laporan ldp -lpma (studi antropologi

23
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena geografi dan potensi kelautan, demografi dan masyarakat dengan sejarah yang sarat dengan budaya maritim merupakan salah satu kajian Antropologi dan menjadikan kelautan sebagai pola ilmiah. Sebab fenomena fisik alam kelautan yang merupakan objek dan fakta empirik general bagi pandangan saintis, sesungguhnya dilapisi keatas dengan fenomena budaya yang bervariasi dari suatu tempat dan masyarakat ke tempat-tempat dan masyarakat-masyarakat lannya di duna. Fenomena demografi dan budaya maritim yang melalui proses dinamika karena pengaruh kekuatan-kekuatan internal/konteks lokal dan eksternal merupakan kajian sosial budaya. Mengikuti konsep Mukhlis Paeni, tatanan dan perkembangan budaya kemaritiman yang melibatkan negara dan politik serta perdagangan dunia yang disebutnya sebagai tradisi maritim besar (maritime great tradition) di bedakan dari tradisi maritim kecil (maritime little tradition) yang diacukan pada aktivitas penangkapan laut. Di konsepsikan demikian karena aktivitas tersebut dilakukan secara kecil-kecilan saja dan mereka yang terlibat didalamnya adalah rakyat miskin/golongan marginal penghuni daerah-daerah pesisir yang dikuasai oleh kelas-kelas pedagang/saudagar bermukim di LAPORAN LDP - LPMA 2006 1

Upload: andi-muhammad-yusuf

Post on 11-Jun-2015

999 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena geografi dan potensi kelautan, demografi dan masyarakat dengan

sejarah yang sarat dengan budaya maritim merupakan salah satu kajian Antropologi dan

menjadikan kelautan sebagai pola ilmiah. Sebab fenomena fisik alam kelautan yang

merupakan objek dan fakta empirik general bagi pandangan saintis, sesungguhnya

dilapisi keatas dengan fenomena budaya yang bervariasi dari suatu tempat dan

masyarakat ke tempat-tempat dan masyarakat-masyarakat lannya di duna. Fenomena

demografi dan budaya maritim yang melalui proses dinamika karena pengaruh kekuatan-

kekuatan internal/konteks lokal dan eksternal merupakan kajian sosial budaya.

Mengikuti konsep Mukhlis Paeni, tatanan dan perkembangan budaya kemaritiman

yang melibatkan negara dan politik serta perdagangan dunia yang disebutnya sebagai

tradisi maritim besar (maritime great tradition) di bedakan dari tradisi maritim kecil

(maritime little tradition) yang diacukan pada aktivitas penangkapan laut. Di konsepsikan

demikian karena aktivitas tersebut dilakukan secara kecil-kecilan saja dan mereka yang

terlibat didalamnya adalah rakyat miskin/golongan marginal penghuni daerah-daerah

pesisir yang dikuasai oleh kelas-kelas pedagang/saudagar bermukim di kota-kota pantai.

Mandegnya perkembangan tradisi maritim besar kreasi lokal di Nusantara ini setelah

kemerdekaan Indonesia di ungkapkan oleh Mukhlis sebagai “harta yang kehilangan ahli

waris”

Masyarakat maritim, terutama nelayan dan pelayar, merupakan kategori sosial

yang sekali menjadi nelayan atau pelayar, akan sulit sekali meninggalkan lingkungan laut

dan pekerjaannya untuk bergeser ke sektor-sektor ekonomi lainnya di darat. Sebab

adaptasi dan menyatunya dengan lingkungannya sekaligus melibatkan adaptasi fisiologi,

psikologi, sosial dan budayanya. Adaptasi fisiologi berupa penyesesuaian persaan bau,

penglihatan, pendengaran, ukuran rongga pernafasan, mungkin juga tekanan darah.

Adaptasi psikologi berupa penyesesuaian perasaan-perasaan dengan karakter laut (badai,

ombak, keteduhan, suhu, iklim, pemandangan bebas), dan bahkan mungkin dengan

prilaku biota laut. Seiring dengan hal-hal tersebut dalam masyarakat nelayan akhirnya

LAPORAN LDP - LPMA 2006 1

Page 2: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

timbul kepercayaan-kepercayaan yang cenderung mistis seperti sebagaian besar

masyarakat nelayan dan pelayar lainnya di Nusantara. Misalnya di Sulawei Selatan,

untuk hal yang demikian biasanya mereka mendasarkan kepada penegtahuannya dengan

indra Pakkita (penglihatan), Parengkkalinga (pendengaran), Paremmau (penciuman),

Panedding (firasat), dan Tenttuang (keyakinan) (Abu Hamid, 2003). Adaptasi sosial

budaya dengan lingkungan laut memproduksi perangkat sikap-sikap dan dan pandangan

menjadikan laut sebagai lingkungan habitat dan biota dari berbagai spesis disitu sebagai

subjek. Subjek dengan mana mereka berinteraksi, jadi bukan semata sebagai objek yang

di pelajari kemudian di eksploitasi. Pola-pola adaptasi yang kompleks dan ekstrim

tersebtu akan menyulitkan orang-orang/manusia perahu keluar dari dunia baharinya.

Memasuki lingkungan laut dan memanfaatkan sumberdaya di kandungnya serta jasa-jasa

laut di sajikan memaksa manusia pengguna, harus bahkan mutlak bekerjasama dan

melembagakan kehidupan kolektif. Kondisi laut berbahaya, sifat/pola perilaku spesis-

spesis biota tangkapan, berat dan rumitnya pekerjaan, kebutuhan akan modal dan biaya-

biaya yang mendesak yang tidak dapat ditanggung sendiri menjadi faktor utama

diperlukannya secara mutlak kelembagaan dan kehidupan kolektif dalam masyarakat

Maritim.

Dengan latar belakang ke maritiman yang luas dan untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan mutlak ekonomi, maka dari itu nelayan dan pelayaran banyak melakukan

penyesuasian dan pengembangan pada pola teknologi produksi. Pada makalah ini kita

akan membahas tentang teknologi Gae (Makassar/Bugis) atau purce siene, perangkat atau

teknologi alat berupa pukat cincin yang banyak ditemukan pada nelayan di pesisir dan

pulau-pulau di Nusantara dan Sulawesi Selatan pada khususnya. Untuk mengambil suatu

objek maka pada makalah ini mengambil objek studi di Pulau Kodingareng, dengan

alasan bahwa nelayan Kodingareng sebagian besar masih mengunakan teknologi alat

tangkap Gae untuk menmanfaatkan sumber daya laut dalam hal ini biota ikan yang kaya

di kawasan karang spemonde, Sulawesi Selatan. Cakupan mengenai perkembangan

berbagai bentuk aktivitas/usaha perikanan yang menjadi implikasi dari proses

perkembangan teknologi akan menjadi pusat perhatian dalam tulisan ini.

LAPORAN LDP - LPMA 2006 2

Page 3: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

Masalah Penelitian

Dalam tulisan ini akan mengkaji tentang ruang lingkup Pagae atau nelayan

mengoperasikan teknologi alat tangkap pukat cincin (purce siene) yang banyak di

gunakan oleh nelayan di Nusantara, tetapi kali ini kami akan lebih spesifik tentang Pagae

yang ada di Pulau Kodingareng. Tentang subtansi dari tulisan di bawah tentang pokok-

pokok yang akan di bahas dan menjadi frame dari pada tulisan ini :

Pengetahuan yang menjadi landasan utama bagi nelayang dalam mengekplitasi

lingkungan laut.

Teknologi alat tangkap dalam hal ini pukat cincin/purce siene atau dalam bahasa

Makasar di sebut dengan Gae.

Organisasi dalam tubuh kelompok nelayan Pagae serta bagaimana mekanisme

fungsi yang diatur dalam sebuah struktur.

Jaringan pemasaran hasil tangkapan yang diperoleh nelayan pagae yang menjadi

sebuah mekanisme yang diatur oleh semua nelayan yang ada di Kodingareng.

Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini berorientasi pada karakteristik penelitian kualitatif deskriptif. Sehingga

pengumpulan data akan di lakukan dengan mengandalkan validitas dan kualitas data

yang ada di lapangan.

2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi :

Waktu :

3. Pemilihan Informan

Penentuan informan dilakukan secara purposive dengan mengambil beberapa orang

sebagai sumber informasi yang tentunya berkaitan dengan fokus penelitian serta

memiliki pengetahuan yang mendukung upaya pengumpulan data.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. studi pustaka (Library Research), yaitu pengumpulan data melalui literature serta

referensi lainnya yang menyangkut pengetahuan dan informasi yang telah ada

LAPORAN LDP - LPMA 2006 3

Page 4: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

untuk dijadikan kerangka konseptual yang akan mengarahkan pada focus

penelitian.

b. Studi Lapang (Field Research), yaitu dengan turun langsung ke lapangan

melakukan penelitian guna mendapatkan data yang lebih valid mengenai

peneletian. Untuk hal tersebut di perlukan teknik pengumpulan data sebagai

berikut :

- Observasi partisipatif, yaitu salah satu teknik yang digunakan untuk

mengamati objek yang di teliti, data yang diperoleh melalui teknik ini berupa

hasil pengamatan tentang aktivitas nelayan dan rumah tangga nelayan dalam

kehidupan sehari-harinya.

- Wawancara (interview), yakni teknik yang di gunakan untuk medapatkan

informasi atau data yang diinginkan dengan melakukan tanya jawab dengan

informan. Proses yang wawancara yang dilakukan tentunya tak lepas dari

pedoman wawancara yang telah di tentukan sebelumnya (wawancara

terstruktur). Dan apabila ada hal yang sulit di ungkapkan oleh informan, maka

di mungkinkan untuk melakukan wawancara bebas yang menggiring kita

untuk mengorek informasi atau data secara mendalam (indepth interview).

Teknik ini juga nantinya akan mendukung dan menguatkan data yang di

peroleh melalui teknik pengamatan.

LAPORAN LDP - LPMA 2006 4

Page 5: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

BAB II

PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Adapun mengenai demografi dan masyarakat di pulau Kodingareng pada

umumnya sama dengan pulau di sekitarnya seperti pulau Barrang, Lae-lae dan lain-lain.

salah satu pulau yang terletak diwilayah perairan barat kota Makassar, Pulau yang

luasnya kurang lebih 1 Km2, berada di kawasan laut yang oleh kalangan kelautan

mengenalnya dengan sebutan kawasan Spermonde (sebutan untuk kawasan laut pada

masa penjajahan Belanda). Jarak dari Kota Makassar ke Pulau Kodingareng adalah

kira-kira 2 mil atau memakan waktu perjalanan kira-kira 1 jam dengan menggunakan

kapal reguler/kapal motor. setiap harinya ada tiga kapal reguler yang mengangkut

penumpang dari pulau Kodingareng ke pelabuhan Kayubangkoa. Dari data-data

kelurahan menyebutkan bahwa lebih dari 400 KK menghuni pulau tersebut, dan dari

catatan itu pula menyebutkan kalau penduduk di Kodingareng merupakan yang terpadat

di bandingkan dengan pulau-pulau sekitarnya. Pada kelompok-kelompok masyarakat

tertentu di pulau tersebut ditemukan masih merupakan kerabat. Walapun dalam

sejarahnya pulau Kodingareng pernah dihuni oleh beberapa kelompok etnis (Makassar,

Bajoe, Mandar dan Cina). Adapun sektor ekonomi atau mata pencaharian yang paling

utama adalah profesi sebagai nelayan.

Dari sekian banyak nelayan yang terdapat di pulau tersebut dari hasil penelitian

LPMA HUMAN juga menemukan sekitar 7 perahu yang beroperasi dengan

menggunakan Gae yang sampai saat ini digunakan masyarakat nelayan Kodingareng.

Nelayan yang menggunakan alat Gae dalam menetukan lokasi penangkapan ikan

kadang tidak menentu sehingga sebagian Pagae justru mengoperasikannya diluar

daerah seperti di Nusa tenggara bahkan sampai di kawasan laut Luwuk banggai, teluk

Bone. Hal inilah yang menyulitkan data kami mengidentifikasi lebih detail tentang

jumlah Pagae yang beropersi di pulau tersebut.

LAPORAN LDP - LPMA 2006 5

Page 6: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

Sistem Pengetahuan

1. Pengetahuan pelayaran.

Berkaitan dengan aktivitas pelayaran, masyarakat nelayan mutlak

membutuhkan pengetahuan-pengetahuan tentang musim-musim, kondisi cuaca,

arus laut atau kondisi dasar dan tanda-tanda alam lainnya untuk menentukan

waktu-waktu memulai pelayaran, kelancaran, keberhasilan, dan keselamatannya.

Nelayan dan pelayar memilki pengetahuan tentang dua musim utama, yaitu

musim barat dan musim timur yang menentukan waktu-waktu intensif atau

sepinya aktivitas pemanfaatan sumber daya alam laut oleh nelayan Pagae.

Pembagian dan karakterstik masing-masing pola musim tersebut, sebagai berikut :

Bulan 12 – 6 berlangsungnya musim baratdengan hujan lebat, angin

badai besar dengan arus kuat dari arah barat ke timur tidak atau kurang

memungkinkan aktivitas nelayan dan pelayaran rakyat.

Sebaliknya usim timur berlangsung antara bulan 7 – 12 di tandai

dengan angn dan arus agak lemah dari timur ke barat memeberikan

peluang besar bagi nelayan beroperasi secara intensif.

Dari musim barat ketimur ada musim beralihan berlangsung selama

kurang lebih 3 bulan. (bulan 5 – bulan 7) membawa angin denga

goncangan ombak kurang menetu tak henti-hentinya. Di beberapa

perairan terbukadi Indonesia bagian Timur, termasuk Sulawes Selatan

kecuali sebagian wilayah Teluk Bone, sulit di masuki selama musim

peralihan tersebut.

Mengenai perubahan musim, perubahan cuaca dan suhu, kondisi air laut,

konisi dasar, yang mempengaruhi (positif negatif) aktifitas pelayaran dan

eksploitasi sumber daya laut/perikanan, Nelayan Pagae misalnya berpedoman

pada perangkat pengetahuan mereka tentang tanda-tanda di laut dan angkasa

berupa kilat, awan hitam, bunyi kemudi perahu, cahaya laut, yang duhubungkan

dengan peristiwa atau hal datangnya angin kencang, adanya batu karang, dan

lain-lain sebagainya.

Khusus nelayan utamanya nelayan Pagae di Kodingareng, memiliki

pengetahuan berdasarkan pengalaman dan warisan pengetahuan mengenai kondisi

LAPORAN LDP - LPMA 2006 6

Page 7: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

dasar (dalam, dangkal, berpasir, berlumpur, berbatu-batu, rata, landai, curam) dan

kondisi air laut, terutama ombak dan arus. Pengetahuan seperti ini diperlukan bagi

pilihan penggunaan jenis ikan.

2. Pengetahuan tentang klasifikasi biota laut bernilai ekonomis.

Klasifikasi pengetahuan tentang biota laut bernilai ekonomi yang dimiliki nelayan

Pagae; Tembang, Sibula’, Katombo Banyara, ’Garonggong, Como-como,

Cakalang, Layang, Tenggiri dan lain sebagainya.

3. Pengetahuan tentang lokasi penangkapan dan letak rumah/kawanan ikan di laut.

Dari akumulasi pengalaman dan warisan generasi tua, nelayan di mana-mana

mempunyai pengetahuan tentang lokasi-lokasi ikan, bahkan letak rumah-rumah

ikan targetnya:

LAPORAN LDP - LPMA 2006 7

Page 8: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

Kognitif Map nelayan Pagae P. Kodingareng

4. Pengetahuan mengenai lingkungan sosial.

Kelompok-kelompok nelayan tentu di kelilingi oleh kelompok-kelompok

sosial dengan mana mereka berinteraksi, bekerjasama, atau bersaing

memperebutkan peluang-peluang penguasaan sumber daya dan pasar.

Pengetahuan tentang kondisi lingkungan sosial sekeliling tersebut digunakannya

untuk menyusun siasat bagi pengambilan keputusan/pilihan tindakan (choice

actions).

Struktur Organisasi

LAPORAN LDP - LPMA 2006 8

Page 9: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

Di Kodingareng, dimana terdapat komuniti-komuniti nelayan dikenal kelompok-

kelompok punggawa-sawi, yang menurut keterangan dari informan dari setiap desa

nelayan yang ada di Sulawesi Selatan dan di Pulau Kodingareng pada khususnya, hal

tersebut telah ada dan bertahan sejak ratusan tahun. Struktur inti/elementer kelompok

organisasi ini ialah ponggawa laut/juragan dan sawi-sawi. Punggawa berstatus pemimpin

pelayaran dan aktivitas produksi dan sebagai pemilik alat-alat produksi. Mereka memiliki

pengetahuan kelautan, penegtahuandan keterampilan manejarial, sementara sawi hanya

memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja/produksi semata. Bentuk

struktural lain terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami perkembangan jumlah unit

perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh punggawa laut/juragan tadi sebagai

akibat dari pengaruh Kapitalisme. Untuk mengembangkan mempertahankan eksistensi

usaha, maka ponggawa laut/juragan tidak ikut lagi memimpin pelayaran melainkan tetap

tinggal didarat/pulau mengusahakan perolehan pinjaman modal dari pihak lain, mengurus

biaya-biaya anggotanya yang beroperasi di laut dan lain-lain. Disinilah pada awalnya

muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut

punggawa darat. Untuk memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di laut, ponggawa

darat merekrut juraga-juragan baru menggantikan posisinya memimpin unit-unit usaha

yang sedang berkembang/meningkat jumlahnya. Para juragan/punggawa laut dalam

proses dinamika ini, sebagian lainnya masih bersatatus pemilik, sebagian hanyalah

berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang rekrut dari sawi-sawi

berbakat/potensil dkenal juga dengan istilah ponggawa caddi, sedangkan ponggawa besar

disebut punggawa lompo.

Antara Punggawa dan Sawi biasanya masih sekerabat, karean demikianlah dasar

untuk merekrut, seorang punggawa darat sebisa mungkin mengambil punggawa laut dari

kerabatnya sendiri. Setali tiga uang dengan punggawa laut juga melakukan hal yang sama

ketika merekrut sawi. Ada dua alasan untuk mempertahankan sistem perekrutan seperti

itu. Pertama, hubungan kekerabatan dianggap sebagai landasan kuat untuk membina

hubungan kerja. Kedua, memperkerjakan sanak saudara dianggap sebagai upaya agar

uang tidak lari kelur keluarga, maka ada kecenderungan membawa anak-anaknya sendiri.

Sekiranya tidak ada kerabat yang direkrut, mereka akan menawarkan posisi kepada

tetangga (orang diluar keluarga). Kendati kental kekerabatannya, hubungan itu tidak

LAPORAN LDP - LPMA 2006 9

Page 10: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

mempengaruhi tugas dan wewenang masing-masing. Seorang punggawa laut tidak

menganggap sawi sebagai bawahan begitu saja dan tidak memperlakukan mereka seperti

buruh. Sawi dianggap sebagai mitra kerja yang sejajar. Sawi bisa keluar dari unit perahu

yang di miliki seorang punggawa yang tidak jujur dalam pembagian hasil.

Perjanjian kerja antara punggawa dengan sawi dibuat secara lisan tanpa saksi, dan

tidak terikat dengan batas waktu walaupun demikian, mereka merasa benar-benar terikat

terhadap perjanjian tersebut. Misalnya seorang sawi yan berniat pindah ke kelompok

nelayan yang lain, ia harus minta ijin kepada punggawanya. Jika sawi tidak punya utang

terhadap punggawa, biasanya ia akan segera di ijinkan untuk pindah dan keluar dari

kelompok nelayan tempat ia bekerja selama ini, sebaliknya punggawa biasanya menerima

sawi yang ingin bergabung kembali ke kelompok nelayan semula.

Batasan kewenangan atau kekuasaan punggawa darat sebagai pemilik modal juga

terbatas. Misalnya, punggawa darat tidak mempunyai hak untuk menentukan hari melaut

atau menetukan lokasi penangkapan. Sebaliknya pemilik modal atau alat tangkap bisa

memberhentikan punggawa laut, seandainya terbukti malas atau culas alam bekerja.

(Muhammad Ridwan Alimuddin, 2005)

Pola hubungan (struktur sosial) menandai hubungan-hubungan dalam kelompok

ponggawa-sawi bak dalam bentuknya yang elementer (ponggawa/juragan-sawi) maupun

yang lebh kompleks (ponggawa darat-ponggawa laut-sawi) ialah hubungan patron-client:

dari atas bersifat servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal, sedangkan dari

bawah hubungan mengandung hubungan moral dan sikap-sikap ketaatan dan kepatuhan,

loyaltas, kejujuran dan tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain.

Dalam karakteristik personal pekerja yang berlaku pada konsep Pagae, dikenal

struktur Punggawa dan sawi dengan pembagian peran sebagai berikut:

• Punggawa, bertugas menjalankan kapal atau navigator, memberikan instruksi

kepada sawi, dan menetukan lokasi penangkapan

• Basnes, juru mesin/ mekanik yang menjalankan mesin motor penggerak kapal.

• Pappela assi, bertugas menurunkan dan menaikkan jaring sambil dirapikan, untuk

tugas seperti ini dibutuhkan 3 – 5 orang.

• Pappela batu, bertugas menurunkan dan menaikkan tumbera keatas kapal sambil

merapikannya untuk tugas seperti ini dibutuhkan 2 orang.

LAPORAN LDP - LPMA 2006 10

Page 11: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

• Pappela pato’, bertugas menaikkan dan menurukkan pato-pato.

• Pattiro juku, bertugas mendeteksi ikan-ikan dilaut

• Pa sampe, bertugas mengangkat ikan hasil tangkapan dari jaring

• Pa jama gae, bertugas memperbaiki gae yang rusak atau putus.

Teknologi Produksi

Gae menurut keterangan merupakan modifikasi dari Gae tawang (sejenis pukat

kecil). Oleh karena untuk menggerakkan bodi berkapasitas puluhan ton dengan

kecepatan tinggi ke lokasi-lokasi perikanan dalam yang jauh dari pantai serta mengangkat

jaring dari air mutlak di perlukan beberapa buah mesin berkekuatan tinggi. Ada gejala

bahwa gae akan menjadi cikal bakal perkembangan mekanisme armada perikanan laut di

Indonesia bagian Timur dimasa yang akan datang. Menurut keterangan dari beberapa

nelayan alat ini baru muncul dan mulai digunakan sekitar akhir tahun 1970-an atau awal

tahun 1980-an tetapi dengan ukuran yang lebih kecil dari pada yang sekarang. Gae

menurut keterangan merupakan modifikasi dari Gae tawang (sejenis pukat kecil) kalau

bukan hasil modifikasi dari panjak/jala lompo (payang). Ide pengembangan pukat

tradisional menjadi pukat raksasa sudah pasti merupakan akibat muncul dari treadopsinya

mesin dari berbagai jenis merek dan kekuatan. Dari keterangan masyarakat nelayan di

Pulau Kodingareng juga membenarkan bahwa di pulau tersebut memang pada awal tahun

1980-an telah mulai dikenal teknologi alat tangkap sejenis pukat cincin yang mereka

sebut dengan Gae.

Seperti halnya di berbagai desa-desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya,

motorisasi perahu-perahu penangkapan ikan di pulau Kodingareng dan pulau-pulau

sekitarnya baru mulai di tahun 1970 an. Mula-mula hanya beberapa orang nelayan

berstatue punggawa (pemilik alat-alat produksi)dan pemimpin aktivitas dilaut ) mampu

mengkredit motor dari pengusaha-pengusaha besar di kota Makassar. Introduksi inovasi

motor ke desa-desa nelayan melalui Dinas Perikanan, namun pengusaha/pedagang

besarlah, yang sebagian besar berkedudukan di kota memegang peranan penting dan

mempunyai akses meneruskan dan memperkenalkan secara luas inovasi tersebut kepada

masyarakat nelayan melalui para ponggawa darat dengan aturan/mekanisme kredit.

Menurut informasi pada mulanya semua unit motor yang masuk ke pulau-pulau atau desa

LAPORAN LDP - LPMA 2006 11

Page 12: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

nelayan hanya berukuran 4,5 – 10 pk, motor kecil dipasang di luar perahu (outboard

motor) dan samapi pada tahun-tahun 1990 an sebagian besar perahu nelayan sudah

menggunakan motor dalam berkekuata minimal 20 pk, perahu-perahu nelayan pengguna

gae bahkan rata-rata menggunakan mesin double berekekuatan 100-130 pk.

Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang membutuhkan

biaya-bioaya opersional yang terus menerus , maka ini harus difungsikan dengan

penggunaan alat-alat tangkap produktif. Di Sulawesi selatan diantara sekian banyak alat

tangkap tradisional masih digunakan nelayan, terdapat beberapa diantaranya lebih

berasosiasi dengan motor seperti misalnya dalam makalah ini adalah pukat Gae. Dapat

dikatakan bahwa adopsi inovasi motor juga dapat memberikan sumbangan kepada

pengembangan dan kontinyuiti teknologi tangkap tradisional tersebut, jadi bukanlah

memusnahkannya.

Gae atau rengge (Purce siene) adalah sejenis pukat paling besar dan produktif

dalam perikanan laut di Sulawesi selatan sampai sekarang ini. Berdasarkan keterangan

nelayan di pulau Kodingareng bahwa gae ini baru muncul dan digunakan pada awal-awal

tahun 1980 an tetapi degan ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan gae yang

digunakan pada saat sekarang ini.

Komponen alat tangkap satu buah Gae’

• Mata jaring yang terdiri dari dua jenis yakni, Gae Sipak (digunakan untuk

menjaring ikan berukuran kecil) dan gae Tawang (digunakan untuk menjaring

ikan berukuran besar dan kuat seperti ikan Tongkol dan tenggiri)

• Tumbera, berupa cincin yang terbuat dari timah dengan berat kurang lebih 1 kg.

digunakan sebagai pemberat Gae.

• Pato’, sejenis bola plastik yang digunakan untuk melampungkan sisi atas gae

dipermukaan laut (dikaitkan pada sisi panjang Gae)

• Tali kalong, tali pengait tumbera sekaligus sebagai tali yang ditarik keatas

menggunakan Gardang

• Arrisi pato, tali yang digunakan untuk mengikat Gae dengan Pato-pato

• Arrisi batu, tali yang digunakan untuk mengikat Gae dengan Tombera

• Bo’dong, pato induk yang berhubungan dengan ujung tali arrisi pato, yang

digunakan sebagai sebagai patokan pertama pada saat menurunkan gae.

LAPORAN LDP - LPMA 2006 12

Page 13: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

Teknik pengoperasian Gae:

1. Langkah pertama yang dilakukan ketika kapal tiba di daerah penangkapan adalah

mengukur kedalaman laut untuk disesuaikan dengan lebar Gae’

2. Lampu petromaks yang dipasang di dua sekoci dinyalakan, sementara mesin

kapal dimatikan. (aktivitas ini khusus dilakukan pada malam hari).

3. Berselang beberapa waktu, salah satu sawi yang berada diatas sekoci memberikan

tanda dengan menutup lampu menggunakan baskom berwarna merah.

4. Punggawa yang menerima tanda itu segera memerintahkam sawi untuk

memeriksa keadaan arus, menyalakan mesin kapal, mempersiapkan Gae untuk

diturunkan.

5. Bo’dong yang paling pertama diturunkan sebagai pangkal tali.

6. Pa’pela pato, pa’pela batu dan pa’pela assi secara bersamaan menebarkan gae ke

laut, dalam keadaan itu kapal sementara bergerak cepat melingkari sekoci yang

berada di tengah-tengah.

7. Bo’dong tetap disorot dan menjadi acuan agar gae melingkar dengan sempurna.

8. Setelah kapal melingkar dan mencapai pangkal (Bo’dong), Kedua tali ujung gae

dikaitkan ke kapal sementara Pa’pela batu segera menyalakan mesin gardang dan

mengaitkan tali batu (tumbera).

9. Secara perlahan sawi yang bertugas menarik gae ke atas kapal sambil menyisir

ikan yang tersangkut dijaring.

10. Sementara gae ditarik, sawi yang lain merapikan gae pada posisi semula dan sawi

lainnya bertugas mengumpulkan ikan yang telah didapatkan.

Jaringan Pemasaran Hasil Tangkapan

Seperti diketahui bahwa masyarakat nelayan adalah masyarakat yang sepenuhnya

bergantung kepada pasar, baik untuk keperluan penjualan hasil produksinya maupun

untuk memperoleh berbagai kebutuhan hidupnya. Lagi pula pemasaran hasil-hasil laut

sulit sekali dan tidak bisa ditunda-tunda. Berikut struktur jaringan pemasaran ikan yang

didapatkan nelayan pagae untuk jenis ikan segar.

LAPORAN LDP - LPMA 2006 13

Nelayan Pagae Pdg. Pengumpul/Pabalolang TPI

Page 14: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

• Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan untuk pemasarannya memiliki

mekanisme seperti jaringan, dalam hal ini setiap nelayan yang telah mendapatkan

hasil tangkapan biasanya dijual kepada pedagang pengumpul. Di Kodingareng da

pulau-pulau sekitarnya pada umumnya menyebutnya dengan istilah Pabalolang.

• Pabalolang merupakan profesi tersendiri dalam mekanisme pemasaran ikan.

Aktifitas sehari-harinya adalah berkeliling disekitar nelayan yang mencari ikan,

membeli an mengumpulkan hasil tangkapan langsung dari nelayan

• Tranksaksi antara nelayan dan pabalolang berlangsung di laut.

• Hasil tangkapan yang telah di beli Pabalolang selanjutnya dibawa ke Tempat

pelelangan ikan seperti di Paotere maupun di TPI Rajawali

BAB III

KESIMPULAN

LAPORAN LDP - LPMA 2006 14

Page 15: Laporan LDP -LPMA (Studi Antropologi

Penduduk nelayan di Indonesia pada umumnya menghuni daerah pesisir pulau-pulau

besar dan memenuhi pulau-pulau kecil yang sangat banyak jumlahnya. Mereka ini di

kategorikan sebagai nelayan karena sebagian besar ataus sepenuhnya

menggantungkan kehidupan ekonominya secara langsung atau tidak langsung pada

pemanfaatan sumberdaya perikanan laut, dengan mengantungkan beberapa tipe

perahu dan jenis-jenis alat/teknik eksploitasi sumber daya laut.

Pengetahuan yang menjadi landasan utama bagi nelayang dalam mengekplitasi

lingkungan laut. Yang diuraikan sebagai berikut :

1. Pengetahuan tentang pelayaran

2. Pengetahuan tentang biota laut yang bernilai ekonomis

3. Pengetahuan tentang lokasi tepat/rumah ikan

4. Pengetahuan tentang lingkungan sosial.

Pola hubungan (struktur sosial) menandai hubungan-hubungan dalam kelompok

ponggawa-sawi bak dalam bentuknya yang elementer (ponggawa/juragan-sawi)

maupun yang lebh kompleks (ponggawa darat-ponggawa laut-sawi) ialah hubungan

patron-client: dari atas bersifat servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal,

sedangkan dari bawah hubungan mengandung hubungan moral dan sikap-sikap

ketaatan dan kepatuhan, loyaltas, kejujuran dan tanggung jawab, pengakuan, dan lain-

lain.

Di Sulawesi selatan diantara sekian banyak alat tangkap tradisional masih digunakan

nelayan, terdapat beberapa diantaranya lebih berasosiasi dengan motor seperti

misalnya dalam makalah ini adalah pukat Gae. Dapat dikatakan bahwa adopsi inovasi

motor juga dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan dan kontinyuiti

teknologi tangkap tradisional tersebut, jadi bukanlah memusnahkannya.

Berikut struktur jaringan pemasaran ikan yang didapatkan nelayan pagae untuk jenis

ikan segar :

LAPORAN LDP - LPMA 2006 15

Nelayan Pagae Pdg. Pengumpul/Pabalolang TPI