laporan penelitian tahun anggaran 2019 penelitian …
TRANSCRIPT
Tema : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Sub Tema : Pengelolaan Lingkungan
LAPORAN PENELITIAN
TAHUN ANGGARAN 2019
PENELITIAN BIDANG ILMUAN
ANALISIS KUALITAS SUMBER-SUMBER AIR UNTUK
PENGELOLAAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BERSIH
DI PULAU KECIL
(Studi Kasus: Pulau Merbau)
Tim Peneliti
KETUA : Joleha, ST.,MM NIDN : 0020077001
ANGGOTA : Dr. Imam Suprayogi, ST., MT NIDN : 0003056802
Bochari, ST, MT NIDN : 0010057001
Nurdin, ST., MT NIDN : 0018026503
Mahasiswa:
1. Delfiyan Masri Nim: 1507037804
2. Putri Morena Sari Nim: 1407034158
SUMBER DANA : DIPA LPPM UNIVERSITAS RIAU TAHUN 2019
Nomor Kontrak : 863/UN19.5.1.3/PT.01.03/2019, tanggal 20 Maret 2019
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS RIAU
OKTOBER 2019
i
ii
RINGKASAN PENELITIAN
Pulau kecil sebagai suatu bagian kawasan kepulauan memiliki sejumlah
keunggulan komperatif berupa sumberdaya hayati dan non-hayati seperti antara lain
ikan, bakau, terumbu karang, padang lamun dan biota laut lain beserta
ekosistemnya. Keunggulan tersebut telah dijadikan dasar bagi pengembangan
wilayah itu sendiri. Namun dibalik sejumlah keunggulan tersebut, kawasan
geografis ini ternyata menyimpan sejumlah keterbatasan, salah satunya adalah
sumberdaya air. Dalam upaya mendukung pemenuhan kebutuhan air bersih bagi
masyarakat terutama pada wilayah kepulauan khususnya Pulau Merbau, maka
analisis kualitas sumber air diperlukan untuk memberikan beberapa alternatif
pengolahan sumber-sumber air yang dapat digunakan sebagai dasar kajian lebih
lanjut untuk mendapatkan pengolahan sumber air bersih menjadi air bersih.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas air dari beberapa
sumber air baku yang akan dijadikan sebagai sumber air bersih. Sumber air baku
yang tidak memenuhi standar kualitas air bersih akan dijadikan sebagai dasar
pengambilan beberapa alternatif metode pengolahan air sehingga diperoleh kualitas
air bersih yang sesuai standar. Pemilihan sumber air dan metode pengolahan juga
didasari oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Merbau. Hasil uji beberapa
sumber air baku yang diperoleh bahwa kualitas air hujan secara keseluruhan
memenuhi standar air bersih hanya saja derajat keasaman (pH) air hujan (5,6) masih
dibawah standar pH netral. Sedangkan sumber air dari air tanah memiliki beberapa
unsur/zat yang tidak memenuhi standar air bersih diantaranya adalah seng (Zn)
terlarut, besi (Fe) terarut dan KMnO4. Air permukaan di wilayah Pulau Merbau
dikategorikan sebagai air payau/gambut dan memiliki karakeristik yang tidak
memenuhi kualitas air bersih diantaranya adalah warna, kekeruhan, DHL, pH dan
zat organik (KMnO4) serta besi dan mangan. Dari hasil uji tesebut diusulkan
pengolahan air untuk sumber air hujan adalah pengendapan atau saringan pasir
lambat sedangkan untuk air tanah ditawarkan sistem pengolahan saringan pasir
lambat down flow atau up flow. Sedangkan untuk air yang berasal dari air
permukaan dikategorikan juga sebagai air gambut yang memiliki karakteristik
tinggi terhadap warna, kekeruhan, zat organik dan kandungan kation serta memiliki
pH yang rendah, sehingga disarankan menggunakan sistem konvensional dengan
beberapa tahapan proses diantaranya proses oksidasi, proses adsorpsi, proses
koagulasi – flokulasi, dan proses elektrokoagulasi. Dengan melihat kondisi sosial
ekonomi masyarakat pulau Merbau saat ini maka di usulkan bahwa sumber air
hujan baik menggunakan sistem pengolahan maupun tanpa pengolahan, air hujan
layak digunakan sebagai sumber air bersih.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Allah
Subhanawataallah yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan kepada kami
Tim Penelitian Analisis Kualitas Sumber-Sumber Air Untuk Pengelolaan
Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Di Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau
Merbau), sehingga penelitian ini dapat di selesaikan tepat pada waktunya.
Penelitian ini telah terlaksana dengan baik, pengolahan dan pembahasan telah
dilaksanakan, luaran wajib dan luaran tambahan sudah dipenuhi. Pelaksanaan
penelitian didukung dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini
perkenankan kami menyampaikan terimakasih kepada;
1. Rektor Universitas Riau
2. Prof. Dr. Almasdi Syahza, SE., MP sebagai ketua Lembaga Pengabdian pada
Masyarakat (LPPM) Universitas Riau
3. Dr. Imam Suprayogi, ST., MT selaku Ketua Prodi Teknik Sipil D3.
Smoga hasil luaran dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa,
terutama mahasiswa teknik Sipil D3 Jurusan Teknik Sipil Universitas Riau.
Pekanbaru, 30 Oktober 2019
Tim Peneliti,
Joleha, ST., MM
iv
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan i
Ringkasan Penelitian ii
Kata Pengantar iii
Daftar Isi iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian …………………………………………1
1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………….2
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ……………………………………2
1.4. Luaran dan Manfaat Penelitian ……………………………………2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori yang Relevan ………………………………………………..4
2.1.1. Sumber Air …………………………………………......4
2.1.2. Persyaratan Fisika ...…………………………………..5
2.1.3. Persyaratan Kimia ………………………………………...6
2.1.4. Derajat Keasaman (pH)....................................................... 7
2.1.5. DHL (Daya Hantar Listrik) …………………………..…...8
2.1.6. Macam-Macam Pengolahan Air Baku ……….....………...9
2.2. Penelitian Terdahulu .............................................................……10
2.3. Kerangka Pemikiran.……………………………………………..12
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian .................... …………………………………..13
3.2. Prosedur Penelitian.....………………....…………………………13
3.3. Studi Literatur ….……………………………………13
3.4. Pengumpulan Data dan Alat …………………………………… 14
3.5. Teknis Analisis Data ……………………………………..14
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Persiapan Data ……………………..... …………………………………15
4.2. Hasil Uji Sampel …………………… ……….....………………............ 15
4.3. Alternatif pengolahan air bersih.………........................…….….........….18
4.3.1. Pengolahan Air Hujan ................................................................... 19
4.3.2. Pengolahan Air Tanah (Air Gambut)............................................22
4.4. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau Merbau …..…......….......... 25
4.5. Kualitas Air Hujan Wilayah Pesisir ........................................................ 28
4.6. Kualitas Air Hujan di Perkotaan ............................................................. 32
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………...………………..34
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN :
v
1. Draf Artikel pada Dinamika Lingkungan Indonesia terindex Portal
Garuda dan Google Scholar
2. Proseding
3. Materi Ajar
4. Executive Summary
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Sejauh ini telah diyakini bahwa pulau kecil sebagai suatu bagian kawasan
kepulauan memiliki sejumlah keunggulan komperatif berupa sumberdaya hayati
dan non-hayati seperti antara lain ikan, bakau, terumbu karang, padang lamun dan
biota laut lain beserta ekosistemnya. Keunggulan tersebut telah dijadikan dasar bagi
pengembangan wilayah itu sendiri. Namun dibalik sejumlah keunggulan tersebut,
kawasan geografis ini ternyata menyimpan sejumlah keterbatasan, salah satunya
adalah sumberdaya air. Untuk kawasan pulau kecil terutama pada daerah tropis,
beberapa pembatas yang berpengaruh pada sumberdaya air yang ada di antaranya
adalah penyusupan air laut, dan sempitnya luas daratan terutama yang dapat
berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan dsb.
Pada kawasan pulau dimana sistem aliran permukaan hanya memiliki waktu
tempuh pendek, hal ini mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya air untuk wilayah
semacam itu lebih mengandalkan pada air tanah, keberadaan air tanah ini sangat
tergantung salah satunya dengan kondisi geologi setempat. Sebahagian besar pulau-
pulau yang berada khususnya di provinsi Riau memiliki kondisi geologi yang sama
yaitu berada pada wilayah wetland, salah satunya adalah Pulau Merbau Kabupaten
Kepulauan Meranti. Hal ini mengakibatkan air tanah dan air permukaan tercemar
oleh lahan gambut yang bersifat asam atau payau dengan salinitas tinggi. Sehingga
salah satu alternatif sumber air bersih adalah air hujan
Dalam upaya mendukung pemenuhan kebutuhan air bersih bagi masyarakat
terutama pada wilayah kepulauan khususnya Pulau Merbau, maka analisis kualitas
sumber air diperlukan untuk memberikan beberapa alternatif pengolahan sumber-
sumber air yang dapat digunakan sebagai dasar kajian lebih lanjut untuk
mendapatkan pengolahan sumber air bersih menjadi air bersih selain air hujan.
Studi dilakukan dengan pendekatan metodologi meliputi studi pustaka, kegiatan
lapangan, kegiatan laboratorium dan studio. Kegiatan lapangan yang dilakukan
mencakup pengambilan sampel air tanah, air hujan dan air permukaan dan kondisi
2
sosial ekonomi setempat. Analisa laboratorium meliputi analisa contoh air yang
diambil dari lapangan dengan penekanan pada unsur-unsur utama kualitas air bersih
yaitu parameter fisika, kimia dan biologi. Analisa juga dilakukan terhadap metode
pengolahan air yang dapat menghasilkan air dari kualitas rendah menjadi air bersih.
Dengan demikian kenyataan yang menggambarkan keterbatasan sumber
daya air di pulau-pulau kecil, dapat diatasi dengan mengetahui kualitas tiap-tiap
sumber air baku dan jenis pengolahan yang tepat dan terjangkau, maka
pelaksanaan sistem pengelolaan sumber daya air berkelanjutan untuk kebutuhan
air bersih dapat diwujudkan yang akhirnya mendorong dilakukan penelitian ini
dengan judul Analisis Kualitas Sumber-Sumber Air untuk Memenuhi Kebutuhan
Air Bersih Di Pulau Kecil (studi kasus: Pulau Merbau).
1.2. Perumusan Masalah
Merujuk dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana kualitas sumber air tanah, air hujan dan air permukaan di pulau
Merbau, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih di
Pulau Merbau?
2. Bagaimana sistem pengolahan yang tepat untuk masing-masing sumber air
yang telah diuji kualitasnya?
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kualitas sumber-sumber air di
Pulau Merbau dan menganalisis alternatif-alternatif pengolahan sederhana untuk
sumber air yang memiliki kualitas yang tidak memenuhi standar kualitas air bersih
menjadi air bersih yang memenuhi standar, sehingga dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
1.4. Luaran dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui
3
kualitas sumber air yang ada di Pulau Merbau, terutama sumber air hujan, air
sumur (air tanah) dan air permukaan. Hasil uji kualitas air tersebut menjadi dasar
pemilihan beberapa metode alternatif dalam pengolahan sumber air bersih.
Kemudian dapat memberi informasi kepada para perencana untuk mendukung
pengembangan wilayah kepulauan yang berkelanjutan berdasarkan potensi sumber
daya airnya.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori yang Relevan
2.1.1 Sumber Air
Secara keseluruhan, air yang terdapat dipermukaan bumi membentuk
sebuah lingkaran (siklus) air. Air di lautan, sungai, sumur, danau dan waduk akan
menguap menjadi uap air. Titik uap akan bergerombol membentuk awan.
Kandungan uap di awan akan terkondensasi menjadi butiran-butirn air hujan.
Selanjutnya hujan membasahi permukaan bumi dan meresap menjadi air tanah
sehingga membentuk mata air, sumur, danau ataupun mengalir melewati sungai
menuju lautan. Siklus air tersebut akan berputar terus menerus. Sumber air secara
sederhana dapat diuraikan sebagai berikut;
Air laut
Air laut memiliki rasa asin karena mengandung senyawa garam murni
(NaCl) yang cukup tinggi, kadar garam murni sekitar 3% dari jumlah total
keseluruhan air laut. Saat ini teknologi yang dapat merubah air laut menjadi air
tawar yang layak dikonsumsi masih teknologi tinggi yaitu dengan filterisasi dan
destilasi dimana proses ini memerlukan energi yang besar sehingga hanya negeri
kaya dan maju yang baru bisa mengaplikasikan teknologi penjernihan air laut.
Air Hujan
Air hujan merupakan hasil proses penguapan (evaporasi) air di permukaan
bumi akibat pemanasan oleh sinar matahari. Dalam keadaan ideal (tanpa
pencemaran air) air hujan merupakan air bersih dan dapat langsung dikonsumsi
manusia. Namun pada saat evaporasi berlangsung air yang menguap sudah
tercemar, dan air hujan yang turun juga tercemar oleh polusi udara (industry,
otomotif dll) akhirnya air hujan tidak lagi mempunyai pH normal lagi melainkan
bersifat asam.
Air Permukaan
Air permukaan adalah semua air yang terdapat di permukaan tanah, antara
lain sumur, sungai, rawa dan danau. Air permukaan berasal dari air hujan yang
meresap dan membentuk mata air di gunung atau hutan, kemudian mengalir di
5
permukaan bumi dan membentuk sungai atau mengumpul di tempat cekung yang
membentuk danau ataupun rawa.
Air tanah
Menurut definisi undang-undang sumber daya air, air tanah merupakan air
yang terdapat didalam tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Air tanah
memiliki kandungan mineral yang cukup tinggi, sifat dan kandungan mineral air
tanah dipengaruhi oleh lapisan tanah yang dilaluinya. Kandungan mineral air tanah
antara lain Na, Mg, Ca, Fe, dan O2.
Air tanah digolongkan menjadi tiga, yaitu air tanah dangkal (kurang lebih
15 meter di bawah permukaan tanah, air tanah dalam (100-300 meter di bawah
permukaan tanah) dan mata air (mata air merupakan air tanah yang keluar langsung
dari permukaan tanah, mata air memiliki kualitas hampir sama dengan kualitas air
tanah dalam/dangkal).
2.1.2 Persyaratan Fisika
Secara fisik, kualitas air dapat diketahui dengan menggunakan indera
penglihatan, perasa, penciuman, dan mencicipi untuk mengetahui rasa, kekeruhan,
warna dan bau.
Standar uji fisika antara lain:
a) Kekeruhan
Kualitas air yang baik adalah jernih (bening) dan tidak keruh. Batas minimal
kekeruhan air layak minum menurut Permenkes adalah 5 skala NTU. Kekeruhan
air disebabkan oleh partikel-partikel yang tersuspensi dalam air.
b) Tidak berbau dan tidak berasa
Air yang mempunyai kualitas baik adalah tidak berbau dan tidak berasa. Bau
dan rasa dapat dirasakan langsung oleh indra penciuman dan indra perasa. Air yang
mempunyai bau dan berasa mengindikasikan ada terjadi proses dekomposisi bahan-
bahan organik oleh mikroorganisme dalam air, disebabkan oleh senyawa fenol yang
terdapat dalam air atau penyebab lainnya yang menyebabkan air tidak layak untuk
dikonsumsi.
c) Jumlah padatan terapung
6
Perlu diperhatikan air yang baik dan layak diminum tidak mengandung
padatan terapung dalam jumlah yang melebihi batas maksimal yang diperbolehkan
(1.000 mg/l).
d) Suhu Normal
Air yang baik mempunyai temperatur normal, kurang lebih 30 dari suhu
kamar (270C). Suhu air yang melebihi batas normal menunjukan indikasi terdapat
bahan kimia yang terlarut dalam jumlah yang cukup besar atau sedang terjadi proses
dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme.
e) Warna
Warna pada air dapat disebabkan oleh macam-mcam bahan kimia atau
organic. Air yang layak dikonsumsi harus jernih dan tidak berwarna. Permenkes
menyatakan bahwa batas maksimal warna air yang layak untuk diminum adalah 15
skala TCU.
2.1.3 Persyaratan Kimia
Uji Analisa kualitas air secara kimia sederhana ini bertujuan untuk
mengetahui ada atau tidaknya kandungan kimia dalam sampel air . Dengan mata
telanjang tidak dapat diketahui keberadan zat kimianya. Namun ini bisa dilakukan
dengan uji sederhana yaitu membuat teh menggunakan sampel air yang akan diuji.
Teh disini berfungsi sebagai penunjuk saja, jika sampel yang diuji mengalami
perubahan warna, lendir atau terdapat minyak pada lapisan atas, maka air tersebut
mengandung bahan kimiawi. Semakin cepat perubahan yang terjadi maka semakin
tinggi pula kandungan kimia yang ada pada sampel tersebut.
Bila perubahannya lambat atau baru berubah setelah pengamatan satu
malam, kandungan kimiawinya lebih sedikit, namun tetap air itu kurang baik
dikonsumsi. Air yang mengandung tingkat kesadahan dan kandungan logam tinggi
dapat terlihat bila air teh berubah menjadi hitam, ungu atau biru.
Standar baku kimia air layak minum meliputi:
a. Derajat keasaman (pH)
Kualitas air yang baik/netral berada di rentang pH 7. Air dengan pH di
bawah 7 dikatakan asam dan diatas 7 dikatakan basa.
b. Kandungan bahan kimia organik
7
Air yang baik memiliki kandungan bahan kimia organik dalam jumlah yang
tidak melebihi batas yang ditetapkan. Dalam jumlah tertentu tubuh membutuhkan
bahan kimia organik namun apabila melebih batas akan menimbulkan gangguan
pada tubuh. Hal itu terjadi Karena bahan kimia organic yang melebihi batas akan
terurai dan menimbulkan gangguan pada tubuh. Bahan kimia organic tersebut
antara lain seperti: NH4, H2S, SO-42-, dan NO3
-
c. Kandungan Bahan kimi anorganik
Bahan-bahan kimia yang termasuk dalam bahan kimia anorganik antara lain
garam dan ion-ion logam (Fe, Al, Cr, Mg, Ca, Cl, K, Pb, Hg, Zn).
d. Tingkat kesadahan rendah
Derajat kesadahan (CaCO3) maksimum air yang layak minum adalah 500
mg per liter.
2.1.4 pH
pH merupakan suatu parameter penting untuk menentukan kadar sam/basa
dalam air. Penentuan pH merupakan tes yang paling penting dan paling sering
digunakan pada kimia air. pH digunakan pada penentuan alkalinitas, CO2, serta
dalam kesetimbangan asam basa. Pada temperatur yang diberikan, intensitas asam
atau karakter dasar suatu larutan diindikasikan oleh pH dan aktivitas ion hidrogen.
Perubahan pH air dapat menyebabkan berubahnya bau, rasa, dan warna. Pada
proses pengolahan air seperti koagulasi, desinfeksi, dan pelunakan air, nilai pH
harus dijaga sampai rentang dimana organisme partikulat terlibat. Asam dan basa
pada dasarnya dibedakan dari rasanya kemudian dari efek yang ditimbulkan pada
indikator. Reaksi netralisasi dari asam dan basa selalu menghasilkan air. Ion H+ dan
OH- selalu berada pada keseimbangan kimiawi yang dinamis dengan H2O
berdasarkan reaksi;
pH = 7 menunjukkan keadaan netral
0 < pH < 7 menunjukkan keadaan asam
7 < pH < 14 menunjukkan keadaan basa (alkalis)
Air minum sebaiknya netral, tidak asam/basa, untuk mencegah terjadinya
pelarutan logam berat dan korosi. Air adalah bahan pelarut yang baik sekali, maka
dibantu dengan pH yang tidak netral, dapat melarutkan berbagai elemen kimia yang
8
dilaluinya. Berdasarkan SNI AMDK dan EC rules air yang baik ph-nya antara 6
sampai 8, air mineral 6,5 sampai 8,5 dan air demineral 5,0 sampai 7,5.
Pengukuran pH dapat dilakukan menggunakan kertas lakmus, kertas pH
universal, larutan indikator universal (metode Colorimeter) dan pHmeter (metode
Elektroda Potensiometri). Pengukuran pH penting untuk mengetahui keadaan
larutan sehingga dapat diketahui kecenderungan reaksi kimia yang terjadi serta
pengendapan materi yang menyangkut reaksi asam basa.
2.1.5 DHL (Daya Hantar Listrik)
Daya hantar listrik (DHL) merupakan kemampuan suatu cairan untuk
menghantarkan arus listrik (disebut juga konduktivitas). DHL pada air merupakan
ekspresi numerik yang menunjukkan kemampuan suatu larutan untuk
menghantarkan arus listrik. Oleh karena itu, semakin banyak garam-garam terlarut
yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL. Besarnya nilai DHL
bergantung kepada kehadiran ion-ion anorganik, valensi, suhu, serta konsentrasi
total maupun relatifnya.
Pengukuran daya hantar listrik bertujuan mengukur kemampuan ion-ion
dalam air untuk menghantarkan listrik serta memprediksi kandungan mineral dalam
air. Pengukuran yang dilakukan berdasarkan kemampuan kation dan anion untuk
menghantarkan arus listrik yang dialirkan dalam contoh air dapat dijadikan
indikator, dimana semakin besar nilai daya hantar listrik yang ditunjukkan
pada konduktivitimeter berarti semakin besar kemampuan kation dan anion yang
terdapat dalam contoh air untuk menghantarkan arus listrik. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin banyak mineral yang terkandung dalam air.
Konduktivitas dinyatakan dengan satuan p mhos/cm atau p Siemens/cm.
Dalam analisa air, satuan yang biasa digunakan adalah µmhos/cm. Air suling
(aquades) memiliki nilai DHL sekitar 1 µmhos/cm, sedangkan perairan alami
sekitar 20 – 1500 µmhos/cm (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).
Pengukuran DHL dilakukan menggunakan konduktivitimeter dengan satuan
µmhos/cm. Prinsip kerja alat ini adalah banyaknya ion yang terlarut dalam contoh
air berbanding lurus dengan daya hantar listrik. Batas waktu maksimum
pengukuran yang direkomendasikan adalah 28 hari. Menurut APHA, AWWA
9
(1992) dalam Effendi (2003) diketahui bahwa pengukuran DHL berguna dalam hal
sebagai berikut :
a. Menetapkan tingkat mineralisasi dan derajat disosiasi dari air destilasi.
b. Memperkirakan efek total dari konsentrasi ion.
c. Mengevaluasi pengolahan yang cocok dengan kondisi mineral air.
d. Memperkirakan jumlah zat padat terlarut dalam air.
e. Menentukan air layak dikonsumsi atau tidak.
2. 1.6. Macam-Macam Pengolahan Air Baku
Macam pengolahan air yang sudah dikenal, yaitu
1. Complete Treatment proses (pengolahan sempurna), air baku mengalami
pengolahan lengkap yaitu pengolahan fisik, kimiawi dan bakteriologis.
Pengolahan dilakukan terhadap air sungai yang keruh atau kotor
2. Partial treatment proses ( pengolahan sebagian), air baku hanya mengalami
proses pengolahan kimia dan pengolahan bakteorologi, pada proses
pengolahan lengkap terdapat tiga tingkat pengolahan, yaitu:
Pengolahan Fisik
Bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kotoran-kotoran kasar,
penyisihan lumpur dan pasir, mengurangi zat-zat organik yang ada pada air yang
akan diolah. Proses pengolahan ini dilakukan tampa tambahan zat kimia.
Pengolahan bahan kimia
Tujuan dari pengolahan ini yaitu membantu proses pengolahan selanjutnya,
misalnya pemberian tawas supaya mengurangi tingakat kekeruhan air baku yang
ada.
Pengolahan bakteriologis
Tujuannya membunuh atu memusnakan bakteri-bakteri terutama bakteri
penyebab penyakit yang terkandung dalam air misalnya:
Baktri collie (salah satu penyebab penyakit perut). Salah satu peruses pengolahan
adalah dengan penambahan zat desinfektan misalnya kaporit.
Secara umum pengolahan air terdiri atas atas lima jenis yakni
a. Pengolahan secara alamiah yaitu dalam bentuk penyimpanan dan pengendapan
10
b. Pengolahan dengan penyaringan. Pada jenis ini terdiri atas 2 macam saringan
pasir lambat (slow san filter) dan saringan pasir cepat ( Rapid sand Filter).
c. Pengolahan dengan penambahan koagulan dan desinfektan dengan tujuan
mempercepat prooses koagulasi dan membunuh bakteri yang terdapat dalam
air.
d. Pengolahan dengan Aeration dengan tujuan menghilangkan baun dan rasa tidak
enak pada air dan gas-gas yang tidak di butuhkan.
e. Pengolahan dengan pemanasan hingga mendidih
2. Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian yang berhubungan dengan analisis atau kajian kualitas
air tanah, air sungai maupun air hujan yang telah dilakukan, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri, seperti yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti beriku ini;
Hantoro at al., (2008) dalam kajian tentang air tawar di pulau kecil
menyimpukan bahwa penanaman jenis pohon tertentu yang sudah diuji kemampuan
dan perilakunya sehingga dapat cepat memberi hasil utama dan sampingan namun
juga terhindar dari dampak-dampak negatif antara lain kelebihan evapotranspirasi
yang pada akhirnya bahkan dapat mengurangi persediaan air di pulau. Upaya
peningkatan kualitas air tawar juga dilakukan dengan pengolahan limbah air
keluarga yang luarannya juga diusahakan dikembalikan sebagai bagian dari neraca
air tawar pulau kecil-pesisir.
Wulan dan Heni (2016) tipologi mata air di Pulau Yamdena dan Pulau
Selaru berasal dari aliran air tanah zona atas yang dipengaruhi oleh air permukaan.
Berdasarkan hasil uji Laboratorium hampir semua sumber air yang teridentifikasi
di Pulau Yamdena dan Pulau Selaru belum memenuhi baku mutu yang digunakan.
Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan dapat membantu pendayagunaan air
selanjutnya yang diarahkan untuk mewujudkan pengembangan pemanfaatan yang
berkelanjutan.
Hadi et al., (2006) proses penyusupan air laut dalam penelitiannya tampak
lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi genesa dari endapan pantai daerah studi.
Hasil studi sementara menunjukkan bahwa telah terjadi proses degradasi kualitas
11
air tanah di daerah studi. Walaupun terjadi peristiwa penyusupan air laut, proses
degradasi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh limbah domestik.
Despins at al., (2009) telah melakukan penelitian berhubungan dengan
Assessment of rainwater quality from rainwater harvesting systems in Ontario,
Canada. Hasil dari program penilaian kualitas sebagian besar konsisten dengan
yang dilaporkan oleh beberapa peneliti lain. Hasil menunjukkan bahwa air hujan
dari sistem RWH dapat berkualitas tinggi secara konsisten melalui pemilihan bahan
tangkapan dan penyimpanan yang sesuai dan penerapan perawatan.
Achadu at al., (2013) melakukan penelitian yang berhubungan dengan
Quality Assessment of Stored Harvested Rainwater in Wukari, North-Eastern
Nigeria: Impact of Storage Media, Studi ini menunjukkan bahwa air hujan yang
dipanen mungkin tidak cocok untuk minum langsung, tanpa pengolahan, tetapi
dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga lainnya.
Bing at al., (2012) melakukan penilaian terhadap kualitas air tanah dan air
permukaan, dan menyimpulkan bahwa air permukaan dan air tanah dangkal cocok
untuk irigasi, reservoir dan air tanah dalam di hulu adalah sumber daya untuk
minum. Air untuk minum harus menghilangkan ion Fe dan Mn yang terbentuk
secara alami. Kontrol bahaya natrium dan salinitas adalah diperlukan untuk irigasi.
Pengelolaan air permukaan dan air tanah terpadu diperlukan untuk memecahkan
masalah air minum dan irigasi.
Gungoa (2016) melakukan pemeringkatan kualitas air diukur dengan dua
cara yaitu indeks kualitas air (WQI) dan metode CCME WQI menunjukkan bahwa
air tersebut cocok untuk keperluan minum. Studi ini menunjukkan bahwa WQI
dapat menjadi alat yang berharga bagi administrator air dan pembuat kebijakan
untuk menilai dan menilai kesesuaian air untuk berbagai penggunaan.
Penelitian ini menjadi sangat relevan untuk mengetahui kualitas air dari
sumber-sumber air yang dapat dijadikan sebagai sumber air bersih, sehingga dari
hasil kualitas air maka akan dilakukan analisa pengolahan air yang tepat untuk
masing-masing sumber air tersebut. Dengan demikian sumber sumber air tersebut
dapat dijadikan sumber air bersih selain air hujan yang selama ini umumnya
digunakan di Pulau Merbau dalam memenuhi kebutuhan air bersihnya.
12
2. 3. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini selanjutnya disajikan seperti pada Gambar 2.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Data: - Sampel air dari air hujan, air tanah
dan air permukaan. - Data sosial ekonomi - Peta
Analisis Kualitas Sumber-Sumber Air Untuk
Pengelolaan Pemenuhan Kebutuhan Air
Bersih Di Pulau Kecil
Permasalahan : - Lahan basah/gambut - Air payau/asam - warna air coklat - salinitas tinggi
Tujuan:
1. untuk menganalisis kualias sumber-
sumber air di Pulau Merbau 2. untuk menganalisis alternatif-alternatif
pengolahan sumber air menjadi air bersih,
Output: - Mengetahui Kualitas sumber-
sumber air - Mengetahui metode
pengolahan air sesuai hasil uji
kualitas sumber-sumber air di
pulau Merbau
Outcome: - Jurnal Nasional - Seminar Nasional - Materi Ajar - TTG
- Draf TA Mhs
Pengumpulan Data
Primer Sekunder
Analisis
Kualiatas Air Pengolahan air
bersih
Diskusi
Kesimplan & Rekomendasi
13
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Lokasi studi penelitian berada di Pulau Merbau Kabupaten Kepulauan
Meranti, Provinsi Riau.
Gambar 3.1. Lokasi Penelitian
3.2. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini terdiri dari studi literatur, pengumpulan data,
pengambilan sampel air, proses pengujian laboratorium dan analisis pengolahan
yang sesuai serta penggambaran sebaran kualitas sumber air. Bagan alir metodologi
penyelesaian penelitian sejalan dengan alur pikir yang digambarkan dalam bagan
alir pada Gambar 2.1.
3.3. Studi Literatur
Dilakukan studi literatur yaitu studi yang dilakukan dengan cara menelaah
kajian-kajian ilmiah untuk mendapatkan dasar-dasar teori yang berkaitan dengan
topik yang diangkat dalam penelitian. Studi literatur bisa didapat dari berbagai
sumber seperti jurnal, buku, prosiding ataupun skripsi/thesis yang berkaitan hasil
penelitian dan publikasi yang berkenaan dengan kajian kualitas air dari berbagai
sumber air baku untuk air bersih.
Lokasi Penelitian
14
3.4. Pengumpulan Data dan Alat
Pengumpulan data dan alat yang digunakan dilakukan dengan adalah
sebagai berikut;
1. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
dua cara yaitu survei lapangan dan survei instansional. Survei lapangan
dilakukan dengan pengamatan langsung, pengambilan sampel air yang berasal
dari air tanah, air permukaan dan air hujan. Data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu berupa data sosial ekonomi masyarakat.
2. Alat yang digunakan adalah peralatan pengambilan sampel air dan pengukuran
parameter lapangan seperti misalnya suhu dan pH. Sedangkan peralatan
lainnya adalah peralatan pengujian kualitas air di laboratorium.
3.5. Teknis analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif
laboratoris yang memberikan gambaran secara deskriptif dari hasil uji
laboratorium. Data hasil uji laboratorium selanjutnya dibandingkan dengan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416 tahun 1990 tentang standar kualitas air
bersih untuk melihat apakah air tanah, air permukaan dan air hujan di pulau Merbau
layak jika dikonsumsi sebagai air bersih.
Hasil pengujian kualitas air di analisa dan dipertimbangkan untuk
mendapatkan alternatif-alternatif pengolahan sumber air menjadi air bersih dan
pengelolaannya, sehingga pemenuhan kebutuhan air bersih di Pulau Merbau dapat
tecapai.
15
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Persiapan Data
Data yang digunakan adalah data primer yaitu hasil uji kualitas air hujan dan
air sumur kecamatan Pulau Merbau. Hasil uji yang diperoleh akan dianalisa dan
dijadikan juga perbandingan denga dengan data-data uji kulitas air hujan dari
beberapa daerah di Indonesia. Data uji kualitas dari sampel yang diambil
dilampirkan pada lampiran 1, yang mana merupakan dasar pembahasan dalam
penelitian.
4.2 Hasil Uji Sampel
Air merupakan sumber daya alam yang sangat melimpah di muka bumi, dan
dengan adanya siklus hidrologi menjadikan air sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui. Namun meskipun air merupakan sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui, air di alam sangat jarang ditemukan dalam keadaan murni. Air hujan
yang pada awalnya dalam keadaan murni tapi setelah mengalami reaksi dengan gas-
gas di udara dalam perjalanannya turun ke bumi dan selanjutnya selama mengalir
di atas permukaan bumi dan dalam tanah, menjadikan air tersebut terkontaminasi.
Kualitas air merupakan karakteristik mutu yang dibutuhkan dalam pemanfaatan air
sesuai dengan yang diperuntukannya, dalam hal ini adalah kualitas air sebagai air
bersih yang dapat dimanfaatkan terutama sebagai air untuk masak, minum dan
mencuci. Pembatasan peruntukkan air disebabkan karena pengaruh kondisi suatu
wilayah. Wilayah pesisir adalah wilayah yang cenderung mengalami kesulitan air
bersih dan satu-satunya sumber air bersihya adalah mengandalkan air hujan. Air
hujan yang merupakan air alami yang paling mendekati air mumi ternyata
menunjukkan komposisi yang berbeda-beda antara satu tempat dengan termpat
yang lain.
Beberapa sampel air telah diuji kualitasnya seperti yang tertera pada Tabel
4.1. Secara umum kualitas sampel air menunjukan hasil uji masih dalam baku mutu
yang dipersyaratkan. Hanya pada sumber air yang berasal dari air hujan (A&B)
diperoleh hasil parameter pH dibawa baku mutu yaitu sebesar antara 5,64 -5, 86.
16
Hal ini menandakan air bersifat asam. Dalam standar air bersih pH diharapkan
berada pada nilai 6,5 – 8,5. Sifat asam air hujan ini terjadi pada air dari sumber bak
penampungan plastik maupun dari bak penampungan tempayan semen.
Tabel 4.1. Hasil Uji Kualitas Air dari beberapa sumber air di Pulau Merbau
No. Parameter Satuan Kadar
Maks
Hasil Pengujian
A B C
A. Fisika
1. Bau - - - - -
2. Warna Pt/Co 50 26 5 68
3. Jumlah zat padat
terlarut (TDS)
mg/l 1.000 16 4 1.042
4. Kekeruhan NTU 25 0,68 0,35 25.6
5. Rasa - - - -
6. Suhu 0C 25,5 25,7 -
B. Biologi
7. Total Kaliform # Jml/100ml 50 5,6 3,6 <1,8
C. Kimia Wajib
8. pH - 6,5 – 8,5 5,64 5,84 6,81
9. Besi Terlarut # mg/l 1 0,062 0,084 0,100
10. Kesadahan # mg/l 500 8,006 4,003 107,1
11. Mangan Terlarut mg/l 0,5 0,013 <0,010 0,016
12. Nitrat sebagai N mg/l 10 10 0,4 6,1
13. Nitrit sebagai N # mg/l 1 <0,017 <0,017 <0,017
14. Sianida mg/l 0,1 <0,003 <0,003 <0,003
15. Fluorida mg/l 1,5 <0,181 0,777 0,629
D Tambahan
16. Kadmium
Terlarut #
mg/l 0,005 <0,003 <0,003 <0,003
17. KMnO4 mg/l 10 4,74 1,64 27,18
18. Kromium Valensi
6
mg/l 0,05 <0,025 <0,025 <0,025
19 Seng Terlarut # mg/l 0,005 <0,003 0,542 0,021
20. sulfat mg/l 400
21. Timbal Terlarut # mg/l 0,05 <0,025 <0,025 <0,025
Sumber: Hasil Uji Lab, 2019
Sedangkan hasil uji sumber air tanah (C) pada Tabel 4.1 menjelaskan
bahwa ada beberapa parameter kualitas bersih yang tidak memenuhi standar.
Parameter tersebut adalah warna, jumlah zat padat telarut (TTS), kekeruhan, besi
terlarut, seng terlarut dan KMnO4. Air ini jika dijadikan sebagai sumber air bersih
, maka terlebih dahulu dilakukan pengolahan untuk memdapatkan air bersih sesuai
kualitas Permenkes No. 416 tahun 1990.
17
Uji kualitas sumber air permukaan di pulau ini hanya dilakukan terhadap
parameter fisiknya saja, yaitu semestinya air bersih tidak berwarna, tidak berasa,
tidak berbau dan jernih namun air permukaan pada lokasi penelitian ini berwarna
coklat, berasa payau, berbau dan tidak jernih. Air permukaan ini juga dapat
dikategorikan sebagai air gambut, karenan air gambut adalah air permukaan yang
banyak terdapat di daerah berawa maupun dataran rendah jika dijadikan sebagai
sumber air bersih harus terlebih terlebih dahulu dilakukan pengolahan yang sesuai
dan sebisa mungkin sederhana karena menyesuaikan dengan keadaan masyarakat
setempat. Dipertegas oleh Kusnaedi, 2006 bahwa air gambut memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
• Intensitas warna yang tinggi (berwarna merah kecoklatan)
• pH yang rendah
• Kandungan zat organik yang tinggi
• Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah
• Kandungan kation yang rendah
Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya
kandungan zat organik (bahan humus) terlarut terutama dalam bentuk asam humus
dan turunannya. Asam humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan organik
seperti daun, pohon atau kayu dengan berbagai tingkat dekomposisi, namun secara
umum telah mencapai dekomposisi yang stabil (Syarfi, 2007). Dalam berbagai
kasus, warna akan semakin tinggi karena disebabkan oleh adanya logam besi yang
terikat oleh asam-asam organik yang terlarut dalam air tersebut.
Tabel 4.2. Kualitas Air Gambut di beberapa Daerah
18
Karakteristik air payau/gambut di beberapa wilayah di Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 4.2. Parameter yang tidak memenuhi baku mutu air bersih adalah
warna, kekeruhan, DHL, pH dan zat organik (KMnO4) serta besi dan mangan.
4.3 Alternatif pengolahan air bersih
Beberapa alternatif pengolahan diberikan untuk mengatasi kualitas sumber
air yang masih belum memenuhi standar yang di persyaratan sebagai kualitas air
bersih. Jenis pengolahan air ditentukan dari kualitas air yang dikandung sumber air
yang tersedia. Pemilihan proses pengolahan air secara umum tergantung dari jenis
serta konsentrasi polutan yang ada di dalam air. Beberapa proses yang dapat
dilakukan untuk menghilangkan senyawa atau unsur polutan yang ada di dalam air
dapat dilhat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Proses Pengolahan Air Bersih
No. Kualitas Air Baku Cara Pengolahan
1 Kekeruhan (TTS) Filtrasi denganmedia pasir silka, Filter atau
saringan pasir lambat, proses koagulasi-
flokulasi dan filtrasi pasir cepat, fitrasi
dengan memran utrafiltrasi
2 Polutan Mikro Filtrasi dengan karbon aktif
3 Carbon dioksida
bebas/CO2 agresif
Aerasi, pengolahan dengan zat alkali
4 Pengaturan pH Pengolahan dengan zat alkali
5 Besi Prehlorinasi, aerasi, pengontrolan pH,
dengan bakteri besi, pertukaran ion, dengan
katalisMnO2, oksidasi dg KmnO4 atau
ozon dll.
6 Mangan 1. (Oksidasi)+(Flokulasi)+Saringan
Pasir, Khlorinasi Awal, Okasi-asi
denganozon
2. Filtrasi kontak media filter yang
mengandung MnO2, Filtrasi ganda.
3. Proses dengan bakteri besi dengan
saringan pasir lambat.
7 Plankton Dengan pemakaian bahan kimia: copper
sulfat, Khlorine, copper khlorida; fitrasi
ganda; saringan mikro.
8 Bau Proses Aerasi, menghilangkanmikro-
organisme, Proses dengan karbon aktif,
khlorinasi; pengoahan dengan ozon.
19
9 Deterjen dan phenol Pengolahan dengan karbon aktif, Proses
pengolahan awal secara biologis, oksidasi
dengan ozon.
10 Warna Engoahan dengan cara koagulasi-flokulasi,
pengolahan dengan karbon aktif, oksidasi
dengan ozon.
11 Flourine Pengolahan dengan almina aktif
pengolahan dengan arang tulang, proses
elektrolitik.
12 Kekeruhan Pengolahan dengan cara kagulasi-flokulasi,
pengendapan dan fltrasi
13 Kesadahan Proses penlunakan dan destilasi
14 Nitrate Proses demineralisasi
15 Amonia Proses ion ecxcange dengan hidrogen
zeonit
16 Asam mineral bebas Netralisasi dengan alkali, ion exchange
17 Hidrogen sulfida Aerasi, khorinasi dan ion exchange
18 Konductivity Demineralisasi dan proses pelunakan
19 Silika On exchange dan destilasi
20 Khlorida Demineralisasi, destilasi, teknlogi
membrane RO
21 Bakteriologis Disinfeksi dengan senyawa hlor, disinfeksi
dengan ozon, sterilisasi dengan ultraviolet,
filtrasi dengan membrane UF/RO
4.3.1 Pengolahan Air Hujan
Hasil uji kualitas air hujan yang diperoleh seperti pada Tabel 4.1,
menunjukkan bahwa salah satu parameter yang tidak terpenuhi kualitas air
bersihnya adalah pH. Dari beberapa artikel menyatakan bahwa peningkatan pH air
hujan akan meningkat seiring dengan waktu pengendapan. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa air hujan dapat digunakan langsung sebagai air bersih tanpa
pengolahan. Air hujan yang dijadikan sebagai air minum sebaiknya terlebih dahulu
dimasak sebelum dikonsumsi. Untuk meningkatkan kualitas air hujan dapat juga
dilakukan beberapa jenis pengolahan, diantaranya adalah; Sistem Saringan Pasir
Lambat dan Sistem Saringan Pasir Lambat Down Flow Dan Up Flow.
Sistem Saringan Pasir Lambat
Sistem saringan pasir lambat merupakan teknologi pengolahan air yang
sangat sederhana yang dapat menghasilkan air bersih dengan kualitas yang baik.
Sistem saringan pasir lambat ini mempunyai keunggulan antara lain tidak
memerlukan bahan kimia (koagulan) yang sering merupakan kendala pada proses
20
pengolahan air di daerah pedesaan. Di dalam sistem pengolahan ini, proses
pengolahan yang utama adalah penyaringan dengan media pasir dengan kecepatan
penyaringan 5 - 10 m3/m2/hari. Air baku dialirkan ke tangki penerima, kemudian
dialirkan ke bak pengendap tanpa memakai zat kimia untuk mengedapkan kotoran
yang ada dalam air baku. selanjutnya di saring dengan saringan pasir lambat.
Setelah disaring dilakukan proses khlorinasi dan selanjutnya ditampung di bak
penampung air bersih, seterus-nya di alirkan ke konsumen.
Proses yang terjadi pada saringan pasir lambat adalah sebagai berikut:
apabila air baku dialirkan ke saringan pasir lambat, maka kotoran-kotoran yang ada
di dalamnya akan tertahan pada media pasir. Oleh karena adanya akumulasi kotoran
baik dari zat organik maupun zat anorganik pada media filternya maka terbentuk
lapisan (film) biologis. Dengan terbentuknya lapisan ini maka di samping proses
penyaringan secara fisika terjadi pula penghilangan kotoran (impuritis) secara bio-
kimia. Dengan demikian zat besi, mangan dan zat-zat yang menimbulkan bau dapat
dihilangkan. Hasil dengan cara pengolahan ini mempunyai kualitas yang baik. Cara
ini sangat sesuai untuk pengolahan yang air bakunya mempunyai kekeruhan yang
rendah dan relaif tetap. Biaya operasi rendah karena proses pengendapan tanpa
bahan kimia.
Sistem Saringan Pasir Lambat Down Flow Dan Up Flow
Teknologi saringan pasir lambat yang telah diterap-kan di Indonesia
biasanya adalah saringan pasir lambat konvesional dengan arah aliran dari atas ke
bawah (down flow), namun dari pengalaman yang diperoleh ternyata terdapat
beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan dari sistem saringan pasir lambat
konvensiolal tersebut yakni antara lain :
1. Jika air bakunya mempunyai kekeruhan yang tinggi, beban filter menjadai
besar, sehingga sering terjadi kebutuan. Akibatnya selang waktu pencucian
filter menjadi pendek.
2. Kecepatan penyaringan rendah, sehingga memerlukan ruangan yang cukup
luas.
21
3. Pencucian filter dilakukan secara manual, yakni dengan cara mengeruk
lapisan pasir bagian atas dan dicuci dengan air bersih, dan setelah bersih
dimasukkan lagi ke dalam bak saringan seperti semula.
Untuk mengatasi masalah tersebut diatas, dapat ditanggulangi dengan cara
modifikasi disain saringan pasir lambat yakni dengan menggunakan proses saringan
pasir lambat “Up-Flow” (penyaringan dengan aliran dari bawah ke atas).
Untuk mengatasi masalah kebuntuan terutama pada saat tingkat kekeruhan air
bakunya cukup tinggi misalnya pada waktu musim hujan, maka agar supaya beban
saringan pasir lambat tidak telalu besar, perlu dilengkapi dengan peralatan
pengolahan pendahuluan yaitu bak pengendapan awal berupa saringan “Up- Flow”
dengan media berikil atau batu pecah, dan pasir kwarsa/silika. Selanjutnya dari bak
saringan awal, air dialirkan ke bak saringan utama dengan arah aliran dari bawah
ke atas atau Up-Flow (Gambar 4.1). Air limpasan dar bak penyaring utama
merupakan air olahan dan di alirkan ke bak penampung air bersih, selanjutnya
didistribusikan ke konsumen dengan cara gravitasi atau dengan memakai pompa.
Gambar 4.1. Diagram proses pengolahan air bersih dengan Saringan Pasir lambat
Up Flow.
Dengan sistem penyaringan dari arah bawah ke atas (Up- Flow), jika
saringan telah jenuh atau buntu, dapat dilakukan pencucian balik dengan cara
membuka kran penguras. Dengan adanya pengurasan ini, air bersih yang berada di
atas lapisan pasir dapat berfungi sebagai air pencuci media penyaring (back wash).
Dengan demikian pencucian media penyaring pada saringan pasir lambat Up-Flow
tersebut dilakukan tanpa pengeluran atau pengerukan media penyaringnya, dan
dapat dilakukan kapan saja. Saringan pasir lambat “Up-Flow” ini mempunyai
22
keunggulan dalam hal pencucian media saringan (pasir) yang mudah, serta hasilnya
sama dengan saringan pasir yang konvesional.
Keunggulan Saringan Pasir Lambat Up Flow
Pengolahan air berish dengan menggunakan sistem saringan pasir lambat “Up
Flow” mempunyai keuntungan antara lain :
1. Tidak memerlukan bahan kimia, sehingga biaya operasinya sangat murah.
2. Dapat menghilangkan zat besi, mangan, dan warna serta kekeruhan.
3. Dapat menghilangkan ammonia dan polutan organik, karena proses
penyaringan berjalan secara fisika dan biokimia.
4. Proses operasi dan perawatannya murah dan mudah.
5. Sangat cocok untuk daerah pedesaan karena proses pengolahan sangat
sederhana.
4.3.2 Pengolahan Air Tanah (air gambut)
Berdasarkan Tabel 3 karakteristik air permukaan (air payau/gambut), yang
tidak masuk baku mutu kualitas air besih adalah warna, kekeruhan, DHL, pH dan
zat organik (KMnO4) serta besi dan mangan. Karakteristik air gambut ini
menunjukkan bahwa air gambut kurang menguntungkan untuk dijadikan air minum
bagi masyarakat di daerah pulau / daerah berawa. Namun karena jumlah air gambut
tersebut sangat banyak dan dominan berada di daerah tersebut maka harus bisa
menjadi alternatif sumber air minum masyarakat. Kondisi yang kurang
menguntungkan dari segi kesehatan adalah sebagai berikut;
1. Kadar keasaman pH yang rendah dapat menyebabkan kerusakan gigi dan sakit
perut.
2. Kandungan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan bagi
mikroorganisma dalam air, sehingga dapat menimbulkan bau apabila bahan
organik tersebut terurai secara biologi, (Wagner, 2001).
3. Apabila dalam pengolahan air gambut tersebut digunakan klor sebagai
desinfektan, akan terbentuk trihalometan (THM’S) seperti senyawa argonoklor
yang dapat bersifat karsinogenik (kelarutan logam dalam air semakin tinggi
bila pH semakin rendah) (Wagner, 2001).
23
4. Ikatannya yang kuat dengan logam (Besi dan Mangan) menyebabkan
kandungan logam dalam air tinggi dan dapat menimbulkan kematian jika
dikonsumsi secara terus menerus (Wagner, 2001).
Berdasarkan karakteristik air gambut tersebut diatas maka cara cara
pengolahan air secara konvensional / pengolahan lengkap (koagulasi – flokulasi –
sedimentasi – filtrasi – netralisasi dan desinfektan) dapat digunakan untuk
menghilangkan warna terutama pembentuk warna semu sekitar 80 %, efisiensi
penghilangan warna akan lebih efektif jika dilakukan modifikasi dan tambahan
proses seperti aplikasi karbon aktif, reaksi redoks, dan koagulan – flokulan aid,
(Pararaja, 2007).
Berdasarkan pada pengetahuan tentang penyebab dan kandungan warna pada
air gambut dan sifat-sifatnya, maka proses dan metode pengolahan alternatif yang
lain dapat diterapkan untuk mengolah jenis air berwarna alami yaitu dengan; proses
oksidasi, proses adsorpsi, proses koagulasi – flokulasi, dan proses elektrokoagulasi.
1. Proses Oksidasi
Proses oksidasi untuk pengolahan air berwarna (yang mengandung senyawa
organik) yang dapat dianjurkan adalah dengan ozon atau peroksida,karena tidak
menghasilkan suatu ikatan atau senyawa yang berbahaya (dapat menguraikannya
sehingga mudah terurai dan menguap). Ozon atau peroksida dikenal sebagai
oksidator yang kuat yang dapat digunakan dalam pengolahan air sehingga ikatan
polimer dan monomernya akan terputus dan akan membentuk CO2 dan H2O
apabila oksidasinya sempurna. Namun dalam aplikasinya biaya operasi relatif
mahal, dan perlu digunakan unit penghasil ozon.
2. Proses Adsorpsi
Adsorbsi merupakan fenomena fisika dimana molekul-molekul bahan yang
diadsorpsi tertarik pada permukaan bidang padat yang bertindak sebagai adsorban.
Dengan demikian jelas bahwa adsorpsi merupakan fenomena bidang batas, yang
efisiensinya makin tinggi apabila luas bidang permukaan adsorban makin besar
(Schnitzer, 1992). Ditinjau dari segi derajat adsorpsi pada suatu jenis adsorban
secara umum mengikuti aturan sebagai berikut (Cahyana, 2009);
24
a. Adsorpsi berlangsung sedikit terhadap semua senyawa organik, kecuali
senyawa berhalogen (F, Br dan Cl).
b. Adsorpsi berlangsung baik pada semua senyawa berhalogen dan senyawa
alifatik.
c. Adsorpsi berlangsung sangat baik terhadap semua senyawa aromatik, makin
banyak kandungan inti benzennya makin baik adsorpsinya.
Berdasarkan kriteria di atas maka, pengolahan air berwarna (air gambut)
dapat dilakukan dengan cara adsorpsi karena asam humus mempunyai gugus
senyawa aromatik. Namun secara umum proses inipun masih mahal. Dalam
pengolahan air gambut dengan proses adsorpsi pada perinsipnya adalah menarik
molekul asam-asam humus ke permukaan suatu adsorben. Contoh adsorben yang
biasa digunakan adalah karbon aktif (charcoal), zeolit, resin, dan tanah liat dari
lokasi sumber air gambut.
3. Proses Koagulasi – Flokulasi
Proses koagulasi yang diiringi dengan proses flokulasi merupakan salah satu
proses pengolahan air yang sudah lama digunakan. Proses ini penting untuk
penyisihan warna dan organik (Amirtarajah dan O’melia, 1999). Definisi koagulasi
sebagai proses cukup banyak tapi dari laporan Fearing et al., (2004) dapat
disimpulkan menjadi tiga :
a. Proses untuk menggabungkan partikel kecil menjadi agregat yang lebih besar.
b. Proses penambahan bahan kimia ke dalam air untuk menghasilkan spesies
kimia yang berperan dalam destabilisasi kontaminan dan meningkatkan
kemungkinan penyisihan.
c. Proses untuk menggabungkan partikel koloid dan partikel kecil menjadi
agregat yang lebih besar dan dapat mengadsorb material organik terlarut ke
permukaan agregat sehingga dapat mengendap.
Partikel koloid yang terkandung dalam air alam umumnya mempunyai
muatannegatif, sehingga koagulan yang diperlukan adalah yang bermuatan positif.
Koagulan yang umum digunakan dalam pengolahan air adalah garam aluminium
seperti alum.
Flok-flok yang terbentuk pada umumnya juga mempunyai kemampuan
adsorpsi yang cukup besar. Sehingga pada saat yang bersamaan dengan
25
pembentukan dan penggabungan mikroflok akan terjadi proses adsorpsi dan
pemerangkapan bahan-bahan terlarut dalam air, dan akan ikut tersisih dalam proses
pengendapan dan penyaringan. Sedangkan pada air berwarna alami atau air gambut
konsentrasi bahan koloid atau partikel tersuspensi lainnya umumnya sangat rendah.
Sehingga ada pendapat mengatakan bahwa sesungguhnya proses koagulasi dan
flokulasi yang dilaksanakan pada air berwarna tidak lain adalah melaksanakan
proses adsorpsi dengan bantuan penambahan bahan kimia (Notodarmojo, 1994).
4. Proses Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi merupakan metode pengolahan air secara elektrokimia
dimana pada anoda terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam (biasanya
alumunium atau besi) ke dalam larutan, sedangkan pada katoda terjadi reaksi
elektrolisis berupa pelepasan gas Hidrogen (Holt et al., 2004).
Menurut Mollah (2004), elektrokoagulasi adalah proses kompleks yang
melibatkan fenomena kimia dan fisika dengan menggunakan elektroda untuk
menghasilkan ion yang digunakan untuk mengolah air limbah. Sedangkan
elektrokoagulasi menurut Ni’am (2007), adalah proses penggumpalan dan
pengendapan partikel-partikel halus dalam air menggunakan energi listrik. Proses
elektrokoagulasi dilakukan pada bejana elektrolisis yang didalamnya terdapat dua
penghantar arus listrik searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan
elektrolit.
4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pulau Merbau
Analisa sosial ekonomi masyarakat dilakukan untuk mengetahui kondisi
sajauh mana kondisi masyaraat dapat menerima dan mengaplikasikan
prosespengolahan air bersih yang ditawarkan. Kondisi sosial ekonomi diperoleh
dari data sekunder yaitu berdasarkan penelitian Joleha, 2018.
Penduduk kecamatan Pulau Merbau sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai petani Karet (60 %), petani kelapa (5%), dan petani sagu (15
%), pedagang (10 %), karyawan baik pemerintah maupun swasta (2 %), nelayan (5
%), dll (3 %) (Profil Pulau Merbau, 2015).
26
Gambar 4.2. Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin masing-masing Desa
Kecamatan Pulau Merbau Tahun 2015 (Joleha, 2019))
Penyebaran jumlah penduduk dan jumlah penduduk miskin di setiap desa di
Kecamatan Pulau Merbau disajikan pada Gambar 4.2. Rata-rata jumlah penduduk
miskin yang tersebar di masing-masing desa berkisar sebesar 44,4% dari jumlah
penduduk di setiap desa yang ada di Kecamatan Pulau Merbau. Hal ini dapat
disebabkan oleh jenis pekerjaan penduduk yang sebahagian besar adalah petani
khususnya kebun karet dengan perkebunan konvensional. Tingkat kemiskinan yang
tinggi akan mempengaruhi daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air
bersih baik dari segi fasilitas sarana dan prasarana penyediaan air bersih maupun
kemampuan membeli air bersih secara langsung.
Berdasarkan kondisi ekonomi masyarakat pulau Merbau maka sumber air
baku yang digunakan adalah air hujan dengan pengolahan atau tanpa pengolahan.
Air hujan sebagai sumber air baku layak dijadikan sumber air bersih karena dalam
kandungan air hujan tidak terkandung zat yang melebihi baku mutu kualitas air
bersih. Sedangkan nilai pH nya masih termasuk dalam standar normal pH air hujan
yaitu sebesar 5,6.
0,0
10,0
20,0
30,0
40,0
50,0
60,0
70,0
80,0
0
500
1000
1500
2000
2500
3000Ju
mla
h P
end
ud
uk
(Jiw
a)
Desa-desa di Pulau Merbau
Pro
sen
tase
(%
)
Jmlh Pddk Pddk Miskin % Pddk Miskin %Rerata Pddk Miskn
27
Penampungan air hujan dan pengolahannya lebih mudah diterima oleh
masyarakat kerana secara konvensional sistem penampungan air hujan telah
membudaya dan sudah lama dilakukan oleh masyarakat umumnya di wilayah sulit
air bersih khususnya di wilayah pulau. Hal ini dapat dilihat dari data kondisi
ketersediaan sarana dan prasarana sistem pemanenan air hujan di Pulau Merbau
(Gambar 4.3.)
Gambar 4.3. Penampungan Curah Hujan di salah satu rumah penduduk Pulau
Merbau (Joleha, 2019)
Kemampuan untuk mengolah lebih lanjut air hujan yang sudah ada akan sulit
dilakukan karena kondisi ekonomi masyarakat yang kurang memadai. Data
menunjukkan masih ada masyarakat yang tidak memiliki bak penampungan seperti
yang tergambar pada Gambar 4.4.
28
Gambar 4.4. Kondisi fasilitas penampungan air hujan rumah tangga Pulau Merbau
Keterangan: (a) Jenis bak penampungan, (b) Volume bak penampung
4.5 Kualitas Air hujan Wilayah Pesisir
Data kualitas air hujan dari berbagai sumber penelitian dianalisa
berdasarkan peraturan pemerintah yaitu Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
492/Menkes/Per/IV/2010. Data hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kualitas
air hujan dari berbagai wilayah pesisir di Provinsi Riau ternyata sangat bervariasi,
namun demikian keseluruhan hasil pengujian kualitas air hujan analisa masih dalam
baku mutu air bersih (Tabel 4.4).
Tabel 4.4 Analisis air hujan di beberapa wilayah pesisir di Provinsi Riau
No. Parameter Satuan
Standar
Baku mutu
(kadar
maksimum)
Hasil Pengujian Kualitas Air
Hujan di wilayah Pesisir
Kec
Tanah
Merah
(INHIL)
Bagan
Siapi -
api
(Rohil)
Kec
Pulau
Merbau
(Kep.
Meranti)
1. pH - 6,5-9,0 6,5 8 5,74
2. Besi mg/l 0,3 <0,021 0,04 0,084
3. Flourida mg/l 1,5 0,319 0,003 0,777
4. Kesadahan
(CaCO3)
mg/l 500 2,002 15,29 4,003
5. Mangan mg/l 0,5 <0,010 0,02 <0,010
6. Nitrat, sebagai N mg/l 10 0,4 0,376 0,4
7. Nitrit, sebagai N mg/l 1 <0,017 0,0074 <0,017
8. Sianida mg/l 0,1 <0,003 - <0,003
9. Seng mg/l 15 0,006 - 0,542
10. Zat
organik(KMNO4)
mg/l 10 2,37 7,79 1,264
Sumber: Hasil analisa, 2019; Trialiani, 2016 & Anuar at al., 2015;
29
Salahsatu parameter kualitas air hujan yang sering diragukan nilainya yaitu
derajat keasaman (pH). Nilai pH suatu air menggambarkan keseimbangan antara
asam dan basa dan merupakan sebuah pengukuran konsentrasi ion hidrogen yang
ada dalam sebuah larutan. Nilai pH normal berdasarkan Permenkes No.
492/Menkes/Per/IV/2010 yaitu berada dalam kisaran 6,5 - 9. pH penting dalam
proses penjernihan air karena keasaman air pada umumnya disebabkan gas oksida
yang larut dalam air terutama karbondioksida. Pengaruh yang menyangkut aspek
kesehatan dari pada penyimpangan standar kualitas air minum dalam hal pH yang
lebih kecil 6,5 dan lebih besar dari 9,0 dapat menyebabkan beberapa senyawa kimia
berubah menjadi racun yang sangat menggangu kesehatan. Nilai pH air hujan
wilayah pesisir seperti yang ditampilkan pada Tabel 4.1, merupakan nilai yang
masuk kedalam baku mutu air bersih yang disyaratkan.
Tingkat keasaman air hujan di suatu wilayah bisa dipengaruhi oleh
kandungan gas seperti CO2. Gas CO2 terdapat di alam antara lain akibat dari sisa
hasil pembakaran seperti kendaraan bermotor dan aktivitas lainnya. Hal tersebut
memiliki potensi yang besar dalam peningkatan emisi gas CO2. Gas ini apabila
bereaksi dengan air hujan akan membentuk asam karbonat, asam inilah yang
berpengaruh terhadap nilai keasaman air hujan (Wardhani, 2015). Dibanding nilai
pH air hujan di 52 (lima puluh dua) stasiun di Indonesia cenderung bersifat asam
(Gambar 4.5). Dari hasil analisis pH ideal, pH air hujan normal sebesar 5,6
bersifat asam. Sedangkan pH air hujan diatas pH ideal 9,2 bersifat basa.
Gambar 4.5. Derajat keasaman air hujan dari beberapa stasiun hujan di Indonesia
(BMKG, 2019)
30
Secara alami hujan asam juga dapat terjadi akibat emisi gas dari gunung api
dan dari proses biologis di tanah, rawa dan laut. Tumbuhan yang membusuk dan
letusan gunung api melepaskan bahan-bahan kimia juga merupakan salah satu
penyumbang terbentuknya hujan asam, akan tetapi umumnya hujan asam yang
banyak terjadi disebabkan oleh aktifitas manusia (Matahelumual, 2010). Sudalma
& Purwanto (2012) menyebutkan bahwa transfortasi bahan pencemar dapat
dikarenakan oleh angin (advection), sebaran (dispersion), serapan oleh tanaman,
grafitasi (dry deposition) dan air hujan (wet deposition). Gas-gas polutan yang
terbawa angin ini akan tersebar hingga ratusan kilometer di atmosfer sebelum
bereaksi dengan uap air menjadi hujan asam dan jatuh ke bumi.
Ketika manusia menggunakan bahan bakar, maka sulfur dioksida (SO2) dan
nitrogen oksida (NOX) dilepaskan ke atmosfer dan kemudian bereaksi dengan air,
oksigen, dan senyawa lainnya membentuk asam sulfat dan asam nitrat yang mudah
larut dan jatuh bersama dengan air hujan. Hujan asam yang mencapai bumi akan
mengalir sebagai air limpasan pada permukaan tanah, masuk kedalam sistem air
dan sebagian lagi terendapkan didalam tahah. Hujan asam dapat juga terjadi dalam
bentuk salju, kabut, dan bahan halus yang jatuh ke bumi (Sivaramanan, 2015)
Selain sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOX), karbon dioksida juga
memiliki peranan penting dalam menurunkkan pH air hujan. Menurut Sudalma &
Purwanto (2012), kehadiran CO2 dapat menurunkan pH air hujan hingga 5,6
meskipun tidak ada sumber polutan lain yang menyebabkan hujan asam.
Keberadaan kalsium dalam konsentrasi yang cukup tinggi dapat
menetralkan pH air hujan, atau bahkan dapat membuat nilai pH menjadi basa.
Namun kondisi adanya pertambahan arus transportasi kendaraan bermotor dan
pertambahan industri di suatu daerah dapat mengakibatkan pencemaran sulfur dan
nitrogen menjadi tinggi sehingga membuat nilai pH tetap menjadi asam (Untari &
Kusnadi, 2015). Oleh karena di wilayah pesisir yang menjadi lokasi penelitian ini
merupakan wilayah pesisir yang memiliki jumlah kendaraan terbatas karena
terbatasnya akses transportasi dan tidak memiliki industri maka hal ini diperkirakan
penyebab nilai pH air hujan adalah netral atau masih dalam standar baku mutu yang
disyaratkan.
31
Parameter selanjutnya adalah kesadahan air yaitu kandungan mineral-
mineral tertentu di dalam air, umumnya ion Kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg)
dalam bentuk garam karbonat. Air sadah juga merupakan air yang memiliki kadar
mineral yang tinggi. Air dengan kesadahan yang tinggi memerlukan sabun lebih
banyak sebelum terbentuk busa (Mestati, 2007).
Berdasarkan Tabel 4.5 kesadahan yang terkandung dalam air hujan wilayah
pesisir ini masih dalam kategori lunak, yaitu dengan nilai tertinggi dari tiga wilayah
pesisir sebesar 15, 29 mg/l. Hampir di semua daerah di Indonesia Air hujan
memiliki kesadahan yang sangat rendah.
Tabel 4.5. Kesadahan air
No. Kelas 1 2 3 4
1 Kesadahan
(mg/l)
0 -55 56 -
100
101 -
200
201 -
500
2 Derajat
kesadahan
Lunak Sedikit
sadah
Moderat
sadah
Sangat
sadah
Sumber: Suripin, 2001
Berikutnya adalah parameter zat organik (KMNO4), dimana nilai zat ini
jauh lebih tinggi nilaiya di wilayah pasisir Bagan Siapi api dibanding dari wilayah
pesisir lainnya (Tabel 4.4). Zat organik yaitu zat yang pada umumnya merupakan
bagian dari binatang atau tumbuhan dengan komponen utamanya adalah karbon,
protein, dan lemak lipid. Zat organik ini mudah sekali mengalami pembusukan oleh
bakteri dengan menggunakan oksigen terlarut. Zat organik merupakan bahan
makanan bakteri atau mikroorganisme lainnya. Makin tinggi kandungan zat organik
di dalam air, maka semakin jelas bahwa air tersebut telah tercemar. Pengaruh
terhadap kesehatan yang ditimbulkan oleh penyimpangan terhadap standar ini yaitu
timbulya bau yang tidak sedap pada air minum dan dapat menyebabkan sakit perut.
Nilai zat organik yang di wilayah Bagansiapi api ini kemungkinan disebabkan oleh
pengaruh Kondisi bak penampungan saat pengambilan sampel yaitu disekitar lokasi
terdapat aktifitas burung walet (Anuar at al., 2015).
Fluoridasi air minum merupakan cara yang paling efektif untuk menurunkan
masalah karies pada masyarakat secara umum. Menurut penelitian, fluoridasi air
minum dapat menurunkan karies 40–50% pada gigi susu. Jika air minum
32
masyarakat tidak mengandung jumlah fluor yang optimal, maka dapat dilakukan
pemberian tablet fluor pada anak terutama yang mempunyai risiko karies tinggi.
Namun tingginya kandungan fluor pada air minum dapat mengakibatkan kerusakan
pada gigi. Semua zat bila digunakan tidak semestinya atau berlebihan maka akan
menyebabkan masalah atau berbahaya bagi kesehatan (Ningrum, 2014).
Dengan demikian dapat dikatakan kandungan fluorida yang ada pada air
hujan di wilayah pulau merbau lebih baik dari dua wilayah lainnya. Sumber fluoride
utama manusia adalah air. Fluoride tersebut bisa ada secara alami atau karena
fluoridasi. Air minum merupakan kontributor terbesar terhadap asupan fluoride
harian. Besarnya paparan fluoride individu ditentukan oleh kadar fluoride dalam air
dan konsumsi air harian (liter per hari). Peningkatan konsumsi air sehubungan
dengan suhu, humidity, aktivitas dan status kesehatan dan didukung oleh faktor
lainnya, termasuk diet (Fawell et.al., 2006). Besarnya kadar fluoride dalam air
minum secara alamiah bervariasi, tergantung pada lingkungan geologi spesifik
dimana air tersebut diperoleh. Di daerah non-fluoridasi, kadar fluoride dalam air
minum dapat mencapai sekitar 2,0 mg/liter. Akan tetapi, di beberapa tempat dapat
memiliki kadar fluoride hingga 20 mg/liter. Di daerah fluoridasi, kadar fluoride
dalam air minum pada umumnya berkisar antara 0,7-1,2 mg/liter (IPCS, 2002).
4.4 Kualitas Air Hujan di Perkotaan
Kualitas air hujan yang berada di Jawa dan Sumatera seperti pada Tabel 4.6,
memperlihatkan bahwa secara keseluruhan kualitas air hujan masih dalam baku
mutu yang di syaratkan. Hanya saja terdapat satu paramater Mangan nilainya
melebihi baku mutu yang disyaratkan yaitu sebesar 10,626 mg/l. Nilai tinggi ini
diperoleh dari sampel air hujan dari tampungan daerah perumahan di provinsi
Lampung. Ditemukan juga nilai kesadahan yang cukup tinggi pada penampungan
air hujan wilayah Malang dibanding air hujan lainnya yaitu sebesar 39,60 mg/l,
namun nilai tersebut masih dalam baku mutu air bersih yang disyaratkan.
33
Tabel 4.6. Kualitas air hujan di Jawa dan Sumatera
No. Parameter Satuan
Standar
Baku mutu
(kadar
maksimum)
Hasil Pengujian Kualitas Air
Hujan
Malang Lampung
(Perumahan)
Lampung
(Industri)
1. pH - 6,5-9,0 7,40 7,31 6,72
2. Besi mg/l 0,3 <0,26 0,392 0,157
3. Flourida mg/l 1,5 0,34 0,494 0,332
4. Kesadahan
(CaCO3)
mg/l 500 39,60 26 32
5. Mangan mg/l 0,5 0,01 10,626 0,308
6. Nitrat,
sebagai N
mg/l 10 0,53 0,095 0,359
7. Nitrit,
sebagai N
mg/l 1 <0.001 0,005 0,011
8. Sianida mg/l 0,1 - - -
9. Seng mg/l 15 - 3,703 1,174
10. Zat
organik
(KMNO4)
mg/l 10 0.90 - -
Sumber: Untari & Kusnadi (2015), Ramayanti & Soewondo (2015).
Dari beberapa analisis kualitas air hujan di beberapa wilayah di Indonesia
dalam kajian ini, ternyata kandungan air hujan secara umum memenuhi standar
kualitas air bersih. Oleh karena hal tersebut maka air hujan sangat layak dijadikan
sumber air bersih terutama di wilayah yang sulit air.
34
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut.
1. Kualitas sumber air tanah dan air permukaan di pulau Merbau tidak memenuhi
kualitas air bersih yang disyaratkan. Kualitas air hujan masih memenuhi
standar kalitas air bersih dengan pH normal (5,6) sebagai pH air hujan. Namun
tidak memenuhi kriteria dari pH air bersih yang semestinya bernilai pH 7.
2. Sistem pengolahan yang tepat untuk masing-masing sumber air yang telah
diuji kualitasnya adalah sistem pengolahan saringan pasir lambat untuk air
yang berasal dari air hujan. Sistem pengolahan air tanah dapat dilakukan
dengan meggunakan sistem pengolahan saringan pasir lambat down flow dan
pengolahan saringan pasir lambat up flow. Untuk sumber air permukaan yang
memiliki karakteistik air gambut, maka di tawarkan sistem pengolahan yang
lebih dominan merubah warna air menjadi lebih jernih dengan memilih sistem
konvensional dengan mejalani beberapa proses diantaranya yaitu proses
oksidasi, proses adsorpsi, proses koagulasi – flokulasi, dan proses
elektrokoagulasi.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa beberapa alternatif
pengolahan sumber air baku menjadi air bersih seharusnya juga dilakukan
pengujian kualitas air hasil pengolahanya, namun dalam penelitian ini belum
dilakukan. Oleh karena itu perlu penelitian lebih lanjut menguji kualitas air hasil
pengolahan dari beberapa sumber air tersebut.
35
DAFTAR PUSTAKA
Anuar, K. Ahmad, A. & Sukendi. 2015. Analisis kualitas air hujan sebagai sumber
air minum terhadap kesehatan masyarakat. Dinamika Lingkungan Indonesia,
p 32 – 39, ISSN 2356 – 2226, Januari 2015.
Amirtharajah, A. & C.R. O'Melia. 1990. Coagulation Processes: Destabilisation,
Mixing and Flocculation. In: Water Quality ang Treatment (a Handbook of
Community Water Supplies). 4th ed. New York : Mc Graw Hill.Inc.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). 2019. http://ip-182-16-
249-120.interlink.net.id/kualitas-udara/informasi-kimia-air-
hujan.bmkg?lang=ID.
Cahyana, P.E. 2002. Koagulasi Pati Didalam Air Limbah Tapioka Oleh Poli
Alumunium Klorida, Skripsi. Universitas Diponegoro.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan perairan. Yogyakarta(ID) : Kanisius
Fawell, J., Bailey, K., Chilton, J., Dahi, E., Fewtrell, L., Magara Y. (2006). Fluoride
in Drinking-water. World Health Organization (WHO).
Fearing, D.A.J. Banks, D. Wilson, P.H. Hilis, A.T. Campbell & Parsons, S.A. 2004.
NOM control options: The next generation. Water Science and Technology:
Water Supply, IWA Publishing. London. Vol. 4(4):139-145.
IPCS 2002, Fluorides . Environmental Health Criteria 227. World Health
Organization, Geneva
Joleha, 2019. Model Pengelolaan Sumber Daya Air Pada Pulau Kecil
Menggunakan Pendekatan Eko-Drain (Studi Kasus: Pulau Merbau
Kabupaten Kepulauan Meranti). Disertasi. Program Pascasarjana.
Universitas Riau.
Kusnaedi. 2006. Mengolah Air Gambut dan Kotor untuk Air Minum. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Matahelumual, B. C. 2010. Potensi Terjadinya Hujan Asam di Kota Bandung.
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 1 No. 2: 59-70, 2010.
Mestati. 2007. Telaah Kualitas Air. Cetakan kelima, Kanisius, Jakarta.
Mollah, M.Y.A., Morkovsky, P., Gomes, J. A. G., Kesmez, M., Parga, J., and
Cocke, D.L. 2004. Fundamentals, Present and Future Perspectives of
Electrocoagulation. Journal of Hazardous Materials. B114: 199 – 210.
Ningrum, R. P. 2014. Kebiasaan Konsumsi Air Hujan Terhadap Status Keparahan
Karies Gigi Pada Masyarakat Di Desa Aji Kuning Kecamatan Sebatik Tengah
Kabupaten Nunukan Tahun 2014. Skripsi. Bagian Ilmu Kesehatan Gigi
Masyarakat. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar.
Ni’am, M.F. Othaman, F. Sohaili. J. Fauzia. Z. 2007. Removal of Cod Turbidity to
Improve Wastewater Quality Using Electrocoagulation Technoque. The
Malaysian Journal of Analytical Sciences. Vol.Xi. No.1. 198-205.
Environmental Dept. Civil Engineering Faculty. Universiti Teknologi
Malaysia.Johor. Malaysia.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta : PT. Djambatan.
36
Notodarmojo, S. 1994. Pengolahan Air Berwarna, Kajian Terhadap Studi
Laboratorium, Makalah Lokakarya Pengolahan Air Berwarna. Palangkaraya.
Pararaja. 2008. Meninjau: Proses Koagulasi & Flokulasi dalam suatu Instalasi
Pengolahan Air. http://smk3ae.wordpress.com/2008/11/30/meninjau-proses-
koagulasi-flokulasi-dalam-suatu-instalasi-pengolahan-air/.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492/MENKES/PER/IV/2012 tanggal l9 April
2010.
Rahmayanti, A. E., & Soewondo, P. 2015. Penyediaan Air Minum Di Daerah
Pesisir Kota Bandar Lampung Melalui Rainwater Harvesting. Jurnal Teknik
Lingkungan . Volume 21 Nomor 2, Oktober 2015 (Hal 115-126).
Sivaramanan, S. 2015. Acid rain, causes, effects, and control strategies, Central
Environmental Authority, Battaramulla, DOI
10.13140/RG.2.1.1321.4240/1, April 2015.
Song, J., Mooyoung, H., Tschungil, K., & Jee-eun S. 2009. Rainwater Harvesting
as a sustainable water supply option in Banda Aceh. Seoul National
University: South Korea.
Sudalma & Purwanto. 2012. Analisis Sifat Hujan Asam di Kota Semarang.
Prosiding Seminar Nasional Pengolahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Semarang, 11 September.
Syarfi, S. H. 2007. Rejeksi Zat Organik Air Gambut Dengan Membran Ultrafiltasi.
Jurnal Sains dan Teknologi. Jakarta, Vol. XII, Hal. 9-14.
Suripin. 2001. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi,
Yogyakarta.
Trialiani, A.A. 2019. Kajian Pemanenan Air Hujan Skala Individual Untuk
Pemenuhan Air Baku Wilayah Pesisir (Wilayah Kajian: Desa Tanah Merah,
Kecamatan Tanah Merah, Kabupaten Indragiri Hilir). Skripsi. Fakultas
Teknik. Universitas Riau.
Untari, T., & Kusnadi, J. 2015. Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Air Layak
Konsumsi Di Kota Malang Dengan Metode Modifikasi Filtrasi Sederhana.
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 4 p.1492-1502, September 2015.
Wardhani, N. K. Ihwan, A., & Nurhasanah. 2015. Studi Tingkat Keasaman Air
Hujan Berdasarkan Kandungan Gas CO2, SO2 Dan NO2 Di Udara (Studi
Kasus Balai Pengamatan Dirgantara Pontianak). PRISMA FISIKA, Vol. III,
No. 01 (2015). Hal.09 - 14 ISSN : 2337-8204.
Zhang Y., Donghui C., Liang C., & Stephanie A. 2009. Potential for rainwater use
in high-rise buildings in Australia cities. Journal of Environmental
Management. 91:222-226.