laporan eksposure pribadi

15
LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI WINDA HERVIANI PUTRI 2011410081 KELAS O PUSAT KAJIAN HUMANIORA UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

Upload: eric-tanoto

Post on 27-Dec-2015

172 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

laporan mata kuliah Katolik

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

WINDA HERVIANI PUTRI

2011410081

KELAS O

PUSAT KAJIAN HUMANIORA

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

2013

Page 2: LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

BAB I

LAPORAN HASIL EKSPOSURE

Pada hari Kamis, 21 Maret 2013, saya bersama dua orang teman saya Harry

dan Tika pergi ke Stasiun Kiara Condong untuk mencari narasumber eksplosure

untuk tugas mata kuliah Agama Katolik. Kami memilih Stasiun Kiara Condong

karena kami merasa stasiun tersebut banyak dikunjungi oleh orang-orang

kalangan menengah ke bawah.

Kami berpikir jika kami ingin mendekati seseorang di stasiun maka kami

harus membeli tiket kereta. Untuk itu kami membeli tiket ke Padalarang, yang di

mana kami masih memiliki waktu sekitar 2 jam sebelum jam keberangkatan

kereta. Di sana kami melihat seorang ibu sedang duduk di lantai sambil

membersihkan dan merapikan gelas plastik bekas. Diam-diam sambil seperti

sedang menunggu kereta kami ikut duduk di lantai, padahal saat itu masih banyak

bangku yang kosong.

Pembicaraan kami berawal dari menanyakan ke mana tujuan ibu tersebut.

Awalnya kami memulai perbincangan dengan bahasa yang sopan namun semi

formal, sehingga ibu tersebut terlihat canggung dan pemalu. Maka kami mencoba

berbincang-bincang dengan bahasa yang lebih santai dan dicampur dengan bahasa

sunda agar ibu tersebut merasa bahwa kami setara dengan beliau. Ibu tersebut

hendak ke Padalarang dan membeli tiket kereta ekonomi sama seperti kami.

Saat kami bertanya tentang pekerjaan ibunya, tanpa malu ibu tersebut

menjawab bahwa beliau adalah pengumpul rongsokan atau yang biasa disebut

pemulung. Setiap harinya ibu pergi ke stasiun Padalarang sekitar pukul 5 pagi.

Dari sana ibu memiliki 4 pilihan tujuan yaitu ke Purwakarta (waduk Jatiluhur),

Cicalengka, Cimahi, atau Kiara Condong. Setiap harinya stasiun tujuan ibu

berbeda-beda sesuai keinginannya, namun paling sering ke Kiara Condong dan

Cimahi. Ibu mengumpulkan gelas plastik dan botol plastik bekas di stasiun dan

Page 3: LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

sekitarnya serta di dalam kereta. Setiap harinya, ibu dapat mengumpulkan satu

hingga dua kantong plastik besar, tergantung dengan ketersediaan yang ada.

Sebelum dijual, gelas dan botol plastik tersebut dibersihkan terlebih dahulu,

karena 1kg gelas dan botol plastik bersih dihargai Rp 5.000,00 sedangkan 1kg

gelas dan botol plastik yang masih kotor hanya dihargai Rp 2.000,00. Biasanya

pada hari Minggu ibu menjual hasil kumpulannya dan tidak memulung.

Setiap harinya ibu makan satu kali yaitu pada siang hari dengan membeli nasi

bungkus. Pada malam harinya ibu makan jika nasi bungkus yang dibeli tadi siang

masih bersisa atau diberi oleh teman atau tetangganya.

Saat ini, di Padalarang ibu tinggal menumpang di rumah temannya yang

pekerjaannya juga sebagai pemulung. Ibu bercerita bahwa ibu belum memiliki

anak, dan suaminya sudah pergi meninggalkan dia, sehingga ibu harus

menghidupi dirinya sendiri dengan memulung. Ibu bukanlah penduduk asli

Padalarang, melainkan perantau dari Garut, namun tidak setiap tahun atau tidak

setiap lebaran ibu dapat pulang mengunjungi keluarganya di Garut.

Di rumah teman atau tetangganya, ibu sering menonton televisi. Ibu sangat

bersemangat ketika menceritakan tokoh pesinetron kesukaannya yaitu Haji

Muhidin di sinetron Tukang Bubur Naik Haji.

Ibu bercerita bahwa beliau prihatin dengan keadaan temannya yang saat ini

belum ada kabar dari suaminya. Menurut ibu, suami temannya merasa bahwa

memulung di sekitar Padalarang kurang memberikan hasil yang baik sehingga

beliau pergi ke Jakarta untuk mencari penghasilan yang lebih baik. Namun sudah

lebih dari tiga minggu belum ada kabar dari suami temannya.

Saat ini harga kereta ekonomi jurusan Kiara Condong – Padalarang seharga

Rp 1.500,00. Ibu berharap bahwa isu akan adanya kenaikan harga tiket kereta

yang menjadi Rp 5.000,00 tidak benar. Karena ibu merasa harga tiket kereta saat

ini saja sudah dianggap tinggi oleh ibu, mungkin jika tiket kereta dinaikan maka

ibu tidak mampu membeli tiket dan nanti hanya mampu memulung di sekitar

Padalarang.

Page 4: LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

Waktu cepat berlalu, tanpa sadar kereta pun datang. Kami naik kereta

bersama-sama, namun di dalam kereta tiba-tiba ibu pergi meninggalkan kita dan

mencari rongsokan.

Pada hari Minggu, 7 April 2013, kami bertiga pergi lagi ke Stasiun Kiara

Condong dan berharap bertemu ibu yang kemarin banyak bercerita kepada kami.

Namun, pada hari itu stasiun sangat padat dipenuhi pengunjung dan kami tidak

menemukan sosok ibu yang beberapa dua minggu lalu kami temui.

Pada hari Sabtu, 13 April 2013, kami pergi ke Stasiun Kiara Condong lagi

dan sangat berharap dapat bertemu dengan ibunya. Dan kami melihat ibu yang

sedang mencari gelas dan botol plastik bekas, namun karena hari cukup sepi maka

hasil yang dikumpulkan ibunya pun tidak sebanyak hari sebelumnya. Kami

mengajak ibu duduk di bangku yang kosong sambil berbincang-bincang.

Saat itu, kami baru memperkanalkan nama dan asal kami pada ibu tersebut.

Ibu tersebut juga memperkenalkan dirinya dengan nama Susilawati. Ibu bercerita

tentang keadaan lingkungan tempat tinggalnya yang di mana selalin hidup

bertetangga dengan pemulung, ibu juga hidup dengan petani. Ibu bercerita bahwa

dahulu pernah ada rencana dari pemerintah untuk membantu desa yang tertinggal,

ibu sangat berharap bantuan tersebut benar-benar ada dan diberikan oleh

pemerintah namun pada kenyataannya bantuan tersebut hanyalah isu belaka dan

tak ada kejelasan atau tindak lanjut yang nyata.

Karena pada hari itu kami datang terlalu sore sehingga dengan menunggu

setengah jam saja, kereta sudah tiba dan kami harus cepat-cepat naik kereta karena

terlalu asik mengobrol. Dari pengalaman perjumpaan dengan ibu tersebut, dapat

terlihat dengan jelas bahwa ibu sangat bersyukur dan ikhlas menjalani

kehidupannya, karena ibu bercerita dengan selalu memberikan senyuman pada

kami.

Page 5: LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

BAB II

ANALISIS SOSIAL

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk

memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung,

pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat

pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan

pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.

Ibu Susilawati menjalani hidup dan pekerjaan sebagai pemulung karena ibu

tersebut belum menemukan keterampilan lainnya yang ada pada dirinya selain

memulung. Setelah merantau dari Garut ke Padalaang, Ibu Susilawati tinggal di

daerah yang di mana banyak bermukim pemulung dan petani, namun Ibu

Susilawati lebih tertarik pada pekerjaan pemulung karena hanya membutuhkan

kegigihan dan kerja keras tanpa keterampilan khusus, sedangkan untuk menjadi

seorang petani dibutuhkan keterampilan khusus untuk bercocok tanam.

Ibu Susilawati bekerja sebagai pemulung selain dikarenakan lingkungannya

yang banyak berprofesi sebagai pemulung, juga karena Ibu Susilawati telah

ditinggal pergi oleh suaminya, sehingga Ibu Susilawati harus hidup mandiri

menghidupi dirinya sendiri. Dengan keterbatasan modal baik secara ilmu dan

keterampilan maka Ibu Susilawati memilih pekerjaan yang tidak perlu memiliki

keterampilan dan ilmu yang tinggi.

Ibu Susilawati menjadi pemulung juga dikarenakan peuang untuk mendapat

penghasilan lebih besar disbanding dengan bertani. Dalam bertani, harus ada

resiko rugi yang harus ditanggung jika panen gagal atau terserang hama, serta

modal yang cukup besar dan jerih payah yang tidak sebanding dengan hasil yang

diperoleh dari penjualan hasil pertanian tersebut. Karena di negara Indonesia ini

hasil panenan para petani lokal kurang dihargai karena pemerintah lebih sering

mengimpor bahan baku makanan dari luar negeri dibandingkan dengan

memberdayakan hasil dan sumber daya yang ada. Sedangkan untuk bekerja

Page 6: LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

menjadi pemulung tidak memerlukan modal dan resiko rugi hampir tidak ada. saat

ini, pemulung juga sangat diuntungkan karena perilaku masyarakat terutama

masyarakat perkotaan yang sering mengkonsumsi minuman yang dikemas gelas

plastik atau botol plastik, sehingga pemulung tidak akan kekurangan sumber mata

pencahariannya. Saat ini orang juga sering membuang sampah gelas plastik dan

botol pastik sembarangan sehingga pemulung tidak kesulitan mencari gelas

plastik dan botol plastik karena sudah bertebaran di mana-mana.

Namun dari hasil wawancara yang saya lakukan dengan teman saya, saya

merasa bahwa Ibu Susilawati sudah nyaman dengan kehidupannya sebagai

pemulung dan tidak ingin merubah pola hidupnya. Hal tersebut dapat dilihat dari

cara bicara ibunya yang terlihat pasrah dan menerima, serta tingkah laku ibunya

saat bercerita yang mengisyaratkan bahwa beliau telah terbiasa dengan pola hidup

memulung, makan satu kali sehari dan menumpang di rumah temannya yang juga

pemulung. Karena saat bercerita ibu tidak memberika harapan akan kehidupannya

yang terlalu berlebihan seperti memiliki rumah sendiri atau memiliki pekerjaan

lain, tetapi harapan ibunya hanya sebatas agar hidup ibunya pada hari atau minggu

itu dapat terpenuhi.

Dari penjabaran di atas terlihat bahwa akar kemiskinan yang dialami oleh Ibu

Susilawati berasal dari luar dan dalam dirinya sendiri yaitu faktor lingkungan

yang membuat paradigmanya hidup sebagai pemulung, faktor keadaan yang

mendesaknya harus memiliki penghasilan, faktor ketidak beranian diri mengambil

resiko dan kurang kemauan untuk sesuatu yang lebih baik seperti mencari

pekerjaan lain yang dapat menghasilkan penghasilan yang lebih tinggi agar

minimal dapat membayar uang kontrakan, serta faktor pasrah dalam dirinya yang

membuatnya sudah nyaman dengan kehidupan memulung dan tidak ingin keluar

dari zona nyamannya tersebut.

Page 7: LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

BAB III

REFLEKSI IMAN

Dari pengalaman eksposure yang mengenal kehidupan Ibu Susilawati sebagai

pemulung, saya banyak belajar dari cerita kehidupan Ibu Susilawati. Saya belajar

bahwa saya harus belajar untuk mensyukuri kehidupan saya seperti Ibu Susilawati

yang bersyukur dengan kehidupannya sebagai pemulung yang setiap harinya

hanya dapat makan satu kali. Saya belajar untuk lebih bersyukur atas apa yang

saya punya contohnya seperti uang jajan, saya belajar untuk tidak mengeluh bila

saya kekurangan uang untuk membeli sesuatu yang saya inginkan. Setiap saya

akan berbuat boros, saya harus ingat bahwa mencari uang itu sulit, Ibu Susilawati

bekerja dari pagi hingga sore hanya untuk mencukupi kebutuhan pangannya saja,

sedangkan saya yang memiliki rezeki yang mencukupi dan dapat menikmati

makanan tiga kali sehari seharusnya tidak mengeluh.

Saya juga belajar dari Ibu Susilawati untuk selalu berani menghadapi

kenyataan. Hal tersebut dibuktikan dari keterbukaan Ibu Sulilawati yang mau

berbagi cerita tentang kepergian suaminya, dan ibu tidak mengeluh sedikitpun

tetapi tetap gigih berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri.seharusnya sayapun

tidak malu dengan keadaan saya, misalnya dalam menggunakan gadget, saya

seharusnya tidak boleh malu menggunakan telepon genggam tipe yang lama

walaupun teman-teman saya meemiliki telepon genggam model terbaru.

Ibu Susilawati menginspirasi saya untuk selalu menghadapi hidupnya dengan

tegar. Hal tersebut terbukti dari Ibu Susilawati yang tidak mengeluh akan

pekerjaannya. Seharusnya sayapun dapat selalu berusaha dan tidak mengeluh

dengan tugas kuliah yang diberikan dosen. Ibu Susilawati membuat saya belajar

untuk terus giat dan berjuang.

Ibu Susilawati adalah orang yang menjalani hidupnya dengan bahagia. Itu

terbukti dari ibu yang tidak pernah memberikan raut wajah yang sedih walaupun

sedang menceritakan kedukaan dalam hidupnya. Walaupun berat, ibu selalu

Page 8: LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

mencoba untuk bangkit tanpa mengeluh. Seharusnya saya pun demikian, saya

seharusnya juga selalu menjalani hidup saya dengan penuh sukacita. Saya sangat

harus mencontoh Ibu Susilawati untuk tidak mengeluh dalam setiap kedukaannya.

Saya sadar bahwa saya adalah salah seorang yang sering mengeluh, dan mengeluh

hanya membuat beban hidup yang kita jalani menjadi semakin berat. Untuk itu

saya belajar untuk sedikit demi sedikit mengurangi rasa mengeluh tersebut dengan

mencoba ikhlas menerima segala sesuatu namun terus berjuang mendapatkan apa

yang bisa saya raih.

Makna eksposure tersebut bagi kehidupan beriman saya adalah saya menjadi

lebih bersyukur atas karunia yang Tuhan berikan, atas keluarga yang lengkap dan

apapun yang telah saya miliki saat ini. Eksposure membuat saya lebih tergerak

untuk melihat kaum yang lebih kecil. Selama ini saya merasa dengan memberikan

uang kolekte di Gereja saja sudah cukup untuk membantu kaum yang kecil,

padahal sebenarnya mereka lebih membutuhkan tindakan yang nyata, seperti

didekati, diajak ngobrol, dibantu permasalahannya. Sebenarnya dengan

mendengarkan keluh kesah mereka, itu salah satu cara untuk sedikit meringankan

beban mereka, karena dari bercerita, mereka membagi pengalaman pahitnya dan

mereka menjadi merasa ada seseorang yang dapat dijadikan teman sehingga

mereka tidak sendirian lagi dan merasa didukung untuk bergerak menjalani

hidupnya.

Makna eksposure bagi kehidupan beriman saya adalah bahwa beriman bukan

hanya dalam hal ke Gereja atau melakukan perbuatan baik di lingkungan sekitar

kita, tetapi kehidupan beriman juga mengajak kita untuk berbagi kasih dan lebih

memperhatikan sesama yang lebih kecil. Lebih memperhatikan sesama yang kecil

ini dapat dilakukan dengan cara membantu korban bencana alam,

menyumbangkan pakaian layak pakai pada orang kecil dan anak di panti asuhan.

Sebenarnya banyak perbuatan yang dapat kita lakukan, karena di sekitar tempat

kita hidup juga banyak orang kecil, setidaknya kita minimal kita memperhatikan

orang kecil di sekitar kita. Misalnya dengan memberikan upah kerja pada ibu yang

setiap harinya mencuci dan membersihkan kosan tepat waktu, karena jika kita

menunda membayar maka beliau akan kesulitan menghidupi dirinya.

Page 9: LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

KESIMPULAN

Kita menjalani hidup kita tidak hanya dengan orang-orang yang dianggap

setara dengan kita, tetapi sebenarnya banyak orang-orang kecil yang turut

membantu kelangsungan hidup kita. Seperti Ibu Susilawati yang berprofesi

sebagai pemulung, tampaknya memang kurang berpengaruh di hadapan kita,

namun sebenarnya dengan mengumpulkan gelas plastik dan botol bekas, Ibu

Susilawati telah turut membantu terciptanya lingkungan yang bersih dan turut

mencegah glabal warming karena dari gelas plastik dan botol plastik bekas

tersebut dapat didaur ulang untuk kebutuhan kita berikutnya.

Dari pengalaman eksposure dapat disimpulkan bahwa banyak orang-orang

kecil di sekitar kita yang perlu kita dengarkan dan kita dukung agar mereka

merasa lebih memiliki teman untuk saling berbagi. Dengan mengenal Ibu

Susilawati saya juga menjadi lebih terbuka untuk melihat orang kecil yang ada di

sekitar kita. Dari beliau saya juga menjadi dapat belajar bagaimana menjalani

hidup dengan berjuang dan tidak mengeluh serta tegar menghadapi segala beban

hidup. Dari Ibu Susilawati saya belajar untuk ikhlas menerima segala sesuatu dan

tidak menuntut atas hal yang membuat saya kecewa serta terus bejuang untuk

menghadapi beban hidup yang ada.

Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk membantu kaum yang kecil namun

pertanyaannya apakah kita mau benar-benar menggerakan diri kita untuk berbaur

dengan mereka mencari permasalahan mereka dan membantu membuat solusinya.

Terkadang banyak orang yang berkecukupan ingin membantu orang yang kecil

namun akibat pikiran yang terlalu muluk sehingga mereka melupakan keinginan

awal mereka tersebut. Sebenarnya dengan hidup berbaur dengan mereka, dan

menciptakan kesetaraan dengan mereka, maka mereka akan merasa lebih berarti,

ketimbang kita hanya memberikan bantuan dari jarak jauh.

Page 10: LAPORAN EKSPOSURE PRIBADI

LAMPIRAN