laporan kasus tetanus

20
TETANUS Oleh : I Dewa Ayu Vanessa V. M. NIM : H1A 003 022 I. TINJAUAN PUSTAKA Pendahuluan Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana masih terjadi di masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Di RSU Dr. Soetomo sebagian besar pasien tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu (1) . Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula (2) . Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah (4) . Batasan Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan 1

Upload: taufik-abidin

Post on 07-Jun-2015

11.114 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus TETANUS

TETANUS

Oleh :

I Dewa Ayu Vanessa V. M.

NIM : H1A 003 022

I. TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Tetanus merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana masih terjadi di

masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Di RSU Dr. Soetomo

sebagian besar pasien tetanus berusia > 3 tahun dan < 1 minggu (1).

Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama

disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia

sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat

dicegah dengan imunisasi, akan tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan

angka kematian yang tinggi pula (2). Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui.

Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses

kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara

yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah (4).

Batasan

Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh Clostridium

tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme),  tanpa disertai gangguan kesadaran (3). Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi akibat toksin

(tetanospasmin) yang dihasilkan kuman (1).

Etiologi

Clostridium tetani termasuk kuman yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan

membentuk spora. Spora ini mampu bertahan hidup terhadap lingkungan panas,

antiseptic, dan jaringan tubuh, sampai berbulan-bulan. Kuman yang berbentuk batang

ini sering terdapat dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa menyebar lewat debu

1

Page 2: Laporan Kasus TETANUS

atau tanah yang kotor, dan mengenai luka (5). Clostridium tetani merupakan kuman gram

positif, menghasilkan eksotoksin yang neurotoksik, dapat larut dan O2 labil (6).

Epidemiologi

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah resiko tinggi dengan

cakupan imunisasi DPT yang rendah. Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang

mengandung kotoran ternak sehingga resiko penyakit ini di daerah peternakan sangat

tinggi. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan kering dapat bertebaran di mana-

mana.

Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga

melalui :

1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.

2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik.

3. OMP, caries gigi.

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril.

5. Penjahitan luka robek yang tidak steril (1).

Patogenesis

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk

vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang

rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk

manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada

sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari

tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside

dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior

sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama

disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh

tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya

neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus

dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter

(trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin

berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang.

2

Page 3: Laporan Kasus TETANUS

Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang

umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh,

sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal,

saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan

irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf

otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala

timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang

dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti (3).

Gejala Klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2 hari

dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis.

Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani dengan

susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan permulaan penyakit;

makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang (2).

Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini

berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada

masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi

dalam tiga tahap, yaitu :

-Tahap awal

Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan

gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa

penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama

infeksi tetanus masih berlangsung.

-Tahap kedua

Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah

(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat

sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan

ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai

(Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.

3

Page 4: Laporan Kasus TETANUS

Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan

tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang.

(Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.

Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan

sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan

di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub

erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.

-Tahap ketiga

Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang

refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot

ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan

dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya,

kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama

dan dengan frekuensi yang lebih sering.

Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat

menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang

belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat

terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena

sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak

memadai, dan penderita tidak dapat menelan (5).

Secara klinis, tetanus dibedakan atas :

1) Tetanus lokal

Ditandai dengan rasa nyeri dan spasmus otot di bagian proksimal luka; gejala ini

dapat terjadi selama beberapa minggu dan menghilang tanpa gejala sisa. Bentuk ini

dapat berkembang menjadi bentuk umum; kasus fatal kira-kira 1%.

2) Tetanus umum

Merupakan bentuk tetanus yang paling banyak dijumpai, dapat timbul

mendadak, trismus merupakan gejala awal yang paling sering dijumpai. Spasmus otot

maseter dapat terjadi bersamaan dengan kekakuan otot leher dan kesukaran menelan,

biasanya disertai kegelisahan dan iritabilitas. Trismus yang menetap menyebabkan

ekspresi wajah yang karakteristik berupa risus sardonicus. Kontraksi otot meluas, pada

otot-otot perut menyebabkan perut papan dan kontraksi otot punggung yang menetap

4

Page 5: Laporan Kasus TETANUS

menyebabkan opistotonus; dapat timbul kejang tetani bermacam grup otot,

menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bawah. Selama periode ini

penderita berada dalam kesadaran penuh.

3) Tetanus sefalik

Jenis ini jarang dijumpai; masa inkubasi 1-2 hari, biasanya setelah luka di

kepala, wajah atau otitis media; banyak kasus berkembang menjadi tipe umum. Tetanus

tipe ini mempunyai prognosis buruk (2).

Komplikasi

1. Laserasi otot

2. Fraktur

3. Eksitasi syaraf simpatis

4. Infeksi sekunder oleh kuman lain

5. Dehidrasi

6. Aspirasi (6).

Langkah Diagnostik

Anamnesis

·        Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali

pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK),

atau gangren gigi.

·        Riwayat anak tidak diimunisasi/ tidak lengkap imunisasi tetanus/ BUMIL/ WUS.

Pemeriksaan fisik

·        Adanya kekakuan lokal atau trismus.

·        Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan.

·        Kekakuan extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki dan adanya penyulit (3).

Diagnosis Banding

1. Infeksi : meningoensefalitis, polio, rabies, lesi orofaring, peritonitis.

2. Gangguan metabolik : tetani, keracunan strichnin, reaksi fenotiasin.

3. Penyakit SSP : status epileptikus, perdarahan atau tumor.

4. Gangguan psikiatri : histeria (6).

5

Page 6: Laporan Kasus TETANUS

Web of Caution (Hubungan Sebab Akibat)

Tonus otot Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf SimpatisGangliosides

Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas -Keringat berlebihanpada tetanus -Hipertermi

-Hipotermi-Aritmia-Takikardi

Hipoksia berat

O2 di otak

Kesadaran

-Ggn. Eliminasi -Ketidakefektifan jalan -PK. Hipoksemia-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut) jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan

-Gangguan Komunikasi -Ggn. Pertukaran Gas Verbal -Kurangnya pengetahuan

Ortu-Dx,Prognosa, Perawatan

(Sumber: Asuhan Keperawatan dengan Tetanus.)

6

Terpapar kuman Clostridium tetani

Eksotoksin

Pengangkutan toksin melewati saraf motorik

Ganglion Sumsum Tulang Belakang Otak Saraf Otonom

Hilangnya keseimbangan tonus otot

Kekakuan otot

Sistem Pencernaan Sistem Pernafasan

Page 7: Laporan Kasus TETANUS

Tatalaksana

Terapi dasar tetanus :

Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi

·        Penisillin prokain 50.000 IU/kg BB/kali i.m, tiap 12 jam, atau

·        Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jam

Catatan : Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.

Imunisasi aktif-pasif

·        Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk

neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus

immunoglobulin (HTIG)   3000-6000 IU i.m.

·        Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.

Anti konvulsi

Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik

(titrasi) :

·        Bila datang dengan kejang diberi diazepam :

-       neonatus bolus 5 mg iv

-       anak bolus 10 mg iv

·        Dosis rumatan maximal :

-       anak 240 mg/hari

-       neonatus 120 mg/hari

·        Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat), harus

dilanjutkan dengan  bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan

sampai 480 mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi.

·        Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol

cairan infus. Bilamana tidak ada syringe pump, diberikan bolus tiap 2 jam (12

x/hari)

·        Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat,

bilamana ada gangguan saraf otonom.

Perawatan luka atau port d’entree yang dicurigai, dilakukan sekaligus dengan

pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora (debridemant),

sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-konvulsi.

7

Page 8: Laporan Kasus TETANUS

Terapi suportif

·        Bebaskan jalan nafas

·        Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-

mindahkan posisi pasien)

·        Pemberian oksigen

·        Perawatan dengan stimulasi minimal

·        Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik,

asal tidak memperkuat kejang

·        Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum

·        Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit

Tetanus ringan dan sedang

Diberikan pengobatan tetanus dasar

Tetanus sedang

·        Terapi dasar tetanus

·        Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)

·        Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral.

Tetanus berat/sangat berat

·        Terapi dasar seperti di atas

·        Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi

·        Balans cairan dimonitor secara ketat.

·        Apabila spasme sangat hebat (tetanus  berat), perlu ventilasi mekanik dengan

pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05 mg/kg bb/kali,

diberikan tiap 2-3 jam.

·        Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan b-blocker seperti

propanolol/a dan b- blocker labetalol (3).

Pencegahan

1. Perawatan luka harus dicegah timbulnya jaringan anaerob pada pasien termasuk

adanya jaringan mati dan nanah.

2. Pemberian ATS profilaksis.

3. Imunisasi aktif.

8

Page 9: Laporan Kasus TETANUS

4. Khusus untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan pada

waktu persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara

perawatan tali pusat.

5. Pendidikan atau penjelasan kepada orang tua mengenai kebersihan individu dan

lingkungan serta cara pemeriksaan dan perawatan di RS dan perlunya pemeriksaan

lanjutan (1).

I. Imunisasi aktif

   a.  Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6

minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi).

   b.  Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil,

wanita usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT

lifelong-card).

II. Pencegahan pada luka

Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang

Luka ringan dan bersih

-       Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin

-       Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.

·        Luka sedang/berat dan kotor

-       Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau  tetanus imunoglobulin

250-500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain.

-       Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000

U, tetanus imunoglobulin 250-500 U (3).

Monitoring

I.  Sekuele

Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung

lebih lama.

Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat.

Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan

berlangsung selama 1-2 minggu.

9

Page 10: Laporan Kasus TETANUS

II. Tumbuh Kembang

Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak

mengganggu tumbuh kembang anak.

Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang

oleh karena hipoksia yang berat (3).

 

10

Page 11: Laporan Kasus TETANUS

II. LAPORAN KASUS

Seorang anak perempuan (nama: Apriani), berumur 3 tahun dirawat yang

pertama kali di Bangsal Dahlia Rumah Sakit Umum Mataram sejak tanggal 30

September 2007. Pasien kiriman IGD RSU Mataram, dari heteroanamnesis melalui

orang tuanya, didapatkan 7 hari sebelum dirawat pasien panas, sifat panas naik turun

dan tidak terlalu tinggi. Setelah 3 hari penderita kejang, kejang di seluruh tubuh dengan

durasi + 5 menit dan frekuensi + 10x perhari. Satu hari sebelum dirawat di RSU

Mataram pasien rewel, tidak bisa tidur telentang dan leher kaku, pasien tetap sadar.

Riwayat terluka, sesak nafas, batuk, pilek, disangkal. Buang air besar, buang air kecil

tidak ada keluhan.

Riwayat kelahiran

Pasien lahir cukup bulan ditolong oleh bidan, langsung menangis, berat badan

waktu lahir 2000 gram, panjang badan lupa. Selama hamil ibu pasien tidak ada keluhan

dan kontrol ke bidan + 4x, tetapi tidak pernah mendapat suntikan toksoid tetanus; pasien

tidak mendapat imunisasi lengkap. Pasien adalah anak ketiga, ibunya sebagai ibu rumah

tangga berumur 27 tahun, tamat SD. Ayahnya seorang buruh berusia 30 tahun, tamat

SD. Sejak pasien lahir sampai sekarang tinggal di Bengkel. Lingkungan sekitar banyak

terpapar kotoran kuda karena transportasi sehari-hari menggunakan cidomo.

Pemeriksaan fisik

Saat masuk rumah sakit, pasien tampak sakit sedang, sadar (GCS 15), tidak

sesak, tidak sianosis, berat badan 9 kg, suhu 370C, pernafasan 27 x/menit, nadi 80

x/menit, tekanan darah 90/60 mmHg. Didapat muka meringis dan spasmus (risus

sardonicus), konjungtiva tidak pucat, pupil bulat, refleks pupil positif, isokor. Terdapat

trismus, mulut tidak bisa dibuka lebar, gigi geligi baik, telinga kanan tidak ada kelainan,

liang telinga kiri hiperemi dan terdapat sekret berupa pus berwarna kuning kental,

mengalir keluar liang telinga + 2 cc. Terdapat kaku kuduk, epistotonus, opistotonus,

posisi miring ke kiri dengan badan kaku. Bunyi jantung I-II normal, bising dan irama

derap tidak ada. Paru vesikuler, ronchi dan mengi tidak ada. Perut kaku, turgor cukup,

11

Page 12: Laporan Kasus TETANUS

hati dan limpa sulit dinilai. Bising usus normal, reflek patologis tidak dijumpai, reflek

fisiologis (+). Ekstremitas kaku, kulit dan tulang belakang tidak ada kelainan.

Pemeriksaan laboratorium

Hb 11,3 g/dl, eritrosit 3,67 juta/µl, hematokrit 36,2 vol%, leukosit 8700/µl,

trombosit 539.103 mm3. Urine dan feces dalam batas normal. Pemeriksaan khusus :

DDR (-) dan Widal (-).

Diagnosis kerja

Observasi tetanus umum dan OMA telinga sinistra.

Penatalaksanaan

Pasien diterapi Inj. ATS 10.000 IU/hari/iv; Procain Penicillin 450.000 IU/12

jam/im; Inj. Diazepam 5 mg/8 jam, bila kejang 5 mg bolus setiap kejang; Paracetamol 1

cth/8 jam/oral; Infus D5% 0,225%; Diit cair 3 x 200 cc. OMA di telinga kiri diterapi

dengan H2O2 3% dan dibersihkan. Tiga hari sesudah perawatan pasien masih lemah tapi

berangsur-angsur membaik, kejang berkurang. Kemudian terapi dilanjutkan tetapi

Diazepam diberikan peroral 3 x 5 mg. Lima hari sesudah perawatan pasien membaik,

panas turun, kejang berkurang, badan kaku tidak dijumpai, terapi diberikan Procain

Penicillin 450.000 IU/iv dan Diazepam 5 mg/8 jam/oral. Hari ke enam setelah

perawatan; pasien sudah bisa jalan, kejang tidak ada, badan kaku tidak dijumpai terapi

Diazepam 5 mg/3 jam/oral. Pada tanggal 6 Oktober 2007 pasien pulang dengan baik.

12

Page 13: Laporan Kasus TETANUS

III. ANALISIS KASUS

Telah diajukan kasus tetanus umum pada anak akibat OMA di telinga kiri yang

merupakan tempat masuk kuman (port d'entree). Diagnosis awal: observasi tetanus

umum dan OMA di telinga kiri serta wajah meringis dan spasmus (risus sardonicus);

dijumpai gejala trismus, epistotonus, opistotonus, perut papan dan kejang umum. Faktor

risiko kasus ini ialah tidak diimunisasi lengkap dan aspek sosial dimana orang tuanya

berpendidikan SD dan mempunyai penghasilan rendah sebagai buruh serta lingkungan

sekitar banyak terpapar kotoran kuda karena transportasi sehari-hari menggunakan

cidomo, fasilitas kesehatan yang ada tidak dimanfaatkan karena ketidaktahuan manfaat

imunisasi. Penyakit ini merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi;

sesuai dengan hasil yang diperoleh dari program imunisasi, saat ini cakupan imunisasi

di seluruh Indonesia untuk DPT198,3%, DPT2 91,4%, DPT3 90,5%, dengan angka

drop out 8% (data Sub Dit Imunisasi Dir Jen P2M PLP Depkes RI).

13

Page 14: Laporan Kasus TETANUS

DAFTAR PUSTAKA

1. Ningsih, S., and Witarti, N., 2007. Asuhan Keperawatan Dengan Tetanus. Available

from : www.pediatrik.com/perawat_pediatrik/061031-joiq163.doc. Accested : Oct

16, 2007.

2. Lubis, U. N., 2004. Tetanus Lokal pada Anak. Available from :

www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accested : Oct 16, 2007.

3. Ismoedijanto, and Darmowandowo, W., 2006. Tetanus. Available from :

www.pediatrik.com. Accested : Oct 16, 2007.

4. Silalahi, L., 2004. Tetanus. Available from : www.tempointeraktif.com. Accested :

Oct 16, 2007.

5. Tami, 2005. Tetanus, Infeksi yang Mematikan. Available from :

www.jilbab.or.id/content/view/456/36/. Accested : Oct 16, 2007.

6. Suraatmaja, S., and Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu

Kesehatan Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana. Denpasar.

14