laporan kasus ga

38
BAB I PENDAHULUAN Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi. 1,2 Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total yaitu hilangnya kesadaran secara total, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh) dan anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan 1

Upload: nathasia

Post on 08-Jul-2016

45 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

General Anaesthesia

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus GA

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang

mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif

pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya

dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang

harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik

pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari

operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa

anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi. 1,2

Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total yaitu

hilangnya kesadaran secara total, anestesi lokal yaitu hilangnya rasa pada daerah

tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh) dan anestesi regional

yaitu hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif

pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan.

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai

dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen

anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi

otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dan

pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi.

1

Page 2: Laporan Kasus GA

BAB II

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. Imam

Jenis Kelamin : Laki-laki

No.RM :

Usia : tahun

Berat Badan : kg

Diagnosa : Tonsilitis Kronis

Tindakan : Tonsilektomi

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan pada tanggal 2016 pukul 07.00 saat kunjungan

pra anesthesia. Informasi diberikan oleh pasienn.

Riwayat Kebiasaan:

Riwayat Alergi: pasien tidak ada riwayat alergi obat maupun makanan.

Riwayat penyakit dahulu: Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit

sebelumnya, riwayat penyakit hipertensi (-), diabetes (-), asma (-), penyakit

jantung (-), gigi palsu/goyang (-), riwayat sakit kuning (-).

Riwayat operasi sebelumnya: pasien belum pernah melakukan operasi

sebelumnya.

Keadaan saat ini: pasien tidak sedang demam dan tidak ada batuk pilek.

Kajian sistem: pasien tidak pernah mengalami kejang, tidak ada gigi

goyang maupun gigi palsu, tidak ada masalah dalam mobilisasi leher dan

tidak ada nyeri dada.

C. PEMERIKSAAN FISIK

KU : Baik Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6

Tanda Vital : Tekanan darah mmHg

Nadi x/menit

2

Page 3: Laporan Kasus GA

RR 20 x/menit

Suhu 36,5oC

Status Generalis :

Kepala dan Leher : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

pembesaran KGB (-)

Thorax :

Jantung

a) Inspeksi : Ictus cordis tampak pada ICS 5 linea

midclavicularis sinistra

b) Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 5 linea midclavicularis

sinistra

c) Perkusi :

i. Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra

ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra

iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra

iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra

d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan

murmur.

Paru

a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis

serta tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.

b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri

dan tidak terdapat ketertinggalan gerak.

c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru

d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua

pulmo. Tidak terdengar suara wheezing

Abdomen :

a) Inspeksi : Perut datar dan tidak ada lesi

b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus

c) Perkusi : Timpani

d) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan di seluruh lapang abdomen

3

Page 4: Laporan Kasus GA

Ekstremitas :

o Terdapat balutan verban pada tangan kiri

o Turgor kulit cukup, akral hangat

Mallampati score : Kelas 1

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium :

Elektrolit

Natrium 140,5 mmol/L

Kalium 3,74 mmol/L

Chlorida 109,8 mmol/L

Faal Ginjal

Ureum 23 mg/dL

Asam Urat 5,9 mg/dL

Kreatinin 1 mg/dL

Faal Hati

Albumin 4,3 g/dL

Globulin 1,9 g/dL

SGPT 13 u/L

SGOT 12 u/L

Hematologi

Hb 14,3 g/dL

Leukosit 7,7 x103/uL

Trombosit 204x103/uL

Hematokrit 43,4 %

Masa Pembekuan 10”

Masa Perdarahan 2”

LED 10 mm/jam

Imunoserologi

HIV Non Reactive

HbsAg Reactive*

Kimia Darah Lain

GDS 84 mg/dL

Radiologi:

o Rontgen thoraks: dalam batas normal.

E. KESAN ANESTESI

- ASA 1 tanpa riwayat penyakit sistemik lainnya.

- Tindakan Operatif: Tonsilektomi

- Jenis anestesi: General Anesthesia

4

Page 5: Laporan Kasus GA

BAB III

LAPORAN ANESTESI

A. Pre-operatif

a. Informed Consent (+)

b. Puasa (+) 8 jam

c. Gigi goyang / palsu (-)

d. IV Line: RL 500cc

e. KU: Tampak sakit ringan

f. Kesadaran: compos mentis

g. TTV: TD , N , RR , T 36,5oC

B. Premedikasi: Ondansentron 4mg (Bolus IV)

C. Tindakan Anestesi:

o Pasien diposisikan pada posisi supinasi.

o Observasi tanda vital (TD: 120/80, N: 88)

o Diberikan premedikasi berupa Ondansentron 4mg (bolus IV)

o Obat berikut dimasukkan secara intravena:

Fentanil 50µg

Propofol 100mg

o Diberikan Oksigen 2L/menit dengan metode over face mask,

dilanjutkan dengan metode face mask selama 2-5 menit.

o Dipastikan apakah airway pasien paten

o Diberi bantuan nafas dengan ventilasi mekanik

o Pasien dipastikan dalam keadaan tidak sadar dan stabil untuk

pemasangan nasotracheal tube (NTT) no 26

o Dilakukan intubasi untuk memastikan NTT masuk pada airway

dilakukan ventilasi dengan oksigenasi.

o Cuff dikembangkan, dilakukan pemeriksaan suara nafas pada

semua lapang paru dan lambung dengan stetoskop, suara nafas dan

dada mengembang secara simetris.

5

Page 6: Laporan Kasus GA

o Fiksasi NTT.

o Maintenance dengan inhalasi oksigen 2 lpm, N2O 2 lpm, dan

isofluran MAC 1%.

o Monitoring selama pembedahan:

Kardiovaskular (Nadi & Tekanan Darah setiap 5 menit)

Respirasi (Inspeksi pernapasan spontan)

Saturasi Oksigen

Cairan (Monitoring input & output cairan)

o Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, nafas spontan dan

ada reflek-reflek jalan napas atas, dan dapat menuruti perintah

sederhana.

Jam Tindakan N Saturasi

12.50 Pasien masuk ke OK, pemasangan alat

monitoring dan premedikasi, IV line

sudah terpasang.

88 99

12.55 Dilakukan tindakan anestesi umum.

Berupa intubasi dengan ETT No.7.

88 100

13.05 Operasi dimulai, kondisi pasien stabil

selama operasi. (Penggantian RL botol

ke -1)

90 99

13.35 Operasi selesai, kondisi pasien stabil. 85 100

13.40 Dilakukan ekstubasi dan pasien

dipindahkan ke ruang pemulihan

88 100

D. Obat – obatan anestesi:

o Pre medikasi :

Ondansentron 4 mg bolus IV

o Induksi :

Fentanyl 50 ug

6

Page 7: Laporan Kasus GA

Propofol 100 mg

o Maintenance :

Oksigen : N2O 2:2 L/menit,

Isofluran 1% MAC

o Lain-lain :

Cairan: Ringer Laktat 500cc

Dexamethasone 2mg (IV Bolus)

Plasminex 500mg (IV Bolus)

E. RECOVERY ROOM (Aldrette score)

Aktivitas : 2

Respirasi : 2

Sirkulasi : 2

Kesadaran : 2

Saturasi : 2

TOTAL : 10 (Pasien dipindahkan ke ruangan)

7

Page 8: Laporan Kasus GA

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

ANESTESI UMUM

Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral

disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.

Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan

menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis

yang ekstrim dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.

Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran

2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri

3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

Pilihan Cara Anestesi:

Umur

o Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum

Status fisik

o Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui

apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui

apakah ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.

o Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari

penggunaan anestesia umum.

o Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa

sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.

o Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul

gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi

anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi

umum endotrakeal.

Posisi pembedahan

8

Page 9: Laporan Kasus GA

o Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan

anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama

pembedahan demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.

Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah

o Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan

keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik

hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada

laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.

Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi

Keinginan pasien

Bahaya kebakaran dan ledakan

o Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif

adalah pilah utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.

A. TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM

I. Penilaian dan persiapan pra anestesia

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor

terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah

sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada

waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari

kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,

mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan.

I.1 Penilaian pra bedah

Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia

sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal

yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah,

nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga dapat

dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti

menganjurkan obat yang menimbulkan masalah dimasa lampau

9

Page 10: Laporan Kasus GA

sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan

ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe

berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya

dihentikan 1-2 hari sebelumnya.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar

sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan

laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tidak

boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi

semua sistem organ tubuh pasien.

Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan

penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi

pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa

pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada

anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.

Kebugaran untuk anestesia

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk

menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi

sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik

seseorang adalah yang berasal dari The American Society of

Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan

resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat

dipisahkan dari dampak samping pembedahan.

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

10

Page 11: Laporan Kasus GA

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas

rutin terbatas.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat

melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan

ancaman kehidupannya setiap saat.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Kelas VI : Pasien yang sudah mati batang otak dan dipersiapkan

untuk transplantasi organ.

Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi

isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan

risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk

meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk

operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral

(puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam

dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam

sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai

3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas

boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah

dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia

diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun

dari anestesi diantaranya:

- Meredakan kecemasan dan ketakutan

- Memperlancar induksi anestesia

- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

- Meminimalkan jumlah obat anestetik

11

Page 12: Laporan Kasus GA

- Mengurangi mual muntah pasca bedah

- Menciptakan amnesia

- Mengurangi isi cairan lambung

- Mengurangi refleks yang membahayakan

Waktu dan cara pemberian premedikasi:

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam,

secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus

yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak

pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat

efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu

1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak

dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena

dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal

ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan

diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:

1. Analgesik narkotik

a. Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b. Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

c. Fentanyl (fl 10cc = 500 µg), dosis 1-3µgr/kgBB

2. Analgesik non narkotik

a. Ponstan

b. Tramol

c. Toradon

3. Hipnotik

a. Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB

4. Sedatif

a. Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1

mg/kgBB

12

Page 13: Laporan Kasus GA

b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis

0,1mg/kgBB

c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5

mg/kgBB

d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1

mg/kgBB

II. INDUKSI ANASTESI

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi

tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan

pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,

intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia

langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan

pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.

Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai

dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon

(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa

hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk

menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga

supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau

tercabut.

I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic

(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu

supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S : Suction penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

13

Page 14: Laporan Kasus GA

Induksi intravena

o Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena

dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan

terkendali. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi

dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.

Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

o Obat-obat induksi intravena:

Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000

mg

- Dosis: 3-7 mg/kgBB (IV); pada anak dan manula

digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis

tinggi. Disuntikkan perlahan (dihabiskan dalam 30-60

detik), karena larutan ini sangat alkalis (pH 10-11)

sehingga suntikan keluar vena menyebabkan nyeri

hebat.6

- Sediaan: ampul 500 mg atau 1000 mg. Dikemas dalam

bentuk bubuk berwarna kuning, berbau belerang.

Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades sampai

kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg).6

- Farmakokinetik

Tiopental dalam darah 70% diikat albumin, sisanya

30% dalam bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan

albumin rendah dosis harus dikurangi.

- Efek

bergantung dosis dan kecepatan suntikan, pasien akan

berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesia atau

depresi napas.

Menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan

intrakranial dan diduga dapat melindungi otak akibat

kekurangan O2.

Dosis rendah bersifat anti-analgesia

14

Page 15: Laporan Kasus GA

Propofol (diprivan, recofol)

- Dosis

Induksi: 2-3 mg/kgBB (IV dengan kepekatan 1%).

Suntikan IV sering menyebabkan nyeri sehingga 1

menit sebelumnya sering diberikan lidocaine 1-2

mg/kgBB IV.6

Maintenance anestesia intravena total: 4-12 mg/kgBB/

jam.6

Sedasi pada perawatan intensif: 0,2 mg/kgBB

Pada manula dosis harus dikurangi

- Sediaan: dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna

putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml

= 10 mg). Pengenceran propofol hanya boleh dengan

dekstrosa 5%.

- Kontraindikasi: tidak dianjurkan pada wanita hamil dan

anak <3 tahun.

Ketamin (ketalar)

- Dosis: 1-2 mg/kgBB (IV)

- Sediaan: dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1

ml=10 mg), 5% (1 ml=50 mg) dan 10% (1 ml=100 mg)

- Efek

Sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi,

nyeri kepala, pasca anestesia sering menimbulkan mual

muntah, pandangan kabur, mimpi buruk, atau

halusinasi (oleh karena itu dianjurkan memakai

sedativa, contohnya Midazolam/dormikum atau

diazepam/valium dengan dosis 0,1 mg/kg IV dan untuk

mengurangi hipersalivasi diberikan sulfas atropin 0,01

mg/kg)

pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka

- Kontraindikasi

15

Page 16: Laporan Kasus GA

Tidak dianjurkan pada pasien TD tinggi (>160 mmHg)

Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)

- Dosis

dosis induksi: 20-50 mg/kg

dosis rumatan: 0,3-1 mg/kg/menit

- Efek

Tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak

digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan

jantung

Induksi intramuscular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan

secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit

pasien tidur.

Induksi inhalasi

o N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen

monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak

iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.

Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik

lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk

mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi

jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu

cairan anastetik lain seperti halotan.

o Halotan (fluotan)

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan

anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan

analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.

Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus

simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi

vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.

16

Page 17: Laporan Kasus GA

Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat

pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.

o Enfluran (etran, aliran)

Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan

enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap

sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang

menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik

disbanding halotan.

o Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.

Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat

dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran

banyak digunakan untuk bedah otak.

Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga

digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan

pada pasien dengan gangguan koroner.

o Desfluran (suprane)

Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),

bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.

Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang

jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

o Sevofluran (ultane)

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan

isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan

napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping

halotan.

Induksi per rectal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau

midazolam.

Pelumpuh otot nondepolarisasi Tracurium 20 mg (Antracurium)

17

Page 18: Laporan Kasus GA

o Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak

menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin

menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.

o Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB,

durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.

o Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:

Cegukan (hiccup)

Dinding perut kaku

Ada tahanan pada inflasi paru

III. RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau

dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.

Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan

(hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar

pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot

lurik yang cukup.

Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,

fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur

dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi

pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid

dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12

mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh

otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi

dengan udara + O2 atau N2O + O2.

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan

O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau

enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4%

bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau

dikendalikan.

18

Page 19: Laporan Kasus GA

IV. TATALAKSANA JALAN NAPAS

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:

1. Hidung

Menuju nasofaring

2. Mulut

Menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum

durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di

hipofaring. Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan

oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan

tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan

kuneiform.

A. Manuver tripel jalan napas

Terdiri dari:

1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.

2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula

3. Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas

bebas, sehingga gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung

atau mulut.

B. Jalan napas faring

Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan

napas mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan

napas lewat hidung (naso-pharyngeal airway).

C. Sungkup muka

Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem

anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa

sehingga ketika digunakan untuk bernapas spontan atau dengan

tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut

atau hidung.

D. Sungkup laring (Laryngeal mask)

19

Page 20: Laporan Kasus GA

Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa

besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya

dapat dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai

LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek dengan spiral

untuk menjaga supaya tetap paten.

Dikenal 2 macam sungkup laring:

1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas

2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan

lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan

esophagus.

E. Pipa trakea (endotracheal tube)

Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya

dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat

dimasukan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung

(nasotracheal tube).

F. Laringoskopi dan intubasi

Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru.

Laringoskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring

secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan

baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:

1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa

2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.

Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka

maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi

menjadi 4 gradasi.

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle

20

Page 21: Laporan Kasus GA

1 + + +

2 - + +

3 - - +

4 - - -

Tabel. Mallampati Score

Indikasi intubasi trakea

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam

trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira

dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi

sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:

1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan

sekret jalan napas, dan lain-lainnya.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan

efisien, ventilasi jangka panjang.

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Kesulitan intubasi

1. Leher pendek berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tak terlihat

5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

6. Gerak vertebra servikal terbatas

Komplikasi intubasi

1. Selama intubasi

a. Trauma gigi geligi

b. Laserasi bibir, gusi, laring

c. Merangsang saraf simpatis

21

Page 22: Laporan Kasus GA

d. Intubasi bronkus

e. Intubasi esophagus

f. Aspirasi

g. Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasi

a. Spasme laring

b. Aspirasi

c. Gangguan fonasi

d. Edema glottis-subglotis

e. Infeksi laring, faring, trakea

Ekstubasi

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:

a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan

b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi

2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan

dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.

3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret

dan cairan lainnya.

22

Page 23: Laporan Kasus GA

BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasakan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien dikategorikan ASA II

yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan yang tidak menganggu aktivitas

(HbsAg). Persiapan yang dilakukan sebelum operasi yaitu memastikan pasien

dalam keadaan baik, memastikan kelancaran infus dan puasa selama 8 jam

sebelum operasi. Menjelang operasi pasien tamak dalam keadaan tampak sakit

sedang dan kesadaran compos mentis. Jenis anastesi yang digunakan adalah

general anastesi dengan intubasi ETT no 7. Berdasarkan anamensis, pemeriksaan

fisik dan penunjang pasien didiagnosis fraktur metacarpal sinistra.

Sebelum operasi dimulai pasien dipersiapkan terlebih dahulu yaitu

memastikan infus berjalan lancar, karena obat obat anas tesi dimasukan melalui

jalur intravena, alat monitoring dipasang agar dapat memantau tanda tanda vital

pasien serta saturasi pasien dipantau agar mengentahu suplai oksigen pasien dan

memastikan pasien dalam keadaan tenang dan kooperasif.

Sebelum operasi dimulai pasien di berikan Ondansentron 4mg IV bolus. Hal

ini bertujuan agar pasien tidak mengalami mual dan muntah karena obat obat anas

tesi dapat merangsang mual dan muntah. Obat ini merupakan antagonis reseptor

serotonin 5 – HT 3 selektif. Serotonin 5-hydroxytriptamine merupakan zat yang

akan dilepaskan jika terdapat toksin dalam saluran cerna, berkiatan dengan

reseptornya dana kan merangsang saraf vagus menyampaikan rangsangan ke

Chemoreseptor Trigger Zone dan pusat muntah dan kemudian terjadi mual dan

muntah.

Kemudian dilakukan induksi anestesi pada pasien dengan menggunakan obat

Fentanyl 150ug dan Propofol 150 mg. Propofol merupakan hipnotik murni, tidak

mempunyai efek analgetik maupun relaksasi otot. Dosis untuk induksi

2-2,5mg/kg, dosis untuk rumatan untuk anastesia intravena total 4-12mg/kg/jam

dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Fentanyl merupakan obat

narkotik sintetik yang paling banyak digunakan dalam anestesi, memiliki potensi

23

Page 24: Laporan Kasus GA

1000 kali lebih kuat dibandingkan dengan petidin dan 50-100 kali lebih kuat dari

morfin. Fentanyl termasuk kedalam golongan opioid yang tidak menganggu

sistem kardiovaskular sehingga dapat digunakan untuk induksi pasien dengan

kelainan jantung. Untuk induksi menggunakan fentanyl dosis induksi 20-50

mg/kg dan dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. Fentanyl bersifat

depresan terhadap susunan saraf pusat sehingga menurunkan kesadaran pasien.

Untuk maintenance, pasien diberikan gas N2O dan Isofluran. Gas N2O

merupakan memiliki sifat anestetik lemah, tetapi sifat analgesinya kuat.

Pemberian gas N2O juga harus disertai dengan pemberian oksigen murni.

Isofluran merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau subanestetik

menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meningkatkan aliran

darah otak dan tekanan intrakranial. Efek depresi jantung dan curah jantung gas

ini minimal, sehingga sering digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.

Selama operasi, kondisi pasien stabil dan dilakukan penggantian cairan infus

RL sebanyak 2 kali, lama operasi berlangsung kurang lebih 35 menit. Setelah

operasi selesai, kondisi pasien stabil dan pasien dipindahkan ke ruang pemulihan

(RR).

24

Page 25: Laporan Kasus GA

DAFTAR PUSTAKA

1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.

Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.

2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi

Intensif, FKUI. Jakarta: CV Infomedia.

3. Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. Clinical Anesthesia

5th edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p.801-65.

4. Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Ilmu Anestesi

dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta. 2010. p.49-65.

5. Latief, Said A.; Suryadi, Kartini A,; Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk

Praktis Anestesiologi Edisi 3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia.

2007. p.48-53.

6. Aitkenhead, Alan R.; Rowbotham, David J.; Smith, Graham. Textbook of

Anesthesia 4th edition. London : Churchill Livingstone. 2001. p.152-63.

25