laporan praktikum kimklin tinja

13
Laporan Praktikum Hari, Tanggal : Selasa, 29 April 2014 Kimia Klinis Waktu : 08.00-12.00 WIB Kelas : KIM 2C P1 pagi Dosen : Dr.drh.Erni Sulistiawati, SP1 drh.Saptina Aryani Asisten : Nurul Syifa, S.Si Yudieta Puji Sanggari, Amd ANALISIS TINJA Kelompok 4 Anggita Septi W J3L112028 1…………. Feni Ayudia J3L212192 2…………. Kukuh Prasetyo J3L112045 3…………. Regina Oktoris J3L112098 4………… Yestrin Premita D J3L112005 5…………

Upload: anggitaseptiw

Post on 18-Jan-2016

458 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

laporan kimia klinis

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Praktikum KimKlin Tinja

Laporan Praktikum Hari, Tanggal : Selasa, 29 April 2014 Kimia Klinis Waktu : 08.00-12.00 WIB

Kelas : KIM 2C P1 pagi Dosen : Dr.drh.Erni Sulistiawati, SP1

drh.Saptina Aryani Asisten : Nurul Syifa, S.Si

Yudieta Puji Sanggari, Amd

ANALISIS TINJA

Kelompok 4

Anggita Septi W J3L112028 1………….Feni Ayudia J3L212192 2………….Kukuh Prasetyo J3L112045 3………….Regina Oktoris J3L112098 4…………Yestrin Premita D J3L112005 5…………

PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIAPROGRAM DIPLOMA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2014

Page 2: Laporan Praktikum KimKlin Tinja

PendahuluanPenyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya

terutama pada penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupaka masalah yang cukup besar bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh proses daur hidup dan cara penularannya. Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis (Kadarsan, 1983).

Tinja merupakan spesimen yang penting untuk diagnosis adanya kelainan pada system traktus gastrointestinal seperti diare, infeksi parasit, pendarahan gastrointestinal, ulkus peptikum, karsinoma dan sindroma malabsorbsi. Feces adalah Sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita makan,dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Dalam keadaan normal dua pertiga faeces terdiri dari air dan sisa makanan, zat hasil sekresi saluran pencernaan, epitel usus, bakteri apatogen, asam lemak, urobilin, debris, celulosa gas indol, skatol,sterkobilinogen dan bahan patologis. Feces ( tinja) normal terdiri dari sisa- sisa makanan yang tidak tercerna, air, bermacam produk hasil pencernaan makanan dan kuman- kuman nonpatogen. Orang dewasa normal mengeluarkan 100 – 300 gram tinja per hari. Dari jumlah tesebut 60- 70% merupakan air dan sisanya terdiri dari substansi solid (10-20%) yang terdiri dari makanan yang tidak tercerna (selulosa), sisa makanan yang tidak terabsorbsi, sel- sel saluran pencernaan (sel epitel) yang rusak, bakteri dan unsur- unsur lain (+ 30%). Tinja yang dikeluarkan merupakan hasil pencernaan dari + 10 liter cairan masuk dalam saluran cerna. Tinja normal menggambarkan bentuk dan ukuran liang kolon (Prianto J 1999).

Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya. Bahan pemeriksaan faeces sebaiknya berasal dari defekasi spontan, jika pemeriksaan sangat diperlukan contoh faeces dapat diambil dengan jari bersarung dari rektum.Untuk pemeriksaan rutin dipakai faeces sewaktu dan sebaiknya tinja diperiksa dalam keadaan segar karena bila dibiarkan mungkin sekali unsur unsur dalam faeces menjadi rusak. Pemeriksaan faeces terdiri atas pemeriksaan makroskopis, mikroskopis dan kimia.Jenis makanan serta gerak peristaltik mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya. Pemeriksaan makroskopis feses meliputi pemeriksaan konsistensis, warna, bau, darah, lendir dan parasit. Pemeriksaan mikroskopis meliputi pemeriksaan protozoa, telur cacing, leukosit, eritosit, sel epitel, kristal dan sisa makanan. Dari semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing. Pemeriksaan kimia faeces yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap darah samar. Tes terhadap darah samar untuk mengetahui adanya perdarahan kecil yang tidak dapat

Page 3: Laporan Praktikum KimKlin Tinja

dinyatakan secara makroskopis atau mikroskopis.Adanya darah dalam faeces selalu abnormal. Pemeriksaan darah samar dalam faeces dapat dilakukan dengan menggunakan tablet reagens. Tablet Reagens banyak dipengaruhi beberapa faktor terutama pengaruh makanan yang mempunyai aktifitas sebagai peroksidase sering menimbulkan reaksi positif palsu seperti daging, ikan sarden dan lain lain. (Gandahusada dkk 2000).

TujuanPraktikum bertujuan untuk mengetahui konsistensi feses, mengetahui

adanya telur, larva,tropozoit dari protozoa, kista, amoeboik, kista flagelata melalui uji mikroskopik ulas basah, mengetahui semua jenis tipe telur cacing, larva, protozoa, dan kista melalui uji teknik konsentrasi sedimentasi ,pengapungan dengan garam jenuh, serta mengetahui uji darah samar melalui uji strepcobilin metode schhmidt pada sampel feses sapi.

Alat dan BahanAlat yang digunakan pada percobaan yaitu lidi kayu, kaca preparat, kaca

penutup,pipet tetes, mikroskop, pipet mohr 10ml dan 5 ml, tabung sentrifuse, bulp merah dan hitam, sentrifuse, gelas piala 100 ml dan 250 ml, tabung reaksi, gegep kayu, mortar dan alu, batang pengaduk,dan kassa.

Bahan yang diguakan pada percobaan yaitu sampel feses sapi, larutan salin(NaCl 0.9%), larutan iodine, eter(etil-asetat), formalin 10%, aquades, dan HgCl2 jenuh.

Prosedur KerjaPemeriksaan makroskopik tinja. Disiapkan sampel feses yang ingin

diamati. Kemudian lidi kayu digunakan untuk pemeriksaan konsitensinya. Diamati apakah sampel feses konsistensinya formed, soft, loose, dan watery, mukoid(lender), dan blood.

Pemeriksaan mikroskopik metode ulas basah. Pada kaca preparat dituliskan identitas specimen dan tanggal. Kemudian larutan salin diteteskan diposisi kiri tengah dan setets iodine di posisi kanan tengah. Jika dicurugai terdapat tropozoit amoeboik, maka digunaka BMB. Kemudian dengan lidi, diambil sampel feses dan dicampurkan dengan kedua larutan tadi dan kaca preparat ditutup dengan kaca penutup. Setelah itu preparat yang telas berisi sampel dan larutan periksa diletakkan pada mikroskop dan diamati pada perbesaran 10 kali, dan perbesaran 40 kai untuk menentukan struktru organism. Pengamatan telur dan larva cacing dalam ulas basah salin dan iodine dapat dideteksi.

Teknik konsentrasi sedimentasi. Disaring terlebih dahulu sampel feses yang telah direndlam dengan larutan formalin 10%. Setelah itu dimasukkan kedalam tabung sentrifuse samoai volume mencapai 7ml. kemudian ditambahkan etil asetat atau eter sebanyak 3 ml dan disentrifuse selama 1 menit. Campuran dipindahkan kembali ke tabung sentrifuse lain dan disentrifuse kembali selama 1 menit dengan kecepatan 2000 rpm sehingga akan terpisah bagian sedimen dan supernatant. Debris dihilangkan dengan stik kayu dan supernatan dibuang. Kemudian digunakan perbesaran 10 dan 40 kali untuk pengamatan.

Teknik konsentrasi pengapungan dengan garam jenuh. Disiapkan gelas piala 250 ml sebagai wadah atau container. Kemudian ditambahkan 1ml

Page 4: Laporan Praktikum KimKlin Tinja

atau sedikit feses dan ditambahkan sedikit larutan garam jenuh dengan BJ 1.2 dan diaduk sampai homogeny. Kemudian garam jenuh ditambahkan sampai wadah hamper penuh dan diaduk perlahan kembali. Material yang mengambang dipermukaan dibuang. Kemudian wadah diletakkan dipermukaan yang datar, dan larutan garam jenuh diteteskan sampai membentuk lapisan meniscus cembung. Setelah itu kC preparat diletakkan diatas wadah perlahan, kaca preparat ditutup dengan kaca penutup dan diamati dengan mikroskop.

Pemeriksaan Stercobilin metode Schmidt. Beberapa gram feses digerus kemudian ditambahkan dengan HgCl2 jenuh dan dipanaskan. Kemudian diamati ada tidaknya strepcobilin. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, sedangkan hasil negative ditunjukkan dengan tidak terbentuknya warna.

Hasil dan PembahasanPemeriksaan awal yaitu pemeriksaan makroskopis dimana melihat

konsistensi dari feses secara visual dengan mata. Pengujian berupa warna, konsistensi, dan ada tidaknya darah dan lendir. Warna dari sampel faces sapi ialah hijau kecoklatan, warna ini masih dalam keadaan normal karena warna hijaunya berasal dari warna debris. Debris adalah makanan yang tidak tercerna sempurna. Konsistensinya ialah soft. Lendir dapat disebab adanya infeksi dan iritasi pada saluran pencernaan, tetapi terkadang lendir ini dapat saja muncul pada keadaan normal karena usus dapat menghasilkan lendir sebagai pelumas. Sedangkan darah dapat dikarenakan adanya luka pada saluran pencernaan, ambein atau tukak lambung. Pada fases sapi tidak terdapat darah dan lendir artinya fases sapi tersebut masih dalam keadaan normal dan artinya tidak ada gangguan pada pencernaan. Artinya tidak ada luka, iritasi dan infeksi pada saluran pencernaan sapi.

Pemeriksaan mikroskopis feces terdiri dari pemeriksaan terhadap protozoa, telur cacing, leukosit, eritrosit, epitel, kristal, makrofag, sel ragi, dan jamur. Berdasarkan percobaan dilakukan tiga metode ulas basah yaitu metode ulas basah salin dimana berfungsi untuk memeriksa ada tidaknya telur, larva, tropozoit dari protozoa dan kista, serta dapat digunakan untuk pemeriksaan adanya eritrosit dan leukosit. Metode ulas basah iodine berfungsi untu mewarnai glikogen namun dapat pula digunakan untuk mengamati inti kista serta memeriksa amoebik dan kista flagellata. Metode ulas basah Buffered Methylene Blue (BMB) yang berfungsi untuk melakukan pemeriksaan lanjut yang digunakan ketika pada ulas basah salin terdapat adanya amoebik tropozoit. Berdasarkan hasil percobaan mikroskopis dari feces sapi dengan metode ulas basah salin terdapat protozoa sebanyak 1 buah dan metode ulas basah iodine didapatkan protozoa sebanyak 2 buah, dikarenakan tidak adanya amoebik tropozoit sehingga pada metode ulas basah Buffered Methylene Blue (BMB) tidak dilakukan, sehingga berdasarkan metode ulas basah yang dilakukan maka dalam sampel feces sapi terdapat adanya protozoa. Protozoa umumnya didapatkan dalam bentuk kista, bila konsistensi feces baru maka akan terbentuk tropozoit sehingga pada saat percobaan digunakan feces yang masih segar atau masih baru agar protozoa, telur cacing, larva dan kista dapat teramati jika ada terdapat dalam sampel feces sapi. Protozoa merupakan kelompok protista eukariotik, dimana protozoa akan bergerak dengan berbagai cara, protozoa memiliki reaksi yang rendah terhadap lingkungan sekitar dan tidak memiliki sistem saraf, dimana protozoa hanya akan bereaksi dengan adanya cahaya dan perubahan suhu. Protozoa dapat berkembang biak secara seksual

Page 5: Laporan Praktikum KimKlin Tinja

maupun aseksual, jika secara aseksual protozoa akan membelah diri menjadi 2 anak sel tetapi pada flagellata pembelahannya akan terjadi secara longitudinal. Pemeriksaan mikroskopis, dalam pembuatan preparat sebaiknya dibuat setipis mungkin sehingga unsur didalamnya jelas terlihat dan mudah dikenal. Spesimen feses tidak boleh dibekukan dan dicairkan atau ditempatkan dalam inkubator dikarenakan bentuk parasit memburuk dengan sangat cepat. Pembersihan kaca preparat dengan alkohol berfungsi untuk menghilangkan bakteri yang terdapat dalam kaca preparat sehingga tidak terjadinya kontaminan maka hasil pengamatan dengan mikroskop tidak terjadi kesalahan.

Gambar 1 Protozoa berdasarkan literatur (Levine 1995)Cara mendiagnosa cacing dalam usus dapat dengan mengidentifikasi telur

cacing pada feces. Metode apung dan metode sedimentasi merupakan metode yang baik digunakan untuk mendeteksi infeksi cacing. Namun pada pemeriksaan jenis cacing seperti Strongyloides sp. harus segera dilakukan pemeriksaan pada faces yang baru saja diambil, sebab telur akan menetas dalam waktu beberapa jam. Untuk faces yang ingin diuji dalam waktu yang lama setelah pengambilannya dapat disimpan dalam formalin – eter dan diuji dengan teknik konsentrasi sedimentasi karena dapat mengevaluasi ada tidaknya semua jenis tipe telur cacing, larva, protozoa dan kista dapat ditemukan. Menurut Sandjaja (2006), metode sedimentasi merupakan metode yang cukup baik bagi feses yang telah diambil beberapa waktu lalu yang merupakan kiriman dari daerah yang jauh dari labolatorium selain itu dengan menggunakan metode ini dapat menemukan hampir segala jenis parasit. Sampel yang telah disimpan dalam formalin-eter disentrifuse dan kemudian akan terpisah berdasarkan bobot jenisnya. Maka dari atas kebawah akan terbentuk empat lapisan yaitu eter, debris, formalin, dan sedimen. Sedimen ini yang akan diambil dan diharapkan terdapat telur dari cacing. Sedimen ini dioleskan pada kaca preparat dan dilihat dibawah mikroskop. Hasil yang ditunjukkan pada fases sapi tidak ditemukan telur cacing. Artinya tidak ada cacing dalam pencernaan sapi.

Penularan penyakit parasit disebabkan oleh tiga faktor yaitu sumber infeksi, cara penularan dan adanya hospes yang ditulari. Efek gabungan dari faktor ini menentukan penyebaran dan menetapnya parasit pada waktu dan tempat tertentu. Penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat bersifat menahun disertai dengan sedikit atau tanpa gejala . Pemeriksaan telur-telur cacing dari tinja terdiri dari dua macam cara pemeriksaan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan metode konsentrasi pengapungan dengan garam jenuh. Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BJ (Berat Jenis) telur

Page 6: Laporan Praktikum KimKlin Tinja

sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.Tujuan teknik konsentrasi ini untuk mengetahui adanya infeksi cacing parasit usus pada seseorang yang diperiksa fecesnya. Kekurangan dariteknik ini adalah penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu yang lama, perlu ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagidan kelebihan dari teknik ini adalah dapat di gunakan untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas. Berdasarkan percobaan dengan teknik konsentrasi pengapungan dengan garam jenuh didpatkan hasil keberadaannya protozoa dan kista, tidak terdapatnya telur cacing maupun cacing sehingga dapat dikatakan bahwa sapi sehat dari cacing.

Pemeriksaan darah samar di tinja memiliki peranan penting untuk mengenali (deteksi) dini keganasan usus besar, perdarahan saluran cerna, dan anemia. Berbagai organisasi kesehatan menyarankan untuk memeriksa penyaringan keganasan usus besar. Pemeriksaan darah samar tinja termasuk salah satu pemeriksaan penyaring yang sering dikerjakan. Pada tahap awal penyakit, darah di dalam tinja jumlahnya masih sedikit sehingga tidak tampak secara kasat mata. Oleh karena itu pemeriksaan darah samar tinja memiliki arti penting untuk dapat mengenali dan mengobati penyakit di tahap awal.Sampai saat ini belum ada pemeriksaan darah samar tinja yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas 100%, untuk menentukan perdarahan. Ada beberapa metode pemeriksaan darah samar tinja antara lain menggunakan tes benzidine, guaiac test, imunokimia. Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa pemeriksaan benzidine dikatakan sensitif tetapi kurang spesifik, karena banyak dipengaruhi oleh diet dan obat yang diminum oleh penderita. Di samping itu benzidine memiliki efek karsinogenik dan mulai banyak ditinggalkan (Liana 2006).

Prinsip uji benzidin yaitu Darah mengandung enzim peroksidase yang akan menguraikan hidrogen peroksida dalam suasana asam sehingga akan mengoksidasi benzidine menjadi senyawa yang berwarna hijau biru. Uji benzidin ini tidak dilakukan karena serbuk benzidine yang digunakan dalam percobaan sudah tidak diperjualbelikan lagi, hal tersebut dikarenakan serbuk benzidine memiliki efek yang sangat berbahaya.

Sterkobilin merupakan produksi oksidasi sterkobilinogen, yang dibentuk dari degradasi bilirubin dan diekskresi ke dalam feses. Bilirubin tak terkonjugasi berasal dari reduksi biliverdin pada suatu reaksi yang dikatalis oleh enzim biliverdin reduktase. Adanya bilirubin tak terkonjugasi ini mengalami glukonoridase di hati membentuk bilirubin terkonjugasi yang kemudian dikeluarkan oleh hati ke dalam saluran empedu dan diubah menjadi urobilinogen dan disekresi ke dalam urin dalam bentuk urobilin dan sterkobilin yang kemudian diekskresi ke feses (Hendarwati 2010). Urobilinogen dapat diubah menjadi stercobilin dan diekskresikan melalui feses, tempat zat ini menimbulkan warna cokelat tua. Sterkobilin ini dapat diketahui dengan uji Schmidt. Prinsip uji Schmidt yaitu urobilin atau sterkobilin bereaksi dengan sublimat membentuk zat warna merah. Berdasarkan hasil percobaan uji sterkobilin pada feses sapi

Page 7: Laporan Praktikum KimKlin Tinja

menunjukan hasil negatif dimana tidak dihasilkan warna merah setelah dipanaskan yang sebelumnya sampel feses telah ditambahkan dengan HgCl2.

Lembar Kerja MahasiswaNo Hasil Percobaan Keterangan Hasil1 Evaluasi

makroskopisKonsistensi

SoftTekstur faces lembut agak lembek, banyak debris, berwarna coklat kehijauan.

Lendir/darahNegatifSampel faces tidak terdapat lendir dan darah

2 Evaluasi mikroskopis

Gambar Jumlah

Ulas Basah Salin 1 buah protozoa

Ulas Basah Iodine 2 buah protozoa

Ulas Basah BMB Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Konsentrasi pasa garam jenuh

1 buah Kista

1 buah protozoa

Page 8: Laporan Praktikum KimKlin Tinja

No Hasil Percobaan Keterangan HasilKonsentrasi sedimentasi

Tidak ditemukan semuanya

3 Pemeriksaan Darah Samar

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

4 Pemeriksaan Stercobillin

Hasil negatif Tidak ada perubahan warna merah setelah pemanasan.

SimpulanBerdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dari hasil uji makroskopis

didapatkan hasil konsistensi dari sampel feses sapi soft, tekstur feces lembut agak lembek, banyak debris, berwarna coklat kehijauan, dan tidak terdapatnya lendir ataupun darah. Evaluasi makroskopis dilakukan dengan menggunakan teknik metode ulas basah salin dan metode ulas basah iodin dimana pada sampel terlihat adanya protozoa. Teknik konsentrasi dengan metode sedimentasi tidak memperlihatkan keberadaan apaapun kecuali debris dan teknik konsentrasi sedimentasi terlihat keberadaan kista dan protozoa pada sampel. Sampel negatif untuk uji stercobilin.

Daftar PustakaGandahusada S.W .Pribadi dan DI Heryy.2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta:

Fakultas kedokteran UI.Hendarwati C. 2010. Assosiasi Tingkat Kekentalan, Adanya Sterkobilin Dan

Bilirubin Pada Air Ketuban Keruh Dengan Terjadinya Sindrom Aspirasi Mekonium. Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis-I Ilmu Kesehatan Anak. Universitas Dipenogoro. Semarang.

Kadarsan S.1983. Binatang Parasit. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.Liana dan Prihartini. 2006. Korelasi Antara Pemeriksaan Darah Samar Tinja

Menggunakan Anti-Hemoglobin Manusia dan Pengamatan Mikroskopis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory 13(1): 34-37.

Levine N. 1995. Protozoologi Veteriner. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Noble N, Frohse F. 1961. Atlas of Human Anatomy. Baltimore : Bares.Prianto J dkk.1999. Atlas Parasitologi Kedokteran. Cetakan ketiga .Jakarta : PT

Gramedia Pustaka Utama.Sandjaja. 2006. Prosedur Penelitisn Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Rineka

Utama.

Page 9: Laporan Praktikum KimKlin Tinja