laporan kasus reaksi alergi

29
LAPORAN KASUS ALERGI OBAT OLEH: dr. Putu Diah Pratiwi PEMBIMBING: dr. Komang Widia Asmawan 1

Upload: diah-pratiwi

Post on 27-Dec-2015

126 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Reaksi Alergi

LAPORAN KASUS

ALERGI OBAT

OLEH: dr. Putu Diah Pratiwi

PEMBIMBING: dr. Komang Widia Asmawan

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

PUSKESMAS MENGWI 1

BADUNG

2013-2014

1

Page 2: Laporan Kasus Reaksi Alergi

BAB I

PENDAHULUAN

Alergi obat meliputi suatu spektrum dari reaksi hipersensitivitas yang dimediasi

oleh reaksi imunologis dengan beragam mekanisme dan presentasi klinis. Alergi obat

merupakan salah satu dari tipe reaksi adversi obat. Alergi obat ini tidak hanya

mempengaruhi kualitas hidup pasien, namun juga seringkali terlambat ditangani dan

dapat menyebabkan kematian. Banyaknya gejala yang berhubungan dengan kondisi ini

menjadi suatu tantangan dalam penegakan diagnosis. Oleh karena itu, rujukan untuk

mengidentifikasi, diagnosis dan petalaksanaan alergi obat direkomendasikan apabila

kita mencurigai adanya reaksi alergi yang diinduksi oleh obat. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Dalam beberapa

keadaan, prosedur tes alergi, penentuan grade dan induksi dari toleransi obat mungkin

diperlukan.

Strategi yang paling efektif untuk penatalaksanaan alergi obat adalah

menghindari atau menghentikan penggunaan obat yang dicurigai. Terapi tambahan

untuk untuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat sebagian besar adalah terapi suportif

dan meliputi kortikosteroid topikal, antihistamine oral dan pada kasus yang berat

diperlukan kortikosteroid sistemik. Pada kasus anafilaksis, terapi yang

direkomendasikan adalah injeksi epinefrin. Apabila obat yang menimbulkan reaksi

alergi pada pasien sangat dibutuhkan dan tidak terdapat alternatif obat lainnya, maka

dibutuhkan prosedur induksi dari toleransi obat. Tindakan pencegahan agar reaksi alergi

tidak terjadi lagi di kemudian hari merupakan bagian esensial dalam managemen pasien.

2

Page 3: Laporan Kasus Reaksi Alergi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Reaksi adversi terhadap suatu obat adalah setiap reaksi yang tidak dikehendaki

/tidak sengaja/tidak menyenangkan yang timbul setelah pemakaian obat tertentu dalam

dosis standar dan jalur pemberian yang benar, baik untuk tujuan diagnostik, pengobatan

maupun pencegahan suatu penyakit.

Alergi obat merupakan salah satu tipe dari reaksi adversi obat yang tidak dapat

diprediksi yang merupakan suatu spektrum dari reaksi hipersensitivitas yang dimediasi

oleh reaksi imunologis dengan berbagai macam mekanisme dan presentasi klinis.

Reaksi pseudoalergik (non-alergik atau non-immune-mediated reactions) merupakan

tipe lain dari reaksi adversi obat yang tidak dapat diprediksi. Reaksi ini biasanya sulit

dibedakan dengan reaksi alergi sebenarnya yang dimediasi oleh sistem imun.

2.2. Epidemiologi

Reaksi adversi sering terjadi pada praktik kesehariaannya, mencakup 15-25%

pasien dan reaksi serius terjadi pada 7-13% pasien. Alergi obat meliputi 5-10% dari

seluruh reaksi adversi obat. Reaksi adversi terhadap obat merupakan 2-6% indikasi

penderita rawat inap di rumah sakit. Sekitar 15-30% penderita yang dirawat di rumah

sakit mengalami reaksi adversi terhadap obat. Sebesar 0,1% penderita kasus non bedah

dan 0,01% penderita kasus bedah mengalami kematian akibat reaksi adversi tersebut.

Reaksi adversi terhadap obat yang terjadi selama pembiusan (pelemas otot, anstetik

umum dan opiat) walaupun lebih jarang (1 diantara 6000 penderita yang menjalani

pembiusan) tetapi lebih gawat dengan mortalitas sekitar 6%

2.3. Etiologi

Obat utama yang sering kali menjadi penyebab alergi obat adalah golongan antibiotika

dan antiinflamasi nonsteroid (OAINS).

3

Page 4: Laporan Kasus Reaksi Alergi

Tabel 1. Obat-obatan yang Sering Menyebabkan Reaksi Adversi Obat

Penisilin merupakan obat yang paling sering menyebabkan reaksi alergi, mengenai

kurang lebih 10% dari pasien. Antibotik sulfonamid merupakan penyebab lain yang

sering menimbulkan reaksi alergi yang diinduksi oleh obat dan berhubungan dengan

erupsi kutaneus makulopapular yang terlambat, SJS dan TEN. Pasien dengan infeksi

HIV memiliki ersiko lebih tinggi untuk mengalami reaksi kutaneus akibat sulfonamid

yang mungkin terkait dengan faktor imunologik dan seringnya pasien terpajan oleh

antibiotik ini. Reaksi alergi yang paling sering timbul akibat penggunaan sefalosporin

adalah bercak makulopapular dan drug fever. Reaksi alergi sebenarnya pada obat

anestesi lokal (novocaine, lidocaine) sangat jarang terjadi; reaksi alergi biasanya tejadi

karena bahan lain yang terdapat pada obat tersebut, seperti bahan pengawet atau

epinefrin. Walaupun sangat jarang, anafilaksis dapat terjadi pada pasien dibawah

anestesi umum. Reaksi pada saat anestesi umum berlangsung biasanya diakibatkan oleh

agen yang memblok neuromuskular, tapi dapat juga berhubungan dengan anestesi

intravena (propofol, thiopentone, etomidate), antibiotik, NSAIDs and latex.

4

Page 5: Laporan Kasus Reaksi Alergi

2.4. Klasifikasi

Tabel 2. Klasifikasi Reaksi Alergi Secara Umum

Reaksi adversi obat diklasifikasikan menjadi reaksi yang dapat diprediksi yang

dapat terjadi pada setiap orang (tipe A) dan reaksi yang tidak dapat diprediksi yang

hanya terjadi pada individu yang rentan (tipe B). Reaksi yang dapat diprediksi

merupakan reaksi yang paling sering terjadi dan biasanya tergantung pada dosis obat

serta efek farmakologis obat yang telah diketahui (misalnya efek samping, overdosis,

interaksi obat). Reaksi yang tidak dapat diprediksi terjadi pada 20-25% pasien yang

mengalami reaksi adversi obat. Reaksi ini secara umum tidak berkaitan dengan efek

farmakologis dari obat.

Tabel 3. Klasifikasi dari Reaksi Adversi Obat

5

Page 6: Laporan Kasus Reaksi Alergi

Reaksi alergi terhadap obat yang dimediasi oleh sistem imun diklasifikasikan

berdasarkan sistem klasifikasi Gell and Coomb`s, yang mendeskripsikan mekanisme

imun yang dominan dalam reaksi tiap reaksi. Klasifikasi ini mencakup reaksi tipe cepat

yang dimediasi oleh Imunoglobulin E (Tipe I), reaksi sitotoksik yang dimediasi oleh

imunoglobulin G atau Imunoglobulin M (Tipe II), reaksi kompleks imun (Tipe III), dan

reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang dimediasi oleh mekanisme imun seluler, seperti

aktivasi dan rekrutmen dari sel T (tipe IV). Mekanisme, manifestasi klinis serta onset

dari reaksi-reaksi imun tersebut dirangkum dalam tabel 3.

Tabel 4. Klasifikasi dari Reaksi Alergi Obat: mekanisme, manifestasi klinis dan onset dari reaksi

2.5. Faktor Resiko

Beberapa faktor resiko diketahui dapat mempengaruhi timbulnya reaksi adversi

terhadap obat antara lain cara/jalur pemberian obat, dosis dan lama pemberian obat, usia

dan jenis kelamin penderita, faktor genetik, riwayat atopi, kecepatan metabolisme suatu

obat, riwayat timbulnya reaksi adversi terhadap obat, sensitivitas silang antar beberapa

obat, adanya obat lain yang diberikan secara bersama-sama dan adanya penyakit dasar

tertentu.

Pemberian obat melalui kulit memiliki resiko lebih besar untuk menimbulkan

alergi dibandingkan pemberian intramuskuler atau intravena. Dibandingkan pemberian

secara parenteral, pemberian obat secara oral lebih jarang menimbulkan anafilaksis.

Kemungkinan timbulnya alergi obat lebih bayak terjadi pada usia dewasa dibandingkan

6

Page 7: Laporan Kasus Reaksi Alergi

anak-anak. Penderita dengan riwayat atopi memiliki kecenderungan lebih besar untuk

mengalami rekasi pseudoalergi, terutama terhadap media kontras. Penderita dengan

riwayat alergi penisilin memiliki resiko lebih besar untuk mengalami alergi terhadap

karbapenem, cefalosporin atau antibiotika lain non-ß- laktam. Obat-obat dengan

makromolekul besar seperti insulin atau obat yang berikatan dengan jaringan atau

protein darah dan merangsang respon imun seperti penisilin, juga cenderung lebih

sering menyebabkan reaksi hipersensitivitas.

Tabel 5. Faktor Resiko Berkembangnya Alergi Obat

2.6. Diagnosis

Sering kali tidak mudah untuk mencari dan menentukan suatu obat yang

dianggap menjadi penyebab suatu reaksi alergi/hipersensitivitas. Diperlukan bukti-bukti

yang meyakinkan dan keahlian klinis para dokter. Bukti yang meyakinkan sulit

diperoleh karena metode diagnostik alergi sering tidak tersedia atau tidak dapat

dipercaya. Pengetahuan mengenai kriteria klinis dan manifestasi reaksi alergi yang

dijumpai pada penderita mungkin dapat membantu.

Anamnesis

Anamnesis merupakan alat diagnostik yang paling penting dalam evaluasi alergi

obat. Kumpulkan daftar semua obat yang diminum oleh penderita, sejak kapan obat

mulai diminum, sejak kapan obat dihentikan, reaksi apa saja yang timbul, kapan mulai

timbulnya reaksi, kapan reaksi mulai menghilang. Tanyakan tentang faktor-faktor resiko

timbulnya alergi obat. Biasanya terdapat interval waktu lebih dari 1 minggusebelum

timbul reaksi alergi terhadap suatu obat yang diperoleh seorang penderita, kecuali bila

sebelumnya penderita sudah tersensitisasi oleh obat yang sama atau obat lain yang

7

Page 8: Laporan Kasus Reaksi Alergi

bereaksi silang, dimana reaksi dapat timbul dalam beberapa menit atau jam setelah

paparan ulang. Obat yang sudah digunakan oleh penderita dalam jangka waktu lama

tanpa menimbulkan reaksi jarang sekali menjadi penyebab suatu reaksi alergi.

Manifestasi Klinis

Sebagai tambahan dari anamnesis yang lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti

dapat membantu untuk menentukan mekanisme yang mungkin mendasari reaksi

tersebut dan mengarahkan untuk pemeriksaan penunjang dan tes diagnostik. Tabel 6

menunjukkan beberapa manifestasi klinis yang paling sering dari alergi obat dan contoh

dari obat penyebabnya.

Kulit merupakan organ yang paling sering dan selalu terkena reaksi alergi yang

diinduksi oleh obat. Manifestasi kutis yang paling sering terjadi adalah generalized

exantema (rash makulopapular), yang dikarakteristikkan sebagai lesi bercak dengan

peninggian yang muncul dalam beberapa menit sampai 3 minggu setelah pajanan obat,

mulai muncul pada tubuh dan dapat menyebar ke tungkai. Urtikaria dan angioedema

juga sering terjadi. Bentuk paling berat dari manifestasi kulit pada alergi obat adalah

Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). SJS biasanya

dimulai dengan rash makulopapular yang sering berkembang menjadi bulla, ulserasi

pada mukus membran, konjungtivitis, demam, sakit tenggorokan dan lemas. TEN

merupakan kejadian yang jarang dengan karakteristik mirip dengan SJS, tapi

menyebabkan kerusakan kulit yang lebih luas. Obat yang paling sering menyebabkan

SJS dan TEN (sulfonamides) harus dihindari diberikan pada pasien.

Walaupun reaksi alergi pada kulit merupakan manifestasi klinis paling sering

dari dari reaksi alergi yang diinduksi oleh obat, banyak sistem organ lain yang juga

dapat terkena, seperti sistem renal, hepatik dan hemolitik. Reaksi multi organ juga dapat

terjadi dan meliputi reaksi anafilaksis, sindrom drug rash with eosinophilia and

systemic symptomps (DRESS), serum sicknes, drug-induced lupus erythematosus

(DILE) dan vaskulitis. DRESS merupakan suatu kondisi yang dapat mengancam nyawa,

dengan karakteristik rash yang luas, demam, limfadenopati dan disfungsi hepatik.

Serum sickness merupakan reaksi kompleks imun yang muncul dengan demam,

limfadenopati, arthralgia dan lesi kutaneus. Gejala tipikal dari DILE meliputi onset

mendadak dari demam dan malaise; myalgia, arthralgia, dan arthritis dapat pula terjadi

beberapa minggu setelah inisiasi obat. Pada 25% kasus, kulit dapat juga terpengaruh.

8

Page 9: Laporan Kasus Reaksi Alergi

Serum sickness dan DILE biasanya self-limited, dengan gejala yang berkurang secara

spontan dalam beberapa minggu setelah penghentian obat. Sedangkan gejala dari

DRESS dapat memburuk atau menetap selama beberapa minggu atau bahkan bulan

setelah pemakaian obat tersebut dihentikan.

Karena manifestasi klinis dari alergi obat yang sangat luas, penting untuk

membedakan kondisi lain yang dapat menyerupai reaksi alergi yang disebabkan oleh

obat.

Tabel 6. Manifestasi Klinis dari Alergi Obat

9

Page 10: Laporan Kasus Reaksi Alergi

Tes Diagnostik

Prosedur pemeriksaan kulit seperti skin prick test (SPT) dan tes intradermal

berguna untuk mendiagnosis reaksi tipe I yang dimediasi oleh IgE. Prosedur

pemeriksaan kulit merupakan pemeriksaan standar untuk penicilin dan juga berguna

(namun jarang positif) untuk anestesi lokal, pelumpuh otot dan sangat sensitif untuk

substansi high-molecular-weight protein, seperti insulin atau antibodi monoklonal. Hasil

positif pada pemeriksaan kulit ini menunjukkan adanya antigen-spesifik IgE dan

mendukung diagnosis reaksi hipersensitivitas tipe I. Tes serum-spesifik IgE tersedia

untuk beberapa obat terbatas dengan biaya yang mahal dan secara umum kurang sensitif

dibandingkan dengan skin test.

Uji tempel (patch test) meliputi penempatan alergen yang potensial pada

punggung pasien selama 48 jam dibawah lempeng aluminium dan diperhatikan

reaksinya. Uji ini berguna untuk mendiagnosis beberapa reaksi kutaneus tipe lambat

(Tipe IV) terutama exanthemata, tapi secara umum tidak membantu untuk mendiagnosis

SJS maupun TEN.

Pengukuran level histamin dan triptase terbukti berguna dalam mengkonfirmasi

reaksi akut yang dimediasi oleh IgE, terutama anafilaksis. Tes hitung darah lengkap

dapat membantu mendiagnosis reaksi hemolitik yang diinduksi obat (tipe II). Anemia

hemolitik juga dapat dikonfirmasi dengan dengan hasil positif pada tes Coomb`s direk

maupun indirek.

2.7. Penatalaksanaan

Prinsip Umum

Menghentikan semua obat yang diperoleh penderita merupakan tindakan

pertama yang harus dilakukan. Manifestasi klinis umumnya berangsur hilang dalam

beberapa hari. Bila reaksi yang timbul tidak berat dan obat yang diduga menjadi

penyebab lebih dari satu,maka dapat dicoba menghentikan obat tersebut satu persatu.

Bila suatu obat merupakan obat esensial yang tidak dapat dicarikan alternatifnya, maka

harus dipertimbangkan secara cermat resiko untuk tidak mengobati penyakit dasarnya.

Cara lain yang dapat ditempuh adalah pemberian obat melalui desensitisasi.

10

Page 11: Laporan Kasus Reaksi Alergi

Pengobatan Simptomatik

Pengobatan simptomatik dimaksudkan untuk menghilangkan manifestasi klinis

alergi obat hingga reaksinya mereda. Untuk reaksi yang ringan biasanya tidak

diperlukan pengobatan. Untuk reaksi yang lebih berat, pengobatan tergantung pada

derajat erupsi kulit dan gejala sistemik yang timbul. Anafilaksis, reaksi anafilaktoid dan

asma diobati dengan protokol tersendiri.

Untuk penderita dengan serum sickness atau reaksi yang menyerupai serum

sickness cukup diberikan antihistamin. Reaksi yang lebih berat membutuhkan

kortokosteroid (prednison) dengan dosis awal 40-60 mg per hari dan diturunkan

bertahap dalam 7-10 hari. Kadang-kadang diperlukan plasmaferesis untuk

menghilangkan kompleks imun yang tersisa.

Sindroma Stevens-Johnson membutuhkan perawatan khusus. Kasus yang berat

harus dirawat di rumah sakit, diberikan infus untuk mengganti cairan yang hilang dan

koreksi gangguan elektrolit. Lesi kulit yang terbuka ditutup dengan larutan garam faali

atau solusio Burowi dan dirawat seperti luka bakar. Lesi rongga mulut diobati dengan

obat kumur. Pemberian kortikosteroid masih diperdebatkan. Dosis metilprednisolone

intravena yang dipakai umumnya adalah 60 mg setiap 4-6 jam hingga timbul perbaikan

klinis. Penyakit dasar dan infeksi sekunder juga harus ditangani. Sepsis merupakan

penyebab kematian utama penderita.

Pencegahan Reaksi Alergi Obat

Untuk mencegah terjadinya reaksi alergi obat hindari adanya polifarmasi.

Berikan obat yang benar-benar diindikasikan untuk penderita. Perhatian khusus perlu

diberikan untuk beberapa jenis obat yang tercatat sering menimbulkan reaksi alergi.

Sebelum pemberian obat kepada seorang penderita perlu ditanyakan secara cermat

apakah penderita mempunyai riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu. Perlu pula

dicatat obat apa saja yang sedang dipergunakan oleh penderita, karena interaksi antara

beberapa obat dapat meningkatkan terjadinya reaksi alergi.

Mencegah reaksi alergi berulang di kemudian hari merupakan bagian yang

esensial dari managemen pasien. Pasien harus diberikan informasi tertulis mengenai

obat apa yang harus dihindari (termasuk obat over-the-counter). Obat tersebut harus

ditandai dalam catatan rumah sakit. Dokter keluarga pasien seharusnya diberikan

informasi tentang alergi obat ini.

11

Page 12: Laporan Kasus Reaksi Alergi

12

Page 13: Laporan Kasus Reaksi Alergi

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien

Nama : JAM

Umur : 42 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Br Kekeran Mengwi

Bangsa : Indonesia

Suku : Jawa

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Tanggal pemeriksaan : 2 November 2013, pukul 10.00 WITA

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama: Gatal

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke puskesmas dengan keluhan gatal-gatal. Gatal-gatal muncul

sejak tadi pagi (1 jam sebelum pemeriksaan), sesaat setelah pasien meminum obat

Dumin yang dibelinya di apotek. Gatal dirasakan di badan pasien. Gatal dikatakan

cukup berat sehingga pasien tidak bisa berhenti untuk menggaruk-garuk badannya.

Gatal juga disertai dengan munculnya bercak-bercak kemerahan pada dada dan

punggung pasien. Bercak kemerahan tersebut muncul bersamaan dengan keluhan gatal.

Pasien belum minum obat apapun untuk meredakan keluhan gatalnya tersebut dan

segera berobat ke puskesmas.

Awalnya pasien mengeluh demam sejak 1 hari sebelum pemeriksaan. Pasien

kemudian membeli obat penurun panas dengan merek Dumin di apotek. Pada hari itu

pasien sempat minum Dumin tersebut sebanyak 2 kali yaitu pada siang dan malam

harinya, masing-masing 1 tablet. Pasien mengatakan saat itu tidak muncul gatal-gatal

maupun bercak kemerahan. Keesokan harinya, pada tanggal 2 November 2013 pasien

kembali minum 1 tablet Dumin pada pagi harinya. Pasien mengatakan sesaat setelah

minum Dumin tersebut badannya terasa gatal dan timbul bercak-bercak kemerahan.

13

Page 14: Laporan Kasus Reaksi Alergi

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal oleh pasien. Riwayat alergi obat maupun

makanan dikatakan tidak ada. Pasien mengatakan sebelumnya belum pernah

mengkonsumsi obat Dumin. Pasien tidak mengetahui apakah sebelumnya pernah

minum obat paracetamol atau tidak. Pasien mengatakan saat sakit demam pasien

biasanya minum obat biogesik.

Riwayat K eluarga :

Di keluarga pasien dikatakan tidak ada yang pernah mengalami keluhan serupa dengan

pasien. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat alergi obat maupun

makanan, penyakit asma maupun sering bersin-bersin di pagi hari.

Riwayat Sosial:

Pasien merupakan seorang pegawai swasta yang tinggal di sebuah rumah kontrakan

bersama istri dan anaknya.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Present:

Kesan Umum : Sakit ringan

Tekanan Darah : 120/70 mmHg

Nadi : 84x/menit

RR : 20x/menit

T. ax : 36,3°C

Status General

Kepala

Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil +/+ isokor,

angioedema (-/-)

THT : Otorrhea (-/-), Rhinorrea (-/-), Tonsil T1/T1, Faring hiperemis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-)

14

Page 15: Laporan Kasus Reaksi Alergi

Thorax :

Pulmo:

Inspeksi : pergerakan dada simetris, retraksi dada (-), scar (-), rash (+)

Palpasi : vokal fremitus N/N

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : vesikular +/+, rhonki -/- , wheezing -/-

Cor:

Inspeksi : ictus cordis tak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra

Perkusi : batas atas jantung : ICS II kiri

batas kanan jantung : PSL kanan

batas kiri jantung: MCL kiri

Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur tidak ada

Abdomen:

Inspeksi : scar (-), distensi (-), rash (+)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba

Perkusi : timpani

Ektremitas : hangat (++/++), edema (--/--), CRT < 2 detik, rash (--/--)

3.4 Resume

Pasien laki-laki, 42 tahun, suku Jawa datang dengan keluhan gatal dan muncul bercak-

bercak kemerahan di tubuhnya segera setelah mengkonsumsi obat Dumin yang

diperoleh dari apotek. Satu hari sebelumnya pasien menderita demam dan

mengkonsumsi 2 tablet Dumin namun tidak terjadi reaksi gatal dan bercak kemerahan.

Riwayat keluhan serupa, alergi obat maupun makanan sebelumnya dikatakan tidak ada.

Riwayat alergi di keluarga juga dikatakan tidak ada. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

rash pada thorax serta abdomen pasien.

15

Page 16: Laporan Kasus Reaksi Alergi

3.5 Diagnosis

Diagnosis klinis : Dermatitis Alergika e.c. Drug

Alergi obat merupakan salah satu tipe dari reaksi adversi obat yang tidak dapat

diprediksi yang merupakan suatu spektrum dari reaksi hipersensitivitas yang

dimediasi oleh reaksi imunologis dengan berbagai macam mekanisme dan

presentasi klinis. Reaksi adversi terhadap suatu obat adalah setiap reaksi yang

tidak dikehendaki/tidak sengaja/tidak menyenangkan yang timbul setelah

pemakaian obat tertentu dalam dosis standar dan jalur pemberian yang benar,

baik untuk tujuan diagnostik, pengobatan maupun pencegahan suatu penyakit.

Pada pasien terjadi suatu reaksi yang tidak dikehendaki segera setelah

penggunaan obat paracetamol dengan dosis standar dan jalur pemberian yang

benar, dimana timbul gatal serta bercak kemerahan pada tubuh pasien. Hal ini

sesuai dengan alergi obat yang merupakan salah satu tipe reaksi adversi terhadap

obat.

Pada pasien muncul gatal dan juga bercak kemerahan pada tubuh segera setelah

mengkonsumsi obat paracetamol. Pasien tidak memiliki keluhan lain yang

berhubungan dengan sistem organ yang lain. Hal ini sesuai dengan teori yang

menyatakan bahwa kulit merupakan organ yang paling sering dan selalu terkena

reaksi alergi yang diinduksi oleh obat. Manifestasi kutis yang paling sering

terjadi adalah generalized exantema (rash makulopapular), yang

dikarakteristikkan sebagai lesi bercak dengan peninggian yang muncul dalam

beberapa menit sampai 3 minggu setelah pajanan obat, mulai muncul pada tubuh

dan dapat menyebar ke tungkai.

16

Page 17: Laporan Kasus Reaksi Alergi

3.6 Usulan Terapi

Stop penggunaan obat yang dicurigai menyebabkan timbulnya reaksi alergi

(paracetamol)

CTM 3x1

Dexamethasone 3x1

Salysil talc

KIE

Pada pasien diberikan KIE mengenai:

- Gatal-gatal yg terjadi pada pasien merupakan suatu bentuk reaksi alergi

- Pasien harus ingat nama obat yang menyebabkan munculnya reaksi alergi dan

mengatakannya setiap berobat ke dokter, atau menunjukkan catatan nama obat

yang menyebabkan pasien alergi yang diberikan oleh dokter di puskesmas

untuk menghindari berulangnya reaksi alergi di kemudian hari.

- Hati-hati bila membeli obat sendiri di warung atau apotek, perhatikan juga

kandungannya apakah mengandung paracetamol atau tidak.

3.7 Prognosis

Dubius ad bonam.

17

Page 18: Laporan Kasus Reaksi Alergi

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjokroprawiro A, Setiawan PB, dkk. Alergi Obat. Dalam: Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2007. hal: 9-20.

2. Warrington R, Dan FS. Drug Allergy. In: Allergy, Asthma and Clinical

Immunology. 2011.

3. Mirakian R, Ewan PW, dkk. BSACI Guidelines for the Management of Drug

Allergy. In: Clinical and Experimental Allergy; 39, 43-61. 2008.

4. Soar J, Pumphrey R, et al. Emergency Treatment og Anaphylactic Reaction,

Guidelines for Healthcare Providers. Resuscitation Council (UK). 2008.

5. Ghilarducci D. Allergic Reaction and Anaphilaxis. Available at:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus

18