laporan inovasi aplikasi 2
DESCRIPTION
Inovasi Aplikasi Teori KeperawatanTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bayi yang baru lahir akan mengalami berbagai macam perubahan yang
didapatkan di luar uterus. Perbedaan antara kondisi intrauterine dan
ekstrauterine membuat bayi harus berusaha beradaptasi dengan hal tersebut.
Proses adaptasi ini akan menjadi lebih sulit pada bayi risiko tinggi seperti bayi
prematur. Bayi prematur adalah kelahiran bayi kurang dari 37 minggu usia
kehamilan. World Health Organization (WHO) memperkirakan 15 juta bayi
lahir prematur setiap tahun atau lebih dari 1:10 kelahiran. Tingkat kelahiran
prematur berkisar dari 5% sampai 18% dari bayi yang lahir. Data indonesia
tahun 2012 tercatat sekitar 675.700 atau 15.5 per 100 kelahiran. Indonesia
menempati peringkat kelima dunia negara dengan jumlah bayi prematur
terbanyak di dunia. Prematuritas adalah penyebab utama kematian pada anak
di bawah usia 5 tahun (WHO, 2015).
Kematian bayi prematur disebabkan sebagian besar organ tubuh yang belum
matang dalam melakukan adaptasi terhadap lingkungan ekstrauterine.
Imaturitas organ bayi antara lain fungsi metabolisme, ginjal, hati, imunologik,
hematologik dan sistem saraf. Bayi prematur secara umum belum mempunyai
kematangan dalam sistem pertahanan tubuh untuk beradaptasi dengan
lingkungan (Prasanna & Radhika, 2013 ; Chapman & Durham, 2010).
Lingkungan yang tidak bersahabat dapat menyebabkan bayi stres. Stres
tersebut bersumber dari kebisingan yang ditimbulkan oleh inkubator,
ventilator, peralatan monitoring, percakapan para staf diruang perawatan, dan
pencahayaan ruang perawatan serta prosedur invasif; seperti pengambilan
sampel darah, pergantian popok, kegiatan membuka dan menutup inkubator
(Indriansari, 2011).
Menurut Wong et al (2009) neonatus prematur sangat sensitif terhadap
rangsang-rangsang yang dapat menimbulkan stress. Bayi prematur belum
1
mampu mengatasi dan beradaptasi dengan stress lingkungan. Stress
lingkungan umumnya berasal dari adanya perubahan drastis yang menjadi
ancaman bayi seperti kondisi suhu udara, sinar yang terang, kebisingan
lingkungan yang sangat berbeda dengan kondisi intrauterine atau rangsang
lain yang menimbulkan nyeri. Hal ini disebabkan karena immaturitas sistem
syaraf dan kurang stabilnya fisiologis bayi.
Model adaptasi Roy menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk
biopsikososial sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam memenuhi
kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan yang kompleks,
sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi. Penggunaan koping atau
mekanisme pertahanan diri, adalah berespon melakukan peran dan fungsi
secara optimal untuk memelihara integritas diri dari keadaan rentang sehat
sakit dari keadaan lingkungan sekitarnya. Dasar teori ini adalah memandang
individu sebagai suatu sistem yang adaptif. Dikatakan adaptif karena individu
secara terus menerus akan berinteraksi dengan stimulus lingkungan baik dari
lingkungan internal maupun dengan lingkungan eksternal (Alligood & Tomey,
2006).
Melihat banyaknya dampak dari stress adaptasi terhadap lingkungan yang
dihadapi bayi prematur dari intrauterine ke ekstrauterine, maka
dikembangkanlah metode developmental care atau asuhan perkembangan
yang bertujuan untuk memfasilitasi perkembangan bayi secara normal dan
memfasilitasi keterikatan antara bayi dan ibu (Rustina, 2015). Developmental
care adalah asuhan yang memfasilitasi perkembangan bayi melalui
pengelolaan lingkungan perawatan dan observasi perilaku sehingga bayi
mendapatkan stimulus yang adekuat (Symington & Panelli, 2004). Intervensi
yang mendukung developmental care (asuhan perkembangan) meliputi:
menurunkan kebisingan, mengurangi cahaya, minimal sentuhan (touching),
positioning, manajemen nyeri, beri bayi minum (feeding), nesting (Rustina,
2015).
2
Hasil analisis data diperoleh jumlah rerata bayi yang dirawat di ruang Seruni
Rumah Sakit Anak Bunda Harapan Kita (RSAB Harapan Kita) sebanyak 70-
75 bayi per bulan, yang sebagian besar adalah bayi prematur. Namun
pelaksanaan asuhan perkembangan oleh perawat masih kurang karena belum
adanya kebijakan, aturan, atau panduan tertulis tentang asuhan perkembangan
diruangan. Menurut Prasanna & Radhika (2013); Chapman & Durham (2010)
Stimulasi perkembangan pada prematur perlu diperhatikan untuk peningkatan
neurofisiologis dan pertumbuhannya. Hal inilah yang mendasari keputusan
dalam menentukan prioritas masalah proyek inovasi. Proyek inovasi ini
mencoba untuk menggali respon adaptasi bayi prematur yang dirawat di
ruangan perinatologi berdasarkan pendekatan model teori adaptasi yang
dikembangkan oleh Sister Callista Roy, dengan mengaplikasikan teori
adaptasi Sister Callista Roy pada Panduan Asuhan Keperawatan (PAK)
tentang asuhan perkembangan di ruang Seruni RSAB Harapan Kita tahun
2015.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu melaksanakan
asuhan perkembangan (developmental care) sesuai dengan Panduan
Asuhan Keperawatan (PAK).
1.2.2 Tujuan khusus
1.2.2.1 Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu memahami
konsep asuhan perkembangan sesuai dengan Panduan Asuhan
Keperawatan (PAK).
1.2.2.2 Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu
melaksanakan asuhan perkembangan sesuai dengan Panduan
Asuhan Keperawatan (PAK).
1.2.2.3 Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita mampu melakukan
evaluasi/verifikasi terhadap Panduan Asuhan Keperawatan
(PAK) tentang asuhan perkembangan (developmental care).
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori Sister Callista Roy
2.1.1 Latar Belakang Dasar Pengembangan Model adaptasi Roy
Dasar teori ini adalah memandang individu sebagai suatu sistem yang
adaptif. Dikatakan adaptif karena individu secara terus menerus akan
berinteraksi dengan stimulus lingkungan baik dari lingkungan internal
maupun dengan lingkungan eksternal (Alligood & Tomey, 2006).
Melalui teori ini Roy mencoba memahami proses adaptasi individu
terhadap situasi kehidupan mereka yang sangat bervariasi (Roy &
Andrew, 1999). Dalam interaksinya dengan stimulus lingkungan secara
terus menerus, individu pada akhirnya akan memberikan respon
terhadap stimulus tersebut dan proses adaptasi pun terjadi. Respon
individu terhadap stimulus lingkungan dapat berupa respon adaptif
ataupun respon yang inefektif. Respon adaptif merupakan respon yang
dapat meningkatkan integritas dan membantu individu untuk mencapai
tujuan dari adaptasi sendiri, seperti bertahan hidup, tumbuh,
berreproduksi, penguasaan dan perubahan pada individu maupun
lingkungan. Sebaliknya, respon inefektif dapat menggagalkan atau
mengancam tujuan adaptasi (Alligood & Tomey, 2010).
2.1.2 Konsep Model Adaptasi Roy
Model Adaptasi dari Roy ini dipublikasikan pertama pada tahun 1970
dengan asumsi dasar model teori ini adalah:
1. Setiap orang selalu menggunakan koping yang bersifat positif
maupun negatif. Kemampuan beradaptasi seseorang dipengaruhi
oleh tiga komponen yaitu; penyebab utama terjadinya perubahan,
terjadinya perubahan dan pengalaman beradaptasi.
2. Individu selalu berada dalam rentang sehat – sakit, yang
berhubungan erat dengan keefektifan koping yang dilakukan untuk
memelihara kemampuan adaptasi.
4
Roy mengidentifikasi 3 tipe stimulus lingkungan yaitu fokal,
kontekstual dan residual yang dianggap sebagai kekuatan yang
mempengaruhi individu secara langsung. Menurut Fawcet (2009):
1. Stimulus fokal merupakan satu – satunya faktor yang langsung
mempengaruhi individu.
2. Stimulus kontekstual adalah stimulus lain yang berkontribusi
langsung pada respon individu.
3. Stimulus residual merupakan faktor yang tidak diketahui yang dapat
mempengaruhi individu.
Stimulus lingkungan secara langsung berhubungan dengan proses
koping, namun dapat secara langsung ataupun tidak langsung
berhubungan dengan modus adaptasi. Hubungan langsung antara
stimulus lingkungan dengan modus adaptasi dimediasi oleh proses
koping. Individu menggunakan 2 proses koping dalam menapis
stimulus lingkungan dimana proses tersebut adalah regulator dan
kognator. Proses koping regulator menekankan pada sistem syaraf,
kimiawi dan endokrin yang memproses stimulus secara otomatis dan
tidak disadari. Proses koping kognator menekankan pada jalur kognitif
emotif dalam memproses stimulus, memproses informasi/
mempersepsikan, belajar, mempertimbangkan dan emosi (Fawcet,
2009).
Roy menjelaskan bahwa proses regulator dan kognator tidak dapat
diamati secara langsung akan tetapi respon perilaku dari 2 sistem
tersebut dapat diamati secara langsung melalui 4 modus adaptasi yang
antara lain adalah fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdependen. Keempat modus adaptasi ini saling berhubungan melalui
persepsi. Adanya respon yang adaptif ataupun respon yang inefektif
pada satu modus akan mempengaruhi proses adaptasi pada modus
lainnya (Alligood & Tomey, 2006).
5
Modus adaptasi fisiologis merupakan cara individu berinteraksi dengan
lingkungan melalui proses fisiologis sehingga individu dapat memenuhi
kebutuhan dasar mereka yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas
dan istirahat serta perlindungan. Pencapaian integritas fisiologis
merupakan respon adaptif pada modus adapatif (Alligood & Tomey,
2006). Modus adaptasi konsep diri didasari pada kebutuhan psikologis
dan spiritual, kebutuhan dalam memahami individu sebagai makhluk
yang utuh.
Terdapat dua respon adaptasi yang dinyatakan Roy yaitu:
1. Respon yang adaptif dimana terminologinya adalah manusia dapat
mencapai tujuan atau keseimbangan sistem tubuh manusia.
2. Respon yang tidak adaptif dimana manusia tidak dapat mengontrol
dari terminologi keseimbangan sistem tubuh manusia, atau tidak
dapat mencapai tujuan yang akan diraih.
Respon tersebut selain menjadi hasil dari proses adaptasi
selanjutnya akan juga menjadi umpan balik terhadap stimuli adaptasi.
6
Bagan 1 Model Adaptasi Roy
Input
Proses kontrol
Affector
Output
Bagan 2 Aplikasi Model Adaptasi Roy terhadap Developmental Care
7
BAYI PREMATUR
Imaturitas sistem respirasiImaturitas sistem kardiovaskulerImaturitas sistem termoregulasiImaturitas sistem gastrointestinalImaturitas sistem renalImaturitas sistem hepatik hematologiImaturitas sistem imunologi
Adaptasi intrauterine dengan lingkungan ekstrauterin (faktor lingkungan):suhu, suara, cahaya dan sentuhan
Stres fisiologis pada bayi prematur
DEVELOPMENTAL CARE
Respon adaptif:Pengurangan stres dan nyeriKonservasi energi dan mempercepat pemulihanMeningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan.Membantu menstimulasi perilaku pada setiap tahap kematangan perkembangan saraf.
2.2 Developmental Care
2.2.1 Definisi
Asuhan perkembangan (developmental care) merupakan asuhan individual
dengan cara mengurangi gangguan dan manipulasi pada bayi yang dilakukan
oleh pemberi asuhan dalam upaya menurunkan stres pada bayi. Penekanan
asuhan perkembangan pada minimalisasi penggunaan energi bayi dan
menurunkan stres serta mencegah komplikasi (Rustina, 2015).
Developmental care disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan toleransi
pada setiap bayi. Selama stadium awal perkembangan (terutama usia gestasi
33 minggu), rangsangan akan menghasilkan aktifitas acak, tidak
terkoordinasi, seperti ekstensi, ekstensi tungkai, hiperfleksi, dan tanda vital
yang tidak teratur. Pada tahap ini bayi perlu mendapatkan rangsangan
lingkungan minimal seperti penanganan dengan gerakan perlahan, terkontrol,
dan gerakan acak mereka dikontrol dengan anggota badan dipegang
mendekati tubuhnya selama memutar atau berubah posisi (Hockenberry &
Wilson, 2009). Pelaksanaan developmental care didasarkan pada teori bahwa
perubahan otak janin terjadi pada minggu-minggu terakhir kehamilan.
Perkembangan otak bayi in utero terhenti ketika bayi dilahirkan prematur
(Horner, 2010).
2.2.2 Tujuan
Adapun tujuan developmental care yaitu :
Bagi bayi:
a. Pengurangan stres dan nyeri
b. Konservasi energi dan mempercepat pemulihan
c. Meningkatkan pertumbuhan dan kesejahteraan
d. Membantu menstimulasi perilaku pada setiap tahap kematangan
perkembangan saraf
8
Bagi orang tua:
a. Mendorong dan memberikan support pada orang tua dalam peran
pengasuh utama
b. Meningkatkan kesejahteraan keluarga baik secara emosional maupun
sosial
2.3 Tindakan yang mendukung Developmental Care
Memfasilitasi tidur
Memfasilitasi tidur merupakan hal penting dalam developmental care karena
tidur merupakan kebutuhan dasar manusia (Coughlin et al, 2009). Periode
tidur tidak boleh diganggu minimal selama 50 menit untuk memungkinkan
siklus tidur yang komplit (Hockenberry & Wilson, 2009). Gangguan pada
siklus tidur secara signifikan berhubungan dengan proses awal perkembangan
sensori. Terdapat bukti bahwa pertumbuhan didukung oleh kualitas tidur pada
awal perkembangan otak bayi. Hubungan kejadian antara fase tidur aktif
(Rapid Eye Movement-REM) dan fase tidur tenang (Non-REM) memiliki
batasan dalam kemampuan otak untuk menstimulasi sel saraf terhadap
berbagai pengalaman sensori. Pada usia 28-30 minggu biasanya bayi selalu
berada pada fase tidur, dengan 80-90% pada fase tidur aktif (REM) (Jenkins
et al, 2014).
2.4 Komponen Developmental Care (Altimier, Leslie; Phillips, 2013; Dulson,
2014) :
1. Pengurangan Kebisingan
2. Pengurangan Cahaya
3. Positioning
4. Minimal Handling
5. Family-centered care (Kangaroo Care)
6. Minimalisir Stres dan Nyeri
7. Feeding9
1. PENGURANGAN KEBISINGAN
Suara nyaring mempengaruhi perkembangan sistem pendengaran dan
mengganggu istirahat bayi. Selain itu, suara yang terlalu bising dapat
meningkatkan kelelahan pada bayi, status tidur terjaga bayi menjadi terganggu,
meningkatkan frekuensi jantung, meningkatkan tekanan intrakranial,
menimbulkan episode hipoksia dan bayi menjadi agitasi. Lingkungan yang
tenang bagi bayi memiliki rata-rata derajat kebisingan 45dB, dengan suara
yang masih ditolerir maksimal 65dB.
Segera setelah lahir, bayi dihadapkan pada lingkungan yang bising yang
mempunyai derajat kebisingan sekitar 70-80 dB. Beberapa alat kesehatan yang
menyumbangkan berbagai tingkatan kebisingan, seperti: 1) Pompa infus (IV
Pump) 60-78 dB; 2) Ketukan jari pada inkubator 70 – 95 dB; 3) Gelembung
dalam ventilator atau selang 62 – 87 dB; 4) Menutup pintu inkubator 80 – 111
dB; 5) Pulse oxymeter alarm 86 dB.
Intervensi perawatan untuk membantu mengurangi kebisingan:
1. Pendidikan bagi staf perawatan dan orang tua tentang efek suara dan
kebutuhan untuk tenang bagi bayi.
2. Audit secara reguler terkait tingkat kebisingan pada hari yang berbeda,
ronde bangsal dan handover, berikan umpan balik untuk staf / orang tua
3. Bicaralah dengan suara pelan
4. Tutup pintu inkubator lembut
5. Hindari menempatkan benda di atas inkubator
6. Cepat berespon terhadap bunyi alarm (Matikan Alarm)
7. Atur bunyi alarm dan telepon pada tingkat suara yang rendah
8. Tidak ada radio di ruangan
10
9. Pertimbangkan pemakaian sarung telinga selama prosedur yang terlalu
berisik
Keterangan:
1. Direkomendasikan dukungan suara antara orang tua dan bayi secara dini.
Bayi memiliki kesempatan untuk mendengar suara orang tua mereka.
2. Kebisingan mengganggu tidur yang penting untuk pertumbuhan dan
perkembangan bayi.
3. Tingkat kebisingan yang tinggi dapat menimbulkan stres bagi bayi, orang
tua dan staf.
4. Awal kerusakan koklea pada orang dewasa adalah pada suara dengan
tingkat kebisingan 80dB. Koklea pada bayi prematur lebih sensitif
dibanding orang dewasa.
5. Perkembangan fungsi pendengaran berkembang pada usia kehamilan 27
minggu
2. PENGURANGAN CAHAYA
Panduan pemberian cahaya :
1. Cahaya diukur dalam tingkat 'Lux' menggunakan lightmeter. Pencahayaan
sekitarnya harus bervariasi dari 10- 600 lux.
2. Tingkat pencahayaan harus disesuaikan, memungkinkan peredupan dan
peningkatan tingkat untuk praktek kerja yang aman dan prosedural.
3. Bertujuan untuk menjaga tingkat pencahayaan rendah (300 lux)
Intervensi perawatan untuk membantu mengatur cahaya:
1. Melindungi bayi dari cahaya di bawah 25 lux sampai usia koreksi
kehamilan 32/34 minggu. Penutup inkubator atau kanopi dengan cot
terbuka.
11
2. Pada usia 32 minggu mulai memperkenalkan paparan cahaya tingkat
sedang 2 jam per hari. Tetap menggunakan penutup dan melindungi bayi
dari paparan lampu terang atau sinar matahari.
3. Secara bertahap meningkatkan pencahayaan pada usia 35-37 usia koreksi
kehamilan.
4. Lindungi bayi dari pencahayaan yang terfokus pada prosedur medis dan
pemeriksaan. Hindari penggunaan lampu penghangat yang cahayanya
disorotkan langsung ke muka bayi karena bayi akan selalu menutup
matanya karena silau.
5. Bisa menggunakan penutup mata atau tangan pengasuh.
6. Hindari menempatkan gambar yang sangat kontras pada bayi
7. Beritahukan kepada orang tua bahwa bayi mulai mengikuti garis wajah
mereka pada usia 33/34 minggu
Keterangan:
1. Refleks pupil belum efektif sebelum usia 32 minggu, bayi tidak dapat
menyesuaikan diri dengan cahaya terang. Cahaya yang terlalu terang dapat
merusak kemampuan melihat bayi. Tingkat cahaya yang lebih tinggi dapat
mengganggu siklus tidur bayi.
2. Bayi yang belum lahir menganggap cahaya sebagai rangkaian bayangan
abu-abu melalui dinding abdomen ibu. Setelah melahirkan persepsi visual
bayi berkembang lebih jauh karena mereka mengalami siklus cahaya dan
stimulasi visual lainnya. Bayi perlu secara bertahap menjadi terbiasa
dengan perubahan malam / siang, transisi normal pola tidur waktu malam.
3. Cahaya di ruang rawat bayi dapat berasal dari berbagai sumber,
diantaranya lampu tindakan dan fototerapi. Kedua sumber ini
memproduksi 300 – 400 footcandle (ftc). Sumber pencahayaan ini sangat
mengganggu karena melebihi dari cahaya yang dianjurkan oleh American
Academy of Pediatric yaitu 60 ftc.
3. DUKUNGAN POSISI (POSITIONING)
Bayi harus didukung dalam posisi nyaman yang membantu melindungi postur dan
perkembangan mereka, organisasi perilaku dan stabilitas kebutuhan mereka yang
12
akan berubah tergantung pada usia bayi (Iii, Mazoti, Barreto, Estadual, & Paraná,
2015) :
1. Supinasi
Yang dilakukan dengan memfleksikan ekstremitas bagian bawah Posisi supine
dengan posisi lurus direkomendasikan selama beberapa hari pertama kehidupan
untuk mencegah obstruksi fungsi saluran vena serebral dan mencegah
peningkatan aliran darah otak.
2. Posisi miring (side lying)
Yang dilakukan dengan memposisikan bayi ke salah satu sisi dengan
memfleksikan tangan dan kaki sehingga berada ditengah-tengah tubuh. Side-
lying mengurangi efek perpanjangan gravitasi, memfasilitasi orientasi midline
pada kepala dan ekstremitas, dan menganjurkan aktifitas tangan ke tangan,
tangan ke mulut, atau tangan ke wajah.
3. Posisi prone
Dengan menelungkupkan bayi dimana ekstremitas bagian bawah fleksi dan
kepala dimiringkan ke salah satu sisi. Mendukung kepala bayi pada bantal gel
dan posisi kepala alternatif antara sisi kiri dan kanan mungkin dapat
mengurangi penekanan samping tempurung kepala.
Intervensi perawatan untuk memberikan dukungan posisi:
1. Bayi kurang dari 34 minggu harus diberi nesting, yang bertujuan untuk
memberikan penahanan dan mendukung pembatasan bayi. Sebuah bantal
gel juga dapat digunakan. Bantal gel harus digunakan untuk semua bayi
sampai mereka telah mampu mengontrol kepala untuk menjaga kepala
mereka di garis tengah dan mampu terlentang tanpa dukungan.
2. Bayi yang lebih tua tidak mampu untuk mempertahankan atau mengubah
posisi kepala mereka, karena adanya ketidakstabilan juga akan
mendapatkan keuntungan dari penggunaan bantal gel yang sesuai.
3. Pada bayi usia 35 minggu, sebagian besar bayi mempunyai kematangan
terkait otot dan gerakan spontan untuk menjaga postur pada garis tengah
tanpa memerlukan adanya positioning.
13
4. Dukungan posisi bagi mereka memberikan kesempatan untuk belajar
sendiri melalui gerakan spontan. Oleh karena itu, positioning dapat secara
bertahap dikurangi seiring bertambahnya usia bayi kemudian dihapus.
5. Bayi akan secara bertahap dipersiapkan untuk tidur terlentang sejalan
dengan dimulai usia 35 -37 minggu dan seterusnya.
6. Bayi tidak seharusnya diberi bantuan posisi ketika di rumah kecuali bayi
tersebut ada indikasi medis dan masih dalam perawatan.
Keterangan:
1. Bayi prematur memiliki otot yang lemah, sering tersentak dan belum mampu
mengontrol pergerakan kepala. Gerakan ini membuat sulit bagi bayi untuk
mengontrol gerakan untuk melawan gravitasi. Postur ini tergantung pada
perawat yang memberikan dukungan posisi. Bayi prematur rentan terhadap
ketidakseimbangan jaringan lunak dan deformitas tulang, misalnya abduksi
panggul dan plagiosefali.
2. Positioning mendukung stabilitas otonom, perilaku (termasuk status dan pola
tidur) serta pengembangan muskuloskeletal bayi.
3. Posisi yang tidak tepat dapat menyebabkan ketidaknyamanan, kontraktur
jaringan lunak dan ketidakseimbangan otot.
4. Posisi fleksi membantu suhu tubuh bayi stabil dan konservasi energi,
sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan dan berat badan bayi.
5. Positioning dapat mendukung tidur bayi.
4. MINIMAL HANDLING
Intervensi handling harus disesuaikan sebagai observasi isyarat perilaku bayi
dan respon fisiologis.
Intervensi perawatan untuk memberikan dukungan sentuhan:
1. Sebelum intervensi sentuhan, persiapkan kebutuhan terkait lingkungan
(cahaya dan suara)
14
2. Libatkan orang tua dan bimbing mereka untuk mulai mengenali pola perilaku
bayi mereka, dan kemudian dapat membantu untuk memberikan pengetahuan
tentang apa yang bayi mereka merespon / tidak suka.
3. Amati tidur bayi, stabilitas status fisiologis dan isyarat.
4. Sentuhan positif dan lembut, biarkan bayi tahu kapan intervensi yang akan
terjadi dan selesai. Pijat bayi tidak direkomendasikan pada bayi prematur
tetapi pada bayi matur.
5. Dukung dan ajarkan orang tua memberikan sentuhan positif dan memegang
yang nyaman.
6. Pindahkan dan ubah posisi bayi perlahan-lahan. Hindari gerakan membalik
bayi tiba-tiba karena akan merangsang refleks kejut dan postur ekstensor
Keterangan:
1. Handling yang tidak tepat dapat menyebabkan rasa sakit, stres,
ketidakstabilan fisiologis; kurangnya pengontrolan suhu, pola tidur
terganggu, mempengaruhi status bayi.
2. Kepercayaan diri orangtua dapat berkurang jika bayi mereka terus
menunjukkan tanda-tanda stres ketika mereka menyentuh bayinya. Partisipasi
awal orang tua memungkinkan mereka untuk belajar mengenali dan
menanggapi isyarat perilaku bayi mereka dan membantu mempromosikan
kepercayaan diri mereka juga mendukung hubungan orangtua dan bayi.
3. Bayi prematur sering membutuhkan beberapa intervensi lebih dari 24 jam,
yang dapat mengakibatkan peningkatan stabilitas dan respon stres fisiologis.
Mengakui dan menanggapi isyarat bayi secara tepat dapat membantu
meminimalkan respon stres / rasa sakit bayi.
5. PERAWATAN KANGURU
Perawatan Kanguru (Kangaroo Care) merupakan intervensi perawatan dimana
kulit bayi kontak dengan orang tua dalam posisi pronasi tegak pada dada orang
tua. Bayi ditutupi selimut atau tertutup dalam pakaian orang tua untuk menjaga
stabilitas suhu. Kangaroo Care harus dipertimbangkan untuk semua bayi.
Orang tua harus didorong dan didukung untuk memiliki bayi mereka dalam
posisi kanguru secara teratur dan konsisten. Ini tergantung pada stabilitas bayi
15
dan ketersediaan tenaga perawat untuk mendukung perawatan metode kanguru
yang aman.
Intervensi untuk memberikan dukungan perawatan metode kanguru:
1. Orang tua harus didorong dan didukung untuk melakukan perawatan kanguru
bagi bayi mereka. Idealnya minimal 60 menit setiap kali, untuk mencapai
manfaat maksimal. Kangaroo Care dapat dikurangi ketika bayi menunjukkan
tanda-tanda ketidakstabilan, distress atau orang tua ingin menghentikannya.
2. Orang tua akan diberikan informasi yang menjelaskan manfaat, persiapan
dalam melakukan perawatan kanguru. Orang tua juga perlu
mempertimbangkan kenyamanan mereka sendiri saat dalam posisi untuk
perawatan kanguru lebih dari satu jam. Oleh karena itu disarankan pada orang
tua untuk memakai pakaian yang nyaman. Perawatan kanguru juga perlu
menjadi pengalaman ikatan positif bagi orang tua
3. Direkomendasikan bagi semua bayi yang stabil secara medis, termasuk mereka
yang menerima bantuan pernafasan. Ketersediaan tenaga perawat akan perlu
dipertimbangkan untuk memastikan transfer aman pada bayi yang menerima
bantuan pernafasan
4. Waktu dan frekuensi perawatan kanguru harus dicatat
5. Pemberian makan pada bayi boleh dilakukan saat melakukan metode kanguru
Keterangan:
Perawatan kanguru terbukti meningkatkan oksigenasi, menurunkan resiko apnea
dan meningkatkan stabilitas otonomi dibandingkan standar perawatan inkubator.
Studi menunjukkan terdapat efek positif perawatan kanguru terhadap peningkatan
laktasi dan meningkatkan kepercayaan diri orang tua.
6. MINIMALISIR STRES DAN NYERI
Nyeri yang terus menerus dapat memberikan konsekuensi yang serius dan
merugikan bagi bayi. Konsekuansi jangka pendek dari prosedur yang
menyakitkan adalah penurunan saturasi oksigen dan peningkatan denyut jantung
yang dapat meningkatkan kebutuhan sistem jantung dan paru-paru. Selain itu,
nyeri dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, dan meningkatkan
16
resiko perdarahan intraventrikular pada bayi prematur. Konsekuansi jangka
panjang dari prosedur menyakitkan yang berulang-ulang dapat menurunkan
sensitivitas terhadap nyeri pada masa kanak-kanak, insiden tertinggi pada keluhan
somatik, dan perubahan jangka panjang pada otak dan sumsum tulang belakang.
Keterangan:
1. Jalur nyeri dikembangkan pada usia akhir kehamilan, yang memungkinkan
janin untuk memahami rasa nyeri.
2. Bayi prematur dan bayi sakit sering mengalami prosedur yang menyakitkan
dan stres. Studi menunjukkan bahwa perkembangan otak dipengaruhi oleh stres
dan nyeri. Efek stres bisa lebih lama dari nyeri akut. Bayi prematur mengalami
antara 2 - 10 prosedur yang menyakitkan. Sulit untuk membedakan antara rasa
sakit dan stres pada bayi prematur karena respon perilaku mereka juga belum
matang.
3. Dukungan dalam meminimalkan nyeri dan stres dilakukan sebelum, selama
dan setelah prosedur selesai dengan bayi.
4. Nyeri dan respon stres harus dinilai dan dicatat.
5. Orang tua sebaiknya terlibat dalam perencanaan mengelola stres dan nyeri bayi
selama prosedur.
Intervensi perawatan untuk memberikan dukungan minimalisir stres dan
nyeri:
1. Diskusikan dengan orang tua. Tanyakan apa yang mereka amati yang dapat
membantu bayi mereka misalnya memegang, menggenggam jari, bicara
dengan lembut. Hal ini lebih relevan bagi bayi sehingga dari waktu ke waktu
orang tua belajar membaca isyarat dan tanggapan bayi mereka.
2. Timing - kapan waktu terbaik untuk bayi? Selalu mempertimbangkan
kebutuhan pengobatan. Cobalah sesuaikan dengan pola tidur bayi.
3. Lingkungan - meminimalkan paparan bayi dengan cahaya terang dan
mengurangi tingkat kebisingan.
4. Kenyamanan - menyediakan “nesting” dan mendukung posisi fleksi
17
5. Memfasilitasi Non Nutritive Sucking (NNS) pada bayi – sebelum, selama dan
setelah intervensi. Dapat dikombinasikan dengan Sukrosa atau EBM
6. Gunakan sentuhan positif - persiapan dan dukungan pada bayi selama prosedur
7. Memfasilitasi bayi untuk kenyamanan diri - hands to face/grasping / able to
brace feet.
8. Menilai perilaku / stabilitas / postur bayi sebelum dan pada saat penyelesaian
prosedur atau perawatan.
7. FEEDING
Perawatan bayi prematur atau bayi resiko tinggi memiliki tiga kriteria yang
menggambarkan stabilitas bayi prematur, yaitu: stabilitas status
cardiorespiratory, peningkatan berat badan yang konsisten, keberhasilan
pemberian makanan melalui botol/bottle-feeding (meskipun ibu berniat untuk
menyusui bayi). Keberhasilan pemberian makan merupakan implikasi dari
bonding antara orang tua-anak. Masalah pemberian makan pada bayi prematur
merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan.
Kemampuan bayi untuk berhasil melakukan oral-feeding melalui menyusui
langsung atau menggunakan botol sangat tergantung pada pada tingkat
perkembangan struktur dan fungsi saluran cerna serta kapasitas mulut bayi.
Berikut adalah tujuh kelainan yang dapat menggangu atau memperlambat
keberhasilan transisi oral-feeding yaitu: 1) ketidakmatangan koordinasi
menghisap-menelan-bernafas, 2) tidak ada atau lemahnya refleks batuk dan
muntah, 3) lambatnya pengosongan lambung, 4) menurunnya motilitas usus, 5)
tidak berfungsinya katup ileosekal, 6) tidak berfungsinya spingter
gastroesophangeal, 7) terganggunya reflex rektosphingterik.
a. Enteral Feeding
Pemberian makan enteral minimal adalah pemberian makan segera kepada
bayi prematur pada beberapa hari kehidupan untuk menunggu stabilitas
fisiologis bayi. Pemberian makan minimal dalam jumlah kecil hanya 0,1
sampai 4 ml, seringnya susu formula preterm atau ASI, frekuensi
pemberian setiap 2-3 jam, sejak hari ketiga atau ketujuh setelah lahir dan
sering diberikan melalui oral gastric tube (Kenner & McGrath, 2004;
18
Hockenberry & Wilson, 2009). Hidrasi parenteral dan nutrisi dilanjutkan
sampai bayi mampu menoleransi sejumlah makanan enteral yang
mencukupi untuk pertumbuhan.
Enteral feeding terbukti merangsang saluran gastrointestinal bayi,
mencegah atrofi mukosa dan selanjutnya menghindari kesulitan pemberian
makan enteral. Menurut Kenner & McGrath (2004) pemberian makanan
enteral minimal akan memberikan efek terhadap uptake leucine oleh
jaringan limfa yang merupakan indikator fisiologis kematangan saluran
cerna. Pemberian makan enteral minimal juga meningkatkan kematangan
jaringan limfa dan sintesa protein yang berfungsi untuk perlindungan pada
bayi prematur, bayi sakit dan mempercepat penyembuhan luka. Maturasi
saluran cerna sangat ditentukan oleh pemberian makan enteral minimal
terutama jika yang digunakan adalah ASI. ASI mengandung lemak yang
dapat meningkatkan fungsi sistem immunologi dan mengurangi infeksi.
ASI juga mengandung zat-zat nutrien seperti glutamate, threonine,
peptide, faktor-faktor pertumbuhan seperti glucagon mirip peptide (GLP-
2), dan hormon yang merangsang pertumbuhan saluran cerna, kematangan
dan kemampuan untuk mencerna nutrisi enteral (Kenner & McGrath,
2004).
b. Gavage Feeding
Pemberian makan melalui gavage merupakan cara aman untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi bayi yang usia gestasinya kurang dari 32 munggu atau
beratnya kurang dari 1500 gram. Bayi tersebut biasanya terlalu lemah
untuk menghisap dengan efektif, tidak mampu mengoordinasi reflek
menelan dan tidak memiliki refleks muntah.
Cara pemberian gavage feeding melalui dua cara yaitu Continuous dan
Bolus feeding. Continuous feeding menyebabkan lebih lamanya waktu
untuk mencapai enteral feeding yang penuh. Tidak ada perbedaan hari
bermakna untuk pertumbuhan maksimal dan kemungkinan terjadinya NEC
19
(Necrotizing enterocolitis). Intervensi keperawatan yang dilakukan selama
terpasang selang makanan adalah melakuan penkajian abdomen secara
konsisten , palpasi, auskultasi bising usus setiap 4 jam dan melakukan
aspirasi residual sebelum pemberian makanan.
c. Breastfeeding
Breastfeeding harus dihubungkan dengan ASI adalah makanan terbaik
untuk bayi. Breastfeeding juga dihubungkan dengan peningkatan sistem
imun, pertumbuhan saluran cerna, dan penurunan angka kesakitan.
Stabilitas denyut jantung dan pernafasan, saturasi oksigen juga
dihubungkan dengan breastfeeding.
BAB 3
PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1 PERSIAPAN
3.1.1 Observasi ruangan
1. Ruang Seruni memiliki ruang perawatan dengan kapasitas box
bayi 11 buah, inkubator 11 buah.
2. Jumlah bed side monitor lengkap 2 buah, dan monitoring SaO2 +
HR 4 buah.
3.1.2 Wawancara dengan perawat ruangan
1. Optimalisasi pelaksanaan asuhan perkembangan
2. Optimalisasi prosedur pemasangan nesting dan positioning
3.1.3 Analisa SWOT
3.1.3.1 Strengthen (kekuatan)
1. Tenaga perawat 35 orang, terdiri dari : S1 sejumlah 13
orang, DIII sejumlah 22 orang.
2. Tenaga pekarya sejumlah 6 orang, administrasi 1 orang.
3. Perawat ruangan memiliki sertifikat NICU sejumlah 17
orang, dan sertifikat resusitasi 2 orang.
20
4. Ruang Seruni terdiri dari ruang perawatan post NICU, level
II infeksi, level II non infeksi, isolasi, level I non infeksi,
ruang prematur.
5. BOR dalam rentang 80-90 % dengan rata rata 70-75 pasien
per bulan.
6. Kepala ruangan dan CI menyambut baik program inovasi.
7. Memiliki struktur organisasi yang jelas. Terdapat
pengaturan jadwal dinas pagi, siang, malam disesuaikan
dengan jumlah tingkat ketergantungan pasien setiap hari.
8. Perawat ruang Seruni RSAB Harapan Kita memiliki
motivasi untuk mengembangkan diri dalam meningkatkan
ilmu pengetahuan dan kompetensinya dibidang
keperawatan.
9. Perawat ruangan memiliki motivasi untuk meningkatkan
kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien
dan masyarakat yang lebih baik.
10.Setiap perawat memiliki logbook dengan target kompetensi
melakukan inovasi minimal 1 kali per bulan.
3.1.3.2 Weakness (Kelemahan)
1. Belum ada panduan asuhan keperawatan (PAK) tentang
asuhan perkembangan yang dapat digunakan sebagai
standar untuk melakukan tindakan.
2. Belum ada standar operasional prosedur (SOP) tentang
intervensi asuhan perkembangan yang dapat digunakan
sebagai standar untuk melakukan tindakan.
3. Belum ada kebijakan yang mengatur tentang pelaksanaan
asuhan perkembangan diruang Seruni RSAB Harapan Kita.
3.1.3.3 Opportunity (Peluang)
1. Meningkatnya kualitas pelayanan asuhan
keperawatan kepada masyarakat.
2. Pelayanan patient safety dapat terlaksana dengan baik
3. Meningkatnya tingkat kepuasan pasien dan masyarakat
21
4. Rumah Sakit pendidikan yang terus mengembangkan
asuhan keperawatan berdasarkan Evidence Based Practice
3.1.3.4 Threat (Ancaman)
1. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan
keperawatan semakin meningkat.
2. Banyak rumah sakit yang telah terakreditasi Undang-
undang perlindungan konsumen menuntut para petugas
kesehatan untuk melayani masyarakat secara profesional.
3. Meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap
pelayanan keperawatan.
3.1.4 Penetapan Masalah
Berdasarkan wawancara dengan Kepala ruangan yang dilakukan
didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Belum ada Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan
perkembangan yang dapat digunakan sebagai standar untuk
melakukan tindakan
2. Belum ada Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang intervensi
asuhan perkembangan yang dapat digunakan sebagai standar untuk
melakukan tindakan
3. Belum ada kebijakan yang mengatur tentang pelaksanaan asuhan
perkembangan diruang Seruni RSAB Harapan Kita
3.1.5 Strategi Penyelesaian Masalah
“Proyek inovasi aplikasi teori adaptasi Sister Callista Roy dengan
menggunakan Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan
perkembangan (Developmental care) di Ruang Seruni RSAB Harapan
Kita”
3.2 PELAKSANAAN
22
3.2.1 Sosialisasi aplikasi teori adaptasi Sister Callista Roy dengan
menggunakan Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan
perkembangan (Developmental care) di Ruang Seruni RSAB Harapan
Kita
3.2.2 Pembuatan Rancangan Panduan Asuhan Keperawatan (RPAK) tentang
asuhan perkembangan (Developmental care) di Ruang Seruni RSAB
Harapan Kita
3.3 EVALUASI
3.3.1 Sosialisasi aplikasi teori adaptasi Sister Callista Roy dengan
menggunakan Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan
perkembangan (Developmental care) di Ruang Seruni RSAB Harapan
Kita.
Evaluasi proses:
- Peran dan tugas mahasiswa sesuai dengan perencanaan
- Audien ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan meskipun kadang-
kadang ada perawat yang keluar dari diskusi untuk mengontrol
ruangan bayi
- Waktu yang direncanakan tidak sesuai dalam pelaksanaannya
dikarenakan adanya kegiatan rutin pagi hari seperti operan, pre
conference dan visit dokter
- Suasana yang mendukung
Evaluasi hasil:
Hasil disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Perawat Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan
dan Lama Bekerja di Ruang Seruni RSAB Harapan Kita
Desember 2015
( n= 15)
No Variabel N %
23
1 Jenis KelaminLaki –laki 0 0Perempuan 15 100
2 Umur< 30 tahun 4 26,730 – 40 tahun 5 33,3> 40 tahun 6 40
3 PendidikanD III 11 73,3S I 4 26,7
4 Lama Bekerja< 2 tahun 2 13.32-5 tahun 7 46,7> 5 tahun 6 40
Berdasarkan tabel 3.1 diketahui bahwa semua responden berjenis kelamin
perempuan 100%, sebagian besar perawat berusia > 40 tahun 40%, pendidikan
DIII 73,3 % dan lama bekerja > 5 tahun 40% .
Tabel 3.2 Distribusi Pengetahuan Perawat tentang Developmental Care sebelum
dan sesudah sosialisasi di Ruang Seruni RSAB Harapan Kita
Desember 2015
( n= 15)
KategoriPre sosialisasi Post sosialisasi
Min-Max Mean SD Min-
Max Mean SD
Pengetahuan 62-67 64,20 1,934 63-72 68,13 2,167
Berdasarkan tabel 3.2 diketahui bahwa rerata pengetahuan perawat tentang
developmental care sebelum sosialisasi 64,2, setelah sosialisasi 68,13.
24
BAB 4
PENUTUP
4.1 SIMPULAN
Model adaptasi Roy menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk
biopsikososial sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam memenuhi
kebutuhannya, manusia selalu dihadapkan berbagai persoalan yang
kompleks, sehingga dituntut untuk melakukan adaptasi. Penggunaan
koping atau mekanisme pertahanan diri, adalah berespon melakukan peran
dan fungsi secara optimal untuk memelihara integritas diri dari keadaan
rentang sehat sakit dari keadaan lingkungan sekitarnya. Dasar teori ini
adalah memandang individu sebagai suatu sistem yang adaptif. Dikatakan
adaptif karena individu secara terus menerus akan berinteraksi dengan
stimulus lingkungan baik dari lingkungan internal maupun dengan
lingkungan eksternal (Alligood & Tomey, 2006).
Developmental care adalah asuhan yang memfasilitasi perkembangan bayi
melalui pengelolaan lingkungan perawatan dan observasi perilaku
25
sehingga bayi mendapatkan stimulus yang adekuat (Symington & Panelli,
2004). Intervensi yang mendukung developmental care (asuhan
perkembangan) meliputi: menurunkan kebisingan, mengurangi cahaya,
minimal sentuhan (touching), positioning, manajemen nyeri, beri bayi
minum (feeding), nesting (Rustina, 2015).
Program inovasi aplikasi teori adaptasi Roy dengan menggunakan
Panduan Asuhan Keperawatan (PAK) tentang asuhan perkembangan
(Developmental care) di Ruang Seruni RSAB Harapan Kita memiliki
peluang efektif untuk diterapkan dalam asuhan keperawatan. setelah
program selesai dilaksanakan, perawat menunjukkan perubahan tingkat
pengetahuan tentang asuhan perkembangan sehingga dapat dijadikan
panduan dalam pemberian asuhan keperawatan.
4.2 Kekurangan dan Hambatan
1. Rancangan Panduan Asuhan Perkembangan belum diuji sesuai kondisi
di lapangan (Ruang Seruni RSAB Harapan Kita)
2. Optimalisasi waktu yang diberikan sehingga belum dapat diukur
kemanfaatan dari Rancangan PAP.
4.3 Rekomendasi
1. Rancangan PAP dapat diterapkan untuk mendukung asuhan
keperawatan di ruang neonatal
2. Kebijakan atau aturan yang dibuat untuk mendukung pelaksanaan
asuhan perkembangan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Altimier, Leslie & Phillips, R. M. (2013). The neonatal integrative developmental care model: seven neuroprotective core measures for family-centered developmental care. Newborn and Infant Nursing Reviews, 13(1), 9–22.
Basavanthappa. (2007). Nursing theories. New Delhi: Jaypee.
Coughlin, M. Gibbins, S., & Hoath, S (2009). Core Measure for developmentally supportive care in neonatal intensive care unit: Theory, precedence, and practice. Journal of Advanced Nursing, 65(10)2239-2248.
Chapman, L., & Durham, R.F. (2010). Maternal-newborn nursing : The critical component of nursing care. Philadelphia : Davis Company
Dulson, P. (2014). The Northern Neonatal Network Guideline for Family Centred Developmental Care, (February), 1–23.
George, J.B. (2002). Nursing theories: Base for professional nursing. (5th Ed). Pearson Education.
Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2009). Wong’s essentials of pediatric nursing (8th
ed). St. Louis: Mosby Inc.
Horner, S. (2010). Developmental care. Article of Neonatal Intensive Care Chicago Children’s Memorial Hospital. Retrieved from http://www.childrenmemorial.org/depts/neonatology/developmental.aspx
Iii, S. D., Mazoti, G., Barreto, S., Estadual, U., & Paraná, W. (2015). Validation of newborn positioning protocol in Intensive Care Unit, 68(6), 835–841.
Jenkins, D., Harigopal, S., Paterson, L., & Boyd, M. (2014). Guideline for family centred Developmental Care. Retrieved from Northern Neonatal Network website: www.nornet.org.uk
Kenner, C. & McGrath, J. M. (2004). Developmental care of newborns & infants: a guide for health proffesional. St. Louis: Mosby.
Kompas (2015). Indonesia Urutan Kelima Jumlah Kelahiran Prematur. Diakses dari
27
http://health.kompas.com/read/2015/04/28/151500923/Indonesia.Urutan.Kelima.Jumlah.Kelahiran.Prematur
Mariyam, Rustina, Y., Waluyanti, F.T. (2013). Aplikasi teori konservasi Levine pada anak dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi di ruang perawatan anak. Jurnal Keperawatan Anak, 1.
Prasanna, K., & Radhika, M. (2013). Effectiveness of massage on weight gain and selected physiological parameters among preterm babies in selected hospital. International Journal of Science and Research. 4(4), 2319-7064
Rustina, Y. (2015). Bayi prematur: perspektif keperawatan. Jakarta: Segung Seto.
Symington, A., Pinelli, J.,(2004). Developmental care for promoting development and preventing morbidity in preterminfants. The Cochrane Database of Systematic Reviews: The Cochrane Database, (3).
Tomey, A.M., & Alligood, M. R. (2010). Nursing theorist and their work. (7th ed). St. Louis: Elsevier
WHO (2015). Preterm birth. Diakses dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs363/en/
Wong, D. L., Hockenberry, M., Eaton, Wilson, D., Winkelstein, M. L., & Schwartz, P. (2009). Buku ajar: Keperawatan pediatrik. Edisi 6. (Alih bahasa: Hartono. A., Kurnianingsih. S., & Setiawan). Jakarta: EGC.
28