laporan penelitian makna kehidupan …repo.unhi.ac.id/bitstream/123456789/35/1/makna...
TRANSCRIPT
1
LAPORAN PENELITIAN
MAKNA KEHIDUPAN MANUSIA MENURUT AJARAN
AGAMA HINDU
OLEH
I PUTU SARJANA
FAKULTAS ILMU AGAMA
UNIVERSITAS HINDU INDONESIA
DENPASAR
2012
2
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu,
Atas Asung Kerta Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa ) penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul ”Makna Kehidupan Manusia Menurut Ajaran Agama
Hindu” sebagai tanggung jawab akademis untuk memenuhi
persyaratan dalam menyelesaikan studi strata I serta sebagai
kontribusi terhadap dunia pendidikan khususnya Pendidikan Agama
Hindu.
Terselesaikannya penulisan ini tidak lepas dari dorongan semua
pihak, dan dalam kesempatan ini tak lupa penulis sampaikan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. DR. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, MS. Selaku Rektor
Universitas Hindu Indonesia.
2. Ibu Dr, Ida Ayu Gde Yadnyawati, M.Pd, selaku Dekan Fakultas
Ilmu Agama yang telah memotivasi dalam penyusunan skripsi ini.
3. Teman Dosen yang telah membantu memberikan sumbang fikir
dalam tulisan ini.
4. Seluruh Dosen pengajar dan Staf Administrasi di lingkungan
Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia.
5. Istri dan anak, dan keluarga atas dorongan dan doa restunya.
6. Dan semua pihak yang membantu penulis dalam penulisan karya ini.
3
Penulis sangat menyadari, penulisan ini masih jauh dari sempurna
baik dari segi isi maupun sistematika penulisan, yang masih banyak
memerlukan penyempurnaan dan penelitian yang mendalam. Dan dalam
kesempatan ini penulis mohonkan kritik dan sarannya yang positif untuk
penyempurnaan dari karya tulis ilmiah ini.
Om Shantih, Shantih, Shantih Om.
Denpasar, 2012
Penulis
4
DAFTAR ISI
ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL ………………………………………………
i
KATA PENGANTAR …………………………………………….. v
DAFTAR ISI ……………………………………………………… vi
ABSTRAKSI ……………………………………………………… ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah ………………………….
1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………… 4
1.3. Ruang Lingkup Masalah …………………………. 5
1.4. Tujuan Penelitian …………………………………
5
BAB II. DEFINISI KONSEP DAN METODE PENELITIAN
2.1 Arti Kehidupan Manusia ………………………… 6
2.2 Manusia Menurut Ajaran Agama Hindu ………...
12
2.2.1 Unsur Pembentukan Manusia …………………. 13
5
2.2.2. Atman Dalam Hubungannya Dengan Badan…. 26
2.3 Metode Penelitian ………………………………... 31
2.3.1 Metode Pengumpulan Data ……………………… 31
2.3.2. Metode Pengolahan Data ……………………….. 32
BAB III PANDANGAN AGAMA HINDU TERHADAP KEHI-
DUPAN MANUSIA …………………………………… 34
3.1. Pokok-Pokok Ajaran Agama Hindu Yang Menda-
Sari Kehidupan Manusia …………………………. 34
3.2. Manusia Sebagai Makhluk Ciptaan Tuhan ……… 45
3.3. Tahap-tahap Kehidupan Manusia Dalam Ajaran
Agama Hindu ……………………………………. 54
BAB IV. MAKNA KEHIDUPAN MANUSIA DALAM AJARAN
AGAMA HINDU ……………………………………… 65
4.1 Arti Hidup Manusia menurut Ajaran Agama Hindu 65
4.2. Tujuan Hidup Manusia Menurut Agama Hindu …. 78
4.3.Agama Hindu Sebagai Sarana Mempermulia Kehi-
Dupan Manusia …………………………………… 94
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan ……………………………………….. 98
5.2. Saran-saran …………………………………………. 98
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
6
ABSTRAK
Agama Hindu mengajarkan manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Segala sesautu yang ada atau yang
mungkin akan ada adalah merupakan manifestasi Tuhan. Manusia dalam
ajaran agama Hindu terbentuk atas badan kasar (stula sarira) dan badan
halus (suksma sarira).
Demi kelangsungan hidupnya manusia harus berbuat atau bekerja,
dalam bekerja tersebut ada dua hasil yang diakibatkan oleh prilaku manusia
yaitu baik dan buruk. Perbuatan baik dan buruk terasebut disebut dengan
karma, baik dan buruknya karma manusia ini akan berakibat pada hidup dan
kehidupan manusia baik dalam keadaan yang sekarang, masa lalu dan masa
yang akan datang.
Selama manusia tidak memahami akan realitas yang sebenarnya
tentang hakekat kehidupan selama itu pula manusia tetap dalam lingkaran
samsara/reinkarnasi, dan proses reinkarnasi ini selalu akan ditenkan oleh
karma tersebut. Selama manusia masih terikat akan hal-hal yang bersifat
keduawian tersebut membelenggu manusia selalu dihadapkan kepada
kealpaan dan awidya, barang siapa yang bisa melepaskan dari awidya
tersebut merekalah yang akan bisa dan tahu tentang hakekat kehidupan ini.
Dari masalah-masalah tersebutlah yang menggugah penulis untuk mencoba
mengangkat masalah-masalah tersebut ke dalam sebuah tulisan ini.
Dalam mengungkapkan masalah yang diteliti tersebut penulis
mempergunakan metoda pendekatan yakni dari proses awal mempergunakan
metoda pengumpulan data dengan data kepustakaan dan setelah
dikumpulkan data tersebut diolah dengan teknik analisis deskriptif.
Dari hasil pembahasan didapatkan bahwa agama Hindu secara
tegas mengajarkan bahwa makna kehidupan bagi manusia Hindu adalah
manusia harus mampu mewujudkan tujuan kehidupan yang digariskan oleh
tujuan agama yaitu Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma yakni
terbentuknya manusia Hindu yang bahagia di dunia dan bahagia di alam
alam suarga. Untuk mewujudkan tujuan hidup seperti itu manusia harus
memaknai hidup ini sebagai sebuah hakekat kehidupan yang selalu
berdasarkan pada dharmaning kehidupan yakni berpedoman pada Catur
Purusartha sebagai tujuan hidup yang dilakukan dengan jalan menempuh
Catur Marga.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa hidup yang singkat ini
haruslah dimaknai dengan selalu berbuat yang didasarkan atas dharma yang
telah digariskan dalam Catur Asrama, Catur Purusartha dan Catur Marga.
7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Hindu adalah
agama yang bersifat universal yang mengatur kebutuhan mental dan
spiritual kemanusiaan dalam keseluruhannya. Hal ini tercermin
dalam kehidupan umat Hindu yang beraneka ragam bentuk
kebudayaan dan memberi corak serta wujud tertentu pada masing-
masing daerah di mana umat Hindu itu dengan subur dan sangat
tergantung pada situasi dan kondisi atau desa, kala, patra.
Walaupun berbeda-beda corak kebudayaannya, namun pada
hakekatnya adalah mempunyai tujuan yang sama dan tetap
berpedoman pada ajaran “Dharma membimbing umat manusia
untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan” (Oka
Punyatmadja, 1983 : 18).
Ajaran agama Hindu mengajarkan hidup sebagai
manusialah yang menilai mana yang baik dan mana yang buruk.
Walaupun demikian dalam kehidupannya di dunia ini tidak sedikit
kesukaran-kesukaran, hambatan hambatan-hambata serta
penderitaan-penderitaan yang dialaminya. Hal ini tentu disebabkan
oleh perbuatan manuasi sendiri. Maka itu dalam kehidupannya
8
manusian itu tidak hanya ada, tetapi ia selamanya harus
membangun eksis tensinya itu masih harus tetap dibentuk dan
diperjuangkan tanpa henti-hentinya. Dengan demikian, maka dalam
kehidupannya tidak ada suatu segi kehidupan manusia yang pernah
terselesaikan secara tuntas, baik untuk hidup secara individual
maupun untuk hidup sosial. Maka sesuatu yang diperjuangkan
dalam hidupnya baik perorangan maupun sosial hanya sebagai batu
loncatan untuk bergerak lebih maju lagi. Hal ini sesuai dengan apa
yang ditulis oleh Nugroho dalam bukunya “Indonesia Ditahun
200(1983:ziii) bahwa “Hidup merupakan pendakian (life’san
ascent)” dalam segala bentuknya. Demikianlah pengalaman
manusia secara berkeseimbangan tanpa henti-hentinya akan
berakumulasi terus.
Di dalam mengikuti bahtera hidup, manusia sering
disesatkan oleh kabut kegelapan berupa ketidaksadaran di dunia ini
disebut dengan awidya, yang menimbulkan nafsu serakah yang
sering sering menjerumuskan manusia ke lembah dosa dan
malapetaka (Oka Punyatmadja, 1983:13). Hal ini dapat dibuktikan
bahwa hidup sebagai manusia dapat menyaksikan alam sedemikian
adanya dan seolah-olah beranggapan bahwa dunia ini adalah ada
yang sebenarnya, manusia tidak tahu realitas yang sebenarnya.
Keadaan manusia seperti itu tidak dapat dibayangkan bagaikan
9
seseorang masuk dalam sebuah goa yang penuh dengan kegelapan
di mana manusia masih meraba-raba mana yang benar dan mana
yang salah. Sehingga dalam kehidupannya manusia bertindak
seakan-akan dunia ini kekal. Atas kekeliruan manusia memandang
sunia yang penuh akan tipu daya yang menyebabkan banyak umat
manusia terjerumus ke lembah dosa dan mala petaka. Dalam
kehidupan kita sehari-hari sering kita bayangkan bahwa kehidupan
manusia adalah sesuatu yang sangat aneh dan mesteri yang sulit
dijangkau oleh pikiran manusia.
Sejarah kehidupan telah membuktikan dan bahwa suatu
kehidupan pasti akan mengalami suatu kematian atau dengan kata
lain mati terjadi karena didahului oleh kehidupan. Dalam
kepercayaan agama Hindu yang disebut dengan panca srada salah
satu di antaranya karma phala dan punarbhawa yang melandasi
kehidupan umat Hindu untuk senantiasa berbuat dharma. Di mana
hubungan antara kedua srada ini adalah merupakan rentetan
kelahiran oleh hukum karma (kharma phala). Jadi baik buruk
kehidupan kita saat sekarang adalah merupakan akibat dari baik
buruknya perbuatan kita pada kehidupan yang terdahulu. Demikian
juga baik buruknya perbuatan kita saat sekarang adalah sebagai
penuntun dari baik buruknya kehidupan kita pada saat yang akan
datang.
10
Berpedoman pada uraian tersebut di atas ternyata hidup
sebagai manusia tidak gampang seperti apa yang kita bayangkan.
Hidup dapat siandaikan bagaikan bepergian pada suatu tempat yang
menjadi tujuan kita harus memperhatikan dan mengikuti petunjuk-
petunjuk lalu lintas agar kita selamat sampai pada tujuan. Demikian
juga manusia dalam hidupnya harus memperhatikan dan mengikuti
petunjuk-petunjuk hidup yang diamanatkan dalam ajaran agama
Hindu agar mencapai tujuan hidup. Ajaran agama dapat memberi
penerang dalam kehidupan manusia yang diliputi oleh kegelapan
(awidya) begitu pula kehidupan dan tanpa di landasi oleh falsafah
hidup baik perorangan maupun sosial bagaikan kapal layar yang
ditiup angin topan yang berjalan tanpa arah dan tujuan dan tujuan
yang pasti. Latar belakang dan pokok masalah tersebut di atas
mendorong penulis untuk masalah tersebut sebagai suatu karya
ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “MAKNA KEHIDUPAN
MANUSIA MENURUT AJARAN AGAMA HINDU”
1.2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang tersebut, maka penulis
dapat susun rumusan masalah yang menjadi landasan dasar dalam
penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana arti kehidupan menurut agama Hindu ?
11
2. Bagaimanakah tujuan hidup menurut agama Hindu?
3. Bagaimanakah peranan agama Hindu dalam kehidupan ini ?
1.3. Ruang Lingkup Penelitian
Tulisan ini penulis batasi pada pembahasan kehidupan
manusia dari segi ajaran agama Hindu. Dalam pembahasan ini penulis
menguraikan Tentang filsafat manusia, makna kehidupan manusia
dari pandangan filsafat, filsafat manusia dalam ajaran agama Hindu,
pokok-pokok ajaran agama Hindu yang melandasi kehidupan
manusia, manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan tahap-tahap
kehidupan manusia dalam ajaran agama Hindu.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mewujudkan suatu keyakinan
terhadap kebenaran kitab suci weda tentang makna kehidupan
manusia di dunia ini. Berdasarkan hal itu dapat dikemukakan
beberapa tujuan penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana arti kehidupan menurut agama
Hindu .
2. Untuk mengetahui tujuan hidup manusia menurut ajaran agama
Hindu.
3. Untuk mengetahui peranan agama Hindu dalam kehidupan.
12
BAB II
DEFINISI KONSEP DAN METODA PENELITIAN
2.1. Arti Kehidupan Manusia
Para ahli berpendapat bahwa pada hakekatnya sukar
memberikan suatu definisi yang bersifat definitif terhadap filsafat
manusia (Sunoto, 1984 : 2). Dalam uraian ini penulis mencoba
mengungkap tentang arti kehidupan dari pengertian filsafat secara
umum hingga sampai pada pengertian filsafat manusia.
Secara etimologis filsafat berasal dari kata yunani
philosophia dalam bentuk kata majemuk. Kata philosophia
terbentuk dari 2 kata dasar yaitu philia atau philein yang berarti
cinta dan sophia berarti kebijaksanaan atau kearifan. Kemudian
dalam perkembangannya ke berbagai pelosok dunia menjadi kata
philisophy yang dalam bahasa Inggris biasa diartikan sebagai cinta
pada kearifan ( The Liang Gie, 1977 : 5 ). Cinta pada kearifan
dimaksudkan adalah kearifan dalam arti luas, bukan hanya arif saja,
dalam pengertian ini yang dimaksud adalah berkisar dari kerajinan
sampai kebenaran, pengetahuan luas, kebajikan intelektual,
pertimbangan yang sehat bahkan sampai pada kecerdasan dalam
memutuskan hal-hal yang bersifat praktis. Orang dapat disebut arif
bila dalam hidup ia dapat menerapkan sifat-sifat seperti itu. Dengan
13
demikian dilihat dari segi etimologinya jelas bahwa filsafat berarti
cinta pada kearifan atau kebijaksanaan. Atau lebih jauh lagi dapat
dikatakan bahwa filsafat mengandung arti kegandrungan mencari
hikmah kebenaran dan arif bijaksana dalam hidup dan kehidupan
(Lasiyo dan Yuwono, 1985 : 1). Dari pengertian etimologis tersebut
dapat dianalisa bahwa filsafat adalah sebagai suatu ilmu yang
mengajarkan berfikir sedalam-dalamnya untuk mencapai suatu
kebenaran dan kebijaksanaan serta berfikir secara runtut sistematis
dan metodis. Dengan demikian berfilsafat berarti berendah diri
bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan
yang seakan-akan tak terbatas ini (Jujun. S. Sumantri, 1985 : 19).
Dengan kata lain dapat disebutkan berfilsafat itu adalah mengoreksi
diri sendiri dan juga untuk mengukur sejauh mana kebenaran yang
dicari telah dapat kita jangkau.
Di samping pengertian secara etimologis seperti tersebut di
atas, pemahaman terhadap filsafat juga banyak diberikan oleh
filosuf-filosuf yang masing-masing konsepsinya berbeda satu sama
lain. Namun pada hakekatnya mempunyai makna yang sama.
Perbedaannya hanya pada metode dalam membangun filsafatnya.
Konsepsi yang diberikan oleh para filosuf adalah membangkitkan
budi manusia dari keadaan menerima secara pasif, sehingga
memungkinkan suatu pencarian yang aktif dari pemahaman itu (The
14
Liang Gie, 1977 : 18). Dengan kata lain nilai dari pada filsafat
bukan hanya untuk memperoleh pemahaman tetapi juga untuk
memperluas cakrawala berfikir manusia untuk mengangkat derajat
hidupnya, meningkatkan kesadaran dirinya dan juga untuk
menghargai potensi-potensi besar yang ada pada budi manusia.
Dalam perkembangannya timbul berbagai cabang filsafat, yang
mana cabang-cabang filsafat tersebut sebagai suatu asas dasar atau
pedoman dasar untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan yang
dijumpai dalam kehidupan, diantaranya timbul filsafat manusia.
Filsafat manusia sebagaimana filsafat pada umumnya begitu
pula ilmu-ilmu tentang manusia lainnya rupanya menduga bahwa
ada suatu watak sifat manusia, suatu kumpulan corak-corak, suatu
rangkaian bentuk dinamis yang khas yang terdapat secara mutlak
pada manusia (Louis Leahy, 1985 : 5). Fuad Hassan (1973 : 59)
dalam bukunya “Berkenalan Dengan Eksistensialisme” mengutip
pendapat Nicolos Alekandrovitch Berdisev mengatakan : “Ken is
the key to mistery of know ledge” manusia adalah kunci dari misteri
ilmu pengetahuan. Dalam hal ini manusia menduduki kedudukan
penting dalam kemajuan ilmu bila kau tahu filsafat, karena :
1. Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan hak
istimewa.
15
2. Manusia mempunyai tugas untuk menyelidiki hal-hal menjadi
permasalahan secara mendalam.
3. Manusia mampu bertanya pada segala hal dan memikirkannya.
4. Manusia memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri.
Filsafat manusia jelasnya adalah bagian atau cabang dari
filsafat yang mengupas apa artinya hidup menjadi manusia (Louis
Leahy, 1985 : 1). Perlu juga di sadari bahwa masalah manusia tak
dapat dipisahkan dari masalah hidup, sebab hanya dalam hidupnya
manusia dapat dipahami sebagai sebagai sesuatu atau pribadi yang
hidup serta makhluk hidup yang komplek. Manusia adalah
dipandang sebagai dualisme dasar yang tak dapat disangkal.
Sebagaimana disebutkan oleh Berdisev yang dikuatif oleh Fuad
Hassan (1973 : 59-60) sebagai berikut :
“ There is spiritual man and there is a natural man and yet the same individual, is both spiritual and natural”.
Artinya :
Di satu pihak manusia adalah spiritual dan di lain pihak ia
adalah alamiah, maka itulah individu adalah sekaligus
spiritual dan dilmiah.
Dari kutipan tersebut di atas jelas dualisme yang dimiliki
manusia harus ada dan tak dapat dipisahkan selama manusia
mengalami kehidupannya di dunia ini. Dualisme ini sangat
16
menentukan kelangsungan hidupnya dalam menghadapi berbagai
goncangan hidup.
Manusia sebagai makhluk spiritual (rohani) adalah karena
terdapatnya kebebasan pada diri manusia. Pada dasarnya rohani itu
bebas tak terjangkau atau tak terbatas, namun dalam hubungannya
dengan badan jasmani (alamiah) manusia maka rohani manusia itu
seolah-olah terbatas, dibatasi oleh keharusan-keharusan yang
berupa tuntutan jasmani. Kedua segi manusia tersebut selalu ada
dalam pertentangan bagaikan medan persengketaan yang tak pernah
terselesaikan selama manusia mengalami kehidupan. Karena ada
badan jasmaniah manusia itu menjadi serba teriakt, bahkan serba
terbatas, baik terbatas dalam kemampuan untuk mengembangkan
hidupnya maupun terbatas dalam hidupnya. Dengan demikian ada 4
hal yang dihadapi oleh segi alamiah manusia dalam kehidupan
yaitu :
1. Demi kelangsungan hidupnya, manusia sebagai makhluk pribadi
berhadapan dengan keharusan-keharusan yang tituntun oleh
alam yang mau tidak mau harus dipenuhi.
2. Suatu kenyataan telah membuktikan manusia tak dapat hidup
sendiri, ia adalah maluk sosial. Baginya hidup bermasyarakat
adalah memperkaya kehidupan manusia selama ia sadar
terhadap hakekat tujuan hidupnya bukan sebagai mahluk sosial
17
melainkan sebagai mahluk spiritual. Kalau tidak demikian
adanya kehidupan bermasyarakat akan dapat memperbudak.
3. Peradaban dalam hidup manusia yang merupakan perwujudan
dari ikhtiar manusia untuk menanggapi keharusan-keharusan
yang dituntut oleh alamiah yang dihadapinya. Kemajuan
peradabannya harus diseimbangkannya dengan spiritual atau
rohani, karena tanpa demikian semakin tinggi peradaban
manusia maka manusia semakin terhancam akan kehancuran
oleh alat-alat ciptaannya.
4. Selain itu manusia juga mahluk berkesejarahan dalam hidup.
Sebagai mahluk berkersejarahan , manusia menghayati dalam
berbagai dimensi. Seperti halnya memenuhi hak dan
kewajibannya dalam berbagai waktu. Dimensi waktu yang
dimaksud adalah waktu sebagaimana dihayati manusia
berhubungan dengan siang-malam dan pagi-sore. Demikian juga
waktu yang merentang antara apa yang sudah dimasa lampau
sampai apa yang masih dimasa mendatang.
Jadi kodrat manusia adalah jasmani rohani yang merupakan
dua aspek dalam satu kesatuan atau kebulatan, suatu dwi tunggal
yang tak dapat sipisah-pisahkan (H. Burhanuddin.S., 1985 : 27).
Berdasarkan kesatuan jasmani-rohani bagi manusia menjalani hidup
adalah juga menjalankan kesatuannya jasmani-rohani. Seperti telah
18
diuraikan di atas sebagai kodrat jasmani , manusia dapat
melaksanakan pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat pisik,
dalam menghadapi tantangan alamiah demi kelangsungan hidupnya
di dunia ini. Sedangkan kodrat manusia yang rohani menyebabkan
manusia bisa mengadakan abstraksi, dapat mengerti dan memahami
segala sesuatu yang ada yang mungkin ada (H. Burhanuddin.S.,
1985 : 24). Hal rohani itu dapat terjadi adalah melalui kodrat
jasmani. Dalam hal ini dapat dikatakan hidup berarti rohani yang
menjasmani dan menjasmani adalah untuk merohani. Kehidupan
manusia yang teratur itu adalah kehidupan jasmani yang
dirohanikan dan penjelmaan kerohanian (Drijakarta.S.J.,1978 : 20).
Hal tersebut tak pernah lepasa dari kehisupan da selalu mencari
alternatif masa depannya sebagai pemberian makna terhadap reflek
di kehidupan manusia sekarang.
2.2 Manusia Menurut Ajaran Agama Hindu
Sebagaimana telah penulis uraikan pada bagian awal tulisan
ini yaitu pada bab pendahuluan, bahwa agama Hindu bersifat
universal mengatur kebutuhan mental dan spiritual kemanusiaan
dalam keseluruhannya. Hal ini dapat dibuktikan pada ajarannya yang
penuh dengan kajian filsafat manusia tak dapat terlepas dari ajaran
ketuhanan, karena segala sesuatu yang ada dan mungkin ada dalam
ajaran agama Hindu pada hakekatnya adalah Tuhan dalam
19
manisestasinya. Tiada sesuatu tanpa Tuhan sesuatu tidak akan
mungkin ada, karena segala sesuatu berasal dari Tuhan, serta diatur
oleh hukum kodrat (Rta) yang merupakan kemahakuasaannya. Dalam
kitab Bhagawan Gita disebutkan sebagai berikut :
Etadyonini bhutani sarwani‟ ty upadharaya aham kritsnasya
jagatah pralayas tatha.
Artinya :
Krtahuilah bahwa semua mahluk adanya berasal dari garba
ini, Aku (Tuhan) adalah asal mula dan peleburnya alam
semesta ini.
Mattah parataram nanyat kimoid asti dhanamjaya mayi
sarwan idam protam sutro manigawa iwa.
Artinya :
Tiada ada yang tinggi dari padaku, Oh Arjuna yang ada di sini
semuanya terikat padaku bagaikan rangkaian mutiara pada
seutas tali (G.Pudja, 1982: 172-173).
Dengan kutipan ini jelas bagi kita bahwa segala yang ada dan
mungkin ada berasal dari Tuhan Yang Maha Esa secara berevolusi
baik berupa jasmani maupun rohani .
2.2.1 Unsur-unsur Pembentukan Manusia
Unsur-unsur pembentukan pada garis besarnya dapat
digolongkan atas 3 bagian yaitu Atma, Citta, Sarira. Perpaduan yang
harmonis antara ketiga unsur inilah menyebabkan kita dapat sebagai
manusia dan menduduki kedudukan tertinggi pada tingkatan
kehidupan. Bila salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak ada maka
20
kita tak dapat hidup sebagai manusia secara sempurna. Atma berasal
dari Cetana merupakan kesadaran agung yang bersifat kekal abadi,
sedangkan citta dan sarira berasal dariAcetana merupakan unsur tak
sadar.
2.2.1.1 Atma (Unsur Hidup)
Dalam ajaran Agama Hindu unsur yang memberi hidup
pada mahluk hidup pada manusia disebut dengan Atma. Atma adalah
percikan kecil dari paramatna yaitu Tuhan yang berada pada tubuh
manusia disebut Jiwatma yang menghidupkan manusia (Parisada
Hindu Dharma, 1978 : 25). Oleh karena Atma adalah Tuhan yang
berada dalam tubuh mahluk (manusia), maka itu Atma dengan Tuhan
adalah sama (tunggal). Di dalam kitab Asteria Upanised kedua, 8,
ditandaskan : Ia (Atma) adalah Tuhan diri manusia atau mahluk juga
pada matahari atau alam semesta, di mana pada hakekatnya adalah
satu (.Oka Puyatmadja, 1983-1984 : 51).
Atma itu luput dari pengaruh jasmani lahir, sakit, mati dan
sebgaimana. Walupun badan manusia itu hancur, namun atma tak
mati. Bila keadaan demikian terjadi maka atma akan pergi
meninggalkan tubuh manusia menuju asalnya (Tuhan) atau lagi
masuk pada tubuh manusia dalam perjelmaan berikutnya. Tentang
sifat-sifat atwa ini disebutkan Bhagawad Gita sebagai berkut :
21
Najayata mariyata wa kadasin na‟ yam bhutwabhawita wa
na bhuyah, ayo nityah saswato‟ yam purano nahanyata
hanyamano sasiro.
Artinya :
Ini tidak pernah lahir pun tidak pernah mati, atau setelah
pernah berhenti ada. Ini tidak dilahirkan, kekal abadi, yang
sejak dahulu ia tidak mati pada saat badan jasmani ini mati.
Hai‟nam ohidanti sastrani mainam dehati pawakah, na osi‟nam kledayanti apo na sosyani marutah.
Artinya :
Senjata tak dapat melukainya dan api tidak bisa membakar,
angin tak dapat mengeringkannya dan air tidak bisa
membasminya.
Acchedyo‟yam adahayo‟yam akledyo „sosya ewa ca, nityah
saswagatah sthanur acalo‟yam sanatanah.
Artinya :
Sesungguhnya dia tidak dapat dilukai, dibakar dan juga
tidak dapat dikeringkan dan dibasahi ; Dia kekal, tiada berubah, tidak bergerak, Dia abadi (G.Pudja, 1982;40-42).
Kutipan tersebut di atas dapat menunjukkan bahwa sifat -sifat
atma sama dengan sifat-sifat Tuhan. Atma setelah berada pada tubuh
manusia sifat-sifatnya tidak lagi menurut pada manusia. Atma hanya
memberi tenaga hidup pada tubuh manusia.
2.2.1.2 Citta atau Sukma (Alam Pikiran)
Unsur-unsur citta pada manusia adalah merupakan unsur-
unsur alam pikiran dan perasaan. Citta ini timbul dari pradana, di
22
mana pradana memiliki 3 komponen yang menentukan kwalitas
segala sesuatu yang disebut tri guna seperti dalam lontar Wraspati
tattwa yaitu :
Ikang guna tiga prabedanya, mapelanan lwira satt wa rajah
tamah. Yeka sinangguh tri guna ngawanya, yata pinaka guna
dening citta, nahan tang citta sattwa citta rajah, citta tamah
(Wraspati tattwa, - :3).
Artinya :
Yang namanya guna, tiga perbudaannya semuanya berlainan
sattwa rajah tamah, itulah yang sering disebut tri guna yaitu
guna dari citta itulah sebabnya ada citta satwa, citta rajah,
citta tamah.
Setelah pertemuan antara cetana dengan acettana atau purusa
dengan pradana timbulah reaksi yang menimbulkan berbagai macam
ciptaan mulai dari dari wujud yang paling halus hingga wujud kasar
secara berevolusi (Pandita D.D.Harsa Swabodi, 1980 : 60). Proses
penciptaan alam pikiran dan perasaan (citta) dapat digolongkan atas
tiga yaitu :
1). Mahat.
Mahat adalah merupakan alam pikiran yang tertinggi. Pada proses
mahat ini tri guna yang terdapat padaprapti mulai aktif. Di antara
3 guna yang ada hanya sattwa yang paling banyak pengaruhnya
terhadap kerti, maka mahat adalah kesadaran tertinggi pada alam
pikiran (eitta).
23
2). Buddi.
Buddi adalah bagian dari alam pikiran yang berfungsi untuk
menentukan segala macam keputusan. Buddi juga banyak
dipengaruhi oleh sattwa sehingga segala keputusan yang diambil
berdasarkan buddi adalah tepat dan baik.
3) Ahangkara.
Ahangkara adalah bagian dari alam pikiran sebagai alat untuk
merasakan, berpikir, berbuat dalam kaitannya dengan tri guna.
Ahangkara dapat dibedakan 3 bagian :
a. Ahangkara waitrata yaitu bagian dari alam pikiran yang
bersifat sattwa, berfungsi untuk berfikir dan merasakan segala
sesuatu.
b. Ahangkara taiyasa adalah bagian dari alam pikiran yang
bersifat rajas (aktif berfikir) yang berfungsi untuk membantu
pekerjaan ahangkara wekreta dan ahangkara bhutadi.
c. Ahangkara bhutadi merupakan alam pikiran yang bersifat
tamas dan berfungsi untuk mengembangkan dan menumbuhkan
unsur-unsur jasmaniah.
Ahangkara siwaikreta, yoka megawe manah mwang
dasendriya lwirnya, cakau srota ghranajihwa twak hahan
tang sinangguh pancendriya ngarannya. Wak pani pada upasta payu sinangguh panoa karmendriya ngarannya
(Tattwa jnana, - : 4).
24
Artinya :
Ahangkara siwaikreta membentuk manah dan dasendriya yaitu cakau, srota, ghrana, kihwa, twak yang biasa disebut
dengan nama pendirinya (penya buddinadriya) dan wak,
pani, pada, upasta, payu yang disebut panoa kermendrya.
Demikian dijelaskan bahwa ahangkara adalah membentuk rohani
manusia secara sempurna dengan dibantu oleh ahangkara taiyasa,
sebab ahangkara taiyasa adalah lebih banyak dipengaruhi oleh sifat
rajas sehingga ia bersifat aktif dan dinamis.
Kunang ikang ahangkara sibhutadi, yaka gawe
pencatatanmatra lwirniya, sabda tan matra, sparsa tan
matra, rupa tan matra, rasa tan matra, ganda tan matra (Tatta Jnanna, - : 4).
Artinya:
Adapun ahangkara sibhutsdi, adalah membentuk unsur-unsur
panea tan matra antara lain sabdaatan matra, sparsa tan matra,
rupa tan matra, rasa tan matra, genda tan matra.
Akan tetapi konsep fungsi sehat, buddi, ahangkara masing-
masing adalah berbeda maka dapatlah sikatakan bahwa alam pikiran
manusia terdiri dari 3 bagian masing-masing besar pengaruhnya
terhadap kehidupan manusia di dunia. Adapun yang menjadi sumber
pengatur dari pada dasendriya adalah manas (manah), oleh karena itu
manah sering disebut rajendriya. Rajendriya sering digabung pada
dasendriya sehingga oka dasendriya dengan masing-masing indriya
memiliki fungsi berbeda. Demikian juga dalam kaitannya dengan
25
kasar manusia masing-masing indriya tempat tersendiri. Sesuai
dengan fungsinya masing-masing.
2.2.1.3 Sarira (Badan Kasar).
Seperti telah diuraikan di atas bahwa, sarira adalah timbul
dari prakerti, sebab prakerti sumber dari segala sesuatu yang
mengalami evolusi. Badan kasar manusia adalah ramuan unsur
materi. Unsur-unsur materi pembentuk badan kasar manusia adalah
pratiwi, apah, teja, wayu dan akasa yang disebut unsur-unsur panoa
maha bhuta.
Sangkeng panca tan matra mtu tang panoa maha bhuta, akasa
mtu sangkeng sabda tan matra, wayu mtu sangkeng rupa tan
matra, apah mtu sangkeng ghanda tan matra (Wraspati
Tattwa , - : 33).
Artinya :
Dari panca tan matra timbul panca maha bhuta, akasa timbul
dari sabda dari tan matra, wayu timbul dari sparsatan matra,
teja timbul dari rupa tan matra, apah timbul dari rasa tan
matra, pratiwi timbul dari ghanda tan matra. Kelima unsur
tersebut membentuk badan jasmani yang juga berasal dari
prakerti.
Sehingga prakerti itu mengandung delapan unsur pokok yang memga
prakerti itu mengandung delapan unsur pokok yang membentuk
segala sesuatu yang ada dan mungkin ada beserta aktifitasnya. Proses
terjadinya diatur oleh tri guna.
26
Bhumir apo‟nalo wayuh kham mano buddir ewa ca, shamkara
iti‟yam mo bhinnapratritir astadha.
Artinya:
Tanah, air, api dan udara, eter, buddi, pikiran dan ego
(ahamkara) merupakan delapan unsur dari prakerti (alam) ku
(G. Pudja, 1982 : 171).
Oleh karena proses terjadinya dipengaruhi oleh sattwa, rajah
dan tanah maka segalanya selalu bernilai baik, bersifat dan bernilai
kurang baik. Hal ini ditentukan oleh kadar tri guna yang
dikandungnya. Demikian pula halnya pada manusia, jika lebih banyak
dipengaruhioleh sattwa maka ia cenderung untuk berbuat baik, cerdas
serta bijakasana. Jika lebih banyak dipengaruhi oleh rajas maka ia
akan menjadi aktif, rajin dan kreatif dalam mengela gerak dan
tindakannya. Jika lebih banyak dipengaruhi oleh tamas maka ia
menjadi orang malas, dungu, apatis dan egois.
Jadi dalam segala sesuatu, ketiga guna pasti ada tetapi dalam
presentase yang berbeda-beda. Sehingga di dunia ini tidak ada
sesuatu yang baik sekai, begitu pula yang jelek sekali, karena guna
itujalin menjalin satu sama lain maka ia tak dapat dipisah-pisahkan.
Jika sattwanya lebih banyak maka dan kecil, demikian pula
sebaliknya.
27
Dalam proses pembentukan tubuh manusiapun demikian
adanya. Untuk membentuk badan wadag manusia panon tan matra
maupun panoa maha bhuta terus mengalami evolusi yaitu :
1). Unsur-unsur ghanda tan matra membentuk pertiwi akan memjadi
daging, tulang, otot, rambut atau segala bersifat padat.
2). Unsur-unsur rasa tan matra membentuk apah akan menjadi darah,
serum, lendir dan segala yang bersifat cair dalam tubuh manusia.
3). Unsur-usur rupa tan matra membentuk teja akan menjadi
temperatur atau panas yang menjadi temperatur atau panas yang
terdapat dalam tubuh.
4). Unsur-unsur sparsa tan matra membentuk wayu akan menjadi
udara yang terdapat dalam manusia sebagai akibat dari pernafasan.
5). Unsur-unsur sabda tan matra membentuk akansa akan menjadi
benih suara yang timbul dari akibat artikulasi mulut berhubungan
dengan pernapasan.
Sebagai tempat alam pikiran dalam tubuh manusia maka pada
tubuh manusia seluruhnya terdapat dasa golaka atma marga manusia
seluruhnya terdapat dasa gelaka atma marga yaitu sepuluh saluran,
jalan bagi sinar kekuatan atman atau jiwatman bekerja merupakan
dasendirinya (I.B.Oka Puyatmadja, 1983-1984 : 52). Selanjutnya
dikatakan bahwa :
Tempat dari panca buddindriya adalah srotendriya bertempat di
telinga untuk mendengar, tuak indriya di kulit untuk merasakan
28
panas dingin, cakduindriya bertempat di mata untuk melihat,
jihwendriya bertempat di bidang untuk mencium. Tempat
panca karmendriya adalah wakindriya bertempat dimulut,
untuk berbicara panindriya bertempat di tangan untuk mengambil, padendriya bertempat di kaki untuk berjalan,
payuindriya bertempat di dibur untuk pembuangan,
upastendriya bertempat di kemaluan untuk berkembang biak (I
Gusti Agung Oka, 1978 : 53).
Demikan juga untuk merealisasiakan fungsi dan aktifitas dari pada
msing-masing gelaka diatur oleh urat saraf sensoris dan urat saraf
motoris yang berpusat di otak yaitu sebagai tempat dari rajendriya.
Dalam hal ini golongan dan indriya adalah berbeda. Indriya
merupakan sifatnya sedangkan gelaka merupakan tempatnya, namun
antara indriya dengan golaka tak dapat dipisahkan, seperti panas
dengan api atau juga bau wangi dengan bunga. Sebab tanpa golaka
indriya tak dapat meniknati atau mencapai obyek pemuasannya,
demikian juga sebaliknya.
Di samping golaka dan indriya dalam badan kasar manusia
terdapat juga sepuluh macam pembuluh yang erat pula kaitannya
dengan soal kebatinan yaitu disebut nadi.
Sepuluh ikang nadi mageng lwirnya ida, pinggala, sumsumna, gandari, hasti, jiwa, pusa, alam, busa, kuhu, sangkini. Nahan
ta nadi magaeng, ida ngaraning gurung-gurung ning tengen,
pinggala ngaraning gurum-gurungan ing tengah (Wraspati
Tattwa, - : 37-38).
Artinya :
Sepuluh nadi yang besar antara lain Ida, pinggala, sum,
gandhari, hasti, jihwa, pusal, alam, busa, kuhu, sangkini. Ida
29
adalah tulang belakang bagian kanan pinggala adalah tulang
bagian, sumsumna adalah tulang belakang bagian tengah.
Di antara kesepuluh nadi besar tersebut yang terpenting ada
tiga macam yakni ida. Pinggala dan sumsumna, yang erat kaitannya
dengan sapta cakra yaitu tujuh buah simpul yang merupakan tempat
tingkatan “kundalini” yakni sumber kekuatan ilahi dan kebathinan
yang terdapat pada manusia, berfungsi untuk memutar baik mengenai
peredarandarah maupun peredaran zat makanan (Kuliah Tantrayana, :
1987 : VIII). Tujuh bagian cakra tersebut antara lain Mulyana cakra
tempatya pada tulang belakang di antara payu dengan upasta. Di
sinilah tempat tidurnya dari pada kekuatan kundalini. Swadhistana
cakra bertempat pada tulang belakang di antara nabhi (pusar). Abhata
cakra bertempat pada tulang belakang sejajar dengan tempatnya
jantung. Wishuda cakra tempatnya pada tulang belakang sejajar
dengan tempatnya kerongkongan. Ajna cakra bertempat pada tulang
belakang pada tulang belakang sejajar dengan kening. Dan sahasrara
cakra bertempat pada ubun-ubun juga disebut dengan brahmaranhra.
Demikianlah tempat tingkatan tertinggi kundalini yang terletak pada
tubuh manusia.
Dalam kehidupan manusia tiga unsur pokok yang meruakan
unsur pembentuk manusia yaitu atma,eitta, sarira tak dapat lepas satu
sama lain. Ketiganya terjalin erat selama kehidupan. Bila salah satu
dari ketiga unsur tersebut tidak berfungsi maka manusia akan mati.
30
Semi kelangsungan hidupnya, badan kasar manusia selalu memumtut
pemenuhan materi berupa makanan dan minuman, udara untuk
bernafas, berpakaian dan kebutuhan-kebutuhan lain baik material
maupun spiritual. Segala kebutuhan betersebut berasal dari unsur-
unsur panoa maha bhuta yang ada di bhuana agung (alam semeta), di
mana dalam ajaran agama Hindu kentuhan manusia tersebut
dinamakan bhoga. Bhoga inilah selalu menjadi obyek dari pada
indroya dan bila obyek indriya ini dapat memenuhi indriya, inilah
menimbulkan kepuasan. Semua intisari dari pada bhoga atau unsur-
unsur panca maha bhuta yang dimakan dan diminum oleh manusia
dapat digolongkan menjadi 6 yang disebut sad rasa yaitu manis, pahit,
asam, asin, pedes, dan sepet. Keenam rasa inilah merupakan sat untuk
pertumbuhan dan menimbulkan tenaga untuk bergerak sebagai hasil
dari oksidasi sari-sari makanan dalam bentuk tubuh manusia. Hasil
dari sari-sari makanan (sad rasa) diedarkan keseluruh tubuh timbullah
tenaga (kalori) yang disebut prana (wayu) yang terkait dengan nadi
dalam setiap aktifitas organ tubuh. Kesepuluh nadi yang ada
kesemuanya digerakkan oleh wayu (prana) untuk untuk sebagaimana
mestinya.
Ika ta nadi kabeh, yataka pada mesi wayu, sepuluh
prakaryanya : prana, apana, samana, udana, wyana, naga,
kurma, krkara, sewatta, dansnjaya. Mahan prakaraning wayu,
matagiyan akwsh lwirnya, kapwa dudu gawenya soang-soang (Wraspati Tattwa, - : 39-40).
31
Artinya :
Demikian nadi semuanya, itu semuanya adalah berisi tenaga
sepuluh bagiannya adalah prana, apana, udana wyana, naga,
kurma, krkara, dewadatta, dananjaya. Adapun bagian-bagian
itu bagianya itu banyak ragamnya mempunyai fungsi masing-
masing.
Sari-sari makanan di samping untuk menumbuhkannya badan
jasmani juga sebagian menjadi benih untuk mengecam untuk
mengembangkan keturunannya. Benih itu dapat dibedakan atas 2
macam yaitu sukla (sperma) dan swanita (ovum) \. Sukla terdapat
pada ornag laki-laki sedangkan swanita terdapat pada orang
perempuan. Pertemuan antara sukla dan swanita inilah yang akan
membuahkan keturunan dan juga akan menentukan rupa serta jenis
kelamin dari pada keturunan itu sendiri, sedangkan karakternya akan
ditentukan oleh hukum karma yang dibawa oleh atma untuk menjelma
mengalami punarbhawa, memberi tenaga hidup pada perpaduan kedua
sel.
Sedangkan yang menentukan jenis dari pada manusia adalah
prosentase atau banyak sedikitnya benih sukla dan swanita itu
masing-masing dalam persenyawaannya.
Yan makweh ikang sangkeng awanita, lanang temahanna, yan
makweh ikang swanita sengkeng sukla yeka temahan wadwan.
Kunang yan pada kwehnya ikang sukla swanita ya tika
janmantra purusa ngarannya kediwalawadi hara temahannya (Wraspati Tattwa, - : 33).
32
Artinya :
Bila lebih banyak sukla dibandingkan dengan banyaknya
swanita banyak dibandingkan dengan banyaknya swanita lahirlah manusia laki-laki, bila banyak swanita dibandingkan
dengan sukla lahirlah manusia perempuan adapun bila sama
mempunyai kelainan disebut banci.
2. Keadaan Atma Dalam Hubungan Dengan Badan Kasar.
Jika atma telah bersenyawa dengan unsur-unsur dari pada
prakerti, maka atma akan terpengaruh (terliput) oleh sifat-sifat
ketidak tahuan yang terdapat pada prakerti. Sebagaimana halnya 2
zat kimia bersenyawa akan menimbulkan zat baru dengan sifat -
sifatnya yang baru pula. Demikian pula halnya pada proses atma
setalah bersenyawa dengan prakerti sepertinya berada dalam tubuh
mahluk (manusia) maka timbullah sifat baru yaitu “Awidya”.
Serta tidak lagi menyadari asalnya serta sifat-sifat aslinya. Di
mana hari ini juga menyebabkan atma semakin terbelenggu dan
jauh dari Tuhan. Keadaan demikian itu terjadi karena atma turut
mengalami mansia pasang surutnya sifat-sifat yang maya pada
kehidupan manusia.
Ikang pradhana tattwa yeka acetana maka swabhawa ing lupa, wyapaka pwekang atma ring pradana tattwa
alupa ta ya, apan pradhana gumawo lupaning atma
(Wraspati Tattwa, - : 47).
Artinya :
Adapun pradhana tattwa itu ialah pradhana tattwa itu
ialah acetana (maya) yang bersifat lupa (awidya), jika
33
atma bersenyawa dengan unsur-unsur maya itu maka
lupa (awidya)lah ia. Sebab unsur maya itulah yang
menyebabkan atma menjadi lupa.
Dalam hubungan ini atma seolah-olah terhukum, dalam
badan jasmani manusia, ikut mengalami suka dukanya kehidupan di
dunia ini. Dengan demikian ada kalanya atma mengalami sorga
atau neraka, serta dapat merasakan baik buruknya punarbhawa
sesuai dengan prosentasenya (kadar) dari adanya pengaruh sifat -
sifat maya tersebut. Dalam menjalankan hukumannya ini atma
berfungsi antara lain : sebagai sumber hidup citta serta badan
jasmani manusia dan bertanggung jawab atas baik buruknya
perbuatan manusia.
Purusah prakritisthohi bhukte prakritijan gunan, karanam
gunasangosya sad asad yoni janmasu.
Artinya :
Purusa duduk di dalam prakerti mengalami tri guna yang
ada pada prakerti sendiri dan ikatan dengan atribut
menimbulkan akibat kelahiran baik dan buruknya pada
garbha. Hal ini dapat diumpamakan seperti adanya bayangan nyata dari diri seseorang dalam kaos cermin,
kalau seandainya kaca cermin itu sendiri adalah prakerti
(G. Pudja, 1982 : 306-307)
Kedua fungsi atman dalam badan jasmani manusia seperti tersebut di
atas berhubungan erat satu sama lain, karena fungsi yang satu
menjadi sebab fungsi yang lainnya.
34
Dengan demikian maka kedudukan atman pada manusia
adalah sangat penting karena atma yang secara tetap mengikuti
manusia mengalami akibat dan pertanggung jawaban atas segala
kehidupan jasmani dan rohani manusia.
Dengan adanya atma yang memberikan tenaga hidup atau
menjiwai citta dan badan kasarnya maka akal dapat berpikir,
indriyanya dapat menikmati rasa, organ tubuh dapat bergerak, sel -sel
dapat berkembang dan sebagainya.
Tugas atma yang demikian dapat kita umpamakan bagaikan
aliran listrik yang dapat menggerakkan mesin-mesin. Mesin-mesin
akan dapat bergerak bila onderdil dari mesin itu dalam keadaan baik
dan harmonis. Akan tetapi jika salah satu dari onderdil mesin itu
rusak kendatipun ada aliran listrik di dalamnya maka mesin itu
takkan dapat bergerak. Demikian pula keadaan atma yang menjiwai
alam pikiran ataupun badan jasmani manusia. Jika sekiranya alam
pikiran atau badan jasmani manusia itu rusak, maka manusia tak
dapat hidup dengan sempurna.
Yatha prakasayatyekah kritanam lokam iman rawih,
ksatram ksetri tatha kritanam prakasayati bharata.
Artinya :
Seperti satu matahari ini menyinari seluruh bumi, demikian
halnya empunya badan ini menerangi seluruh badan
jasmani, oh Bharata (G. Pudja, 1982 : 313).
35
Dengan kutipan tersebut jelas bagi kita, bahwa atma hanyalah
sumber hidupnya sedangkan alam pikiran (citta) dan badan jasmani
adalah alat untuk hidup.
Dalam kelangsungan hidupnya manusia senantiasa melakukan
berbagai gerak dan aktivitas yakni guna mencapai kepuasan pikiran,
perasaan serta jasmaninya sesuai dengan idea dan dasar pandangan
hidupnya masing-masing. Segala gerak dan aktivitas itu baik
disengaja maupun tidak dalam kesadaran maupun di luar
kesadarannya, kesemuanya itu disebut “karma” dalam ajaran Hindu.
2.2.2 Atma Dengan Suksma Sarira
Sejarah kehidupan manusia telah membuktikan, bahwa hidup
sebagai manusia tidak kekal, pada suatu saat akan mengalami
kematian. Tanpa terkecuali siapa saja yang hidup di dunia ini dan
memiliki badan jasmani tak dapat menghindari kenyataan ini, karena
pada saat kematian tugas atma telah selesai memberi tenaga hidup
pada badan jasmani manusia. Badan jasmani manusia yang berasal
dari panca maha bhuta itu kemudian hancur, menjadi panca tan matra
kembali menuruti evolusinya. Adapun kepergian atma dari badan
jasmani manusia disertai oleh citta (budhi, manah dan ahamkara) dan
karma.
Kala nikang pati ngaranya wih, tuhun mepasah lawan
panca maha bhuta juga tekang atma ri sarira, ikang
aganal juga hilang, ikang atma langgeng tan melah …
Ikang panca tan matra pinaka waknya lawan ikang
36
dasendriya, budhi, manah, ahangkara, sattwa, rajah,
tamah. Huwus rumuhun ikang raga dwesa moha lawan
ikang karma wesana ika kabeh, kapwa rumaketing atma
mwang sipanoa bhutadi, sinurakenig awakening atma
anpaka sarira ikang panoa tan matra, nahan sariraning
atma rikalaning pati (Wraspati Tattwa, - : 52).
Artinya :
Pada saat apa yang disebut kematian maka berpisahlah
unsur-unsur panoa maha bhuta dalam badan kasar manusia
denga atma, jadi yang hilang (hanour) hanyalah unsur -
unsur yang besar (panoa maha bhuta) itu saja, sedangkan
atma keadaannya kekal dan tidak berubah…. Panca tan
matra itulah menjadi badannya disertai dengan bekas-
bekas dari sepuluh indriya, buddi, manah, ahangkara,
mattwa, rajah, tamah terutama kenikmatan duniawi,
kemarahan serta kedengkian dan karma wesana kesemua
itu melekat pada atma. Jadi panoa tan maha bhuta itulah
yang berbentuk panca tan matra, demikianlah badannya
atma pada saat kematian.
Sebagaimana manusia pada waktu masih hidup, badan kasar
yang berasal dari pada panoa bhuta mengalami kehancuran, kembali
ke unsur panoa tan matra bersama citta dan karmanya itu juga dapat
dipisah-pisahkan dan akhirnya menjadi suatu kesatuan baru yang
disebut “sukma sarira” (badan halus).
Atma setelah meninggalkan badan jasmaninya keadaanya
ditentukan oleh standarisasi dari pada pengaruh sukma sarira itu
sendiri, keadaan yang dialami oleh atma adalah satu diantaranya
sorga, neraka atau punarbhawa. Akan tetapi jika atma tidak lagi
menjadi sumber sarira, maka ia dapat mencapai kebebasan dan
kebahagiaan serta dapat bertemu dengan asalnya yang disebut moksa.
Usaha untuk melepaskan atma dai belenggu suksma sarira untuk si
37
Bali umat hindu melaksanakan upacara pitra yadnya dari tingkat
ngaben, memukur dan akhirnya sewa pitra pratistha.
2.3 Metode Penelitian
Dalam penyusunan tulisan ini penulis menggunakan beberapa
macam metode. Penggunaan metode-metode tersebut pada garis
besarnya dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu :
2.3.1 Metode Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data adalah langkah awal dari pada
pengerjaan skripsi ini yang terus berkesinambungan. Pada
tahap ini penulis menggunakan 2 metode yaitu:
1. Metode kepustakaan maksudnya adalah suatu metode untuk
mengumpulkan data-data dari sejumlah purtaka melalui
membaca buku-buku, lontar-lontar serta beberapa
dokumen-dokumen yang relefan (Winarno Surachmad,
1971:44). Selanjutnya dilakukan pengutipan pada bagian-
bagian yang diperlukan sebagai data dalam penyusunan
yang dipergunakan dalam penelitian kepustakaan ini adalah
Gedong Kirtya Singaraja Denpasar, Perpustakaan Institut
Hindu Dharma Denpasar serta beberapa koleksi pribadi
2. Metode wawancara adalah tentang tanggapan, pendapat,
keyakinan dan perasaan dari para informan. Dalam
38
penggunaan metode ini penulis mengadakan wawancara
langsung dengan rang informan, pertama wawancara
dengan Pendeta di Ghrya Bindu Denpasar, kedua
wawancara dengan pendeta di Ghrya Panti Denpasar. Para
informan tersebut penulis pandang mampu dan mengetahui
makna kehidupan manusia dari segi ajaran agama Hindu.
Selanjutnya penulis membuat catatan-catatan dari hasil
wawancara sebagai data primer.
2.3.2.Metode Pengolahan Data
Tahap ini merupakan tahap selanjutnya setelah pengumpulan
data. Tanpa diadakan pengolahan data, data yang telah
terkumpul semuanya akan sia-sia dan tidak mempunyai arti.
Dalam tahap ini penulis menggunakan beberapa metode yaitu :
1. Metode deskriptif ialah suatu metode pengolaan data dengan
menyusun secara sistematis disertai dengan menganalisa dan
menginterpretasikan data sehingga diperoleh suatu
kesimpulan umum. Dalam kegiatan selanjutnya mengenai
penggunaan metode ini penulis menyusun secara sitematis
dengan memilih mana di antaranya yang didahulukan.
Data-data yang terkumpul diinterprestasikan dengan
jalan mendeskripsikan secara teliti serta dikomperatifkan
39
antaradata yang satu dengan data yang lainnya. Selanjutnya
melalui langkah analisa penulis menyusun suatu mengenai
makna kehidupan manusia menurut ajaran agama Hindu.
40
BAB III
PANDANGAN AGAMA HINDU TERHADAP
KEHIDUPAN MANUSIA
3.1. Pokok-Pokok Ajaran Agama Hindu Yang Melandasi Kehidupan
Manusia
Agama Hindu adalah bersumber pada Wahyu Ia Sang Hyang
Widhi / Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab Catur Weda
yaitu Rg weda, sama weda, Yajur weda dan Atarwa weda. Ajaran agama
Hindu sebagaimana dihayati oleh umat manusia, dalam realitasnya
mencakupberbagai aspek hidup dan kehidupan manusia yang meliputi
filsafat/tattwa, etika/tata susila dan ritail/upacara. Ketiga kerangka
tersebut walupun terbagi dalam tiga begian ketiganya jelas berbeda,
namun dalam kenyataannya adalah terjalin dalam satu kesatuan yang
utuh tak dapat terpisahkan, tiada satupun yang berdiri sendiri. Bagi umat
Hindu ketiga kerangka itu merupakan suatu yang harus dimikliki dan
dilaksanakan. Jika filasafat/tattwa saja yang dilaksankan tanpa
melaksanakan etika danritual tidaklah sempurna dandemikian pula
sebaliknya. Agama Hindu itu secara keutuhan dapat diandaikan sebuah
telur, sarinya yang terdapat di dalam tattwanya, putih telur adalah
etikanya dan kulitnya adlah rituilnya. Telur ini tidak sempurna dan akan
busuk bila salah satu bagian ini tidak sempurna (Parisada Hindu
Dharma, 1978:14).
41
Agama Hindu tidak hanya memberi warna dan pola serta wujud
dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan manusia dengan berbagai
aspek kehidupan manusia dengan lingkungannya tetapi lebih dalam lagi
iaah menjiwai kehidupan umat manusia. Sebab tujuan agama Hindu
adalah sebagai berikut :
Menuntun umat manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup
berupa kesucian bathin, laksana dan budhi pekerti yang luhur
yang memberi kebahagiaan dan kesejahteraan material kepada
sesama manusia dan mahluk yang disebut jagadhita dan memberi
ketentraman rohani, sumber kebahagiaan yang abadi, suka tanpa
walidukha, yang tiada didasarkan atas terpenuhinya nafsu
duniawi, memberi kesucian dan menyebabkan roh bebas dari
penjelmaan serta merasakan menunggal dengan Tuhan yang
disebut “Mosartham jagadhita ya ca iti Dharma”. Tujuan agama
adalah untuk mendapatkan moksa dan jagadhita (I.B. Oka
Punyatmadja, 1983-1984 : 13).
Dengan demikian maka eksistensi manusia dalam kehidupannya dengan
agama Hindu adalah merupakan dua hal yang tak terpisahkan, karena
untuk kehidupannya umat manusia pelaksanaan ajaran agama Hindu
merupakan suatu kewajiban hidup yang dapat menuntut umat manusia
untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Umat manusia yang memeluk agama Hindu, dalam ruang lingkup
kehidupannya menggunakan ajaran agama Hindu sebagai sumber
tuntunan dan pegangan hidup dalam mencapai kebahagiaan jasmani dan
rohani di Dunia dan di Akhirat. Setiap gerak kehidupan manusia terkait
dan menyatu pada agama dan hampir setiap goncangan yang timbul
dalam kehidupan manusia selalu dihubungkan dengan alam Ketuhanan
dalam manifestasinya. Selain itu agama Hindu secara realitas dan praktis
42
merupakan pendanga dan falsafah hidup umat manusia. Kepercayaan
umat Hindu terhadap ajaran agama senantiasa malandasi kehidupannya
dalam kehidupan dunia dalam setia gerak dan langkahnya. Hal ini sesuai
dan tepat sekali dengan arti agama dalam jiwa kerohaniannya, bahwa
agama bagi kita adalah dharma dan kebenaran abadi yang mencakup
seluruh jalan kehidupan manusia (Parisada Hindu Dharma. 1978:13).
Panca srada sebagai falsafah hidup umat manusia khususnya yang
menganut ajaran agama Hindu. Panca arada ini merupakan 5 keyakinan
sebgai hakekat ajaran agama Hindu yaitu : Widhi srada, Atma srada,
Karmphala srada, Punarbawa srada, Moksa srada. Kelima keyakinan
pokok tersebut merupakan keyakinan religius yang sangat
mempengaruhi dan meresapi seluruh aspek kehidupan umat manusia.
Implikasi pokok pokok ajaran tersebut adalah :
1. Whidi srada adalah keyakinan terhadap adanya Ida Sang Hyang
Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam menjalankan ajaran agama,
umat Hindu tidak hanya memuja Tuhan, tetapi juga dalam
manifesnya dan segalaa ciptaanNya dipuja dalam wujud Brahma,
Wisnu, Siwa sebagai penguasa dalam alam kekuatanNya sebagai
Utpeti, sthiti dan Pralina. Brahma adalah sebutan Ida Sang Hyang
Widhi dalam manifestasiNya sebagai pencipta segala sesuatu yang
ada yang mungkin ada di Dunia ini yang disebut sebagai dengan
istilah Utpeti. Wisnu adalah sebutan Ida Sang Hyang Widhi dalam
manifestasiNya sebgai pemelihara segala pemeliharaa segala
43
ciptaanNya dan melindungi disebut dengan istilah dan Shiti.
Demikian pula Siwa juga merupakan manifesta Ida Sang Hyang
Widhi dalam fungsinya menarik kembali segala ciptaanNya.
Manifestasi Sang Hyang Widhi tersebut telah dapat kita rasakan
bahwa di Dunia ini tidak ada sesuatu yang kekal sama sekali,
semuanya mengalami perubahan. Hal ini nampak sekali dalam
kehidupan manusia lahir, hidup dan mati. Semua yang pernah lahir
adalah pernah hidup walaupun sesaat. Mnifestasi Tuhan dalam wujud
Utpeti, Sbhiti, Pralina dalam kehidupan umat Hindu di Bali
diwujudkannyatakan dengan khayalan tiga dimasing-masing desa
adat di Bali. Di mana kahyangan tiga merupakan simbul
kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi atas lingkaran hidup dan
kehidupan manusia. Umat Hindu dalam memuja Ida Sang Hyang
Widhi beserta segalam manifestasinya dipuja dalam bentuk Panca
Yadnya. Aspirasi ini dilandasi dengan adanya Tuhan dalam
Menciptakan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada di
Dunia ini di didasarkan atas yadnya yang kekal abadi yang
merupakan Rna (hutang) bagi manusia, maka patutlah kita membayar
hutang guna mendapatkan kebebasan yang abadi (Parisada Hindu
Dharma, 1978:52).
Sahayadnah prajah sristwa pura : waca prajapatih anena
prasawisyadhiwam esa wo‟stwista kamadhuk.
Artinya :
44
Sesungguhnya sejak tahulu dikatakan Tuhan telah
menciptakan manusia melaui yadnya dengan (cara) ini engkau
akan berkembang, sebagaimana lembu perahan yang memerah
susunay karena keinginanmu (sendiri) G. Pudja, 1982 : 76)
Berdasarkan isi kitab Bhagawad Gita itu jelas bagi kita, bahwa kita
tercipta dari Tuhan didasarkan atas yadnya Beliau. Dengan
yadnyaNya dan hasil ciptaanNya kita akan dapat berkembang dan
dapat memenuhi segala keinginan kita, dalam artian segala yang kita
inginkan di dunia ini pasti ada semuanya. Tinggallah manusia
berusaha untuk mencapainya. Dengan demikian melakukan panca
yadnya adalah merupakan kewajiban manusia sebagai ucapan terima
kasih dan juga membayar hutang-hutang yang diwujudkan dalam
bentuk panca yadnya, yaitu :
1. Dewa Yadnya yaitu korban suci yang tulus ikhlas ditujukan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya.
2. Rsi Yadnya adalah korban suci dengan hati yang tulus ikhlas atau
berupa dana punya kehadapan para Rsi sebagai pengajar ilmu
kesucian yang selalu mendoakan kesejahteraan umat manusia.
3. Pitra Yadnya adalah korban suci yang tulus ikhlas sebagai
pembayaran hutang jasa terhadap para Leluhur yang telah
mengadakan keturunannya.
4. Bhuta Yadnya adalah korban suci yang bertujuan untuk
membersihkan/menyucikan tempat (alam beserta isinya dan
memelihara serta memberikan penyupatan kepada bhuta kala dan
45
makhluk-makhluk yang lebih rendah dari manusia (Ny. I.G.A.
Mas Putra, - : 5).
5. Manusia Yadnya adalah korban suci yang dilakukan kehadapan
manusia. Korban ini dapat berupa upacara-upacara yang
dilakukan dari manusia itu lahir sampai mati dan dapat juga
berupa dana punya (pemberian pertolongan baik material maupun
spiritual) terhadap orang yang memerlukannya.
Berpangkal dari hal itu maka setiap orang dengan kesadaran diri
yang tinggi merasa terpanggil jiwanya untuk senantiasa berbuat baik,
menjalankan dan mentaati ajaran-ajaran yang tercantum di dalam
kitab suci agama.
2. Atma Sradha adalah keyakinan terhadap adanya jiwatama pada tiap-
tiap mahluk. Jiwatman itu bersumber pada yang Esa yaitu Paramatma
yang tiada lain adalah Ida Sang Hyang Widhi sebagai yang Maha
Pencipta, melalui suatu evolusi seperti yang telah diuraikan dalam
sebelumnya. Adanya jiwatman tidak dapat disangkal lagi, karena
tiap-tiap manusia merasa dirinya hidup dan merasa juga mempunyai
sesuatu di dunia ini. Mengerti akan dirinya hidup kiranya cukup
sebagai suatu pertanda bahwa manusia mempunyai Jiwa/Atma.
Sehingga dalam kehidupannya manusia mengenal kesosialan tanpa
batas yakni “Tattwamasi” yang artinya itu adalah saya dan saya
adalah itu. Dalam tingkat tatwamasi yang lebih tinggi adalah
mengenai hubungan antara Atman dengan Brahman, dimana di dalam
46
upanisad disebutkan “brahman Atman Aikyam” yang artinya tidak
ada perbedaan antara Atman dengan Brahman (G. Pudja, 1983 :18).
Jika Atman sudah mencapai moksah/bersatu dengan brahman dimana
Atman menemukan dirinya yang asli dan memasuki kenyataannya
dan yang disebut Sat Cit Ananda yang berarti kebenaran, kesadaran
kebahagiaan yakni kesadaran dari jiwa sendiri bahwa hanya ada satu
kebenaran. Konsepsi alam pikiran yang demikian menjadi landasan
tata kehidupan kemanusiaan yang harmonis dan berprikemanusiaan
seperti terwujudnya rasa solidaritas yang kuat saling asah, asih, asuh
dan lain-lain.
3. Karmaphala sradha merupakan keyakinan terhadap hukum
perbuatan manusia baik skala maupun niskala, bahwa setiap
perbuatan manusia (karma) akan meninggalkan bekas-bekas
perbuatan yang disebut “Karma Wesana” sesuai dengan sifatnya
yang menentukan baik dan buruknya kehidupan kemudian.
Sebagaimana tercantum dalam kitab Sarasamusccaya sebagai berikut
:
Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wnang
gumayakenikang subhasubhakarma, kunang panentas akena
ring subhakarma juga ikang asubhakarma phalaning dadi
wwang.
Artinya :
Dari demikian banyaknya semua makhluk yang hidup yang
dilahirkan sebagaimanusia itu saja yang dapat berbuat baik
dan buruk itu; adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke
47
dalam perbuatan baik juga manfaatnya menjadi manusia (G.
Pudja, 1979 : 10-11).
Dalam kutipan tersebut jelas disebutkan bahwa dari perbuatan baik
dan buruk menjadi dasar timbulnya teori karmaphala, maka dari itu
melahirkan sebagai manusia sudah merupakan suatu pahala,
demikian juga sekaligus merupakan kesempatan bagi manusia untuk
dapat memperbaiki dirinya dengan melebur perbuatan buruknya
dengan jalan selalu berbuat baik. Tanpa cara demikian maka
perbuatan buruk akan tetap melekat pada Atma sebagai karmawesana
yang buruk, dan sebaliknya. Di dalam kitab Wrhaspati tattwa
disebutkan sebagai berikut :
….. Kadyanggening dyun wawadah ninggu, huwus hilang
hinggunya ikang dyun inasaham pinahalilang, kawekas ta ya
ambonya, gahdaynya rumaket irikang ayun ndah ya tika
wasana ngaranya, samangkaka tekang karma wesana ring
atma, rumaket juga ikang karma wesana ngaranya, yatika
umuparenggairikang atma (Wraspati tattwa : 2)
Artinya : Bagaikan tempatnya kemenyan, sesudah habis hilang
kemenyannya, tertinggal berbekas baunya itu, melekat pada
tempayan, maka itulah disebut wesana, demikian juga wesana yang
terdapat pada atma, dikatakan melekat padanya, itulah yang
membalut Atma. Karma Wesana yang membalut Atma itulah
nantinya menyebabkan kelahiran yang beraneka ragam watak
manusia di Dunia ini, yang ditentukan oleh kadar karma wesana yang
membalutnya. Selanjutnya dalam Wraspati tattwa dijelaskan
bermacam-macam penjelmaan manusia.
48
Yata dumadyakan ikang janma mapelenan, hane dewa yoni,
hana widyadara yeni, hana raksesa yoni, hana daitya yoni,
hana naga yoni, akweh prakaraning yoni sengkanyan
pengjanma yata matangnyan kaqwa dudu wesananya
(Wraspati tattwa : 2).
Artinya :
Itulah menyebabkan adanya penjelamaan berbeda-beda, ada
penjelmaan dewa, ada penjelmaan wdyadara, ada penjelamaan
raksasa, ada penjelamaan daitya, ada penjelmaan naga dan
banyak macamnya benih-benih asal penjelmaan, karena itulah
masing-masing mempunyai sifat yang berbeda-beda. Maksud
dari pada macam-macam benih asal penjelamaan adalah ada
dari rokh suci, rokh bijaksana, rokh angkara murka, rokh yang
keras hati, rokh yang berwatak berbelit-belit.
Kita harus menyadari bahwa phalanya lahir menjadi manusia adalah
merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk dapat
melebur karma wesana yang buruk menjadi karma wesana yang baik,
dengan senantiasa memupuk perbuatan-perbuatan baik. Maka ajaran
agama Hindu sebagai pegangan hidup telah memberi pedoman dan
tuntunan tata cara hidup yang baik, tertib dan aman dengan dinamika
religius yang lebih tinggi. Pandangan hidup yang demikian, telah
menjadi landasan dasar eksistensi manusia dalam hidup dan
kehidupannya.
4. Punarbhawa sradha merupakan keyakinan terhadap adanya
kelahiran kembali setelah kematian. Punarbhawa ini sangat
49
ditentukan oleh adanya karma wesana yang membalut Atma dalam
kehidupan manusia terdahulu. Atma yang masih terbelenggu oleh
ikatan duniawi akan lahir kembali dalam tubuh yang baru dengan
mengambil bentuk sesuai dengan kadar karma wesana yang
membalut Atma. Kelahiran kembali ke dunia mengandung arti
seperti diuraikan di atas pada uraian tentang karmaphala adalah
sebagai kesempatan untuk memperbaiki kwalitas hidupnya yang
rohani dengan berbuat baik guna melebur segalanya perbuatan buruk
dimasa lalu. Seperti disebutkan dalam kitab Sarasamuccaya sebagai
berikut :
Apan ikang dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning
mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng
sangsara maka sadhanang subhakarma hingganing
kottamaning dadi wwang ika.
Artinya :
Sebab jadi manusia sungguh uttama juga, karena itu ia
dapat menolong dirinya dari keadaan samsara dengan jalan
karma yang baik demikian keistimewaannya, menjadi
manusia itu (G. Pudja, 1979 : 11).
Berdasarkan kutipan tersebut jelas bagi kita bahwa kelahiran yang
berulang-ulang kali adalah merupakan kesempatan bagi manusia
untuk menentukan dirinya yang sebenarnya sampai akhirnya
jiwatman bebas dari lingkaran punarbhawa dan bersatu kembali pada
sumbernya. Untuk dapat mencapai hal tesebut memerlukan keuletan
ketenangan, ketabahan hati, menerima kenyataan, menghadapi
goncangan dunia yang penuh dengan kesucian dari pada jasmani,
50
rohani, yang berkembang dalam kreatifitas dan produktivitas yang
berkwalitas tinggi di dasarkan atas dharma.
5. Moksa sradha adalah keyakinan terhadap adanya kebebasan dan
kebahagiaan abadi, yaitu bebas dari segala bentuk penderitaan baik
lahir maupun bathin berupa suka tan pe wali dukha. Kebahagiaan
abadi dimaksud adalah bersatunya Atman dengan Brahman. Di mana
Atma telah besar/terlepas dari ikatan karma, kelahiran, kematian dan
belenggu maya/penderitaan duniawi (I.B. Oka Punyatmadja, 1983-
1984 : 83). Sehingga Atman dapat bertemu dan kembali dengan
sangkan peran yaitu Ida Sang Hyang Widhi. Demikian tujuan rohani
yang diajarkan dalam ajaran agama Hindu yang patut diusahakan
oleh umatnya untuk merealisasi dan mencapainya.
Walaupun demikian gaibnya dan tak terbatasnya keadaan Ida
Sang Hyang Widhi dan juga walupun demikian dengan terbatasnya
kemampuan manusia, tapi karena tujuan agama Hindu adalah
menghubungkan manusia (umatnya) kepada Tuhan, maka banyak
jalan/cara manusia dalam menempuh kehidupan untuk sampai pada
tujuan disesuaikan dengan kemampuan, kecenderungan, dan mentalitas
manusia masing-masing dalam menempuh alur kehidupan. Berdasarkan
pokok pandangan dan keyakinan terhadap panca sradha serta
penerapannya dalam kehidupan umat manusia, maka tiap-tiap pribadi
manusia mengabdikan hidupnya untuk berkarma/berbuat yang luhur
dengan disiplin hidup yang tinggi, guna membebaskan atma dari ikatan
51
lingkaran punarbhawa untuk mencapai moksa. Sehingga dalam
kehidupannya manusia cendrung untuk berbuat dharma.
3.2. Manusia Sebagai Mahluk Ciptaan Tuhan
Ikang manggih si dadi wwang, prasida wenang ring dharma
sadhana, tatan entas sangke sengsara, kebancana ta ngaranika.
Artinya :
Yang dapat menjelma menjadi manusia, berhasil menjalankan
dharma, tidak lepas dari sengsara, orang seperti itu menderita
juga namanya (G. Pudja, 1979 : 14).
Seperti telah diuraikan pada sub bab di atas bahwa kelahiran
sebagai manusia sudah merupakan suatu phala. Selanjutnya dalam
kutipan di atas menjelaskan pula bahwa menjelma menjadi manusia
bukan merupakan jaminan untuk tidak menderita, sebab setiap
pelaksanaan hukum kodrat berupa gerak kehidupan manusia baik
bersifat jasmani maupun rohani harus dilakukan melalui peralatan
jasmani, yang terwujud dalam tubuh manusia. Dalam ajaran agama
Hindu hidup itu sebenarnya adalah samsara yang haus diusahakan oleh
manusia untuk menghentikannya. Untuk itu ia harus dapat
mengusahakan dan membebaskan dirinya dari penderitaan sebagai
akibat dari kelahiran itu.
Manusia sebagai salah satu mahluk ciptaan Tuhan dan juga
sekaligus sebagai insan hamba Tuhan adalah wajib mengakui,
menghormati, berbakti dan melaksanakan segala perintah Tuhan, baik
52
berupa keharusan maupun larangan-larangan yang mutlak dan harus
ditaati dalam setiap gerak langkah manusia dalam kehidupan. Hukum
Tuhan, harus dilaksanakan atas dasar cinta kasih kepadaNya, sehingga
akan memperbesar hasrat untuk setiap kali lebih meningkatkan dan
memperbaiki usaha pelaksanaan hukum Tuhan. Kebaikan serta
pengakuan terhadap kebesaran Tuhan tidak cukup dilaksanakan hanya
berdoa dan bentuk rangkaian kata-kata, akan tetapi yang lebih penting
adalah perwujudannya dalam bentuk tindakan nyata dan ketaatan dalam
beryadnya. Hal tersebut dapat terjadi karena kehidupan umat Hindu
dalam gerak kehidupannya dilandasi oleh pokok ajaran agama Hindu
yang senantiasa setiap gerak langkah kehidupannya selalu bernilai
religius.
Kesadaran manusia terhadap dirinya sebagai mahluk ciptaan
Tuhan menyebabkan seseorang selalu lebih mentaati hukum-hukum
serta peraturan-peraturan yang diajarkan dalam kitab-kitab suci agama,
terutama hukum serta peraturan dalam hubungan manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya.
Untuk menciptakan kehidupan yang serasi, seimbang serta bahagia lahir
bathin. Pelanggaran terhadap hukum itu dapat menggalkan usaha untuk
membina perkembangannya dalam mencapai tujuan hidup. Dengan
demikian hukum dalam kitab-kitab suci agama gabi kehidupan manusia
adalah merupakan rel atau jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan.
Bagi mereka yang mentaati hukum Tuhan (Dharma) dalam hidupnya
53
merasa mendapat tuntunan dalam mencapai tujuan hidup sebagai
manusia.
Ikang dharma ngaranya, hetuning mara ring swaga ika kadi
gatining perahu an hetuning baniaga mentas ing tasik.
Artinya :
Yang disebut dharma (hukum Tuhan), penyebab menuju sampai
di sorga itu seperti halnya perahu alat bagi pedagang
menyebrangi laut( G. Pudja, 1879 : 16).
Kutipan ini mempertegas bahwa dharma adalah merupakan
hukum abadi dan juga hukum moral yang bertujuan untuk membebaskan
manusia dari keterikatan oleh ketidak tahuan (awidya).
Tuhan Yang Maha Esa memberikan jalankepada manusia
bagaimana cara mengenal hukumnya. Ajaran agama Hindu menyiapkan
cara hidup yang baik, berupa tahap-tahap dalam kehidupan manusia
mulai dari anak-anak sampai tua. Tahap-tahap dalam kehidupan ini akan
diuraikan lebih lanjut dalam sub bab berikutnya. Jalan yang diberikan
oleh Tuhan itu harus kita jalani sehingga dengan mengikuti jalan Tuhan
itu kita akan dapat hidup semakin sempurna dalam mewujudkan apa
yang menjadi kehendak sebagai penganut yang sejati.
Ayam eka itthaperurn caste wiwispatih, tanya wrata nyam
wascaramasi.
Artinya :
Inilah Tuhan yang Satu, yang berkuasa atas manusia, melihat dari
jauh dan meluas dan kami untuk kebahagiaan itu akan mematuhi
hukumnya (Wayan Sandya dan G. Pudja, 1983:16).
54
Berdasarkan atas kutipan tersebut dapat dipetik beberapa pengertian
yang terkandung di dalamnya yaitu :
1. Tuhan adalah satu (esa), berkuasa atas kehidupan manusia di alam
fana ini, sebagai hasil ciptaannya.
2. Berdasarkan atas saksi (kemahakuasaanNya) Tuhan mengatur dan
mengawasi ciptaanNya dari kejauhan alam empiris.
3. Untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan, manusia harus
mengamalkan apa yang diharuskan serta ditetapkan sebagai
hukumnya yang merupakan hukum suci. Selanjutnya dalam kitab
Manawa Dharma sastra ditetapkan sebagai hukum yang patut ditaati
sebagai makhluk ciptaan Tuhan, agar di dalam kehidupan sebagai
manusia mendapat kebahagiaan lahir dan bathin. Dalam menempuh
alur kehidupan, mengikuti hukum Tuhan merupakan suatu keharusan
yang mau tidak mau harus dilaksanakan. Di dalam kitab Manawa
Dharmasastra ada disebutkan sebagai berikut :
Sruti amrtya dita dharma, mana tisthanhi manawah, ika
kirtimawapnepti pretya, canutamam sukham.
Artinya :
Karena orang mengikuti hukum yang diajarkan oleh kitab-
kitab (pustaka-pustaka) suci dan mengikuti adat istiadat yang
keramat, mendapat kemasyuran di dunia ini dan setelah
meninggal menerima kebahagiaan tak terbatas (tak ternilai)
(G. Pudja dan Tjok Rai Sudharta, 1973 : 65).
Dengan demikian siapa saja yang dalam kehidupannya mentaati,
menghayati dan mengamalkan isi yang ditetapkan di dalam kitab
55
suci phalanya akan memperoleh kemasyuran dan kebahagiaan
yang tak terbatas baik semasih hidup maupun setelah mati.
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia dalam
hidupnya harus mau mengerti tentang hakekat kehidupan jika
tidak demikian akan dapat membelokkan pikirannya ke arah lain,
akan dapat membawa manusia kepada pemungkiran terhadap
eksistensi Tuhan.
Sebagaimana telah diuraikan pada pokok-pokok ajaran
agama Hindu yang melandasi kehidupan manusia tentang widhi
sradha bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada dan
yang mungkin ada, maka dalam kehidupannya manusia wajib
mengadakan hubungan yang harmonis dengan Tuhan sebagai
maha pencipta. Demikian pula terhadap sesuatu manusia sebagai
mahluk yang sederajat menjalin kerukunan antar umat manusia
mengakui masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan,
sama-sama sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Selain itu untuk
menjaga kelestarian, serta untuk dapat hidup damai, aman dan
bahagia maka manusia wajib menjaga kelestarian lingkungannya.
Kehidupan manusia dalam hubungan harmonis dengan
Tuhan tercermin dalam tindakan kehidupan beragama dengan
menyerahkan dirinya kepada Tuhan, bahwa penyerahan diri itu
dirasakannya sebagai syarat mutlak untuk bahagia dalam hidup di
dunia ini (H. Burhanuddin, S. 1985 : 151). Tuhan akan selalu
56
menyertai karya ciptaanNya. Tanpa menyia-nyiakan semua bakat,
kemampuan, kesempatan dan bantuan yang dianugerahkan oleh
Tuhan kepada kita, sehingga akhirnya kita dapat mencapai tujuan
hidup yakni bahagia di dunia ini demikian juga di akhirat.
Tasmat sarwesu kalesu, mam anusmara yadnya cs,
mayyarpitama ne buddhir, mam ewai syasyasamsayah .
Artinya :
Karena itu kapan saja ingatlah kepadaKu selalu dan
berjuanglah terus maju dengan pikiran dan pengertian tetap
padaKu, engkau pasti sampai kepadaKu (G. Pudja, 1982 :
190).
Setiap orang harus ingat bahwa ia mempunyai tujuan hidup
yang tidak hanya hidup di dunia ini tetapi juga setelah mati.
Manusia harus mengisi hidup ini karena manusia dalam hidupnya
berkembang dalam dunia jasmani maka manusia harus memenuhi
tuntutan jasmaninya, namun dalam praktek kehidupannya tidak
boleh tersesat oleh kejasmanian. Manusia diciptakan oleh Hyang
Widhi (Tuhan) sebagai mahluk yang tertinggi drajat dan
martabatnya serta ditempatkan sebagai mahluk yang termulia di
Dunia dengan anugrah tri Prana (sabda, bayu idep) ( Adia
Wiratmadja, 1987 : 23).
Dalam hubungan manusia dengan manusia sebagai
makhluk yang memiliki derajat sama, dalam kehidupan wajib
mengakui dan memperlakukan yang sama terhadap semua
57
manusia. Dalam melaksanakan sikap mental yang demikian
diperlukan adanya pengertian yang mendasar yaitu “Manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan adalah sama.” Maka dari itu
sesama manusia merasa manusia merasa wajib hormat
menghormati, harga menghargai dengan rasa kekeluargaan
senang dan susah dirasakan bersama secara kompak dalam
berbagai aspek kehidupan sosial, memupuk rasa solidaritas yang
kuat dengan jiwa saling asih, saling asah, saling asuh, selunglung
sebhayantaka baik keluar maupun ke dalam (I Gst. Kt. Sutha,
1980 : 9). Hidup harmonis antara makhluk ciptaan Tuhan
merupakan suatu harapan yang harus diwujudkan dalam sikap
prikemanusiaan seperti tersebut di atas. Pengertian kemanusiaan
debagai konsep universal dalam hidup dan kehidupan manusia
disebutkan dalam kitab upanisad “Tattwamasi”. Ajaran ini
meletakkan landasan kesamaan sehingga tidak membedakan
antara Atman yang ini dari Atman yang itu. Dengan konsep
kesamaan itu dimaksudkan agar kita harus ikut merasakan semua
penderitaan orang lain seperti penderitaan kita sendiri (G. Pudja,
1985 : 26). Perlu diingatkan isi Bhagawad Gita bahwa segala
tindakan manusia di dunia adalah berasal dari Tuhan.
Ahimsa samata tusti, tapo danam yaso yasah, bhawati
bhawa bhutanam, matta eva prithagwidhah.
Artinya :
58
Tidak menyakiti, keseimbangan pikiran, kepuasan,
pengekangan, berderma, kemasyuran, dan kecemaran
adalah sifat hakekat semua makhluk yang berbeda satu dari
yang lain datangnya dari aku sendiri (G. Pudja, 1982: 227).
Dalam hubungan dengan lingkungannya manusia merasa wajib
memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan demi
kelangsungan hidup manusia. Tindakan manusia seperti ini
terwujud dalam kegiatan umat Hindu melaksanakan ajaran agama
dalam bentuk Yadnya (korban). Hal ini dilandasi oleh pengertian
manusia tentang sirkulasi kehidupan sebagaimana disebutkan
dalam kitab Bhagawad Gita :
Annad Dhawati bhutani, parjanyad annasambhawah,
yadnad bhawati parjanyo, yadnah karma
samudbhawah.
Artinya :
Adanya makhluk hidup karena makanan, adanya
makanan karena hujan, adanya hujan karena yadnya,
adanya yadnya karena karma.
Karma brahmobhawam widdhi, brahma
kearesamudbhawah, tasmat sarwagatam brahma,
nityam yadne pratisthitam.
Artinya :
Ketahuilah adanya karma karena Brahma yang ada dari
yang maha Abadi. Karena itu ia yang mengetahui
semua itu selalu tetap dalam berkorban dari itu,
Brahman yang melingkupi semua selalu ada di sekitar
persembahan (G. Pudja, 1982 : 79-80).
Dalam pengertian ini perlu didasari bahwa :
Segala ciptaan Tuhan yang ada adalah berjiwa
bukanlah suatu pengertian yang animis yang
didengungkan oleh kebanyakan para ahli, melainkan
59
adalah pengertian agama Hindu dengan ajaran
Tattwamasinya dengan pengertian bahwa Tuhan ada
dimana-mana., bahwa Tuhan menjelma melalui alam
ini diberi jiwa oleh Tuhan yang membantu manusia dan
manusia harus tolong menolong bukan hanya sesama
manusia tetapi harus bisa menghormati dalam arti
menghargai alam sebagai sarana kasih sayang Ida Sang
Hyang Widhi. Itulah pula sebabnya kita membuat
tumpek pengatag, dan tumpek kandang, byukukungan
dan sebagainya, sebagai pernyataan terima kasih
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha
Esa) melalui sarana alam beliau ciptakan (Putra : 107).
3.3 Tahap-Tahap Kehidupan manusia Dalam Ajaran Agama Hindu
Manusia dalam hidupnya mengalami suatu proses
perkembangan secara perlahan-lahan dalam waktu yang cukup lama.
Evolusi manusia secara nyata dapat dilihat melalui baru lahir sebagai
bayi dengan berjalan merangkak, gigi ompong (tidak punya gigi),
pikiran sangat picik dan rewel. Kemudian sedikit demi sedikit
mengalami perkembangan, bertambah kuat badannya, demikian pula
pikirannya semakin meluas. Akhirnya lama-kelamaan menjadi tua,
dimana badannya mulai lemah kembali. Tingkah laku dan keadaannya
menyerupai bayi lagi, di mana sifatnya mulai rewel, giginya ompong
dan berjalanpun mulai merangkak kembali dan akhirnya mati. Proses
evolusi ini tidak dapat dihindari karena manusia tidak bisa seketika
menjadi dewasa tanpa melalui proses kelahiran sebagai bayi.
Di samping itu di antara demikian banyaknya manusia yang
lahir dan berkembang diseluruh lapisan dunia tidak ada yang sama,
bahkan semuanya berbeda baik fisik maupun wataknya (sifatnya).
Manusia sangat menghendaki adanya pemenuhan nafsu atau keinginan
60
yang berbeda-beda tergantung pada saat mananya dalam tahap
kehidupan mereka berada.
Manusia dalam kehidupannya secara nyata menghadapi hari sore
ke malam hari yang setiap saat sikap manusia tetap berbeda.
Memandang kehidupan manusia mulai dari anak-anak sampai dengan
tua, ajaran agama Hindu membagi kehidupan manusia dalam 4 tahap.
Di mana masing-masing tahap menghendaki adanya sikap yang berbeda
yang serasi dengan bentuk tingkah laku pada tahap-tahap yang
bersangkutan. Keserasian perbuatan dalam tahap demi tahap kehidupan
akan terwujud jika kita sadar, bagaimana semestinya kita hidup dan
juga dalam tahap kehidupan yang mana kita berada sekarang ini.
Taki-takining sewaka guna widya,
Smara wisaya rwang puluhing wayusa,
Tengahi tuwuh san-wecana gegonta,
Patlaring atmeng tanu paguraken.
Artinya :
Seorang pelajar wajib menuntut ilmu pengetahuan dan
keutamaan, jika sudah berumur dua puluh tahun orang
harus kawin, jika sudah setengah tua berpeganglah pada
ucapan yang benar/baik, hanya tentang lepasnya nyawa kita
mesti berguru (PGAH 6 tahun Singaraja, 1983-1984 : 47).
Demikian disebutkan dalam Niti Sastra, bila kita telah
selusuri kehidupan manusia dari lahir hingga tua, jelas dapat dilihat
perbedaannya tahap demi tahap. Pada saat masih anak-anak alam
pikiran tidak mengizinkan untuk bertindak secara dewasa, demikian
pula fisik belum mencukupi, tidak lain yang mesti kita lakukan
61
adalah belajar untuk mengisi/membekali diri atau mempersiapkan
diri untuk menghadapi tahap hidup berikutnya. Kemudian setelah
kita dewasa sekitar umur 20 tahun ke atas, energi sedang bergejolak
mengingini adanya penyaluran, demikian pula badan sedang kuatnya
dan kemampuan sedang memuncak. Saat ini adalah kesempatan bagi
seseorang untuk bereproduksi (kawin), melampiaskan hawa nafsu,
menjalankan tanggung jawab, memenuhi hak dan kewajiban. Setelah
lanjut usia (umur tua) kemampuan tiada lagi, lalu apa yang mau
kita lakukan. Dalam keadaan yang demikian hanyalah menunggu
kapan saatnya kita akan mati. Tiada lain yang mesti kita lakukan
adalah persiapan untuk menghadapi kematian, mengamalkan ilmu-
ilmu kerohanian dengan pergi ke hutan untuk melepaskan ikatan
keduniawian, mengadakan semadi untuk menemukan siapa
sebenarnya diri kita sendiri. Sehingga seseorang benar-benar dapat
mengetahui bagaimana tujuan hidup sebagai manusia. Kehidupan
manusia seperti ini akan mencapai kebahagiaan yang abadi.
Idam swastya yanam srestha idam pudhiwiwidhanam, idam
yasyamidam nihsrayasam param.
Artinya :
Mempelajari peraturan-peraturan hidup ini adalah jalan
terbaik untuk mendapatkan kesejahteraan hidup,
meningkatkan pengertian, menghasilkan kemasyuran dan
umur panjang dan menghantarkan pada kebahagiaan
tertinggi (G. Pudja dan Cok Rai Sudharta, 1973 : 57).
4 (empat) tahap kehidupan manusia yang dimaksud dalam uraian
ini adalah sebagaimana disebutkan dalam naskah jawa kuno kitab
62
Agastya parwa yang dikutip oleh Oka Punyatmadja, dalam bukunya
berjudul sila krama dikatakan sebagai berikut :
“Catur asrama ngaranya brahmacari, grhasta,
wanaprastha, bhiksuka. Nahan tang catur asrama
ngarannya brahmacari sang sedengngangabyasa sang
sastra, mwang sang wruh ring tingkah sang hyang aksara
sang sinangguh wiyasa istyadi, yeka brahmacari ring leka.
Kunang ikang brahmacari waneh sinangguh brahmacari
caranam, paraning atma pradesa sang ksepanya. Sang yogi
swara sira brahma cari ring sastra antararing sastrajna.
Huwus pwenak tamanire ring aji kabeh ikang sakeregep
denira, grhusta ta sira mastri pwa sira, manak, madrewya
hulun, ityawawadhi, mangunaken kayika dharma yatha
sakti. Riteles nira grhasta dharma ginawayaken ira
wanaprastha ta sira, mur sakeng asrama mwang
munggwing susidesa, makadi wukir mwgawepetepan stanen
nira gumawayaken pancakarma mwang melwangi wisaya
mwang mangdesanakan dharma. Huwus pwa sira
wanaprastha, bhiksuka ta sira, mur sangkong petapanira
nisparigraha, tan pengaku petapan, tan pengaku nisya, tan
pengaku pengewruh, pada ya tininggalaken ira.
Artinya :
Yang bernama catur asrama adalah brahmacari, grhasta,
Wanaprasta, bhiksuka. Demikianlah yang bernama catur
asrama. Brahmacari namanya orang yang sedang mengejar
(mempelajari dengan cermat) ilmu pengetahuan (sastra) dan
mengetahui perihal ilmu huruf (aksara), yang demikian
pekerjaannya bernama brahmacari. Adapun yang dianggap
brahmacari dalam masyarakat ialah orang yang tidak terikat
nafsu duniawi, sebagai beristri dan sebagainya. Adapun
brahmacari selain itu disebut brahmacari caranam di dalam
pengertian ilmu sastrajna. Setelah puas dimasukkannya
pengetahuan semua yang dikehendaki beliau, menjadi
grhastalah beliau, neristrilah beliau, beranak, mempunyai
budak atau sebagainya, memupuk kewajiban yang
berhubungan dengan diri sendiri (kayika dharma) dengan
kekuatan yang ada padanya. Setelah melakukan dharma
grhasta, menjadi vanaprastalah beliau, pergi dari desa dan
menetap di tempat yang bersih dan suci terutama di gunung
mendirikan pertapaan sebagai suatu tempat melakukan
panca karma dan mengurangi nafsu duniawi serta
mengajarkan ajaran kerohanian. Setelah beliau
63
wanaprastha, bhiksukalah beliau pergi dari pertapaannay
tidak terikat, tidak mengaku memiliki pertapaan, tidak
merasa mempunyai murid, tidak merasa berpengetahuan,
semua itu ditinggalkan beliau ( Oka Punyatmadja, 1983-
1984 : 10-11).
Berdasarkan atas isi Agastya Parwa tentang catur asrama yaitu 4
tahap kehidupan manusia berdasarkan petunjuk adanya sikap yang
berbeda, kerohanian jelas bagi kita bahwa tahap menghendaki
adanya sikap yang berbeda.
Tahap pertamadalam kehidupan manusia adalah brahmacari
asrama (hidup sebagai seorang pelajar). Tahap ini biasanya dimulai
dengan upacara inisiasi (upanayana) yakni suatu upacara pentasbihan
sah sebagai seorang pengajar yang akan menuntut ilmu kerohanian.
Tanggung jawab utama dalam tahap ini adalah belajar. Pada saat ini
adalah saat ketergantungan yang menyenangkan. Pengabdian
terbesar yang dapat dilakukan sebagai suatu kewajibannya seorang
brahmacari adalah menerima dan menyimpan hal-hal untuk masa
yang akan datang, yaitu pada saat banyak yang akan diharapkan dari
dirinya. Hal-hal yang dipelajari adalah berbagai ilmu pengetahuan
tentang kenyataan, adat istiadat atau kebiasaan-kebiasaan, peraturan-
peraturan tingkah laku dan lain sebagainya yang sangat berguna bagi
kehidupan di dalam masa-masa yang akan datang. Seseorang yang
berada dalam tahap brahmacari asrama juga diatur dalam kitab
menawa dharmasastra yang wajib dihayati dan diamalkan oleh
seorang brahmacari.
64
Asmin dharmo khilenoktoguna dosan cakarmanam, catur na
mapi warnanem scarascarwa saswatam.
Artinya :
Dalam hal ini hukum-hukum sudah dicantumkan
seluruhnya, demikian juga baik atau buruknya tingkah laku
manusia dan peraturan-peratura tingkah laku dari masa lalu
yang harus diikuti oleh semua keempat golongan dalam
masyarakat (G. Pudja dan Tjok Rai Sudharta, 1973 : 58).
Berdasarkan kutipan tersebut di atas jelas disebutkan bahwa
baik buruk perilaku manusia yang dimaksud adalah baik buruk akibat
yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia, mulai masa brahmacari
wajib menghayati dan mengamalkan ajaran ini. Perbuatan dianjurkan
atau diwajibkan adalah perbuatan yang akibatnya baik, baik diri
sendiri maupun bagi orang lain. Sedangkan perbuatan yang dilarang
adalah perbuatan yang berakibat tidak baik, baik bagi pelakunya
maupun bagi orang lain.
Dengan kebiasaan dari semasih dalam tahap brahmacari
asrama senantiasa berbuat mengikuti ketentuan-ketentuan/ peraturan-
peraturan yang dianjurkan dalam ajaran agama Hindu yaitu cara
Hidup yang benar akan mencapai keadaan yang absolut. Dalam kitab
Manawa Dharmasastra disebutkan sebagai berikut :
Tasu samyag wartamano gacatya maralakatam. Yatha,
samkalpitamccena sarwam kamansama snute.
Artinya :
Ia yang tekun melakukan tugas-tugas yang telah ditentukan
ini cara-cara yang benar dengan mencapai keadaan yang
abadi walaupun dalam hidup ini sekalipun, terpenuhilah
65
segala keinginan-keinginan, yang mungkin diidam-
idamkannya (G. Pudja dan Tjok Rai Sudharta, 1973 : 63).
Diharapkan pelajar-pelajar yang terdidik dalam tahap
brahmacari asrama harus mempunyai bekal sedemikian rupa sehingga
dapat membangun kehidupan yang baik dan efektif seperti halnya
seorang pembuat kramik mampu menghasilkan tempayan yang
bermutu tinggi.
Tahap kedua dalam kehidupan manusia adalah grhasta
asrama yang dimulai dengan upacara perkawinan sah sebagai
pasangan suami istri. Tahap ini lebih dikenal dengan masa berumah
tangga. Saat ini adalah saat tengah hari dalam kehidupan, dimana
hidupnya ditentukan oleh kekuatan jasmani yang sedang memuncak.
Secara alamiah kepentingan serta energi diarahkan keluar. Setiap
orang selalu mengusahakan dirinya untuk memenuhi kecenderungan-
kecenderungan yang bersifat dominan. Kecenderungan-kecenderungan
itu berupa kesenangan, keberhasilan dan kewajiban. Dalam tahap
grhasta asrama merupakan kesempatan untuk mengejar harta dan
memenuhi kama yang tetap dilandasi oleh dharma. Tetapi di dalam
usaha pemenuhannya jangan sampai terombang-ambing oleh isi
duniawi. Dalam hal ini kesenangan dipenuhi melalui keluarga,
keberhasilan dipenuhi melalui keluarga serta kewajiban dipenuhi
melalui tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Tahap ketiga dalam kehidupan manusia adalah wanaprastha
asrama, merupakan kesempatan bagi orang bersangkutan untuk
66
memperdalam ajaran-ajaran kerohanian. Pada tahap ini umur sudah
tua dan semestinya sudah mengundurkan diri dari kewajiban sosial
yang selama ini dipikulnya. Sekarang saatnya ada pergantian, agar
supaya kehidupan ini jangan sampai berakhir sebelum makna hidup
dapat dipahami.
Grhasthatu yada pasyedwali pali tamatmanah,
apatyasyaiwa capatyam tadaranyam samasrayet.
Artinya :
Kalau seorang kepala keluarga sudah melihat kulitnya
mulai keriput dan rambutnya sudah mulai putih dan sudah
pula melihat adanya cucu (putra-putra dari putra-putranya),
pada waktu itulah ia boleh hidup dalam hutan (G. Pudja dan
Tjok Rai Sudharta, 1973 : 329).
Seseorang yang telah berada dalam tingkat hidup seperti ini
sangat sedikit sekali waktu untuk membaca, berfikir, untuk
merenungkan makna hidup ini dengan tenang. Bagi mereka yang telah
sampai pada tingkat ini, akan membawa kepuasan tersendiri yang
merupakan saatnya bagi seseorang yang bersangkutan untuk memulai
saatnya bagi umur dewasa yang sesungguhnya, untuk mengetahui
siapa sebenarnya dirinya dan apakan sebenarnya hidup ini yang
sesungguhnya. Apakah rahasia yang dikandung dalam hidup ini? Apa
yang tersembunyi di balik dunia yang selama ini menata dan
menjiwainya dalam kehidupan, apakah tujuan akan dicapai dalam
kehidupan selanjutnya. Dibalik hamparan hidup kebiasaan sehari -hari
yang telah dikenal baik dan membosankan itu, menjulang tinggilah
rahasia-rahasia sebagai suatu tantangan yang menggugah rasa ingin
67
tahu dan mengingat perasaan manusia. Tanggung jawab yang mereka
pikul hanyalah terhadap dirinya sendiri saja. Usaha-usaha, keluarga,
kehidupan-kehidupan duniawi seperti keindahan masa muda serta
harapan-harapannya dan keberhasilan hidup sewaktu dewasa sekarang
telah ditinggalkannya yang belum mereka capai kini ialah keabadian.
Itulah saatnya menerapkan fildafat pada dirinya yaitu saat untuk
mengatasi indriya untuk mencari dan menetap disuatu tempat yang
menyatu dengan kenyataan abadi. Dalam kitab Manawa Dharmasastra
disebutkan sebagai berikut :
Asrama dasramam huta homo jittendriyah, bhiksabaipari
srantah prawajan pretya wardhate.
Artinya :
Ia telah melampaui tingkat hidup yang telah ditentukan,
setelah menghaturkan upacara korban suci dan
mengendalikan panca indera, telah pula jemu memberikan
sedekah-sedekah dan pemberian-pemberian makanan,
pertapa pengembara itu mendapat kebahagiaan abadi
setelah meninggal (G. Pudja dan Tjok Rai Sudharta, 1973 :
338).
Demikian sebagai seorang wanaprastin adalah sebagai usaha
menyelesaikan untuk menyelesaikan segala tanggung jawab dalam
kehidupan termasuk tanggung jawab terhadap diri sendiri dengan
mengekang segala hawa nafsu, membebaskan diri dari ikatan
duniawi. Dengan menyelesaikan tanggung jawab spiritual yaitu
melaksanakan kurban suci merupakan pelaksanaan terhadap
tanggung jawab membayar tiga hutang (dewa rna, rai rna, pitra rna)
yang mengikat kita selama dalam kehidupan. Dalam kehidupan ini
68
segala tanggung jawab baik material maupun spiritual harus selesai
dilakukan, guna mempercepat mendapatkan kesempurnaan hidup
yaitu berdisiplin diri dalam pengembaraan hidup rohani. Sehingga
jiwa betul-betul dapat terbebaskan dari segala bentuk ikatan.
Tahap keempat dalam kehidupan manusia adalah bhiksuka
asrama atau sannyasa asrama, yaitu tahap terakhir dalam kehidupan
manusia, di mana tujuan hidup itu benar-benar dapat tercapai.
Seorang yang telah berada dalam tingkat kehidupan sannyama ini
tidak ada suatu tempat tetap baginya.
Asakta buddhin sarwatra jitatmawi gatasprhah,
naiskarmyssiddhim paramam samyasena dhigacchati.
Artinya :
Orang yang pengertiannya tak terikat, dimana saja
menguasai hatinya dan melepaskan keinginannya, dengan
sannyasa ia mencapai tempat yang tertinggi (G. Pudja, 1982
: 401).
Seorang yang berada dalam tingkat hidup sannyasa ini
bebas untuk kembali ke masyarakat, karena bagi mereka ruang serta
waktu dalam kehidupan tidak lagi berpengaruh atas dirinya. Mereka
selalu mengajarkan ajaran-ajaran kerohanian kepada siapapun yang
patut menerimanya dengan tidak mengharapkan hasil. Hanya satu
yang diharapkan adalah menginginkan kebahagiaan akan kebebasan
akhir.
69
Adhyatmaratirasino nirapekso niremisah, atmanaiwa
sahayena sukharthi wicarediha.
Artinya :
Bergembiralah dalam pembinaan mengenai ketahanan
duduk dalam sikap sesuai dengan ajaran yoga tanpa bantuan
luar, berhenti sama sekali dari kesenangan nafsu hanya
dirinya sendiri sebagai kawan, ia harus di dunia ini
menginginkan kebebasan akhir (G. Pudja dan Tjok Rai
Sudharta, 1973 : 342).
Kehidupan manusia yang demikian jiwanya
(rohaninya) betul-betul bebas, tidak lagi dibatasi oleh badannya atau
jasmaninya. Sebab rohaninya telah dapat mengatasi segala tuntutan
jasmaninya dan jasmaninya telah merohani.
70
BAB IV
MAKNA KEHIDUPAN MANUSIA DALAM AJARAN
AGAMA HINDU
4.1. Arti Hidup Manusia Menurut Ajaran Agama Hindu
Seperti telah diuraikan dalam uraian di atas bahwa hidup
sebagai manusia sudah merupakan suatu phala, sehingga hidup
dikatakan mengalami samsara. Telah dijelaskan pula bahwa hidup
sebagai manusia adalah bukan jaminan untuk tidak menderita,
namun hidup ini adalah sebaliknya, karena hidup sangat
dipengaruhi oleh tempat, waktu dan keadaan, maka dalam
kehidupannya manusia boleh jadi melakukan sesuatu yang salah
yang tak semestinya/seharusnya dilakukan, yang semuanya telah
terjadi dimasa lalunya, sehingga menimbulkan rasa takut. Demikian
pula manusia takut akan apa yang mungkin akan terjadi di masa
yang akan datang seperti kehilangan pekerjaan, sakit, umur tua,
kekurangan makanan dan lain lain-lain, semuanya akan mungkin
terjadi. Semua pikiran yang tersusun sebagai hari kemarin, sekarang
dan esok melahirkan rasa takut (Krisna Murti, 1976 : 18). Dalam
kehidupan pikiran manusia, melahirkan rasa takut, demikian pula
pikiran tak mungkin mengakhirinya. Maka itu kita harus mengerti
sifat dan susunan pikiran. Memandang sifat alam pikiran manusia
yang demikian maka hidup dalam dunia ini adalah penuh dengan
71
segala derita, tenggelam dalam derita suka dukha dan kekerasan
yang tiada henti-hentinya (wawancara, 26 April 2011)
Walaupun demikian susahnya sebagai manusia, namun bagi
umat Hindu kesempatan lahir sebagai manusia adalah paling mulia,
kendatipun arta dan kama paling besar pengaruhnya atas kehidupan
manusia, akan etapi dengan kesadaran yang demikian umat manusia
belum berputusan. Hal ini disebabkan oleh karena kesucian pada
dirinya yaitu budi luhur? dharma yang ada padanya akan membimbing
dan menuntun serta mengarahkan kehidupannya ke jalan yang benar.
Seperti petunjuk dalam kitab Sarasamuçcaya menyebutkan :
Kunang deyanta, haya ya prawerti, kapuhara dening
kayawak, manah nda tan panukhe ya ri kita magawe
duhkapuhara badogra, yatika tan ulabakenanta ring lan
haywa tan harimbawa ika gatinta mangkana, yatika
sangksepaning dharma ngaranya, nyata kada melaning
dharma yan mangkana, lilantat gawayakana ya.
Artinya :
Adapun yang harus engkau perhatikan, adalah hal yang
ditimbulkan oleh perbuatan, perkataan dan pikiran tidak
menyenangkan dirimu sendiri, malahan menimbulkan
kesusahan yang menimbulkan sakit hati, yang demikian, itu
janganlah engkau lakukan kepada orang lain, jangan
demikian itu singkatnya itulah dharma namanya, penyimpangan dalam melaksanakan dharma yang demikian
hendaknya jangan engkau lakukan (G.Pudja, 1979 : 28).
Dalam kehidupan manusia tiga hal yang menyebabkan kesulitan atau
penderitaan dalam hidup adalah pikiran perbuatan, perkataan, dan
perbuatan. Dalam pengajaran dharma hendaknya tiga hal tersebut
mendapat perhatian.
72
Dalam pengalam hidup sehari-hari pikiran adalah memegang
peranan penting dalam kehidupan karena, segala tindak dan langkah
manusia adalah berpusat pada pikiran. Pikiran sangat menentukan baik
buruk tindak tanduk seseorang dalam perbuatannya. Buruk-buruk
pikiran seseorang merupakan dosa dari tingkah laku pikiran. Seperti
disebutkan dalam kitab Manawa Dharmasastra demikian :
Paradrawyeswabhidyanam manasanista cintanam, witatha
bhiniwecasca triwidham karma manasam.
Artinya :
Bernafsu akan milik orang lain, berpikir akan diri seseorang
apa yang tak diinginkan dan mengikuti ajaran yang salah merupakan tiga macam dosa dari tingkah laku pikiran (G.
Pudja dan Tjok Rai Sudharta, 1973 : 719).
Tiga dosa yang ditimbulkan oleh pikiran manusia, dalam tindakan
selanjutnya akan menimbulkan dosa pada perkataan dan tindak tanduk
perbuatan. Dari pikiran akan dapat mewujudkan sikap yang sesuai,
seperti : Seorang yang pikirannya sedih akan terwujud dalam sikap
dan tindakan, yaitu badannya gemetar, matanya keluar air mata.
Demikian pula dalam perbuatan-perbuatan yang lainnya, seseorang
yang disebut bijak bila seseorang dapat mengendalikan tiga macam
dosa dari tingkah laku pemikiran tersebut.
Sebagai akibat dari tingkah laku pikiran terwujud kata-kata/
pembicaraan. Dalam pergaulan umat manusia pengendalian terhadap
kata-kata yang dapat mengurangi kebahagiaan orang lain perlu
diperhatikan.
73
Wasita nimittanta manemu laksmi
Wasita nimittanta pati kepangguh
Wasita nimittanta manemu duhkha
Wasita nimittanta manemu mitra.
Artinya :
Oleh perkataan engkau akan mendapat kebahagiaan,
Oleh perkataan engkau akan mendapat kesusahan,
Oleh perkataan engkau akan mendapat kesusahan,
Oleh perkataan engkau akan mendapat sahabat
(PGAHN 6 Tahun Singaraja, 1983-1984 : 37).
Oleh perkataan yang kurang baik di samping menyebabkan
penderitaan-penderitaan bagi orang lain juga terhadap diri sendiri
sama halnya. Baik buruknya perkataan adalah merupakan wujud dari
baik buruknya pikiran. Dalam ajaran Hindu disajikan adanya 4 macam
dosa dari perkataan yang tidak baik, secara garis besarnya.
Parusamartam caiwa paisunyamcapi sarwasah, asambadha
pralapasca wangsayam syaccatur widham.
Artinya :
Mencemooh, berbohong, mengurangi kebajikan orang lsin dan
berkata-kata yang kosong adalah merupakan 4 macam
keburukkan dari tingkah laku perkataan (G. Pudja dan Tjok. Ra
Sudharta, 1973:719).
Di samping itu akibat dari pikiran juga terwujud dalam
bentuk perbuatan (gerak-gerik) dari setiap langkah kehidupan. Demi
keamanan, ketertiban, ketentraman serta tercapainya tujuan dalam
kehidupan yaitu kesempurnaan hidup, perlu diperhatikan baik buruk
perbuatan manusia yang sangat menentukan baik dan buruk
kehidupannya di masa yang akan datang. Ada 3 macam perbuatan
74
dosa (keburukan) yang secara garis besarnya dari perbuatan
manusia itu perlu diperhatikan.
Adattanampadanam himsacaiwa widhanatahpara
daropasewa sacariram triwidham smrtam.
Artinya :
Mengambil apa yang belum diberikan, melukai makhluk tanpa
perintah hukum agama dan melakukan zina dengan istri orang
lain, dinyatakan sebagai 3 macam kejahatan dari tingkah laku
badan (G. Pudja dan Tjok. Rai Sudharta, 1973:720).
Apabila terjadi keselarasan, keserasian serta keharmonisan tiga wujud
perbuatan melalui pikiran, perkataan dan tingkah laku maka
sempurnalah kehidupan manusia di dunia ini terwujudlah
keseimbangan lahir bathin. Demikian pula sebaliknya bila ketiganya
tidak seimbang maka yang salah bisa menjadi besar yang benar akan
menjadi salah.
Usaha pengendalian diri agar tidak melakukan perbuatan yang
dilarang oleh ajaran agama, bukan berarti bahwa manusia dalam
hidupnya lebih baik tidak berbuat (diam saja) biar tidak terjadi
kesalahan/dosa. Dalam hal ini perlu disadari untuk dapat
meningkatkan kwalitas hidupnya manusia perlu bekerja. Seperti
disebutkan dalam kitab Bhagawad Gita sebagai berikut :
Na karaanam annarambhan na iskanyam puruso‟ anute, no ca
samnya Ganed ewa siddhim sasadhi gacehati.
Artinya :
Tanpa kerja orang-orang tak akan mencapai kebebasan pun
juga ia tak akan mencapai kesempurnaan, karena
menghindari kegiatan kerja (G.Pudja, 1982 : 73).
75
Jelasnya dapat dikatakan bahwa manusia dalam hidup dan
kehidupannya adalah kerja. Agama selalu menganjurkan umat
manusia agar bekerja untuk mengisi hidup ini.
Niyatam kuru karma twam karma jyayo by akarmanah,
serirayatra pi ca te na prasidhyad akawmanah .
Artinya :
Bekerjalah seperti yang telah ditentukan sebab berbuat lebih
baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuhpun tidak
akan berhasil terpelihara tanpa berkarya (G.Pudja,1982 : 75).
Hidup ini baru akan bermakna bila manusia mau bekrja sesuai
dengan yang telah ditentukan, sebab tanpa bekerja hidup tak akan
dapat berlangsung. Berdasarkan kutipan Bhagawad Gita tersebut di
atas, setiap kehidupan manusia tidak akan putus-putusnya
menikmati hasilnya yaitu karma phala. Jadi hukum karma itu tidak
akan dapat diingkari/dihindari oleh setiap manusia, karena manusia
yang hidup pasti akan berbuat serta melakukan macam-macam
karma yang sudah tentu ada pahalanya yang akan menentukan
nasibnya yang baik masa hidup sekarang, masa hidup yang akan
datang walaupun hidup di akhirat nanti, yang nantinya merupakan
purwa karma dari kehidupan manusia selanjutnya.
Apang ikang loka, karma pinaka kelilirannya, kalinganya,
subhasubhakarmaphala juga tinemunya, niyata masambandha lawan lawan subhasubhakarma ta pwa ya,
sangksepanya, inatagning purwakarnya, ikang loka
ngarannya, paramarthanya, kinawasakeing purwakarma kita
kabeh.
76
Artinya :
Sebab dunia itu, karma diumpamakan merupakan warisannya, artinya, baik buruk karmaphala yang
didapatnya, tergantung pada baik buruk perbuatan orang-
orang iu : singkatnya ditentukan oleh perbuatannya terdahulu
orang-orang di dunia ini, artinya, kita semua dikuasai oleh
purwakarma.
Tatham angga kabhuktya ikang purwakarma, sakalwiring
phalanika, denikang makakarma ya, mwang tan kemuran dumunung ikrikang karta nguni, kadi-kadi kramanikang
anakning lembu, tan kemuran umet kawitannya, yadyad
matusatusa ikang lembu sedengnya amisusu pamoranikang
rawwitnya, menget juga ya tan kemurani rawwitnya.
Artinya :
Mau tak mau perbuatan dulu itu akan dikecap hasilnya semua oleh yang berbuat; lagi pula buah perbuatan itu tidak
keliru perginya menuju kepada yang berbuat dulu, sebagai
halnya anak lembu tidak akan keliru mencari induknya,
walaupun beratus-ratus lembu yang sedang menyusui
bercampur dengan anak lembu itu ingat saja, tidak keliru
mendapatkan induknya (G.Pudja, 1979:195-196).
Oleh karena itu hukum karma, itu tidak dapat dihindari oleh
manusia, maka tugas kehidupan manusia dalam hidup ini adalah
tugas untuk berbuat baik, dengan bekerja tanpa mengharapkan hasil.
Sebab hasil atau akibat dari pada kerja itu dalam hidupnya tidak
boleh tidak pasti akan datang dengan sendirinya dan akan dapat
dinikmati oleh orang yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan
hukum karma tersebut. Baik buruk hasil karma yang akan
dinikmatinya tergantung pada baik buruknya perbuatan pada saat
sekarang.
77
Karmany ewa dikaraste ma phalesu kadasana, ma
karmaphala hetur bhurma te sango stwa akarmani.
Artinya :
Hanya berbuat untuk kewajibanmu, tidak hasil perbuatan itu
(yang kau pikirkan), jangan sekali-kali pahala jadi motipmu
dalam bekerja, jangan pula hanya berdiam diri (G. Pudja,
1982 : 56).
Dalam kehidupan manusia yang diliputi oleh
kegelapan/awidya, hal ini dapat menimbulkan suatu pandangan
yang negatif, sehingga menjadi menyerah saja kepada nasib dan
apatis atau pasip. Hukum Karmapala ini tidaklah demikian adanya,
melainkan memberikan dorongan sriritual yang konkrit dan positip
kepada kehidupan umat manusia untuk berbuat baik dalam
mengatasi segala macam penderitaan lahir maupun bathin. Bagi
mereka yang telah meyakini dan menyadari akan kebenaran hukum
karma, kendatipun hidupnya menderita di dunia ini maka iapun
tidak akan menyesal, karena hal itu dianggapnya telah merupakan
sancita karmanya sendiri. Kesadaran manusia yang demikian
menyebabkan ia tak sudi lagi berbuat jaha, dalam menanggulangi
penderitaan hidup yang sedang dialaminya. Seperti apa yang
disebutkan dalam kitab Sarasamuçaya tentang akibat dari perbuatan
manusia yaitu :
Ikang akelit ring para drwya nguni ring purwa janma,
daridra janma nika ring dlaha ikang nguni pinatyan ika dlaha, sangksepanya salwirning karma wija inipuk nguni ya
ika kabhukti, phalanya dlaha.
78
Artinya :
Yang menyerobot milik orang lain pada masa hidupnya terdahulu dilahirkan menjadi orang miskin dikemudian hari,
yang membunuh dalam hidupnya dulu akan dibunuh dalam
hidupnya kemudian; singkatnya semua benih perbuatan yang
ditaburkan dan dibiarkan pada masa hidup yang lalu,
buahnya yang itulah dinikmati kelak kemudian hari
(G.Pudja, 1979 : 199).
Justru karena itu, maka iapun akan lebih bergiat lagi
berusaha untuk melakukan karma yang baik, demi kebaikan dari
pada prarabda karma dan kryamana karma nanti (kelak). Dengan
keyakinan dan kesadarannya merekapun yakin bahwa hidup ini
adalah merupakan suatu kesempatan baginya untuk melakukan
karma yang baik dan suci (subhakarma). Hanya dengan perbuatan
subhakarma orang akan dapat membebaskan dirinya dari
penderitaan lahir bathin. Jadi hukum karma itu tidak akan
memberikan efek yang negatif dan juga tidak membawa akibat
patalitas terhadap umat manusia, melainkan akan membentuk
manusia susila yang bermoral tinggi.
Bekerja dengan tidak mengikatkan diri pada hasil, bukan
berarti kerja itu sia-sia. Akan tetapi karya itu akan besar sekali
faedahnya bagi kehidupan, di samping untuk kebahagiaan umat
manusia juga demi terpeliharanya dunia beserta isinya. Dalam
kehidupan manusia kerjalah merupakan wujud dari pada baik
79
buruknya perbuatan kemanusiaan. Melakukan kerja dengan tidak
mengikatkan diri pada hasil akan dapat mencapai tujuan tertinggi.
Tasmad asaktah satatam karyam karma samacara, asektohy
asaram karma param apnoti purusah.
Artinya :
Oleh karena itu laksanakanlah kerja sebagai kewajiban tanpa
terikat (pada akibatnya), sebab kerja yang bebas dari
keterikatan bila melakukan pekerjaan itu orang akan mencapai tujuan tertinggi (G. Pudja, 1982 : 82).
Kerja yang dilakukan tanpa mengikatkan diri pada hasilnya adalah
merupakan kewajiban bagi setiap umat manusia dalam hidup dan
kehidupannya, untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.
Jadi kerja yang dilakukan di dunia adalah untuk kebahagiaan abadi
dengan senantiasa menjaga dan memelihara diri agar tidak terperosok
ke lembah dosa. Bebas dari napsu, angkara murka dan egois, setiap
orang harus memperjuangkan kebahagiaannya demi keselamatan
dirinya dan sesama manusia (Adia Wiratmadja, 1987:12).
Mengingat hidup dan kehidupan manusia adalah merupakan
ciptaan dan kehendak Tuhan, maka dalam kehidupannya manusia
agar terbebas dari segala kerja dan mencapai kebahagiaan tertinggi,
manusia harus senantiasa berbakti dan melaksanakan perintah-
perintah Tuhan yang tercantum dalam kitab-kitab suci agama. Seperti
petunjuk yang disebutkan dalam kitab Bhagawad Gita yaitu :
Mayi sarwani karmani samnyasya „ dhyatmacetasa, nirasir
nirmano bhutwa yudhyaswa wigatajwarah.
80
Artinya :
Tujukan semua kerjamu iu kepada-Ku, dengan pikiran terpusat pada Parama Atman, bebas dari nafsu keinginan dan
keakuan, berperanglah, dan enyahlah rasa gentarmu itu
(G.Pudja, 1982:88).
Sebagaimana hidup ini selalu diliputi oleh ketakutan yang lahir dari
pikiran manusia sendiri serta disebabkan oleh ulah perbuatannya,
maka pada kutipan diatas dianjurkan agar rasa takut yang selalu
menghalang-halangi perjalanan hidup, harus kita lawan dan kita
enyahkan dari hidup ini. Usaha untuk memerangi ketakutan dalam
hidup adalah membuka jalan untuk mencapai kesempurnaan. Salah
satu usaha dalam penyempurnaan hidup adalah melepaskan nafsu,
menghilangkan rasa takut dan benci serta menyucikan diri dengan
ilmu pengetahuan. Seperti disebutkan dalam kitab Manawa
dharmasastra sebagai berikut :
Adbhirgatrani saudhyanti manah satyena suddhyati,
widyatapobhyam bhuratma buddhir jnanena suddhyati.
Artinya :
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan
pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan benar (Pudja dan Tjok Rai Sudharta, 1973:313).
Demikian juga dalam kitab Bhagawad Gita disebutkan sifat -sifat yang
telah mencapai sifat kemuliaan Tuhan
Wita raga bhaya krodha mentata upasritah, bahwa jnana tapasa puta madbhawam agatah.
81
Artinya :
Terlepas dari hawa napsu, takut dan benci selain
memikirkanku dan berlindung padaku banyak menjadi suci disucikan oleh pengetahuan, telah mencapai sifatku (G.
Pudja. 1982 : 103).
Demikian besarnya goncangan lautan kehidupan,
kebahagiaan serta penderitaan yang sangat mengerikan adalah
merupakan purwa karma dari kehidupan sebelumnya. Dalam
kehidupan yang sedang dialami, manusia dalam kehidupannya
dituntut untuk berbuat sebaliknya. Ia harus berusaha dengan sebatas
kemampuan sendiri mengusahakan dirinya agar terbatas dari
belenggu karma.
Jneyah sa nityasamnyasi yo na dwesti na kanksati,
nirdwandwa hi maha baho sukham bandhat pramucyate.
Artinya :
Ketahuilah ia yang disebut samnyasi selalu adalah dia yang tidak membenci dan tidak napsu berkeinginan bebas dari
dualisme, oh maha Bahu dengan mudah ia terlepas dari
belenggu karma (G.Pudja, 1982 : 124).
Bagi mereka yang dalam hidupnya banyak memikul dosa, tak henti -
hentinya ia mengalami penderitaan hidup, baik disebabkan oleh
purwa karma maupun prarabda karma, tetapi dalam hidupnya ia dapat
menghentikan perbuatan dosa serta selalu berbuat dharma
berlandaskan ajaran agama maka ia dapat menyeberangi lautan dosa.
Api ced asi pepebhyak sarwebhyah papakrittawah, sarwan juanaplawenai‟wa wijinan semterisyani.
82
Artinya :
Walaupun seandainya engkau paling berdosa di antara
mahluk yang memikul dosa dengan perahu ilmu pengetahuan, lautan dosa engkau akan sebrangi (G. Pudja,
1982:117).
Dikatakan demikian karena hidup sebagai manusia adalah diliputi
oleh awidya (dalam ketidak-tahuan). Tindakan manusia yang masih
diliputi oleh awidya akan selalu menimbulkan dosa. Dengan
bersenjatakan pengetahuan seseorang dapat memerangi awidya,
sehingga dalam gerak dan langkah kehidupannya selalu dilandaskan
atas dasar dharma dan menyakini bahwa dharma adalah sebagai
hakekat dasar kehidupan manusia sehingga dapat terbebas dari dosa
4.2. Tujuan Hidup Manusia Menurut Agama Hindu
Paramarthnya pengpenge tapwa ka tenwaniking si dadi
wwang durlabha wiya ta, saksat handaning mara ring swarga ika sanimittaning tan tiba suwahta pwa damala
kana).
Artinya :
Tujuan terpenting, pergunakanlah sebaik-baiknya
kesempatan lahir menjadi manusia ini, sungguh sulit untuk
diperolehnya, laksana tangga menuju ke sorga, segala yang
menyebabkan tidak akan lagi, itu hendaknya dipegang (G.
Pudja, 1979 : 12).
Hidup dianggap sebagai suatu sarana atau sebagai suatu
jembatan emas untuk mencapai suatu keberhasilan seorang sampai pada
tujuan. Pemanfaatan terhadap jembatan ini tergantung pada hasil
83
perbuatannya. Jembatan akan bisa kuat bila dasarnya kuat (perbuatan
baik).
Dalam agama Hindu tujuan hidup manusia adalah selaras
dengan tujuan agama. Tujuan hidup manusia itulah yang merupakan
tujuan agama sebab, tujuan agama akan dapat tercapai hanya jika
tercapainya tujuan hidup manusia sempurna lahir bathin sesuai dengan
yang telah ditetapkan atau digariskan oleh ajaran agama. Hakekatnya
tujuan hidup manusia pada dasarnya disebut Purusartha. Purusa berarti
manusia, sedangkan artha berarti tujuan, makna hidup serta benda
ataupun politik. Dalam uraian ini artha yang dimaksud adalah tujuan
atau makna hidupnya. Tujuan atau makna hidup manusia yang dimaksud
adalah dharma, artha, kama dan moksa. Tiga bagian yang pertama itu
merupakan tujuan/makna hidup yang paling hakiki di dalam masyarakat
dan merupakan hakekat yang paling mendasar dan dominan dalam
masyarakat. Adapun moksa bagian terakhir dari purusartha hakekat
spiritual dan merupakan sumsum bonum dalam kehidupan manusia
(Pudja, 1979 : 289).
Hubungan dharma, artha dan moksa dalam perjalanan hidup
manusia adalah erat sekali bagaikan karma dengan pahala. Dharma
adalah sebagai dasar hidup, yang melandasi kehidupan manusia untuk
dapat mencapai tujuan. Arta dan kama adalah sebagai sarana
keberhasilan dalam hidup untuk sampai pada tujuan hidup. Adapun
moksa adalah merupakan tujuan akhir dalam kehidupan, yang dalam
84
usahanya pencapaiannya didasarkan atas dharma, artha, kama. Manusia
yang lahir sebagai ciptaan Tuhan yang termulia dan tertinggi derajat dan
martabatnya diantara yang serba ada di dunia ini. Sebagai disebutkan
dalam ktab Manawa Dharmasastra sebagai berikut :
Bhutanam paninah srstah, praninam buddhi jiwinah,
buddhimatsu narah srata naresu brahmanah amertah.
Artinya :
Di antara seluruh ciptaan Tuhan, yang bagus atau tertinggi
adalah yang hidup dengan pikiran, di antara yang punya pikiran,
manusialah yang paling tinggi, di antara manusi, brahmanalah
yang tertinggi (G.Pudja dan Tjok Rai Sdharta, 1973: 54).
Manusia sebagai makhluk hidup yang termulia diantara
banyak makhluk ciptaan Tuhan, disebabkan karenan manusia
memiliki keistimewaan yang tidak dapat disamakan dengan makhluk
lainnya.
1. Lahir sebagai manusia, akan dapat mningkatkan taraf
hidupnya demi tercapainya tujuan hidupnya.\
2. Dengan lahir sebagai manusia dirasanya meragakan
suatu kesempatan terbaik untuk dapat memperbaiki
kerasnya agar dapat terbebas dari belenggu karma.
3. Kedua hal ini tersebut disebabkan karenan manusia
adalah makhluk yang mampu berfikir, sehingga dapat
membedaknnya mana yang baik dan mana yang buruk.
Dengan keistimewaan yang tedapat pada manusia, maka kita
yajin bahwa dengan didasarkan atas dharma, artha dan kama pasti
85
akan dapat dicapai sebagai sarana untuk sampai pada tujuan yaitu
moksa. Demikian secara umum hubungan purusa artha dalam setiap
gerak kehisupan manusia.
Yan paramarthanya, yan artha kama sadyan, dharma juga
lakasakena rumuhun, niyata katemwining arthakama mene
dening sakeng dharma.
Artinya :
Kalau tujuan terpenting, bila artha dan kama hendsak dituntut,
dharma jugalah hendaknya dilalakukan terlebih dahulu, niat
untuk mencapai artha dan kama pasti akan tercapai nantinya.
Tidak ada artinya artha dan kama itu bila diperloleh
menyimpang dari kebenenaran (G.Pudja 1970 : 15).
1. Dharma.
Tubuh manusia sangat berperan dalam mengusahakan purusa
artha. Tanpa suatu alat tubuh, Purusa artha (tujuan hidup manusia)
tak akan tercapai. Dalam setiap gerak dan langkah tubuh, hendaknya
dilandaskan atas dasar dharma. Sekalipun artha dan kamu dapat
terpenuhi namun dalam usaha mencapainya menyimpang dari
pelaksanaan dharma, itu tidak ada artinya. Adapun mereka yang tidak
melaksanakan dharma sebagai landasan dasar dalam hidupnya adalah
sebagai obatnya neraka loka, sehingga orang yang jauh, tiada
gunanya kehidupan yang demikian, itu hanya sekedar hidup tanpa
menyimak arti dan tujuannya.
Hana pwa wwang tan gawayakenikang subbakarma, tambaning
neraka loka kanken lara, pejab pwa ya wong alalara mara ring
86
desa katunan tambha ta ngaranikan, rupaning tan katemu ikang
wnak kolaha lanya.
Artinya :
Ada juga orang tidak melakkan mengenai perbuatan baik, itu
obatnya neraka loka dianggap sebagai penyakit apa bila
meninggal dunia, orang sakit, yang pergi ke tempat di mana
tidak ada obatnya (karena) kenyataannya tidak mendapatkan
kesenangan dalam segala perbuatannya (G.Pudja, 1979 : 12).
Dimikianlah mereka selamanya akan menjadi penghuni neraka loka
sebelum dapat mengusahakan dharma sebagai landasan hidupnya.
Demikian pula mereka yang lahir sebagai manusia yang dapat
melakukan perbuatan dharma juga menderita namanya. Akan tetapi
dengan terus menerus dapat berbuat dharma sebagai landasan
hidupnya adalah merupakan dektrin yang maha rahasia untuk
mendapatkan kebijakan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai jalan untuk mencapai tujuan, terbua baginya.
Ye man awam asamudho janatti purusattman, sa sarwawid
bhajati mam sarwa bhawena bharata.
Artinya :
Dia sebagai yang tidak tersesat dalam illusi mengetahui Aku
sebagai purusa uttama, sesungghnya ia tahu segala-galanya
memujaku dengan segenap jiwa raganya, oh Bharata.
Iti guyatman sastram idam uktau mayanagha, etad buddhewa
buddhiman syat kratakyas ca bharata.
Artinya :
Jadi, detrin ini yang mana rahasia telah diberikan olehku wahai anaga mengetahui ini orang menjadi arif bijaksana, oh Bharata
(G.Pudja, 1982 : 342).
87
2. Artha.
Perlu direnungkan lebih jauh dalam melaksanakan
kehidupan, bahwa artha bukan hanya artha dalam material saja,
namun juga dalam arti yang spiritual. Sebab manusia dalam hidupnya
tidak hanya dapat dipenuhi secara tatap berpegang teguh pada
dharma, dapatlah dikemukakan ruang hidup ruang lingkup dari pada
artha secara garia besarnya dalam kutipan di dalam kutipan berikut
ini :
Ahimsa satyan akrodas tyagah santir apaisunam, daya bhutesu
aloluptwam mardawan hril acapalam.
Artinya :
Tidak menyakiti, benar, bebas dari napau memfitnah, kasih sayang
pada sesama mahluk , tidak dibingungkan oleh keinginan, lemah
lembut sopan dan bertetapan hati.
Tejah kasama dritih sausam adroho na timanita, bhawanti
sampadan daiwin abhijatasya bharata.
Artinya :
Cekatan suka memanfaatkan teguh iman, budhi luhur, tidak irihati,
tanpa keangkhan, semua ini adalah artha dari dia yang dilahirkan
dengan sifat-sifat dewata, oh Arjuna (G.Pudja, 1982 : 345-346).
Dengan demikian luasnya artha, agar diperhatikan dengan secermat -
cermatnya mengusahakan agar tidak tenggelam kedalam materi. Itulah
artha termulia yang harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin
mencapai kesucian illahi, karena itu adalah merupakan sifat -sifat dari
mereka yang dilahirkan untuk mencapai tujuan yang tertinggi, artha
88
kekayaan yang berupa material hendaknya disalurkan sebaik-baiknya,
untuk kepentingan dharma. Seperti disebutkan di dalam kitab
Sarasmuccaya sebagai berikut :
Niham kramayan pinatelu, ikang sabhaga, sadhana ti kasiddhaning
dharma, ikang kaping rwaning bhaga sadhana ti kasiddhaning
kama ika ikang kaping tiga, sadhana ti kasiddhaning artha ika,
wrddhyakena muwah, mangkana kramayan pinatiga, donika sang
mahyun manggihakenang hayu.
Artinya :
Inilah hakekatnya maka dibagi tiga, yang satu bagia sarana
mencapai dharma, bagian yang kedua, sarana untuk memenuhi
kama, bagian yang ketiga sarana melakukan kegiatan usahaa dalam
bidang artha, itu agar berkembang kembali, demikian hakekatnya
maka dibagi tiga oleh orang yang beroleh kebahagiaan (G.Pudja,
1979 : 144).
Dalam kutipan tersebut artha berupa materi disalurkan melalui 3
saluran kepentingan :
1. Artha dipakai untuk sarana keperluan dharma, di mana artha yang
berupa material yang terkumpulkan dipergunakan atau berupa
material yang terkumpulkan dipergunakan atau disalurkan untuk
berderma, beryadnya, kepentingan agama, membantu mereka yang
sedang menderita dalam hidup adalah untuk memenuhi kebutuhan
rohani.
2. Artha dipergunakan untuk memenuhi kama/keinginan, seperti
misalnya untuk kebutuhan primer, sekunder dan lain sebagainya
adalah sarana untuk memenuhi hidup dalam bentuk jasmani.
89
Artha juga harus dipergunakan untuk kepentingan melakukan usaha
dalam bidang artha dengan tujuan agar usaha di bidang artha tetap
dapat berkembang untuk dinikmati.
Agama tidak mengajarkan menolak artha, malah diharuskan
mencari artha dan dipergunakan untuk kebijaksanaan umat manusia
(Putra, - : 31).
Artha hendaknya jangan ditimbun untuk disimpan selama-lamanya.
Sebab artha berupa material tidak akan di bawa mati. Ia hanya
sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir. Di dalam lontar Arjuna
Wiwaha disebutkan yang dikutip oleh Putra dalam bukunya yang
berjudul Cudamani yaitu :
Ikang wibhawa tan wawekan mati,
Hananya sekarang umerher hurip,
Pejah pwa kita dusta mantunika,
Gunanta ginogenta ya nutakaen,
Artinya :
Segala harta benda dan kebebasan di dunia ini tidak akan dibawa
mati. Adanya dia hanya sebentar menungguselama saudara masih
hidup. Jika saudara meninggal ia akan kembali berbohong (tidak
setia). Tri guna atau sifat-sifat watak saudaralah yang akan selalu
mengikuti (gutra, - : 13).
Dari kutipan di atas dapar disimpulkan bahwa suatu kehidupan yang
sempurna adalah pelaksanaan secara seimbang antara artha berupa
material artha berupa spiritual.
3. Kama
90
Setiap gerak langkah manusia dalam kehidupan adalah
didorong keinginan, tanpa keinginan apapun di dunia ini tak akan dapat
kita wujudkan. Keinginan adalah sangat memegang peranan penting
dalam usaha mencapai cita-cita. Keinginan dapat diumpamakan
bagaikan angin topan yang sangat deras dan tak habis-habisnya mengalir
selama manusia masih menjalani kehidupan di dunia ini di dalam
sejarah kehidupan manusia kama / kainginan akan datang pada manusia
sesuai dengan situasi dan kondisi, bila tidak dikendalikan akan membuat
hidup ini menderita. Pada waktu masih muda, karena keinginan tak
terkendalikan sering menimbulkan perselisihan antar umat manusia yang
hanya semata-mata bertujuan untuk memenuhi kehendak kama.
Kemudian setelah dewasa di mana badan kuat, kita sedang mampu
mempunyai melaksanakan tugas dan kewajiban. Dalam keadaan yang
demikian agama mengajarkan berbuatlah sebanyak-banyaknya,
bekerjalah tetapi jangan terlalu mengikatkan diri pada hasil. Saat -saat
seperti itu kesempatan untuk berbuat dharma. Bila kama tak terkendali,
karena indriya kuat, akan dapat mengarahkan kita ke hal -hal yang
bersifat negatif seperti ingin cepat kaya, sehingga dalam hidupnya
menjadi perampok, merampas hak milik orang lain. Setelah menjadi tua
indriya sedikit demi sedikit akan berkurang dan akhirnya menjadi hilang
seperti mata mulai membuta, telinga menjadi tuli, demikan pula
merasakannya yang enak-enak sudah tidak mungkin, maka tak terpenuhi
sehingga hidupnya menderita. Kapankah kama itu akan berakhir dalam
91
kehidupan manusia ? Di dalam kitab Bhagawad Gita disebutkan sebagai
berikut :
Gintam aparimeyam ca pralayantam upasrtah, kamopa bhoga
parama eta wad iti niscitah.
Artinya :
Keinginan yang tak habis-habisnya itu hanya berakhir, pada
kematian, menganggap pemenuhan keinginan sebagai tujuan utama
dengan berkeyakinan itulah ini semuanya (G. Pudja, 1982 : 351).
Berpegangan pada pemenuhan kama sebagai tujuan utama dalam hidup
adalah menyebabkan terbelenggu oleh beribu-ribu harapan, yang dalam
hidup ini tak mungkin akan tercapai. Perbuatan yang tak mungkin akan
mencapai kesempurnaan itu hanya merupakan pintu gerbang ke neraka
loka.
Yah sastra widdhim utarjya wartata kama karatah, nasa siddhim swapneti nasukhem param gatim.
Artinya :
Ia yang meninggalkan ajaran-ajaran kitab suci, ada di bawah
pengaruh kama, tidak akan mencapai kesempurnaan dan
kebahagiaan dan tujuant ertinggi (G. Pudja, 1982 : 357).
Maka dari itu pergunakanlah kesempatan hidup sebaik-baiknya.
Pergunakanlah petunjuk-petunjukd ari kitab suci agama untuk
menentukan kebenaran, menentukan baik buruk perbuatan agar selamat
sampai pada tujuan akhir. Petunjuk dalam kitab sarassamuccaya
menyebutkan sebagai berikut :
Matangnyan pengpongen iking hurip, lawann wenangta ri
kagawayaning dharma sadhana, apan ikang guna tuha
ngaranya, styanta sangsarannya, anona mara kita wwang
92
matuha mangke kramanya, tan wenang matinggal wisaya, apan
ageng tresnaya ndatan wenang ya ri kebhuktyanya, apan jirna
sarwendriyanya, tatan hana pahinya lawan srgalatuha tan
pahuntu, trsna ring tahulan, kewala dinlatnya ikang tahulan, dening tresnanya ring aswadamatra, mangkana papedanikang
wrddhakamuka, lawan ikang argalatuha tanpahuntu, arah tan
weang amegat gongng tresnanya.
Artinya :
Oleh karena itu pergunakanlah sebaik-baiknya waktu hidup dan
kemampuanmu untuk melaksanakan dharma sebab yang disebut
sifat tuha itu, sangat menyedihkan; lihatlah olehmu orang yang
berusia lanjut, yang keadaannya tidak dapat meninggalkan
kesenangan duniawi, karena sangat terikat hatinya kepada
kesenangan itu, akan tetapi ia tak dapat menikmatinya, sebab
lemah semua indriyanya, tiada ada bedanya dengan srigala yang
tidak bergigi, terikat nafsu akan tulang, hanya dijilat -jilatnya saja
tulang-tulang itu, oleh sebab keinginannya semata-mata untuk
mengecap rasa enak belaka; demikianlah persamaannya orang tua
yang bernafsu dengan srigala tua yang tidak bergigi, sayang ia
tidak bisa mematahkan keinginan hatinya yang besar itu (G. Pudja,
- : 206).
Berdasarkan kutipan tersebut dapat kita bayangkan betapa menderitanya
bathin kita, bila keinginan tidak terpenuhi karena tidak bisa
meninggalkan kesenangan duniawi.
4. Moksa
Tujuan akhir kehidupan manusia menurut agama Hindu adalah
Moksa. Moksa berarti kebebasan atau kelepasan yang merupakan
terlepasnya atma dari pengaruh maya serta bebas dari ikatan subha-
asubha karma dan samsara, dimana akhirnya atma bertemu kembali
dengan sangkan paran atau asalnya yaitu Tuhan.
Tujuan akhir ini tercapai apabila seseorang bersedia melawan
goncangan atau tantangan hidup seperti telah kita uraikan di atas.
93
Sebagaimana kisah Dewa Ruci, dimana Bima dalam usahanya mencari
air hidup (smarta), dengan semangat dan mempertahankan nyawanya
dan pada akhirnya berhasil. Seseorang yang telah dapat memandang
tujuan akhir, namun ia masih sedang kuatnya hidup, manusia semacam
itu mati bagi alam luar (maya) dan mencapai hidup yang benar, dalam
mistik jawa disebut sajroning urip (mati dalam hidup) dan urip sajroning
mati (hidup dalam mati) (Frans Magnis, Suseno, 1985 : 117). Keadaan
yang demikian adalah jiwa telah mencapai ketenangan, ketentraman dan
kebahagiaan yang dalam agama Hindu dikenal dengan adagium Sat Cit
Ananda.
Ing Hyang Sukama (ang) andikang insan kamil; dening anarira,
swakira awak nami, urip ingeun uripira, dermin siji apan ngilo
singgih, wawayangan tunggal, pan pengawak tunggal jati rupa
tunggal tinembulan. Sasolahe selah ing gusti, karsaning kaula
lestari karsaning gusti karsaning purbawisesa.
Artinya :
Hyang suksma (Tuhan) bersabda kepada insan kami; adapun
adamu demikianlah halnya; badanmu adalah badanku, hidupku
adalah hidupmu, satu cermin berdua yang bercermin bayang-
bayangnya sayu, karena (dengan) sesungguhnya berdua hanya
berbadan satu, rupa satu milik bersama. Tingkah hamba adalah
tingkah Tuhan kehendak abdi adalah kehendak Tuhan, Sang
purwawisesa (Prof. IR. Poedjawijatna, 1983 : 78).
Demikianlah keadaan bila seseorang telah mencapai suatu tingkat
moksa. Kutipan di atas menyebutkan bahwa Brahman dan Atman adalah
sama atau tunggal.
94
Sekalipun demikian gaibnya dan tan terbatasnya keadaan Tuhan
dan walaupun demikian terbatasnya kemampuan manusia tetapi karena
tujuan agama Hindu adalah menghubungkan manusia dengan Tuhan,
maka agama Hindu menyediakan 4 jalan untuk mencapai tujuan
tersebut. Jalan itu disesuaikan dengan kemampuan, kecendrungan,
mentalitas manusia. 4 jalan untuk mencapai tujuan itu di dalam ajaan
hindu disebut dengan Catur marga.
a. Bhakti marga.
Salah satu umat manusia yang ditempuh untuk mencapai
kesempurnaan hidup jasmani dan rohani, dengan jalan ini umat manusia
menghubungkan diri dengan sujud bhakti, betul-betul cinta
menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha esa, maha Pengasih dan
penyayang. Jalan utama menempuh bhakti senantiasa menyembah Tuhan
dengan hati yang tulus iklas. Seseorang yang menjalankan bakti marga
yang menyatakan dengan mencintai Tuhan seseorang dapat menjumpai
Tuhan.
Om sembahning anatha, tinggalana de triloka sarana,
wahyadhyatmika sembahninghulun, ijeng tan hana waneh sang
lwir agni sakeng tahan kadi minyak saking dadi kita, sang saksat
mtu yan hana wwang amuter tutur pitahayu (Arjuna Wiwaha, - :
45).
Artinya :
Ya Tuhan mohon saksikanlah sembah sujud bhakti hamba yang
hina ini, ia Tuhan pelindung tri buana lahir bathin sembahku
hanya padamu, tak adaa lain yang bagaikan, api di dalam kayu dan bagaikan minyak dalam susu, yang nyata-nyata muncul
(bermanifestasi) pada orang yang beriman, yang tekun
melaksanakan ajaran suci.
95
b. Karma marga
Usaha umat manusia dalam menghubungkan diri dengan Tuhan
untuk mencapai kesempurnaan lahir bhatin dengan baik, dengan jalan
rae ing gawe sepi ing parerih yaitu bekerja tanpa mengikatkan diri pada
hasil, melainkan untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
mahluk ciptaaan Tuhan, mengabdi, berbuat amal demi kesejahteraan
umat manusia dan sesama mahluk.
Di dalam syair Ramayana disebutkan sebagai berikut :
Priben temen dharma dumaranang sarat,
Saraga sang sadhu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonya tan yasa,
Ya sakti sang sujana dharma raksaka (Ramayana, - : 81).
Artinya :
Utamakanlah benar-benar hukum keadilan dan kebajikan yang
melindungi dunia. Hakekatnya cita-cita orang budiman itulah
diturut yang tidak (gelisah) hendak mendapat artha napsu dan
kemasyuran tanpa pengabdian. Adapun kemuliaan orang budiman
ialah sebagai pelindung dharma (beramal dan mengabdi,
mempertahankan keadilan).
Karma marga intisarinya adalah menyerahkan segala usaha kepada
Tuhan dengan tidak menghitungkan sendiri pahalanya.
c. Jnana Marga.
Jalan/usaha umat manusia untuk menghubungkan diri dengan jalan
belajar agama-agama ketuhanan dan ilmu-ilmu pengetahuan kerohanian
96
lainnya. Dengan menyadari tiada sesuatu yang kekal di dunia ini
termasuk jasmani manusia maka dengan belajar ilmu-ilmu tersebut
manusia mengabdi dan mempersembahkan ilmu pengetahuannya
merupakan amal yang bermutu tinggi sebab, pada hakekat dasarnya
kegiatan kerja bersumber pada ilmu pengetahuan. Dengan berpandangan
pada hal yang demikian, hidup kita yang singkat ini berarti/bermakna
bagi kemanusiaan dan sesamanya.
Yada sarwad akasam wastayisyanti mamanah tada dewam
awijnaya duhkasyanto bhawisyati.
Artinya :
Walaupun orang untuk menghentikan penderitaan-penderitaannya
dan untuk mencapai kebahagiaannya yang sejati, telah berusaha
sekuat-kuatnya, semisal memeras ster atau mengoprasi kulit jika
tanpa mempelajari ilmu ketuhanan/agama maka ia tidak akan
berhasil. Kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui
mempelajari ilmu ketuhanan (R. Sugiarto dan G. Pudja, 1982;62).
Dalam karma marga belajar merupakan syarat mutlak untuk mencapai
keberhasilan.
d. Raja Marga
Jalan yang ditempuh umat manusia dalam menghubungkan diri
dengan Tuhan dengan melakukan brata, tapa, yoga sampai pada
semadhi.
Keempat jalan itu sifatnya sama rata, tidak ada yang lebih tinggi
maupun yang lebih rendah, semuanya baik dan utama tergantung pada
kemampuan dan bakat masing-masing.
Ye yatna mam prapadyante tamstathai‟wa bhajmy aham, mama
wartma‟nuwartante manusyah partha sarwanah .
97
Artinya :
Bagaimanapun jalan manusia mendekatiku, aku terima sama, Oh
Arjuna, manusia mengikuti jalanku dalam sejalan (G.Pudja,1982:
103).
Semuanya akan mencapai tujuan, asal dilakukan dengan tlus iklas,
ketekunan, kesujudan, keteguhan imam serta tidak pamrih (Pandita DD
Harsa swabhedi, 1980 : 86).
Untuk sampai pada tujuan, kitab saramuçcaya berusaha memberi
petunjuk tentang upaya yang harus dilakukan oleh seseorang.
1) Dalam menjalani ilmu hendaknya tidak saja dipelajari ilmu
duniawi saja tetapi juga ilmu agama.
2) Dalam kehidupan sehari-hari supaya membiasakan diri dan
suka dengan senang hati melakukan tapa/semadhi.
3) Di dalam hidup bermasyarakat hendaknya dibiasakan hidup
berbuat dharma sedekah.
4) Dalam hidup hendaknya suka melakukan punya yaitu: amal
ibadah menurut agama.
5) Dalam hidup di dunia ini agar suka membiasakannya
melakukan yadnya (G.Pudja, 1979 : 321).
Dengan tercapainya kesempurnaan hidup maka seseorang akan terlepas,
tidak lagi berada dalam roda kehidupan, karena karmaphala tidak lagi
mengikat dirinya, maka terhapus semua kelahiran.
Kunang paramarthanya, hilang ikang klesaning awak,
sepinanasan ring jnana, hilang pwang klese, ri katenwaning
samyagjnana, hilang tang janama, mari punarbhawa
kadyangganing wija, pinanasan sinanga, hilang tuwuh nike, mari
masewo.
Artinya :
Adapun maknanya yang terpenting kecemaran badan akan lenyap,
jika dilebur latihan-latihan ilmu pengetahuan jika hilang musnah
kotoran badan itu, karena diperoleh pengetahuan yang sejati, maka
terhapuslah kelahiran, tidak menjelma lagi sebagai misalnya bijih
98
tumbuhan yang dipanaskan, dipanggang, hilang daya tumbuhnya,
tidak tumbuh lagi (G.Pudja, 1979 : 262).
Keadaan yang demikian itulah tujuan terakhir dari pada kehidupan
manusia yaitu suatu keadaan yang kekal dan abadi di mana seseorang
terlepas dari rangkaian kelahiran (reinkarnasi).
4.3. Agama Hindu Sebagai Sarana Mempermuliakan Kehidupan
Manusia.
Beragama bagi setiap orang adalah merupakan suatu
kewajiban yang logis yang dituntut oleh setiap orang karena ajaran
agama hindu adalah satu-satunya ajaran yang mengarahkan kehidupan
manusia untuk taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai realisasi
dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pancasila.
Agama Hindu dalam hubungannya dengan kehidupan manusia
adalah bimbingan serta mengarahkan manusia untuk mencapai
kesempurnaan hidup. Oleh karena itu ajaran sucinya cendrung pada
pendidikan budhi pekerti yang luhur. Agama Hindu senantiasa
membimbing umatnya untuk menjadi manusia yang susila, bukan
menjadi sarjana yang cerdik tapi munatif. Kemampuan beragama bukan
diukur dengan kesarjanaan, kecerdikan, demikian juga bukan diukur
dengan hartawan (kekayaan), namun seseorang yang betul-betul
melaksanakan, menghayati serta mengamalkan ajaran agamanya, adalah
diukur melalui laksana dan budhi pekerti yang luhur. Sekalipun
seseorang dalam hidupnya tidak terpelajar, miskin serta bukan
99
bangsawan, tetapi dalam hidupnya kaya akan budhi pekerti, yang luhur,
maka pintu menuju sorga akan terbuka baginya. Bila dibandingkan
dengan kesusilaan berdasarkan prikemanusiaan biasa, maka etik orang
beraga jauh lebih tinggi nilai dan luhur adanya lebih seseorang setelah
kenal akan dirinya.
Seperti telah disebutkan dalam kitab Saramuscaya bahwa
agama diibaratkan sebagai sebuah perahu (kapal layar) yang dipakai
oleh para pedagang untuk menyebrangi lautan. Bila kita simak
artinya/maknanya lebih jauh dalam hubungannya dengan kehidupan
manusia jelas dapat dimengerti, agama diumpamakan sebagai sebuah
perahu (alat), nakodanya adalah jiwa manusia (atma), layar adalah
perasaan, pngarah atau kemudinya adalah pikiran manusia, angin adalah
napsu (keinginan), air lautnya adalah artha (kekayaan yang berlimpah,
tujuannya adalah pulau harapan (makan) (Putra, - : 20). Dengan
perantaraan sebuah perahu, oleh nahkoda yang baik dan bijaksana
dengan menggunakan layarnya perahu dan pengemudi, mengarahkan
kepalanya agar tak tertiup oleh angin tak terarahkan, dengan sarana air
laut akhirnya para pedagang sampai pada tujuan yang hendak
dicapainya.
Demikian pula halnya bila dibandingkan dengan kehidupan
manusia. Dengan berpedoman pada ajaran agama, seseorang yang
bijaksana dalam hidupnya dengan jiwanya yang suci di mana hawa
nafsu/keinginan dapat dikendalikan serta diserahkan dengan perasaan
100
dan pikiran yang baik dengan didasarkan hidupnya pada dharma dalam
mengusahakan harta maka mereka sampailah pada tujuan hidupnya.
Orang yang bijaksana dalam hidupnya sulit dibayangkan. Sebagai
disebutkan dalam kitab Saramuscaya sedemikian :
Tatan kena linaksanan, tan papakatenan, luput winikapla,
jnananika sang juani ngaranira, kadyangganing tapaking
manuk manuh anglayang ring akasa, tan katon tapaknya
ring langit, mwang ikang tan katon tapaknya ring wani.
Artinya :
Sukar untuk dapat diwujudkan, sukar untuk dapat dibayangkan,
bebas tidak dapat dihalang-halangi ilmu orang yang bijaksana,
sebagai misalnya burung yang melayang-layang di udara, tidak
tampak jejaknya di langit; demikian pula bagaikan ikan tidak
tampak jejaknya di dalam air (G.Pudja, 1979 : 282).
Bila seseorang dalam hidupnya taat dan tekun mempelajari ajaran agama
serta memiliki ilmu kebijaksanaan seperti di atas, namun akhirnya tak
dapat mencapai moksa, mereka akan mendapat sorga. Kemudian sampai
batas waktunya ia menjelma lagi ke dunia akan menjadi orang yang
terhormat, rupawan dan bahagia dalam hidupnya, menjadi orang
bijaksana, sehingga nantinya dapat mencapai moksa. Kehidupan yang
demikian lebih sempurna dari kehidupan sebelumnya.
Seseorang yang dalam hidupnya selalu mengajar pengetahuan
rohani yang suci yang langsung bersumber Tuhan Yang Maha esa dan
senantiasa menjalankan yoga semadhi melalui kesucian bathin dan
kemekaran bathin dan kemekaran instuisi akan dapat menerima wahyu
serta mengetahui adanya Tuhan dengan pengamatan langsung
(pratyaksa). Dalam kitab Arjuna Wiwaha disebutkan sebagai berikut :
101
Sasi wimba sekala (Ajuna Wiwaha, - : 47).
haneng ghata mesi banyu,
Ndan asing suci nirmala mesi wulan,
Iwa mangkana rakwa kiteng kadadin,
Ring angembeki yoga kiteng Sasi wimba sekala (Ajuna
Wiwaha, - : 47).
Artinya bebasnya :
Sebagai bayangan bulan dalam tempayan yang berisi air, hanya
pada air yang jernih nampaknya bayangan bulan, demikian
keadaanku dalam segala mahluk, hanya pada orang melakukan
yoga semadhi sajalah engkau menampakkan diri.
Usaha yang demikian haruslah didasarkan atas kesucian bhatin
yang tinggi dan kepekaan dari pada instuisi yang mekar beserta dengan
pelaksanaan yoga semadhi yang sempurna.
102
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Dengan berakhirnya seluruh pembahasan di atas maka dapatlah
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Makna kehidupan manusia dari ajaran agama Hindu adalah seseorang
dapat mengerti tentang dirinya sendiri dan juga orang lain , serta
berbuat sesuai dengan yang dicanangkan dalam ajaran agama Hindu.
2. Untuk mewujudkan tujuan hidup manusia, agama Hindu
menyediakan lapangan kehidupan sesuai dengan perkembangan
hidup manusia secara alamiah dalam ajaran catur asrama, dan tujuan
hidup manusia telah digariskan dalam Catur Purusartha. Agama
Hindu menuntun umatnya untuk mendapatkan kebahagian hidup
jasmani dan rohani.
3. Untuk dapat mempermulia kehidupannya, manusia harus dapat dan
mampu mengerti, menghayati serta mengamalkan ajaran agama
Hindu dalam setiap gerak langkah kehidupannya, yang didasarkan
atas Panca Sradha.
5.2 Saran-saran
1. Di tengan-tengah kemajuan ilmu dan teknologi yang setiap saat
semakin maju dan dangih hendaknya umat beragama Hindu dapat
103
menyeimbangkan antara kebutuhan material dengan kenutuhan
spiritualnya melalui usaha penghayatan dan pengalaman ajaran
agamanya.
1. Umat Hindu untuk dapat mengerti, menghayati serta
mengamalkan ajaran agama harus juga mengerti hakekat-
hakekatnya hidup sebagai manusia yang memiliki kodrat
tertinggi.
2. Untuk lebih memsayarakat serta menjaga kelestarian tradisi
pendalaman ajaran agama, hendaknya pengadaan buku-buku
ajaran agama, pengisian media masa serta pembentukan
kaderisasi lebih ditingkatkan.
104
DAFTAR PUSTAKA
Bhurhanuddin, H., 1998. Filsafat Manusia (Antropologi Metafisika),
Salman Jaya, Bandung.
Drijarkara, Prof. Dr. S.J.N.1978. Filsafat Manusia, Yogyakarta. Yayasan
Kanisius.
Epping, GMP.A dan Th. C. Stockum Juntak, Filsafat Ensie, Jemmara.
Bandung.
Franz Magnis Suseno, 1985. Etika Jawa, Jakarta PT. Gramedia
Harry Hamerasa, 1985. Filsafat Eksistensi Karl Jaspera, Jakarta. PT.
Gramedia.
Hassan, Prof. Dr. Fuad.1973. Berkenalan dengan
Eksistensialisme,Bandung Jakarta Pustaka Jaya Yayasan Jaya Raya
Bandung.
Kattsoff, Drs. Dan Yuwono, Drs., Pengantar Ilmu Filsafat, Liberty
Yogyakarta.
Leshy, Lesis, 1985. Manusia Sebuah Misteri, Sintesa Filosofis tentang
Makhluk Paradoksal, PT. Gramedia, jakarta.
Mudlor Achmad, Drs. Manusia dan Kebenaran Masalah Pokok Filsafat ,
Usaha Nasional, Surabaya.
Mas Putra, I.G.A. dan Oka I.B., Catur Yadnya (Bhuta, Manusia, Pitra,
Dewa).
105