laporan ketenagakerjaan indonesia 2017 - ilo.org · gambar 24. prospek bisnis jangka panjang di...

92
Memanfaatkan Teknologi untuk Pertumbuhan dan Penciptaan Lapangan Kerja International Labour Organization Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

Upload: dobao

Post on 13-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Memanfaatkan Teknologi untuk Pertumbuhan dan Penciptaan Lapangan Kerja

InternationalLabourOrganization

Laporan KetenagakerjaanIndonesia 2017

Page 2: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Organisasi Perburuhan Internasional Kantor ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste

Memanfaatkan Teknologi untuk Pertumbuhan dan Penciptaan Lapangan Kerja

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

Page 3: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

ii

Copyright © Organisasi Perburuhan Internasional 2017Cetakan Pertama 2017

Publikasi-publikasi Kantor Perburuhan Internasional memperoleh hak cipta yang dilindung oleh Protokol 2 Konvensi Hak Cipta Universal. Meskipun demikian, kutipan-kutipan singkat dari publikasi tersebut dapat diproduksi ulang tanpa izin, selama terdapat keterangan mengenai sumbernya. Permohonan mengenai hak reproduksi atau penerjemahan dapat diajukan ke ILO Publications (Rights and Permissions), Kantor Perburuhan Internasional , CH-1211 Geneva 22, Switzerland, or by email: [email protected] Kantor Perburuhan Internasional menyambut baik permohonan-permohonan seperti itu.

Perpustakaan, lembaga dan pengguna lain yang terdaftar dapat membuat fotokopi sejalan dengan lisensi yang diberikan kepada mereka untuk tujuan ini. Kunjungi www.ifrro.org untuk mengetahui organisasi pemegang lisensi di negara anda.

Laporan ini dipersiapkan oleh Owais Parray (ILO Jakarta) dengan kontribusi dari Dyah Retno Sudarto (Konsultan) dan Greg Yameogo (ILO Jakarta). Penulis menyampaikan rasa terima kasih terhadap Sara Elder dan Phu Huynh (Kantor Regional ILO Bangkok) untuk kajian dan masukan teknis mereka.

ISBN 978-92-2-030689-5 (print) 978-92-2-830888-4 (web pdf)

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017: Memanfaatkan Teknologi untuk Pertumbuhan dan Penciptaan Lapangan Kerja/Organisasi Perburuhan Internasional, Kantor Jakarta; ILO, 2017

xiv; 78 p.

Juga tersedia dalam Bahasa Inggris: Indonesia Jobs Outlook 2017: Harnessing technology for growth and job creation; ISBN: 978-92-2-030689-5 (print); 978-92-2-131450-9 (web pdf)/Kantor Perburuhan Internasional - Jakarta: ILO, 2017

ILO Katalog dalam terbitan

Penggambaran-penggambaran yang terdapat dalam publikasi-publikasi ILO, yang sesuai dengan praktik-praktik Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan presentasi materi yang ada di dalamnya tidak mewakili pengekspresian opini apapun dari sisi Kantor Perburuhan Internasional mengenai status hukum negara, wilayah atau teritori manapun atau otoritasnya, atau mengenai batas-batas negara tersebut.

Tanggung jawab atas opini-opini yang diekspresikan dalam artikel, studi, dan kontribusi lain yang ditandatangani merupakan tanggung jawab penulis, dan publikasi tidak mengandung suatu dukungan dari Kantor Perburuhan Internasional atas opini-opini yang terdapat di dalamnya.

Rujukan ke nama perusahaan dan produk komersil dan proses tidak menunjukkan dukungan dari Kantor Perburuhan Internasional, dan kegagalan untuk menyebutkan suatu perusahaan, produk komersil atau proses tertentu bukan merupakan tanda ketidaksetujuan.

Publikasi ILO dalam Bahasa Indonesia dapat diperoleh di website ILO (www.ilo.org/jakarta) dalam format digital. Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi kami di [email protected].

Dicetak di Indonesia

Page 4: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Ket

enag

aker

jaan

Indo

nesi

a 20

17

iii

Kata Pengantar

Kali ini kami menampilkan Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017: Memanfaatkan Teknologi untuk Pertumbuhan dan Penciptaan Lapangan Kerja. Sebelumnya laporan utama dari kantor ILO Jakarta ini dipublikasikan dengan judul lain: Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia. Pada tahun ini, konten dan struktur dari laporan sedikit berubah di mana dirasakan perlu untuk mengubah judul laporan guna merefleksikan perubahan.

Laporan ini memberikan analisis mendalam mengenai situasi ketenagakerjaan dan pekerja di Indonesia. Tren ketenagakerjaan dibahas dalam konteks kondisi perekonomian di Indonesia, di mana laporan ini melihat dari sisi transformasi struktural dan dampaknya terhadap pangsa pasar kerja.

Seperti yang terlihat dalam laporan ini, perubahan struktural di masa lalu menyebabkan diversifikasi ekonomi dan menciptakan lebih banyak kesempatan kerja. Namun, belakangan ini, kurang baiknya pertumbuhan manufaktur dan sektor lain yang bernilai tambah tinggi sedikit mengkhawatirkan.

Dilihat dari indikator pangsa pasar kerja selama dua dasawarsa terakhir, Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang cukup baik. Lebih banyak pekerja terlibat dalam pekerjaan yang produktif dan selama lima tahun terakhir tingkat pengangguran menurun secara signifikan.

Namun, tingkat pengangguran yang rendah juga tidak menutupi berbagai defisit dalam pangsa pasar kerja. Kendati pekerjaan yang rentan dan mereka yang bekerja di sektor informal menurun, masih terdapat pekerja dalam jumlah besar yang bekerja di pekerjaan dengan produktivitas rendah.

Selain melihat dari tren sebelumnya, laporan ini juga menganalisis implikasi dampak perkembangan teknologi yang sangat cepat terhadap pekerjaan. Kami percaya bahwa hal ini menjadi topik hangat yang dibahas dalam tingkat pembuat kebijakan.

Seperti digarisbawahi dalam laporan ini, teknologi dan pekerjaan senantiasa memiliki hubungan yang saling simbiosis. Di masa lalu, perubahan teknologi seiring dengan waktu menciptakan pekerjaan dan industri baru. Dengan kata lain, teknologi menjadi katalis dari pertumbuhan.

Namun, peningkatan teknologi dan produktivitas juga menghilangkan pekerjaan. Dalam sejarahnya, disrupsi teknologi pada pangsa pasar kerja biasanya tidak berlangsung lama dan seringkali disertai dengan pertumbuhan sektor dan industri yang baru.

Keprihatinan terhadap perkembangan teknologi yang kita alami sekarang adalah pesatnya laju perkembangan teknologi saat ini. Selain itu, perekonomian global tidak bertumbuh secapat pertumbuhan sebelum krisis ekonomi global pada 2008. Laporan ini mencoba membahas beberapa faktor dibalik perubahan ini dan apa yang dapat dilakukan untuk melindungi pekerjaan serta memanfaatkan teknologi untuk menstimulasi pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia.

Saya harap laporan ini dapat menjadi landasan dialog nasional yang sedang berjalan mengenai “Pekerjaan Masa Depan”. ILO tetap berkomitmen untuk mendukung proses ini dan menjalin kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan di Indonesia untuk mempromosikan pekerjaan yang layak di Indonesia.

Akhir kata, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Owais Parray yang merupakan penulis utama laporan ini. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Greg Yameogo, ILO Jakarta dan Dyah Retno Sudarto, konsultan ILO, yang berkontribusi dalam menyiapkan laporan ini.

Page 5: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

iv

Pendapat yang berharga juga dikontribusikan oleh Sara Elder dan Phu Huynh dari kantor Regional ILO di Bangkok. Juga ucapan terima kasih kepada Grace Halim, Tendy Gunawan dan Gita Lingga dari Kantor ILO Jakarta untuk bantuannya dalam memproduksi laporan ini.

Michiko MiyamotoDirektur Kantor ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste

Page 6: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Ket

enag

aker

jaan

Indo

nesi

a 20

17

v

Daftar Isi

Kata Pengantar iii

Daftar Isi v

Daftar Gambar vi

Daftar Tabel vii

Ringkasan Eksekutif ix

1. Pendahuluan 1

2. Kondisi Perkembangan Ekonomi 3

3. Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan 7

4. Siapa yang Dipekerjakan 13

5. Memahami Pengangguran 23

6. Kaum Muda, Ketenagakerjaan dan Ketidakaktifan 27

7. Teknologi, Produktivitas dan Pekerjaan 31

7.1 Berkah untuk Penciptaan Lapangan Kerja? 32

7.2 Ancaman terhadap Pekerjaan? 34

7.3 Memandang ke Depan: Teknologi dan Perusahaan 36

7.4 Menuju Ekonomi yang Didorong oleh Teknologi 45

8. Tantangan Keterampilan di Indonesia 49

8.1 Populasi Usia Kerja dan Angkatan Kerja 49

8.2 Angkatan Kerja dan Pendidikan 52

8.3 Kesenjangan Keterampilan 54

9. Kesimpulan 59

10. Rekomendasi 61

Referensi 63

Lampiran 67

Lampiran 1. Ketidaksesuaian & Pengukuran Keterampilan 67

Lampiran 2. Perbandingan Survei Tenaga Kerja 2006 dan 2016 69

Page 7: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

vi

Daftar Gambar

Gambar 1. Pertumbuhan PDB tahunan (persen) 2010-2016 5Gambar 2. Proporsi belanja dalam PDB GDP 2010-2016 5Gambar 3. Proporsi Sektor pada PDB (%) 7Gambar 4. Proporsi sektor terhadap PDB dan proporsi ketenagakerjaan terhadap

PDB dalam persentase 8Gambar 5. Pertumbuhan Sektor dalam PDB dan ketenagakerjaan 1991-2016 9Gambar 6: Perubahan rasio ketenagakerjaan terhadap populasi berdasarkan jenis kelamin dan

kelompok usia, 2006 & 2016 13Gambar 7. Jumlah dalam ribuan (LHS) dan persen (RHS) orang yang

dipekerjakan per sektor (2006 & 2016) 14Gambar 8. Status ketenagakerjaan pada 2006 dan 2016 15Gambar 9. Pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, 2006 dan 2016 16Gambar 10. Bekerja dengan pekerjaan kedua, 1996-2016 17Gambar 11. Jumlah total (LHS) dan persen (RHS) mereka yang memiliki

pekerjaan kedua berdasarkan jenis pekerjaan (2016) 18Gambar 12. PDB per kapita (LHS) dan rata-rata upah bulanan (RHS)berdasarkan provinsi 19Gambar 13. Proporsi ketenagakerjaan (LHS) berdasarkan sektor yang luas di empat provinsi

dengan angka pengangguran yang tinggi (RHS) 2016 24Gambar 14. Provinsi dengan tingkat pengangguran (kiri) lebih rendah dari rata-rata

nasional dan proporsi (kanan) pekerjaan berdasarkan sektor perekonomian yang lebih luas (2016 25

Gambar 15. Jumlah pengangguran (RHS) dan bekerja (LHS dalam %) di kalangan muda berdasarkan latar belakang pendidikan (2016) 28

Gambar 16. Angka pengangguran muda pada 2006 & 2016 28Gambar 17. NEET (%) pada negara terpilih di Asia Tenggara untuk tahun terakhir

yang tersedia 29Gambar 18. Angka (LHS) dan proporsi (RHS dalam %) NEET berdasarkan pendidikan 30Gambar 19. Penurunan pekerjaan tingkat menengah yang melibatkan tugas rutin 35Gambar 20. Tindakan yang dilakukan perusahaan berdasarkan a) Perbandingan dengan

ASEAN, b) sektor, c) ukuran dan d) usia 37Gambar 21 . Hambatan peningkatan kecanggihan teknologi berdasarkan a) Perbandingan

dengan ASEAN, b) sektor, c) ukuran dan d) usia 38Gambar 22. Mempekerjakan berbagai jenis pekerja dibandingkan dengan negara ASEAN

lain, sektor dan ukuran 39Gambar 23. Kondisi yang mendasari perekrutan pekerja migran, lepas, atau jarak jauh 40Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor dan b) ukuran 42Gambar 26. Dampak teknologi terhadap kinerja usaha 43Gambar 27. Dampak teknologi terhadap kinerja bisnis berdasarkan a) sektor dan b) besarnya

perusahaan 43Gambar 28. Dampak teknologi berdasarkan kinerja bisnis berdasarkan ukuran perusahaan 44

Page 8: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Ket

enag

aker

jaan

Indo

nesi

a 20

17

vii

Gambar 29. Dampak integrasi ekonomi ASEAN berdasarkan a) sektor dan b) ukuran 45Gambar 30 Tingkat partisipasi angkatan kerja berdasarkan usia dan jenis kelamin

(1996 dan 2016) 50Gambar 31: Kesenjangan gender perempuan pada tingkat partisipasi angkatan kerja (LFPR)

di provinsi Indonesia 51Gambar 32: Tingkat partisipasi angkatan kerja di beberapa negara terpilih di Asia 51Gambar 33: Angkatan kerja berdasarkan pendidikan 52Gambar 34. Jurusan studi di kalangan mahasiswa dan siswa vokasional 53Gambar 35. Sektor pekerjaan yang diinginkan berdasarkan a) gender dan b) kualifikasi 54Gambar 36. Pekerjaan dan keterampilan, 2006 dan 2016 55Gambar 37. Tren pendidikan berlebih dan kurang di Indonesia antara tahun 2006 dan 2016 57Gambar 38. Kejadian pendidikan berlebih dan kurang berdasarkan usia 58

Daftar Tabel

Tabel 1. Pertumbuhan nilai tambah berdasarkan sektor dan ketenagakerjaan 10

Tabel 2. Perkiraan elastisitas ketenagakerjaan menggunakan OLS 11

Tabel 3. Proporsi pekerjaan rentan (persen) 15

Tabel 4. Proporsi kerentanan dalam jumlah pekerja secara keseluruhan (persen) 16

Tabel 5. Rata-rata pendapatan bulanan, laki-laki dan perempuan berdasarkan sektor dan kesenjangan upah berdasarkan gender, 2016 19

Tabel 6. Rata-rata pendapatan berdasarkan latar belakang pendidikan, laki-laki dan perempuan, 2016 20

Tabel 7. Hasil regresi gender dan upah 21

Tabel 8. Rata-rata jumlah tahun pendidikan mereka yang bekerja dan deviasi standar berdasarkan kelompok pekerjaan 56

Tabel 9. Pendidikan berlebih dan kurang berdasarkan jenis kelamin dan kota/desa 57

Page 9: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

viii

Page 10: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Ket

enag

aker

jaan

Indo

nesi

a 20

17

ix

Ringkasan Eksekutif

DALAM edisi “Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017” ini, kami menganalisa tren ekonomi dan ketenagakerjaan di Indonesia. Kami juga menggali potensi dampak dari gelombang perubahan teknologi saat ini terhadap pekerjaan di masa yang akan datang. Pada beberapa tahun terakhir, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) secara teratur menerbitkan “Laporan Tren Sosial dan Ketenagakerjaan Indonesia”. Perubahan judul dirasakan perlu sehingga dapat menggambarkan isi laporan secara lebih baik lagi.

Indonesia berhasil menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil di mana di dalam lingkungan ekonomi global disebut sebagai kondisi “normal yang baru”1, yang merupakan periode di mana pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibandingkan periode sebelum krisis finansial global pada 2008. Harga komoditas mengalami pemulihan dan meningkat secara baik. Sebagai salah satu negara besar penghasil komoditas di dunia, meningkatnya harga komoditas, kendati sedikit, akan mendorong ekspor Indonesia dan menjadi pendorong utama bagi perekonomian Indonesia.

Untuk menyesuaikan dengan situasi global dan membantu negara mengurangi ketergantungan terhadap komoditas, pemerintah Indonesia telah meluncurkan beberapa reformasi untuk meningkatkan iklim bisnis dan investasi. Sebanyak 15 paket kebijakan ekonomi dan bisnis diluncurkan dengan tujuan meningkatkan daya saing Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemerintah mengalokasikan dana/anggaran yang lebih besar untuk infrastruktur, di mana jika terwujud, dapat meningkatkan konektivitas dan mengurangi biaya bagi dunia usaha.

Melihat sejarah ke belakang, Indonesia dianggap sebagai contoh negara yang memiliki pengalaman mengalami pertumbuhan yang seimbang, setidaknya hingga krisis keuangan Asia pada 1997. Di masa lalu, perubahan struktur pada perekonomian Indonesia dapat dilihat dengan meningkatnya nilai tambah, penciptaan lapangan kerja dan produktivitas tenaga kerja. Analisis kami menunjukkan bahwa transformasi struktural di masa lalu memainkan peran penting dalam mendorong peningkatan produktivitas lintas sektor maupun dalam sektor itu sendiri. Pekerjaan yang diciptakan pada sektor non-pertanian tidak hanya menghadirkan peluang bagi mereka yang baru masuk ke dunia kerja, namun juga mengurangi ketergantungan pada pertanian. Sebelum krisis tahun 1997, sektor manufaktur Indonesia bertumbuh dengan pesat sejalan dengan pertumbuhan lapangan kerja.

1 Istilah ini dipergunakan Mohamed A. El-Erian, Kepala PIMCO, yang mempertanyakan pendapat yang mengatakan bahwa setelah krisis keuangan 2007-2008, perekonomian industri akan kembali ke tingkat pertumbuhan sebelumnya yang dipandang sebagai epi-sode yang tidak wajar.

Page 11: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

x

Periode antara tahun 2006 dan 2016 merupakan periode di mana sektor jasa menjadi sektor yang bertumbuh pesat pada perekonomian, mencapai 7 persen pertumbuhan per tahun.2 Kendati banyak teori alternatif mengenai komposisi sektor yang akan mengalami perubahan ketika suatu negara mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi, biasanya sektor manufakturlah yang membuka jalan bagi industrialisasi dan pembangunan ekonomi. Hampir semua negara maju mencapai industrialisasi melalui ekspansi sektor manufaktur dan kemudian menyusul pertumbuhan sektor jasa yang bernilai tinggi.

Dengan mempertimbangkan produktivitas pada sektor jasa yang relatif lebih rendah (USD 8,079) dibandingkan dengan sektor manufaktur (USD 14,282),3 pelambanan pertumbuhan sektor manufaktur yang bahkan sering disebut sebagai kondisi “deindustrialisasi” tidak terlalu baik dampaknya untuk ketenagakerjaan. Kendati pada kondisi absolut jumlah orang yang dipekerjakan pada sektor manufaktur lebih besar, jumlah tenaga kerja di sektor ini hanya meningkat sedikit menjadi 13,1 persen pada 2016 dibandingkan dengan kondisi tahun 2006 ketika kondisinya 12,5 persen.4 Sektor jasa dan perdagangan kini mempekerjakan 46,7 persen dari total pekerja.

Pada 2017 angka pengangguran terus menurun hingga 5,3 persen5 dari 11,2 persen pada 2015. Namun, angka pengangguran yang relatif rendah ini tidak menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh perekonomian dalam menciptakan lapangan kerja dalam jumlah yang cukup dan layak. Masih ada kesenjangan dalam kondisi ketenagakerjaan terkait dengan produktivitas, kualitas kerja, gender dan disparitas yang terjadi antar provinsi. Banyak pekerja yang melakukan pekerjaan dengan produktivitas rendah, seperti yang terlihat pada sangat tingginya proporsi pekerja yang melakukan pekerjaan rentan (30,6 persen). Bila angka ini ditambahkan dengan jumlah pekerja tidak tetap dan pekerja lepasan, maka angka pekerjaan yang rentan meningkat hingga 57,6 persen. Persentase ini bahkan lebih tinggi lagi di kalangan pekerja perempuan (61,8 persen).6

Jika dibandingkan dengan kondisi pada 1996, jumlah pekerja dan pencari kerja yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi di pasar kerja cukup besar. Namun secara proporsional masih rendah. Terlebih lagi, jumlah perempuan dalam angkatan kerja masih relatif lebih sedikit. Bahkan angka partisipasi pasar kerja perempuan tidak mengalami perubahan signifikan sejak tahun 1996, sebesar 50,6 persen, jika dibandingkan dengan angka pada 2016 (50,8 persen). Kendati mengalami penurunan, angka pengangguran muda masih sangat tinggi (19,4 persen). Tren yang juga sama-sama mengkhawatirkan adalah jumlah angkatan muda yang tidak bekerja maupun mengikuti pelatihan (NEET). Proporsi NEET di Indonesia relatif tinggi (23,2 persen), dan bahkan tertinggi di kawasan Asia.

Seiring dengan kemajuan yang dialami Indonesia, sama halnya dengan perekonomian lain yang mengalami kemajuan dan industrialisasi, Indonesia dihadapkan dengan gelombang kemajuan teknologi yang sangat cepat yang akan membentuk perekonomian dan pekerjaan di masa depan. Kekuatan teknologi termasuk digitalisasi dan otomatisasi terus bertumbuh dan mengubah pola produksi, distribusi dan konsumsi. Di Indonesia, terdapat banyak pandangan yang berbeda dalam menyikapi bagaimana teknologi memengaruhi perusahaan dan pekerjaan.

Beberapa memandang teknologi memainkan perannya sebagai “perusak kreativitas” untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan. Menurut pandangan ini, meskipun beberapa pekerjaan awalnya akan menghilang, pekerjaan yang baru dan lebih baik akan muncul, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pandangan ini berawal dari tren masa lalu di mana penggunaan

2 Penghitungan staf ILO mempergunakan neraca nasional BPS 3 Penghitungan staf ILO mempergunakan angka bernilai tambah PDB dari pangkalan data Bank Dunia dan angka ketenagakerjaan

sektoral dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2016.4 Penghitungan staf ILO mempergunakan data mikro Sakernas.5 Angka ini dari Sakernas 2017, edisi Februari. Dalam laporan ini, hanya Sakernas dari seri Agustus yang dipergunakan mengingat

jumlah sampelnya yang lebih besar dan untuk menjaga konsistensi saat melakukan perbandingan. 6 Penghitungan ILO mempergunakan Sakernas 2016.

Page 12: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

xi

teknologi memang mengurangi kebutuhan akan intervensi manusia, namun pada saat yang bersamaan juga menciptakan pekerjaan dan industri baru. Dengan kata lain, teknologi justru melengkapi, bukan meniadakan tenaga kerja.

Di Indonesia, kita bisa melihat pertumbuhan perangkat daring (platform online) yang sangat pesat menciptakan peluang untuk e-dagang, layanan sesuai permintaan dan transportasi. Pasar digital semakin mendekatkan pembeli, penjual dan bahkan calon pekerja dan pemberi kerja. Sepertinya peluang kerja baru yang dihasilkan dari penggunaan teknologi jauh lebih menyebarluas pada sektor perdagangan dan jasa. Sangat mungkin bahwa perkembangan ini dapat berkontribusi pada penurunan angka pengangguran di Indonesia. Namun tanpa data terinci mengenai jenis pekerjaan dan sub-sektor, yang sangat sulit untuk didapat, hampir tidak mungkin untuk memverifikasi dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja.7

Tren yang sedang terjadi di Indonesia adalah meningkatnya jumlah orang yang terhubung ke ruang digital yang utamanya terjadi melalui gawai yang mereka gunakan sehari-hari. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan pengguna internet dan besarnya populasi pengguna media sosial, maka Indonesia berada di tempat yang paling pas untuk merasakan manfaat dari revolusi digital. Namun, karena masih kurangnya infrastruktur fisik terutama di luar Jawa dan Bali, investasi pada bidang penelitian dan pengembangan yang rendah, Indonesia masih menghadapi tantangan yang sangat besar. Dalam hal kesiapan teknologi, Indonesia berada di peringkat yang sangat rendah (80) dalam Indeks Daya Saing Global (CGI), jauh lebih rendah dari peringkatnya di tingkat global pada 2017 (36).8

Secara historis, peningkatan mutu dengan menggunakan teknologi penting untuk menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan dan pembangunan perekonomian. Dalam hal ini, perdebatan antara teknologi dan pekerjaan bukanlah hal baru. Namun gelombang kemajuan teknologi terjadi dengan kecepatan yang jauh lebih besar. Kecerdasan buatan, internet-of-things, cetak 3D, merupakan sebagian kecil dari teknologi-teknologi baru yang mengalami peningkatan dan mencapai satu tahap di mana semua teknologi tersebut akan mencapai tahap komersial di masa yang akan datang. Tak diragukan lagi, hal ini akan memberikan dampak yang besar terhadap proses produksi dan cara kita bekerja.

Pandangan yang agak sedikit bertentangan mengenai pekerjaan dan teknologi adalah kedua hal ini saling berlawanan. Dan, tak lama lagi sejumlah besar pekerjaan yang dilakukan manusia akan hilang. Beberapa studi menunjukkan bahwa beberapa pekerjaan yang bersifat rutin menghadapi ancaman terbesar dari otomatisasi dan mesin. Menurut perkiraan ILO lebih dari 60 persen pekerjaan yang berbayar di Indonesia menghadapi risiko ini.9 Pekerjaan pun akan mengalami polarisasi yang sangat tinggi, dalam hal ini hanya terkonsentrasi pada pekerjaan dengan keterampilan sangat tinggi dan keterampilan rendah. Pekerjaan yang memiliki fungsi repetitif yang dapat diterjemahkan ke dalam algoritma atau dapat dipelajari oleh mesin akan menjadi kuno dan punah.

Kita dapat berasumsi bahwa setidaknya untuk saat ini penggunaan teknologi oleh perusahaan akan mendatangkan implikasi yang besar untuk ekonomi yang mengalami industrialisasi. Argumennya adalah negara berkembang masih memiliki waktu yang lama untuk mencapai kemajuan teknologi yang terdepan. Dalam jangka pendek, bagi perusahaan yang ada di negara berkembang akan jauh lebih ekonomis mempekerjakan tenaga kerja dibandingkan mesin yang akan menghemat jumlah tenaga kerja, di mana mesin/tekonologi itu biasanya membutuhkan investasi awal yang lebih besar.

Namun, perkembangan terkini menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan masa lalu, difusi teknologi terjadi jauh lebih cepat daripada sebelumnya. Dan ini terjadi dengan semakin berkurangnya biaya dan membuat teknologi tersedia secara komersial. Ini artinya negara berkembang mungkin

7 Mikro data dari 2016 memiliki disagresasi pekerjaan di tingkat 2 angka.8 Laporan Daya Saing Global 2016-2017, World Economic Forum.9 ILO, ASEAN dalam Transformasi 2016.

Page 13: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

xii

hanya mengalami waktu tunda yang lebih pendek. Yang menarik adalah dalam beberapa tahun terakhir penjualan robot industrial semakin meningkat di negara-negara seperti Indonesia. Menurut survei, jumlah perusahaan di Asia Tenggara yang berencana untuk meningkatkan kualitas teknologi yang mereka gunakan semakin besar.10 Bahkan di beberapa tempat terdapat kekhawatiran bahwa sektor manufaktur Indonesia cukup rentan terhadap teknologi dan otomatisasi. Penting untuk dicatat di sini bahwa jauh sebelum gelombang digitalisasi mulai, Indonesia sudah mulai kehilangan pegangan pada sektor manufaktur.

Meskipun terdapat ketidaksepakatan mengenai bagaimana teknologi membentuk pekerjaan di masa yang akan datang, sebagian besar setuju bahwa peningkatan kualitas keterampilan sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan di masa yang akan datang. Selama lebih dari dua dasawarsa terakhir, kita dapat melihat peningkatan pendidikan para pekerja Indonesia, namun banyak yang masih memiliki kualifikasi pendidikan rendah dan produktivitas tenaga kerja yang rendah, terutama di kalangan usaha kecil. Ada kesenjangan keterampilan yang harus ditangani, karena bila tidak maka pembangunan masa depan Indonesia akan menghadapi risiko. Untuk memastikan bahwa teknologi merupakan berkah bagi perekonomian dan ketenagakerjaan di Indonesia, laporan ini menawarkan beberapa rekomendasi.

1. Indonesia butuh “gelombang kedua” transformasi struktural. Indonesia harus beranjak dari ketergantungannya pada industri ekstraktif dan menciptakan sumber pertumbuhan baru pada sektor manufaktur dan jasa dengan nilai tinggi. Teknologi dapat digunakan sebagai katalis untuk mempercepat gelombang baru transformasi struktural. Indonesia harus mengupayakan kebijakan yang pro ketenagakerjaan, pemerintah dapat menyesuaikan dukungannya dengan menghidupkan kembali sektor manufaktur maupun pertumbuhan industri baru dan kreatif.

2. Di dunia yang terglobalisasi, menolak menggunakan teknologi dalam proses produksi mungkin sulit, atau bahkan tidak mungkin. Penggunaan teknologi yang lebih baik seharusnya menjadi cara untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi. Tidak dapat dielakkan lagi penggunaan teknologi baru seperti digitalisasi dan mesin untuk melakukan beberapa tugas tertentu dalam jangka panjang akan menimbulkan gangguan dalam pasar kerja, termasuk hilangnya pekerjaan. Karenanya kebijakan publik menjadi penting. Kebijakan dan program pasar kerja yang aktif dapat dimulai sehingga memungkinkan masyarakat mempelajari keterampilan baru, membantu mereka dalam mendapatkan pekerjaan, dan menyediakan insentif bagi perusahaan-perusahaan agar mau berinvestasi pada sumber daya manusia (SDM).

3. Terkait dengan hal tersebut, investasi publik dalam bidang pengembangan keterampilan harus dilanjutkan karena diperlukan. Indonesia sudah menghabiskan 20 persen dari anggarannya untuk pendidikan. Meskipun belanja pendidikan mengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir, namun kualitas pendidikan dan pencapaian pembelajaran para siswa masih belum bisa dikatakan mencapai tingkat yang memuaskan. Dengan pasar tunggal ASEAN, ada kebutuhan mendesak untuk memastikan investasi bidang pendidikan berkaitan erat dengan hasil keluarannya. Pendidikan dan pembelajaran tidak boleh terbatas hanya pada lembaga akademik, namun harus menjadi bagian yang menyatu dengan tempat kerja. Budaya pembelajaran seumur hidup harus dilembagakan sehingga para pekerja dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dalam pasar kerja.

4. Dengan jumlah populasi kaum muda yang besar, banyak orang Indonesia yang sangat terbuka terhadap teknologi. Jumlah pengguna internet yang cukup sering menggunakan media sosial sangat besar. Konektivitas menjadi penting bagi mereka yang tinggal di pulau-pulau terluar Indonesia di mana akses masih menjadi masalah. Membawa lebih banyak orang masuk dalam dunia digital tak dapat diragukan lagi akan memicu inovasi, mendorong penggunaan media pembelajaran baru

10 Ibid

Page 14: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Ket

enag

aker

jaan

Indo

nesi

a 20

17

xiii

dan membuka jalan bagi perusahaan kecil dan pengusaha muda. Peluang bisnis bisa datang dalam bentuk penetrasi pasar yang lebih besar dan menggalang modal melalui portal daring.

5. Seiring dengan perubahan dalam pasar kerja dan pertumbuhan perekonomian yang dikenal sebagai ‘gig economy’ ini, sistem tata kelola ketenagakerjaan juga harus ditinjau ulang. Dalam hal ini, dialog mengenai standar kerja di kalangan pemangku kepentingan harus dimulai oleh para pemangku kepentingan utama. Misalnya pemerintah, pengusaha sektor swasta, perwakilan pekerja dan organisasi masyarakat sipil lain yang mewakili kaum muda yang akan paling terkena dampak di masa yang akan datang. Terlebih lagi, cakupan jaminan sosial juga harus mengikutsertakan jenis-jenis pekerjaan di luar standar. Sistem yang sederhana dan mudah digunakan bagi para pekerja mandiri atau kelompok yang memiliki pilihan-pilihan pembiayaan yang inovatif harus digali lebih lanjut sehingga bisa memperluas cakupan.

6. Indonesia harus memikirkan kembali kerangka jaminan sosial yang ada. Negara ini sudah menghabiskan sejumlah besar sumber daya publik untuk transfer sosial termasuk bantuan tunai dan non-tunai bagi rakyat miskin. Meskipun skema jaminan sosial bisa memberikan dukungan sementara bagi pengangguran, akan ada di antara mereka yang memerlukan waktu lebih lama untuk kembali bangkit. Secara global gagasan mengenai pendapatan dasar universal (universal basic income) menjadi salah satu pilihan dalam memberikan jaringan pengaman sosial bagi para pekerja dari risiko kehilangan pekerjaan. Ini adalah sesuatu yang dapat didalami lebih lanjut.

Page 15: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

xiv

Page 16: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Ket

enag

aker

jaan

Indo

nesi

a 20

17

1

Pendahuluan

1

EDISI laporan “Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017” kali ini melihat situasi ekonomi dan ketenagakerjaan di Indonesia. Laporan ini juga memberikan sintesa dari perdebatan yang berlangsung mengenai dampak kemajuan teknologi dalam proses produksi dan ketenagakerjaan. Sejak tahun 2008, Kantor ILO di Jakarta secara teratur menerbitkan laporan utama berjudul “Tren Sosial dan Ketenagakerjaan di Indonesia”. Selain memberikan gambaran terkini dan menyeluruh mengenai pasar kerja yang ada di Indonesia bagi pembaca, masing-masing laporan berfokus pada tema khusus untuk menyoroti topik tertentu. Tujuan dari laporan ini adalah memberikan wacana kebijakan nasional, mendorong terciptanya diskusi-diskusi dan membantu membentuk kebijakan dan program ekonomi dan ketenagakerjaan di negara ini.

Laporan kali ini juga melanjutkan tradisi tersebut. Perubahan dalam judul dirasa perlu sehingga bisa lebih mewakili isi dari laporan ini. Laporan-laporan sebelumnya biasanya menampilkan bab mengenai tren masa lalu dan saat ini serta bab lain mengenai tema terpilih. Pada laporan kali ini, kami berupaya untuk mengintegrasikan keduanya sehingga bisa menghadirkan narasi yang berkelanjutan di mana analisis tren juga bisa menghadirkan konteks untuk tema terpilih.

Tema-tema sebelumnya meliputi produktivitas melalui kerja layak (2014-2015), peran kerja layak dalam pertumbuhan yang adil (2013), bekerja untuk perekonomian yang berkelanjutan dan adil (2012), mendorong pertumbuhan yang mendatangkan banyak lapangan kerja di provinsi (2011), menerjemahkan pertumbuhan ekonomi menjadi penciptaan lapangan kerja (2010), pemulihan dan keberlanjutan melalui kerja layak (2009), dan menuju pertumbuhan yang kaya akan lapangan kerja (2008).

Di tataran global, “pekerjaan masa depan” menjadi salah satu isu kebijakan penting dalam wacana pembangunan. ILO menjadi yang terdepan dalam menjadi penengah perdebatan ini dan membantu pemangku kepentingan dalam memformulasikan kebijakan dan solusi yang berpusat pada ketenagakerjaan untuk masa depan. Di Indonesia, sejumlah konsultasi nasional menjadi dasar dalam memilih tema laporan ini. Tujuan dari dialog-dialog tersebut adalah mengidentifikasi tindakan-tindakan untuk mengurangi gangguan pada pasar kerja dan memastikan bahwa diadopsinya teknologi dapat membuahkan hasil dan kesejahteraan yang lebih baik untuk Indonesia.

Pada November 2016, sebuah dialog diselenggarakan untuk membahas implikasi pasar kerja karena Indonesia menuju perekonomian dengan karbon rendah. Dialog nasional mengenai “pekerjaan masa depan” yang berfokus pada digitalisasi dan ketenagakerjaan diselenggarakan pada April 2017. Dialog ini memberikan peluang untuk memperjelas pandangan dari berbagai pemangku kepentingan. Beberapa

Page 17: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

2

ahli diundang untuk menjelaskan mengenai kemunculan teknologi baru, perubahan yang diamati dalam perekonomian dan pasar kerja.

Dengan melambannya perekonomian, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan menjadi prioritas utama pemerintah. Pemerintah saat ini telah melakukan reformasi kebijakan dengan tujuan meningkatkan iklim investasi dan menstimulasi pertumbuhan. Belanja infrastruktur diprioritaskan untuk meningkatkan konektivitas di seluruh Indonesia. Indonesia juga berupaya meningkatkan investasi publik dan swasta untuk menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang akan masuk angkatan kerja.

Laporan kali ini berfokus pada dimensi kebijakan yang penting dalam wacana publik. Sangat penting bagi Indonesia untuk merefleksikan bagaimana ekonomi mengalami perubahan di masa depan dan bagaimana merespons perubahan teknologi, dan apa yang bisa dilakukan oleh kebijakan publik dalam membentuk arahan yang menghasilkan manfaat pembangunan yang lebih besar. Meskipun tema dari laporan ini lebih melihat ke masa depan, laporan ini juga membahas mengenai perubahan struktural di masa lalu sehingga bisa memahami lebih baik kondisi ekonomi dan pasar kerja saat ini. Data mengenai adopsi teknologi di tingkat perusahaan sangat terbatas, sehingga tidak diragukan membuat analisis menjadi sangat terbatas, namun di luar itu semua dan sedapat mungkin, laporan ini mengandalkan literatur dan studi yang menggali hubungan antara ketenagakerjaan dan teknologi.

Pembuatan laporan ini dilakukan ILO Jakarta dengan bantuan tinjauan kajian para ahli di Kantor Regional ILO di Bangkok. Sumber data untuk laporan ini termasuk statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data juga didapatkan dari pangkatan data global misalnya ILOSTAT dan World Bank Open Data yang dimiliki oleh ILO dan Bank Dunia. Data mikro dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) didapatkan dari BPS yang kemudian diproses dan dianalisis oleh staf ILO. Pada banyak kasus definisi standar internasional digunakan untuk menghitung indikator tenaga kerja dan ketenagakerjaan. Namun bisa saja angka yang dilaporkan berbeda-beda dari angka yang dipublikasikan oleh laporan atau laman BPS. Untuk memastikan perbandingan yang tepat, hanya data bulan Agustus pada Sakernas yang digunakan.

Laporan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Kami melihat terlebih dahulu kondisi ekonomi, kemudian diikuti dengan analisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Dalam bagian ini kami telah memperkirakan elastisitas pertumbuhan pekerjaan menurut sektor yang berbeda-beda. Setelah itu kami melihat tren selama satu dasawarsa terakhir (2006-2016) dan di beberapa kasus selama dua dasawarsa (1996-2016). Analisis tren mencakup beberapa indikator ketenagakerjaan dan tenaga kerja.

Sayangnya, perubahan dalam cara data dikumpulkan dan dikodifikasi untuk Sakernas membuat perbandingan antara 1996 dan 2016 menjadi lebih sulit. Setelah bab mengenai tren, kita membahas perubahan teknologi terkini dan dampaknya terhadap pasar global maupun Indonesia. Bab ini berisi sintesis literatur, pandangan para ahli, perspektif dari komunitas dunia usaha dan para siswa. Dua bagian terakhir merupakan bagian dari survei ASEAN yang dilakukan oleh Kantor Regional ILO di Bangkok pada 2016. Dalam dua bagian terakhir kami kemudian menarik beberapa kesimpulan utama dan memberikan beberapa rekomendasi kebijakan.

Page 18: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

3

INDONESIA melalui jalan yang panjang dari negara berpendapatan rendah dengan PDB per kapita sebesar USD 772 pada 1970 menjadi negara berpendapatan menengah dengan PDB per kapita sebesar USD 3,974 pada 2016.11 Pada 1996 Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan rencana pembangunan jangka panjang tingkat nasional pertama yang diterjemahkan menjadi Rencana Pembangunan Lima Tahun atau yang dikenal sebagai Repelita, menguraikan visi untuk mengubah arah perekonomian yang saat itu sangat bergantung pada pertanian. Dalam rencana itu, pembangunan pertanian, transisi dari pengolahan bahan mentah untuk konsumsi dalam negeri, dan kemudian perlahan beranjak menjadi negara manufaktur yang didorong oleh ekspor diuraikan dalam tahapan transformasi struktural yang luas.

Dengan pendapatan domestik bruto sebesar USD 932 miliar dan 125 juta angkatan kerja di mana 21,8 juta (17 persen) di antaranya adalah kaum muda (15-24 tahun),12 Indonesia merupakan salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia dan merupakan anggota penting dalam G20. Di Asia, setelah China dan India, Indonesia dianggap sebagai tujuan investasi asing yang paling menarik. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh the Economist pada 2016, sekitar 48 persen eksekutif dari bisnis yang beroperasi di Asia diharapkan dapat meningkatkan investasi mereka di Indonesia.13 Pada 2016, Indonesia menerima lebih dari USD 16 miliar investasi asing langsung (FDI).14

Lebih dari tiga dasawarsa terakhir, Indonesia mendapatkan keuntungan yang luar biasa dalam pembangunan manusia. Dengan nilai indeks pembangunan manusia (HDI) sebesar 0,68, Indonesia berada dalam kelompok negara dengan “pembangunan manusia menengah”. Secara keseluruhan, negara ini menduduki peringkat ke-113 dari 188 negara pada 2015, di mana peringkat itu sudah meningkat tiga kali dari tahun 2010.15 Pertumbuhan HDI mengalami pelambanan pada 2010 hingga 2015 (meningkat 0,92 persen). Kita bisa berargumentasi bahwa alasan pertumbuhan HDI yang melamban dalam lima tahun terakhir adalah karena untuk negara-negara dengan kategori pembangunan SDM menengah maupun lebih tinggi, akan sulit untuk menaikkan nilai HDI mereka dengan percepatan yang sama dengan negara-negara yang nilainya lebih rendah.

Kondisi Perkembangan Ekonomi

2

11 Pangkalan data Bank Dunia, diakses pada 18 Juli 2017.12 Angka-angka ini berasal dari tahun 2016: data PDB dari pangkalan data Bank Dunia dan data angkatan kerja dari Sakernas. 13 http://ftp01.economist.com.hk/ECN_papers/2016ABOS14 www.bkpm.go.id15 http://hdr.undp.org/en/composite/trends

Page 19: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

4

Pada 1996, angka kemiskinan di Indonesia adalah sebesar 17,4 persen, namun krisis keuangan yang melumpuhkan Asia mengakibatkan peningkatan tajam dalam proporsi orang yang hidup di bawah kemiskinan (24,2 persen pada 1998). Sejak itu, rasio penduduk miskin mengalami penurunan, meskipun sangat pelan. Antara tahun 2010 hingga 2017 penurunan kemiskinan sangat kecil sekali.16 Hanya mengalami penurunan dari 11,1 persen menjadi 10,6 persen. Pada masa ini ketimpangan pendapatan juga mengalami peningkatan. Pada 2011, ketimpangan dalam distribusi pendapatan yang diukur oleh Koefisien Gini, meningkat dari 0,37 menjadi 0,41. Sejak itu, koefisien Gini mengalami penurunan namun hanya sedikit menjadi 0,39 pada 2017.17

Indonesia dianggap sebagai contoh yang baik dalam mencapai pertumbuhan yang relatif seimbang, terutama sebelum krisis keuangan pada 1997. Transformasi struktural perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja, ketenagakerjaan dan demografi berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi (Khatiwada dan Lennon, 2017). Transformasi struktural digambarkan sebagai realokasi sumber daya pada tiga sektor utama ekonomi yaitu pertanian, industri dan jasa (Herrendorf, Rogerson, & Valentinyi, 2011).

Ciri utama dari transformasi struktural adalah meningkatnya proporsi kontribusi industri dan jasa dengan penurunan kontribusi pertanian pada PDB total. Ketika negara mulai mengalami industrialisasi, tenaga kerja “tambahan” dari sektor pertanian biasanya tidak bekerja di sektor itu dan dipekerjakan di sektor industri dan jasa. Pergerakan tenaga kerja dan ekspansi sektor non-pertanian menjadi landasan bagi pembangunan ekonomi (Lewis, 1954).

Pertumbuhan yang berkelanjutan hanya dapat terjadi ketika semua sumber pertumbuhan seimbang. Dengan demikian, pertumbuhan ketenagakerjaan tanpa peningkatan produktivitas tenaga kerja dapat mengakibatkan pemiskinan angkatan kerja karena upah yang stagnan. Pada saat yang bersamaan, peningkatan produktivitas tenaga kerja yang tidak menghasilkan lapangan kerja hanya akan mendatangkan manfaat bagi mereka yang sudah bekerja sehingga membuat kesenjangan sosial semakin membesar dan memperburuk ketimpangan. Serupa dengan hal tersebut, pendidikan dan keterampilan baru tidak terlalu digunakan ketika teknologi terkini tidak diterapkan. Mengingat hal tersebut, penggunaan kapasitas fisik yang tidak terlalu baik dapat terjadi ketika investasi tidak diikuti oleh peningkatan keterampilan angkatan kerja.

Setelah krisis ekonomi global pada 2008, dan dalam periode yang digambarkan sebagai kondisi “normal yang baru”, Indonesia masih tetap menjaga momentumnya. Seperti yang terlihat di Gambar 1, pertumbuhan global mengalami penurunan sejak tahun 2010. Negara dengan pendapatan menengah ke bawah seperti Indonesia masih mengalami pertumbuhan yang cukup sehat, namun pertumbuhan mengalami pelambanan kecuali di Filipina.

Pada 2016 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5 persen, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada 2015 (4,8 persen).18 Pada kuartal kedua pada 2017, perekonomian mengalami pertumbuhan sebesar 5 persen, sehingga masih sama dengan perkiraan saat ini. Namun beberapa perkiraan menunjukkan bahwa angka pertumbuhan tahunan pada 2017 akan sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2016 dan mungkin akan lebih tinggi lagi pada 2018.19 Didorong oleh konsumsi rumah tangga dan investasi yang kuat, pertumbuhan PDB diperkirakan mencapai 6 persen pada 2020.20

16 Susenas, BPS Indonesia.17 Susenas, BPS Indonesia.18 BPS, Indonesia.19 IMF (2016), ADB (2017), Bank Dunia (2017) memiliki perkiraan tingkat pertumbuhan sekitar 5,1-5,3 untuk Indonesia. 20 World Economic Outlook, IMF, Oktober 2016.

Page 20: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

5

Perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif disebabkan baik oleh faktor eksternal maupun internal. Pertama, perekonomian global pada akhirnya menunjukkan peningkatan. Kedua, harga komoditas mengalami peningkatan di mana bagi negara yang kaya akan sumber daya seperti Indonesia, hal ini dapat mendorong ekspor. Indonesia merupakan produsen minyak sawit mentah dan batu bara thermal terbesar di dunia. Ekspor komoditas utama lainnya termasuk gas, minyak mentah dan karet. Ketiga, pemerintah Indonesia telah meluncurkan serangkaian reformasi atau “paket ekonomi” untuk mengatasi hambatan peraturan dan menarik investasi swasta. Pendanaan pemerintah untuk infrastruktur juga diprioritaskan dan terus meningkat di masa yang akan datang

Dari sisi makro ekonomi, inflasi yang rendah dan kebijakan moneter akomodatif yang mendukung pertumbuhan akan terus mendorong permintaan dalam negeri. Selama beberapa tahun belakangan konsumsi rumah tangga telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Antara tahun 2010 hingga 2016 proporsi konsumsi rumah tangga rata-rata 50 persen dari PDB. Belanja pemerintah dan formasi modal tetap bruto rata-rata sekitar 9 persen dan 32 persen dari PDB.

Gambar 1. Pertumbuhan PDB tahunan (persen) 2010-2016

5

Figure 1. Annual GDP Growth (percent) 2010-2016

Source: World Bank Database, accessed September 20, 2017

The positive outlook for Indonesia’s growth stems from both external and internal factors. First of all, global economy as a whole is finally showing signs of an uptick. Secondly, the price of commodities is increasing which for a resource rich country like Indonesia can boost its exports. Indonesia is the largest producer of crude palm oil and thermal coal. Other major commodity exports include gas, crude oil, and rubber. Thirdly, the Government of Indonesia has launched a series of reforms or “economic packages” to address regulatory bottlenecks and attract private investment. Public funding for infrastructure is also prioritized and it is likely to increase further.

On the macroeconomic front, a low inflation rate and an accommodative monetary policy which has underpinned growth may continue to spur domestic demand. Over the years household consumption has been the main driver of economic growth. Between 2010 and 2016 the share of household consumption averaged 50 percent of the GDP. Government consumption and gross fixed capital formation averaged around 9 percent and 32 percent of the GDP respectively.

-

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

China Indonesia India

Lower middle income Philippines Thailand

Vietnam World

Sumber: Pangkalan data Bank Dunia, diakses pada 20 September 2017

Dunia

Negara berpendapatan menengah ke bawah

Cina

Vietnam

Filipina Thailand

Dunia

Indonesia India

Gambar 2. Proporsi belanja dalam PDB 2010-2016

Sumber: Penghitungan staf ILO berdasarkan neraca nasional BPS

6

Figure 2. Expenditure share in GDP 2010-2016

Source: ILO staff calculations based on BPS national accounts data

Despite the positive outlook and a relatively healthy growth in the last decade, Indonesian economy is not expanding at the desired level that the current administration aims to reach. With higher infrastructure spending, the government expected that by 2017 the economy would be growing at 7 percent21. Part of the reason for a lower than expected growth is the global environment characterized by low demand22. In the last two decades, Indonesian growth was driven mainly by high commodity prices. Naturally, with less external demand, Indonesia’s exports have suffered.

The nature of growth in Indonesia has also changed considerably. Before 1997 manufacturing played a more dominant role in the economy. Between 1990 and 1997, for example, the growth of value added in manufacturing was 9.8 percent annually. During this period, economy, as a whole, grew 6.9 percent per annum. On the other hand, while the economic growth for the period between 2006 and 2016 averaged 5.4 percent annually, growth in the manufacturing sector averaged only 4.4 percent. Agriculture grew at less than 4 percent annually while industry as a whole which includes mining, construction and manufacturing grew at the same rate (4.4 percent) as manufacturing23.

Between 2006 and 2016, the fastest growing sector of the economy was services which recorded an average annual growth rate of 7 percent24. A commonly held view (Szirmani,

21 http://www.thejakartapost.com/news/2014/12/24/jokowi-aims-7-percent-annual-growth.html 22 https://www.bloomberg.com/news/articles/2017-04-07/indonesia-seeks-growth-boost-to-meet-7-target-indrawati-says 23 ILO staff calculations using 2016 GDP value added figures from World Bank database 24 ibid

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%

100%

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

Household Consumption Consumption Non-Profit Organizations

Government Consumption Gross Capital Formation

Change Inventory Net Exports

Statistical Discrepancy

Belanja Pemerintah Pembentukan Modal Bruto

Perbedaan Statistik

Belanja Rumah Tangga Belanja Organisasi Nirlaba

Perubahan Inventaris Ekspor Bersih

Page 21: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

6

Kendati perkiraan yang positif dan pertumbuhan yang relatif sehat selama satu dasawarsa terakhir, perekonomian Indonesia tidak mengalami perluasan dengan tingkat seperti yang diinginkan oleh pemerintahan saat ini. Dengan belanja infrastruktur yang lebih tinggi, pemerintah berharap bahwa pada 2017, perekonomian akan bertumbuh sebesar 7 persen.21 Salah satu alasan mengapa pertumbuhan yang terjadi lebih rendah dari yang diharapkan adalah kondisi global yang ditunjukkan dengan permintaan yang juga rendah.22 Dalam dua dasawarsa terakhir, pertumbuhan Indonesia terutama didorong oleh harga komoditas yang sangat tinggi. Secara alamiah dengan permintaan eksternal yang lebih rendah, ekspor Indonesia akan mengalami penurunan.

Bentuk pertumbuhan di Indonesia juga mengalami perubahan yang cukup besar. Sebelum tahun 1997, sektor manufaktur memainkan peran yang cukup dominan dalam perekonomian Indonesia. Antara tahun 1990 hingga 1997, misalnya, pertumbuhan nilai tambah dalam sektor manufaktur adalah sebesar 9,8 persen per tahun. Pada periode ini perekonomian secara menyeluruh mengalami pertumbuhan sebesar 6,9 persen per tahun. Di sisi lain, meskipun pertumbuhan ekonomi pada periode antara tahun 2006 hingga 2016 rata-rata mencapai 5,4 persen per tahun, namun pertumbuhan di sektor manufaktur rata-rata hanya 4,4 persen. Pertanian bertumbuh jauh lebih rendah lagi hanya sebesar 4 persen per tahun, sementara industri secara keseluruhan yang termasuk pertambangan, konstruksi dan manufaktur bertumbuh pada percepatan yang sama (4,4 persen) dengan sektor manufaktur.23

Antara tahun 2006 hingga 2016 sektor yang bertumbuh paling cepat adalah sektor jasa, di mana rata-rata pertumbuhan per tahunnya adalah sebesar 7 persen.24 Pandangan mengenai kondisi ini (Szirmani, 2012) yang cukup diamini oleh banyak pihak adalah bahwa sektor manufaktur merupakan katalis yang pada akhirnya akan menghasilkan industrialisasi dan pekerjaan-pekerjaan produktif. Karenanya, pertumbuhan sektor manufaktur dapat dipandang sebagai meningkatnya pembangunan dan kesejahteraan.

Namun, pandangan lain adalah bahwa sektor jasa juga bisa menjadi sektor utama pendorong pembangunan ekonomi dan sangatlah mungkin negara-negara mengikuti jalan yang berbeda seiring dengan diversifikasi ekonomi (Bhagwati, 2011). Pada kasus Indonesia, mungkin agak terlalu dini bagi sektor jasa untuk memainkan peran yang dominan dan lebih membangun perekonomian mengingat produktivitas tenaga kerja di sektor ini masih relatif lebih rendah (USD 8,079) dibandingkan dengan sektor manufaktur (USD 14,282).25

Selain pertumbuhan yang lebih lamban dalam sektor dengan nilai tambah seperti manufaktur, perekonomian Indonesia juga menghadapi beberapa risiko penurunan. Seperti yang disebutkan, investasi pemerintah pada infrastruktur diharapkan dapat mendorong pertumbuhan. Namun belanja pemerintah mungkin akan terbatas akibat ruang fiskal yang sangat sempit dan sulitnya menjalankan anggaran dengan defisit yang lebih besar. Tingkat defisit anggaran saat ini sudah hampir mencapai batas 3 persen.

Terlebih lagi, berdasarkan data PDB dari dua kuartal pertama tahun 2017, sepertinya konsumsi rumah tangga melamban. Dengan populasi yang besar dan jumlah kelas menengah yang tumbuh pesat, konsumsi rumah tangga merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Belakangan, harga komoditas mulai mengalami peningkatan, namun belum jelas hingga kapan ini akan terus terjadi mengingat perekonomian China mengalami perlambatan. Bergantung pada respons kebijakan, menurunnya antusiasme terhadap komoditas bisa mendatangkan berkah dan peluang bagi Indonesia untuk menghidupkan kembali sektor manufaktur dan sektor lain dalam perekonomian.

21 http://www.thejakartapost.com/news/2014/12/24/jokowi-aims-7-percent-annual-growth.html22 https://www.bloomberg.com/news/articles/2017-04-07/indonesia-seeks-growth-boost-to-meet-7-target-indrawati-says23 Penghitungan staf ILO mempergunakan angka nilai tambah PDB 2016 dari pangkalan data Bank Dunia 24 ibid25 Penghitungan staf ILO mempergunakan angka nilai tambah PDB 2016 dari pangkalan data Bank Dunia dan angka ketenagakerjaan

sektoral dari Sakernas 2016.

Page 22: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

7

PADA 1990, proporsi industri pada PDB sudah hampir 40 persen, di mana sektor manufaktur mengambil proporsi hampir setengah dari total nilai yang ditambahkan. Pada 1997, sebelum krisis keuangan Asia, proporsi manufaktur pada total PDB mencapai 26,7 persen. Krisis keuangan ini menimbulkan penurunan tajam dari keluaran industri. Pada 2001 sektor manufaktur sudah mulai pulih dan pada tahun tersebut berkontribusi hampir 30 persen dari total nilai yang ditambahkan. Namun sejak itu, proporsi industri dan manufaktur turun dengan hanya sedikit peningkatan pada 2016.

26 Penghitungan staf ILO mempergunakan angka nilai tambah PDB 2016 dari pangkalan data Bank Dunia

Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan

3

Antara tahun 1990 dan 2016, proporsi pertanian menurun dari 21,5 persen menjadi 13,4 persen. Di luar periode 1997 hingga 1999, proporsi kontribusi sektor pertanian pada perekonomian menurun secara terus-menerus.26 Pada periode ini kontribusi dari sektor industri hampir tidak mengalami perubahan. Perbandingan antara pertumbuhan ketenagakerjaan dan nilai tambah oleh berbagai sektor menunjukkan hubungan yang biasanya terlihat pada perekonomian yang mengalami industrialisasi.

Gambar 3. Proporsi sektor pada PDB (%)

Sumber: Pangkalan data Bank Dunia, diakses pada 18 Juli 2017

8

Figure 3. Sector share of GDP (%)

Source: World Bank Database, accessed July 18, 2017

Between 1990 and 2016, the share of agriculture fell from 21.5 percent to 13.4 percent. Apart from 1997 to 1999, the relative share of agriculture in the economy declined steadily26. During this period, the contribution of industry remained almost unchanged. A comparison between the growth of employment and value added by broad sectors shows a relationship that one would normally expect in an industrializing economy. Although slower than other sectors, agriculture continued to grow but employment growth in agriculture was either slow or even negative. In Figure 5, we can see the trend lines for agriculture and employment growth are not positively correlated. This is consistent with structural transformation wherein “surplus” labour moves from agriculture to industry and services.

26 ILO staff calculations using 2016 GDP value added figures from World Bank database

0

10

20

30

40

50

60

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016

Industry Agriculture ServicesIndustri Pertanian Jasa

Page 23: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

8

Kendati lebih lamban dari sektor lainnya, pertanian terus mengalami pertumbuhan namun pertumbuhan ketenagakerjaan di sektor pertanian berjalan lamban atau bahkan negatif. Di dalam Gambar 5 kita bisa melihat garis tren untuk pertanian dan pertumbuhan ketenagakerjaan tidak memiliki hubungan yang positif. Ini konsisten dengan transformasi struktural di mana jumlah tenaga kerja “tambahan” bergerak dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa.

27 RHS: di bagian kanan; LHS: di bagian kiri panel

Di sisi lain, hubungan antara pertumbuhan hasil (output) dan pertumbuhan ketenagakerjaan di sektor industri secara umum atau manufaktur pada khususnya lebih positif. Peningkatan tajam pada pertumbuhan ketenagakerjaan di sektor pertanian pada 1998 dan penurunan tajam pada sektor industri (termasuk manufaktur) dan keluaran sektor jasa merupakan akibat dari krisis keuangan Asia yang mendatangkan dampak yang cukup berat terhadap dua sektor di daerah perkotaan di pulau Jawa. Pertanian tidak terlalu terpengaruhi. Bahkan, karena besarnya jumlah pekerjaan yang hilang di sektor industri dan jasa, banyak pekerja yang beralih ke sektor pertanian untuk mendapatkan penghidupan.

9

Figure 4. Sector share of GDP (LHS) and employment share of GDP (RHS) in percent27

Source: ILO staff calculations using GDP data and Sakernas, BPS

On the other hand, the relationship between output growth and employment growth in industry in general or manufacturing in particular is more positively associated with each other. The steep spike in agriculture employment growth in 1998 and equally steep fall in industry (including manufacturing) and services output was the result of the AFC which mainly hit these two sectors in urban areas of Java. Agriculture was less affected. In fact, owing to huge job losses in industry and services, many workers may have moved to agriculture to earn a livelihood.

27 RHS: right hand side; LHS: left hand side of the panel

0.0%

10.0%

20.0%

30.0%

40.0%

50.0%

60.0%

0.0%

5.0%

10.0%

15.0%

20.0%

25.0%

30.0%

35.0%

40.0%

45.0%

50.0%

1990 1996 2000 2005 2010 2016

GDP Agriculture GDP Manufacturing GDP Services

Emp Agriculture Emp Manufacturing Emp Services

Gambar 4. Proporsi sektor terhadap PDB dan proporsi ketenagakerjaan terhadap PDB dalam persentase27

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data PDB dan Sakernas, BPS

PDB Pertanian

Pekerja Pertanian Pekerja Manufaktur

PDB Manufaktur PDB Jasa

Pekerja Jasa

Page 24: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

9

Berikutnya, kita akan lihat hasil dan pertumbuhan ketenagakerjaan dalam sektor-sektor perekonomian pada beberapa periode waktu antara tahun 1990 dan 2016. Sekali lagi, di luar periode 1997-2002, pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian di seluruh periode terpilih adalah negatif. Pada periode terakhir (2009-2016), hasil sektor pertanian bertumbuh 30 persen, yang tercepat sejak tahun 1990 namun jumlah orang yang bekerja di sektor ini menurun sebanyak 9 persen.

Pertumbuhan ketenagakerjaan secara positif merespons perubahan dalam pertumbuhan hasil industri, manufaktur dan jasa. Sepertinya elastisitas tenaga kerja terhadap pertumbuhan dalam sektor industri meningkat dalam lima tahun terakhir (2009-2016). Pada periode 1990-1996, untuk setiap 1 persen peningkatan dalam hasil industri, pertumbuhan ketenagakerjaan meningkat sebesar 0,71 persen. Antara tahun 2009 dan 2016, untuk setiap 1 persen pertumbuhan di hasil industri, pertumbuhan ketenagakerjaan meningkat sebesar 0,79 persen.

Sumber: Penghitungan staf ILO berdasarkan data Sakernas dan data Bank Dunia

Gambar 5. Pertumbuhan sektor dalam PDB dan ketenagakerjaan 1991-2016

10

Figure 5. Sector growth in GDP and employment 1991-2016

Source: ILO staff calculations based on Sakernas and data from World Bank

Next, we look at the output and employment growth in the economic sectors during different time periods between 1990 and 2016. Again, apart from 1997-2002, agricultural employment growth during all the selected periods was negative. In the last period (2009-2016), agriculture output grew by 30 percent, the fastest since 1990, but the number of people engaged in agriculture declined by 9 percent. Employment growth is positively responsive to the changes in the output growth in industry, manufacturing, and services. It appears that the elasticity of employment to growth in the industrial sector improved in the last five years (2009-2016). In the period 1990-1996, for every 1 percent increase in industrial output, employment growth increased by 0.71 percent. Between 2009 and 2016, for every 1 percent growth in industry, employment growth increased by 0.79 percent.

-10.0%

-5.0%

0.0%

5.0%

10.0%

15.0%

1991

1993

1996

1998

2000

2002

2004

2006

2008

2010

2012

2014

2016

Agriculture EMP Agriculture GDP

(0.20) (0.15) (0.10) (0.05)

- 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30

Industry EMP Industry GDP

-15.0%

-10.0%

-5.0%

0.0%

5.0%

10.0%

15.0%

20.0%

25.0%

30.0%

Manufacturing EMP Manufacturing GDP

-20.0%

-15.0%

-10.0%

-5.0%

0.0%

5.0%

10.0%

15.0%

1991

1993

1996

1998

2000

2002

2004

2006

2008

2010

2012

2014

2016

Services EMP Services GDPPekerja Manufaktur

Pekerja Pertanian Pekerja Industri

Pekerja JasaPDB Manufaktur

PDB Pertanian PDB Industri

PDB Jasa

Page 25: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

10

Tabel 1. Pertumbuhan nilai tambah berdasarkan sektor dan ketenagakerjaan

Sektor/Pertumbuhan

ketenagakerjaan

Nilai Tambah Pertanian

Pekerja Pertanian

Nilai Tambah Industri

Pekerja Industri

Nilai Tambah Manufaktur

Pekerja Manufaktur

Nilai Tambah Jasa

Ketenagakerjaan Jasa

1990-1996

19%

-10%

70%

50%

84%

42%

51%

42%

2003-2008

18%

-4%

24%

17%

26%

9%

47%

26%

1997-2002

10%

18%

0%

6%

6%

10%

-4%

-1%

2009-2016

30%

-9%

37%

29%

40%

21%

58%

27%

1990-2016

119%

-6%

223%

150%

289%

108%

299%

145%

1990-2016 (Rata-rata tahunan)

3%

-0.2%

5%

4%

5%

3%

5%

4%

Penggunaan statistik yang deskriptif untuk memperkirakan elastisitas ketenagakerjaan memiliki keterbatasan. Rumusan sederhana yang menggunakan perubahan dalam ketenagakerjaan sebagai nominator dengan perubahan PDB sebagai denominatornya hanya dapat mengukur elastisitas kurva, dalam hal ini elastisitas dihitung antara dua titik waktu dan bukan titik elastisitas yang merupakan metode yang lebih kuat. Di sini, agar hasilnya lebih kuat, kami menggunakan regresi kuadrat terkecil biasa atau ordinary least square regression (OLS). Keuntungan lain menggunakan OLS adalah bahwa dalam persamaan variabel independen lain dapat dimasukkan yang dapat memengaruhi ketenagakerjaan. Termasuk perubahan dalam ketenagakerjaan terhadap PDB di berbagai lokasi.

Untuk tujuan publikasi ini, kami hanya terfokus pada pertumbuhan hasil dan ketenagakerjaan di berbagai sektor. Hasil perkiraan menggunakan OLS menunjukkan bahwa (Tabel 2) 1 persen pertumbuhan menghasilkan peningkatan sebesar 0,41 persen dalam pertumbuhan ketenagakerjaan. Elastisitas pun beragam pada lintas sektor utama dalam perekonomian. Elastisitas ketenagakerjaan tertinggi adalah untuk industri (0,77) yang diikuti oleh jasa (0,57) dan manufaktur (0,53). Penting untuk dicatat bahwa industri mencakup sub-sektor utama, yaitu manufaktur, pertambangan dan konstruksi.

Sumber: PDB sektor dan pertumbuhan ketenagakerjaan berdasarkan periode

Page 26: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

11

Elastisitas ketenagakerjaan pada sektor pertanian adalah yang terendah (0,02) dari semua sektor, yang juga secara statistik tidak signifikan pada tingkat keyakinan sebesar 95 persen. Pada periode ini angka pertumbuhan ketenagakerjaan sektor pertanian pada beberapa titik waktu boleh dibilang negatif. Seperti yang dibahas, para pekerja beralih dari sektor pertanian, dan pekerja baru bekerja di sektor non pertanian. Selain dari tahun 1998, di mana terdapat penurunan sebesar 1,3 persen, pertumbuhan hasil sektor pertanian tetap positif, rata-rata 3,07 persen per tahun. Rata-rata pertumbuhan nilai tambah tahunan pada industri adalah sebesar 4,6 persen, 5,3 persen di manufaktur, dan 5,4 persen pada sektor jasa.

Tabel 2. Perkiraan elastisitas ketenagakerjaan menggunakan OLS

LAllEmp

LAllGDP

_cons

LManEmp

LManGDP

_cons

LSerEmp

LSerGDP

_cons

LIndEmp

LInduGDP

_cons

LAgrEmp

LAgrGDP

_cons

Coef.

0.4118136

7.224864

Coef.

0.5397265

2.485182

Coef.

0.5751816

2.41136

Coef.

0.7726217

-3.614535

Coef.

0.0254962

16.84833

t

25.71

16.68

t

18.61

3.35

t

17.88

2.87

t

30.35

-5.41

t

0.61

15.93

Std. Err.

0.0160168

0.4330505

Std. Err.

0.0289955

0.7408539

Std. Err.

0.0321713

0.8392054

Std. Err.

0.0254608

0.6682906

Std. Err.

0.0419788

1.057327

P>t

0

0

P>t

0

0.003

P>t

0

0.008

P>t

0

0

P>t

0.549

0

[95% Conf. Interval]

0.3787564

6.331092

0.4798827

0.9561343

0.5087833

0.6793249

0.7200731

-4.993819

-0.0611438

14.66611

0.4448707

8.118637

0.5995703

4.014229

0.6415799

4.143394

0.8251703

-2.235251

0.1121361

19.03054

[95% Conf. Interval]

[95% Conf. Interval]

[95% Conf. Interval]

[95% Conf. Interval]

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data PDB dari pangkalan data Bank Dunia dan Sakernas 1990-2016 (November/Agustus)

Page 27: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

12

Page 28: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

13

RASIO ketenagakerjaan terhadap populasi (EPR) merupakan ukuran yang berguna dalam memahami jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan ekonomi. Indikator ini menghitung persentase orang dipekerjakan dari total populasi usia kerja. Secara keseluruhan rasio populasi yang bekerja meningkat sebesar 3,3 poin persentase antara tahun 2006 hingga 2016.28 Di kalangan kelompok usia yang berbeda, proporsi pekerja berusia 25-34 tahun meningkat hampir 5 persen. Rasio kelompok usia 55-64 tahun relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan usia 35-54 tahun. Juga ada peningkatan lebih dari 8 persen pada perempuan kelompok usia 55-64 tahun.

Lintas kelompok usia, EPR meningkat signifikan bagi perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki. Kesenjangan populasi pekerja antara perempuan dan laki-laki menyempit lebih cepat dibandingkan kesenjangan partisipasi pekerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja (LFPR) laki-laki sedikit menurun dalam dasawarsa terakhir. Secara keseluruhan, EPR perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan EPR laki-laki. Pada 2006, EPR laki-laki adalah sebesar 77 persen dan tidak mengalami perubahan pada 2016. Di sisi lain, EPR perempuan meningkat dalam satu dasawarsa terakhir (48 persen, 2016), namun masih jauh lebih rendah dibandingkan EPR laki-laki. Bahkan selama 20 tahun terakhir (1996-2016) EPR menurun dari 63,6 persen menjadi 62,6 persen.

Siapa yang Dipekerjakan

4

28 Semua data dalam analisis tren ini berasal dari data mikro Sakernas (edisi Agustus) yang diolah oleh staf ILO.

Gambar 6. Perubahan rasio ketenagakerjaan terhadap populasi berdasar-kan jenis kelamin dan kelompok usia, 2006 & 2016

13

Figure 6: Change in Employment-to-population ratio by sex and age group, 2006 & 2016

Source: ILO staff calculations using Sakernas 2006 and 2016

Between 1996 and 2016 the number of employed increased by more than 34 million people. On an average, annually, 1.74 million additional workers found employment. Between 1996 and 2006, 11.9 million workers were added while in the period from 2006 to 2016, the number of employed increased by almost 23 million. In other words, the pace of employment growth quickened significantly in the last decade compared to the decade before it. However, looking further back jobs creation between 1990 and 1996 was much more robust. On average jobs were added at a rate of 2.2 percent annually. The rate dropped (1.1 percent) significantly between 1996 and 2006 before increasing again (1.7 percent) in the period from 2006 to 2016. In the three periods discussed, the slow growth of jobs from 1996 to 2006 maybe attributed to the prolonged effect of the AFC which hit Indonesia the hardest in the region. A sectoral breakdown of employment data show that agriculture is still the largest source of employment (31.9 percent) followed by services (24.2 percent) and trade (22.5 percent). Combined together though, trade & services, account for almost half (46.7 percent) of the people employed in Indonesia. In the last decade the share of employment in manufacturing has marginally increased from 12.5 percent (2006) to 13.1 percent (2016). During this period, around 3.7 million more workers were added to the manufacturing sector. However, the rate of employment growth in manufacturing is a lot slower than trade and services.

-6.0 -4.0 -2.0 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0

15-24

25-34

35-44

45-54

55-64

65-98

15+

Both Sexes Female Male

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan Sakernas 2006 dan 2016

Laki-lakiPerempuanKedua Jenis Kelamin

Page 29: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

14

Antara tahun 1996 dan 2016 jumlah tenaga kerja mengalami peningkatan hingga lebih dari 34 juta jiwa. Rata-rata, per tahun terdapat 1,74 juta tambahan pekerja yang mendapatkan pekerjaan. Antara tahun 1996 dan 2006, terdapat 11,9 juta pekerja yang masuk dunia kerja, sementara pada periode 2006 hingga 2016, jumlah pekerja meningkat hampir 23 juta jiwa. Dengan kata lain, percepatan pertumbuhan ketenagakerjaan berjalan sangat cepat dalam satu dasawarsa terakhir dibandingkan dengan dasawarsa sebelumnya. Namun, melihat lebih jauh ke belakang, penciptaan pekerjaan antara tahun 1990 dan 1996 jauh lebih kuat. Rata-rata jumlah pertambahan pekerjaan adalah sebesar 2,2 persen per tahun. Angka ini menurun (1,1 persen) secara signifikan antara tahun 1996 dan 2006 sebelum meningkat lagi (1,7 persen) pada periode dari 2006 hingga 2016. Dalam tiga periode yang dibahas, pertumbuhan pekerjaan yang melamban dari 1996 hingga 2006 mungkin disebabkan oleh dampak krisis keuangan Asia yang berkepanjangan dengan Indonesia menjadi negara yang paling terkena dampaknya di kawasan ini.

Data ketenagakerjaan yang diuraikan berdasarkan sektor menunjukkan bahwa pertanian masih menjadi sumber pekerjaan terbesar (31,9 persen) yang diikuti oleh jasa (24,2 persen) dan perdagangan (22,5 persen). Namun bila digabungkan, perdagangan dan jasa mempekerjakan hampir setengah (46,7 persen) dari total jumlah pekerja di Indonesia. Pada satu dasawarsa terakhir proporsi jumlah pekerja di sektor manufaktur mengalami peningkatan dari 12,5 persen (2006) menjadi 13,1 persen (2016). Pada periode ini sekitar 3,7 juta orang pekerja masuk ke sektor manufaktur. Namun tingkat pertumbuhan ketenagakerjaan jauh lebih lamban dari perdagangan dan jasa.

Data menunjukkan bahwa antara tahun 2006 dan 2016 situasi ketenagakerjaan mengalami perbaikan dalam hal jumlah pekerjaan yang ada dalam perekonomian, dan secara relatif, juga dalam hal kualitasnya. Kualitas kerja dapat didukung oleh data mengenai status pekerjaan. Proporsi pekerja dan pemberi kerja yang dibantu oleh pekerja tetap atau berupah mengalami peningkatan meskipun proporsi pekerja mandiri, pemberi kerja yang dibantu oleh pekerja tidak tetap, pekerja lepasan di sektor pertanian, dan

Gambar 7. Jumlah dalam ribuan (LHS) dan persen (RHS) orang yang dipekerjakan per sektor (2006 & 2016)

14

Figure 7. Number in thousands (LHS) and percent (RHS) of people employed by sectors (2006 & 2016)

Source: ILO staff calculations using Sakernas 2006 & 2016

The data show that between 2006 and 2016 the employment situation improved both in terms of jobs added to the economy, and, relatively speaking, the quality of jobs as well. The latter can be supported by the data on the status of employment. The share of employees and employers who are assisted by permanent or paid staff increased while the share of own-account workers, employers assisted by temporary workers, casual employees in agriculture, and family/unpaid workers decreased. It is generally understood that own-account workers and those engaged in temporary or unpaid work are likely to be in more precarious employment without provisions for social protection and standards of work are generally low.

0.0%

5.0%

10.0%

15.0%

20.0%

25.0%

30.0%

35.0%

40.0%

45.0%

0.0

5,000.0

10,000.0

15,000.0

20,000.0

25,000.0

30,000.0

35,000.0

40,000.0

45,000.0

Number (2006) Number (2016) Percent (2006) Percent (2016)

Sumber: Penghitungan staf ILO meggunakan Sakernas 2006 & 2016

Jumlah (2006)

Perta

nian,

Keh

utan

an, P

erbu

ruan

dan

Perik

anan

Indu

stri P

engo

lahan

Listri

k, G

as dan

Air

Bang

unan

Perd

agan

gan

Besa

r, Ec

eran

,

Rumah

Mak

an dan

Hot

el Jasa

Lain-

lain

Jumlah (2016) Persen (2006) Persen (2016)

Page 30: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

15

pekerja keluarga/tak berupah menurun. Secara umum, pekerja mandiri dan mereka yang terlibat dalam pekerjaan tidak tetap atau tak berupah berada dalam kondisi kerja yang lebih rentan tanpa adanya jaminan sosial dan standar kerja yang rendah secara umum.

Antara tahun 2006 dan 2016 proporsi mereka yang masuk dalam kategori pekerjaan yang rentan mengalami penurunan dari 37,4 persen menjadi 30,6 persen. Menurut ILO, mereka yang bekerja dalam kondisi kerja yang rentan termasuk pekerja mandiri dan pekerja keluarga yang tak berupah. Kendati pengurangan pekerjaan rentan lebih tinggi di kalangan pekerja perempuan, namun proporsi pekerja perempuan yang saat ini (2016) bekerja dalam pengaturan kerja yang rentan masih dua kali lebih besar (43,3 persen) dibandingkan pekerja laki-laki (22,7 persen).

Tabel 3. Proporsi pekerjaan rentan (persen)

Jenis Kelamin 2006 2016 Perubahan

Laki-laki

Perempuan

Kedua jenis kelamin

29,5

51,9

37,4

22,7

43,3

30,6

-6,8

-8,5

-6,7Sumber: Penghitungan staf ILO berdasarkan data Sakernas

Kadang negara menggunakan definisi pekerjaan yang rentan secara luas untuk memahami sampai sejauh mana kerentanan dan ketidakamanan pekerjaan bagi pekerja. Pada kasus Indonesia, tabel di bawah ini termasuk pemberi kerja yang dibantu pekerja tidak tetap dan pekerja lepasan, pekerja mandiri dan pekerja keluarga tak berupah. Secara keseluruhan jumlah pekerja yang dapat dikelompokkan sebagai pekerja yang rentan adalah 57,6 persen. Persentase pekerja perempuan yang bekerja dalam pekerjaan rentan lebih tinggi (61,8 persen) jika dibandingkan dengan laki-laki (54,9 persen). Pada beberapa kasus (menggunakan standar dan definisi pekerjaan rentan yang luas) pekerjaan rentan menurun selama satu dasawarsa terakhir.

Gambar 8. Status ketenagakerjaan pada 2006 dan 2016

15

Figure 8. Status of employment in 2006 and 2016

Source: ILO staff calculations using Sakernas 2006 and 2016

Between 2006 and 2016, the proportion of those categorized to be in vulnerable employment decreased from 37.4 percent to 30.6 percent. According to ILO, those in vulnerable employment include own-account workers and unpaid family workers. While reduction in vulnerable employment was higher for females, the proportion of female workers who are currently (2016) in vulnerable employment is still almost double (43.3 percent) than males (22.7 percent).

Table 3. Share of vulnerable in total employment (percent)

Sex 2006 2016 Change

Male 29.5 22.7 -6.8

Female 51.9 43.3 -8.5

Both sexes 37.4 30.6 -6.7

Source: ILO staff calculations based on Sakernas data

Sometimes countries use a broader definition of vulnerable employment to understand the extent of precariousness and insecurity among workers. In the case of Indonesia the table below includes employers assisted by temporary workers and casual workers, own-account and unpaid family workers. The combined total shows that 57.6 percent of workers can be categorized to be in vulnerable employment. The percentage of female workers in vulnerable employment is considerably higher (61.8 percent) compared to men (54.9 percent). In both

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Own-accountworkers

Employer assistedby temporary

workers/unpaidworkers

Employer assistedby permanentworkers /paid

workers

Employees Casual employee inagriculture

Casual employee innon-agriculture

sectors

Family / unpaidworkers

2006 2016

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 2006 dan 2016

Berusaha sendiri

Berusaha dibantu pekerja tidak tetap/pekerja tidak dibayar

Berusaha dibantu pekerja tetap/pekerja dibayar

Pekerja/buruh Pekerja bebas di non-pertanian

Pekerja bebas di pertanian

Pekerja keluarga/tak dibayar

Page 31: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

16

Profil pekerjaan pekerja Indonesia juga mengalami peningkatan selama satu dasawarsa terakhir, di mana jumlah pekerja yang bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan pendidikan tinggi meningkat. Uraian pekerjaan berdasarkan jenis kelamin menunjukkan persentasi perempuan bekerja sebagai profesional/teknisi pada 2016 mengalami peningkatan (10,3 persen). Bahkan pada 2006 proporsi perempuan yang bekerja sebagai profesional juga lebih tinggi. Namun hanya sedikit perempuan pada 2016 dalam posisi pemimpin dan manajemen (0,5 persen) jika dibandingkan dengan laki-laki (1,6 persen). Antara tahun 2006 hingga 2016, peningkatan persentase perempuan dalam posisi kepemimpinan dan manajemen juga lebih kecil (0,2 poin persentase) dibandingkan dengan laki-laki (0,9 poin persentase).

Seperti yang terlihat dalam Gambar 9, konsentrasi pekerjaan sebagian besar adalah di sektor pertanian, penjualan dan pekerjaan kerah biru lain dalam sektor jasa. Dalam bidang bisnis dan penjualan, proporsi perempuan pada 2016 lebih tinggi (24,4 persen) dibandingkan laki-laki (13,9 persen).

Tabel 4. Proporsi kerentanan dalam jumlah pekerja secara keseluruhan (persen)

Jenis Kelamin 2006 2016 Perubahan

Laki-laki

Perempuan

Kedua jenis kelamin

67,1

72,3

68,9

54,9

61,8

57,6

-12,2

-10,5

-11,3Sumber: Penghitungan staf ILO berdasarkan data Sakernas

Gambar 9. Pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, 2006 dan 2016

17

Figure 9. Occupations by sex, 2006 and 2016

Source: ILO staff calculations using Sakernas data 2006 and 2016

Interesting, the proportion of those having a second job increased considerably in the last decade. Between 1996 and 2006 those with a second job (9 percent) hardly changed, both for the overall average, as well as for different age groups. By 2016, the proportion had increased to over 15 percent. Among the 45-64 age bracket, the proportion was close to 20 percent. This shift may be attributed to the changing nature of work, particularly the impact of technology which has made it possible for flexible work arrangements, contracting or outsourcing of work. The increase may also be a response to manage higher levels of household consumption.

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Male (2006) Female (2006) Male (2016) Female (2016)

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 2006 dan 2016

Laki-laki (2006) Perempuan (2006) Laki-laki (2016) Perempuan (2016)

Lain-

lain

Tena

ga Pro

fesio

nal,

Tekn

isi

Tena

ga E

ksek

utif da

n Ad

mini

stras

i

Tena

ga U

saha

dan

Penjua

lan

Tena

ga U

saha

Jasa

Tena

ga U

saha

Perta

nian

dan

Perk

ebun

anTe

naga

Ope

rato

r Alat

-alat

Angk

utan

dan

Peke

rja K

asar

Tena

ga K

epem

impin

an

dan

Keta

talak

sana

an

Page 32: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

17

Yang menarik, proporsi mereka yang memiliki pekerjaan kedua meningkat dengan pesat dalam satu dasawarsa terakhir. Antara tahun 1996 dan 2006, mereka yang memiliki pekerjaan kedua (9 persen) tidak mengalami banyak perubahan, baik secara rata-rata maupun untuk kelompok usia yang berbeda. Pada 2016, proporsinya mengalami peningkatan hingga lebih dari 15 persen. Di kalangan kelompok usia 45-64 tahun, proporsinya hampir 20 persen. Pergeseran ini dapat disebabkan oleh perubahan sifat kerja, terutama dampak teknologi yang memungkinkan pengaturan kerja yang lebih fleksibel, pekerjaan berdasarkan kontrak jangka pendek atau pengalihdayaan kerja. Peningkatan ini juga dapat merupakan tanggapan dalam menyikapi konsumsi rumah tangga yang lebih tinggi.

Gambar 10. Bekerja dengan pekerjaan kedua, 1996-2016

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 1996, 2006 dan 2016

18

Figure 10. Employed with second job, 1996-2016

Source: ILO staff calculations using Sakernas data 1996, 2006 and 2016

A disaggregation of employed with second jobs by their first or main occupation further sheds light. The proportion of those with second jobs is much higher among those involved in agriculture work (24.4 percent) and professionals (19.2 percent). The seasonal nature and relatively lower returns from agriculture possibly explain the higher incidence among those involved in agriculture. In the case of professionals it may be largely due to more outsourcing opportunities and possibility for them to perform their tasks remotely and without having to follow a routine office time schedule.

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

2016 2006 1996

15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-98 15-98

Disagregasi dari mereka yang memiliki pekerjaan kedua dengan pekerjaan utama semakin menunjukkan gambaran yang sesungguhnya. Proporsi mereka yang memiliki pekerjaan kedua jauh lebih tinggi di kalangan mereka yang bekerja di sektor pertanian (24,4 persen) dan profesional (19,2 persen). Sifat musiman dan keuntungan yang relatif lebih kecil dari pertanian semakin menjelaskan mengapa jumlah ini lebih tinggi di kalangan mereka yang bekerja di sektor pertanian. Untuk profesional, hal ini disebabkan karena semakin besarnya peluang alih daya dan kemungkinan mereka melakukan pekerjaan secara jarak jauh tanpa perlu mengikuti jadwal waktu kerja yang rutin.

Page 33: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

18

Pada 2016, rata-rata mereka yang dipekerjakan mendapatkan Rp 2,29 juta per bulan. Rata-rata penghasilan laki-laki lebih tinggi (Rp 2,44 juta) jika dibandingkan dengan perempuan (Rp 1,98 juta). Perbedaan penghasilan antara laki-laki dan perempuan terjadi di semua pekerjaan utama kecuali “pekerja administratif dan manajerial”. Pada pekerjaan ini, perempuan mendapatkan penghasilan sedikit lebih tinggi (Rp 5,87 juta) dibandingkan laki-laki (Rp 5,83 juta). Pekerja administrasi dan manajerial ini juga mendapatkan penghasilan lebih tinggi dari kelompok pekerjaan lain. Pendapatan rata-rata kedua tertinggi adalah pekerjaan “tata usaha dan yang terkait” (Rp 3,22 juta).

Dalam hal sektor perekonomian kita bisa melihat bahwa pekerja di sektor keuangan, perumahan dan jasa dukungan bisnis mendapatkan pendapatan tertinggi (Rp 3,63 juta), diikuti oleh mereka yang bekerja di sektor “pertambangan dan penggalian”. Pendapatan terendah adalah pekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Dalam sektor ini, perbedaan upah/penghasilan antara laki-laki dan perempuan cukup signifikan di sektor pertanian, manufaktur, konstruksi, perdagangan dan jasa sosial.

Pada 2016, pendapatan rata-rata per bulan tertinggi terdapat di Jakarta (Rp 3,9 juta), diikuti Kalimantan Timur (Rp 3,6 juta) dan Papua (Rp 3,4 juta). Di sisi lain, rata-rata pendapatan di Lampung adalah yang terkecil (Rp 1,64 juta), diikuti Nusa Tenggara Timur (Rp 1,62 juta) dan Jawa Tengah (Rp 1,69 juta). Dalam Gambar 12, digambarkan rata-rata pendapatan per bulan dibandingkan dengan PDB per kapita provinsi. Lima provinsi pada peringkat pertama mengikuti pola yang sudah cukup konsisten dalam hal ini PDB per kapita yang lebih tinggi dan upah rata-rata yang lebih tinggi.

Secara umum, di lima provinsi tersebut upah lebih tinggi dari rata-rata nasional di mana sebagian besar berada pada sektor industri dan sumber daya alam, atau pada kasus Bali sektor jasa termasuk hotel restoran dan kafe lebih besar. Pada provinsi-provinsi ini angka kemiskinan juga lebih rendah dari rata-rata nasional yang besarnya 10,6 persen. Kondisi di Papua dan Papua Barat menarik karena rata-rata upah sangat tinggi, demikian pula dengan PDB per kapita. Namun di kedua provinsi ini proporsi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan cukup tinggi, bahkan dua kali lebih besar (27,6 persen di Papua dan 25,1 persen di Papua Barat) dibandingkan dengan rata-rata nasional. Kasus di Papua menunjukkan keluaran ekonomi yang lebih besar dan konsentrasi kekayaan pada satu atau dua sektor

Gambar 11. Jumlah total (LHS) dan persen (RHS) mereka yang memiliki pekerjaan kedua berdasarkan jenis pekerjaan (2016)

19

Figure 11. Total number (LHS) and percent (RHS) of employed with second jobs by occupations (2016)

Source: ILO staff calculations using Sakernas data 2016

In 2016, on an average, a person employed earned Rupiah (Rp) 2.29 million a month. The average monthly earning of men was higher (Rp. 2.44 million) compared to women (Rp. 1.98 million). The differential in earnings between men and women was found across all the major occupations except “administrative and managerial workers”. In this cohort of occupations, women earn slightly more (Rp 5.87 million) than men (Rp 5.83 million). This cohort also earned more than other occupational groups. The second highest average earning group of occupations was “clerical and related workers” (Rp 3.22 million). In terms of economic sectors, one can see that workers in finance, real estate, and business support services earned the most (Rp 3.63 million) followed by those employed in the “mining and quarrying” sector. The lowest earnings were for workers in the agriculture, forestry, and fishery sector. Within the sectors, the wage/earning differentials between male and female were quite significant in agriculture, manufacturing, construction, trade, and social services. In 2016, the highest average monthly earning was recorded in Jakarta (Rp 3.9 million), followed by Kalimantan Timur (Rp 3.6 million), and Papua (Rp 3.4 million). On the other hand, average wage in Lampung was the lowest in the country (Rp 1.64 million) followed by Nusa Tenggara Timur (NTT) (Rp 1.62 million) and Central Java (Rp 1.69). In Figure 12 average monthly earnings are compared with the provincial GDP per capita. The first five ranked

0.0%

5.0%

10.0%

15.0%

20.0%

25.0%

30.0%

0

1,000,000

2,000,000

3,000,000

4,000,000

5,000,000

6,000,000

7,000,000

8,000,000

Total Percent

Sumber: Penghitungan staf ILO berdasarkan data Sakernas 2016

PersenTotal

Angk

atan b

ersen

jata

Angg

ota D

PR, m

anaje

r sen

ior

Peke

rja ja

sa da

n pen

jualan

Tekn

isi/re

kan p

rofes

ional

Peke

rja ke

rajina

n dan

sejen

isnya

Tena

ga pr

ofesio

nal

Peke

rja te

rampil

perta

nian

Panit

era

Operat

or pa

brik d

an m

esin

Peke

rjaan

dasa

r

Page 34: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

19

perekonomian tidak sertamerta bisa ditafsirkan sebagai kondisi kesejahteraan yang lebih baik bagi populasi yang lebih besar.

Berikutnya, kita melihat rata-rata pendapatan berdasarkan sektor perekonomian dan jenis kelamin (Tabel 5). Di seluruh sektor perekonomian, rata-rata pendapatan bulanan perempuan hampir sekitar 19 persen lebih kecil dari laki-laki. Di sektor pertanian, perempuan mendapatkan upah 45 persen lebih kecil dari laki-laki. Di sektor pertambangan, transportasi, keuangan dan properti (real estate) pendapatan laki-laki dan perempuan sedikit selisihnya. Pada sektor konstruksi rata-rata perempuan mendapatkan pendapatan jauh lebih tinggi (71,1 persen) dari rata-rata pendapatan laki-laki. Namun ini disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar pekerja perempuan menduduki jabatan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang dipekerjakan sebagai pekerja kasar.

Tabel 5. Rata-rata pendapatan bulanan, laki-laki dan perempuan berdasarkan sektor dan kesenjangan upah berdasarkan gender, 20169

Sektor Laki-laki Perempuan Kesenjangan upah ber-dasarkan gender (%)

Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan

Pertambangan dan Penggalian

Industri Pengolahan

Listrik, Gas dan Air

Bangunan

Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel

Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi

Keuangan, Asuransi, Usaha Persewaan Bangunan, Tanah dan Jasa Perusahaan

Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan

Rata-rata semua Sektor

1.417.696

3.464.845

2.504.110

3.362.139

1.977.451

2.343.853

2.974.590

3.629.667

2.954.178

2.435.619

784.901

3.423.991

1.853.283

2.961.208

3.383.419

1.684.642

2.916.603

3.612.145

2.233.862

1.977.207

44,6

1,2

26,0

11,9

-71,1

28,1

1,9

0,5

24,4

18,8Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 2016

29 Kesenjangan upah berdasarkan gender = (Upah laki-laki – Upah perempuan)/Upah laki-laki * 100

Gambar 12. PDB per kapita (LHS) dan rata-rata upah bulanan (RHS) berdasarkan provinsi

Sumber: Penghitungan staf ILO berdasarkan data Sakernas 2016 dan PDB Provinsi berdasarkan data BPS 2015

20

provinces follow a somewhat consistent pattern i.e. higher GDP per capita and higher average wages. Generally, wages are higher than the national average in those provinces with a concentration of industries and natural resources or in the case of Bali which has a larger service sector including hospitality. In these provinces, poverty levels are also lower than the national average of 10.6 percent. The case of Papua and Papua Barat is interesting because the average wage is high so is the GDP per capita but in both of these provinces the proportion of people living the poverty line is quite high, in fact more than double (27.6 percent in Papua and 25.1 percent in Papua Barat) compared to the national average. The case of Papua shows that a larger economic output and concentration of wealth in one or two sectors of the economy does not necessarily translate into better welfare for a larger segment of population.

Figure 12. GDP per capita (LHS) and average monthly wage earnings (RHS) by province

Source: ILO staff calculations using Sakernas data 2016 and provincial GDP data BPS 2015 in IDR

Next, we look at the average earnings by economic sector and sex (Table 5). Across all the major sectors of the economy, average female monthly earning was almost 19 percent less than their male counterparts. In the agriculture sector women earn less than 45 percent compared to men. In the mining, transportation, and finance, and real estate there were minor differences between the average earnings of men and women. In construction average female earnings are much higher (71.1 percent) than average male earnings. But, that is due to the fact that a large number of female workers are in higher occupations compared to men many of whom are employed as elementary workers.

-

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

3,500,000

4,000,000

4,500,000

-

20,000,000

40,000,000

60,000,000

80,000,000

100,000,000

120,000,000

140,000,000

160,000,000

Dki

Jaka

rta

Kalim

anta

n Ti

mur

Kepu

laua

n Ri

auKa

liman

tan

Uta

raRi

auPa

pua

Bara

tPa

pua

Jam

biJa

wa

Tim

urKe

pula

uan

Bang

ka B

elitu

ngSu

mat

era

Uta

raKa

liman

tan

Teng

ahSu

mat

era

Sela

tan

Bali

Bant

enSu

law

esi S

elat

anSu

law

esi T

engg

ara

Sula

wes

i Uta

raSu

law

esi T

enga

hKa

liman

tan

Sela

tan

Sum

ater

a Ba

rat

Jaw

a Ba

rat

Lam

pung

Jaw

a Te

ngah

Kalim

anta

n Ba

rat

Di Y

ogya

kart

aAc

ehBe

ngku

luSu

law

esi B

arat

Gor

onta

loN

usa

Teng

gara

Bar

atM

aluk

u U

tara

Mal

uku

Nus

a Te

ngga

ra T

imur

GDP Per Capita Avg WageRata-rata upahPDB per kapita

Page 35: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

20

Temuan yang menyatakan bahwa pendapatan perempuan rata-rata lebih rendah dari laki-laki benar adanya, bahkan ketika keduanya memiliki tingkat pendidikan yang sama (Tabel 6). Kesenjangan pendapatan berdasarkan gender antara laki-laki dan perempuan paling rendah terdapat pada tingkat pendidikan doktoral (16 persen), sementara pada tingkat pendidikan SD atau lebih rendah, rata-rata pendapatan perempuan 43 persen lebih rendah dari pendapatan rata-rata laki-laki. Di luar dari gelar doktoral, tidak ada pola khusus yang menyiratkan bahwa semakin tingginya pendidikan, pendapatan antara laki-laki dan perempuan menjadi lebih setara.

Tabel 6. Rata-rata pendapatan berdasarkan latar belakang pendidikan, laki-laki dan perempuan, 2016

Latar Belakang Pendidikan Laki-laki Perempuan Kesenjangan Upah ber-dasarkan Gender (%)

SD atau lebih rendah

SMP

SMA

SMK

Diploma I/II

Diploma III

Diploma IV/Sarjana

Pasca Sarjana

Doktoral

1.573.188

1.776.486

2.514.644

2.556.230

3.270.967

3.727.622

4.714.893

8.346.159

10.132.084

895.528

1.309.806

1.891.584

1.909.828

2.213.674

2.786.353

3.359.886

5.329.114

8.495.678

43%

26%

25%

25%

32%

25%

29%

36%

16%

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas, 2016

Untuk menguji fakta bahwa ketika segalanya dalam posisi yang setara, seperti pendidikan, pengalaman, jenis kelamin masih memengaruhi pendapatan, kami menggunakan persamaan Mincer untuk melakukan regresi.30 Persamaan Mincer konvensional mempertimbangkan upah sebagai fungsi lamanya masa bersekolah, pengalaman kerja dan investasi SDM di antaranya dalam bentuk pelatihan.

Persamaan ini juga digunakan untuk melihat keuntungan moneter (pendapatan) dari beberapa kelompok dalam masyarakat untuk memahami apakah terjadi diskriminasi pada pasar kerja. Pada kasus ini kami hanya menggunakan persamaan Mincer untuk melihat apakah jenis kelamin orang yang dipekerjakan merupakan faktor penentu, selain pendidikan dan pengalaman kerja. Penting untuk dicatat di sini bahwa hubungan antara pendidikan, pengalaman atau jenis kelamin dengan upah tidak menunjukkan kasualitas pekerjaannya, namun lebih kepada hubungan di antara semua faktor tersebut.

Idealnya, upah per jam yang harus diperkirakan dan bukan upah bulanan atau mingguan karena mungkin saja mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi bekerja dengan jam kerja lebih lama atau sebaliknya bagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah bekerja lebih banyak untuk memastikan konsumsi rumah tangga mencukupi.

Tentu ada tantangan dalam menguji fungsi ini secara empiris dengan data yang terbatas. Sakernas mengumpulkan data mengenai pendapatan (baik dalam bentuk tunai maupun barang), pencapaian pendidikan, maupun usia. Untuk tujuan ini, kami mengelompokkan pencapaian pendidikan menjadi tiga tingkatan: primer, sekunder dan tertier. Dalam Sakernas tidak ada data mengenai jumlah total tahun pengalaman. Ada variabel untuk “berapa bulan/tahun bekerja pada pekerjaan primer saat ini”.

30 Heckman, James J., Lochner, Lance J., and Todd, Petra E., “Fifty Years of Mincer Earnings Regressions,” Draf pertama pada Juni 1998, Edisi Revisi 19 Maret 2003.

Page 36: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

21

Dengan menggunakan variabel ini sebagai proksi untuk total pengalaman tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pendapatan. Sebagai gantinya, kami menggunakan usia sebagai proksi untuk pengalaman kerja dengan asumsi bahwa mereka yang berusia lebih tua memiliki pengalaman kerja yang lebih banyak. Variabel biner untuk lokasi “perkotaan atau pedesaan” juga dimasukkan dalam regresi ini untuk melihat apakah ada hubungan antara upah di daerah pedesaan dan perkotaan.

Log Wage= β_1+ +Femaleδ_1+Educδ_2+Urbanδ_3++Ageβ_1+Ageβ_2+ε

Tabel 7. Hasil regresi gender dan upah

Upah

Perempuan

Usia

Usia 2

Pendidikan

Perkotaan

_cons

Koef.

-0,4454251

0,0556103

-0,0005856

0,4661312

0,2618337

13,16135

t

-2141,7

1215,96

-1022,77

3195,47

1274,84

1.50E+04

Std. Err.

0,000208

0,0000457

5.73E-07

0,0001459

0,0002054

0,0008713

P>t

0

0

0

0

0

0

[95% Conf. Interval]

-0,445833

0,0555207

-0,000587

0,4658452

0,2614311

13,15964

-0,445017

0,0556999

-0,000585

0,4664171

0,2622362

13,16306Sumber: Perhitungan ILO Berdasarkan Data Sakernas 2016

Analisis regresi (Tabel 7) menunjukkan bahwa pendidikan dan kehidupan di daerah perkotaan sangat erat kaitannya dengan upah yang lebih tinggi. Koefisien yang diperkirakan untuk usia kuadrat (usia2) adalah negatif. Ini berarti bahwa setelah usia/pengalaman tertentu kita melihat dampaknya terhadap upah yang semakin menurun namun marjinal. Koefisien untuk perempuan negatif, yang menunjukkan bahwa bila jenis kelaminnya adalah perempuan, maka upahnya lebih rendah. Kita dapat melihat bahwa untuk pekerja perempuan ada perbedaan -44,5 persen dibandingkan laki-laki. Dengan menyesuaikan kesalahan aproksimasi, perbedaan yang didapatkan adalah 35,9 persen. Kita bisa menyimpulkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor utama dan perempuan cenderung mendapatkan upah yang lebih kecil dari laki-laki. Sama halnya dengan pekerja di perkotaan yang mendapatkan pendapatan 30 persen lebih besar (setelah disesuaikan).

Page 37: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

22

Page 38: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

23

ANGKA pengangguran di Indonesia terus mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir. Pada 2006, angka pengangguran berada pada dua digit (10,3 persen), namun perlahan mengalami penurunan dan pada 2016 angka pengangguran menurun hingga 5,6 persen. Pada kelompok usia 15-24 tahun, angka pengangguran turun secara signifikan (11,1 poin persentase) dibandingkan dengan penurunan secara keseluruhan (4,7 poin persentase) pada populasi angkatan kerja. Penurunannya jauh lebih tajam pada perempuan (15,7 poin persentase) dibandingkan rata-rata keseluruhan untuk usia 15-24 tahun.

Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa situasi pasar kerja untuk anak muda mengalami perbaikan dalam 10 tahun terakhir. Angka pengangguran di kalangan kaum muda (15-24) turun dari 30,6 persen pada 2006 menjadi 19,4 persen pada 2016. Namun penting untuk dicatat bahwa angka pengangguran di kalangan kaum muda masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN. Kita akan menggali lebih lanjut mengenai pengangguran dan ketidakaktifan kaum muda pada bagian berikutnya. Untuk saat ini kita akan berfokus pada pengangguran untuk penduduk berusia 15 tahun ke atas.

Di Indonesia, Banten dan Jawa Barat memiliki angka pengangguran tertinggi (8,9 persen). Provinsi-provinsi ini berdekatan lokasinya dan bahkan dulu Banten merupakan bagian dari Jawa Barat. Desentralisasi dan pemekaran daerah menghasilkan pembentukan kabupaten-kabupaten dan provinsi-provinsi baru sejak tahun 2004. Baik Banten maupun Jawa Barat memiliki kawasan industri dan pabrik untuk perusahaan manufaktur skala besar termasuk perusahaan multinasional. Sangatlah mungkin pelambanan perekonomian mengakibatkan tingginya angka pengangguran di kedua provinsi ini.

Provinsi dengan kekayaan komoditas seperti Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau memiliki angka pengangguran sebesar 8 dan 7,7 persen, yang masih di atas rata-rata nasional sebesar 5,6 persen. Sangat mungkin bahwa angka pengangguran di provinsi ini mengikuti penurunan permintaan komoditas. Namun secara historis angka pengangguran di provinsi-provinsi ini lebih tinggi dari angka rata-rata nasional.

Karenanya sangatlah mungkin provinsi-provinsi tersebut menarik sejumlah pencari kerja karena kekuatan manufaktur dan komoditi. Dengan mempertimbangkan banyak yang secara aktif mencari pekerjaan, angka pengangguran dapat mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan provinsi lain di mana jumlah mereka yang mencari kerja sedikit. Di Banten dan Jawa Barat pengangguran musiman yang terjadi karena perubahan dalam siklus bisnis manufaktur bisa menjadi salah satu faktor penyebabnya. Di sisi lain di provinsi yang kaya sumber daya sifat kerja musiman, misalnya di sektor perkebunan dapat mengakibatkan tingginya angka pengangguran.

Memahami Pengangguran

5

Page 39: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

24

Gambar 13 menunjukkan empat provinsi dengan angka pengangguran tertinggi serta proporsi ketenagakerjaan di tiga sektor ekonomi. Ada beberapa fitur utama. Pertama, proporsi ketenagakerjaan di industri, perdagangan dan jasa lebih tinggi (kecuali di Kalimantan Timur) dibandingkan rata-rata nasional sebesar 21,4 persen. Kedua, proporsi pekerjaan di sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 31,9 persen.

Di Indonesia, Bali memiliki angka pengangguran terendah (1,9 persen), diikuti Bangka Belitung (2,6 persen) dan Yogyakarta (2,7 persen). Dua provinsi lain di mana angka penganggurannya di bawah 3 persen adalah Sulawesi Tenggara dan Gorontalo. Perekonomian di Bali, Yogyakarta dan Bangka Belitung lebih maju, sehingga mampu menjelaskan mengapa angka pengangguran di provinsi-provinsi tersebut rendah.

Namun rendahnya angka pengangguran di Sulawesi Selatan, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tengah bukan disebabkan oleh majunya perekonomian mereka karena provinsi-provinsi tersebut merupakan beberapa provinsi yang termasuk tertinggal di Indonesia. Alasan mengapa pengangguran rendah mungkin disebabkan sedikitnya jumlah orang yang secara aktif mencari pekerjaan. Mungkin karena hal tersebut mereka pun enggan mencari kerja. Terlebih lagi di beberapa provinsi di mana proporsi pekerja pada sektor pertanian tinggi juga memiliki angka pengangguran yang rendah.

Gambar 13. Proporsi ketenagakerjaan (LHS) berdasarkan sektor yang luas di empat provinsi dengan angka pengangguran yang tinggi (RHS) 2016

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 2016

24

It is, thus, plausible that owing to the manufacturing prowess and commodities these provinces attracts a fair number of job seekers. Considering many more are actively seeking work, the unemployment rate can go up compared to other provinces where fewer are looking for work. In Banten and West Java cyclical unemployment owing to changes in the manufacturing business cycle may be a factor as well. On the other hand in resource rich provinces seasonal nature of work, such as on plantations, may be driving up the unemployment rate. Figure 13 shows four provinces with the highest unemployment rate and the share of employment in the three broad economic sectors. There are some common features. Firstly, the share of employment in industry, trade, and services is higher (except East Kalimantan) than national average of 21.4 percent. Secondly, the share of employment in agriculture is quite low compared to the national average of 31.9 percent.

Figure 13. Share of employment (LHS) by broad sectors in four provinces with high unemployment rate (RHS) 2016

Source: ILO staff calculations using Sakernas data 2016

In Indonesia, Bali has the lowest unemployment rate of (1.9 percent), followed by Bangka Belitung (2.6 percent) and Yogyakarta (2.7 percent). The other two provinces where the unemployment rate is below 3 percent are Southeast Sulawesi and Gorontalo. The economies of Bali, Yogyakarta, and Bangka Belitung are more developed which could explain low unemployment in these provinces. But, low unemployment in Southeast Sulawesi, Gorontalo, and NTT and Sulawesi Tengah probably cannot be attributed to economic development as these are some of the most

7.0

7.2

7.4

7.6

7.8

8.0

8.2

8.4

8.6

8.8

9.0

-

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

Banten West Java East Kalimantan Riau Island

Agriculture Industry Trade & Services Unemp Rate

Banten

Pertanian Industri Perdagangan & Jasa Tingkat Pengangguran

Kalimantan TimurJawa Barat Kepulauan Riau

Page 40: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

25

Kesimpulannya, berdasarkan data dan analisis yang dipaparkan di atas, jelas terlihat bahwa angka pekerjaan saja tidak cukup untuk memahami situasi pasar kerja. Angka pengangguran yang rendah juga tidak sertamerta berarti kondisi pasar kerja cukup kondusif untuk para pencari kerja. Di beberapa kasus hal ini berarti jumlah pencari kerja yang mencari kerja lebih sedikit, bahkan mungkin mereka tidak yakin bisa mendapatkan pekerjaan. Juga, ada kondisi di mana seseorang berhenti mencari pekerjaan setelah mencari dalam waktu lama (pekerja yang mengalami patah semangat). Di sisi lain angka pengangguran yang sedikit lebih tinggi bisa disebabkan oleh bertambahnya jumlah orang yang masuk pasar kerja sebagai respons terhadap kondisi pasar kerja yang menguntungkan. Siklus bisnis dan sifat kerja yang musiman juga bisa mendorong peningkatan angka pengangguran di beberapa provinsi.

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 2016

Gambar 14. Provinsi dengan tingkat pengangguran (kiri) lebih rendah dari rata-rata nasional dan proporsi (kanan) pekerjaan berdasarkan sektor perekonomian yang lebih luas (2016)

25

underdeveloped provinces in Indonesia. The reason for low unemployment is probably because fewer people are actively looking for work. Perhaps not expecting to find work discourages them to look for employment. Moreover, in several provinces where the share of employment in agriculture is high also tend to have low unemployment rate.

Figure 14. Provinces with unemployment rate (left) higher than the national average and share (right) of employment by broad economic sectors (2016)

Source: ILO staff calculations using Sakernas data 2016

In conclusion, based on the data and analysis presented above, it is clear that employment rate alone is not sufficient to understand the labour market situation. A low unemployment rate does not necessarily mean that labour market conditions are favourable for job seekers. In some cases it can mean fewer job seekers looking for work, perhaps not expecting to find work in the first place. Also, there can be instances when people stop looking for work after a long period of searching (discouraged workers). On the other hand a slightly higher unemployment rate can result from more people joining the labour force as a response to favourable labour market conditions. We have also seen that business cycles and seasonality of work may also be driving up unemployment rate in some provinces.

6. Youth, employment, and inactivity

Indonesia has a young population. More than half of the population is below 30 years of age. The proportion of population who are aged 65 and above is around 5.3 percent31. According to Sakernas 2016, close to a quarter (23.1 percent) of the working age population were youth

31 https://www.populationpyramid.net/indonesia/2016/

-

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

-

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

Agriculture Industry Trade & Services Unemp RatePertanian

Rata-ra

ta nas

ional

Industri Perdagangan & Jasa Tingkat Pengangguran

Page 41: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

26

Page 42: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Ket

enag

aker

jaan

Indo

nesi

a 20

17

27

INDONESIA memiliki populasi yang masih muda. Lebih dari setengah populasinya berusia di bawah 30 tahun. Proporsi populasi yang berusia 65 tahun ke atas sekitar 5,3 persen.31 Menurut Sakernas 2016 hampir seperempat (23,1 persen) populasi usia kerja adalah kaum muda berusia 15 hingga 24 tahun. LFPR kaum muda adalah sekitar 48 persen, di mana di bawah rata-rata nasional yang sebesar 66,3 persen. Di kalangan usia 15-19 tahun, LFPR sangat rendah (28 persen) dibandingkan dengan kelompok usia 20-24 tahun. Secara umum sejumlah besar kaum muda yang berusia 15 hingga 19 tahun bersekolah, sementara proporsi mereka yang berusia 20 dan 24 tahun sudah beranjak dari sekolah ke dunia kerja.

Angka rata-rata pengangguran di tingkat nasional hanya 5,6 persen namun di kalangan kaum muda angka ini cukup besar, yakni sekitar 19,4 persen. Di kalangan laki-laki muda angkanya sedikit lebih tinggi (19,8 persen) dibandingkan dengan perempuan muda (19 persen). Di berbagai latar belakang pendidikan, persentase pengangguran yang memiliki latar belakang SMA (22,4 persen) dan SMK (24,4 persen) cukup tinggi dibandingkan kelompok umur yang lain.

Yang menarik adalah data menunjukkan bahwa sebanyak 2.127 orang muda yang memiliki gelar pasca sarjana di pasar kerja ternyata menganggur. Sebagian besar penganggur muda dengan gelar pasca sarjana ini berusia 23 tahun. Dengan mengingat usia mereka, sangat mungkin kebanyakan dari mereka baru lulus dan baru mulai mencari kerja. Dalam hal rata-rata nasional untuk semua kelompok umur, hanya 1,2 persen angkatan kerja dengan gelar pasca sarjana menganggur. Gelar pasca sarjana sebenarnya membuat mereka tidak sulit mencari pekerjaan. Boleh jadi ini disebabkan karena mereka baru mulai mencari kerja dan bahkan mungkin menunggu sampai mendapatkan pekerjaan yang tepat.

Kaum Muda, Ketenagakerjaan dan

Ketidakaktifan

6

31 https://www.populationpyramid.net/indonesia/2016/

Page 43: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

28

Proporsi penganggur muda berdasarkan jumlah total penganggur sangat tinggi (57,9 persen). Proporsi perempuan muda yang menganggur terhadap jumlah total penganggur lebih tinggi lagi (59,5 persen) dibandingkan dengan laki-laki (57 persen). Rasio angka pengangguran kaum muda-dewasa adalah 6,9, yang juga terbilang cukup tinggi. Di tingkat global, penganggur muda biasanya memang lebih tinggi dari dewasa dan di beberapa kawasan angkanya bisa mencapai 30 persen. Pada 2016, rata-rata angka pengangguran muda adalah sebesar 12,8 persen dan bahkan angka ini sama dengan kondisi pada 2006.32

Angka pengangguran muda di Indonesia jauh lebih tinggi dari rata-rata global maupun bila dibandingkan dengan berbagai kelompok pendapatan. Di negara berpendapatan tinggi, misalnya, angkanya juga cukup tinggi (14 persen), namun lebih rendah dari Indonesia. Di negara berpendapatan menengah, kelompok pendapatan yang dapat dibandingkan dengan Indonesia, angka pengangguran muda cenderung lebih rendah sebesar 12,2 persen. Penting untuk dicatat di sini bahwa pada satu dasawarsa terakhir dengan kondisi perekonomian yang membaik, pengangguran di kalangan kaum muda menurun dengan sangat tajam.

32 Angka-angka didapatkan dari pangkalan data ILOSTAT.

Gambar 15. Jumlah pengangguran (RHS) dan bekerja (LHS dalam %) di kalangan muda berdasarkan latar belakang pendidikan (2016)

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas, 2016

26

between the ages 15 and 24 years. LFPR of youth was around 48 percent which is below the national average of 66.3 percent. Among the 15-19 old, LFPR is understandably low (28 percent) compared to the age group of 20-24. Generally, a large number of young people from ages 15 to 19 are attending school while a higher proportion of those aged between 20 and 24 may have already made the transition from school to work.

The national average unemployment rate is only 5.6 percent, but it is as high as 19.4 percent in youth. Among male youth the rate is slightly higher (19.8 percent) compared to females (19 percent). Across different educational attainments, the percentage of unemployed with a senior high school (22.4 percent) and vocational high school (24.4 percent) was relatively higher compared to other age groups.

Interesting, the data show that all the 2,127 youth with a master degree in the labour force were unemployed. Most of the unemployed youth with a masters degree were around 23 years old. Considering their age, it is possible that many of them had graduated recently and had just started looking for work. In terms of the national average for all ages, only 1.2 percent of the labour force with a master degree were unemployed. It is thus unlikely that an advanced degree would make it harder for young people to find work. It may simply be the case of just starting the job search and perhaps even waiting for the right job.

Figure 15. Number of unemployed (RHS) and unemployment rate (LHS in %) among youth by education (2016)

Source: ILO staff calculations using Sakernas data 2016

The share of unemployed youth in total unemployed is disproportionally high (57.9 percent). The proportion of young females who are unemployed in total unemployed is higher (59.5 per cent) compared to men (57 percent). The ratio of youth-to-adult unemployment rate of

-

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

-

200,000

400,000

600,000

800,000

1,000,000

1,200,000

1,400,000

Number Unemployed Unemployment Rate (%)Jumlah Pengangguran Tingkat Pengangguran

Seko

lah D

asar

atau

sebe

lumny

a

Seko

lah M

enen

gah

Atas

Seko

lah M

enen

gah

Perta

ma

Seko

lah M

enen

gah

Kejuru

an

Diplom

a I/II

Diplom

a III

Diplom

a IV/

Sarja

na S

1

Sarja

na S

2

Gambar 16. Angka pengangguran muda pada 2006 & 2016

Sumber: ILOSTAT untuk perkiraan global dan Sakernas untuk Indonesia

27

6.9 is equally quite high. At the global level, youth unemployment is generally higher than adults and in some regions it is as high as 30 percent. In 2016, the average global youth unemployment rate was 12.8 percent and in fact the rate was identical to 200632.

The youth unemployment rate in Indonesia is much higher than the global average as well as compared to different income groups. In high income countries, the rate is also high (14 percent), but lower than Indonesia. In lower-middle income countries, a comparator group for Indonesia, the unemployment rate of youth is considerably lower at 12.2 percent. It is important to note here that in the last decade, with economic conditions improving, unemployment among youth in Indonesia decreased considerably.

Figure 16. Youth unemployment rate in 2006 & 2016

Source: ILOSTAT for global figures and Sakernas for Indonesia

32 Figures are from ILOSTAT database

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

2016

2006

Indonesia World: High income

World: Upper-middle income World: Lower-middle income

World: Low income World

Indonesia

Dunia: Pendapatan menengah atas

Dunia: Pendapatan rendah

Dunia: Pendapatan tinggi/atas

Dunia: Pendapatan menengah bawah

Dunia

Page 44: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

29

Seperti yang disebutkan sebelumnya, angka pengangguran sendiri tidak dapat digunakan untuk menangkap dinamika pasar kerja. Dan indikator ini tidak bisa memberikan gambaran utuh mengenai kualitas dan produktivitas kerja. Pada kasus kaum muda, salah satu indikator umum yang digunakan adalah untuk memahami tingkat ketidakaktifan. Indikator ini mengelompokkan mereka yang tidak bekerja, belajar (menempuh pendidikan) dan mengikuti pelatihan (NEET). NEET juga dapat memasukkan angka kaum muda yang enggan bekerja yang mungkin sudah pernah mencari pekerjaan sebelumnya namun saat survei berlangsung tidak secara aktif mencari pekerjaan.

Pada usia muda jumlah orang yang bersekolah atau mengikuti pelatihan untuk mendapatkan keterampilan sebelum bekerja lebih banyak. Mereka yang tidak bersekolah dan tidak mencari kerja secara aktif, dari sudut pandang ekonomi, dapat dipandang sebagai orang yang sedang “menganggur”. Melihat data dari beberapa negara dengan pendapatan menengah atau rendah proporsi NEET di Indonesia cukup tinggi (23,2 persen). Di antara negara-negara terpilih yang ada pada Gambar 17, Indonesia menempati posisi kedua setelah Sri Lanka di mana NEET-nya cukup tinggi 27,7 persen. Di Filipina angka NEET-nya cukup tinggi (22,7) namun lebih rendah dari Indonesia. Di Vietnam, Thailand, dan Malaysia angka NEET mereka hampir setengah dari Indonesia.

Uraian angka NEET pada kaum muda berdasarkan pendidikan menunjukkan bahwa persentase di kalangan mereka yang memiliki latar belakang pendidikan dasar atau lebih rendah (30,9 persen), SMA (27,6 persen) dan SMK (29,9 persen) lebih tinggi dari rata-rata NEET nasional. Bahkan proporsi tertinggi NEET terdapat pada mereka yang punya gelar pasca sarjana. Penting untuk diingat di sini bahwa dalam kondisi absolut hanya sedikit sekali (3.709) dari kelompok usia 15-24 tahun yang memiliki gelar pasca sarjana. Di antaranya 1.582 tidak berada dalam angkatan kerja. Selain dari kelompok yang hanya lulusan SD atau lebih rendah, gambaran mengenai ketidakaktifan berdasarkan pendidikan dan pengangguran tidak berbeda dengan angka pengangguran. Di kedua kelompok kaum muda tersebut (menganggur dan tidak aktif), persentasenya lebih tinggi di kalangan lulusan SMA dan SMK.

Sumber: ILOSTAT dan Sakernas untuk Indonesia

Gambar 17. NEET (%) pada negara terpilih di Asia Tenggara untuk tahun terakhir yang tersedia

28

As mentioned previously, unemployment rate alone does not fully capture the dynamics of the labour market. And, this indicator on its own does not give a full picture of the quality and productivity of employment. In the case of youth, one of the common indicators used is to understand the level of inactivity. The indicator groups together those who are not employed, studying (education), and attending training (NEET). NEET can also include discouraged young workers who may previously have looked for work, but at the time of the survey are no longer actively searching for employment.

At a young age more people are in schools or receiving training to acquire skills prior to joining the workforce. Those who are not studying and not actively seeking work, in an economic sense, can be considered as “idle”. Looking at the data from several middle or low-middle income countries, the proportion of NEET in Indonesia is relatively high (23.2 percent). Among the selected countries shown in Figure 17, Indonesia is second after Sri Lanka where NEET was as high as 27.7 percent. In Philippines the rate (22.7 percent) is equally high, but slightly lower than Indonesia. In Vietnam, Thailand, and Malaysia NEET rate is almost half compared to Indonesia.

Figure 17. NEET (%) in selected countries in Southeast Asia for latest year available

Source: ILOSTAT and Sakernas for Indonesia

The breakdown of NEET youth by education shows that the percentage among those who have primary school or less (30.9 percent), senior high school (27.6 percent) and vocational high school (29.9 percent) level education is higher than the national NEET average. In fact the highest proportion of NEET was found among those who have a masters degree. It is important to note here that in absolute terms there are relatively few (3,709) in the 15-24 age group who have a masters degree. Among them 1,582 are in the labour force. Apart from the cohort of primary school or less, the picture of inactivity by education and unemployed is

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

Cambodia(2012)

Malaysia(2015)

Myanmar(2015)

Philippines(2016)

Singapore(2014)

Thailand(2016)

Viet Nam(2016)

Indonesia(2016)

Indonesia Malaysia Myanmar Filipina Singapura Thailand Vietnam Indonesia

Page 45: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

30

Gambar 18. Angka (LHS) dan proporsi (RHS dalam %) NEET berdasarkan pendidikan

29

not all that different with the unemployment rate. In both (unemployed and inactive) youth, the percentage is higher among senior high and vocational high school graduates.

Figure 18. Number (LHS) and proportion (RHS in %) of NEET by education

Source: ILO staff calculations using Sakernas data 2016

0.0%

10.0%

20.0%

30.0%

40.0%

50.0%

60.0%

70.0%

0

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

Number of NEET Percent NEET

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 2016

Persen NEETJumlah NEET

Seko

lah D

asar

atau

sebe

lumny

a

Seko

lah M

enen

gah

Atas

Seko

lah M

enen

gah

Perta

ma

Seko

lah M

enen

gah

Kejuru

an

Diplom

a I/II

Diplom

a III

Diplom

a IV/

Sarja

na S

1

Sarja

na S

2

Page 46: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

31

DUNIA saat ini sedang menyaksikan perubahan besar dalam produksi dan distribusi barang serta jasa yang semakin cepat dengan inovasi teknologi. Inovasi ini membentuk masa depan industri dan ketenagakerjaan. Sifat teknologi yang terus berubah selalu mendatangkan dampak signifikan terhadap kehidupan manusia maupun perilaku konsumsi, kesejahteraan dan produksi barang dan jasa. Kemajuan pertama dalam proses produksi dimulai sekitar paruh kedua dari abad ke-18 dan berlanjut hingga paruh pertama abad ke-19 di Inggris. Periode ini, yang kemudian dikenal sebagai revolusi industri pertama, ditandai dengan penemuan-penemuan dan mesin-mesin yang menggantikan tenaga kerja manual dengan mesin. Penggunaan mesin memungkinkan produksi secara massal dan memunculkan pabrik. Mesin uap, pemintal kapas dan pembuat mesin merupakan beberapa perubahan teknologi yang memungkinkan produksi dalam jumlah besar untuk konsumsi.

Antara tahun 1870 dan 1914 penemuan dan penggunaan listrik sebagai sumber energi semakin mempercepat hasil keluaran industri barang pabrikan. Sementara penggunaan telegraf yang semakin meluas sebagai alat komunikasi dan infrastruktur transportasi mendukung logistik dan distribusi barang. Di negara-negara yang kemudian dikenal sebagai pembangunan industri yang masif dan ekspansi jaringan kereta api, pasokan air dan sistem pembuangan air kotor tidak hanya mendorong produksi tapi juga memperbaiki kondisi hidup yang ada di kota. Dengan semakin menyebarluasnya penggunaan mesin, dunia usaha mulai melakukan inovasi dan mengadopsi beberapa pengaturan moderen dan sistem organisasional dalam mengawasi produksi massal (Levy dan Murnane, 2004). Produktivitas meningkat dan membuka jalan bagi dunia usaha untuk menjangkau jumlah konsumen yang lebih besar.

Penggunaan komputer pada 1960-an diikuti oleh komputer pribadi pada 1970-an dan 1980-an. Miniaturisasi semikonduktor, serat optik dan pengembangan internet menjadi pengantar pada apa yang dikenal sebagai revolusi digital. Menurut beberapa analis, kita kini sedang berada pada revolusi industri yang keempat (Schwab, 2016). Perubahan industri terkini terjadi dengan dukungan revolusi digital dan memadukan berbagai jenis teknologi, misalnya pembelajaran menggunakan di antaranya mesin tingkat tinggi, internet-of-things dan teknik percetakan 3D.

Pemikiran kita mengenai pertumbuhan ekonomi jangka panjang ditentukan oleh kerangka teoritis Solow-Swan (Solow dan Swan, 1956). Model ini menjadikan teknologi sebagai bahan utama pertumbuhan jangka panjang dan pembangunan perekonomian. Dulu, pertumbuhan hanya dipandang sebagai proses meningkatnya modal dan tenaga kerja untuk mencapai hasil yang lebih tinggi. Model Solow-Swan ini menunjukkan bahwa karena keuntungan yang semakin sedikit, ada batasan dalam penambahan jumlah

Teknologi, Produktivitas dan Pekerjaan

7

Page 47: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

32

modal dan tenaga kerja untuk mencapai pertumbuhan secara berkelanjutan. Peningkatan teknologi bisa mengimbangi keuntungan yang semakin menurun ini dan memberikan peluang bagi negara untuk mengalami pertumbuhan produktivitas.

Seperti yang disebutkan di atas, teknologi selalu menjadi yang terdepan dalam hal pertumbuhan ekonomi dan produktivitas. Peningkatan modal dan input ketenagakerjaan dalam proses produksi saja tidak cukup untuk menjaga pertumbuhan secara berkelanjutan. Produktivitas merupakan pendorong utama pertumbuhan setelah suatu negara mencapai batas penggunaan modal dan tenaga kerja mereka. Mengakui pentingnya teknologi pada pertumbuhan industrial, semakin banyak lagi negara maupun perusahaan swasta yang mengalokasikan sumber daya mereka pada penelitian dan pengembangan.

Kemajuan teknologi telah berkontribusi pada kesejahteraan manusia di antaranya dalam hal pekerjaan baru, barang, layanan kesehatan, perjalanan dan komunikasi. Pada saat yang bersamaan, teknologi juga memiliki kekuatan yang menggangu. Teknologi dapat memengaruhi bagaimana tenaga kerja dipekerjakan dan perusahaan beroperasi. Perubahan teknologi dalam revolusi industri keempat ini mungkin tidak akan sedrastis yang terjadi di masa lalu, namun percepatan perbaikan dan adopsi teknologi terjadi lebih cepat lagi. Revolusi industri sebelumnya membutuhkan waktu beberapa dasawarsa untuk benar-benar mengalami perubahan sehingga waktu penyesuaian pun lebih panjang, terutama pada pasar kerja.

7.1 Berkah untuk Penciptaan Lapangan Kerja?Beberapa studi (Frey & Osborne, 2013); (Tassey, 2014); (Leopold, dkk, 2016) menunjukkan bahwa

secara luas, peningkatan teknologi memiliki dampak negatif dan positif terhadap pekerjaan. Ketika teknologi mengambil alih, ada beberapa pekerjaan yang hilang dan pekerja harus meningkatkan atau mempelajari keterampilan baru agar tetap berada di pasar kerja. Di beberapa kasus, teknologi secara langsung menggantikan pekerja, sementara pada kasus lain teknologi justru memperkuat sumber daya manusia. Pada sisi hasil, teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan juga meningkatkan permintaan konsumen akan produk, jasa dan industri yang baru. Pada akhirnya, ekspansi ini dapat menciptakan peluang kerja yang baru.

Meskipun di awal terlihat memiliki kekuatan yang menganggu, di masa lalu, teknologi justru membuka jalan untuk terciptanya industri dan pekerjaan baru. Misalnya penggunaan perangkat daring di Indonesia telah menghasilkan pertumbuhan jasa angkutan dengan sangat cepat yang pada akhirnya menciptakan peluang kerja baru bagi banyak orang. Menurut salah satu laporan, sekitar 250,000 orang dikontrak oleh Go-Jek yang merupakan salah satu layanan transportasi daring di Indonesia. Beberapa bahkan berpendapat bahwa alasan mengapa angka pengangguran relatif rendah di Indonesia adalah karena pertumbuhan layanan daring berbasis aplikasi.33

Pada 2017, industri e-dagang Indonesia diperkirakan mengalami pertumbuhan hingga sekitar USD 9,3 miliar.34 Penjualan daring bisa mencapai 8 persen dari total penjualan eceran pada 2020 yang saat ini masih di angka 1 persen. Meskipun digitalisasi masih rendah pada sektor-sektor utama Indonesia, banyak usaha-usaha baru yang bermunculan dan menyebarluas. Pada 2016, total dana yang dikucurkan untuk usaha baru di Indonesia diperkirakan mencapai USD 1,7 miliar (McKinsey, 2016). Menurut GNP Venture Report dari 4,6 juta pembeli daring pada 2013, angkanya sudah bertumbuh menjadi 8,7

33 http://www.thejakartapost.com/news/2016/11/07/ri-sees-unemployment-drop-to-5-61-in-august.html34 http://www.thejakartapost.com/longform/2017/03/03/the-2017-indonesian-startup-popular-sector-forecast.html

Page 48: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

33

juta pada 2016 (Malau, 2016). Menurut McKinsey (2016) dengan merangkul digitalisasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan semakin cepat dan pada 2025 diperkirakan perekonomian akan mendapatkan tambahan sekitar USD 150 miliar.

Perangkat berbasis aplikasi daring juga memudahkan orang mendapatkan pekerjaan di luar perusahaan atau kantor. Bentuk kerja baru ini disebut sebagai “crowdworking” yang memungkinkan mereka yang membutuhkan layanan terhubung dengan mereka yang menyediakan layanan tersebut. Ini termasuk perbaikan, pembersihan rumah, perbaikan kendaraan dan lain sebagainya. Ada bukti bahwa di negara dengan pendapatan yang tinggi seperti Amerika Serikat, alternatif pengaturan kerja seperti crowdworking semakin sering digunakan (Katz & Kreuger, 2017).

Dengan data terbatas, sulit untuk mengatakan berapa banyak warga Indonesia yang melakukan pekerjaan secara bersama (crowdworking) ini. Hadirnya perangkat daring (misalnya Go-Jek) dan jumlah orang yang menggunakan layanan ini sepertinya menyiratkan bahwa crowdworking semakin sering dilakukan. Setidaknya pertumbuhan perangkat pekerjaan daring menciptakan hubungan yang lebih baik antara pemberi kerja dan pencari kerja. Hal ini dapat mengatasi pengangguran friksional yang sering terjadi ketika pemberi kerja tidak dapat secara luas menyebarluaskan lowongan kerja dan pencari kerja potensial juga tidak mengetahui mengenai informasi tersebut. Internet dan media sosial menjadi mak comblang yang mumpuni di pasar kerja (Kuhn, 2014).

Terlebih lagi, pasar kerja daring memberikan ruang yang lebih bagi dunia usaha terutama wirausaha kecil dan menengah. Perangkat e-dagang internet di antaranya Tokopedia, Blibli, Bukalapak dan sebagainya memungkinkan usaha kecil di Indonesia memasarkan produk mereka langsung ke pelanggan. Media sosial juga dapat membantu bisnis secara langsung mencapai pelanggan potensial dan mempromosikan produk mereka. Karena tidak adanya data atau studi mengenai peran media sosial di Indonesia, sulit untuk mengatakan hingga sejauh mana jalur daring ini menciptakan peluang bagi usaha kecil. Namun penelitian yang dilakukan oleh sebuah perusahaan kecil dari China saat perhelatan fesyen retail menunjukkan bahwa usaha kecil dan pelanggan saling berinteraksi lebih intensif melalui media sosial dan bisa menghasilkan penjualan yang lebih tinggi (Ha et.al, 2016).

Ketika kita bicara mengenai penggunaan teknologi di antara perekonomian yang berkembang dan yang sudah maju, biasanya asumsi yang muncul adalah perekonomian yang sedang berkembang masih jauh dari pencapaian teknologi yang paling canggih. Juga negara-negara dengan angkatan kerja yang lebih terampil biasanya lebih dapat menerima kecanggihan teknologi dibandingkan negara-negara yang pekerjanya tidak terlalu terampil (Caselli & Coleman, 2006). Dengan jumlah tenaga kerja (yang tidak terampil) lebih besar di negara-negara berkembang, banyak perusahaan yang merasa lebih ekonomis menambah jumlah tenaga kerja dibandingkan mengadopsi teknologi yang lebih canggih untuk menggantikan manusia.

Namun, penyerapan teknologi di negara-negara berkembang juga akan mengalami perubahan karena perusahaan maupun negara berupaya lebih meningkatkan daya saing mereka di dunia yang maju ini. Misalnya penjualan robot industri yang dapat menggantikan pekerja manusia lebih tinggi di negara yang berkembang.35 Sepuluh negara teratas dalam hal penjualan robot industri sebagian besar adalah negara maju, namun tren ini mungkin akan berubah. Pada 2015, China menjadi tujuan utama penjualan robot industrial dengan sekitar 27 persen dari keseluruhan 253,748 robot yang dijual pada tahun itu. Meskipun jumlah robot industrial di Indonesia masih rendah, penjualan robot mengalami peningkatan hingga 20 kali lipat dari 314 pada 2005 menjadi 6,265 pada 2015 (IFR, 2016).

35 http://www.huffingtonpost.com/hal-sirkin/robots-workers-countries_b_9992960.html

Page 49: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

34

Semakin tingginya penggunaan robot di Indonesia dapat disebabkan oleh perusahaan-perusahaan yang berusaha meningkatkan daya saing dan mungkin tidak bisa melakukannya melalui pendekatan padat karya yang menjadi ciri dari proses produksi di masa lampau. Tanpa data, sulit untuk mengatakan bagaimana penggunaan robot memengaruhi pekerjaan di Indonesia. Dapat dipahami ketika pemerintah menganggap otomatisasi cepat sebagai salah satu tantangan yang dapat berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK), menimbulkan ketidakseimbangan dan semakin memperburuk ketimpangan pendapatan.36

Keuntungan produktivitas dan efisiensi yang didapat dari penggunaan teknologi tidak hanya dirasakan oleh sektor swasta. Kemajuan teknologi membantu pemerintah di seluruh dunia untuk menjawab permasalahan aksesibilitas fisik. Saat ini banyak negara yang menawarkan layanan masyarakat melalui portal publik. Dan ini akan terus meningkat. Ketimbang menghabiskan waktu datang ke kantor-kantor pemerintahan, yang seringkali menjadi masalah terutama untuk daerah terpencil dengan aksesibilitas yang buruk, jauh lebih baik bila masyarakat bisa mendapatkan layanan itu secara daring. Misalnya, penggunaan kartu tanda penduduk elektronik, termasuk penggunaan penanda biometrik, memungkinkan India melakukan pembayaran bantuan sosial langsung kepada mereka yang berhak sehingga bisa menghindari kebocoran dana dan mendorong transparansi.37 Di Indonesia, upaya pun dilakukan untuk membuat KTP elektronik (KTP-el), dan melakukan digitalisasi layanan publik.

7.2 Ancaman terhadap Pekerjaan?Di sisi lain dari perdebatan antara pekerjaan dengan teknologi, terdapat kekhawatiran tentang

bagimana otomatisasi dan digitalisasi menjadikan semakin sulitnya mencari pekerjaan terutama karena melambannya pertumbuhan ekonomi global. Menurut ILO (2017) pekerjaan layak yang tercipta di tingkat global tidaklah cukup untuk menahan peningkatan pekerjaan yang informal dan rentan. Bahkan pada kondisi kuantitatif, pertumbuhan ketenagakerjaan (1.4 persen) mengalami pelambanan sejak tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2000-2007 di mana pertumbuhannya mencapai 1,7 persen.

Sepertinya terdapat konsensus bahwa pekerjaan yang melibatkan kegiatan repetitif semakin mungkin mengalami otomatisasi. Otomatisasi mengakibatkan penggantian tenaga kerja di industri (Akst, 2013). Beberapa ada yang berargumentasi bahwa pekerjaan yang memiliki risiko tinggi adalah pekerjaan yang sifatnya sederhana dan mendasar. Pekerja dengan keterampilan “biasa saja” akan digeser oleh mesin dan otomatisasi (Brynjolfsson & McAfee, 2014). Risiko penggantian pekerjaan tidak hanya terjadi pada pekerjaan mendasar atau kerah biru.

Pekerjaan administratif/kerah putih yang melibatkan kegiatan repetitif dan administratif juga akan tergantikan oleh mesin atau kecerdasan buatan. Bahkan ada tren semakin berkurangnya pekerjaan tingkat menengah (Gambar 19) yang menimbulkan polarisasi pekerjaan (Bank Dunia, 2016). Ada juga tren serupa di perekonomian yang besar di dunia ini misalnya di Amerika Serikat, Uni Eropa dan India di mana proporsi pekerjaan yang melibatkan tugas-tugas rutin semakin menghilang.38

36 https://asia.nikkei.com/Spotlight/The-Future-of-Asia-2017/Beware-of-robots-says-Indonesian-Vice-President-Kalla37 https://uidai.gov.in/your-aadhaar/about-aadhaar.html38 http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/presentation/wcms_552678.pdf

Page 50: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

35

Pekerjaan yang membutuhkan keterampilan kreatif dan sosial serta proses pengambilan keputusan yang kompleks pada lingkungan yang tidak pasti akan sulit tergantikan oleh mesin atau kecerdasan buatan. Karenanya permintaan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kemampuan menyelesaikan masalah yang kompleks serta keterampilan sosial dan kognitif akan lebih tinggi di masa yang akan datang (Leopold, 2016). Selain itu, sejumlah besar pekerjaan tingkat menengah akan membutuhkan keterampilan vokasional khusus yang dipadukan dengan pengetahuan dasar terkait keaksaraan, berhitung, beradaptasi dan penyelesaian masalah (Autor, 2015). Selain itu, pekerja di masa depan akan membutuhkan keterampilan agar dapat mengoperasikan dan bekerja menggunakan mesin dan digitalisasi. Ini termasuk di dalamnya wearable computing, internet-of-things (termasuk data analisis dan pengumpulan data), penggunaan gawai multi-fungsi untuk bekerja dan realitas yang bertambah (augmented reality) (Mercer, 2015).

Menurut sebuah studi ILO mengenai ASEAN (ILO, 2016) lebih dari 60 persen pekerjaan berupah di bidang elektronika, otomotif, dan tekstil serta pakaian jadi terancam dan mungkin akan hilang karena otomatisasi. Persentase pekerjaan yang berisiko kini mencapai 85 persen pada perdagangan retail. Secara keseluruhan, hasil temuan studi itu menunjukkan bahwa dalam beberapa dasawarsa ke depan semua pekerjaan akan mengalami otomatisasi di ASEAN-5 (Kamboja, Indonesia, Thailand, Filipina dan Vietnam). Dari kelima negara tersebut, risiko pekerjaan yang mengalami otomatisasi tertinggi adalah Vietnam (70 persen), diikuti Filipina (57 persen) dan Indonesia menyusul pada angka 56 persen. Probabilitas hilangnya pekerjaan di Thailand adalah yang terkecil (44 persen). Perkiraan untuk Indonesia dan negara-negara ASEAN lain dibuat berdasarkan metodologi yang dikembangkan oleh Frey dan Osborne untuk mencaritahu jenis pekerjaan yang berisiko tergantikan oleh mesin dan otomatisasi. Pekerjaan di ASEAN memiliki sembilan variabel yang dikelompokkan menjadi tiga tugas yang tidak dapat diotomatisasi karena membutuhkan persepsi dan manipulasi, kecerdasan kreatif dan kecerdasan sosial.

Dalam penelitian mengenai 702 pekerjaan di Amerika Serikat, Frey dan Osborne (2013) memperkirakan 47 persen pekerjaan akan berisiko. Pada studi yang lain McKinsey menyimpulkan bahwa 45 persen tugas yang dilakukan pekerja menjadi punah melalui otomatisasi (McKinsey, 2017). Kedua studi ini menunjukkan proporsi yang sangat tinggi dari pekerjaan yang akan hilang. Namun Arntz dkk (2016) menemukan bahwa hanya 9 persen pekerjaan di negara-negara anggota Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) yang berisiko hilang. Studi ini berusaha membedakan antara tugas yang ada dalam sebuah pekerjaan. Secara umum, pekerjaan atau jabatan terdiri dari pelaksanaan beberapa tugas dan sangat mungkin otomatisasi memengaruhi beberapa tugas tersebut dan karenanya

Gambar 19. Penurunan pekerjaan tingkat menengah yang melibatkan tugas rutin

Sumber: Laporan Pembangunan Dunia, 2016

34

There seems to be a consensus that work involving repetitive tasks is increasingly being automated. Automation has led to labour replacement in industry (Akst, 2013). Some argue that jobs at high risk are simple and elementary in nature. Workers with “ordinary” skills will end up losing their jobs to machines and automation (Brynjolfsson & McAfee, 2014). The risk of job substitution may not be limited to only elementary or blue collar workers. White collar jobs which involve repetitive and administrative tasks are also likely to be taken over by machines or artificial intelligence (AI). In fact, there is a growing trend of mid-level jobs are being squeezed (Figure 19) resulting in a polarization of occupations (World Bank, 2016). There are similar trends in the larger global economies of the world such as the USA, European Union, and India where higher proportional of jobs involving routine tasks are being lost38.

Figure 19. Decline of mid-level jobs involving routine tasks

Source: World Development Report, 2016

Jobs requiring social and creative skills, complex decision-making processes in an uncertain environment are harder to replace by machines or AI. It is, therefore, likely that such jobs which require complex problem solving, social and cognitive skills will be far more in demand in future (Leopold, 2016). Also, a significant number of future middle-level jobs will require specific vocational skills combined with foundational levels of literacy, numeracy, adaptability, and problem solving (Autor, 2015). In addition to this, future workers will need skills to be able to operate and collaborate with machines and digitization. These include wearable computing, internet of things (including analytic and big data), using multi-function devices for work, and augmented reality (Mercer, 2015). According to an ILO study on ASEAN (ILO, 2016a) more than 60 percent of salaried jobs in electronics, automotive, and textiles and clothing are at threat and possibly could be lost to

38 http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/presentation/wcms_552678.pdf

-14% -12% -10% -8% -6% -4% -2% 0%

Developed Countries

Developing CountriesNegara Berkembang

Negara Maju

Page 51: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

36

tidak bisa sama sekali menghapus sebuah pekerjaan. Dalam situasi tersebut, pekerjaan dapat mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu di mana beberapa fungsi atau tugas menjadi berulang akibat tugas lain yang ditambahkan ke dalam jabatan yang sama atau bahkan menimbulkan jabatan baru.

7.3 Memandang ke Depan: Teknologi dan PerusahaanAgar dapat memahami bagaimana perusahaan Indonesia menanggapi peran teknologi dan

dampaknya terhadap dunia usaha, di bawah ini kami memaparkan temuan dari survei perusahaan. Sebanyak 732 perusahan mengikuti survei ini. ILO melakukan survei ini pada 2015 sebagai bagian dari laporan regional “ASEAN dalam Transformasi: Bagaimana Teknologi Mengubah Perusahaan dan Pekerjaan Masa Depan”. Tujuan dari survei ini adalah memahami kemajuan saat ini dan persepsi sektor swasta dalam hal teknologi, pembangunan industrial, integrasi sosial dan pekerjaan.

Responden survei ini adalah 67 persen bisnis pada sektor jasa dan 33 persen bisnis pada sektor manufaktur. Lebih dari 14 persen adalah usaha kecil, yang mempekerjakan antara lima hingga 19 orang pekerja, 27 persen adalah usaha menengah yang mempekerjakan 20 hingga 99 pekerja, dan 59 persen merupakan perusahaan besar yang mempekerjakan lebih dari 100 pekerja. Hampir 4 persen perusahaan itu berdiri sebelum tahun 1950, 30 persen antara tahun 1950 dan 1989, 51 persen antara tahun 1990 dan 2009, dan 15 persen antara tahun 2010 dan 2015.

Sekitar 35 persen perusahaan di Indonesia melakukan peningkatan teknologi lebih tinggi dari rata-rata ASEAN yang hanya 27 persen (Gambar 20, panel a). Terlebih lagi, sekitar 34 persen perusahaan di Indonesia mendelegasikan tanggung jawab untuk perlindungan data, sekali lagi lebih tinggi dari rata-rata ASEAN yang sebesar 28 persen. Selain itu 20 persen perusahaan Indonesia melakukan investasi di bidang penelitian dan pengembangan (litbang) serta melindungi hak kekayaan intelektual (HAKI).

Jumlah perusahaan manufaktur yang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan teknologi lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang berada di sektor jasa (Gambar 20, panel b). Hampir 45 persen perusahaan manufaktur mengatakan mereka melindungi data dan meningkatkan kecanggihan teknologi yang mereka gunakan, dibandingkan dengan 30 persen perusahaan sektor jasa. Selain itu, sekitar 25 persen perusahaan manufaktur melakukan investasi di bidang litbang, serta melindungi HAKI, dibandingkan dengan kurang dari 20 persen perusahaan di sektor jasa.

Tidak mengherankan bila perusahaan besar memiliki nilai yang lebih tinggi dalam hal fungsi-fungsi yang berhubungan dengan teknologi dibandingkan dengan perusahaan kecil dan menengah (Gambar 20, panel c). Dari seluruh perusahaan, 44 persen melindungi data mereka, 45 persen meningkatkan kecanggihan teknologi, 27 persen melakukan investasi di bidang litbang dan 26 melindungi HAKI. Hasil ini kemudian dibandingkan lagi dengan perusahaan menengah yang memiliki proporsi lebih rendah dalam hal perlindungan data dan peningkatan kecanggihan teknologi (sekitar 27 persen), dan investasi pada litbang (9 persen). Proporsi perusahaan kecil yang melakukan perlindungan data dan peningkatan kecanggihan teknologi jauh lebih kecil lagi (15 persen), dan sementara pada litbang (10 persen). Yang menarik, sekitar 10 persen perusahaan kecil mengatakan mereka melindungi data HAKI, sedikit lebih tinggi dari proporsi perusahaan menengah yang melakukannya (8,9 persen).

Perusahaan yang sudah berusia cukup tua, terutama yang didirikan sebelum tahun 1950-an merupakan perusahaan terdepan yang memiliki fungsi berhubungan dengan teknologi di Indonesia (Gambar 20, panel d). Sebaliknya, perusahaan yang lebih muda jarang melakukan peningkatan kecanggihan teknologi, melindungi data, berinvestasi pada litbang dan melindungi HAKI. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa semakin matang/tua perusahaan, maka semakin besar ukurannya

Page 52: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

37

dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Memang perusahaan yang berdiri sebelum tahun 1950-an sebagian besar adalah perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 100 pekerja. Penting untuk dicatat di sini bahwa hanya 4 persen perusahaan yang diwawancarai berdiri sebelum tahun 1950.

Perusahaan di Indonesia menghadapi berbagai hambatan dalam meningkatkan kecanggihan teknologi (Gambar 21, panel a). Sedikit lebih tinggi daripada rata-rata ASEAN, sekitar satu dari tiga perusahaan di Indonesia mengatakan tingginya biaya modal tetap menjadi hambatan utama. Hambatan kedua bagi perusahaan di Indonesia maupun ASEAN adalah kurangnya angkatan kerja yang terampil.

Untuk perusahaan di sektor manufaktur dan jasa, tingginya biaya modal tetap merupakan hambatan utama dalam meningkatkan kecanggihan teknologi (Gambar 21, panel b). Perusahaan manufaktur mengatakan bahwa hambatan besar lain dalam meningkatkan kecanggihan teknologi adalah tingginya biaya perizinan (14,5 persen), dan kurangnya operator yang terampil (12,4 persen). Bila dibandingkan dengan perusahaan di sektor jasa, hambatan lain dalam peningkatan kecanggihan teknologi adalah kurangnya operator yang terampil (14,3 persen) dan tingginya biaya perizinan (11,2 persen).

Perusahaan kecil, menengah dan besar semua mengatakan bahwa hambatan terbesar dalam meningkatkan kecanggihan teknologi adalah tingginya biaya modal tetap (Gambar 21, panel c). Baik untuk perusahaan kecil dan besar, kurangnya operator yang terampil dan tingginya biaya perizinan merupakan hambatan terbesar kedua dan ketiga dalam meningkatkan kecanggihan teknologi. Bila dibandingkan, perusahaan menengah mengatakan hambatan terbesar kedua dan ketiga adalah tingginya biaya perizinan dan kurangnya operator yang terampil.

Gambar 20. Tindakan yang dilakukan perusahaan berdasarkan a) perbandingan dengan ASEAN, b) sektor, c) ukuran dan d) usia

37

Figure 20. Action taken by enterprises shown by a) comparing with ASEAN b) sectors c) size and d) age

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

Enterprises in Indonesia face a number of barriers to upgrading technology (

Figure 21, panel a). Slightly higher than the ASEAN average, around one in three enterprises in Indonesia cited high fixed capital costs as the main obstacle. The second major barrier for enterprises in both Indonesia and across ASEAN was lack of skilled workforce.

For enterprises in manufacturing and services, the high cost of fixed capital was reportedly the key barrier to upgrading technology (

Figure 21, panel b). Manufacturing enterprises reported that other major obstacles to upgrading technology were high licensing costs (14.5 percent), and lack of skilled operators (12.4 percent). By comparison, according to enterprises in services, the other main obstacles to upgrading technology were lack of skilled operators (14.3 percent) and high licensing costs (11.2 percent).

0%

10%

20%

30%

40%

Protects IP Invests inR&D

Protects data Upgradestechnology

a.

ASEAN Indonesia

0%

10%

20%

30%

40%

50%

Protects IP Invests inR&D

Protects data Upgradestechnology

b.

Indonesia Manufacturing Services

0%

10%

20%

30%

40%

50%

Protects IP Invests inR&D

Upgradestech.

Protects data

c.

Indonesia Small Medium Large

0%

20%

40%

60%

Protects IP Invests inR&D

Protects data Upgradestechnology

d.

Indonesia Pre-1950s 1950-1989 1990-2009 2010-2015

Sumber ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

Perlindungan HAKI

ASEAN Indonesia Indonesia Manufaktur Jasa

Indonesia Kecil Menengah Indonesia Sebelum1950

Perlindungan HAKI

Perlindungan HAKI

Perlindungan HAKI

Perlindungan data

Perlindungan data

Perlindungan data

Perlindungan data

Investasi litbang

Investasi litbang

Investasi litbang

Investasi litbang

Peningkatan teknologi

Peningkatan teknologi

Peningkatan teknologi

Peningkatan teknologi

Besar

Page 53: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

38

Semua perusahaan tanpa memandang usia, mengatakan bahwa biaya modal yang tinggi menjadi hambatan utama dalam meningkatkan kecanggihan teknologi (panel d). Perusahaan yang berdiri setelah tahun 1950-an mengalami kekurangan operator yang terampil dan biaya perizinan yang tinggi merupakan hambatan kedua dan ketiga dalam meningkatkan kecanggihan teknologi. Penting untuk dicatat bahwa untuk perusahaan yang berdiri sebelum tahun 1950-an biaya perizinan yang tinggi dan risiko yang tinggi menjadi hambatan kedua dan ketiga terbesar dalam meningkatkan kecanggihan teknologi.

Belakangan ini, bentuk pekerjaan non-tradisional dengan mobilitas fungsional atau geografi menjadi umum dilakukan di pasar kerja. Dalam hal ini, perusahaan ditanya apakah saat ini mereka mempekerjakan pekerja lepasan, pekerja migran internasional atau pekerja yang bekerja secara jarak jauh (Gambar 22).39

39 Tiga jenis pekerja ini masuk ke dalam kategori pekerja non-tradisional. Menurut definisi ILO, pekerjaan non-tradisional atau non-standar adalah pekerjaan yang secara definisi memiliki pengaturan kerja yang berbeda dari pekerjaan standar lainnya, termasuk di dalamnya kontrak tidak tetap atau tetap, agen tidak tetap atau pekerjaan dengan penugasan jarak jauh, kerja mandiri dan paruh waktu.

Gambar 21. Hambatan peningkatan kecanggihan teknologi berdasarkan a) Perbandingan dengan ASEAN, b) sektor, c) ukuran dan d) usia

Sumber: ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

38

Small, medium and large enterprises all reported that the biggest barrier to technology upgrading was high fixed capital costs ( Figure 21, panel c). For both small and large enterprises, lack of skilled operators and high licensing costs were the second and third major barriers respectively to technology upgrading. By comparison, medium-sized enterprises reported that the second and third largest obstacles were high licensing cost and lack of skilled operators respectively.

Figure 21 . Barriers to technology upgrade shown by a) comparison to ASEAN, b) sectors, c) size and d) age

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016) All the enterprises, regardless of their age, reported that high fixed capital as the main obstacle to technology upgrading ( Figure 21, panel d). Enterprises founded after 1950 reported lack of skilled operators and high licensing costs as the second and third key obstacles respectively to technology upgrading. It is worth noting that for those founded before 1950, high licensing costs and high risk were the second and third leading barriers to upgrading technology.

0%

10%

20%

30%

Risk iscurrentlytoo high

Lackknowledge

oncapabilities

Licensingcosts too

high

Lackskilled

operators

Fixedcapital

costs toohigh

a.

ASEAN Indonesia

0%

10%

20%

30%

40%

Risk iscurrentlytoo high

Lackknowledge

oncapabilities

Licensingcosts too

high

Lackskilled

operators

Fixedcapital

costs toohigh

b.

Indonesia Manufacturing Services

0%

10%

20%

30%

40%

Risk iscurrentlytoo high

Lackknowledge

oncapabilities

Licensingcosts too

high

Lackskilled

operators

Fixedcapital

costs toohigh

c.

Indonesia Small Medium Large

0%

10%

20%

30%

40%

Risk iscurrentlytoo high

Lackknowledge

oncapabilities

Licensingcosts too

high

Lack skilledoperators

Fixedcapital costs

too high

d.

Indonesia Pre-1950s 1950-1989 1990-2009 2010-2015

Indonesia Indonesia

Sebelum 1950

Indonesia Indonesia Kecil Besar Menengah

Manufaktur JasaASEAN

Risiko terlalu tinggi

Risiko terlalu tinggi

Risiko terlalu tinggi

Risiko terlalu tinggi

Kurang penge-tahuan tentang kemam-

puan

Kurang penge-tahuan tentang kemam-

puan

Kurang penge-tahuan tentang kemam-

puan

Kurang penge-tahuan tentang kemam-

puan

Biaya perizinan terlalu tinggi

Biaya perizinan terlalu tinggi

Biaya perizinan terlalu tinggi

Biaya perizinan terlalu tinggi

Kurangnya opera-

tor yang terampil

Kurangnya opera-

tor yang terampil

Kurangnya operator yang ter-

ampil

Kurangnya operator yang ter-

ampil

Biaya modal tetap

terlalu tinggi

Biaya modal tetap

terlalu tinggi

Biaya modal tetap

terlalu tinggi

Biaya modal tetap

terlalu tinggi

Page 54: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

39

Dari total perusahaan yang disurvei di Indonesia, 55 persen mempekerjakan pekerja lepasan, sekitar 36 persen mempekerjakan tenaga kerja asing dan 30 persen mempekerjakan mereka yang bekerja secara jarak jauh. Jika dibandingkan, jumlah perusahaan yang mempekerjakan pekerja lepasan di ASEAN (44 persen), dan pekerja jarak jauh (27 persen) lebih sedikit, namun jumlah perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing lebih besar (41 persen). Jumlah pekerja asing yang lebih sedikit di perusahaan di Indonesia dapat dikaitkan dengan fakta bahwa setelah Myanmar, Indonesia merupakan negara pengirim tenaga kerja migran kedua terbesar di kawasan ini.40

Proporsi perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tiga jenis pekerjaan non-tradisional dibandingkan dengan perusahaan sektor jasa lebih tinggi. Dari seluruh perusahaan manufaktur hampir 70 persen mempekerjakan pekerja lepasan, dan 43 persen mempekerjakan tenaga kerja asing dan pekerja jarak jauh. Dari seluruh perusahaan di sektor jasa, 48 persen mempekerjakan pekerja lepasan, 33 persen mempekerjakan pekerja asing, dan 23 persen mempekerjakan pekerja jarak jauh.

Selain itu, di Indonesia, jumlah perusahaan kecil dan menengah yang mempekerjakan pekerja lepasan dan jarak jauh lebih banyak dibandingkan perusahaan besar. Sekitar 66 persen perusahaan kecil dan 65 persen perusahaan menengah memiliki pekerjaan untuk pekerja lepasan, dibandingkan dengan perusahaan besar sekitar 48 persen. Proporsi perusahaan kecil dan menengah yang mempekerjakan pekerja jarak jauh dua kali lebih banyak dibandingkan perusahaan besar (41 persen untuk perusahaan kecil dan 43 persen untuk perusahaan menengah dibandingkan sekitar 21 persen perusahaan besar). Bahkan 54 persen perusahaan kecil mempekerjakan tenaga kerja asing bila dibandingkan dengan 33 persen perusahaan menengah dan 30 persen perusahaan besar yang melakukan hal serupa.

Perusahaan juga ditanyai mengenai karakteristik posisi pekerjaan di mana umumnya mereka mempekerjakan pekerja lepasan, pekerja asing dan pekerja jarak jauh, dan keinginan mereka melakukannya (gambar 23, panel a, b dan c). Dalam kuesioner, perusahaan dapat memilih satu atau lebih pilihan, yaitu, i) posisi apapun; ii) hanya sementara; iii) hanya bila upahnya rendah; iv) hanya bila keterampilan rendah; v) hanya bila tanggungjawabnya rendah; atau vi) tidak mempekerjakan mereka dalam situasi apapun.

40 UNDESA: United Nations Global Migration Database (2017).

Gambar 22. Mempekerjakan berbagai jenis pekerja dibandingkan dengan negara ASEAN lain, sektor dan ukuran

Sumber: ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

39

Lately, non-traditional forms of employment with functional or geographical mobility is becoming more common in the labour market. In this regard, enterprises were asked whether they currently engaged freelance workers, international migrant workers, or employees who worked remotely (Figure 22).39

Figure 22. Employing different types of workers compared to ASEAN, sectors, and size

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

Of the total enterprises surveyed in Indonesia, 55 percent employed freelance workers, about 36 percent employed international migrant workers and 30 percent employed people who worked remotely. By comparison, less enterprises across ASEAN employed freelance workers (44 percent), and remote workers (27 percent), but more enterprises employed international migrant workers (41 percent). Relatively low share of international migrant workers in Indonesian enterprises can be associated to the fact that, after Myanmar, Indonesia is the second largest migrant sending country in the region.40

A higher share of manufacturing enterprises employed the three types of non-traditional workers compared to services enterprises. Of manufacturing enterprises, almost 70 percent employed freelance workers, and 43 percent employed international migrant workers and remote workers. Among enterprises in the services sector, 48 percent of employed freelance workers, 33 percent employed international migrant workers and 23 percent employed remote workers.

Additionally, in Indonesia, a higher share of small and medium enterprises employed freelance and remote workers compared to large enterprises. Around 66 percent of small enterprises and 65 percent of medium enterprises provided employment to freelance

39 These three types of workers fall into the category of non-traditional workers. According to the ILO definition, non-traditional, or non-standard work refers to jobs falling outside the realm of standard work arrangements. This includes temporary or fixed-term contracts, temporary agency or dispatched work, dependent self-employment, and part-time work). 40 UNDESA: United Nations Global Migration Database (2017).

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

Freelance workers International migrant workers Remote workersPekerja paruh waktu Pekerja jarak jauhPekerja migran internasional

Manufak

tur

ASEA

NKe

cilJa

sa

Indo

nesia

Menen

gah

Besa

r

Page 55: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

40

Jumlah perusahaan Indonesia yang memilih mempekerjakan pekerja asing untuk sementara waktu lebih tinggi (41 persen) bila dibandingkan dengan negara ASEAN lain (31 persen). Dalam hal mempekerjakan pekerja lepasan, perusahaan Indonesia memilih hal tersebut bila pekerjaannya sementara, berupah rendah, berketerampilan rendah atau tanggung jawab yang dikenakan rendah. Bahkan lebih dari sepertiga perusahaan di Indonesia mengatakan mereka tidak akan mempekerjakan pekerja asing, dan hampir setengahnya mengatakan mereka tidak akan mempekerjakan pekerja jarak jauh. Proporsi perusahaan Indonesia yang akan mempekerjakan pekerja asing dan jarak jauh untuk posisi apapun adalah sebesar 19 dan 14 persen.

Jawaban berdasarkan sektor di Indonesia juga sangat berbeda-beda. Perusahaan manufaktur lebih mungkin mempekerjakan tiga jenis pekerja ini dengan kondisi tertentu (terutama bila pekerjaan itu bersifat sementara) bila dibandingkan dengan sektor jasa. Di kalangan perusahaan sektor jasa, 53 persen tidak akan pernah mempekerjakan pekerja jarak jauh, 43 persen tidak akan mempekerjakan pekerja asing dan 27 persen tidak akan mempekerjakan pekerja lepasan. Sebaliknya di perusahaan manufaktur, 32 persen tidak akan mempekerjakan pekerja jarak jauh, 23 persen tidak akan mempekerjakan pekerja asing dan 12 persen tidak akan mempekerjakan pekerja lepasan. Patut untuk disoroti di sini bahwa hampir 19 persen perusahaan manufaktur dan 20 persen perusahaan sektor jasa mau mempekerjakan pekerja asing untuk posisi apa pun tanpa memandang situasinya.

Perusahaan besar lebih cenderung tidak mempekerjakan tiga jenis pekerja ini bila dibandingkan dengan perusahaan kecil dan menengah. Di kalangan perusahaan Indonesia yang mempekerjakan lebih dari 100 orang pekerja, 57 persen di antaranya mengatakan mereka tidak akan mempekerjakan pekerja jarak jauh, 45 persen mengatakan mereka tidak akan mempekerjakan pekerja asing, dan 26 persen

Gambar 23. Kondisi yang mendasari perekrutan pekerja migran, lepas, atau jarak jauh

40

workers, compared to 48 percent of large enterprises. The share of small and medium enterprises that employed remote workers was twice that of large enterprises (41 percent for small enterprises and 43 percent for medium enterprises compared to 21 percent for large enterprises). Moreover, 54 percent of small enterprises employed international migrant workers, compared to 33 percent of medium enterprise and 30 percent of large enterprises that reported doing so.

Enterprises were also asked about the characteristics of the positions for which they normally hire freelance workers, international migrant workers, and remote workers, and their willingness to do so (Figure 23, panels a, b, and c). In the questionnaire, enterprises could choose one or more options, namely, i) practically any position; ii) only if temporary; iii) only if low-paid; iv) only if low-skill; v) only if low-responsibility; or; vi) not hiring them under any condition.

Figure 23. Conditions for recruiting international migrant, freelance, or remote workers

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

More Indonesian enterprises (41 percent) preferred to hire international workers for temporary periods compared to ASEAN (31 percent). In terms of hiring freelance workers, Indonesian enterprises preferred that such employment was temporary, low-paid, low-skilled or requiring little responsibility. Moreover, more than one third of enterprises in Indonesia

0% 50% 100% 150%

Large

Medium

Small

Services

Manufacturing

IndonesiaASEAN

a. Freelance workers

Practically any position Only if temporaryOnly if low-paid Only if low-skillOnly if low-responsibility Never (under no condition)

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

LargeMedium

Small

ServicesManufacturing

IndonesiaASEAN

b. International migrant workers

Practically any position Only if temporary

Only if low-paid Only if low-skill

Only if low-responsibility Never (under no condition)

0% 30% 60% 90% 120% 150%

Large

MediumSmall

Services

Manufacturing

Indonesia

ASEANc. Remote workers

Practically any position Only if temporaryOnly if low-paid Only if low-skillOnly if low-responsibility Never (under no condition)

Sumber: ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

c. Pekerja jarak jauh

a. Pekerja paruh waktu

ASEAN

ASEAN

ASEAN

Kecil

Kecil

Kecil

Manufaktur

Manufaktur

Manufaktur

Indonesia

Indonesia

Indonesia

Menengah

Menengah

Menengah

Besar

Besar

Besar

Jasa

Jasa

Jasa

a. Pekerja migran internasional

Posisi apapun hanya sementara

hanya bila upahnya rendah hanya bila keterampilan rendah

hanya bila tanggungjawabnya rendah tidak mempekerjakan mereka dalam situasi apapun

Posisi apapun hanya sementara

hanya bila upahnya rendah hanya bila keterampilan rendah

hanya bila tanggungjawabnya rendah tidak mempekerjakan mereka dalam situasi apapun

Posisi apapun hanya sementarahanya bila upahnya rendah hanya bila keterampilan rendahhanya bila tanggungjawabnya rendah tidak mempekerjakan mereka dalam situasi apapun

Page 56: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

41

mengatakan mereka tidak akan mempekerjakan pekerja lepasan. Bila dibandingkan, perusahaan kecil lebih mau mempekerjakan tiga jenis pekerja ini dengan beberapa kondisi tertentu.

Sebanyak 64 persen perusahaan kecil mengatakan mereka mau mempekerjakan pekerja asing untuk posisi-posisi tidak tetap, 42 persen akan mempekerjakan pekerja lepasan dalam pengaturan sementara dan 41 persen akan mempekerjakan pekerja jarak jauh untuk posisi sementara. Sama halnya dengan perusahaan menengah yang mau mempekerjakan tiga jenis pekerja non-tradisional ini dengan persyaratan kontraktual yang sementara sifatnya. Perusahaan kecil dan menengah lebih terbuka dalam mempekerjakan jenis pekerja ini agar dapat mengurangi biaya operasional, mengingat keterbatasan keuangan perusahaan kecil dan menengah bila dibandingkan dengan perusahaan yang lebih besar.

Secara keseluruhan, perusahaan di Indonesia cukup optimis akan prospek bisnis di masa depan (Gambar 24). Lebih dari 60 persen percaya bahwa keuntungan, produktivitas ketenagakerjaan, penjualan dalam negeri dan jumlah pekerja terampil yang mereka pekerjakan akan meningkat hingga tahun 2025. Sekitar 50 persen merasa bahwa total ekspor dan tenaga kerja mereka akan mengalami peningkatan, dan 44 persen merasa bahwa jumlah pekerja perempuan yang mereka pekerjakan juga akan meningkat. Namun lebih dari setengah perusahaan mengantisipasi biaya tenaga kerja yang mereka keluarkan, pelatihan staf dan litbang akan mengalami peningkatan. Selain itu dari total perusahaan, 52 persen percaya bahwa permintaan akan energi juga akan mengalami peningkatan, dan 47 persen berpendapat beban peraturan perundangan di Indonesia akan mengalami peningkatan pada 2025.

Perbandingan respons dari berbagai jenis perusahaan terkait dengan kondisi di masa depan hingga 2025 mengungkapkan temuan yang menarik (Gambar 25, panel a & b). Dibandingkan dengan sektor jasa, jumlah perusahaan manufaktur yang meyakini bahwa keuntungan, produktivitas tenaga kerja, pekerja terampil, dan jumlah pekerja serta pekerja perempuan akan mengalami peningkatan lebih besar. Namun, lebih banyak lagi perusahaan manufaktur yang mengatakan bahwa beban peraturan perundangan dan beban yang berhubungan dengan energi dan tenaga kerja serta pengeluaran untuk litbang dan pelatihan staf akan meningkat. Sama halnya dengan proporsi perusahaan kecil yang mengantisipasi keuntungan

Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan

42

energy would increase, and 47 percent thought that the regulatory burden in Indonesia would increase by 2025.

Figure 24. Long-term business prospects in future

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

The comparison of responses by different types of enterprises regarding future outlook through 2025 reveals interesting findings (

Figure 25, panel a & b). Compared to services, a larger share of manufacturing enterprises believed that profits, labour productivity, high-skilled workers, total workers and women

0% 50% 100%

Regulatory burden

Demand for energy

Spending on R&D

Spending on training

Labour cost per worker

Women employed

Exports

Total workers employed

High-skill workers emp.

Domestic sales

Labour productivity

Profits

Increase No impact Reduce Don’t know

Sumber: ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

Bertambah Berkurang Tidak TahuTidak Berdampak

Laba

Jumlah pekerja

Pengeluaran untuk pelatihan

Penjualan domestik

Pekerja perempuan

Kebutuhan akan energi

Beban peraturan

Produktivitas pekerja

Ekspor

Pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan

Pekerja berketerampilan tinggi

Biaya tenaga kerja per pekerja

Page 57: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

42

Dalam survei, perusahaan diminta untuk mempertimbangkan kemungkinan dampak kemajuan teknologi terhadap operasional perusahaan jangka panjang (2025). Secara keseluruhan, perusahaan Indonesia terlihat optimis dalam hal ini (Gambar 26). Lebih dari setengah percaya bahwa produktivitas tenaga kerja, penjualan dalam negeri, keuntungan dan pekerja terampil akan mengalami peningkatan karena ada kemajuan teknologi. Sekitar 40 persen merasa bahwa ekspor juga akan meningkat. Dalam hal penggantian pekerjaan, dibandingkan dengan rata-rata di ASEAN, perusahaan di Indonesia percaya bahwa dampak teknologi terhadap pekerjaan akan sangat tinggi. Namun 29 persen perusahaan juga percaya bahwa jumlah total pekerjaan akan meningkat, sementara 32 persen yakin bahwa jumlah total pekerja yang dipekerjaan akan menurun. Bila dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan di negara ASEAN lainnya, 34 persen mengatakan teknologi akan meningkatkan jumlah pekerjaan, dan 23 persen mengatakan teknologi akan mengurangi jumlah pekerja yang dipekerjakan.41

Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor dan b) ukuran

Sumber: ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

44

Figure 25. Long-term future prospects by a) sector b) size

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

In the survey, enterprises were asked to consider the likely impact of technological advances on their operations in the long-term (2025). Overall, Indonesian enterprises seemed optimistic on this front (Figure 26). More than half believe that labour productivity, domestic sales, profits and high-skilled workers will increase owing to technological improvements. About 40 percent felt that exports will increase as well. In terms of job displacement, compared to the ASEAN average, enterprises in Indonesia believe that the aggregate impact of technology on jobs would be high. However, 29 percent of enterprises also believe that total number of jobs will increase while 32 percent believe that total number of workers employed will reduce. By comparison, among ASEAN enterprises, 34 percent reported that

0%10%20%30%40%50%60%70%80%a.

Indonesia Manufacturing Services

0%10%20%30%40%50%60%70%80%90%b.

Indonesia Small Medium Large

41 ILO: ASEAN in transformation: Perspectives of enterprises and students on future work, op. cit.

maupun biaya yang akan mengalami peningkatan di masa depan. Jawaban antara perusahaan menengah dan besar tidak banyak perbedaan.

Laba

Indonesia Manufaktur Jasa

Jumlah

pek

erja

Peng

eluar

an unt

uk pela

tihan

Penjua

lan dom

estik

Peke

rja per

empu

an

Kebu

tuha

n ak

an en

ergi

Beba

n pe

ratu

ran

Prod

uktiv

itas p

eker

ja

Eksp

or

Peng

eluar

an unt

uk pen

elitia

n

dan pe

ngem

bang

an

Peke

rja ber

ketera

mpil

an ti

nggi

Biay

a ten

aga k

erja

per p

eker

ja

Laba

Indonesia Menengah Kecil Besar

Jumlah

pek

erja

Peng

eluar

an unt

uk pela

tihan

Penjua

lan dom

estik

Peke

rja per

empu

an

Kebu

tuha

n ak

an en

ergi

Beba

n pe

ratu

ran

Prod

uktiv

itas p

eker

ja

Eksp

or

Peng

eluar

an unt

uk pen

elitia

n

dan pe

ngem

bang

an

Peke

rja ber

ketera

mpil

an ti

nggi

Biay

a ten

aga k

erja

per p

eker

ja

Page 58: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

43

Membandingkan respons berdasarkan sektor, perlu disoroti bahwa perusahaan manufaktur lebih optimis akan dampak teknologi terhadap kinerja usaha di masa depan dibandingkan perusahaan sektor jasa (Gambar 27). Misalnya, dari seluruh perusahaan manufaktur, sekitar 40 persen mengatakan jumlah pekerja perempuan dan jumlah pekerja secara keseluruhan akan mengalami peningkatan, dibandingkan dengan lebih dari 20 persen perusahaan di sektor jasa. Namun, 52 persen perusahaan manufaktur ini juga mengantisipasi biaya tenaga kerja mengalami peningkatan karena kemajuan teknologi, bila dibandingkan dengan 38 persen perusahaan pada sektor jasa. Terlebih lagi, perusahaan kecil lebih optimis akan kemajuan teknologi dan dampaknya terhadap kinerja usaha dibandingkan perusahaan menengah dan besar (Gambar 28).

Gambar 27. Dampak teknologi terhadap kinerja bisnis berdasarkan a) sektor dan b) besarnya perusahaan

46

Figure 27. Impact of technology on business performance by a) sectors and b) size of enterprises

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

Lastly, the enterprises were asked about the long-term impact on their business as a result of increased economic integration in ASEAN, including the creation of the ASEAN Economic Community (AEC) (Figure 28). Overall Indonesian enterprises were positive on this front as well. Approximately half reported that their profits, labour productivity and number of high-skilled workers would increase due to the AEC. Likewise, about 43 percent of enterprises said that both exports and domestic sales would increase. About one third of enterprises in Indonesia reported that the number of total workers and women workers employed would increase, reflecting a slightly lower level of optimism than ASEAN enterprises in general.42 However, almost half of Indonesian enterprises said that increased sub-regional integration would result in higher labour costs.

42 ILO: ASEAN in transformation: Perspectives of enterprises and students on future work, op. cit.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%a.

Indonesia Manufacturing Services

0%

20%

40%

60%

80%

Womenemployed

Totalworkers

employed

Exports Labour costper worker

High-skillworkers

emp.

Profits Domesticsales

Labourproductivity

b.

Indonesia Small Medium Large

Sumber: ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

Laba

Indonesia Manufaktur Jasa

Jumlah

pek

erja

Penjua

lan dom

estik

Peke

rja per

empu

an

Prod

uktiv

itas p

eker

ja

Eksp

or

Peke

rja ber

ketera

mpil

an ti

nggi

Biay

a ten

aga k

erja

per p

eker

ja

Gambar 26. Dampak teknologi terhadap kinerja usaha

45

technology will increase the total number of jobs, and 23 percent said that technology will reduce the total number of workers employed.41

Figure 26. Impact of technology on business performance

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

Comparing responses by sector, it is worth highlighting that manufacturing enterprises were more optimistic about the impact of technology on future business performance than enterprises in the service industry (Figure 27, panel a). For instance, of total manufacturing enterprises, about 40 percent reported that the number of both women workers and total workers will increase, compared to over 20 percent of enterprises in the services sector. Nevertheless, 52 percent of manufacturing enterprises also expect that labour costs will increase due to technological progress, compared to 38 percent of enterprises in the services sector. Moreover, small enterprises were more optimistic about technological progress and impact on their business performance than medium and large enterprises (

Figure 27, panel b).

41 ILO: ASEAN in transformation: Perspectives of enterprises and students on future work, op. cit.

0% 50% 100%

Women employed

Total workers employed

Exports

Labour cost per worker

High-skill workers emp.

Profits

Domestic sales

Labour productivity

Increase No impact Reduce Don’t know

Sumber: ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

Laba

Jumlah pekerja

Meningkat Berkurang Tidak tahu Tidak pengaruh

Penjualan domestik

Pekerja perempuan

Produktivitas pekerja

Ekspor

Pekerja berketerampilan tinggi

Biaya tenaga kerja per pekerja

Page 59: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

44

Terakhir, perusahaan ditanyai mengenai dampak jangka panjang terhadap bisnis mereka sebagai akibat dari meningkatnya integrasi ekonomi di ASEAN, termasuk terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) (Gambar 29). Secara keseluruhan, perusahaan Indonesia memiliki tanggapan yang positif mengenai hal ini. Sekitar setengah dari seluruh perusahaan mengatakan keuntungan, produktivitas tenaga kerja dan jumlah pekerja terampil akan mengalami peningkatan karena adanya MEA. Demikian pula sekitar 43 persen perusahaan mengatakan bahwa ekspor dan penjualan domestik akan mengalami peningkatan. Sekitar sepertiga dari perusahaan di Indonesia mengatakan jumlah total pekerja dan pekerja perempuan akan mengalami peningkatan, meskipun di tingkat ASEAN, optimisme ini terlihat agak lebih rendah secara umum.42 Namun hampir setengah dari perusahaan Indonesia mengatakan bahwa meningkatnya integrasi sub-regional akan mengakibatkan biaya tenaga kerja yang semakin tinggi.

Respons berdasarkan sektor dan besarnya perusahaan mengungkapkan hasil temuan yang menarik (Gambar 29, panel a & b). Perusahaan manufaktur dan kecil terlihat lebih optimis mengenai dampak integrasi ekonomi di banyak aspek dalam bisnis mereka dibandingkan dengan perusahaan di sektor jasa, dan perusahaan menengah dan besar. Untuk perusahaan manufaktur, antara 40 hingga 56 persen mengatakan bahwa integrasi ekonomi yang semakin meningkat akan meningkatkan jumlah total pekerja (termasuk perempuan dan pekerja terampil), penjualan dalam negeri, ekspor dan produktivitas tenaga kerja. Pada sektor jasa proporsinya hanya sekitar 30 dan 50 persen. Selain itu sekitar 54 persen perusahaan manufaktur mengatakan biaya tenaga kerja akan mengalami peningkatan biaya tenaga kerja bila dibandingkan dengan 43 persen pada sektor jasa. Untuk perusahaan kecil, sekitar 47 hingga 66 persen merasa bahwa integrasi ekonomi yang lebih tinggi juga akan meningkatkan jumlah total pekerja (termasuk perempuan dan pekerja terampil), penjualan dalam negeri, ekspor dan produktivitas tenaga kerja. Perusahaan menengah dan besar tidak terlalu optimis akan integrasi ekonomi di ASEAN.

42 ILO: ASEAN in transformation: Perspectives of enterprises and students on future work, op. cit.

46

Figure 27. Impact of technology on business performance by a) sectors and b) size of enterprises

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

Lastly, the enterprises were asked about the long-term impact on their business as a result of increased economic integration in ASEAN, including the creation of the ASEAN Economic Community (AEC) (Figure 28). Overall Indonesian enterprises were positive on this front as well. Approximately half reported that their profits, labour productivity and number of high-skilled workers would increase due to the AEC. Likewise, about 43 percent of enterprises said that both exports and domestic sales would increase. About one third of enterprises in Indonesia reported that the number of total workers and women workers employed would increase, reflecting a slightly lower level of optimism than ASEAN enterprises in general.42 However, almost half of Indonesian enterprises said that increased sub-regional integration would result in higher labour costs.

42 ILO: ASEAN in transformation: Perspectives of enterprises and students on future work, op. cit.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%a.

Indonesia Manufacturing Services

0%

20%

40%

60%

80%

Womenemployed

Totalworkers

employed

Exports Labour costper worker

High-skillworkers

emp.

Profits Domesticsales

Labourproductivity

b.

Indonesia Small Medium Large

Gambar 28. Dampak teknologi berdasarkan kinerja bisnis berdasarkan ukuran perusahaan

Sumber: ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

LabaJumlah pekerja

Penjualan domestik

Pekerja perempuan

Produktivitas pekerja

Ekspor Pekerja ber-keterampi-lan tinggi

Biaya tenaga kerja per pekerja

Indonesia Menengah Kecil Besar

Page 60: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

45

7.4 Menuju Ekonomi yang Didorong oleh TeknologiIndonesia mengalami peningkatan lima peringkat pada Indeks Daya Saing Global 2017 (GCI).43 Saat

ini Indonesia berada di peringkat 36 di GCI. Dari 12 pilar pengukuran daya saing suatu negara, Indonesia menunjukkan prestasi yang bagus dalam hal besaran pasar dan lingkungan makroekonomi. Dalam hal inovasi dan peningkatan kecanggihan teknologi bisnis, peringkatnya agak lebih tinggi dibandingkan peringkat secara keseluruhan di tingkat global. Namun kesiapan teknologi Indonesia berada di peringkat ke-80. Dalam hal sub-indeks kesiapan teknologi, Indonesia berada pada peringkat yang buruk dalam hal pengguna internet, koneksi broadband maupun bandwidth internet. Peringkat Indonesia dalam hal ketersediaan teknologi terkini agak lebih baik dalam sub-indeks kesiapan teknologi.

Untuk setiap 100 orang hanya ada satu koneksi broadband. Namun menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) lebih dari setengah populasi (51,8 persen) sudah menggunakan internet pada 2016 (APJII, 2016). Peningkatan jumlah pengguna internet juga sangat signifikan dari 34,9 persen pada 2014. Sementara secara agregat, konektivitas di Indonesia mengalami peningkatan, dengan jumlah pengguna internet yang lebih tinggi (65 persen) berada di pulau Jawa pada 2016.

Infrastruktur yang masih belum memadai di luar Jawa menghambat konektivitas. Namun penggunaan telepon selular membantu mengurangi hambatan ini dengan memberikan kemungkinan bagi orang untuk terkoneksi secara daring. Tidak seperti dulu saat harga masih sangat tinggi, kompetisi antara penyedia jasa telepon selular yang semakin ketat membuat harga menjadi lebih rendah dan terjangkau sehingga lebih banyak pelanggan yang dapat mengakses internet melalui gawai mereka. Sejumlah besar orang Indonesia aktif menggunakan media sosial, dan bahkan Indonesia berada di peringkat ketiga pertumbuhan media sosial global (Kemp, 2017).

Karena kurangnya infrastruktur bisa menjadi hambatan terbesar dalam konektivitas, teknologi dapat mengatasi beberapa keterbatasan ini dan menumbuhkan inovasi. Sebagai “pengguna awal” teknologi, kita bisa melihat industri keuangan menggunakan cara-cara inovatif untuk meningkatkan jumlah klien mereka. Banyak bank saat ini menyediakan jasa daring yang memungkinkan orang melakukan transfer uang serta membayar barang dan jasa dari rumah mereka tanpa harus mengunjungi kantor bank.

47

Figure 28. Impact from ASEAN economic integration

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

Responses by sector and size of enterprise reveal interesting findings (Figure 29, panel a & b). Manufacturing and small enterprises were more optimistic about the impact of economic integration on most aspects of their businesses compared to enterprises in services, and medium and large enterprises. As for manufacturing enterprises, between 40 and 56 percent said that increased economic integration would increase the number of total workers (including women and high skilled workers), domestic sales, exports and labour productivity. This compares to between 30 and 50 percent of enterprises in the service sector. Additionally, about 54 percent of manufacturing enterprises reported that labour costs would increase compared to 43 percent of enterprises in services. For small enterprises, between 47 and 66 percent thought that increased economic integration would also increase the number of total workers (including women and high skilled workers), domestic sales, exports and labour productivity. Medium and large enterprises were significantly less optimistic about increased economic integration in ASEAN.

Figure 29. Impact from ASEAN economic integration by a) sector and b) size

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

0% 50% 100%

Women employed

Total workers employed

Domestic sales

Exports

Labour cost per worker

High-skill workers emp.

Labour productivity

Profits

Increase No impact Reduce Don’t know

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%a.

Indonesia Manufacturing Services

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%b.

Indonesia Small Medium Large

Gambar 29. Dampak integrasi ekonomi ASEAN berdasarkan a) sektor dan b) ukuran

Source: ILO: “ASEAN in transformation” Enterprise Survey (Bangkok, 2016)

Laba La

ba

Indonesia Indonesia Kecil BesarMenegahManufaktur Jasa

Jumlah

pek

erja

Jumlah

pek

erja

Penjua

lan dom

estik

Penjua

lan dom

estik

Peke

rja per

empu

an

Peke

rja per

empu

an

Prod

uktiv

itas p

eker

ja

Prod

uktiv

itas p

eker

ja

Eksp

or

Eksp

or

Peke

rja ber

ketera

mpil

an ti

nggi

Peke

rja ber

ketera

mpil

an ti

nggi

Biay

a ten

aga k

erja

per p

eker

ja

Biay

a ten

aga k

erja

per p

eker

ja

Page 61: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

46

Bahkan “perkawinan” antara keuangan dan teknologi melahirkan perusahaan-perusahaan fintech. Perusahaan-perusahaan itu sangat bergantung pada digitalisasi operasional mereka. Contoh bagus dari fintech dalam menangani infrastruktur yang buruk adalah M-PESA di Kenya. Dibandingkan dengan Indonesia, perbankan bergerak mulai dan berkembang jauh lebih awal di Kenya, di mana jumlah cabang-cabang bank yang tersedia di daerah pedesaan masih sedikit. M-PESA merupakan salah satu sistem pembayaran daring terdepan di Kenya dan sudah memiliki 2,5 juta pengguna terdaftar.44

Pertumbuhan layanan transportasi daring yang sangat cepat di beberapa kota di Indonesia bisa saja merupakan respons akan buruknya transportasi umum. Kendala kemacetan menjadikan belanja secara daring lebih menarik bagi para pelanggan yang memilih belanja dari rumah daripada harus menghabiskan waktu di tengah kemacetan. Sementara bagi masyarakat yang tinggal di kota kecil dan daerah pedesaan yang jauh dari pusat perbelanjaan di kota, belanja daring sama artinya dengan memiliki pilihan di mana mereka bisa membeli barang hanya dengan satu kali klik pada telepon selular.

Dengan digitalisasi sektor perdagangan dan layanan di Indonesia jadi lebih meluas. Tanpa data yang lebih rinci akan sulit melihat berapa cepat teknologi digunakan di sektor lain di perekonomian, misalnya pada sektor manufaktur. Seperti yang dibahas di atas penggunaan robot industrial di Indonesia mengalami peningkatan kendati kecil. Pada beberapa sektor manufaktur yang padat karya misalnya garmen, penggunaan teknologi mungkin tidak terlalu meluas mengingat sifat produksinya yang hingga saat ini membutuhkan manusia untuk menjalankan beberapa tugas yang sulit untuk dilakukan oleh mesin.

Namun secara keseluruhan sektor manufaktur Indonesia masih mengalami pertumbuhan, meskipun percepatan pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja melamban bila dibandingkan dengan masa sebelum krisis keuangan tahun 1997. Pertumbuhan pada sektor manufaktur masih belum meningkat secara signifikan di Indonesia pasca periode 1997. Antara tahun 2003 dan 2015 kendati perekonomian bertumbuh sebesar 5,6 persen per tahun, pertumbuhan tahunan sektor manufaktur hanya 4,9 persen.

Indonesia telah kehilangan beberapa kontribusi pasar global pada sektor manufaktur. Hal ini lebih disebabkan oleh iklim investasi dan daya saing (Bank Dunia, 2012). Sebelum meluncurkan beberapa paket kebijakan, Indonesia telah mengalami kekalahan dalam hal daya saing ekspor pada beberapa sub-sektor seperti misalnya mebel, garmen dan tekstil (Kuncoro, 2013). Baru-baru ini juga ada beberapa kasus di mana perusahaan-perusahaan mebel besar pindah ke Vietnam karena biaya yang lebih rendah dan lingkungan usaha yang lebih kondusif.45

Pada peringkat nilai tambah sektor manufaktur global (MVA), Indonesia berada di peringkat ke-11 dunia (UNIDO, 2016). Proporsi Indonesia pada MVA global menunjukkan sedikit peningkatan dari 1,55 persen pada 2005 menjadi 1,83 persen pada 2016. Pada periode yang sama misalnya, proporsi global MVA China meningkat dua kali lipat dari 11,6 persen menjadi 24,3 persen. Penting untuk dicatat di sini bahwa hampir semua negara selain China yang menduduki peringkat 15 teratas mengalami penyusutan MVA. Dengan kata lain penurunan dalam kontribusi manufaktur terhadap perekonomian sepertinya telah menjadi “fenomena global”.

Berdasarkan bukti yang ada, otomatisasi atau diadopsinya teknologi yang canggih, setidaknya untuk saat ini, bukan satu-satunya faktor yang memperlamban pertumbuhan manufaktur atau pekerjaan pada sektor ini. Berdasarkan analisis Rodrik (2015) teknologi memainkan peran yang tidak terlalu signifikan dalam deindustrialisasi yang prematur dari beberapa negara berkembang. Bila dibandingkan dengan masa lalu, Indonesia tak diragukan lagi menghadapi kompetisi yang lebih besar dari China maupun negara-negara seperti Bangladesh, Vietnam, Kamboja, yang telah meningkatkan jejak mereka pada

43 World Economic Forum, Laporan Daya Saing Global 2017-2018.44 http://www.cgap.org/blog/why-has-m-pesa-become-so-popular-kenya45 http://jakartaglobe.id/business/furniture-producers-relocate-vietnam-due-cheap-labor-costs-business-friendly-regulations/

Page 62: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

47

manufaktur yang low-end. Diharapkan dengan perkembangan yang ada di China, “industri yang sedang mengalami penurunan (sunset industries)” akan pindah ke pasar yang sedang bergeliat. Namun pergeseran ini tidak terjadi secara signifikan.

Seperti yang dibahas pada bagian sebelumnya, temuan dari survei perusahaan memberikan gambaran mengenai sektor manufaktur yang terlihat lebih optimistik dalam menyikapi teknologi. Dibandingkan dengan perusahaan sektor jasa, perusahaan manufaktur melihat banyak manfaat yang mereka dapatkan dari teknologi, termasuk semakin meningkatnya pendapatan, keuntungan perusahaan serta produktivitas tenaga kerja. Yang menarik, banyak dari perusahaan ini juga telah mengantisipasi jumlah pekerja yang semakin bertambah. Tantangan utama yang diungkapkan oleh bisnis dalam hal teknologi adalah biaya investasi (tetap) yang tinggi. Selain itu perusahaan manufaktur sepertinya lebih khawatir dengan peraturan perundangan dalam negeri dibandingkan integrasi ekonomi di ASEAN.

Alasan mengapa manufaktur tidak masuk dalam diskusi mengenai teknologi dan pekerjaan adalah karena dampaknya terhadap pembangunan. Secara historis manufaktur memberikan peluang bagi negara-negara berpendapatan rendah untuk mengurangi ketergantungan mereka pada pertanian (Bank Dunia, 2017). Hanya sedikit negara yang sudah melakukan transisi tersebut dan mengalami industralisasi tanpa peningkatan signifikan dalam hasil manufaktur mereka. Manufaktur memberikan dua keuntungan: pertumbuhan ekonomi serta pekerja yang seringkali lebih produktif dari pertanian.

Tanpa menemukan sumber pertumbuhan baru yang memiliki dampak ganda seperti manufaktur, maka akan sulit bagi Indonesia untuk menangani masalah peningkatan kualitas teknologi tanpa menimbulkan risiko bagi penciptaan lapangan kerja. Cara optimis memandang tantangan ini adalah dengan menggunakan peluang yang dihasilkan oleh teknologi dalam membentuk perekonomian Indonesia dengan cara yang dapat melepaskan potensi pertumbuhan produktif dan manfaat dapat tersebar lebih rata bagi seluruh masyarakat.

Page 63: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

48

Page 64: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

49

PADA beberapa bagian laporan ini sebelumnya kita sudah membahas mengenai keterampilan SDM. Seperti dibahas, teknologi masa depan akan sangat memengaruhi tugas rutin yang dapat dikodifikasi dan dilakukan oleh komputer dan mesin. Selain biaya tetap, menemukan pekerja terampil adalah salah satu keterbatasan yang diidentifikasi oleh perusahaan yang menjadikan sulit untuk mengaplikasikan teknologi di Indonesia.46

Kemampuan pekerja meningkatkan keterampilan mereka akan menjadi penentu utama apakah teknologi menjadi berkah atau bencana bagi pekerjaan. Dalam bab ini, akan digali lebih dalam untuk memahami keterampilan yang ada dan kekurangan-kekurangan dalam SDM Indonesia.

8.1 Populasi Usia Kerja dan Angkatan Kerja

Diperkirakan jumlah populasi usia kerja (15 tahun ke atas) di Indonesia pada 2016 sedikit lebih dari 189 juta jiwa. Antara tahun 1996 dan 2016 populasi usia kerja meningkat lebih dari 57 juta jiwa. Pada periode ini angkatan kerja, baik mereka yang bekerja maupun tidak, meningkat sebesar 37,6 juta jiwa yang terlihat pada peningkatan tahunan sebesar 1,8 juta jiwa. Angka partisipasi angkatan kerja (LFPR) menunjukkan potensi pasokan SDM dari usia kerja yang dapat bekerja dalam produksi barang dan jasa. Pada 2016 sebanyak 125,4 juta atau 66,3 persen populasi usia kerja berada dalam angkatan kerja. Selain tahun 2015 ketika turun hingga 65,8 persen, LFPR pada dua dasawarsa terakhir terlihat konstan di sekitar 66 persen.

Seperti yang terlihat pada Gambar 30, kelompok usia 30-34 tahun memiliki LFPR tertinggi (95,8 persen). Kita bisa melihat bahwa LFPR pada laki-laki mulai menurun secara perlahan bagi mereka yang berusia 35 tahun ke atas. Di sisi lain, puncak LFPR pada perempuan tercapai ketika mereka berusia di awal hingga pertengahan 40-an (62,3 persen). Angka ini sedikit menurun untuk kelompok usia 45-49 tahun dan kemudian meningkat lagi (50-54 tahun) sebelum mulai menurun tajam. Fakta bahwa partisipasi perempuan berada pada puncaknya di usia 40-an bila dibandingkan dengan laki-laki mungkin terjadi karena beban tanggung jawab rumah tangga dan perawatan anak yang ditanggung perempuan. Hal ini biasanya dialami mereka yang berusia di bawah 45 tahun.

Tantangan Keterampilan di Indonesia

8

46 ILO, ASEAN dalam Transformasi - Survei Perusahaan, 2016.

Page 65: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

50

Pola LFPR untuk kelompok usia yang berbeda tidak mengalami perubahan dalam dua dasawarsa terakhir. Satu perubahan yang paling terlihat adalah angka partisipasi kelompok usia 15-19 tahun. LFPR untuk kelompok ini (baik laki-laki dan perempuan) menurun tajam antara tahun 1996 hingga 2016. Penurunan itu sebesar 12,7 poin persentase. Pada periode ini angka partisipasi sekolah untuk berbagai tingkatan mengalami peningkatan. Di sisi lain, proporsi NEET menurun antara tahun 1996 (27,1 persen) dan 2016 (23,2 persen).

Bila dibandingkan dengan perempuan, meski mengalami sedikit penurunan, partisipasi laki-laki pada angkatan kerja tetap tinggi. Pada 1996, 83,5 persen laki-laki pada populasi usia kerja berada pada angkatan kerja, sementara proporsinya pada 2016 sedikit menurun menjadi 82 persen. Di sisi lain hanya setengah dari perempuan usia kerja yang bekerja. Tren ini masih tetap sama. LFPR perempuan (50,8 persen) pada 2016 hampir sama (50,7 persen) bila dibandingkan dengan angka pada 1996.

Namun pola LFPR pada perempuan yang terlihat sama menyembunyikan beberapa perbedaan di kalangan kelompok yang berbeda. Dengan menganalisis dinamika perkotaan/pedesaan pada LFPR perempuan, Schaner dan Das (2016) melihat bahwa dalam beberapa tahun terakhir, partisipasi angkatan kerja perempuan muda di daerah perkotaan mengalami peningkatan, dan sebagian besar melalui pekerjaan berupah. Di sisi lain, LFPR perempuan muda di daerah pedesaan mengalami penurunan.

Agar dapat melihat perbedaan LFPR secara geografis, kami mempertimbangkan kesenjangan gender yang merupakan proporsi komparatif antara LFPR laki-laki dan perempuan. Melihat semua provinsi yang ada di Indonesia, Kalimantan Utara memiliki kesenjangan gender LFPR perempuan yang paling tinggi, yakni 46,4 persen. Sementara kesenjangan di Bali hanya 13,3 persen. Kesenjangan gender di ibukota Jakarta hampir sama dengan angka rata-rata nasional.

52

Figure 30 Labour Force Participation Rate by Age and Sex (1996 and 2016)

Source: ILO staff calculations using Sakernas data (1996 & 2016)

As compared to women, the participation of men in the labour force, although dropped slightly, continues to be high. In 1996, 83.5 percent of the male working age population was in the labour force while in 2016 the proportion had slightly decreased to 82 percent. On the other hand only half of the working-age women were in the labour force. This trend has remained virtually unchanged. LFPR of females (50.8 percent) in 2016 was almost identical (50.7 percent) compared to 1996. However, the seemingly steady pattern in female LFPR conceals differences among different cohorts. Analysing the urban/ rural dynamics in female LFPR, Das & Schaner (2016) have observed that in recent years younger women in urban areas have increased their labour force participation, largely through wage employment. On the other hand the LFPR of younger women in rural areas has decreased. To see the difference in LFPR geographically, we consider the gender-gap which is the comparative proportion of female and male LFPR. Looking across the provinces in Indonesia, Kalimantan Utara has the highest female gender gap in LFPR which is as high as 46.4 percent. On the other hand, the gap in Bali is only 13.3 percent. The gender-gap in the capital city of Jakarta is close to the national average.

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+

Male (1996) Female (1996) Male (2016) Female (2016)

Gambar 30. Tingkat partisipasi angkatan kerja berdasarkan usia dan jenis kelamin (1996 dan 2016)

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas (1996 & 2016)

Laki-laki (1996) Laki-laki (2016)Perempuan(1996) Perempuan(2016)

Page 66: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

51

Gambar 31. Kesenjangan gender perempuan pada tingkat partisipasi angkatan kerja (LFPR) di provinsi Indonesia

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan Sakernas 2016

53

Figure 31: Female gender gap in labour force participation Rate (LFPR) in provinces

Source: ILO staff calculations using Sakernas 2016

Compared to several neighbouring countries in Asia (Figure 32), LFPR of women in Indonesia falls somewhere in the middle, almost at par with Philippines, but much lower than Cambodia and Viet Nam. Among the selected countries, LFPR in Pakistan is the lowest (24.6 percent) followed by India (26.9 percent).

Figure 32: Labour Force Participation Rate in selected countries in Asia

Source: ILO staff calculations using estimates from ILOSTAT database

- 5.0

10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0

KALI

MAN

TAN

UTA

RAJA

WA

BARA

TKE

PULA

UAN

RIA

UKA

LIM

ANTA

N T

IMU

RRI

AUJA

MBI

BAN

TEN

ACEH

LAM

PUN

GM

ALU

KU U

TARA

SULA

WES

I UTA

RAKA

LIM

ANTA

N T

ENGA

HSU

LAW

ESI B

ARAT

PAPU

A BA

RAT

DKI J

AKAR

TASU

LAW

ESI S

ELAT

ANAV

ERAG

E NA

TIO

NAL

KEPU

LAU

AN B

ANGK

A…KA

LIM

ANTA

N B

ARAT

GO

RONT

ALO

SULA

WES

I TEN

GAH

JAW

A TI

MU

RKA

LIM

ANTA

N S

ELAT

ANSU

MAT

ERA

BARA

TSU

MAT

ERA

SELA

TAN

JAW

A TE

NGAH

SUM

ATER

A U

TARA

BEN

GKUL

UM

ALU

KUSU

LAW

ESI T

ENG

GARA

NUSA

TEN

GGA

RA T

IMU

RN

USA

TEN

GGAR

A BA

RAT

DI Y

OGY

AKAR

TAPA

PUA

BALI

0.010.020.030.040.050.060.070.080.090.0

100.0

LFPR (Male) LFPR (Female)

Dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di Asia (Gambar 32), LFPR perempuan di Indonesia berada di tengah hampir sejajar dengan Filipina, namun lebih rendah dari Kamboja dan Vietnam. Di antara negara-negara terpilih, LFPR di Pakistan terbilang terendah (24.6 persen), diikuti India (26.9 persen).

Gambar 32. Tingkat partisipasi angkatan kerja di beberapa negara terpilih di Asia

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan perkiraan dari pangkatan data ILOSTAT

53

Figure 31: Female gender gap in labour force participation Rate (LFPR) in provinces

Source: ILO staff calculations using Sakernas 2016

Compared to several neighbouring countries in Asia (Figure 32), LFPR of women in Indonesia falls somewhere in the middle, almost at par with Philippines, but much lower than Cambodia and Viet Nam. Among the selected countries, LFPR in Pakistan is the lowest (24.6 percent) followed by India (26.9 percent).

Figure 32: Labour Force Participation Rate in selected countries in Asia

Source: ILO staff calculations using estimates from ILOSTAT database

- 5.0

10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0

KALI

MAN

TAN

UTA

RAJA

WA

BARA

TKE

PULA

UAN

RIA

UKA

LIM

ANTA

N T

IMU

RRI

AUJA

MBI

BAN

TEN

ACEH

LAM

PUN

GM

ALU

KU U

TARA

SULA

WES

I UTA

RAKA

LIM

ANTA

N T

ENGA

HSU

LAW

ESI B

ARAT

PAPU

A BA

RAT

DKI J

AKAR

TASU

LAW

ESI S

ELAT

ANAV

ERAG

E NA

TIO

NAL

KEPU

LAU

AN B

ANGK

A…KA

LIM

ANTA

N B

ARAT

GO

RONT

ALO

SULA

WES

I TEN

GAH

JAW

A TI

MU

RKA

LIM

ANTA

N S

ELAT

ANSU

MAT

ERA

BARA

TSU

MAT

ERA

SELA

TAN

JAW

A TE

NGAH

SUM

ATER

A U

TARA

BEN

GKUL

UM

ALU

KUSU

LAW

ESI T

ENG

GARA

NUSA

TEN

GGA

RA T

IMU

RN

USA

TEN

GGAR

A BA

RAT

DI Y

OGY

AKAR

TAPA

PUA

BALI

0.010.020.030.040.050.060.070.080.090.0

100.0

LFPR (Male) LFPR (Female)LFPR (laki-laki)

Pakis

tan

India

Srila

ngka

Filipi

na

Sing

apur

a

Vietna

m

Malays

ia

Indo

nesia

China

Thail

and

Kambo

ja

LFPR (perempuan)

Page 67: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

52

8.2 Angkatan Kerja dan PendidikanUraian LFPR berdasarkan latar belakang pendidikan di Indonesia menunjukkan proporsi mereka

yang menyelesaikan sekolah menengah, diploma dan pendidikan tingkat tersier mengalami peningkatan selama dua dasawarsa terakhir. Demikian pula proporsi angkatan kerja yang memiliki latar belakang pendidikan dasar dan menengah pertama pun mengalami penurunan. Meskipun tren ini positif, proporsi angkatan kerja pada 2016 yang hanya menyelesaikan sekolah dasar atau belum bersekolah cukup tinggi (41 persen).

Kurang dari 10 persen atau 11,6 juta orang dalam angkatan kerja memiliki gelar universitas. Secara keseluruhan hampir 15 persen (18,5 juta) angkatan kerja tidak menyelesaikan sekolah dasar atau belum pernah bersekolah sama sekali.

Di kalangan mereka yang memiliki gelar universitas (sarjana dan lebih) hanya seperempat dari daerah pedesaan. Pada tingkat pasca sarjana dan doktoral persentasenya bahkan lebih rendah lagi: hanya 10 persen dan 1 persen angkatan kerja memiliki gelar pasca sarjana dan doktoral dari daerah pedesaan. Di sisi lain, lebih dari 63 persen angkatan kerja dengan pendidikan dasar atau lebih rendah berasal dari daerah pedesaan. Data ini menunjukkan pemisahan kota-desa dalam hal latar belakang pendidikan.

Seiring dengan semakin cepatnya teknologi mengalami perubahan dan inovasi dalam praktik manajemen, sepertinya para siswa di Indonesia lebih menyukai disiplin ilmu yang memiliki prospek baik untuk pekerjaan di masa depan. Untuk memahami kesukaan siswa berdasarkan disiplin ilmu, kita akan melihat hasil temuan dari survei ILO yang dilakukan pada 2015.47 survei ini menyasar 367 universitas dan 125 orang siswa yang mengikuti pelatihan teknis, vokasional dan pendidikan. Proporsi siswa Indonesia yang mengambil jurusan bisnis, keuangan serta komunikasi dan teknologi lebih besar bila dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN. Jurusan yang paling favorit adalah bisnis, perdagangan dan keuangan bagi perempuan (33,1 persen) serta informasi, komunikasi dan teknologi bagi laki-laki (24,4 persen) (Gambar 34, panel a) Hasil ini dibandingkan dengan 29,5 persen dan 15,1 persen siswa di ASEAN yang mengambil jurusan bisnis, perdagangan dan keuangan serta komunikasi dan teknologi.

47 ASEAN in transformation: How technology is changing enterprises and future work, 2015.

54

8.2 Labour force and education The breakdown of LPFR by educational attainment in Indonesia shows that the proportion of those who have completed senior school, diploma, and tertiary level education increased in the last two decades. Concurrently, the proportion of labour force with primary and junior high level education decreased. While this trend is positive, there is still a significant proportion (41 percent) of the labour force in 2016 who had only completed primary school or never been to school.

Figure 33: Labour Force by education

Source: ILO staff calculations using Sakernas data (1996, 2006 & 2016)

Less than 10 percent or 11.6 million people in the labour force have a university degree. Overall, nearly 15 percent (18.5 million) of the labour force have either not completed elementary school or never been to school. Among those who have a university education (bachelors and above) only a quarter are from the rural areas. At the masters and doctoral level the percentage is even much lower: only 10 percent and 1 percent of labour force with a master and doctoral degree respectively are from rural areas. On the other hand, more than 63 percent of the labour force with primary education or less are from rural areas. The data clearly show the urban-rural divide in educational attainment. In light of rapid technological changes and innovations in management practices, it appears that Indonesian students value more academic disciplines with better prospects for future jobs. To understand the general preferences among students by subject matter, we look at

0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0

Primary School or less

Junior High school

Senior High school

Vocational High school

Diploma I/II

Diploma III

University/Diploma IV

1996 2006 2016

Gambar 33. Angkatan kerja berdasarkan pendidikan

Sumber: perhitungan staff ILO menggunakan data Sakernas (1996, 2006 & 2016)

Sarjana/Diploma IV

Diploma III

Diploma I/II

Sekolah Menengah Kejuruan

Sekolah Menengah Atas

Sekolah Menengah Pertama

Sekolah Dasar atau sebelumnya

Page 68: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

53

Yang perlu dicatat di sini adalah hanya 24,4 persen perempuan Indonesia mengambil jurusan sains, teknologi, teknik dan matematika (STEM), dibandingkan dengan 50 persen laki-laki Indonesia. Perbedaan gender dalam partisipasi di jurusan ini menegaskan kerugian yang mungkin dialami perempuan Indonesia ketika mulai bekerja, mengingat semakin tingginya digitalisasi dan otomatisasi.

Selain itu, di kalangan mahasiswa, jurusan yang paling populer adalah bisnis, perdagangan dan keuangan (21,8 persen), teknik (16,3 persen) dan ilmu sosial (15,3 persen). Di kalangan siswa-siswa vokasional 41,6 persen mengambil jurusan bisnis, perdagangan dan keuangan, 24 persen mengambil jurusan komunikasi dan teknologi dan 8,8 persen mengambil jurusan kesehatan dan kedokteran.

Siswa juga diminta untuk menyebutkan sektor di mana mereka ingin bekerja setelah lulus (Gambar 35, panel a & b). Tiga sektor yang paling diinginkan oleh perempuan Indonesia adalah konstruksi (15,6 persen), manufaktur (12,2 persen) dan layanan komunikasi dan teknologi (10,9 persen) (lihat Gambar 35, panel a). Yang menarik, meskipun konstruksi merupakan salah satu sektor yang menjadi keinginan bekerja siswa perempuan, jumlah perempuan yang bekerja di sektor ini relatif lebih rendah.48 Pada 2016, dari 7,9 juta pekerja di sektor konstruksi, hanya 165.148 orang atau sedikit lebih dari 2 persen adalah perempuan. Hampir 91 persen pekerja di sektor konstruksi dipekerjakan sebagai operator dan pekerja kasar/buruh. Sebagai proporsi dari jumlah total perempuan yang bekerja di sektor konstruksi, 55 persen di antaranya bekerja sebagai operator dan buruh. Namun proporsi perempuan yang bekerja di bidang administrasi dan yang berhubungan dengan hal itu lebih tinggi (26,9 persen) bila dibandingkan dengan laki-laki (1,3 persen).

Di kalangan laki-laki Indonesia, tiga sektor yang paling disukai adalah komunikasi dan teknologi (20,3 persen), pendidikan (11,6 persen) dan manufaktur (9,3 persen). Jumlah perempuan yang ingin bekerja di sektor konstruksi dan manufaktur lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki (27,8 persen dibandingkan dengan 15,7 persen). Seperti yang disebutkan, kurang dari 25 persen perempuan memiliki gelar STEM yang menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara sektor pekerjaan yang diinginkan dengan bidang studi.

Tiga sektor pekerjaan yang paling disukai di ASEAN adalah layanan komunikasi dan teknologi (11,9 persen), jasa keuangan atau asuransi (10,2 persen) dan manufaktur (7,8 persen). Meskipun penelitian ilmiah dan teknik bukan merupakan sektor yang paling disukai, patut untuk dicatat di sini bahwa sekitar 2,2 persen siswa Indonesia ingin bekerja di sektor ini bila dibandingkan dengan 5,1 persen siswa di seluruh ASEAN.

48 Sakernas, Agustus 2016

Gambar 34. Jurusan studi di kalangan mahasiswa dan siswa vokasional

Sumber: ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

55

the findings from an ILO survey carried out in 2015.47 The survey targeted 367 university and 125 students enrolled in technical, vocational, education training (TVET). A larger proportion of Indonesian students were studying business, finance, and ICT compared with other countries in the ASEAN. The leading disciplines were business, commerce and finance for women (33.1 percent) and information, communications and technology (ICT) for men (24.4 percent) (Figure 34, panel a). These results compare to 29.5 percent and 15.1 percent of ASEAN students who studied business, commerce and finance, and ICT, respectively.

Figure 34. Field of study among university & TVET students

Source: ILO “ASEAN in transformation” Student Survey (Bangkok, 2016)

It is worth highlighting here that only 24.4 percent of Indonesian women studied science, technology, engineering and mathematics (STEM) degrees, compared to 50 percent of Indonesian men. The gender differential in STEM uptake underlines potential disadvantages that Indonesian women may face when entering the job market, in light of digitization and automation.

Additionally, among university students, the most popular fields of study were business, commerce and finance (21.8 percent), engineering (16.3 percent) and social sciences (15.3 percent). Among TVET students, 41.6 percent studied business, commerce and finance, 24 percent studied ICT and 8.8 percent were enrolled in courses on health and medicine. Students were also asked to identify the sector in which they wanted to work after graduation (Figure 35, panels a & b). The three most desired sectors among Indonesian women were construction (15.6 percent), manufacturing (12.2 percent) and ICT services (10.9 percent) (Figure 35, panel a). Interestingly, while construction is one of the more desired sectors for female students, there are relatively fewer women employed in this sector48. In 2016, among

47 ASEAN in transformation: How technology is changing enterprises and future work, 2015. 48 Sakernas, August 2016

0% 10% 20% 30% 40%

Law

Social sciences

Health, medicine

Science, maths, statistics

Humanties, arts, education

Other

ICT

Engineering

Business, commerce, finance

a) Field of study by gender

ASEAN

Indonesia, women

Indonesia, men0% 10% 20% 30% 40% 50%

Law

Social sciences

Health, medicine

Science, maths, statistics

Humanties, arts, education

Other

ICT

Engineering

Business, commerce, finance

b) Field of study by type of degree

ASEAN

Indonesia, TVET

Indonesia, university

55

the findings from an ILO survey carried out in 2015.47 The survey targeted 367 university and 125 students enrolled in technical, vocational, education training (TVET). A larger proportion of Indonesian students were studying business, finance, and ICT compared with other countries in the ASEAN. The leading disciplines were business, commerce and finance for women (33.1 percent) and information, communications and technology (ICT) for men (24.4 percent) (Figure 34, panel a). These results compare to 29.5 percent and 15.1 percent of ASEAN students who studied business, commerce and finance, and ICT, respectively.

Figure 34. Field of study among university & TVET students

Source: ILO “ASEAN in transformation” Student Survey (Bangkok, 2016)

It is worth highlighting here that only 24.4 percent of Indonesian women studied science, technology, engineering and mathematics (STEM) degrees, compared to 50 percent of Indonesian men. The gender differential in STEM uptake underlines potential disadvantages that Indonesian women may face when entering the job market, in light of digitization and automation.

Additionally, among university students, the most popular fields of study were business, commerce and finance (21.8 percent), engineering (16.3 percent) and social sciences (15.3 percent). Among TVET students, 41.6 percent studied business, commerce and finance, 24 percent studied ICT and 8.8 percent were enrolled in courses on health and medicine. Students were also asked to identify the sector in which they wanted to work after graduation (Figure 35, panels a & b). The three most desired sectors among Indonesian women were construction (15.6 percent), manufacturing (12.2 percent) and ICT services (10.9 percent) (Figure 35, panel a). Interestingly, while construction is one of the more desired sectors for female students, there are relatively fewer women employed in this sector48. In 2016, among

47 ASEAN in transformation: How technology is changing enterprises and future work, 2015. 48 Sakernas, August 2016

0% 10% 20% 30% 40%

Law

Social sciences

Health, medicine

Science, maths, statistics

Humanties, arts, education

Other

ICT

Engineering

Business, commerce, finance

a) Field of study by gender

ASEAN

Indonesia, women

Indonesia, men0% 10% 20% 30% 40% 50%

Law

Social sciences

Health, medicine

Science, maths, statistics

Humanties, arts, education

Other

ICT

Engineering

Business, commerce, finance

b) Field of study by type of degree

ASEAN

Indonesia, TVET

Indonesia, university

a. Jurusan studi berdasarkan gender b. Jurusan studi berdasarkan gelar

Bisnis, dagang, keuanganBisnis, dagang, keuangan

Informasi, komunikasi dan teknologi

Informasi, komunikasi dan teknologi

Humanis, seni, pendidikanHumanis, seni, pendidikan

Kesehatan, kedokteranKesehatan, kedokteran

TeknikTeknik

Lain-lainLain-lain

Sains, matematika, statistikSains, matematika, statistik

Ilmu sosialIlmu sosial

HukumHukum

ASEAN ASEAN

Indonesia, laki-laki Indonesia, Vokasional

Indonesia, perempuan Indonesia, universitas

Page 69: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

54

Jawaban yang diberikan di Indonesia berdasarkan jenis gelar sangat beragam (Gambar 35, panel b). Di kalangan siswa-siswa vokasional, sektor pekerjaan yang paling disukai adalah konstruksi (26,4 persen), diikuti manufaktur (18,4 persen) dan komunikasi dan teknologi (10,4 persen). Di kalangan mahasiswa, sektor yang paling disukai adalah komunikasi dan teknologi (15,5 persen), kegiatan keuangan atau asuransi (9,5 persen) dan manufaktur (8,7 persen). Yang juga perlu digarisbawahi adalah 7,6 persen mahasiswa mengatakan mereka ingin bekerja di sektor konstruksi bila dibandingkan dengan 26,4 persen siswa vokasional di Indonesia.

8.3 Kesenjangan KeterampilanPada perekonomian yang didorong oleh pengetahuan dan teknologi, keterampilan dan kompetensi

angkatan kerja akan memainkan peran penting dalam membentuk pembangunan ekonomi di masa yang akan datang. Dari sini bisa dilihat profil angkatan kerja termasuk pendidikan yang mereka gunakan sebagai proksi keterampilan. Pada bagian ini, akan diperluas analisis pada pekerjaan dan pendidikan sehingga kita bisa memahami pasokan tenaga kerja.

Pada bagian ini akan diawali dengan mengelompokkan berbagai jenis pekerjaan dalam hal keterampilan yang dibutuhkan. Pekerjaan ini kita bagi menjadi keterampilan tinggi, termasuk yang berada pada peran kepemimpinan, profesional dan teknisi. Pada pekerjaan tingkat menengah, eksekutif dan pejabat di bidang administrasi serta layanan penjualan dan bisnis dikelompokkan bersama. Pada kelompok keterampilan rendah semua pekerjaan yang sifatnya dasar dimasukkan ke dalamnya. Mereka yang melakukan pekerjaan pertanian dikelompokkan secara terpisah. Sebagai catatan bahwa untuk melakukan disagregasi pekerjaan hingga 3 atau 4 digit sesuai dengan Standar Internasional Klasifikasi Pekerjaan (ISCO) tidak mungkin dilakukan karena data mikro Sakernas 2016 dari BPS sudah dikelompokkan dalam tingkatan 2 digit.

Perbandingan antara tahun 2006 dengan 2016 menunjukkan bahwa proporsi pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi dan menengah mengalami peningkatan, sementara mereka yang melakukan pekerjaan di sektor pertanian menurun. Namun proporsi pekerjaan dengan keterampilan rendah juga mengalami peningkatan. Sepertinya jumlah pekerjaan dengan keterampilan rendah dan angkatan kerja dengan keterampilan rendah juga masih sangat tinggi dalam perekonomian.

56

the 7.9 million workers in construction only 165,148 or a little over 2 percent were women. Almost 91 percent of workers in construction were employed as operators and labourers. As a proportion from the total females in construction, 55 percent worked as operators and labourers. However, a higher proportion of females (26.9 percent) were in clerical and related occupations compared to men (1.3 percent). Among Indonesian men, the three most desired sectors were ICT (20.3 percent), education (11.6 percent) and manufacturing (9.3 percent). Women disproportionately wanted to work in the construction and manufacturing sectors compared to men (27.8 percent compared to 15.7 percent, respectively). As mentioned, less than 25 percent women were enrolled in STEM degrees which shows a kind of mismatch between the preferred employment sector and the area of study. The three most preferred sectors of employment in ASEAN were ICT services (11.9 percent), financial or insurance services (10.2 percent) and manufacturing (7.8 percent). Even though scientific and technical research was not among the most preferred sectors, it is worth noting that about 2.2 percent of Indonesian students wanted to work in this sector compared 5.1 percent of students across ASEAN. Responses in Indonesia according to the type of degree varied significantly (Figure 35, panel b). Among TVET students, the most desired sector of employment was construction (26.4 percent), followed by manufacturing (18.4 percent) and ICT (10.4 percent). Among university students, the most preferred sectors of employment were ICT (15.5 percent), financial or insurance activities (9.5 percent) and manufacturing (8.7 percent). It is worth highlighting that 7.6 percent of university students reported wanting to work in the construction sector compared to 26.4 percent of TVET students in Indonesia.

Figure 35. Preferred sectors of employment by a) gender and b) qualification

Source: ILO “ASEAN in transformation” Student Survey (Bangkok, 2016)

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30%

Scientific or technical research

Hotels or restaurants

Construction

Human health or social work

Retail

Arts or entertainment

Education

Manufacturing

Financial or insurance services

ICT services

b) Ideal sector of employment by type of degree

ASEAN

Indonesia, TVET

Indonesia, university

0% 5% 10% 15% 20%

Scientific or technical…

Hotels or restaurants

Construction

Human health or social work

Retail

Arts or entertainment

Education

Manufacturing

Financial or insurance services

ICT servicesa) Ideal sector of employment by gender

ASEAN

Indonesia, women

Indonesia, men

56

the 7.9 million workers in construction only 165,148 or a little over 2 percent were women. Almost 91 percent of workers in construction were employed as operators and labourers. As a proportion from the total females in construction, 55 percent worked as operators and labourers. However, a higher proportion of females (26.9 percent) were in clerical and related occupations compared to men (1.3 percent). Among Indonesian men, the three most desired sectors were ICT (20.3 percent), education (11.6 percent) and manufacturing (9.3 percent). Women disproportionately wanted to work in the construction and manufacturing sectors compared to men (27.8 percent compared to 15.7 percent, respectively). As mentioned, less than 25 percent women were enrolled in STEM degrees which shows a kind of mismatch between the preferred employment sector and the area of study. The three most preferred sectors of employment in ASEAN were ICT services (11.9 percent), financial or insurance services (10.2 percent) and manufacturing (7.8 percent). Even though scientific and technical research was not among the most preferred sectors, it is worth noting that about 2.2 percent of Indonesian students wanted to work in this sector compared 5.1 percent of students across ASEAN. Responses in Indonesia according to the type of degree varied significantly (Figure 35, panel b). Among TVET students, the most desired sector of employment was construction (26.4 percent), followed by manufacturing (18.4 percent) and ICT (10.4 percent). Among university students, the most preferred sectors of employment were ICT (15.5 percent), financial or insurance activities (9.5 percent) and manufacturing (8.7 percent). It is worth highlighting that 7.6 percent of university students reported wanting to work in the construction sector compared to 26.4 percent of TVET students in Indonesia.

Figure 35. Preferred sectors of employment by a) gender and b) qualification

Source: ILO “ASEAN in transformation” Student Survey (Bangkok, 2016)

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30%

Scientific or technical research

Hotels or restaurants

Construction

Human health or social work

Retail

Arts or entertainment

Education

Manufacturing

Financial or insurance services

ICT services

b) Ideal sector of employment by type of degree

ASEAN

Indonesia, TVET

Indonesia, university

0% 5% 10% 15% 20%

Scientific or technical…

Hotels or restaurants

Construction

Human health or social work

Retail

Arts or entertainment

Education

Manufacturing

Financial or insurance services

ICT servicesa) Ideal sector of employment by gender

ASEAN

Indonesia, women

Indonesia, men

Gambar 35.Sektorpekerjaanyangdiinginkanberdasarkana)genderdanb)kualifikasi

Sumber: ILO: “ASEAN dalam Transformasi” - Survei Perusahaan (Bangkok, 2016)

a. Sektor pekerjaan yang ideal berdasarkan gender b. Sektor pekerjaan yang ideal berdasarkan gelar

Jasa komunikasi dan teknologi Jasa komunikasi dan teknologi

Manufaktur Manufaktur

Eceran Eceran

Hotel atau restauran Hotel atau restauran

Jasa keuangan atau asuransi Jasa keuangan atau asuransi

Seni atau hiburan Seni atau hiburan

Konstruksi Konstruksi

Pendidikan Pendidikan

Kesehatan atau kerja sosial Kesehatan atau kerja sosial

Sains atau penelitian Sains atau penelitian

ASEANASEAN

Indonesia, laki-laki Indonesia, Vokasional

Indonesia, perempuan Indonesia, universitas

Page 70: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

55

Ketidaksesuaian keterampilan adalah berbagai bentuk ketidakseimbangan antara keterampilan yang tersedia dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja (ILO, 2014). Bentuk ketidaksesuaian keterampilan yang paling sering terjadi adalah kekurangan keterampilan (surplus), kesenjangan keterampilan, pendidikan berlebih (atau kurang), kualifikasi berlebih (atau kurang), dan kepunahan keterampilan seperti yang diuraikan dalam Lampiran 2. Sumber-sumber informasi statistik seperti survei angkatan kerja nasional biasanya tidak termasuk ukuran langsung keterampilan dan kompetensi. Data dari survei ini biasanya termasuk di dalamnya pencapaian pendidikan. Ada berbagai pendekatan yang berbeda dalam literatur untuk mengukur ketidaksesuaian keterampilan berdasarkan pendidikan dan semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan (Lampiran 3).

Ketidaksesuaian keterampilan bisa mengakibatkan alokasi dan penggunaan angkatan kerja yang tidak optimal. Ini menimbulkan beban bagi para pekerja, perusahaan dan masyarakat terkait produktivitas, daya saing dan pertumbuhan ekonomi. Implikasi langsung dari pendidikan berlebih misalnya, pekerja tidak menggunakan kemampuan produktif mereka secara maksimal. Di sisi lain, perusahaan akan menunjukkan kinerja yang rendah bila pekerjanya tidak terdidik dan tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Pada bagian ini kita akan menganalisis pendidikan berlebih dan kurang (ketidaksesuaian keterampilan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir). Seperti yang didefinisikan oleh ILO (2014), konsep pendidikan berlebih (atau kurang) adalah ketika seseorang memiliki pendidikan berlebih (atau kurang) dari yang dibutuhkan oleh suatu pekerjaan. Kita akan menggunakan ukuran statistik yang mendefinisikan pendidikan berlebih sebagai mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dengan nilai ad-hoc tertentu dibandingkan dengan moda sampel dalam pekerjaan tersebut. Kita menggunakan sampel sebagai rujukan dan satu standar deviasi sebagai nilai ad hoc. Persentase ke-80 dari distribusi merupakan nilai batas alternatif. Data yang digunakan adalah data dari Sakernas 2006, 2009 dan 2016. Tabel 8 memaparkan distribusi sampel dalam hal rata-rata jumlah tahun pendidika49 dan deviasi standar per kelompok pekerjaan pada 2009 dan 2016.

49 Kami membuat proksi untuk jumlah tahun pendidikan dari pertanyaan survei Sakernas tentang pendidikan tertinggi yang disele-saikan.

Gambar 36. Pekerjaan dan keterampilan, 2006 dan 2016

57

8.3 Skills gap In a knowledge and technology driven economy skills and competencies of the labour force will play an even greater role in shaping future economic development. In our discussion so far we have looked at the profile of the labour force including their education which we have used as a proxy for skills. In this section, we extend our analysis to occupation and education to better understand the supply of labour. We begin by broadly grouping various occupations in terms of the skills sets required. The occupations are divided into high skill including those in leadership roles, professionals, and technicians. In mid-level occupations executive & administrative officials and business and sales services are grouped. In low skill group all the elementary occupations are included. Those engaged in agriculture work are grouped separately. Please note that disaggregating occupations by 3 or 4 digit code according to the International Standard Classification of Occupations (ISCO) was not possible because the Sakernas 2016 microdata from BPS was already grouped at the 2 digit level. A comparison between 2006 and 2016 shows that the proportion of high and mid-level skills occupations has increased while those doing agriculture work decreased. However, the share of low-skill occupations also increased. It appears that the supply of low skill jobs and available labour force with low skills is still very high in the economy.

Figure 36. Occupations and skills, 2006 and 2016

Source: ILO staff calculations using Sakernas data 2006 and 2016

-

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

High skill cccupations Mid-level skilloccupations

Low skill occupations Agriculture work

2006 2016

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 2006 dan 2016

Pekerjaan dengan keahlian tinggi

Pekerjaan dengan keahlian menengah

Pekerjaan dengan keahlian rendah

Pekerjaan pertanian

Page 71: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

56

Tabel 8. Rata-rata jumlah tahun pendidikan mereka yang bekerja dan deviasi standar berdasarkan kelompok pekerjaan

Pekerjaan 2009 2016

Pekerja profesional, teknisi dan yang berhubungan

Pemimpin dan manajemen

Pejabat eksekutif, staf administrasi dan pekerja terkait

Pekerja bisnis dan penjualan

Pekerja sektor jasa

Pekerja sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan pemburu

Operator produksi transportasi dan pekerja kerah biru

Lainnya

14,1

13,0

12,8

8,2

8,5

5,6

7,8

12,0

26.998

4.682

19.330

80.722

22.284

245.128

112.170

2.725

2,2

3,1

2,6

3,8

3,9

3,4

3,5

1,6

Lamanya tahun pendidikan

yang bekerja (Mean)

Lamanya tahun pendidikan

yang bekerja (Mean)

14,8

13,5

13,3

9,2

8,8

6,5

8,4

11,5

Ukuran sampel

Ukuran sampel

Deviasi standar

Deviasi standar

2,2

3,2

2,6

3,6

3,7

3,2

3,3

2,5

6.174

1.109

5.341

13.973

3.723

31.418

21.339

1.342

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan Sakernas 2009 dan 2016 (seri Agustus)

Antara tahun 2006 dan 2016 kita melihat adanya peningkatan rata-rata jumlah tahun pendidikan untuk setiap kelompok pekerjaan. Deviasi standar tertinggi (3,7 tahun) berada pada kelompok pekerja sektor jasa (menunjukkan kelompok ini sangat heterogen), sementara deviasi terendah ada pada kelompok profesional, teknisi dan pekerja terkait lainnya (2,2 tahun).

Secara keseluruhan, pada 2006 satu dari 10 orang yang bekerja dapat dikelompokkan sebagai orang dengan pendidikan yang kurang. Di sisi lain, sekitar tiga dari 10 orang dapat dikelompokkan sebagai orang dengan pendidikan lebih. Meskipun pendidikan kurang mengalami peningkatan dari 10 persen pada 2006 menjadi 17 persen pada 2016, pendidikan berlebih mengalami penurunan secara signifikan, dari 27 persen menjadi 19,2 persen pada 2016. Namun total ketidaksesuaian masih tetap konstan sekitar 37 persen dari total pekerjaan.

Page 72: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

57

Pada Tabel 9, perbedaan ketidaksesuaian keterampilan berdasarkan jenis kelamin dan lokasi geografis diperlihatkan. Tren yang terlihat antara tahun 2006 dan 2016 (menurunnya angka pendidikan berlebih dan semakin meningkatnya kurang pendidikan) di berbagai kelompok menunjukkan pola yang menarik. Misalnya, laki-laki yang bekerja cenderung memiliki pendidikan lebih tinggi dibandingkan rekan-rekan perempuan mereka. Kejadian kurang pendidikan lebih tinggi terjadi di daerah perkotaan dibandingkan pedesaan.

Tabel 9. Pendidikan berlebih dan kurang berdasarkan jenis kelamin dan kota/desa

TahunLaki-laki Perempuan Kota Desa

2016

2009

2006

23%

21%

30%

14%

16%

21%

24%

30%

36%

14%

11%

21%

16%

11%

9%

21%

18%

14%

12%

12%

9%

24%

15%

12%

Pendidikan Lebih

Pendidikan Lebih

Pendidikan Lebih

Pendidikan Lebih

Pendidikan Kurang

Pendidikan Kurang

Pendidikan Kurang

Pendidikan Kurang

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 2006, 2009 dan 2016 (seri Agustus)

Perbedaan yang signifikan dalam pendidikan yang kurang antar kelompok usia yang berbeda dapat terlihat di sini, di mana generasi yang lebih tua lebih banyak yang mengalami kurang pendidikan dibandingkan dengan yang lebih muda. Hal ini menunjukkan semakin membaiknya pencapaian pendidikan. Pada 2016, lebih dari 40 persen pekerja dari kelompok usia 56 tahun ke atas dianggap sebagai kurang pendidikan. Di kalangan anak muda hanya 10 persen yang dipekerjakan dianggap sebagai kurang pendidikan. Tren sebaliknya terlihat untuk pendidikan berlebih. Terdapat sedikit penurunan dalam beberapa tahun, namun masih terdapat 25 persen pekerja berusia antara 15 dan 34 tahun mengalami pendidikan berlebih pada 2016.

Gambar 37. Tren pendidikan berlebih dan kurang di Indonesia antara tahun 2006 dan 2016

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 2006, 2009 dan 2016 (seri Agustus)

59

Service workers 8.5 3.9 22,284 8.8 3.7 3,723 Agriculture, Plantation, Animal Husbandry, Fishery, Forestry Workers And Hunters 5.6 3.4 245,128 6.5 3.2 31,418 Transport production operators and blue collar workers 7.8 3.5 112,170 8.4 3.3 21,339

Others 12.0 1.6 2,725 11.5 2.5 1,342

Source: ILO staff calculations using Sakernas 2009 and 2016 (August Series)

Between 2006 and 2016 we observe an increase in the average number of years of education for each occupational group. The highest standard deviation (3.7 years) is in the group of service workers (indicating a relatively heterogeneous group) while the lowest deviation is observed within the group of professionals, technicians and related workers (2.2 years). Overall, in 2006, approximately one in ten employed person can be classified as undereducated. On the other hand around 3 in 10 persons can be classified as overeducated. While under-education has been increasing from 10 percent in 2006 to 17 percent in 2016, over-education has significantly deceased, from 27 percent to 19.2 percent in 2016. The total mismatch, however, remained relatively constant at around 37 percent of total employment.

Figure 37. Trend over-education and under-education in Indonesia between 2006 and 2016

Source: ILO staff calculations using Sakernas 2006, 2009 and 2016 (August Series)

In Table 9 differences in skills mismatch by sex and geographical location are shown. The general trend observed between 2006 and 2016 (decreasing over-education and increasing under-education) across different subgroups shows some interesting patterns. For instance, employed male tend to be more overeducated than their female counterparts. The incidence of under-education is higher for workers in urban areas compared to rural areas.

0.0%5.0%

10.0%15.0%20.0%25.0%30.0%

2006 2009 2016

overeducation undereducationpendidikan berlebih pendidikan kurang

Page 73: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

58

Berdasarkan analisis di atas, kita bisa melihat bahwa kualifikasi pendidikan pekerja tidak sejalan dengan jumlah pekerjaan yang membutuhkan pendidikan lebih tinggi. Proporsi pendidikan berlebih mengalami penurunan selama beberapa tahun terakhir namun jumlah pekerja yang kurang pendidikan untuk pekerjaan yang ada saat ini lebih besar. Dengan ketiadaan ukuran kompetensi keterampilan, hasil analisis ini tidak bisa dianggap sebagai hasil yang konklusif, namun hanya indikatif. Kesenjangan keterampilan sangat mengkhawatirkan karena akan memengaruhi daya saing Indonesia dalam perekonomian dunia yang semakin berdasar pada pengetahuan dan padat teknologi.

Gambar 38. Kejadian pendidikan berlebih dan kurang berdasarkan kelompok usia

Sumber: Penghitungan staf ILO menggunakan data Sakernas 2006, 2009 dan 2016 (seri Agustus)

60

Table 9. Over-education and under-education by sex and urban/rural

Year

Male Female Urban Rural

Overducation

Undereducation

Overducation

Undereducation

Overducation

Undereducation

Overducation

Undereducation

2016 23% 16% 14% 21% 24% 12% 14% 24%

2009 21% 11% 16% 18% 30% 12% 11% 15%

2006 30% 9% 21% 14% 36% 9% 21% 12% Source: ILO staff calculations using Sakernas 2006, 2009 and 2016 (August Series)

Significant differences in incidence of undereducation between different age groups can be observed, with older generations more subject to undereducation compared to the youth. This reflects the improvement in educational attainment over time. In 2016, more than 40 percent of workers from the age group 56 years and above can be categorized as undereducated. Among youth only 10 percent of employed can be categorized as undereducated. A reverse trend is observed for overeducation. A slight decrease can be observed over time, but still 25 percent of workers aged between 15 and 34 were overeducated in 2016.

Figure 38. Incidence of undereducation and overeducation by age

Source: ILO staff calculations using Sakernas 2006, 2009 and 2016 (August Series)

0%10%20%30%40%50%

15-24 yearsold

25-34 yearsold

35-55 yearsold

56 years oldand above

1. Incidence of undereducation by age group

2006 2009 2016

0%

10%

20%

30%

40%

15-24 yearsold

25-34 yearsold

35-55 yearsold

56 years oldand above

2. Incidence of overeducation by age group

2006 2009 2016

1. Kurangnya pendidikan berdasarkan kelompok usia

15-24 tahun 15-24 tahun35-55 tahun 35-55 tahun25-34 tahun 25-34 tahun56 tahun ke atas

56 tahun ke atas

2. Berlebihnya pendidikan berdasarkan kelompok usia

Page 74: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

59

PEREKONOMIAN Indonesia mengalami momentum yang tetap meskipun iklim global yang tidak pasti terjadi, di mana terdapat penurunan pertumbuhan baik pada pasar yang maju dan berkembang. Meskipun negara-negara berkembang seperti Indonesia masih merasakan pertumbuhan yang baik, percepatan pertumbuhan tidak cukup tinggi untuk menciptakan pekerjaan yang baik dan layak dalam jumlah cukup. Pada tahun 1980-an dan 1990-an Indonesia mengalami transformasi struktural besar-besaran, perekonomian mengalami diversifikasi dengan pertumbuhan dan pekerjaan pada sektor non-pertanian seperti manufaktur dan jasa. Pergeseran perekonomian secara struktural diimbangi dengan kemajuan produktivitas lintas dan dalam sektor.

Sebelum tahun 1997 ketika negara ini dihantam krisis keuangan, pekerjaan pada sektor industri seperti manufaktur tercipta lebih cepat. Namun dengan terjadinya krisis, kondisi itu berubah dan sejak itu Indonesia belum mampu menyamai daya saing dan proporsi serupa pada sektor manufaktur. Kekurangan pekerjaan pada sektor manufaktur diambil alih oleh pekerjaan pada sektor perdagangan dan jasa. Namun secara umum, pekerjaan di sektor jasa—selain dari layanan bisnis dan profesional—tidak seproduktif manufaktur. Seperti yang dibahas sebelumnya proporsi pekerjaan manufaktur pada satu dekade terakhir (2006-2016) mengalami peningkatan 1,4 poin persentase. Pada periode ini sekitar 3,7 juta pekerjaan tercipta pada sektor manufaktur.

Pertanian masih menjadi sumber pekerjaan terbesar bagi para pekerja Indonesia. Namun, sektor jasa dan perdagangan bila digabungkan mempekerjakan lebih dari 46 persen pekerja. Tren ini ditunjukkan dengan penurunan proporsi pekerjaan sektor pertanian dan peningkatan bisnis serta jasa akan terus terjadi. Masih terus dinantikan bagaimana Indonesia bisa meraih kembali prestasi yang lebih besar pada manufaktur dalam lingkungan global saat ini.

Secara keseluruhan, kualitas pekerjaan mengalami peningkatan meskipun perlahan. Proporsi pekerja pada pekerjaan yang rentan pun menurun. Pada periode ini kita bisa melihat bahwa pekerja dalam pekerjaan dengan keterampilan tinggi dan tingkat menengah mengalami peningkatan. Pekerjaan pada tingkat eksekutif, profesional dan teknisi meningkat. Dalam hal nominal upah juga mengalami peningkatan. Namun upah tidak serta merta sejalan dengan tingkat PDB di seluruh provinsi. Ada perbedaan upah yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menerima upah yang lebih rendah daripada laki-laki bahkan ketika memiliki pendidikan dan pengalaman lebih tinggi.

Sama halnya dengan perekonomian yang maju dan berkembang, perdebatan mengenai teknologi dan pekerjaan kini mendapatkan perhatian di Indonesia. Seperti yang diuraikan dalam laporan ini, teknologi selalu memainkan peran sebagai katalis dalam merangsang pertumbuhan dan produktivitas ekonomi. Seringkali kemajuan teknologi menimbulkan gangguan pada pasar kerja, setidaknya jangka pendek. Yang menjadikan pergeseran teknologi saat ini berbeda adalah percepatannya. Juga kekhawatirannya adalah hal ini terjadi ketika permintaan di tingkat global rendah dan masih ada banyak ruang di pasar

Kesimpulan

9

Page 75: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

60

kerja. Pendorong teknologi seperti kecerdasan buatan, internet-of-things, cetak 3D dan sebagainya secara cepat mengalami konvergensi dan mendatangkan dampak besar terhadap produksi dan konsumsi barang dan jasa.

Tentu dapat dipahami bahwa perubahan-perubahan ini menimbulkan kekhawatiran akan peluang kerja di masa depan. Di Indonesia dari data yang tidak banyak tersedia, terlihat bahwa digitalisasi terjadi lebih cepat pada sektor jasa dan perdagangan, sementara peningkatan kecanggihan teknologi pada industri tidak terlalu menyebarluas meskipun penggunaan robot industrial semakin tinggi. Pada kasus Indonesia, juga ada hal lain yang berkaitan dengan besarnya perusahaan. Untuk perusahaan yang lebih kecil, penggunaan teknologi seringkali membutuhkan investasi yang besar dan karenanya lebih murah bagi mereka untuk mempekerjakan pekerja daripada menggantikannya dengan mesin.

Namun terdapat kekhawatiran akan sektor manufaktur Indonesia yang rentan akan penggunaan teknologi dan otomatisasi. Semakin tingginya pembelian robot industrial menyiratkan bahwa banyak perusahaan di Indonesia yang beralih ke otomatisasi. Hasil temuan dari survei perusahaan yang dilakukan ILO ASEAN menunjukkan bahwa jumlah perusahaan yang dapat menerima penggunaan teknologi tinggi pun semakin besar. Berdasarkan berbagai laporan dan data tenaga kerja, tidak ada bukti cukup yang menyimpulkan bahwa teknologi menimbulkan gangguan pada sektor manufaktur atau banyak pekerjaan yang hilang karena kecanggihan teknologi di sektor manufaktur. Bahkan jauh sebelum terjadi gelombang perubahan teknologi, Indonesia sudah mulai kehilangan posisinya dalam sektor manufaktur.

Selain dari semakin banyaknya keuntungan bagi konsumen, digitalisasi yang semakin tinggi menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru di Indonesia, kemajuan teknologi pada e-dagang, layanan sesuai permintaan dan transportasi menunjukkan bahwa mereka yang mencari layanan dan yang memberikan layanan bisa lebih mudah berinteraksi dalam pasar digital. Bahkan ada yang mengatakan bahwa ini bisa menurunkan angka pengangguran. Kendati kita bisa melihat pertumbuhan layanan transportasi daring, dan perangkat daring untuk jual beli, tanpa data yang utuh sulit untuk melihat dampaknya terhadap pekerjaan. Terlebih, jenis pekerjaan dan tugas yang tercipta dalam perekonomian yang bertumbuh tidak serta merta memberikan jaminan pekerjaan kepada pekerja. Pekerjaan yang dimaksud memang menawarkan fleksibilitas, namun banyak dari mereka yang mungkin tidak mendapatkan upah yang memadai dan tidak ada jaminan sosial atau jaminan pekerjaan.

Jumlah orang Indonesia yang terhubung dengan ruang digital terutama melalui gawai selular mereka semakin tinggi. Peningkatan jumlah pengguna internet yang sangat cepat dan pengguna media sosial yang sangat aktif, menjadikan Indonesia berada pada posisi di mana negara ini bisa mendapatkan manfaat besar dari revolusi digital yang sedang terjadi. Meskipun terlihat ada kemajuan, infrastruktur komunikasi dan teknologi tidak berkembang dengan baik terutama di luar Jawa. Selain itu sejumlah investasi pemerintah dan swasta untuk litbang tercatat masih sangat kecil. Dalam hal kesiapan teknologi Indonesia menduduki peringkat rendah dalam GCI. Seperti yang terlihat dalam survei perusahaan ASEAN, Indonesia mungkin terlihat cukup baik dari rata-rata ASEAN-5, namun masih tertinggal dibandingkan negara-negara yang terdepan dalam hal kesiapan teknologi seperti Singapura dan Malaysia.

Dalam hal kemajuan teknologi terdapat tren yang kentara dan semakin mengemuka yakni banyaknya jumlah tugas rutin yang mengalami otomatisasi atau diambil alih oleh mesin. Studi menunjukkan bahwa pekerjaan semakin terpolarisasi. Meskipun hasil perkiraan beragam, sepertinya banyak pekerjaan yang membutuhkan tugas rutin tergantikan oleh mesin. Sepertinya terdapat kesepahaman bahwa pada lingkungan yang berubah, pengembangan keterampilan dan SDM akan memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi masa depan Indonesia. Seperti yang kita lihat, meskipun pencapaian pendidikan pekerja Indonesia mengalami peningkatan, banyak pekerja memiliki kualifikasi pendidikan yang rendah. Analisis menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan keterampilan yang perlu ditangani, bila tidak masa depan pembangunan Indonesia akan mengalami keterbatasan.

Page 76: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

61

Rekomendasi

10

MENGINGAT kondisi Indonesia saat ini, kami ingin menawarkan berbagai tindakan yang bisa dilakukan Indonesia dalam mengelola perekonomian dan pasar kerja seiring dengan kemajuan teknologi. Namun mengingat terbatasnya analisis, laporan ini mengambil langkah yang lebih bijaksana dan menyoroti hanya beberapa prioritas dengan harapan akan ada analisis lebih lanjut yang akan mempertimbangkan situasi kebijakan saat ini dan perbaikan-perbaikan dalam peraturan perundangan dan dunia usaha. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan praktik dari rencana kebijakan yang sangat terbatasi oleh ruang fiskal. Karenanya rekomendasi berikut dibuat sebagai panduan umum untuk dapat membentuk kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan.

1. Penting untuk mengakui bahwa akan sulit untuk menolak perubahan teknologi, bila tidak mungkin di dunia yang mengalami globalisasi. Penting memandang teknologi sebagai cara atau pendorong untuk mencapai pembangunan yang lebih tinggi. Secara historis diadopsinya teknologi pada jangka pendek menimbulkan gangguan pada pasar kerja. Kebijakan dan program pemerintah karenanya harus fokus pada upaya membantu mereka yang terdampak secara negatif atau menghadapi kerugian dari teknologi. Penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pasar kerja yang aktif akan mendatangkan hasil bila dilakukan untuk membantu orang mempelajari keterampilan baru dan membantu mereka dalam mencari pekerjaan. Serangkaian kebijakan ini bisa diprioritaskan sehingga memberikan peluang bagi mereka yang berisiko kehilangan mata pencaharian karena kecanggihan teknologi.

2. Indonesia harus melakukan kebijakan industri yang pro ketenagakerjaan. Istilah kebijakan industrial sering menimbulkan pandangan yang terpolarisasi. Seringkali dalam perdebatan ini orang hanya keberatan pada keterlibatan pemerintah terutama karena sulitnya pemerintah memilih siapa pemenangnya. Karena sektor swasta juga mungkin mengambil keputusan investasi yang buruk, hadirnya pasar menciptakan insentif yang memastikan kerugian akan ditekan dan berbagai tindakan dilakukan untuk menjawab sinyal-sinyal pasar. Kendati demikian terdapat kesepakatan mengenai peran fasilitatif yang dapat dimainkan oleh pemerintah dalam membentuk pembangunan industrial. Pemerintah dapat melakukannya dengan menciptakan ruang gerak yang setara, membangun infrastruktur, memberikan insentif terhadap investasi sektor swasta, dan bila perlu memberikan dukungan untuk industri-industri yang masih baru. Dalam semangat inilah pemerintah bisa menyesuaikan dukungannya pada kebangkitan sektor manufaktur maupun pertumbuhan industri baru dan kreatif.

3. Investasi pemerintah pada pengembangan investasi masih sangat diperlukan. Indonesia menghabiskan 20 persen anggarannya untuk pendidikan. Namun hasil pendidikan masih sangat

Page 77: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

62

rendah. Pendanaan masa depan harus dikaitkan erat pada hasil jangka pendek maupun menengah. Denagn kata lain, kualitas pendidikan harus diperbaiki terutama bila warga Indonesia mau bersaing dengan bangsa lain secara setara. Dengan diciptakannya pasar ekonomi tunggal di ASEAN, program pendidikan dan pengembangan keterampilan perlu diperbaiki lagi. Pendidikan tidak hanya dipandang mendapatkan kualifikasi akademik tapi juga memperoleh proses belajar sepanjang hidup yang terus berlanjut di tempat kerja.

4. Meningkatkan akses terhadap teknologi juga sangat dibutuhkan. Seperti yang kita lihat, kendati jumlah pengguna teknologi mengalami peningkatan, masih ada beberapa yang karena kurangnya infrastruktur dan pendidikan tidak bisa masuk dalam dunia digital. Konektivitas akan memungkinkan kita menggunakan teknologi dengan cara yang akan mendatangkan manfaat lebih besar. Dalam hal ini potensi bagi perusahaan kecil dan pengusaha muda dalam menggunakan teknologi dan mengatasi hambatan yang biasa mereka alami pun akan besar. Ini bisa dalam bentuk memperluas kontribusi pasar mereka dengan menggunakan portal daring dan mencari layanan pendukung, termasuk manajemen bisnis dan keuangan.

5. Mekanisme tata kelola ketenagakerjaan saat ini mungkin belum cukup dalam menghadapi ‘gig economy’. Dialog sosial yang melibatkan semua pihak harus dimulai sehingga bisa mengembangkan arsitektur tata kelola tenaga kerja yang baik terutama bagi mereka yang bekerja dengan pengaturan pekerja-pemberi kerja di luar pengaturan konvensional. Misalnya aliansi strategis antara jaminan sosial dan otoritas perpajakan melalui dibuatnya sistem pengumpulan pajak yang sederhana dan tunggal dapat menjangkau lebih banyak pekerja, terutama pada perekonomian informal. Hasil dari pelaksanaan skema semacam itu di negara lain terlihat menjanjikan. Juga menjadi bagian dalam sebuah kelompok memiliki potensi untuk mendorong registrasi dan membantu dalam mengumpulkan iuran dari pekerja individual. Sementara model “kontribusi bersama” klasik antara pekerja dan pemberi kerja tidak dapat diterapkan pada jumlah pekerja yang semakin bertambah pada pekerjaan yang menjawab “kebutuhan”. Pilihan pembiayaan inovatif perlu digali lebih lanjut.

6. Indonesia perlu mengkaji ulang keefektifan dan relevansi program bantuan sosialnya. Ada banyak sekali program bantuan tunai dan non-tunai langsung yang menyasar penduduk berpendapatan rendah dan rentan. Selain itu, negara juga memberikan dukungan melalui subsidi bagi para petani, bahan bakar dan listrik diantaranya. Dengan penggunaan KTP-el, negara ini menuju pembayaran berbasis uang tunai. Secara global gagasan mengenai pendapatan dasar universal lebih mendapat dukungan sebagai sebuah tindakan yang akan memberikan jaminan sosial bagi pekerja dari ancaman kehilangan pekerjaan. Banyak proyek perintis yang saat ini sedang diuji coba di negara-negara maju seperti Finlandia dan Kanada. India juga mempertimbangkan untuk menguji pendapatan dasar universal ini, selain dari skema jaminan tenaga kerja pedesaan yang sudah berjalan selama beberapa tahun. Karenanya Indonesia bisa memetik pelajaran berharga dari negara lain di mana mekanisme bantuan sosial diuji, namun juga dari program jaminan sosial mereka sendiri.

Page 78: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

63

Referensi

ADB : See Asian Development Bank

Asian Development Bank. (2017). Asian Development Outlook (ADO) 2017 Update: sustaining development through public-private partnership. Manila.

Anthonius, M. (2016). Digital economy of Indonesia. Ministry of Communication and Information Technology. Retrieved from http://www.cicc.or.jp/japanese/kouenkai/pdf_ppt/pastfile/h28/161026-03id.pdf.

Akst, D. (2013). Automation anxiety: where have all the jobs gone? The Wilson Quarterly, 37 (3), 60–74. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/wilsonq.37.3.06.

Asosiasi Jasa Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). (2016). The penetration and behavior of Indonesian internet users survey.

Arntz, M.T., Gregory, T., and Zierahn, U. (2016). The risk of automation for jobs in OECD countries: a comparative analysis. OECD Social, Employment and Migration Working Papers, No. 189, OECD Publishing, Paris. Retrieved from http://dx.doi.org/10.1787/5jlz9h56dvq7-en

Autor, D.H. (2015). Why are there still so many jobs? The history and future of workplace automation. The Journal of Economic Perspectives, 29 (3), 3 – 30. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/43550118.

Badan Pusat Statistik. (2016) Keadaan angkatan kerja di Indonesia Agustus 2016 (Labor Force Situation in Indonesia August 2016). Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas).

Bhagawati, J. (2011). Manufacturing. The Economist.Com Debate. Retrieved from http://www.columbia.edu/~jb38/papers/pdf/The_Economist_com_Debate_Manufacturing.pdf

Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2014). The Second Machine Age: Work, Progress, and Prosperity in a Time of Brilliant Technologies. W.W Norton.

Das, S., & Schaner, S. (2016). Female labour force participation in Asia: Indonesia case study. ADB Economics Working Paper Series No. 474. Asian Development Bank, Manila. http://digitalcommons.ilr.cornell.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1499&context=intl

Francesco., C., & Wilbur, J.C. (2006). “The world technology frontier. American Economic Review. 96(3), 499-522.

Frey, C. B., & Osborne, M.A. (2013). The future of employment: how susceptible are jobs to computerisation? University of Oxford.

Ha, S., Kankanhalli, A., Kishan, J. S., & Huang, K. W. (2016). Does social media marketing really work for online SMEs? Research Paper. Dublin.

Hallward-Driemeier, M., & Nayyar, G. (2017). Trouble in the making? the future of manufacturing-led development. World Bank, Washington, DC.

Page 79: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

64

Heckman, J.J., Lochner, L.J., & Todd, P.E. (2003). Fifty years of Mincer earnings regressions. Working Paper. Retrieved from http://athena.sas.upenn.edu/petra/papers/llmincer.pdf

Herrendorf, B., Rogerson, R., & Valentinyi, A. (2011). Growth and structural transformation. Paper prepared for the handbook of economic growth. Retrieved from https://www.imf.org/external/np/seminars/eng/2013/SPR/pdf/rrog2.pdf

International Federation of Robotics (IFR). (2017). World robotics report 2016. Retrieved from https://ifr.org/ifr-press-releases/news/world-robotics-report-2016

ILO: See International Labour Organization

International Labour Organization. (2013). Global Employment Trends for Youth 2013. A generation at risk. Geneva.

International Labour Organization. ILO. (2014). Skills mismatch in Europe, Statistics Brief. Geneva.

International Labour Organization. (2016a). ASEAN in Transformation: how technology is changing enterprises and future work.

International Labour Organization. (2016b). ASEAN in Transformation: perspectives of enterprises and students on future work. Working Paper No 11.

International Labour Organization. (2016c). World Employment and Social Outlook (WESO): Transforming jobs to end poverty. Geneva.

International Labour Organization. (2016d). Technological changes and work in the future: making technology work for all. The Future of Work Centenary Initiative. Retrieved from http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---dgreports/---dcomm/documents/publication/wcms_534201.pdf

International Labour Organization. (2017). World Employment and Social Outlook (WESO): Trends. Geneva.

IMF: See International Monetary Fund

International Monetary Fund. (2016). World Economic Outlook 2016. Retrieved from http://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2016/02/

Katz, L.F., & Krueger A.B., 2017. The role of unemployment in the rise in alternative work arrangements. American Economic Review. 107(5): 388–392. Retrieved from https://doi.org/10.1257/aer.p20171092

Katz, L.F., Krueger, A.B. (2016). The rise and nature of alternative work arrangements in the United States 1995-2015. National Bureau of Economic Research, Cambridge. USA. Retrieved from http://www.nber.org/papers/w22667

Kemp, S. (2017). Digital in 2017: Global overview. Retrieved from https://wearesocial.com/special-reports/digital-in-2017-global-overview.

Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2014). Rencana pembangunan jangka menengah nasional 2015-2019.

Khatiwada, S., & Lennon, C. (2017). “Structural transformation in resource rich countries: a case of Indonesia and Nigeria. ILO Working Paper (forthcoming).

Kuhn, P.J. (2014). The internet as a labor market matchmaker. IZA World of Labor. Retrieved from https://wol.iza.org/uploads/articles/18/pdfs/internet-as-a-labor-market-matchmaker.pdf

Kuncoro, M. (2013). Indonesia’s textile and its products industry: recent development and challenges. International Journal of Business and Economic Development. 1(3), 60–74.

Page 80: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

65

Leopold, T.A. (2016). The future of jobs employment: skills and workforce strategy for the fourth industrial revolution. World Economic Forum.

Lewis, W.A. (1954). Economic development with unlimited supplies of labor. The Manchester School. 22, 139–91. Retrieved from doi:10.1111/j.1467-9957.1954.tb00021.x.

Levy, F., & Murnane, R. (2004). The new division of labour. Massachusetts’ Benchmark. 7(1).

McKinsey & Company. (2016). Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity.

McKinsey & Company. (2017). A future that works: automation, employment, and productivity.

Mercer, 2015. The Future of HR. Mercer, 2015. Center for Advanced Human Resources Studies, Cornell Univeristy, USA. Retrieved from https://www.mercer.com/content/dam/mercer/attachments/north-america/us/the-future-of-hr-mercer.pdf

Rodrik, D. (2015). Premature deindustralization. Economic Working Paper 107. IAS School of Social Science. Princeton, New Jersey.

Sala-i-Martín, X., & Schwab, K. (2017). The global competitiveness report 2017–2018. World Economic Forum.

Schwab, Klaus (2016). The fourth industrial revolution. World Economic Forum.

Solow, R.M. (1956). A contribution to the theory of economic growth”. Quarterly Journal of Economics. Oxford Journals. 70 (1): 65–94. Retrieved from doi:10.2307/1884513.Pdf.

Swan, T.W. (1956). Economic growth and capital accumulation. Economic Record. 32 (2): 334–361. Retrieved from doi:10.1111/j.1475-4932.1956.tb00434.x.

Szirmani, A. (2012). Industralization as an engine of growth in developing countries 1950-2005. Structural Change and Economic Dynamics. 23 (4), 406-420.

Tadjoeddin, M.Z., Auwalin, I., & Chowdhury, A. (2016). Revitalizing Indonesia’s manufacturing: the productivity conundrum. Working Papers in Trade and Development. Arndt-Corden Department of Economics, Crawford School of Public Policy, ANU College of Asia and the Pacific. Retrieved from http://www.crawford.anu.edu.au/acde/publications/

Tassey, G. (2014). Competing in advanced manufacturing: the need for improved growth models and policies. The Journal of Economic Perspectives. 28 (1), 27 – 48. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/43193715

World Bank. (2012a). Picking up the pace: reviving growth in Indonesia’s manufacturing sector. The World Bank Office, Jakarta, Indonesia.

World Bank. (2012b). How the macroeconomic environment and investment climate have affected the manufacturing sector. Jakarta, Indonesia.

World Bank. (2016). Digital dividends. World Development Report. 2016. Washington DC, USA.

World Bank. (2017). Global economic prospects, East Asia and the Pacific.

Page 81: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

66

Page 82: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

67

Lampiran

Lampiran 1. Ketidaksesuaian & Pengukuran Keterampilan(Beberapa Definisi dan Indikator Pengukuran Umum)

Kekurangan keterampilan (selisih)

Kesenjangan keterampilan

Ketidaksesuaian vertikal

Ketidaksesuaian horizontal

Pendidikan berlebih (pendidikan kurang)

Kualifikasi berlebih (kurang berkualifikasi)

Kurangnya keterampilan

Permintaan (pasokan) akan jenis keterampilan tertentu melampaui pasokan (permintaan) orang-orang yang memiliki keterampilan itu.

Jenis atau tingkat keterampilan yang berbeda dari yang dibutuhkan untuk dapat melakukan pekerjaan dengan baik.

Tingkat pendidikan atau kualifikasi kurang atau lebih dari yang dipersyaratkan.

Jenis/bidang pendidikan atau keterampilan tidak sesuai dengan pekerjaan.

Pekerja memiliki tahun pendidikan yang berlebih (kurang) dari persyaratan kerja.

Pekerja memiliki kualifikasi yang lebih tinggi (lebih rendah) dari persyaratan kerja.

Keterampilan yang sebelumnya dipergunakan dalam pekerjaan tidak lagi dibutuhkan dan/atau keterampilan menurun karena waktu.

Sumber: ILO. 2013

Normatif Mempergunakan pemetaan yang sudah ditentukan antara pekerjaan dan tingkat pendidikan yang dipersyaratkan

Relatif mudah untuk dikur; obyektif

Memerlukan pemetaan terus-menerus untuk seluruh penugasan sesuai dengan pekerjaan

Pemetaan yang menyeluruh membutuhkan biaya besar untuk dilaksanakan dan perbaharui

Nama Pengukuran Keuntungan Kelemahan

Page 83: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

68

Statistik

Rasio pendapatan

Penilaian diri

Mereka yang berpendidikan berlebih adalah mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi berdasarkan nilai-nilai ad hoc dibandingkan rata-rata sampel yang ada di dalam pekerjaan tersebut.

Pendidikan berlebih adalah variabel berkelanjutan yang diukur dengan membandingkan

Pendpatan aktual dan perkiraan

Para responden ditanya mengenai persepsi mereka terhadap tingkat pendidikan dan keterampilan yang dipergunakan dalam pekerjaan mereka

Relatif mudah untuk dikur; obyektif

Tidak diperlukan pembaharuan: selalu sejalan dengan sampel

Mencerminkan salah satu tujuan dari inveestasi pendidikan adalah memaksimalkan pendapatan.

Selalu terbarukan

Sejalan dengan persyaratan dalam perusahaan perorangan

Memerlukan pemetaan terus-menerus untuk seluruh penugasan sesuai dengan pekerjaan

Sensitif terhadap dampak kohort

Hasil tergantung dari tingkat agregasi pekerjaan

Tindakan tidak langsung : Ini dipengaruhi oleh banyak faktor lainnya.

Bersifat bias dan subyektif: responden mungkin melebihkan persyaratan kerja, menaikan status mereka, atau membentuk lagi standar rekrutmen yang ada

Nama Pengukuran Keuntungan Kelemahan

Sumber: ILO. 2013

Page 84: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

69

Ann

ex 2

. Per

band

inga

n Su

rvei

Ten

aga

Ker

ja 2

006

dan

2016

(Indik

ator

Ter

pilih

)Ta

bel 1

: Pop

ulas

i usi

a ke

rja (‘

000s

) ber

dasa

rkan

usi

a da

n je

nis

kela

min

Usi

a La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

kiK

edua

Jeni

s K

elam

in

2006

2016

Peru

baha

n

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

15-1

9

20-2

4

25-2

9

30-3

4

35-3

9

40-4

4

45-4

9

50-5

4

55-5

9

60-6

4

65-6

9

70-7

4

75-7

9

80-8

4

85-8

9

90-9

4

95-9

5

Tota

l

11,1

27.3

10,3

73.0

9,42

9.4

9,03

1.3

8,44

1.9

7,69

8.7

6,63

2.7

5,31

5.8

4,02

2.4

3,15

1.5

2,26

6.6

1,54

2.5

773.

7

425.

4

149.

5

32.0

28.2

80,4

42.0

11,3

41.5

10,9

27.9

10,5

23.5

10,2

16.0

9,93

9.1

9,36

8.7

8,38

4.9

7,09

9.4

5,76

9.5

4,28

4.2

2,80

5.1

1,82

7.1

1,03

4.2

528.

5

208.

0

78.1

36.6

94,3

72.2

214.

2

554.

9

1,09

4.1

1,18

4.7

1,49

7.2

1,67

0.0

1,75

2.1

1,78

3.6

1,74

7.1

1,13

2.7

538.

4

284.

6

260.

5

103.

1

58.5

46.2

8.4

13,9

30.2

21,1

75.1

20,9

77.8

20,1

10.0

18,8

64.0

17,0

87.6

15,1

43.0

12,8

41.6

10,0

71.4

7,51

9.4

6,32

3.6

4,45

8.3

3,20

9.7

1,63

5.5

913.

4

307.

0

94.3

79.8

160,

811.

5

22,1

69.8

21,5

91.4

20,9

30.0

20,4

99.5

19,9

58.8

18,6

55.0

16,7

18.8

14,2

49.1

11,5

30.5

8,47

5.0

5,78

7.2

3,98

3.0

2,39

6.5

1,26

5.4

561.

4

217.

8

107.

4

189,

096.

7

994.

8

613.

6

820.

0

1,63

5.5

2,87

1.2

3,51

2.0

3,87

7.2

4,17

7.8

4,01

1.0

2,15

1.4

1,32

9.0

773.

4

760.

9

352.

0

254.

4

123.

5

27.6

28,2

85.2

10,0

47.8

10,6

04.8

10,6

80.5

9,83

2.7

8,64

5.7

7,44

4.3

6,20

8.9

4,75

5.6

3,49

7.0

3,17

2.1

2,19

1.6

1,66

7.2

861.

9

488.

0

157.

5

62.3

51.5

80,3

69.5

10,8

28.4

10,6

63.5

10,4

06.5

10,2

83.5

10,0

19.7

9,28

6.3

8,33

4.0

7,14

9.7

5,76

1.0

4,19

0.8

2,98

2.2

2,15

6.0

1,36

2.3

736.

9

353.

4

139.

7

70.8

94,7

24.6

780.

6

58.7

-274

.1

450.

8

1,37

4.0

1,84

2.0

2,12

5.0

2,39

4.2

2,26

3.9

1,01

8.7

790.

5

488.

8

500.

4

248.

8

195.

9

77.4

19.2

14,3

55.0

Page 85: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

70

Tabe

l 2: P

endu

duk

beru

sia

kerja

men

urut

jeni

s ke

lam

in d

an k

elom

pok

usia

(dal

am p

erse

n)

Usi

a La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

kiK

edua

Jeni

s K

elam

in

2006

2016

Peru

baha

n

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

15-1

9

20-2

4

25-2

9

30-3

4

35-3

9

40-4

4

45-4

9

50-5

4

55-5

9

60-6

4

65-6

9

70-7

4

75-7

9

80-8

4

85-8

9

90-9

4

95-9

5

13.8

12.9

11.7

11.2

10.5

9.6

8.2

6.6

5.0

3.9

2.8

1.9

1.0

0.5

0.2

0.0

0.0

12.0

11.6

11.2

10.8

10.5

9.9

8.9

7.5

6.1

4.5

3.0

1.9

1.1

0.6

0.2

0.1

0.0

-1.8

-1.3

-0.6

-0.4 0.0

0.4

0.6

0.9

1.1

0.6

0.2

0.0

0.1

0.0

0.0

0.0

0.0

13.2

13.0

12.5

11.7

10.6

9.4

8.0

6.3

4.7

3.9

2.8

2.0

1.0

0.6

0.2

0.1

0.0

11.7

11.4

11.1

10.8

10.6

9.9

8.8

7.5

6.1

4.5

3.1

2.1

1.3

0.7

0.3

0.1

0.1

-1.4

-1.6

-1.4

-0.9

-0.1 0.4

0.9

1.3

1.4

0.5

0.3

0.1

0.3

0.1

0.1

0.1

0.0

12.5

13.2

13.3

12.2

10.8

9.3

7.7

5.9

4.4

3.9

2.7

2.1

1.1

0.6

0.2

0.1

0.1

11.4

11.3

11.0

10.9

10.6

9.8

8.8

7.5

6.1

4.4

3.1

2.3

1.4

0.8

0.4

0.1

0.1

-1.1

-1.9

-2.3

-1.4

-0.2 0.5

1.1

1.6

1.7

0.5

0.4

0.2

0.4

0.2

0.2

0.1

0.0

Page 86: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

71

Tabe

l 3: P

endu

duk

beru

sia

kerja

yan

g tin

ggal

di k

ota

dan

desa

men

urut

jeni

s ke

lam

in

K

ota

Kot

aK

ota

Tota

l

2006

2016

Peru

baha

n

Tota

lTo

tal

Des

aD

esa

Des

a

Popu

lasi

(‘00

0s)

Laki

-laki

Pere

mpu

an

Ked

ua je

nis

kela

min

Dis

trib

usi P

opul

asi (

%)

Laki

-laki

Pere

npua

n

Ked

ua je

nis

kela

min

35,1

30.7

35,5

90.0

70,7

20.7

43.7

44.3

44.0

51,3

72.0

51,5

77.0

102,

949.

0

54.4

54.4

54.4

16,2

41.2

15,9

87.0

32,2

28.2

10.8

10.2

10.5

80,4

42.0

80,3

69.5

160,

811.

5

100.

0

100.

0

100.

0

94,3

72.2

94,7

24.6

189,

096.

7

100.

0

100.

0

100.

0

13,9

30.2

14,3

55.0

28,2

85.2

0.0

0.0

0.0

45,3

11.3

44,7

79.5

90,0

90.8

56.3

55.7

56.0

43,0

00.2

43,1

47.6

86,1

47.8

45.6

45.6

45.6

-2,3

11.1

-1,6

31.9

-3,9

43.0

-10.

8

-10.

2

-10.

5

Page 87: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

72

La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

ki

2006

2016

Peru

baha

n

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

Ras

io k

eten

agak

erja

an

terh

adap

pop

ulas

i (%

)

15-2

4

25-3

4

35-4

4

45-5

4

55-6

4

65-9

8

15-9

8

44.5

90.0

96.9

95.4

82.8

53.9

77.0

45.9

89.6

93.3

92.5

82.1

54.7

77.3

1.3

-0.4

-3.6

-2.9

-0.7 0.8

0.2

36.7

65.6

74.4

76.0

64.7

38.0

59.4

38.6

70.6

76.3

76.5

67.8

38.9

62.6

1.9

5.0

1.8

0.5

3.2

1.0

3.3

28.5

43.7

51.9

54.9

45.2

22.8

41.7

31.0

51.6

59.2

60.5

53.4

25.8

48.0

2.5

7.9

7.4

5.6

8.3

2.9

6.3

Tabe

l 4: P

eker

jaan

dan

rasi

o ke

tena

gake

rjaan

terh

adap

pop

ulas

i, be

rdas

arka

n je

nis

kela

min

dan

usi

a

La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

kiK

edua

Jeni

s K

elam

in

2006

2016

Peru

baha

n

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

Peke

rjaan

(‘00

0s)

15-2

4

25-3

4

35-4

4

45-5

4

55-6

4

65-9

8

15-9

8

9,57

8.3

16,6

08.2

15,6

41.1

11,4

01.1

5,93

8.4

2,81

0.2

61,9

77.3

10,2

11.3

18,5

80.8

18,0

16.3

14,3

18.6

8,25

3.7

3,56

2.9

72,9

43.6

633.

0

1,97

2.6

2,37

5.2

2,91

7.5

2,31

5.3

752.

8

10,9

66.3

15,4

64.4

25,5

74.5

23,9

89.4

17,4

16.5

8,95

1.1

4,06

1.1

95,4

56.9

16,8

80.1

29,2

50.8

29,4

54.8

23,6

80.8

13,5

71.9

5,57

3.6

118,

412.

0

1,41

5.7

3,67

6.3

5,46

5.4

6,26

4.4

4,62

0.8

1,51

2.5

22,9

55.0

5,88

6.1

8,96

6.3

8,34

8.3

6,01

5.4

3,01

2.7

1,25

0.9

33,4

79.6

6,66

8.8

10,6

70.0

11,4

38.5

9,36

2.2

5,31

8.2

2,01

0.6

45,4

68.3

782.

7

1,70

3.7

3,09

0.2

3,34

6.9

2,30

5.5

759.

7

11,9

88.7

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Page 88: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

73

Tabe

l 5: A

ngka

tan

kerja

dan

ting

kat p

artis

ipas

i ang

kata

n ke

rja, b

erda

sark

an je

nis

kela

min

dan

usi

a

La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

kiK

edua

Jeni

s K

elam

n

2006

2016

Peru

baha

n

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

Ang

kata

n ke

rja (‘

000s

)

15-1

9

20-2

4

25-2

9

30-3

4

35-3

9

40-4

4

45-4

9

50-5

4

55-5

9

60-6

4

65+

Tota

l

4,46

6.6

8,80

0.2

9,04

0.2

8,88

0.8

8,33

9.5

7,61

0.4

6,51

4.7

5,10

5.8

3,64

7.2

2,46

4.3

2,88

0.2

67,7

49.9

3,72

9.4

8,99

6.6

9,87

8.9

9,79

1.0

9,46

2.2

8,95

3.0

7,95

0.7

6,58

7.1

5,10

3.9

3,30

1.7

3,60

0.8

77,3

55.2

-737

.3

196.

4

838.

8

910.

2

1,12

2.6

1,34

2.5

1,43

5.9

1,48

1.3

1,45

6.7

837.

5

720.

6

9,60

5.3

7,69

8.8

14,5

81.8

14,3

47.5

13,7

31.0

12,9

09.6

11,8

17.2

10,0

93.7

7,73

0.3

5,46

3.7

3,80

3.7

4,21

1.6

106,

388.

9

6,21

9.6

14,7

35.4

15,5

20.2

15,3

89.2

15,3

60.5

14,7

36.1

13,0

54.1

10,9

86.4

8,47

9.3

5,30

7.1

5,65

6.0

125,

443.

7

-1,4

79.2

153.

6

1,17

2.7

1,65

8.1

2,45

0.9

2,91

8.9

2,96

0.4

3,25

6.0

3,01

5.6

1,50

3.4

1,44

4.4

19,0

54.8

3,23

2.2

5,78

1.6

5,30

7.4

4,85

0.3

4,57

0.1

4,20

6.8

3,57

8.9

2,62

4.5

1,81

6.5

1,33

9.5

1,33

1.4

38,6

39.0

2,49

0.2

5,73

8.8

5,64

1.3

5,59

8.2

5,89

8.3

5,78

3.1

5,10

3.4

4,39

9.2

3,37

5.4

2,00

5.4

2,05

5.3

48,0

88.6

-741

.9

-42.

8

333.

9

747.

9

1,32

8.3

1,57

6.4

1,52

4.5

1,77

4.7

1,55

8.9

665.

9

723.

9

9,44

9.5

La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

ki

2006

2016

Peru

baha

n

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

Tin

gkat

par

tisip

asi a

ngka

tan

kerja

(%)

15-1

9

20-2

4

25-2

9

30-3

4

35-3

9

40-4

4

45-4

9

50-5

4

55-5

9

60-6

4

65+

Tota

l

40.1

84.8

95.9

98.3

98.8

98.9

98.2

96.1

90.7

78.2

55.2

84.2

32.9

82.3

93.9

95.8

95.2

95.6

94.8

92.8

88.5

77.1

55.2

82.0

-7.3

-2.5

-2.0

-2.5

-3.6

-3.3

-3.4

-3.3

-2.2

-1.1 0.0

-2.3

36.4

69.5

71.3

72.8

75.5

78.0

78.6

76.8

72.7

60.2

39.4

66.2

28.1

68.2

74.2

75.1

77.0

79.0

78.1

77.1

73.5

62.6

39.5

66.3

-8.3

-1.3 2.8

2.3

1.4

1.0

-0.5 0.3

0.9

2.5

0.1

0.2

32.2

54.5

49.7

49.3

52.9

56.5

57.6

55.2

51.9

42.2

24.3

48.1

23.0

53.8

54.2

54.4

58.9

62.3

61.2

61.5

58.6

47.9

26.3

50.8

-9.2

-0.7 4.5

5.1

6.0

5.8

3.6

6.3

6.6

5.6

2.1

2.7

Ked

ua Je

nis

Kel

amn

Ked

ua Je

nis

Kel

amn

Ked

ua Je

nis

Kel

amn

Ked

ua Je

nis

Kel

amn

Ked

ua Je

nis

Kel

amn

Page 89: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

74

Tabe

l 6: P

eker

jaan

ber

dasa

rkan

jaba

tan

dan

jeni

s ke

lam

in

La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

kiK

edua

Jeni

s K

elam

in

2006

2016

Peru

baha

n

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

Peke

rjaan

ber

dasa

rkan

ja

bata

n (‘0

00s)

Prof

esio

nal/

Tekn

isi

Pem

impi

n &

Man

ajem

en

Staf

Eks

ekut

if d

an

Adm

inist

ratif

Bisn

is &

Pen

jual

an

Jasa

Pert

ania

n &

Per

kebu

nan

Tran

spor

tasi

& P

eker

ja K

erah

Bi

ru L

ainn

ya

Lain

-lain

Tota

l

1,91

2.7

306.

3

2,97

7.4

8,77

8.2

2,83

5.9

26,0

84.7

18,6

09.4

472.

7

61,9

77.3

3,64

7.6

1,16

3.8

4,48

8.5

10,1

08.5

2,30

7.1

23,4

43.4

25,8

00.1

1,98

4.7

72,9

43.6

1,73

4.9

857.

5

1,51

1.1

1,33

0.3

-528

.9

-2,6

41.2

7,19

0.7

1,51

2.0

10,9

66.3

3,89

0.2

391.

4

4,58

4.9

16,8

95.2

5,52

5.9

39,7

77.0

23,9

02.3

490.

1

95,4

56.9

8,31

4.3

1,40

2.2

8,02

7.0

21,2

11.1

5,97

9.7

37,0

40.2

34,3

82.9

2,05

4.4

118,

412.

0

4,42

4.1

1,01

0.8

3,44

2.1

4,31

5.9

453.

8

-2,7

36.7

10,4

80.6

1,56

4.3

22,9

55.0

1,97

7.5

85.1

1,60

7.5

8,11

7.0

2,69

0.0

13,6

92.3

5,29

2.9

17.4

33,4

79.6

4,66

6.8

238.

4

3,53

8.6

11,1

02.6

3,67

2.7

13,5

96.8

8,58

2.8

69.7

45,4

68.3

2,68

9.3

153.

3

1,93

1.1

2,98

5.7

982.

7

-95.

5

3,28

9.9

52.3

11,9

88.7

La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

ki

2006

2016

Peru

baha

n

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

Pem

bagi

an p

eker

jaan

be

rdas

arka

n ja

bata

n (%

)

Prof

esio

nal/

Tekn

isi

Pem

impi

n &

Man

ajem

en

Staf

Eks

ekut

if d

an

Adm

inist

ratif

Bisn

is &

Pen

jual

an

Jasa

Pert

ania

n &

Per

kebu

nan

Tran

spor

tasi

& P

eker

ja

Ker

ah B

iru L

ainn

ya

Lain

-lain

Tota

l

3.1

0.5

4.8

14.2

4.6

42.1

30.0

0.8

100.

0

5.0

1.6

6.2

13.9

3.2

32.1

35.4

2.7

100.

0

1.9

1.1

1.3

-0.3

-1.4

-9.9 5.3

2.0

0.0

4.1

0.4

4.8

17.7

5.8

41.7

25.0 0.5

100.

0

7.0

1.2

6.8

17.9

5.0

31.3

29.0

1.7

100.

0

2.9

0.8

2.0

0.2

-0.7

-10.

4

4.0

1.2

0.0

5.9

0.3

4.8

24.2

8.0

40.9

15.8

0.1

100.

0

10.3

0.5

7.8

24.4

8.1

29.9

18.9

0.2

100.

0

4.4

0.3

3.0

0.2

0.0

-11.

0

3.1

0.1

0.0

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Page 90: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

75

Tabe

l 7: T

enag

a ke

rja d

alam

sem

ingg

u m

enur

ut ja

m k

erja

La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

kiK

edua

Jeni

s K

elam

in

2006

2016

Peru

baha

n

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

Tena

ga k

erja

men

urut

jam

ke

rja (‘

000s

)

<25

25-3

4

35-3

9

40-4

8

49-5

9

>=

60

Tota

l

Pem

bagi

an k

erja

ber

dasa

rka

jam

ker

ja (%

)

<25

25-3

4

35-3

9

40-4

8

49-5

9

>=

60

8,

122.

2

8,37

8.8

7,02

7.6

20,3

35.9

11,0

40.4

7,07

2.5

61,9

77.3

13.1

13.5

11.3

32.8

17.8

11.4

9,46

3.5

7,30

4.9

6,33

5.9

25,4

05.2

14,0

10.4

10,4

23.8

72,9

43.6

13.0

10.0

8.7

34.8

19.2

14.3

1,34

1.3

-1,0

73.9

-691

.6

5,06

9.3

2,97

0.0

3,35

1.3

10,9

66.3

-0.1

-3.5

-2.7 2.0

1.4

2.9

17,1

88.9

14,3

52.6

11,0

01.4

27,8

98.7

14,4

36.3

10,5

79.0

95,4

56.9

18.0

15.0

11.5

29.2

15.1

11.1

20,7

32.5

13,7

19.9

11,2

00.1

37,1

51.8

19,5

41.1

16,0

66.6

118,

412.

0

17.5

11.6

9.5

31.4

16.5

13.6

3,54

3.6

-632

.7

198.

7

9,25

3.0

5,10

4.8

5,48

7.6

22,9

55.0

-0.5

-3.4

-2.1 2.1

1.4

2.5

9,

066.

8

5,97

3.8

3,97

3.9

7,56

2.8

3,39

5.9

3,50

6.4

33,4

79.6

27.1

17.8

11.9

22.6

10.1

10.5

11,2

69.0

6,41

5.1

4,86

4.2

11,7

46.6

5,53

0.7

5,64

2.8

45,4

68.3

24.8

14.1

10.7

25.8

12.2

12.4

2,20

2.3

441.

3

890.

3

4,18

3.8

2,13

4.7

2,13

6.3

11,9

88.7

-2.3

-3.7

-1.2 3.2

2.0

1.9

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Page 91: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017

76

Tabl

e 8:

Pen

gang

gura

n da

n tin

gkat

pen

gang

gura

n, b

erda

sark

an je

nis

kela

min

dan

usi

a

La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

kiK

edua

Jeni

s K

elam

in

2006

2016

Peru

baha

n

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

Peng

angg

uran

(‘0

00s)

15-2

4

25-3

4

35-4

4

45-5

4

55-6

4

65-9

8

15-9

8

Tin

gkat

pen

gang

gura

n (%

)

15-2

4

25-3

4

35-4

4

45-5

4

55-6

4

65-9

8

15-9

8

3,68

8.5

1,31

2.7

308.

9

219.

4

173.

0

70.0

5,77

2.6

27.8

7.3

1.9

1.9

2.8

2.4

8.5

2,51

4.6

1,08

9.2

398.

8

219.

2

151.

9

37.8

4,41

1.5

19.8

5.5

2.2

1.5

1.8

1.0

5.7

-1,1

73.9

-223

.6

90.0

-0.2

-21.

1

-32.

2

-1,3

61.1

-8.0

-1.8 0.2

-0.4

-1.0

-1.4

-2.8

6,81

6.2

2,50

4.1

737.

3

407.

5

316.

3

150.

5

10,9

32.0

30.6

8.9

3.0

2.3

3.4

3.6

10.3

4,07

4.9

1,65

8.6

641.

7

359.

6

214.

5

82.5

7,03

1.8

19.4

5.4

2.1

1.5

1.6

1.5

5.6

-2,7

41.3

-845

.5

-95.

6

-47.

9

-101

.8

-68.

0

-3,9

00.2

-11.

1

-3.6

-0.8

-0.8

-1.9

-2.1

-4.7

3,12

7.7

1,19

1.4

428.

5

188.

1

143.

3

80.5

5,15

9.4

34.7

11.7

4.9

3.0

4.5

6.0

13.4

1,56

0.3

569.

4

242.

9

140.

4

62.6

44.7

2,62

0.2

19.0

5.1

2.1

1.5

1.2

2.2

5.4

-1,5

67.4

-621

.9

-185

.6

-47.

7

-80.

7

-35.

8

-2,5

39.2

-15.

7

-6.7

-2.8

-1.6

-3.4

-3.9

-7.9

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Page 92: Laporan Ketenagakerjaan Indonesia 2017 - ilo.org · Gambar 24. Prospek bisnis jangka panjang di masa depan 41 Gambar 25. Prospek jangka panjang di masa depan berdasarkan a) sektor

Lapo

ran

Kete

naga

kerja

an In

done

sia

2017

77

Tabl

e 9:

Upa

h/pe

ndap

tan

men

urut

pek

erja

an d

an je

nis

kela

min

La

ki-la

kiLa

ki-la

kiLa

ki-la

kiK

edua

Jeni

s K

elam

in

2006

2016

Peru

baha

n

Pere

mpu

anPe

rem

puan

Pere

mpu

an

Prof

esio

nal/

Tekn

isi

Pem

impi

n &

Man

ajem

en

Staf

Eks

ekut

if d

an

Adm

inist

ratif

Bisn

is &

Pen

jual

an

Jasa

Pert

ania

n &

Per

kebu

nan

Tran

spor

tasi

& P

eker

ja

Ker

ah B

iru L

ainn

ya

Lain

nya

1,59

6,18

0.5

3,28

9,18

5.7

1,39

6,44

3.9

813,

066.

3

772,

814.

6

193,

210.

1

630,

559.

2

1,79

2,14

3.0

3,85

1,96

0.1

5,83

2,39

8.6

3,45

8,96

0.6

2,47

4,99

7.8

2,24

3,34

7.0

1,36

2,46

4.9

2,07

9,49

5.5

3,22

8,46

7.6

2,25

5,77

9.6

2,54

3,21

2.9

2,06

2,51

6.8

1,66

1,93

1.5

1,47

0,53

2.4

1,16

9,25

4.8

1,44

8,93

6.3

1,43

6,32

4.6

1,37

0,58

1.4

3,03

9,83

1.7

1,33

9,32

4.2

734,

545.

4

590,

772.

6

159,

972.

8

610,

625.

3

1,77

5,42

3.3

3,19

6,00

3.0

5,84

0,42

9.8

3,22

0,47

3.5

2,15

4,16

2.1

1,56

2,34

8.2

1,19

0,47

6.9

1,98

9,19

1.0

3,21

7,10

1.8

1,82

5,42

1.6

2,80

0,59

8.1

1,88

1,14

9.4

1,41

9,61

6.6

971,

575.

6

1,03

0,50

4.1

1,37

8,56

5.7

1,44

1,67

8.6

1,16

3,71

2.1

2,22

8,80

9.9

1,23

3,32

9.8

622,

961.

0

390,

366.

2

82,6

41.9

527,

612.

0

1,31

9,88

5.7

2,71

6,04

8.1

5,87

3,26

8.2

2,90

1,95

4.0

1,68

2,05

0.1

1,20

8,17

3.3

770,

115.

4

1,61

4,16

3.6

2,89

2,81

9.4

1,55

2,33

6.1

3,64

4,45

8.2

1,66

8,62

4.2

1,05

9,08

9.1

817,

807.

1

687,

473.

4

1,08

6,55

1.6

1,57

2,93

3.8

Ked

ua Je

nis

Kel

amin

Ked

ua Je

nis

Kel

amin