitasi pengelolaan wisata dengan

kelompok oleh Indecon68. Lembaga kolaboratif lainnya dalam pengelolaan

pariwisata Tangkahan Conservation Response Unit (CRU) yang berperan

dalam kegiatan monotoring hutan dan penyedian paket wisata safari gajah

untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di kawasan Ekowisata

Tangkahan.

Mitra lain seperti FFI dengan program elephant trekking-nya, Indecon yang

mendampingi beberapa tahun untuk disain tapak dan menyemangati LPT,

untuk bergerak mendorong pengelolaan wisata. Yang tidak kalah

pentingnya adalah adanya beberapa tokoh muda yang terus melakukan

upaya-upaya penguatan kelembagaan lokal dan menjaga momentum

pergulatan intelektual, terutama di sepanjang awal pembentukan LPT.

Intelektualisme yang diterjemahkan ke dalam banyak konsep antara lain

kemandirian desa sebagai yang banyak dicita-citakan, sebagai daerah

otonomi penuh. Bagaimana desa menguasai kembali sumberdaya lokal dan

tidak dikendalikan oleh pihak luar, dan sebagainya. Konsep-konsep ini

67 Buku Review Tata Ruang Ekowisata Tangkahan tahun 2012 68 Diskusi dengan Dosen Fakultas Kehutan IPB tanggal 10 Mei 2019

Page 92: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

92

secara tidak langsung telah menyumbangkan, melatari dan mewarnai pola

hubungan masyarkaat-taman nasional, yang semakin harmonis dan saling

bersinergi, selain itu di Tangkahan ada Local Champions yang mempunyai

spirit mencintai hutan sangat kental dan dijiwai dengan sepenuhnya oleh

Wak Yoen (Wiratno, 2013)69.

Peran Balai Taman Nasional selain menemukan local champion, juga memfasilitasi peningkatan kapasitas

dan pengetahuan kepada local champions, dan memberikan kesempatan kepada local champions

sebagai narasumber dalam berbagai acara, sehingga akan terjadi rasa bangga dan meningkatan

kepercayaan diri untuk membagikan pengetahuannya kepada kelompok masyarakat.

C.2.5. Menggalang Dukungan Masyarakat dan Stakeholder

Dukungan masyarakat yang lebih luas dan stakeholder adalah salah satu faktor penting yang bisa menjadi

pendukung implementasi Kemitraan Konservasi di lapangan. Pada tingkat desa, walaupun tidak mudah,

upaya untuk merangkul semua pihak di desa telah coba dilakukan. Hal ini bertujuan untuk menghindari

konflik internal diantara kelompok masyarakat.

Keterbasan Balai Taman Nasional adalah salah satu sebab dibutuhkannya peran stakeholder dalam

Kemitraan Konservasi. Stakeholder bisa berperan untuk memfasilitasi mediasi dan resolusi konflik,

selain untuk menambah pengetahuan dan keterampilan teknis yang lain. Interaksi antara petugas Balai

Taman Nasional dengan stakeholder juga akan membuka wawasan dan mengubah pola pikir menjadi

lebih terbuka dalam menerima gagasan-gagasan dari luar, serta meningkatkan motivasi untuk bekerja

lebih baik lagi. Hal ini misalnya terjadi di TN Komodo. Dukungan banyak lembaga pendamping (TNC,

WWF, GEF, RARE, Yayasan Komodo Survival Program, Swisscontact Wisata Project) dalam bentuk

riset, design rencana pengelolaan, implementasi rencana kelola meningkatkan kualitas pengelolaan TN

Komodo.

Pada lingkup yang lebih luas, dukungan masyarakat yang lebih luas diperlukan antara lain untuk

menggalang dana konservasi yang diperlukan untuk mengelola kawasan. Di TN Komodo pengakuan

dunia terhadap keunikan TN Komodo melalui berbagai skema (Cagar Biosfer UNESCO, Warisan Alam

Dunia UNESCO, New 7 Wonders Natura) menjadi promosi besar bagi kunjungan wisatawan dunia,

dan berdampak pada nilai jual kekayaan konservasi di mata dunia, serta menciptakan dukungan

pendanaan dari banyak donor asing (WB-IFC, USAID, dll).

C.2.6. Meningkatnya Kesadaran Masyarakat Setelah Tanda Tangan PKS

Perjanjian Kerja Sama (PKS) dalam Kemitraan Konservasi menjadi penting bagi masyarakat. Dengan

menandatangani PKS maka masyarakat dan Balai Taman Nasional terikat secara hukum. Bagi

masyarakat ini adalah salah satu bentuk kepastian hukum yang selama ini mereka nantikan. Dengan

adanya PKS masyarakat merasa terlindungi hak-haknya dalam memanfaatkan hasil hutan yang selama

ini mereka telah lakukan. Dan masyarakat juga menyadari di samping hak, ada pula kewajiban untuk

menjaga kawasan.

Adanya PKS menjadikan tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga kawasan menjadi lebih baik.

Kawasan yang merupakan areal kerja yang ada dalam PKS akan dijaga dengan baik oleh kelompok

masyarakat dengan harapan bahwa areal tersebut merupakan salah satu sumber penghidupannya.

Contoh di TN Karimun Jawa, masyarakat nelayan menjadikan areal kerja dalam PKS yang terletak di

dalam kawasan Taman Nasional sebagai tabungan ikan. Areal kerja dimanfaatkan kelompok untuk

mencari ikan hanya pada cuaca buruk (akhir Desember sampai Maret) karena kelompok tidak bisa jauh

69 Buku Pembelajaran Dari Tangkahan tahun 2013

Page 93: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

93

mencari ikan, sedangkan dalam keadaan cuaca baik kelompok akan lebih memilih mencari ikan di luar

kawasan.

D. Kondisi Pemungkin (Enabling Condition) untuk Mengembangkan Kemitraan

Konservasi

Kondisi pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau menyebabkan terjadinya perubahan.

Dari hasil studi literatur yang telah dilakukan, kebijakan Kemitraan Konservasi telah menyebabkan

terjadinya perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi, perubahan cara kerja pengelola

kawasan konservasi, dan perubahan interaksi petugas dengan masyarakat. Perubahan ini harus terus

dikelola agar berjalan menuju perbaikan implementasi Kemitraan Konservasi di lapangan. Agar hal ini

bisa terjadi, maka diperlukan kondisi pemungkin yang harus ada, yaitu: (a) political will dari Dirjen

KSDAE; (b) menghargai proses; (c) memperjelas isi Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018; (d) membuat

manfaat dari Kemitraan Konservasi bisa dilihat dan dirasakan; dan (e) mengembangkan organisasi

pembelajar.

D.1. Political will dari Dirjen KSDAE

Political will dari Dirjen KSDAE adalah faktor yang menyebabkan lahirnya kebijakan Kemitraan

Konservasi. Kebijakan ini lahir bisa dikatakan sebagai respon atas kebijakan-kebijakan konservasi

sebelumnya yang belum juga bisa memberikan solusi atas konflik di kawasan konservasi yang telah

terjadi bertahun-tahun. Political will tidak hanya diwujudkan dalam pernyataan lisan semata, tetapi juga

diwujudkan secara tertulis melalui berbagai hal, yaitu:

1. Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 yang bersifat mengikat seluruh pengelola kawasan

konservasi.

2. Tulisan di berbagai media sosial yang kemudian disintesakan dalam bentuk buku berjudul

“Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi”. Buku ini bisa dianggap sebagai visi baru dari

pengelolaan konservasi di Indonesia.

Political will tidak hanya diwujudkan secara tertulis, tetapi juga dibuktikan dengan tindakan

kepemimpinan (leadership). Dirjen KSDAE memberi contoh atau teladan tentang bagaimana

menjadikan masyarakat sebagai subyek antara lain dengan “mengorangkan” atau menghargai masyarakat

sebagai manusia seutuhnya. Dirjen memberi teladan dengan turun langsung ke lapangan berdialog

dengan masyarakat dan juga membangkitkan motivasi petugas pengelola kawasan konservasi. Teladan

lain yang dilakukan adalah membongkar sekat komunikasi antara bawahan dan atasan. Dirjen membuka

ruang komunikasi melalui media sosial yang bisa dimanfaatkan oleh staf untuk menyampaikan

permasalahan dan aspirasi usulannya.

Selain itu, political will juga ditunjukkan dengan menyiapkan tim yang berfungsi untuk melakukan

fasilitasi resolusi konflik dan pendampingan untuk implementasi Kemitraan Konservasi. Tim yang

disebut dengan Gugus Tugas Multipihak ini terdiri atas berbagai pihak dari dalam maupun dari luar

Ditjen KSDAE yang berkompeten dan bisa membantu Dirjen KSDAE dalam mendorong implementasi

Kemitraan Konservasi.

D.2. Menghargai Proses

Implementasi Kemitraan Konservasi adalah sebuat proses yang terus-menerus. Implementasi

Kemitraan Konservasi tidak hanya berhenti ketika PKS ditanda tangani oleh Kepala Balai Taman

Nasional dan masyarakat. Pada tahap persiapan, sebelum PKS ditanda tangani, banyak proses yang juga

harus dilakukan. Dan ini sudah dilakukan di beberapa Balai Taman Nasional. Proses-proses tersebut,

antara lain: (a) proses membangun kepercayaan dari masyarakat terhadap petugas dan sebaliknya; (b)

Page 94: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

94

proses mengubah sikap dan perilaku petugas dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat;

(c) proses membangun local champion; dan (d) proses mengubah cara kerja petugas.

Setelah penandatanganan PKS, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, antara lain penguatan

kelembagaan masyarakat, pengembangan produk yang bernilai ekonomi, pemasaran produk sampai ke

pembagian manfaat (benefit sharing). Semua proses ini mau tidak mau harus dilalui dan dilakukan agar

Kemitraan Konservasi bisa berjalan. Proses di setiap Balai Taman Nasional bisa jadi berbeda satu sama

lain. Namun hal itu tidak menjadi masalah karena justru akan memperkaya pengetahuan dalam

membangun Kemitraan Konservasi.

D.3. Memperjelas Isi Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018

Perdirjen No. 6 tahun 2018 tidak bisa serta merta diterapkan langsung oleh Balai Taman Nasional.

Beberapa Balai Taman Nasional ada yang masih menanyakan beberapa pasal yang terdapat di dalam

Perdirjen tersebut karena dianggap masih belum jelas. Ketidakjelasan pasal-pasal dalam Perdirjen bisa

menyebabkan keraguan Kepala Balai Taman Nasional untuk menerapkan Kemitraan Konservasi. Oleh

karena itu, perlu upaya untuk memberi penjelasan terhadap pasal-pasal yang dianggap tidak jelas.

Beberapa pasal yang tidak jelas dan menjadi pertanyaan adalah:

1. Apa yang dimaskud wisata terbatas di dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018? Bagaimana

batasannya suatu objek wisata bisa dikatakan wisata terbatas?

2. Jenis HHBK yang boleh dimanfaatkan dalam pemberdayaan masyarakat perlu diperjelas lagi

dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018?

3. Apakah pemanfaatan HHBK seperti getah pinus dari kawasan konservasi memerlukan izin

peredaran hasil hutan bukan kayu?

4. Bagaimana cara menentukan lahan yang digarap oleh masyarakat sebelum penunjukan kawasan

konsrervasi yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun, sedangkan di dalamnya tidak ada

tanaman kehidupan yang bisa menunjukkan umur garapan tersebut?

5. Jenis tanaman apa saja yang boleh ditanam dalam kegiatan pemulihan Kemitraan konservasi?

Hal in perlu dilakukan karena biasanya masyarakat menanam jenis tanaman yang bernilai

ekonomi tinggi seperti MPTS, sehingga bisa menjadikan kawasan konservasi menjadi

monokultur.

6. Penggarap yang dimaksud dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 itu seperti apa? Apakah

bermukim di luar berladang di dalam kawasan atau bermukim dan berladang di dalam kawasan?

7. Bagaimana tanaman di luar tanaman kehutanan yang sudah ditanam masyarakat bisa

dimanfaatkan, jika waktu kerjasama dalam pemulihan ekosistem hanya 10 tahun?

8. Zonasi yang dibatasi dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 menjadi penghambat dalam

kemitraan konservasi, bagiamana jika ada satu objek yang dikerjasamakan memiliki 2 potensi

yang berbeda dan zonasi yang berbeda, misalnya potensi pemanfaatan HHBK dan potensi

wisata sedangkan syarat zonasi dikedua potensi tersebut berbeda?

9. Apa peran pemerintah daerah dalam Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, terutama dalam

meningkatkan PAD?

10. Apa manfaat yang berbeda jika masyarakat melakukan kemitraan konservasi dengan tidak

melakukan kemitraan konservasi?

11. Apakah areal kerja kemitraan konservasi bisa menjadi hak milik atau disertifikasi oleh

masayarakat? (Hal yang sering ditanyakan masyarakat dan perlu penyampaian komunikasi yang

baik agar terjadi kesepahaman yang sama antara masyarakat dan UPT).

Pertanyaan-pertanyaan di atas memerlukan jawaban dari Ditjen KSDAE agar keraguan dalam

melaksanakan Kemitraan Konservasi bisa dihilangkan.

D.4. Membuat Manfaat dari Kemitraan Konservasi Bisa Dilihat dan Dirasakan

Page 95: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

95

Manfaat dari Kemitraan Konservasi baru sedikit yang bisa dilihat dan dirasakan. Namun dari yang

sedikit itu, akan mendorong atau memotivasi orang, khususnya masyarakat untuk mengikuti dan

menerapkan Kemitraan Konservasi. Salah satu contoh manfaat yang sudah bisa dilihat adalah di TN

Kelimutu.

Box 11 Manfaat Kemitraan Konservasi di TN Kelimutu

Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Kelompok Tani Rimbawan di Desa

Nduaria, yang telah menanda tangani PKS adalah membuat pupuk organik

dan pestisida organik, yang berasal dari tanaman invasif Kirinyuh yang

mengganggu kawasan TN Kelimutu.

Baik pupuk maupun pestisida organik yang dihasilkan telah digunakan untuk

tanaman bawang merah Kelibara di Desa Wiwipemo, yang merupakan

salah satu hasil kemitraan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat TN

Kelimutu di Resort Wolojita, SPTN 1.

Produk ini merupakan hasil dari bantuan pemberdayaan masyarakat

berupa satu ton bibit bawang merah pada tahun 2018 kepada Kelompok

Masyarakat Pemuda Bangkit, Desa Wiwipemo, Kecamatan Wolojita.

Dari hasil dari panen bawang merah tersebut diperoleh sebanyak lima ton

bawang merah "organik" karena tanpa menggunakan bahan-bahan produk

kimia dalam prosesnya.

Belajar dari TN Kelimutu, manfaat dari Kemitraan Konservasi bisa dihasilkan melalui proses identifikasi

potensi lokal, identifikasi kelompok yang akan melakukan, identifikasi stakeholder yang bisa membantu

atau memfasilitasi, melakukan riset tentang kemungkinan pengembangan potensi lokal menjadi produk

yang bernilai ekonomi dan ekologi, membuat demplot uji coba, pengemasan produk, promosi, dan

merintis pasar.

D.5. Mengembangkan Organisasi Pembelajar

Organisasi pembelajar adalah satu cara yang dimuat dalam buku “Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan

Konservasi”. Jadi organisasi pembelajar menjadi semacam mandat bagi Ditjen KSDAE dan UPT di

bawahnya. Mengembangkan organisasi pembelajar bukan berarti membuat suatu organisasi baru.

Mengembangkan organisasi pembelajar berarti mengintegrasikan prinsip-prinsip pembelajaran

berdasarkan pengalaman yang terjadi selama impelementasi Kemitraan Konservasi.

Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi maka pengembangan organisasi pembelajar bisa dimulai

dari inisiatif yang sudah ada antara lain pendokumentasian berbagai hal yang sudah dilakukan seperti (a)

kegiatan yang sudah dilakukan, (b) proses menemukan dan bekerja dengan local champion seperti di

Tangkahan TN Gunung Leuser, (c) penerapan tools Resort Based Management (RBM) yang sudah

dijalankan seperti di TN Bogani Nani Wartabone, (d) pengalaman coaching dan mentoring yang

dilakukan oleh GTM, dan (e) proses shared-learning yang sudah dilakukan oleh beberapa Balai Taman

Nasional seperti yang sudah pernah dilakukan oleh beberapa Taman Nasional ke TN Gunung Ciremai.

Pengalaman yang sudah ada perlu dilengkapi dengan upaya refleksi dalam rangka memetik pembelajaran

(lessons learned) dan memperbaiki pelaksanaan kegiatan di masa datang. Upaya pendokumentasian

juga dirasa masih kurang. Sekarang yang banyak dilakukan adalah penggunaan media sosial seperti

facebook, WA group, instagram, dan twitter. Namun penggunaan media sosial memiliki keterbatasan

dalam jumlah informasi yang bisa disampaikan dan sulit untuk ditelusuri kembali dan tidak bisa dijadikan

sebagai referensi. Oleh karena itu, perlu pendokumentasian berupa laporan atau buku yang bisa

Page 96: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

96

disebarluaskan. Proses penyebarluasan informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman

lapang adalah bagian dari prinsip-prinsip organisasi pembelajar. Berbagai mekanisme berbagi informasi

dan pengetahuan harus dikembangkan baik di tingkat Balai Taman Nasional, kelompok masyarakat,

stakeholder, maupun di tingkat nasional di Ditjen KSDAE sendiri.

BAB V KESIMPULAN

1. Sejak diterbitkan Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, Ditjen KSDAE telah mendaftar ada 13

lokasi Kemitraan Konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat, yang terdiri atas 12

Taman Nasional dan 1 Taman Buru (data sampai Maret 2019). Sedangkan untuk Pemulihan

Ekosistem, ada 3 Taman Nasional (data sampai Mei 2019).

2. Kemitraan Konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat di 13 lokasi mencakup areal

seluas 41.214,56 ha dengan jumlah kelompok sebanyak 40 kelompok. Kegiatan pemberdayaan

masyarakat yang dilakukan bermacam-macam, seperti pemanfaatan getah damar, pemanfaatan

obyek wisata, pemanfaatan limbah tanaman invasif yang dimusnahkan untuk dijadikan pupuk

organik, budidaya tradisional kerang, dan sebagainya.

3. Kemitraan Konservasi dalam rangka pemulihan ekosistem telah dilakukan di 3 Taman Nasional,

yaitu TN Gunung Leuser, TN Kelimutu dan TN Bogani Nani Wartabone. Luas areal pemulihan

ekosistem di ketiga Taman Nasional mencakup 604 ha dan 17 kelompok.

4. Kebijakan Kemitraan Konservasi telah mendorong terjadinya perubahan dalam pengelolaan

kawasan konservasi. Perubahan terjadi baik pada paradigma konservasi, cara memandang

masyarakat, cara kerja dan cara memberi respon terhadap masalah yang dihadapi.

5. Paradigma konservasi yang semula menganggap bahwa kawasan konservasi harus steril dari

manusia berubah menjadi manusia atau masyarakat adalah bagian dari kawasan konservasi.

Paradigma konservasi yang lama memandang masyarkat adalah masalah berubah menjadi

masyarakat adalah solusi dan bisa menjadi mitra untuk bersama-sama mengelola kawasan. Visi

konservasi dalam paradigma yang lama adalah semata-mata perlindungan ekosistem, spesies

dan genetik atau keanekaragaman hayati. Sekarang visi konservasi ditambah dengan

peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pelibatan masyarakat dalam pengelolaan

kawasan konservasi.

6. Cara kerja petugas Balai Taman Nasional juga mulai berubah. Dulu petugas ditakuti karena

hanya menyampaikan sejumlah larangan kepada masyarakat dalam berkegiatan di dalam

kawasan konservasi, disertai penindakan apabila larangan tersebut tidak dipatuhi. Akibatnya hal

ini menimbulkan konflik yang terus-menerus. Sekarang petugas berupaya menciptakan kondisi

yang kondusif untuk mengubah pandangan negatif terhadap petugas dan meraih kepercayaan

masyarakat. Komunikasi tidak hanya satu arah tetapi lebih mengedepankan dialog.

7. Perubahan tidak terjadi seketika, tetapi berproses. Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018 tentang

Kemitraan Konservasi baru ditandatangani pada bulan Juni 2018. Dalam waktu yang relatif

cepat, perubahan sudah mulai terjadi. Namun perubahan masih terus berproses, dan yang

terpenting adalah proses perubahan yang terjadi dihargai dan diyakini akan menuju perbaikan.

Pola pikir inilah yang berbeda dengan pola pikir yang dulu, ketika orang lebih menghargai hasil

ketimbang proses. Oleh karena itu, proses perubahan penting didukung untuk implementasi

Kemitraan Konservasi.

8. Ada enam faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi yang bisa dipetik dari

pembelajaran. Keenam faktor pendukung tersebut adalah (a) kepemimpinan, (b) komunikasi,

(c) perubahan cara kerja dari Balai Taman Nasional, (d) menemukan dan bekerja bersama local

champion, (e) dukungan publik dan stakeholder, (f) meningkatnya kesadaran masyarakat lokal

terhadap konservasi.

Page 97: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

97

9. Ada empat faktor penghambat implementasi Kemitraan Konservasi yang bisa diperoleh dari

pembelajaran di 6 Taman Nasional yang dikaji melalui studi literatur. Keempat faktor

penghambat tersebut adalah (a) kurang dukungan bagi lembaga kolaborasi multi-pihak, (b)

perbedaan kepentingan, (c) manfaat kemitraan konservasi belum bisa dirasakan, (d) dinamika

masyarakat lokal.

10. Ada lima kondisi pemungkin (enabling condition) agar implementasi Kemitraan Konservasi

dapat terus berjalan, yaitu (a) political will dari Dirjen KSDAE, (b) menghargai proses, (c)

memperjelas isi Perdirjen KSDAE No. 6 Tahun 2018, (d) membuat manfaat dari Kemitraan

Konservasi bisa dilihat dan dirasakan, serta (e) mengembangkan organisasi pembelajar.

Page 98: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

98

BAB VI REKOMENDASI

1. Menjaga agar kelima kondisi pemungkin (enabling condition) tetap ada dan dilaksanakan.

Kondisi pemungkin akan menghadirkan tokoh panutan yang dipercaya, menghilangkan keraguan

dan membuat orang tidak takut salah karena yang dilakukan adalah bagian dari proses

pembelajaran. Dalam organisasi pembelajar, kesalahan bukan untuk dihakimi tapi untuk

diperbaiki. Dengan demikian orang tidak takut untuk selalu mengikuti proses.

2. Gunakan kondisi pemungkin untuk mengurangi faktor-faktor penghambat dan memperbesar

faktor-faktor pendukung implementasi Kemitraan Konservasi.

3. Gunakan kondisi pemungkin untuk terus memastikan perubahan pengelolaan kawasan

konservasi ke arah yang lebih baik.

Page 99: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

99

DAFTAR PUSTAKA

Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. 2017. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Taman

Nasional Bogani Nani Wartabone Periode 2018 -2027. Kotamobagu: Balai Taman Nasional

Bogani Nani Wartabone.

Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. 2019. Wawancara tentang Kemitraan Konservasi.

Kantor Lembaga Alam Tropika Indonesia: Bogor.

Balai Taman Nasoional Gunung Leuser. http://gunungleuser.or.id/tentang-kami/tentang-tngl// (diakses

tanggal 27 Maret 2019)

Balai Taman Nasoional Gunung Leuser. http://gunungleuser.or.id/jasa-lingkungan/wisata-alam/bukit-

lawang// (diakses tanggal 2 April 2017)

Balai Taman Nasional Gunung Leuser. 2019. Wawancara tentang Kemitraan Konservasi. Kantor

Lembaga Alam Tropika Indonesia: Bogor.

Balai Taman Nasional Komodo. 2000. Rencana Pengelolaan 25 tahun Taman Nasional Komodo,

Kementerian Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta: Balai Taman Nasional Komodo.

Balai Taman Nasional Karimunjawa. 2004. Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Kabupaten

Jepara Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Balai Taman Nasional Karimunjawa

Balai Taman Nasional Karimunjaya. 2017. Statistik Balai Taman Nasional Karimunjawa tahun 2016.

Semarang: Balai Taman Nasional Karimunjaya.

Burhanudin. 2012. Review Tata Ruang Ekowisata Tangkahan 2012. Medan : YOSL-OIC.

Fahrudin. 2001. Kemitraan Menuju Kolaborasi Pengelolaan TN Komodo. Labuan Bajo: PT Putri Naga

Komodo.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. http://ksdae.menlhk.go.id/berita/4609/balai-tn-

babul-bahas-perjanjian-kerjasama-di-zona-tradisional-pattiro-.html (diakses 5 April 2019)

Mongabay. 2018. https://www.mongabay.co.id/2018/02/20/perambahan-ancaman-serius-yang-terjadi-

di-taman-nasional-gunung-leuser/ (diakses tanggal 27 Maret 2019).

Mongobay, 2018. https://www.mongabay.co.id/2018/08/16/klhk-pengembangan-wisata-komodo-

berprinsip-konservasi-dan-libatkan-masyarakat-benarkah/ (diakses tanggal 20 Mei 2019).

Pemerintah Indonesia. 1996. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 631/Kpts-II/1996 tentang Status

Kawasan CA Kayan Mentarang menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang. Jakarta.

Pemerintah Indonesia. 2002. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 1215/Kpts-II/2002 tentang Usulan

Pembentukan Badan Pengelola Taman Nasional Kayan Mentarang. Jakarta.

Pemerintah Indonesia. 2004. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal

18 Oktober 2004 tentang Penunjukan Menjadi Balai Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung. Jakarta.

Pemerintah Indoensia. 2014. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.4787/Menhut-

VII/KUH/2014 tentang Luas Kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Jakarta.

SunSpirit for Justice and Peace (SSP), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Agrarian Research

Center (ARC), Aliansi Petani Lembor (APEL). 2016. Laporan Pertama Penelitian Lintas

Page 100: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

100

Lembaga Untuk Manggarai Barat Meliputi Kejadian dari Akhir Tahun 2015 sampai dengan Mei

2016. Divisi Riset dan Publikasi SunSpirit for Justice and Peace (SSP), Flores, Nusa Tenggara

Timur.

Susmianto, Adi. 2017. Belajar Dari Lapangan Kisah Keberhasilan Pemulihan Ekosistem di Kawasan

Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara Partisipatif. Jakarta: Forda Press.

Widodo, K., C. Eghenter, J. Tarigan, A. Salo. 2018. Masyarakat Adat dan Kawasan Konservasi di

Indonesia: Menuju Tata Kelola Konservasi Yang Efektif, Inklusif dan Adil, Contoh Kasus

Kajian Tata Kelola Kolaboratif di Taman Nasional Kayan Mentarang, Kalimantan Utara,

Indonesia. Working Group ICCAs Indonesia. Bogor.

Wiratno. 2013. Dari Penebang Liar ke Hutan Konservasi Leuser “Tangakahan dan Ekowisata Leuser”.

Medan: YOSL-OIC.

Page 101: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

101

LAMPIRAN

Page 102: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

102

LAMPIRAN I – KEMITRAAN KONSERVASI DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, SETELAH PERDIRJEN KSDAE

NO. 6 TAHUN 2018 DITERBITKAN

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi / Desa Kelompok Nomor PKS

Luas

PKS (ha)

Jml

KK

Jml

PKS

1 TN

Matalawa

Pemanfaatan

HHBK

Maradesa

Selatan, Kambata

Wundut,

Umamanu,

Lailunggi,

Watumbelar

Ketua KMPH Lendu

Loru

Nota Kesepahaman Nomor : Nk.

02/T.28/TU/KSA/09/2017 ; 01/KMPH-

LENDU LORU/DESA MARADESA

SELATAN/2017

(PKS.12/T.28/TU/KSA/08/2018)

62.40 297

5 PKS

Ketua KMPH Pinggi

Wangga Wundut

Nota Kesepahaman Nomor : NK.

04/T.28/TU/KSA/09/2017 ; 01/KMPH-

PINGGI WANGGA WUNDUT/DESA

KAMBATA WUNDUT/2017

(PKS.15/T.28/TU/KSA/08/2018 tanggal 1

bulan agustus 2018)

40.23

Ketua KMPH Ngadu

Praing

Nota Kesepahaman Nomor : NK.

05/T.28/TU/KSA/09/2017 ; 01/KMPH-

WATU UMA/DESA

WATUMBELAR/2017

(PKS.14/T.28/TU/KSA/08/2018 tanggal 1

Agustus 2018)

44.10

KTH Taman Wangi

Desa

Nota Kesepahaman Nomor : NK.

03/T.28/TU/KSA/09/2017 ; 01/KMPH-

NGADU PRAING/DESA

UMAMANU/2017

(PKS.13/T.28/TU/KSA/08/2018 tanggal 1

Agustus 2018)

32.17

Ketua KMPH Watu

Uma

Nota Kesepahaman Nomor : NK.

01/T.28/TU/KSA/09/2017 ; 01/KTH-

TAMAN WANGI/DESA

LAILUNGGI/2017

62.12

Page 103: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

103

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi / Desa Kelompok Nomor PKS

Luas

PKS (ha)

Jml

KK

Jml

PKS 241.02

2

TN

Aketajawe

Lolobata

Pemanfaatan

HHBK (Damar) desa bukit durian KTH Putra Durian

PKS.07/T.25/TU/KSA/2018 tanggal 06

september 2018 210 35 1 PKS

210.00

3 TN Bukit

Dua Belas

pemanfaatan

HHBK

Desa Pematang

Kabau

Kelompok

Temunggung

Nangkus

PKS.14/T.32/TU/HMS/09/2018 tanggal 7

september 2018 6,000.00 20

3 PKS Desa Bukit

Suban

Kelompok

Temunggung

Bepayung

PKS.15/T.32/TU/HMS/2019 tanggal 7

september 2018 83

Desa Bukit

Suban

Kelompok

Temunggung Grip

PKS.13/T.32/TU/HMS/09/2018 tanggal 7

september 2018 95

6,000.00

4

TN Bukit

barisan

Selatan

Pemanfaatan

Damar

resort balai

kencana KTH Damar Paseban PKS.21/T.7/TU/PKS.2/10/2018 40.10 15

2 PKS

KTH Damar

Mandapalu PKS.20/T.7/TU/PKS.2/10/2018 68.48 11

108.58

5 TN

Manusela

pemanfaatan

getah damar resort masihulan

Kelompok Tani Getah

Damar Wae Korule 1387.68 1 PKS

1387.68

6 TN Kayan

Mentarang desa data dian 5,845.14 100

4 PKS desa long alongo

ketua kelompok

badan pengelola tana

ulen lalut birai

10,758.09 44

desa apau ketua kelompok dema

mading 1,168.71 60

Page 104: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

104

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi / Desa Kelompok Nomor PKS

Luas

PKS (ha)

Jml

KK

Jml

PKS

desa pa umung kepala adat besar

krayan hilir 4,807.23 74

22,579.1

7 278

7 TN

Kelimutu pemberian akses desa wolomoni SPKP

4 PKS

desa saga kelompok masyarakat

saga

pemulihan

ekosistem desa nduaria

kelompok tani

rimbawan desa

nduaria

desa niowula kelompok swadaya

masyarakat wolomoni

8 TN Lore

Lindu

pemberdayaan

masyarakat desa tuare kepala desa Tuare 50.00

5 PKS

desa kageroa Kepala Desa Kageroa 50.00

desa kolori kepala desa kolori 50.00

desa lelio kepala desa lelio 50.00

desa lengkeka kepala desa lengkeka 50.00

250.00

9 TN Berbak

Sembilang

budidaya

tradsional berupa

tambak kerang

Desa Sungsang

IV

kelompok berkat

nelayan 85.70 13

7 PKS

pemanfaatan

tradisional

sumberdaya

perairan terbatas

untuk jenis ikan,

udang yang tidak

dilindungi

kelompok jaya

bersama, kelompok

sumber nelayan,

kelompok timbul

harapan

4,900.65 53

Page 105: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

105

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi / Desa Kelompok Nomor PKS

Luas

PKS (ha)

Jml

KK

Jml

PKS

pemanfaatan

tradisional

sumberdaya

perairan terbatas

untuk jenis ikan,

udang, kerang

yang tidak

dilindungi

kelompok usaha

nelayan, kelompok

putra pantai,

kelompok sumber

rejeki

3,501.91 43

8,488.26 109

10 TN Gunung

Merapi

pemungutan

HHBK Desa Tegalmulyo

kepala desa tegal

mulyo 79.30 73

2 PKS Desa

Wonodoyo

kepala desa

wonodoyo 9.50

88.80 73

11

TN Gunung

Gede

Pangrango

Pemungutan

HHBK

Resort PTN

Nagrak, Seksi

wilayah IV

Situgunung

KTH Kuta Lestari 21.95

5 PKS KTH Mandiri

Cikawung 12.15

KTH Tunas Harapan 11.81

KTH Harapan Maju 24.50

KTH Karya Tani 23.94

94.35

12

TN

Bantimurun

g

Balasaraung

Pemanfaatan SDA

di zona

tradisional

Desa

Rompegading KT. Sonrae

PKS.33/T.46/TU/KUM.3/11/2018 tanggal

03 November 2018 71.41

9 PKS Pemanfaatan SDA

di zona

tradisional

Desa Labuaja KTH. Pattiro Bulu PKS.29/T.46/TU/KUM.3/11/2018 tanggal

03 November 2018 52.73

Page 106: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

106

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi / Desa Kelompok Nomor PKS

Luas

PKS (ha)

Jml

KK

Jml

PKS

Pemanfaatan SDA

di zona

tradisional

Desa Labuaja

KT. Bulu Tanete PKS.27/T.46/TU/KUM.3/11/2018 tanggal

03 November 2018

55.73

KT. Bukit Harapan PKS.28/T.46/TU/KUM.3/11/2018 tanggal

03 November 2018

KT. Tunas Muda PKS.30/T.46/TU/KUM.3/11/2018 tanggal

03 November 2018

Pemanfaatan SDA

di zona

tradisional

Desa Barugae KT. Banga Bangae PKS.31/T.46/TU/KUM.3/11/2018 tanggal

03 November 2018 489.98

Pemanfaatan SDA

di zona

tradisional

Desa

Mattampawalie KT. Labongke

PKS.32/T.46/TU/KUM.3/11/2018 tanggal

03 November 2018 14.06

Pemanfaatan SDA

di zona

tradisional

Desa

Patanyamang

KT. Pattanyamang I PKS.35/T.46/TU/KUM.3/11/2018 tanggal

03 November 2018 151.04

KT. Pattanyamang II PKS.36/T.46/TU/KUM.3/11/2018 tanggal

03 November 2018 81.75

916.70

13

TB Gunung

Masigit

Kareumbi

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Pasir

Panjang,

Cikeuyeup dan

Ciketug, Resor

Konservasi

Wilayah XII

Kareumbi Timur,

Seksi Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA Wilayah II

Soreang

KTH Pojok PKS.001/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00 11

PKS

Page 107: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

107

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi / Desa Kelompok Nomor PKS

Luas

PKS (ha)

Jml

KK

Jml

PKS

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Nanggewer,

Sawah Tengah,

Resor

Konservasi

Wilayah XII

Kareumbi Timur,

Seksi Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA Wilayah II

Soreang

KTH Nanggewer PKS.002/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Cibubut,

Cibedug, Baru

Jeruk, Resor

Konservasi

Wilayah XII

Kareumbi Timur,

Seksi Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA Wilayah II

Soreang

KTH Cibubut PKS.003/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Ciela,

Resor

Konservasi

Wilayah XII

Kareumbi Timur,

Seksi Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA Wilayah II

Soreang

KTH Simpay Wargi PKS.004/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Pasir Gordi,

Resor

Konservasi

KTH Simpay Gordi PKS.005/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00

Page 108: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

108

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi / Desa Kelompok Nomor PKS

Luas

PKS (ha)

Jml

KK

Jml

PKS

Wilayah XII

Kareumbi Timur,

Seksi Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA Wilayah II

Soreang

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Cinangun,

Cikaso, Gunung

Linggar, Resor

Konservasi

Wilayah XII

Kareumbi Timur,

Seksi Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA Wilayah II

Soreang

KTH Gunung

Tumpeng PKS.006/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Cikekes II,

Samida, Katapa,

Sangkur, Resor

Konservasi

Wilayah XII

Kareumbi Timur,

Seksi Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA Wilayah II

Soreang

KTH Cikekes PKS.007/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Batu Coet,

Cihantap,

Ciranca, Resor

Konservasi

Wilayah XII

Kareumbi Timur,

KTH Sawardi PKS.008/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00

Page 109: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

109

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi / Desa Kelompok Nomor PKS

Luas

PKS (ha)

Jml

KK

Jml

PKS

Seksi Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA Wilayah II

Soreang

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Datar

Jambu, Cisumur,

Datar Gedang,

Resor

Konservasi

Wilayah XII

Kareumbi Timur,

Seksi Konservasi

Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA II Soreang

KTH Datar Tepus PKS.009/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Cioray,

Pangulitan,

Sompok,

Citengah, Resor

Konservasi

Wilayah XII

Kareumbi Timur,

Seksi Konservasi

Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA II Soreang

KTH Medal Kencana PKS.010/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00

Pemungutan

HHBK getah

pinus

Blok Sanding,

Pangulitan,

Sompok,

Citengah, Resor

Konservasi

Wilayah XII

KTH Ciukir PKS.011/K.1/TU/TU.2/3/2019 100.00

Page 110: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

110

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi / Desa Kelompok Nomor PKS

Luas

PKS (ha)

Jml

KK

Jml

PKS

Kareumbi Timur,

Seksi Konservasi

Wilayah III

Bandung, Bid

KSDA II Soreang

1,100.00 11

PKS

Jumlah 41,214.5

6

101

6 39

Page 111: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

111

LAMPIRAN 2 – KEMITRAAN KONSERVASI DALAM RANGKA PEMULIHAN EKOSISTEM, SETELAH PERDIRJEN KSDAE NO. 6

TAHUN 2018 DITERBITKAN

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi Mitra Nomor PKS

Luas

PKS

(ha)

Lokasi

zona/blok Jml

KK

1 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Lawe

Malum SPTN

Wilayah IV

Bandar BPTN

Wil. II Kutacane

Balai Besar

Gunung Leuser.

Resort Lawe

Malum, SPTN Wil.

IV, BPTN Wil. II

BBTNGL

Desa Lawe Malum,

Kecamatan Babul

Rahmah Kabupaten

Aceh tenggara

Provinsi Aceh

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK)

MARSADA

20/ADM/B/KTM/X/2018;

PKS.571/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

57 Zona

rehabilitasi

31

2 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

Resort Lawe

Malum, SPTN Wil.

IV, BPTN Wil. II

BBTNGL

Desa Lawe Malum,

Kecamatan Babul

Rahmah Kabupaten

Aceh tenggara

Provinsi Aceh

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK)

TENDA BIRU

21/AMD/B/KTT/X/2018;

PKS.572/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

36.2 Zona

rehabilitasi

23

Page 112: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

112

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi Mitra Nomor PKS

Luas

PKS

(ha)

Lokasi

zona/blok Jml

KK

di Resort Lawe

Malum SPTN

Wilayah IV

Bandar BPTN

Wil. II Kutacane

Balai Besar

Gunung Leuser.

3 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Besar Gunung

Leuser.

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK)

SEJAHTERA

110/KTHKS/10/2018;

PKS.573/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

86.05 Zona

rehabilitasi

39

4 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kabupaten Langkat

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK)

KARYA

LESTARI

111/KTHKKL/10/2018;

PKS.574/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

85.01 Zona

rehabilitasi

40

Page 113: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

113

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi Mitra Nomor PKS

Luas

PKS

(ha)

Lokasi

zona/blok Jml

KK

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Besar Gunung

Leuser.

Prop. Sumatera

Utara

5 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Besar Gunung

Leuser.

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK)

MANDIRI

112/KTHKMA/10/2018;

PKS.575/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

76.55 Zona

rehabilitasi

37

Page 114: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

114

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi Mitra Nomor PKS

Luas

PKS

(ha)

Lokasi

zona/blok Jml

KK

6 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Besar Gunung

Leuser.

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK)

MEKAR

113/KTHKMK/10/2018;

PKS.576/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

55 Zona

rehabilitasi

29

7 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK)

BAMBAN

SEJAHTERA

114/KTHKBS/10/2018;

PKS.577/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

40,082 Zona

rehabilitasi

34

Page 115: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

115

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi Mitra Nomor PKS

Luas

PKS

(ha)

Lokasi

zona/blok Jml

KK

Besar Gunung

Leuser.

8 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Besar Gunung

Leuser.

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK)

BAMBAN

MAKMUR

115/KTHKBM/10/2018;

PKS.578/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

69,9013 Zona

rehabilitasi

36

9 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK) BINA

LINGKUNGAN

116/KTHKBK/10/2018;

PKS.579/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

62,80684 Zona

rehabilitasi

34

Page 116: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

116

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi Mitra Nomor PKS

Luas

PKS

(ha)

Lokasi

zona/blok Jml

KK

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Besar Gunung

Leuser.

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

10 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Besar Gunung

Leuser.

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK) BINA

LESTARI

117/KTHKBK/10/2018;

PKS.580/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

101.29 Zona

rehabilitasi

51

Page 117: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

117

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi Mitra Nomor PKS

Luas

PKS

(ha)

Lokasi

zona/blok Jml

KK

11 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Besar Gunung

Leuser.

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK) CINTA

MAKMUR

118/KTHKBCM/10/2018;

PKS.581/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

58,8069 Zona

rehabilitasi

34

12 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK)

MAKMUR

TANI

119/KTHKM/10/2018;

PKS.582/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

70,098 Zona

rehabilitasi

43

Page 118: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

118

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi Mitra Nomor PKS

Luas

PKS

(ha)

Lokasi

zona/blok Jml

KK

Besar Gunung

Leuser.

13 TN Gunung

Leuser

Kemitraan

Konservasi

dalam Rangka

Perlindungan,

Pemulihan

Ekosistem dan

Pemanfaatan

secara Lestari

Taman Nasional

Gunung Leuser

di Resort Sekoci

SPTN Wilayah

VI Besitang

BPTN Wil. III

Stabat Balai

Besar Gunung

Leuser.

Resort Sekoci,

SPTN Wil.VI,

BPTN Wil. III

BBTNGL

Desa PIR ADB

kecamatan

Besitang

Kabupaten Langkat

Prop. Sumatera

Utara

Kelompok Tani

Hutan

Konservasi

(KTHK)

MAWAR

120/KTHKMW/10/2018;

PKS.583/BBTNGL/KBTU/PKS/10/2018

32,896 Zona

rehabilitasi

31

15 TN

Kelimutu

Penguatan

Fungsi Kawasan

Melalui

Kemitraan

Konservasi

dalam rangka

Pemulihan

Ekosistem dan

Resort Nduaria

SPTN Wil. I Moni,

Kecamatan

Kelimutu,

Kabupaten Ende,

Provinsi NTT.

Desa Nduaria,

Kecamatan

Kelompok Tani

Rimbawan Desa

Nduaria

PKS.81/T.40/TU/KSA/10/2018;

01/KTR-ND/X/2018

30 Zona

rehabilitasi

20

Page 119: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

119

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi Mitra Nomor PKS

Luas

PKS

(ha)

Lokasi

zona/blok Jml

KK

Pengembangan

Pertanian

Organik di Desa

Nduaria

Kecamatan

Kelimutu

Kabupaten Ende

Resort Nduaria

di Taman

Nasional

Kelimutu

Kelimutu,

Kabutapaten Ende

Provinsi NTT.

16 TN

Kelimutu

Penguatan

Fungsi Kawasan

Melalui

Kemitraan

Konservasi

dalam rangka

Pemulihan

Ekosistem dan

Pengembangan

Ekowisata di

Desa Wologai

Tengah Resort

Wologai di

Taman Nasional

Kelimutu

Resort Wologai

Tengah, SPTN Wil.

II Detusoko,Taman

Nasional Kelimutu.

Desa Wologai

Tengah Kec.

Detusoko

Kabupaten Ende.

Sentra Penyuluh

Kehutanan

Pedesaan

(SPKP) Desa

Wolongai

PKS.70/T.40/TU/KSA/9/2018;

01/SPKP-WGT/IX/2018

55 Zona

rehabilitasi

19

18 TN

Boganinani

Penguatan

Fungsi

Pengelolaan

Kawasan

bersama

masyarakat

Resort Dumoga

Utara, SPTN II

Doloduo

Desa Tapadaka

Utara, Kecamatan

Dumoga Utara,

Kelompok

Masyarakat

Tapak Linou

PKS.1363/BTNBNW-1/05/2018

PKS.01/MB/05/2018

11 Zona

rehabilitasi

Page 120: Laporan Studi Literatur KEMITRAAN KONSERVASI DI 12 TAMAN

120

No Kawasan

Konservasi Kegiatan Lokasi Mitra Nomor PKS

Luas

PKS

(ha)

Lokasi

zona/blok Jml

KK

melalui kegiatan

pemulihan

ekosistem di

zona rehabilitasi

pada resort

Dumoga Utara

SPTN II

Doloduo TN

Bogani Nani

Wartabone

Kabupaten Bolaang

Mongondow,

Sulawesi Utara

19 TN

Boganinani

Penguatan

Fungsi

Pengelolaan

Kawasan

bersama

masyarakat

melalui kegiatan

pemulihan

ekosistem di

zona rehabilitasi

pada resort

Dumoga Utara

SPTN II

Doloduo TN

Bogani Nani

Wartabone

Resort Dumoga

Utara, SPTN II

Doloduo

Desa Tapadaka

Utara, Kecamatan

Dumoga Utara,

Kabupaten Bolaang

Mongondow,

Sulawesi Utara

Kelompok

masyarakat

Motobatu

PKS.1364/BTNBNW-1/05/2018

PKS.01/MB/05/2018

11 Zona

rehabilitasi

Jumlah 604.00 501.00