laporan pengarusutamaan kebijakan persaingan usaha di indonesia

95
Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha di Indonesia

Upload: zaki

Post on 21-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan

Usaha di Indonesia

Page 2: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan

Usaha di Indonesia Laporan Akhir

Dionisius Narjoko Titik Anas

Page 3: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

1

Daftar Isi

Ringkasan Eksekutif……………………………………………………………………………………………2

1. Pendahuluhan………………………………………………………………………………………………..12

2. Kebijakan Persaingan dan Daya Saing……………………………………………………………..14

3. Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan : Kerangka Pikir………………………………..17

3.1 Faktor Institusi dalam Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan…………………21

3.2 Strategi Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan: Pembelajaran dari Pengalaman Negara Lain…………………………………………………………………………...23

4. Kebijakan dan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan di Indonesia……………….28 4.1 Perkembangan Kebijakan Persaingan di Indonesia…………………………………….28

4.2 Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan di Indonesia: Situasi Saat Ini………..30

5. Rekomendasi untuk Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan di Indonesia………37

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………………………..44

Lampiran 1: Beberapa Studi Kasus Persaingan di Indonesia…………………………………..48

Lampiran 2: Rekomendsi OECD untuk Keterkaitan Antara KPPU dengan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian………………………………………………………………………58

Lampiran 3: Analisis Sektoral………………………………………………………………………………..60

Page 4: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

2

Ringkasan Eksekutif

Pengarusutamaan kebijakan persaingan menjadi penting untuk menjamin bahwa suatu kebijakan ekonomi telah mempertimbangkan dan mengintegrasikan prinsip-prinsip persaingan ke dalam kebijakan ekonomi tersebut. Diterapkannya prinsip-prinsip persaingan akan mengarah pada penciptaan daya saing perekonomian yang kuat, melalui terjadinya efisiensi secara maksimal dan adanya contestability pada mekanisme persaingan. Pengintegrasian ini hendaknya dilakukan secara sistematis dan menerapkan suatu strategi kebijakan yang jelas dan terarah serta mencakup berbagai topik persaingan dan sektor perekonomian secara menyeluruh (coherent). Pengarusutamaan menjadi penting karena prinsip-prinsip utama kebijakan persaingan sering tidak diperhatikan dalam penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah. Pada kenyataannya, seperti yang masih banyak terjadi di Indonesia, substansi berbagai undang-undang atau peraturan pemerintah justru menghambat terjadinya persaingan yang kemudian menghambat peningkatan daya saing. Pengarusutamaan kebijakan persaingan selayaknya terjadi pada setiap tingkatan pemerintahan dan disetiap institusi/lembaga yang terlibat dalam penyusunan kebijakan pembangunan. Semua ini tentunya memerlukan koordinasi yang efisien dan efektif dari semua unsur lembaga dan kelembagaan yang terkait, sehingga diperlukan adanya koordinasi yang tertata dengan rapi (concerted actions) yang menghasilkan aksi kebijakan yang harmonis. Terdapat beberapa kebijakan utama yang sangat berkaitan dengan kebijakan persaingan. Secara umum, kebijakan-kebijakan tersebut mencakup kebijakan di bidang perdagangan, investasi, badan usaha milik pemerintah (BUMN dan BUMD), dan usaha kecil dan menengah (UKM). Merupakan satu bagian penting dari pengarusutamaan kebijakan persaingan adalah advokasi dan pendidikan publik/masyarakat, mengenai pentingnya penerapan persaingan bagi kesejahteraan masyarakat. Kegiatan advokasi menjadi penting mengingat pengarusutamaan adalah suatu proses dan masyarakat adalah salah satu kelompok pemangku kepentingan utama dalam proses ini. Sukses atau tidaknya pengarusutamaan kebijakan persaingan sangat tergantung pada kelembagaan (institution). Beberapa faktor yang terkait adalah (i) Struktur kelembagaan, (ii) komitmen ekonomi politik, dan (iii) partisipasi pemangku kepentingan. Struktur kelembagaan, hubungan antara lembaga yang berwenang atas persaingan dengan lembaga lainnya, dan penetapan institusi publik mana yang terlibat dan berwenang mengatur persaingan merupakan bagian dari struktur kelembagaan. Hal ini akan menentukan pusat kewenangan dalam implementasi kebijakan persaingan. Kinerja institusi-institusi kebijkan persaingan dalam pengarusutamaan juga ditentukan oleh kekuatan politik dalam kepemimpinannya.

Page 5: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

3

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa penetapan agenda dalam strategi pengarusutamaan kebijakan persaingan menjadi penting. Selain itu, adanya proses peninjauan regulasi (regulatory review) dan mengintegrasikan proses ini ke dalam tahapan pembuatan kebijakan terbukti mampu meningkatkan penerapan prinsip-prinsip kebijakan persaingan dalam kebijakan pembangunan. Pengarusutamaan menjadi lebih efisien melalui proses tinjauan regulasi karena berbagai aspek regulasi ditinjau secara mendalam. Proses ini mengurangi ruang kesalahan implementasi dari suatu regulasi karena proses ini dilakukan sebelum regulasi tersebut diterapkan.

Pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia sangat terkait dengan tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam hal ini, KPPU yang diberikan wewenang oleh UU No. 5/1999 untuk memberikan saran terkait kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum persaingan. Namun, karena hukum persaingan merupakan salah satu elemen dari kebijakan persaingan, maka pengarusutamaan kebijakan persaingan yang efektif perlu melibatkan institusi lainnya. Pada kenyataannya, koordinasi kelembagaan untuk pengarusutamaan ini belum berjalan secara efektif. Pertama, penerapan prinsip persaingan belum diintegrasikan secara meluas di dalam rencana pembangunan nasional, terutama di dalam rencana pembangunan jangka menengah. Kedua, seperti yang sering terjadi sampai saat ini, masih banyak terdapat undang-undang dan peraturan pemerintah yang menjadi sumber hambatan persaingan yang sehat.

Efektifitas pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia dengan demikian perlu ditingkatkan. Studi ini mengedepankan beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini, yaitu:

(1) Menciptakan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan derajat kewenangan

institusi yang berperan dalam implementasi kebijakan persaingan

Rekomendasi ini didekati dengan tiga rekomendasi yang lebih rinci menurut jangka waktu penerapannya, yaitu:

(i) Amandemen UU No. 5/1999; (ii) Mengintegrasikan kebijakan persaingan dengan rencana pembangunan nasional; (iii) Mengenalkan dan menerapkan proses tinjauan regulasi (regulatory review).

(2) Memprioritaskan agenda pengarusutamaan kebijakan persaingan (3) Menindaklanjuti implementasi kebijakan persaingan dengan baik (4) Meningkatkan jangkauan dan partisipasi KPPU dalam proses kebijakan di daerah (5) Meningkatkan kapasitas KPPU untuk meningkatkan kredibilitasnya dalam

menangani kasus-kasus persaingan (6) Memperluas cakupan sektor dan/atau isu persaingan dalam pengarusutamaan

kebijakan persaingan

Page 6: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

4

(7) Mendorong partisipasi konsumen dalam proses pengarusutamaan kebijakan

persaingan

Laporan ini menggarisbawahi pentingnya pengarusutamaan kebijakan persaingan dengan memberikan ilustrasi tentang isu persaingan yang masih ataupun dapat terjadi di beberapa sektor jasa (jasa telekomunikasi, jasa pelabuhan dan pelayaran, jasa keuangan, dan jasa kesehatan). Terdapat dua alasan mengapa studi ini memfokuskan pada sektor jasa. Pertama, sektor jasa sangat berperan sebagai penyedia input produksi, baik dalam produksi barang ataupun jasa lainnya. Kedua, pencapaian kinerja industri yang efisien pada sektor jasa sangat tergantung pada apakah regulasi yang ada telah menjamin terjadinya efisiensi ini. Ini kerap dikaitkan dengan apa yang dinamakan ‘isu-isu dalam negeri’ (behind border issues). Jasa Telekomunikasi

Industri jasa telekomunikasi berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Hal ini dapat dilihat terutama pada pertumbuhan yang sangat tinggi di segmen pasar seluler, yang menghasilkan tingkat penetrasi lebih dari 100 persen di awal tahun 2000an. Investasi yang terjadi di sektor ini pun juga tumbuh dengan pesat walaupun trennya mengalami penurunan semenjak tahun 2008/09. Terdapat paling tidak dua isu persaingan di sektor jasa telekomunikasi. Pertama, terkait dengan keberadaan BRTI, terdapat isu independensi. Ini terjadi karena BRTI berada dalam struktur organisasi pemerintah. Idealnya, badan regulasi yang indepeden termasuk di dalamnya adalah terbebasnya badan regulator tesebut dari berbagai kepentingan, termasuk kepentingan pemerintah. Kedua, pasar jasa telekomunikasi di Indonesia masih didominasi oleh PT Telkom yang sebelumnya merupakan salah satu BUMN pemegang hak monopoli penyelenggaraan jasa telekomunikasi. PT Telkom memiliki pangsa pasar sambungan telepon tidak bergerak (fixed-line) sebesar 60 persen dan pangsa pasar sambungan seluler (mobile) lebih dari 45 persen. Demikian pula yang terjadi dalam hal penyediaan jasa internet dan sambungan broadband. Kenyataan bahwa kepemilikan jaringan fixed-line didominasi oleh incumbent (PT Telkom) membuka kesempatan untuk terjadinya dominasi penyelenggara jasa broadband di masa depan oleh incumbent tersebut. Jasa Pelabuhan dan Pelayaran

Transportasi laut menjadi tumpuan logistik sekitar 90 persen dari total perdagangan Indonesia baik dalam ataupun luar negeri. Namun demikian, kinerja transportasi laut Indonesia masih belum efisien yang ditunjukan oleh harga relatif lebih tinggi dan waktu lebih lama dibandingkan di negara lain. Efisiensi transportasi laut ditentukan oleh efisiensi pengelolaan pelabuhan dan usaha penunjangnya serta efisiensi usaha pelayaran. Di Indonesia, pengelolaan pelabuhan masih belum efisien, yang dicerminkan dari masih tingginya Terminal Handling Charge (THC) dan lamanya dwelling time. Selama ini, kinerja pelabuhan di Indonesia tidak terlepas dari peranan PT Pelabuhan Indonesia (PT Pelindo) yang selama ini merupakan satu-satunya pemegang konsesi pengelolaan pelabuhan di Indonesia.

Page 7: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

5

Pada tahun 2008, Pemerintah melakukan reformasi bidang pelayaran dengan mengeluarkan Undang-Undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Dengan adanya Undang-Undang yang baru ini, swasta dimungkinkan untuk mengelola pelabuhan. Disamping itu, secara institusi, terjadi perubahan paradigma, dimana Undang-Undang mensyaratkan adanya pemisahan kewenangan antara pemilik pelabuhan dan operator pelabuhan. Disamping itu, penetapan tarif tidak dapat dilakukan sepihak oleh operator tanpa konsultasi dengan stakeholers. Namun demikian, implementasi Undang Undang ini masih belum tuntas. Perhitungan konsesi yang dimiliki oleh Pelindo belum selesai yang berdampak pada keterbatasan ruang gerak untuk perluasan pelabuhan di sekitar lahan yang saat ini dikelola oleh Pelindo. Dalam bidang usaha pelayaran, Undang- Undang 17 2008 tidak memberikan perubahaan yang mendasar. Indonesia masih menerapkan asas cabotage, sehingga hanya perusahaan pelayaran berbendera nasional yang dapat melayani transportasi dalam negeri. Aturan batasan tentang kepemilikan asing dalam perusahaan pelayaran berbendera Indonesia juga tidak ada perubahan. Kapal-kapal berbendera Indonesia masih mendapatkan proteksi maksimal. Disamping itu, dalam beberapa tahun terakhir ini, ada beberapa kasus persaingan usaha terkait penetapan tarif oleh perusahaan pelayaran. Jasa Keuangan

Sektor perbankan memainkan peranan yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara, termasuk di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan secara bersama-sama menyumbang sekitar 7,5 persen terhadap PDB Indonesia di tahun 2013. Mengingat peran sektor perbankan yang sangat penting maka diperlukan upaya untuk membuat fungsi intermediasi sektor bersangkutan berjalan sebaik dan seefisien mungkin tetapi pada saat yang sama tetap menjaga stabilitasnya. Namun demikian, regulasi sektor perbankan yang terjadi setelah Krisis Finansial Asia telah membuat bank sangat berhati-hati tetapi tidak efisien dan mendorong terciptanya oligopoli di sektor bersangkutan. Hal ini tercermin salah satunya dari keberadaan net interest margin (NIM) di sektor perbankan Indonesia relatif lebih tinggi daripada di negara-negara Asia lainnya. Selain itu, struktur pasar oligopoli juga tercermin dari besar rasio konsentrasi (CR4) dari empat bank utama, yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI dan BCA. Rasio konsentrasi yang dihitung berdasarkan jumlah kredit yang dikucurkan oleh bank-bank tersebut pada tahun 2012 berkisar sekitar 42,2 persen dari semua kredit yang dikucurkan oleh sektor perbankan. Sektor jasa asuransi di Indonesia masih terbilang kecil bila dibandingkan dengan negara-negara yang lebih maju. Namun demikian, sektor ini merupakan sektor yang potensi pertumbuhannya tinggi di masa datang, baik asuransi jiwa maupun asuransi umum. Potensi permintaan yang besar terhadap asuransi jiwa dapat dilihat dari jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan proporsi penduduk usia muda yang relatif tinggi serta makin meningkatnya kelompok menengah di negeri ini. Sedangkan potensi

Page 8: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

6

asuransi umum dapat dilihat dari masih besarnya defisit transaksi neraca pembayaran Indonesia untuk sektor asuransi sementara transaksi bisnis terus meningkat. Di Indonesia, industri asuransi cenderung didominasi oleh beberapa perusahaan besar. Pada tahun 2011, empat perusahaan asuransi jiwa dengan pangsa pasar terbesar adalah Prudential (25 persen), AXA Mandiri (14,1 persen), Sinarmas life (6,2 persen) dan Allianz Life (6,1 persen). Keempat perusahaan terbesar tersebut secara bersama-sama menguasai 51,4 persen dari total penjualan di pasar asuransi jiwa Indonesia. Masih berdasarkan laporan Towers and Watson, 10 perusahaan asuransi jiwa terbesar menguasai 76.4 persen pangsa pasar asuransi jiwa di Indonesia. Selain pasar yang cenderung terkonsentrasi, KPPU juga telah menangani beberapa kasus persaingan yang terjadi dalam sektor ini, dua diantaranya adalah kasus exclusive dealing. Jasa Kesehatan

Sektor kesehatan Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat dalam beberapa tahun mendatang. Ini antara lain karena sektor ini masih kecil bila dibandingkan dengan sektor-sektor jasa lainnya. Selain itu, pertumbuhan penduduk Indonesia yang saat ini didominasi oleh penduduk usia muda dan juga pertumbuhan pendapatan per kapita memberikan potensi pertumbuhan yang besar bagi penyedia jasa kesehatan di masa mendatang. Jasa kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit bersifat credence good, yang artinya terdapat kesulitan untuk mengetahui atau menilai kualitasnya baik sebelum maupun sesudah barang atau jasa tersebut dikonsumsi. Oleh karena itu, persaingan jasa rumah sakit perlu memperhatikan hal-hal berikut. Pertama, kompetisi di sektor ini diarahkan pada persaingan mutu layanan dan bukan pada persaingan harga. Di satu sisi, persaingan mutu layanan rumah sakit bisa mendorong peningkatan mutu layanan jasa rumah sakit. Di sisi lain, persaingan harga belum tentu membawa keuntungan yang dinginkan, yang disebabkan oleh fenomena ‘race-to-the bottom’, dimana rumah sakit-rumah sakit berlomba-lomba untuk menurunkan harga dengan mengorbankan mutu layanan. Kedua, peranan aktif pemerintah untuk memastikan layanan jasa rumah sakit yang berkualitas dan dengan harga yang wajar tetap dibutuhkan, bahkan jika persaingan mutu layanan jasa rumah sakit telah berlangsung. Sementara itu, industri farmasi, walaupun tidak digolongkan sebagai industri jasa, memiliki keterkaitan yang tinggi dengan industri jasa layanan kesehatan. Isu penting menyangkut persaingan di sektor farmasi adalah integrasi vertikal, yang biasanya terjadi antara perusahaan farmasi dan distributor. Dalam hal ini terdapat dua jenis integrasi vertikal. Pertama, perusahaan farmasi membuat kontrak jangka panjang dengan distributor. Kedua, perusahaan membentuk anak perusahaan yang menjalankan bisnis distribusi barang untuk mengurangi kompetisi antar distributor.

Page 9: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

7

1. Pendahuluan

Implementasi kebijakan persaingan yang efektif berperan positif dalam pembangunan

ekonomi suatu negara. Persaingan yang terjadi tanpa kendala akan menghasilkan

alokasi sumberdaya yang efisien dan menguntungkan bagi produsen maupun

konsumen. Namun, dalam kenyataannya, kebijakan persaingan tidak selalu secara

efektif dapat diterapkan dengan baik. Keberadaan regulasi seringkali menghambat

terjadinya persaingan. Tujuan regulasi tidak selalu sesuai dengan tujuan akhir dari

kebijakan persaingan.

Studi ini membahas pengarusutamaan kebijakan persaingan ke dalam kerangka tujuan

kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia.

Pengarusutamaan menjadi penting untuk menjamin bahwa suatu kebijakan ekonomi

telah mempertimbangkan dan mengintegrasikan prinsip-prinsip persaingan yang

berorientasi pada penciptaan efisiensi ke dalam berbagai kebijakan ekonomi yang ada.

Diterapkannya prinsip-prinsip tersebut akan mengarah pada penciptaan daya saing

yang kuat. Pengarusutamaan tersebut hendaknya dilakukan secara sistematis dan

menerapkan suatu strategi kebijakan yang jelas dan terarah, serta mencakup berbagai

topik persaingan dan sektor perekonomian secara menyeluruh (coherent).

Studi ini menawarkan beberapa rekomendasi yang dapat digunakan untuk

meningkatkan pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia, yaitu

1. Menciptakan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan derajat kewenangan

institusi yang berperan dalam implementasi kebijakan persaingan

Rekomendasi ini didekati dengan tiga rekomendasi yang lebih rinci menurut jangka

waktu penerapannya, yang disesuaikan dengan situasi dan kerangka kebijakan yang

ada saat ini, yaitu:

(i) Amandemen UU No. 5/1999;

(ii) Mengintegrasikan kebijakan persaingan dengan rencana pembangunan

nasional;

Page 10: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

8

(iii) Mengenalkan dan menerapkan proses tinjauan regulasi (regulatory

review).

2. Memprioritaskan agenda pengarusutamaan kebijakan persaingan.

3. Menindaklanjuti implementasi kebijakan persaingan dengan baik.

4. Meningkatkan jangkauan dan partisipasi KPPU dalam proses kebijakan di

daerah.

5. Meningkatkan kapasitas KPPU untuk meningkatkan kredibilitasnya dalam

menangani kasus-kasus persaingan.

6. Memperluas cakupan sektor dan/atau isu persaingan dalam pengarusutamaan

kebijakan persaingan.

7. Mendorong partisipasi konsumen dalam proses pengarusutamaan kebijakan

persaingan.

Rekomendasi-rekomendasi diatas dijabarkan dengan lebih rinci di dalam Bab 5, yang

didasari pada pengertian konseptual tentang manfaat penerapan prinsip-prinsip

persaingan, pembelajaran pengalaman negara-negara lain, serta berbagai tantangan

dan kesempatan menurut situasi saat ini, yang kesemuanya ini dipaparkan dalam bab-

bab lain dalam studi ini.

Page 11: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

9

2. Kebijakan Persaingan dan Daya Saing

Mengintegrasikan kebijakan persaingan ke dalam semua kebijakan pemerintah diyakini

mampu memberikan dampak positif dalam upaya peningkatan daya saing

perekonomian suatu negara. Pernyataan ini didasarkan pada prediksi teori tentang

dampak persaingan terhadap kinerja pasar.

Kekuatan pasar dalam persaingan tanpa kendala akan mendorong produsen untuk

mencari cara yang paling murah dan berinovasi dalam memenuhi kebutuhan

konsumen. Produsen akan terdorong untuk mencari kombinasi pemakaian input

produksi yang menghasilkan biaya yang paling rendah. Sementara itu, konsumen akan

diuntungkan dari proses ini dalam bentuk harga barang yang mendekati biaya produksi

yang paling rendah. Persaingan tanpa kendala akan menghasilkan output yang efisien,

yang menguntungkan perekonomian pada dua level: makro dan mikro. Pada level

makro, kekuatan persaingan akan memberikan alokasi penggunaan sumber daya

produksi yang efisien (allocative efficiency) dan pada level mikro, kekuatan persaingan

akan menghasilkan sistem produksi yang menghasilkan keluaran (output) maksimal

dengan biaya terendah (productive efficiency).

Efisiensi yang terjadi dalam proses diatas bersifat statis (static efficiency). Dalam

teorinya, efisiensi dapat juga bersifat dinamis (dynamic efficiency), yang menekankan

proses interaksi antar pelaku. Penekanan terletak pada terdapat atau tidaknya kendala

bagi produsen untuk masuk dan keluar pasar. Dengan demikian, persaingan dalam

pengertian yang dinamis mengedepankan esensi ‘contestability’, yaitu keadaan yang

mengijinkan terjadinya proses dimana produsen yang lebih efisien tidak terkendala

untuk masuk dan produsen yang tidak efisien dapat juga keluar dari pasar secara alami.

Manfaat dari persaingan yang bebas kendala adalah daya saing. Efisiensi sebagai hasil

akhir mencerminkan situasi dimana produsen akan mampu bersaing dengan produsen

lainnya, baik di pasar domestik maupun internasional (pasar ekspor). Dalam kerangka

dinamis, daya saing meningkat karena esensi contestability yang mengijinkan keluar-

Page 12: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

10

masuknya produsen akan mendorong penggunaan teknologi yang lebih maju (termasuk

peningkatan kemampuan manajerial) oleh para pelaku usaha. Inovasi akan terjamin

dalam persaingan dinamis yang bebas kendala ini.

Gambaran diatas adalah kondisi ideal. Daya saing akan maksimal jika persaingan terjadi

tanpa kendala. Namun demikian, kondisi ideal sering tidak terjadi dalam praktiknya.

Terdapat dua hal utama yang menurut teorinya menyebabkan hal ini, yaitu kegagalan

pasar (market failure) dan tujuan yang bukan efisiensi (Dee 2010). Kegagalan pasar

adalah salah satu keadaan yang mengakibatkan tidak maksimalnya efisiensi jika

persaingan diijinkan untuk terjadi sebagaimana mestinya (tanpa kendala). Kegagalan

pasar sering terjadi di sektor infrastruktur yang memiliki karakteristik pasar yang

berbentuk monopoli alami, yang menurut teorinya hanya akan ada satu produsen yang

mampu menawarkan barang/jasa dengan harga yang paling murah. Dalam struktur

pasar ini, mengijinkan lebih dari satu produsen – atau dengan kata lain, memunculkan

pesaing – justru akan menghasilkan harga dan output yang tidak efisien. Namun, jika

hanya satu produsen saja yang diijinkan beroperasi tanpa pesaing, maka produsen

tersebut dapat mendapat insentif untuk mengeksploitasi posisi dominan/monopolinya.

Situasi lain yang juga berujung pada tidak tercapainya efisiensi adalah ketika tujuan

ekonomi bukan satu-satunya tujuan yang hendak dicapai pemerintah. Tujuan yang ingin

dicapai biasanya adalah tujuan yang bersifat pemerataan atau perlindungan konsumen.

Pemerintah dapat melakukan intervensi dengan, misalnya, menetapkan harga tertentu

yang terjangkau bagi masyarakat luas dalam sektor jasa kesehatan.

Kemungkinan tidak tercapainya tujuan efisiensi persaingan memberikan alasan akan

adanya kebijakan persaingan, untuk menjamin tercapainya tujuan efisiensi.

Kebijakan persaingan dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana pemerintah

mendorong terjadinya persaingan dan menciptakan lingkungan yang sesuai untuk

persaingan dengan cara menerapkan larangan atas praktik-praktik bisnis yang

menghambat persaingan (OECD 2011). Kebijakan persaingan ditujukan untuk

peningkatan daya saing dan terjadinya inovasi dengan implikasi pada harga,

kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi.

Page 13: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

11

Kebijakan persaingan adalah konsep yang lebih luas daripada hukum persaingan

(competition law). Hukum persaingan merupakan elemen utama dalam implementasi

kebijakan. Mengingat keragaman kegiatan ekonomi yang pengaturannya melibatkan

berbagai regulasi (undang-undang dan peraturan pemerintah), implementasi hukum

persaingan juga akan terkait dengan implementasi berbagai regulasi tersebut.

Layak untuk dikemukakan disini satu alasan lain terkait dengan pentingnya kebijakan

persaingan, yaitu untuk menjamin terwujudnya manfaat dari reformasi kebijakan

ekonomi yang banyak dilakukan oleh banyak negara dalam dua atau tiga dekade

terakhir ini. Banyak negara, terutama negara-negara berkembang, melaksanakan

program reformasi kebijakan ekonomi mikro dengan menyederhanakan intervensi

pemerintah. Ini termasuk kebijakan mengurangi hambatan perdagangan internasional

(penurunan tarif dan non-tarif) dan hambatan arus investasi asing, pengurangan

subsidi yang diberikan kepada produsen domestik, dan privatisasi badan usaha milik

pemerintah/negara (BUMN). Mendasari reformasi kebijakan adalah pengertian bahwa

mekanisme pasar memberikan manfaat yang lebih maksimal untuk pembangunan

ekonomi. Namun semua manfaat tersebut akan sulit direalisasikan jika terdapat

kendala yang menghambat persaingan (UNCTAD 2004).

Ulasan diatas secara singkat mengatakan bahwa kebijakan persaingan merupakan

suatu konsekuensi langsung dari reformasi kebijakan yang mengarah pada peningkatan

daya saing (peningkatan efisiensi dan terjadinya contestability). Dalam literatur

akademis, terdapat bukti dari pengalaman berbagai negara bahwa implementasi

kebijakan persaingan berdampak positif pada pembangunan, termasuk di dalamnya

mendorong inovasi.1

1 Dutz dan Hayri (2002) misalnya menemukan korelasi (kaitan) yang sangat kuat antara pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dengan pelaksanaan hukum dan kebijakan persaingan yang efektif.

Page 14: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

12

3. Pengarusutamaan Kebijakan

Persaingan : Kerangka Pikir

Pengarusutamaan kebijakan persaingan, dalam pengertiannya yang paling umum, dapat

didefinisikan sebagai suatu usaha agar proses pengambilan kebijakan ekonomi selalu

mempertimbangkan prinsip-prinsip utama persaingan. Diterapkannya prinsip-prinsip

ini pada suatu kebijakan ekonomi akan mengarah pada penciptaan daya saing yang

kuat.

Pengarusutamaan membentuk keadaan dimana kebijakan yang diambil mengadopsi

prinsip-prinsip persaingan tanpa kendala yang menjamin terjadinya efisiensi secara

maksimal dan adanya contestability pada mekanisme persaingan. Pengintegrasian ini

hendaknya dilakukan secara sistematis dan menerapkan suatu strategi kebijakan yang

jelas dan terarah serta mencakup berbagai topik persaingan dan sektor perekonomian

secara menyeluruh (coherent).

Pengarusutamaan penting karena prinsip-prinsip utama kebijakan persaingan sering

tidak diperhatikan dalam penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah. Pada

kenyataannya, substansi dari berbagai undang-undang atau peraturan pemerintah

justru menghambat terjadinya persaingan yang dapat meningkatkan daya saing.

Berbagai undang-undang atau peraturan pemerintah yang menghambat persaingan

dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk (OECD 2011), yaitu:

pembatasan jumlah dan aliran pelaku usaha yang dapat beroperasi di suatu

pasar;

mendorong terjadinya koordinasi penetapan harga dan produksi antar para

pelaku usaha;

menciptakan biaya transaksi lebih tinggi terhadap pelaku usaha baru, termasuk

di dalamnya pelaku usaha kecil dan menengah, terhadap pelaku usaha yang telah

terlebih dahulu beroperasi (incumbents);

memberikan perlindungan usaha kepada kelompok usaha tertentu.

Page 15: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

13

Pengembangan dan implementasi kebijakan pembangunan pada umumnya

memerlukan strategi yang sifatnya ‘lintas-kebijakan’ (OECD 2004). Kebijakan-kebijakan

yang ditujukan untuk pengembangan suatu sektor cenderung berada dalam suatu

‘klaster’ kebijakan saling berkaitan satu dengan lainnya. Pengarusutamaan kebijakan

persaingan adalah mengintegrasikan semua kebijakan yang saling berkaitan ke dalam

strategi perencanaan pembangunan nasional. Dengan demikian penerapan berbagai

kaidah persaingan yang menjamin terjadinya daya saing mendapatkan perhatian serius

di setiap tingkatan pemerintahan dan disetiap institusi/lembaga yang terlibat dalam

penyusunan kebijakan pembangunan, baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah.

Semua ini tentunya memerlukan koordinasi yang efisien dan efektif dari semua unsur

lembaga dan unsur kelembagaan yang terkait. Dalam hal ini, yang perlu ditekankan

adalah perlu adanya koordinasi yang tertata dengan rapi (concerted actions) yang

menghasilkan aksi kebijakan yang harmonis.

Bagian penting dari pengarusutamaan kebijakan persaingan adalah advokasi dan

pendidikan publik/masyarakat mengenai pentingnya penerapan persaingan bagi

kesejahteraan masyarakat. Kegiatan advokasi menjadi penting mengingat

pengarusutamaan adalah suatu proses dan masyarakat adalah salah satu kelompok

pemangku kepentingan utama dalam proses ini. Dalam proses pengarusutamaan,

masyarakat dapat berperan sebagai kelompok yang memonitor/mengawasi kinerja

pasar dan memastikan apakah kaidah-kaidah persaingan telah diterapkan. Dalam

praktiknya, kegiatan ini biasanya selalu dimotori oleh lembaga yang memiliki

kewenangan untuk mengatur persaingan, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Walapun cakupan topik dan sektor dalam pengarusutamaan cukup luas, terdapat

beberapa kebijakan utama yang sangat berkaitan dengan kebijakan persaingan. Secara

umum, kebijakan-kebijakan tersebut mencakup kebijakan di bidang perdagangan,

investasi, BUMN, dan UKM.

Kebijakan Perdagangan

Kebijakan perdagangan pada umumnya mengatur tentang akses pasar dan distribusi

barang. Mengarusutamakan kebijakan persaingan dalam kebijakan perdagangan, baik

perdagangan internasional maupun domestik akan mengurangi kendala untuk

mengakses pasar dan membawa konsekuensi/akibat positif bagi pembangunan

Page 16: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

14

ekonomi. Pengarusutamaan kebijakan persaingan dalam kebijakan perdagangan

mencakup dua hal; pertama, kebijakan persaingan memastikan bahwa kendala untuk

memasuki pasar rendah. Kedua, kebijakan persaingan harus mampu meminimalkan

kemungkinan terjadinya praktik persaingan yang tidak sehat oleh pelaku pasar, seperti

praktik menghambat masuknya perusahaan baru, dan kemungkinan praktik kolusi.

Kebijakan Investasi

Pengarusutamaan kebijakan persaingan dalam kebijakan investasi ditujukan untuk

menjaga konsistensi antara undang-undang dan peraturan pemerintah dengan

kebijakan untuk menarik investasi. Pengarusutamaan menjadi penting mengingat rejim

investasi di banyak negara saat ini cenderung menjadi lebih terbuka dan, dengan

demikian, penerapan kebijakan investasi yang menerapkan prinsip-prinsip utama

persaingan akan menjamin terealisasi dan maksimalnya manfaat dari investasi yang

lebih besar.2 Walaupun lebih terbuka, kendala untuk melakukan investasi masih sering

ditemukan di dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah, termasuk

berbagai aturan di dalam daftar negatif investasi (negative investment list).

Selain menjamin adanya konsistensi diatas, pengarusutamaan kebijakan persaingan

dalam kebijakan investasi dapat juga diarahkan pada usaha untuk memastikan bahwa

penggabungan kepemilikan usaha (merger) tidak memberikan ruang pada entitas

pelaku usaha yang tergabung kepemilikannya untuk menyalahgunakan kekuatan dari

skala ekonominya yang lebih besar.

Kebijakan tentang BUMN

Salah satu bagian dari pengarusutamaan kebijakan persaingan dalam kebijakan tentang

dan yang mengatur BUMN adalah menerapkan prinsip contestability (kontestibilitas)

pada sektor yang didominasi oleh BUMN. Pada umumnya sektor dimana banyak BUMN

beroperasi adalah sektor yang memiliki karakter monopoli alami (natural monopoly)

dan sektor jasa layanan infrastruktur publik (public utilities) seperti jasa

telekomunikasi atau transportasi. Untuk menjaga efisiensi serta kualitas layanan perlu

diberlakukan prinsip kontestibilitas atau persaingan untuk pasar (Dee, 2010), yaitu

2 Banyak studi empiris menunjukkan bahwa beroperasinya perusahaan asing terbukti memberikan dampak positif terhadap perkembangan industri domestik, termasuk transfer teknologi maju dan menjadi semakin terbukanya akses pasar bagi perusahaan domestik di pasar internasional.

Page 17: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

15

persaingan untuk mendapatkan hak untuk menjadi pelaku usaha tunggal. Dalam

praktiknya, prinsip kontestibiltas ini dapat dilakukan dengan proses bidding yang akan

memberikan hak pengoperasian pasar kepada pelaku usaha yang mampu memberikan

jasa layanan dengan efisien.

Di industri yang terintegrasi secara vertical, dengan elemen yang memiliki karakter

monopoli alami, persaingan dapat diterapkan secara berbeda di sektor hulu dan hilir. Di

sektor hulu diciptakan persaingan untuk pasar, yaitu persaingan untuk mendapatkan

hak beroperasi, Sedangkan di hilir diciptakan persaingan antar pelaku usaha. Praktik

penerapan kaidah ini banyak diterapkan pada reformasi pasar layanan jasa publik di

negara lain. Perlu dicermati bahwa efektifitas penerapan model ini biasanya terjadi dari

suatu proses dalam model yang kompleks karena terdapat tujuan yang sangat beragam

yang harus dipenuhi pada saat yang bersamaan (Valletti dan Estache, 1998), Tujuan

tersebut adalah pencapaian efisiensi untuk pengenaan harga eceran di sektor hilir dan

harga jasa yang terjadi dari sektor hulu, kemampuan pelaku usaha tunggal di sektor

hulu untuk memenuhi biaya tetap (fixed costs) dari operasinya, dan menjamin

tersedianya akses layanan publik (universal service obligation).

Kebijakan untuk UKM

Kebijakan yang mendorong kinerja UKM merupakan kebijakan lain yang penting dalam

pengarusutamaan kebijakan persaingan. Ini disebabkan adanya kecendurangan

keberpihakan (affirmative action) sebagai suatu pendekatan kebijakan di sektor UKM.

UKM dipandang tidak mampu bersaing dengan pelaku usaha besar karena keterbatasan

mereka untuk dapat menyaingi tingkat efisiensi yang dapat dicapai pelaku usaha besar.

Namun, esensi keberpihakan pada kebijakan UKM justru dapat memberikan dampak

yang tidak menguntungkan bagi sektor UKM itu sendiri; dengan kata lain, terdapat

eksternalitas negatif yang berasal dari adanya keberpihakan dalam kebijakan untuk

UKM. Eksternalitas negatif terjadi karena kebijakan yang berpihak dapat juga

melindungi UKM yang memang pada dasarnya tidak efisien; kebijakan tersebut pada

saat yang bersamaan tidak memberikan insentif bagi UKM untuk meningkatkan

efisiensinya.

Penerapan prinsip-prinsip persaingan dalam kebijakan untuk UKM dapat

menghilangkan eksternalitas yang tidak menguntungkan tersebut, sehingga efisiensi

Page 18: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

16

produksi usaha kecil dan efisiensi alokasi penggunaan sumber daya dapat tercapai. Hal

ini dapat dicapai dengan pendekatan bahwa kebijakan untuk UKM bertujuan menjamin

adanya kesempatan berusaha yang sama antar pelaku usaha, baik kecil maupun besar.

Termasuk dalam kebijakan ini adalah menjamin tidak adanya halangan bagi semua

pelaku usaha untuk mendapatkan akses yang sama ke informasi dan berbagai sumber

daya produksi.

3.1 Faktor Institusi dalam Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan

Seperti yang diilustrasikan oleh pengalaman negara-negara lain (Hoekman 1998),

sukses atau tidaknya pengarusutamaan kebijakan persaingan sangat tergantung pada

kelembagaan (institution). Di dalamnya terdapat beberapa faktor yang terkait peranan

kelembagaan dalam pengarusutamaan, yang satu dengan lainnya saling terkait dalam

menentukkan keberhasilan pengarusutamaan.

Struktur kelembagaan

Struktur kelembagaan merupakan satu faktor yang berperan dalam pengarusutamaan

kebijakan persaingan. Bagaimana hubungan antara lembaga yang berwenang atas

persaingan dengan lembaga lainnya, dan penetapan institusi publik mana yang terlibat

dan berwenang mengatur persaingan merupakan bagian dari struktur kelembagaan.

Hal ini akan menentukan pusat kewenangan dalam implementasi kebijakan persaingan.

Di banyak negara, komisi persaingan biasanya adalah institusi publik yang memiliki

kewenangan ini. Namun dari pengalaman berbagai negara pelimpahan kewenangan

hanya pada komisi persaingan terbukti tidak memadai untuk menjamin suksesnya

pengarusutamaan kebijakan persaingan. Ini disebabkan oleh karakter kebijakan

persaingan yang pada umumnya adalah ‘lintas-kebijakan’ (cross-cutting) dan wewenang

komisi persaingan biasanya tidak dapat mencakup kewenangan yang diperlukan untuk

memastikan bahwa prinsip persaingan terintegrasikan dengan baik di berbagai

kebijakan insitusi lainnya.

Pengarusutamaan kebijakan persaingan juga terkait dengan cakupan wewenang dari

institusi yang bertanggung jawab atas persaingan. Di banyak negara cakupan wewnang

ini tidak berhenti pada lintas-kebijakan dan lintas institusi, namun juga lintas-otoritas

antara pusat dan daerah. Keberhasilan pengarusutamaan tergantung dari sistem politik

Page 19: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

17

yang ada di setiap negara, namun biasanya keberhasilan pengarusutamaan menjadi

lebih berat jika pemerintah daerah memiliki kewenangan yang sangat besar. Dalam hal

ini, perlu adanya suatu prinsip kesepakatan politik yang jelas yang memungkinkan

otoritas persaingan untuk juga berwenang pada kebijakan di tingkat daerah.

Komitmen Ekonomi Politik

Kinerja institusi-institusi yang berwenang dalam persaingan dalam pengarusutamaan

juga ditentukan oleh kekuatan politik dalam kepemimpinannya. Tanpa kekuatan

ekonomi politik yang kuat, institusi-institusi tersebut tidak akan mudah mengenalkan

dan mengintegrasikan kaidah-kaidah persaingan ke dalam kebijakan berbagai sektor.

Karena itu komitmen politik menjadi sangat penting.

Pengalaman di beberapa negara lain menunjukan bahwa tingkat komitmen yang tinggi

dapat dicapai melalui beberapa cara, diantaranya dengan:

menjaga dan terus meningkatkan kredibilitas institusi, termasuk di dalamnya

memformalkan secara hukum proses analisis regulasi (regulatory review

process);

memilih dan menetapkan secara de facto institusi yang secara struktural telah

memiliki kekuatan politik besar (seperti kantor Perdana Menteri, Kementerian

Keuangan, Badan Perencana Pembangunan Nasional) sebagai ‘rekan kerja’ dari

institusi pengawas persaingan; dan

mengalokasikan dana publik yang besar untuk membiayai kegiatan

pengarusutamaan kebijakan persaingan.

Partisipasi Para Pemangku Kepentingan

Salah satu pembelajaran dari negara-negara yang tergabung dalam OECD mendapatkan

bahwa dialog dan kerja sama antara pemangku kepentingan berperan dalam

meningkatkan keberhasilan peran kelembagaan untuk peningkatan daya saing.

Intensitas dialog akan menumbuhkan rasa memiliki dari seluruh elemen pemangku

kepentingan (pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen) atas suatu kebijakan. Selain

itu, partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan, melalui konsultasi dan/atau

kolaborasi, akan memberikan peluang untuk tersalurkannya umpan balik (feedback)

dari implementasi suatu kebijakan. Mekanisme ini terbukti efektif dalam

Page 20: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

18

menyempurnakan suatu kebijakan (OECD, 2004). Proses interaksi antar pemangku

kepentingan juga akan meningkatkan perhatian akan pentingnya mengadopsi prinsip-

prinsip persaingan pada kebijakan sektoral. Ini tentunya akan berdampak positif

terhadap kesinambungan pengarusutamaan.

3.2 Strategi Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan: Pembelajaran

dari Pengalaman Negara Lain

Bagian ini memaparkan beberapa temuan dan pesan utama dari pengalaman negara

lain yang berkaitan dengan proses yang terjadi dalam pengarusutamaan kebijakan

persaingan.

Fokus dan Agenda Utama Kebijakan

Pembelajaran pertama adalah pentingnya fokus implementasi kebijakan persaingan

dan, dalam beberapa kasus tertentu, keberadaan satu atau beberapa agenda khusus

dalam implementasi kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan persaingan di Korea

Selatan misalnya didasarkan tiga tujuan utama kebijakan persaingan, yaitu: inovasi dan

efisiensi dinamis, perlindungan konsumen, dan pembangunan ekonomi yang

berimbang. Fokus kebijakan diarahkan pada upaya untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan posisi dominan dan konsentrasi kekuatan ekonomi (OECD 2000).

Alasan yang mendasari pemilihan fokus kebijakan ini adalah agenda untuk mengurangi

peranan para chaebols (kelompok usaha/konglomerasi ala Korea Selatan) yang dirasa

terlalu kuat. Kemampuan para chaebols ini mengatur harga dan keseimbangan pasar

secara umum dirasa tidak sesuai lagi dengan arah pembangunan ekonomi Korea

Selatan yang berubah ke arah perekonomian yang berorientasi pasar sejak tahun

1980an. Berbagai upaya yang kemudian dilakukan oleh Korean Fair Trade Commission

(KFTC), salah satu otoritas yang berwenang dalam persaingan di Korea Selatan, didasari

oleh agenda ini. Upaya tersebut sangat terkonsentrasi untuk mengatur dan memonitor,

bahkan mengurangi, kemampuan para chaebols untuk mengatur harga dan kinerja

pasar. Termasuk di dalamnya adalah memonitor perilaku para chaebols dalam

perjanjian kemitraan dengan pelaku usaha lain, terutama UKM. Dalam hal ini, KFTC

memastikan tidak terjadi penyalahgunaan posisi dominan yang dimiliki para chaebols

dalam perjanjian kemitraan tersebut.

Page 21: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

19

Implementasi pengarus utamaan kebijakan persaingan di Korea Selatan terjadi pada

dan bermula dari upaya untuk mengatur serta memonitor perilaku dominan para

chaebols. Seiring berjalannya waktu topik yang menjadi fokus berkembang ke topik

atau isu persaingan lainnya. Namun yang jelas, pengalaman dalam merespon isu

chaebols telah mampu meletakkan suatu sistem dan memberikan pengalaman untuk

memasukkan prinsip persaingan dalam proses pembuatan kebijakan.

Implementasi kebijakan persaingan di Australia konsisten untuk selalu menimbang

dampak dari persaingan dalam konteks surplus/kesejahteraan ekonomi (consumer and

producer welfare, total welfare) dan dampak efisiensi yang dihasilkan. Prinsip ini

konsisten diterapkan dalam menyikapi berbagai kasus atau isu persaingan. Dalam

kaitannya dengan pengarusutamaan kebijakan persaingan konsistensi pendekatan

kesejahteraan dan efisiensi ini, walaupun belum tentu sesuai dengan konteks di negara

lain, setidak-tidaknya menjadi acuan yang sangat jelas bagi para pemangku kepentingan

dalam melihat aspek persaingan dalam suatu kebijakan.

Struktur dan Komitmen Kelembagaan

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya perlu ditentukan lembaga-lembaga yang

berwenang memberikan arahan kebijakan persaingan, dan komitmen yang besar untuk

menjamin diimplementasikannya kaidah persaingan dalam berbagai kebijakan ekonomi

yang ada.

Pengalaman Korea Selatan mungkin dengan jelas menggarisbawahi pentingnya

karakteristik struktur kelembagaan dan komitmen ini. Terdapat hanya dua lembaga

yang berwenang akan kebijakan persaingan di Korea Selatan, yaitu KFTC dan Kantor

Perdana Menteri (Prime Minister Office, PMO). KFTC diberikan wewenang untuk

menjalankan mandat hukum persaingan di Korea Selatan dan merupakan suatu

lembaga yang independen. KFTC bertanggung jawab kepada PMO dan ketua (chairman)

KFTC diberikan kedudukan sejajar menteri, dan dengan demikian ketua KFTC

diperkenankan untuk berpartisipasi dalam semua rapat kabinet. Menurut hukum yang

ada, para menteri diwajibkan untuk melakukan konsultasi dengan KFTC tentang aturan

yang kemungkinan dapat menghambat tujuan dari persaingan.

Page 22: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

20

Dengan kedudukan yang sejajar dengan kementerian lain ini, ketua KFTC mampu

melakukan kontak langsung dengan semua menteri dan kepala lembaga pemerintahaan

(OECD 2000). Hal ini terbukti mampu meningkatkan pengadopsian dan advokasi

prinsip-prinsip persaingan ke dalam berbagai aturan yang akan dikeluarkan oleh

kementerian dan lembaga. Di tahun 1995 misalnya, sekitar 75 persen dari total

pandangan yang diberikan oleh KFTC terhadap proposal perubahan aturan atau

kebijakan diterima oleh kementerian dan lembaga yang mengajukan proposal tersebut

(OECD 2000).

Dengan demikian peningkatan status lembaga KFTC ketingkat menteri serta mandat

undang-undang (agar proposal perubahan aturan atau kebijakan dikonsultasikan

terlebih dahulu dengan KFTC) mampu meningkatkan nilai pengadopsian prinsip-

prinsip persaingan. Pengarusutamaan dengan demikian menjadi lebih efektif. Selain itu,

keberadaan ‘rekan’ kerja dari institusi lembaga persaingan di pemerintahaan yang

memiliki kekuatan eksekutif untuk menerapkan kebijakan pada level kementerian dan

lembaga merupakan faktor penentu yang sangat penting.

Ketiadaan faktor-faktor ini yang membuat pengadopsian prinsip persaingan di Jepang

tidak terlalu efektif. Advokasi dan usaha penerapan prinsip persaingan di Jepang

sebenarnya telah diatur oleh undang-undang yang menyatakan bahwa lembaga

persaingan dapat memberikan usulan atau pendapat yang berhubungan dengan aspek

persaingan dalam kebijakan yang diambil oleh kementerian dan lembaga di negara

tersebut. Namun demikian, berbeda dengan sistem yang ada di Korea Selatan, lembaga

persaingan di Jepang (Fair Trade Commission, FTC) – yang juga merupakan suatu

lembaga yang independen – tidak memiliki memiliki akses langsung terhadap proses

pengambilan keputusan di kabinet; FTC tidak memiliki otoritas untuk berpartisipasi

dalam proses tersebut (OECD 1999). Secara formal, pandangan yang dikeluarkan oleh

FTC hanya dapat diserahkan ke kantor sekretaris kabinet untuk bahan pertimbangan

kementerian terkait. Proses penyampaian pandangan yang tidak langsung dan tidak

adanya hubungan yang sejajar antara FTC dengan kabinet atau kementerian pada

kenyataannya berujung pada tidak efektifnya pengadopsian prinsip persaingan pada

banyak kebijakan yang ada.

Page 23: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

21

Ketidakefektifan ini menjadi lebih buruk karena proses review terhadap suatu isu

persaingan didekati dengan membentuk kelompok kerja untuk membahasan isu

tersebut. Menurut sistem yang ada, anggota kelompok kerja biasanya diambil dari

berbagai pihak yang mewakili pemangku kepentingan yang terkait. Namun, pada

praktiknya porsi keanggotaan biasanya lebih banyak diberikan kepada kelompok

pelaku usaha (OECD 1999). Hal ini menyebabkan proses diskusi dan analisis terhadap

suatu isu persaingan berlangsung dalam waktu yang terlalu lama dan cenderung

memberikan status quo terhadap status isu tersebut.

Mengintegrasikan Proses Tinjauan Regulasi (Regulatory Review) ke dalam Proses

Kebijakan

Satu alasan yang mendasari pentingnya pengarusutamaan kebijakan persaingan adalah

masih sering terjadinya ketidaksesuaian antara prinsip efisiensi dan contestability

dengan isi dari berbagai regulasi yang ada. Implementasi kebijakan kemudian dapat

menjadi tidak efektif dan juga tidak tercapai tujuannya karena adanya ketidaksesuaian

ini. Proses tinjauan regulasi (regulatory review) adalah suatu mekanisme yang dapat

digunakan untuk mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian tersebut, yang hasilnya

kemudian dapat digunakan untuk menyempurnakan atau memastikan bawah regulasi

tersebut telah mengadopsi prinsip-prinsip persaingan. Adanya kesesuaian antara

prinsip persaingan dengan tujuan suatu regulasi akan menjamin tercapainya tujuan

suatu kebijakan. Dengan demikian, proses tinjauan regulasi adalah satu tahapan yang

penting dalam pengarusutamaan kebijakan.

Di Australia lembaga yang bertugas meninjau berbagai regulasi adalah Productivity

Commission. Lembaga ini terbukti efektif dalam upaya pengadopsian dan penerapan

prinsip-prinsip persaingan yang berorientasi pada efisiensi dan contestability.

Walaupun Productivity Commission adalah lembaga independen tinjauan regulasi dan

usulan perubahan regulasi yang di usulkannya ditanggapi secara serius oleh lembaga

yang membuat regulasi tersebut (OECD 2010). Fakta ini menunjukkan bahwa

Productivity Commission memiliki kredibilitas yang kuat. Disamping kemampuan

lembaga ini membuat analisis yang tajam dan berkualitas tinggi, adanya hukum yang

mewajibkan setiap lembaga pemerintahan di Australia menjalani proses tinjauan

Page 24: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

22

regulasi sebelum penerapan suatu regulasi juga menunjang terciptanya kredibilitas

yang kuat tersebut.

Peninjauan regulasi sebagai suatu tahapan dalam pengembangan regulasi dan

kebijakan menjamin terjadinya pengarusutamaan kebijakan persaingan yang lebih

efisien dan efektif. Pengarusutamaan menjadi lebih efisien karena marjin kesalahan dari

suatu regulasi dapat diminimalisir sebelum regulasi tersebut diterapkan dan menjadi

lebih efektif karena dalam peninjauan regulasi, berbagai aspek regulasi ditinjau secara

mendalam (lihat Kotak 3.1). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tinjauan regulasi

layak dijadikan sebagai bagian dari strategi pengarusutamaan kebijakan persaingan.

Kotak 3.1

Elemen dari Tinjauan Regulasi

Sebuah tinjauan regulasi dapat mencakup:

Masalah atau latarbelakang yang mendasari kebutuhan suatu aksi kebijakan;

Tujuan yang hendak dicapai;

Alternatif kebijakan yang diperkirakan mampu mengatasi masalah yang ada;

Analisis biaya dan manfaat;

Pernyataan yang akan diajukan dalam proses konsultasi dengan para

pemangku kepentingan;

Beberapa alternatif rekomendasi;

Strategi kebijakan yang dapat diterapkan dan tinjauan atas beberapa strategi

yang dikedepankan.

Sumber: Coghlan (2000) seperti yang dikutip oleh Dee (2010).

Page 25: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

23

4. Kebijakan dan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan di Indonesia

Bab ini membahas kebijakan dan pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia.

4.1 Perkembangan Kebijakan persaingan di Indonesia

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 (UU No. 5/1999) mengenai larangan praktik

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat merupakan salah satu output dari proses

reformasi ekonomi yang terjadi akibat krisis keuangan pada tahun 1998. Didorong oleh

Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia diharapkan dapat mengembalikan

stabilitas ekonomi dengan cara memperbaiki iklim usaha dan persaingan yang sehat.

Dalam sejarahnya, fenomena oil boom pada tahun 1970 sampai 1980-an di Indonesia,

ditambah lagi dengan kebijakan subsitusi impor dan pajak impor yang tinggi

mengakibatkan pemerintah memiliki peranan sentral dalam mengendalikan

perekonomian pada saai itu. Persaingan menjadi terbatas akibat dari intervensi

pemerintah yang besar serta monopoli yang dilakukan oleh perorangan maupun

negara. Setelah harga minyak turun drastis pada tahun 1986, kebijakan deregulasi

diberlakukan untuk memfasilitasi mobilitas dana asing ke dalam perekonomian

Indonesia khusunya pada sektor perbankan.

Perbaikan iklim usaha dan persaingan di Indonesia juga didorong oleh faktor eksternal

seperti bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi internasional seperti WTO, ASEAN

dan APEC pada tahun 1990-an. Pengaruh liberalisasi ekonomi tersebut semakin

membuka pintu reformasi kebijakan ekonomi walaupun pada sektor-sektor seperti

pertanian dan infrastruktur masih sangat tertutup sebagai bentuk perlindungan

pemerintah terhadap kepentingan-kepentingan pribadi. Berakhirnya masa orde baru

menandakan awal reformasi baik di bidang politik maupun ekonomi, salah satu

bentuknya adalah diberlakukannya UU No. 5/1999.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang dibentuk

guna menjalankan mandat UU No. 5/1999 dan bertanggung jawab langsung kepada

Page 26: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

24

presiden (Pasal 30 & 31). Menurut Pasal 3 UU No. 5, tujuan undang-undang ini adalah

menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional dalam

rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan iklim usaha yang kondusif

yang menjamin kepastian usaha baik pelaku usaha besar, menengah maupun kecil,

mencegah praktik monopoli dan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaku usaha.

Sehubungan dengan pengarusutamaan kebijakan persaingan, Pasal 35 UU No. 5/1999

memberikan wewenang kepada KPPU untuk memberikan saran dan pertimbangan

terhadap kebijakan pemerintah yang terkait dengan prakter monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat (Pasal 35.e).

Menurut Aswicahyono dan Kartika (2010) UU No. 5/1999 mempunyai beberapa

kelemahan. Diantaranya adalah undang-undang ini masih terkesan lebih melindungi

perusahaan kecil atau lebih menekankan kepada struktur pasar dibandingan dengan

membentuk pasar yang kompetitif. Selanjutnya adalah generalisasi kegiatan integrasi

vertikal. Hal ini karena integrasi vertikal tidak selalu menyebabkan rusaknya kompetisi

di pasar, bisa jadi hal ini meningkatkan efisiensi baik dalam produksi maupun

distribusi. Sehingga penelitian terhadap dampak integrasi vertikal ini harus dilakukan

secara seksama, kasus per kasus untuk dapat benar-benar melihat efeknya ke pasar.

Ketiga, undang-undang belum mencangkup peraturan-peraturan terkait hak kekayaan

intelektual, standard teknis barang dan jas, usaha kecil dan BUMN.

Kekurangan lainnya adalah, dan ini terkait dengan pengarusutamaan kebijakan

persaingan, undang-undang ini belum sepenuhnya mengatur kebijakan-kebijakan

pemerintah yang menghambat persaingan. Selama ini, masih banyak terdapat undang-

undang dan peraturan pemerintah yang menjadi sumber hambatan persaingan yang

sehat. Sebagai contoh, undang-undang perdagangan yang baru (UU No. 7/2014)

memberikan ruang bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan/proteksi

terhadap produsen domestik dari persaingan barang impor. Selain itu, undang-undang

ini juga mengijinkan dikenakannya hambatan non-tarif dan diterapkannya pembatasan

ekspor jika terjadi kekurangan pasokan di pasar domestik. Sementara itu, undang-

undang perindustrian yang baru (UU No. 3/2014) memberikan perlindungan kepada

industri strategis dan dapat mengenakan pembatasan ekspor bahan mentah untuk

Page 27: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

25

memenuhi kebutuhan dalam negeri.3 Beberapa contoh ini menunjukkan bahwa

pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia belum terjadi dengan baik dan

semestinya.

4.2 Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan di Indonesia: Situasi

Saat Ini

Seperti yang telah disebutkan, Pasal 35 UU No. 5/1999 memberikan kewenangan

kepada KPPU untuk memberikan saran yang berkaitan dengan persaingan kepada

pemerintah. Namun, dalam praktiknya, mandat yang diberikan oleh Undang-Undang ini

masih lemah. Implementasi mandat UU No. 5/1999 masih terfokus pada pengawasan

perilaku bisnis seperti kasus-kasus merger, hubungan integrasi vertikal, dan potensi

penyalahgunaan kekuatan pasar.4 Lemahnya kekuatan KPPU untuk mengarusutamakan

prinsip persaingan antara lain disebabkan karena tidak terdapatnya landasan hukum

lain yang kuat selain UU No. 5/1999 – seperti Peraturan Pemerintah atau Keputusan

Presiden – yang dapat mengoperasionalisasikan Pasal 35 UU No. 5/1999.

Peran Persaingan dalam Agenda Nasional

Sejauh ini, pengarusutamaan persaingan dalam kebijakan tidak intensif dan

menyeluruh, sehingga menjadi penting untuk memasukkan agenda pengarusutamaan

ini ke dalam rencana pembangunan nasional.

Sebagai turunan dari UUD 1945 serta Pasal 33 yang mengusung “Demokrasi Ekonomi”

dan “Efisiensi Berkeadilan”, tujuan dari UU No. 5 Tahun 1999 secara jelas diarahkan

untuk meningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam UU No. 17 Tahun 2007

Tentang RPJP 2005-2025, disebutkan beberapa arahan terkait penciptaan iklim usaha

dan persaingan sehat, yang secara tidak langsung menjadi domain kerja KPPU, seperti:

Kelembagaan ekonomi dan persaingan sehat

Struktur Industri yang sehat dan berkeadilan

Sistem distribusi yang efisien dan efektif

3 Lihat Studi Kasus 3 di Lampiran 1 yang memberi komentar atas undang-undang perdagangan dan perindustrian yang baru ini. 4 Contoh potensi penyalahgunaan kekuatan pasar adalah kewenangan KPPU untuk menangani potensi penyalahgunaan kekuatan pasar pelaku pasar terhadap usaha kecil dalam hubungan bisnis antar kedua pelaku usaha ini, seperti yang diatur dalam PP No. 17/2013.

Page 28: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

26

Sektor pos dan telekomunikasi yang kompetitif

Adapun penjelasan konseptualnya adalah: dimulai dari persaingan yang sehat akan

tercipta harga yang lebih murah/wajar serta peningkatan jumlah dan mutu produksi

barang dan jasa. Setelah itu, diharapkan inflasi stabil sehingga peningkatan daya saing

dan dapat berkontribusi dalam pengurangan kemiskinan, peningkatan lapangan kerja

(mengurangi pengangguran) dan juga pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya

persaingan yang sehat akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan

mutu pelayanan yang lebih baik.

Sebagai rancangan pembangunan jangka menengah, RPJMN 2010-2014 juga memuat

beberapa aspek peningkatan iklim usaha dan persaingan yang sehat diantaranya:

Sebagai strategi perdagangan dalam negeri

a) meningkatkan iklim usaha perdagangan melalui persaingan yang sehat

b) memperkuat kelembagaan perdagangan dalam negeri yang mendorong

terwujudnya persaingan yang sehat

Sebagai fokus dan kegiatan prioritas perdagangan

Fokus Prioritas Peningkatan Efektivitas Pengawasan dan Iklim Usaha Perdagangan, yang didukung oleh kegiatan prioritas sebagai berikut: a). Penegakan Hukum Persaingan; b). Pengembangan dan Harmonisasi Kebijakan Persaingan;

Seperti paparan diatas, pentingnya menjaga iklim usaha yang baik serta persaingan

yang sehat kerap muncul sebagai salah satu strategi dan arahan dalam kebijakan

perekonomian di Indonesia. Namun, pada praktiknya, terdapat beberapa kendala yang

menghambat pengarusutamaan persaingan untuk menciptakan iklim usaha yang

kondusif dan konsisten dengan usaha untuk meningkatkan daya saing. Pertama,

tumpang tindih antar satu peraturan dengan peraturan-peraturan lainnya. UNCTAD

(2009) menggambarkan bahwa Indonesia masih banyak memiliki regulasi yang

bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Contohnya regulasi-regulasi yang

bertujuan untuk mengembangkan UKM tetapi dilakukan cara dengan memberikan

perlindungan pada UKM. Pendekatan ini menghambat tumbuhnya persaingan yang

menjamin terjadinya efisiensi. Kebijakan alternatif yang cenderung mendukung adanya

persaingan yang sehat justru sering diabaikan dan tidak diterapkan.

Page 29: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

27

Kedua, terlihat belum adanya penetapan prioritas terhadap isu yang perlu

dikedepankan dalam penerapan prinsip-prinsip persaingan. Prioritas hendaknya

diberikan pada isu-isu yang dapat menjamin terjadinya persaingan menurut prinsip

contestability. Isu-isu ini sangat berkaitan dengan, misalnya kendala untuk memasuki

pasar, mekanisme persaingan di sektor-sektor yang didominasi oleh perusahaan besar

atau BUMN, dan lain sebagainya. Walaupun tidak semuanya, banyak respon dari KPPU

terkesan masih terlihat reaktif dan terbatas pada isu-isu persaingan yang dibawa oleh

kasus-kasus yang diadukan ke KPPU ataupun isu-isu perekonomian nasional. Hal ini

terlihat, misalnya, dalam dugaan adanya kartel distribusi beberapa bahan makanan

pokok seperti bawang putih dan daging sapi, dimana investigasi dilakukan setelah

adanya lonjakan harga yang tidak wajar dan sulitnya menurunkan harga tersebut

walaupun respon kebijakan yang bertujuan untuk menurunkan harga langsung

dikenakan. Merujuk pada beberapa pengalaman negara lain (lihat Bab 3), selayaknya

pemerintah dan KPPU menetapkan prioritas pengarusutamaan pada beberapa isu yang

dianggap penting untuk segera ditangani.

Ketiga, belum terjadinya partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan dalam

proses pembuatan kebijakan. Dalam implementasinya, KPPU masih sering tidak

diikutsertakan dalam proses pembuatan kebijakan, demikian pula dengan kelompok

yang mewakili konsumen.5

Keempat, adanya tujuan hukum persaingan yang lebih dari satu (multiple objectives)

dapat menyulitkan KPPU dalam menentukan prioritas pencapaian tujuan. Seperti yang

dikemukakan oleh Pasal 3 UU. No. 5/1999, kebijakan persaingan di Indonesia ditujukan

untuk menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi perekonomian nasional,

menciptakan iklim usaha kondusif yang dapat menjamin kesempatan berusaha bagi

usaha kecil, menengah, dan besar, mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha

yang tidak sehat, dan menciptakan efektifitas dan efisiensi usaha (Maarif 2004; OECD

2010).6 Tujuan ganda (multiple objectives) menyebabkan adanya satu atau dua tujuan

5 Sebagai contoh, KPPU tidak diundang dalam berbagai proses konsultasi terkait perubahan daftar negatif investasi. 6 Multiple objectives sebenarnya juga didapati pada kebijakan persaingan di beberapa negara lainnya. Seperti misalnya yang diterapkan oleh hukum persaingan di negara Afrika Selatan, dimana (i) penciptaan lapangan kerja dan (ii) penjaminan usaha skala kecil dan menengah untuk mendapatkan kesempatan berusaha yang sama (dengan usaha skala besar) adalah bagian dari cakupan tujuan hukum persaingan di negara ini (Roberts 2004).

Page 30: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

28

yang harus dikesampingkan/dikorbankan demi pencapaian tujuan lainnya. Dengan kata

lain, terdapat trade off dari adanya tujuan yang lebih dari satu ini. Adanya trade off ini

juga dapat mengirimkan signal ketidakpastian kepada para pelaku usaha.

Trade off yang paling jelas dapat terjadi ketika pencapaian efisiensi harus disesuaikan

dengan jaminan pemberian kesempatan usaha bagi kelompok usaha kecil, menengah,

dan besar. Situasi ini terjadi misalnya pada kasus Indomaret, dimana pedagang retail

tradisional – yang pada umumnya berskala kecil – mengadukan Indomaret ke KPPU

karena keberlangsungan usahanya terancam kemudian dimenangkan tuntutannya oleh

KPPU. Menurut investigasi yang dilakukan oleh KPPU, keberadaan retail moderen

seperti Indomaret terbukti meningkatkan efisiensi kinerja perekonomian secara umum,

yang ditunjukkan salah satunya dengan lebih murahnya harga barang yang diterima

konsumen dengan adanya retail moderen.7 Namun demikian, menurut putusan KPPU,

pihak Indomaret kurang memperhatikan prinsip keseimbangan dalam pengertian asas

demokrasi ekonomi yang dianut oleh UU No. 5/1999 (Pasal 2). Walapun putusan KPPU

secara eksplisit tidak mengatakan bahwa pihak Indomaret melanggar Pasal 3 (pasal

tentang tujuan), bagian lain dari putusan tersebut konsisten dengan penjaminan

kesempatan berusaha – dalam kasus ini adalah pengusaha kecil – yang merupakan

kondisi yang dikaitkan dengan tujuan penciptaan iklim usaha yang kondusif (Pasal 3

huruf (b)).

Keberadaan multiple objectives merupakan wujud dari semangat perlindungan sosial.

Dalam konteks ini, yang penting untuk dikedepankan oleh KPPU adalah prinsip dimana

pencapaian tujuan sosial dapat dilakukan tetapi tanpa harus mengorbankan prinsip-

prinsip dasar persaingan. Pada dasarnya, penerapan prinsip-prinsip tersebut konsisten

dengan tujuan sosial yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan. Ini seperti yang

dijelaskan pada Bab 2 dimana persaingan yang sehat pada akhirnya akan menghasilkan

efisiensi alokasi yang optimal.

Peran KPPU dalam Memberikan Saran Kebijakan

Di dalam pasal 35 UU No.5/1999 tertera bahwa KPPU bertugas untuk memberikan

saran dan pertimbangan kepada pemerintah terkait indikasi praktik monopoli dan

persaingan tidak sehat. Namun UU No. 5 tidak mengatur mekanisme penyampaian

7 Lihat Putusan KPPU No. 03/KPPU-L-I/2000.

Page 31: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

29

saran dan pertimbangan ini ke Pemerintah/DPR maupun tangggung jawab

Pemerintah/DPR untuk menanggapi saran tersebut. Dalam praktiknya, ada beberapa

mekanisme terkait peran KPPU dalam memberikan saran kepada pemerintah maupun

legislatif. Pertama, KPPU dapat berinisiatif memberikan saran kepada pemerintah,

dalam hal ini kementerian atau lembaga, terkait rancangan UU. Selain itu, Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian juga dapat mengundang KPPU untuk memberikan

pertimbangan. Legislatif pun juga dapat meminta saran dari KPPU dalam hal

rekomendasi dalam rancangan UU. Grafik di bawah menerangkan tentang jumlah

rekomendasi KPPU kepada pemerintah (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Jumlah Rekomendasi KPPU kepada Pemerintah (2001-2012)

Sumber: Laporan Tahunan KPPU 2012.

Namun, saran-saran yang diberikan KPPU tidak mengikat sehingga mudah sekali untuk

tidak diikuti oleh lembaga atau kementerian yang diberikan saran. Saran yang diberikan

biasanya akan diikuti oleh lembaga atau kementerian jika saran yang diberikan

konsisten atau mendukung tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang dibuat oleh

lembaga atau kementerian tersebut.

Beberapa kalangan menganggap bahwa tidak mengikatnya saran KPPU ini disebabkan

karena kurang kuatnya kewenangan yang dimiliki KPPU dibandingkan dengan

kewenangan institusi lainnya yang kurang lebih setingkat, seperti KPK (Komis

Page 32: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

30

Pemberantasan Korupsi) ataupun BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).8 Mengacu pada

UU No. 5/1999, dapat dikatakan bahwa sebenarnya kewenangan yang dimiliki KPPU

sudah cukup kuat, karena Pasal 35 dari undang-undang tersebut menugaskan KPPU

untuk memberikan saran dan pertimbangan. Dengan demikian anggapan diatas muncul

lebih karena adanya beberapa kekurangan atau ketidaksempurnaan yang terkait

dengan kerangka institusi KPPU itu sendiri, seperti misalnya kedudukan ketua

komisioner KPPU yang belum setara dengan posisi menteri di kabinet. Adanya

ketidaksempurnaan dalam kerangka institusi inilah yang kemudian dapat

menyebabkan kurang mengikatnya saran-saran yang diberikan oleh KPPU.

Kurang mengikatnya saran KPPU juga dapat disebabkan karena masih kurangnya

pemahaman aplikasi berbagai teori ekonomi dalam undang-undang persaingan di

kalangan praktisi dan penegak hukum. Hal ini utamanya terkait dengan pendekatan rule

of reason yang diterapkan dalam beberapa pasal di undang-undang persaingan untuk

mengevaluasi perilaku yang bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan.

Kurangnya pemahaman ini menyebabkan terciptanya ruang yang terlalu besar bagi

multi interpretasi hasil investigasi yang pada akhirnya justru dapat menghasilkan

keluaran yang bertentangan dengan putusan KPPU.

Walaupun terdapat kekurangan dalam efektifitas mekanisme pemberian saran yang

dilakukan oleh KPPU, tingkat pengadopsian saran tergolong tinggi. Seperti yang

disebutkan pada Laporan Tahun KPPU Tahun 2012 (KPPU 2012, halaman 30), 78% dari

saran KPPU ditanggapi secara positif oleh pemerintah dengan, (i) Membuat kebijakan

sesuai dengan saran KPPU, (ii) menunda diberlakukannya kebijakan, dan (iii) mencabut

kebijakan karena tidak sesuai dengan prinsip persaingan yang sehat menurut KPPU.

Dalam laporan UNCTAD (2009) disebutkan bahwa mayoritas permasalahan persaingan

di Indonesia diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Hal ini merupakan warisan dari

era orde baru yang melahirkan perusahaan-perusahaan yang memonopoli sektor-

sektor penting di Indonesia seperti BPPC dan Bogasari pada waktu itu. Selain itu,

banyak peraturan pemerintah daerah sebagai akibat dari desentralisasi juga

menimbulkan masalah dari sisi persaingan.

8 Lemahnya posisi KPPU secara struktural dicerminkan, misalnya, dengan tidak didefinisikannya ketua dan wakil ketua KPPU sebagai pejabat negara menurut Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) (UU No. 5/2014, Pasal 122). Ini berbeda halnya dengan KPK dan BPK, dimana ketua dan wakil ketua KPK serta ketua, wakil ketua dan anggota BPK didefinisikan oleh undang-undang ASN sebagai pejabat negara.

Page 33: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

31

Sebagai contoh adalah adanya dugaan monopoli taksi di beberapa bandara di Indonesia.

Sebagai kewenangan pemerintah daerah setempat, taksi selain operator taksi bandara

yang ditunjuk tidak diperkenankan untuk mengambil penumpang di bandara.

Khususnya di Bandara Ngurah Rai Bali, misalnya, pengelola taksi bandara tidak

memperbolehkan operator taksi lain beroperasi disana untuk alasan efisiensi. Hal ini

bertentangan dengan surat keputusan yang dikeluarkan oleh PT Angkasa Pura pada

tahun 2008 yang tidak memperbolehkan monopoli pada jasa taksi di bandara

(www.kppod.org). Contoh lainnya adalah penciptaan biaya-biaya baru berupa

pungutan, retribusi, atau biaya ijin yang berkaitan dengan transportasi barang antar

daerah dan pergudangan. Thébault-Weiser (2008) misalnya mendapatkan bahwa dalam

ijin untuk melakukan kegiatan bongkar-dan-muat barang di beberapa daerah ternyata

tidak fleksibel dan berlaku hanya dalam waktu singkat.

Dua contoh diatas menunjukkan bahwa pemerintah daerah kurang memahami prinsip

persaingan yang berdampak pada tidak efisiennya kinerja perekonomian daerah. Hal ini

menunjukkan bahwa pengarusutamaan kebijakan persaingan di daerah belum terjadi

dengan baik.

Page 34: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

32

5. Rekomendasi untuk Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan di Indonesia

Bab ini menjabarkan beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan

pengarusutamaan kebijakan persaingan di Indonesia, mengacu pada berbagai

tantangan dan kesempatan yang ada seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.9

1. Menciptakan mekanisme kelembagaan untuk meningkatkan derajat

kewenangan institusi yang berperan dalam implementasi kebijakan

persaingan

(i) Amandemen UU No. 5/1999

Dalam jangka menengah dan panjang, amandemen UU No. 5/1999 perlu dilakukan

untuk meningkatkan kewenangan KPPU dalam proses pengarusutamaan kebijakan

persaingan. Dua hal terkait perlu dicantumkan dengan jelas, yaitu, pertama, pentingnya

memasukan prinsip-prinsip persaingan dalam kebijakan pemerintah dan peran serta

mekanisme yang melibatkan KPPU dalam proses pembuatan kebijakan.

Kedua hal ini juga berarti bahwa amandemen UU No. 5/1999 harus mampu

meningkatkan kewenangan KPPU dalam menjalankan amanat undang-undang

persaingan usaha. Peningkatan kewenangan KPPU akan sangat berguna untuk

meningkatkan efektifitas implementasi dari saran-saran yang diberikan KPPU terhadap

lembaga dan kementerian. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, saran-saran yang

diberikan oleh KPPU tidak mengikat sehingga proses pengarusutamaan prinsip

persaingan kemudian menjadi tidak efektif.

Walaupun saat ini amandemen UU No. 5/1999 telah masuk dalam prolegnas 2014,

namun mengingat amandemen undang-undang dapat memakan waktu yang lama, maka

9 Rekomendasi-rekomendasi tersebut akan terus dikembangkan dan/atau direvisi berdasarkan komentar dan informasi lain yang akan didapat. Rekomendasi akhir/final akan dipaparkan di dalam laporan akhir studi ini.

Page 35: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

33

dalam jangka pendek, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah dan KPPU

terkait pengarusutamaan kebijakan persaingan, yaitu:

(ii) Mengintegrasikan kebijakan persaingan dengan rencana

pembangunan nasional

Kebijakan persaingan sebenarnya telah diintegrasikan ke dalam rencana nasional, baik

RPJP maupun RPJM. Namun, cakupannya masih terbatas pada sektor perdagangan,

terutama perdagangan dalam negeri. Seperti yang diulas sebelumnya, cakupan ini

dirasa masih terlalu sempit, mengingat kebijakan persaingan mendasari segala kegiatan

ekonomi yang ada. Selain itu, kebijakan persaingan didalam RPJPN dan RPJMN masih

dinyatakan dengan sangat umum, tanpa adanya penjabaran yang lebih rinci tentang

prinsip-prinsip persaingan.

Dengan demikian, adalah penting untuk memperluas dan memperdalam integrasi

prinsip-prinsip persaingan ke dalam perencanaan pembangunan nasional. Strategi ini

diharapkan mampu ‘mengunci’ pengintegrasian prinsip-prinsip persaingan ke dalam

kebijakan kementerian dan lembaga dengan baik dan efisien.

Pengintegrasian kebijakan persaingan dapat dilakukan secara bertahap dalam

mekanisme RPJMN. Dalam tahapan ini, pengintegrasian pada awalnya dapat difokuskan

pada bidang perdagangan dan investasi, pemberdayaan UKM, dan kebijakan yang

terkait dengan BUMN. Fokus pada bidang-bidang ini dapat diletakkan secara

konsisten dalam draft RPJMN 2015-2019, dimana penerapan prinsip-prinsip

persaingan secara tidak langsung juga diarahkan untuk mendukung industrialisasi yang

berkelanjutan (lihat Gambar 5.1).

Pengintegrasian kebijakan persaingan tidak dapat diatur secara mendetail dalam

RPJMN. Oleh karena itu, sebagai langkah selanjutnya, perlu dikeluarkan landasan

hukum lain, seperti peraturan pemerintah atau keputusan presiden, yang dapat

mengoperasionalisasikan pengintegrasion ini. Adanya landasan hukum lainnya ini juga

berarti mengoperasionalisasikan mandat yang diberikan oleh Pasal 35 UU No. 35/1999.

Dengan demikian, prinsip persaingan dapat diterapkan oleh lembaga dan kementerian

dalam membuat kebijakan. Dalam implementasinya, pedoman untuk pengarusutamaan

juga perlu diadakan, untuk menjamin kesamaan persepsi tentang prinsip-prinsip

Page 36: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

34

pengarusutamaan yang selayaknya diterapkan pada seluruh lembaga dan kementerian

yang ada.

Gambar 5.1. Kebijakan Persaingan dalam Kerangka Pertumbuhan Ekonomi

Nasional, draft RPJMN 2015-2019

(iii)

2. Mengenalkan dan menerapkan proses tinjauan regulasi (regulatory review)

Pada praktiknya di Indonesia saat ini masih sering terjadi ketidaksesuaian antara

regulasi yang ada dengan prinsip persaingan yang berorientasi pada efisiensi dan

contestability. Implementasi kebijakan kemudian dapat menjadi tidak efektif atau tidak

tercapai tujuannya karena adanya ketidaksesuaian ini. Mekanisme untuk mengurangi

atau menghilangkan ketidaksesuaian tersebut dapat dilakukan melalui proses tinjauan

regulasi yang hasilnya kemudian dapat digunakan untuk menyempurnakan regulasi

tersebut. Hasil yang ingin dicapai adalah regulasi yang pada akhirnya konsisten dengan,

dan mengacu pada, penerapan prinsip-prinsip persaingan.

Page 37: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

35

Dengan demikian, rekomendasi studi ini adalah membentuk unit tinjau kebijakan

(policy review unit) melalui Peraturan Presiden. Unit ini bertugas melakukan evaluasi

terhadap rancangan kebijakan pemerintah, baik yang sudah diimplementasikan

maupun yang sedang dalam proses perencanaan. Sementara itu, KPPU sebagai institusi

yang memiliki kewenangan untuk mengawasi persaingan dan memberikan saran

kepada pemerintah, menjalankan perannya sebagai mitra pemerintah dengan

memberikan input kepada unit tersebut. Studi ini menyarankan agar unit ini sebaiknya

berada di bawah Kementerian PPN/Bappenas, dengan kepala unit setidaknya

setingkat eselon satu.

Rekomendasi ini sebenarnya tidak begitu berbeda dengan rekomendasi OECD yang

menempatkan Kantor Menteri Koordinator bidang Perekonomian (Menko

Perekonomian) sebagai koordinator dalam tinjauan kebijakan (lihat Lampiran 2).

Persamaan usulan studi ini terletak pada diposisikannya KPPU sebagai mitra dari unit

yang melakukan proses tinjauan regulasi. Perbedaannya terletak pada mitra institusi;

dalam rekomendasi OECD, yang diusulkan untuk menjadi mitra adalah Kantor Menko

Perekonomian sedangkan dalam rekomendasi studi ini, yang diusulkan menjadi mitra

adalah Kementerian PPN/Bappenas.

Usulan Kementerian PPN/Bappenas sebagai mitra KPPU didasari dengan pertimbangan

bahwa Kementerian ini adalah kementerian yang bertanggung jawab untuk menyusun

rencana pembangunan nasional; dengan demikian, kementerian ini diyakini memiliki

kapasitas pengkajian kebijakan yang kuat dan memadai, sehingga kinerja unit ini

diharapkan akan lebih efektif bila ditempatkan di Kementerian PPN/Bappenas.

3. Memprioritaskan agenda pengarusutamaan kebijakan persaingan

Salah satu strategi yang efektif dalam rangka pengarusutamaan prinsip persaingan

adalah dengan menentukan prioritas untuk tema atau agenda persaingan yang hendak

dikedepankan. Belajar dari pengalaman negara lain, strategi ini akan memberikan

komitmen politik kelembagaan yang lebih besar termasuk di dalamnya komitmen untuk

mengalokasikan sumberdaya.

Agenda pengarusutamaan di Indonesia dapat difokuskan pada peningkatan daya saing

sektor jasa. Penerapan prinsip-prinsip persaingan di sektor jasa banyak berhubungan

Page 38: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

36

dengan reformasi berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah. Selain itu,

menghasilkan kinerja sektor jasa yang efisien sangat diperlukan mengingat output

sektor jasa sangat berperan sebagai input dalam kegiatan produksi lainnya.

Prioritas kedua mungkin dapat diberikan kepada agenda untuk menghilangkan

hambatan-hambatan yang terjadi akibat regulasi, termasuk hambatan-hambatan non-

tarif perdagangan. Ini diperlukan untuk menurunkan transaction costs yang terjadi dari

tidak konsistennya berbagai regulasi yang ada dengan prinsip persaingan. Dengan kata

lain, penghilangan hambatan-hambatan yang bersumber dari regulasi ini akan

meningkatkan efisiensi kegiatan perekonomian dan kesejahteraan (welfare gain),

termasuk peningkatan kesejahteraan konsumen. Penting untuk dicatat bahwa

penurunan transaction costs akan sangat berarti bagi peningkatan daya saing Indonesia

dalam konteks perdagangan bebas; dalam era perdagangan bebas, barang-barang yang

diproduksi di Indonesia akan bersaing dengan barang-barang dari negara lain yang

efisiensi perekonomiannya mungkin sudah lebih tinggi daripada yang terjadi di

Indonesia.

4. Menindaklanjuti implementasi kebijakan persaingan dengan baik

Dikala prinsip kebijakan persaingan sudah diadopsi dengan sebagaimana semestinya

dalam suatu kebijakan, implementasi dari kebijakan tersebut seringkali masih belum

benar-benar efektif. Kendala yang sifatnya struktural masih sering menjadi

penghambat. Studi kasus reformasi kebijakan disektor penyedia jasa pelabuhan (lihat

Lampiran 1) mengilustrasikan masalah ini. Setelah undang-undang pelayaran yang baru

(UU No. 17/2008) disahkan oleh DPR enam tahun yang, implementasi beberapa klausa

undang-undang tersebut belum berjalan dengan baik, seperti yang terjadi dalam hal

pemisahan fungsi pengatur dan pengelola pelabuhan.

Seperti halnya rekomendasi sebelumnya yang mengedepankan penetapan prioritas isu

dalam pengarusutamaan, menindaklanjuti implementasi kebijakan juga akan

tergantung pada kerja sama antara KPPU dengan lembaga lain yang terkait termasuk

pemerintah daerah.

Page 39: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

37

5. Meningkatkan jangkauan dan partisipasi KPPU dalam proses kebijakan di

daerah

Indonesia menerapkan sistem desentralisasi pemerintahan dan kewenangan yang besar

diberikan kepada pemerintah lokal untuk membuat regulasi pada tingkat daerah.

Mengingat kewenangan yang sangat besar tetapi kurangnya pengalaman birokrasi,

sering sekali terjadi permasalahan persaingan di tingkat daerah. Pengarusutamaan

dengan demikian kurang efektif pada kebijakan-kebijakan di tingkat daerah. UNCTAD

(2009) menyebutkan kurangnya kapasitas pemerintah daerah dalam memfasilitasi

persaingan yang sehat. Laporan dari OECD Investment Policy Review juga menyebutkan

bahwa banyak pemerintah daerah yang membentuk perusahaan monopoli dan masih

beroperasi hingga saat ini

6. Meningkatkan kapasitas KPPU untuk meningkatkan kredibilitasnya dalam

menangani kasus-kasus persaingan

KPPU sebagai lembaga utama yang dapat berperan dalam pengarusutamaan, masih

terbatas dalam kapasitasnya untuk mencakup semua sektor dan isu dari persaingan.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, kurangnya dukungan sumber daya manusia

menyebabkan kurang kuatnya dukungan dari kesekretariatan KPPU yang seharusnya

memberikan banyak dukungan pada implementasi kebijakan persaingan. KPPU dengan

demikian sulit untuk, misalnya, melakukan kegiatan advokasi dan terlibat langsung

pada proses pembuatan kebijakan mengingat sektor yang dicakup sangat luas.

Dalam konteks peningkatan kapasitas kelembagaan ini, masih perlu untuk terus

diadakannya berbagai studi untuk meningkatkan pemahaman akan isu-isu persaingan

yang terjadi di Indonesia. Saat ini masih banyak yang belum diketahui tentang isu-isu

tersebut. Beberapa isu persaingan cenderung bersifat umum – artinya, banyak dan

keragaman isu sama dengan yang terjadi di negara lain. Namun demikian, banyak pula

aspek dari berbagai isu tersebut yang sifatnya khusus terjadi pada suatu negara saja,

tergantung dari karakteristik negara tersebut (atau ‘country-specific’ dalam jargon

literatur pada umumnya). Misalnya, isu-isu persaingan yang berkaitan dengan

kebijakan untuk UMKM di Indonesia masih belum banyak diketahui secara pasti sampai

saat ini.

Page 40: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

38

7. Memperluas cakupan sektor dan/atau isu persaingan dalam

pengarusutamaan kebijakan persaingan

Walaupun KPPU sampai saat ini telah menangani berbagai kasus penyalahgunaan

prakter persaingan, terdapat masih banyak regulasi dan kebijakan sektoral yang layak

untuk ditinjau dalam konteks penyempurnaan kebijakan. Misalnya, KPPU dapat

melakukan ini di sektor-sektor yang didominasi oleh BUMN dan/atau yang memberikan

layanan publik. Fokus juga dapat diarahkan ke kebijakan untuk UKM mengingat

peranan UKM yang penting dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia.

8. Mendorong partisipasi konsumen dalam proses pengarusutamaan kebijakan

persaingan

Dukungan kelompok konsumen yang mampu menjalankan fungsi monitoring publik

terhadap praktik persaingan masih sangat kurang di Indonesia. Belajar dari

pengalaman negara lain, terutama Australia, peningkatan awareness dan pengetahuan

masyarakat terbukti mampu untuk diperhatikannya aspek persaingan dalam kinerja

sebuah pasar atau sektor. Dalam implementasinya, partisipasi konsumen yang lebih

aktif ini didukung oleh analisis yang komprehensif mengenai dampak suatu kebijakan

terhadap kesejahteraan yang diterima konsumen (consumer welfare).

Page 41: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

39

Daftar Pustaka

Airline Leader, Indonesian growth skyrockets amids a highly fragmented market, Issue 20, http://www.airlineleader.com/regional-focus/indonesian-growth skyrockets-amidst-a-highly-fragmented-market Aswicahyono, H. and P. Kartika (2009), ‘Competition Policy in Indonesia: A Stock Take of Recent Development’, Report for Asian Development Bank Arnold, J., A. Matto, and G. Narciso (2008), ‘Services Input and Firm Productivity in Sub-Saharan Africa: Evidence from Firm-level Data’, Journal of International Economics, 17(4), pp. 578-99. Aswicahyono, Haryo dan Pratiwi Kartika (2009). Kebijakan Persaingan Usaha di Indonesia.

Analisis CSIS Vol. 41 No. 2, 2012: 248-264. CSIS (2013), ‘Towards Informed Regulatory Conversations And Improved Regulatory Regime In Indonesia: Logistics Sector And Trade Facilitation, ERIA Research Project 2012 Working Group’ “AEC Scorecard Phase III Project” (mimeo) CUTS (2000), Competition Regimes Around the World. Monographs on Investment and

Competition Policy No. 3. Jaipur: Consumer Unity and Trust Society. Damuri, Y.R. and T. Anas, Strategic Directions for ASEAN Airlines in A Globalizing World: The Emergence of Low Cost Carriers in South East Asia, REPSF Project No. 04/008 Deardorff, A. (2001), ‘International Provision of Trade Services, Trade, and Fragmentation’, Review of International Economics, 9(2), pp. 233-48. Dee, P. (2010), Institutions for Economic Reform in Asia. New York: Routledge. Dee, P(2012), ‘Services Liberalization: Impact and Way Forward’, ERIA Discussion Paper

Series, Jakarta: ERIA. Duggan, V., S. Rahardja and G. Varela (2013), ‘Service Sector Reform and Manufacturing: Evidence from Indonesia’, Policy Research Working Paper, No. 6349, Washington, DC: World Bank. Dutz, M. and M. Vagliasindi (2002), ‘Competition Policy Implementation in Transition Economies: An Empirical Assessment’, OECD CCNM/GF/COMP/WD(2002/13), Paris: Organization for Economic Cooperation and Development. Fernandes, A.M., and C. Paunov (2012), ‘Foreign Direct Investment in Services and Manufacturing Productivity’, Journal of Development Economics, 97(2), pp. 305-21.

Page 42: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

40

Gross, A. (2014), “Indonesian Pharmaceutical Market 2014 Update”, diunduh dari :/Health/Indonesian%20Pharmaceuticals%202014%20Update.htm Hoekman, B. (1998), ‘Competition Policy in the Context of Economy-wide Reform’. paper prepared for TIPS Annual Forum, Johannesberg, September. Iqbal, T. and O.W. Purbo (2008), ‘Geektivism’, in R. Samarajiva and A. Zainudeen (eds.), ICT Infrastructure in Emerging Asia: Policy and Regulatory Roadblocks. Sage Publication, pp.103-115. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2012). Laporan Tahun 2009-2012. Laffont, J. (1998), Competition, Information, and Development. Annual World Bank

Conference on Development Economics. Washington, DC: World Bank, 237-69. Lin, J. R., H. Chung, M. Hsieh, and S. Wu (2012), ‘The Determinants of Interest Margin and Their Effect on Bank Diversification: Evidence from Asian Banks’, Journal of Financial

Stability, 8, pp. 96-106. Maarif, S. (2004), ‘Competition Law in Indonesia: Experience to Be Taken for the Development of Competition Law in China’, Washington University Global Studies Law

Review, 3(2), pp. 333-46. Matto, A., R. Rathindran, and A. Subramanian (2006), ‘Measuring Services Trade Liberalization and Its Impact of Economic Growth: An Illustration’, Journal of Economic

Integration, 21(1), pp. 64-69. Mulyaningsih, T. dan A. Daly (2011), ‘Competitive Conditions in Banking Industry: An Empirical Analysis of the Consolidation, Competition and Concentration in the Indonesia Banking Industry between 2001 and 2009’, Buletin Ekonomi, Moneter, dan Perbankan

Indonesia, Oktober, pp. 151-85. OECD (1999), The Role of Competition Policy in Regulatory Reform: Japan. Paris: Organization for Economic Cooperation and Development. OECD (2000), The Role of Competition Policy in Regulatory Reform: Korea. Paris: Organization for Economic Cooperation and Development. OECD (2004), “Promoting SMEs for Development”, paper prepared for Promoting Entrepreneurship and Innovative SMEs in a Global Economy: Towards a more Responsible and Inclusive Globalization, Istanbul, 3-5 Juni 2004. OECD (2010), OECD Reviews of Regulatory Reform: Australia. Paris: Organization for Economic Cooperation and Development. OECD (2011), Competition Policy Toolkit, Volume II: Guidance. Paris: Organization for Economic Cooperation and Development. OECD (2012). OECD Reviews of Regulatory Reform Indonesia Competition Law and Policy.

Paris: Organization for Economic Cooperation and Development.

Page 43: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

41

OECD (2012), Competition in Hospital Services: The Policy Dimension. Paris: Organization for Economic Cooperation and Development.

OECD (2013) OECD Health Data: How Does Indonesia Compare with OECD Countries. Paris: Organization for Economic Cooperation and Development.

Otoritas Jasa Keuangan. (2013). PERASURANSIAN INDONESIA 2012. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan.

Patunru, A., Nurridzki, dan Rivayani (2008). ‘Port Competitiveness: A case study of Semarang and Surabaya, Indonesia, in Infrastructure’s Role in Lowering Asian’s Trade Costs’. Mimeo. Ray, D. (2009), ‘Indonesian Port Sector Reform and the 2008 Shipping Law’, in Cribb Robert and Ford Michele (eds), Indonesia Beyond the Water's Edge: Managing an

Archipelagic State, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Roberts, S. (2004), ‘The Role for Competition Policy in Economic Development: The South African Experience’, Working Paper 8-2004, TIPS. Rodriguez, A.E. and M. Williams (1998), ‘Recent Decisions by the Venezuelan and Peruvian Agencies: Lessons for the Export of Antitrust’, The Antitrust Bulletin, 43, pp.147-78. Rosengard, Jay K. dan A. Prasentyantoko (2011), ‘If the Banks are Doing So Well, Why Can’t I Get a Loan?: Regulatory Constraints to Financial Inclusion in Indonesia,’ Asian

Economic Policy Review, 6, pp. 273-96. Saraswati, B. and S. Hanaoka (2013), ‘Aviation Policy in Indonesia and its Relation to ASEAN Single Aviataion Market’, Proceedings of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol.9, 2013, http://easts.info/on-line/proceedings/vol9/PDF/P422.pdf Stevens, D. (1995), ‘Framing Competition Law within An Emerging Economy: the Case of Brazil’, The Antitrust Bulletin, 40(4), pp.929-71. Thébault-Weiser, E. (2008), ‘A Review of Select Policies of the Indonesia Ministry of Industry’, report submitted for SENADA, Indonesia Competitiveness Program (USAID). Thabrany, H. (2012) “Current Health Care System and the Future of HTA in Indonesia”, paper presented at ISPOR 5th Asia-Pacific Conference, Taipei, September 4th , 2012. Towers and Watson (2013). “Indonesia: The Future is Bright?”, www.towerswatson.com Trinugroho, Agus, Agusman Agusman, dan A. Tarazi (2014), ‘Why have bank interest margins been so high in Indonesia since the 1997/1998 financial crisis?’, Research in

International Business and Finance, 32, pp. 139-58. UNCTAD (2004), Competition, Competitiveness and Development: Lessons from

Developing Countries. Geneva: United Nations Conference on Trade and Investment. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Page 44: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

42

United Nation Committee on Trade and Development (UNCTAD) (2009). Voluntary Peer

Review on Competition Policy: Indonesia

Valetti, T. and A. Estache (1998), The Theory of Access Pricing: An Overview for

Infrastructure Regulators. Washington, DC: World Bank. World Bank, 2013, Logistic Performance Index. Washington, DC: World Bank.

Page 45: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

43

Lampiran 1: Beberapa Studi Kasus Persaingan di Indonesia

Lampiran ini memaparkan beberapa studi kasus yang dapat mencerminkan isu ataupun

dampak dari keberhasilan pengarusutamaan kebijakan persaingan, melalui paparan

tentang apa yang terjadi di kasus-kasus tersebut.

Studi Kasus 1: Industri jasa penerbangan, kasus suksesnya pengarusutamaan

Sebelum disahkannya UU No. 5/1999, industri penerbangan dikuasai oleh kartel

penerbangan. Harga tiket pesawat terbang berjadwal diatur oleh perusahaan

penerbangan melalui asosiasi penerbangan (Indonesian National Aviation Association,

INACA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan no 25 tahun 1997. Masa-

masa sebelum diberlakukan UU No. 5/1999 ditandai dengan harga tiket pesawat yang

tinggi.

Pasca pemberlakuan UU No. 5/1999, pemerintah mempermudah perizinan usaha

penerbangan, dengan terbitnya peraturan Menteri Perhubungan nomor 11/2011 yang

mengijinkan perusahaan penerbangan mendapatkan ijin usaha penerbangan berjadwal

dengan mengoperasikan hanya dua pesawat terbang. Pasca terbitnya peraturan ini,

jumlah perusahaan penerbangan berjadwal meningkat dari hanya 7 menjadi 27 pada

tahun 2004 (Saraswati and Hanaoka 2015).

Dua tahun setelah diberlakukannya UU No. 5/1999, seperti dilaporkan oleh Damuri dan

Anas (2004), KPPU memutuskan dalam Surat Keputusan No, 206/K/VII/2001,

tertanggal 30 Juli 2001 bahwa penetapan tarif besama melalui INACA adalah praktik

yang melanggar UU No. 5/1999, yaitu pasal 5 ayat 11. KPPU meminta Menteri

Perhubungan untuk mencabut peraturan yang memberikan kewenangan pada INACA

untuk menetap tarif bersama. Menteri Perhubungan mencabut Surat Keputusan

Menteri Perhubungan no 25 tahun 1997 dan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri

Perhubungan Nomor 9 Tahun 2002 mengenai penentuan tarif angkutan niaga

berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dimana pemerintah menetapkan tarif batas atas

Page 46: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

44

(ceilling price) dengan besaran rupiah sedang batasan bawah diserahkan kepada

masing-masing perusahaan penerbangan. Setelah pencabutan peraturan tersebut, harga

tiket pesawat terbang mengikuti mekanisme pasar dengan pemerintah menentukan

batas atas tarif.

Seperti dilaporkan oleh Damuri dan Anas (2004), harga tiket pesawat untuk rute yang

sama mengalami penurunan dan bervariasi pasca penetapan KPPU tersebut.

Perusahaan penerbangan yang melayani rute yang sama menerapkan harga tiket yang

berbeda. Gambar L1.1 memperlihatkan perbedaan harga tiket beberapa penerbangan

baru terhadap harga tiket pesawat terbang perusahaan incumbent saat itu, pasca

penghapusan peraturan Menteri tentang penetapan tarif bersama tersebut.

Gambar L1.1. Perbedaan Harga Tiket Beberapa Perusahaan Penerbangan Baru dengan Harga Tiket Perusahaan Lama

Strategic Directions for ASEAN Airlines in a Globalizing World: LCCs

12 REPSF Project 04/008: Final Report (Revised)

For example, airfares on the Jakarta–Surabaya route, a 1000 kilometre trip, fell to as low as US$20, compared to as high as US$90 prior to deregulation. With the entry of new airlines in domestic markets over recent years, price setting has become relatively competitive. Different airlines serving the same route frequently applied different prices, with new entrants usually offering substantially lower fares than incumbents (Figure 3).

It is interesting to note, however, that lately the full-service airlines have taken to releasing discount airfares on occasion. Despite this, trade analysts are convinced that conventional carriers cannot win the fare war, as fares cannot be reorganized without first reorganizing operations (Asiatime, 2004). As we previously suggested, the low-cost carriers’ model in ASEAN may differ according to local conditions, but these carriers still impose a significant competitive threat to the full-service carriers.

Figure 3: Indonesia, New Entrants vs. Incumbents, Price Differences (in Rp ‘000)

(700.00)

(600.00)

(500.00)

(400.00)

(300.00)

(200.00)

(100.00)

-

JT 7PLion Air

AWAIR

Adam Air

Source: Travel agent’s quotation

The most aggressive low-cost ASEAN airlines also began to serve the Indonesian market, with AirAsia in the vanguard followed by several others. Recently, Valuair entered the Indonesian market, offering a low-fare promotional rate of US$104 for the Jakarta–Singapore return trip—substantially lower than the already low fare offered by the Indonesian domestic carrier, Lion Air, who offered one way trips on the same route for US$114. Air Asia also made flying to Kuala Lumpur from Jakarta and other cities much cheaper, offering a direct return trip for less than US$100, compared to US$250 with a full-service airline.

The entry of new players increased competition in the domestic market. In an attempt to protect domestic airlines, the government recently closed four large and high-potential cities—Medan, Jakarta, Surabaya and Denpasar—to non-Indonesian budget airlines, having already closed Yogyakarta and Semarang. The Minister for Communication argued that protection was necessary because domestic airlines were not yet competitive with other budget airlines in ASEAN but gave no indication about how long the protection would be retained (Kompas daily, 23 March 2005).

2. More people travel

A consequence of the lower fares is that more people are travelling. Figure 4 illustrates the growth of passenger numbers in Indonesia, and the acceleration of this growth in 2004, but further work is required to isolate the effects of low-cost carriers’ entry from other economics variables affecting traffic growth.

Sumber: Damuri dan Anas (2004).

Dampak ikutan dari bertambahnya perusahaan penerbangan yang melayani

penerbangan berjadwal serta harga tiket pesawat terbang yang makin murah dan

bersaing adalah jumlah penumpang yang meningkat pesat. Seperti ditampilkan dalam

Gambar L1.2, jumlah penumpang pesawat terbang meningkat pesat sejak tahun 2000.

Krisis ekonomi global memang berdampak negatif terhadap industri penerbangan,

namun dampak tersebut bersifat sementara yang terlihat dengan peningkatan jumlah

penumpang pasca 2008. Indonesia merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan

permintaan jasa penerbangan yang tinggi di dunia (Airline Leader 2014).

Page 47: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

45

Gambar L1.2 Penumpang Pesawat Terbang: jumlah (juta orang) dan tingkat pertumbuhan (%)

Sumber: CEIC.

Studi Kasus 2: Industri jasa pelabuhan, kasus sulitnya implementasi pengarusutamaan

Bila deregulasi industri penerbangan berhasil menghapus monopoli dan kartel

penetapan harga dalam industri tersebut dalam waktu yang relatif singkat, tidak

demikian halnya dengan sektor pelabuhan. Pemerintah, dengan disahkannya Undang-

Undang Pelayaran yang baru pada tahun 2008 (UU No. 17/2008), berusaha untuk

memasukan aspek persaingan dalam usaha penyediaan jasa kepelabuhan; namun

sampai saat ini belum terlihat perubahan yang signifikan dalam pengelolaan pelabuhan

di Indonesia.

Pada masa lalu, sebelum diberlakukannya UU No. 17/2008, pelabuhan dikelola oleh

Pemerintah yang sesuai dengan UU No. 21/1992 tentang pelayaran. Berdasarkan UU

No. 21/1992, pemerintah bertindak sebagai regulator dan sekaligus sebagai operator

pelabuhan. Pemerintah membentuk beberapa perusahaan negara (BUMN) untuk

mengelola pelabuhan-pelabuhan komersial, yaitu Pelindo I, II, III dan IV, dengan

pembagian wilayah kerja seperti ditunjukan dalam Tabel L1.1.

Page 48: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

46

Tabel L1.1. Pengelola Pelabuhan Komersial di Indonesia

Perusahaan

Pelabuhan

Cakupan Wilayah Kerja

(Provinsi)

Pelabuhan yang Dikelola

Pelindo I Aceh, Sumatera Utara, Riau

Belawan, Pekanbaru, Dumai,

Tanjung Pinang, Lhokseumawe

Pelindo II

Sumatera Barat, Jambi,

Sumatera Selatan, Bengkulu,

Lampung, DKI Jakarta

Tanjung Priok, Panjang,

Palembang, Teluk Bayur,

Pontianak, Cirebon, Jambi,

Bengkulu, Banten, Pangkal

Balam, Tanjung Pandan

Pelindo III

Kalimantan Tengah, Kalimantan

Selatan, Nusa Tenggara Barat,

Nusa Tenggara Timur

Tanjung Perak, Tanjung Emas,

Barjarmasin, Benoa,

Tenau/Kupang

Pelindo IV

Sulawesi (Bagian Selatan,

Tenggara, Tengah dan Utara),

Maluku, Irian Jaya

Makassar, Balikpapan,

Samarinda, Bitung, Ambon,

Sorong, Biak, Jayapura

Sumber: Ray (2009)

Dengan diberlakukannya UU No. 17/2008, maka Indonesia secara hukum melakukan

perubahan rejim pengelolaan pelabuhan. Tabel 4.2 memberikan gambaran singkat

mengenai perbedaan UU 21 No. /1992 dan UU No. 17/2008, yang mencakup kontrol

terhadap pelabuhan dan pelayaran, pengelolaan pelabuhan, usaha penunjang

pelabuhan, tarif dan rencana induk.

Kontrol atas usaha pelayaran dan pengelolaan pelabuhan

UU No. 21/1992 menyatakan bahwa, pelayaran, termasuk pengelolaan pelabuhan di

dalamnya, dikuasai oleh negara; dan untuk pengelolaan pelabuhan komersial,

pemerintah membentuk BUMN. Dengan demikian, Pelindo adalah satu-satunya

pengelola pelabuhan di Indonesia. Dalam praktiknya, Pelindo melakukan kerja sama

dan usaha patungan dengan swasta asing, seperti dalam pengelolaan sebagian

pelabuhan Tanjung Priok, pengeloaan sebagian pelabuhan Belawan dan Tanjung Perak.

Berdasarkan UU No. 17/2008, peran pemerintah hanya sebagai pengatur (regulator)

yang menetapkan kebijakan terkait pelayaran termasuk pelabuhan dan pemilik

Page 49: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

47

pelabuhan, sementara pengelolaan pelabuhan dapat dilakukan oleh pelaku usaha

swasta atau BUMN, termasuk di dalamnya usaha patungan dengan perusahaan asing

(lihat Tabel L1.2).10

10 Swasta domestik maupun asing yang berpatungan dengan BUMN atau swasta domestik dengan komposisi kepemilikan asing tidak lebih dari 49 persen.

Page 50: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

48

Tabel L1.2. Perubahan Aturan Pengelolaan Pelabuhan

UU No. 21/1992 UU No. 17 /2008

Pengendalian Pelayaran dikendalikan oleh

pemerintah

Pemerintah bertindak sebagai

regulator, pihak swasta diijinkan

menjadi operator pelabuhan

Pengelolaan

Pelabuhan

Pengelolaan pelabuhan merupakan

pelayanan bersama antara instansi

pemerintah terkait.

Pemerintah bertugas sebagai

operator pelabuhan umum. Untuk

melaksanakan tugasnya sebagai

operator, pemerintah dapat

menunjuk badan usaha milik negara

yang didirikan untuk tujuan bisnis

Keselamatan: pengelola

pelabuhan

Fungsi regulasi pengelolaan

pelabuhan: Otoritas pelabuhan

untuk pelabuhan komersil atau

unit pengelola pelabuhan non-

komersil (pemerintah pusat atau

pemerintah daerah)

Fungsi Bisnis: BUMN atau

perusahaan swasta dalam negeri

Aktivitas penunjang

bisnis pelabuhan

Penyedia: Badan hukum atau warga

negara Indonesia Swasta dan asing diijinkan

Tarif

Pemerintah menentukan jenis,

struktur dan klasifikasi tarif layanan

pelabuhan

Pemerintah tetap menentukan

tarif namun memberikan

kebebasan dalam hal tertentu

kepada operator

Master Plan Tidak tersedia

Kementerian menyusun Master

Plan Pelabuhan untuk jangka

waktu 20 tahun dan dievaluasi

setiap 5 tahun.

UU 17/2008 mensyaratkan pembentukan otoritas pelabuhan pada pelabuhan-

pelabuhan komersial dan unit penyelenggaraan pelabuhan di pelabuhan-pelabuhan

kecil. Otoritas pelabuhan dan unit penyelenggaraan pelabuhan ini merupakan

perpanjangan tangan pemerintah untuk memberikan (melelang) konsesi pengelolaan

pelabuhan kepada operator. Pada prinsipnya, otoritas pelabuhan dan unit

penyelenggara pelabuhan adalah wakil pemerintah yang bertindak sebagai pemilik

pelabuhan.

Usaha Penunjang Pelabuhan

Page 51: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

49

Berdasarkan UU No. 21/1992, usaha penunjang pelabuhan hanya dapat dilakukan oleh

badan usaha Indonesia atau orang perseorangan, sedangkan UU No. 17/2008

membolehkan swasta dan asing untuk memberikan jasa penunjang pelabuhan.

Penetapan Harga

Berdasarkan UU No. 21/1992, pemerintah menetapkan harga, struktur biaya dan

klasifikasi harga jasa pelabuhan. Sedangkan dalam UU No. 17/2008, harga jasa

pelayanan pelabuhan ditentukan oleh pemberi jasa berdasarkan formula yang

ditetapkan oleh pemerintah, setelah mengkomunikasikannya kepada pengguna jasa

dengan difasilitasi oleh Otoritas Pelabuhan. Kenaikan harga tidak dapat dilakukan bila

pengguna jasa berkeberatan dan Menteri Perhubungan tidak mengesahkan kenaikan

harga tersebut.

Kendala Implementasi UU No. 17/2008

Enam tahun setelah UU17/2008 disahkan oleh DPR, implementasi dari klausa-klausa

penting dari UU tersebut tidak berjalan dengan baik. Misalkan untuk kasus pemisahan

fungsi pengatur dan pengelola belum berjalan lancar. Walaupun pemerintah telah

membentuk otoritas pelabuhan di pelabuhan-pelabuhan komersial besar, namun

Otoritas Pelabuhan belum sepenuhnya menjadi menjadi pemilik pelabuhan (landlord)

dan pemberi konsesi dikarenakan secara de facto pada saat UU No. 17/2008 disahkan,

seluruh pelabuhan komersial sudah berada di bawah kendali Pelindo selama puluhan

tahun, sehingga dalam pelaksanaannya pemisahan fungsi ini tidak berjalan lancar.

Diperlukan penghitungan aset Pelindo untuk menentukan besarnya aset dan investasi

yang dimiliki oleh Pelindo yang harus dikeluarkan dari nilai konsesi yang diserahkan

Otoritas Pelabuhan kepada Pelindo dengan berlakunya Undang Undang yang baru.

Namun, tahapan ini sulit dilakukan karena Otoritas Pelabuhan belum dilengkapi dengan

sumber daya manusia dan sumber daya finansial yang memungkinkan Otoritas

melakukan penghitungan tersebut.

Dalam penetapan harga pelayanan pelabuhan yang disebut dengan Terminal Handling

Charge (THC), persyaratan yang ditentukan oleh UU No. 17/2008 belum sepenuhnya di

implementasikan. Hasil penelitian CSIS (2013) menunjukan bahwa penetapan tarif

masih mengikuti prosedur lama. Namun demikian, pihak Kementerian Perhubungan

Page 52: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

50

menyatakan bahwa aturan mengenai penetapan harga sedang direvisi mengikuti

persyaratan UU No. 17/2008. Lambatnya revisi aturan pelaksana menunjukan bahwa

dalam tataran pelaksanaan kesulitan untuk mendobrak monopoli adalah nyata.

Akselerasi pelaksanaan aturan, dalam hal ini undang-undang pelayaran yang baru

memerlukan partisipasi aktif pemangku kepentingan.

Page 53: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

51

Studi Kasus 3: Undang-undang perdagangan dan investasi yang baru, kasus tantangan bagi process pengarusutamaan

Awal tahun 2014 ditandai dengan keluarnya dua undang-undang baru yang mengatur

perindustrian dan perdagangan, yaitu UU No. 3/2014 tentang Perindustrian dan UU No.

7/2014 tentang Perdagangan. Pelaksanaan kedua undang-undang tersebut

memerlukan beberapa peraturan pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden dan Keputusan Menteri. UU No. 7/2014 memerlukan 9 Peraturan Pemerintah,

14 Peraturan Presiden dan 20 Keputusan Menteri (Setkab, 17/2/2014).11

Kedua Undang Undang baru ini memberikan ruang bagi perlindungan dan bantuan

untuk pelaku usaha dalam negeri. Undang-Undang Perdagangan memberikan ruang

kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada produsen domestik

terhadap persaingan impor. Disamping itu, pemerintah juga dapat membatasi ekspor

bilamana pasar domestik mengalami kekurangan. Terkait kebutuhan pokok,

pemerintah, baik pusat maupun daerah akan mengontrol ketersediaan barang di dalam

negeri. Undang Undang Perindustrian juga memberikan ruang bagi perlindungan dan

bantuan untuk pelaku usaha dalam negeri. Undang_Undang Perindustrian memberikan

perlindungan kepada industri strategis dan perlindungan serta dukungan terhadap

pelaku usaha dalam rangka membangun industri dengan nilai tambah. Pemerintah juga

dapat membatasi ekspor bahan mentah untuk keperluan dalam negeri.

Kekhawatiran atas terbitnya kedua Undang- Undang ini adalah pemberian

perlindungan kepada pelaku usaha tertentu, yang mana bertentangan dengan prinsip

persaingan yang sehat dalam UU No. 5/1999. Mengingat rentannya aturan pelaksana

kedua Undang Undang tersebut terhadap pemberiaan perlindungan pada pelaku usaha

tertentu, maka KPPU perlu memberikan masukan dan arahan dalam pembuatan aturan

pelaksana kedua Undang-Undang tersebut, sesuai tugas KPPU seperti tercantum dalam

pasal 35 (e). Idealnya, kebijakan yang baik memastikan adanya persaingan. Bilamana

persaingan tidak dapat terjadi, maka diperlukan kebijakan yang baik yang dapat

memastikan tidak ada posisi dominan ataupun abuse of market power.

11 http://setkab.go.id/berita-12123-pemerintah-siapkan-9-pp-14-perpres-dan-20-permen-untuk-laksanakan-uu-perdagangan.html

Page 54: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

52

Undang Undang Perdagangan misalnya memberikan kekuasaan yang besar kepada

Menteri Perdagangan untuk membuat peraturan yang membatasi kegiatan

perdagangan, baik dalam negeri maupun perdagangan internasional. Idealnya, KPPU

memberikan saran agar peraturan-peraturan pembatasan tersebut dibuat secara

transparan dan akuntabel. Transparansi sangat diperlukan mengingat pembatasan

perdagangan dengan menggunakan perizinan dan kuota adalah metode yang paling

tidak efisien. Kalaupun diterapkan, kuota dan perizinan seharusnya diterapkan melalui

tender (competitive bidding) bukan berdasarkan keputusan diskresioner.

Demikian juga dengan undang-undang perindustrian, idealnya KPPU memberikan saran

dan acuan pembuatan peraturan pelaksana Undang-Undang tersebut dengan

memasukan prinsip-prinsip persaingan sehingga industri yang efisien dapat terwujud.

Page 55: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

53

Lampiran 2: Rekomendasi OECD untuk Keterkaitan antara KPPU dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Dalam OECD Reviews of Regulatory Reform (OECD 2012, halaman 12-13), OECD

mengajukan beberapa pilihan keterkaitan antara KPPU dengan Kementerian

Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko).

Pada pilihan pertama, Kemenko akan diikutsertakan sebagai institusi yang memberikan

pemberitahuan kepada KPPU untuk setiap rancangan undang-undang. Hal ini akan

memberikan KPPU kesempatan untuk menilai isu-isu signifikan terkait persaingan yang

perlu didiskusikan, kemungkinan dapat berupa konsultasi dengan Kementerian terkait.

Pemberitahuan tersebut secara ideal dilakukan pada saat naskah akademis mulai

dibuat sehingga KPPU dapat memberikan saran dalam perumusan rancangan undang-

undang sejak awal.

Adapun variasi dari pilihan ini adalah pemberitahuan oleh Kemenko kepada KPPU

hanya dilakukan pada rancangan peraturan yang langsung terkait dengan bisnis dan

konsumen. Hal ini berarti peraturan yang terkait dengan kebijakan sosial atau

pertahanan negara tidak memerlukan saran/rekomendasi dari KPPU. Mekanisme yang

lebih spesifik ini akan memudahkan KPPU dan Kemenko dalam mengalokasikan sumber

daya dan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu. Oleh karena itu, opsi ini

kemungkinan akan lebih didukung oleh pihak Kementerian.

Pilihan kedua akan menjadikan Kemenko atau Kementerian Koordinator lainnya,

sebagai institusi yang melaksanakan penilaian awal terhadap rancangan undang-

undang untuk kemudian memutuskan apakah konsultasi dengan KPPU benar-benar

dibutuhkan. Penilaian awal dapat didasarkan pada OECD’s Competition Assessment

Toolkit.

Page 56: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

54

Apabila terdapat dugaan pembatasan persaingan, penilaian yang lebih seksama dan

konsultasi dengan KPPU dapat dilakukan. OECD berpendapat bahwa pilihan pertama

lebih mungkin dilakukan karena para tenaga ahli di bidang persaingan tersentralisasi di

KPPU sehingga sebaiknya semua rancangan peraturan harus dikonsultasikan dengan

KPPU.

Dalam skenario terakhir ketika kedua pilihan tidak dipilih (atau dibutuhkan waktu yang

lama dalam pengimplementasiannya), inisiatif yang sifatnya lebih terbatas dapat

dilakukan oleh KPPU, yaitu dengan meningkatkan kontribusi KPPU dalam pembuatan

peraturan yang lebih bersahabat dengan persiangan usaha pada sektor-sektor yang

menjadi prioritas, khususnya infrastruktur. Semua rancangan peraturan terkait

investasi proyek infratrsuktur besar, seperti peraturan terkait persaingan dalam sektor

pelabuhan, dapat dianalisis oleh KPPU. Pendekatan ini dapat diimplementasikan

dengan beberapa cara, sebagai contoh dengan membuat Keputusan Presiden atau

Instruksi Presiden yang menyebutkan kementerian yang bertanggung jawab dalam

proyek infratsruktur terkait diwajibkan untuk berkonsultasi dengan KPPU pada tahap

awal pengembangan peraturan. Kemenko dapat menjadi institusi yang bertanggung

jawab dalam memastikan bahwa konsultasi ini dilakukan.

Page 57: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

55

Lampiran 3 : Analisis Sektoral

1. Perkembangan dan Isu Persaingan di Sektor Jasa

1.1 Pendahuluan

Analisis pada bab-bab sebelumnya dalam laporan ini telah memberikan paparan tentang

pentingnya pengarusutamaan kebijakan persaingan dan juga telah memberikan beberapa

rekomendasi untuk peningkatan efektifitas pengarusutamaan ini secara umum. Bab ini ingin

lebih jauh lagi menggarisbawahi pentingnya pengarusutamaan kebijakan persaingan dengan

memberikan ilustrasi tentang beberapa isu persaingan yang masih ataupun dapat terjadi

dalam kinerja di beberapa sektor perekonomian. Potensi pengarusutamaan kebijakan

persaingan tentunya dapat terjadi di banyak sektor; namun, mengingat keterbatasan sumber

daya, laporan ini memfokuskan pembahasan hanya pada sektor jasa dan memberikan

paparan/analisis dalam studi kasus beberapa sektor jasa tertentu, yaitu: jasa telekomunikasi,

jasa pelabuhan dan pelayaran, jasa keuangan, dan jasa kesehatan.12 Paparan ini adalah

analisis dasar (baseline analysis) atas permasalahan persaingan yang dihadapi oleh sektor-

sektor ini. Studi ini perlu diikuti oleh studi yang lebih mendalam untuk mengidentifikasi

peraturan serta kebijakan yang mendistorsi persaingan di sektor tersebut.

1.2 Kerangka Pikir

Terdapat paling tidak dua alasan mengapa studi ini memfokuskan pada sektor jasa. Pertama,

seperti yang mungkin tidak banyak disadari, sektor jasa sangat berperan sebagai input

produksi, baik dalam produksi barang ataupun jasa lainnya. Seperti yang dikemukakan oleh

Duggan, Rahardja, dan Varela (2013), sektor jasa menyumbang sebanyak 35 persen dari total

input antara yang digunakan dalam sektor produksi di Indonesia. Kedua, pencapaian kinerja

industri yang efisien pada sektor jasa sangat tergantung pada apakah regulasi yang ada telah

menjamin terjadinya efisiensi ini. Dalam literatur ekonomi, hal ini kerap dikaitkan dengan

apa yang dinamakan ‘isu-isu dalam negeri’ (behind border issues). Seperti yang telah

dikemukakan sebelumnya (lihat Bab 3), banyak atau sebagian besar dari upaya 12 Dalam pembahasan sektor jasa kesehatan, studi ini juga mencakup pembahasan subsektor farmasi. Sektor farmasi dapat dikategorikan sebagai sektor barang/industri pengolahan namun, mengingat relevansi sektor ini terhadap sektor jasa kesehatan dan sektor kesehatan secara umum, studi ini mengikutsertakan pembahasan sektor farmasi.

Page 58: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

56

pengarusutamaan kebijakan persaingan terkait dengan upaya untuk mengadopsi prinsip-

prinsip persaingan secara menyeluruh dalam setiap kebijakan ekonomi serta regulasi.

Pada prinsipnya, tidak efisiennya kinerja suatu sektor jasa akan menghasilkan biaya

tambahan yang seharusnya tidak diperlukan. Hal ini sebenarnya dapat dianalogikan dengan

dampak dari adanya tarif perdagangan pada sektor barang (Deardorff 2001). Pada sektor

barang, adanya tarif perdagangan akan membuat harga barang tersebut lebih mahal (sebesar

tarifnya) daripada harga barang di pasar internasional. Menerapkan logika ini pada sektor

jasa, besarnya tarif dapat dianalogikan sebagai besarnya biaya jasa (atau sering dikenal

sebagai service cost) yang diperlukan untuk memproduksi suatu barang ataupun jasa lainnya.

Semakin tidak efisien kinerja suatu sektor jasa, semakin besar/mahal pula service cost yang

harus dikeluarkan untuk menggunakan jasa dari sektor tersebut. Dalam kondisi ideal besaran

service cost ini sepatutnya berada pada nilai keekonomiannya, yaitu nilai yang menjamin

keberlangsungan usaha di sektor jasa tersebut.

Penting untuk dicermati disini bahwa tarif yang dikenakan pada sektor barang akan menjadi

pemasukan bagi pemerintah; sementara service cost tidak menjadi penerimaan pemerintah

tetapi menjadi real cost yang ditanggung oleh perekonomian (oleh sektor lain ataupun oleh

konsumen) (Deardorff 2001, hal. 236).

Dampak kinerja sektor jasa terhadap kegiatan sektor lain dapat bervariasi tergantung dari

karakter industri yang menggunakan jasa tersebut sebagai input produksi. Deardorff (2001,

hal. 237) menjelaskan bahwa ‘jasa perdagangan’ (trade services), yang didefinisikan sebagai

jasa yang muncul sebagai permintaan dari adanya kegiatan perdagangan, secara umum

memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan jasa lainnya.13 Perbedaan ini dapat

terjadi, salah satunya, karena adanya penghematan dalam komponen biaya tetap (fixed cost)

pada jasa yang dijual. Selain jasa perdagangan ini sektor-sektor jasa tertentu menentukan

kinerja sektor-sektor yang berada dalam suatu jejaring produksi.

Seperti yang telah disebutkan regulasi memainkan peranan dalam menentukan kinerja sektor

jasa karena pemerintah pada umumnya ingin mengatur sektor jasa guna mencegah kegagalan

13 Bentuk yang lebih spesifik dari jasa perdagangan dalam pengertian ini adalah jasa transportasi, dan sebagian dari jasa asuransi, jasa keuangan, dan jasa komunikasi.

Page 59: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

57

pasar (market failures) dan/atau dalam rangka pemenuhan tujuan sosial tertentu (Dee 2012).14

Oleh karena itu, peningkatan efisiensi di sektor jasa sangat terkait dengan reformasi regulasi.

Seperti yang juga diutarakan oleh Dee (2012), tahapan perencanaan reformasi regulasi perlu

diperhatikan dengan seksama; karena jika tidak reformasi regulasi justru berpotensi menjadi

kendala terealisasinya ataupun tercapainya tujuan regulasi tersebut. Perlu juga diperhatikan

bahwa kendala akibat regulasi sangat tergantung pada karakter industri yang di regulasi

(Deardorff 2001). Namun demikian, terdapat satu kendala yang cenderung terjadi di banyak

sektor jasa, yaitu adanya badan regulasi yang tidak independen ataupun tidak bebas dari

berbagai kepentingan yang ada, terutama kepentingan-kepentingan dalam pemerintah. Oleh

karena itu, salah satu kondisi awal yang dapat menjamin terjadinya persaingan yang

mengarah pada efisiensi adalah adanya badan regulasi yang benar-benar independen.

Secara umum, berbagai studi menunjukan bahwa peranan sektor jasa sangat penting dalam

perekonomian, tidak saja sebagai barang konsumsi tetapi juga sebagai input produksi. Matto,

Rathindran, dan Subramanian (2006) menunjukkan bahwa dampak positif dari liberalisasi

sektor keuangan dan telekomunikasi terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada

dampak positif liberalisasi sektor barang. Lebih jauh lagi, hasil empiris studi mereka

menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki sektor keuangan dan telekomunikasi yang

lebih terbuka memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat daripada negara-negara

lainnya. Sementara itu, beberapa studi lainnya menunjukkan bahwa meningkatnya derajat

kompetisi di sektor jasa domestik akibat partisipasi investasi atau penyelenggara jasa asing

terbukti dapat meningkatkan produktivitas di sektor industri pengolahan; seperti yang

dikemukakan oleh Arnold, Matto, dan Narciso (2008) untuk negara-negara di Afrika,

Fernandes dan Paunov (2008) untuk Chile, dan Duggan, Rahardja, dan Varela (2013) untuk

Indonesia.

Berikutnya akan dipaparkan analisis beberapa sektor jasa di Indonesia, yang meliputi paparan

pentingnya sektor tersebut terhadap perekonomian dan isu-isu persaingan apa saja yang ada

dalam sektor tersebut.

1.3 Jasa Telekomunikasi

14 Contoh pemenuhan tujuan sosial adalah pemenuhan layanan kesehatan atau pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Page 60: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

58

Dengan populasi yang besar serta wilayah yang luas, sektor telekomunikasi Indonesia

merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi dan

berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi. Sektor ini merupakan salah satu sektor

ekonomi yang paling dinamis karena sejarahnya dalam perekonomian Indonesia; dan

menjadi salah satu kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomi pasca deregulasi dan

privatisasi yang terjadi setelah krisis tahun 1998. Grafik di bawah ini menggambarkan

pertumbuhan sektor komunikasi di Indonesia serta kontribusinya terhadap Produk Domestik

Bruto (PDB) Indonesia.

Gambar L3.1. Proporsi Sektor Komunikasi terhadap PDB dan Tingkat Pertumbuhan

(dalam persen), 2001-2013

Sumber: CEIC

Sektor telekomunikasi menjadi primadona dalam investasi asing baik melalui privatisasi dan

peningkatan kepemilikan asing. Pada tahun 1995 PT Indosat diprivatisasi melalui penjualan

saham baik di Jakarta dan New York dan menghasilkan sekitar 1,4 miliar USD. PT Telkom

juga mengalami privatisasi dengan penjualan 19% kepemilikan saham di New York, London

dan Jakarta. Empat tahun kemudian pemerintah menjual 9,6% dan 14% sehingga pemerintah

memegang 51% kepemilikan saham. Grafik L3.2 menggambarkan besarnya investasi yang

terjadi di sektor transportasi dan komunikasi dari tahun 1990an dan besarnya investasi ini

terhadap output perekonomian nasional.

Gambar L3.2. Investasi Sektor Transportasi dan Komunikasi, 1995-2013

Page 61: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

59

Sumber: Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM)

Menurut studi internal PT Telkom, penetrasi sambungan telepon tidak bergerak (fixed-line) di

Indonesia (termasuk telepon tidak bergerak nirkabel) hanya sebesar 14,9% sedangkan

penetrasi seluler mencapai 71,9% pada tahun 2009. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun

2005 (sekitar 12,5 juta) hingga tahun 2012 mencapai 41 juta pengguna. Pemain sektor ini

meliputi PT Telkom, PT Indosat dan PT Bakrie Telecom. Gambar L3.3 memberikan sebaran

pengguna sambungan fixed-line di Indonesia berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi

dan Informasi.

Page 62: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

60

Gambar L3.3. Persebaran Pengguna sambungan fixed-line di Indonesia, 2009

Sumber: CEIC

Gambar L3.4 menggambarkan pangsa pasar segmen sambungan fixed-line di antara ketiga

penyelenggara jasa sambungan ini. PT Telkom mengungguli operator lainnya dengan

menguasai 70 persen dari total sambungan (27 juta sambungan) sementara 30 persen dari

total sambungan dimiliki oleh PT Indosat.

Gambar L3.4. Pangsa Pasar Segmen Sambungan Fixed-line, 2010-2013

Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika *Data 2013 sampai Maret 2013

Sementara itu, untuk segmen pasar seluler (mobile), tingkat pertumbuhannya adalah yang

tertinggi dibandingkan segmen-segmen pasar jasa telekomunikasi lainnya (lihat Gambar

L3.5). Segmen pasar ini juga kerap menjadi sasaran investor asing yang masih melihat

Indonesia sebagai pasar potensial. Pemain besar dalam sektor ini adalah Telkomsel, Indosat,

XL Axiata, 3 Indonesia dan SmartFren, dengan penetrasi mencapai 117 persen atau 286,5

juta sambungan pada tahun 2013.

Page 63: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

61

Gambar L3.5. Sambungan Seluler, 2007-2017

Sumber: EIU *2014-2017 merupakan proyeksi

Sementara itu, Gambar L3.6 memperlihatkan distribusi pangsa pasar di antara penyelenggara

jasa sambungan seluler. Seperti pada segmen pasar fixed line, PT Telkom (melalui

Telkomsel) masih mendominasi segmen pasar ini. Pangsa pasar yang besar juga dimiliki oleh

PT Indosat yang kemudian diikuti oleh PT XL Axiata.

Gambar L3.6. Pangsa Pasar Segmen Seluler, 2012-2013

Sumber: CEIC *Data 2013 sampai Maret 2013

Perkembangan sektor broadband dan internet dapat dilihat di Gambar L3.7. Terlihat bahwa

perkembangan segmen pasar sambungan internet dan broadband masih berada pada tingkat

perkembangan yang dini dengan penetrasi sambungan yang masih relatif rendah

dibandingkan dengan beberapa negara-negara lainnya. Pada tahun 2013, fixed broadband

subscriber terhitung sekitar 3,6 juta pengguna. Di masa depan, potensi Indonesia dalam

pengembangan sektor ini, khususnya melalui sambungan mobile broadband.

Page 64: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

62

Gambar L3.7. Pangsa Pasar Segmen Seluler, 2012-2013

Sumber: World Development Indicators, Bank Dunia

Undang-undang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999

Undang-undang ini menggantikan undang-undang telekomunikasi sebelumnya, yaitu

Undang-undang Telekomunikasi Tahun 1989. Dalam undang-undang tahun 1989 ini,

pemerintah mengijinkan partisipasi investasi asing dalam bentuk joint-venture dengan

kepemilikan asing maksimum 35 persen. Kebijakan ini sebagian besar mengijinkan

terjadinya privatisasi PT Telkom dan PT Indosat sebagai penyelenggara utama jasa

telekomunikasi di Indonesia pada saat itu. Undang-undang tahun 1989 ini juga yang

memberikan hak ekslusif penyediaan jasa telekomunikasi di Indonesia, yaitu kepada PT

Telkom untuk layanan telekomunikasi lokal dan kepada PT Indosat (dan juga ke anak

perusahaannya, PT Satelindo) untuk layanan sambungan jarak-jauh internasional. Pemberian

hak ekslusif ini diberikan kepada PT Telkom minimal selama 15 tahun dan kepada PT

Indosat sampai tahun 2004. Dalam undang-undang ini disebutkan juga bahwa bahwa PT

Telkom dapat bekerja sama dengan perusahaan lain yang menyelenggarakan jasa

telekomunikasi untuk dan atas nama PT Telkom dalam kerangka Kerja Sama Operasi (KSO).

Undang-undang telekomunikasi yang baru tahun 1999 (UU No. 36/1999), bersama juga

dengan peraturan pemerintah No. 52/2000, mengenalkan beberapa perubahan mendasar yang

bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan memperluas cakupan penyelenggaraan jasa

Page 65: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

63

telekomunikasi. Terkait dengan tujuan ini adalah upaya peningkatan penetrasi jasa

telekomunikasi secara nasional yang ketika itu masih sangat rendah. Pada intinya, UU No.

36/1999 dan PP. No. 52/2000, dan juga ‘Cetak Biru Reformasi Telekomunikasi Indonesia

(Kepmen Perhubungan No. 72/1999), memberikan penekanan pada upaya untuk

meningkatkan iklim yang kondusif bagi investasi untuk penyelenggaraan jasa

telekomunikasi.

Elemen dari kebijakan reformasi sektor telekomunikasi yang terjadi di tahun 1999 dapat

disarikan sebagai berikut, menurut level fungsionalnya:

Elemen pembuatan kebijakan:

Perluasan peraturan-peraturan terkait sektor telekomunikasi;

Pengembangan strategi terkait penghapusan monopoli;

Pemisahan fungsi operasi dan fungsi regulator serta mempersiapkan badan regulator yang

independen.

Elemen regulator:

Mempromosikan kompetisi pada basis multi-operator;

Melindungi kepentingan konsumen;

Membentuk universal access regime yang transparan, kompetitif, netral dan adil; serta

Membentuk proses perizinan yang transparan, adil dan tidak diskriminatif.

Elemen operasional:

Penghapusan diskriminasi terkait status operator;

Menghapus perbedaan antara basic dan non-basic services;

Membedakan antara jaringan telekomunikasi dan provider jasa telekomunikasi;

Mempromosikan kompetisi dan secara progresif membuka pasar untuk investasi luar

negeri.

Implementasi dari kebijakan reformasi ini kemudian mengakhiri hak ekslusif, atau hak

monopoli, yang dimiliki PT Telkom dan PT Indosat. Ini merupakan satu elemen kebijakan

yang sangat penting bagi perkembangan sektor telekomunikasi secara umum, dan telah

mengikuti best practice yang ada dari pengalaman beberapa negara lain. Selanjutnya, dan

Page 66: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

64

melalui beberapa proses hukum yang pada dasarnya meniadakan kepemilikan silang antara

PT Telkom dan PT Indosat, di awal tahun 2000 hak ekslusif yang dimiliki kedua perusahaan

negara ini benar-benar diakhiri dan pasar penyelenggaraan jasa telekomunikasi menjadi

terbuka.

Selain penghapusan monopoli, elemen kebijakan penting lainnya adalah upaya pembentukan

badan regulator sektor telekomunikasi. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)

kemudian dibentuk dengan landasan hukum Keputusan Kementerian Perhubungan Nomor 31

Tahun 2003. Secara umum BRTI memiliki tujuan untuk menjaga transparansi, independensi

dan keadilan (fairness) pada sektor jaringan telekomunikasi dan jasa operator, dan berfungsi

sebagai lembaga yang mengatur dan sekaligus mengawasi persaingan dan kinerja para

penyelenggara jasa telekomunikasi ataupun subsektor pendukungya. Mengenai struktur

organisasinya, BRTI saat ini masih menjadi bagian dari Kementerian Komunikasi dan

Informatika.

Isu persaingan di jasa telekomunikasi

Sektor telekomunikasi Indonesia telah mengalami satu fase perubahan yang mendasar di

tahun 1999. Dengan berjalan waktu telah terjadi banyak perubahan yang dampaknya

terefleksikan dalam peningkatan kinerja sektor ini secara umum; namun implementasi

kebijakan reformasi yang dimulai tahun 1999 tersebut dirasa belum maksimal. Bagian di

bawah ini memaparkan beberapa isu persaingan yang dapat dan masih terjadi di dalam sektor

telekomunikasi.

Isu persaingan dapat terjadi dalam kaitannya dengan kinerja BRTI. Secara khusus terdapat

isu independensi BRTI karena lembaga tersebut berada dalam struktur organisasi pemerintah,

atau paling tidak organisasi yang dipengaruhi oleh pemerintah. Seperti yang digambarkan

dalam Gambar L3.8, Direktur Jenderal Pos dan Telematika (Dirjen Postel) secara langsung

menjadi Kepala BRTI, dan demikian memberikan dukungan terkait regulasi-regulasi yang

dikeluarkan BRTI. Selain itu, sumber pendanaan BRTI masih berasal dari Ditjen Postel.

Seperti yang dikemukakan sebelumnya, pengertian badan regulasi yang indepeden termasuk

di dalamnya adalah terbebasnya badan regulator tesebut dari berbagai kepentingan, termasuk

kepentingan pemerintah. Dalam hal ini, BRTI belum benar-benar dapat dikatakan sebagai

badan regulator yang independen mengingat masih besarnya pengaruh pemerintah lewat

Page 67: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

65

struktur organisasi dan sumber pendanaan. Sebagai ilustrasi, BRTI dianggap belum atau

tidak, mengambil pendekatan yang sifatnya technology-neutral dalam kebijakan penerapan

teknologi broadband. Pandangan ini dikemukakan oleh pemerhati sektor telekomunikasi di

Indonesia termasuk MASTEL (Masyarakat Telekomunikasi).15 Sebagai lembaga yang

independen dan menurut prinsip technology-neutral BRTI selayaknya membebaskan pilihan

teknologi yang dipakai oleh operator apakah itu WiMAX 16d (fixed broadband), WiMAX

16e (mobile broadband), ataupuN LTE (Long Term Evolution)/4G. Tetapi pada praktiknya

BRTI justru mendukung kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mengatur

bagaimana dan kapan teknologi broadband tertentu dapat diterapkan walaupun tidak ada

eksternalitas yang diciptakan apabila pilihan teknologi tersebut diserahkan pada operator.

15 Pandangan ini tertuang, misalnya, dalam artikel berjudul “Regulasi WiMAX, Perlukah? yang ditulis oleh Mas Wigrantoro R. Setiyadi yang merupakan salah satu anggota Dewan Pengurus Harian MASTEL.

Page 68: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

66

Gambar L3.8. Struktur Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia

Sumber: BRTI

Posisi dominan penyelenggara telekomunikasi

Walaupun sektor telekomunikasi telah dibuka untuk mendukung lebih banyaknya

penyelenggara jasa telekomunikasi, pasar jasa telekomunikasi di Indonesia masih didominasi

oleh PT Telkom yang sebelumnya merupakan salah satu BUMN pemegang hak monopoli

penyelenggaraan jasa telekomunikasi. PT Telkom memiliki pangsa pasar sambungan telepon

tidak bergerak (fixed-line) sebesar 60 persen dan pangsa pasar sambungan seluler (mobile)

lebih dari 45 persen (lihat Gambar L3.4 dan L3.6). Demikian pula yang terjadi untuk

Page 69: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

67

penyediaan jasa internet dan sambungan broadband. PT Indosat sementara itu juga memiliki

pasar yang besar walaupun tidak sebesar yang dimiliki PT Telkom.

Dominasi PT Telkom di pasar sambungan fixed-line dapat dikatakan terjadi karena

‘komplikasi’ dari percepatan pencabutan status monopoli yang dimilikinya sebagai penyedia

jasa sambungan ini. Pada era sebelum reformasi telekomunikasi tahun 1999 mekanisme

utama penyediaan jasa sambungan fixed-line oleh PT Telkom dilakukan dengan

cara/mekanisme Kerja Sama Operasi (KSO), dimana PT Telkom bekerja sama dengan

perusahaan swasta atas dasar kontrak (dengan jangka waktu 15 tahun) yang dikeluarkan oleh

pemerintah untuk menyediakan dan menjalankan pelayanan jasa telekomunkiasi untuk, dan

atas nama, PT Telkom. Indonesia sebelumnya dibagi menjadi tujuh wilayah dan mekanisme

KSO diterapkan untuk penyelenggaraan sambungan fixed-line di lima dari tujuh wilayah ini.

Terjadi komplikasi ketika hak monopoli PT Telkom dicabut sebelum kontrak KSO berakhir.

Solusi yang terjadi pada saat itu adalah PT Telkom mengakhiri, atau melepaskan diri, dari

mekanisme KSO dengan cara membeli kepemilikan jaringan dan infrastruktur penyelenggara

KSO.16

Implikasi dari penguasaan jaringan yang tadinya dimiliki KSO menyebabkan PT Telkom

masih menguasai sebagian besar jaringan sambungan fixed-line. Dalam hal ini, tidak begitu

jelas apakah terdapat akses yang terbuka – dan dengan harga yang kompetitif – bagi semua

penyelenggara jasa fixed-line lainnya yang memiliki keinginan untuk masuk ke sektor ini.

Namun, yang kemudian terjadi adalah hanya PT Telkom sendiri yang menggunakan jaringan

ini. Dua penyelenggara lainnya yang kemudian diberi ijin untuk menyediakan jasa

sambungan fixed-line, yaitu PT Indosat dan PT Bakrie Telecom, memilih untuk

menggunakan teknologi sambungan nirkabel (wireless) daripada menggunakan jaringan yang

dimiliki PT Telkom. Namun demikian tidak jelas apakah penggunaan wireless fixed-line

terjadi karena akses ke jaringan PT Telkom terkendala atau karena penggunaan teknologi ini

memang lebih murah daripada membeli akses ke jaringan yang dimiliki PT Telkom.

16 Sebagai bagian dari strategi restrukturisasi internalnya, PT Telkom kemudian menjual kepemilikan ini kepada penyelenggara telekomunikasi lainnya, utamanya kepada PT Indosat.

Page 70: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

68

Menurunnya peranan investasi asing

Isu persaingan lainnya terkait dengan kontribusi investasi asing pada perkembangan sektor

telekomunikasi.

Penyelenggaraan jasa telekomunikasi membutuhkan investasi yang sangat besar untuk

pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan. Dengan demikian, salah satu faktor pendukung

perkembangan sektor telekomunikasi adalah adanya rejim investasi yang terbuka, terutama

untuk masuknya investasi asing. Pendekatan ini yang kemudian diambil oleh pemerintah

pasca reformasi sektor telekomunikasi tahun 1999, dimana pada tahun 2000 pemerintah

mengijinkan investasi asing dengan kepemilikan saham sampai dengan maksimum 95 persen.

Kebijakan ini kemudian memacu pertumbuhan di sektor telekomunikasi, paling tidak pada

segmen pasar sambungan seluler (mobile). Sebagai ilustrasi, PT XL Axiata meningkatkan

investasi pembangunan jaringan dan jasa selulernya tidak lama setelah diakuisisi oleh

Telekom Malaysia pada tahun 2004, yaitu sebesar kira-kira Rp 50 trilyun selama 15 tahun

terakhir. Investasi ini memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan sektor seluler

secara nasional, termasuk di dalamnya untuk perkembangan segmen pasar internet seluler.

PT XL Axiata saat ini memiliki kemampuan untuk mencakup penyediaan jasa seluler sebesar

90 persen dari total populasi secara nasional.

Namun pada akhir tahun 2000an pemerintah mengurangi keterbukaannya pada investasi

asing. Pada tahun 2007, pemerintah mengurangi batas kepemilikan saham asing menjadi

maksimum 65 persen bagi penyelenggara jasa seluler dan 49 persen bagi penyelenggara jasa

fixed-line. Pada tahun 2008 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan serupa dengan

mencanangkan bahwa hanya perusahaan lokal (100 persen kepemilikan lokal) yang

diperbolehkan untuk memiliki dan mengelola menara telekomunikasi.17

Kebijakan pengurangan keterbukaan terhadap investasi asing ini tentunya tidak mendukung

perkembangan sektor telekomunikasi. Pertama, karena karakteristik investasi besar yang

dibutuhkan industri ini, pertumbuhan investasi diperkirakan akan berkurang. Sejak

17 PT. Hutchison Indonesia yang merupakan usaha patungan dengan Huthison CP International bahkan menjual seluruh menara telekomunikasi yang dimilikinya sehari setelah kebijakan ini dikeluarkan (Wattegama, Soehardjo dan Kapugama 2008).

Page 71: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

69

diberlakukan pembatasan kepemilikan asing ini terjadi penurunan investasi dan pertumbuhan

output yang sangat signifikan di sektor telekomunikasi (lihat Gambar L3.1 dan L3.2). Kedua,

klausa ‘grandfathering’, yaitu klausa yang mengatakan bahwa investasi asing yang terjadi

sebelumnya tidak terpengaruh dengan kebijakan investasi yang baru ditetapkan, berpotensi

membentuk dominasi penyelenggaraan jasa telekomunikasi hanya pada beberapa perusahaan

tertentu yang kemudian menciptakan kendala bagi investor asing untuk memasuki pasar.

Kekuatan kompetisi dari perusahaan yang berpotensi masuk (entrants) untuk beroperasi di

suatu segmen pasar tentunya akan berkurang dan, sebagai akibatnya, derajat contestability

dari persaingan yang terjadi tentunya akan berkurang pula. Derajat persaingan dengan kata

lain akan berkurang dan hal ini berpotensi membentuk kolusi harga ataupun keluaran (output)

dari perusahaan yang sudah beroperasi.

Internet dan broadband

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, penetrasi sambungan internet di Indonesia

masih rendah relatif terhadap negara-negara berkembang lainnya. Sambungan internet di

Indonesia masih sangat tergantung dengan sambungan fixed-line, dan untuk jenis sambungan

ini, tercatat hanya ada sekitar 5,5 juta sambungan sampai akhir tahun. Namun demikian,

gambaran ini berbeda untuk pengguna internet; menurut catatan ITU (International

Telecommunication Union), pengguna internet tumbuh dari hanya sekitar 500 ribu pengguna

di tahun 1998 menjadi sekitar 18 juta pengguna di tahun 2008. Faktor yang menyebabkan

pertumbuhan pesat di beberapa tahun terakhir ini adalah pertumbuhan akses mobile internet

yang didukung oleh pesatnya penetrasi sambungan telpon seluler.

Dengan demikian, salah satu faktor yang dapat menunjang pertumbuhan sambungan internet

adalah penciptaan lingkungan yang kondusif untuk peningkatan penggunaan teknologi yang

lebih maju untuk sambungan internet, dalam hal ini teknologi yang memungkinkan

sambungan mobile internet dan sambungan broadband.

Berkenaan dengan sambungan broadband, salah satu isu yang ada terkait dengan keberadaan

dan kepemilikan jaringan fixed-line. Penyelenggaraan jasa broadband di Indonesia masih

bergantung pada teknologi fixed broadband (Iqbal dan Purbo 2008) sehingga dominasi

jaringan fixed-line yang dimiliki PT Telkom dapat mengarah pada dominasi penyelenggara

jasa broadband oleh PT Telkom, jika perihal pembukaan aksesnya tidak dicermati. Indikasi

Page 72: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

70

ke arah ini sebenarnya sudah terlihat; seperti yang dipaparkan sebelumnya, sebesar 64 persen

dari total pengguna jasa sambungan broadband adalah pengguna jasa broadband yang

diselenggarakan oleh PT Telkom.

Dengan demikian, iklim investasi yang kondusif menjadi penting bagi perkembangan

sambungan broadband. Mengingat investasi yang diperlukan adalah sangat besar, maka

wajar jika diperlukan adanya peranan investasi asing. Seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya, sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya. Rejim investasi asing di Indonesia

saat ini kembali menjadi lebih tertutup.

Adanya iklim investasi yang terbuka sebenarnya tidak hanya menjanjikan perkembangan

infrastruktur yang lebih cepat, tetapi juga mengurangi kemungkinan terjadinya dominasi

penyelenggaraan jasa yang dilakukan oleh perusahaan yang telah beroperasi (incumbent).

Sebagai ilustrasi, mega investasi yang akan dilakukan oleh PT Telkom untuk membangun

broadband backbone nasional – dengan nilai investasi sebesar Rp 21,2 trilyun – memberikan

kesempatan di masa depan untuk dominasi PT Telkom dalam penyelenggaraan sambungan

broadband dengan teknologi yang maju (high-speed broadband).

1.4 Jasa Pelabuhan dan Pelayaran

1.4.1 Jasa Pelabuhan

Kinerja sektor logistik di suatu negara mencerminkan efisiensi perdagangan di negara

tersebut. Hal ini menyebabkan sektor tersebut menjadi sangat penting karena memiliki

keterkaitan yang kuat terhadap sektor-sektor lainnya. Menurut Bank Dunia (2013), Indonesia

memiliki tingkat biaya logistik yang tinggi, mencapai 27% dari total PDB Indonesia. Sebagai

perbandingan, biaya ini melebihi negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (13%),

Thailand (20%) dan Vietnam (25%). Oleh karena itu, dapat disimpulkan sektor logistik

Indonesia masih jauh dari efisien.

Kawasan perairan menjadi tumpuan logistik sekitar 90 persen dari total perdagangan

Indonesia baik dalam ataupun luar negeri (Patunru et al. 2005). Saat ini Indonesia memiliki

sekitar 1.230 pelabuhan yang terdiri dari 758 pelabuhan umum dan 472 pelabuhan khusus.

Pelabuhan umum dapat dibagi menjadi pelabuhan komersial yang berjumlah sekitar 112 serta

pelabuhan non komersial sebanyak 646 pelabuhan. Adapun Pelabuhan Tanjung Priok,

Page 73: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

71

Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Belawan dan Pelabuhan Ujung Pandang adalah empat

pelabuhan terbesar di Indonesia. Gambar L3.9 memaparkan lalu lintas kargo (dalam ton)

keempat pelabuhan tersebut pada 8 tahun terakhir.

Gambar L3.9. Lalu Lintas Kargo di 4 Pelabuhan Utama Indonesia

Sumber: CEIC

Dari Gambar L3.9 dapat dilihat bahwa Tanjung Priok masih merupakan pelabuhan dengan

lalu lintas kargo terpadat. Pelabuhan ini juga menjadi tumpuan perdagangan internasional

yang terlihat dari lalu lintas kargo internasional yang paling tinggi di antara pelabuhan besar

lainnya. Perlu diketahui bahwa bongkar muat di keempat pelabuhan ini mencakup lebih dari

Page 74: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

72

50 persen total perdagangan seluruh Indonesia. Kesimpulannya adalah pelabuhan di

Indonesia masih sangat tersentralisasi pada pelabuhan-pelabuhan besar.

Dengan fungsinya yang sangat penting, pelabuhan Indonesia dinilai belum memiliki kinerja

yang memuaskan. Hal ini tercermin dari kinerja Indonesia dalam Logistic Performance Index

(LPI) yang merupakan indeks yang mengukur efisiensi logistik di suatu negara. LPI

mengukur beberapa variabel seperti kinerja bea cukai, kualitas infrastruktur, harga, jasa

logistik, waktu dan kemudahan dalam pelacakan. Walaupun mengalami perbaikan pada

beberapa tahun terakhir, kinerja sektor logistik Indonesia yang tercermin pada LPI masih

tertinggal apabila dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam serta

sedikit lebih baik dari Filipina (Gambar L3.10).

Gambar L3.10. Kinerja Indonesia dalam LPI Bank Dunia

Sumber: Bank Dunia

Beberapa kendala yang menjadi sorotan antara lain kurang efisiennya kinerja pelabuhan,

rendahnya infrastruktur pelabuhan serta sulitnya akses dari dan ke pelabuhan. Kendala

tersebut kerap membuat dwelling time dalam pelabuhan di Indonesia menjadi tinggi yang

artinya pengusaha harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membayar biaya logistik dan

mengakibatkan tidak efisiennya perekonomian secara keseluruhan. Selain itu, Terminal

Handling Cost (THC) di pelabuhan Indonesia yang sebesar 95 USD termasuk yang tertinggi

dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan di negara-negara ASEAN lainnya. Sebagai

Page 75: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

73

perbandingan; Pelabuhan Chitagong (49 USD) , Manila (82 USD), Ho Chi Minh (46 USD),

Port Klang (76 USD), Laem Cha Bang (53 USD) dan Bangkok (60 USD).18

Kinerja pelabuhan di Indonesia tidak terlepas dari kinerja PT Pelabuhan Indonesia (PT

Pelindo) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bertugas dalam

mengelola pelabuhan di Indonesia. Sebelumnya, berdasarkan UU No. 21/1992, PT Pelindo

merupakan pemegang hak eksklusif dalam penyelenggaraan jasa pelabuhan sehingga seluruh

infrastruktur yang terkait dengan kepelabuhan adalah milik PT Pelindo. Pada tahun 2008,

pemerintah melakukan reformasi di bidang pelayaran yaitu UU No. 17/2008. Tabel L3.1

memaparkan beberapa perubahan penting terkait penyelenggaraan jasa pelabuhan di

Indonesia antara lain:

Tabel L3.1. Jasa Pelabuhan: Perbandingan antara UU No. 21/1992 dan UU No 17/2008

UU No. 21/1992 UU No. 17 /2008

Pengendalian Pelayaran dikendalikan oleh pemerintah

Pemerintah bertindak sebagai regulator, pihak swasta diijinkan menjadi operator pelabuhan

Pengelolaan Pelabuhan

Pengelolaan pelabuhan merupakan pelayanan bersama antara instansi pemerintah terkait.

Pemerintah bertugas sebagai operator pelabuhan umum. Untuk melaksanakan tugasnya sebagai operator, pemerintah dapat menunjuk badan usaha milik negara yang didirikan untuk tujuan bisnis

Keselamatan: pengelola pelabuhan Fungsi regulasi pengelolaan pelabuhan: Otoritas pelabuhan untuk pelabuhan komersil atau unit pengelola pelabuhan non-komersil (pemerintah pusat atau pemerintah daerah) Fungsi Bisnis: BUMN atau perusahaan swasta dalam negeri

Aktivitas penunjang bisnis pelabuhan

Penyedia: Badan hukum atau warga negara Indonesia

Swasta dan asing diijinkan

Tarif

Pemerintah menentukan jenis, struktur dan klasifikasi tarif layanan pelabuhan. Operator menetapkan tarif dengan persetujuan Pemerintah.

Pemerintah tetap menentukan struktur dan klasifikasi tarif. Operator harus melibatkan pengguna jasa dalam penentuan usulan tarif

18 http://bandung.bisnis.com/read/20140714/34231/512897/menhub-penyesuaian-chc-priok-diputuskan-setelah-lebaran

Page 76: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

74

sebelum diajukan kepada Menteri

Master Plan Tidak tersedia

Kementerian menyusun Master Plan Pelabuhan untuk jangka waktu 20 tahun dan dievaluasi setiap 5 tahun (status: belum selesai).

Selain itu, reformasi sektor pelabuhan juga ditandai dengan liberalisasi sektor ini seperti yang

disebutkan dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Apabila

dibandingkan dari tahun 2010 dan 2014 maka dapat dilihat bahwa jasa pelabuhan sudah

mengalami liberalisasi. Beberapa perubahan diantaranya adalah pengakomodasian skema

kerja sama pemerintah dan swasta (KPS) atau Public Private Partnership dalam bidang

usaha penyediaan fasilitas pelabuhan seperti dermaga, gedung, penundaan kapal terminal peti

kemas, terminal curah cair, terminal curah kering dan terminal Ro-Ro. Selama masa konsesi,

modal asing dapat mencapai 95%. Selanjutnya, jasa bongkar muat barang juga sudah

mengakomodasi pengusaha ASEAN dengan memperbolehkan foreign equity partnership

hingga 60%.

Dengan tidak adanya lagi monopoli dari PT Pelindo dan dimungkinkannya pihak swasta dan

asing melalui liberalisasi jasa pelabuhan, diharapkan investor baik dari dalam maupun luar

negeri dapat masuk ke dalam sektor ini. Dengan adanya persaingan, maka secara natural akan

menuntut para penyelenggara jasa pelabuhan untuk lebih efisien yang akhirnya akan

menguntungkan perekonomian secara umum.

Tarif Jasa Pelabuhan

Berdasarkan UU No. 21/1992, pemerintah menetapkan harga, struktur biaya dan klasifikasi

harga jasa pelabuhan. Sedangkan dalam UU No. 17/2008, harga jasa pelayanan pelabuhan

ditentukan oleh pemberi jasa berdasarkan formula yang ditetapkan oleh pemerintah, setelah

mengkomunikasikannya kepada pengguna jasa dengan difasilitasi oleh Otoritas Pelabuhan

(OP). Kenaikan harga tidak dapat dilakukan bila pengguna jasa berkeberatan dan Menteri

Perhubungan tidak mengesahkan kenaikan harga tersebut.

Page 77: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

75

Dalam penetapan harga pelayanan pelabuhan yang disebut dengan Terminal Handling

Charge (THC), persyaratan yang ditentukan oleh UU No. 17/2008 belum sepenuhnya di

implementasikan. Hasil penelitian CSIS (2013) menunjukan bahwa penetapan tarif masih

mengikuti prosedur lama. Namun demikian, pihak Kementerian Perhubungan menyatakan

bahwa aturan mengenai penetapan harga sedang direvisi mengikuti persyaratan UU No.

17/2008. Lambatnya revisi aturan pelaksana menunjukan bahwa dalam tataran pelaksanaan

kesulitan untuk mendobrak monopoli adalah nyata. Akselerasi pelaksanaan aturan, dalam hal

ini undang-undang pelayaran yang baru memerlukan partisipasi aktif pemangku kepentingan.

Masih dari penelitian CSIS (2013), para pelaku usaha berpendapat bahwa THC yang

ditetapkan masih terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan kualitas layanan yang diberikan.

PT Pelindo diharapkan dapat menepati level of service (LoS) yang telah disepakati.

Peraturan mengenai Jenis, Struktur dan Golongan Tarif Jasa Pelabuhan terbaru yaitu PM 15

Tahun 2014 telah diberlakukan dan menggantikan PM Nomor 6 Tahun 2013. Beberapa

perubahan antara lain keharusan untuk mengikutsertakan stakeholder dalam penetapan tarif.

PM 6 tahun 2013 mewajibkan operator untuk membahas usulan perubahan tarif dengan

stakeholders sebelum mengajukan kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan. Peraturan

baru ini juga mewajibkan adanya sosialisasi atas tarif baru kepada pengguna jasa sekurang-

kurangnya 3 bulan sebelum pemberlakuan tarif, pelarangan pemungutan tarif jasa pelabuhan

yang tidak ada pelayanannya serta meringkas 34 jenis tarif layanan menjadi 19 jenis.

Peraturan terbaru ini direspon secara positif oleh pelaku usaha namun kembali lagi

implementasi peraturan tersebutlah yang selalu menjadi permasalahan. Peranan Kementerian

Perhubungan sebagai pengawas dalam proses penetapan ini sangat krusial sehingga

keputusan penetapan tarif rasional dan transparan berdasarkan keuntungan normal sehingga

benar-benar dapat diterima pelaku usaha.

Page 78: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

76

Permasalahan Infrastruktur dan Jasa Pelabuhan

Seperti yang diketahui, PT Pelindo merupakan pemilik infrastruktur pelabuhan sebelumnya

adanya UU No. 17/2008 yang mengharuskan adanya periode transisi untuk mengakomodasi

investasi baru. UU No. 17/2008 akhirnya mensyaratkan pembentukan otoritas pelabuhan

pada pelabuhan-pelabuhan komersial dan unit penyelenggaraan pelabuhan di pelabuhan-

pelabuhan kecil. Otoritas pelabuhan dan unit penyelenggaraan pelabuhan ini merupakan

perpanjangan tangan pemerintah untuk memberikan (melelang) konsesi pengelolaan

pelabuhan kepada operator. Pada prinsipnya, otoritas pelabuhan dan unit penyelenggara

pelabuhan adalah wakil pemerintah yang bertindak sebagai pemilik pelabuhan. Tabel L3.2

memberikan cakupan wilayah operasional PT Pelindo dan pembagiannya.

Tabel L3.2. PT Pelindo dan Pelabuhan yang Dikelola

Perusahaan Pelabuhan

Cakupan Wilayah Kerja (Provinsi) Pelabuhan yang Dikelola

Pelindo I Aceh, Sumatera Utara, Riau

Belawan, Pekanbaru, Dumai, Tanjung Pinang, Lhokseumawe

Pelindo II

Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta

Tanjung Priok, Panjang, Palembang, Teluk Bayur, Pontianak, Cirebon, Jambi, Bengkulu, Banten, Pangkal Balam, Tanjung Pandan

Pelindo III

Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur

Tanjung Perak, Tanjung Emas, Barjarmasin, Benoa, Tenau/Kupang

Pelindo IV

Sulawesi (Bagian Selatan, Tenggara, Tengah dan Utara), Maluku, Irian Jaya

Makassar, Balikpapan, Samarinda, Bitung, Ambon, Sorong, Biak, Jayapura

Sumber: Ray (2009)

Enam tahun setelah UU 17/2008 disahkan oleh DPR, implementasi dari klausa-klausa

penting dari undang-undang tersebut tidak berjalan dengan baik. Misalkan, pemisahan fungsi

pengatur dan pengelola yang belum berjalan lancar. Walaupun pemerintah telah membentuk

otoritas pelabuhan di pelabuhan-pelabuhan komersial besar, namun Otoritas Pelabuhan

belum sepenuhnya menjadi menjadi pemilik pelabuhan (landlord) dan pemberi konsesi

dikarenakan secara de facto pada saat UU No. 17/2008 disahkan, seluruh pelabuhan

komersial sudah berada di bawah kendali Pelindo selama puluhan tahun, sehingga dalam

Page 79: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

77

pelaksanaannya pemisahan fungsi ini tidak berjalan lancar. Diperlukan penghitungan aset

Pelindo untuk menentukan besarnya aset dan investasi yang dimiliki oleh Pelindo yang harus

dikeluarkan dari nilai konsesi yang diserahkan Otoritas Pelabuhan kepada Pelindo dengan

berlakunya undang-undang yang baru. Namun, tahapan ini sulit dilakukan karena Otoritas

Pelabuhan belum dilengkapi dengan sumber daya manusia dan sumber daya finansial yang

memungkinkan Otoritas melakukan penghitungan tersebut.

Akibat proses pengalihan yang belum sempurna ini, PT Pelindo memiliki keuntungan sebagai

incumbent dalam penyediaan infrastruktur dan jasa pelabuhan. Hal ini secara tidak langsung

menjadi penghalang bagi perusahaan-perusahaan lainnya untuk dapat masuk ke dalam sektor

jasa pelabuhan. Bisa dikatakan monopoli PT Pelindo dalam implementasinya belum benar-

benar usai.

Independensi Kementerian Perhubungan

Berakhirnya era monopoli PT Pelindo mengakibatkan pemerintah harus mengambil posisi

netral sebagai landlord. Ketika pemerintah sebagai regulator terlibat dalam struktur

organisasi operator akan ada potensi konflik kepentingan. Idealnya, wakil pemerintah sebagai

pemilik saham pada PT Pelindo tidak berasal dari jajaran Kementerian Perhubungan.

1.4.2 Jasa Pelayaran

Indonesia mulai menerapkan kembali asas cabotage dalam bisnis pelayaran sejak tahun 2005

dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan

Industri Pelayaran Nasional. Dalam UU No. 17/2008 tentang pelayaran kembali ditegaskan

asas cabotage dalam pelayaran Indonesia, dimana pelayaran dalam negeri hanya dapat

dilayani oleh kapal berbendera Indonesia dan mempekerjakan awak berkebangsaan

Indonesia. Dengan demikian, kapal-kapal berbendera asing hanya dapat melayani pelayaran

hingga salah satu pelabuhan internasional di Indonesia. Selanjutnya, muatan harus

dipindahkan ke kapal berbendera Indonesia untuk ditransportasikan ke seluruh pelosok

Indonesia. Kapal-kapal berbendera asing harus bekerja sama dengan agen kapal berbendera

Indonesia untuk membawa muatan ke tempat tujuan akhir di luar pelabuhan internasional.

Dengan adanya cabotage perusahaan pelayaran domestik mendapatkan proteksi terhadap

kehadiran perusahaan pelayaran asing. Dengan kapasitas modal yang terbatas untuk

berekspansi yang terjadi adalah keterbatasan armada laut yang modern dan cepat. Akibatnya,

pengguna jasa menanggung dampak dari kinerja pelayaran yang lambat dan mahal.

Page 80: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

78

Walaupun Indonesia menerapkan asas cabotage, penanaman modal asing dalam industri

pelayaran, pelayaran laut domestik maupun internasional dimungkinkan sesuai dengan DNI

2014 sesuai Peraturan Presiden No 39/2014, dimana maksimum kepemilikan asing adalah 49

persen dan 60 persen untuk layanan yang asas cabotage tidak berlaku.

Perizinan Usaha Pelayaran

Sesuai UU No. 17/2008, untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan, orang perseorangan

warga negara Indonesia atau Badan Usaha wajib memiliki izin usaha. Izin usaha angkutan

laut diberikan oleh bupati/walikota bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah

kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;

gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah

provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi;

atau Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antar provinsi

dan internasional. Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 28 ayat (1), badan usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan

ukuran sekurang- kurangnya GT (Gross Tonnage) 175, sedangkan perusahaan patungan

diharuskan memiliki kapal berbendera Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) unit kapal

dengan ukuran GT 5.000 dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia.

Pada tahun 2012, jumlah kapal yang terdaftar berbendera Indonesia adalah sebanyak 8.738

unit, mengalami peningkatan sebesar yang relatif sedikit untuk dapat melayani negara

kepulauan sebesar Indonesia. Lima perusahaan terbesar adalah Meratus Line yang berbasis di

Surabaya dengan 54 kapal yang mampu membawa kargo seberat 31.060 TEUs, PT Samudra

Indonesia dengan 37 kapal yang dapat mengangkut 29.805 TEUs, PT Salam Pacific

Indonesia Lines, dengan 61 kapal yang mampu membawa 28.327 TEUS, PT Tanto Inti Line

yang mampu membawa 24.012 TEUS dan PT Pelayaran Tempuran Emas (PT Temas Lines)

dengan 27 kapal yang mampu membawa kargo 14.660 TEUs.

Isu persaingan yang paling utama dalam industri pelayaran adalah penetapan tarif yang tidak

sejalan dengan prinsip persaingan. Dominasi beberapa perusahaan pelayaran dan/atau status

monopoli secara de facto salah satu perusahaan pelayaran dalam satu rute tertentu berpotensi

pada abuse of market power yang berakibat pada penerapan harga monopoli. Peran otoritas

pelabuhan juga menjadi sangat penting sebagai pengawas persaingan usaha di lapangan.

Page 81: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

79

KPPU hendaknya dapat bekerja sama dengan Otoritas Pelabuhan, sebagaimana dalam hal

jasa pelabuhan untuk memastikan prinsip-prinsip persaingan juga diterapkan dalam jasa

pelayaran.

Gambar L3.11. Jumlah Kapal yang Beroperasi di Indonesia, 2008-2012

Beberapa Kasus Persaingan di Industri Pelayaran

Terminal JITC

Pada tahun 2003, KPPU menangani kasus JITC yang merupakan badan usaha joint-venture

operasi antara Pelindo dan Hutchinson. Dalam salah satu klausa perjanjian, disebutkan secara

eksplisit bahwa tidak akan ada izin baru untuk pengembangan dan konstruksi terminal baru

karena turnover terminal yang ada masih di bawah kapasitas yang tersedia saat ini. Hal ini

merupakan salah satu tindakan untuk melimitasi kompetisi sehingga KPPU berpendapat

bahwa klausa tersebut telah menciderai pasar dan juga menuju penyalahgunaan posisi

dominan.

Page 82: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

80

Kasus Jasa Stevedoring Pelabuhan Belawan

Kasus selanjutnya terjadi pada tahun 2004 di Pelabuhan Belawan, Medan, khususnya pada

dry-bulk terminal. Dalam terminal tersebut, PT Pelindo mengaplikasikan teknologi terbaru

menggunakan conveyor belt yang hanya dioperasikan oleh anak perusahaan jasa stevedoring

Pelindo. Pelindo mengirimkan surat kepada pengguna jasa (eksportir sawit) bahwa bongkar

muat hanya boleh dilakukan di terminal dry bulk di dermaga 109 dan 111 dan melarang

beroperasinya manual conveyor. Eksportir berkeberatan atas kebijakan Pelindo karena harga

yang diberlakukan di terminal Dry Bulk menjadi sangat tinggi. Namun eksportir minyak

kelapa sawit tidak memiliki opsi lain selain menggunakan jasa anak perusahaan Pelindo.

Praktik ini dianggap menyalahi peraturan kompetisi oleh KPPU.

Kasus Perusahaan Bongkar Muat di Teluk Bayur

Tahun 2013 KPPU memutus PT Pelindo II Cabang Teluk Bayur terbukti melakukan

perjanjian tertutup yang melanggar UU antimonopoli. Perjanjian tersebut mensyaratkan

penyerahan semua pekerjaan bongkar muat kepada Pelindo II terhadap sekitar 20 pihak

ketiga termasuk Antam dan Semen Padang. Terdapat 43 perusahaan bongkar muat yang

dirugikan oleh Pelindo II sehingga KPPU mengenakan denda sebesar 4,7 miliar Rupiah.

Pihak Pelindo II akhirnya mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan

dikabulkan oleh Majelis Hakim. Pertimbangan hakim adalah Pelindo II merupakan satu-

satunya yang memiliki keunggulan seperti dalam hal teknologi dan sumber daya manusia

dibandingkan dengan perusahaan bongkar muat lainnya.

Kasus Kargo Surabaya-Makassar

Kasus ini melibatkan beberapa perusahaan pelayaran untuk rute Surabaya-Makasar yaitu, PT

Pelayaran Meratus, PT Tempuran Emas Tbk, PT Djakarta Llyod (Persero), PT Jayakusuma

Perdana Lines, PT Samudera Indonesia Tbk, PT Tanto Intim Line, dan PT Lumintu Sinar

Perkasa. Diduga, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kasus ini membuat kesepakatan

tarif dan kuota untuk pelayanan Surabaya-Makassar-Surabaya dan Makassar-Jakarta-

Makassar dengan alasan kepentingan pemeliharaan pasar akibat adanya banting-bantingan

harga yang dilakukan perusahaan pelayaran dan keinginan Pelindo IV untuk menaikkan tarif

layanan pelabuhan.

Page 83: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

81

Perusahan-perusahaan yang terlibat dalam kasus ini pun terdata telah melakukan pertemuan-

pertemuan untuk menyepakati besaran kuota bongkar muat untuk mempengaruhi harga agar

tarif tercapai sesuai dengan kesepakatan tarif yang ditetapkan. Maka berdasarkan hal-hal

tersebut, maka KPPU dalam putusannya menduga adanya pelanggaran Pasal 5 ayat (1), Pasal

11, Pasal 19 a dan c, dan Pasal 25 ayat (1) a dan c UU No. 5/1999, yang artinya perusahan

terlapor diduga melakukan praktik monopoli dengan penetapan harga, perjanjian, mengatur

produksi dan/atau pemasaran yang bertujuan mempengaruhi harga, menghalangi pelaku

usaha lain untuk melakukan kegiatan yang sama, membatasi pelayaran pada pasar, dan

menimbulkan persaingan yang tidak sehat.

Dalam putusan No. 03/KPPU-I/2003, KPPU memutuskan atas dugaan kasus persaingan

usaha yang tidak sehat pada kargo Surabaya-Makassar, bahwa terlapor telah sah melanggar

undang-undang persaingan usaha. KPPU memerintahkan kepada perusahaan terlapor (PT

Pelayaran Meratus, PT Tempuran Emas Tbk, PT Djakarta Llyod (Persero), PT Jayakusuma

Perdana Lines, PT Samudera Indonesia, Tbk, PT Tanto Intim Line, dan PT Lumintu Sinar

Perkasa) untuk:

1. Menyampaikan surat pemberitahuan kepada pelanggan masing-masing mengenai

pembatalan kesepakatan

2. Menyampaikan pembatalan kesepakatan untuk dimuat di dalam surat kabar harian

nasional

3. Membayar denda admininstratif sebesar Rp 1 M bagi yang tidak melakukan putusan

KPPU di atas dalam jangka waktu tiga bulan.

Kasus Jasa Kargo Jakarta-Pontianak

Kasus lainnya mengenai persaingan usaha yang tidak sehat terjadi pada jasa kargo rute

Jakarta-Pontianak. Kasus ini melibatkan PT Perusahaan Pelayaran Nusantara Panurjwan, PT

Pelayaran Tempuran Emas, Tbk, PT Tanto Intim Line, dan PT Perusahaan Pelayaran Wahana

Barunakhatulistiwa. Hasil dari monitoring KPPU terhadap sektor pelayaran menunjukkan

adanya dugaan kartel harga yang dilakukan perusahaan pelayaran (kargo).

Telah terjadi kesepakatan penetapan tarif uang tambang untuk rute Jakarta-Pontianak-Jakarta

yang ditandatangani oleh perusahaan pelayaran yang terlapor. Kesepakatan diprakarsai oleh

INSA (Asosiasi Perusahaan Pelayaran Indonesia) yang melihat adanya perang tarif antar

Page 84: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

82

perusahaan yang bersangkutan. Sebenarnya kesepakatan harga uang tambang untuk trayek

Jakarta-Pontianak-Jakarta ini tidak melanggar undang-undang pelayaran pada saat itu. UU

No. 21/1992 dan PP No. 82/1999 serta Keputusan Menteri Perhubungan (Kemenhub)

No.33/2001 yang menyatakan bahwa kesepakatan harga diperbolehkan melalui penyusunan

oleh instansi terkait, asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dan asosiasi pengguna jasa

laut. Namun demikian, meskipun telah dilakukan kesepakatan harga yang ditandatangani

oleh keempat perusahaan tersebut, ternyata dalam praktiknya tarif yang dikenakan oleh tiap

perusahaan masih di atas harga kesepakatan. Dalam kasus ini, KPPU memberikan sanksi

agar para pihak membatalkan perjanjian yang dituangkan dalam kesepakatan bersama tarif

uang tambang peti kemas Jakarta-Pontianak tersebut.

1.5 Jasa Keuangan

1.5.1 Jasa Perbankan

Sama seperti di banyak negara Asia lainnya, fungsi intermediasi yang paling penting dalam

perekonomian Indonesia ada di sektor perbankan (bank-centered economy). Menurut Badan

Pusat Statistik pada tahun 2013 Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan secara

bersama-sama menyumbang sekitar 7,52 persen terhadap PDB Indonesia. Di sisi

pertumbuhan, pada tahun yang sama PDB tumbuh sekitar 5,72 persen dan Sektor Keuangan,

Real Estat dan Jasa Perusahaan menyumbang sekitar 0,67 persen pada angka tersebut. Perlu

dicatat bahwa sektor perbankan masuk dalam sektor yang baru disebut ini. Tabel L3.3

menunjukkan besarnya kredit bank, kapitalisasi pasar modal dan pasar obligasi dari tahun

1990 – 2011. Pada tahun 2011 kredit bank mencapai 38.6 persen dari PDB. Sementara itu

kapitalisasi pasar modal dan pasar obligasi secara berturut-turut mencapai 46 persen dan 13

persen dari PDB.

Mengingat peran sektor perbankan yang penting bagi perekonomian, maka diperlukan upaya

untuk membuat fungsi intermediasi sektor bersangkutan berjalan sebaik dan seefisien

mungkin tetapi pada saat yang sama tetap menjaga stabilitasnya. Terkait dengan stabilitas,

otoritas perbankan Indonesia (bank sentral/Bank Indonesia) mengimplementasikan kebijakan

konsolidasi sektor yang dimulai ketika terjadi krisis ekonomi 1997/98 dan dalam dua

gelombang. Konsolidasi terjadi ketika bank sentral menggabungkan/melakukan merger dari

empat bank besar pemerintah menjadi Bank Mandiri di tahun 1997. Disertai dengan

kebijakan penutupan 23 bank pada saat itu, kebijakan ini mengurangi jumlah bank pada saat

Page 85: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

83

itu dalam rangka peningkatan kinerja perbankan sebagai respon terhadap krisis ekonomi yang

terjadi. Proses konsolidasi tidak berhenti, berlanjut dengan diimplementasikannya Arsitektur

Perbankan Indonesia (API) yang dikenalkan pada tahun 2004. API memberikan arah

pengembangan sektor perbankan Indonesia kedepannya, dalam jangka waktu sepuluh tahun,

yang bertujuan untuk menciptakan sektor perbankan yang kuat dan efisien.

Terdapat dua kebijakan utama API yang memberikan dampak langsung pada struktur sektor

perbankan Indonesia. Pertama, jumlah modal minimum (Peraturan Bank Indonesia No.

10/15/PBI/2005) yang mensyaratkan bahwa semua bank, termasuk bank milik pemerintah

daerah, wajib memiliki modal minimum sebesar IDR 100 milyar sebelum 31 Desember 2010.

Kedua, kepemilikan tunggal (single presence policy) (Peraturan Bank Indonesia No.

8/16/PBI/2006) yang merujuk pada situasi dimana hanya diperbolehkan satu pihak yang

merupakan pemilik saham terbesar dalam suatu bank. Kedua kebijakan ini mendorong

terjadinya konsolidasi di antara bank-bank yang ada melalui merger dan akuisisi. Namun

demikian, seperti yang dilaporkan oleh Mulyanigsih dan Daly (2011), konsolidasi hanya

banyak terjadi pada bank dengan skala menengah dan kecil, tidak pada bank-bank dengan

skala besar.19

Dampak langsung dari proses konsolidasi yang terjadi ini adalah menurunnya konsentrasi

pasar di sektor perbankan. Sebaran atau distribusi pangsa pasar menjadi lebih merata dan

konsentrasi pasar, yang diukur dengan concentration ratio tiga perusahaan terbesar (CR3)

dan Herfindahl-Hirschman Index (HHI), terlihat menurun dari awal tahun 2000 seperti yang

ditunjukkan oleh Tabel L3.4. Walaupun distribusi pangsa pasar menjadi lebih baik seiring

berjalan waktu, terlihat bahwa masih terdapat tiga kelompok bank berdasarkan skala (besar,

menengah, dan kecil) yang memiliki tingkat konsentrasi pasar yang berbeda. Kelompok bank

berskala besar didapati memiliki konsentrasi pasar yang relatif jauh lebih tinggi daripada

konsentrasi pasar yang dimiliki kelompok bank berskala menengah dan kecil.

19 Kecuali yang terjadi pada merger Bank Niaga dan Bank Lippo yang keduanya merupakan bank berskala besar.

Page 86: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

84

Tabel L3.4. Konsentrasi Pasar Sektor Perbankan Indonesia: 2001-2009

Tahun Bank Skala Besar Bank Skala Menengah Bank Skala Kecil CR3 HHI CR3 HHI CR3 HHI

2001 0.74 0.24 0.30 0.06 0.35 0.05 2002 0.74 0.23 0.30 0.06 0.30 0.04 2003 0.73 0.22 0.27 0.05 0.30 0.04 2004 0.71 0.21 0.26 0.05 0.29 0.05 2005 0.67 0.20 0.25 0.05 0.33 0.05 2006 0.65 0.17 0.23 0.05 0.29 0.05 2007 0.64 0.18 0.23 0.04 0.30 0.05 2008 0.64 0.18 0.23 0.04 0.32 0.06 2009 0.66 0.18 0.24 0.05 0.28 0.05

Rata-rata 0.69 0.20 0.26 0.05 0.31 0.05 Sumber: Diadopsi dari Mulyaningsih dan Daly (2011).

Informasi ini menunjukkan terdapatnya potensi isu persaingan di sektor perbankan yang

bersumber dari terkonsentrasinya pangsa pasar bagi bank-bank berskala besar. Paling tidak

terdapat dua kemungkinan terjadinya isu persaingan, pertama, bank-bank berskala besar

dapat menggunakan kekuatan dari dominasi pasar yang dimilikinya untuk menentukan

besarnya harga (bunga pinjaman) atau kuantitas output (jumlah pinjaman). Kedua, sebagai

pemain dominan di pasar, bank-bank besar dapat berperan sebagai market leader dalam hal

penetapan bunga dan jumlah pinjaman dan bank-bank berskala menengah dan kecil akan

mengikuti/mengambil posisi sebagai market follower. Dalam skenario ini, sebenarnya tidak

terdapat isu persaingan selama bank-bank berskala besar saling bersaing dalam konteks

contestable market karena harga dan output yang terjadi mencerminkan kinerja pasar yang

efisien. Namun, skenario market leader-follower ini akan memberikan masalah pada

perekonomian – dalam bentuk transaction/deadweight lost – jika tidak terdapat persaingan di

antara bank-bank berskala besar yang menyebabkan tidak efisiennya harga dan output yang

dihasilkan.

Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa kedua isu persaingan tersebut sifatnya masih

potensi atau kemungkinan; dengan demikian, terdapat juga kemungkinan bahwa tidak

terdapat isu persaingan walaupun terdapat tingkat konsentrasi pangsa pasar yang tinggi (pada

kelompok bank berskala besar). Selama masih terdapat kekuatan pasar ataupun regulasi yang

Page 87: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

85

menjamin terjadinya contestability dalam persaingan di sektor perbankan maka tingkat

persaingan yang terjadi cenderung efisien.

Walaupun demikian, persepsi yang sering muncul adalah terdapatnya isu persaingan di sektor

perbankan. Selain diindikasikan oleh tingkat konsentrasi pasar, ukuran lain yang sering

digunakan untuk mendukung anggapan ini adalah tinggi dan sulit turunnya net interest

margin (NIM) yang sederhananya adalah selisih antara pendapatan dan biaya bunga. Banyak

studi (misalnya Rosengard dan Prasetyantoko 2011; Lin et al. 2012) telah menunjukkan

bahwa NIM bank-bank di Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan bank-bank di negara

lain termasuk negara-negara berkembang lainnya.

Terkait dengan hal ini, studi yang dilakukan oleh Trinugroho et al. (2014) membuktikan

adanya terdapat hubungan sebab-akibat yang positif antara kekuatan pasar dengan NIM, yang

artinya, semakin besar kekuatan pasar yang dimiliki oleh suatu bank maka akan semakin

besar pula NIM yang akan dikenakannya. Temuan ini memberi dukungan terhadap anggapan

adanya isu persaingan di sektor perbankan.

Trinugroho et al. juga menemukan bukti akan adanya hubungan sebab-akibat yang positif

antara status kepemilikan pemerintah (BUMN atau BUMD) dengan NIM. Dengan demikian,

bank milik pemerintah mengenakan NIM yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank lain

dengan status kepemilikan yang berbeda (bank milik asing/joint-venture atau swasta

domestik). Temuan ini konsisten dengan argumen adanya potensi isu persaingan di antara

bank-bank berskala besar telah ditunjukkan sebelumnya dengan tingginya konsentrasi pasar

kelompok bank ini. Bahkan, dalam analisis deskriptifnya, Trinugroho et al. (hal. 149)

mengungkapkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar sekali antara NIM yang dikenakan

oleh bank milik pemerintah (yaitu rata-rata sebesar 9.2%) dengan NIM yang dikenakan oleh

bank asing (yaitu rata-rata sebesar 4.4%) dan bank swasta domestik (yaitu rata-rata sebesar

5.6%).

Walaupun tidak langsung berkaitan dengan isu persaingan, penting untuk dicermati bahwa

terdapat faktor-faktor penting lainnya yang menentukan tingginya NIM – selain tingkat

persaingan antar bank. Beberapa faktor yang penting adalah overhead cost kegiatan

perbankan, premi resiko perekonomian Indonesia secara keseluruhan, dan kedalaman pasar

modal (capital market financial deepening) di Indonesia.

Page 88: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

86

Overhead cost di sektor perbankan Indonesia tergolong relatif tinggi dibandingkan dengan

beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Terdapat perbedaan pandangan untuk menyikapi

besarnya overhead cost ini; yaitu, kalangan akademisi dan otoritas perbankan menganggap

bahwa banyak bank belum meningkatkan efisiensi operasional perbankan mereka

(Trinugroho et al. 2011), sedangkan kalangan perbankan menyatakan bahwa tingginya

overhead cost terjadi karena sebagian besar bank dalam fase pengembangan jaringan cabang

yang membutuhkan biaya operasional dan investasi (seperti biaya investasi IT) yang besar.20

Sementera itu, premi resiko perekonomian Indonesia tergolong tinggi karena berbagai faktor

yang sifatnya dapat menurunkan laju pertumbuhan, seperti misalnya masalah pada sisi

penawaran termasuk masalah infrastruktur dan ruang fiskal yang sempit karena tingginya

subsidi untuk energi. Kesemuanya ini menyebabkan inflasi yang tinggi – relatif dibandingkan

negara-negara berkembang lainnya – yang kemudian mendorong naiknya cost of fund agar

bank tidak kehilangan para deposannya.

Sedangkan untuk perkembangan pasar modal, belum terlalu dalamnya dan luasnya

perkembangan pasar modal di Indonesia menyebabkan sektor perbankan tidak memiliki

pesaing. Ini dicerminkan dengan masih dominannya kredit perbankan untuk membiayai

kegiatan operasional dan investasi berbagai perusahaan.

Dengan demikian, terkait dengan isu tinggi dan sulit turunnya NIM di Indonesia, persaingan

di dalam sektor perbankan memang dapat mempengaruhi terjadinya hal ini, namun demikian,

terdapat beberapa penyebab lain di luar ranah persaingan sektor perbankan yang juga

memberikan kontribusi besar terhadap isu NIM di Indonesia.

1.5.2 Jasa Asuransi

Sektor jasa asuransi di Indonesia masih terbilang kecil bila dibandingkan dengan negara-

negara yang lebih maju. Pada tahun 2012, premi bruto asuransi di Indonesia hanya sekitar 16

milyar USD, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan premi bruto asuransi di Amerika

Serikat, Inggris, Jepang, Korea, Australia maupun Hong Kong. Namun demikian, sektor ini

20 Hal ini seperti yang diungkapkan oleh David Sumual dalam artikelnya yang berjudul ‘High Cost Economy Picu Suku Bunga Tinggi’, yang dapat diakses melalui: http://davidsumual.blog.kontan.co.id/category/perbankan-dan-pasar-modal/

Page 89: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

87

merupakan sektor yang potensi pertumbuhannya tinggi di masa datang, baik asuransi jiwa

maupun asuransi umum.

Potensi permintaan yang besar terhadap asuransi jiwa dapat dilihat dari jumlah penduduk

Indonesia yang besar dengan proporsi penduduk usia muda yang relatif tinggi serta makin

meningkatkan kelompok menengah di negeri ini. Sedangkan untuk asuransi umum,

potensinya dapat dilihat dari masih besarnya defisit transaksi neraca pembayaran Indonesia

untuk sektor asuransi sementara transaksi bisnis terus meningkat. Grafik L3.12

memperlihatkan peningkatan yang signifikan terjadi dalam bisnis asuransi, terutama asuransi

jiwa.

Gambar L3.12. Premi Bruto Asuransi di Indonesia, 1994-2012

Sumber: CEIC

Industri jasa asuransi di Indonesia didominasi oleh beberapa perusahaan besar. Berdasarkan

laporan yang diliris Towers and Watson (2013), empat perusahaan asuransi jiwa dengan

pangsa pasar terbesar adalah Prudential (25 persen), AXA Mandiri (14,1 persen), Sinarmas

life (6,2 persen) dan Allianz Life (6,1 persen). Keempat perusahaan terbesar tersebut secara

bersama-sama menguasai 51,4 persen dari total penjualan di pasar asuransi jiwa Indonesia.

Masih berdasarkan laporan Towers and Watson, 10 perusahaan asuransi jiwa terbesar

menguasai 76.4 persen pangsa pasar asuransi jiwa di Indonesia. Situasi ini memungkinkan

terjadinya praktik-praktik persaingan yang berpotensi melanggar undang-undang persaingan

usaha.

Page 90: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

88

Gambar L3.13. Jumlah Perusahaan Asuransi di Indonesia

Sumber: Towers dan Watson (2013)

Pada kenyataannya, beberapa kasus persaingan usaha memang pernah terjadi (lihat Tabel

L3.13). Pada awal tahun 2013, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) pernah dipanggil

oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) karena mengedarkan surat penetapan

tarif asuransi banjir yang dianggap dapat memicu pembentukan kartel asuransi.21 AAUI

mengeluarkan surat keputusan No 02/AAUI/2013 mengenai pedoman baru penentuan tarif

premi resiko banjir yang menentukan premi berdasarkan zona bahaya banjir. Tarif premi

berkisar antara 0,045 – 0,5% lebih tinggi dibandingkan ketentuan sebelumnya sebesar 0,017-

0,07. AAUI juga menetapkan adanya loading rate untuk bangunan kelas 1 yang memiliki

basement dengan besaran ditentukan oleh tim penilai. Pada April 2013, AAUI membatalkan

surat edaran. Namun pada akhir 2013, Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Surat Edaran

OJK No. SE.06/D.05/2013 (SE 06) mengenai Penetapan Tarif Premi serta Ketentuan Biaya

Akuisisi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor dan Harta Benda serta jenis Resiko

Khusus meliputi Banjir, Gempa Bumi, Letusan Gunung Berapi, dan Tsunami yang antara lain

mengatur premi banjir yang lebih kurang sama dengan SE AAUI. Surat Edaran ini dihimbau

KPPU agar dicabut22. Hal ini disebabkan sebagian besar perusahaan asuransi menentukan

tarif preminya pada batas bawah tersebut, sehingga tidak tercipta persaingan usaha dan

merugikan konsumen.

Beberapa kasus perjanjian ekslusif dan diskriminasi juga terjadi di masa lalu. Pada tahun

2001 misalnya, PT Bank BNI melalukan perjanjian ekslusif dengan beberapa perusahaan

21 http://www.tempo.co/read/news/2013/04/01/090470422/KPPU-Temukan-Praktik-Kartel-di-Asuransi 22 http://www.infobanknews.com/2014/08/kppu-sk-ojk-soal-tarif-premi-rugikan-konsumen/

Page 91: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

89

asuransi. KPPU meminta PT Bank BNI untuk membatakan perjanjian tersebut. Pada tahun

2009, Badan Pengusaha Batam dan PT Jasa Raharja, PT Asuransi Jasaraharja Putera Batam,

PT Jasa Asuransi Indonesia (Persero) Batam, PT Indodharma Corpora, PT Synergy Tharada,

dan PT Senimba Bay Resort terlibat praktik persaingan usaha tidak sehat. KPPU memutuskan

para pihak terbukti melanggar Pasal 17 ayat 1 tentang penguasaan atas produksi dan/atau

pemasaran barang dan atas jasa dan melanggar Pasal 19 huruf d tentang praktik diskriminasi.

Baru-baru ini, PT Bank BRI diduga melakukan exclusive dealing dengan PT Asuransi Jiwa

BRIngin Life dan Heksa Eka Life Insurance (Heksalife) dimana perusahaan asuransi yang

terkait mengikatkan produk asuransinya denga kredit pemilikan rumah yang dikeluarkan oleh

BRI. Saat ini, kasus ini masih dalam proses penyelidikan OJK dan KPPU.

1.6 Jasa Kesehatan

Sektor kesehatan Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat dalam beberapa tahun

mendatang. Ini antara lain karena sektor ini masih kecil bila dibandingkan dengan sektor-

sektor jasa lainnya. Hal ini tampak antara lain dari pengeluaran pemerintah untuk kesehatan.

Pada tahun 2011 realisasi pengeluaran pemerintah pusat untuk kesehatan hanya sekitar 0.6%

dari pendapatan bruto (PDB) nasional, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran

pemerintah untuk pendidikan yang mencapai 3.6% dari PDB.23 Sementara itu laporan OECD

(2013) yang lain menyebutkan pengeluaran untuk kesehatan oleh pemerintah dan swasta

bersama-sama hanya mencapai 2.7% dari PDB, jauh di bawah pengeluaran rata-rata negara-

negara industri maju (OECD) yang mencapai 9.3 percent dari PDB mereka.

Di samping itu pengeluaran per kepala untuk kesehatan di Indonesia juga masih sangat

rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Menurut Bank Dunia,

pada tahun 2012, pengeluaran per kepala untuk kesehatan di Indonesia hanya sekitar 108

USD.24 Pada tahun yang sama pengeluaran per kepala di Filipina, Malaysia, Singapura dan

Thailand secara berturut sebesar 119 USD, 410 USD, 2.426 USD dan 215 USD untuk tujuan

yang sama.

Berdasarkan data-data di atas, perkiraan perusahaan konsultan Frost and Sullivan bahwa

pertumbuhan pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia akan tumbuh rata-rata sebesar 14,9%

23 Sumber data: Bank Dunia (“Health expenditure per capita (current US$)”, http://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.PCAP). 24 Sumber data: Bank Dunia (“Health expenditure per capita (current US$)”, http://data.worldbank.org/indicator/SH.XPD.PCAP).

Page 92: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

90

antara tahun 2012 dan 2018 mungkin tidak terlalu meleset. Perusahaan tersebut

memperkirakan bahwa pada tahun 2018 pengeluaran untuk kesehatan akan mencapai sekitar

60,6 miliar USD.25 Ada beberapa alasan yang mendorong pengeluaran tersebut tumbuh

dengan pesat. Pertama, laju pertumbuhan yang tinggi disebabkan oleh proses urbanisasi serta

perubahan struktur demografis dimana usia rata-rata dan median usia penduduk Indonesia

yang meningkat. Meningkatnya jumlah penduduk perkotaan dan usia penduduk yang

semakin menua cenderung meningkatkan permintaan jasa kesehatan. Di sisi lain perubahan

gaya hidup yang terjadi seiring dengan meningkatnya penghasilan masyarakat juga

cenderung meningkatkan insiden penyakit kronis dan penyakit-penyakit tidak menular (non-

communicable diseases) seperti diabetes, jantung dan kanker. Selain daripada itu, kedokteran

moderen juga selain menuntut tersedianya tenaga-tenaga yang benar-benar ahli dalam suatu

bidang tertentu, juga membutuhkan teknologi kesehatan yang semakin canggih. Keduanya ini

cenderung menghasilkan adanya, dan meningkatkan, biaya pelayanan rumah sakit.

Sektor kesehatan memiliki lingkup yang luas dan mencakup berbagai sub-sektor. Ada dua

subsektor yang paling penting dan merupakan inti (core) dari layanan kesehatan, yaitu jasa

rumah sakit dan ketersediaan obat-obatan (farmasi). Uraian singkat ini akan difokuskan pada

persaingan di kedua subsektor jasa rumah sakit dan sektor farmasi.

1.6.1 Jasa Kesehatan Rumah Sakit

Layanan kesehatan di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagai gambaran, setiap 1.000 orang

penduduk hanya dilayani oleh sekitar 0.2 dokter dan 0.9 perawat. Sebagai pembanding setiap

1.000 orang di negara-negara OECD dilayani oleh 3,2 dokter dan 8,7 perawat. Disamping

itu, jumlah rumah sakit juga masih sangat rendah; untuk setiap 1.000 orang hanya ada 0,7

tempat tidur rumah sakit sementara setiap 1.000 orang di negara-negara OECD tersedia

sekitar 4,8 tempat tidur rumah sakit.

Struktur kepemilikan rumah sakit di Indonesia cukup kompleks. Ada rumah sakit dimiliki

dan dikelola oleh pemerintah yakni oleh kementerian kesehatan, pemerintah propinsi,

pemerintah kabupaten, pemerintah kota, militer dan polisi; ada rumah sakit swasta yang

terdiri dari rumah sakit yang betujuan komersial dan yang bersifat nirlaba; dan ada rumah

sakit milik BUMN untuk tujuan komersial. Tabel L3.5 memperinci struktur ini.

25 The Jakarta Post, 30 Maret 2013.

Page 93: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

91

Tabel L3.5. Struktur dan Kepemilikan Rumah Sakit, Agustus 2012

Salah satu pertanyaan yang mungkin muncul adalah: apakah Indonesia membutuhkan

persaingan jasa rumah sakit? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu melihat manfaat yang

bisa dipetik dari adanya persaingan layanan jasa kesehatan rumah sakit. Pertama, persaingan

akan mendorong munculnya berbagai jenis pilihan yang terjangkau bagi pengguna jasa

tersebut. Dengan demikian, pasien dapat memilih di rumah sakit mana pasien tersebut hendak

menjalani perawatannya, karena terdapat jumlah rumah sakit dengan kualitas yang dapat

dipertanggungjawabkan juga. Adanya persaingan juga menyebabkan tersedianya layanan

kesehatan dengan harga yang terjangkau. Ini sangat diperlukan dan sebenarnya sangat

menguntungkan pemerintah, karena dapat membantu mengurangi investasi publik yang harus

dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka menjamin adanya layanan kesehatan publik.

Kedua, persaingan juga akan mendorong penyedia jasa untuk memberikan informasi tentang

jenis-jenis jasa yang mereka tawarkan sehingga para pengguna jasa bisa melakukan pilihan

dengan baik (well-informed decision). Hal ini karena rumah sakit sebagai pihak penyedia jasa

memiliki kepentingan untuk menarik pasien.

Page 94: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

92

Ketiga, jika mutu layanan jasa rumah sakit menjadi lebih baik, maka milyaran rupiah yang

dikeluarkan oleh mereka yang berobat ke luar negeri setiap tahun dapat dibelanjakan dalam

negeri yang pada gilirannya akan mendorong perbaikan mutu lebih lanjut (virtuous cycle).

Jika ini terjadi maka bukan mustahil bahwa Indonesia bisa menjadi tujuan berobat bagi

pasien asing.

Pertanyaan lain yang berhubungan adalah bagaimana mendorong terjadinya persaingan di

sektor jasa rumah sakit. Pertanyaan ini penting mengingat jumlah rumah sakit yang masih

terbatas. Salah satu langkah konkrit yang telah diambil oleh pemerintah adalah membuka

sektor ini bagi penanaman modal asing. DNI yang terbaru (2014) telah membuka pelayanan

rumah sakit, rumah sakit spesialistik dan subspesialistik (KBLI 86103) bagi PMA dengan

kepemilikan asing sampai 67% dan berlaku di seluruh Indonesia. Masuknya modal asing di

sektor jasa rumah sakit diharapkan bisa meningkatkan persaingan di sektor ini.

Tentu saja disain upaya memajukan persaingan di sektor jasa rumah sakit perlu

memperhatikan sisi pembiayaan. Dengan perkataan lain, peran perusahaan asuransi dalam

memajukan persaingan di sektor ini perlu diperjelas. Metode pembiayaan merupakan salah

satu kunci bagi keberhasilan kompetisi dalam pelayanan rumah sakit (OECD 2012).

1.6.2 Sektor Farmasi

Pasar farmasi Indonesia diperkirakan akan tumbuh pesat di tahun-tahun mendatang. Pada

awal tahun 2014 pasar farmasi di Indonesia diperkirakan sebesar 6,5 miliar USD dengan

pertumbuhan rata-rata sebesar 12.5 persen per tahun. Perusahaan farmasi domestik

menguasai sekitar 70 persen dari pasar tersebut dan 30 persen sisanya dikuasai oleh

perusahaan farmasi asing. Ada sekitar 250 perusahaan farmasi di Indonesia, 60 di antaranya

adalah perusahaan asing.

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh industri farmasi di Indonesia adalah

ketergantungannya pada bahan baku impor. Sekitar 96 persen dari bahan baku produksi

industri farmasi berasal dari impor. Sebagai akibatnya, industri ini rentan terhadap perubahan

nilai tukar dan inflasi. Sementara itu, terdapat peraturan yang mengharuskan semua obat-

obatan yang terdaftar di Indonesia diproduksi di dalam negeri.

Page 95: Laporan Pengarusutamaan Kebijakan Persaingan Usaha Di Indonesia

93

Salah satu isu yang sering disebutkan tetapi sulit dibuktikan adalah adanya kerja sama antara

dokter dan perusaan farmasi dimana dokter akan mengeluarkan resep obat yang diproduksi

oleh perusahaan tertentu dengan imbalan dokter tersebut akan mendapat bonus dari

perusahaan bersangkutan. Di sisi lain, terdapat peraturan yang melarang apoteker untuk

mengganti obat yang tertera di resep tanpa persetujuan dokter yang bersangkutan. Sebagai

akibatnya meskipun ada peraturan yang menganjurkan dokter untuk sebisa mungkin

memakai obat generik, tetapi dalam kenyataannya pemakaian obat-obat generik bermerek

(off-patent drugs) lebih banyak daripada pemakaian obat generik. Kerja sama antara dokter

dan perusahaan farmasi ini bisa menjadi hambatan masuk (barrier to entry) bagi obat-obat

baru. Ini karena pembuat obat baru harus bisa meyakinkan dokter-dokter untuk

menganjurkan obat tersebut jika mengeluarkan resep. Ada kemungkinan bahwa ada obat-obat

generik bermerek yang mendominasi pasar meskipun obat-obat generik juga ada di pasar.

Salah satu masalah terpenting menyangkut persaingan di sektor farmasi adalah integrasi

vertikal antara perusahaan farmasi dan distributor. Dalam hal ini terdapat dua jenis integrasi

vertikal. Pertama, perusahaan farmasi membuat kontrak jangka panjang dengan distributor.

Kedua, perusahaan membentuk anak perusahaan yang menjalankan bisnis distribusi barang

untuk mengurangi kompetisi antar distributor. Kedua jenis integrasi vertikal yang umum

terjadi di industri farmasi ini sepertinya belum terlalu banyak dikaji oleh KPPU.

**