laporan penelitian dosen muda - widyagama.ac.id · ilmu hukum . 2 bab i. pendahuluan ... yang...
TRANSCRIPT
1
LAPORAN PENELITIAN
DOSEN MUDA
STUDI DISKRIPTIF TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG ORANG TUANYA BEKERJA DI LUAR NEGERI SEBAGAI TKW (STUDI DI
WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KOTA MALANG, JAWA TIMUR)
Oleh LUKMAN HAKIM SH.MH (KETUA)
IBNU SUBARKAH, SH.MH (ANGGOTA)
SP3 NOMOR 045/SP2H-PDM/007/KL.1/IV/2009 Universitas Widyagama Malang
NOPEMBER, 2009
ILMU HUKUM
2
BAB I. PENDAHULUAN
Perspektif anak berorientasi Pengadilan yang memegang tampuk pemidanaan
sebagai sarana penanggulangan penal yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal ini
hakim ketika memeriksa, mengadili dan memutus dipengaruhi oleh bekerjanya sistem
peradilan itu sendiri yaitu pada aspek kekuasaan dan birokrasi yang dijalankan. Oleh karena
itu dikatakan bahwa bekerjanya sistem peradilan pidana berpengaruh pada ketika hakim
melakukan pemidanaan. 1) Pasal 103 KUHP yang telah memerintahkan untuk diaturnya
adanya UU di luar KUHP secara yuridis merupakan payung hukum guna menyikapi
pentingnya asas lex specialis derogate legi generalis dan asas legalitas. Dalam
permasalahan anak yang melakukan kejahatan dalam hal ini yang masuk kategori kejahatan
anak/ulang (recidive), sebagaimana menunjuk pada data primer tahun 2000, yaitu
memperoleh hasil bahwa pengaturan ketentuan khusus tentang recidive anak dalam
perundang-undangan sangat perlu, yang terakomodir dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Menurut Muladi, kiranya penegakan hukum pidana di Indonesia dalam
upaya penanggulangan penal perlu ditinjau ulang mengingat suatu sistem yang tidak efektif
itu akan menimbulkan kondisi-kondisi seperti adanya disparitas pidana, Legislated
Environment, korban kejahatan, stigma sosial, dan prisonisasi yang merupakan
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana, dan untuk
permasalahan yang berkaitan dengan legislated environment, akibat warisan klasik yang
menciptakan fragmentaris penerapan hukum pidana.2). Upaya yang harus dilakukan dengan
cara pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana
yang sesuai nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan 1) Ibnu Subarkah, dkk, Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Ulang (Recidive) Anak (studi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kota Malang, Laporan Hasil Penelitian Dosen Muda Dikti, Jakarta, 2005. h. 134. 2) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil, yakni akibat warisan aliran klasik yang menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana. Yang berpandangan pembalasan merasa mendapat legimitasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan jaman. Pandangan yang semata-mata pembalasan ini akan menghasilkan pemidanaan yang tidak bermanfaat dan menjadikan seseorang sebagai residevist. Dampaknya dapat berupa pilihan pidana yang sangat sedikit, untuk memudahkan penerapannya. (Lihat Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cetakan I, Universitas Diponegoro, Semarang,1995, h. 24-25 )
3
hukum di Indonesia. Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan
kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah
kebijakan atau policy. Didalam setiap kebijakan terkandung pula peritimbangan nilai, oleh
karena itu pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Pada
aspek anak dengan usia menurut hukum telah terjadi fase perkembangan yang sangat
mencolok baik secara fisik, psikologis, sosial dan moralitas, dimana masa adolelsen, umur
13-21 tahun, anak-anak sedang mengalami kegoncangan jiwa.3) Sarana“penal”, berupa
penerapan hukum pidana seyogyanya dilakukan dengan lebih hati-hati, cermat, hemat,
selektif dan limitatif. Hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penal mempunyai
banyak keterbatasan yang selama ini dijadikan sandaran hukum bagi penegak hukum.
Penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan sesuatu gejala (Kurieren am
Sympton) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.
Keterbatasan kemampuan hukum pidana antara lain dapat dilihat juga dari sifat/fungsi
pemidanaan selama ini, yaitu pemidanaan individual/personal dan bukan pemidanaan
yang bersifat struktural/funsional. Penanggulangan Non Penal menitikberatkan pada
upaya pembinaan atau penyembuhan terpidana/pelanggar hukum (treatment of offenders)
maupun dengan pembinaan/penyembuhan masyarakat (treatment of society). Treatment of
society mempunyai arti upaya pembinaan/penyembuhan masyarakat dari kondisi-kondisi
yang menyebabkan timbulnya kejahatan (antara lain faktor kesenjangan sosial-ekonomi,
pengangguran, kebodohan, rendahnya standar hidup yang layak, kemiskinan, diskriminasi
rasial dan sosial). Bertolak dari konsep “treatment of society” patut pula kiranya
dikembangkan kebijakan struktural/fungsional. Dalam sistem pemidanaan yang
struktural/fungsional pertanggungjawaban dan pembinaan tidak hanya tertuju secara
sepihak dan fragmentair pada pelaku kejahatan, tetapi lebih ditekankan pada fungsi
pemidanaan yang bersifat totalitas dan struktural, yang artinya pemidanaan tidak hanya
berfungsi untuk mempertanggungjawabkan dan membina si pelaku kejahatan, tetapi
berfungsi pula untuk mempertanggungjawabkan dan membina/mencegah pihak-pihak lain
yang secara struktural/fungsional mempunyai potensi besar untuk terjadinya kejahatan serta
berfungsi pula memulihkan atau mengganti akibat-akibat/kerugian yang timbul pada diri 3) Sudarsono, Kenakalan Remaja, edisi ke dua, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 155
4
korban. Lebih lanjut secara individual, tidak terlepas dari faktor sosial yang berlaku
mengisyaratkan bahwa semakin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku seseorang
memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, makin sering pula orang lain itu
mengulang tingkah lakunya itu.4) Berangkat dari paparan di atas stigma victim/korban akan
selalu ada apabila di tataran yuridis belum sepenuhnya diperhatikan dengan kata lain
integrasi penegakan hukum tidak cukup tanggung jawab penegak hukum saja, akan tetapi
juga masyarakat melalui partsipasinya dalam hal penelitian ini berpayung pada kepastian,
keadilan dan kemanfaatan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana
dikatakan bahwa UU ini sarat akan nuansa Politiknya. Kenyataan sampai sejauh ini
perhatian Pemerintah, masyarakat, terhadap anak kurang khususnya bagi anak sebagai
pelaku pencurian, karena hanya dipandang sebagai tanggung jawab Pemerintah saja.
Bagaimana tanggung jawab ini juga dibebankan pada orang tuanya, PJTKI serta system
peradilan pidana dengan regulasi yang disempurnakan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II. A. Aspek Hubungan Pengadilan dengan Kejahatan Anak
Perlindungan hak-hak asasi manusia terdakwa pada tingkat pengadilan dapat direfleksikan
melalui tindakan seorang hakim sebagai penegak hukum tentang tugasnya untuk
menjatuhkan pidana melalui upayanya untuk melakukan pemidanaan yang bernafaskan
keadilan dan kebenaran. Sampai saat ini meskipun telah disusun suatu produk legeslatif
berupa Undang-undang Pengadilan Anak yaitu Undang-undang No.3 Tahun 1997, serta
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, permasalahan-
permasalahan diperkirakan akan muncul berkenaan dengan pemidanaan,5) khususnya pada
perlindungan anak sebagai pelaku kejahatan ulang. Perlu untuk disimak meskipun
perangkat undang-undang mengatur pemidanaan terhadap pelaku di kategorikan dewasa
4) Alimandan,Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, dari George Ritzer, Siciologi : A Multiple Paradigm Science, Rajawali Pers, Jaakarta, 1992, h. 60. 5) Pemidanaan, menurut Soedarto adalah merupakan penyempitan arti dari istilah penghukuman yakni penghukuman dalam perkara pidana (lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, teori-teori dan kebijakan pidana, edisi revisi, Alumni, Bandung, 1992, h. 1).
5
dan anak-anak adalah berbeda, akan tetapi suatu kondisi aparat penegak hukumnya dalam
hal ini hakim merupakan pintu penutup yanng nantinya akan menjembatani perlindungan
terhadap hak-hak terdakwa dengan keadilan dan kebenaran itu sendiri. Dikemukakan oleh
Barda Nawawi Arief sebagaimana di sunting oleh Romli Atmasasmita bahwa prinsip
umum pemidanaan dengan melihat pertanggung jawaban individual terhadap orang dewasa
merupakan hal yang wajar, karena orang dewasa memang sudah selayaknya dipandang
sebagai individu yang bebas dan mandiri (independent) dan bertanggungjawab penuh atas
perbuatan yang dilakukannya. Namun penerapan prinsip umum ini kepada anak patut dikaji
karena anak belum dapat dikatakan sebagai individu yang mandiri secara penuh. Oleh
karena itu penerapan prinsip ini dilakukan sangat hati-hati dan selektif, dengan mengingat
tingkat kematangan /kedewasaan setiap anak. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ada
baiknya dikembangkan gagasan yang mengimbangi sistem
pemidanaan/pertanggungjawaban individual itu dengan sistem pertanggungjawaban
struktural/fungsional.6) Beliau mengemukakan bahwa diperlukan adanya prinsip-prinsip
yang seharusnya diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi (pidana/tindakan)
kepada hakim, khususnya dalam hal menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Hal ini
dipandang sangat penting, karena masalah ini yang menjadi pusat perhatian dari dokumen-
dokumen internasional, yaitu pasal 17.1 SMR-JJ (The Beijing Rules), dan Resolusi PBB
45/113 tentang UN Rules the Protection of juvenile Deprived of Their Liberty.7)
Perlu diketahui juga bahwa negara melalui hakim dalam menjatuhkan pidana
tentunya memperhatikan pembenaran-pembenaran yang ada. Suatu sasaran yang
diharapkan akan dipengaruhi oleh kedudukannya sebagai aparat birokrasi dan dominasinya
aspek individu. Oleh karena itu seperti yang dikemukakan oleh Roeslan Saleh, bahwa
seorang hakim akan mudah mengambil kesimpulan apabila seorang hakim mengerti tujuan-
tujuan apakah yang akan dicapai dengan membebankan pidana. Dengan ini baik kekuasaan
kehakiman maupun publik dan orang yang di hukum, begitu pula pelaksana pidana akan
mempunyai pegangan. Sebab merekalah yang harus melaksanakan keputusan hakim dan
6) Romli Atmasasmita, d. k. k, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, h.80, menyunting dari Barda Nawawi Arief, Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak, makalah dalam Seminar Nasional Peradilan Anak, Unpad, Hotel Panghegar, Bandung, 5 Oktober 1996. 7) ibid, halaman 76-77
6
oleh karenanya pula seharusnnya berbuat sesuai dengan tujuan yang akan dicapai oleh
hakim itu.8) Tidak semua putusan hakim itu memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan
ataupun bagi si terdakwa itu sendiri. Menurut penulis, dalam hasil penelitian tentang
Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan ulang (recidive) anak Tahun 2005, bahwa
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatananak adalah karena
ketidakmampuan keluarga dalam hal ini orang tua melakukan pemberian kasih sayangnya
pada pelaku kejahatan ulang anak.9) Tercatat juga disini bahwa faktor lain adalah berkenaan
dengan bekerjanya sistem peradilan, yakni subjektivitas pemeriksaan masih kuat
berpengaruh ketika memeriksa perkara pidana dengan pelaku anak.10) Oleh karena itu
dalam kerangka penegakan hukum pidana di Indonesia diharapkan sistem yang ada dapat
berjalan seefektif mungkin, karena sistem yang tidak efektif itu akan menimbulkan kondisi-
kondisi seperti adanya disparitas pidana, Legislated Environment, korban kejahatan, stigma
sosial, dan prisonisasi yang merupakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
sistem peradilan pidana.11) Selanjutnya dikemukakan oleh penulis, bahwa selama ini hakim
dalam menjatuhkan putusan masih mengikuti pola-pola tradisional, dari sudut pandang
pembalasan semata. Terhadap pemidanaan recidive anak berlaku ketentuan pemberatan
pidana. Hakim diharapkan tidak menutup mata sebelah tentang mengapa mereka
melakukan kejahatan ulang12).
Berdasar paparan di atas, kajian terhadap permasalahan ini masih relevan untuk
ditindak lanjuti dengan mengingat manusianya dalam suatu birokrasi ini menentukan
efektivitas bekerjanya suatu Sistem yang ada yaitu Sistem Peradilan Pidana, khususnya
seberapa jauh bekerjanya hukum pidana dan pemidanaan di Indonesia mengandung aspek
tujuan pemidanaan.
8) Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984,h. 28-29 9) Ibnu Subarkah dkk, loc.cit 10) ibid, 11) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil, yakni akibat warisan aliran klasik yang menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana. Yang berpandangan pembalasan merasa mendapat legimitasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan jaman. Pandangan yang semata-mata pembalasan ini akan menghasilkan pemidanaan yang tidak bermanfaat dan menjadikan seseorang sebagai residevist. Dampaknya dapat berupa pilihan pidana yang sangat sedikit, untuk memudahkan penerapannya. (Lihat Muladi, loc.cit ) 12) Ibnu Subarkah, Persepsi Hakim Terhadap Pemidanaan Recidive Anak, Thesis, Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Undip, Semarang, 2000, 195.
7
II. A. 1. Teori-teori dan Aliran Pemidanaan.
Hak memidana bagaimanapun selalu dihadapkan pada suatu paradoxialitas, yang
artinya pada satu sisi pemerintah atau negara harus menjamin kemerdekaan individu dan
menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati, tetapi di lain pihak
kadang-kadang sebaliknya, yaitu negara atau pemerintah menjatuhkan hukuman dan karena
menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah atau negara
sendiri diserang. Mengapa hal demikian terjadi, suatu kecenderungan negara akan
mengadakan pembalasan adalah bukan pada mereka yang melakukan kejahatan pertama
kali yaitu sebagai pemula, tetapi ada pada mereka yang melakukan kejahatan ulangan atau
lebih dikenal dengan recidive.
Oleh karena itu terhadap persoalan pemidanaan ini perlu dipecahkan dengan
mengingat pada teori-teori tentang pemidanaan yang berlaku serta aliran-aliran yang
mendasari. Sampai seberapa jauh pengaruh teori-teori tersebut bagi pemidanaan.
a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen).
Teori ini termasuk teori yang tertua, dan pidana dipandang sebagai pembalasan
terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana. Nigel Welker, sebagaimana dikutip
oleh Sahetapy memberikan tiga pengertian mengenai pembalasan, yaitu :retaliatory
retribution, yang berarti dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas
diderita oleh seseorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa beban penderitaan itu
akibat kejahatan yang dilakukannya; distributive retribution, yang berarti pembatasan
terhadap bentuk-bentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang
telah melakukan kejahatan; quantitative retribution, yang berarti pembatasan terhadap
bentuk-bentuk pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan, sehingga bentuk-
bentuk pidana itu tidak melampaui tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk
kejahatan yang dilakukan.13) Teori ini mempunyai dasar pembenaran, yang menyatakan
bahwa pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada
orang yang melakukan kejahatan.
Menurut Johannes Andenaes yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa tujuan
utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan 13) Masruchin Ruba’I, Pidana dan pemidanaan, cet-1,Ikip, Malang, 1994, h. 6
8
(to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan
adalah sekunder.14)
KUHP menetapkan the limiting retributivist dengan menetapkan pidana maksimum
sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batas maksimum
tersebut.
Charles W. Thomas dan Donna M. Bishop, mengemukakan, bahwa retributive
mempunyai kemampuan dalam memilih rasionalitas asli dengan dasarnya baik dan buruk,
pidana dan bukan pidana sebagai pilihan-pilihannya, the amount or type of punishment
which may be justified is limited by what is referred to as the principle of just deserts or the
principle of proportionality .15)
Jadi apabila seseorang mengadakan suatu penderitaan istimewa terhadap seorang
anggota masyarakat lain, maka sudah seimbanglah bahwa orang itu diberi suatu penderitaan
yang sama besarnya dengan penderitaan yang telah dilakukannya terhadap orang lain
anggota masyarakatnya tersebut.16)
Meskipun telah dikemukakan karakteristik dari teori pembalasan pada
kenyataannya, pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan
emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang kearah sifat-sifat sadistis,
sentimental. Sehingga pembicaraan terhadap teori ini dirasakan kepentingan tujuan untuk
penghukuman sebenarnya lebih diutamakan.
b. Teori Relatif atau Tujuan
Pandangan dari teori ini mengisyaratkan bahwa hukuman merupakan suatu cara
untuk mencapai suatu tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Tujuan
penghukuman itu sendiri adalah untuk melindungi ketertiban, untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hukum dan ditujukan pula kepada pelanggar agar tidak mengulangi
pelanggarannya. Maka dari sini dapat dikatakan bahwa hukuman disamping mempunyai
suatu prevensi umum juga mengandung prevensi khusus. Leonard Orland, berpendapat
bahwa hukum pidana bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kejahatan, pidana harus
14) Muladi, & Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op.cit, h. 11 15) Charles W. Thomas, Donna M. Bishop, Criminal Law : Understanding Basic Principle, Vol. 8 Law and Criminal Justice Series, Clifornia : Sage Publication, Inc. Newbury Park, 1987, p. 76 16) Gerson Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, Pradsnya Paramita, Jakarta, 1997, h. 58
9
dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang cenderung
melakukan kejahatan.17)
Charles W. Thomas dan Donna M.Bishop, mengemukakan bahwa teori tujuan
(utilitarian) dari hukuman merupakan pandangan ke depan (forward looking) daripada ke
belakang (backward looking). Hukuman dilukiskan sebagai sesuatu tanpa dasar moral.
Menurutnya ruang lingkup pencegahan kejahatan ada tiga, yaitu : general deterrence
(pencegahan umum), berhubungan dengan bagaimana ancaman specific deterrence, and
incapacition. 18)
Berkenaan dengan pemidanaan recidive anak, terjadinya pengulangan dapat
didekati berdasarkan teori ini, yang lebih mengarahkan pada pengaruh pidana itu.
c. Teori Campuran atau Konvergensi
Toeri ke tiga dipelopori oleh Pellegrino Rossi (1787-1848), yang menurutnya tujuan
pidana disamping pembalasan dalam aspek lain bertujuan perbaikan sesuatu yang rusak
dalam masyarakat dan prevensi umum. Penulis-penulis lain yang berpendirian seperti ini
adalah Binding, Merkel, Kohler, Richard Schimid, dan Beling. 19)
Tujuan pidana menurut teori ini, beberapa sarjana berpendapat. Richard D. Schawrt
dan Jerome H. Skolnick mengemukakan bahwa sanksi pidana dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism); mencegah orang
lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other
from the performance of similar acts); menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-
motif balas dendam (to provide a channel for the expression of retaliatory motive);.20)
Hingga dewasa ini ada tiga konsep pemikiran yang mendominasi hukum pidana,
sebagaimana dikemukakan oleh Antonio A.G. Peters, yaitu pertama aliran klasik (the
Classical School), yang menitikberatkan pada permasalahan undang-undang dalam usaha
untuk memberantas kejahatan; kedua, aliran modern/kriminologi (modern of criminology),
yang menitikberatkan pada pencegahan kejahatan serta perlakuan terhadap pelaku
kejahatan; ketiga, aliran pengawasan sosial (school of social control), yang menitikberatkan
17) Leonard Orland, Justice, Punishment, Treatment The Correctional process, New York, 1973. h. 184 18) op.cit. p. 79 19) op.cit. h. 19 20) ibid. h. 19-24
10
kepada pembahasan politik perencanaan dan organisasi.21) Disamping ada yang
menyebutkan dua aliran saja dalam hukum pidana yaitu aliran klasik dan aliran modern.
Lembaga dimana hakim tersebut bekerja yaitu pengadilan merupakan organisasi
yang unik dan pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu masyarakat.
Chamblis, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo22) memberikan kriteria penentu yang disebut
dengan faktor penentu, dalam mencermati pengadilan, yaitu Tujuan yang hendaknya
dicapai dengan penyelesaian sengketa itu.; Tingkat perlapisan yang terdapat di dalam
masyarakat.
Perkembangan hukum menuju hukum modern dewasa ini, membawa karakteristik
perubahan pada aspek sosiologi pengadilan. Dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo 23),
bahwa sejak munculnya hukum modern, maka segalanya berubah dan pengadilan menjadi
struktur yang formal rasional, prosedural, dan birokratis. Ini adalah bagian dari
perkembangan hukum yang makin menjadi institusi otonom dalam administrasi,
metodologi, dan seterusnya.
Selanjutnya dengan munculnya hukum modern ini, mengakibatkan makin meluas
pula pembicaraan tentang pengadilan, terutama hakim sebagai wujud personalitas
pengadilan dituntut cakap dan professional dalam menghadapi setiap realitas permasalahan.
Dalil-dalil yang diterapkan oleh hakim semuanya merujuk pada peraturan-peraturan yang
berlaku. Untuk pelaksanaan proses verbal pada pelaku kejahatan anak, yang tidak secara
substansial pada recidive anak, hakim disamping merujuk pada hukum pidana formil, juga
merujuk pada hukum pidana materil, yatiu Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Selama pengambilan
keputusan masih belum dilakukan dengan peralatan mekanik, selama itu pula faktor
manusia, yaitu hakim masih perlu dipelajari dalam berbagai seluk beluk. John P. Dawson,
mengemukakan bahwa, hakim itu adalah manusia dan dengan begitu tidak selalu memenuhi
harapan. Di Amerika Serikat, menurutnya pemakaian Pemilihan Umum dan pemilihan
dengan cara penunjukkan bagi seseorang hakim tidak diharapkan untuk mendapatkan
21) Antoni A. G. Peter, Aliran-aliran Utama dalam Teori-teori Hukum Pidana, terj. S2 Ilmu Hukum Undip, Semarang, 1996 22) Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986, h. 52. 23) ibid, h.alaman 2.
11
hakim yang terbaik dan teradil.24) Apabila dicermati di sidang pengadilan, muncul konflik
dan itu nyata, yaitu ada dalam pikiran yang bertentangan satu dengan yang lain. 25) Alam
pikiran dari terdakwa, yang bersifat subjektif dan secara vital terlibat dengan suatu kejadian
yang penting sekali baginya sendiri, disamping itu adalah alam pikiran dari hakim, yang
mengejar objektivitas, dan tidak vital terlibat pada kejadian dalam sidang pengadilan itu
serta penyelesaian perkara pidana yang dipandang sebagai pekerjaan biasa. Dengan
keadaan ini dua alam pikiran itu bertabrakan keras, tetapi kadang-kadang pula keduanya ini
sama sekali tidak saling menyinggung..
Lebih lanjut dikemukakan Satjipto Rahardjo26), mengadili itu bukanlah melakukan sesuatu
terhadap hal-hal yang berada di luar diri terdakwa. Mengadili adalah suatu proses yang
dengan susah payah telah terjadi di antara manusia dan manusia. Mengadili adalah suatu
pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum. Oleh karenanya mengadili tanpa suatu
hubungan yang bersifat sesama manusia antara hakim dengan terdakwa kerapkali dirasakan
sebagai memperlakukan ketidakadilan.
Mengingat persoalan hakim sebagai pribadi dan interaksi sosialnya berpngaruh
pada pemberian pidana, maka Djoko Prakoso27) mengemukakan bahwa berkenaan dengan
pemberian pidana faktor perkembangan masyarakat sudah semestinya menjadi
pertimbangan pula dari hakim, karena hakim dalam menjatuhkan pidana wajib
mempertimbangkan segala sesuatu yang dapat memberatkan atau meringankan pidana.
Faktor-faktor ini tidak hanya dicari pada diri si pembuat, akan tetapi juga pada hal-hal
yang objektif yang terletak di luar motif dan sifat si pembuat.
Atas persoalan tersebut sebelum hakim memutus suatu perkara bersalah atau tidak
bersalah, seorang hakim itu harus dapat mengemban nilai-nilai cultural masyarakat,
pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah seberapa jauh pindah tugas dari hakim atau
masa kerja di Pengadilan tertentu, untuk dapat memahami kondisi sosio-kultual di daerah-
daerah Indonesia. Pemahaman terhadap masalah ini, sungguh besar pengaruhnya yang
24) Jhon P. Dawson, dikutip dari Berman, Harold J. Ceramah-ceramah tentang Hukum Amerika Serikat, terj. Gregory Churchil, Jakarta, PT Tata Nusa, 1996, h. 23 25) Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakartas, 1984., h. 22 26) op.cit., 23 27) op.cit. 21
12
dimungkinkan pada objektivitas keputusan yang mencerminkan keadilan substansial.
Menurut Nicholas Henry, dikutip oleh Alo Liliweri28), ketertutupan organisasi pengadilan
menurut perkembangan hukum dan masyarakat, pada sisi-sisi tertentu mempunyai kendala.
Kendala tersebut tercermin apabila pengadilan sebagai organisasi, kurang memperhatikan
pola-pola perkembangan masyarakat dimana institusi itu berada. Ketertutupan organisasi
mengakibatkan pembicaraan tentang pengadilan dan keadilan tiada putus-putusnya.
Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono ini, space untuk mencanangkan pola
dan sasaran pembangunan cukup besar. Strategi politik telah berimbang, bahwa kekuatan
rakyat dapat mengimbangi kekuatan pemerintah baik eksekutif, legislative dan yudikatif.
Dalam Pembangunan di bidang hukum khususnya, hukum yang bersifat responsive, yang
menanggalkan hukum represif dan otonom, secara pragmatis terimplementasikan dalam
tahapan formulasi peraturan, baik pusat maupun di daerah. Philippe Nonet dan Philip
Selznick mengemukakan29) more specifically, responsive law fosters civility in two basic
ways : overcoming the parochialism of communal morality; and encouraging a problem-
centered and socially integrative approach to crises of public order.
Responsivitas tersebut dapat dilakukan dengan merumuskan suatu model sebagai
langkah pembangunan bidang hukum yaitu dari aspek penanggulangannya. Menurut
Willis,30) (1964,1965), menyebut suatu teori dengan istilah model, model itu hanya
menggambarkan suatu keadaan, tidak mencari hubungan sebab-akibat, yang juga
memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang nyata (possibilities) yang benar-benar
terjadi, sedangkan teori membahas juga kebolehjadian (probability) yang secara teoritis
bisa terjadi, tetapi dalam kenyataannya belim tentu akan terjadi. Sampai saat ini upaya
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara
yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Hukum pidana masih digunakan dan
diandalkan sebagai salah satu sarana politik kriminal. Bahkan akhir-akhir ini pada bagian
akhir kebanyakan perundang-undangan hampir selalu dicantumkan sub bab tentang
28) Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 33 29) Philippe Nonet, Philip Selznick, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, Harper & Row Publishers, New York, Hagerstone, San Fransisco, page 91. 30) Willis, RH, Descriptive Models of Social Respons, Technical Report, Norn Contract, 816 (12), Washington University, 1964
13
“ketentuan pidana”. Pada hampir setiap produk legislatif hukum pidana selalu
dipanggil/digunakan untuk menakut-nakuti atau mengamankan bermacam-macam
kejahatan yang mungkin timbul diberbagai bidang. Fenomena legislatif tersebut demikian
menarik untuk dikaji dari sudut kebijakan hukum pidana (penal policy) sebagai sarana
penanggulangan kejahatan.31) Hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penal
mempunyai banyak keterbatasan yang selama ini dijadikan sandaran hukum bagi penegak
hukum. Sudarto mengemukakan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan
penanggulangan sesuatu gejala (Kurieren am Sympton) dan bukan suatu penyelesaian
dengan menghilangkan sebab-sebabnya.32) Lebih lanjut Johannes Andenaes mengemukakan
bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks
kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk
sikap dan tindakan kita.33) Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya,
apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak
mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.34) Sangatlah sulit untuk melakukan
evaluasi terhadap efektivitas dari “general deterrence” karena mekanisme pencegahan
(deterrence) itu tidak diketahui. Orang mungkin melakukan kejahatan atau mungkin
mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya undang-undang atau pidana yang
dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti “kekuasaan orang tua, kebiasaan-
kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan yang sama kuatnya dengan
ketakutan orang pada pidana.35) Efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat.
Hukum hanya merupakan salah satu kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan
dan pencelaan kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan
sarana-sarana yang lebih effisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi
hukum.36) Karl O. Christiansen mengemukakan pengaruh pidana terhadap masyarakat luas
31) Barda Nawawi Arief, Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Aspehupiki bekerja sama dengan Fak. Hukum Univ. Surabaya, Prigen, 2002, halaman 1-2 32) Sudarto, Hukum pidana dan Perkembangan Masyarakat, 1983, halaman 35 33) J. Andenaes, Does Punishment Deter Crime ? dalam Philosopical Perspektive on Punishment, Gertrude Ezorsky (Ed), New York, 1972, 346. 34) H.D Hart (ed), Punishment : For and Agains, New York, 1971, hal 21 35) H.D Hart. Ibid, hal 15 36) Donald R. Taft and Ralp W. England. Criminology, 1964. h. 315
14
sangat sulit diukur. Pengaruh itu terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda
dan saling berkaitan erat, yang disebut dengan berbagai macam nama, misalnya
pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat kembali
nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif
(strenghening the collective solidarity), menegaskan kembali/memperkuat rasa aman dari
masyarakat (reaffirmation of public feeling of security), mengurangi atau meredakan
ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketegangan-ketegangan agresif (release of
aggressive tensions) dan sebagainya.
Sanksi hukum pidana selama ini terhadap pelaku kejahatan bukanlah obat
(remidium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit, tetapi sekadar untuk
mengatasi gejala/akibat dari penyakit, atau dengan kata lain sanksi pidana bukanlah
merupakan pengobatan kausatif tetapi hanya sekadar pengobatan simptomatik. Disamping
itu pendekatan pengobatan yang ditempuh oleh hukum pidana selama ini sangat terbatas
dan fragmentair yaitu terfokus pada dipidananya si pembuat (sipenderita penyakit), dengan
demikian efek preventif dan upaya perawatan/penyembuhan (treatment atau kurieren) lewat
sanksi pidana lebih diarahkan pada tujuan mencegah agar orang tidak melakukan tindak
pidana/kejahatan” (efek prevensi spesial maupun prevensi general) dan bukan untuk
mencegah agar kejahatan itu (secara struktural) tidak terjadi. Dengan kata lain keterbatasan
kemampuan hukum pidana antara lain dapat dilihat juga dari sifat/fungsi pemidanaan
selama ini, yaitu pemidanaan individual/personal dan bukan pemidanaan yang
bersifat struktural/funsional.
Herbert L. Packer mengemukakan bahwa penggunaan sanksi pidana secara
sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan (indiscriminately) dan digunakan secara
paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu “pengancaman yang
utama”.37)
Penanggulangan Non Penal ini menitikberatkan pada upaya pembinaan atau
penyembuhan terpidana/pelanggar hukum (treatment of offenders) maupun dengan
pembinaan/penyembuhan masyarakat (treatment of society).Habib-Ur-Rahman Khan
mengatakan apabila kejahatan dipandang sebagai produk masyarakat, maka masyarakatlah 37) Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, 1968. h. 366
15
yang membutuhkan perawatan/pembinaan dan bukan si penjahat, I suggest that, just as in
the 19th century attention was diverted from to its author- the criminal, we should go a step
further and focus our attention, not on the criminal, but on to its author-society. We will
have to change our socio-political and economic system that breeds criminals.38)
Pengertian treatment of society mempunyai arti upaya pembinaan/penyembuhan
masyarakat dari kondisi-kondisi yang menyebabkan timbulnya kejahatan (antara lain faktor
kesenjangan sosial-ekonomi, pengangguran, kebodohan, rendahnya standar hidup yang
layak, kemiskinan, diskriminasi rasial dan sosial). Bertolak dari konsep “treatment of
society”patut pula kiranya dikembangkan kebijakan struktural/fungsional. Dalam sistem
pemidanaan yang struktural/fungsional pertanggungjawaban dan pembinaan tidak hanya
tertuju secara sepihak dan fragmentair pada pelaku kejahatan, tetapi lebih ditekankan pada
fungsi pemidanaan yang bersifat totalitas dan struktural, yang artinya pemidanaan tidak
hanya berfungsi untuk mempertanggungjawabkan dan membina si pelaku kejahatan, tetapi
berfungsi pula untuk mempertanggungjawabkan dan membina/mencegah pihak-pihak lain
yang secara struktural/fungsional mempunyai potensi besar untuk terjadinya kejahatan serta
berfungsi pula memulihkan atau mengganti akibat-akibat/kerugian yang timbul pada diri
korban.
II.A.2. Aspek Kebijakan Pembaharuan hukum pidana
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari
kebijakan/politik hukum pidana (penal policy). Urgensi diadakannya pembaharuan hokum
pidana dapat ditinjau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan social, kebijakan
criminal, dan kebijakan penegakan hukum). Dengan demikian pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan
reformasi hokum pidana yang sesuai nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan
sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan social, kebijakan criminal
dan kebijakan penegakan hokum di Indonesia. Pembaharuan hokum pidana harus dilakukan
dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian
dari suatu langkah kebijakan atau policy. Didalam setiap kebijakan terkandung pula
38) Habib-Ur-Rahman Khan. Prevention of Crime-It is society which needs “The Treatment, Not The Criminal, dalam Resource Material Series No. 6, 1973, halaman 132-133
16
peritimbangan nilai, oleh karena itu pembaharuan hokum pidana harus pula berorientasi
pada pendekatan nilai. Pembaharuan hokum pidana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan
adalah a. sebagai bagian dari kebijakan social, artinya bagian dari upaya untuk mengatasi
masalah-masalah social (termasuk didalamnya masalah kemanusiaan) dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu kesejahteraan masyarakat, b. sebagai bagian
dari kebijakan criminal, artinya bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya
upaya penanggulangan kejahatan), c. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hokum,
artinya bagian dari upaya memperbaharui substansi hokum (legal substance) dalam rangka
lebih mengefektifkan penegakan hukum.39) Dilihat dari sudut pendekatan nilai,
pembaharuan hukum pidana merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian
kembali (re-orientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-
kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan substantive
hokum yang dicita-citakan.
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan penelitian ini sebagai berikut :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan anak tindak pidana
pencurian yang orang tuanya bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita, serta
faktor-faktor penghambat dab pendukungnya sekaligus upaya-upaya yang digunakan
untuk mengatasi hambatan-hambatan itu. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan
manfaat bagi :
a. Penegak hukum dalam hal ini hakim pada Pengadilan Negeri Malang, dalam
memeriksa, mengadili dan memidana anak melalui diskriptif hasil penelitian ;
b. Komisi Perlindungan Anak daerah sebagai bahan pelengkap penelitian untuk
membahas Raperda Anak;
c. Bagi LPAN Jawa Timur di Blitar dimana wilayah hukumnya meliputi Jawa Timur,
sebagai bahan masukan untuk merencanakan langkah-langkah pembinaan.
39) Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 1996, halaman 31-32
17
BAB IV. METODE PENELITIAN
Studi diskriptif ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis merupakan
penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, diartikan sebagai penelitian
yang datanya diperoleh dari sumber hukum data primer maksudnya data diperoleh dengan
jalan terjun ke lapangan atau data secara langsung diperoleh dari masyarakat.40)yang
didasarkan penentuan sampel secara purposive sampling atau sampel bertujuan, secara
sengaja yang memperhatikan maksud dan tujuan penelitian. Dengan kata lain, penentuan
responden dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random
atau daerah, melainkan didasarkan pada tujuan tertentu. Adapun yang menjadi informan
adalah Hakim Anak Pengadilan Negeri Kota Malang, Komisi Perlindungan Anak pada
daerah tersebut ; Pelaku Anak; Kepala LPAN Jawa Timur di Blitar, Polresta Malang. Dari
sampel awal itu bergulir menggelinding laksana bola salju dan berhenti bilamana telah
mencapai titik tertentu, yaitu setelah terdapat indikasi tidak munculnya variasi atau
informasi baru. Lokasi penelitian di Jawa Timur, yaitu wilayah Hukum Pengadilan Negeri
Kota Malang,. Sumber datanya adalah data Primer, sebagai data utama dalam penelitian ini,
yang diperoleh langsung dari informan-informan di atas., dan data Sekunder, sebagai data
penunjang yang bersifat dokumentatif, melalui studi pustaka terhadap literature-literatur
yang sesuai dengan informan dan permasalahan di atas, dan hasil-hasil penelitian yang
berkaitan dengan informan dalam penelitian di atas sedangkan teknik pengambilan data
dilakukan dengan wawancara (interview) baik terstruktur maupun tidak terstruktur.
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro41) , wawancara terstruktur disebut wawancara terarah
(directive interview) yang menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan
terlebih dahulu, sedangkan wawancara tidak terstruktur yang disebut juga wawancara tidak
terarah adalah seluruh wawancara tidak didasarkan pada suatu sistem atau daftar
pertanyaan yang telah disusun, kuesioner, yaitu pengumpulan data dari informan diperoleh
melalui pertanyaan-pertanyaan yang tertulis yang telah dipersiapkan terlebih dahulu,
observasi, dalam pengumpulan data lebih lanjut digunakan teknik observasi atau
pengamatan. Observasi yang digunakan adalah observasi tidak terlibat (non participant 40) P. Joko Subagyo, Metode Penelitian : dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 91 41) Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, halaman 61.
18
observation) yang sesuai dengan karakteristik peneltian kualitatif. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara diskriptif kualitatif yang mengikuti
prosedur reduksi data, pengumpulan data, penyajian data, dan menarik kesimpulan, dimana
penganalisaan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau melukiskan keberadaan
subjek dan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada tanpa menggunakan angka-angka,
akan tetapi mengutamakan mutu dari data yang ada, sehingga diperoleh pemahaman yang
lebih mendalam tentang pokok permasalahan yang diteliti. Menurut Masri Singarimbun dan
Sofyan Effendi42) penelitian diskriptif merupakan penelitian untuk pengukuran yang cermat
terhadap fenomena sosial dan budaya tertentu dengan mengembangkan konsep dan
menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa.
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian di LPAN Blitar, dan Pengadilan Negeri Blitar serta pada individu
anak pidana dan recidivistnya diketahui pada Tahun 2000 yang dilakukan peneliti tentang
sebab-sebab mereka melakukan kejahatan/pengulangan kejahatan, adalah karena
dilatarbelakangi dari keluarga yang tidak mampu, disamping penyebab karena orang tua ke
Luar Negeri, rata-rata sebagai TKI. Dapat di simpulkan bahwa masalah ekonomi sebagai
primer problem. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di negara berkembang saja akan
tetapi di negara majupun demikian. Kesepakatan negara-negara untuk mencegah tidak
terjadinya faktor kondusif, penyebab terjadinya kejahatan. Dalam rangka mencegah
kejahatan diadakan usaha memperbaiki keadaan sosial, ekonomi masyarakat. Sebenarnya
hal ini sudah diformulasikan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan yang merupakan
bagian dari strategi kebijakan kesejahteraan sosial (sosial welfare policy), sekaligus strategi
pembangunan yang dicanangkan dalam landasan operasional di Indonesia. Standard
ekonomi itu sendiri dapat dikatagorikan pada destitution, proverty, normal, confort, dan
luxury . Dalam mengulas masalah delinquency, didasari oleh para penganut teori Marx,
para sosial workers dan kaum humanitarian yang dianggap sebagai teori tertua yang
mempersepsikan bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan.
42) Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989, h.4-5
19
Kemudian pada tahun 2005, dengan hasil yang dicapai untuk mengetahui sebab-
sebab terjadinya recidive anak, lokasi wilayah hukum PN Kota Malang, diketahui bahwa
akibat itu karena keluarga yang tidak mampu; orang tua kurang perhatian, karena
keluar negeri ; persidangan yang tidak dihadiri oleh orang tua. Tentang keluarga yang
tidak mampu ini sebagaimana dikatakan oleh Aan, anak Negara yang berusia 18 tahun,
yang mencuri mesi Playstation untuk dirinya sendiri, karena penghasilan orang tua yang
bekerja sebagai buruh tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Menurut Selo dan Suyitno,
paman dan orang tua korban, sebab-sebab terjadinya pencurian karena orang tua ke luar
pulau. Untuk daerah Malang sendiri menduduki urutan kedua bila dibandingkan daerah-
daerah lain, sebagai ditegaskan dalam Tabel dibawah ini :
Tabel 1
Jumlah Pelaku Tindak Pidana Pencurian di Seluruh Wilayah Jawa Timur Tahun No. Kota
2002 2003 2004 2005 Akhir 2006
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Surabaya
Malang
Besuki
Madura
Bojonegoro
Madiun
Kediri
Luar Jawa
Lain-lain
229
97
25
-
12
17
314
2
-
162
103
12
-
12
12
149
-
-
65
228
12
-
12
7
175
-
-
27
173
4
-
-
-
261
-
-
12
70
-
-
-
-
247
-
-
Sumber data : LPAN Blitar Jawa Timur
Negara tujuan TKW antara lain Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan, Brunai,
Macau, Arab Saudi, dan Kuwait. Adapun alasan mereka ke Luar Negeri adalah :
a. Alasan ekonomi keluarga;
b.Perceraian/ditinggal suami;
c.Mencari Pengalaman Kerja di Luar Negeri
d.Mengumpulkan Modal untuk usaha;
e.Ikut-ikutan dengan tetangga/keluarga yang kerja di Luar Negeri, .
20
Kebijakan di sektor TKI ini harus dibarengi dengan kebijakan pada aspek lain
khususnya untuk masalah ini adalah perlindungan pada anak dan keluarga yang
ditinggalkannya, dimana selama ini antar kebijakan itu berjalan sendiri-sendiri. Perlu
penyusunan Raperda Propinsi/Kabupaten/Kota tentang Perlindungan TKI dan Keluarganya;
dan merevisi UU no. 23 Tahun 2002 maupun UU no. 39 tahun 2004, untuk mencantumkan
secara khusus Perlindungan terhadap Anak itu. Meskipun dalam pelaksanaan
perlindungan bagi anak yang orangtuanya keluar negeri tanggungjawab terletak pada kakek
dan neneknya atau keluarga lainnya. Pihak disnaker dalam hal ini, mengupayakan untuk
melakukan pemecahan dengan alternatif terhadap penyempurnaan dengan pola
tanggungjawab dari orang tua yang bekerja di luar negeri untuk tidak menelantarkan
anaknya. Hal ini merupakan tanggungjawab pemerintah daerah dan PPTKIS dari aspek
biaya.
Secara realistis penanganan TKI itu sendiri masih menampakkan beberapa kendala
antara lain :
a. Terbatasnya kewenangan daerah dalam membantu menyelesaikan kasus TKI di
Luar negeri.
b. Terbatasnya SDM di daerah dalam menangani kasus-kasus TKI di Luar Negeri,
c. Masih banyaknya calo-calo yang tidak memiliki ijin perekrutan
Oleh karena itu upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal di atas adalah :
a. Penyediaan fasilitas lembaga bantuan hukum di Tingkat Propinsi,
b. Meningkatkan SDM dengan mengikuti bimbingan teknis masalah penanganan TKI
bermasalah,
c. Melakukan kegiatan penindakan dan pembinaan terhadap calo-calo di daerah.
Upaya berikutnya yang dilakukan Disnaker terhadap perlindungan TKI ke Luar
Negeri adalah :
1. Penyediaan fasilitas bantuan hukum bagi TKI,
2. Pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja,
3.Pembentukan citizen service/atase ketenagakerjaan di negara penerima TKI (Korsel,
Brunai, Singapura, Yordania, Syria, Qatar)
4.Pemberantasan praktek percaloan/sponsor TKI di daerah,
21
5.Pemberantasan tindakan premanisme dan percaloan terhadap TKI di
embarkasi/debarkasi,
6.Pengawasan terhadap penyelenggaraan PJTKI di Luar Negeri oleh Pemerintah,
7.Peningkatan profesionalisme lembaga Penempatan TKI,
8.Penetaan Lembaga Asuransi Perlindungan TKI, sarana kesehatan dan psikologi TKI.
Hasil Penelitian-data diskriptif pada LPAN Blitar
Pelaku anak karena tindak pidana pencurian sebagaimana sejumlah 7 orang, dimana
rata-rata mereka mencari nafkah sendiri, sedangkan 1 orang disebabkan orang tuanya
sebagai TKI/tenaga kerja Indonesia. Berikut nama-nama (dalam bentuk singkatan) pelaku
recidivist anak, baik khusus maupun umum.
Tabel 2
Nama-nama Recidivist Anak Tindak Pidana Pencurian
No. Nama-nama (Singkatan) Jumlah Keterangan
1. Sjrn Pencurian (Recidivist Khusus)
2. A.Sub. Sda
3. A.Set. Sda
4. Ags Pj. Sda
5. Frs Prib. Sda
6. Purnm Sda
7. A. P. Sda
8. Wss Recidivist Umum
9. Syt
9
Sda
Sumber : Wawancara, Kasubsi Binpas, LPAN, Blitar.
Adapun penanggulangan yang dilakukan dengan melakukan upaya pembinaan di
LPAN seperti ditunjukkan di bawah ini :
22
Tabel 3
Jenis-jenis Pembinaan di LPAN Blitar
No. Jenis-jenis Pembinaan Bentuk Pembinaan Keterangan
1. Kepribadian a. Fisik : olah raga, pendidikan
formal, rekreasi, kesenian,
perpustakaan,pramuka,kesehatan.
b. Sosial : menerima kunjungan
keluarga.
c. Mental & spiritual : agama,
ceramah-ceramah, pesantren
kilat.
2. Kemandirian
(ketrampilan/life skil)
Penjahitan, montir, pertukangan
kayu, pertanian, peternakan, las
besi, keset, handycraf, atomotif,
salon, sablon, computer.
Pembinaan tersebut hasil
kerjasama dengan
Aparat Penegak hukum,
Depatemen Sosial,
Agama, Dik Nas,
Tenaga kerja, dan
Perindustrian.
Sumber : Wawancara, Kasubsi Binpas, LPAN Blitar, data diolah.
Data dari pelaku Anak yaitu SJRN (nama singkatan).
a. Tentang Pemidanaan. (wawancara dengan SJRN, umur 20 tahun, belum kawin, Blitar)
Pelaku ini residivist sejumlah 4 kali, dengan rincian pada waktu melakukan
kejahatan pertama kali (first offenders) berumur 17 tahun, yakni mencuri beras
ditetangganya, dimana pemidanaan oleh hakim 4,5 bulan. Yang kedua, mencuri uang Rp.
40.000,00 dengan pemidanaan 7 bulan, yang ketiga mencuri sepeda dengan pemidanaan 10
bulan, dan sekarang ketika diwawancarai peneliti mencuri uang Rp. 30.000,00 dengan
pemidanaan 9 bulan.
b.Tentang Penanggulangan
Ketika ditanya tentang penanggulangan, dengan keputusan hakim, merasa puas
serta menerima, dimana didalam LP kegiatan yang dilakukan adalah membersihkan kamar,
buat keset, kerja diluar/ membuang sampah, dan merasa senang dengan pembinaan di
dalam LP. Hambatan dikatakan tidak ada.
23
Beberapa faktor yang seyogyanya diperhatikan guna perlindungan anak ketika
pemeriksaan berlangsung yaitu :
a. Tentang aspek ruang sidang, sarana dan prasarana untuk pengadilan anak kurang
memadai seperti ruang sidang untuk Pengadilan Anak seharusnya dibuat tersendiri dan
terpisah dari ruang sidang untuk orang dewasa, dan khusus untuk ruang sidang anak lebih
bagus didekorasi seperti ruangan untuk anak-anak supaya terdakwa anak tidak takut ketika
diperiksa di ruang sidang;
b. Tentang latar belakang pelaku anak dan residivist anak, rata-rata latar belakang dari
keluarga broken home dan tidak mampu secara ekonomi, serta terdakwa anak dikarenakan
tidak punya orang tua serta keberadaan orang tuanya tidak diketahui (dp. No. 3), dimana
peran orang tua kurang berfungsi dalam mendidik dan merawat anak, sehingga anak
tersebut tumbuh dan berkembang di luar rumah tanpa sepengetahuan dan tanpa pengawasan
dari orang tuanya.
c. Tentang perhatian orang tua terhadap pemeriksaan anaknya di sidang Pengadilan.
Kadang-kadang orang tua/walinya tidak mau mendampingi meskipun sudah dipanggil oleh
jaksa; berikut rata-rata orang tua/wali dari terdakwa menyatakantidak sanggup mendidik
anaknya, karena anaknya terlalu nakal.
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Mengingat hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Kasus-kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan anak karena keadaan orang tuanya
tidak mampu, putus sekolah, lingkungan pergaulan yang kurang sehat, pembinaan
mental sejak dini kurang. Khususnya sebab orang tua tidak mampu berakibat pada
keinginan mereka untuk mencari nafkah sebagai TKI ke Luar Negeri.
2. Faktor-faktor yang menghambat sebaga berikut :
a. Tentang aspek ruang sidang, sarana dan prasarana untuk pengadilan anak kurang
memadai seperti ruang sidang untuk Pengadilan Anak seharusnya dibuat tersendiri dan
terpisah dari ruang sidang untuk orang dewasa, dan khusus untuk ruang sidang anak
24
lebih bagus didekorasi seperti ruangan untuk anak-anak supaya terdakwa anak tidak
takut ketika diperiksa di ruang sidang;
b. Tentang latar belakang pelaku anak dan residivist anak, rata-rata latar belakang dari
keluarga broken home dan tidak mampu secara ekonomi, serta terdakwa anak
dikarenakan tidak punya orang tua serta keberadaan orang tuanya tidak diketahui (dp.
No. 3), dimana peran orang tua kurang berfungsi dalam mendidik dan merawat anak,
sehingga anak tersebut tumbuh dan berkembang di luar rumah tanpa sepengetahuan dan
tanpa pengawasan dari orang tuanya.
c. Tentang perhatian orang tua terhadap pemeriksaan anaknya di sidang Pengadilan.
Kadang-kadang orang tua/walinya tidak mau mendampingi meskipun sudah dipanggil
oleh jaksa; berikut rata-rata orang tua/wali dari terdakwa menyatakantidak sanggup
mendidik anaknya, karena anaknya terlalu nakal.
B. SARAN
Pemerintah Daerah setempat, yang didukung oleh Polresta-UPPA, Disnaker , KPPA
dan instansi-instansi terkait lainnnya sesuai hasil kemajuan penelitian ini melakukan
pembahasan untuk menyusun Kebijakan Perlindungan Anak dan TKI guna
memformulasikan Model Perlindungan Anak Yang orang Tuanya Bekerja Ke Luar
Negeri Sebagai TKI, dengan pertimbangan masukan-masukan responden dari
Penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Andenaes, J. 1972. Does Punishment Deter Crime ? dalam Philosopical Perspektive on Punishment, Gertrude Ezorsky (Ed), New York.
Alimandan, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, dari George Ritzer, Siciologi : A Multiple Paradigm Science, Rajawali Pers, Jaakarta, 1992, h. 60.
Arief, Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:
PT Citra Adtya Bakti Arief, Barda Nawawi.1994. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan
dengan Pidana Penjara. Semarang : PT Ananta
25
Atmosasmito, Romli , d. k. k. 1997 Peradilan Anak di Indonesia, Bandung :Mandar Maju Bawengan, Gerson.1997. Pengantar Psikologi Kriminil, Jakarta : Pradnya Paramita Dawson, Jhon P. Dawson, dikutip dari Berman, Harold J. 1996. Ceramah-ceramah
tentang Hukum Amerika Serikat, terj. Gregory Churchil, Jakarta : PT Tata Nusa Donald R. Taft and Ralp W. England.1964. Criminology Habib-Ur-Rahman Khan. 1973. Prevention of Crime-It is society which needs “The
Treatment, Not The Criminal, dalam Source Material Series No. 6 Hadisuprapto, Paulus. 2002. Pemberian Malu Reintegratif Sebagai Sarana Non Penal
Penanggulangan Perilaku Delikuensi Anak, Disertasi Pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang : Undip
H.D Hart (ed). 1971. Punishment : For and Agains, New York Herbert L. Packer,1968. The Limits of Criminal Sanction. Liliweri, Alo . 1997. Sosiologi Organisasi, Bandung : PT Citra Aditya Bakti Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan kebijakan pidana, edisi revisi,
Alumni, Bandung : Alumni Muladi.1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cetakan I, Semarang : Undip Nonet, Philippe, Philip Selznick, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law,
Harper & Row Publishers, New York, Hagerstone, San Fransisco Orland, Leonard . 1973. Justice, Punishment, Treatment The Correctional process,
New York Peter, Antoni A. G. Peter. 1996. Aliran-aliran Utama dalam Teori-teori Hukum Pidana,
terj. S2 Ilmu Hukum Undip, Semarang : Undip Prakoso, Djoko. 1984. Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek, Jakarta :
Ghalia Indonesia Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat, Bandung : Angkasa Ruba’i, Masruchin .1994. Pidana dan pemidanaan, cet-1,Malang :Ikip, Malang
26
Saleh, Roeslan. 1984. Segi Lain Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia
Singarimbun, Masri , dkk. 1989. Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Jakarta
:Ghalia Indonesia, Subagyo, P. Joko Subagyo.1997. Metode Penelitian : dalam Teori dan Praktek, Jakarta
: Rineka Cipta Sudarsono.1991. Kenakalan Remaja, edisi ke dua, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 Sudarto 1983. Hukum pidana dan Perkembangan Masyarakat Thomas, Charles W. , Donna M. Bishop. 1987. Criminal Law : Understanding Basic
Principle, Vol. 8 Law and Criminal Justice Series, Clifornia : Sage Publication, Inc. Newbury Park
Willis, RH. 1964. Descriptive Models of Social Respons, Technical Report, Norn
Contract.
Undang-undang :
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, IKAHI: Varia Peradilan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Makalah-makalah :
Arief, Barda Nawawi . 2002. Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Aspehupiki bekerja sama dengan Fak. Hukum Univ. Surabaya, Prigen
Sahetapy, J.E.2002. Viktimologi : Sebuah Catatan Pengantar, makalah dalam Penataran
Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, FH Ubaya
Jurnal Ilmiah :
Wahjoedi, Richard dan Didik Endro purwoleksono, 1994. Kecenderungan dan Latar Belakang Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak-anak di LPAN Blitar, dalam Yuridika, No. 1 Tahun VIII, Surabaya: FH Unair
27
Penelitian :
Hafrida. 1995. Proses Peradilan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak di Kotamadya Bandar Lampung, Thesis pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Semarang : Undip
Subarkah, Ibnu.2000. Persepsi Hakim Terhadap Pemidanaan Recidive Anak, Thesis,
Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Semarang :Undip ____________ , dkk. 2005. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Ulang
(Recidive) Anak (studi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kota Malang) Laporan
Hasil Penelitian Dosen Muda Dikti, Jakarta: Dikti