laporan praktikum laboratorium

38
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan baku hasil perikanan merupakan bahan atau hasil-hasil perikanan baik perikanan darat maupun perikanan laut yang dapat dijadikan sumber bahan baku untuk dimanfaatkan sebagai bahan industri perikanan. Perairan umum Indonesia yang meliputi dua pertiga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki potensi sumber daya hayati perikanan yang besar dan belum seluruhnya dieksplorasi, dikelola serta dimanfaatkan. Mengingat sangat mendesaknya kebutuhan akan protein hewani yang berasal dari sumber daya ikan, maka sudah saatnya memanfaatkan sumber-sumber hayati perairan yang ada dan dimanfaatkan seoptimal mungkin karena akan menunjang perluasan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan perbaikan gizi masyarakat. Keadaan ini sejalan dengan pertambahan penduduk serta kondisi geografis Indonesia yang memerlukan peningkatan dalam bidang perikanan. Sumber daya ikan sebagai bahan baku pada umumnya memiliki nilai gizi yang tinggi terutama kandungan protein. Dalam mengembangkan hasil perikanan di Indonesia selain unsur-unsur penangkapan, penanganan, pengangkutan, pemasaran, pengolahan dan pengemasan, maka unsur bahan baku mempunayai peranan

Upload: farahrisqqa

Post on 17-Feb-2016

299 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

udang merupakan hasil perikanan yang rentan sekali masa simpannya dikarenakan pada udang sangat sering terjadi melanosis. melanosis tersebut dipengaruhi oleh

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan praktikum Laboratorium

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan baku hasil perikanan merupakan bahan atau hasil-hasil perikanan

baik perikanan darat maupun perikanan laut yang dapat dijadikan sumber bahan

baku untuk dimanfaatkan sebagai bahan industri perikanan. Perairan umum

Indonesia yang meliputi dua pertiga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

memiliki potensi sumber daya hayati perikanan yang besar dan belum seluruhnya

dieksplorasi, dikelola serta dimanfaatkan.

Mengingat sangat mendesaknya kebutuhan akan protein hewani yang

berasal dari sumber daya ikan, maka sudah saatnya memanfaatkan sumber-sumber

hayati perairan yang ada dan dimanfaatkan seoptimal mungkin karena akan

menunjang perluasan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan perbaikan

gizi masyarakat. Keadaan ini sejalan dengan pertambahan penduduk serta kondisi

geografis Indonesia yang memerlukan peningkatan dalam bidang perikanan.

Sumber daya ikan sebagai bahan baku pada umumnya memiliki nilai gizi yang

tinggi terutama kandungan protein. Dalam mengembangkan hasil perikanan di

Indonesia selain unsur-unsur penangkapan, penanganan, pengangkutan,

pemasaran, pengolahan dan pengemasan, maka unsur bahan baku mempunayai

peranan yang sangat penting untuk mempertahankan mutu hasil perikanan dari

kemungkinan-kemungkinan kerusakan. Bahan baku menyangkut berbagai aspek

yang harus dipahami untuk mempertahankan mutu guna peningkatan nilai jual

produk hasil perikanan.

Salah satu faktor penting dalam menentukan potensi bahan baku adalah

dengan mengetahui rendemen. Rendemen adalah perbandingan antara daging

dengan berat ikan utuh. Dengan mengetahui rendemen maka dapat

memperkirakan jumlah bagian dari ikan yang dapat digunakan untuk pemanfaatan

daging yang dihasilkan dalam membuat produk turunannya. Selain itu besarnya

potensi perikanan Indonesia dan banyaknya permintaan ekspor produk hasil

perikanan ke negara lain menyebabkan perlunya penanganan hasil perikanan yang

Page 2: Laporan praktikum Laboratorium

2

baik karena tuntutan konsumen terhadap hasil perikanan yang masih segar dan

berkualitas baik dapat terpenuhi.

Penanganan hasil perikanan harus dilakukan secara baik dan hati-hati karena

ikan mudah sekali mengalami pembusukan. Ikan mengandung sekitar 20-30%

protein mengakibatkan ikan mudah sekali mengalami kemunduran mutu. Selain

itu kandugan asam lemak tak jenuh pada ikan jika teroksidasi dapat

mengakibatkan ketengikan. Bakteri yang terasosiasi dalam daging ikan akan

mendegradasi stuktur daging ikan apabila penangganan yang kurang baik. Faktor

yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan cukup banyak, namun yang paling

krusial adalah suhu. Suhu penyimpanan ikan memegang peranan penting. Untuk

menjaga ikan tetap segar diperlukan suhu penyimpanan di bawah 00C (Suwetja,

1990). Suhu penyimpanan rendah sekitar 00C setelah ikan mata dapat

memperpanjang fase rigormortis ikan, menurunkan kegiatan enzimatik, bakterial,

kimiawi, dan perubahan fisik.

Dalam menentukan kesegaran ikan diperlukan suatu metode analisis yang

mudah, cepat, dan akurat. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam

menganalisa kesegaran ikan seperti analisis secara mikorbiologi, kimiawi,

ultrasonik, sensorik. Analisis secara kimiawi, mikrobiologi, ataupun utrasonik

memerlukan peralatan yang mahal dan waktu yang dibutuhkan cukup lama.

Metode analisa yang dianggap cepat dan mudah adalah metode sensorik. Metode

sensorik menggunakan kemampuan panca indera manusia dengan pengecualian

pendengaran, yang digunakan hanya penglihatan, peraba, penciuman, dan perasa.

Metode sensorik menguji hanya bagian eksternal ikan, sedangkan untuk

mengetahui TVB, TMA, TPC menggunakan metode mikrobiologi. Metode

sensorik memiliki kelemahan terhadap tingginya tingkat subjektivitas panelis.

Panelis yang dibutuhkan dalam pengujian kesegaran ikan harus yang terlatih

dengan tujuan agar hasil assessment bisa akurat (Ariyani, 2010).

1.2 Tujuan Praktikum

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui nilai rendemen

beberapa jenis bahan baku hasil perikanan yaitu udang dan bekicot serta untuk

mengetahui kemunduran mutu udang yang disimpan pada suhu ruang.

Page 3: Laporan praktikum Laboratorium

3

1.3 Manfaat Praktikum

Dapat mengetahui nilai rendemen beberapa jenis bahan baku hasil

perikanan yaitu udang dan bekicot serta dapat mengetahui tingkat kesegaran

udang.

Page 4: Laporan praktikum Laboratorium

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Udang

Secara morfologi, udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kepala yang

menyatu dengan dada (cephalothorax) dan bagian badan (abdomen) yang terdapat

ekor dibelakangnya. Udang memiliki tubuh yang beruas-ruas dan seluruh bagian

tubuhnya tertutup kulit khitin yang tebal dan keras. Bagian kepala beratnya lebih

kurang 36-49% dari total keseluruhan berat badan, daging 24-41% dan kulit 17-

23% (Purwaningsih,1995).

Gambar 1. Morfologi Udang

Ordo Decapoda umumnya hidup di laut, beberapa di air tawar dan sedikit

di darat. udang yang banyak terdapat di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis

tinggi antara lain udang windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus

marguiensis) dan udang dogol (Metapenaeus monoceros). Sedangkan udang air

tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi antara lain udang galah

(Macrobranchium rosenbergii), udang kipas (Panulirus sp) dan udang karang

(Lobster) (Permana,2007).

Udang pasifik putih atau dikenal dengan Litopenaeus vannamei atau

udang vannamei merupakan spesies udang komersial yang dibudidayakan. Udang

vannamei ini juga merupakan udang yang sangat rentan terhadap aktivitas black

spot selama proses penanganan dan penyimpanannya (Nirmal dan Benjakul,

2012).

Page 5: Laporan praktikum Laboratorium

5

2.2 Komposisi Kimia Udang

Tabel 1. Komposisi Kimia Udang

No. Komposisi Kimia Jumlah

1. Kadar air (%) 78

2. Kadar abu (%) 3,1

3. Lemak (%) 1,3

4. Karbohidrat (%) 0,4

5. Protein (%) 16,72

6. Kalsium (Mg) 161

7. Fosfor (Mg) 292

8. Besi (Mg) 2,2

9. Natrium (Mg) 418

Sumber: USDA 2003

2.3 Persyaratan Mutu Udang

Udang sebagai salah satu produk perikanan yang memilliki sifat mudah

busuk (highly perishable), maka penanganan yang baik mutlak diperlukan agar

mutu udang tetap segar pada saat dikonsumsi. Mutu udang terutama ditentukan

oleh keadaan fisik dan organoleptik (rupa, warna, bau, rasa dan tekstur) dari

udang tersebut. Kemudian, ukuran dan keseragaman udang juga dapat

menentukan tingkat mutunya. Oleh karena itu, tidak boleh ada cacat, rusak atau

defect yang akan mengurangi nilai dari mutu udang (Hadiwiyoto,1993). Standar

syarat mutu dan keamanan pangan udang beku dapat dilihat pada tabel berikut ini

Tabel 2. Standar Mutu dan Keamanan Pangan Udang

Jenis Uji Satuan Persyaratana. Organoleptik Angka 1-9 Minimal 7b. Cemaran mikroba

ALTKoloni/g Maksimal 5,0 × 105

Escherichia coli APM/g maksimal < 2 Salmonella APM/25g Negative Vibrio cholera APM/25g Negative Vibrio

parahaemolyticus(kanagawa positif)*

APM/g maksimal < 3

c. Cemaran kimia*: Kloramfenikol

Ppb maksimal 0

Nitrofuran Ppb maksimal 0

Page 6: Laporan praktikum Laboratorium

6

Tetrasiklin Ppb maksimal 100d. Fisika

Suhu pusat, maksºC maksimal -18

e. Filth Jenis/jumlah maksimal 0*: bila diperlukan

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2007)

2.4 Kemunduran Mutu Udang

Kemunduran mutu pada udang biasanya disetandai dengan adanya

melanosis atau biasa dikenal dengan istilah black spot (Aubourg et al., 2007;

Manheem et al., 2013). Melanosis tersebut disebabkan oleh adanya mekanisme

biokimia yang disebabkan oleh enzim polyphenol oksidase atau biasa disingkat

dengan PPO yang dapat mengoksidasi fenol menjadi quinon (Manheem at al.,

2013). Peristiwa tersebut diikuti dengan adanya polimerisasi non enzimatik dari

quinon sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pigmen menjadi sangat gelap

atau berwarna hitam (Montero et al., 2001; Manheem et al., 2013). PPO pada

krustasea biasanya diaktifkan oleh protease (Martinez-Alvarez 2005; Manheem et

al., 2013). Melanosis biasanya terjadi pada karapas dan menyebar kepada seluruh

tubuh (Manheem et al., 2013)

Kalleda et al (2013) menyatakan kesegaran udang dapat diukur dengan

adanya perubahan warna yang terjaadi pada udang melalui reaksi autolitik oleh

enzim pholyphenol oksidase . Selain itu, kualitas udang dapat diukur secara

sensori dengan mengetahui aroma, tekstur, serta pigmen yang terbentuk oleh

adanya oksidasi yang disebabkan oleh PPO (Cobb, 1997; Kalleda et al., 2013).

PPO dikenal sebagai fenolase, tirosinase, katekol oksidase yang

mengandung metalloenzim yang dapat mengkatalisis dua reaksi dasar (Nirmal dan

Benjakul, 2012). PPO dapat mengkatalis oksidasi o-difenol menjadi o-quinon

(Garcia-Mollina at al., 2005; Nirma dan Benjakul., 2012). PPO yang terdapat

dalam karapas udang akan terdistribusi ke eksoskeleton abddomen, sefalotoraks,

pleopods, dan telson (Zamorano et al., 2001; Nirma dan Benjakul., 2012). PPO

pada umumnya ditemukan pada bagian sefalotoraks udang dan dapat

menyebabkan noda hitam yang biasanya disebut dengan blackspot atau melanosis

(Nirmal dan Benjakul, 2012). Banyaknya melanosis atau noda hiitam yang

Page 7: Laporan praktikum Laboratorium

7

terbentuk pada krustasea tergantung dari spesies, serta perbedaan pada

konsentrasi enzim (Benjakul et al., 2005; Nirmal dan Benjakul, 2012).

Melanosis pada udang dapat dicegah dengan cara meminimalisir aktivitas

enzim PPO yang disertai pengaturan pH atau suhu dengan sebaik mungkin

sehingga dapat dimungkinkan bahwa PPO akan terhambat dan hal tersebut dapat

diterapkan selama penanganan, pengolahan, dan penyimpanan (Nirmal ddan

Benjakul, 2012).

Proses kemunduran mutu udang dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang

berasal dari badan udang itu sendiri dan faktor lingkungan. Penurunan mutu ini

terjadi secara autolisis, bakteriologis dan oksidatif. Kemunduran mutu udang

sangat berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Sebagai

produk biologis, udang termasuk bahan makanan yang mudah bususk bila

dibandingkan dengan ikan. Oleh karena itu, penanganan udang segar memerlukan

perhatian dan perlakuan yang cermat. Susunan tubuh udang mempunyai hubungan

erat dengan masa simpannya. Bagian kepala merupakan bagian yang sangat

berpengaruh terhadap daya simpan karena bagian kepala mengandung enzim

pencernaan dan bakteri pembusuk (Purwaningsih,1995).

Kerusakan biokimia disebabkan oleh kerusakan enzim yang ada dalam

tubuh udang. Enzim tersebut menguraikan atau membongkar senyawa-senyawa

makromolekul dan mudah menguap sehingga timbul bau busuk atau tidak sedap

(Hadiwiyoto,1993).

Kerusakan mikrobiologis dipacu oleh pertumbuhan mikroba yang terdapat

dalam tubuh dan permukaan udang, setelah udang mati pertahanan tubuhnya

berkurang sehingga mikroba dapat menyerang daging udang. Pengaruh

lingkungan seperti sinar matahari dan suhu dapat menjadi penyebab utama

kerusakan fisik. Penigkatan suhu dapat mempercepat proses oksidasi dan tekstur

udang menjadi lunak (Hadiwiyoto,1993).

Sebagai salah satu jenis bahan makanan yang terhitung mudah sekali

mengalami kemunduran mutu, maka penanganan udang memerlukan perhatian

yang menyeluruh dan perlakuan yang cermat. Dari segi kemunduran mutu ada

atau tidaknya kepala mempengaruhi daya simpan udang segar karena bagian

Page 8: Laporan praktikum Laboratorium

8

kepala terdapat insang dan isi perut yang merupakan salah satu sumber bakteri

pembusuk dan enzim-enzim pencernaan (Moeljanto,1992).

Salah satu cara untuk menghambat proses penurunan mutu udang segar

adalah dengan pembekuan yang merupakan cara yang paling baik untuk

penyimpanan jangka panjang. Apabila cara pengolahan dan pembekuan dilakukan

dengan baik dan bahan mentahnya masih segar, maka dapat dihasilkan udang

beku yang bila dicairkan mendekati sifat-sifat udang segar (Moeljanto,1992).

2.5 Deskripsi dan Klasifikasi Bekicot (Achatina fulica)

Bekicot (Achatina fulica) termasuk golongan hewan lunak (mollusca)

yang termasuk dalam kelas Gastropoda. Badannya lunak dan dilindungi oleh

cangkang yang keras. Jenis hewan ini tersebar di laut, air tawar dan daratan yang

lembab (Integrated Taxonomic Information System, 2004). Menurut Integrated

Taxonomic Information System (2004), taksonomi bekicot adalah sebagai berikut

Phylum : Mollusca

Kelas : Gastropodaa

Ordo : Stylommatophora

Famili : Achatinidae

Sub famili : Achatininae

Genus : Achatina

Sub genus : Lissachatina

Species : Achatina fulica

Achatina fulica memiliki sebuah cangkang sempit berbentuk kerucut yang

panjangnya dua kali lebar tubuhnya dan terdiri dari 7-9 ulir lingkaran ketika

umurnya sudah dewasa. Cangkang umumnya memiliki warna coklat kemerahan

dengan corak vertikal berwarna kuning tetapi warna dari spesies bervariasi

tergantung dengan kondisi lingkungan dan jenis makanan. Bekicot dewasa

panjang cangkangnya dapat melebihi 20 cm, tetapi rata-rata panjangnya sekitar 5

sampai 10 cm. Sedangkan berat rata-rata siput kurang lebih sekitar 32 gram

(Cooling, 2005).

Page 9: Laporan praktikum Laboratorium

9

Bekicot memakan tumbuh-tumbuhan yang telah busuk, lumut, jamur dan

alga. Bekicot juga dapat menyebabkan kerusakan yang serius pada tanaman

pangan dan tanaman hias (Neehall, 2004).

Bekicot berasal dari pesisir timur Afrika (Raunt dan Baker, 2002). Di

beberapa wilayah di Eropa, Asia dan Afrika bekicot dijadikan sebagai makanan

yang dikenal sebagai escargot di Perancis dan coracois di Portugal. Spesies

bekicot yang banyak terdapat di Eropa adalah Helix pomalia yang disebut

Burgundy snail dan Helix aspersa yang disebut European brown snail. Spesies

yang banyak tersebar di Asia dan Afrika khususnya Indonesia adalah Achatina

fulica (Cooper, 1992).

2.6 Habitat dan Daerah Distribusi

Negara-negara dimana terdapat bekicot (Achatina fulica) memiliki iklim

tropis yang hangat, suhu ringan sepanjang tahun dan tingkat kelembaban yang

tinggi. Untuk bertahan hidup bekicot perlu temperatur di atas titik beku sepanjang

tahun dan kelembaban yang tinggi sepanjang tahun. Pada musim kemarau, bekicot

menjadi titik aktif atau dorman untuk menghindari sinar matahari (Venette dan

Larson, 2004). Spesies ini dapat hidup di daerah pertanian, wilayah pesisir dan

lahan basah, hutan alami, semak belukar dan daerah perkotaan. Bekicot dapat

hidup secara liar di hutan maupun di perkebunan atau tempat budidaya (Raunt dan

Barker, 2002). Bekicot (Achatina fulica) tetap aktif pada suhu 9ºC hingga 29ºC,

bertahan pada suhu 2ºC dengan cara hibernasi dan pada suhu 30ºC dengan

keadaan dorman (Smith dan Fowler, 2003).

Bekicot dikatakan mempunyai banyak manfaatnya dari daging sampai

lendirnya. Bekicot merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi karena

mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap di samping mempunyai

kandungan zat besi yang tinggi. Lendir bekicot mengandung glikokonjugat

kompleks yaitu glikosaminoglikan proteoglikan. Molekul-molekul tersebut

terutama disusun dari gula sulfat atau karbohidrat, protein globuler terlarut, asam

urat dan oligoelemen (tembaga, seng kalsium dan besi). Glikosaminoglikan yang

terisolasi dari bekicot (Achatina fulica) ini terkait dengan golongan heparin dan

heparin sulfat. Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif

fungsi sel, berperan pada interaksi matriks sel proliferasi, fibroblas, spesialisasi

Page 10: Laporan praktikum Laboratorium

10

dan migrasi serta efektif mengontrol fenotip seluler. Glikokonjugat utama pada

lendir bekicot yaitu glikosaminoglikan disekresi oleh granula-granula yang

terdapat di dalam tubuh bekicot terletak di permukaan luar. Lendir bekicot juga

mengikat kation divales seperti tembaga (II) yang dapat mempercepat proses

angiogenesis yang secara tidak langsung mempengaruhi kecepatan penyembuhan

luka (Kim et al., 1996).

Page 11: Laporan praktikum Laboratorium

11

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jum’at, 13 Maret 2015 dengan

sampel berupa udang dan pada hari Jum’at, 20 Maret 2015 dengan sampel Bekicot

di Laboratorium Kering (Gedung B-205) Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga Surabaya.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan antara lain nampan yang berfungsi untuk meletakkan

sampel, pisau untuk memotong sampel, kertas label untuk memberi label pada

sampel agar tidak tertukar, neraca analitik untuk menimbang sampel, gelas beker

dan pinset yang berfungsi untuk mengambil isi saluran pencernaan. Sementara

bahan yang digunakan yaitu udang dan bekicot yang merupakan sampel yang

akan dihitung nilai rendemen dan dilakukan uji organoleptik.

3.3 Metodologi

3.3.1 Prosedur Kerja Penghitungan Rendemen Udang

Tahap pertama yang dilakukan yaitu menimbang bahan baku udang dan

mencatat hasil penimbangan tersebut sebagai berat awal (head on). Tahap

selanjutnya memotong bagian kepala (bagian jengger tidak ikut terpotong)

lalu menimbang bagian kepala udang tersebut (untuk preparasi tipe head

less). Langkah berikutnya adalah menyisakan 2 ruas dibelakang dan

menghilangkan bagian kulit lalu menimbang bagian kulit udang tersebut

(untuk preparasi tipe PDTO). Tahap selanjutnya Memotong bagian tengah

tubuh udang dan menghilangkan bagian kulit lalu menimbang bagian kulit

udang tersebut (untuk preparasi tipe butterfly). Proses preparasi sampel

dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dengan 3 tipe preparasi sampel yaitu head

less, PDTO dan butterfly. Selanjutnya menghitung rendemen dari masing-

masing bagian dengan rumus sebagai berikut :

Page 12: Laporan praktikum Laboratorium

12

Rendemen (%) = berat akhirberat awal × 100%

3.3.2 Prosedur Kerja Penghitungan Rendemen Bekicot

Tahap pertama yaitu menimbang bahan baku bekicot dan mencatat sebagai

berat total/berat utuh bekicot. Tahap selanjutnya memisahkan daging bekicot

dari cangkang dan jeroan lalu menimbang masing-masing bagian (daging,

cangkang dan jeroan), sehingga didapatkan berat akhir masing-masing bagian

bekicot. Proses preparasi sampel dilakukan sebanyak 4 kali ulangan. Tahap

terakhir menghitung rendemen dari masing-masing bagian dengan rumus

sebagai berikut :

Rendemen (%) = berat akhirberat awal × 100%

3.3.3 Prosedur Kerja Pengujian Organoleptik

Menyiapkan sampel udang sebanyak 6 ekor dan metakkan udang pada

nampan. Kemudian menyimpan pada suhu ruang. Tahap terakhir adalah

melakukan pengamatan organoleptik yang meliputi kenampakan, bau dan

tekstur secara berkala setiap 5 jam sekali.Tahap pertama yang dilakukan yaitu

menyiapkan udang sebanyak 6 ekor

Page 13: Laporan praktikum Laboratorium

13

BAB IV

HASIL & PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Berikut ini adalah hasil praktikum rendemen udang yang dilakukan

sebanyak 3 kali ulangan

Grafik 1. Rendemen Udang

Rata rata

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

Chart Title

Tail off PDTO Head less Head on

Hasil praktikum rendemen bekicot yang dilakukan sebanyak 4 kali

ulangan digambarkan pada grafik berikut

Grafik 2. Rendemen Bekicot

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

Bekicot

Berat jeroan Berat Cangkang Berat daging Berat Total

Rendemen rata rata

Perla

kuan

Page 14: Laporan praktikum Laboratorium

14

Hasil praktikum pengamatan organoleptik terhadap sampel udang

digambarkan pada grafik berikut

Grafik 3. Rata-rata Pengamatan Organoleptik Udang

4.2 Pembahasan Rendemen

Berdasarkan tabel 1 dan 2 hasil rendemen udang dengan perlakuan Head

On yaitu 100%. Hal ini karena perlakuan Head on tanpa menghilangkan kepala

atau bagian tubuh lainnya (utuh) sehingga diperoleh rendemen 100%. Perlakuan

head less memiliki nilai rendemen 70,1% pada tabel 1 dan 73,65% pada tabel 2.

Nilai rendemen perlakuan ini berkurang karena preparasi tipe head less dengan

menghilangkan atau memisahkan bagian kepala. Sementara perlakuan PDTO

memiliki nilai rendemen ketiga terbesar setelah head on dan head less yaitu

sebesar 64,2% pada tabel 1 dan 66,25% pada tabel 2. Hal ini karena perlakuan

PDTO adalah dengan menyisakan dua ruas di belakang dan menghilangkan

bagian kepala sehingga nilai rendemennya lebih rendah dari head less. Nilai

rendemen perlakuan Tail off yaitu 60,1%. Perlakuan dengan tipe preparasi ini

memiliki nilai rendemen paling rendah karena selain menghilangkan bagian

kepala juga menghilangkan bagian ekornya. Sementara pada perlakuan preparasi

dengan tipe butterfly memiliki nilai rendemen sebesar 64,95%. Nilai rendemen

tipe preparasi butterfly lebih tinggi dari preparasi dengan tipe tail off namun lebih

rendah dari PDTO. Hal ini karena pada preparasi dengan tipe butterfly adalah

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Pengamatan ketiga

Pengamatan kedua

Pengamatan pertama

Tekstur

Page 15: Laporan praktikum Laboratorium

15

dengan membelah bagian tengah tubuh dan mengambil isi saluran pencrnaannya.

Pada perlakuan head less berat udang menurun mencapai 70%, jika hal tersebut

dilakukan pada ribuan udang maka udang mengalami kehilangan berat yang

sangat drastis. Namun apabila permintaan ekspor untuk menghilangkan kepalanya

saja, limbah dari kepala tersebut dapat diolah kembali yaitu pengisolasian pada

kepala udang yang akan menghasilkan senyawa kitin yang merupakan polimer

dari glukosamin yaitu polisakarida yang mengandung gugus asetat amida. Sedangkan senyawa kitin dapat diolah kembali menjadi kitosan yang dapat dijadikan edible film, edible coating dan lainnya. Kitosan sendiri merupakan hasil proses hidrolis dengan alkali sehingga terjadi deasetilasi dari gugus asetamida menjadi gugus amina. Pada perusahaan

udang yang mengekspor ke Negara lain harus memenuhi standar yang telah di

tetapkan dari Negara yang bersangkutan. Selain itu pihak perusahan juga harus

mengetahui standar nilai ekonomis dari udang tersebut. Salah satunya adalah

dengan menghitung rendemen. Dari data tabel diatas dapat diketahui bahwa jika

seekor udang tanpa di preparasi nilai rendemennya 100%, namun setelah di

preparasi dengan menghilangkan kepala, kulit, kaki, ekor serta saluan

pencernaan/jeroan akan mengurangi berat dari udang tersebut. Hal ini

menunjukkan bahwa jika bagian-bagian dari organ udang tersebut memiliki nilai

yang sangat berpengaruh pada berat udang terutama bagian kepala. Kebanyakan

perusahaan udang mengekspor udang yang telah di preparasi (head less). Kulit

dari udang yang sudah di preparasi dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku kitin.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agoes M. Jacob, Muchamad

Hamdani dan Nurjanah (2008), menunjukkan bahwa nilai rendemen daging udang

ronggeng segar sebesar 41,13%, sedangkan rendemen daging pada udang

ronggeng rebus sebesar 20,08%. Perebusan mengakibatkan penurunan nilai

rendemen daging pada udang ronggeng sebesar 21,05% karena pengaruh

pemanasan terhadap komponen daging dapat menyebabkan perubahan fisik dan

komposisi kimia daging. Suhu 100ºC dapat menyebabkan protein terkoagulasi dan

air dari dalam daging akan keluar. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikaitkan

dengan hasil praktikum yang dilakukan yaitu daging udang segar yang belum

mengalami pemanasan memiliki nilai rendah dibandingkan dengan cangkang dan

isi saluran pencernaan, maka apabila mengalami perebusan nilai rendemen daging

Page 16: Laporan praktikum Laboratorium

16

udang tentunya akan semakin menurun. Dari jurnal tersebut juga dibahas setelah

proses pemanasan dengan perebusan terjadi penurunan nilai kadar lemak karena

selama proses pemanasan lemak mencair bahkan menguap (volatil) menjadi

komponen lain seperti aroma sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai rendemen

udang berbanding lurus dengan nilai kadar lemak.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Suharjo dan Noor Hartini tentang

Ekstraksi Chitosan Dari Cangkang Udang Windu (Penaeus monodon) Secara

Fisik-Kimiahitin (Kajian Konsentrasi Berdasarkan Ukuran Partikel Tepung Chitin

dan Konsentrasi NaOH) menjelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH

yang digunakan untuk ekstraksi chitosan serta semakin kecil ukuran partikel chitin

yang akan diekstrak untuk dibuat chitosan maka semakin kecil nilai rendemennya.

Pada perhitungan rendemen bekicot, bekicot yang tubuhnya terdiri dari

daging, cangkang,jerohan memiliki nilai rendemen yang berbeda. Dalam

praktikum ini menggunakan 4 sampel bekicot,hal ini bertujuan untuk mengetahui

berat rata-rata bekicot. Berat rata-rata total bekicot adalah 19,32 gram. Namun

setelah di pisahkan cangkangnya dan di keluarkan cangkangnya, berat dari daging

sendiri rata-rata 3,97 gram, berat rata-rata cangkang 4,38 gram dan berat jerohan

rata-ratanya 6,09 gram. Dari berat rata-rata dapat disimpulkan bahwa berat yang

mendominasi pada bekicot (Achatina fulica) adalah pada bagian saluran

pencernaan/jeroan. Berat terbesar kedua adalah bagian cangkang dan berat paling

sedikit adalah bagian daging. Seperti yang kita ketahui bahwa bagian yang

dimanfaatkan dari bekicot (Achatina fulica) adalah bagian daging, akan tetapi

bagian daging bekicot memiliki berat terendah sehingga nilai rendemnnyapun

juga rendah. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pemanfaatn daging bekicot

(Achatina fulica) rendah.

4.3 Pembahasan Mutu Udang

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan setiap 5 jam sekali hingga

jam ke-10 dapat diketahui bahwa udang yang dapat diterima serta memenuhi

adalah pada pukul 13.00 WIB, sedangkan untuk mutu udang pada pukul 17.00

sudah tidak dapat diterima SNI 01-2729.1.2006.

Kemunduran mutu tersebut dapat diketahui dengan adanya noda hitam

(blackspot) atau melanosis. Selain hal tesebut diatas, kemunduran mutu udang

Page 17: Laporan praktikum Laboratorium

17

juga dapat diketahui dengan pengukuran pH. Nilai pH yang didapatkan selalu

mengalami kenaikan hingga pengamatan jam ke-10 yaitu mencapai 7,3. Kenaikan

tersebut menunjukkan bahwa udang yang didapatkan untuk pengamatan jam ke-1

dimungkinkan sudah berada dalam fase rigormortis karena nilai pH yang

ditunjukkan adalah 7,0. Nilai pH pada rentang tersebut merupakan nilai pH yang

mudah sekali mengalami penurunan mutu seperti yang telah disebutkan oleh

Karnilla et al (2006) bahwa kesetimbangan asam-basa udang tidak dapat

dipertahankan setelah mengalami kematian yang akibatnya berpengaruh pada

mutu ikan. Selain itu, suhu kamar yang digunakan dalam pengamatan juga dapat

mempengaruhi shelf-life udang. Manheem et al (2013) menyatakan bahwa

pembekuan merupakan salah satu metode pencegaahan palinng penting dan

efektif untuk mempertahankan kualitas udang yang dikarenakan proses ini dapat

menghambat terjadinya melanosis.

Melanosis atau blackspot yang terjadi tersebut disebabkan oleh adanya

aktivitas enzim PPO. PPO yang dikenal sebagai fenoloksidase, fenolase,

monofenol dan difenol oksidase, tirosinase dapat mengakibatkan perubahan warna

terhadap krustasea seperti udang, lobster, kepiting (Flick, 2006). PPO tersebut

dapat meningkat akibat perubahan pH serta suhu. Pada dasarnya, setiap keaktifan

enzim memiliki rentang pH tersendiri. Nilai pH maksimal enzim ini adalah 7,5.

Enzim ini memiliki keaktifan yang berbeda beda tergaantung spesies dan anatomi.

Selain itu, enzim ini tidak dapat aktif dalam suasana asam ataupun basa yang

terlalu ekstrim karena suasana tersebut dapat mengganggu kestabilan ikatan

elektrostatis molekul enzim (Nirmal dan Benjakul, 2012).

Suhu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim PPO,

baik menurunkan, meningkatkan ataupun menginaktifkan enzim. Nirmal dan

Benjakul (2012) melaporkan aktivitas maksimal enzim PPO pada karapas udang

vannamei pada suhu 55 C. Apabila suhu tersebut dinaikkan atau diturunkan maka⁰

akan mengganggu keoptimalan aktivitas enzim tersebut seperti yang telah

dilaporkan oleh Nirmal dan Benjakul (2012) yaitu meningkatkan enzim pada suhu

diatas 55 C akan menurunkan aktivitas PPO atau bahkan dapat menyebabkan⁰

denaturasi terhadap enzim itu sendiri. Flick (2009) juga melaporkan bahwa suhu

20-50⁰C merupakan suhu yang dapat menjaga kestabilan PPO pada udang

Page 18: Laporan praktikum Laboratorium

18

vannamei, sedangkan pada suhu 70-90⁰C PPO akan mengalami inaktivasi. PPO

juga sama halnya dengan enzim katepsin pada ikan yang akan mengalami

penurunan aktivitas atau bahkan menjadi tidak aktif apabila suhu yang digunakan

dalam penyimpanan udang dibawa 0⁰C seperti yang telah dinyatakan oleh Flick

(2006) bahwa pendinginan krustasea pada suhu -18⁰C akan menghambat aktivitas

enzim PPO sekaligus untuk mempertahankan mutu dari udang tersebut. Okpala et

al (2014) juga manyatakan bahwa pendinginan dengan menggunakan es

merupakan salah satu metode yang benar dalam mempertahankan mutu sekaligus

dapat menghambat aktivitas enzim dan reaksi autolitik.

Page 19: Laporan praktikum Laboratorium

19

BAB V

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa nilai

rendemen dari yang tertinggi pada udang (Penaeus sp.) adalah pada tipe preparasi

head on, dilanjutkan head less, PDTO, butterfly dan nilai rendemen terendah

adalah Tail off. Sementara untuk bekicot (Achatina fulica) nilai rendemen

tertinggi adalah bagian saluran pencernaan/jeroan sedangkan nilai rendemen

terendah adalah bagian daging. Dari kedua spesies tersebut dapat diketahui bahwa

daging yang dapat dimanfaatkan sedikit karena nilai rendemen daging paling

rendah dibandingkan bagian tubuh yang lain. Dengan menghitung nilai rendemen

dapat diketahui berapa jumlah bagian daging yang dapat dimanfaatkan untuk

membuat produk hasil perikanan dan turunannya. Sementara proses kemunduran

mutu pada udang terjadi setelah jam ke-5 pengamatan dengan ditandai adanya

perubahan tekstur, bau, dan kenampakan. Kemunduran mutu pada udang biasanya

disebabkan oleh enzim PPO yang sangat rentan terhadap perubahan pH dan suhu

pada tubuh udang. Enzim PPO tersebut dapat dihambat aktivitasnya dengan

menaikkan ataupun menurunkan suhu yang digunakan dalam tempat

penyimpanan udang.

4.2 Saran

Sebaiknya sarana peralatan untuk praktikum selanjutnya lebih dilengkapi

agar tidak ada praktikum yang tidak dilaksanakan karena ketidaktersediaan

peralatan.

Page 20: Laporan praktikum Laboratorium

20

DAFTAR PUSTAKA

Agoes M Jacob, Muchamad Hamdani, Nurjanah. 2008. Perubahan Komposisi Kimia dan Vitamin Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Akibat Perebusan. Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Buletin Teknologi Hasil Perikanan, Vol.XI Nomor 2 Tahun 2008

Ariyani, F. Dan Dwiyitno. Kajian Sensori Dengan Metode Demerit Point Score Terhadap Penurunan Kesegaran Ikan Nila Selama Pengesan. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 5 No. 2, Desember 2010.

Badan Standarisasi Nasional. 2007. RSNI 01-2705-2005. Udang Beku. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional

Cooling, V. 2005. Risk Assesment of The Giant African Snail (Achatina fulica) Bowdich in New Zealand. LPSC 7700 Integrative Report, Unitec New Zealand (Unpublished Report)

Farkas, SR. and Shorey, HH., 1976. Anemotaxis and odourtrail following by the Terrestrial Snail, Helix aspersa Müller. Anim Behav, vol. 24, no.2, p. 686-689

Flick, G.J.,. 2009. Enzym in Seafood : Product effects, PPO control. Food Safety and Technology. Global Aquaculture Advocate Hal. 21-23

Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: CV Liberty

Kalleda, R.K., Han, I.Y., Toler, J.E., Feng, C., Kim, H.J., Dawson, P.L.,. 2013. Shelf-life Extension of Shrimp (White) Using Modified Atmosphere Packaging. Food Nutrision and Science Vol. 63 No. 2 Hal : 87-94

Kim, Y.S., Jo, Y.Y., Chang, I.M., Toida, T., Park, Y.m., Linhardt, R.J. 1996. A New Glycosaminoglycan from the Giant African Snail Achatina fulica. Journal of Biology and Chemistry.271, 11750-11755

Manheem, K., Benjakul, S., Kijrongroojana, K., Visessonguan, W.,. 2013. Impact of Freeze-thawing on Melanosis and Quality Change of Pre-cooked Pacific White Shrimp. Internasional Food Research Journal 20 (3) : 1277-1283

Mead, AR., 1961. The Giant African Snail: A Problem in Economic Malacology. Chicago, USA: The University Chicago Press

Moeljanto.1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya

Neehall C. 2004. The Giant African Snail (Achatina fulica). Research Division MALMR Trinidad and Tobago

Nirmal, N.P., Benjakul, S.,. 2012. Biochemical Properties of PPO from The Cephalotorax of Pacific White Shrimp (L.Vannamei). Aquatic Research 4 (6).

Page 21: Laporan praktikum Laboratorium

21

Okpala, C.O.R., Choo, W.S., Dykes, G.A.,. 2014. Quality and Shelf-life Assessment of Pasific White Shrimp (L.Vannamei) Freshly Harvested and Stored on Ice. Food Science and Technology 55 Hal. 110-116

Permana, RJ. 2007. Penerapan HACCP pada Pembekuan Udang Beku Tanpa Kepala (headless) di PT. Satu Tiga Enam Delapan Banyuwangi Jawa Timur. Jurusan Agroteknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor

Purwaningsih S. 1995. Teknologi Pembekuan Udang. Jakarta: PT.Penebar Swadaya

Raunt, SK. and Barker, GM., 2002. Achatina fulica Bowdich and Other Achatinidae as A Pest in Tropicultural Agriculture. Mollusks as Crop Pest. New Zealand: Ed. By Landscare Research Hamilton. 472 p     

Smith, JW. and Fowler, G., 2003. Pathway Risk Assessment for Achatinidae with Emphasis on the Giant African Land Snail Achatina fulica (Bowdich) and Limicolaria aurora (Jay) from the Caribbean and Brazil, with Comments on Related Taxa Achatina achatina (Linne), and Archachatina marginata (Swainson) Intercepted by PPQ. Raleigh, NC.: USDA-APHIS, Center for Plant Health Science and Technology (Internal Report)

Suharjo dan Noor Harini. 2005. Ekstraksi Chitosan dari Cangkang Udang Windu (Penaeus monodon) Secara Fisik-Kimia (Kajian Berdasarkan Ukuran Partikel Tepung Chitin dan Konsentrasi NaOH). Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang

Suparmi R.K. Romaida, M.,. 2006. Kajian Sifat Mutu Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) Segar Pada Penyimpanan Suhu Kamar. Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33 No. 2 Hal : 121-125

Suwetja, I. K. 1990. Penentuan Kesegaran Beberapa Jenis Ikan Dengan HPLC. Jurnal Fakultas Perikanan. Vol I No. 3 Hal. 262-263. Unsrat. Manado.

Suwignyo. 1989. Avertebrata Air. Bogor: Lembaga Sumberdaya dan Informasi. Institut Pertanian Bogor

USDA. 2003. Shrimp Nutrition Information. www.healthzone.com. Diakses pada 10 Mei 2015

Venette, R.C., dan Larson, M. 2004. Mini Risk Assessment Giant African Snail, Achatina fulica Bowdich. Minnesota: Department of Entomology University of Minnesota

Page 22: Laporan praktikum Laboratorium

22

LAMPIRAN

Lampiran I

Data Perhitungan Rendemen Udang

No Tipe Udang

1

Berat

(g)

Udang 1

Rendemen

(%)

Udang

2

Berat

(g)

Udang 2

Rendemen

(%)

Udang

3

Berat

(g)

Udang 3

Rendemen

(%)

Rata-

Rata

1 Head

on

8,91 100 % 8,93 100 % 10,69 100 % 100 %

2 Head

less

6,27 70,3 % 6,34 70,9 % 7,60 71,1 % 70,7 %

3 PDTO 5,69 63,8 % 5,83 65,2 % 6,80 63,6 % 64,2 %

4 Tail

off

5,27 59,1 % 5,42 60,6 % 6,50 60,80 % 60,1 %

Page 23: Laporan praktikum Laboratorium

23

Lampiran II

Data Perhitungan Rendemen Bekicot

No Nama Berat Total (g)

Berat Daging (g)

Berat Cangkang (g)

Berat Jeroan(g)

1 Bekicot 1 16,53 3,18 3,93 4,16

2 Bekicot 2 17,88 3,71 4,04 4,92

3 Bekicot 3 22,19 4,10 4,69 8,39

4 Bekicot 4 20,68 4,87 4,87 6,89

Berat rata-rata (g)

19.32±2.57 3.97±0.71 4.38±2.11 6.09±1.91

Rendemen (%) 20,54 % 22,67% 31,52%

Page 24: Laporan praktikum Laboratorium

24

Lampiran III

Data Pengamatan Organoleptik

a. Pengamatan pertama dilakukan pukul 08.00

Panelis Pengamatan pertama

Kenampakan Bau Tekstur

1 9 8 8

2 8 8 9

3 9 9 9

4 8 8 7

5 8 7 8

6 9 8 9

7 9 8 8

8 8 9 9

9 8 8 7

10 9 8 8

11 7 8 8

12 8 8 7

Rata-rata 8 8 8

b. Pengamatan kedua dilakukan pukul 13.00

Panelis Pengamatan kedua

Kenampakan Bau Tekstur

1 3 5 3

2 7 5 7

Page 25: Laporan praktikum Laboratorium

25

3 7 5 7

4 5 5 5

5 5 5 5

6 7 5 7

7 8 7 7

8 7 7 7

9 5 5 5

10 7 5 5

11 5 5 7

12 5 5 5

Rata-rata 6 5 6

\

c. Pengamatan ketiga pukul 17.00

Panelis Pengamatan ketiga

Kenampakan Bau Tekstur

1 3 3 3

2 3 1 3

3 1 1 3

4 3 1 3

5 3 1 1

6 5 1 5

7 3 3 1

8 1 3 3

9 3 3 1

Page 26: Laporan praktikum Laboratorium

26

10 3 3 3

11 3 3 1

12 3 3 5

Rata-rata 3 2 3

Pengukuran pH

a. Pengamatan pertama pukul 08.00 pH ikan mencapai 7

b. Pengamatan kedua pukul 13.00 pH ikan mencapai 7,1

c. Pengamatan ketiga pukul 17.00 pH ikan mencapai 7,3

Page 27: Laporan praktikum Laboratorium

27

LAMPIRAN IV

Dokumentasi Praktikum