laporan kasus interna 2014 sindrom nefrotik

75
BAB 1: CATATAN RIWAYAT PENYAKIT IDENTITAS PENDERITA: Nama : Tn. S Tanggal lahir : 25 April 1993 Jenis kelamin : Laki-laki Berat badan : 61 kg Tinggi badan : 162 cm Agama : Islam Alamat : Makassar Tanggal pemeriksaan : 18 Oktober 2014 I. SUBJEKTIF ANAMNESIS KELUHAN UTAMA : Bengkak-bengkak ANAMNESIS TERPIMPIN: Pasien masuk dengan keluhan utama bengkak- bengkak pada kaki, perut dan wajah yang dialami sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Penderita awalnya mengeluh bengkak pada kedua kelopak mata, lalu bengkak ke kaki dan perut. Bengkak pada kemaluan tidak ada. Riwayat bengkak pada kemaluan ada beberapa bulan yang lalu. Bengkak tidak disertai nyeri. Keluhan bengkak-bengkak yang 1

Upload: nurayunie-abd-halim

Post on 18-Jan-2016

138 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Sindrom Nefrotik

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

BAB 1: CATATAN RIWAYAT PENYAKIT

IDENTITAS PENDERITA:

Nama : Tn. S

Tanggal lahir : 25 April 1993

Jenis kelamin : Laki-laki

Berat badan : 61 kg

Tinggi badan : 162 cm

Agama : Islam

Alamat : Makassar

Tanggal pemeriksaan : 18 Oktober 2014

I. SUBJEKTIF

ANAMNESIS

KELUHAN UTAMA : Bengkak-bengkak

ANAMNESIS TERPIMPIN:

Pasien masuk dengan keluhan utama bengkak-bengkak pada kaki, perut

dan wajah yang dialami sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

Penderita awalnya mengeluh bengkak pada kedua kelopak mata, lalu bengkak

ke kaki dan perut. Bengkak pada kemaluan tidak ada. Riwayat bengkak pada

kemaluan ada beberapa bulan yang lalu. Bengkak tidak disertai nyeri. Keluhan

bengkak-bengkak yang sama seperti sekarang pernah dialami pada bulan Juni

tahun 2014. Tidak ada mual dan muntah. Demam tidak ada. Riwayat demam

tidak ada. Batuk tidak ada. Sesak ada. Nyeri dada kadang ada. Buang air kecil

warna kuning pekat dan volumenya dirasakan berkurang sejak tiga hari

terakhir ini. Buang air besar biasa warna kuning kecoklatan. Nafsu makan

baik.

1

Page 2: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Pasien pernah dirawat inap di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo,

(RSWS) beberapa bulan yang lalu dengan keluhan yang sama dan telah

didiagnosa dengan sindrom nefrotik dan setelah keluar dari rumah sakit, pasien

rutin kontrol di poliklinik. Pasien mendapat terapi empat macam obat yaitu

furosemide 40 mg (1 tablet 2 kali sehari), captopril 25 mg (1 tablet 3 kali

sehari), simvastatin 10 mg (1 tablet sekali sehari), dan methylprednisolone 16

mg (3 tablet sekali sehari). Namun akhir-akhir ini pasien tidak rutin kontrol di

poliklinik dan tidak konsumsi obat. Selama pengobatannya pasien belum

pernah dibiopsi.

Riwayat penyakit lain seperti diabetes mellitus, kanker, lupus

disangkal. Riwayat sakit kuning disangkal. Riwayat penyakit infeksi lain

seperti malaria, tuberkulosis dan lain-lain juga disangkal.

II. OBJEKTIF

Status Present

1. Keadaan umum : Sakit sedang

Gizi : Cukup

Kesadaran : Kompos mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)

Berat badan : 61 kg Tinggi badan : 162 cm

Berat badan ideal (BBI) : (162-100) x 90 % = 55,8 kg

2. Tanda vital : Tensi : 150/100 mmHg

Nadi : 88 kali/menit

Pernapasan : 24 kali/menit Tipe: Vesikuler

Suhu : 36,6o C

Kepala :

Ekspresi: Normal, tidak nyeri

2

Page 3: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Deformitas: Tidak ada

Simetris muka: Simetris kiri sama dengan kanan

Rambut: Hitam, tebal, sukar dicabut

Mata :

Eksoptalmus/Enoptalmus : Tidak ada

Gerakan bola mata: Dalam batas normal

Tekanan bola mata: Dalam batas normal

Kelopak mata: Edema palpebra ada

Konjungtiva : Tidak pucat

Sklera : Tidak ikterik

Kornea : Normal, jernih

Pupil : Diameter: 2,5 mm/2,5 mm

Simetris: isokor, normal

Reflek cahaya : +/+

Telinga :

Tophi tidak ada

Pendengaran dalam batas normal

Nyeri tekan di prosesus mastoideus tidak ada

Sekret tidak ada

Hidung :

Bentuk: simetris

Perdarahan : tidak ada

Sekret : tidak ada

Mulut :

Bibir: Mukosa bibir basah, sianosis tidak ada

3

Page 4: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Gusi: Tidak mudah berdarah, pembengkakan tidak ada

Gigi geligi :

Lidah : Bentuk normal, warna kemerahan, hiperemis tidak ada, kotor tidak

ada, kandidiasis tidak ada, tremor tidak ada

Leher :

Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada

Pembesaran kelenjar gondok: tidak ada

DVS : R-2 cm H 2 0

Pembuluh darah : Pulsasi arteri karotis tidak terlihat

Kaku kuduk : Tidak ada

Tumor : Tidak ada

1. Dada :

a. Dinding dada :

Inspeksi : Sesak ada, frekuensi pernapasan 24 kali per menit,

simetris kiri dan kanan, permukaan dada tidak ada kelainan,

petechi tidak ada, retraksi dan penggunaan otot bantu

pernapasan tidak ada, iga dan sela iga tidak ada kelainan,

fossa jugularis, intra dan supra clavicularis intak tidak ada

kelainan, pernapasan thorakal.

Bentuk : Normothorax

Pembuluh darah : Tidak tampak

Buah dada : Simetris kiri dan kanan, gynecomasti tidak ada

Sela iga : Tidak ada kelainan

Lain-lain : Tidak ada

4

3 2 1 2 2 1 2 3

3 2 1 2 2 1 2 3

Page 5: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

b. Paru :

Palpasi : Fremitus raba/vokal menurun di basal paru kiri dan

kanan, nyeri tekan tidak ada.

Perkusi :

Paru kiri : Pekak setinggi ICS IX-X

Paru kanan : Pekak setinggi ICS IX-X

Batas paru hepar : Batas paru hepar ICS VI kanan

Batas paru belakang kanan : Setinggi vertebra

thorakal IX

Batas paru belakang kiri : Setinggi vertebra thorakal

IX

Auskultasi :

Bunyi pernapasan : Vesikuler, menurun di basal dextra

et sinistra

Bunyi tambahan : Tidak ada. Rhonki (-/-), Wheezing

(-/-)

c. Jantung :

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, massa tidak ada, nyeri tekan

tidak ada

Perkusi : Pekak relatif ada, batas jantung kanan relatif pada

linea sternalis kanan, batas jantung kanan absolut pada linea

sternalis kiri, batas jantung kiri relatif pada sela iga 5 linea

medioclavicularis kiri.

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni reguler, bunyi

tambahan/murmur tidak ada, gallop tidak ada. Frekuensi

jantung 88 x/menit.

d. Abdomen

5

Page 6: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Inspeksi : Bentuk cembung, stria tidak ada, ascites ada

Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tumor tidak ada

Hati : Tidak teraba

Limpa : Tidak teraba

Ginjal : Tidak teraba

Lain-lain : Tidak ada

Perkusi : Pekak, shifting dullness ada (Volume ~500cc)

Auskultasi : Peristatik ada kesan normal

e. Alat kelamin

Edema skrotum tidak ada. Riwayat edema skrotum ada

beberapa bulan yang lalu.

f. Anus dan rectum

Tidak ada kelainan

g. Punggung

Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, massa tidak ada

Nyeri ketok : Tidak ada

Lain-lain : Tidak ada

h. Ekstremitas

Akral hangat, sianosis tidak ada, pitting edema ada pada tungkai

bawah (pretibial dan dorsum pedis) bilateral.

III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM SEDERHANA

1. Pemeriksaan Darah Rutin tanggal 17 Oktober 2014

Pemeriksaan 17/10/2014 Nilai Rujukan / Satuan

RBC 5.70 4.5-6.5 10⁵/mm³

6

Page 7: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

HGB 17.2 L: 14-18 g/dl

HCT 47.8 40.0-54.0 %

MCV 84 80-100 µm³

MCH 30.2 27.0-32.0 pg

MCHC 36.0 32.0-36.0 g/dL

PLT 258 150-400 10³/mm³

WBC 14.8* ↑ L: 4.0-10.0 10³/mm³

Kesan: Leukositosis

2. Pemeriksaan Kimia Darah tanggal 17 Oktober 2014

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Protein total 2,7 g/dl* ↓ 6,7-8,7 g/dl

Albumin 1,0 g/dl* ↓ 3,5-5 g/dl

Ureum 74 mg/dl* ↑ 10-50 mg/dl

Kreatinin 1,20 mg/dl <1,30 mg/dl

SGOT 27 U/L <38 U/L

SGPT 19 U/L <41 U/L

Elektrolit

Natrium

Kalium

Klorida

128 mmol/l*↓

4.2 mmol/l

102 mmol/l

136-145 mmol/l

3.5-5.1 mmol/l

97-111 mmol/l

Trigliserida 697mg/dl* ↑ 200 mg/dl

Kolesterol total 597 mg/dl* ↑ <200 mg/dl

Kolesterol HDL 27 mg/dl* ↓ >45 mg/dl

Kolesterol LDL 461 mg/dl* ↑ <130 mg/dl

Kesan: Hipoalbuminemia, hiponatremia, hiperlipidemia

7

Page 8: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

3. Pemeriksaan Urin (Urinalisa)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN

Warna Kuning keruh Kuning muda

pH 6.0 4.5-8.0

Berat jenis ≥1.030* ↑ 1.005-1.030

Protein +++/300* Negatif

Glukosa Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Urobilinogen Normal Normal

Nitrit Negatif Negatif

Blood ++/80* Negatif

Lekosit Negatif Negatif

Vit. C Negatif Negatif

Sedimen lekosit 4 <5

Sedimen eritrosis 6* ↑ <5

Sedimen torak Negatif Negatif

Sedimen Kristal Amorf urat (++)

Sedimen epitel sel 4

Sedimen lain-lain Negatif Negatif

4. Tes Protein Esbach: >12 gr/dL / volume 500cc

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN

USG abdomen atas+bawah (whole abdomen) tanggal 20-10-2014:

Kesan:

8

Page 9: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

- Tanda-tanda glomerulonefritis kronik dextra

- Ascites

- Efusi pleura bilateral

V. RESUME

Pasien masuk dengan keluhan utama bengkak-bengkak pada kaki, perut

dan wajah yang dialami sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

Penderita awalnya mengeluh bengkak pada kedua kelopak mata, lalu bengkak

ke kaki dan perut. Bengkak pada kemaluan tidak ada. Riwayat bengkak pada

kemaluan ada beberapa bulan yang lalu. Bengkak tidak disertai nyeri. Keluhan

bengkak-bengkak yang sama seperti sekarang pernah dialami pada bulan Juni

tahun 2014. Demam tidak ada, riwayat demam sebelumnya tidak ada. Batuk

tidak ada. Sesak ada. Nyeri dada kadang ada. Buang air kecil warna kuning

pekat dan volumenya dirasakan berkurang sejak tiga hari terakhir ini.

Pasien pernah dirawat inap di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo,

(RSWS) beberapa bulan yang lalu dengan keluhan yang sama dan telah

didiagnosa dengan sindrom nefrotik dan setelah keluar dari rumah sakit, pasien

rutin kontrol di poliklinik. Pasien mendapat terapi empat macam obat yaitu

furosemide 40 mg (1 tablet 2 kali sehari), captopril 25 mg (1 tablet 3 kali

sehari), simvastatin 10 mg (1 tablet sekali sehari), dan methylprednisolone 16

mg (3 tablet sekali sehari). Namun akhir-akhir ini pasien tidak rutin kontrol di

poliklinik dan tidak konsumsi obat. Selama pengobatannya pasien belum

pernah dibiopsi. Riwayat penyakit lain seperti diabetes mellitus, kanker, lupus

disangkal. Riwayat sakit kuning disangkal. Riwayat penyakit infeksi lain

seperti malaria, tuberkulosis dan lain-lain juga disangkal.

9

Page 10: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Keadaan umum : Sakit sedang/gizi cukup

Kesadaran : Kompos mentis GCS : E4-M6-V5

Tensi : 150/100 mmHg

Denyut Nadi : 88 kali/menit

Pernafasan : 24 kali/menit, tipe vesikuler

Suhu : 36,6 °C

Mata : Edema periorbital ada

Thorak/paru : Suara nafas vesikuler, menurun di basal sinistra et. Dextra

yaitu setinggi ICS IX-X, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler

Abdomen : Cembung, asites (+), shifting dullnesss ada, hati dan limfa

tidak teraba, bising usus (+) normal

Ekstremitas : Pitting edema ada pada tungkai bawah (pretibial dan dorsum

pedis) bilateral

Genitalia : Edema skrotum tidak ada. Riwayat edema skrotum ada

beberapa bulan yang lalu.

VI. ASSESMENT

a. Sindrom Nefrotik et causa idiopatik kasus relaps

b. Hipertensi grade I

c. Hiponatremia

d. Dislipidemia

VII. PENATALAKSANAAN

Bedrest

Diet rendah garam 2 gram/hari, rendah lemak, asupan protein dibatasi 0,8-1,0

gr/kgBB/hari.

10

Page 11: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Terapi diuretik (loop diuretic): Furosemid 40 mg/24 jam/oral (pagi) dengan

evaluasi elektrolit secara rutin.

Terapi kortikosteroid: methylprednisolone 16 mg (3 tablet sekali sehari)

Anti proteinurik dan anti hipertensi (ACE inhibitor): Captopril 25 mg/8

jam/oral.

Anti dislipidemia: Simvastatin 10 mg/24 jam/oral (malam)

Koreksi hipoalbuminemia: Transfusi albumin 25% 1 botol/hari selama 4 hari

VIII. USULAN PEMERIKSAAN

Balance cairan dan ukur berat badan setiap hari

Foto thoraks posterior anterior (PA)

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

X. FOLLOW UP

Tanggal Follow up

18/10/14 S: Bengkak-bengkak pada kaki, perut dan wajah

11

Page 12: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis

Bp: 160/120mmHg, HR: 78x/menit, RR: 24x/menit, Temp: 37°C

Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada

Leher: DVS R+2 cm H20

Thorax: Sesak ada. RR: 24x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler

menurun di basal, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada

Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral

Lab:

RBC: 5.700 , WBC: 14.800, HGB: 17.2, HCT: 47.8,

MCV/MCH: 84/30.2, MCHC: 36.0, PLT: 258.000

Protein total: 2.7, Albumin: 1.0, Ur/Cr: 74/1.20,

SGOT/GPT: 27/19, Na/K/Cl: 128/4.2/102, Trigliserida: 697,

Kolesterol total: 597, HDL: 27, LDL: 461

A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps

Hipertensi grade I

Hipoalbuminemia

Hiponatremia

Dislipidemia

Suspek efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik

P: R/ Bedrest

Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari

Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :

- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)

Atasi proteinuria dan hipertensi :

- Captopril 25mg/8jam/oral

Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :

- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)

Atasi dislipidemia :

- Simvastatin 10 mg/24jam/oral

Koreksi hipoalbuminemia :

12

Page 13: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari

Urinalisa, protein Esbach

USG abdomen, Foto thorax PA

Biopsi ginjal

19/10/14 S: Pasien mengeluh nyeri dada dan merasa agak sesak.

O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis

Bp: 150/100mmHg, HR: 88x/menit, RR: 28x/menit, Temp: 36,6°C

Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada

Leher: DVS R+2 cm H20

Thorax: Sesak ada. RR: 28x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler

menurun di basal, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada

Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral

Lab:

Urinalisa: Protein +++/300, blood ++/80

Protein Esbach: >12gr/dL/500cc urin

A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps

Hipertensi grade I

Hipoalbuminemia

Hiponatremia

Dislipidemia

Suspek efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik

P: R/ Bedrest

Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari

Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :

- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)

Atasi proteinuria dan hipertensi :

- Captopril 25mg/8jam/oral

Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :

- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)

Atasi dislipidemia :

13

Page 14: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

- Simvastatin 10 mg/24jam/oral

Koreksi hipoalbuminemia :

- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari

USG abdomen, Foto thorax PA

Biopsi ginjal

20/10/14 S: Nyeri dada dan sesak.

O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis

Bp: 140/100mmHg, HR: 92x/menit, RR: 28x/menit, Temp: 36,9°C

Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada

Leher: DVS R+2 cm H20

Thorax: Sesak ada. RR: 28x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler,

menurun di basal dextra et sinistra, rhonkhi tidak ada, wheezing tidak

ada

Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral

Radiologi:

USG abdomen atas+bawah (whole abdomen) 20-10-2014

Kesan:

i. Tanda-tanda glomerulonefritis kronik dextra

ii. Ascites

iii. Efusi pleura bilateral

A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps

Hipertensi grade I

Hipoalbuminemia

Hiponatremia

Dislipidemia

Efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik

P: R/ Bedrest

Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari

Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :

14

Page 15: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)

Atasi proteinuria dan hipertensi :

- Captopril 25mg/8jam/oral

Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :

- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)

Atasi dislipidemia :

- Simvastatin 10 mg/24jam/oral

Koreksi hipoalbuminemia :

- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari

Foto thorax PA

Biopsi ginjal

21/10/14 S: Bengkak-bengkak pada kaki, perut dan wajah. Sesak dan nyeri

dada berkurang.

O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis

Bp: 140/90mmHg, HR: 86x/menit, RR: 22x/menit, Temp: 36,8°C

Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada

Leher: DVS R+2 cm H20

Thorax: Sesak berkurang. RR: 22x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler,

menurun di basal dextra et sinistra, rhonkhi tidak ada, wheezing tidak

ada

Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral

A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps

Hipertensi grade I

Hipoalbuminemia

Hiponatremia

Dislipidemia

Efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik

P: R/ Bedrest

Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari

Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :

15

Page 16: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)

Atasi proteinuria dan hipertensi :

- Captopril 25mg/8jam/oral

Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :

- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)

Atasi dislipidemia :

- Simvastatin 10 mg/24jam/oral

Koreksi hipoalbuminemia :

- Transfusi albumin 25% 1 botol/hari

Foto thorax PA

Biopsi ginjal

Kontrol albumin, elektrolit

22/10/14 S: Bengkak-bengkak pada kaki, perut dan wajah berkurang

O: Sakit sedang/gizi cukup/compos mentis

Bp: 140/90mmHg, HR: 88x/menit, RR: 22x/menit, Temp: 36,6°C

Mata: Anemis tidak ada, ikterus tidak ada

Leher: DVS R+2 cm H20

Thorax: Sesak berkurang. RR: 22x/menit. Bunyi pernapasan vesikuler,

menurun di basal dextra et sinistra, rhonkhi tidak ada, wheezing tidak

ada

Abdomen: Peristaltik ada kesan normal, hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas: Pitting edema (pretibial dan dorsum pedis) bilateral

A: Sindrom nefrotik et causa idiopatik kasus relaps

Hipertensi grade I

Hipoalbuminemia

Hiponatremia

Dislipidemia

Efusi pleura bilateral et causa sindrom nefrotik

P: R/ Bedrest

Diet rendah garam, asupan protein dibatasi 0,8-1,0 g/kgBB/hari

Atasi edema dan ascites dengan loop diuretic :

16

Page 17: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

- Furosemide 40mg/24jam/oral (pagi)

Atasi proteinuria dan hipertensi :

- Captopril 25mg/8jam/oral

Atasi sindrom nefrotik et causa idiopatik :

- Methylprednisolone (16 mg) 48mg/24jam/oral (3 tablet 1x/hari)

Atasi dislipidemia :

- Simvastatin 10 mg/24jam/oral

XI. DISKUSI KASUS

17

Page 18: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Berdasarkan gejala-gejala klinis dan hasil pemeriksaaan laboratorium,

pasien ini didiagnosa dengan sindrom nefrotik. Sindrom nefrotik adalah

kelainan glomerulus dengan karakteristik proteinuria (kehilangan protein

melalui urin ≥3,5g/hari), hipoproteinemia (hipoalbuminemia), edema dan

hiperlipidemia. Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara

sel-sel tubuh atau di dalam rongga tubuh sebagai akibat ketidakseimbangan

faktor-faktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan

hemodinamik sistem kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air,

penyakit ginjal serta berpindahnya air dari intravaskular ke interstitium. Hal ini

sesuai dengan kondisi pasien yang masuk dengan keluhan utama bengkak-

bengkak pada kaki, perut dan wajah yang dialami sejak kurang lebih 2 hari

sebelum masuk rumah sakit. Penderita awalnya mengeluh bengkak pada kedua

kelopak mata, lalu bengkak ke kaki dan perut. Bengkak/edema yang dialami

pasien adalah karena perpindahan cairan intravaskular ke interstitium akibat

dari penurunan tekanan osmotik yang berhubungan dengan kehilangan protein

melalui urin. Hal ini terbukti berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium

urinalisis didapatkan protein di dalam urin yaitu ≥1,030g/dl serta tes protein

Esbach >12g/dl dalam 500cc urin.

Proteinuria yang terjadi pada pasien sindrom nefrotik adalah

disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat

kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membrane basal glomerulus

(MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran

protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size

barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada

sindrom nefrotik kedua mekanisem penghalang tersebut ikut terganggu. Selain

itu konfigurasi molekul protein juga menetukan lolos tidaknya protein melalui

MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan

ukuran molekul yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif bila molekul

18

Page 19: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

yang keluar terdieri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non-

selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti

immunoglobulin. Selektifitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan MBG.

Pada sindrom yang disebabkan glomerulonefritis lesi minimal (GNLM)

ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron

memperlihatkan fusi foot processus sel epitel visceral glomerulus dan

terlepasnya sel dari struktur MBG. Berkurangnya kandungan heparan sulfat

proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif pada MBG menurun

dan albumin dapat lolos ke dalam urin. Pada glomerulosklerosis fokal

segmental (GSFS), peningkatan permeabilitas MBG disebabkan suatu faktor

yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel viseral

glomerulus terlepas dari MBG sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada

glomerulonefritis membrano nefropati (GNMN) kerusakan struktur MBG

terjadi akibat endapan komplek imun di sub-epitel. Komplek C5b-9 yang

terbentuk pada GNMN akann meningkatkan permeabilitas MBG, walaupun

mekanisme yang pasti belum diketahui.

Edema pada sindrom nefrotik dapat dikaitkan dengan dua mekanisme

yaitu mekanisme underfilling dan overfilling. Pada mekanisme underfilling

terjadinya edema disebabkan rendahnya kadar albumin serum yang

mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma, kemudian akan diikuti

peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan

hukum Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan berkurang

(underfilling) yang selanjutnya mengakibatkan peransangan sekunder sistem

renin-angiotensin-aldosteron yang meretensi natrium dan air pada tubulus

distalis. Hipotesis underfilling menempatkan albumin dan volume plasma

berperan penting pada aproses terjadinya edema sesuai dengan kondisi pasien

karena berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya

19

Page 20: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

hipoalbuminemia yaitu albumin 1,0g/dl sedangkan nilai rujukan normal

albumin adalah 3,5-5,0g/dl. Hipoalbuminemia merupakan faktor kunci

terjadinya edema pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia terjadi akibat dari

lolosnya protein terutama albumin melalui urin. Hipoalbuminemia

menyebabkan penurunan tekanan oskotik plasma sehingga cairan bergeser dari

intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan

tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadilah hipovolemia

yaitu volume plasma berkurang (underfilling), maka ginjal melakukan

konmpensasi dengan mengaktivasi sistem renin angiotensin yang

mengakibatkan terjadinya retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini

akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi

terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.

Mekanisme kedua adalah mekanisme overfilling yang menjelaskan

bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Terdapat kelainan yang

bersifat primer yang mengganggu eksresi natrium pada tubulus distalis,

sebagai akibat terjadinya peningkatan volume darah (overfilling), penekanan

sistem renin-angiotensin dan vasopresin. Kondisi volume darah yang

meningkat (overfilling) yang disertai dengan rendahnya tekanan osmosis

plasma mengakibatkan transudasi cairan dari kapiler ke interstitial sehingga

terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan

menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut underfill

dan overfill ditemukan secara bersama pada sindrom nefrotik. Faktor seperti

asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi

ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati

akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.

Selain edema, pasien juga mengeluh nyeri dada dan sesak. Hal ini

karena terjadi efusi pleura yang ditegakkan dari hasil pemeriksaan radiologi

20

Page 21: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

USG whole abdomen yang mendapatkan adanya efusi pleura bilateral. Efusi

pleura pada sindrom nefrotik dikenal sebagai efusi pleura transudat yang

terjadi apabila hubungan normal antara tekanan hidrostatik kapiler dan koloid

osmotik terganggu sehingga terbentuk cairan pleura yang melebihi reabsorbsi

pleura. Efusi pleura pada sindrom nefrotik umumnya bersifat bilateral dengan

konsentrasi protein yang rendah. Penyebab terbentuknya efusi pleura pada

sindrom nefrotik adalah karena penurunan kadar albumin plasma yang

mengakibatkan penurun

an tekanan onkotik plasma. Tekanan hidrostatik pada sindrom nefrotik

umumnya meningkat akibat daripada hipervolumia karena adanya retensi

garam (natrium) yang memperberat efusi.

Hipoalbuminemia (albumin <3,5g/dl) pada sindrom nefrotik

disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik

plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha

meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin tidak berhasil

menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat

meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan

eksresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi karena

peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.

Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai sindrom

nefrotik. Pada pasien ini dari pemeriksaan profil lipid didapatkan peningkatan

pada komponen lipid trigliserida: 697 mg/dL, kolesterol total: 597 mg/dL,

dan , LDL: 461 mg/dL manakala nilai HDL adalah rendah yaitu 27 mg/dL.

Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density

lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang

tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein).

Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein)

21

Page 22: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

dan lipoprotein (Lp)a sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung

normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada sindrom nefrotik

dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan

menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil

stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Namun karena

sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa

hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia.

Hiperlipidemia dapat juga ditemukan pada pasien dengan kadar albumin

mendekati normal dan sebaliknya pada pasien hipoalbuminemia kadar

kolesterol dapat normal. Tingginya kadar LDL pada sindrom nefrotik

disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan

sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL

menyebabkan kadar VLDL tinggi pada sindrom nefrotik. Menurunnya

aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab

berkurangnya katabolisme VLDL pada sindrom nefrotik. Peningkatan sintesis

lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang

menurun. Penurunan kadar HDL pada sindrom nefrotik diduga karena

berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase)

yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim tersebut juga berperan

mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme.

Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait hipoalbuminemia pada

sindrom nefrotik.

BAB 2: PEMBAHASAN TEORI

SINDROM NEFROTIK

22

Page 23: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

I. PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinis dari

glomerulonefritis (GN) yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif

≥3,5 g/hari, hipoalbuminemia <2,5mg/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria.

Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua

gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria massif merupakan tanda khas SN,

tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumim serum rendah eksresi protein

dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai

komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan

lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan

metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.

Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang

baik terhadap terapi steroid, tetapi sebahagian yang lain berkembang menjadi

kronik.

II. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI

Sidrom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer atau sekunder akibat

infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin, dan akibat

penyakit sistemik.

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling

sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal (GNLM),

glomerulosklerosis fokalsegmental (GSFS), GN membranosa, dan GN

membranoproliferatif merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan.

23

Page 24: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Pada anak-anak usia 1-7 tahun paling sering ditemukan glomerulonefritis

akibat lesi primer yaitu glomerulonefritis lesi minimal (75%-85%) dengan umur

rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali

lebih banyak daripada perempuan. Pada orang dewasa, kasus glomerulonefritis

paling banyak didapat akibat manifestasi ginjal karena penyakit sistemik, umur

rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN

idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa

3/1000.000/tahun.

Kelainan histopatologik GN yang paling sering didapat pada lesi glomerular

primer adalah GN lesi minimal dan glomerulosklerosis fokal segmental. GN lesi

minimal paling banyak didapat pada anak-anak dengan persantase 65%,

manakala glomerulosklerosis fokal segmental biasanya ditemukan pada orang

dewasa.

Tabel  1.  Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik

         Glomerulonefritis primer:

i. GN lesi minimal

ii. Glomerulosklerosi fokal segmental

iii. GN membranosa

iv. Glomerulonefritis membranoproliferatif

v. GN proliferative lain

            Glomerulonefritis sekunder akibat:

a. Infeksi

vi. Hepatis virus (B dan C), HIV

vii. Sifilis, malaria, skistosoma

viii. Tuberkulosis, lepra

b. Keganasan

ix. Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,

24

Page 25: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

mieloma multipel, dan karsinoma ginjal

c. Penyakit jaringan penghubung

x. Lupus ertematosus sistemik, artritis reumatoid, MCTD

(mixed connective tissue disease)

d. Efek obat dan toksin

xi. Obat anti inflamasi non-steroid, preparat emas,

penisilinamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin

e. Lain-lain

xii. Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf

kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah

Tabel  2.  Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer

            Kelainan minimal (KM)

            Glomerulosklerosis (GS)

                        Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

                        Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)

            Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif

            Glomerulonefritis kresentik (GNK)

25

Page 26: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

            Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

                        GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

                        GNMP tipe II dengan deposit intramembran

                        GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial

            Glomerulopati membranosa (GM)

            Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

III. PATOFISIOLOGI

Reaksi antigen antibodi adalah mekanisme utama yang menyebabkan

kerusakan glomerulus terutama menerusi jalur mediasi komplimen dan mediasi

leukosit. Selain itu, antibodi juga dapat langsung menjadi sitotoksik terhadap sel

di dalam glomerulus. Kesemua reaksi imuno-mediasi ini mengakibatkan

permeabilitas membrane basalis glomerulus meningkat dan diikuti kebocoran

sejumlah protein (albumin). Tubuh kehilangan albumin lebih dari 3,5 gram/hari

menyebabkan hipoalbuminemia, diikuti gambaran klinis sindrom nefrotik lain

seperti edema, hiperlipidemia dan lipiduria.

Mekanisme reaksi imuno-mediasi sel pada cedera glomerulus:

26

Page 27: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Deposisi atau penompokan kompleks antigen-antibodi

yang larut dalam sistem sirkulasi di dalam glomerulus

Antibodi yang bereaksi secara in-situ di dalam glomerulus

terhadap antigen tetap yang tidak larut (intrisik) atau

terhadap molekul-molekul yang tetanam dalam

glomerulus

Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik :

1. Proteinuria (albuminuria)

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya

sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.

Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang

biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.

Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan

negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat

peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai

peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria(albuminuria).

Beberapa faktor yang turut menentukan derajat proteinuria(albuminuria) sangat

komplek:

- Konsentrasi plasma protein

- Berat molekul protein

- Electrical charge protein

- Integritas barier membrane basalis

- Electrical charge pada barier filtrasi

- Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus

- Degradasi intratubular dan urin

27

Page 28: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

2. Hipoalbuminemia

Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati

ruangan ekstra vaskular(EV). Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat

molekul 69.000.

Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh kehilangan

sejumlah protein, baik renal maupun non-renal. Mekanisme kompensasi dari

hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk mempertahankan

komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskular(EV) dan intra vaskular(IV):

NORMAL SINDROM NEFROTIK

Sintesis albumin dalam hepar normal sintesis albumin

meningkat

Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat

hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini

mungkin disebabkan beberapa faktor :

- kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus

(protein losing enteropathy)

- Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan

menurun dan mual-mual

- Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal

Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma albumin

menurun, keadaan menjadi hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti

28

IV EV IVEV

Page 29: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang

terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi

filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi

keadaan hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium

Na+ kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium Na+ secara pasif

sepanjang ‘Loop of Henle’ bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif

sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air,

H2O yang berhubungan dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA)

dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda

aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini

(aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi

diuretik yang mengandung antagonis aldosteron.

3. Edema

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-

kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial yang

mengakibatkan edema. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan

volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi natrium dan

air. (lihat skema)

Proteinuria masif menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan tekanan

onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi edema.

Mekanisme edema dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :

i. Jalur langsung/direk

Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung

menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan

edema.

ii. Jalur tidak langsung/indirek

29

Page 30: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan

penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:

Aktivasi system renin angiotensin aldosteron

Kenaikan plasma renin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan

kelenjar adrenal untuk sekresi hormon aldosteron. Kenaikan konsentrasi hormon

aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion

natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun.

Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.

Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin,

menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat. Kenaikan

tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma renin dan

angiotensin.

IV. GEJALA KLINIS

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah edema Pada

fase awal edema sering bersifat intermiten;  biasanya awalnya tampak pada daerah-

daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah yaitu daerah dengan

jaringan ikat longgar (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya edema

menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).

Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab

muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada

ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas

bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih

tipis dan mengalami oozing. Edema biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM

30

Page 31: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena

proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom

nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan edema masif yang disebabkan edema

mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau

edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat,

dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena edema dinding

perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan

terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom

nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan

prolaps ani.

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak,

maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan

ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.

Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum <

3,0 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan

umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL

dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap

tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik,

namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom

nefrotik. Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal

penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum

biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM. Tidak

perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada

pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut

31

Page 32: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

berkorelasi secara langsung dengan derajat edema dan secara tidak langsung dengan

kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. Ultrasonografi, USG

ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan

dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.

Reaksi Ag-ab

Peradangan glomerulus

Permeabilitas membran basalis meningkat

Proteinuria

Hipoalbuminemia

Tekanan osmotik Lipid serum

Kapiler menurun meningkat

Transudasi ke

Dalam interstisium hipovolemia

ADH meningkat GFR menurun

aldesteron

meningkat

Retensi

Na+ & H2O

Edema

V. PENEGAKAN DIAGNOSIS

32

Page 33: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, 

perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.

Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua

kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang 

ditemukan hipertensi.

Pemeriksaan penunjang

Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai

hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl),

hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin

terbalik (albumin menurun, globulin meningkat). Kadar ureum dan kreatinin

umumnya  normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal. Bila terjadi hematuria

mikroskopik (>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis-sclerosis

focal glomerulus).

IV. PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN

Pengobatan SN tediri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap

penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,

mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam

dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan

dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan atau asetazolamid.

Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko

33

Page 34: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8-1,0 g/kg berat

badan/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi

angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor

angiotensin II (angiotensin II receptor antagonist) dapat menurunkan tekanan darah

dan kombinasi keduanya mempunyai efek dalam menurunkan proteinuria. Risiko

tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun

pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada suatu studi

terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan

meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi

menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak

golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan

kolesterol LDL, trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.

IV.I PENATALAKSANAAN KHAS GLOMERULONEFRITIS PRIMER

Glomerulonefritis primer adalah suatu kelainan glomerulus yang disebabkan

oleh terdapatnya proses inflamasi yang dimediasi oleh kompleks antigen‐antibodi.

Kelainan pada glomerulus dapat terjadi pada sel epitel, sel mesangial, dan sel endotel

(1). Proses inflamasi pada sel epitel memberikan gambaran klinis Lesi Minimal

(LM), Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental, dan Nefropati Membranosa. Proses

pada sel mesangial memberikan gambaran klinis berupa Nefropati IgA. Sedangkan

kelainan pada sel endotel memberikan gambaran klinis Glomerulonefritis Post‐

Streptokokkus, Glomerulonefritis Membranoproliferatif dan Penyakit Anti‐

Membran Basalis Glomerulus (Sindrom Goodpasture).

Sebagian dari Glomerulonefritis (GN) primer ini terdapat dalam bentuk yang

ringan sehingga tidak memberikan gejala klinis yang nyata dan hanya diketahui pada

saat dilakukan tes kesehatan. Sebagian lain akan memberikan gejala‐gejala klinik

yang khas seperti edema anasarka, yang menyebabkan pasien akan mendatangi

34

Page 35: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

dokter untuk tujuan pengobatan. Glomerulonefritis adalah salah satu penyebab

tersering Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang pada akhirnya akan berkembang

menjadi penyakit ginjal terminal disertai peningkatan risiko terjadinya penyakit‐

penyakit kardiovaskuler. Karena itu penting sekali untuk memulai pengobatan pada

pasien GN primer. Tujuan pengobatan adalah untuk mencapai remisi komplit atau

paling tidak untuk menekan progresifitas penyakit ginjal (menekan laju penurunan

fungsi ginjal). Pengobatan mencakup evaluasi klinis secara teratur, mengontrol

tekanan darah, restriksi asupan protein dalam makanan, mengontrol hiperlipidemia,

penggunaan preparat ACE‐I (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) dan ARB

(Angiotensin Receptor Blocker), serta pemberian preparat kortikosteroid dan

immunosupresan lainnya.

Dibawah ini akan diuraikan secara lebih rinci penatalaksanaan pada berbagai

bentuk GN primer:

1. Lesi Minimal (LM)

Steroid merupakan terapi pilihan untuk LM dan menghasilkan remisi komplit

dari proteinuria pada 80‐90% kasus. Lesi minimal merupakan 90% dari penyebab

sindrom nefrotik idiopatik pada anak‐anak. Oleh sebab itu pada anak‐anak dengan

sindrom nefrotik dapat langsung diberikan pengobatan dengan steroid tanpa

dilakukan biopsi ginjal. Biopsi ginjal dikerjakan bila hasil pengobatan dengan

steroid tidak memberikan hasil yang memuaskan (resisten terhadap steroid). Pada

orang dewasa, LM didapatkan hanya pada 10‐25% kasus sindrom nefrotik sehingga

pengobatan dengan steroid diberikan setelah hasil biopsi ginjal menunjukkan adanya

LM. Sebelum membahas pengobatan pada LM, perlu lebih dahulu dikemukakan

beberapa istilah yang berhubungan dengan respon terhadap pengobatan, yang akan

menjadi acuan apakah pengobatan cukup dengan steroid saja atau diperlukan obat

35

Page 36: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

imunosupresan lainnya. Respon terhadap pengobatan berdasarkan penurunan relatif

dari proteinuri sebagai berikut:

Remisi komplit: berkurangnya proteinuri menjadi 300 mg/hari

Remisi parsial: berkurangnya proteinuri sebesar 50% dengan jumlah absolut

antara 300 mg – 3500 mg/hari.

Relaps: timbulnya kembali proteinuri > 3500 mg/hari pada pasien yang

sebelumnya sudah terjadi remisi komplit atau parsial. Disebut sering relaps

bila pada pasien didapatkan paling sedikit 3x relaps dalam setahun

Dependen‐steroid: diperlukan pengobatan steroid yang berkelanjutan untuk

mempertahankan remisi

Resisten‐steroid: tidak terdapat atau sangat sedikit penurunan proteinuri

setelah pemberian steroid yang adekuat selama 16 minggu, atau

berkurangnya proteinuria tapi tidak pernah mencapai kriteria remisi parsial

setelah pemberian steroid > 16 minggu.

Pengobatan pada LM sebagai berikut:

A. Terapi imnuno-supresan

Prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari, dengan dosis maksimum 80 mg/hari

Biasanya diberikan dalam dosis tunggal dan dianjurkan diminum antara pukul

7‐9 pagi dengan tujuan untuk meminimalisasi supresi kelenjar adrenal.

Prednison dilanjutkan sampai minimal 8 minggu meskipun pada sebagian

pasien remisi komplit sudah terjadi sebelum 8 minggu. Hal ini dilakukan

dengan maksud untuk mengurangi angka relaps. Pada pasien dengan respon

yang lebih lambat dari 8 minggu, penurunan bertahap prednisone dilakukan 1‐2

minggu setelah didapatkan remisi komplit. Umumnya pada pasien dengan LM,

remisi komplit mulai terjadi pada minggu ke 8, terutama pada pasien dewasa

muda seperti terlihat pada gambar 1.

36

Page 37: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

GAMBAR 1

Setelah tercapai remisi komplit, dosis prednison diturunkan perlahan‐lahan sebanyak

5 mg/hari setiap 3‐4 hari. Bila dosis prednison yang diberikan mencapai 20‐30 mg,

prednisone dapat diberikan selang sehari (alternate dose), selanjutnya dosis selang

sehari ini diturunkan 5 mg setiap 1‐2 minggu. Penurunan bertahap secara lambat

bertujuan untuk mempertahankan remisi dan untuk menghindari supresi kelenjar

adrenal. Selain itu penurunan bertahap yang cepat setelah remisi dihubungkan

dengan peningkatan risiko relaps

.

Imunosupresan lain yang dapat dipakai untuk terapi inisial pada LM adalah

siklofosfamid atau siklosporin, sendiri‐sendiri, atau dikombinasikan dengan pulse

metilprednisolon. Regimen ini diberikan biasanya pada pasien LM yang sering

relaps atau dependen‐steroid.

37

Page 38: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

B. Terapi Non‐Imunosupresan

ACE‐I atau ARB dapat digunakan untuk menambah efek penurunan proteinuri.

C. Pengobatan untuk relaps

Kira‐kira 50‐75% pasien yang responsif terhadap steroid akan mengalami satu kali

relaps. Sedangkan pada 10‐25% pasien LM akan mengalami sering relaps. Sangat

penting untuk mengetahui relaps sedini mungkin, sehingga terapi dapat dimulai

kembali. Untuk deteksi relaps disarankan pemeriksaan proteinuri dengan tes celup

urin (dipstick), setiap 2 minggu setelah remisi. Bila didapatkan tes celup urin yang

positif pada 2 hari yang berbeda dengan selang waktu 1‐2 hari, pasien dianjurkan

untuk datang kembali ke dokter. Pasien yang mengalami relaps, diberikan

prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari (dosis maksimal 60‐80 mg/hari), untuk

sedikitnya 4 minggu. Setelah tercapai remisi dilakukan tapering prednison sebesar 5

mg setiap 3‐5 hari.

D. Pengobatan LM yang sering relaps atau dependen‐steroid

Prednison dosis rendah (10‐15 mg/hari) untuk jangka waktu lama dapat

mempertahankan remisi pada pasien LM yang respon terhadap steroid tapi sering

mengalami relaps.

Obat‐obat lain yang dapat dipakai untuk pasien sering relaps, atau pasien

dependensteroid, atau mempunyai efek samping steroid adalah:

Siklofosfamid, diberikan 2 mg/kg/hari selama 12 minggu

Siklosporin, diberikan dengan dosis 4‐5 mg/kg/hari dan dibagi dalam 2 dosis

per hari (siklosporin dalam bentuk mikroemulsi diberikan dengan dosis 3

mg/kg/hari). Konsenstrasi siklosporin dimonitor secara berkala dan

38

Page 39: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

dipertahankan antara 100‐200 ng/ml. Dosis ini dipertahankan selama 18

bulan untuk meminimalisasi risiko relaps, kemudian dosis siklosporin

diturunkan bertahap menjadi 2,5‐3 mg/kg/hari (preparat non mikroemulsi)

atau 2‐2,5 mg/kg/hari (preparat mikroemulsi) selama 18‐24 bulan. Bila dalam

4‐6 bulan pertama tidak tercapai remisi, maka pemberian siklosporin

dihentikan dan diganti dengan preparat lain.

Mikofenolat mofetil, diberikan dengan dosis 750‐1000 mg, 2 kali sehari,

diberikan dalam waktu 6‐26 bulan. Hasil penelitian dengan mikofenolat

mofetil pada LM belum banyak dilaporkan.

Azatioprin, hasil penelitian juga masih terbatas, diberikan selama 4 tahun.

Rituximab, penelitian masih terbatas dan belum direkomendasikan.

E. Pengobatan LM yang resisten‐steroid

5‐10% pasien LM termasuk yang resisten‐steroid. Obat‐obat yang dapat dipakai

pada

keadaan ini:

Siklofosfamid, diberikan dengan dosis 5 mg/kg/hari selama 6 bulan,

kemudian diturunkan bertahap 25% setiap 2 bulan sampai dihentikan.

Siklosporin, diberikan dengan dosis 5 mg/kg/hari yang terbagi dalam 2 dosis,

dengan atau tanpa prednison (10‐15 mg/hari) (3). Pada 66% pasien

didapatkan remisi komplit atau parsial, terutama pada grup yang dikombinasi

prednison. Tapi proteinuri akan kembali meningkat bila siklosporin

ditapering.

Azatioprin, data yang terbatas menunjukkan bahwa azatioprin efektif pada

pasien resisten‐steroid. Pengobatan diberikan selama 4 tahun.

ACE‐I dan ARB, obat golongan ini terutama diberikan pada pasien LM yang

resisten terhadap steroid, siklofosfamid, siklosporin, dan azatioprin.

2. Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental (GSFS)

39

Page 40: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Pemberian steroid atau imunosupresan lainnya dapat menginduksi remisi pada

GSFS, meskipun responnya lebih rendah dibandingkan hasil pada LM. Umumnya

diperlukan waktu yang lebih lama pemberian steroid untuk menginduksi remisi.

Pemberian steroid atau imunosupresan hanya diberikan pada GSFS primer, dan tidak

diindikasikan pada GSFS sekunder. Umumnya terapi imunosupresif tidak diberikan

pada pasien GSFS primer bila:

a. Fungsi ginjal normal dan proteinuria non‐nefrotik. Golongan ini umumnya

perjalanan kliniknya ringan dan sebagian akan mengalami remisi spontan atau

proteinurinya tetap stabil (non‐nefrotik).

b. Fungsi ginjal sudah menurun dan proteinuria non‐nefrotik. Golongan pasien ini

mungkin mempunyai proteinuria masif (nefrotik) sebelumnya tapi tidak mendapat

pengobatan.

Pengobatan pada GSFS sebagai berikut:

Prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari, diberikan 12‐16 minggu. Peneliti lain

menganjurkan pemberian prednison 1 mg/kg/hari selama 6 bulan sebelum

memutuskan terdapatnya resisten‐steroid. Pemberian prednison selanjutnya

bergantung hasil monitoring.

- Bila remisi komplit dicapai dalam 12 minggu dosis penuh (inisial)

tetap diberikan selama 1‐2 minggu lagi. Setelah itu prednison

diturunkan bertahap dalam waktu 2‐3 bulan.

- Bila remisi parsial dicapai dalam 12 minggu, dosis prednison

ditapering ⅓ dosis setiap 6 minggu. Jika proteinuria kembali

meningkat saat penurunan bertahap prednison, penurunan bertahap

prednison dihentikan. Dosis terakhir prednison dipertahankan dan

ditambahkan siklosporin dengan dosis 3‐4 mg/kg/hari (dalam 2

dosis). Siklosporin diteruskan sampai 1 tahun tapi dengan dosis

terendah untuk mempertahankan remisi (dosis 2‐2,5 mg/kg/hari).

40

Page 41: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Selain dengan siklosporin, prednison dapat pula diberikan bersama

mikofenolat mofetil dengan dosis 750‐1000 mg, 2 kali sehari selama

6 bulan.

Pengobatan pada GSFS yang dependen‐steroid dan resisten‐steroid:

Siklosporin dengan dosis 3‐4 mg/kg/hari (dibagi dalam 2 dosis sehari).

Siklosporin diberikan sampai 6 bulan bila terjadi remisi komplit dan selama 2

tahun bila terjadi remisi parsial. Dalam waktu tersebut dosis siklosporin

diturunkan sampai dosis yang dapat mempertahankan remisi (biasanya 2‐2,5

mg/kg/hari)

Bersama siklosporin diberikan pula prednison dengan dosis 0,15 mg/kg/hari

(maksimal 15 mg/hari). Setelah 6 bulan prednison diturunkan bertahap

menjadi 5 atau 7,5 mg/hari (10‐15 mg bila diberikan selang sehari) dan tetap

dipertahankan 6‐12 kemudian untuk mempertahankan remisi.

*Catatan:

Pemberian siklosporin dihindari bila pada hasil biopsi ginjal didapatkan gangguan

vaskuler atau interstitial atau bila GFR<40 ml/mnt (karena sifat nefrotoksisitas dari

siklosporin)

Takrolimus: Pengalaman pemakaian takrolimus pada GSFS yang steroid‐dependen atau steroidresisten masih terbatas (10). Satu penelitian pada 25

orang pasien GSFS yang resisten atau dependen terhadap steroid, diberikan

takrolimus dan prednison selama 6 bulan. Takrolimus diberikan dengan dosis

0,05 mg/kg/hari (terbagi 2 dosis). Dosis takrolimus kemudian disesuaikan

dengan target konsentrasi takrolimus darah antara 5‐10 ng/ml. Pada pasien

yang mendapat remisi komplit dalam 6 bulan pertama, dosis takrolimus

kemudian ditapering sebanyak 1 mg/minggu. Prednison diberikan dengan

dosis 1 mg/kg/hari dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu.

41

Page 42: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Kemudian diberikan dosis 1 mg/kg selang sehari sampai minggu ke 8.

Setelah itu prednison diturunkan bertahap 0,05 mg/kg sampai 6 bulan.

Mikofenolat mofetil: Diberikan dengan dosis 750‐1000 mg, 2 kali sehari

selama 6 bulan. Penurunan proteinuria minimal 50% didapatkan pada 44%.

Tidak ditemukan pasien yang mengalami remisi komplit, tapi tidak

ditemukan adanya peningkatan kreatinin serum

Pengobatan pada GSFS yang mengalami relaps

Bila pasien tidak mendapatkan remisi komplit atau parsial terhadap steroid,

tidak mempunyai efek samping terhadap steroid, serta remisi telah berjalan

lebih dari satu tahun, maka prednison dapat diberikan kembali dengan dosis

inisiasi (1 mg/kg/hari)

Bila pasien telah mendapat remisi komplit atau parsial tetapi terjadi relaps

saat tapering steroid atau relaps terjadi kurang dari 1 tahun setelah steroid

dihentikan, maka diberikan terapi seperti pada pasien dependen‐steroid.

Bila pasien sering mengalami relaps, dapat diberikan siklosporin 3,5

mg/kg/hari dalam 2 dosis, dan dosis rendah prednison. Regimen ini serupa

dengan yang diberikan pada pasien dengan dependen‐steroid atau resisten‐steroid GSFS

ACEI dan ARB

Obat golongan ACEI atau ARB dianjurkan diberikan pada semua pasien GSFS, baik

yang mendapat obat‐obat imunosupresan atau pasien GSFS yang proteinuria non‐nefrotik, atau oleh karena alasan lain tidak diberikan imunosupresan.

42

Page 43: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

2. Nefropati Membranosa (NM)

Nefropati membranosa merupakan penyebab tersering (30‐40%) dari sindrom

nefrotik yang non‐diabotik pada orang dewasa. Sebanyak 75% kasus NM adalah

idiopatik, sedangkan sisanya disebabkan oleh obat‐obatan (emas, penicillamine),

LES, keganasan, dan infeksi virushepatitis B dan C. Manifestasi klinis NM

terbanyak berupa sindrom nefrotik; sangat sedikit bermanifestasi sebagai proteinuria

yang asimtosmatik. Nefropati membranosa mempunyai perjalanan klinis yang relatif

stabil pada wanita, anak‐anak, dewasa muda, proteinuria non‐nefrotik, dan bila kadar

kreatinin serum normal. Sebaliknya perjalanan klinis lebih buruk pada pasien usia >

50 tahun (onsetnya), laki‐laki, proteinuria yang nefrotik dan kreatinin serum

meningkat pada awal diagnosis. Pasien yang mengalami remisi komplit atau remisi

parsial mempunyai prognosis yang baik (penurunan fungsi ginjal sangat lambat dan

insidens gagal ginjal yang rendah). Pasien dapat dibagi menjadi 3 kelompok risiko

sehubungan dengan terjadinya penurunan ginjal (klirens kreatinin < 60 ml/mg)

setelah 5 tahun:

Risiko rendah

Bila didapatkan proteinuria < 4 gr/hari dan klirens kreatinin tetap selama 6 bulan

periode evaluasi. Golongan ini hanya 8% yang mempunyai risiko terjadinya PGK

setelah 5 tahun

Risiko sedang

Bila proteinuria antara 4‐8 gr/hari yang menetap dalam waktu > 6 bulan. Klirens

kreatinin normal atau mendekati normal. Setelah 6 bulan evaluasi, sebanyak 50%

golongan ini akan berkembang menjadi PGK setelah 5 tahun.

Risiko tinggi

Bila didapatkan proteinuria > 8 gr/hari yang menetap > 3 bulan dan atau fungsi

ginjal

Di bawah normal atau menurun selama periode evaluasi. Kira‐kira 75% golongan ini

akan berkembang menjadi PGK setelah 5 tahun. Perlu ditekankan disini, bahwa

43

Page 44: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

pengukuran proteinuria dengan cara pemeriksaan rasio protein : kreatinin pada

sampel urin sewaktu, tidak dianjurkan untuk menentukan stratifikasi risiko diatas

pada saat awal. Pengukuran rasio protein: kreatinin urin sewaktu hanya digunakan

pada saat evaluasi. Pengobatan pada NM sebagai berikut:

Risiko rendah untuk terjadinya progresi

Pasien dengan risiko rendah tidak diberikan terapi imunosupresif, karena golongan

ini mempunyai prognosis yang baik dan sering mengalami remisi komplit atau

parsial spontan. Hanya diberikan ACE‐I atau ARB dan dilakukan evalulasi secara

berkala untuk menilai progresivitasnya. Pemeriksaan ekskresi protein dan kreatinin

serum dilakukan setiap 3 bulan sampai 2 tahun. Setelah itu dilakukan 2 kali dalam

setahun. Alasannya karena risiko progresivitas akan menurun secara bermakna

setelah 2 tahun.

Risiko sedang untuk terjadinya progresi

Evaluasi yang ketat tanpa pemberian obat‐obat imunosupresif selama 6 bulan pada

pasien‐pasein dengan risiko sedang, fungsi ginjal tetap stabil (CCT ≥ 80 ml/mnt) dan

edema dapat dikontrol dengan diuretik. Hanya diberikan ACEI atau ARB. Bila

proteinuria 24 jam tetap > 4 gr/hari selama 6 bulan dengan ACEI atau ARB, maka

dapat dimulai pemberian siklofosfamid + prednison, atau siklosporin + prednison,

atau takrolimus + prednison. Kombinasi siklofosfamid + prednison atau

siklosporin/takrolimus + prednisone mempunyai efektivitas yang sama, meskipun

relaps lebih sering terjadi pada pemberian inhibitor kalsineurin. Pilihan pengobatan

ini bergantung pada kondisi pasien misalnya pada wanita reproduktif dihindari

pemakaian siklofosfamid. Sedangkan pada pasien yang lebih tua dengan hipertensi

dan untuk menghindari efek samping vaskuler, lebih baik tidak memakai siklosporin

atau takrolimus.

Kombinasi siklofosfamid + prednison

- Prednison diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/hari (atau metilprednisolon 0,4

mg/kg/hari); diberikan pada bulan 1, 3, dan 5.

44

Page 45: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

- Siklosfosfamid diberikan dengan dosis 2‐2,5 mg/kg/hari; diberikan pada bulan 2,

4,

dan 6. Pada bulan pemberian prednison (1, 3, dan 5), diberikan pulse metilprenisolon

sebanyak 1 gr/hari selama 3 hari tanpa prednison oral.

Kombinasi siklosporin/ takrolimus + prednison

- Siklosporin (3‐5 mg/kg/hari, dibagi dalam 2 dosis), atau takrolimus (0,05

mg/kg/hari, dibagi dalam 2 dosis), diberikan selama paling sedikit 6 bulan.

- Sebagian peneliti memberikan prednison dengan dosis 10 mg selang sehari. Terapi

selanjutnya bergantung pada respon terhadap pengobatan diatas. Bila terjadi remisi

komplit, siklosporin diturunkan bertahap sampai dihentikan dalam 2‐ 4 bulan. Bila

terjadi remisi parsial, dosis siklosporin mulai diturunkan menjadi 1,5‐2,5 mg/kg/hari,

yang diberikan paling sedikit 1‐2 tahun. Relaps dari proteinuri dapat terjadi setelah

siklosporin dihentikan.

Pada pasien yang diberikan takrolimus, bila terjadi remisi komplit atau

parsial, takrolimus dilanjutkan sampai 12 bulan dan kemudian ditapering sebanyak

25% setiap 2 bulan sampai selesai. Siklosporin dan takrolimus tidak perlu

dilanjutkan pemberiannya. Bila tidak ada respon dalam 6 bulan pertama. Biasanya

bila tidak didapatkan respon terhadap obat ini, maka juga tidak akan terdapat respon

terhadap obat lainnya. Sebagian pasien yang tidak memberikan respon terhadap

siklofosfamid, siklosporin, atau takrolimus, disebut pasien yang resisten, yang akan

dibahas dibawah ini.

Risiko tinggi untuk terjadinya progresi.

45

Page 46: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

Efikasi pengobatan pada golongan ini hanya sedikit yang berasal dari penelitian

yang dirancang dengan baik. Kebanyakan data berasal dari penelitian

observasional Retrospektif

Kombinasi siklosfosfamid dan prednison

- Siklosfosfamid diberikan dengan dosis 1,5‐2 mg/kg/hari selama 1 tahun.

- Metilprednisolon dengan dosis 1 gram IV, diberikan selama 3 hari berturut‐turut,

pada bulan 1, 3, dan 5 serta prednison oral dengan 0,5 mg/kg/hari selang sehari

selama 6 bulan. Prednison selanjutnya diturunkan bertahap.

- Untuk meminimalisasi efek toksik siklosfosfamid, maka bila dalam 6 bulan tidak

terjadi penurunan proteinuria dan stabilisasi fungsi ginjal, siklosfosfamid dihentikan.

Siklosporin

Diberikan dengan dosis 3,5 mg/kg/hari selama 12 bulan. Oleh karena efek

nefrotoksik dan siklosporin, perlu dilakukan pemeriksaan kreatinin serum secara

berkala.

3. Nefropati membranosa relaps

Pada pasien yang diberikan siklosfosfamid, relaps dan proteinuri terjadi pada

25‐30% kasus. Pada proses relaps dapat dilakukan pemberian kembali

siklofosfamid atau diganti dengan siklosporin atau takrolimus. Apabila

dikhawatirkan akan terjadi efek samping hipoplasi ovarium, maka dapat

diberikan siklosporin atau takrolimus

Pada pasien yang diberikan siklosporin atau takrolimus, angka kemungkinan

relaps lebih tinggi bila dibandingkan dengan siklofosfamid. Relaps lebih sering

terjadi bila diberikan dosis rendah siklosporin (1,0‐1,1 mg/kg/hari), atau bila

siklosporin tak diberikan bersama prednison.

Relaps dapat terjadi saat siklosporin diturunkan bertahap atau setelah

dihentikan. Bila terjadi relaps dapat diberikan kembali siklosporin dengan dosis

46

Page 47: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

3‐5 mg/kg/hari. Evaluasi dengan pemeriksaan kreatinin serum harus dilakukan

secara berkala untuk monitoring perburukan fungsi ginjal akibat efek samping

siklosporin.

4. Nefropati membranosa resisten

Dapat diberikan takrolimus 1 gram IV yang diulang setiap 2 minggu, dan

diberikan sampai 4 minggu. Bila proteinuria menetap cara pemberian ini dapat

diulang pada bulan ke 6.

5. Nefropati IgA (NIgA)

Nefropati IgA merupakan penyebab terbanyak dari glomerulonefritis primer

di negara‐negara berkembang. Sebanyak 50% pasien NIgA secara perlahan‐lahan berkembang menjadi gagal ginjal. Sisanya akan mengalami remisi atau

secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hematuri atau proteinuri yang

ringan. Presentasi klasik dari NIgA adalah gross hematuria, sering berulang, tak

lama setelah adanya infeksi saluran pernapasan bagian atas (18,19). Sebagian

besar pasien didiagnosis setelah evaluasi terjadinya hematuri mikroskopik

asimtomatik dan atau proteinuri yang ringan.

Pengobatan pada Nefropati IgA:

a) Pada pasien dengan gejala klinik hematuria terisolasi, tidak ada atau minimal

proteinuri dan CCT yang normal, tidak diberikan terapi. Hanya dilakukan

pemeriksaan secara berkala (proteinuri dan kreatinin serum), setiap 6 bulan

untuk menilai progresivitas penyakit.

b) Pasien dengan proteinuri persisten (500‐1000 mg/hari) diberikan ACE‐I atau

ARB. Dimulai dengan monoterapi dengan target penurunan ekskresi protein

urin minimal 60% dari awal pemeriksaan atau jumlah proteinuri 24 jam <

500 mg. Pada pasien yang mendapat ACE‐I atau ARB diberikan pula fish‐oil

dengan jumlah 12 gr/hari.

47

Page 48: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

c) Pasien sindrom nefrotik dan atau PGK yang disertai dislipidemia diberikan

pula preparat statin untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler.

d) Pasien dengan sindrom nefrotik dan LM disertai deposit IgA pada mesangial

diberikan terapi steroid. Metilprednisolon 1 gram IV per hari selama 3 hari

berturut‐turut diberikan pada bulan 1, 3, dan 5 disertai prednison oral 0,5

mg/kg/hari yang diberikan selang sehari sampai 6 bulan.

e) Pasien dengan progresivitas penyakitnya aktif (hematuria dengan

peningkatan proteinuri, dan atau kadar kreatinin serum meningkat), diberikan

ACE atau ARB serta steroid seperti pada butir (d) diatas.

f) Untuk pasien dengan kondisi yang berat pada saat awal (kreatinin serum >

1,5 mg/dl) atau progresivitas penyakit dengan pemberian steroid saja,

diberikan kombinasi prednison dan siklosfosfamid. Prednison diberikan

dengan dosis 40 mg/hari, ditapering menjadi 10 mg/hari dalam dan

dikombinasikan dengan siklofosfamid dengan dosis 1,5 mg/kg/hari selama 3

bulan pertama. Siklofosfamid kemudian diganti dengan azatioprin dengan

dosis 1,5 mg/kg/hari selama minimal 2 tahun

Obat‐obat imunosupresan lain yang dapat diberikan sesuai dengan indikasi

pemberian imunosupresan adalah:

Siklosporin

Beberapa penelitian kecil menunjukkan bahwa siklosporin dapat mengurangi

proteinuri. Tapi penggunaan siklosporin terbatas karena sifat nefrotoksiknya.

Selain itu relap sering terjadi setelah obat ini dihentikan.

Mikofenolat mofetil

Efikasi mikofenolat mofetil pada pengobatan NIgA juga terbatas. Beberapa hasil

penelitian dengan jumlah pasien kecil menunjukkan hasil yang bertentangan.

48

Page 49: Laporan Kasus Interna 2014 Sindrom Nefrotik

6. Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)

Pengobatan GNMP secara optimal belum dapat ditentukan secara pasti. Hasil

penelitian terutama berasal dari pasien dengan GNMP tipe 1. Meskipun lebih

sedikit penelitian pada GNMP tipe 2 dan 3, perjalanan klinis dan hasil

pengobatan hampir serupa. Sedangkan peneliti lain menyimpulkan bahwa

GNMP tipe 2 dan 3 kurang mempunyai respon terhadap pengobatan. Pengobatan

dengan steroid hanya diberikan pada orang dewasa dengan gejala klinis sindrom

nefrotik atau terdapat gangguan fungsi ginjal. Pengobatan dipertahankan selama

6 bulan dan bisa diperpanjang untuk mencapai remisi dengan dosis minimal.

Pasien dengan gejala klinis proteinuria asimtomatik dan pasien yang tidak

mempunyai respon terhadap steroid, hanya diberikan terapi konservatif. ACE‐I atau ARB terbukti efektif menurunkan jumlah proteinuri. Dari beberapa

penelitian obat‐obat antiplatelet (aspirin, dipiridamol) memperlambat

progresivitas penyakit ginjal pada pasien GNMP.

49